Pola Penguasaan Lahan

advertisement
i
Laporan Studi Pustaka (KPM 403)
DAMPAK PERUBAHAN STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN
TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN DAN
KETAHANAN (PERSISTENCE) MASYARAKAT
ULFA LESTARI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
ii
Pernyataan
Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Dampak
Perubahan Struktur Penguasaan Lahan Terhadap Tingkat Kesejahteraan
Dan Ketahanan (Persistence) Masyarakat” benar-benar hasil karya saya sendiri
yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau
lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam
naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia
mempertanggungjawabkan pernyataan ini.
Bogor, Oktober 2014
Ulfa Lestari
NIM. I34110026
iii
DAMPAK PERUBAHAN STRUKTUR PENGUASAAN LAHAN
TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN DAN KETAHANAN
(PERSISTENCE) MASYARAKAT
Oleh
ULFA LESTARI
I34110026
Laporan Studi Pustaka
sebagai syarat kelulusan KPM 403
pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN
MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
iv
Lembar Pengesahan
Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh:
Nama Mahasiswa : Ulfa Lestari
Nomor Pokok
: I34110026
Judul
: Dampak Perubahan Struktur Penguasaan Lahan Terhadap
Tingkat Kesejahteraan Dan Ketahanan (Persistence)
Masyarakat
dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Disetujui oleh
Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Pengesahan : _______________
v
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan Studi Pustaka yang berjudul “Dampak Perubahan Struktur
Penguasaan Lahan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Dan Ketahanan (Persistence)
Masyarakat” ini dengan baik. Penulislan laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk
memenuhi syarakat kelulusan MK. Studi Pustaka (KPM 403), pada Departemen
Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Endriatmo
Soetatrto, MA selaku pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan
selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Penulis
juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada Ibu Nurutiha dan Bapak Drs.
Prawira Rafady selaku orang tua, Muhammad Yasin dan Muhammad Farhan selaku
adik yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan doa yang sangat
bermanfaat untuk penulis dalam menyelesaikan Studi Pustaka ini. Selain itu,
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman suka duka dan seperjuangan,
Gagah, Mabs, Anin, Ela, dan Ichris yang telah memberikan dukungan baik moril
maupun materil dalam proses penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada mahasiswa Departemen SKPM seluruh
angkatan, khususnya angkatan 48, yang selalu menemani dalam proses perkuliahan
selama beberpa tahun ini dan memberikan pelajaran bermanfaat kepada penulis.
Semoga laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Oktober 2014
Ulfa Lestari
I34110026
vi
Daftar Isi
Daftar Gambar ...................................................................................................... viii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Tujuan Tulisan ..................................................................................................... 2
Metode Penulisan ................................................................................................ 2
RANGKUMAN DAN ANALISIS PUSTAKA ...................................................... 3
1.
Judul : Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Petani 3
2. Judul : Pemahaman Dampak Negatif Konversi Lahan Sawah sebagai
Landasan Perumusan Strategi Pengendaliannya ................................................. 4
3. Judul : Analysis of Land Conversion and its Impacts and Strategies in
Managing Them in City of Tomohon, Indonesia ................................................. 5
4. Judul : Land Tenure and Tenancy Conditions in Relation to Rice
Production in Three Villages In The Red River Delta, Vietnam ......................... 7
5. Judul : Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan &
Wilaya ................................................................................................................. 8
6. Judul :Kajian Pengembangan Lahan untuk Kawasan Perumahan Kota
Bandung Ditinjau dari Aspek Status Kepemilikan Tanah dan Preferensi
Pengembang Perumahan ..................................................................................... 9
7. Judul : Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani di
Kelurahan Landasan Ulin Barat Kecamatan Liang Anggang Kota Banjarbaru 10
8. Judul : Pola Penguasaan Tanah dan Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani
di Desa Transmigrasi ......................................................................................... 11
9. Judul : Penguatan Ketahanan Masyarakat Desa Dalam Pembangunan
Pertanian dan Mengurangi Kemiskinan ............................................................ 13
10.
Judul : The Water-Energy-Food Nexus : A new approach in support of
food security and sustainable agriculture ......................................................... 14
11.
Judul : Pengaruh Perubahan Penguasaan dan Penggunaan Lahan
terhadap Pola Usaha Ekonomi Rumah Tangga Etnik Betawi di Condet .......... 15
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN .............................................................. 17
Struktur Agraria ................................................................................................. 17
Perubahan Struktur Agraria ............................................................................... 17
Alih Fungsi Lahan atau Koversi Lahan ............................................................. 18
Dampak Petani yang Tergusur .......................................................................... 19
vii
Lahan Sebagai Sumber Agraria ......................................................................... 20
Status dan Kepemilikan Lahan .......................................................................... 20
Pola Penguasaan Lahan ..................................................................................... 21
Ketahanan (persistence) Masyarakat ................................................................. 22
Pengaruh Pola Penguasaan Lahan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat.......... 22
SIMPULAN .......................................................................................................... 24
Hasil Rangkuman dan Pembahasan .................................................................. 24
Usulan Kerangka Analisis Baru ........................................................................ 25
Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi .................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 28
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. xxx
viii
Daftar Gambar
Gambar 1. Kerangka Analisis …………………………………………………26
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan jumlah Penduduk Indonesia
yaitu 237,6 juta jiwa, bertambah 32,5 juta jiwa sejak tahun 2000. Menurut Benu
NM dkk (2013) pertumbuhan penduduk adalah implikasi dari perkembangan
sebuah kota. Pertumbuhan penduduk bukan hal yang negatif, tapi itu hanya seperti
dua sisi mata uang. Di satu sisi itu adalah aset untuk pengembangan kawasan dan
di sisi lain itu adalah beban ke daerah. Ini berarti bahwa daerah harus menyediakan
ruang untuk hidup dalam bentuk sumber makanan, tempat tinggal dan publik
fasilitas. Hal ini bertentangan dengan ketersediaan lahan yang tetap. Lahan atau
tanah merupakan salah satu sumber agraria yang digunakan untuk kehidupan sosial
dan kehidupan ekonomi. Kehidupan sosial, seperti berkeluarga, bersekolah,
beribadat, berekreasi, berolah raga, dan kegiatan ekonomi seperti bertani, berkebun,
beternak, memelihara/menangkap ikan, menebang kayu di hutan dan sebagainya,
(Jayadinata 1992). Kebutuhan akan lahan dalam memenuhi kebutuhan manusia ini
mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan. Menurut Utomo et al. tahun 1992
dalam Septiana et al. (2012) menjelaskan konversi lahan dapat diartikan sebagai
perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula
(seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif
(masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.
Pada saat ini hampir semua Negara memiliki kebijakan dalam pembangunan
ekonomi, dan pengalaman di hampir semua Negara menunjukkan bahwa
industrialisasi sangat perlu karena menjamin pertumbuhan ekonomi. Menurut
Tambunan (2001) fakta di banyak Negara menunjukkan bahwa tidak ada
perekonomian yang hanya bertumpu sektor-sektor primer (pertanianpertambangan) mampu mencapai tingkat pendapatan per kapita diatas US$500
selama jangka panjang (Kahn 1979), contohnya Indonesia. Hal tersebut
mengakibatkan kurangnya kontribusi lapangan pekerjaan pada sektor pertanian
khsusunya kemampuan dalam kesempatan kerja. Akibatnya semakin besar
terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Menurut data
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, dalam 10 tahun terakhir terdapat alih
fungsi lahan sawah menjadi non pertanian seperti industri dan perumahan seluas
80.000 ha per tahun.
Alih fungsi lahan yang terjadi berdampak pada perubahan struktur agraria,
Menurut Wiradi (2009) struktur agraria menyangkut land tenure (hak atas tanah
atau penguasaan tanah) dan land tenancy (orang yang memiliki, memegang,
menempati, menyewa sebidang tanah tertentu). Perubahan struktur agraria dalam
hal perubahan penguasaan lahan tentunya menimbulkan berbagai dampak salah
satunya adalah kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan semakin berubahnya pola
penguasaan lahan ini masyarakat yang terlibat di dalamnya tentu mengalami
guncangan perubahan, baik berupa ketahanan untuk kembali pada kondisi awal
sebelum terjadinya perubahan maupun ketahanan dalam hal FEW (Food, Energy,
dan Water). Menurut FAO atau Food Agricultural Organitation (2011) FEW
merupakan sebuah pendekatan baru dalam mendukung ketahanan pangan dan
pertanian berkelanjutan. Air, energi dan pangan memiliki peran sangat penting
untuk kesejahteraan manusia, pengurangan kemiskinan dan pembangunan
2
berkelanjutan. Oleh karena itu, tulisan ini akan memaparkan perubahan struktur
penguasaan lahan yang terjadi, dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat dan
tingkat ketahanan (persistence) masyarakat.
Tujuan Tulisan
Alih fungsi lahan yang terjadi dapat memunculkan perubahan struktur
agraria seperti perubahan penguasaan lahan atau hak kepemilikan. Perubahan
struktur penguasaan lahan yang terjadi memicu terjadinya berbagai dampak dan
salah satunya adalah kesejahteraan. Pada umumnya struktur penguasaan lahan
sangat beragam tergantung pada hukum dan adat masyarakat setempat. Banyak
kalangan yang memiliki kepentingan akan lahan sering menyebabkan terjadinya
ketimpangan penguasaan lahan. Di dalam perubahan penguasaan lahan yang terjadi
tersebut terdapat daya bertahan atau ketahanan masyarakat dalam menghadapi
perubahan tersebut. Oleh karena itu, tujuan dari studi pustaka ini yaitu untuk
menganalisis perubahan struktur penguasaan lahan yang terjadi, dampaknya
terhadap kesejahteraan masyarakat dan tingkat ketahanan (persistence) masyarakat.
Metode Penulisan
Metode penulisan studi pustaka ini adalah dengan menggunakan studi
literatur yaitu dengan mengumpulkan data sekunder terkait dengan perubahan
struktur agraria, pola penguasaan lahan, ketahanan (persistence) masyarakat dan
dampak kesejahteraan masyarakat yang mengalami perubahan struktur. Data yang
digunakan dalam penulisan studi pustaka ini diperoleh dari berbagai sumber
rujukan seperti buku, jurnal, laporan penelitian, tesis, dan disertasi yang sesuai
dengan topik yang diangkat. Kemudian data sekunder yang diperoleh disajikan
dalam bentuk pemaparan secara deskriptif dengan cara mengikhtisarkan beberapa
rujukan yang berkaitan dengan topik, kemudian disusun menjadi tulisan ilmiah
sesuai dengan sistematika penulisan yang terdiri dari pendahuluan, rangkuman dan
analisis pustaka, rangkuman dan pembahasan, serta simpulan.
