The Fed, Hot Money: Berkah yang Mengancam Pasar Keuangan Kita?

advertisement
The Fed, Hot Money: Berkah yang Mengancam Pasar Keuangan Kita?
Oleh: Subagyo
Syukur, selama 2 hari ini Kota Malang tidak diguyur hujan, gerimispun tidak pula menganggu. Tiadanya
gerimis dan hujan memberi kesempatan untuk memperbaiki talang rumah yang bocor. Dan kupanggil
Cak Yon, tukang langgananku untuk memperbaikinya.
“Cak Su! Harga bensin sudah turun lagi ya?” tanya Cak Yon.
“Iyo Cak, sekarang lima ribu rupiah seliternya!”
“We... kok lebih murah dari lenggo gas yo?!”
“Lha... minyak tanah sekarang berapa sih harganya?!”
“Enam ribu Cak, itupun kadang ada terkadang tak ada!”
“Iya... ya lebih mahal minyak tanah Cak!” gumamku lirih.
“Lha ya itu... masalahnya, kan bensin itu untuk orang kaya, kok harganya lebih murah ya!”
“Lha itu Cak... aku juga gak paham!”
“Katanya lagi bunga federal juga akan turun ya Cak?! Kreditnya dimana sih?!”
“Maksud Cak Yon, apa?!”
“Kalau bunga kredit sepeda federal turun, aku mau belikan Anton sepeda Cak!”
???
Integrasi dan globalisasi pasar keuangan menuntut langkah antisipatif yang proaktif dan rasional. Saat ini
Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed) tengah merumuskan kebijakan moneter yang terkait
dengan kemungkinan penurunan tingkat bunga The Fed untuk mencegah deflasi (baca: yang semakin
parah) di AS. Tentunya, kebijakan yang akan diambil oleh The Fed ini akan memiliki beragam implikasi
kepada pasar keuangan internasional, tidak terkecuali pasar keuangan negara kita Indonesia.
Penurunan suku bunga The Fed, sudah dimulai sejak bulan September 2007 yang lalu, dari 5.25% sampai
pada level 1% saat ini. (Kontan, 16/12). Penurunan ini digunakan sebagai instrumen untuk menjaga
tingkat daya beli masyarakat (purchasing power) dan mereduksi tingkat kredit macet/NPL (Non
Performing Loan). Jika saat ini bunga The Fed diindikasikan bakal menurun kembali, pada titik berapa
bunga itu akan berhenti? The Fed sudah dalam posisi kehabisan persediaan “bunga” sebagai salah satu
instrumen moneternya.
Mungkinkah bunga The Fed 0%? Dalam situasi yang masih diperangkap dalam kondisi bunga pinjaman
tinggi (relatif belum ada premi risk signifikan dari perspektif deficit units), harga saham yang
berkecenderungan turun dan masih adanya keengganan bank untuk menyalurkan kreditnya, bukan hal
yang mustahil jika bunga The Fed suatu saat akan berada pada level zero point. Masalahnya adalah zero
level akan menyebabkan penurunan margin bank yang signifikan. Jika dikaitkan dengan tingkat imbal
hasil (yield) surat utang pemerintah jangka pendek di AS yang saat ini sudah dalam level yield negatif
(Kontan, 15/12), artinya investor merelakan dananya mengalami penyusutan nilai semata-mata demi
keamanan, akan membuat semakin dalam krisis keuangan saat ini.
The Fed dan Pasar Keuangan Indonesia: Berkah yang Mengancam?
Tidak dipungkiri bahwa pasar keuangan kita masih membutuhkan aliran dana dari investor asing. Aliran
yang tidak semata-mata untuk kepentingan likuiditas instrumen keuangan tetapi juga diharapkan
membantu apresiasi rupiah dan memperkokoh cadangan devisa. Aliran dana asing ke pasar keuangan
kita, yang sering disebut dengan istilah hot money, sangat fluktuatif dan berkarakter cepat masuk dan
cepat pula keluar. Pada bulan 5 September lalu, dana hot money yang masuk melalui SUN sebesar Rp.
