tema utama REPUBLIKA ● AHAD, 20 MARET 2011 B6 FLICKR ACADEMIC tema utama REPUBLIKA ● AHAD, 20 MARET 2011 Dari Tata Negara Imarah, Imamah, dan Khilafah Hingga Politik Luar Negeri Oleh Nidia Zuraya MENURUT HAIKAL, ISLAM TIDAK MENETAPKAN SIS- Sejarah Ketatanegaraan Peradaban Islam PIAGAM MADINAH MERUPAKAN KONSTITUSI NEGARA TERTULIS PERTAMA DI DUNIA. ZTNEWSTODAY.COM Oleh Nidia Zuraya elora revolusi tengah menghinggapi negaranegara Islam di Semenanjung Arab dan Maghribi. Rakyat di sejumlah negara berpenduduk Muslim di wilayah itu menuntut perubahan sistem pemerintahan dan kepemimpinan. Ada yang menginginkan demokrasi dan ada pula yang ingin kembali menerapkan sistem pemerintahan Islam. Lalu, seperti apakah sebenarnya sistem pemerintahan dalam Islam itu? Menurut Prof Ahmad Sukardja dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Ajaran, sistem pemerintahan Islam sudah dimulai pada era Rasulullah SAW. Sebagai utusan Allah SWT, Muhammad SAW bertugas menyampaikan wahyu, menyebarluaskan Islam, dan memimpin masyarakat Islam. Pada periode Madinah, Rasulullah SAW mulai menata kehidupan bermasyarakat hingga kehidupan bernegara. Semua pemikir Muslim sepakat bahwa Madinah merupakan contoh negara Islam pertama. Kehidupan bernegara yang dibangun oleh umat Islam generasi pertama itu dimulai ketika Nabi SAW dan umat Islam hijrah ke Yatsrib—kini Madinah. Di kota Madinah itulah, lahir komunitas Islam yang bebas dan merdeka di bawah pimpinan Nabi SAW. Mereka terdiri dari kaum Muhajirin, Muslimin yang hijrah dari Makkah ke Madinah dan kaum Anshar, Muslimin penduduk asli Madinah. Selain umat Islam, waktu itu di Kota Madinah dan sekitarnya terdapat komunitas lain, yaitu kelompok Yahudi dan suku Arab yang belum memeluk Islam. Dengan banyaknya komunitas yang berbeda itu, masyarakat Madinah adalah masyarakat yang majemuk. Di bawah kendali dan kepemimpinan Rasulullah SAW, umat Islam di Madinah kemudian membentuk kesatuan hidup politik di tengah masyarakat yang majemuk. Menurut Prof Sukardja, saat itu, belum ada teori politik yang dijadikan dasar dan dipraktikkan oleh Nabi SAW dan umat Islam dalam menjalankan sistem kehidupan bernegara. “Yang terjadi di lapangan pada masa itu adalah praktik politik dalam bentuk perwujudan potensi dan etika politik yang terkandung dalam Alquran dan kebijaksanaan Nabi SAW. Praktik politik seperti itu dilanjutkan oleh para sahabat setelah Nabi SAW wafat,” paparnya. G Piagam Madinah Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Oleh Nidia Zuraya enurut Prof Ahmad Sukardja, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Ajaran, fikih siyasah adalah salah satu disiplin ilmu tentang seluk-beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, berupa hukum, peraturan, dan kebijakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang berlandaskan ajaran Islam. ‘’Dalam istilah dunia modern fikih siyasah ini disebut juga sebagai ilmu tata negara yang berdasarkan ajaran Islam,’’ ujar Prof Sukardja. Dalam Alquran terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk dan pedoman hidup atau prinsip dan tata nilai etika tentang cara hidup bermasyarakat dan bernegara. Alquran mengajarkan antara lain prinsip tauhid, permusyawaratan, ketaatan kepada pimpinan, persamaan, keadilan, kebebasan beragama, dan sikap saling menghormati antarsesama manusia. Tetapi, Alquran tidak menetapkan satu sistem pemerintahan yang baku yang harus dianut umat Islam, kapan dan di mana pun mereka berada. Kajian mengenai sistem dan tatalaksana pemerintahan itu berkembang dan berbeda dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu masa ke masa yang lain, sesuai dengan kondisi dan situasi yang berbeda-beda. M Fikih Siyasah Negara, mengungkapkan, belum