3
RANGKUMAN DAN ANALISIS PUSTAKA
1. Judul
: Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi
Kesejahteraan Petani
Tahun
: 2008
Jenis Pustaka
: Jurnal
Bentuk Pustaka
: Cetak
Nama Penulis
: MT. Felix Sitorus, Arya H. Dharmawan,
Undang Fadjar, dan Martua Sihaloho
Kota dan Nama Penerbit : Nama Jurnal
: Volume (edisi): hal
: Alamat URL
: Tanggal Unduh
: -
Hasil penelitian tahun 2008 yang dilakukan di dua komunitas petani
berbasis tanaman kelapa sawit di dua desa di Kabupaten Kampar-Provinsi Riau
ditemukan bahwa lahan tidak hanya sebagai faktor produksi tunggal. Lahan
menjadi salah satu dari dua faktor produksi yang saling terkait yaitu sebagai lahan
dan modal finansial untuk penguasaan alat/bahan produksi pendukung lainnya. Hal
ini mendorong struktur agraria baru, yaitu munculnya pola hubungan sosial
produksi banyak pihak dan atau munculnya pola hubungan sosial produksi dan
pihak yang semakin terakumulasi/tersubordinasi antara pemilik lahan yang semakin
kuat dan penggarap yang semakin lemah. Pemilik lahan yang juga menguasai
alat/bahan produksi lainnya dan atau modal finansial maka hasil keuntungan usaha
tani semakin terakumulasi pada pemilik lahan. Dalam penelitian ini konsep
penguasaan lahan mencakup pengertian penguasaan tetap (pemilikan perorangan)
dan penguasaan sementara (bagi hasil, sewa, buruh upah sadap, dan gadai). Selain
itu, konsep “penguasaan” menunjukkan pada penguasaan efektif. Data hasil sensus
di lokasi penelitian menunjukkan bahwa struktur agraria komunitas petani berbasis
tanaman sawit dan karet dibangun oleh beragam lapisan sosial yang sangat
beragam, yaitu pemilik, pemilik dan penggarap, pemilik dan buruh tani, penggarap,
penggarap dan buruh tani, dan buruh tani. Akan tetapi struktur agraria komunitas
petani yang hanya berbasis tanaman sawit dibangun oleh lapisan yang sederhana,
yaitu petani pemilik, pemilik dan penggarap serta buruh tani.
Beberapa mekanisme yang mendorong perubahan struktur agraria menuju
stratifikasi adalah pola bagi hasil dan pewarisan. Selain itu ada beberapa
mekanisme yang mendorong polarisasi yaitu penjualan kebun dan buruh upahan
serta akses petani terhadap program pemerintah (baik yang dilakukan pemerintah
maupun perusahaan swasta).
Analisis:
Dari hasil penelitian didapat bahwa lahan menjadi salah satu dari dua
faktor produksi yang saling terkait yaitu sebagai lahan dan modal finansial untuk
penguasaan alat/bahan produksi pendukung lainnya. Hal ini mendorong struktur
agraria baru, yaitu munculnya pola hubungan sosial produksi banyak pihak dan atau
munculnya pola hubungan sosial produksi dan pihak yang semakin
terakumulasi/tersubordinasi antara pemilik lahan yang semakin kuat dan penggarap
4
yang semakin lemah. Pemilik lahan yang juga menguasai alat/bahan produksi
lainnya dan atau modal finansial maka hasil keuntungan usaha tani semakin
terakumulasi pada pemilik lahan. Menurut Sitorus (2008) dalam penelitian ini
dijelaskan bahwa struktur agraria yang ada saat ini masih cenderung terdiferensiasi
atas banyak lapisan. Walaupun demikian terdapat mekanisme yang cenderung
mendorong terjadinya proses polarisasi.
2. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume (edisi): hal
Alamat URL
Tanggal Unduh
: Pemahaman Dampak Negatif Konversi
Lahan Sawah sebagai Landasan Perumusan
Strategi Pengendaliannya
: 2005
: Laporan Penelitian
: Cetak
: Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto
:
Kementerian
Koordinator
Bidang
Perekonomian Republik Indonesia
: Sodality : Jurnal Transdisiplin Sosiologi,
Komunikasi, dan Ekologi Manusia
: 3 (1) : 1-16
: : -
Konversi lahan sawah tidak dapat dihindarkan karena seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian dari tahun
ke tahun. Namun dapat diperkecil dengan adanya komitmen yang kuat dari
pemerintah. Selain itu, perlu diperlihatkan bahwa konversi lahan mengakibatkan
kerugian dan dampak negatif yang sangat besar. Lahan sawah bukan sekedar faktor
produksi dalam proses produksi pangan, namun merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari eksistensi petani, serta bukan sekedar berkurangnya luas lahan
sawah, tetapi juga merupakan degradasi agroekosistem. Konversi lahan
menciptakan sejumlah kesempatan kerja dan pendapatan, namun kenyataannya
kesempatan kerja dan pendapatan tidak dinikmati oleh masyarakat lokal tetapi oleh
pendatang.
Biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan sistem irigasi, pengembangan
kelembagaan pendukung juga diperhitungkan, maka investasi yang selama ini kita
tanamkan untuk mengembangkan suatu ekosistem harus diperhitungkan sebagai
kerugian dari konversi lahan sawah. Terakhir adalah dampak negatif lainnya yang
merupakan akibat lanjutan dari rusaknya ekosistem sawah. Dari sudut pandang
sosial ekonomi, konversi lahan sawah mengubah struktur kesempatan kerja dan
pendapatan masyarakat setempat. Beberapa dari mereka mengalami peningkatan
kesejahteraan, namun ini hanya dialami oleh lapisan atas, sedangkan untuk
golongan bawah (petani gurem dan buruh tani) yang terjadi adalah sebaliknya.
Pengendalian laju konversi lahan harus ditempuh melalui pengembangan sistem
kelembagaan non pasar. Berbagai bentuk peraturan yang membatasi konversi lahan
sawah harus diikuti dengan pengembangan instrumen kebijakan yang secara efektif
dapat diimplementasikan di lapangan.
5
Analisis :
Penelitian ini memuat tentang dampak negatif dari konversi lahan, dampak
negatif dari konversi lahan sawah, yaitu degradasi daya dukung ketahanan pangan
nasional. Berkurangnya produksi padi akibat konversi lahan sawah adalah bersifat
permanen. Selain itu kerugian secara tidak langsung, yakni turunnya produktivitas
lahan sawah di sekitarnya sebagai akibat degradasi ekologi lahan sawah. Semakin
tinggi produktivitas lahan sawah yang terkonversi, maka semakin besar pula
kerugian yang terjadi. Dampak selanjutnya pendapatan pertanian menurun dan
meningkatnya kemiskinan. Usaha padi tani merupakan aktivitas ekonomi
menyediakan lapangan kerja. Oleh karena itu, konversi lahan pertanian bukan
sekedar hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan pentani penggarap juga buruh
tani. Terakhir adalah dampak negatif lainnya yang merupakan akibat lanjutan dari
rusaknya ekosistem sawah. Peneliti juga mengemukakan tiga alasan peraturan
pengendalian konversi lahan sawah yang sulit dilaksanakan, yaitu kendala
koordinasi kebijakan, kendala pelaksanaan kebijakan, dan kendala kosistensi
perencanaan. Selain itu, tidak efektifnya peraturan yang telah ada dipengaruhi oleh
sistem administrasi tanah masih lemah, koordinator antar lembaga yang terkait
kurang kuat dan implementasi tata ruang belum memasyarakat.
3. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Paulus Kindangen
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Sciences
Volume (edisi): hal
Alamat URL
Tanggal Unduh
: Analysis of Land Conversion and its Impacts
and Strategies in Managing Them in City of
Tomohon, Indonesia
: 2013
: Jurnal
: Elektronik
: Noortje M. Benu, Maryunani, Sugianto and
:: Asian Transactions on Basic an Applied
: 03: 65-726
:www.asiantransactions.org/Journals/Vols03Issue02/ATB
S/ATBAS-40329021.pdf
: 23 September 2014, pukul 20.20 WIB
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan strategi penanganan
konversi lahan yang terjadi di Kota Tomohon, Sulawesi Utara, yang menguji faktor
dominan yang mempengaruhi konversi lahan dan menganalisis strategi
pembangunan. Untuk menentukan dampak yang terjadi akibat konversi lahan
penulis menggunakan teknik proportional random sampling dengan responden
petani yang memgonversi lahannya serta menggunakan metode analisis faktor dan
proses analisis hirarki. Seiring dengan proses pembangunan di Tomohon, akan
membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Sehingga, membutuhkan adanya perubahan
alih fungsi lahan atau konversi. Daerah perkotaan dipandang sebagai lokasi yang
6
paling efisien untuk kegiatan non-pertanian yang produktif karena ketersediaan
infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya.
Terdapat ada dua jenis proses konversi sawah, yaitu konversi langsung
sawah oleh petani dan oleh pemilik tanah non petani yang melakukan melalui
proses penjualan. Sebagian besar konversi sawah dilakukan oleh pembeli. Konversi
melalui penjualan berlangsung dengan dua cara, yaitu cara di mana posisi petani
adalah sebagai monopoli penjual dan pembeli monopsoni yang terjadi akibat
adanya sangat tersegmentasi pasar tanah. Oleh karena itu, struktur pasar yang
terbentuk lebih menekankan pada daya tawar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan di Tomohon adalah faktor
ekonomi, lanskap dan keamanan pangan. Dari aspek ekonomi, tingkat pendapatan
petani, kegiatan ekonomi dan harga tanah berpengaruh cukup tinggi pada konversi
lahan. Pendapatan petani yang tidak terlalu tinggi menyebabkan petani lebih
memilih untuk menjual tanahnya. Selain itu, pengembangan kegiatan ekonomi
membutuhkan area yang lebih luas. Dilihat dari aspek lanskap, yang paling
berpengaruh pada konversi lahan di Tomohon adalah infrastuktur atau kedekatan
dengan lokasi lahan, tingkat aksesibilitas lahan dan kebutuhan lahan.
Konversi lahan sangat berpengaruh dalam dinamika perubahan struktur
agraria . Adapun perubahan, yang terjadi adalah : 1. Perubahan pola kepemilikan
tanah yaitu bagaimana tanah itu diakses oleh orang lain. Perubahan yang terjadi
sebagai akibat dari konversi adalah perubahan jumlah kepemilikan tanah. 2.
Perubahan pola penggunaan lahan. Pola penggunaan lahan dapat dilihat dari
bagaimana orang dan pihak lain memanfaatkan sumberdaya agraria. Konversi lahan
mengurangi kesempatan kerja di sektor pertanian, eksploitasi tanah khusunya pada
lahan sawah. 3.Perubahan pola hubungan agraria. Keterbatasan lahan mengurangi
sistem pajak tanah, hal ini juga menyebabkan sewa tanah dan sistem KPR.
4.Perubahan pola hidup agraria. Pola hidup yang dikaji berdasarkan pendapatan
dari produk pertanian dibandingkan dengan produk non-pertanian. 5. Sosial dan
perubahan masyarakat.
