kebijakan dan rencana strategi penanganan korban

advertisement
2012
Laporan Hasil Penelitian
Kebijakan, Intervensi Hukum, Sistem,
Rencana Strategi dan Struktur
Penegak Hukum Dalam Penanganan
Korban Perdagangan Anak
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
1.2. Rumusan Masalah Penelitian
1.3. Konsep Penelitian
1.4. Tujuan Penelitian
1.5. Metode dan Teknik Penelitian
a. Ruang Lingkup Penelitian
b. Lokasi Penelitian
c. Teknik Pengumpulan Data
d. Teknik Analisis Data
1.6. Sistematika Penulisan
1.7. Pelaksana Penelitian
1.8. Jadwal Penelitian
2
2
4
4
5
6
6
7
8
8
9
10
10
BAB II
KEBIJAKAN DAN RENCANA STRATEGI PENANGANAN
KORBAN PERDAGANGAN ANAK PADA TINGKAT
NASIONAL DAN DAERAH
2.1. Nasional
2.2. Daerah
2.2.1. Provinsi Sumatera Utara
2.2.2. Provinsi Nusa Tenggara Timur
2.2.3. Provinsi Jawa Tengah
11
INTERVENSI HUKUM DALAM MENANGANI KORBAN
PERDAGANGAN ANAK
3.1. Kepolisian
3.2. Kejaksaan
3.3. Biro/Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak
3.4. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan
dan Anak (P2TP2A)
3.5. Dinas Sosial
96
BAB III
BAB IV
11
68
68
82
88
97
107
115
121
131
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1. Kesimpulan
4.2. Rekomendasi
137
137
140
DAFTAR PUSTAKA
142
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kasus perdagangan anak (child trafficking) di Indonesia dalam lima tahun
terakhir terus mengalami peningkatan, data dari International Organization for
Migration (IOM) menunjukkan bahwa dari tahun 2005 hingga Desember 2010
ada 3.840 orang yang menjadi korban perdagangan manusia baik yang terjadi di
dalam negeri maupun luar negeri. Dari 3.840 orang yang menjadi korban
perdagangan tersebut, 899 diantaranya merupakan anak-anak. Begitu juga data
dari Bareskrim Polri yang menyebutkan bahwa dari tahun 2005-2010 ada 364
anak yang menjadi korban perdagangan. Sebagian besar dari tujuan
perdagangan ini adalah untuk eksploitasi seksual dan pekerja rumah tangga.
Sementara asal korban sebagian besar berasal dari Provinsi Jawa Barat,
Kalimantan Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Nusa
Tenggara Barat.
Dampak yang dialami korban perdagangan anak pun sangat serius, mulai
berdampak secara fisik dan psikis, hingga berdampak kepada kematian. Begitu
seriusnya dampak yang ditimbulkan maka perdagangan anak dapat dikatakan
sebagai tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan
melanggar hak asasi manusia. Karena perdagangan anak merupakan kejahatan
kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia, maka dalam penanganan
korban pun harus berbasiskan standar hak asasi manusia.
Untuk penanganan korban perdagangan anak, di dalam Protokol untuk
Pencegahan, Penekanan dan Penghukuman Perdagangan Manusia, khususnya
Perempuan dan Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
terhadap Kejahatan Transnasional yang Terorganisir, atau disebut juga Protokol
Palermo menyebutkan bahwa negara diharuskan memberikan bantuan dan
perlindungan bagi korban perdagangan manusia dengan menghormati secara
2
penuh hak asasi korban. Kemudian protokol ini disahkan oleh Indonesia menjadi
Undang-Undang No. 14 tahun 2009.
Untuk penanganan yang menghormati secara penuh hak asasi korban
perdagangan manusia khususnya anak, Asia Against Child Trafficking (ACT) dan
Indonesia
ACT
telah
mengeluarkan
panduan
penanganan
anak
yang
diperdagangkan yang berbasiskan hak asasi manusia dan penghargaan
martabat anak. Di dalam panduan tersebut merincikan bagaimana melakukan
pendeteksian dan pengidentifikasian awal, kontak awal, sistem rujukan,
koordinasi, kolaborasi dan kerjasama, perawatan dan perlindungan sementara,
manajemen kasus sosial anak yang diperdagangkan, akses pada keadilan,
perawatan dan perlindungan bagi penyedia layanan kesejahteraan sosial, serta
peningkatan kemampuan.
Untuk penanganan perdagangan anak ini, dalam concluding observations atas
Laporan Kedua Pelaksanaan KHA di Indonesia tahun 2004 Komite Hak Anak
PBB merekomendasikan agar pemerintah Indonesia menetapkan definisi yang
tepat dari perdagangan manusia, meningkatkan perlindungan hukum untuk
anak-anak yang menjadi korban, mengambil tindakan-tindakan efektif untuk
mempertegas penegakan hukum, dan meningkatkan intensitas daya upaya
untuk menggalang kesadaran masyarakat tentang penjualan, perdagangan dan
penculikan anak-anak.
Dari rekomendasi Komite Hak Anak PBB tersebut jelaslah bahwa pemerintah
Indonesia harus mengambil langkah-langkah dalam penanganan anak yang
diperdagangkan baik itu legislatif, administratif, maupun program.
Penanganan bagi anak yang menjadi korban perdagangan seperti yang
direkomendasikan Komite Hak Anak PBB titik tekannya adalah memberikan
keadilan pada korban. Untuk memastikan bagaimana penanganan korban yang
memberikan rasa keadilan maka perlu diketahui situasi penanganan korban baik
3
dalam kebijakan dan praktiknya di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Untuk mendapatkan informasi mengenai penanganan bagi anak yang menjadi
korban perdagangan yang telah dilakukan oleh pemerintah baik pusat, provinsi,
dan kabupaten/kota perlu dilakukannya penelitian. Informasi ini menjadi sangat
penting untuk menjadi dasar dalam melakukan advokasi perlindungan hukum
bagi anak-anak yang menjadi korban perdagangan terutama dalam perlindungan
hukum, pemulihan, dan reintegrasi.
Penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan penanganan korban mulai
perlindungan hukum hingga pemulihan dan reintegrasinya bagi anak-anak yang
menjadi korban perdagangan yang telah dilakukan pemerintah yang memberikan
rasa keadilan bagi korban, mulai dari kebijakan, rencana strategi, hingga struktur
para penegak hukum dalam penanganan kasus hingga struktur pemulihan dan
reintegrasi.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian
Rumusan masalah secara umum adalah :
Bagaimana sistem penanganan korban perdagangan anak di Indonesia pada
tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota?
Rumusan masalah ini dibuat menjadi lebih spesifik sebagai berikut :
a. Bagaimana penanganan perlindungan hukum bagi korban perdagangan
anak
b. Bagaimana penanganan pemulihan bagi korban perdagangan anak
c. Bagaimana penanganan reintegrasi bagi korban perdagangan anak
1.3. Konsep Penelitian
Dalam penelitian ini konsep penelitiannya adalah sebagai berikut :
a. Sistem
penanganan,
adalah
prosedur
dan
mekanisme
yang
dikembangkan dalam upaya memberikan bantuan/pelayanan terhadap
korban perdagangan anak.
4
b. Perlindungan hukum, adalah segala upaya pemenuhan hak dan
pemberian bantuan hukum untuk memberikan rasa aman kepada saksi
dan/atau korban perdagangan anak.
c. Pemulihan
adalah
segala
upaya
untuk
penguatan
bagi
korban
perdagangan anak dari gangguan kondisi fisik, psikis, dan sosial sehingga
dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga
maupun dalam masyarakat.
d. Reintegrasi adalah upaya penyatuan kembali korban dengan pihak
keluarga, keluarga pengganti, atau masyarakat yang dapat memberikan
perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban perdagangan anak.
e. Kebijakan,
adalah
perundang-undangan,
peraturan-peraturan,
dan
keputusan-keputusan pemerintah pada tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota dalam menangani korban perdagangan anak.
f. Intervensi hukum, tindakan yang dilakukan oleh aparat yang diberi
kewenangan oleh negara untuk memberikan perlindungan hukum,
pemulihan, dan reintegrasi dalam penanganan korban perdagangan anak.
g. Rencana strategi, adalah merupakan rencana aksi yang disusun oleh
pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk menangani korban
perdagangan anak.
h. Struktur penegak hukum, adalah susunan atau bagan dalam institusi
aparat yang diberi kewenangan oleh negara untuk melakukan tugas
pokok dan fungsi sebagai penegakan peraturan dan perundang-undangan
yang menangani korban perdagangan anak, unsur penegak hukum
adalah Polisi, Jaksa, Hakim.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mendapatkan informasi mengenai kebijakan pada tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota dalam penanganan korban perdagangan
anak.
5
b. Mendapatkan informasi mengenai perlindungan hukum, pemulihan, dan
reintegrasi terhadap korban perdagangan anak.
c. Mendapatkan informasi mengenai rencana strategi pada tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota dalam penanganan korban perdagangan
anak
d. Mendapatkan
informasi mengenai struktur penegak hukum yang
menangani korban perdagangan anak
1.5. Metode dan Teknik Penelitian
a. Ruang Lingkup Penelitian
Untuk mencapai tujuan a, maka beberapa persoalan yang diharapkan
dieksplorasi dalam penelitian ini diantaranya :
1. Bagaimana kebijakan tersebut mendefenisikan tentang perdagangan anak
2. Prinsip-prinsip yang dipertimbangkan dalam perlindungan bagi korban
perdagangan anak di dalam kebijakan tersebut
3. Bagaimana kebijakan tersebut mengatur perlindungan hukum, pemulihan,
dan reintegrasi bagi korban perdagangan anak
Untuk mencapai tujuan b, maka beberapa persoalan yang diharapkan
dieksplorasi dalam penelitian ini diantaranya :
1. Bagaimana peran masing-masing institusi dalam melakukan perlindungan
hukum, pemulihan, dan reintegrasi bagi korban perdagangan anak
2. Bagaimana perlindungan bagi anak sebagai korban/saksi
3. Bagaimana kerjasama antar institusi dilakukan
4. Bagaimana pemantauan kasus dilakukan
Untuk mencapai tujuan c, maka beberapa persoalan yang diharapkan
dieksplorasi dalam penelitian ini diantaranya :
1. Bagaimana rencana aksi pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota
untuk perlindungan hukum, pemulihan, dan reintegrasi sosial bagi korban
perdagangan anak.
6
2. Bagaimana rencana aksi tersebut dijalankan dan siapa saja yang terlibat
dalam menjalankan rencana aksi tersebut
Untuk mencapai tujuan d, maka beberapa persoalan yang diharapkan
dieksplorasi dalam penelitian ini diantaranya :
1. Institusi penegak hukum apa saja dalam melakukan penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan, dan putusan dalam menangani korban
perdagangan anak.
2. Bagaimana struktur institusi penegak hukum dalam menangani korban
perdagangan anak di Kepolisian dan Kejaksaan.
b. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Untuk tingkat provinsi penelitian ini akan dilakukan di 3 provinsi yakni :
1. Provinsi Jawa Tengah
2. Provinsi Sumatera Utara
3. Provinsi Nusa Tenggara Timur
Kemudian untuk tingkat kabupaten/kota dilakukan di 3 kabupaten/kota yakni :
1. Semarang
2. Deli Serdang
3. Kupang
Provinsi dan kabupaten/kota ini merupakan daerah asal korban yang paling
banyak ditemukan dan juga merupakan wilayah kerja Indonesia ACT.
Pada tingkat nasional sasaran penelitiannya berupa kebijakan dimasing-masing
Kementerian dalam menangani korban perdagangan anak, intervensi pemulihan
dan reintegrasi korban, dan sistem penanganan korban. Kemudian institusi
penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan berupa kebijakan dimasingmasing institusi dalam menangani korban, intervensi perlindungan hukum bagi
7
korban (penyidikan, penuntutan, persidangan), sistem penanganan korban, dan
struktur dalam penanganan.
Untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota sasaran penelitiannya adalah
Badan/Biro Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Sosial,
dan P2TP2A. Data yang diharapkan dari institusi pemerintah daerah ini berupa
kebijakan provinsi dan kabupaten/kota (Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur,
Peraturan Bupati/Walikota) untuk penanganan korban, intervensi pemulihan dan
reintegrasi korban, sistem penanganan korban, dan rencana aksi daerah untuk
penanganan korban. Kemudian untuk institusi penegak hukum pada tingkat
provinsi dan kabupaten/kota seperti Kepolisian Daerah (Polda), Kepolisian
Resort/Kepolisian Resor Kota (Polres/Polresta), serta Kejaksaan Tinggi dan
Negeri. Data yang diharapkan dari institusi penegak hukum di daerah ini berupa
intervensi perlindungan hukum bagi korban, sistem penanganan korban, dan
struktur dalam penanganan.
c. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan
kualitatif. Dalam pelaksanaan penelitian, proses pengumpulan data akan
menggunakan dua strategi. Pertama adalah pengumpulan data sekunder
dilakukan melalui studi kepustakaan terkait dengan Undang-Undang, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri,
Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur dan Bupati/Walikota. Kebijakan pada
tingkat penegak hukum seperti Kepolisian, dan Kejaksaan. Rencana Aksi pada
tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, standar pelayanan minimal dan
standar operasional prosesur. Kedua adalah melakukan wawancara dengan
informan kunci seperti dari instansi pemerintah dan aparat penegak hukum di
tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
d. Teknik Analisis Data
8
Data-data yang terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan panduan
penanganan anak yang diperdagangkan yang berbasiskan hak asasi manusia
dan penghargaan martabat anak yang dikeluarkan oleh Asia ACT dan Indonesia
ACT. Hasil analisis data akan disajikan secara naratif-deskriptif untuk
mendapatkan gambaran detail tentang penanganan bagi anak yang menjadi
korban perdagangan.
1.6. Sistematika Penulisan
Bagian I
: Pendahuluan
Dalam bagian ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan rencana
kerja penelitian (design penelitian) dengan Latar Belakang
Penelitian, Rumusan Masalah Penelitian, Konsep Penelitian,
Tujuan Penelitian, Metode dan Teknik Penelitian, Laporan
Penelitian, Personil Penelitian, dan Jadwal Penelitian.
Bagian II
: Deskripsi Mengenai Kebijakan dan Rencana Strategi
Penanganan Korban Perdagangan Anak
Pada bagian ini akan dibahas mengenai deskripsi kebijakan dan
rencana
strategis
pada
tingkat
nasional,
provinsi,
dan
kabupaten/kota penanganan korban perdagangan anak
Bagian III
: Deskripsi Mengenai Intervensi Hukum, dan Struktur
Penegak Hukum Dalam Menangani Korban Perdagangan
Anak
Pada bagian ini akan dibahas mengenai intervensi hukum seperti
perlindungan hukum, pemulihan, reintegrasi yang dilakukan oleh
pemerintah
provinsi
dan
kabupaten/kota
kepada
korban.
Mekanisme yang dikembangkan oleh pemerintah provinsi, dan
kabupaten/kota untuk menangani korban. Institusi penegak hukum
dan struktur institusi dalam menangani korban.
9
Bagian IV
: Kesimpulan dan Rekomendasi
Bagian ini merupakan bagian penutup yang berisikan kesimpulan
dan rekomendasi dari hasil penelitian yang berkaitan dengan
tujuan penelitian.
1.7. Pelaksana Penelitian
Pelaksana kegiatan penelitian ini adalah Yayasan KKSP – Pusat Pendidikan dan
Informasi Hak Anak, dengan struktur dan fungsi sebagai berikut :
1. Muhammad Jailani
(Supervisor)
2. Syamsul
(Koordinator)
3. Yayasan KKSP, Sumatera Utara
(Anggota)
5. Yayasan Setara, Jawa Tengah
(Anggota)
6. Rumah Perempuan, NTT
(Anggota)
1.8. Jadwal Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu tahap penyusunan
desain penelitian, tahap pengumpulan data, tahap analisis data dan tahap
penulisan laporan.
10
BAB II
KEBIJAKAN DAN RENCANA STRATEGI PENANGANAN KORBAN
PERDAGANGAN ANAK PADA TINGKAT NASIONAL DAN DAERAH
2.1. Nasional
Pada 15 November 2000 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
telah menetapkan Protokol untuk Pencegahan, Penekanan dan Penghukuman
Perdagangan Manusia, Khususnya Perempuan dan Anak, Melengkapi Konvensi
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
terhadap
Kejahatan
Transnasional
yang
Terorganisir, atau disebut juga sebagai Protokol Palermo, dan kemudian protokol
ini diberlakukan pada tanggal 25 Desember 2003. Dalam protokol ini,
perdagangan manusia didefinisikan :
Perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan atau menerima individuindividu, dengan cara mengancam atau penggunaan paksaan atau bentukbentuk kekerasan lainnya, penculikan, penipuan, kebohongan, penyalahgunaan
kekuasaan atau pemanfaatan sebuah posisi yang rentan atau pemberian atau
penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari
seseorang untuk memiliki kontrol terhadap orang lain, dengan tujuan-tujuan
untuk mengeksploitasi. Eksploitasi haruslah mencakup, pada tingkat paling
minimum, eksploitasi prostitusi terhadap seseorang atau bentuk-bentuk lain dari
eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa
dengan perbudakan, penghambaan atau penghilangan organ.
Dari Protokol ini ada tiga unsur yang disebut sebagai perdagangan manusia
yakni proses, cara, dan tujuan.

