i Laporan Studi Pustaka (KPM 403) DAMPAK PERUBAHAN STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN DAN KETAHANAN (PERSISTENCE) MASYARAKAT ULFA LESTARI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 ii Pernyataan Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Dampak Perubahan Struktur Penguasaan Lahan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Dan Ketahanan (Persistence) Masyarakat” benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Oktober 2014 Ulfa Lestari NIM. I34110026 iii DAMPAK PERUBAHAN STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN DAN KETAHANAN (PERSISTENCE) MASYARAKAT Oleh ULFA LESTARI I34110026 Laporan Studi Pustaka sebagai syarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 iv Lembar Pengesahan Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Ulfa Lestari Nomor Pokok : I34110026 Judul : Dampak Perubahan Struktur Penguasaan Lahan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Dan Ketahanan (Persistence) Masyarakat dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Disetujui oleh Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA Dosen Pembimbing Diketahui oleh Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen Tanggal Pengesahan : _______________ v PRAKATA Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka yang berjudul “Dampak Perubahan Struktur Penguasaan Lahan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Dan Ketahanan (Persistence) Masyarakat” ini dengan baik. Penulislan laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarakat kelulusan MK. Studi Pustaka (KPM 403), pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetatrto, MA selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada Ibu Nurutiha dan Bapak Drs. Prawira Rafady selaku orang tua, Muhammad Yasin dan Muhammad Farhan selaku adik yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan doa yang sangat bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan Studi Pustaka ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman suka duka dan seperjuangan, Gagah, Mabs, Anin, Ela, dan Ichris yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam proses penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada mahasiswa Departemen SKPM seluruh angkatan, khususnya angkatan 48, yang selalu menemani dalam proses perkuliahan selama beberpa tahun ini dan memberikan pelajaran bermanfaat kepada penulis. Semoga laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Oktober 2014 Ulfa Lestari I34110026 vi Daftar Isi Daftar Gambar ...................................................................................................... viii PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 Tujuan Tulisan ..................................................................................................... 2 Metode Penulisan ................................................................................................ 2 RANGKUMAN DAN ANALISIS PUSTAKA ...................................................... 3 1. Judul : Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Petani 3 2. Judul : Pemahaman Dampak Negatif Konversi Lahan Sawah sebagai Landasan Perumusan Strategi Pengendaliannya ................................................. 4 3. Judul : Analysis of Land Conversion and its Impacts and Strategies in Managing Them in City of Tomohon, Indonesia ................................................. 5 4. Judul : Land Tenure and Tenancy Conditions in Relation to Rice Production in Three Villages In The Red River Delta, Vietnam ......................... 7 5. Judul : Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan & Wilaya ................................................................................................................. 8 6. Judul :Kajian Pengembangan Lahan untuk Kawasan Perumahan Kota Bandung Ditinjau dari Aspek Status Kepemilikan Tanah dan Preferensi Pengembang Perumahan ..................................................................................... 9 7. Judul : Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani di Kelurahan Landasan Ulin Barat Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru 10 8. Judul : Pola Penguasaan Tanah dan Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani di Desa Transmigrasi ......................................................................................... 11 9. Judul : Penguatan Ketahanan Masyarakat Desa Dalam Pembangunan Pertanian dan Mengurangi Kemiskinan ............................................................ 13 10. Judul : The Water-Energy-Food Nexus : A new approach in support of food security and sustainable agriculture ......................................................... 14 11. Judul : Pengaruh Perubahan Penguasaan dan Penggunaan Lahan terhadap Pola Usaha Ekonomi Rumah Tangga Etnik Betawi di Condet .......... 15 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN .............................................................. 17 Struktur Agraria ................................................................................................. 17 Perubahan Struktur Agraria ............................................................................... 17 Alih Fungsi Lahan atau Koversi Lahan ............................................................. 18 Dampak Petani yang Tergusur .......................................................................... 19 vii Lahan Sebagai Sumber Agraria ......................................................................... 20 Status dan Kepemilikan Lahan .......................................................................... 20 Pola Penguasaan Lahan ..................................................................................... 21 Ketahanan (persistence) Masyarakat ................................................................. 22 Pengaruh Pola Penguasaan Lahan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat.......... 22 SIMPULAN .......................................................................................................... 24 Hasil Rangkuman dan Pembahasan .................................................................. 24 Usulan Kerangka Analisis Baru ........................................................................ 25 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi .................................... 27 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 28 RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. xxx viii Daftar Gambar Gambar 1. Kerangka Analisis …………………………………………………26 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan jumlah Penduduk Indonesia yaitu 237,6 juta jiwa, bertambah 32,5 juta jiwa sejak tahun 2000. Menurut Benu NM dkk (2013) pertumbuhan penduduk adalah implikasi dari perkembangan sebuah kota. Pertumbuhan penduduk bukan hal yang negatif, tapi itu hanya seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi itu adalah aset untuk pengembangan kawasan dan di sisi lain itu adalah beban ke daerah. Ini berarti bahwa daerah harus menyediakan ruang untuk hidup dalam bentuk sumber makanan, tempat tinggal dan publik fasilitas. Hal ini bertentangan dengan ketersediaan lahan yang tetap. Lahan atau tanah merupakan salah satu sumber agraria yang digunakan untuk kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi. Kehidupan sosial, seperti berkeluarga, bersekolah, beribadat, berekreasi, berolah raga, dan kegiatan ekonomi seperti bertani, berkebun, beternak, memelihara/menangkap ikan, menebang kayu di hutan dan sebagainya, (Jayadinata 1992). Kebutuhan akan lahan dalam memenuhi kebutuhan manusia ini mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan. Menurut Utomo et al. tahun 1992 dalam Septiana et al. (2012) menjelaskan konversi lahan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Pada saat ini hampir semua Negara memiliki kebijakan dalam pembangunan ekonomi, dan pengalaman di hampir semua Negara menunjukkan bahwa industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi. Menurut Tambunan (2001) fakta di banyak Negara menunjukkan bahwa tidak ada perekonomian yang hanya bertumpu sektor-sektor primer (pertanianpertambangan) mampu mencapai tingkat pendapatan per kapita diatas US$500 selama jangka panjang (Kahn 1979), contohnya Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan kurangnya kontribusi lapangan pekerjaan pada sektor pertanian khsusunya kemampuan dalam kesempatan kerja. Akibatnya semakin besar terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, dalam 10 tahun terakhir terdapat alih fungsi lahan sawah menjadi non pertanian seperti industri dan perumahan seluas 80.000 ha per tahun. Alih fungsi lahan yang terjadi berdampak pada perubahan struktur agraria, Menurut Wiradi (2009) struktur agraria menyangkut land tenure (hak atas tanah atau penguasaan tanah) dan land tenancy (orang yang memiliki, memegang, menempati, menyewa sebidang tanah tertentu). Perubahan struktur agraria dalam hal perubahan penguasaan lahan tentunya menimbulkan berbagai dampak salah satunya adalah kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan semakin berubahnya pola penguasaan lahan ini masyarakat yang terlibat di dalamnya tentu mengalami guncangan perubahan, baik berupa ketahanan untuk kembali pada kondisi awal sebelum terjadinya perubahan maupun ketahanan dalam hal FEW (Food, Energy, dan Water). Menurut FAO atau Food Agricultural Organitation (2011) FEW merupakan sebuah pendekatan baru dalam mendukung ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan. Air, energi dan pangan memiliki peran sangat penting untuk kesejahteraan manusia, pengurangan kemiskinan dan pembangunan 2 berkelanjutan. Oleh karena itu, tulisan ini akan memaparkan perubahan struktur penguasaan lahan yang terjadi, dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat dan tingkat ketahanan (persistence) masyarakat. Tujuan Tulisan Alih fungsi lahan yang terjadi dapat memunculkan perubahan struktur agraria