Konservasi dan pelestarian kawasan lindung diperlukan untuk
mempertahankan keberlanjutan kota. Ketika kawasan lindung rusak, maka daya
dukung juga akan semakin menurun yang mengakibatkan harga tanah meningkat di
luar kendali dan menurunnya ketersediaan kebutuhan dasar, seperti makanan, air
bersih, sanitasi, dan kepuasan/utilitas. Dilihat dari aspek ketahanan pangan, faktor
yang paling mempengaruhi meningkatnya konversi adalah tingkat produktivitas
lahan, tingkat kesuburan lahan dan berbagai jenis makanan. Kebutuhan ruang kota
dan kegiatan ekonomi memerlukan penurunan luas lahan sawah yang produktif.
Oleh karena itu, strategi pengembangan yang paling tepat untuk Kota Tomohon
berdasarkan pendapat para ahli adalah Strategi Pengembangan Ekowisata, sehingga
lahan pertanian tetap terjaga.
Analisis:
Dari hasil penelitian di atas diketahui bahwa pendapatan petani yang tidak
terlalu tinggi menyebabkan petani menjual lahannya. Hal tersebut
mengindikasikan, petani menjual lahannya dan lahan tersebut digunakan sebagai
area pengembangan kegiatan ekonomi atau dapat disimpulkan terjadi konversi
lahan dari pertanian ke non-pertanian. Selanjutnya infrastruktur, dimana dalam
suatu pengembangan wilayah membutuhkan pembangunan dalam hal infrastruktur
dan pembangunan tersebut membutuhkan lahan lebih sehingga mendorong
7
terjadinya konversi lahan. Lalu tingkat aksesibilitas, dimana sebuah lahan yang
mudah diakses oleh banyak orang akan menjadi lahan incaran untuk dilakukannya
konversi lahan untuk kegiatan non-pertanian yang lebih produktif. Yang terakhir
adalah variabel tingkat produktivitas lahan, dimana hal ini didukung dengan fakta
bahwa semakin tinggi produktivitas lahan maka semakin tinggi kemungkinan
dilakukannya konversi lahan karena kegiatan ekonomi dan kebutuhan ruang kota
memerlukan penurunan luas lahan sawah yang produktif.
4. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume (edisi): hal
Alamat URL
Tanggal Unduh
: Land Tenure and Tenancy Conditions in
Relation to Rice Production in Three Villages In
The Red River Delta, Vietnam
: 2012
: Jurnal
: Elektronik
: Phan Vu Quynh Chi dan Akimi Fujimoto
:Tokyo, University Of Agriculture Sakuragaoka
: Journal ISSAAS
: 18 (1) : 31-48
: www.issaas.org/journal/v18/01/journal-issasv18n1-05-chi_fujimoto.pdf
: 17 September 2014, pukul 07.50 WIB
Kebijakan pertanahan merupakan komponen penting dari langkah-langkah
pembangunan ekonomi suatu negara dan terutama di negara berkembang seperti
Vietnam. Kepemilikan lahan di negara ini tergolong rumit karena kondisi politik,
sosial, ekonomi dan keadaan alam. Banyak petani tidak memiliki lahan pertanian.
Delta Sungai Merah merupakan salah satu daerah penghasil beras utama di
Vietnam. Kondisi alamnya memiliki beragam ekosistem, Delta Sungai Merah
sangat cocok untuk pengembangan berbagai jenis tanaman dan hewan. Dalam
beberapa tahun terakhir, pentingnya sektor perikanan, budi daya dan tanaman
berbuah telah meningkat di daerah ini. Pada tahun 2005, lahan pertanian rata-rata
per rumah tangga seluas 0,28 ha. Bagi masyarakat sekitar, tanah merupakan faktor
produksi untuk menghasilkan pendapatan yang cukup. Para petani disini tidak
melakukan jual beli tanah namun mereka berniat untuk memperluas lahan pertanian
mereka dengan cara sewa menyewa dari lahan petani lain. Sistem sewa menyewa
tanah ini telah terjadi baik sebelum dan sesudah berlakunya hukum pertanahan pada
tahun 1993. Situasi kepemilikan lahan mengacu pada kepemilikan dan penggunaan
lahan yang merupakan satu dasar faktor produksi di bidang pertanian. Hal ini tidak
hanya membahas tentang pengaturan tentang tanah sebagai faktor dalam proses
produksi tetapi juga indikator sosial sistem ekonomi desa pertanian. Mayoritas
petani di sini terpaksa untuk melakukan diversifikasi pertanian mereka dengan
tanaman bernilai tinggi seperti sayuran, buah-buahan, dan ternak untuk pasar
perkotaan atau terlibat dalam kegiatan non-pertanian. Hasil dari temuan ini adalah
munculnya sistem sewa menyewa di kalangan petani.
Analisis :
Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan penentuan dan fungsi sewa lahan
padi dalam konteks struktur ekonomi di tiga desa di Vietnam Utara. Serangkaian
8
survey kuesioner yang dilakukan pada tahun 2010-2011 di Desa Yen Hung (A),
Bac Ninh (B), dan Hai Phong (C) yang terletak di Delta Sungai Merah. Temuan
utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) ada daerah peningkatan
produksi non beras dengan munculnya berbagai jenis status tenurial di desa yang
berbeda. Perubahan status tenurial dengan usia para petani yang menunjukkan
pengaruh siklus hidup pada perilaku ekonomi petani. Ada juga ketergantungan yang
sangat besar akan rasa kekeluargaan dalam hubungan pemilik dan penyewa.
Analisis fungsi produksi menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan tanah,
tenaga kerja, benih, dan pupuk dapat menyebabkan produksi padi yang lebih tinggi.
Rata-rata sewa di bawah bentuk dominan dari penyewaan tampaknya sama dengan
produk marjinal tanah, tetapi di bawah kontrak dibuat antara kerabat, sewa rata-rata
jauh lebih rendah daripada produk marjinal. Lima macam status kepemilikan tanah
yang diamati disini yaitu pemilik, pemilik-petani pemilik, tuan tanah-pemilikpetani penyewa, petani pemilik, dan pemilik-petani penyewa.
5. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume (edisi): hal
Alamat URL
Tanggal Unduh
: Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan
Pedesaan Perkotaan & Wilaya
: 1992
: Buku
: Cetak
: Johara T. Jayadinata
: Bandung, ITB
: :::-
Menurut Spencer dan Thomas, sumber daya adalah setiap hasil, benda, atau
sifat/keadaan, yang dapat dihargai bilamana produksinya, prosesnya dan
penggunaannya dapat dipahami.Sumber daya dapat dibagi menjadi sumber daya
alam dan sumber daya manusia. Sumber daya alam terdiri atas : (1) Sumber daya
alam yang abstrak yaitu hal-hal yang tidak tampak tetapi dapat diukur, seperti :
lokasi, tapak atau posisi (site atau position), situasi (keadaan yang berhubungan
dengan wilayah yang lebih luas), bentuk, jarak, dan waktu. (2) Sumber daya alam
yang nyata contohnya : Bentuk daratan (land-form), yang merupakan pembicaraan
dalam geomorfologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang kulit bumi;Air yang
terdiri atas air laut, air permukaan, dan air tanah atau air dasar;
Tanah di pedesaan digunakan bagi kehidupan sosial dan kehidupan
ekonomi. Kehidupan sosial, seperti berkeluarga, bersekolah, beribadat, berekreasi,
berolah raga, dan sebagainya, dilakukan di dalam kampong, dan kegiatan ekonomi
seperti bertani, berkebun, beternak, memelihara/menangkap ikan, menebang kayu
di hutan dan sebagainya, umumnya dilakukan di luar kampung, walau pun ada
kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan di dalam kampung, seperti
perindustrian, perdagangan, dan perusahaan jasa-jasa lain. Penggunaan tanah di
wilayah pedesaan adalah untuk perkampungan dalam rangka kegiatan sosial, dan
untuk pertanian dalam rangka kegiatan ekonomi. Dengan demikian kampung di
pedesaan merupakan tempat kediaman dan penduduk kampung wilayah pertanian
9
dan wilayah perikanan umumnya bekerja diluar kampung. Wilayah di pedesaan
Jawa umumnya mengalami permasalahan: penduduk yang rapat, pemilikan tanah
yang kecil, kesempatan kerja yang kurang, dan sebagainya. Hal tersebut
menyebabkan masalah lain, seperti: tingkat kesehatan yang kurang baik, tingkat
pendidikan yang rendah, tingkat prasarana sosial ekonomi yang kurang layak, dan
sebagainya.
Analisis:
Buku ini membahas berbagai permasalahan mengenai tanah, misalnya
penggunaan tanah di wilayah pedesaaan dan perkotaan serta di wilayah yang lebih
luas, yang merupakan gabungan kedua macam penggunaan tanah itu. Secara umum
diuraikan pula beberapa contoh tata guna tanah, serta cara memanfaatkan tanah
supaya diperoleh hasil yang optimal tetapi tanah tetap lestari. Buku ini juga
menyertakan contoh penggunaan tanah di berbagai negara industri dan
dibandingkan dengan penggunaan tanah di Indonesia yang merupakan negara
pertanian yang memudahkan pembaca untuk memahami. Buku ini membegi bacaan
di dalam beberapa bab, namun banyak tulisan dari penulis yang masih tidak
menyertakan sumber kutipan yang membuat tulisan seperti tulisan asli dari penulis.
6. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume (edisi): hal
Alamat URL
Tanggal Unduh
:Kajian Pengembangan Lahan untuk Kawasan
Perumahan Kota Bandung Ditinjau dari
Aspek Status Kepemilikan Tanah dan
Preferensi Pengembang Perumahan
: 2011
: Jurnal
: Elektronik
: Ilhamdaniah
: : Jurnal UNIKOM
: Vol. 8, No. 2: 10 halaman
: http://jurnal.unikom.ac.id/s/data/jurnal/v08n02/volume-82-artikel-10.pdf/pdf/volume-82artikel-10.pdf
: 17 September 2014, pukul 10.50 WIB
Penulis ingin mengetahui sejauh mana potensi/kendala pengembangan
perumahan yang dilihat dari aspek status tanah dan preferensi pengembang dari
sisi pasar konsumen perumahannya. Kecamatan Gedebage termasuk dalam zona
pengembangan baru Kota Bandung. Semakin meningkatnya kebutuhan akan
perumahan, menyebabkan perkembangan perumahan di Kota Bandung berimbas
pada daerah pinggiran Kota Bandung, karena keterbatasan tanah di kota dan harga
yang relatif terjangkau di daerah pinggiran kota. Pengembang mampu menguasai
lahan dengan status yang berbeda-beda dapat mengajukan perubahan hak atas
tanah menjadi hak guna bangunan dalam satu sertifikat induk. Banyak faktor yang
mempengaruhi pesatnya perkembangan kawasan perumahan yaitu kebijakan
pengembangan kawasan yang jelas, lokasi strategis, kemudahan pembebasan
tanah karena status tanah dan harga yang masih relatif murah, konsumen
10
perumahan, kondisi geografis dan topologis yang memudahkan untuk proses
pematangan lahan dan pembangunan rumah.
Analisis:
Dalam penelitian di atas terdapat beberapa variabel yang terkait dengan
pengembangan lahan untuk kawasan perumahan. Variabel pertama yakni
pertumbuhan penduduk, yang didukung dengan fakta bahwa pertumbuhan
penduduk menyebabkan kebutuhan lahan sebagai penyediaan rumah meningkat.
