1025 Variasi aktivitas kandungan metabolit - BPPBAP

advertisement
1025
Variasi aktivitas kandungan metabolit sekunder spons ... (Ruzkiah Asaf)
VARIASI AKTIVITAS KANDUNGAN METABOLIT SEKUNDER SPONS BERDASARKAN
KONDISI HABITAT
Ruzkiah Asaf*), Budimawan**), dan Ahyar Ahmad**)
*)
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau
Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan
E-mail: [email protected]
**)
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Makassar 90245, Sulawesi Selatan
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi aktivitas kandungan metabolit sekunder spons berdasarkan
kondisi habitat. Kandungan senyawa bioaktif yang dihasilkan dari proses metabolit sekunder spons pada
kondisi habitat yang berbeda dilakukan dengan mengambil sampel spons dari empat stasiun kemudian
dilakukan uji terhadap anti bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus, serta uji anti jamur Candida
albicans dan Malassezia fulfur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi habitat berpengaruh secara
nyata terhadap senyawa bioaktif yang dihasilkan. Spons Meloplus sarasinorum memiliki daya hambat terbesar
untuk anti bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus serta anti jamur Candida albicans, dengan kondisi
habitat yang didominasi oleh karang mati yang ditumbuhi alga. Spons Agelas clathroides memiliki daya
hambat terbesar untuk anti jamur Malassezia fulfur dengan kondisi habitat yang didominasi oleh karang
mati yang ditumbuhi alga. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan senyawa bioaktif dari metabolit sekunder
spons berbeda berdasarkan kondisi habitat.
KATA KUNCI:
metabolit sekunder, spons, habitat
PENDAHULUAN
Metabolit sekunder dihasilkan oleh semua jenis biota dikenal dengan istilah natural produk
merupakan hasil metabolisme dalam tubuh organisme. Pembentukan metabolit sekunder dipengaruh
oleh lingkungan, sehingga diasumsikan bahwa pada lingkungan yang berbeda walaupun jenisnya
sama akan menghasilkan metabolit yang berbeda. Spons adalah jenis invertebrata laut yang
memproduksi metabolit sekunder yang merupakan sumber penghasil senyawa bioaktif terbesar di
antara invertebrata laut lainnya. Dalam dekade terakhir dilaporkan sebanyak 50% senyawa bioaktif
yang ditemukan dalam invertebrata laut, berasal dari filum porifera (Harper et al., 2001).
Metabolit sekunder bagi invertebrata laut juga berperan dalam pencarian makanan, pengenalan
dengan populasinya, penentuan habitat dan pasangan simbiotik yang sesuai. Selain itu, senyawa
kimia yang dihasilkan oleh invertebrata laut, sebagai respons terhadap kompetisi dengan lingkungan.
Kegunaan dari senyawa kimia bagi biota yang memproduksinya adalah sebagai pengikat reseptor
dalam target ekologinya (Harper et al., 2001). Spons dalam mempertahankan kehidupannya melakukan
adaptasi secara morfologis, anatomis, fisiologis, dan kimiawi. Produksi metabolit sekunder dari spons
merupakan kompensasi akibat interaksi dengan lingkungan biotik, abiotik, dan sebagai senjata kimia
terhadap predator. Salah satu pemicu produksi senyawa terpene, poliketida, dan alkaloid oleh spons
adalah adanya kompetisi dengan koral dan untuk mencegah infeksi bakteri patogen.
Banyak jenis spons yang ditemui di habitat karang tubuhnya dipenuhi jaringan hidup bluegreen
alga. Pada beberapa jenis spons jaringan alga ini menyuplai hampir 100% kebutuhan nutriennya,
diperkirakan terdapat sebanyak 10.000 spesies spons di laut. Identifikasi spons sering mengalami
kesulitan karena spesies yang sama seringkali menunjukkan bentuk yang berbeda, tergantung pada
kondisi habitatnya. Di tempat yang tenang dan terlindung, spesies yang sama akan dapat berbeda
bentuknya bila berada di tempat yang berarus kuat di luar terumbu. Spons pada jenis yang sama
pertumbuhannya cenderung semakin besar dan meninggi dengan bertambahnya kedalaman laut
(Bergquist, 1978; Amir & Budiyanto, 1996). Faktor ekologis sangat berpengaruh terhadap bentuk
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
1026
dan pertumbuhan spons, yaitu kedalaman air, struktur dasar, arus, suhu, kandungan nutrien, dan
tingkat sedimentasi (Storr, 1976).
Terumbu karang merupakan habitat hidup bagi berbagai biota laut tropis lainnya sehingga terumbu
karang memiliki keanekaragaman jenis biota yang sangat tinggi dan produktif. Dengan adanya
keanekaragaman biota laut yang berasosiasi pada terumbu karang sehingga memiliki bentuk serta
warna yang beraneka ragam pula, di antara berbagai jenis biota terumbu karang, spons menempati
relung ekologi yang sangat spesifik yaitu dasar perairan jernih yang masih cukup memperoleh sinar
matahari (Ahmad et al., 1996).