Proses meliputi perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan
atau menerima.

Cara meliputi mengancam atau penggunaan paksaan atau bentuk-bentuk
kekerasan lainnya, penculikan, penipuan, kebohongan, penyalahgunaan
kekuasaan atau pemanfaatan sebuah posisi yang rentan atau pemberian
atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin
dari seseorang untuk memiliki control terhadap orang lain.

Tujuan untuk eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau praktekpraktek
yang
serupa
dengan
perbudakan,
penghambaan
atau
penghilangan organ.
11
Sementara untuk perdagangan anak, dalam Protokol ini mendefinisikan :
Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seorang
anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai “perdagangan manusia”
meskipun jika hal ini tidak melibatkan cara. Jadi untuk anak apabila terdapat dua
unsur saja yakni proses dan tujuan maka dapat disebut sebagai perdagangan
manusia.
Kemudian Protokol ini diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UndangUndang No. 14 Tahun 2009.
Dalam panduan “Melindungi Hak dan Martabat Anak Yang Diperdagangkan”
yang disusun Asia Against Child Trafficking (ACT) dan Indonesia Against Child
Trafficking (ACT) mendefinisikan bahwa perdagangan anak adalah :
Rekrutmen, pengangkutan, pemindahan, menampung/menyembunyikan, atau
penerimaan anak untuk tujuan eksploitasi di dalam atau di luar negeri, yang
mencakup tetapi tidak terbatas pada pelacuran anak, pornografi anak, dan
bentuk eksploitasi seksual lainnya, buruh anak, buruh atau kerja paksa,
perbudakan, atau praktek-praktek mirip perbudakan, penghambaan, pemindahan
dan penjualan organ tubuh, penggunaan aktivitas terlarang/tidak sah dan
keikutsertaan dalam konflik bersenjata. Dalam panduan ini, rekrutmen,
pengangkutan, pemindahan, penampungan/penerimaan anak lewat adopsi atau
pernikahan untuk tujuan eksploitasi juga dianggap termasuk perdagangan anak.
Persetujuan dari seorang anak atau orang yang memegang hak asuh atas
seorang anak untuk diperdagangkan atau salah satu dari unsur perdagangan
orang adalah tidak relevan dan tidak membebaskan atau mengurangi
tanggungjawab pelaku atas tindakannya yang telah melakukan atau mendukung
terjadinya perdagangan anak.
Kemudian penggunaan ancaman atau paksaan atau bentuk lain dari kekerasan,
penculikan, penggelapan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau
penggunaan posisi rentan atau memberi atau menerima bayaran atau
keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang bertanggung jawab
atas anak tersebut dianggap tidak relevan dan tidak bisa dianggap sebagai unsur
utama dalam perdagangan anak.
12
Untuk persoalan perdagangan manusia, sebagai langkah awal Pemerintah
mengeluarkan kebijakan melalui Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002
Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking)
Perempuan dan Anak pada 30 Desember 2002. Rentang waktu Rencana Aksi
Nasional ini untuk lima tahun, dari 2003 hingga 2007. Kemudian dalam Rencana
Aksi Nasional ini, perdagangan perempuan dan anak didefinisikan :
“Segala tindakan pelaku trafiking yang mengandung salah satu atau lebih
tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara,
pemindahtanganan,
pemberangkatan,
penerimaan
dan
penampungan
sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan anak. Dengan cara ancaman,
penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat,
memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki
pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang dan lain-lain),
memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan
dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk
phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal,
pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi,
pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk
eksploitasi lainnya.”
Untuk mendefinisikan perdagangan manusia di dalam Rencana Aksi Nasional ini
sudah mengacu kepada Protokol Palermo. Namun di dalam Rencana Aksi
Nasional ini tidak mendefinisikan secara khusus untuk perdagangan anak, dan
menggabungkan antara orang dewasa dengan anak. Artinya perdagangan anak
harus memenuhi tiga unsur yakni proses, cara dan tujuan. Sementara untuk
perdagangan anak di Protokol Palermo hanya memenuhi dua unsur yakni proses
dan tujuan, sedangkan cara dapat diabaikan.
Dalam
Rencana
Aksi
Nasional
Penghapusan
Perdagangan
(Trafiking)
Perempuan dan Anak tahun 2003 – 2007, setidaknya ada empat yang menjadi
target pencapaian dalam upaya penghapusan perdagangan perempuan dan
anak selama lima tahun, yakni :

Adanya norma hukum dan tindakan terhadap pelaku trafiking

Terlaksananya rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban trafiking
13

Terlaksananya pencegahan segala bentuk trafiking

Terciptanya kerjasama dan koordinasi dalam penghapusan trafiking
perempuan dan anak antar instansi di tingkat nasional, regional dan
internasional.
Kemudian dalam memberikan perlindungan hukum, rehabilitasi dan reintergrasi
bagi korban perdagangan perempuan dan anak, Rencana Aksi Nasional 2003 2007 merencanakan berbagai kegiatan dalam jangka waktu lima tahun,
diantaranya :

Mengharmonisasikan standar hukum internasional ke dalam hukum
nasional di bidang pencegahan, pemberantasan, dan penghukuman
terhadap pelaku trafiking manusia, terutama perempuan dan anak.