Variabel selanjutnya yakni status kepemilikan lahan, yang didukung dengan fakta
bahwa status pemilikan yang beragam menyebabkan pengembang wilayah sulit
untuk melakukan pengadaan lahan sebagai upaya pengembangan lahan bagi
perumahan. Variabel selanjutnya adalah kebijakan pengembangan kawasan,
dimana adanya kebijakan yang jelas akan mempengaruhi pesatnya perkembangan
kawasan sebagai perumahan. Variabel selanjutnya adalah lokasi strategi, dimana
hal ini akan menyebabkan banyaknya masyarakat membangun rumah di kawasan
tersebut. Status kepemilikan lahan yang ada di wilayah Gedebage yang
didominasi tanah adat dan SHM merupakan salah satu faktor yang memudahkan
pengembang untuk menguasai tanah di kawasan Gedebage untuk dikembangkan
menjadi kawasan perumahan real estat
7. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume (edisi): hal
Alamat URL
Tanggal Unduh
: Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi
Taraf Hidup Petani di Kelurahan Landasan
Ulin Barat Kecamatan Liang Anggang Kota
Banjarbaru
: 2012
: Jurnal
: Elektronik
: Agung Hadi Hidayat, Usamah Hanafie, dan
Nurmelati Septiana
:: Jurnal Agribisnis Pedesaan
: Volume 2(2) :95-107
: ejournal.unlam.ac.id/index.php/agride/article
: 15 Oktober 2014, Pukul 17.00 WIB
Studi ini dilaksanakan di Kelurahan Landasan Ulin Barat, Kecamatan Liang
Anggang, Kota Banjarbaru oleh Agung Hadi Hidayat, Usamah Hanafie dan
Nurmelati Septiana yang meneliti tentang bagaimana dampak konversi lahan
pertanian bagi taraf hidup petani. Pendapatan petani di sana sebelum adanya
konversi lahan bergantung pada tanaman yang mereka tanam baik pada musim
kemarau maupun musim hujan. Namun setelah adanya konversi lahan, pendapatan
pada musim hujan hanya bergantung pada jenis usaha baru yang mereka geluti.
Usaha baru yang mereka geluti adalah peternakan sapi dan budidaya ikan lele,
mujair, perbengkelan radiator mobil dan buruh bangunan yang dapat membantu
menutupi kebutuhan di musin hujan karena sawah terendam banjir. Setelah adanya
konversi lahan pertanian, penghasilan petani ada yang meningkat, tetap dan ada
yang menurun. Penghasilan petani yang meningkat adalah petani yang berhasil
dalam usaha bududaya ikan lele dan mujair dan bengkel radiator mobil, tetapi
11
penghasilan petani yang tetap adalah petani yang menjadi buruh bangunan.
Sedangkan penghasilan petani yang menurun adalah petani yang tidak mempunyai
kemampuan selain bertani, contohnya Bapak Seno karena usianya yang sudah tua.
Kesehatan warga setempat sebelum dan sesudah baik, namun belum ada
pertambahan sarana kesehatan. Dampak dari konversi untuk pembangunan
perumahan yang terjadi di sana adalah pergeseran mata pencaharian, pendapatan
rumah tangga dan irigasi menjadi terhambat karena pengurukan, sehingga
berdampak pada hasil panen petani serta lahan pertaniannya menjadi semakin
sempit. Banjir yang terjadi menyebabkan petani tidak bisa bercocok tanam pada
musin hujan, mewabahnya hama dan penyakit yang menyebabkan produksi di
musin hujan tidak maksimal. Bentuk kepedulian pemerintah terhadap petani
setempat yaitu dengan memberikan bantuan modal usaha seperti peternakan sapi,
budidaya ikan lele dan mujair, serta peternakan ayam buras. Bantuan dari pihak
pengembang perumahan adalah berupa bantuan listrik gratis yang baru ada tiga
bulan yang lalu. Usaha baru yang digeluti petani setempat setelah konversi
dibedakan menjadi konversi atau tata guna jangka panjang, yaitu peternakan sapi,
budidaya ikan lele dan mujair, serta peternakan ayam buras. Sedangkan tata guna
jangka pendek, yaitu sebagai buruh bangunan.
Analisis:
Konversi lahan pertanian dapat berdampak positif maupun negatif. Dampak
negatifnya adalah menurunnya kapasitas produksi padi yang berimplikasi pada
penurunan penghasilan petani dan hilangnya kesempatan kerja bagi buruh tani,
pembangunan irigasi yang sia-sia, berubahnya usaha tani baru dari sektor pertanian
ke sektor non pertanian, dan pendapatan petani menjadi bergantung pada usaha baru
yang digelutinya. Setelah adanya konversi, pendapatan petani ada yang meningkat
karena berhasil dalam usaha barunya, tetap dikarenakan menjadi buruh bangunan
dan menurun karena tidak mempunyai kemampuan selain bertani. Sedangkan
dampak positif adalah petani atau pemilik tanah dapat meningkatkan pendapatan
mereka.
8. Judul
: Pola Penguasaan Tanah dan Kualitas Hidup
Rumah Tangga Petani di Desa Transmigrasi
Tahun
: 1996
Jenis Pustaka
: Tesis
Bentuk Pustaka
: Cetak
Nama Penulis
: Yunilisiah
Kota dan Nama Penerbit : Bogor, Program Studi Sosiologi Pedesaan,
Institut Pertanian Bogor
Nama Jurnal
: Volume (edisi): hal
: Alamat URL
: Tanggal Unduh
: -
Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk transmigran di
Bengkulu yaitu menerima sekitar 13 persen dari jumlah penduduk Bengkulu tahun
1990, hal ini menimbulkan dampak keadaan ketimpangan penguasaan tanah usaha
tani. Ketimpangan penguasaan tanah usaha tani dimulai saat awal penempatan
warga transmigran menghadapi berbagai kendala di pemukiman baru. Terdapat 36
12
persen transmigran telah mengalihkan tanah kepada orang lain melalui jual beli,
sisanya masih menyesuaikan diri dengan berbagai faktor-faktor yang dihadapi baik
berupa fisik, sosial dan budaya. Adanya perbedaan ekonomi transmigran
merupakan awal terjadinya distribusi penguasaan tanah yang tidak merata.
Dari hasil penelitian Yunilisiah 1996, dalam kurun waktu 18 tahun (19771995), pola penguasaan tanah usaha tani pada warga transmigran relatif semakin
timpang. Dimana 18 persen lapisan atas (>1 ha) menguasai 47 persen luas tanah,
28 persen lapisan tengah (0.51-0.75 ha) menguasai 37 persen luas tanah, sedangkan
52 persen lapisan bawah (petani sempit dan tak bertanah) hanya menguasai 16
persen luas tanah. Implikasi dari ketimpangan ini, adanyan stratifikasi sosial atas
dasar penguasaan tanah yang semakin jelas. Faktor yang mempengaruhi
ketimpangan pola penguasaan tanah ini, yaitu karakteristik demografi rumah
tangga, perbedaan pemanfaatan teknologi pertanian dan pewarisan tanah
kepada anggota keluarga.
Luas penguasaan tanah para rumah tangga petani merupakan faktor
penentu total pendapatan rumah tangga petani, dimana semakin luas penguasaan
tanah semakin tinggi tingkat pendapatan total rumah tangga (pertanian dan luar
pertanian). Rata-rata pendapatan perkapita setahun di desa transmigrasi Marga
Sakti adalah Rp 286.000,00 lebih tinggi dari batas garis kemiskinan yang diukur
berdasarkan nilai pengeluaran setara 320 kg beras per kapita setahun sebesar Rp
208.000,00 (harga beras di lokasi penelitian Rp 650/kg). Secara nyata, masih
terdapat 45 persen rumah tangga miskin di desa transmigrasi ini. Jumlah rumah
tangga miskin sebagian besar ditemukan pada rumah tangga tak bertanah dan
berlahan sempit, sebagian kecil ditemukan pada rumah tangga lapisan atas (petani
bertanah luas). Hal ini membuktikan bahwa luas penguasaan tanah merupakan salah
satu faktor penentu tingkat kesejahteraan rumah tangga transmigran.
Melihat pada kualitas hidupnya, 57 persen rumah tangga transmigran masih rendah,
sedikit lebih tinggi dibanding jumlah rumah tangga miskin (45 persen). Kualitas
hidup rumah tangga yang masih rendah tampak dari empat indikator yaitu pola
pengeluaran rumah tangga untuk pangan, kondisi rumah transmigran, kondisi
kesehatan yang masih rendah, dan tingkat pendidikan anggota keluarga yang masih
rendah.
Analisis :
Pada penulisan di atas penulis menggunakan metode pemilihan daerah
dengan sengaja agar sesuai dengan tujuan penelitian. Data sekunder yang
digunakan untuk menentukan memilihan sampel responden merupakan data yang
di ambil secara pribadi oleh penulis, tanpa menyesuaikan data sekunder dari pihak
yang berwenang seperti data dari pemerintahan. Indkator dari luas penguasaan
tanah para rumah tangga petani merupakan faktor penentu total pendapatan rumah
tangga petani, dimana semakin luas penguasaan tanah semakin tinggi tingkat
pendapatan total rumah tangga tidak memiliki sumber yang jelas. Penulis juga tidak
menyertakan sumber dan menjabar faktor mengapa luas penguasaan tanah
merupakan salah satu faktor penentu tingkat kesejahteraan rumah tangga. Namun,
hasil penelitian yang didapat cukup bagus dengan tersedianya defenisi oprasional
yang jelas dan mudah di pahami.
13
9. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume (edisi): hal
Alamat URL
Tanggal Unduh
: Penguatan Ketahanan Masyarakat Desa
Dalam Pembangunan Pertanian dan
Mengurangi Kemiskinan
: 2007
: Makalah Lokakarya
: Elektronik
: Nunung Nuryartono
: Bogor : LPPM Institut Pertanian Bogor
: : :
http://agrimedia.mb.ipb.ac.id/uploads/pdf/201
0-07-06_juni2007penguatan_ketahanan_masyarakat_desa.pdf
: 20 Oktober 2014, Pukul 17.00 WIB
Kemiskinan semakin meluas yang terjadi akbibat struktur perekonomian
yang tidak memberikan ruang kepada masyarakat pedesaan berpartisipasi dalam
pelaksaan pembangunan. Data Sakernas menunjukan tingginya tenaga kerja yang
bergantung pada sektor pertanian berada di garis kemiskinan. Tulisan ini memuat
tentang “pertanian identik dengan kemiskinan atau gagalnya pemerintah
mewujudkan pembangunan ekonomi khususnya di pertanian untuk meningkatkan
kesejahteraan petani”, serta upaya meningkatkan ketahanan masyarakat pedesaan
dalam mengatasi economic shocks. Ketahanan memiliki dua aspek yaitu (1) Suatu
keadaan untuk kembali pada situasi normal dan (2) besaran dari perubahan di mana
suatu lingkungan mampu meyesuaikan diri sehingga tidak terjadi pengaruh yang
negatif. Konsep ketahanan dalam makalah ini yaitu (1) kemampuan untuk
mengatasi tekanan, guncangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya
(2) kemampuan untuk mengelola dan meningkatkan kapabilitas serta aset yang
dimiliki baik pada saat ini dan pada masa yang akan datang. Ketergantungan
masyarakat pedesaan terhadap sumberdaya alam yang tinggi dalam aktivitas
ekonomi akan sangat beresiko yang mengakibatkan ketidakstabilan ketahanan
masyarakat.