108.37 triliun. Jumlah ini merupakan nilai kapitalisasi terbesar hot money sepanjang tahun ini.(Kompas,
26/9). Dana itu pada tanggal 19 September telah menyusut menjadi Rp. 105.06 trilitun. Berarti dalam
waktu 14 hari dana hot money telah keluar sebesar Rp. 3 triliyun lebih. Begitulah perilaku hot money.
Harapan atas kehadiran hot money untuk kepentingan likuiditas, apresiasi rupiah dan cadangan devisa
bukannya nihil risiko. Kharakter yang mudah masuk dan mudah keluar dari hot money inilah yang akan
memberikan risiko instabilitas pasar keuangan. Instabilitas pasar keuangan itupun akan memicu lahirnya
investasi spekulatif dan mendorong terbentuknya kepanikan pasar. Sehingga, memang dibutuhkan
kebijakan untuk mengelola kharakter hot money yang liar tersebut.
Tingkat BI Rate saat ini yang berada dalam level 9.25% dan bunga The Fed yang berada dalam level 1%
(kemungkinan akan menurun lagi!) merupakan insentif yang kuat untuk kembali masuknya hot money
ke pasar keuangan Indonesia. Spread yang cukup lebar antara Bi Rate dan The Fed merupakan insentif
menarik bagi dana asing dengan potensi perolehan imbal hasil (return) yang lebih besar jika
dibandingkan dengan potensi return jika dana itu ditanamkan kepada instrumen investasi di negaranya.
Keuntungan yang bisa diperolehnya dari yield maupun dari apresiasi rupiah terhadap mata uangnya (US
$, misalnya). Hot money yang masuk akan mendorong rupiah mengalami apresiasi (terjadi excess
demand rupiah) sehingga rupiah mengalami apresiasi, dan apresiasi rupiah akan membuat return
investasi setelah disesuaikan dengan nilai tukar (exchange rate) akan semakin besar. Sehingga
kemungkinan penurunan bunga The Fed hari ini akan mendorong masuknya hot money kembali ke pasar
keuangan Indonesia.
Keberkahan “Semu” Hot Money
Aliran dana asing yang leluasa masuk kedalam pasar keuangan akan menyebabkan likuiditas transaksi
intrumen keuangan di pasar keuangan meningkat. Likuditas yang meningkat ini akan menyebabkan
kenaikan harga instrumen keuangan tersebut. Instrumen keuangan itu bisa dalam bentuk saham,
obligasi ataupun SUN. Secara teoritis jika harga saham meningkat maka relatif bahwa IHSG juga akan
mengalami peningkatan, harga obligasi dan SUN yang meningkat (misalnya dari 65% menjadi 74%) akan
mendorong penurunan yield. Kondisi seperti ini akan mendorong investor lain untuk turut menanamkan
dananya di pasar keuangan. Ada insentif untuk masuk!. Pembelian instrumen keuangan ini akan
menyebabkan permintaan rupiah meningkat dan penawaran US$ meningkat (investor menjual US$
untuk membeli rupiah). Dan rupiahpun mengalami apresiasi. Rupiah yang terapresiasi relatif akan
membuat kondisi moneter kondusif bagi kegiatan perekonomian. Serta sudah pasti struktur cadangan
devisa kita akan membesar dari aliran dana masuk ini. Cadangan devisi yang membesar merupakan
indikator dari stabilitas moneter, dalam artian adanya kemampuan untuk menjaga keseimbangan
demand dan supply rupiah terhadap mata uang lainnya. Tetapi keberkahan ini adalah semu! Tidak ada
jaminan sedikitpun hot money itu untuk tinggal lebih lama di pasar keuangan kita. Dan ketika dana itu
keluar secara masif maka instabilitas pasar keuangan-lah hasilnya. Sehingga pasar keuangan yang
ditopang oleh hot money akan sangat rapuh (fragile)! Mengancam dan membahayakan!.
Ancaman Nyata Hot Money
Stabilitas pasar keuangan merupakan ancaman nyata dari hot money. Ciri hot money yang mudah masuk
dan mudah keluar merupakan pimicu lahirnya instabilitas itu. Kenaikan harga saham, obligasi dan SUN
akan berbalik jika dana hot money keluar. Dan penurunan itu akan berimplikasi kepada potensi
diperolehnya capital loss yang signifikan. Dalam perspektif kurs, jika hot money ini sudah memutuskan
untuk pulang (dan tidak bisa dicegah lagi!) maka akan terjadi excess supply rupiah di pasar keuangan dan
dilain pihak terjadi excess demand terhadap US$. Hal ini memicu depresiasi rupiah terhadap US$.