Pulau Kapoposang merupakan salah satu pulau yang terdapat di dalam gugusan Kepulauan
Spermonde. Pulau Kapoposang terletak di Kecamatan Liukang Tupabiring Kabupaten Pangkajene
Kepulauan (Pangkep). Pulau Kapoposang merupakan salah satu tipe perwakilan terumbu karang
tepi/datar, lamun, dan mangrove di perairan Sulawesi. Di perairan Kapoposang terdapat ekosistem
terumbu karang yang hidup di dalamnya berbagai jenis organisme di antaranya adalah spons. Dari
hal tersebut maka penelitian dilakukan untuk mengetahui keterkaitan kondisi habitat terhadap
kandungan metabolit sekunder spons di Pulau Kapoposang.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Pulau Kapoposang yang merupakan salah satu pulau yang terdapat dalam
gugusan Kepulauan Spermonde (Gambar 1). Jumlah tempat pengambilan sampel dibagi dalam 4
stasiun.
Gambar 1. Lokasi penelitian di Pulau Kapoposang Kabupaten Pangkep
Pengamatan kondisi lingkungan hidup spons dilakukan dengan mengetahui kondisi terumbu
karang dan lingkungan sekitar tempat tumbuh spons ditemukan. Pengamatan kondisi terumbu karang
dilakukan dengan metode transek garis (Dartnal & Jones, 1986; English et al., 1994). Adapun
metodenya adalah dengan meletakkan transek sepanjang 50 m, dengan menggunakan alat selam
dan alat tulis di bawah air, semua biota yang ada pada garis transek dicatat dan diukur dengan
ketelitian hingga cm.
Pengamatan kondisi habitat spons dilakukan dengan mengamati kondisi yang dominan di mana
spons tersebut tumbuh kemudian ditentukan habitatnya.
1027
Variasi aktivitas kandungan metabolit sekunder spons ... (Ruzkiah Asaf)
Pengamatan aktivitas kandungan metabolit sekunder spons diambil dari empat stasiun dengan
sembilan jenis spons yang berbeda, dengan kondisi lingkungan yang berbeda pula dengan penyelaman
SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus), pada titik yang termonitor oleh alat global
positioning system. Setiap sampel yang diambil dari empat stasiun didata kondisi lingkungan tempat
sampel itu berada, kemudian diolah dan dilakukan proses ekstraksi dan partisi, selanjutnya dilakukan
uji kandungan bioaktif metabolit sekunder terhadap bakteri dan jamur. Analisis bioaktivitas ekstrak
metanol spons dilakukan dengan pengamatan terhadap zona bening yang terbentuk dengan mengukur
diameter zona hambatan pada masing-masing konsentrasi ekstrak metanol yang diuji pada bakteri
dan jamur pada setiap karakteristik lingkungan yang berbeda.
Daya hambat kemudian dikelompokkan menurut jenis dan dibandingkan daya hambatnya
berdasarkan kondisi habitat spons melalui grafik histogram dan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN BAHASAN
Kondisi Terumbu Karang
Hasil pengamatan terhadap kondisi terumbu karang pada perairan Pulau Kapoposang dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Persentase terumbu karang pada perairan Pulau Kapoposang
Benthic lifeform (%)
Kedalaman
(m)
HCL
DCA
Alga
OT
Abiotik
I
5
15
47,34
24,24
0
0
0
0
7,60
12,48
42,90
54,90
Sedang
Rusak
II
6
15
14,61
28,40
39,96
2,40
0
0,52
40,43
18,78
5,00
49,90
Rusak
Sedang
III
IV
5
5
42,32
22,84
6,24
0
4,55
7,36
10,75
19,28
36,14
50,52
Sedang
Rusak
Stasiun
Kondisi
Pada Tabel 1 terlihat bahwa pengamatan terhadap kondisi terumbu karang dilakukan pada empat
stasiun dengan berbagai variasi kedalaman. Nilai persentase tutupan karang hidup berkisar 14,61%047,34%. Persentase tutupan karang hidup terbesar didapatkan pada stasiun I pada kedalaman 5 m,
sedangkan persentase tutupan karang terkecil didapatkan pada stasiun II pada kedalaman 6 m. Pada
Stasiun I dengan dua variasi kedalaman terlihat bahwa, kisaran persentase tutupan karang pada HCL
dan abiotik lebih besar dari komponen lainnya. Kondisi ini dapat dikatakan bahwa kondisi terumbu
karang HCL pada stasiun ini berada dalam kategori sedang dan menjadi tempat tumbuh yang baik
bagi spons.
Pada Stasiun II dengan kedalaman 6 m terlihat bahwa persentase tutupan karang pada DCA dan
OT lebih besar dari HCL dan Abiotik. Kondisi ini dapat dikatakan bahwa terumbu karang berada
dalam kategori terumbu karang dalam kondisi yang rusak. Di samping itu, kondisi ini juga sangat
baik bagi spons untuk hidup dengan cara melekat pada pecahan karang, karang mati, dan pada
substrat berpasir. Hal ini didasari oleh sifat spons yang memiliki kemampuan bersaing dengan
organisme lain dalam mendapatkan tempat untuk tumbuh dan suplai nutrien, atau dengan kata lain
spons merupakan hewan pionir yang mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang mengalami
kerusakan.
Pada stasiun III terlihat bahwa persentase tutupan karang pada HCL dan abiotik lebih besar dari
komponen lainnya, sehingga kondisi terumbu karang pada stasiun ini dapat dikatakan berada dalam
kategori sedang dan baik untuk pertumbuhan spons. Pada Stasiun IV terlihat bahwa persentase
tutupan karang abiotik lebih besar dari komponen lainnya. Kondisi terumbu karang pada stasiun ini
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
1028
berada dalam kategori rusak. Sintasan spons pada stasiun ini didukung oleh besarnya persentase
tutupan karang pada komponen abiotik.
