PEMBAHARUAN PENDIDIKAN DI SD: PEMBELAJARAN PENGENDALIAN DIRI SEDINI MUNGKIN Dinar Dinangsit Abstrak Pengendalian diri (self-control), yang termasuk ke dalam tujuan pendidikan nasional harus dididik sedini mungkin. Kemampuan untuk mengekang atau mengendalikan desakan impuls adalah esensi pengendalian diri, yang merupakan komponen dari karakter kinerja dan karakter moral, yang teruji melalui banyak penelitian. Pengendalian diri sangat esensial dalam pendidikan karena menentukan keberhasilan hidup seseorang kelak di masa yang akan datang. Seluruh proses interaksi pendidik dan peserta didik, termasuk dalam proses pembelajaran, hendaknya disesuaikan dengan karakteristik peserta didik. Pengetahuan, berdasarkan kajian neurosains, merupakan pangkal inovasi untuk membina perilaku yang diarahkan pada kemampuan mengendalikan diri agar sejak usia dini anak dapat memahami setiap perbuatan selalu ada konsekuensinya, “Jika—Maka.” Kata kunci: self control, impuls, karakter kinerja, karakter moral. 151 A. Tujuan Pendidikan Pendidikan selalu berorientasi jauh ke masa depan. Sebagai upaya berencana dan sadar, pendidikan bertujuan untuk membina seluruh potensi individu agar mampu hidup secara produktif. Itulah sebabnya, dalam setiap tujuan pendidikan— pendidikan nasional—selalu dijumpai seperangkat perubahan yang diharapkan berkenaan dengan manusia seutuhnya. Di dalamnya terkandung sosok ideal individu sebagai warga masyarakat yang setia mengusung nilai budaya sebagai pedoman hidup. Sosok ideal itu mencakup aspek fisik, mental, intelektual, dan psiritual. Hal ini jelas dan nyata dapat kita simak dalam rumusan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sedemikian rupa supaya peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya secara aktif supaya memiliki pengendalian diri, kecerdasan, keterampilan dalam bermasyarakat, kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian serta akhlak mulia (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003). Tujuan pendidikan bersifat abstrak dan berjangka panjang, sehingga ketercapaiannya bergantung banyak pada langkah-langkah kecil melalui proses belajar mengajar di dalam dan/atau di luar kelas, melalui program intra dan ekstrakurikuler. Keseluruhan proses itu merupakan tindak nyata yang melibatkan interaksi antara pendidik dan peserta didik. Pendidik secara sadar dan selalu merujuk pada tujuan (mislanya, tujuan instruksional), dan peserta didik secara suka rela, dan penuh respek terhadap pendidik. Salah satu komponen atribut pribadi ideal yang akan penulis bahas dalam makalah ini adalah pengendalian diri. Tentu saja pemilihan atribut ideal ini ada alasannya yang kuat. Selain, memang, untuk kepentingan pribadi individu yang bersangkutan agar kelah menjadi manusia yang berguna yang memiliki kecakapan hidup untuk mampu survive secara biologis (mislanya, memiliki sumber mata pencaharian), seseorang individu jangan sampai memberatkan masyarakat di sekitarnya. Hal ini karena individu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan masyarakat di sekitarnya, sesuai dengan tabiat manusia sebagai mahluk sosial. B. Teori Pengendalian Diri (selfcontrol) Konsep pengendalian diri atau disebut self-control muncul, terkait potensi perbuatan individu yang mengarah kepada perbuatan a-susila, dan mencelakakan diri sendiri. Makan berlebihan, merupakan contoh sederhana, tetapi tanpa terkendali akan menjelma menjadi mudarat. Goleman (2014), pakar kecerdasan emosional, menjelaskan bahwa self- 152 control merupakan konsep yang amat esensial karena menjadi landasan inteligensia emosional. Pengendalian diri itu menjadi dasar bagi kecakapan mengelola emosi. Dalam hidup, tak terhindarkan, kita berhadapan dengan emosi yang negatif seperti marah, kecewa, frustasi. Demikian pula yang bersifat positif, seperti gembira, merasa puas. Kesemuanya harus dikelola dnegan baik sehingga bermanfaat bagi diri pribadi dan orang lain. Self-control juga disebut sebagai daya bagi kemauan yang menggerakkan seseorang berbuat, tetapi di sini lebih bersifat pada kemampuan untuk