genap dua tahun dari kedatangan Nabi SAW di kota Madinah, Nabi SAW memaklumkan piagam yang mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas yang majemuk itu. Piagam tersebut kemudian dikenal dengan Piagam Madinah. Dr Muhammad Hamidullah, menyebutnya al-Qanun li ad-Daulah al-Baladiyah bi al-Madinah (Undang-Undang Dasar Negara Kota Madinah). Sedangkan, orientalis dan sejarawan utama tentang Islam di dunia Barat, William Montgomery Watt, menyebut Piagam Madinah itu The Constitution of Medina. Watt dan Hamidullah membagi naskah piagam itu menjadi 47 pasal. Bahkan, Watt menambahkan bahwa dokumen ini diakui autentik secara umum. Adanya Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah merupakan salah satu bukti bahwa pada masa Rasulullah SAW telah terbentuk negara yang merupakan negara pertama dalam sejarah ketatanegaraan umat Islam. Muhammad Hamidullah dalam bukunya Majmu’ah alWasa’iq al-Siyasiyyah li al-’Ahd an-Nabawi wa al-Khilafah al-Rasyidah, memaparkan, negara Madinah yang awalnya Hal-hal yang menyangkut ketatanegaraan ini bisa ditemukan dalam fikih (hukum) Islam, yang sumber utamanya adalah Alquran dan sunah. Istilah yang digunakan untuk menyebut bidang ini adalah fikih siyasah. Istilah lainnya adalah siyasah syar’iyyah al-khilafah (pemerintahan), dan al-ahkam as-sultaniyah (hukum pemerintahan). Menurut Abdurrahman Taj dalam tulisannya yang bertajuk as-Siyasah al-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami, siyasah dilihat dari sumbernya dapat dibagi dua, yaitu siyasah syar’iyyah dan siyasah wad’iyyah. ● Siyasah Syar’iyyah Secara etimologis, siyasah syar’iyyah dapat diartikan sebagai peraturan atau politik yang bersifat syar’i, yaitu suatu bentuk kebijakan negara yang sejalan dan tidak bertentangan dengan ketentuan Allah SWT dan rasul-Nya (peraturan islami). Abdurrahman Taj berpendapat bahwa setiap umat atau bangsa di berbagai penjuru dunia boleh mempunyai politik dan hukum yang spesifik sesuai dengan adat, tatanan kehidupan, dan tingkat kemajuannya. Menurutnya, yang dimaksud dengan siyasah syar’iyyah adalah nama bagi hukum yang digunakan untuk mengatur alat kelengkapan negara dan urusan masyarakat yang sejalan dengan jiwa dan prinsip dasar syariat yang uni- Sistem monarki Setelah berakhirnya era kepemimipin Khulafa arRasyidin, Mu’awiyah tampil sebagai khalifah, tanpa melalui prosedur musyawarah, tetapi melalui kemampuan upaya pribadi dan pendukungnya. Ia merintis sistem monarki atau kerajaan dengan jabatan kepala negara yang turun-temurun, dimulai dari penunjukkan Yazid, anaknya, sebagai calon penggantinya. Sistem pemerintahan monarki yang dirintis oleh Mu’awiyah ini terus berlangsung hingga Dinasti Abbasiyah. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah institusi pemerintahan dikembangkan dan pengaruh asing masuk ke dalam tata pemerintahan umat Islam. Mu’awiyah (pendiri Dinasti Umayyah) banyak memakai pola pemerintahan dari Kekaisaran Bizantium (Romawi Timur). Berbagai formalitas dan peraturan protokoler mulai diberlakukan. Jabatan Hajib (kepala protokoler istana) diadakan. Ia bertugas mengatur pertemuan atau audiensi dengan khalifah, baik bagi para pejabat tinggi negara maupun anggota masyarakat atau tamu luar. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah runtuh pada tahun 1258 setelah dikalahkan dan dihancurkan oleh bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan. Sejak itu, dunia Islam tidak lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh seluruh umat Islam. ■ ed: heri ruslan versal guna merealisasikan cita-cita kemasyarakatan, kendati hal itu tidak ditunjukkan oleh nas tafsili (terperinci) dan juz’i (partikular), baik dalam Alquran maupun dalam sunah. Menurut Ibnu Aqil, ahli fikih dari Baghdad, siyasah syar’iyyah adalah suatu tindakan yang secara praktis membawa manusia dekat kepada kemaslahatan dan terhindar dari kerusakan, kendatipun Rasulullah SAW sendiri tidak menetapkannya dan wahyu mengenai hal itu tidak turun. Dari dua definisi siyasah syar’iyyah tersebut dapat dipahami bahwa para pemegang tampuk kekuasaan (pemerintah, ulil amri, atau wulat alamr) di samping memiliki kompetensi untuk menerapkan hukum Allah juga memiliki kewenangan untuk membuat berbagai peraturan hukum berkenaan dengan hal yang tidak diatur syariat secara eksplisit dan terperinci. Untuk itu, diperlukan kajian ijtihad sebagai penjelasan lebih lanjut terhadap tuntutan nas dan sebagai jawaban terhadap berbagai persoalan yang secara langsung belum tersentuh oleh kedua sumber hukum utama, yakni Alquran dan hadis. ● Siyasah Wad’iyyah Yang dimaksud dengan siyasah wad’iyyah adalah perundang-undangan yang dibuat sebagai instrumen untuk mengatur seluruh kepentingan masyarakat. Dari definisi terse- but, bisa dikatakan bahwa bentuk formal dari siyasah wad’iyyah berupa berbagai bentuk kebijaksanaan dan peraturan perundangundangan negara dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah. Sementara itu, subjek pembuat berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan adalah institusi yang berwenang dalam suatu negara. Dan, tujuan dari pembuatan peraturan kebijakan adalah terciptanya keteraturan tata tertib kehidupan dalam berbangsa dan bernegara sehingga cita-cita negara yang didambakan dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata. Bentuk formal siyasah wad’iyyah dalam konteks negara Indonesia adalah bentuk peraturan perundang-undangan, mulai dari yang paling tinggi (UUD 1945) sampai yang paling rendah, yaitu peraturan pelaksana. Subjek pembuatnya adalah lembaga yang berwenang, antara lain MPR, DPR, dan presiden. Tujuan yang hendak dicapai adalah terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Lalu dapatkah peraturan perundang-undangan yang bersumber dari manusia dan lingkungannya itu bernilai dan dikategorikan sebagai siyasah syar’iyyah? Jawabannya dapat, dengan syarat peraturan buatan penguasa yang bersumber dari manusia dan lingkungannya itu sejalan atau tidak bertentangan dengan syariat. ■ ed: heri ruslan TEM PEMERINTAHAN TERTENTU, TETAPI MENETAPKAN PRINSIP-PRINSIP BAGI PEMERINTAHAN YANG BERKEMBANG DALAM SEJARAH. WORLDHISTORYPLUS.COM WIKIMEDIA Oleh Nidia Zuraya S marah, imamah, dan khilafah adalah bagian istilah dari konsep-konsep siyasah yang berkembang dalam sejarah ketatanegaraan umat Islam. Menurut Ibnu Manzur, secara etimologis kata imarah berasal dari kata amara yang berarti “memerintah”. Selanjutnya, kata imarah ini digunakan untuk menyebut suatu wilayah atau negara kecil yang berdaulat dan dipimpin oleh seorang amir. Kata imamah berasal dari kata amma yang berarti “mengimami atau memimpin”. Adapun kata khilafah berasal dari kata khalafa yang berarti “seseorang yang menggantikan kedudukan orang lain”, seperti perkataan Nabi Musa AS kepada saudaranya, yaitu Harun, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku.” Imarah, imamah, dan khilafah merupakan tiga kata yang berbeda satu sama lain. Tetapi, esensi yang dikehendaki oleh ketiganya pada hakikatnya sama, yaitu semuanya mengacu kepada kepemimpinan atau pemerintahan yang bernuansa agama. Al-Mawardi, seorang ahli fikih yang hidup pada era 9751058 M, dalam karyanya al-Ahkam al-Sultaniyyah (HukumHukum Pemerintahan) menggunakan ketiga istilah itu secara bergantian. Tetapi, pemakaian istilah khilafah dan imamah lebih populer dalam berbagai literatur fikih dibandingkan dengan istilah imarah. Sementara itu, ulama Mesir Muhammad Rasyid Rida