Spons yang dijadikan sampel pada penelitian ini sebanyak sembilan jenis yang dominan didapatkan
pada keempat stasiun pengamatan. Kemudian sampel spons dibandingkan berdasarkan genus dan
kondisi habitatnya. Keberadaan sampel spons dominan pada setiap stasiun pengamatan dapat kita
lihat pada Tabel 2.
Pengamatan Kondisi Habitat Spons
Keberadaan sampel spons yang dominan pada setiap stasiun pengamatan dapat dilihat pada
Tabel 2 dengan kondisi habitat yang dominan pada masing-masing spons.
Tabel 2. Jenis spons dan habitat yang dominan pada setiap stasiun
Stasiun
Kedalaman
pengamatan
(m)
Jenis spons
Habitat dominan
I
15
7
10
Callyspongia aeresuza
Karang hidup encrusting
Agelas clathroides
Karang mati yang ditumbuhi alga
Callyspongia fallax
Karang hidup branching dan encrusting
II
6
10
5
Callyspongia aerizusa
Callyspongia fallax
Meloplus sarasinorum
Karang hidup massive dan branching
Karang hidup encrusting dan massive
Karang mati yang ditumbuhi alga
III
7
5
Callyspongia aeresuza
Agelas sp.
Karang hidup karang massive
Pasir dan pecahan karang
IV
3
Agelas sp.
Lamun dan pasir
Pada Tabel 2, spons jenis Callyspongia aeresuza terdapat pada stasiun I,II, dan III, Callyspongia fallax
didapatkan pada stasiun I dan pada stasiun II, masing-masing pada kedalaman dan kondisi habitat
yang berbeda. Sedangkan Agelas sp. didapatkan pada stasiun III dan stasiun IV pada kedalaman dan
habitat yang berbeda. Jenis spons yang lain (Agelas clathroides dan Meloplus sarasinorum) terdistribusi
masing-masing pada stasiun I dan II. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua jenis spons ini tidak
dapat hidup pada habitat yang berbeda. Jenis sampel spons dapat kita lihat pada Gambar 2, 3, 4, dan
5.
Dari stasiun I, terdapat 3 jenis spons yang berbeda, ketiga jenis spons ini adalah Callyspongia
aeresuza, Agelas clathroides, dan Callyspongia fallax. Spons ditemukan hidup dan tumbuh pada habitat
yang didominasi karang keras dan karang mati, dengan kondisi terumbu karang dalam kategori
sedang.
Gambar 2. Sampel spons stasiun I, Callyspongia aerizusa (kiri), Agelas
clathroides, (tengah) dan Callyspongia fallax (kanan)
1029
Variasi aktivitas kandungan metabolit sekunder spons ... (Ruzkiah Asaf)
Gambar 3. Sampel spons stasiun II, a. Callyspongia aerizusa, b. Callyspongia
fallax, dan c. Meloplus sarasinorum
Pada stasiun II terdapat spons jenis Callyspongia aerizusa, dan Callyspongia fallax, serta jenis spons
yang lain yaitu jenis Meloplus sarasinorum. Jenis Agelas clathroides tidak ditemukan pada stasiun ini,
ketiga jenis spons ini hidup dan tumbuh pada habitat yang didominasi karang keras dan karang mati
dengan kondisi terumbu karang kategori rusak. Terdapat perbedaan antara spons Agelas clathroides
dan Meloplus sarasinorum, yaitu spons jenis Agelas clathroides berada pada stasiun I dan Jenis Meloplus
sarasinorum berada pada stasiun II, yang berarti kedua jenis spons ini hidup dengan kondisi terumbu
karang yang berbeda, sedangkan jenis Callyspongia aerizusa, dan Callyspongia fallax dapat hidup pada
stasiun I dan II. Diduga kedua jenis spons ini dapat hidup dengan kondisi terumbu karang dengan
kategori sedang dan rusak.
Gambar 4. Sampel spons stasiun III, Callyspongia
aerizusa (kiri), Agelas sp. (kanan)
Jenis spons pada stasiun III dan IV adalah Callyspongia aerizusa dan Agelas sp., pada stasiun III jenis
Callyspongia aerizusa dan Agelas sp. hidup pada habitat yang didominasi oleh karang keras, pasir dan
pecahan karang. Adapun kondisi terumbu karang pada stasiun III berada dalam kategori sedang.
Pada stasiun IV jenis Callyspongia aerizusa tidak ditemukan lagi dan yang ada pada stasiun ini
adalah spons jenis Agelas sp. Jenis spons ini tumbuh pada habitat yang didominasi lamun dan pasir,
dengan kondisi terumbu karang berada dalam kategori rusak.
Gambar 5. Sampel spons pada stasiun IV,
Agelas sp.
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
1030
Pengamatan Kandungan Metabolit Sekunder Spons
Skrining terhadap aktivitas anti-mikroba dilakukan dengan uji bakteri menggunakan bakteri
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus, dan uji jamur menggunakan Candida albicans dan Malassezia
furfur. Skrining terhadap aktivitas anti-mikroba dan anti jamur dapat dilihat pada Tabel 3.