Menyiapkan rancangan undang-undang dan mengesahkan undangundang mengenai :
- Penghapusan trafiking Perempuan dan Anak
- Perlindungan Saksi dan Korban
- Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
- Perlindungan Buruh Migran

Pengkajian dan penyiapan draft revisi terhadap KUHP, KUHAP, UndangUndang Perkawinan, Undang-Undang Keimigrasian, Undang-Undang
Peradilan HAM ketetentuan yang berkaitan dengan penghapusan trafiking
perempuan dan anak dengan berdasarkan prinsip :
- Penetapan sistem sanksi minimal pelaku tindak pidana trafiking
- Pemberatan sanksi hukuman terhadap pelaku tindak pidana trafiking
- Pemberatan sanksi atas keterlibatan pejabat dan tokoh masyarakat yang
tersangkut pada tindak pidana trafiking

Meninjau dan mengevaluasi berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang
merugikan perempuan dan anak

Menerbitkan berbagai peraturan daerah mengenai pencegahan dan
perlindungan trafiking perempuan dan anak, serta pemulihan korban
trafiking
14

Memfasilitasi penyelesaian kasus trafiking

Menyelenggarakan
Diklat
Hakim
dan
penegak
hukum
tentang
penanganan kasus trafiking perempuan dan anak;

Melakukan Diklat bagi PPNS khusus untuk pengawasan pekerja anak dan
trafiking;

Melakukan Diklat bagi aparatur Penegak Hukum

Membentuk unit khusus untuk penanganan masalah tindak pidana
trafiking.

Mempersiapkan Rumah Sakit dan Puskesmas sebagai “Pusat Krisis” bagi
korban

Penyiapan rumah perlindungan/protection home, pusat krisis dan trauma
serta panti rehabilitas

Mendirikan dan mengembangkan Pusat Krisis

Pengembangan pendidikan alternatif bagi anak-anak dan perempuan

Mengembangkan dan menetapkan standars sistem rehabilitasi dan
integrasi sosial

Membangun berbagai pusat pelayanan terpadu di berbagai daerah

Membangun sistem pengaduan korban

Mengembangkan sistem kompensasi atas kerugian korban

Mengalokasian anggaran pemerintah pusat dan daerah untuk rehabilitasi
dan reintegrasi sosial terhadap korban
Dari Rencana Aksi Nasional 2003 - 2007 ini, selama lima tahun kegiatan yang
direncanakan untuk perlindungan hukum bagi korban masih terbatas pada
harmonisasi standar hukum internasional ke dalam hukum nasional, membuat
rancangan dan mengesahkan undang-undang, pengkajian dan membuat
rancangan revisi terhadap undang-undang yang sudah ada, mereviu dan
mengevaluasi peraturan-peraturan di daerah, menerbitkan peraturan-peraturan
daerah. Melakukan pendidikan dan latihan bagi hakim, aparatur penegak hukum,
dan
penyidik
pegawai
negeri
sipil
(PPNS)
dalam
penanganan
kasus
15
perdagangan anak. Membentuk unit khusus dan memfasilitasi penanganan
kasus tindak pidana perdagangan anak.
Sedangkan untuk pemulihan dan reintegrasi lebih kepada mempersiapkan
berbagai sarana pemulihan korban seperti rumah sakit dan puskesmas sebagai
pusat krisis, rumah perlindungan, pusat trauma dan panti rehabilitasi, serta pusat
pelayanan terpadu di daerah. Kemudian mengembangkan berbagai standar dan
sistem untuk pemulihan dan integrasi, pengaduan, serta kompensasi atas
kerugian korban. Mengembangkan pendidikan alternative bagi korban dan
mengalokasikan anggaran pemerintah pusat dan daerah untuk pemulihan dan
reintegrasi bagi korban.
Di dalam Keppres No. 88 tahun 2002 ini juga menekankan dalam menjamin
terlaksananya Rencana Aksi Nasional tersebut, dibentuklah Gugus Tugas pada
tingkat nasional, dan untuk di daerah dibentuk Gugus Tugas Provinsi dan Gugus
Tugas
Kabupaten/Kota
melalui
Keputusan
Gubernur
dan
Keputusan
Bupati/Walikota.
Diakhir jangka waktu Rencana Aksi Nasional 2002 - 2007, pada 19 April 2007
lahirlah kebijakan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(PTPPO) yang ditetapkan melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 2007. Di dalam
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 perdagangan manusia didefinisikan :
“Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar
negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Dari defenisi ini ada tiga unsur yang disebut sebagai perdagangan manusia
yakni proses, cara, dan tujuan.
16

Proses meliputi perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang.

Cara meliputi ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat,
sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun
antar negara,

Tujuan untuk eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi, dan
eksploitasi diartikan sebagai tindakan dengan atau tanpa persetujuan
korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau
pelayanan
paksa,
perbudakan
atau
praktik
serupa
perbudakan,
penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi,
atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan
seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil
maupun immateriil.
Sedangkan sanksi bagi pelaku perdagangan manusia dalam undang-undang ini
diancam dengan pidana penjara dan pidana denda, seperti yang tertera pada
pasal 2 :
“Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang
yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang
tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.
Sementara
untuk
perdagangan
anak,
dalam
undang-undang
ini
tidak
mendefenisikan secara khusus, dan hanya menyebutkan pengiriman anak ke
17
dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak
tersebut tereksploitasi, seperti yang tertera pada pasal 6 :
Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri
dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Termasuk juga dalam melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan
sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi, seperti
pada pasal 5 :
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu
atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Kemudian undang-undang ini juga memberikan sanksi yang cukup berat bagi
pelaku apabila tindak pidana perdagangan manusia dilakukan terhadap anak,
yakni dengan ancaman pidananya tambah 1/3, seperti yang tercantum pada
pasal 17 dalam undang-undang ini :
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4
dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).
Selain itu apabila korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit
menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau
hilangnya fungsi reproduksinya, pelaku diancam dengan ancaman pidananya
ditambah 1/3, dan apabila korban meninggal dunia maka pelaku diancam
dengan pidana penjara maksimal seumur hidup dan pidana denda, seperti yang
terdapat pada pasal 7 ayat 1 dan 2 :
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat,
gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya,
kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2),
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
18
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur
hidup dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Di undang-undang ini juga memberikan sanksi bagi penyelenggara negara yang
menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana
perdagangan manusia. Sanksi bagi penyelenggara negara ini, ancaman
pidananya ditambah 1/3 dan pemberhentian tidak hormat dari jabatannya,
ketentuan ini diatur pada pasal 8 ayat 1 dan 2 :
(1) Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang
mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal
3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
(2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat
dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat
dari jabatannya.
Selain itu, undang-undang ini juga memberikan sanksi pidana kepada orang dan
korporasi yang mendukung terjadinya tindak pidana perdagangan manusia,
seperti :

Berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana
perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi

Membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
perdagangan orang

Merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana perdagangan orang

Menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan
orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul
lainnya
dengan
mempekerjakan
korban
korban
tindak
tindak
pidana
pidana
perdagangan
perdagangan
orang
orang,
untuk
19
meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil
tindak pidana perdagangan orang

Memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara
atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain,
untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang

Memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang
bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang
pengadilan tindak pidana perdagangan orang

Melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan
dalam perkara tindak pidana perdagangan orang

Dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam
perkara perdagangan orang,

Membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses
peradilan pidana dengan :
a. Memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan
lainnya kepada pelaku
b. Menyediakan tempat tinggal bagi pelaku
c. Menyembunyikan pelaku; atau
d. Menyembunyikan informasi keberadaan pelaku

Memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah
diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus
dirahasiakan

Bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan
korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama.
Dalam mendefenisikan perdagangan manusia, sesungguhnya Undang-Undang
No. 21 Tahun 2007 ini sudah merujuk pada Protokol Palermo, namun belum
20
mendefenisikan secara tegas untuk perdagangan anak. Tentu saja ini memiliki
persepsi bahwa perdagangan manusia terhadap orang dewasa dan terhadap
anak adalah sama yakni harus memenuhi tiga unsur tersebut. Selain itu, hal ini
juga akan berakibat pada kasus-kasus perdagangan anak, maka unsur-unsur
pembuktiannya tidak berbeda dengan orang dewasa. Jika mengacu kepada
Protokol Palermo, hal yang membedakan antara perdagangan orang dewasa
dengan anak, dari ketiga unsur yang harus dipenuhi dalam kasus perdagangan
manusia (proses, cara dan tujuan eksploitasi) pada perdagangan anak,
persyaratan penggunaan cara tidak berlaku. Sehingga apabila ada proses
perekrutan dan perpindahan anak dari satu wilayah ke wilayah lain untuk tujuan
eksploitasi, maka itu sudah dapat dikatakan sebagai perdagangan anak.
Kekhawatiran pada penanganan kasus, akan banyak kasus-kasus perdagangan
anak yang tidak dianggap sebagai kasus perdagangan anak. Kemudian juga
harus diakui bahwa undang-undang ini juga memberikan sanksi pidana yang
cukup berat terhadap pelaku tindak pidana perdagangan manusia.
Dalam menangani korban perdagangan anak, Protokol Palermo menyebutkan
bahwa korban harus mendapatkan bantuan dan perlindungan, serta pemulangan
dari negara. Bantuan dan perlindungan bagi korban, negara harus melindungi
privasi dan identitas korban, perlindungan dan bantuan hukum. Pemulihan fisik,
psikis, sosial, dan kebutuhan-kebutuhan khusus anak-anak termasuk didalamnya
konseling dan informasi, tempat tinggal, pendidikan dan pengasuhan yang layak.
Menjamin keselamatan fisik korban, dan mendapatkan kompensasi atas
kerugian yang diderita. Kemudian untuk pemulangan, negara harus memfasilitasi
dan menerima kepulangan korban tanpa penundaan yang berlebihan dan tidak
berlasan, dengan memperhatikan keselamatan korban, dan pemulangan korban
lebih baik harus bersifat sukarela.
Begitu juga dalam panduan “Melindungi Hak dan Martabat Anak yang
Diperdagangkan” yang menyebutkan bahwa dalam memberikan perlindungan
21
dan
pemenuhan
hak anak yang diperdagangkan
dalam
setiap
tahap
pelayanannya harus mempertimbangkan prinsip:

Hak anak

Kepentingan terbaik untuk anak

Hak untuk mendapatkan perlakuan yang tidak diskriminatif

Penghargaan terhadap pandangan anak

Keadilan dan kesetaraan gender

Hak atas informasi

Hak atas kerahasiaan

Penghargaan atas suku, budaya, kepercayaan dan identitas agama anak
Kemudian dalam panduan tersebut juga memberikan langkah-langkah yang
harus dilakukan dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak
yang diperdagangkan. Langkah-langkah tersebut terdiri dari :

Pendeteksian dan pengidentifikasian awal, dalam tahap ini langkahlangkah yang harus dilakukan berupa memperkirakan usia dan tindakan
identifikasi proaktif

Kontak awal, dalam tahap kontak awal langkah-langkah yang harus
dilakukan berupa tindakan awal, wawancara awal untuk mendapatkan
data diri anak, wawancara dan peliputan harus sensitive anak korban,
perlindungan hukum bagi anak, dan korban dilindungi dari media

Sistem rujukan, koordinasi, kolaborasi dan kerjasama, untuk tahap ini
langkah-langkah yang harus dilakukan berupa mekanisme rujukan,
koordinasi, kolaborasi antar negara dan
dengan organisasi non
pemerintah, sistem pembagian peran dan fungsi dalam penanganan
perdagangan anak, serta pengembangan sistem data base

Perawatan dan perlindungan sementara, dalam memberikan perawatan
dan perlindungan sementara langkah-langkah yang harus dilakukan
berupa penyediaan tempat-tempat yang aman bagi anak, pemberian
bantuan pelayanan, serta memfasilitasi keabsahan tinggal
22

Manajemen kasus sosial anak yang diperdagangkan, dalam tahap ini
langkah-langkah yang harus dilakukan berupa melakukan penilaian kasus
individual, melakukan identifikasi solusi jangka panjang, pelaksanaan
solusi jangka panjang, serta pemantauan solusi jangka panjang

Akses pada keadilan, dalam memberikan akses pada keadilan untuk saksi
dan/atau
korban
langkah-langkah
yang
harus
dilakukan
berupa
melakukan perlindungan keselamatan saksi/korban, melakukan proses
pidana dan proses perdata

Perawatan dan perlindungan bagi penyedia layanan kesejahteraan sosial,
dalam
tahap
ini
langkah-langkah
yang
harus
dilakukan
berupa
menjalankan prosedur kompensasi, memberikan bantuan hukum dan
membangun sistem bantuan
Di dalam Undang-Undang PTPPO, dalam melakukan penyidikan, penuntutan,
dan
pemeriksaan
di
sidang
pengadilan
untuk
saksi
dan/atau
korban
perdagangan anak memberikan ketentuan :

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
saksi
dan/atau
korban
anak
dilakukan
dengan
memperhatikan
kepentingan yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau
pakaian dinas.