Gambaran tingkat pendidikan di sektor pertanian juga memperhatinkan
persentasi tenaga, SDM sektor pertanian jauh tertinggal dengan sektor lainnya.
Input lainnya yang mempengaruhi aktivitas pertanian adalah penguasaan lahan.
Jumlah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 ha meningkat 10,7
juta menjadi 13,2 juta RT petani (tahun 1993-2003). Untuk mencapai ketahanan
ada dua hal penting yang harus dicermati yaitu coping dan adaptive strategy.
Coping merupakan strategi yang dijalankan untuk menghadapi perubahan,
guncangan yang bersifat jangak pendek seperti : kekeringan, banjir sedangkan
adaptive strategy merupakan strategi yang dijalankan untuk menghadapi
perubahan, guncangan yang bersifat jangak panjang seperti krisis ekonomi dan
mampu kembali pada situasi normal.
Analisis:
Penulis tidak mencantumkan rumusan masalah dan tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian, sehingga menyulitkan pembaca dalam memahami
maksud penulisan. Pada bagian tinjauan pustaka penulis tidak menuliskan darimana
14
sumber yang ia kutip karena pada dasarnya, tinjauan pustaka di dapat dari hasil
penelitian orang lain. Namun penulis tidak menuliskan sumber yang ia kutip pada
bagian tersebut dan terlihat seolah itu hasil penelitian penulis. Penulis tidak
menjelaskan bukti atau data ilmiah mengapa ketergantungan masyarakat pedesaan
terhadap sumberdaya alam yang tinggi dalam aktivitas ekonomi memiliki dampak
terhadap ketidakstabilan ketahanan masyarakat. Begitu pula halnya dengan alasan
atau faktor yang melatarbelakangi pengguasaan lahan mempengaruhi aktivitas
pertanian.
10. Judul
: The Water-Energy-Food Nexus : A new
approach in support of food security and
sustainable agriculture
Tahun
: 2014
Jenis Pustaka
: Buku
Bentuk Pustaka
: Elektronik
Nama Penulis
: Food and Agriculture Organization
Kota dan Nama Penerbit : United Nations Rome
Nama Jurnal
: Volume (edisi): hal
: Alamat URL
:http://www.fao.org/energy/4145908c8c5bb39e0d89e17fdb63314c4c6ce5.pdf
Tanggal Unduh
: 20 Oktober 2014, Pukul 19.00 WIB
FEW (Food Energy Water) merupakan sebuah pendekatan baru dalam
mendukung ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan. Air, energi dan pangan
sangat penting untuk kesejahteraan manusia, pengurangan kemiskinan dan
pembangunan berkelanjutan. Proyeksi global menunjukkan bahwa permintaan air
tawar, energi dan makanan akan meningkat secara signifikan dalam dekade
berikutnya di bawah tekanan pertumbuhan penduduk dan mobilitas, pembangunan
ekonomi, perdagangan internasional, urbanisasi, diversifikasi diet, perubahan
budaya dan teknologi, dan perubahan iklim.
Pertanian menyumbang 70 persen dari total penarikan air tawar global,
sehingga sektor ini adalah pengguna terbesar air. Air digunakan untuk produksi
pada lahan pertanian, kehutanan perikanan, dan sepanjang rantai pasokan pertanian
pangan secara keseluruhan, serta digunakan untuk memproduksi atau mengangkut
energi dalam bentuk yang berbeda, energi dibutuhkan untuk memproduksi,
mengangkut dan mendistribusikan makanan serta untuk mengekstrak, pompa,
angkat, mengumpulkan, mengangkut dan mengolah air. Konsumsi energi secara
global diproyeksikan tumbuh hingga 50 persen pada 2035, IEA (2010). Pendekatan
Nexus membantu kita untuk lebih memahami kompleks dan keterkaitan dinamis
antara air, energi dan makanan, dalam menggunakan dan mengelola sumber daya
yang terbatas secara berkelanjutan. Perspektif ini membantu kita untuk memahami
implikasi yang lebih luas untuk air, energi dan pangan, dan memperluas ruang
lingkup intervensi untuk menyertakan manajemen permintaan air, kerangka
investasi untuk dana publik untuk meningkatkan irigasi permukaan, pengelolaan air
tanah, teknologi irigasi, praktek pertanian, serta pengadaan makanan dan kebijakan
perdagangan (Swain dan Charnoz 2012).
15
Analisis:
Pendekatan Nexus lintas sektoral memberikan kesempatan untuk terlibat
dengan pemangku kepentingan untuk melakukan hal itu. Idealnya, ini melibatkan
berbagai berkepentingan pemegang dari lokal ke nasional pemerintah, organisasi
baskom, pengembangan bank dan lembaga, organisasi internasional dan regional,
penelitian-lembaga dan universitas, LSM, masyarakat sipil dan sektor swasta.
Pendekatan Nexus membantu kita untuk lebih memahami kompleks dan keterkaitan
dinamis antara air, energi dan makanan, dalam menggunakan dan mengelola
sumber daya yang terbatas secara berkelanjutan.
11. Judul
Tahun
Jenis Pustaka
Bentuk Pustaka
Nama Penulis
Kota dan Nama Penerbit
Nama Jurnal
Volume (edisi): hal
Alamat URL
Tanggal Unduh
: Pengaruh Perubahan Penguasaan dan
Penggunaan Lahan terhadap Pola Usaha
Ekonomi Rumah Tangga Etnik Betawi di
Condet
: 2005
: Tesis
: Cetak
: Wati Nilamsari
:: : : : -
Wilayah Condet tengah mengalami desakan perkembangan pembangunan
kota Jakarta yang pesat, diikuti dengan meningkatnya kebutuhan lahan untuk
pembangunan prasarana jalan, fasilitas sosial, fasilitas ekonomi, perumahan dan
lainnya. Condet merupakan salah satu wilayah pinggiran kota Jakarta yang dikenal
sebagai penghasil buah-buahan yang tentunya mata pencaharian masyarakatnya
sebagai petani buah yang memanfaatkan lahan untuk bercocok tanam. Namun
seiring berkembangnya kota Jakarta, lahan untuk bertani semakin sempit.
Perubahan luas penguasaan dan penggunaan lahan di Condet disebabkan semakin
banyak penduduk di luar daerah yang tertarik untuk tinggal di sana dan menikmati
suasana yang relatif masih nyaman sebagai daerah hunian di Jakarta. Selain itu,
wilayah Condet dekat dengan area kegiatan perdagangan dan jasa. Hal ini semakin
meningkatkan permintaan akan lahan di Condet dan berdampak pada harga lahan
yang melambung tinggi. Kondisi ini semakin memperparah kehidupan warganya
sebagai petani khususnya yang memiliki lahan.
Para petani berlahan terdorong untuk menjadikan lahan miliknya sebagai
barang komoditi yang sangat mudah memperoleh uang dengan cepat. Hal ini
dilakukannya untuk mengembangkan usaha dan kehidupannya. Akibatnya lahan
pertanian menjadi semakin sempit dan semakin banyak bangunan yang dibangun di
atasnya. Data penelitian menunjukkan bahwa kepemilikan lahan keluarga petani
etnik Betawi di Condet pada periode 1960 sampai akhir 1970-an (saat pertanian
masih mendominasi wilayah) dan menjadi sumber utama penghidupan masyarakat
setempat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu golongan petani luas (>5000
m2), golongan petani sedang (antara 1500 m2 - 5000 m2), dan golongan petani
16
sempit (<1500 m2). Kondisi luas lahan ini terus berubah yaitu semakin
mengecilnya luas lahan yang dimiliki. Banyak lahan yang dijual kepada pendatang,
namun ada juga menjadikan lahan tersebut menjadi rumah tinggal. Kondisi status
kepemilikan lahan umumnya berupa girik dan sertifikat. Data monografi kelurahan
Balekembang tahun 2003 mencatat lahan yang memiliki sertifikat seluas 23.218 ha
atau terdiri dari 3.191 buah, sedangkan lahan yang belum memiliki sertifikat ada
804 buah yaitu seluas 13.590 ha.
Status kepemilikan lahan etnik Betawi Condet umumnya berupa girik,
yang kedudukan hukumnya relatif rendah dibandingkan hak kepemilikan (property
right) yang jelas yaitu berupa sertifikat hak milik. Luasan lahan yang relatif tetap
di satu pihak dan permintaan lahan yang terus meningkat di lain pihak,
menyebabkan perubahan penggunaan lahan di wilayah ini tidak terelakkan.
Perubahan dan penguasaan akan lahan ini disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor
internal dan eksternal.
Analisis:
Faktor internal berasal dari dalam individu yang menjadi penyebab
terjadinya perubahan penguasaan dan penggunaan lahan yang terdiri dari makna
lahan, status sosial ekonomi, nilai sosial budaya. Faktor eksternal yang
menyebabkan perubahan penguasaan dan penggunaan lahan adalah perkembangan
fisik kota dan aspek kebijakan pemerintah.
Perubahan penggunaan lahan
berpengaruh pada perubahan pola usaha ekonomi rumah tangga yaitu dengan
beralihnya mata pencaharian yang bergerak di sektor pertanian ke luar sektor
pertanian. Perubahan mencolok yaitu makin berkembangnya sektor jasa dan
perdagangan. Walaupun masih ada petani yang melakukan usaha kebunnya, petani
itu tidak sepenuhnya bergantung pada sektor pertanian karena lahan yang dimiliki
semakin lama semakin berkurang. Perubahan pola usaha ekonomi akan
mempengaruhi pendapatan rumah tangga. Namun hal ini tidak menyebabkan
pendapatan rumah tangga bertambah besar, karena meskipun ragam peluang
ekonomi baru lebih banyak, pekerjaan sektor informal yang dapat dimasuki yaitu
strata bawah bersifat subsisten.
17
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN
Struktur Agraria
Perubahan Struktur Agraria
Agraria sendiri memiliki definisi yang sangat luas. Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 mendefinisikan agraria sebagai seluruh bumi,
air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Bumi yang disebutkan meliputi permukaan bumi, bagian tubuh bumi di bawahnya
serta yang berada di bawah air. Agraria tidak bisa terlepas dari manusia karena
berhubungan dengan sumber daya alam yang dapat menunjang kehidupan manusia.