Hasil skrining menunjukkan bahwa kandungan senyawa spons berdasarkan kelompok dapat
dijadikan sebagai acuan dalam mengetahui senyawa yang terkandung dalam spons pada sampel
penelitian. Kandungan senyawa spons berdasarkan kelompok dari kelompok spons Callyspongidae
diketahui mengandung senyawa Linear 3-alkylpiperidines dan kelompok Agelasidae mengandung
Pyrrole-2-carboxylic derivates, selain itu, juga terdapat kelompok Agelas dengan kandungan Di-dan
sesquiterpenes (Soest & Braekman, 1999).
Tabel 3. Diameter hambatan hasil skrining aktivitas antimikroba ekstrak pada
spons dengan konsentrasi 1.000 µg/mL
Stasiun
Diameter hambatan (mm)
ekstrak metanol
Kode
sampel
Bakteri
Jamur
EC
SA
CA
MF
I
A
B
C
11,88
16,48
9,55
12,90
19,30
11,70
-
9,88
20,94
-
II
D
E
F
10,60
18,91
12,01
19,96
17,39
13,97
18,09
III
G
H
16,81
12,26
17,28
14,45
-
18,95
15,13
IV
I
-
-
Keterangan:
A : Callyspongia aerizusa;
SA : Staphylococcus aureus;
D : Callyspongia aerizusa;
F : Meloplus sarasinorum;
I : Agelas sp.
-
EC : Escherichia coli; B : Agelas clathroides;
C : Callyspongia fallax; CA : Candida albicans;
MF : Malassezia furfur; E : Callyspongia fallax;
G : Callyspongia aerizusa;
H : Agelas sp.
Pada Tabel 3, nilai diameter hambatan untuk bakteri uji Escherichia coli berkisar 9,55-18,91 mm
dan nilai hambatan untuk bakteri uji Staphylococcus aureus berkisar 11,70-19,96 mm. Pada Uji bakteri
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus tersebut, Meloplus sarasinorum memiliki daya hambat terbesar,
sedangkan Callyspongia fallax pada stasiun I memiliki daya hambat terkecil. Besarnya daya hambat
Meloplus sarasinorum menunjukkan bahwa spons jenis ini memiliki kandungan senyawa bioaktif berupa
triterpenoid (Ariyanti et al., 2008). Besarnya daya hambat jenis spons ini terkait dengan habitat
spons tersebut. Besarnya kandungan metabolit pada spons ini diduga oleh banyaknya predator,
sehingga spons jenis ini banyak mengalami stres dan dalam mempertahankan diri spons ini memiliki
senjata perisai menghasilkan senyawa kimia membentuk metabolit sekunder yang dapat meracuni
predator di sekitarnya karena bersifat toksik (Webster, 2003). Jenis-jenis predator spons dapat dilihat
pada Tabel 4.
Pada uji jamur Candida albicans semua jenis spons tidak memiliki daya hambat kecuali Meloplus
sarasinorum, diduga hal ini disebabkan karena jamur Candida albicans mempunyai struktur dinding
sel yang kompleks, dengan ketebalan 100-400 nm, selain itu, dinding sel dari jamur ini terdiri atas
1031
Variasi aktivitas kandungan metabolit sekunder spons ... (Ruzkiah Asaf)
Tabel 4. Jenis-jenis predator spons
Jenis predator spons
Angelfish, Pornacanthus spp.
Trunkfish, Acanthostracion spp.
Filefish, Aluterus scriptus
Spadefish, Chaefodipterus faber
Parrotfish, Sparisoma spp. Scarus isertii
Starfish, Oreaster reticulatzis
Sumber: Atoll Research Bulletin By Janiel Wulff
lima lapisan yang berbeda. Pada uji jamur Malassezia furfur daya hambat berkisar 9,88-20,94 mm,
selain itu, juga kandungan spons Meloplus sarasinorum dari triterpenoid terdapat senyawa saponin
yang dapat mengganggu perkembangan protozoa dengan terjadinya ikatan antara saponin dengan
sterol pada permukaan membran sel protozoa sehingga menyebabkan membran pecah dan sel lisis
akan mati. Keberadaan kolesterol pada membran sel eukariotik (termasuk protozoa), tetapi tidak
terdapat pada sel bakteri prokariotik, saponin mempunyai tingkat toksisitas yang tinggi melawan
jamur, mekanisme kerjanya sebagai anti jamur berhubungan dengan interaksi saponin dengan sterol
membran.
Pada uji jamur Malassezia furfur spons Agelas clathroides memiliki daya hambat terbesar dan daya
hambat terkecil dimiliki oleh Callyspongia aerizusa. Pada uji jamur Malassezia furfur spons Agelas
clathroides memiliki daya hambat terbesar, karena adanya kandungan senyawa pada kelompok spons
Agelas yaitu seskiterpenoid yang merupakan anti jamur, selain itu, juga besarnya bioaktivitas spons
tersebut disebabkan oleh adanya kandungan kimia senyawa tersebut sebagai imunosupressive,
neurosupressive, dan anti virus (Sipkema et al., 2005).
Callyspongia fallax yang didapatkan pada stasiun II dan Agelas sp. pada stasiun IV tidak memiliki
daya hambat baik pada uji bakteri maupun pada uji jamur, hal ini diduga disebabkan karena kondisi
terumbu karang yang tidak memungkinkan bagi pertumbuhan spons tersebut di mana berhubungan
dengan penyerapan senyawa yang terkandung pada lingkungan sekitarnya.
Dari hasil pengamatan kondisi terumbu karang serta habitat yang dominan pada sampel uji
dengan daya hambat pada mikroba uji maka dapat dibandingkan dengan menggunakan gambar
histogram berdasarkan genus yang sama.