Sidang tindak pidana perdagangan orang untuk memeriksa saksi dan/atau
korban anak dilakukan dalam sidang tertutup.

Pemeriksaan saksi dan/atau korban anak wajib didampingi orang tua,
wali, orang tua asuh, advokat, atau pendamping lainnya.

Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak dilaksanakan tanpa
kehadiran terdakwa.

Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak, atas persetujuan
hakim, dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman, dan
pemeriksaan dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang.
23

Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat
dan/atau pendamping lainnya yang dibutuhkan.
Kemudian untuk alat bukti dalam undang-undang ini dapat berupa:

Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu

Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain
kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas
pada:
a. Tulisan, suara, atau gambar;
b. Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau
c. Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau
dapat
dipahami
oleh
orang
yang
mampu
membaca
atau
memahaminya.

Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban
saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila
disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya.

Berdasarkan bukti permulaan yang cukup penyidik berwenang menyadap
telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk
mempersiapkan,
merencanakan,
dan
melakukan
tindak
pidana
perdagangan orang, dan tindakan penyadapan hanya dilakukan atas izin
tertulis ketua pengadilan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada
penyedia jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta
kekayaan setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak
pidana perdagangan orang.
24
Untuk keterangan saksi dan/atau korban dan putusan terhadap terdakwa,
undang-undang ini mengatur dengan ketentuan :

Dalam hal saksi dan/atau korban tidak dapat dihadirkan dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan
secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual.

Saksi dan/atau korban berhak meminta kepada hakim ketua sidang untuk
memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran
terdakwa.

Dalam hal saksi dan/atau korban akan memberikan keterangan tanpa
kehadiran terdakwa, hakim ketua sidang memerintahkan terdakwa untuk
keluar ruang sidang.

Pemeriksaan terdakwa dapat dilanjutkan setelah kepada terdakwa
diberitahukan semua keterangan yang diberikan saksi dan/atau korban
pada waktu terdakwa berada di luar ruang sidang pengadilan.

Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut, tidak hadir di
sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa
dan diputus tanpa kehadiran terdakwa.

Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan
dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi
dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai
alat bukti yang diberikan dengan kehadiran terdakwa.

Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh
penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah
Daerah, atau diberitahukan kepada keluarga atau kuasanya.
Kemudian mengenai informasi tentang perkembangan kasus dan kerahasiaan
pelapor, dalam undang-undang ini mengatur dengan ketentuan :

Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang
pengadilan,
korban
berhak
mendapatkan
informasi
tentang
perkembangan kasus yang melibatkan dirinya.
25

Informasi tentang perkembangan kasus dapat berupa pemberian salinan
berita acara setiap tahap pemeriksaan.

Dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan,
pelapor berhak dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain yang
memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.

Dalam hal pelapor meminta dirahasiakan nama dan alamatnya atau halhal lain, kewajiban merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada
saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana
perdagangan orang sebelum pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang
yang melakukan pemeriksaan.
Dalam undang-undang ini juga mengatur tentang perlindungan terhadap saksi
dan/atau korban. Bentuk-bentuk perlindungan terhadap saksi dan/atau korban
tindak pidana perdagangan manusia tersebut adalah :

Saksi dan/atau korban berhak memperoleh kerahasiaan identitas, dan hak
memperoleh kerahasiaan identitas juga diberikan kepada keluarga saksi
dan/atau korban, apabila keluarga saksi dan/atau korban mendapat
ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan
keterangan saksi dan/atau korban.

Untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan
kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus di kepolisian
dalam melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau
korban.

Untuk melindungi saksi dan/atau korban, setiap kabupaten/kota dibentuk
pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban

Kepolisian wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama,
maupun sesudah proses pemeriksaan perkara, apabila saksi dan/atau
korban beserta keluarganya mendapatkan ancaman yang membahayakan
diri, jiwa, dan/atau hartanya.

Korban atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi berupa ganti
kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya
26
untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis, dan/atau kerugian
lain. Kerugian lain yang diderita korban dapat berupa kehilangan harta
milik, biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau kehilangan
penghasilan yang dijanjikan pelaku.

Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah.

Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi wajib memberikan
rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi
sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan permohonan.

Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
sosial, pemulangan, dan reintegrasi social, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.

Menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan
sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7
(tujuh) hari setelah permohonan diajukan, apabila korban mengalami
trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya.

Apabila korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum
akibat
tindak
pidana
perdagangan
orang,
Pemerintah
melalui
perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan
korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia
atas biaya negara.

Apabila korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia,
Pemerintah mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara
asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia.

Saksi dan/atau korban juga berhak mendapatkan hak dan perlindungan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain, yakni
undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan/atau
korban.
27
Undang-undang
ini juga
memberikan mandat
kepada
Pemerintah
dan
Pemerintah Daerah untuk melakukan pencegahan dan penanganan korban
perdagangan manusia, dan mandat tersebut berupa :

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program,
kegiatan,
dan
mengalokasikan
anggaran
untuk
melaksanakan
pencegahan dan penanganan.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah-langkah
untuk pencegahan dan penanganan.

Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah
pencegahan dan penanganan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
membentuk Gugus Tugas, dan Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
mengalokasikan anggaran yang diperlukan.
Kemudian juga memberikan mandat untuk melakukan kerjasama internasional,
membuka akses peran serta masyarakat, dan perlindungan hukum bagi
masyarakat yang membantu penanganan korban, dan secara rinci mandat
tersebut berupa :

Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang, pemerintah wajib melaksanakan kerja
sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun
multilateral, dan kerja sama dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian
bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis
lainnya

Untuk tujuan pencegahan dan penanganan korban tindak pidana
perdagangan orang, pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya
bagi peran serta masyarakat, baik nasional maupun internasional

Untuk melaksanakan peran serta membantu upaya pencegahan dan
penanganan korban, masyarakat berhak untuk memperoleh perlindungan
hukum.
28
Sesungguhnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (PTPPO) ini sudah cukup tegas dalam mengatur dan memberikan mandat
dalam menangani korban perdagangan anak. Penanganan korban tersebut
mulai dari penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Alat
bukti, keterangan saksi dan/atau korban, informasi mengenai perkembangan
kasus, perlindungan terhadap saksi dan/atau korban. Hingga kewajiban
pemerintah
dalam
penanganan
korban,
kerjasama
internasional
dalam
penanganan korban, dan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat
yang melakukan penanganan korban. Dan lahirnya undang-undang ini dapat
dikatakan sebagai langkah awal untuk mewujudkan perlindungan terhadap
korban perdagangan anak.
Setelah tiga bulan lahirnya Undang-Undang PTPPO, kemudian Kepolisian
mengambil langkah-langkah dalam upaya untuk memberikan pelayanan dan
perlindungan kepada perempuan dan anak yang menjadi korban tindak pidana
perdagangan orang dengan membentuk unit khusus di institusi kepolisian.
Langkah yang diambil kepolisian ini adalah dengan dikeluarkannya kebijakan
melalui Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun
2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak
(Unit PPA) di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada 6 Juli
2007.
Dalam peraturan ini, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) memiliki tugas
memberikan pelayanan, dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan
anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap
pelakunya. Dalam melaksanakan tugas, unit PPA berfungsi sebagai :

Penyelenggaraan pelayanan dan perlindungan hukum

Penyelenggaraan dan penyidikan tindak pidana

Penyelenggaraan kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait
29
Kemudian lingkup tugas unit PPA meliputi tindak pidana terhadap perempuan
dan anak, seperti :

Perdagangan manusia (human trafficking)

Penyelundupan manusia (people smuggling)

Kekerasan (secara umum maupun dalam rumah tangga)

Susila (perkosaan, pelecehan, cabul)

Perjudian dan prostitusi

Adopsi illegal

Pornografi dan pornoaksi

Money laundering dari hasil kejahatan tersebut diatas

Masalah perlindungan anak (sebagai korban/tersangka)

Perlindungan korban, saksi, keluarga dan teman

Kasus-kasus lain dimana pelakunya adalah perempuan dan anak
Setelah dikeluarkannya Peraturan Kapolri mengenai Organisasi dan Tata Kerja
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, setahun kemudian institusi ini
mengeluarkan kebijakan mengenai Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan
Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana melalui Peraturan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008.
Lahirnya Peraturan Kapolri No. 3 Tahun 2008 ini merupakan mandat dari
Undang-Undang PTPPO pasal 45 untuk melindungi saksi dan/atau korban tindak
pidana perdagangan orang dalam melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan.
Di dalam peraturan ini, tujuan dibentuknya Ruang Pelayanan Khusus (RPK)
adalah untuk:

Memberikan pelayanan dan perlindungan khusus kepada perempuan dan
anak yang menjadi saksi, korban dan/atau tersangka yang ditangani di
RPK.

Sebagai tempat pelaksanaan pelayanan dan perlindungan terhadap
perempuan dan anak yang menjadi saksi, dan/atau korban tindak pidana
30
perdagangan orang, dan juga digunakan untuk kepentingan pemeriksaan
terhadap saksi dan/atau korban perempuan dan anak dalam tindak pidana
lainnya.