seperti perubahan penguasaan lahan atau hak kepemilikan. Perubahan struktur penguasaan lahan yang terjadi memicu terjadinya berbagai dampak dan salah satunya adalah kesejahteraan. Pada umumnya struktur penguasaan lahan sangat beragam tergantung pada hukum dan adat masyarakat setempat. Banyak kalangan yang memiliki kepentingan akan lahan sering menyebabkan terjadinya ketimpangan penguasaan lahan. Di dalam perubahan penguasaan lahan yang terjadi tersebut terdapat daya bertahan atau ketahanan masyarakat dalam menghadapi perubahan tersebut. Oleh karena itu, tujuan dari studi pustaka ini yaitu untuk menganalisis perubahan struktur penguasaan lahan yang terjadi, dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat dan tingkat ketahanan (persistence) masyarakat. Metode Penulisan Metode penulisan studi pustaka ini adalah dengan menggunakan studi literatur yaitu dengan mengumpulkan data sekunder terkait dengan perubahan struktur agraria, pola penguasaan lahan, ketahanan (persistence) masyarakat dan dampak kesejahteraan masyarakat yang mengalami perubahan struktur. Data yang digunakan dalam penulisan studi pustaka ini diperoleh dari berbagai sumber rujukan seperti buku, jurnal, laporan penelitian, tesis, dan disertasi yang sesuai dengan topik yang diangkat. Kemudian data sekunder yang diperoleh disajikan dalam bentuk pemaparan secara deskriptif dengan cara mengikhtisarkan beberapa rujukan yang berkaitan dengan topik, kemudian disusun menjadi tulisan ilmiah sesuai dengan sistematika penulisan yang terdiri dari pendahuluan, rangkuman dan analisis pustaka, rangkuman dan pembahasan, serta simpulan. 3 RANGKUMAN DAN ANALISIS PUSTAKA 1. Judul : Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Petani Tahun : 2008 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk Pustaka : Cetak Nama Penulis : MT. Felix Sitorus, Arya H. Dharmawan, Undang Fadjar, dan Martua Sihaloho Kota dan Nama Penerbit : Nama Jurnal : Volume (edisi): hal : Alamat URL : Tanggal Unduh : - Hasil penelitian tahun 2008 yang dilakukan di dua komunitas petani berbasis tanaman kelapa sawit di dua desa di Kabupaten Kampar-Provinsi Riau ditemukan bahwa lahan tidak hanya sebagai faktor produksi tunggal. Lahan menjadi salah satu dari dua faktor produksi yang saling terkait yaitu sebagai lahan dan modal finansial untuk penguasaan alat/bahan produksi pendukung lainnya. Hal ini mendorong struktur agraria baru, yaitu munculnya pola hubungan sosial produksi banyak pihak dan atau munculnya pola hubungan sosial produksi dan pihak yang semakin terakumulasi/tersubordinasi antara pemilik lahan yang semakin kuat dan penggarap yang semakin lemah. Pemilik lahan yang juga menguasai alat/bahan produksi lainnya dan atau modal finansial maka hasil keuntungan usaha tani semakin terakumulasi pada pemilik lahan. Dalam penelitian ini konsep penguasaan lahan mencakup pengertian penguasaan tetap (pemilikan perorangan) dan penguasaan sementara (bagi hasil, sewa, buruh upah sadap, dan gadai). Selain itu, konsep “penguasaan” menunjukkan pada penguasaan efektif. Data hasil sensus di lokasi penelitian menunjukkan bahwa struktur agraria komunitas petani berbasis tanaman sawit dan karet dibangun oleh beragam lapisan sosial yang sangat beragam, yaitu pemilik, pemilik dan penggarap, pemilik dan buruh tani, penggarap, penggarap dan buruh tani, dan buruh tani. Akan tetapi struktur agraria komunitas petani yang hanya berbasis tanaman sawit dibangun oleh lapisan yang sederhana, yaitu petani pemilik, pemilik dan penggarap serta buruh tani. Beberapa mekanisme yang mendorong perubahan struktur agraria menuju stratifikasi adalah pola bagi hasil dan pewarisan. Selain itu ada beberapa mekanisme yang mendorong polarisasi yaitu penjualan kebun dan buruh upahan serta akses petani terhadap program pemerintah (baik yang dilakukan pemerintah maupun perusahaan swasta). Analisis: Dari hasil penelitian didapat bahwa lahan menjadi salah satu dari dua faktor produksi yang saling terkait yaitu sebagai lahan dan modal finansial untuk penguasaan alat/bahan produksi pendukung lainnya. Hal ini mendorong struktur agraria baru, yaitu munculnya pola hubungan sosial produksi banyak pihak dan atau munculnya pola hubungan sosial produksi dan pihak yang semakin terakumulasi/tersubordinasi antara pemilik lahan yang semakin kuat dan penggarap 4 yang semakin lemah. Pemilik lahan yang juga menguasai alat/bahan produksi lainnya dan atau modal finansial maka hasil keuntungan usaha tani semakin terakumulasi pada pemilik lahan. Menurut Sitorus (2008) dalam penelitian ini dijelaskan bahwa struktur agraria yang ada saat ini masih cenderung terdiferensiasi atas banyak lapisan. Walaupun demikian terdapat mekanisme yang cenderung mendorong terjadinya proses polarisasi. 2. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh : Pemahaman Dampak Negatif Konversi Lahan Sawah sebagai Landasan Perumusan Strategi Pengendaliannya : 2005 : Laporan Penelitian : Cetak : Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia : Sodality : Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia : 3 (1) : 1-16 : : - Konversi lahan sawah tidak dapat dihindarkan karena seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian dari tahun ke tahun. Namun dapat diperkecil dengan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah. Selain itu, perlu diperlihatkan bahwa konversi lahan mengakibatkan kerugian dan dampak negatif yang sangat besar. Lahan sawah bukan sekedar faktor produksi dalam proses produksi pangan, namun merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi petani, serta bukan sekedar berkurangnya luas lahan sawah, tetapi juga merupakan degradasi agroekosistem. Konversi lahan menciptakan sejumlah kesempatan kerja dan pendapatan, namun kenyataannya kesempatan kerja dan pendapatan tidak dinikmati oleh masyarakat lokal tetapi oleh pendatang. Biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan sistem irigasi, pengembangan kelembagaan pendukung juga diperhitungkan, maka investasi yang selama ini kita tanamkan untuk mengembangkan suatu ekosistem harus diperhitungkan sebagai kerugian dari konversi lahan sawah. Terakhir adalah dampak negatif lainnya yang merupakan akibat lanjutan dari rusaknya ekosistem sawah. Dari sudut pandang sosial ekonomi, konversi lahan sawah mengubah struktur kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat setempat. Beberapa dari mereka mengalami peningkatan kesejahteraan, namun ini hanya dialami oleh lapisan atas, sedangkan untuk golongan bawah (petani gurem dan buruh tani) yang terjadi adalah sebaliknya. Pengendalian laju konversi lahan harus ditempuh melalui pengembangan sistem kelembagaan non pasar. Berbagai bentuk peraturan yang membatasi konversi lahan sawah harus diikuti dengan pengembangan instrumen kebijakan yang secara efektif dapat diimplementasikan di lapangan. 5 Analisis : Penelitian ini memuat tentang dampak negatif dari konversi lahan, dampak negatif dari konversi lahan sawah, yaitu degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional. Berkurangnya produksi padi akibat konversi lahan sawah adalah bersifat permanen. Selain itu kerugian secara tidak langsung, yakni turunnya produktivitas lahan sawah di sekitarnya sebagai akibat degradasi ekologi lahan sawah. Semakin tinggi produktivitas lahan sawah yang terkonversi, maka semakin besar pula kerugian yang terjadi. Dampak selanjutnya pendapatan pertanian menurun dan meningkatnya kemiskinan. Usaha padi tani merupakan aktivitas ekonomi menyediakan lapangan kerja. Oleh karena itu, konversi lahan pertanian bukan sekedar hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan pentani penggarap juga buruh tani. Terakhir adalah dampak negatif lainnya yang merupakan akibat lanjutan dari rusaknya ekosistem sawah. Peneliti juga mengemukakan tiga alasan peraturan pengendalian konversi lahan sawah yang sulit dilaksanakan, yaitu kendala koordinasi kebijakan, kendala pelaksanaan kebijakan, dan kendala kosistensi perencanaan. Selain itu, tidak efektifnya peraturan yang telah ada dipengaruhi oleh sistem administrasi tanah masih lemah, koordinator antar lembaga yang terkait kurang kuat dan implementasi tata ruang belum memasyarakat. 3. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Paulus Kindangen Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Sciences Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh : Analysis of Land Conversion and its Impacts and Strategies in Managing Them in City of Tomohon, Indonesia : 2013 : Jurnal : Elektronik : Noortje M. Benu, Maryunani, Sugianto and :: Asian Transactions on Basic an Applied : 03: 65-726 :www.asiantransactions.org/Journals/Vols03Issue02/ATB S/ATBAS-40329021.pdf : 23 September 2014, pukul 20.20 WIB Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan strategi penanganan konversi lahan yang terjadi di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, yang menguji faktor dominan yang mempengaruhi konversi lahan dan menganalisis strategi pembangunan. Untuk menentukan dampak yang terjadi akibat konversi lahan penulis menggunakan teknik proportional random sampling dengan responden petani yang memgonversi lahannya serta menggunakan metode analisis faktor dan proses analisis hirarki. Seiring dengan proses pembangunan di Tomohon, akan membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Sehingga, membutuhkan adanya perubahan alih fungsi lahan atau konversi. Daerah perkotaan dipandang sebagai lokasi yang 6 paling efisien untuk kegiatan non-pertanian yang produktif karena ketersediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya. Terdapat ada dua jenis proses konversi sawah, yaitu konversi langsung sawah oleh petani dan oleh pemilik tanah non petani yang melakukan melalui proses penjualan. Sebagian besar konversi sawah dilakukan oleh pembeli. Konversi melalui penjualan berlangsung dengan dua cara, yaitu cara di mana posisi petani adalah sebagai monopoli penjual dan pembeli monopsoni yang terjadi akibat adanya sangat tersegmentasi pasar tanah. Oleh karena itu, struktur pasar yang terbentuk lebih menekankan pada daya tawar. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan di Tomohon adalah faktor ekonomi, lanskap dan keamanan pangan. Dari aspek ekonomi, tingkat pendapatan petani, kegiatan ekonomi dan harga tanah berpengaruh cukup tinggi pada konversi lahan. Pendapatan petani yang tidak terlalu tinggi menyebabkan petani lebih memilih untuk menjual tanahnya. Selain itu, pengembangan kegiatan ekonomi membutuhkan area yang lebih luas. Dilihat dari aspek lanskap, yang paling berpengaruh pada konversi lahan di Tomohon adalah infrastuktur atau kedekatan dengan lokasi lahan, tingkat aksesibilitas lahan dan kebutuhan lahan. Konversi lahan sangat berpengaruh dalam dinamika perubahan struktur agraria . Adapun perubahan, yang terjadi adalah : 1. Perubahan pola kepemilikan tanah yaitu bagaimana tanah itu diakses oleh orang lain. Perubahan yang terjadi sebagai akibat dari konversi adalah perubahan jumlah kepemilikan tanah. 2. Perubahan pola penggunaan lahan. Pola penggunaan lahan dapat dilihat dari bagaimana orang dan pihak lain memanfaatkan sumberdaya agraria. Konversi lahan mengurangi kesempatan kerja di sektor pertanian, eksploitasi tanah khusunya pada lahan sawah. 3.Perubahan pola hubungan agraria. Keterbatasan lahan mengurangi sistem pajak tanah, hal ini juga menyebabkan sewa tanah dan sistem KPR. 4.Perubahan pola hidup agraria. Pola hidup yang dikaji berdasarkan pendapatan dari produk pertanian dibandingkan dengan produk non-pertanian. 5. Sosial dan perubahan masyarakat. Konservasi dan pelestarian kawasan lindung diperlukan untuk mempertahankan keberlanjutan kota. Ketika kawasan lindung rusak, maka daya dukung juga akan semakin menurun yang mengakibatkan harga tanah meningkat di luar kendali dan menurunnya ketersediaan kebutuhan dasar, seperti makanan, air bersih, sanitasi, dan kepuasan/utilitas. Dilihat dari aspek ketahanan pangan, faktor yang paling mempengaruhi meningkatnya konversi adalah tingkat produktivitas lahan, tingkat kesuburan lahan dan berbagai jenis makanan. Kebutuhan ruang kota dan kegiatan ekonomi memerlukan penurunan luas lahan sawah yang produktif. Oleh karena itu, strategi pengembangan yang paling tepat untuk Kota Tomohon berdasarkan pendapat para ahli adalah Strategi Pengembangan Ekowisata, sehingga lahan pertanian tetap terjaga. Analisis: Dari hasil penelitian di atas diketahui bahwa pendapatan petani yang tidak terlalu tinggi menyebabkan petani menjual lahannya. Hal tersebut mengindikasikan, petani menjual lahannya dan lahan tersebut digunakan sebagai area pengembangan kegiatan ekonomi atau dapat disimpulkan terjadi konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian. Selanjutnya infrastruktur, dimana dalam suatu pengembangan wilayah membutuhkan pembangunan dalam hal infrastruktur dan pembangunan tersebut membutuhkan lahan lebih sehingga mendorong 7 terjadinya konversi lahan. Lalu tingkat aksesibilitas, dimana sebuah lahan yang mudah diakses oleh banyak orang akan menjadi lahan incaran untuk dilakukannya konversi lahan untuk kegiatan non-pertanian yang lebih produktif. Yang terakhir adalah variabel tingkat produktivitas lahan, dimana hal ini didukung dengan fakta bahwa semakin tinggi produktivitas lahan maka semakin tinggi kemungkinan dilakukannya konversi lahan karena kegiatan ekonomi dan kebutuhan ruang kota memerlukan penurunan luas lahan sawah yang produktif. 4. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh : Land Tenure and Tenancy Conditions in Relation to Rice Production in Three Villages In The Red River Delta, Vietnam : 2012 : Jurnal : Elektronik : Phan Vu Quynh Chi dan Akimi Fujimoto :Tokyo, University Of Agriculture Sakuragaoka : Journal ISSAAS : 18 (1) : 31-48 : www.issaas.org/journal/v18/01/journal-issasv18n1-05-chi_fujimoto.pdf : 17 September 2014, pukul 07.50 WIB Kebijakan pertanahan merupakan komponen penting dari langkah-langkah pembangunan ekonomi suatu negara dan terutama di negara berkembang seperti Vietnam. Kepemilikan lahan di negara ini tergolong rumit karena kondisi politik, sosial, ekonomi dan keadaan alam. Banyak petani tidak memiliki lahan pertanian. Delta Sungai Merah merupakan salah satu daerah penghasil beras utama di Vietnam. Kondisi alamnya memiliki beragam ekosistem, Delta Sungai Merah sangat cocok untuk pengembangan berbagai jenis tanaman dan hewan. Dalam beberapa tahun terakhir, pentingnya sektor perikanan, budi daya dan tanaman berbuah telah meningkat di daerah ini. Pada tahun 2005, lahan pertanian rata-rata per rumah tangga seluas 0,28 ha. Bagi masyarakat sekitar, tanah merupakan faktor produksi untuk menghasilkan pendapatan yang cukup. Para petani disini tidak melakukan jual beli tanah namun mereka berniat untuk memperluas lahan pertanian mereka dengan cara sewa menyewa dari lahan petani lain. Sistem sewa menyewa tanah ini telah terjadi baik sebelum dan sesudah berlakunya hukum pertanahan pada tahun 1993. Situasi kepemilikan lahan mengacu pada kepemilikan dan penggunaan lahan yang merupakan satu dasar faktor produksi di bidang pertanian. Hal ini tidak hanya membahas tentang pengaturan tentang tanah sebagai faktor dalam proses produksi tetapi juga indikator sosial sistem ekonomi desa pertanian. Mayoritas petani di sini terpaksa untuk melakukan diversifikasi pertanian mereka dengan tanaman bernilai tinggi seperti sayuran, buah-buahan, dan ternak untuk pasar perkotaan atau terlibat dalam kegiatan non-pertanian. Hasil dari temuan ini adalah munculnya sistem sewa menyewa di kalangan petani. Analisis : Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan penentuan dan fungsi sewa lahan padi dalam konteks struktur ekonomi di tiga desa di Vietnam Utara. Serangkaian 8 survey kuesioner yang dilakukan pada tahun 2010-2011 di Desa Yen Hung (A), Bac Ninh (B), dan Hai Phong (C) yang terletak di Delta Sungai Merah. Temuan utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) ada daerah peningkatan produksi non beras dengan munculnya berbagai jenis status tenurial di desa yang berbeda. Perubahan status tenurial dengan usia para petani yang menunjukkan pengaruh siklus hidup pada perilaku ekonomi petani. Ada juga ketergantungan yang sangat besar akan rasa kekeluargaan dalam hubungan pemilik dan penyewa. Analisis fungsi produksi menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan tanah, tenaga kerja, benih, dan pupuk dapat menyebabkan produksi padi yang lebih tinggi. Rata-rata sewa di bawah bentuk dominan dari penyewaan tampaknya sama dengan produk marjinal tanah, tetapi di bawah kontrak dibuat antara kerabat, sewa rata-rata jauh lebih rendah daripada produk marjinal. Lima macam status kepemilikan tanah yang diamati disini yaitu pemilik, pemilik-petani pemilik, tuan tanah-pemilikpetani penyewa, petani pemilik, dan pemilik-petani penyewa. 5. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh : Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan & Wilaya : 1992 : Buku : Cetak : Johara T. Jayadinata : Bandung, ITB : :::- Menurut Spencer dan Thomas, sumber daya adalah setiap hasil, benda, atau sifat/keadaan, yang dapat dihargai bilamana produksinya, prosesnya dan penggunaannya dapat dipahami.Sumber daya dapat dibagi menjadi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sumber daya alam terdiri atas : (1) Sumber daya alam yang abstrak yaitu hal-hal yang tidak tampak tetapi dapat diukur, seperti : lokasi, tapak atau posisi (site atau position), situasi (keadaan yang berhubungan dengan wilayah yang lebih luas), bentuk, jarak, dan waktu. (2) Sumber daya alam yang nyata contohnya : Bentuk daratan (land-form), yang merupakan pembicaraan dalam geomorfologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang kulit bumi;Air yang terdiri atas air laut, air permukaan, dan air tanah atau air dasar; Tanah di pedesaan digunakan bagi kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi. Kehidupan sosial, seperti berkeluarga, bersekolah, beribadat, berekreasi, berolah raga, dan sebagainya, dilakukan di dalam kampong, dan kegiatan ekonomi seperti bertani, berkebun, beternak, memelihara/menangkap ikan, menebang kayu di hutan dan sebagainya, umumnya dilakukan di luar kampung, walau pun ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan di dalam kampung, seperti perindustrian, perdagangan, dan perusahaan jasa-jasa lain. Penggunaan tanah di wilayah pedesaan adalah untuk perkampungan dalam rangka kegiatan sosial, dan untuk pertanian dalam rangka kegiatan ekonomi. Dengan demikian kampung di pedesaan merupakan tempat kediaman dan penduduk kampung wilayah pertanian 9 dan wilayah perikanan umumnya bekerja diluar kampung. Wilayah di pedesaan Jawa umumnya mengalami permasalahan: penduduk yang rapat, pemilikan tanah yang kecil, kesempatan kerja yang kurang, dan sebagainya. Hal tersebut menyebabkan masalah lain, seperti: tingkat kesehatan yang kurang baik, tingkat pendidikan yang rendah, tingkat prasarana sosial ekonomi yang kurang layak, dan sebagainya. Analisis: Buku ini membahas berbagai permasalahan mengenai tanah, misalnya penggunaan tanah di wilayah pedesaaan dan perkotaan serta di wilayah yang lebih luas, yang merupakan gabungan kedua macam penggunaan tanah itu. Secara umum diuraikan pula beberapa contoh tata guna tanah, serta cara memanfaatkan tanah supaya diperoleh hasil yang optimal tetapi tanah tetap lestari. Buku ini juga menyertakan contoh penggunaan tanah di berbagai negara industri dan dibandingkan dengan penggunaan tanah di Indonesia yang merupakan negara pertanian yang memudahkan pembaca untuk memahami. Buku ini membegi bacaan di dalam beberapa bab, namun banyak tulisan dari penulis yang masih tidak menyertakan sumber kutipan yang membuat tulisan seperti tulisan asli dari penulis. 6. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh :Kajian Pengembangan Lahan untuk Kawasan Perumahan Kota Bandung Ditinjau dari Aspek Status Kepemilikan Tanah dan Preferensi Pengembang Perumahan : 2011 : Jurnal : Elektronik : Ilhamdaniah : : Jurnal UNIKOM : Vol. 8, No. 2: 10 halaman : http://jurnal.unikom.ac.id/s/data/jurnal/v08n02/volume-82-artikel-10.pdf/pdf/volume-82artikel-10.pdf : 17 September 2014, pukul 10.50 WIB Penulis ingin mengetahui sejauh mana potensi/kendala pengembangan perumahan yang dilihat dari aspek status tanah dan preferensi pengembang dari sisi pasar konsumen perumahannya. Kecamatan Gedebage termasuk dalam zona pengembangan baru Kota Bandung. Semakin meningkatnya kebutuhan akan perumahan, menyebabkan perkembangan perumahan di Kota Bandung berimbas pada daerah pinggiran Kota Bandung, karena keterbatasan tanah di kota dan harga yang relatif terjangkau di daerah pinggiran kota. Pengembang mampu menguasai lahan dengan status yang berbeda-beda dapat mengajukan perubahan hak atas tanah menjadi hak guna bangunan dalam satu sertifikat induk. Banyak faktor yang mempengaruhi pesatnya perkembangan kawasan perumahan yaitu kebijakan pengembangan kawasan yang jelas, lokasi strategis, kemudahan pembebasan tanah karena status tanah dan harga yang masih relatif murah, konsumen 10 perumahan, kondisi geografis dan topologis yang memudahkan untuk proses pematangan lahan dan pembangunan rumah. Analisis: Dalam penelitian di atas terdapat beberapa variabel yang terkait dengan pengembangan lahan untuk kawasan perumahan. Variabel pertama yakni pertumbuhan penduduk, yang didukung dengan fakta bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan lahan sebagai penyediaan rumah meningkat. Variabel selanjutnya yakni status kepemilikan lahan, yang didukung dengan fakta bahwa status pemilikan yang beragam menyebabkan pengembang wilayah sulit untuk melakukan pengadaan lahan sebagai upaya pengembangan lahan bagi perumahan. Variabel selanjutnya adalah kebijakan pengembangan kawasan, dimana adanya kebijakan yang jelas akan mempengaruhi pesatnya perkembangan kawasan sebagai perumahan. Variabel selanjutnya adalah lokasi strategi, dimana hal ini akan menyebabkan banyaknya masyarakat membangun rumah di kawasan tersebut. Status kepemilikan lahan yang ada di wilayah Gedebage yang didominasi tanah adat dan SHM merupakan salah satu faktor yang memudahkan pengembang untuk menguasai tanah di kawasan Gedebage untuk dikembangkan menjadi kawasan perumahan real estat 7. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh : Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani di Kelurahan Landasan Ulin Barat Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru : 2012 : Jurnal : Elektronik : Agung Hadi Hidayat, Usamah Hanafie, dan Nurmelati Septiana :: Jurnal Agribisnis Pedesaan : Volume 2(2) :95-107 : ejournal.unlam.ac.id/index.php/agride/article : 15 Oktober 2014, Pukul 17.00 WIB Studi ini dilaksanakan di Kelurahan Landasan Ulin Barat, Kecamatan Liang Anggang, Kota Banjarbaru oleh Agung Hadi Hidayat, Usamah Hanafie dan Nurmelati Septiana yang meneliti tentang bagaimana dampak konversi lahan pertanian bagi taraf hidup petani. Pendapatan petani di sana sebelum adanya konversi lahan bergantung pada tanaman yang mereka tanam baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Namun setelah adanya konversi lahan, pendapatan pada musim hujan hanya bergantung pada jenis usaha baru yang mereka geluti. Usaha baru yang mereka geluti adalah peternakan sapi dan budidaya ikan lele, mujair, perbengkelan radiator mobil dan buruh bangunan yang dapat membantu menutupi kebutuhan di musin hujan karena sawah terendam banjir. Setelah adanya konversi lahan pertanian, penghasilan petani ada yang meningkat, tetap dan ada yang menurun. Penghasilan petani yang meningkat adalah petani yang berhasil dalam usaha bududaya ikan lele dan mujair dan bengkel radiator mobil, tetapi 11 penghasilan petani yang tetap adalah petani yang menjadi buruh bangunan. Sedangkan penghasilan petani yang menurun adalah petani yang tidak mempunyai kemampuan selain bertani, contohnya Bapak Seno karena usianya yang sudah tua. Kesehatan warga setempat sebelum dan sesudah baik, namun belum ada pertambahan sarana kesehatan. Dampak dari konversi untuk pembangunan perumahan yang terjadi di sana adalah pergeseran mata pencaharian, pendapatan rumah tangga dan irigasi menjadi terhambat karena pengurukan, sehingga berdampak pada hasil panen petani serta lahan pertaniannya menjadi semakin sempit. Banjir yang terjadi menyebabkan petani tidak bisa bercocok tanam pada musin hujan, mewabahnya hama dan penyakit yang menyebabkan produksi di musin hujan tidak maksimal. Bentuk kepedulian pemerintah terhadap petani setempat yaitu dengan memberikan bantuan modal usaha seperti peternakan sapi, budidaya ikan lele dan mujair, serta peternakan ayam buras. Bantuan dari pihak pengembang perumahan adalah berupa bantuan listrik gratis yang baru ada tiga bulan yang lalu. Usaha baru yang digeluti petani setempat setelah konversi dibedakan menjadi konversi atau tata guna jangka panjang, yaitu peternakan sapi, budidaya ikan lele dan mujair, serta peternakan ayam buras. Sedangkan tata guna jangka pendek, yaitu sebagai buruh bangunan. Analisis: Konversi lahan pertanian dapat berdampak positif maupun negatif. Dampak negatifnya adalah menurunnya kapasitas produksi padi yang berimplikasi pada penurunan penghasilan petani dan hilangnya kesempatan kerja bagi buruh tani, pembangunan irigasi yang sia-sia, berubahnya usaha tani baru dari sektor pertanian ke sektor non pertanian, dan pendapatan petani menjadi bergantung pada usaha baru yang digelutinya. Setelah adanya konversi, pendapatan petani ada yang meningkat karena berhasil dalam usaha barunya, tetap dikarenakan menjadi buruh bangunan dan menurun karena tidak mempunyai kemampuan selain bertani. Sedangkan dampak positif adalah petani atau pemilik tanah dapat meningkatkan pendapatan mereka. 8. Judul : Pola Penguasaan Tanah dan Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani di Desa Transmigrasi Tahun : 1996 Jenis Pustaka : Tesis Bentuk Pustaka : Cetak Nama Penulis : Yunilisiah Kota dan Nama Penerbit : Bogor, Program Studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor Nama Jurnal : Volume (edisi): hal : Alamat URL : Tanggal Unduh : - Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk transmigran di Bengkulu yaitu menerima sekitar 13 persen dari jumlah penduduk Bengkulu tahun 1990, hal ini menimbulkan dampak keadaan ketimpangan penguasaan tanah usaha tani. Ketimpangan penguasaan tanah usaha tani dimulai saat awal penempatan warga transmigran menghadapi berbagai kendala di pemukiman baru. Terdapat 36 12 persen transmigran telah mengalihkan tanah kepada orang lain melalui jual beli, sisanya masih menyesuaikan diri dengan berbagai faktor-faktor yang dihadapi baik berupa fisik, sosial dan budaya. Adanya perbedaan ekonomi transmigran merupakan awal terjadinya distribusi penguasaan tanah yang tidak merata. Dari hasil penelitian Yunilisiah 1996, dalam kurun waktu 18 tahun (19771995), pola penguasaan tanah usaha tani pada warga transmigran relatif semakin timpang. Dimana 18 persen lapisan atas (>1 ha) menguasai 47 persen luas tanah, 28 persen lapisan tengah (0.51-0.75 ha) menguasai 37 persen luas tanah, sedangkan 52 persen lapisan bawah (petani sempit dan tak bertanah) hanya menguasai 16 persen luas tanah. Implikasi dari ketimpangan ini, adanyan stratifikasi sosial atas dasar penguasaan tanah yang semakin jelas. Faktor yang mempengaruhi ketimpangan pola penguasaan tanah ini, yaitu karakteristik demografi rumah tangga, perbedaan pemanfaatan teknologi pertanian dan pewarisan tanah kepada anggota keluarga. Luas penguasaan tanah para rumah tangga petani merupakan faktor penentu total pendapatan rumah tangga petani, dimana semakin luas penguasaan tanah semakin tinggi tingkat pendapatan total rumah tangga (pertanian dan luar pertanian). Rata-rata pendapatan perkapita setahun di desa transmigrasi Marga Sakti adalah Rp 286.000,00 lebih tinggi dari batas garis kemiskinan yang diukur berdasarkan nilai pengeluaran setara 320 kg beras per kapita setahun sebesar Rp 208.000,00 (harga beras di lokasi penelitian Rp 650/kg). Secara nyata, masih terdapat 45 persen rumah tangga miskin di desa transmigrasi ini. Jumlah rumah tangga miskin sebagian besar ditemukan pada rumah tangga tak bertanah dan berlahan sempit, sebagian kecil ditemukan pada rumah tangga lapisan atas (petani bertanah luas). Hal ini membuktikan bahwa luas penguasaan tanah merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesejahteraan rumah tangga transmigran. Melihat pada kualitas hidupnya, 57 persen rumah tangga transmigran masih rendah, sedikit lebih tinggi dibanding jumlah rumah tangga miskin (45 persen). Kualitas hidup rumah tangga yang masih rendah tampak dari empat indikator yaitu pola pengeluaran rumah tangga untuk pangan, kondisi rumah transmigran, kondisi kesehatan yang masih rendah, dan tingkat pendidikan anggota keluarga yang masih rendah. Analisis : Pada penulisan di atas penulis menggunakan metode pemilihan daerah dengan sengaja agar sesuai dengan tujuan penelitian. Data sekunder yang digunakan untuk menentukan memilihan sampel responden merupakan data yang di ambil secara pribadi oleh penulis, tanpa menyesuaikan data sekunder dari pihak yang berwenang seperti data dari pemerintahan. Indkator dari luas penguasaan tanah para rumah tangga petani merupakan faktor penentu total pendapatan rumah tangga petani, dimana semakin luas penguasaan tanah semakin tinggi tingkat pendapatan total rumah tangga tidak memiliki sumber yang jelas. Penulis juga tidak menyertakan sumber dan menjabar faktor mengapa luas penguasaan tanah merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesejahteraan rumah tangga. Namun, hasil penelitian yang didapat cukup bagus dengan tersedianya defenisi oprasional yang jelas dan mudah di pahami. 13 9. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh : Penguatan Ketahanan Masyarakat Desa Dalam Pembangunan Pertanian dan Mengurangi Kemiskinan : 2007 : Makalah Lokakarya : Elektronik : Nunung Nuryartono : Bogor : LPPM Institut Pertanian Bogor : : : http://agrimedia.mb.ipb.ac.id/uploads/pdf/201 0-07-06_juni2007penguatan_ketahanan_masyarakat_desa.pdf : 20 Oktober 2014, Pukul 17.00 WIB Kemiskinan semakin meluas yang terjadi akbibat struktur perekonomian yang tidak memberikan ruang kepada masyarakat pedesaan berpartisipasi dalam pelaksaan pembangunan. Data Sakernas menunjukan tingginya tenaga kerja yang bergantung pada sektor pertanian berada di garis kemiskinan. Tulisan ini memuat tentang “pertanian identik dengan kemiskinan atau gagalnya pemerintah mewujudkan pembangunan ekonomi khususnya di pertanian untuk meningkatkan kesejahteraan petani”, serta upaya meningkatkan ketahanan masyarakat pedesaan dalam mengatasi economic shocks. Ketahanan memiliki dua aspek yaitu (1) Suatu keadaan untuk kembali pada situasi normal dan (2) besaran dari perubahan di mana suatu lingkungan mampu meyesuaikan diri sehingga tidak terjadi pengaruh yang negatif. Konsep ketahanan dalam makalah ini yaitu (1) kemampuan untuk mengatasi tekanan, guncangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya (2) kemampuan untuk mengelola dan meningkatkan kapabilitas serta aset yang dimiliki baik pada saat ini dan pada masa yang akan datang. Ketergantungan masyarakat pedesaan terhadap sumberdaya alam yang tinggi dalam aktivitas ekonomi akan sangat beresiko yang mengakibatkan ketidakstabilan ketahanan masyarakat. Gambaran tingkat pendidikan di sektor pertanian juga memperhatinkan persentasi tenaga, SDM sektor pertanian jauh tertinggal dengan sektor lainnya. Input lainnya yang mempengaruhi aktivitas pertanian adalah penguasaan lahan. Jumlah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 ha meningkat 10,7 juta menjadi 13,2 juta RT petani (tahun 1993-2003). Untuk mencapai ketahanan ada dua hal penting yang harus dicermati yaitu coping dan adaptive strategy. Coping merupakan strategi yang dijalankan untuk menghadapi perubahan, guncangan yang bersifat jangak pendek seperti : kekeringan, banjir sedangkan adaptive strategy merupakan strategi yang dijalankan untuk menghadapi perubahan, guncangan yang bersifat jangak panjang seperti krisis ekonomi dan mampu kembali pada situasi normal. Analisis: Penulis tidak mencantumkan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, sehingga menyulitkan pembaca dalam memahami maksud penulisan. Pada bagian tinjauan pustaka penulis tidak menuliskan darimana 14 sumber yang ia kutip karena pada dasarnya, tinjauan pustaka di dapat dari hasil penelitian orang lain. Namun penulis tidak menuliskan sumber yang ia kutip pada bagian tersebut dan terlihat seolah itu hasil penelitian penulis. Penulis tidak menjelaskan bukti atau data ilmiah mengapa ketergantungan masyarakat pedesaan terhadap sumberdaya alam yang tinggi dalam aktivitas ekonomi memiliki dampak terhadap ketidakstabilan ketahanan masyarakat. Begitu pula halnya dengan alasan atau faktor yang melatarbelakangi pengguasaan lahan mempengaruhi aktivitas pertanian. 10. Judul : The Water-Energy-Food Nexus : A new approach in support of food security and sustainable agriculture Tahun : 2014 Jenis Pustaka : Buku Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Food and Agriculture Organization Kota dan Nama Penerbit : United Nations Rome Nama Jurnal : Volume (edisi): hal : Alamat URL :http://www.fao.org/energy/4145908c8c5bb39e0d89e17fdb63314c4c6ce5.pdf Tanggal Unduh : 20 Oktober 2014, Pukul 19.00 WIB FEW (Food Energy Water) merupakan sebuah pendekatan baru dalam mendukung ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan. Air, energi dan pangan sangat penting untuk kesejahteraan manusia, pengurangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. Proyeksi global menunjukkan bahwa permintaan air tawar, energi dan makanan akan meningkat secara signifikan dalam dekade berikutnya di bawah tekanan pertumbuhan penduduk dan mobilitas, pembangunan ekonomi, perdagangan internasional, urbanisasi, diversifikasi diet, perubahan budaya dan teknologi, dan perubahan iklim. Pertanian menyumbang 70 persen dari total penarikan air tawar global, sehingga sektor ini adalah pengguna terbesar air. Air digunakan untuk produksi pada lahan pertanian, kehutanan perikanan, dan sepanjang rantai pasokan pertanian pangan secara keseluruhan, serta digunakan untuk memproduksi atau mengangkut energi dalam bentuk yang berbeda, energi dibutuhkan untuk memproduksi, mengangkut dan mendistribusikan makanan serta untuk mengekstrak, pompa, angkat, mengumpulkan, mengangkut dan mengolah air. Konsumsi energi secara global diproyeksikan tumbuh hingga 50 persen pada 2035, IEA (2010). Pendekatan Nexus membantu kita untuk lebih memahami kompleks dan keterkaitan dinamis antara air, energi dan makanan, dalam menggunakan dan mengelola sumber daya yang terbatas secara berkelanjutan. Perspektif ini membantu kita untuk memahami implikasi yang lebih luas untuk air, energi dan pangan, dan memperluas ruang lingkup intervensi untuk menyertakan manajemen permintaan air, kerangka investasi untuk dana publik untuk meningkatkan irigasi permukaan, pengelolaan air tanah, teknologi irigasi, praktek pertanian, serta pengadaan makanan dan kebijakan perdagangan (Swain dan Charnoz 2012). 15 Analisis: Pendekatan Nexus lintas sektoral memberikan kesempatan untuk terlibat dengan pemangku kepentingan untuk melakukan hal itu. Idealnya, ini melibatkan berbagai berkepentingan pemegang dari lokal ke nasional pemerintah, organisasi baskom, pengembangan bank dan lembaga, organisasi internasional dan regional, penelitian-lembaga dan universitas, LSM, masyarakat sipil dan sektor swasta. Pendekatan Nexus membantu kita untuk lebih memahami kompleks dan keterkaitan dinamis antara air, energi dan makanan, dalam menggunakan dan mengelola sumber daya yang terbatas secara berkelanjutan. 11. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Kota dan Nama Penerbit Nama Jurnal Volume (edisi): hal Alamat URL Tanggal Unduh : Pengaruh Perubahan Penguasaan dan Penggunaan Lahan terhadap Pola Usaha Ekonomi Rumah Tangga Etnik Betawi di Condet : 2005 : Tesis : Cetak : Wati Nilamsari :: : : : - Wilayah Condet tengah mengalami desakan perkembangan pembangunan kota Jakarta yang pesat, diikuti dengan meningkatnya kebutuhan lahan untuk pembangunan prasarana jalan, fasilitas sosial, fasilitas ekonomi, perumahan dan lainnya. Condet merupakan salah satu wilayah pinggiran kota Jakarta yang dikenal sebagai penghasil buah-buahan yang tentunya mata pencaharian masyarakatnya sebagai petani buah yang memanfaatkan lahan untuk bercocok tanam. Namun seiring berkembangnya kota Jakarta, lahan untuk bertani semakin sempit. Perubahan luas penguasaan dan penggunaan lahan di Condet disebabkan semakin banyak penduduk di luar daerah yang tertarik untuk tinggal di sana dan menikmati suasana yang relatif masih nyaman sebagai daerah hunian di Jakarta. Selain itu, wilayah Condet dekat dengan area kegiatan perdagangan dan jasa. Hal ini semakin meningkatkan permintaan akan lahan di Condet dan berdampak pada harga lahan yang melambung tinggi. Kondisi ini semakin memperparah kehidupan warganya sebagai petani khususnya yang memiliki lahan. Para petani berlahan terdorong untuk menjadikan lahan miliknya sebagai barang komoditi yang sangat mudah memperoleh uang dengan cepat. Hal ini dilakukannya untuk mengembangkan usaha dan kehidupannya. Akibatnya lahan pertanian menjadi semakin sempit dan semakin banyak bangunan yang dibangun di atasnya. Data penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan lahan keluarga petani etnik Betawi di Condet pada periode 1960 sampai akhir 1970-an (saat pertanian masih mendominasi wilayah) dan menjadi sumber utama penghidupan masyarakat setempat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu golongan petani luas (>5000 m2), golongan petani sedang (antara 1500 m2 - 5000 m2), dan golongan petani 16 sempit (<1500 m2). Kondisi luas lahan ini terus berubah yaitu semakin mengecilnya luas lahan yang dimiliki. Banyak lahan yang dijual kepada pendatang, namun ada juga menjadikan lahan tersebut menjadi rumah tinggal. Kondisi status kepemilikan lahan umumnya berupa girik dan sertifikat. Data monografi kelurahan Balekembang tahun 2003 mencatat lahan yang memiliki sertifikat seluas 23.218 ha atau terdiri dari 3.191 buah, sedangkan lahan yang belum memiliki sertifikat ada 804 buah yaitu seluas 13.590 ha. Status kepemilikan lahan etnik Betawi Condet umumnya berupa girik, yang kedudukan hukumnya relatif rendah dibandingkan hak kepemilikan (property right) yang jelas yaitu berupa sertifikat hak milik. Luasan lahan yang relatif tetap di satu pihak dan permintaan lahan yang terus meningkat di lain pihak, menyebabkan perubahan penggunaan lahan di wilayah ini tidak terelakkan. Perubahan dan penguasaan akan lahan ini disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Analisis: Faktor internal berasal dari dalam individu yang menjadi penyebab terjadinya perubahan penguasaan dan penggunaan lahan yang terdiri dari makna lahan, status sosial ekonomi, nilai sosial budaya. Faktor eksternal yang menyebabkan perubahan penguasaan dan penggunaan lahan adalah perkembangan fisik kota dan aspek kebijakan pemerintah. Perubahan penggunaan lahan berpengaruh pada perubahan pola usaha ekonomi rumah tangga yaitu dengan beralihnya mata pencaharian yang bergerak di sektor pertanian ke luar sektor pertanian. Perubahan mencolok yaitu makin berkembangnya sektor jasa dan perdagangan. Walaupun masih ada petani yang melakukan usaha kebunnya, petani itu tidak sepenuhnya bergantung pada sektor pertanian karena lahan yang dimiliki semakin lama semakin berkurang. Perubahan pola usaha ekonomi akan mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Namun hal ini tidak menyebabkan pendapatan rumah tangga bertambah besar, karena meskipun ragam peluang ekonomi baru lebih banyak, pekerjaan sektor informal yang dapat dimasuki yaitu strata bawah bersifat subsisten. 