Pada Gambar 6 terlihat bahwa spons Callyspongia aeresuza yang hidup pada kondisi habitat yang
didominasi karang massive pada uji bakteri dan uji jamur dengan menggunakan jamur Malassezia
furfur memiliki daya hambat paling besar dibandingkan dengan kondisi habitat yang lain, sedangkan
pada uji jamur Candida albicans tidak memiliki daya hambat. Kondisi habitat yang didominasi oleh
encrusting dan campuran karang massive dan branching pada uji bakteri memiliki daya hambat yang
tidak terlalu jauh berbeda.
Tingginya nilai daya hambat kondisi habitat yang didominasi oleh karang massive pada uji bakteri
dan jamur kecuali uji jamur Candida albicans disebabkan oleh karang massive tergolong jenis hard
coral non acropora di mana kondisi tersebut didukung dengan kondisi terumbu karang yang tergolong
kategori sedang sehingga pertumbuhan spons sangat baik, kondisi tersebut juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor oseanografi antara lain posisi terumbu karang yang menghadap arah angin, sehingga
arus dari arah laut lepas menyuplai banyak makanan dan mempertinggi difusi oksigen dari udara
bebas (Suharyanto, 1998).
Selain itu, pula tingginya persentase karang hidup yang menyebabkan spons bersaing dengan
karang hidup dan untuk menciptakan pertahanan diri spons menghasilkan senyawa kimia membentuk
metabolit sekunder yang ditakuti dan dihindari dari predator, senyawa tersebut bersifat toksik dan
berkhasiat juga sebagai antikanker (cytotoxic) dan antibiotik (McConnaughey, 1970).
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
20
17,28
16,81
Daya hambat (mm)
16
12
18,95
Encrusting
18
14
1032
Massive & branching
Massive
11,88
10,6
13,97
12,9
12,01
9,88
10
8
6
4
2
0
0
0
0
EC
SA
CA
MF
Bakteri dan jamur uji
Gambar 6. Histogram kondisi habitat yang dominan dengan diameter hambatan
pada spons Callyspongia aeresuza pada stasiun I, II, dan III
Pada Gambar 7 terlihat bahwa hanya spons Callyspongia fallax yang hidup pada kondisi habitat
yang didominasi oleh campuran karang branching dan encrusting yang memiliki daya hambat untuk
bakteri uji, sedangkan pada jamur uji, kedua kondisi habitat tidak memiliki daya hambat. Hal ini
disebabkan karena adanya kandungan senyawa yang lebih reaktif terhadap bakteri dan faktor-faktor
lain yang memberikan efek pada perkembangan kandungan senyawa spons baik secara langsung
maupun tidak. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seperti laju pertumbuhan mikroorganisme,
kepekaan organisme terhadap zat aktif, kemampuan dan laju difusi bahan aktif, serta ketebalan dan
viskositas medium.
Besarnya daya hambat bakteri Staphylococcus aureus dibandingkan bakteri Escherichia coli pada
disebabkan karena perbedaan bioaktivitas yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Brench
et al. (1993), salah satu faktor yang mempengaruhi bioaktivitas adalah adanya resistensi bakteri
yang disebabkan oleh perbedaan struktur dinding selnya. Bakteri Staphylococcus aureus merupakan
bakteri gram positif di mana struktur dinding selnya lebih sederhana, dibanding bakteri Escherichia
14
Branching & encrusting
11,7
Daya hambat (mm)
12
10
Encrusting & massive
9,55
8
6
4
2
0
0
0
0
0
0
0
EC
SA
CA
MF
Bakteri dan jamur uji
Gambar 7. Histogram kondisi habitat yang dominan dengan diameter
hambatan pada spons Callyspongia fallax pada stasiun I dan II
1033
Variasi aktivitas kandungan metabolit sekunder spons ... (Ruzkiah Asaf)
coli yang merupakan bakteri gram negatif dengan struktur dinding sel lebih kuat dan lebih kompleks,
sehingga sulit untuk diuaraikan. Bakteri gram negatif mempunyai struktur dinding sel yang tebal
dan berlapis-lapis terdiri atas lipoprotein, peptidoglikan, dan lipopolisakarida, lapisan inilah yang
menyebabkan dinding sel tidak mudah dipisahkan dari sel bakteri oleh senyawa aktif (Moat, 1979
dalam Kencanawati, 1993).
Daya hambat kondisi habitat brancing dan encrusting pada bakteri uji Staphylococcus aureus memiliki
nilai hambat lebih besar dibanding pada bakteri uji Escherichia coli. Pada jamur uji, kedua kondisi
habitat tidak memiliki daya hambat. Hal ini disebabkan oleh kondisi habitat yang didominasi oleh
branching dan encrusting didukung oleh kondisi terumbu karang kategori sedang di mana komponen
yang mendominasi pada habitat ini juga mendukung dalam pertumbuhan spons sehingga dalam
persaingan pemanfaatan nutrien semakin banyak yang dapat disaring untuk dapat dijadikan makanan
atau simbionnya yang akan meningkatkan bioaktivitasnya. Menurut Ailen (1997), nutrien yang disaring
spons sangat kecil bahkan seukuran bakteri, spons juga dapat menyaring air sebanyak 4 hingga 5
kali volume tubuhnya.