Menghindari terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan
tindakan yang dapat menimbulkan ekses trauma atau penderitaan yang
lebih serius bagi perempuan dan anak.
Dalam penyelenggaraan pelayanan saksi dan/atau korban, prinsip-prinsip yang
dipertimbangkan dalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada anak
yang menjadi saksi dan/atau korban dalam peraturan ini berupa :

Menjunjung tinggi hak asasi manusia

Memberikan jaminan keselamatan terhadap saksi dan/atau korban yang
memberikan keterangan

Menjaga kerahasiaan saksi dan/atau korban

Meminta persetujuan secara lisan akan kesediaan saksi dan/atau korban
untuk memberikan keterangan

Mengajukan pertanyaan dengan cara yang bijak

Tidak menghakimi saksi dan/atau korban

Menyediakan penerjemah, apabila diperlukan

Mendengarkan keterangan korban dengan aktif dan penuh pengertian

Memberikan informasi tentang perkembangan perkaranya

Menjaga profesionalisme untuk menjamin terwujudnya keadilan dan
kepastian hukum

Memperlakukan saksi dan/atau korban dengan penuh empati.
Dalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada anak yang menjadi
saksi dan/atau korban perdagangan, peraturan ini memberikan mandat bahwa
prinsip-prinsip
tersebut
wajib
dipedomani
oleh
semua
petugas
yang
melaksanakan penanganan terhadap anak, yang dimanifestasikan dalam sikap,
ucapan dan tindakan.
31
Kemudian selain prinsip penyelenggaraan pelayanan bagi saksi dan/atau
korban, juga ada asas dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan di Ruang
Pelayanan Khusus, dan asas yang digunakan dalam peraturan ini adalah :

Asas legalitas yaitu berdasarkan hukum yang berlaku

Asas praduga tak bersalah yaitu semua orang dianggap tidak bersalah
sebelum ditentukan oleh keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap

Asas perlindungan dan pengayoman yaitu memberikan perlindungan hakhak saksi, korban atau tersangka yang sedang diproses

Asas kekeluargaan yaitu memperlakukan yang dilayani seakan sebagai
anggota keluarga

Asas pembinaan yaitu tujuan pelayanan untuk menumbuhkembangkan
potensi anak dan perempuan

Asas keadilan yaitu mendasari prinsip keadilan dalam penanganan, tidak
membedakan, tidak memihak

Asas pelayanan yaitu memberikan pelayanan yang maksimal

Asas nesesitas yaitu berdasarkan keperluan
Di Ruang Pelayanan Khusus juga dilengkapi dengan fasilitas dan perlengkapan
berupa ruang tamu, ruang konseling dan pemeriksaan, ruang kontrol, dan ruang
istirahat. Penyediaan fasilitas dan perlengkapan ini agar dapat menjamin
suasana tenang, terang dan bersih, tidak menimbulkan kesan menakutkan, dan
dapat menjaga kerahasiaan serta keamanan bagi saksi dan/atau korban yang
perkaranya sedang ditangani.
Personel yang mengawaki Ruang Pelayanan Khusus juga diatur dalam
peraturan ini, seperti jumlah personel, keutamaan jenis kelamin personel, waktu
kerja, persyaratan personel yang bertugas, dan tugas personel. Sedangkan
tugas personel Ruang Pelayanan Khusus meliputi :

Penerimaan laporan/pengaduan tentang tindak pidana

Membuat laporan polisi

Memberi konseling
32

Mengirimkan korban ke PPT atau RS terdekat

Pelaksanaan penyidikan perkara

Meminta visum

Memberi penjelasan kepada pelapor tentang posisi kasus, hak-hak, dan
kewajibannya

Menjamin kerahasiaan info yang diperoleh

Menjamin keamanan dan keselamatan korban

Menyalurkan korban ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) /Rumah Aman

Mengadakan koordinasi dan kerja sama dengan lintas sektoral

Memberi tahu perkembangan penanganan kasus kepada pelapor

Membuat laporan kegiatan sesuai prosedur.
Kemudian mekanisme pelaksanaan tugas atau tata cara penanganan saksi
dan/atau korban di Ruang Pelayanan Khusus terdiri dari penerimaan laporan
polisi, penyidikan, dan tahap akhir penyidikan. Dalam penerimaan laporan
laporan polisi di Ruang Pelayanan Khusus, mekanisme yang dijalankan adalah :

Korban diterima oleh personel unit Pelayanan Perempuan dan Anak

Proses pembuatan laporan polisi didahului dengan interviu/wawancara
dan pengamatan serta penilaian penyidik/petugas terhadap keadaan saksi
korban

Apabila saksi korban dalam kondisi trauma/stres, penyidik melakukan
tindakan penyelamatan dengan mengirim saksi/korban ke PPT Rumah
Sakit Bhayangkara untuk mendapatkan penanganan medis-psikis serta
memantau perkembangannya

Dalam hal saksi dan/atau korban memerlukan istirahat, petugas
mengantar ke ruang istirahat atau rumah aman atau shelter

Apabila
korban
dalam
kondisi
sehat
dan
baik,
penyidik
dapat
melaksanakan interviu/wawancara guna pembuatan laporan polisi

Pembuatan laporan polisi oleh petugas unit Pelayanan Perempuan dan
Anak dan bila perlu mendatangi TKP untuk mencari dan mengumpulkan
barang bukti
33

Register penomoran laporan polisi ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK)

Dalam hal saksi dan/atau korban perlu dirujuk ke PPT atau tempat
lainnya, petugas wajib mengantarkan sampai ke tujuan rujukan dan
menyerahkan kepada petugas yang bersangkutan disertai dengan
penjelasan masalahnya

Dalam hal saksi dan/atau korban selesai dibuatkan Laporan Polisi dan
perlu visum maka, petugas mengantarkan saksi dan/atau korban ke PPT
untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan dan visum

Kasus yang tidak memenuhi unsur pidana, dilakukan upaya bantuan
melalui konseling dan pendekatan psikologis.
Untuk penyidikan di Ruang Pelayanan Khusus, mekanisme yang dijalankan
adalah :

Penyidik membuat surat permohonan pemeriksaan kesehatan dan visum
kepada Kepala RS Bhayangkara atau rumah sakit lainnya yang secara
hukum dapat mengeluarkan visum sehubungan dengan laporan polisi
yang dilaporkan oleh korban

Penyidik menyiapkan administrasi penyidikan

Apabila korban siap diperiksa dan bersedia memberikan keterangan
terkait dengan laporan polisi yang dilaporkan korban, penyidik dapat
melaksanakan kegiatan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
terhadap korban

Apabila kasus yang dilaporkan korban melibatkan satu korban, dan satu
tersangka saja, maka laporan polisi tersebut dapat ditindaklanjuti oleh
seorang penyidik saja

Apabila kasus yang dilaporkan korban melibatkan banyak korban,
tersangka, kurun waktu, barang bukti maupun tempat kejadian maka
tugas penyidikan dilaksanakan dalam bentuk tim yang telah ditentukan
oleh Kepala unit Pelayanan Perempuan dan Anak dan saksi/korban tetap
diperiksa oleh Polwan unit PPA, sedangkan pengembangannya dapat
dilaksanakan oleh Penyidik Polri pria
34

Apabila saksi korban berasal dari luar kota, maka untuk kepentingan
penyidikan korban dapat dititipkan di shelter milik Kementerian Sosial
Republik Indonesia atau pihak lain yang dinilai dapat memberikan
perlindungan dan pelayanan hingga korban siap dipulangkan ke daerah
asalnya
Dan untuk tahap akhir penyidikan di Ruang Pelayanan Khusus, mekanisme yang
dijalankan adalah :

Koordinasi dengan instansi terkait sebagai ahli dalam rangka memperkuat
pembuktian kasus yang sedang ditangani

Menyelenggarakan gelar perkara kasus yang disidik

Penelitian terhadap berkas perkara yang akan dikirim ke Jaksa Penuntut
Umum (JPU)

Menitipkan korban pada rumah perlindungan milik Kemensos RI atau
pihak lain yang dinilai dapat memberikan perlindungan dan pelayanan
kepada korban apabila korban diperlukan kehadirannya di pengadilan

Melakukan koordinasi dengan instansi dan LSM yang peduli terhadap
perempuan dan anak korban tindak pidana pada sidang pengadilan, agar
proses peradilan dan putusannya benar-benar memenuhi rasa keadilan.
Dalam melakukan pemeriksaan saksi dan/atau korban, peraturan ini memberikan
ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan saksi dan/atau korban. Tata cara
pemeriksaan saksi dan/atau korban tersebut terdiri dari persiapan untuk
melakukan pemeriksaan, kegiatan pemeriksaan, ketentuan dalam melakukan
pemeriksaan, pertanyaan dalam pemeriksaan, dan tempat pemeriksaan.
Prosedur persiapan untuk melakukan pemeriksaan dilakukan dengan langkahlangkah :

Dalam hal telah dibuatkan Laporan Polisi, dan akan dilanjutkan dengan
tahap pemeriksaan, maka Kepala unit PPA menunjuk para petugas
pemeriksa dengan surat perintah
35

Petugas yang menerima perintah untuk melakukan pemeriksaan segera
melakukan kegiatan pemeriksaan.
Dalam kegiatan pemeriksaan prosedur yang dilakukan berupa :

Menyiapkan administrasi penyidikan berupa Surat Perintah Tugas
(Springas),
Surat
Perintah
Penyidikan
(Sprindik),
Surat
Perintah
Dimulainya Penyidikan (SPDP)

Menyusun rencana penyidikan/pemeriksaan

Menentukan waktu, tempat dan sarana pemeriksaan dan menyampaikan
kepada saksi dan/atau korban yang akan diperiksa

Menyusun daftar pertanyaan pemeriksaan

Menyiapkan ruangan pemeriksaan yang kondusif bagi yang akan
diperiksa, agar dapat bebas dari gangguan fisik ataupun psikis bagi yang
akan diperiksa.
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban prosedur yang
dilakukan berupa :

Petugas tidak memakai pakaian dinas yang dapat berpengaruh terhadap
psikis saksi dan/atau korban yang akan diperiksa

Menggunakan bahasa yang mudah dapat dimengerti oleh yang diperiksa,
bila perlu dengan bantuan penerjemah bahasa yang dipahami oleh yang
diperiksa

Pertanyaan diajukan dengan ramah dan penuh rasa empati

Dilarang memberikan pertanyaan yang dapat menyinggung perasaan atau
hal-hal yang sangat sensitif bagi saksi dan/atau korban yang diperiksa

Tidak memaksakan pengakuan, atau memaksakan keterangan dari yang
diperiksa

Tidak
menyudutkan
atau
menyalahkan
atau
mencemooh
atau
melecehkan yang diperiksa

Tidak memberikan pertanyaan yang dapat menimbulkan kekesalan/
kemarahan yang diperiksa
36

Tidak bertindak diskriminatif dalam memberikan pelayanan/pemeriksaan

Selama melakukan pemeriksaan, petugas senantiasa menunjukkan sikap
bersahabat, melindungi, dan mengayomi yang diperiksa

Selama dalam pemeriksaan, petugas mendengarkan dengan saksama
semua keluhan, penjelasan, argumentasi, aspirasi, dan harapan untuk
kelengkapan hasil Laporan Polisi yang berguna bagi proses selanjutnya

Selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasa menaruh perhatian
terhadap situasi dan kondisi fisik maupun kondisi kejiwaan yang diperiksa.
Untuk pertanyaan dalam pemeriksaan terbagi atas tiga bagian yakni standar
urutan pertanyaan, pertanyaan untuk mendapatkan keterangan mengenai
substansi perkara yang sedang diperiksa, dan pertanyaan pada bagian akhir
pemeriksaan. Standar urutan pertanyaan yang dimandatkan dalam peraturan ini
berupa :

Menanyakan kesehatan serta kesediaannya untuk diperiksa

Menanyakan tentang bahasa yang dipahami dan akan digunakan dalam
pemeriksaan

Menanyakan perlu tidaknya didampingi oleh penasihat hukum atau
pendamping lainnya

Dalam hal yang diperiksa adalah anak, pemeriksa wajib memperhatikan
dan mempedomani peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan anak

Pemeriksaan terhadap anak wajib disediakan pendamping dan/atau
penasihat hukum dan/atau psikolog oleh penyidik
Pertanyaan yang diajukan untuk mendapatkan keterangan mengenai substansi
perkara yang sedang diperiksa berupa :

Latar belakang permasalahan atau perkara

Kronologis peristiwa yang dialami oleh saksi dan/atau korban

Kerugian yang diderita oleh saksi dan/atau korban sebagai bahan
pengajuan restitusi atau pemberian ganti rugi
37

Barang bukti yang dapat diperoleh dan dapat digunakan untuk alat bukti

Hubungan saksi dan/atau korban dengan saksi lainnya atau tersangka

Tuntutan atau harapan saksi dan/atau korban.
Dan pertanyaan yang diajukan pada bagian akhir pemeriksaan berupa:

Pembacaan kembali hasil pemeriksaan

Apakah ada jawaban-jawaban sebelumnya, yang perlu dikoreksi/diubah

Apakah ada keterangan tambahan

Apakah ada pemaksaan dalam memberikan keterangan

Apakah bersedia menandatangani BAP
Untuk tempat pemeriksaan saksi dan/atau korban, peraturan ini memberikan
beberapa pilihan dalam melakukan pemeriksaan seperti:

Tempat pemeriksaan saksi dan/atau korban, selain menggunakan Ruang
Pelayanan Khusus yang tersedia di unit PPA dapat juga menggunakan
tempat lain sesuai yang dikehendaki oleh yang diperiksa.