menunda pemuasan keingginan. Oleh Mischell ( 2014), hal ini disebut “delay gratification”. Implikasi kemampuan tersebut sangat luas pada pengendalian perilaku, apapaun, termasuk perilaku terkait pola konsumsi tidak sehat (Lewis, 2014), perilaku kriminal dan sejenisnya. Yang utama pula adalah ketekunan (persistence) yang melandasi keberhasilan para atlet menjalani latihan berat (Mischel, 2014). Selfcontrol ada kaitannya dengan motivasi. Mischel (2014) menjelaskan, konsep self control yang melandasi penelitiannya pada awal 1960-an di Universitas Stanford, pada dasarnya merupakan kemampuan untuk menunda pemuasan dorongan memenuhi keinginan, dan self control itu merupakan kemampuan kognitif yang dapat dipelajari dan dikuasai. Keterampilan ini nyata tampak dan dapat diukur pada masa usia dini, tetapi dampaknya bersifat jangka panjang yang menentukan kesejahteraan hidup seseorang di masa yang akan datang, termasuk kesehatan mental dan fisiknya selama hidupnya. Dari sudut pandang pendidikan, keterampilan ini dapat diajarkan atau dididik. Berdasarkan penjelasan Mischel (2014) mampu tidaknya anak usia dini itu menunda pemuasan keinginannya merupakan prediktor kehidupan mereka kelak. Semakin lama mereka mampu menunda pemenuhan keinginnnya ketika berusia 4-5 tahun itu, kian tinggi skor SAT dan kemampuan sosial serta kognitifnya ketika sudah menginjak masa adolesens. Selanjutnya, ketika berusia 27-32 tahun, kata Mischel, mereka yang mampu lebih lama menunggu (makan kueh kembang gula) ketika mengikuti tes Marshmallow di taman kanak-kanak itu menunjukkan indeks masa tubuh yang lebih rendah, dan lebih baik dalam menilai diri, lebih efektif dalam berusaha mengejar tujuannya, dan lebih mampu mengatasi frustasi dan stres. Pada usia setengah baya, kata Mischel, mereka yang lebih mampu menunda (waktunya lebih lama) bila dibandingkan dengan yang tidak mampu menunda keingiginannya ditandai dengan perbedaan nyata bila dipindai daerah 153 otaknya yang berkaitan dengan adiksi dan obesitas. Mischel berteori self-control ini ada kaitannya dengan will power, seperti halnya para atlet Olimpiade yang tekun berlatih. Beberapa di antaranya berusaha untuk menghindari makanan tidak sehat, tetapi tetap juga melakukannya meski diawali dengan tekad yang kuat. Mischel menjelaskan, menunda pemenuhan keinginan (delay gratification) merupakan masalah klasik sejak zaman antik, pencerahan, era Freud hingga sekarang ini. Yang menjadi topik perilaku adalah perilaku impulsif, tidak mampu menunda penuasan keinginan dan selalu ingin sesegera mungkin memuaskan keinginan Steinberg (2015), pakar psikologi, khususnya tentang adolesen mengemukakan sebuah proposisi, bahwa “hidup ini secara terus menerus menghadirkan kepada kita pilihan antara perolehan sedikit pada saat sekarang dan ganjaran yang lebih banyak tetapi harus menunggu. “ Dalam versi lain, Steinberg menggunakan tes yang dia sebut “now or later”, atau “sekarang atau nanti.” Tidak seperti halnya Marshmallow Test, Steinberg mengembangkan tes yakni orang dihadapkan dengan pilihan hipotetis antara dua jumlah uang yang berbeda, dan ditanya apa ia ingin memilih uang segera meski jumlahnya sedikit ($200, besok) atau jumlah yang lebih besar tetapi diambil lama kemudian ($1.000, setahun). Bila seseorang memilih jumlah besar, maka ia dihadapkan kembali dengan pilihan baru, perolehan segera dengan besarya setengah dari jumlah kedua pilihan terdahulu, yakni $600 diambil besok, dan $1.000 diambil setahun kemudian. Bila seseorang memilih tawaran baru, maka ia didesak, dihadapkan, kembali dengan jumlah yang lebih kecil, tawaran lama ($200) ditambah tawaran baru ($600) dibagi dua, jadi $400 yang ambil besok versus $1.000 ambil setahun kemudian. Prosedur ini berlanjut hingga sampai pada jumlah uang yang diterima segera dan yang ditunda dirasakan sama oleh subyek eksperimen. Hal ini, oleh Steinberg, disebut “indifference point”, dan setiap orang memiliki rasa yang berbeda-beda. Steinberg mengatakan, pada abad ke-21 jika Anda tidak termasuk “delayer” (penunda gratifikasi), Anda akan menghadapi