Daya hambat (mm)
25
Karang mati ditumbuhi alga
20,94
Sand & rubble
19,3
20
Lamun & sand
16,48
15
15,13
14,45
12,26
10
5
0
0
0
0
0
0
0
EC
SA
CA
MF
Bakteri dan jamur uji
Gambar 8. Histogram kondisi habitat yang dominan dengan diameter
hambatan pada spons Agelas pada stasiun I, III, dan IV
Pada Gambar 8 terlihat bahwa pada uji bakteri dan uji jamur kecuali jamur uji Candida albicans,
spons Agelas yang hidup pada kondisi habitat yang didominasi oleh karang mati ditumbuhi alga
memiliki nilai daya hambat lebih besar dari kondisi habitat pasir dan pecahan karang. Pada uji jamur
Candida albicans kedua kondisi habitat tidak memiliki daya hambat. Kondisi habitat yang didominasi
oleh lamun dan pasir, baik pada uji bakteri dan jamur tidak memiliki daya hambat. Tingginya nilai
hambat yang didominasi oleh karang mati ditumbuhi alga dan tidak adanya daya hambat yang
dimiliki oleh kondisi habitat lamun dan pasir pada mikroba uji disebabkan oleh pada kondisi habitat
karang mati tersebut spons menghasilkan senyawa untuk mempertahankan diri terhadap kondisi
tersebut, sedangkan pada habitat lamun dan pasir organisme yang ada pada kondisi tersebut kurang
sehingga spons tidak menghasilkan banyak senyawa kimia untuk mencegah predator dan bersaing
dengan organisme lain. Beberapa jenis spons hanya dapat hidup pada daerah yang berarus pelan
(Duckworth, 1997). Pada habitat tersebut pergerakan air lebih cepat. Menurut Nybakken (1988),
menjelaskan bahwa pergerakan air di daerah pasir lebih cepat dibanding pada daerah lain. Hal ini
yang mengakibatkan spons memiliki sedikit kesempatan untuk mendapatkan makanan dan
bersimbiosis dengan mikroorgnisme lainnya. Pergerakan air yang cepat ini menyebabkan laju gerak
air tidak dapat menahan nutrien dan mikroorganisme akan hanyut yang seharusnya bermanfaat bagi
spons dalam meningkatkan bioaktifnya. Menurut Lee (2001), simbiosis spons dengan simbionnya
akan meningkatkan bioaktifnya.
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
1034
Dari pembahasan, menunjukkan bahwa kandungan metabolit sekunder spons sangat dipengaruhi
oleh kondisi habitat yang didukung oleh kondisi terumbu karang. Fenomena ini juga dipengaruhi
oleh faktor adaptasi spons terhadap kondisi lingkungan di mana struktur tubuh spons dalam
menyaring makanan, oksigen, serta mengeluarkan makanan dan CO2. Dalam penyaringan tersebut,
ribuan sampai jutaan mikroba terperangkap, apabila konsentrasi mikroba sangat besar maka spons
akan terkena infeksi dan sakit, oleh karena itu, perlu memproduksi senyawa kimia yang mampu
melumpuhkan mikroba yang terperangkap. Mikroba yang resisten terhadap senyawa kimia tersebut
akan bertahan dan hidup bersimbiosis di dalam tubuh spons.
Senyawa kimia yang merupakan metabolit sekunder tersebut dirancang untuk melawan
pertumbuhan sel yang sangat cepat, mirip ciri-ciri pertumbuhan sel kanker (Cetkovic & Lada, 2003),
selain itu, juga dipengaruhi oleh akibat interaksi dengan lingkungan sekitar baik lingkungan biotik
maupun abiotik. Spons mentoleransi mikroorganisme yang masuk ke dalam pori-porinya karena
mikroorganisme menyediakan sumber makanan atau produk metabolit tertentu yang bermanfaat
untuk spons (Guyot, 2000; Faulkner, 2000).
KESIMPULAN




Dari hasil pengamatan di perairan Pulau Kapoposang, maka dapat disimpulkan bahwa:
Kondisi habitat spons berpengaruh terhadap kandungan senyawa bioaktif yang dihasilkan dari
proses metabolit sekunder spons dan besarnya daya hambat yang dihasilkan berbeda sesuai dengan
kondisi habitatnya.
Spons Meloplus sarasinorum memiliki daya hambat terbesar untuk mikroba uji dan dapat menghambat
jamur uji Candida albicans dibanding spons jenis lain.
Spons Agelas clathroides memiliki daya hambat terbesar untuk jamur uji Malassezia furfur.
Kondisi habitat yang didominasi oleh karang massive dan karang mati yang ditumbuhi alga memiliki
daya hambat terbesar untuk bakteri uji dan jamur uji Malassezia furfur, kecuali jamur uji Candida
albicans.
DAFTAR ACUAN
Ahmad, T., Suryati, E., & Muliani. 1995. Screening Sponss for Bactericide To Be Use in Shrimp Culture.
Indonesian Fisheries Research Journal.
Allen, G.R. & Steen, R. 1994. Indo-Pasific Coral Reef. Field Guide. Tropical Reef Research. Singapore,
378 pp.
Allen, G.R. 1997. Tropical Marine Life of Indonesia. CV. Java Books. Jakarta.
Amir, I. & Budiyanto, A. 1996. Mengenal Spons Laut (Demospongiae) Secara Umum. Oseana, 21(2):
15-31.
Amir, I. 1991. Fauna Sepon (porifera) dari Terumbu Karang Genteng Besar , Pulau-pulau Seribu. Oseanologi
di Indonesia 24. Jakarta, p. 103-104, 107, 118.