Dalam hal saksi dan/atau korban tidak dapat hadir di Ruang Pelayanan
Khusus, maka pemeriksaan dapat dilakukan di rumah/kediaman saksi
dan/atau korban atau tempat lain yang diinginkan oleh saksi dan/atau
korban.
Kemudian peraturan ini juga memberikan mandat untuk dilakukannya koordinasi
dan kerjasama dengan pihak lain dalam melakukan penanganan saksi dan/atau
korban, dan mandat tersebut berupa :

Dalam penanganan saksi dan/atau korban yang memerlukan pelayanan
khusus di bidang medis, psikis, sosial, konseling, advokasi, dan/atau
bantuan hukum, personel yang bertugas di Ruang Pelayanan Khusus
wajib melaksanakan koordinasi dan kerja sama dengan pihak PPT
setempat.
38

Untuk kepentingan penyidikan tindak pidana dan tindak pidana lainnya
dengan saksi dan/atau korban perempuan dan/atau anak, unit PPA
melaksanakan koordinasi dan kerja sama dengan instansi terkait.

Dalam penanganan perkara dimana saksi dan/atau korban berada di luar
negeri, unit PPA melaksanakan koordinasi dan kerja sama dengan
Perwakilan Negara Republik Indonesia yang berada di luar negeri.

Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara asing yang berada
di Indonesia, unit PPA melaksanakan koordinasi dan kerja sama dengan
perwakilan negara yang bersangkutan yang berada di wilayah Indonesia.
Sebagai mandat dari Undang-Undang PTPPO untuk melindungi saksi dan/atau
korban tindak pidana perdagangan orang dalam melakukan pemeriksaan di
tingkat penyidikan, sesungguhnya peraturan ini sudah cukup memberikan
perlindungan bagi saksi dan/korban perdagangan manusia khususnya anak.
Perlindungan dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan yang diberikan kepada
saksi dan/atau korban perdagangan anak terdiri dari tujuan, prinsip, dan asas
dalam memberikan perlindungan. Kemudian fasilitas dan perlengkapan, personel
yang memberikan perlindungan, mekanisme pelayanan dalam memberikan
perlindungan, tata cara pemeriksaan, serta koordinasi dan kerjasama dalam
menangani korban.
Kemudian pada 4 Februari 2008 lahir kebijakan mengenai Tata Cara dan
Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang, yang dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 9
Tahun 2008. Lahirnya peraturan pemerintah ini berdasarkan mandat UndangUndang PTPPO pasal 46 untuk melindungi saksi dan/korban dalam pelayanan
terpadu.
Dalam Peraturan Pemerintah ini pelayanan terpadu merupakan kegiatan untuk
melakukan perlindungan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan
orang yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh instansi atau lembaga
39
terkait
sebagai
satu
kesatuan
penyelenggaraan
rehabilitasi
kesehatan,
rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum bagi saksi
dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang.
Pelayanan terpadu memiliki tujuan untuk melaksanakan perlindungan dan
pemenuhan hak saksi dan/atau korban atas rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
sosial,
pemulangan,
reintegrasi
sosial,
dan
bantuan
hukum
yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Untuk memberikan
perlindungan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang,
Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) memiliki kewajiban :

Memberikan pelayanan dan penanganan secepat mungkin kepada saksi
dan/atau korban

Memberikan kemudahan, kenyamanan, keselamatan, dan bebas biaya
bagi saksi dan/atau korban

Menjaga kerahasiaan saksi dan/atau korban

Menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi saksi dan/atau korban.
Cakupan pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban meliputi pelayanan :

Rehabilitasi kesehatan

Rehabilitasi social

Pemulangan dan reintegrasi social

Advokasi

Konseling

Bantuan hukum
Pelayanan terpadu ini diberikan kepada setiap saksi dan/atau korban yang
berada di wilayah Republik Indonesia dan saksi dan/atau korban warga negara
Indonesia yang berada di luar negeri. Kemudian dalam hal saksi dan/atau korban
adalah anak, maka pelayanan diberikan secara khusus sesuai dengan
kepentingan
terbaik
bagi
anak.
Untuk
petugas
pelaksana
dalam
40
penyelenggaraan pelayanan terpadu wajib didukung oleh tenaga kesehatan,
psikolog, psikiater, dan pekerja social.
Dalam peraturan ini, tata cara dan mekanisme penyelenggaraan pelayanan
terpadu bagi saksi dan/atau korban dibagi menjadi lima kategori, yakni:

Saksi dan/atau korban yang melapor di Pusat Pelayanan Terpadu

Saksi dan/atau korban yang melapor di Kepolisian

Saksi dan/atau korban warga negara Indonesia yang berada di luar negeri

Saksi dan/atau korban berada di luar wilayah daerah asalnya

Saksi dan/atau korban warga negara asing
Untuk saksi dan/atau korban yang melapor di Pusat Pelayanan Terpadu, tata
cara dan mekanisme pelayanan terpadu yang dilakukan berupa :

Saksi dan/atau korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan,
rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum
pada Pusat Pelayanan Terpadu.

Hak tersebut diajukan oleh saksi dan/atau korban, keluarganya,
temannya, petugas kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial.

Petugas Pusat Pelayanan Terpadu wajib melayani saksi dan/atau korban

Petugas Pusat Pelayanan Terpadu segera menangani saksi dan/atau
korban

Petugas Pusat Pelayanan Terpadu, dalam waktu paling lama 24 (dua
puluh empat) jam sejak menerima saksi dan/atau korban yang sedang
dirawat atau dipulihkan kesehatannya, wajib melaporkannya kepada
petugas kepolisian terdekat.
Saksi dan/atau korban yang melapor di Kepolisian, tata cara dan mekanisme
pelayanan terpadu yang dilakukan berupa :

Dalam hal saksi dan/atau korban melaporkan kepada kepolisian terdekat,
maka petugas kepolisian wajib menempatkan saksi dan/atau korban pada
ruang pemeriksaan khusus yang tersedia.
41

Jika setelah dilakukan pemeriksaan dan terbukti bahwa saksi dan/atau
korban mengalami penderitaan akibat tindak pidana perdagangan orang,
maka petugas kepolisian yang melakukan pemeriksaan wajib membawa
saksi dan/atau korban ke PPT terdekat.

Laporan saksi dan/atau korban wajib ditindaklanjuti untuk diproses sesuai
dengan hukum acara pidana yang berlaku.

Untuk menjalankan prosesnya, pimpinan kepolisian memerintahkan
kepada penyidik untuk melakukan tugas penyidikan dan sekaligus
melakukan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban
Saksi dan/atau korban warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, tata
cara dan mekanisme pelayanan terpadu yang dilakukan berupa :

Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara Indonesia dan
berada
di
luar
negeri,
Pemerintah
Republik
Indonesia
melalui
perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan
saksi dan/atau korban serta memulangkannya ke Indonesia atas biaya
negara.

Untuk kepentingan pemulangan saksi dan/atau korban, perwakilan
Pemerintah Republik Indonesia di luar negeri segera melaporkan kepada
Menteri Luar Negeri dalam rangka percepatan penanganan saksi
dan/atau korban.

Menteri Luar Negeri wajib melakukan koordinasi dengan pemerintah
daerah asal saksi dan/atau korban dan instansi terkait lainnya, untuk
memulangkan saksi dan/atau korban ke daerah asalnya.

Pemerintah daerah wajib menjemput dan memulangkan ke daerah asal
dan tindakan lain yang diperlukan dalam melindungi saksi dan/atau
korban.

Dalam hal saksi dan/atau korban mengalami penderitaan akibat tindak
pidana perdagangan orang, maka Perwakilan Republik Indonesia di luar
negeri wajib memberikan pertolongan kepada saksi dan/atau korban ke
rumah sakit terdekat, Kementerian Sosial atau instansi yang menangani
42
bidang sosial di daerah wajib membawa saksi dan/atau korban ke PPT
terdekat.
Saksi dan/atau korban berada di luar wilayah daerah asalnya, tata cara dan
mekanisme pelayanan terpadu yang dilakukan berupa :

Dalam hal saksi dan/atau korban berada di luar wilayah daerah asalnya,
kepala daerah setempat segera melakukan koordinasi dengan kepala
daerah asal saksi dan/atau korban untuk mengambil tindakan atau
langkah-langkah perlindungan dan pemulangan saksi dan/atau korban ke
daerah asalnya.

Bupati/walikota daerah asal saksi dan/atau korban tersebut wajib segera
menangani hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan dan
pemulihan saksi dan/atau korban ke PPT yang tersedia.

Dalam
penyelenggaraan
pemulangan
saksi
dan/atau
korban,
bupati/walikota dapat melakukan kerja sama dengan bupati/walikota
lainnya dengan pemberitahuan kepada gubernur masing-masing
Dan untuk saksi dan/atau korban warga negara asing, maka tata cara dan
mekanisme pelayanan terpadu yang dilakukan berupa :

Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara asing, Menteri
Luar Negeri Republik Indonesia wajib berkoordinasi dengan instansi
terkait dan perwakilan negara asal saksi dan/atau korban tersebut di
Indonesia, untuk membantu pemulangannya dan memberitahukan kepada
perwakilan asingnya.

Pemulangan dibebankan kepada perwakilan negara asing yang berada di
Indonesia

Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara asing yang
negaranya tidak mempunyai perwakilan di Indonesia, Menteri Luar Negeri
Republik Indonesia memberitahukan kepada negara asing tersebut pada
perwakilan negara asing yang terdekat dengan wilayah negara Republik
Indonesia.
43
Sebagai
mandat
dari
Undang-Undang
PTPPO
untuk
melaksanakan
perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban atas rehabilitasi
kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan
hukum, Peraturan Pemerintah ini sesungguhnya belumlah komprehensif dalam
memberikan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban. Dimana
peraturan ini belum secara khusus mengatur mengenai prinsip dalam
menyelenggarakan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban
yang wajib dipedomani oleh petugas pelaksana pelayanan terpadu.
Kemudian dalam memberikan pelayanan kepada saksi dan/atau korban adalah
anak, peraturan ini hanya mengatur dengan menyebutkan “pelayanan diberikan
secara khusus sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak”. Namun untuk
pelayanan secara khusus sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak, tidak
diatur lebih lanjut dalam peraturan ini. Dan peraturan ini hanya memberikan
mandat kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
untuk menyusun dan menetapkan standar pelayanan minimal dan standar
operasional prosedur untuk menjamin kualitas pelayanan pada Pusat Pelayanan
Terpadu.
Pada 24 Juni 2008, lahir kebijakan mengenai Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Kebijakan ini dikeluarkan
melalui Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008. Keluarnya Peraturan Presiden
ini merupakan mandat dari Undang-Undang PTPPO pasal 58, dimana
pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengambil langkah-langkah untuk
pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang, dan untuk
mengefektifkan
dan
menjamin
pelaksanaan
langkah-langkah
tersebut
pemerintah membentuk gugus tugas.
44
Dalam Peraturan Presiden ini, setidaknya ada lima yang menjadi tugas pokok
dari Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan
Orang, yakni :

Mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan masalah tindak
pidana perdagangan orang

Melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja sama baik kerja
sama nasional maupun internasional

Memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban yang
meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial

Memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum

Melaksanakan pelaporan dan evaluasi.
Sedangkan anggota gugus tugas merupakan wakil-wakil dari unsur pemerintah,
penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi profesi, dan peneliti/akademisi.
Kemudian untuk menjamin sinergitas dan kesinambungan langkah-langkah
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang secara terpadu, Gugus Tugas
Pusat, Gugus Tugas Provinsi, dan Gugus Tugas Kabupaten/Kota melakukan
koordinasi dan hubungan secara langsung dengan instansi terkait dan pihak
terkait lainnya untuk menyusun kebijakan, program, kegiatan, dalam bentuk
Rencana Aksi Nasional dan Rencana Aksi Daerah. Dan untuk menjamin
efektivitas langkah-langkah pencegahan dan penanganan tindak pidana
perdagangan orang, gugus tugas pusat, gugus tugas provinsi, dan gugus tugas
kabupaten/kota
melakukan
koordinasi,
pemantauan
dan
evaluasi,
serta
pelaporan secara periodik.
Peraturan Presiden untuk gugus tugas ini hanya terbatas mengatur pada
pembentukan, kedudukan, tugas, dan organisasi gugus tugas pusat. Termasuk
juga gugus tugas provinsi dan gugus tugas kabupaten/kota, mekanisme kerja,
serta anggaran.
45
Pada April 2009, lahir kebijakan mengenai Standar Pelayanan Minimal
Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan
Orang di Kabupaten/Kota, yang dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan No. 1 Tahun 2009. Lahirnya Peraturan Menteri ini
adalah untuk melaksanakan mandat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2008
mengenai Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau
Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 7.
Dalam Peraturan Menteri ini, Standar Pelayanan Minimal bagi saksi dan/atau
korban tindak pidana perdagangan orang ditujukan untuk menjadi pedoman bagi
daerah dalam melaksanakan perencanaan pelaksanaan, pengendalian dan
pengawasan serta pertanggungjawaban penyelenggaraan pelayanan terpadu
bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Sedangkan tujuan
pemberian layanan minimal bagi saksi dan/atau korban tindak pidana
perdagangan orang untuk memberikan pelayanan kepada saksi dan/atau korban
tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan kebutuhan dasar saksi dan /
atau korban tindak pidana perdagangan orang.
Kemudian prinsip dalam penyelenggaraan standar pelayanan minimal pelayanan
terpadu ini berupa :

Penghormatan hak
saksi dan/atau korban, artinya pelayanan yang
diberikan terhadap saksi dan/atau korban mencerminkan perlindungan
dan penghormatan hak asasi, harkat dan martabat saksi dan/atau korban
tindak pidana perdagangan orang

Non diskriminasi, artinya pelayanan berlaku untuk seluruh saksi dan/atau
korban tindak pidana perdagangan orang tanpa membedakan status,
agama, suku, ras golongan dan gender; dan

Akuntabilitas, artinya pelayanan saksi dan/atau korban tindak pidana
perdagangan orang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
46
Standar Pelayanan Minimal (SPM) pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau
korban tindak pidana perdagangan orang meliputi penanganan pengaduan
masyarakat, pelayanan rehabilitasi kesehatan, pelayanan perlindungan hukum,
pelayanan rehabilitasi social, pelayanan pemulangan, dan pelayanan reintegrasi
sosial.
Dalam penanganan pengaduan masyarakat tentang tindak pidana perdagangan
orang meliputi:

Persentase cakupan ketersediaan petugas yang mempunyai kemampuan
untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat tentang adanya tindak
pidana perdagangan orang.

Kemampuan petugas untuk menangani pengaduan tentang adanya tindak
pidana perdagangan orang dilakukan melalui sertifikasi pelatihan.
Pelayanan rehabilitasi kesehatan meliputi:

Persentase cakupan pelayanan rehabilitasi kesehatan yang diberikan oleh
petugas yang terlatih pada saksi dan/atau korban tindak pidana
perdagangan orang

Cakupan pelayanan rehabilitasi kesehatan yang menyediakan ruang
khusus bagi saksi dan/atau korban tindak perdagangan orang di rumah
sakit atau puskesmas.
Pelayanan perlindungan hukum meliputi:

Cakupan kasus tindak pidana perdagangan orang yang berhasil
diputuskan berdasarkan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang
PTPPO

Cakupan pelayanan perlindungan hukum kepada saksi dan/atau korban
tindak pidana perdagangan orang yang diberikan oleh penegak hukum.
Pelayanan rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial meliputi:
47

Persentase cakupan pelayanan bantuan rehabilitasi sosial di rumah
perlindungan sosial dan sejenisnya kepada saksi dan/atau korban tindak
pidana perdagangan orang oleh petugas rehabilitasi sosial.

Persentase cakupan pelayanan yang diberikan kepada saksi dan/atau
korban tindak pidana perdagangan untuk pemulangan ke daerah asal.

Persentase cakupan pelayanan reintegrasi sosial kepada saksi dan/atau
korban tindak pidana perdagangan orang yang kembali ke keluarga,
keluarga pengganti dan masyarakat lainnya.
Sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2008 tentang
Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang, Peraturan Menteri ini hanya terbatas
mengatur ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang berhak
diperoleh setiap saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang secara
minimal. Dan peraturan ini tidak mengatur secara khusus mengenai panduan
ataupun langkah-langkah dalam memberikan pelayanan tersebut terutama untuk
anak.
Untuk menjamin sinergitas dan kesinambungan langkah-langkah pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang secara terpadu, Pemerintah membuat
kebijakan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang dan Eksploitasi Seksual Anak untuk tahun 2009 – 2014. Kebijakan
Rencana Aksi Nasional ini dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 25/Kep/Menko/Kesra/IX/2009, pada 11
September 2009. Rencana Aksi Nasional (RAN) ini merupakan landasan dan
pedoman pelaksanaan bagi gugus tugas dalam melaksanakan pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi seksual anak.
Pada
Rencana
Aksi
Nasional
(RAN)
sebelumnya
hanya
fokus
pada
penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Namun pada RAN 2009-2014
memasukkan isu eksploitasi seksual anak. Masuknya isu eksploitasi seksual
48
anak pada RAN ini hanya didasarkan pada banyaknya korban tindak pidana
perdagangan orang seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual,
misalnya dalam bentuk pelacuran dan paedophilia.
Setidaknya ada enam program yang akan dilakukan dalam RAN ini beserta
penangungjawabnya, keenam program tersebut berupa :

Pencegahan dan Partisipasi Anak, sebagai penanggung jawab adalah
Kementerian Pendidikan Nasional

Rehabilitasi Kesehatan, sebagai penanggung jawab adalah Kementerian
Kesehatan

Rehabilitasi Sosial, Pemulangan, dan Reintegrasi Sosial, sebagai
penanggungjawab adalah Kementerian Sosial

Pengembangan Norma Hukum, sebagai penanggungjawab adalah
Kementerian Hukum dan HAM

Penegakan Hukum, sebagai penanggungjawab adalah Polri

Koordinasi
dan
Kerjasama,
sebagai
penanggungjawab
adalah
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Kemudian tujuan RAN ini adalah :

Mencegah terjadinya segala bentuk dan praktek yang berindikasi pada
TPPO dan ESA

Mewujudkan pelayanan yang memadai untuk rehabilitasi kesehatan

Mewujudkan
pelayanan
yang
memadai
untuk
rehabiitasi
sosial,
pemulangan, dan reintegrasi sosial

Mengembangkan norma hukum yang lebih memberikan perlindungan
hukum bagi saksi dan atau korban

Meningkatkan penegakan hukum terhadap pelaku dan perlindungan
hukum bagi saksi dan atau korban.

Membangun dan meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam upaya
pencegahan dan penanganan di tingkat Nasional dan Internasional
49
Dalam menjalankan RAN ini, prinsip yang digunakan adalah :

Kesetaraan dan non diskriminasi, tidak ada diskriminasi berdasarkan suku
bangsa, agama, bahasa, keyakinan politik, status migrasi, dan daerah
asal.

Keadilan, memberi perhatian khusus pada kesejahteraan kelompokkelompok rentan dan yang terpinggirkan

Pemberdayaan, menekankan strategi pemberdayaan daripada respon
karitatif.

Partisipasi, upaya penghapusan TPPO dan ESA mengarah pada tingkat
partisipasi yang lebih tinggi dari masyarakat, khususnya perempuan dan
anak-anak, dan memandang perempuan dan anak-anak – khususnya
para korban, sebagai partisipan aktif dalam menemukan solusi konstruktif
atas masalah TPPO dan ESA.

Akuntabilitas,
berfokus
pada
peningkatan
akuntabilitas
proses
penanganan TPPO dan ESA, di mana pemerintah sebagai pengemban
kewajiban dituntut untuk melakukan langkah-langkah progresif dalam
menghapus TPPO dan ESA dan dalam pemenuhan hak korban
khususnya dan hak setiap warga untuk terlindungi dan bebas dari
kejahatan TPPO dan ESA.
Dalam penanganan korban perdagangan anak kegiatan dilakukan dalam
Rencana Aksi Nasional 2009-2014 terdiri dari rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
sosial, pemulangan dan reintegrasi, penegakan hukum, koordinasi dan
kerjasama. Untuk rehabilitasi kesehatan kegiatan yang dilakukan berupa :

Meningkatkan pelayanan terhadap korban

Meningkatkan kapasistas sumber daya manusia untuk pelayanan
rehabilitasi kesehatan bagi korban

Mengembangkan
dan
menyediakan
sarana/prasarana
pelayanan
kesehatan untuk penanganan korban

Memperbaiki dan meningkatkan sistem pencatatan dan pelaporan di
semua pelayanan kesehatan
50

Menyusun pedoman/standar layanan kesehatan bagi korban

Harmonisasi standar/pedoman yang sudah ada
Untuk rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi kegiatan yang dilakukan
berupa :

Membangun
dan
mengembangkan
Rumah
Perlindungan
Sosial
Anak/Rumah Perlindungan Trauma Center untuk rehabilitasi sosial bagi
korban dalam PPT

Meningkatkan kinerja layanan rehabilitasi sosial di rumah perlindungan
sosial/shelter/rumah untuk korban

Mengembangkan model penjangkauan dan rehabilitasi khusus korban

Meningkatkan koordinasi antar gugus tugas untuk pemulangan yang
aman bagi korban

Membangun koordinasi antar dinas/instansi untuk reintegrasi sosial
korban
Untuk penegakan hukum, kegiatan yang dilakukan berupa :

Memperkuat sistem monitoring dan pengawasan penanganan kasus

Mengembangkan dan memperkuat kelompok swadaya masyarakat dalam
pengawasan penanganan kasus

Percepatan proses penyusunan revisi atau perubahan atas UU Nomor 3
Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang memuat konsep diversi dan
restorative justice

Penyusunan pedoman penanganan anak yang berhadapan dengan
hukum

Memposisikan anak sebagai korban, bukan sebagai pelaku dalam proses
penegakan hukum

Mengkriminalkan
orang-orang
atau
pihak
yang
memfasilitasi
berlangsungnya praktek perdagangan orang

Pengembangan
kerjasama
antar
aparat
penegak
hukum
dalam
penanganan kasus
51

Pengembangan capacity building bagi aparat penegak hukum

Penyusunan dan penerbitan peraturan bersama tentang alat bukti bukti
untuk kasus-kasus eksploitasi seksual

Melakukan
pendidikan
pengungkapan,
dan
penyelidikan,
pengembangan
penyidikan
ketrampilan
perkara
tindak
dalam
pidana
perdagangan orang

Melakukan pendidikan dan pengembangan informasi hukum mengenai
tindak pidana perdagangan orang

Melakukan pendidikan dan penyegaran Hakim dalam penanganan
perkara tindak pidana perdagangan orang

Membuat SOP bagi aparat penegak hukum dalam penanganan kasus

Mengefektifkan kegiatan layanan bantuan hukum korban sejak tahap
identifikasi.