masa yang keras. Pada mereka yang tergolong “delay discounting” yang memiliki self conrol yang kuat atau kurang sensitif terhadap sistem ganjaran, --atau kedua-duanya bagus—mereka akan menjadi orang yang sukses. Steinberg juga mengatakan, jika dalam Marshmallow Test anak hanya menunggu 15 menit, tetapi menunggu 15 tahun C. Teori Impuls 154 David Lewis (2013) membahas psikologi impulsivitas. Mengawali uraiannya, Lewis menjelaskan bahwa kita sering menganggap diri kita bertindak setelah dipikirkan masakmasak. Dalam kenyataannya, tindakan kita berlangsung seolah tanpa disadari atau mindelss ketimbang hasil pertimbangan matang atau mindful. Lewis menggambarkan betapa sering kita mengumbar kemarahan, mengikuti nafsu, berbicara atau berbuat impulsif. Kita tergesa-gesa dalam membuat keputusan, meloncat pada kesimpulan tanpa data, dan lebih percaya kepada perasaan ketimbang analisis rasional. Selfcontrol pada gilirannya penting untuk membimbing keputusan, misalnya jangan sampai salah memilih teman hidup, membeli sesuatu yang belum tentu digunakan, ambil resiko terkait keuangan, atau menyantap makanan lezat berkalori tinggi yang menyebabkan ukuran pinggang bertambah atau pada perilaku lainnya yang membahayakan kesehatan. Sebuah proposisi yang menarik yang dikemukakan oleh Lewis adalah “Impuls lie at the root of most personal and social problems ranging from obesity, alcohol and drug abuse, overspending, unwanted pregnancies, smoking, emotional problem, dysfunctional relationship, and schooll achievement to a failure in achieving cherished life goals.” Dengan kata lain, impuls merupakan akar kebanyakan masalah pribadi dan sosial mulai dari obesitas, madat alkohol dan narkoba, terlilit utang [besar pengeluaran daripada pemasukan], kehamilan yang tidak dikehendaki [pergaulan bebas di kalangan remaja], merokok, masalah emosi, hubungan tidak harmonis [dalam keluarga] dan prestasi belajar di sekolah hingga kegagalan mencapai tujuan [kebahagiaan] hidup. D.Karakteristik Peserta Didik Dalam perkembangan terakhir pengetahuan yang bersumber pada neurosains banyak membantu untuk memahami perilaku peserta didik. Seiring dengan perubahan sosial di sekitar sekolah, beban para guru juga meningkat. Namun, seperti penjelasan Levine (2012) dewasa ini, seperti di AS justru sekolah menjadi sumber utama tekanan dalam kehidupan anak. Beban belajar yang berat dan tuntutan sukses yang menekankan prestasi akademik, masuk sekolah favorit, menjadi biang kegagalan para siswa. Karena itu, kata Levine, perlu dipahami dan dirumuskan kembali indikator “sukses” dalam kehidupan sekarang ini. Dengan demikian tugas kaum pendidik adalah membantu anak-anak untuk segera mulai belajar untuk mengetahui dan mengapresiasi dirinya secara mendalam. Kata Levine, anak-anak dididik untuk menghadapi dunia dengan penuh semangat, menemukan kegiatan 155 yang menarik dan memuaskan, berteman, hingga berkeluarga yang saling mencintai dan loyal. 1. Anak Usia Sekolah Dasar Pada anak usia sekolah dasar, para pendidik harus memulai untuk menanamkan kebiasaan mematuhi ketentuan atau norma perilaku. Mereka sudah mulai belajar bersosialisasi, bergaul dalam kelompok. Pada usia ini anak-anak sudah mulai senang belajar. Mereka lebih tertarik pada pengalaman nyata, dan belum dapat berpikir abstrak. Itulah sebabnya mereka lebih mudah menangkap pelajaran jika substansinya berkaitan langsung dengan pengalaman nyata seperti mengenal langsung tumbuhtumbuhan, hewan, dan pengalaman lainnya. Usia SD membutuhkan rangsangan fisik untuk memperkuat sinaps atau sambungan saraf. Mereka sangat memerlukan aktivitas jasmani dan kegiatan bermain sebab rangsangan itu sangat positif untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan emosional serta sosial. 