17 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Struktur Agraria Perubahan Struktur Agraria Agraria sendiri memiliki definisi yang sangat luas. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 mendefinisikan agraria sebagai seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Bumi yang disebutkan meliputi permukaan bumi, bagian tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Agraria tidak bisa terlepas dari manusia karena berhubungan dengan sumber daya alam yang dapat menunjang kehidupan manusia. Sitorus (2002) dalam Sihaloho (2004) mengemukakan bahwa lingkup agraria terdiri dari dua yaitu obyek agraria dan subyek agraria. Obyek agraria adalah sumbersumber agraria dalam bentuk fisik sementara subyek agraria adalah pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Dengan merujuk pada Pasal 1 (ayat 2,4,5,6) UUPA tahun 1960, Sitorus (2002) dalam Sihaloho (2004) menyimpulkan beberapa jenis sumber agraria yaitu, : tanah atau permukaan bumi, perairan, hutan, bahan tambang, dan udara. Struktur agraria pada dasarnya menjelaskan bagaimana struktur akses pihak- pihak yang terkait dengan sumberdaya agraria. Dengan kata lain, hubungan sosio- agraria dapat menjelaskan bagaimana struktur agraria suatu masyarakat. Selanjutnya pada aras yang lebih luas struktur agraria merupakan gambaran dari struktur masyarakat. Menurut Urlich Planck (1993) dalam Sihaloho (2004), struktur agraria terkait dengan hukum agraria. Hukum agraria dalam pengertian sempit adalah hukum pertanahan yang memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Ciri-ciri tersebut berkaitan satu sama lain dan hubungannya terhadap keseluruhan agraria dapat diukur. Seiring berjalannya waktu, sumber agraria yang ada tentu mengalami perubahan-perubahan yang memberikan dampak pada subyek agraria dan obyek agraria itu sendiri. Perubahan-perubahan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hubungan antara obyek agraria dengan subyek agraria akan terus berlangsung mengikuti perubahan zaman. Seiring berjalannya waktu, sumber-sumber agraria yang dimanfaatkan tentu akan mengalami perubahan, baik perubahan ke arah perbaikan maupun ke arah perusakan. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat mengubah struktur agraria. Menurut Zuber (2007) dalam Adly (2009) mengemukakan bahwa terdapat empat faktor yang dapat mempengaruhi perubahan struktur agraria, diantaranya: (1) permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian seperti pembangunan real estate, pabrik, areal perdagangan dan pelayanan lainnya yang membutuhkan areal tanah yang luas; (2) faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan; (3) kerusakan lingkungan seperti adanya musim kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan terutama pada usaha pertanian, penggunaan pestisida maupun pupuk yang dapat mematikan predator dan kerusakan lahan pertanian; (4) kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian, seperti harga pupuk yang tinggi, harga gabah yang rendah dan masalah pengaturan harga beras yang sampai sekarang masih sangat pelik. Lebih lanjut dalam penelitiah Sitorus et al. (2008) lahan menjadi salah satu dari dua faktor produksi yang saling terkait yaitu sebagai lahan dan modal finansial untuk penguasaan alat/bahan produksi pendukung lainnya. Hal ini mendorong struktur agraria baru, yaitu munculnya pola hubungan sosial produksi banyak pihak dan atau munculnya pola hubungan sosial produksi dan 18 pihak yang semakin terakumulasi/tersubordinasi antara pemilik lahan yang semakin kuat dan penggarap yang semakin lemah. Beberapa mekanisme yang mendorong perubahan struktur agraria menuju stratifikasi adalah pola bagi hasil dan pewarisan. Selain itu ada beberapa mekanisme yang mendorong polarisasi yaitu penjualan kebun dan buruh upahan serta akses petani terhadap program pemerintah (baik yang dilakukan pemerintah maupun perusahaan swasta). Perubahan struktur agraria di Segara Anakan pun diteliti oleh Suryawati (2012) yang menjelaskan bahwa kondisi Segara Anakan yang semakin buruk dan mengalami perubahan agraria disebabkan oleh aktivitas manusia dan dinamika interaksi yang terjadi antara aspek ekologis maupun aspek sosial. Selain itu, perubahan struktur agraria pun terjadi di berbagai daerah dengan berbagai penyebab salah satunya karena permintaan akan lahan yang semakin meningkat untuk pembangunan infrastruktur perkotaan. Hal ini terlihat pada penelitian Nilamsari (2005) yang menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan perkebunan untuk petani buah menjadi perumahan dan gedung-gedung bertingkat di Jakarta. Seiring berkembangnya waktu, perubahan alam yang terjadi mempengaruhi hubungan struktur agraria yang ada di dalamnya. Perubahan struktur agraria ini menjelaskan hubungan antara obyek agraria dengan subyek agraria. Sebagai akibat dari perubahan struktur agraria tersebut, hubungan di antara obyek dan subyek agraria dapat berlangsung secara harmonis maupun menimbulkan polemik akan pemanfaatan sumber agraria. Alih Fungsi Lahan atau Koversi Lahan Utomo et al. tahun 1992 dalam Septiana et al. (2012) menjelaskan konversi lahan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/ penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang UUPA yang dimaksud dengan konversi adalah penyesuaian hak-hak atas tanah yang pernah tunduk kepada sistem hukum lama yaitu hak-hak tanah menurut kitab undang-undang hukum perdata barat dan tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat untuk masuk dalam sistem hak- hak tanah menurut ketentuan UUPA. Selain itu, konversi lahan menurut Sihaloho (2004) adalah proses alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan pertanian. Konversi lahan dari non-pertanian ke lahan pertanian merupakan proses konversi dalam rangka program ekstensifikasi pertanian. Selain perubahan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian atau sebaliknya, terdapat makna konversi lain, menurut Suwitra (2010) yang dimaksud dengan konversi adalah pergeseran atau perubahan kepemilikan atas tanah, dari tanah komunal atau tanah adat menjadi kepemilikan pribadi atas dasar UUPA agar lebih menjamin adanya kepastian hukum terhadap hak penguasaan dan pemilikan tanah. Dalam penelitian Kindangen et.al. (2013) yang di lakukan di Tomohon, pembangunan di Tomohon, akan membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Sehingga, membutuhkan adanya perubahan alih fungsi lahan atau konversi. Daerah perkotaan 19 dipandang sebagai lokasi yang paling efisien untuk kegiatan non-pertanian yang produktif karena ketersediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya. Terdapat ada dua jenis proses konversi sawah, yaitu konversi langsung sawah oleh petani dan oleh pemilik tanah non petani yang melakukan melalui proses penjualan. Sebagian besar konversi sawah dilakukan oleh pembeli. Konversi melalui penjualan berlangsung dengan dua cara, yaitu cara di mana posisi petani adalah sebagai monopoli penjual dan pembeli monopsoni yang terjadi akibat adanya sangat tersegmentasi pasar tanah. Oleh karena itu, struktur pasar yang terbentuk lebih menekankan pada daya tawar. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan di Tomohon adalah faktor ekonomi, lanskap dan keamanan pangan. Dari aspek ekonomi, tingkat pendapatan petani, kegiatan ekonomi dan harga tanah berpengaruh cukup tinggi pada konversi lahan. Pendapatan petani yang tidak terlalu tinggi menyebabkan petani lebih memilih untuk menjual tanahnya. Selain itu, pengembangan kegiatan ekonomi membutuhkan area yang lebih luas. Dilihat dari aspek lanskap, yang paling berpengaruh pada konversi lahan di Tomohon adalah infrastuktur atau kedekatan dengan lokasi lahan, tingkat aksesibilitas lahan dan kebutuhan lahan. Sawah bukan sekedar sebagai faktor produksi dalam proses produksi pangan, namun merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari eksistensi petani. Oleh karena itu, konversi lahan bukan sekedar berkurangnya luas lahan sawah, tetapi juga merupakan degradasi agroekosistem. Beberapa penelitian yang dilakukan di lapangan, menjelaskan bahwa konversi yang terjadi merupakan konversi atau alih fungsi dari lahan pertanian ke non-pertanian. Sangat langka sekali terjadi konversi lahan non pertanian menjadi lahan pertanian. Sehingga luas lahan pertanian dari tahun ke tahun semakin berkurang. Dampak Petani yang Tergusur Menurut Sumaryanto dan Sudaryanto (2005) dampak negatif dari konversi lahan sawah adalah degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional yang secara tidak langsung menyebabkan turunnya produktivitas lahan sawah, penurunan pendapatan pertanian dan meningkatnya kemiskinan, hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap dan buruh tani, pemubaziran pembangunan irigasi dan rusaknya ekosistem sawah. Beberapa mengalami peningkatan kesejahteraan, namun hanya dialami oleh golongan atas, sedangkan golongan bawah sebaliknya. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat et al. (2012) di Kota Banjarbaru yang menyatakan bahwa, konversi lahan pertanian dapat berdampak positif maupun negatif. Dampak negatifnya adalah menurunnya kapasitas produksi padi yang berimplikasi pada penurunan penghasilan petani dan hilangnya kesempatan kerja bagi buruh tani, pembangunan irigasi yang sia-sia, berubahnya usaha tani baru dari sektor pertanian ke sektor non pertanian, dan pendapatan petani menjadi bergantung pada usaha baru yang digelutinya. Setelah adanya konversi, pendapatan petani ada yang meningkat karena berhasil dalam usaha barunya, tetap dikarenakan menjadi buruh bangunan dan menurun karena tidak mempunyai kemampuan selain bertani. Sedangkan dampak positif adalah petani atau pemilik tanah dapat meningkatkan pendapatan mereka. Serupa dengan hasil penelitian oleh Nilamsari (2005) di Condet, dampak dari konversi lahan pertanian adalah pergeseran mata pencaharian dari sektor pertanian ke non pertanian. Petani sekarang lebih banyak bekerja di sektor jasa dan 20 perdagangan, yang dahulu dijadikan pekerjaan sampingan saat ini menjadi mata pencaharian utama. Menurut Bachriadi dan Lucas (2011), konversi lahan berdampak pada hilangnya nafkah pada buruh tani, hilangnya lahan garapan maka hilang juga persediaan pangan, sehingga menimbulkan pengangguran. Hal tersebut berimplikasi pada mental diri petani yang tadinya sibuk bertani sekarang hanya lebih sering berdiam diri. Sebagai contoh kasus di Cimacan, karena lahannya digusur untuk dijadikan Lapangan Golf Cibodas, beberapa petani lebih sering termenung berdiam diri, hanya sesekali ngobyek di Cibodas. Kasus di Kampung Mulyaharja, konversi lahan pertanian tidak hanya berdampak pada kesejahteraan petani, tetapi juga berdampak pada proses “marginalisasi” atau “pemiskinan” baik di sektor pertanian maupun non pertanian (Sihaloho 2004). Proses kehidupan petani di pedesaan Jawa tidak terlepas dari adanya penguasaan lahan sawah yang jauh dari keadilan. Sebagian kecil warga masyarakat menguasai lahan yang sangat luas, namun di sisi lain sebagian besar masyarakat memiliki lahan sawah yang sempit, bahkan tidak memiliki lahan sawah sama sekali. Oleh karena itu, muncul istilah petani berdasi atau petani bersafari yang merupakan segolongan orang yang menguasai lahan sawah di pedesaan dengan jumlah sawah yang cukup luas. Lahan Sebagai Sumber Agraria Status dan Kepemilikan Lahan Ilhamdaniah (2011) Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Status kepemilikan lahan yang ada di wilayah Gedebage menurut Ilhamdaniah (2011) yang didominasi tanah adat dan SHM merupakan salah satu faktor yang memudahkan pengembang untuk menguasai tanah di kawasan Gedebage untuk dikembangkan menjadi kawasan perumahan real estatMardiyaningsih, Dharmawan, dan Tonny (2010) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa terdapat perbedaan segi pola pemilikan lahan di daerah penelitiannya di Kasepuhan Sinar Resmi. Pada komunitas Kasepuhan Sinar Resmi, pola kepemilikan lahannya berupa lahan komunal yang dikelola bersama. Hal ini berbeda dengan komunitas Dusun Sumurjaya yang sudah tidak terdapat lagi lahan komunal. Hampir semua lahan yang ada berstatus milik individual dan milik negara. Sebagian besar status kepemilikan lahan di Dusun Sumurjaya yaitu berupa hak milik. Selain itu ada juga yang berupa sewa lahan, sakap, dan gadai. Dalam penelitian Fujimoto (2012) terdapat lima macam status kepemilikan tanah yaitu pemilik, pemilik-petani pemilik, tuan tanah-pemilik-petani penyewa, petani pemilik, dan pemilik-petani penyewa. Purwandari dan Savitri (2006) pun dalam penelitiannya menjelaskan status kepemilikan lahan di dua desa yaitu Desa Sungai Aur dan Desa Rambut. Status tanah di sini meliputi tanah milik pribadi, tanah desa dan tanah negara. Bentuk status tersebut muncul sebagai implikasi dari model pendistribusian kepemilikan lahan. Prosedur dan proses penguasaan tanah dari tanah milik desa ke tanah milik pribadi di dua desa tidak jauh berbeda. Di Sungai Aur dan Sungai Rambut, tanah dimohon kepada Kepala Desa. Istilah jual beli tanah tidak dikenal dalam komunitas tersebut, mereka lebih suka menyebutnya dengan ganti rugi tanah. Terdapat 21 perbedaan antara penduduk asli dan pendatang dalam hal akses terhadap kepemilikan lahan. Penduduk asli sangat mudah melakukan klaim kepemilikan tanah sedangkan pendatang harus memperoleh lahan dengan cara mendapat bagian atas kebijaksanaa Kepala Desa. Tanah milik umum di Sungai Aur terdapat dua jenis yaitu tanah adat dan tanah ulayat. Tanah adat merupakan tanah warisan nenek moyang dan tanah ulayat yaitu tanah sela antara tanah adat dengan tanah Hak Pengguna Lain (HPL). Pada tanah milik negara, pemegang hak atas tanah tersebut adalah TNB (Taman Nasional Berbak) dan PT. DHL. Tipe penguasaan tanah ini menimbulkan konflik antara pemegang hak atas tanah (TNB dan PT. DHL) dengan komunitas di ke dua desa tersebut. Pola Penguasaan Lahan Pola Penguasaan Lahan Pola penguasaan lahan dalam pertanian oleh Darwis (2008) dalam Mardiyaningsih, Dharmawan, dan Tonny (2010) diklasifikasikan statusnya menjadi hak milik, sewa, sakap (bagi hasil), dan gadai. Pakpahan, et.al. (1992) dalam Darwis (2008) dalam Mardiyaningsih, Dharmawan, dan Tonny (2010) mendefinisikan sewa, sakap, dan gadai sebagai bentuk penguasaan lahan di mana terjadi pengalihan hak garap dari pemilik lahan kepada orang lain. Hal ini sejalan dengan penjelasan Wiradi (2009) yang menyebutkan tentang jenis-jenis penguasaan lahan yang diaplikasikan di Indonesia yaitu berupa sewa, sakap atau bagi hasil, menjual lepas, gadai, dan maro atau sewa bersama-sama dengan gadai. Pola penguasaan lahan pun terjadi pada penelitian Mardiyaningsih, Dharmawan, dan Tonny (2010) yang menjelaskan bahwa ada komunitas Kasepuhan, sebagian besar lahan komunitas merupakan tanah negara. Warga komunitas hanya mendapatkan izin untuk menggarap. Warga komunitas pun mendapat hak garap lahan untuk budi daya pertanian dari kasepuhan atas izin pimpinan kasepuhan yaitu Abah. Jika hak garap ini tidak sanggup dilakukan oleh satu keluarga maka dapat dialihkan kepada anggota komunitas lain dengan sistem bagi hasil (sakap). Lahan-lahan yang ada tidak dapat diperjual belikan dan menuruti aturan adat dalam pola pengelolaannya. Pola penguasaan lahan dalam bentuk sewa dan gadai tidak ditemukan dalam masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi. Sebagian besar status kepemilikan lahan di Dusun Sumurjaya yaitu berupa hak milik. Selain itu ada juga yang berupa sewa lahan, sakap, dan gadai. Sewa lahan umumnya dilakukan oleh masyarakat di luar Desa Sidajaya karena memiliki harga sewa yang relatif murah dibandingkan di Desa Sidajaya. Pola penguasaan lahan dalam bentuk sakap (bagi hasil) dilakukan antara pemilik lahan dengan petani tanpa lahan dengan sistem maro. Hak penguasaan lahan dalam bentuk gadai diperoleh berdasarkan perjanjian uang di mana lahan persawahan dijanjikan sebagai barang jaminan sampai uang dipinjam berhasil dikembalikan dalam jangka waktu yang disepakati. Berbeda dengan penelitian lain, penelitian Ukoha, Orebiyi, Ohajianya, dan Ibekwe (2011) menjelaskan bahwa kemudahan penguasaan luas lahan dibedakan atas peran gender. Rumah tangga yang dikepalai oleh laki-laki lebih mudah dalam menguasai lahan dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai oleh wanita. Hal ini dikarenakan laki-laki dinilai lebih bisa mengelola lahan untuk pertanian maupun kegiatan lain dan menjamin keamanan pangan. Peran gender ini membatasi penguasaan lahan rumah tangga yang dikepalai oleh lelaki dan wanita. Tujuan dari pembatasan ini adalah untuk menjaga keamanan pangan keluarga. 22 Hasil-hasil penelitian yang dijelaskan pada umumnya menggunakan sistem gadai, sewa-menyewa, sakap dalam pengelolaan lahan yang dilakukan masyarakat. Sistem ini tentu saja harus menyesuaikan dengan kearifan lokal dan sistem adat yang berlaku di daerah tersebut. Sistem yang dipakai dalam penguasaan lahan oleh petani tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Resiko tersebut harus di terima oleh pihak-pihak yang terlibat dalam penguasaan lahan. Bila pihak yang terlibat tidak dapat menerima konsekuensi yang telah disepakati, maka sistem penguasaan lahan berjalan tidak lancar bahkan akan menimbulkan konflik. Ketahanan (persistence) Masyarakat Menurut Nuryartono (2007) Ketahanan memiliki dua aspek yaitu (1) Suatu keadaan untuk kembali pada situasi normal dan (2) besaran dari perubahan di mana suatu lingkungan mampu meyesuaikan diri sehingga tidak terjadi pengaruh yang negatif. Lebih lanjut Nuryartono (2007) mengembangkan konsep ketahanan dalam makalah ini yaitu (1) kemampuan untuk mengatasi tekanan, guncangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya (2) kemampuan untuk mengelola dan meningkatkan kapabilitas serta aset yang dimiliki baik pada saat ini dan pada masa yang akan datang. Ketergantungan masyarakat pedesaan terhadap sumberdaya alam yang tinggi dalam aktivitas ekonomi akan sangat beresiko yang mengakibatkan ketidakstabilan ketahanan masyarakat. Berdasarkan uraian ketahanan di atas, dalam menghadapi guncangan yang terjadi masyarakat tentu harus tetap menjamin kebutuhan dasar dalam kehidupan yaitu dalam hal air, energi, dan pangan. Menurut FAO (2014) FEW (Food Energy Water) merupakan sebuah pendekatan baru dalam mendukung ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan. Air, energi dan pangan sangat penting untuk kesejahteraan manusia, pengurangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. Proyeksi global menunjukkan bahwa permintaan air tawar, energi dan makanan akan meningkat secara signifikan dalam dekade berikutnya di bawah tekanan pertumbuhan penduduk dan mobilitas, pembangunan ekonomi, perdagangan internasional, urbanisasi, diversifikasi diet, perubahan budaya dan teknologi, dan perubahan iklim. Namun masalah terbesar dari ketahanan pangan adalah konversi lahan sebagaimana menurut Sumaryanto dan Sudaryanto (2005) dampak negatif dari konversi lahan sawah adalah degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional yang secara tidak langsung menyebabkan turunnya produktivitas lahan sawah, penurunan pendapatan pertanian dan meningkatnya kemiskinan, hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap dan buruh tani, pemubaziran pembangunan irigasi dan rusaknya ekosistem sawah. Pengaruh Pola Penguasaan Lahan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Banyak penelitian yang mengkaji masalah tanah ataupun sumber daya agraria yang hampir semuanya menunjukkan ada permasalahan mendasar dalam pengelolaan sistem pertanahan maupun pengelolaan sumber daya agraria. Kajian tersebut meliputi konflik dan kemiskinan yang bersumber dari ketiadaan akses terhadap tanah dan sumber-sumber agraria menjadi potret yang paling banyak disajikan, bahkan hingga kini. Selain itu Yunilisiah (1996) menjelaskan bahwa luas penguasaan tanah para rumah tangga petani merupakan faktor penentu total 23 pendapatan rumah tangga petani, dimana semakin luas penguasaan tanah semakin tinggi tingkat pendapatan total rumah tangga (pertanian dan luar pertanian). Ratarata pendapatan perkapita setahun di desa transmigrasi Marga Sakti adalah Rp 286.000,00 lebih tinggi dari batas garis kemiskinan yang diukur berdasarkan nilai pengeluaran setara 320 kg beras per kapita setahun sebesar Rp 208.000,00 (harga beras di lokasi penelitian Rp 650,00/kg). Secara nyata, masih terdapat 45 persen rumah tangga miskin di desa transmigrasi ini. Jumlah rumah tangga miskin sebagian besar ditemukan pada rumah tangga tak bertanah dan berlahan sempit, sebagian kecil ditemukan pada rumah tangga lapisan atas (petani bertanah luas). Hal ini membuktikan bahwa luas penguasaan tanah merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesejahteraan rumah tangga transmigran. Bila melihat pada kualitas hidupnya, 57 persen rumah tangga transmigran masih rendah, sedikit lebih tinggi dibanding jumlah rumah tangga miskin (45 persen). Kualitas hidup rumah tangga yang masih rendah tampak dari empat indikator yaitu pola pengeluaran rumah tangga untuk pangan, kondisi rumah transmigran, kondisi kesehatan yang masih rendah, dan tingkat pendidikan anggota keluarga yang masih rendah. Dari penjabaran tersebut dapat terlihat bahwa pola penguasaan lahan memiliki pengaruh terhadap kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. 