Bergquist, P.R. 1978. Sponss. Hutchinson. London, 268 pp.
Bhakuni, D.S., & Rawat, D.S. 2005. Bioactive Marine Natural Products. Anamaya, India.
BKSDA. 2009. Taman Wisata Alam Pulau Kapoposang (online), (http://.www.ditjenphka.go,id.kawasa.html.
diakses 12 Februari 2009).Brown, B.E. & Scoffin, T.B. 1986. Human induced damage to coral reef.
Diponegoro University Semarang and National Institute Oceanology, 42 pp.
Cetkovic & Lada. 2003. Protein from the Marine Spons Suberites domuncula. Food Technology and
Biotechnology, (41)4: 361.
Clarke, S. 2003. Modern Medical Microbiology The Fundamental. Arnold Members Of Hodder Headline,
London UK, p. 83-85.
Cole, G.A. 1988. Textbook of Limnology. Third edition. Waveland Press, Inc., Illinois, USA.
Darby, E. 1995. A. Tutorial Superficial Fungal Infection of The Skin, (Online). http://www.lookshark.com/
showcase/fungus/versicolor.htm. diakses 7 Februari 2009).
Dewi, A.S., Kustiariyah, T., & Uria, A.R. 2008. Marine Natural Products and Impacts on the Sustainable
Development in Indonesia. Proceeding of Indonesian Students’ Scientific Meeting. Delft, Netherland.
1035
Variasi aktivitas kandungan metabolit sekunder spons ... (Ruzkiah Asaf)
Djide, N., Sartini, & Kadir, S. 2004. Analisis Mikrobiologi Farmasi. Laboratorium Mikrobiologi Farmasi.
FMIPA UNHAS, Makassar, hlm. 283-284.
Duchassaing. 1864. Sponss Callyspongia fallax. http://www.Coralpedia.bio.Warwick.ac.uk/en/
sponss.htm. Diakses 20 Agustus 2009.
Duckworth, A.R., Battershill, C.N., Schiel, D.R., & Berquist, P.R. 1997. Influence of Explant Producers
and Environmental Factors on Cultur Succes of Three Sponss. Quensland Museum.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. English, S.C.; Wilkinson and Baker, V., 1997.
Survei Manual for Tropical Marine Resources. Asean. ASEAN Australia Marine Science Project: Living
Coastal Resources.
Entjang, I. 2003. Mikrobiologi & Parasitologi. PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 100-101.
Faulkner, D.J. 2000. Marine Natural Products. Nat. Prod.Rep., 17: 7-55.
Ganiswara, S. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran.
Universitas Indonesia. Jakarta, hlm. 572-573.
Guyot, M. 2000. “Intricate aspects of spons chemistry”. ZOOSYSTEMA, 22: 419-431
Hanani, E., Mun’im, A., Sekarini, R., & Wiryowidagdo, S. 2005. Uji aktivitas antioksidant beberapa
spons laut dari Kepulauan Seribu. Jurnal Bahan Alam Indonesia, 5(1): 5-12.
Hardbone, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern Mengekstraksi Tumbuhan. Edisi II.
Penerbit ITB Bandung.
Harper, M.K., Bugni, T.S., Copp, B.R., James, R.D., Lindsay, B.S., Richadson, A.D., Schnabel, P.C. P.C.,
Tasdemir, D., van Wangoner, R.M., Verbitski, S.M., & Ireland, C.M. 2001. Introduction to the chemical
ecology of marine natural product, Marine Chemical Ecology (James, B. McClintock & Bill J. Baker
(Eds.) CRC Press USA. p. 3-29.
Haslam, S.M. 1995. River Pollution and Ecological Perspective. John Willey and Sons, Chichester, UK.
Hutagalung, H.P. & Rozak, A. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota Laut. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Jeffries, M. & Mills, D. 1996. Freshwater Ecology, Principles, and Aplications. John Wiley and Sons,
Chichester, UK.
Janiel, Wulff. 2000. Spons Predators May Determine Differences In Spons Fauna Between Two Sets Of
Mangrove Cays. Belize Barrier Reef. Washington, D.C., U.S.A.
Kencanawati, N. 1993. Ekstraksi Senyawa Aktif dari Famili Euphorbiaceae serta Pengaruhnya terhadap
Pertumbuhan Bakteri Eschercia coli dan Staphylococcus aureus. FMIPA. Institute Pertanian Bogor.
Kobayashi, M. & Rachmaniar, R. 1999. Overview Of Marine Natural Product Chemistry Prosidings.
Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia 1998, Jakarta, 14-15 Oktober 1998, hlm. 151-158.
Koesbiono. 1981. Biologi Laut. Fakultas perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lawson, M.P., Bergquist, P.R., & Cambie, R.C. 1984. Fattayacid Composition and The Classification of
The Porifera. Biochem. System and Ecol., 12(4): 375-394.
Lee, Y.K. & Lee, J.H. 2001. Microbial Symbiosis in Marine Sponss. (http://mamidi.kord.re.kr/paper/
jm01-symbio.pdf) Diakses 20 Agustus 2009).
Mahon, C.R. & Manuselis, G. 1995. Textbook of Diagnostic Microbiology. W.B. Saunders Company,
Tokyo.
Mayer, A.M.S. 1999. Marine Pharmacology in 1998 : Antitumor and Cytotoxic Compounds. The
Pharmacologist, 41(4): 159-164.