2. Anak Usia SMP dan SMA Baik orang tua maupun guru sering dihadapkan dengan perilaku anak atau siswa yang sukar dipahami, apa alasannya. Masa pada usia SMP dan SMA sering disebut masa”pancaroba”. Pada usia ini mereka suka terlibat dalam perilaku beresiko akibat pengaruh hormon dopamin & seretonin sehingga lebih emosional dan responsif, seperti mangkir, bolos, agresif, tidak etis dan perilaku kekerasan. Perkelahian antarpelajaran atau tawuran banyak dipengaruhi oleh kondisi bio-psikologis. Pada usia ini yang menjadi masalah adalah perilaku beresiko bukan akibat persepsi terhadap resiko. Mereka lebih mengantisipasi ganjaran ketimbang resiko. Kata Jensen (2015), gratifikasi atau pemuasan keinginan menjadi penyebab utama perilaku peresiko pada anak adolesens. Mereka mudah sekali diperangkap oleh emosi yang berpusat pada sistem limbik dalam otak. Selain itu, masih ada kesenjangan perkembangan bagian sistem ini dengan bagian prontal yang merupakan pusat membuat pertimbangan, keputusan berdasarkan kalkulasi matang dan berorientasi jangka panjang. Jangan lupa, kata Jensen (2015), pada masa adolesens, usia SMP dan SMA bahwa otak bagian prontal lobe yang berfungsi untuk mengontrol perilaku beresiko masih kurang terkoneksi. Perhitungan tentang konsekuensi perbuatan, lemah sekali pada usia ini. Seperti dijelaskan Laurence (2015), anak usia adolesens, SMP dan SMA, mudah tergiur perilaku bersiko seperti alkohol, sigaret dan narkoba, atau bersepeda dan naik motor tanpa helm, adalah karena otak bagian prontal kurang berfungsi. Laurence juga menjelaskan, anak-anak usia SMA 156 membuat keputusan lebih baik ketika mereka tenang, dan menyadari bahwa mereka akan memperoleh manfaat lebih baik dari keputusan yang baik, Ketika mereka emosional, kata Laurence, daya pertimbangnnya rusak. Yang sering mempengaruhi keputusan ini adalah teman sepermainannya. Yang menjadi masalah berikutnya adalah bahwa anak usia SMP dan SMA berhadapan dengan masalah yang akarnya adalah kondisi biologis. Mereka susah tidur dan kemudian bangunnya selalu kesiangan. Yang menjadi penyebabnya adalah terlambatnya produksi hormon melatonin yang menyebabkan kita tertidur. Jensen (2015), pakar neurosains, menjelaskan, justru persoalan inilah yang banyak tidak diketahui oleh orang tua atau kaum pendidik. Jika lokasi antara rumah dan sekolah jauh masalahnya semakin rumit sebab perjalanan secara fisik terutama di daerah terpencil menimbulkan kelelahan. Kurang tidur dan lelah menyebabkan prestasi belajar menurun. Karena itu, sebenarnya diperlukan kebijakan khusus penyesuaian jam belajar yang fleksibel untuk disesuaikan dengan perilaku siswa yang diakibatkan oleh kondisi bipsikologis tadi. 3. Menjadi Dewasa di PT Setelah memasuki usia perguruan tinggi, seseorang dianggap matang baik secara fisik maupun mental. Mereka sudah siap menjadi deasadan mandiri. Kemampuan berpikir hipotesis sudah maju sehingga segala tindakannya berdasarkan pertimbangan matang. Namun yang menjadi masalah perilaku masa adolesens masih terlambat berakhir sehingga mereka, meskipun mahasiswa, terkadang perilakunya kekanak-kanakan, mudah terhasut dikuasai emosi ketimbang pertimbangan rasional. D. Model Pembelajaran Pengendalian Diri Yang pertama-tama diperbaiki, seperti penjelasan Laurence (2012) adalah mengubah citra berprestasi yang bukan semata dari aspek akademik. Kultur dalam sekolah harus diperbaiki berupa pemberian kesempatan bagi setiap siswa untuk sukses sesuai dengan potensinya, seperti dalam seni, musik, olahraga, menulis, meneliti dan lain-lain. Sasaran pembinaan paling utama adalah membiasakan siswa untuk mengendalikan impuls. Intinya adalah menahan diri untuk tidak serta merta bertindak, memenuhi dorongan keinginan. Pengalaman di Amerika akhirakhir ini menunjukkan semakin gencar upaya untuk memadukan pendidikan karakter ke dalam kegiatan akademik. Melalui program yang disebut “Knowledge Is Power Program” (KIPP) yang ingin dibina, seperti kata Laurence, yaitu pengembangan 7 karakter: semangat, 157 gigih, kontrol diri, optimis, rasa ingin tahu, ramah dan inteligensia sosial. Berbasis neurosains, pembelajaran sejak di SD ditekankan pada “pelatihan working memory.” Maksudnya, seperti dijelaskan oleh Laurence, working memory berarti memperoleh informasi dan menggunakannya, seperti menyimpan sebagian kalimat yang panjang dalam benak, sambil menyelesaikannya sehingga