Kondisi rupiah yang terdepresiasi akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) yang besar pula
dalam sistem ekonomi keseluruhan. Dan kondisi selanjutnya adalah cadangan devisa kita akan tergerus
untuk tetapi menjada keseimbangan dan keterpenuhan demand dan supply valuta di pasar keuangan.
Akhirnya, hot money secera masif dan spartan mampu membuat instabilitas pasar keuangan riil terjadi.
Ancaman seperti ini telah berkali-kali terbukti, bukan hanya “gertak sambal”. Dan terkadang otoritas
moneter tidak “menghiraukan” ancaman yang bukan gertak sambal ini.
Bagaimana Otoritas Kita (seharusnya) Bersikap?
Ada beberapa langkah kebijakan yang bisa digunakan untuk menjinakkan ancaman hot money tersebut.
Spread yang lebar antara BI Rate dengan bunga The Fed harus segera diperkecil jaraknya. Langkah ini
tidak hanya akan mengurangi insentif hot money masuk ke pasar keuangan kita secara massal, tetapi BI
Rate yang menurun akan menyebabkan sektor rill mendapatkan insentif berupa biaya modal (cost of
capital) yang lebih kecil dan merupakan insentif pula bagi sektor perbankan untuk melakukan ekspansi
kredit dan menekan angka NPL yang dimilikinya. Bergeraknya sektor rill, akan membawa implikasi
kepada pertumbuhan dan peningkatan daya beli masyarakat. Kita akan melihat apakah dalam Rapat
Dewan Gubernur (RDG) BI mendatang, akan kembali menurunkan BI rate-nya?
Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan adalah merubah stuktur cadangan devisa kita dengan tidak
bertumpu pada adanya aliran dana hot money sebagai sumber devisa. Tetapi mendorong volume ekspor
dan menurunkan volume impor, baik barang ataupun jasa. Cadangan devisa yang dibentuk dengan
surplus ekspor yang besar lebih kondusif bagi stabilitas devisa. Meskipun dalam kondisi perlambatan
ekonomi dunia, pertumbuhan ekspor relatif sulit didorong tetapi usaha dengan memberi insentif fiskal
kepada eksportir mutlak diperlukan. Dan yang lebih afdol lagi adalah memberikan stimulus agar aliran
dana asing (hot money) itu tidak hanya kepada pasar keuangan tetapi dalam bentuk investasi jangka
panjang/FDI (foreign direct investment). Untuk itu perbaikan infrastuktur (jalan, pelabuhan,
penerbangan dan energi) mutlak diperlukan dan diprioritaskan, punggutan yang menjadi sumber
ekonomi biaya tinggi (high cost economy) ditertibkan (termasuk didalamnya semua peraturan daerah
yang kontra investasi), birokrasi perijinan dan kepastian hukum harus mendapat prioritas untuk segera
diupayakan perbaikannya. Jika hal ini bisa dilakukan, maka kita akan mendapatkan dana asing yang tidak
liar (hot) tetapi dana asing yang hangat-hangat kuku. Uenak tenan!!!
“Cak Su, sampeyan yakin to jika pemimpin kita itu memikirkan nasib kita?” tanya Cak Yon saat istirahat.
“Yakin to Cak, wong Pak SBY saja sekarang sudah uwanen, katanya bukti kalau beliau itu selalu berpikir
dan bekerja” kataku.
“Aku kok gak yakin Cak?!”
“Piye?”
“Meraka itu hanya sibuk untuk berpikir menjabat lagi! Bukan semata untuk nasib kita!”
“Lha... lumrah to Cak!”
“Lumrah?!.. Lumrah piye?”
“Lumrah... mergo kabeh kuwi mung manungso!” kataku.
“Tapi yo sing.... lumrah ae to....!!”
????
(16 Desember 2008, pernah dimuat di www.wongndoko.blogspot.com)
Download