memberikan pengertian yang sama kepada khilafah, imamah, dan imarah, yaitu suatu model pemerintahan yang berfungsi untuk menegakkan agama dan urusan dunia. Menurut Ibnu Khaldun, khilafah adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat. Karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, seluruh kemaslahatan dunia harus berpedoman kepada syariat. ■ ed: heri ruslan I IMAGESHACK berbentuk kota, makin lama makin bertambah luas. Menurut dia, wilayah Madinah dikuasai dan dipimpin secara efektif oleh Muhammad SAW selaku kepala negara dan Rasul atau utusan Allah SWT untuk menanamkan dan menyebarluaskan agama Islam. Dalam Ensiklopedia Britannica, disebutkan unsur esensial pembentukan sebuah negara ada tiga, yaitu wilayah atau teritorial, rakyat, dan pemerintah. Ketiga unsur ini telah terpenuhi pada masa hidup Nabi Muhammad SAW di Madinah dan bahkan sudah dilengkapi dengan konstitusi, yaitu Piagam atau Konstitusi Madinah. Munawir menambahkan, banyak pemimpin dan pakar ilmu politik Islam menganggap Piagam Madinah adalah konstitusi atau undang-undang dasar bagi negara Islam yang pertama, yang didirikan Nabi SAW di Kota Madinah. Piagam ini juga dianggap sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia. Piagam Madinah adalah konstitusi negara yang berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat Islam. Piagam ini merupakan undang-undang untuk pengaturan sistem politik dan sosial masyarakat Islam dan hubungannya dengan umat yang lain. Karenanya, tak mengherankan jika masyarakat majemuk Madinah pada masa itu dapat hidup berdampingan dengan damai. Sebagai kepala negara, Nabi SAW amat gemar berkonsultasi atau musyawarah dengan para pengikutnya dalam kaitannya dengan pengelolaan urusan negara sehari-hari. Tradisi ini selepas wafatnya Nabi SAW terus dilestarikan oleh para Khulafa ar-Rasyidin. Tradisi musyawarah ini juga diterapkan pada saat memilih pemimpin umat atau kepala negara sepeninggal Nabi SAW. Munawir Sjadzali menyatakan, dengan wafatnya Ali bin Abi Thalib, berakhirlah satu era pemerintahan di lingkungan umat Islam yang menjalankan tradisi pengisian jabatan kepala negara dilakukan melalui musyawarah. B7 Umat, Baiat, dan Syura istem pemerintahan yang islami berpijak pada keimanan kepada Allah SWT, mengakui sunatullah, tolong-menolong, dan kerja sama atas dasar saling mencintai. Abdul Wahhab Khallaf dalam asSiyasah asy-Syar’iyyah, membagi fikih siyasah dalam tiga bidang kajian, yaitu siyasah dusturiyah (ketatanegaraan), siyasah kharijiyyah (politik luar negeri), dan siyasah maliyah (ekonomi). Abdurrahman Taj dalam as-Siyasah alSyar’iyyah wa al-Fiqh al-Islami membagi kajian fikih siyasah secara lebih rinci ke dalam tujuh kajian, yaitu siyasah dusturiyah, siyasah tasyri’iyyah (legislatif), siyasah qada’iyyah (peradilan), siyasah maliyah (keuangan), siyasah idariyyah (administrasi), siyasah tanfiziyyah (eksekutif), dan siyasah kharijiyyah (luar negeri). ● Siyasah Dusturiyyah Merupakan bidang siyasah yang membahas undang-undang dasar suatu negara. Ada tiga hal penting dan mendasar yang perlu dicantumkan dalam sebuah undang-undang dasar, yaitu bentuk pemerintahan, hak serta kewajiban warga negara, dan sultah (lembaga kekuasaan negara. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, Islam memberikan kebebasan kepada umatnya untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk dan corak pemerintahan yang diinginkan asal tidak menyimpang dari prinsip-prinsip keadilan yang telah diatur secara eksplisit dalam syariat. Pendapat semacam ini dianut pula oleh para ulama Mesir, seperti Muhammad Abduh dan Muhammad Husein Haikal. Dalam pandangan Abduh, Islam tidak menetapkan bentuk pemerintahan. Hal ini disesuaikan dengan kehendak umat melalui ijtihad. Pemerintah dan rakyat mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam memelihara dasar-dasar agama dan menafCOLUMBIA Oleh Nidia Zuraya K onsep ketatanegaraan dalam Islam mengenal istilah ummah (umat), baiat, dan syura (musyawarah). ● Ummah (Umat) sirkannya selama hal itu tidak bertentangan dengan pokok-pokok agama. Menurut Haikal, Islam tidak menetapkan sistem pemerintahan tertentu, tetapi menetapkan prinsip-prinsip bagi pemerintahan yang berkembang dalam sejarah. Ia juga membenarkan bahwa kehidupan bernegara bagi umat Islam baru dimulai setelah Nabi SAW dan para pengikutnya hijrah dan berdomisili di Kota Madinah. Haikal berpendapat sistem pemerintahan yang islami adalah sistem yang berpijak pada keimanan kepada Allah SWT, mengakui sunatullah, tolong-menolong, dan kerja sama atas dasar saling mencintai. Setiap individu melaksanakan kewajibannya kepada Allah SWT dan masyarakat. Pandangan Haikal ini menunjukkan bahwa yang paling penting bukan sistem, melainkan realisasi prinsip-prinsip ajaran Islam. Aspek penting yang harus diatur dalam undang-undang dasar negara soal hak dan kewajiban warga negara. Yang tak kalah penting adalah bidang-bidang kekuasaan negara. Abdul Wahhab Khallaf membedakan lembaga kekuasaan negara menjadi tiga bagian, yaitu sultah tasyri’iyyah (lembaga legislatif), sultah tanfiziyyah (lembaga eksekutif), sultah qada’iyyah (lembaga yudikatif). ● Siyasah Maliyah Siyasah maliyah adalah bidang fikih siyasah yang membahas sumber-sumber keuangan negara serta pengelolaan dan pengeluarannya. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, secara umum, sumber pemasukan atau pendapatan negara pada zaman Nabi SAW dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, sumber pemasukan tetap, yaitu sumber yang menghasilkan dana bagi kas negara secara rutin dan kontinu. Sumber pemasukan tetap ini terdiri atas harta kekayaan milik negara, zakat, kharaj (pajak tanah), usyur (bea cukai), dan jizyah (pajak perlindungan). Kedua, sumber pemasukan tidak tetap yang bersifat insidental, bergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Sumber pemasukan tidak tetap ini diper- oleh dari harta rampasan perang (ganimah), upeti (al-fai’), pinjaman (alqurud), harta pusaka yang tak terbagi, harta karun (rikaz), barang tambang (madin), sedekah, harta temuan selain binatang (luqatah), dan harta temuan berupa binatang (dallah). Pendapatan negara yang telah dikumpulkan dari berbagai sumber itu disimpan dalam baitulmal. Pada masa Rasulullah SAW, masjid dijadikan sebagai baitulmal. Pendapatan tersebut kemudian digunakan untuk berbagai kebutuhan negara. Pendapatan negara dari sumber selain zakat dan ganimah, antara lain, dapat didistribusikan untuk keperluan gaji pegawai, membangun masjid, mendirikan rumah dinas bagi para pejabat negara, mendirikan pasar, membangun penjara, mendirikan rumah sakit, membangun istana negara sebagai tempat untuk menerima para tamu negara, dan melengkapi peralatan militer. ● Siyasah Kharijiyyah Siyasah kharijiyyah semakna dengan siyasah dauliyah, yaitu bidang fikih siyasah yang membahas tata hubungan internasional. Sebagai sebuah agama yang komprehensif, Islam memiliki prinsipprinsip tata aturan dalam setiap aspek kehidupan di dunia fana ini, termasuk dalam bidang hubungan antarnegara, baik dalam kondisi damai maupun perang. Tata pergaulan antarbangsa dalam Islam dilaksanakan di atas prinsip toleransi, kebajikan, kasih sayang, dan perdamaian, bukan sebaliknya, peperangan, permusuhan dan pertumpahan darah. Pandangan seperti ini dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf bahwa hubungan antarbangsa dalam Islam dibangun di atas prinsip perdamaian, bukan peperangan. Menurutnya, perang