Sitorus (2002) dalam Sihaloho (2004) mengemukakan bahwa lingkup agraria terdiri
dari dua yaitu obyek agraria dan subyek agraria. Obyek agraria adalah sumbersumber agraria dalam bentuk fisik sementara subyek agraria adalah pihak yang
memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Dengan merujuk
pada Pasal 1 (ayat 2,4,5,6) UUPA tahun 1960, Sitorus (2002) dalam Sihaloho
(2004) menyimpulkan beberapa jenis sumber agraria yaitu, : tanah atau permukaan
bumi, perairan, hutan, bahan tambang, dan udara. Struktur agraria pada dasarnya
menjelaskan bagaimana struktur akses pihak- pihak yang terkait dengan
sumberdaya agraria. Dengan kata lain, hubungan sosio- agraria dapat menjelaskan
bagaimana struktur agraria suatu masyarakat. Selanjutnya pada aras yang lebih luas
struktur agraria merupakan gambaran dari struktur masyarakat.
Menurut Urlich Planck (1993) dalam Sihaloho (2004), struktur agraria terkait
dengan hukum agraria. Hukum agraria dalam pengertian sempit adalah hukum
pertanahan yang memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda. Ciri-ciri tersebut berkaitan
satu sama lain dan hubungannya terhadap keseluruhan agraria dapat diukur. Seiring
berjalannya waktu, sumber agraria yang ada tentu mengalami perubahan-perubahan
yang memberikan dampak pada subyek agraria dan obyek agraria itu sendiri.
Perubahan-perubahan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hubungan
antara obyek agraria dengan subyek agraria akan terus berlangsung mengikuti
perubahan zaman. Seiring berjalannya waktu, sumber-sumber agraria yang
dimanfaatkan tentu akan mengalami perubahan, baik perubahan ke arah perbaikan
maupun ke arah perusakan. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang dapat mengubah struktur agraria.
Menurut Zuber (2007) dalam Adly (2009) mengemukakan bahwa terdapat
empat faktor yang dapat mempengaruhi perubahan struktur agraria, diantaranya:
(1) permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian seperti pembangunan real estate,
pabrik, areal perdagangan dan pelayanan lainnya yang membutuhkan areal tanah
yang luas; (2) faktor sosial budaya, seperti adanya aturan warisan; (3) kerusakan
lingkungan seperti adanya musim kemarau panjang yang mengakibatkan
kekeringan terutama pada usaha pertanian, penggunaan pestisida maupun pupuk
yang dapat mematikan predator dan kerusakan lahan pertanian; (4) kelemahan
hukum yang mengatur bidang pertanian, seperti harga pupuk yang tinggi, harga
gabah yang rendah dan masalah pengaturan harga beras yang sampai sekarang
masih sangat pelik. Lebih lanjut dalam penelitiah Sitorus et al. (2008) lahan
menjadi salah satu dari dua faktor produksi yang saling terkait yaitu sebagai lahan
dan modal finansial untuk penguasaan alat/bahan produksi pendukung lainnya. Hal
ini mendorong struktur agraria baru, yaitu munculnya pola hubungan sosial
produksi banyak pihak dan atau munculnya pola hubungan sosial produksi dan
18
pihak yang semakin terakumulasi/tersubordinasi antara pemilik lahan yang semakin
kuat dan penggarap yang semakin lemah. Beberapa mekanisme yang mendorong
perubahan struktur agraria menuju stratifikasi adalah pola bagi hasil dan pewarisan.
Selain itu ada beberapa mekanisme yang mendorong polarisasi yaitu penjualan
kebun dan buruh upahan serta akses petani terhadap program pemerintah (baik yang
dilakukan pemerintah maupun perusahaan swasta).
Perubahan struktur agraria di Segara Anakan pun diteliti oleh Suryawati
(2012) yang menjelaskan bahwa kondisi Segara Anakan yang semakin buruk dan
mengalami perubahan agraria disebabkan oleh aktivitas manusia dan dinamika
interaksi yang terjadi antara aspek ekologis maupun aspek sosial. Selain itu,
perubahan struktur agraria pun terjadi di berbagai daerah dengan berbagai penyebab
salah satunya karena permintaan akan lahan yang semakin meningkat untuk
pembangunan infrastruktur perkotaan. Hal ini terlihat pada penelitian Nilamsari
(2005) yang menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan penggunaan lahan dari
lahan perkebunan untuk petani buah menjadi perumahan dan gedung-gedung
bertingkat di Jakarta. Seiring berkembangnya waktu, perubahan alam yang terjadi
mempengaruhi hubungan struktur agraria yang ada di dalamnya. Perubahan
struktur agraria ini menjelaskan hubungan antara obyek agraria dengan subyek
agraria. Sebagai akibat dari perubahan struktur agraria tersebut, hubungan di antara
obyek dan subyek agraria dapat berlangsung secara harmonis maupun
menimbulkan polemik akan pemanfaatan sumber agraria.
Alih Fungsi Lahan atau Koversi Lahan
Utomo et al. tahun 1992 dalam Septiana et al. (2012) menjelaskan konversi
lahan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan
lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang
membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu
sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/ penyesuaian peruntukan
penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi
keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya
dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang UUPA yang dimaksud dengan
konversi adalah penyesuaian hak-hak atas tanah yang pernah tunduk kepada sistem
hukum lama yaitu hak-hak tanah menurut kitab undang-undang hukum perdata
barat dan tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat untuk masuk dalam sistem
hak- hak tanah menurut ketentuan UUPA. Selain itu, konversi lahan menurut
Sihaloho (2004) adalah proses alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke
non pertanian atau dari lahan non pertanian ke lahan pertanian. Konversi lahan dari
non-pertanian ke lahan pertanian merupakan proses konversi dalam rangka program
ekstensifikasi pertanian. Selain perubahan alih fungsi lahan pertanian menjadi non
pertanian atau sebaliknya, terdapat makna konversi lain, menurut Suwitra (2010)
yang dimaksud dengan konversi adalah pergeseran atau perubahan kepemilikan
atas tanah, dari tanah komunal atau tanah adat menjadi kepemilikan pribadi atas
dasar UUPA agar lebih menjamin adanya kepastian hukum terhadap hak
penguasaan dan pemilikan tanah.
Dalam penelitian Kindangen et.al. (2013) yang di lakukan di Tomohon,
pembangunan di Tomohon, akan membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Sehingga,
membutuhkan adanya perubahan alih fungsi lahan atau konversi. Daerah perkotaan
19
dipandang sebagai lokasi yang paling efisien untuk kegiatan non-pertanian yang
produktif karena ketersediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung lainnya.
Terdapat ada dua jenis proses konversi sawah, yaitu konversi langsung sawah oleh
petani dan oleh pemilik tanah non petani yang melakukan melalui proses penjualan.
Sebagian besar konversi sawah dilakukan oleh pembeli. Konversi melalui
penjualan berlangsung dengan dua cara, yaitu cara di mana posisi petani adalah
sebagai monopoli penjual dan pembeli monopsoni yang terjadi akibat adanya
sangat tersegmentasi pasar tanah. Oleh karena itu, struktur pasar yang terbentuk
lebih menekankan pada daya tawar. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi
lahan di Tomohon adalah faktor ekonomi, lanskap dan keamanan pangan. Dari
aspek ekonomi, tingkat pendapatan petani, kegiatan ekonomi dan harga tanah
berpengaruh cukup tinggi pada konversi lahan. Pendapatan petani yang tidak terlalu
tinggi menyebabkan petani lebih memilih untuk menjual tanahnya. Selain itu,
pengembangan kegiatan ekonomi membutuhkan area yang lebih luas. Dilihat dari
aspek lanskap, yang paling berpengaruh pada konversi lahan di Tomohon adalah
infrastuktur atau kedekatan dengan lokasi lahan, tingkat aksesibilitas lahan dan
kebutuhan lahan.
Sawah bukan sekedar sebagai faktor produksi dalam proses produksi
pangan, namun merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari eksistensi
petani. Oleh karena itu, konversi lahan bukan sekedar berkurangnya luas lahan
sawah, tetapi juga merupakan degradasi agroekosistem. Beberapa penelitian yang
dilakukan di lapangan, menjelaskan bahwa konversi yang terjadi merupakan
konversi atau alih fungsi dari lahan pertanian ke non-pertanian. Sangat langka
sekali terjadi konversi lahan non pertanian menjadi lahan pertanian. Sehingga luas
lahan pertanian dari tahun ke tahun semakin berkurang.
Dampak Petani yang Tergusur
Menurut Sumaryanto dan Sudaryanto (2005) dampak negatif dari konversi
lahan sawah adalah degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional yang secara
tidak langsung menyebabkan turunnya produktivitas lahan sawah, penurunan
pendapatan pertanian dan meningkatnya kemiskinan, hilangnya kesempatan kerja
dan pendapatan petani penggarap dan buruh tani, pemubaziran pembangunan
irigasi dan rusaknya ekosistem sawah. Beberapa mengalami peningkatan
kesejahteraan, namun hanya dialami oleh golongan atas, sedangkan golongan
bawah sebaliknya. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat et al.
(2012) di Kota Banjarbaru yang menyatakan bahwa, konversi lahan pertanian dapat
berdampak positif maupun negatif. Dampak negatifnya adalah menurunnya
kapasitas produksi padi yang berimplikasi pada penurunan penghasilan petani dan
hilangnya kesempatan kerja bagi buruh tani, pembangunan irigasi yang sia-sia,
berubahnya usaha tani baru dari sektor pertanian ke sektor non pertanian, dan
pendapatan petani menjadi bergantung pada usaha baru yang digelutinya. Setelah
adanya konversi, pendapatan petani ada yang meningkat karena berhasil dalam
usaha barunya, tetap dikarenakan menjadi buruh bangunan dan menurun karena
tidak mempunyai kemampuan selain bertani. Sedangkan dampak positif adalah
petani atau pemilik tanah dapat meningkatkan pendapatan mereka.
Serupa dengan hasil penelitian oleh Nilamsari (2005) di Condet, dampak
dari konversi lahan pertanian adalah pergeseran mata pencaharian dari sektor
pertanian ke non pertanian. Petani sekarang lebih banyak bekerja di sektor jasa dan
20
perdagangan, yang dahulu dijadikan pekerjaan sampingan saat ini menjadi mata
pencaharian utama. Menurut Bachriadi dan Lucas (2011), konversi lahan
berdampak pada hilangnya nafkah pada buruh tani, hilangnya lahan garapan maka
hilang juga persediaan pangan, sehingga menimbulkan pengangguran. Hal tersebut
berimplikasi pada mental diri petani yang tadinya sibuk bertani sekarang hanya
lebih sering berdiam diri. Sebagai contoh kasus di Cimacan, karena lahannya
digusur untuk dijadikan Lapangan Golf Cibodas, beberapa petani lebih sering
termenung berdiam diri, hanya sesekali ngobyek di Cibodas. Kasus di Kampung
Mulyaharja, konversi lahan pertanian tidak hanya berdampak pada kesejahteraan
petani, tetapi juga berdampak pada proses “marginalisasi” atau “pemiskinan” baik
di sektor pertanian maupun non pertanian (Sihaloho 2004). Proses kehidupan
petani di pedesaan Jawa tidak terlepas dari adanya penguasaan lahan sawah yang
jauh dari keadilan. Sebagian kecil warga masyarakat menguasai lahan yang sangat
luas, namun di sisi lain sebagian besar masyarakat memiliki lahan sawah yang
sempit, bahkan tidak memiliki lahan sawah sama sekali. Oleh karena itu, muncul
istilah petani berdasi atau petani bersafari yang merupakan segolongan orang yang
menguasai lahan sawah di pedesaan dengan jumlah sawah yang cukup luas.