akhir kalimat itu bernas. Bisa juga sambil mengingat-ingat arah sambil mengemudi kendaraan sehingga kita dapat mengenal tanda-tanda jalan utama. Selanjutnya, menurut Laurence, working memory ini merupakan bagian penting dari fungsi eksekutif karena merupakan sesuatu yang esensial uuntuk merencanakan sesuatu ke depan, membuat beberapa kemungkinan tindakan pada suat saat, atau membandingkan konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang dari sebuah keputusan. Karena itu working memori ini sangat penting dalam pengendalian diri untuk menghentikan kita untuk berbuat sesuatu setelah mempertimbangkan masak-masak alternatif tujuan dalam jiwa kita. Yang diperhitungkan adalah prospek untuk memperoleh dua hal yang dinanti-nantikan. Latihan aerobik atau kebugaran jasmani kardiovaskular efektif juga untuk melatih kemampuan mengendalikan diri. Laurence menjelaskan, alasan utama dari mengapa program latihan aerobik efektif untuk melatih pengendalian diri karena aliran darah bertambah lancar dan kemudian berpengaruh positif terhadap fungsi kognitif pada semua tingkat usia. Satu pendekatan untuk melatih pengendalian diri di kalangan anak remaja adalah menyemangati mereka untuk menetapkan sebuah tujuan dan membayangkan konsekuensi positif dari pencapaian tujuan tersebut. Juga dipikirkan penghambatnya dan strategi untuk mengatasinya. Kemudian, semuanya ditulis dan komitmen verbal untuk melaksanakan strategi tersebut. Metode ini dinilai efektif berdasarkan banyak pengalaman. Dalam praktiknya para siswa diminta untuk menulis tujuan kegiatan akademik selama satu semester (misalnya, memperoleh nilai lebih baik dalam matematk). Mereka diminta untuk merencanakan apa yang harus dilakukannya ntuk menca[ai tujuan tersebut. Mereka juga diminta untuk meangantisipasi hal-hal yang menghambat pencapaian tujuan. E. Kesimpulan Di antara tujuan yang amat esensial dna menjadi bagian dari sosok karakter ideal adalah ekmampuan mengendalikan diri, terkait dengan kecakapan untuk menunda gratifikasi. Kemampuan ini harus dibina sedini mungkin karena berpengaruh kuat terhadap 158 keberhasilan hidup seseorang di masa yang akan datang. Pendidikan di sekolah berperan untuk mengantarkan anak meraih sukses dalam makna luas, tidak hanya keberhasilan akademik, melainkan untuk mengembangkan segenap potensi individu. Guru dan pendidik harus memahami karakteristik setiap individu sesuaid engan pertmbuhan dan perkembangannya. Masa adolesens, usia SMP dan SMA merupakan fase kritis, tetapi juag sebuah peluang untuk berkembang. Guru dan pendidik jangan terlalu bersikap dan bereaksi berlebihan terhadap perilaku anak pada usia ini, yang cenderung impulsif dan agresif, mudah terperangkap pada emosi. Persoalannya adalah, pada usia tersebut, otak bagian preprontal lobe yang menjadi pusat berpikir dan mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang belum berkembang. Pengendalian diri dapat dilatih dengan beberapa metode. Di antaranya adalah, pembinaan kebugaran efektif untuk memperlancar peredaran darah yang berpengaruh positif terhadap aliran darah pada otak. Pelatihan berikutnya yang tidak sukar dilakukan adalah, siswa diminta untuk membuat rencana jangka panjang, misalnya bagaimana meningkatkan prestasi belajar dalam matematik. Di samping perumusan tujuan yang ingin dicapai, mereka diminta untuk memikirkan hambatan mencapainya, dan strategi untuk mengatasinya. Melengkapi perencanaan itu mereka juga diminta untuk menegaskan komitmen guna melaksanakan semua rencana tersebut. KEPUSTAKAAN Goleman, Daniel (2013). Focus: The Hidden Driver of Excellence. New York: Harper Collins Publishers. Jensen, France E. (2015). The Teenage Brain. London: Harper Collins Publisher. Laurence, Steinberg (2014). Age of Opportinity; Lesson from New Science of Adolesence. Boston & New York: Mariner Book. Levin, Madeline (2012). Teach Your Chidern Well. New York:Harper Perennial. Lewis, David. (2014). London: Random House. Impuls. Mischel, Walter (2014). The Marshmallow Test: Mastering Self Control. New York: Litlle, Brown and Company. 159