McNeely, R.N., Nelmanis, V.P., & Dwyer, L. 1979. Water Quality Source Book A Guide to Water Quality
Parameter. Inland Water Directorate. Water Quality Branch. Ottawa.
Munro, M.H.G., Luibrand, R.T., & Blunt, J.W. 1987. The Search for Antiviral and Anticancer Compounds
from Marine Organism. In Scheuer, P.J. Bioorganic Marine Chemistry. Springer-Verlag, Berlin, 1: 94165.
Nontji, A. & Djamali, A. 1980. Teluk Jakarta. Pengkajian Fisika, kimia, Biologi dan Geologi Tahun
1975-1979. Lembaga Oseanologi Nasional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Cetakan ke 3. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
1036
Nontji, A. & Satari, R. 1996. Potensi Pengembangan Bioteknologi Kelautan di Indonesia. Dalam
Herunadi, B., Mudita, I., & Udrekh (Eds.) Prosiding Konvensi Nasional Pembangunan Benua Maritim
Indonesia dalam Rangka Mengaktualisasikan Wawasan Nusantara, Makassar, 18-19 Desember 1996,
hlm. 49-56.
Noor, A. 2007. Riset Kelautan Berorientasi Terapan : Keperluan Mendesak Bagi Kawasan Timur
Indonesia. Kongres Ilmu Pengetahuan Wilayah Untuk Kawasan Timur Indonesia. Pusat Kegiatan
Penelitian Universitas Hasanuddin, Makassar, 23-24 April.
Novotny, V. & Olem, H. 1994. Water Quality, Prevention, Identification and Management of Diffuse
Pollution. Van Nostrans Reinhold. New York.
Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia. Jakarta.
Parenrengi, A., Suryati, E., Dalfiah, & Rosmiati. 1999. Studi Toksisitas Ekstrak Spons Auletta sp.,
Callispongia sp., dan Callispongia pseudoreticulata Terhadap Nener Bandeng (Chanos chanos). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian, Jakarta. J. Pen. Perik. Indonesia, V(4).
Rogers, C.S., Garrison, G., Grober, R., Hillis, Z., & Ranke, M.A. 1994. Coral Reef Monitoring Manual for
the Carribean and Western Atlantic. Virgin Island National Park USVI.
Romimohtarto, K. & Juwana, S. 2005. Biologi Laut (Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut). Djambatan,
Jakarta, hlm. 114-120.
Rosmiati & Suryati, E. 2001. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Bioaktif Spons (Callyspongia pseudoreticulata)
terhadap bakteri patogen dan udang. Balai Penelitian, Maros. J. Bioteknologi Pertanian, 6: 16-21.
Ryan, M.J. 2007. Novel Secondary Metabolites from New Zealand Marine Sponss. University of
Wellington, Victoria.
Sapar, A. & Kumanireng, A.S. 2004. Isolasi dan Penentuan Struktur Metabolit Sekunder Aktif Dari
Spons Biemma Triraphis Asal Pulau Kapodasang (Kepulauan Spermonde). Makassar. Marina Chimica
Acta, 6(1).
Satari, R.R. 1999. Penelitian Produk alam laut di Indonesia, arah dan prospek. Seminar Nasional Kimia
Bahan Alam. Jakarta, hlm. 29-37.
SmallCrab.com. 2008. Karakteristik Candida albicans. http://www.smalcrab.com/kesehatan/25—
healthy415-karak-candida-albicans . Diakses 20 Agustus 2009.
Soest, R.W.M. & Braekman, J.C. 1999. Chemosystematics of Porifera: A review. Mem. Queensl. Mus., 44:
569-589.
Suharyanto, Parenrengi, A., & Suryati, E. 1997. Kelimpahan Spons Pada Kedalaman yang berbeda di
Perairan Teluk Labuange Kabupaten Barru. Sulawesi Selatan. Laporan Penelitian. Balai Penelitian
Perikanan Pantai, Maros, 10 hlm.
Suharyanto. 1998. Studi Distribusi dan Persentasi Penutupan Spons Pada Kedalaman dan Kondisi
Terumbu Karang yang Berbeda di Perairan Pulau Barrang Lompo. Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin.
Suparno. 2005. Kajian Bioaktif Spons Laut (Porifera: Demospongiae) Suatu Peluang Alternatif Pemanfaatan
Ekosistem Karang Indonesia dalam Bidang Farmasi, (Online), (http://www.tumoutou.net/
pps702_10245/suparno.pdf., diakses 7 Januari 2009).
Storr. 1976. Ecological; Factors controlling spons distribution in the gulf of Mexicomand the resulting
zonation. In F.W. Harrison and R.R. Cowden (Eds). Aspec of spons Biology. A Subsidiary of Harcourt
Brace Jovanovich, Publishers. Academic press. New York. San Fransisco. London, p. 261-276.
Tomascik, T., Mah, A.J., Nontji, A., & Moosa, M.K. 1997. The Ecology of the Indonesia Seas. Part One.
The Ecology of Indonesian Series Vol. VII. Periplus Edition (HK) Ltd.
Webster, N. 2003. Sponss (http://www.aad.gov.au/default.asp/ ? casid = 5942. Diakses 19 Agustus
2009.
Wetzel, R.G. 1975. Limnology. W.B. Saunders Co. Philadelphia, Pennsylvania.
Widjoyo, 2001. Zoologi Dasar. Erlangga, Jakarta.
Download