Lahan Sebagai Sumber Agraria
Status dan Kepemilikan Lahan
Ilhamdaniah (2011) Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang
kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil
manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas
tanah. Status kepemilikan lahan yang ada di wilayah Gedebage menurut
Ilhamdaniah (2011) yang didominasi tanah adat dan SHM merupakan salah satu
faktor yang memudahkan pengembang untuk menguasai tanah di kawasan
Gedebage untuk dikembangkan menjadi kawasan perumahan real
estatMardiyaningsih, Dharmawan, dan Tonny (2010) menjelaskan dalam
penelitiannya bahwa terdapat perbedaan segi pola pemilikan lahan di daerah
penelitiannya di Kasepuhan Sinar Resmi. Pada komunitas Kasepuhan Sinar Resmi,
pola kepemilikan lahannya berupa lahan komunal yang dikelola bersama. Hal ini
berbeda dengan komunitas Dusun Sumurjaya yang sudah tidak terdapat lagi lahan
komunal. Hampir semua lahan yang ada berstatus milik individual dan milik
negara. Sebagian besar status kepemilikan lahan di Dusun Sumurjaya yaitu berupa
hak milik. Selain itu ada juga yang berupa sewa lahan, sakap, dan gadai. Dalam
penelitian Fujimoto (2012) terdapat lima macam status kepemilikan tanah yaitu
pemilik, pemilik-petani pemilik, tuan tanah-pemilik-petani penyewa, petani
pemilik, dan pemilik-petani penyewa.
Purwandari dan Savitri (2006) pun dalam penelitiannya menjelaskan status
kepemilikan lahan di dua desa yaitu Desa Sungai Aur dan Desa Rambut. Status
tanah di sini meliputi tanah milik pribadi, tanah desa dan tanah negara. Bentuk
status tersebut muncul sebagai implikasi dari model pendistribusian kepemilikan
lahan. Prosedur dan proses penguasaan tanah dari tanah milik desa ke tanah milik
pribadi di dua desa tidak jauh berbeda. Di Sungai Aur dan Sungai Rambut, tanah
dimohon kepada Kepala Desa. Istilah jual beli tanah tidak dikenal dalam komunitas
tersebut, mereka lebih suka menyebutnya dengan ganti rugi tanah. Terdapat
21
perbedaan antara penduduk asli dan pendatang dalam hal akses terhadap
kepemilikan lahan. Penduduk asli sangat mudah melakukan klaim kepemilikan
tanah sedangkan pendatang harus memperoleh lahan dengan cara mendapat bagian
atas kebijaksanaa Kepala Desa. Tanah milik umum di Sungai Aur terdapat dua jenis
yaitu tanah adat dan tanah ulayat. Tanah adat merupakan tanah warisan nenek
moyang dan tanah ulayat yaitu tanah sela antara tanah adat dengan tanah Hak
Pengguna Lain (HPL). Pada tanah milik negara, pemegang hak atas tanah tersebut
adalah TNB (Taman Nasional Berbak) dan PT. DHL. Tipe penguasaan tanah ini
menimbulkan konflik antara pemegang hak atas tanah (TNB dan PT. DHL) dengan
komunitas di ke dua desa tersebut.
Pola Penguasaan Lahan
Pola Penguasaan Lahan Pola penguasaan lahan dalam pertanian oleh Darwis
(2008) dalam Mardiyaningsih, Dharmawan, dan Tonny (2010) diklasifikasikan
statusnya menjadi hak milik, sewa, sakap (bagi hasil), dan gadai. Pakpahan, et.al.
(1992) dalam Darwis (2008) dalam Mardiyaningsih, Dharmawan, dan Tonny
(2010) mendefinisikan sewa, sakap, dan gadai sebagai bentuk penguasaan lahan di
mana terjadi pengalihan hak garap dari pemilik lahan kepada orang lain. Hal ini
sejalan dengan penjelasan Wiradi (2009) yang menyebutkan tentang jenis-jenis
penguasaan lahan yang diaplikasikan di Indonesia yaitu berupa sewa, sakap atau
bagi hasil, menjual lepas, gadai, dan maro atau sewa bersama-sama dengan gadai.
Pola penguasaan lahan pun terjadi pada penelitian Mardiyaningsih,
Dharmawan, dan Tonny (2010) yang menjelaskan bahwa ada komunitas
Kasepuhan, sebagian besar lahan komunitas merupakan tanah negara. Warga
komunitas hanya mendapatkan izin untuk menggarap. Warga komunitas pun
mendapat hak garap lahan untuk budi daya pertanian dari kasepuhan atas izin
pimpinan kasepuhan yaitu Abah. Jika hak garap ini tidak sanggup dilakukan oleh
satu keluarga maka dapat dialihkan kepada anggota komunitas lain dengan sistem
bagi hasil (sakap). Lahan-lahan yang ada tidak dapat diperjual belikan dan menuruti
aturan adat dalam pola pengelolaannya. Pola penguasaan lahan dalam bentuk sewa
dan gadai tidak ditemukan dalam masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi.
Sebagian besar status kepemilikan lahan di Dusun Sumurjaya yaitu berupa
hak milik. Selain itu ada juga yang berupa sewa lahan, sakap, dan gadai. Sewa lahan
umumnya dilakukan oleh masyarakat di luar Desa Sidajaya karena memiliki harga
sewa yang relatif murah dibandingkan di Desa Sidajaya. Pola penguasaan lahan
dalam bentuk sakap (bagi hasil) dilakukan antara pemilik lahan dengan petani tanpa
lahan dengan sistem maro. Hak penguasaan lahan dalam bentuk gadai diperoleh
berdasarkan perjanjian uang di mana lahan persawahan dijanjikan sebagai barang
jaminan sampai uang dipinjam berhasil dikembalikan dalam jangka waktu yang
disepakati.
Berbeda dengan penelitian lain, penelitian Ukoha, Orebiyi, Ohajianya, dan
Ibekwe (2011) menjelaskan bahwa kemudahan penguasaan luas lahan dibedakan
atas peran gender. Rumah tangga yang dikepalai oleh laki-laki lebih mudah dalam
menguasai lahan dibandingkan dengan rumah tangga yang dikepalai oleh wanita.
Hal ini dikarenakan laki-laki dinilai lebih bisa mengelola lahan untuk pertanian
maupun kegiatan lain dan menjamin keamanan pangan. Peran gender ini membatasi
penguasaan lahan rumah tangga yang dikepalai oleh lelaki dan wanita. Tujuan dari
pembatasan ini adalah untuk menjaga keamanan pangan keluarga.
22
Hasil-hasil penelitian yang dijelaskan pada umumnya menggunakan sistem
gadai, sewa-menyewa, sakap dalam pengelolaan lahan yang dilakukan masyarakat.
Sistem ini tentu saja harus menyesuaikan dengan kearifan lokal dan sistem adat
yang berlaku di daerah tersebut. Sistem yang dipakai dalam penguasaan lahan oleh
petani tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Resiko
tersebut harus di terima oleh pihak-pihak yang terlibat dalam penguasaan lahan.
Bila pihak yang terlibat tidak dapat menerima konsekuensi yang telah disepakati,
maka sistem penguasaan lahan berjalan tidak lancar bahkan akan menimbulkan
konflik.
Ketahanan (persistence) Masyarakat
Menurut Nuryartono (2007) Ketahanan memiliki dua aspek yaitu (1) Suatu
keadaan untuk kembali pada situasi normal dan (2) besaran dari perubahan di mana
suatu lingkungan mampu meyesuaikan diri sehingga tidak terjadi pengaruh yang
negatif. Lebih lanjut Nuryartono (2007) mengembangkan konsep ketahanan dalam
makalah ini yaitu (1) kemampuan untuk mengatasi tekanan, guncangan dan
perubahan yang terjadi dalam lingkungannya (2) kemampuan untuk mengelola dan
meningkatkan kapabilitas serta aset yang dimiliki baik pada saat ini dan pada masa
yang akan datang. Ketergantungan masyarakat pedesaan terhadap sumberdaya alam
yang tinggi dalam aktivitas ekonomi akan sangat beresiko yang mengakibatkan
ketidakstabilan ketahanan masyarakat. Berdasarkan uraian ketahanan di atas, dalam
menghadapi guncangan yang terjadi masyarakat tentu harus tetap menjamin
kebutuhan dasar dalam kehidupan yaitu dalam hal air, energi, dan pangan. Menurut
FAO (2014) FEW (Food Energy Water) merupakan sebuah pendekatan baru dalam
mendukung ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan. Air, energi dan pangan
sangat penting untuk kesejahteraan manusia, pengurangan kemiskinan dan
pembangunan berkelanjutan. Proyeksi global menunjukkan bahwa permintaan air
tawar, energi dan makanan akan meningkat secara signifikan dalam dekade
berikutnya di bawah tekanan pertumbuhan penduduk dan mobilitas, pembangunan
ekonomi, perdagangan internasional, urbanisasi, diversifikasi diet, perubahan
budaya dan teknologi, dan perubahan iklim. Namun masalah terbesar dari
ketahanan pangan adalah konversi lahan sebagaimana menurut Sumaryanto dan
Sudaryanto (2005) dampak negatif dari konversi lahan sawah adalah degradasi daya
dukung ketahanan pangan nasional yang secara tidak langsung menyebabkan
turunnya produktivitas lahan sawah, penurunan pendapatan pertanian dan
meningkatnya kemiskinan, hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani
penggarap dan buruh tani, pemubaziran pembangunan irigasi dan rusaknya
ekosistem sawah.
Pengaruh Pola Penguasaan Lahan Terhadap Kesejahteraan Masyarakat
Banyak penelitian yang mengkaji masalah tanah ataupun sumber daya
agraria yang hampir semuanya menunjukkan ada permasalahan mendasar dalam
pengelolaan sistem pertanahan maupun pengelolaan sumber daya agraria. Kajian
tersebut meliputi konflik dan kemiskinan yang bersumber dari ketiadaan akses
terhadap tanah dan sumber-sumber agraria menjadi potret yang paling banyak
disajikan, bahkan hingga kini. Selain itu Yunilisiah (1996) menjelaskan bahwa luas
penguasaan tanah para rumah tangga petani merupakan faktor penentu total
23
pendapatan rumah tangga petani, dimana semakin luas penguasaan tanah semakin
tinggi tingkat pendapatan total rumah tangga (pertanian dan luar pertanian). Ratarata pendapatan perkapita setahun di desa transmigrasi Marga Sakti adalah Rp
286.000,00 lebih tinggi dari batas garis kemiskinan yang diukur berdasarkan nilai
pengeluaran setara 320 kg beras per kapita setahun sebesar Rp 208.000,00 (harga
beras di lokasi penelitian Rp 650,00/kg). Secara nyata, masih terdapat 45 persen
rumah tangga miskin di desa transmigrasi ini. Jumlah rumah tangga miskin
sebagian besar ditemukan pada rumah tangga tak bertanah dan berlahan sempit,
sebagian kecil ditemukan pada rumah tangga lapisan atas (petani bertanah luas).