24 SIMPULAN Hasil Rangkuman dan Pembahasan Perubahan struktur agraria ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian, faktor sosial budaya, kerusakan lingkungan, kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian. Permintaan akan lahan semakin meningkat sesuai dengan kebutuhan namun tidak diiringi dengan luas wilayah yang memadai. Konversi lahan merupakan salah satu faktor penyebab perubahan pola penguasaan lahan, terdapat berbagai cara untuk menguasai lahan yang diterapkan oleh masyarakat perkotaan maupun di pedesaan. Konversi lahan yang terjadi menimbulkan berbagai dampak salah satunya adalah dampak ekonomi yang di alami oleh petani. Dibutuhkan suatu konsep ketahanan dalam diri masyarakat agar mampu mengdapai guncangan atau dampak dari perubahan yang terjadi. Ancaman ketahanan pangan akibat dari dampak konversi lahanpun turut menjadi perhatian. Penerapan struktur penguasaan lahan ini diharapkan mampu membantu meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat yang menguasai lahan. Tetapi kasus lain juga menyebutkan bahwa tidak semua struktur penguasaan lahan mampu untuk meningkatkan kesejahteran mereka, justru semakin menurunkan kesejahteraan baik secara sosial maupun ekonomi. Tingkat kesejahteraan ekonomi dapat dilihat dari hasil yang didapatkan dari menguasai lahan maupun aset-aset fisik yang dimiliki oleh mereka. lalu tingkat kesejahteraan sosial dapat ditinjau dari sisi hubungan-hubungan antar aktor yang berdampak pada kehidupan mereka. 25 Usulan Kerangka Analisis Baru Alih fungsi lahan merupakan fenomena yang tidak dapat di hindari lagi saat ini, kebutuhan manusia akan lahan menjadi salah satu faktornya. Alih fungsi lahan ini menyebabkan terjadinya perubahan penguasaan lahan. Kebutuhan manusia akan lahan yang semakin meningkat, berakibat pada banyak aktor yang ingin menguasai lahan tersebut. Aktor yang ingin menguasai lahan melakukan berbagai cara untuk memiliki hak terhadap sumberdaya agraria tersebut. Mulai dari perjanjian hingga hukum yang berlaku, merupakan cara mereka untuk mengubah struktur penguassaan lahan. Banyak masyarakat yang tergiur akan perjanjian para aktor dalam melakukan transaksi perubahan struktur penguasaan lahan. Dibalik maraknya konversi lahan yang terjadi mayarakat perlu adanya ketahanan (persistence) dalam diri masyarakat, untuk mempertahankan hak mereka terhadap lahan dan menahan guncangan akibat perubahan yang terjadi. Selain itu perlu adanya ketahanan terhadap pangan yang dispesifikan dalam ketahanan air, energi dan pangan. Penerapan struktur penguasaan lahan ini diharapkan mampu membantu meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat yang menguasai lahan. Tetapi kasus lain juga menyebutkan bahwa tidak semua struktur penguasaan lahan mampu untuk meningkatkan kesejahteran mereka, justru semakin menurunkan kesejahteraan baik secara sosial maupun ekonomi. Tingkat kesejahteraan ekonomi dapat dilihat dari hasil yang didapatkan dari menguasai lahan maupun aset-aset fisik yang dimiliki oleh mereka. Lalu tingkat kesejahteraan sosial dapat ditinjau dari sisi hubungan-hubungan antar aktor yang berdampak pada kehidupan mereka. 26 Konversi Lahan Perubahan Pola Penguasaan Lahan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Persistence Masyarakat Memiliki Tidak Memiliki Dampak Dampak Positif Negatif Positif Keterangan : : Menyebabkan : Terdiri dari : Fokus penelitian Gambar 1. Kerangka Analisis Negatif 27 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi Berdasarkan kerangka analisis yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana konversi lahan atau alih fungsi lahan mempengaruhi perubahan struktur penguasaan lahan ? 2. Apa dampak dari perubahan struktur penguasaan lahan terhadap ketahanan (persistence) masyarakat ? 3. Apa dampak dari ketahanan masyarakat terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat ? 28 DAFTAR PUSTAKA Adly WS. 2009. Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Antrop M. 2005. Sustainable Landscape: Contradiction, Fiction, or Utopia. Landscape and Urban Planning. [Internet]. [Dikutip 5 Desember 2013]. 75: 187-197. Dapat diunduh dari: http://elsevier.com/locate/landurbplan Bachriadi D dan Lucas A. 2001. Merampas tanah rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan. Jakarta [ID]: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Benu MN, Maryunani, Sugianto dan Kindangen P. 2013. Analysis of land conversion and its impacts and strategies in managing them in city of Tomohon, Indonesia. Asian Transactions on Basic an Applied Science (ABAS). [Internet]. [23 September 2014]. 03: 65-72. Dapat diunduh dari: www.asian-transactions.org/Journals/Vol03Issue02/ATBAS/ATBAS40329021.pdf [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk Indonesia tahun 2010. [Internet]. [dikutip 17 September 2014]. Dapat diunduh dari: http://www.sp2010.bps.go.id/ Chi PVQ, Fujinomoto A. 2012. Land Tenure and Tenancy Conditions in Relation to Rice Production in Three Villages in The Red River Delta, Vietnam. J ISSAAS. [Internet]. [17 September 2014]. 18(1):31-48. Dapat diunduh dari: http://www.issaas.org/journal/v18/01/journal-issaas-v18n1-05chi_fujimoto.pdf Damayanti T. 2009. Perubahan Struktur Agraria Pada Lahan Sisa Konversi Pertanian dan Ketahanan (Persistence) Masyarakat Tani. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 31 hal. Hidayat AH, Hanafie U, Septiana N. 2012. Dampak konversi lahan pertanian bagi taraf hidup petani di Kelurahan Landasan Ulin Barat Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru. J Agribisnis Pedesaan. [Internet]. [15 Oktober 2014]. 2(2) : 95-107. Dapat diunduh dari : ejournal.unlam.ac.id/index.php/agrides/article. Mardiyaningsih DI, Dharmawan A, dan Tonny F. 2010. Dinamika Sistem Penghidupan Masyarakat Tani Tradisional dan Modern di Jawa Barat. J Sodality. 4(1): 115-145. Mulyani L, Yogaswara H, Masnun L, dan Mardiana R. 2011. Strategi Pembaruan Agraria Untuk Mengurangi Kemiskinan. Dalam: Mulyani L, editor. Jakarta [ID]: PT. Gading Inti Prima. Hal 2. Ramadhan A, Hafsaridewi R. 2012. Dampak Perubahan Lingkungan terhadap Perkembangan Aktivitas Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Kawasan Segara Anakan. [Internet]. [ 23 September 2014]. 7(1):33-53. Dapat diunduh dari: http://www.bbrse.kkp.go.id/publikasi/jurnal 2012_v7_no1_ %283%29_full.pdf Ruswandi A, Rustiadi E, Mudikdjo K. 2007. Konversi Lahan Pertanian dan Dinamika Perubahan Penguasaan Lahan di Kawasan Bandung Utara. [Internet]. [17 September 2014]. 1(4):66-74. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/handle/Ngd.dpbs Savitri LA, Purwandari H. 2006. Penguasaan Sumber-sumber Agraria dan Konservasi Kawasan: Perkawinan antara Intervensi Struktural dan Jurang 29 Kultural dalam Kasus Rehabilitasi Lahan Gambut di Jambi. J Pembaharuan Desa dan Agraria. 3(3): 27-40. Sihaloho M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hal 20. Sitorus MTF, Dharmawan AH, Fadjar U, dan Sihaloho M. 2008. Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Petani. Suwitra IM. 2010. Dampak konversi dalam UUPA terhadap status tanah adat di Bali. J Hukum. [Internet]. [28 November 2013]. 17(01): 103-118. Dapat diunduh dari : http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/1%20I%20Made%20 Suwitra.pdf White B dan Wiradi G. 2009. Reforma agraria dalam tinjauan komparatif. Bogor (ID): Brigthen Institute. 122 hal xxx RIWAYAT HIDUP Ulfa Lestari dilahirkan di Bogor pada tanggal 11 Oktober 1993. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara yang terlahir dari pasangan Drs. Prawira Rafady dan Nuriha. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-kanak IP Jakarta Selatan pada tahun 1997-1999. Selama Sekolah Dasar penulis mengalami pindah sekolah lebih dari 4 kali , Pertama melanjutkan di Sekolah Dasar Negeri 01 Kepenuhan Riau, Kelas 3 SD Penulis melanjutkan Sekolah Dasar di sekolah Dasar Negeri 003 Pekanbaru, dan berselang 3 bulan melanjutkan di Sekolah Dasar Negeri 002 Siak, mulai dari kelas 5 SD sampai lulus melanjutkan Sekolah Dasar 003 Koto Gasib. Melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Siak, Riau tahun 20072008, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Siak, Riau tahun 2008-2011. Pada tahun 2011, penulis melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan di Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama penulis menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan organisasi baik di dalam maupun di luar kampus. Selama dua tahun kepengurusan, penulis aktif dalam himpunan profesi dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yaitu Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai anggota divisi Public Relation periode 2013-2014.