dalam konsep Islam hanya dibenarkan sebagai alternatif terakhir untuk menolak fitnah atau penganiayaan dan melindungi ajaran Islam. Prinsip yang sama juga berlaku dalam membina hubungan antara Muslim dan non-Muslim atau hubungan antarumat dari berbagai agama. ■ ed: heri ruslan Pakar bahasa, Ragib as-Isfahani, dalam bukunya alMufradat fi Garib Alquran (Kata-kata yang Sulit dalam Alquran) menjelaskan bahwa kata umat didefinisikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama, waktu, atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka. Secara tegas Alquran dan hadis tidak membatasi pengertian umat hanya pada kelompok manusia. Pada permulaan Islam, kata umat dipahami sebagai satu kesatuan yang mencakup semua warga Muslim. Konsep tersebut berperan sebagai simbol kesatuan dan kekuatan yang mewujudkan kesatuan dan persatuan. Di dalam ummah, segenap anggota bersaksi sepenuhnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW adalah rasul-Nya. Di hadapan Allah SWT, semua anggota mempunyai derajat sama, tidak ada perbedaan tingkatan, kelas, atau ras. Peranan ummah dalam Islam antara lain terletak pada tingkat solidaritasnya yang tinggi. ● Baiat Sisi penting politik yang terkait dengan umat dalam pandangan dan sejarah Islam tecermin dalam ba’iah (baiat). Idealnya, pemimpin negara Islam, yang juga pemimpin masyarakat, adalah seorang yang terpilih di antara beberapa calon setelah melalui proses pemilihan yang melibatkan konsultasi pendahuluan. Apabila nominasi itu ditentukan pada orang tertentu, permasalahannya dikembalikan kepada seluruh jajaran umat yang berhak memberikan konfirmasi atau ratifikasi terakhir. Proses ini disebut baiat. Baiat merupakan bentuk sumpah setia yang mempertalikan pemimpin dengan masyarakat yang dipimpinnya. Baiat identik dengan sebuah perjanjian. Dan, sebagaimana layaknya semua perjanjian, melibatkan dua kelompok, yaitu pihak pemimpin dan pihak masyarakat. Tidak hanya ulama yang berperan penting dalam proses konsultasi sebelum baiat terwujud, tetapi semua pihak yang berpengetahuan, berbakat, berpengaruh, dan mempunyai kekuasaan juga turut terlibat dalam proses itu. Karena baiat mempunyai arti yang amat penting, pelaksanaannya harus dilakukan dalam suasana yang menjamin kebebasan berpendapat dan kemungkinan adanya oposisi meskipun senantiasa terkait dengan syariat yang wajib dipatuhi pemerintah maupun masyarakat sebagai suatu komitmen tegas untuk menaati semua aturan dalam Alquran dan sunah. Baiat membawa konsekuensi timbal balik antara kepala negara selaku pimpinan dan rakyat sebagai pihak yang dipimpin. Dalam Alquran disebutkan kewajiban kepala negara, antara lain menyampaikan amanat kepada rakyat dan menegakkan keadilan. Sebaliknya, rakyat berkewajiban menaati pemimpin. Namun, ketaatan tersebut ada batasnya sepanjang tidak menyuruh kepada kemaksiatan (melanggar ketentuan agama). ● Syura (Musyawarah) Alquran banyak menjelaskan sisi penting musyawarah bagi kehidupan manusia. Ini membuktikan bahwa Islam tidak hanya memandang musyawarah sebagai prosedur yang direkomendasikan, tetapi merupakan sebuah tugas keagamaan. Dalam sejarah pemerintahan Islam, kebiasaan melakukan musyawarah ini telah dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai pemimpin masyarakat Islam, Nabi SAW selalu memusyawarahkan semua hal dengan rakyatnya. Ibnu Taimiyah menghendaki adanya musyawarah yang lebih efektif dan umum. Seorang pemimpin, menurut dia, seharusnya tidak hanya meminta pertimbangan dari kalangan ulama, tetapi juga dari semua kelas dalam masyarakat dan siapa saja yang mampu memberikan suatu pendapat yang dinamis. Hanya saja, ada batasan yang melingkari berlakunya konsultasi secara wajar. ■ ed: heri ruslan