Hal ini membuktikan bahwa luas penguasaan tanah merupakan salah satu faktor
penentu tingkat kesejahteraan rumah tangga transmigran. Bila melihat pada kualitas
hidupnya, 57 persen rumah tangga transmigran masih rendah, sedikit lebih tinggi
dibanding jumlah rumah tangga miskin (45 persen). Kualitas hidup rumah tangga
yang masih rendah tampak dari empat indikator yaitu pola pengeluaran rumah
tangga untuk pangan, kondisi rumah transmigran, kondisi kesehatan yang masih
rendah, dan tingkat pendidikan anggota keluarga yang masih rendah. Dari
penjabaran tersebut dapat terlihat bahwa pola penguasaan lahan memiliki pengaruh
terhadap kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.
24
SIMPULAN
Hasil Rangkuman dan Pembahasan
Perubahan struktur agraria ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
permintaan lahan dari kegiatan non-pertanian, faktor sosial budaya, kerusakan
lingkungan, kelemahan hukum yang mengatur bidang pertanian. Permintaan akan
lahan semakin meningkat sesuai dengan kebutuhan namun tidak diiringi dengan
luas wilayah yang memadai. Konversi lahan merupakan salah satu faktor penyebab
perubahan pola penguasaan lahan, terdapat berbagai cara untuk menguasai lahan
yang diterapkan oleh masyarakat perkotaan maupun di pedesaan. Konversi lahan
yang terjadi menimbulkan berbagai dampak salah satunya adalah dampak ekonomi
yang di alami oleh petani. Dibutuhkan suatu konsep ketahanan dalam diri
masyarakat agar mampu mengdapai guncangan atau dampak dari perubahan yang
terjadi. Ancaman ketahanan pangan akibat dari dampak konversi lahanpun turut
menjadi perhatian.
Penerapan struktur penguasaan lahan ini diharapkan mampu membantu
meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat yang menguasai lahan.
Tetapi kasus lain juga menyebutkan bahwa tidak semua struktur penguasaan lahan
mampu untuk meningkatkan kesejahteran mereka, justru semakin menurunkan
kesejahteraan baik secara sosial maupun ekonomi. Tingkat kesejahteraan ekonomi
dapat dilihat dari hasil yang didapatkan dari menguasai lahan maupun aset-aset fisik
yang dimiliki oleh mereka. lalu tingkat kesejahteraan sosial dapat ditinjau dari sisi
hubungan-hubungan antar aktor yang berdampak pada kehidupan mereka.
25
Usulan Kerangka Analisis Baru
Alih fungsi lahan merupakan fenomena yang tidak dapat di hindari lagi saat
ini, kebutuhan manusia akan lahan menjadi salah satu faktornya. Alih fungsi lahan
ini menyebabkan terjadinya perubahan penguasaan lahan. Kebutuhan manusia akan
lahan yang semakin meningkat, berakibat pada banyak aktor yang ingin menguasai
lahan tersebut. Aktor yang ingin menguasai lahan melakukan berbagai cara untuk
memiliki hak terhadap sumberdaya agraria tersebut. Mulai dari perjanjian hingga
hukum yang berlaku, merupakan cara mereka untuk mengubah struktur
penguassaan lahan. Banyak masyarakat yang tergiur akan perjanjian para aktor
dalam melakukan transaksi perubahan struktur penguasaan lahan. Dibalik
maraknya konversi lahan yang terjadi mayarakat perlu adanya ketahanan
(persistence) dalam diri masyarakat, untuk mempertahankan hak mereka terhadap
lahan dan menahan guncangan akibat perubahan yang terjadi. Selain itu perlu
adanya ketahanan terhadap pangan yang dispesifikan dalam ketahanan air, energi
dan pangan. Penerapan struktur penguasaan lahan ini diharapkan mampu
membantu meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat yang
menguasai lahan. Tetapi kasus lain juga menyebutkan bahwa tidak semua struktur
penguasaan lahan mampu untuk meningkatkan kesejahteran mereka, justru
semakin menurunkan kesejahteraan baik secara sosial maupun ekonomi. Tingkat
kesejahteraan ekonomi dapat dilihat dari hasil yang didapatkan dari menguasai
lahan maupun aset-aset fisik yang dimiliki oleh mereka. Lalu tingkat kesejahteraan
sosial dapat ditinjau dari sisi hubungan-hubungan antar aktor yang berdampak pada
kehidupan mereka.
26
Konversi
Lahan
Perubahan Pola
Penguasaan
Lahan
Tingkat Kesejahteraan
Masyarakat
Persistence
Masyarakat
Memiliki
Tidak
Memiliki
Dampak
Dampak
Positif
Negatif
Positif
Keterangan :
: Menyebabkan
: Terdiri dari
: Fokus penelitian
Gambar 1. Kerangka Analisis
Negatif
27
Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi
Berdasarkan kerangka analisis yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana konversi lahan atau alih fungsi lahan mempengaruhi perubahan struktur
penguasaan lahan ?
2. Apa dampak dari perubahan struktur penguasaan lahan terhadap ketahanan
(persistence) masyarakat ?
3. Apa dampak dari ketahanan masyarakat terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat ?
28
DAFTAR PUSTAKA
Adly WS. 2009. Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(DAS). [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
Antrop M. 2005. Sustainable Landscape: Contradiction, Fiction, or Utopia.
Landscape and Urban Planning. [Internet]. [Dikutip 5 Desember 2013]. 75:
187-197. Dapat diunduh dari: http://elsevier.com/locate/landurbplan
Bachriadi D dan Lucas A. 2001. Merampas tanah rakyat: Kasus Tapos dan
Cimacan. Jakarta [ID]: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Benu MN, Maryunani, Sugianto dan Kindangen P. 2013. Analysis of land
conversion and its impacts and strategies in managing them in city of
Tomohon, Indonesia. Asian Transactions on Basic an Applied Science
(ABAS). [Internet]. [23 September 2014]. 03: 65-72. Dapat diunduh dari:
www.asian-transactions.org/Journals/Vol03Issue02/ATBAS/ATBAS40329021.pdf
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Penduduk Indonesia tahun 2010. [Internet].
[dikutip
17
September
2014].
Dapat
diunduh
dari:
http://www.sp2010.bps.go.id/
Chi PVQ, Fujinomoto A. 2012. Land Tenure and Tenancy Conditions in Relation
to Rice Production in Three Villages in The Red River Delta, Vietnam. J
ISSAAS. [Internet]. [17 September 2014]. 18(1):31-48. Dapat diunduh dari:
http://www.issaas.org/journal/v18/01/journal-issaas-v18n1-05chi_fujimoto.pdf
Damayanti T. 2009. Perubahan Struktur Agraria Pada Lahan Sisa Konversi
Pertanian dan Ketahanan (Persistence) Masyarakat Tani. [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor. 31 hal.
Hidayat AH, Hanafie U, Septiana N. 2012. Dampak konversi lahan pertanian bagi
taraf hidup petani di Kelurahan Landasan Ulin Barat Kecamatan Liang
Anggang Kota Banjarbaru. J Agribisnis Pedesaan. [Internet]. [15 Oktober
2014].
2(2)
:
95-107.
Dapat
diunduh
dari
:
ejournal.unlam.ac.id/index.php/agrides/article.
Mardiyaningsih DI, Dharmawan A, dan Tonny F. 2010. Dinamika Sistem
Penghidupan Masyarakat Tani Tradisional dan Modern di Jawa Barat. J
Sodality. 4(1): 115-145.
Mulyani L, Yogaswara H, Masnun L, dan Mardiana R. 2011. Strategi Pembaruan
Agraria Untuk Mengurangi Kemiskinan. Dalam: Mulyani L, editor. Jakarta
[ID]: PT. Gading Inti Prima. Hal 2.
Ramadhan A, Hafsaridewi R. 2012. Dampak Perubahan Lingkungan terhadap
Perkembangan Aktivitas Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di
Kawasan Segara Anakan. [Internet]. [ 23 September 2014]. 7(1):33-53.
Dapat
diunduh
dari:
http://www.bbrse.kkp.go.id/publikasi/jurnal
2012_v7_no1_ %283%29_full.pdf
Ruswandi A, Rustiadi E, Mudikdjo K. 2007. Konversi Lahan Pertanian dan
Dinamika Perubahan Penguasaan Lahan di Kawasan Bandung Utara.
[Internet]. [17 September 2014]. 1(4):66-74. Dapat diunduh dari:
http://repository.ipb.ac.id/handle/Ngd.dpbs
Savitri LA, Purwandari H. 2006. Penguasaan Sumber-sumber Agraria dan
Konservasi Kawasan: Perkawinan antara Intervensi Struktural dan Jurang
29
Kultural dalam Kasus Rehabilitasi Lahan Gambut di Jambi. J Pembaharuan
Desa dan Agraria. 3(3): 27-40.
Sihaloho M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria.
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hal 20.
Sitorus MTF, Dharmawan AH, Fadjar U, dan Sihaloho M. 2008. Perubahan
Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Petani.
Suwitra IM. 2010. Dampak konversi dalam UUPA terhadap status tanah adat di
Bali. J Hukum. [Internet]. [28 November 2013]. 17(01): 103-118. Dapat
diunduh
dari
:
http://law.uii.ac.id/images/stories/Jurnal%20Hukum/1%20I%20Made%20
Suwitra.pdf
White B dan Wiradi G. 2009. Reforma agraria dalam tinjauan komparatif. Bogor
(ID): Brigthen Institute. 122 hal
xxx
RIWAYAT HIDUP
Ulfa Lestari dilahirkan di Bogor pada tanggal 11 Oktober 1993. Penulis
adalah anak pertama dari dua bersaudara yang terlahir dari pasangan Drs. Prawira
Rafady dan Nuriha. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-kanak IP
Jakarta Selatan pada tahun 1997-1999. Selama Sekolah Dasar penulis mengalami
pindah sekolah lebih dari 4 kali , Pertama melanjutkan di Sekolah Dasar Negeri 01
Kepenuhan Riau, Kelas 3 SD Penulis melanjutkan Sekolah Dasar di sekolah Dasar
Negeri 003 Pekanbaru, dan berselang 3 bulan melanjutkan di Sekolah Dasar Negeri
002 Siak, mulai dari kelas 5 SD sampai lulus melanjutkan Sekolah Dasar 003 Koto
Gasib. Melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Siak, Riau tahun 20072008, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Siak, Riau tahun 2008-2011. Pada
tahun 2011, penulis melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor melalui
Undangan di Fakultas Ekologi Manusia, Departemen Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat.
Selama penulis menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di
berbagai kegiatan organisasi baik di dalam maupun di luar kampus. Selama dua
tahun kepengurusan, penulis aktif dalam himpunan profesi dari Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yaitu Himpunan Mahasiswa Peminat
Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai
anggota divisi Public Relation periode 2013-2014.
Download