Mengoptimalkan Mutual Legal Assistance Treaty (MLAT) antara Indonesia
dengan negara-negara ASEAN lainya dalam memberikan bantuan hukum
bagi korban di luar negeri.

Mengatur tentang teknis penanganan korban warga negara asing di
Indonesia
Sedangkan untuk koordinasi dan kerjasama, kegiatan yang dilakukan berupa :

Mendorong dan memfasilitasi adanya kerjasama antar daerah dalam
penanganan korban

Mengadakan pertemuan koordinasi secara berkala untuk rehabilitasi
kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi, penegakan
hukum, dan program khusus.
Rencana Aksi Nasional 2009-2014 ini merupakan rencana aksi yang kedua,
sedangkan yang pertama adalah Rencana Aksi Nasional 2002-2007. Dari
perkembangannya,
dalam
penanganan
korban
perdagangan
manusia
khususnya anak masih banyak kelamahan terutama dalam memberikan
perlindungan hukum, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan
52
reintegrasi. Walau pun sudah begitu banyak kebijakan yang dikeluarkan, mulai
dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden hingga peraturan
menteri.
Kelemahan dalam menangani korban perdagangan anak dalam memberikan
perlindungan hukum masih terdapat pada :

Belum adanya pemahaman yang sama dalam penerapan perundangundangan
yang
terkait
dengan
pemberantasan
tindak
pidana
perdagangan orang di antara aparat penegak hukum

Belum meratanya sumberdaya penegak hukum seperti Hakim, Jaksa,
Polisi dan sarana/prasarana pendukung yang sensitif akan hak anak
dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang

Belum maksimalnya kerjasama aparat penegak hukum

Belum dipahaminya undang-undang pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang oleh aparat

Terbatasnya bantuan hukum dan pendampingan bagi korban.

Belum dilakukannya harmonisasi norma hukum perlindungan anak

Adanya Perda yang destruktif dan/atau kontradiktif dengan peraturan
perundangan yang terkait dengan perlindungan anak dari perdagangan
anak
Untuk penanganan korban dalam melakukan rehabilitasi kesehatan masih
terdapat kelemahan pada :

Masih lemahnya sumber daya manusia dalam hal rehabilitasi kesehatan
yang bisa diakses oleh korban

Kurangnya sarana/prasarana yang memadai

Lemahnya pencatatan dan pelaporan

Lemahnya manajemen program dalam pelayanan bagi korban
Untuk penanganan korban dalam melakukan rehabilitasi sosial, reintegrasi dan
pemulangan kelemahannya masih terdapat pada :
53

Belum semua daerah memiliki Rumah Perlindungan Sosial Anak/Rumah
Perlindungan Trauma Center untuk menangani rehabilitasi sosial dalam
PPT bagi korban

Masih kurangnya pelayanan rehabilitasi sosial yang bisa diakses oleh
korban

Belum optimalnya pemulangan korban yang aman dan berbasis pada
kebutuhan korban.

Lemahnya program reintegrasi sosial sehingga korban yang sudah
dipulangkan diperdagangkan kembali
Termasuk juga kelemahan dalam melakukan koordinasi dan kerjasama untuk
penanganan korban, dan kelamahan tersebut terdapat pada :

Belum adanya kerjasama antar daerah dalam penanganan korban

Lemahnya koordinasi sub gugus tugas rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
sosial, pemulangan dan reintegrasi, penegakan hukum

Belum optimalnya peran dan fungsi gugus tugas di tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota dalam penanganan korban

Minimnya sumber dana dalam melakukan penanganan korban
Dari berbagai kelemahan dan kendala yang masih terjadi dalam menangani
korban perdagangan anak dalam memberikan perlindungan hukum, pemulihan,
reintegrasi dan pemulangan, Rencana Aksi Nasional 2009-2014 ini mencoba
untuk menjawab berbagai kelemahan dan kendala yang masih terjadi tersebut
melalui berbagai kegiatan selama lima tahun.
Untuk menjamin kualitas pelayanan terpadu dalam memberikan perlindungan
dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun
2008 memberikan mandat kepada menteri untuk menyusun dan menetapkan
standar
operasional
prosedur
dalam
melakukan
rehabilitasi
kesehatan,
rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum pada
pusat pelayanan terpadu. Berdasarkan mandat ini kemudian keluar kebijakan
54
melalui Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak No. 22 Tahun 2010 Tentang Prosedur Standar Operasional Pelayanan
Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, pada
25 November 2010.
Dalam Peraturan Menteri ini, prosedur standar operasional pelayanan terpadu
bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang meliputi :

Pelayanan pengaduan/identifikasi

Rehabiltiasi kesehatan

Rehabilitasi sosial

Bantuan hukum

Pemulangan dan reintegrasi sosial
Kemudian Peraturan Menteri ini juga menekankan dalam implementasinya
prosedur standar operasional ini dapat dijadikan panduan dalam memberikan
perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban bagi :

Pusat Pelayanan Terpadu Pemerintah Pusat dan Daerah

Unit Pelayanan Warga Negara Indonesia (WNI) yang ada di perwakilan RI
di Luar Negeri

Pusat
Pelayanan
Terpadu
berbasis
komunitas/masyarakat
yang
menyelenggaraan layanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak
pidana perdagangan orang.
Dalam menangani dan melindungi saksi dan/atau korban tindak pidana
perdagangan orang, setidaknya ada enam prinsip yang digunakan dalam
prosedur standar operasional ini, prinsip tersebut berupa :

Penghormatan dan Penegakan Hak Asasi Manusia

Non Diskriminasi

Pemenuhan Hak Anak

Hak atas Informasi

Hak atas Kerahasiaan dan Privasi
55

Penghormatan atas Suku, Budaya, Agama dan Kepercayaan
Dalam memberikan pelayanan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana
perdagangan orang, prosedur pelayanan yang ditetapkan dalam peraturan ini
berupa prosedur pelayanan pengaduan/identifikasi, rehabiltiasi kesehatan,
rehabilitasi sosial, bantuan hukum, pemulangan dan reintegrasi sosial.
Untuk prosedur pelayanan pengaduan/identifikasi, tujuan dilakukannya proses ini
adalah untuk :

Mengetahui kebenaran seseorang yang dilaporkan sebagai saksi
dan/atau korban

Mengetahui masalah dan kondisi seseorang yang diduga saksi dan/atau
korban, berkaitan dengan kondisi kesehatan fisik, psikis dan psikososial,
status, kepemilikan dokumen dan identitas diri, kondisi keuangan, hutangpiutang, keamanan, serta keinginan berkaitan dengan kasusnya.

Mengetahui kebutuhan seseorang yang diduga saksi dan/atau korban
yang harus segera dipenuhi seperti tempat tinggal sementara apabila
korban dari luar daerah, perlindungan apabila
korban terancam
keselamatan, pengobatan, pendampingan, dan sebagainya.
Langkah-langkah dalam menjalankan pelayanan pengaduan/identifikasi saksi
dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang berupa :

Asal mula kedatangan saksi dan/atau korban, dalam hal ini korban bisa
berasal dari penjangkauan, datang sendiri, dan rujukan.

Wawancara dan observasi

Asesmen (penilaian) kebutuhan saksi dan/atau korban

Rekomendasi layanan lanjutan

Koordinasi dan rujukan ke layanan lanjutan dan pihak terkait

Pengadministrasian proses identifikasi
Dalam prosedur rehabilitasi kesehatan memiliki tujuan untuk :
56

Menyediakan akomodasi yang aman dan terlindungi serta dukungan
medis bagi orang-orang yang teridentifikasi sebagai saksi dan/atau korban

Memulihkan gangguan kondisi fisik dan psikis saksi dan/atau korban
sehingga menjadi berdaya.
Kemudian dalam memberikan pelayanan rehabilitasi kesehatan ini, prinsip yang
digunakan dalam penyelenggaraannya berupa :

Kerahasian, agar saksi dan/atau korban terjamin kerahasiaan dan
kenyamanannya maka dibutuhkan ruang khusus pemeriksaan atau ruang
tunggu untuk saksi dan/atau korban di rumah sakit/puskesmas sehingga
saksi dan/atau korban tidak perlu menunggu bersama dengan pasien
lainnya.

Prosedur/penatalaksanaan khusus, untuk memastikan saksi dan/atau
korban mendapatkan pelayanan sesuai dengan kondisi saksi dan/atau
korban dan prinsip-prinsip HAM, gender, dan anak, maka rumah
sakit/puskesmas
diharapkan
memiliki
dan
menjalankan
prosedur/penatalaksanaan khusus untuk saksi dan/atau korban kekerasan
terhadap perempuan dan anak, termasuk didalamnya korban tindak
pidana perdagangan orang.

Tersedianya sumber daya manusia terlatih, diharapkan di tempat
pelayanan, dilayani oleh petugas medis/perawat khusus yang telah dilatih
untuk penanganan saksi dan/atau korban dengan prinsip-prinsip HAM,
gender, dan anak. Pemberi layanan pada pelayanan rehabilitasi
kesehatan meliputi dokter umum, dokter spesialis, perawat, dan tenaga
non medis yang telah terlatih.

Setiap melakukan tindakan rehabilitasi kesehatan, wajib dibuat perjanjian
intervensi (informed consent).
Langkah-langkah dalam melakukan pelayanan rehabilitasi kesehatan kepada
saksi dan/atau korban berupa :

Penerimaan rujukan saksi dan/atau korban
57

Triase atau cara pemilihan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan
sumber daya yang tersedia

Pertolongan pertama sesuai dengan kondisi saksi dan/atau korban

Penanganan lanjutan

Perekaman intervensi dan perkembangan kondisi saksi dan/atau korban
dalam dokumen database

Rekomendasi penanganan tindak lanjut
Untuk prosedur rehabilitasi sosial ditujukan dalam rangka :

Membantu meringankan, melindungi dan memulihkan kondisi fisik,
psikologis, sosial dan spiritual saksi dan/atau korban tindak pidana
perdagangan orang sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya
kembali secara wajar.

Rehabilitasi sosial dilakukan oleh pekerja sosial, petugas pendamping
sosial, konselor, psikolog dan psikiater yang telah mendapatkan pelatihan
penanganan rehabilitasi sosial untuk saksi dan/atau korban dengan
prinsip-prinsip HAM, gender, dan anak.
Dalam pelaksanaan pelayanan rehabilitasi social, prinsip penyelenggaraannya
berupa :

Keamanan, yaitu memberikan perlindungan kepada saksi dan/atau korban
yang dilaksanakan di tempat khusus agar dapat memberi rasa aman
terhadap saksi dan/atau korban dalam jangka tertentu.

Efektifitas, yaitu saksi dan/atau korban ditangani segera tanpa prosedur
yang berbelit-belit.

Profesional, yaitu penanganan saksi dan/atau korban dilakukan secara
tepat, sistematis dan terukur oleh tenaga terlatih.

Keterpaduan, yaitu rehabilitasi sosial dilaksanakan secara bersama dan
lintas sektor dalam satu pelayanan di PPT.
58
Sedangkan langkah-langkah dalam melakukan pelayanan rehabilitasi social
kepada saksi dan/atau korban meliputi :

Penerimaan rujukan saksi dan/atau korban

Konselor melakukan konseling awal dan melakukan pemeriksaan kondisi
psikis untuk membuat perencanaan tindakan rehabilitasi social

Konselor membuat kesepakatan dengan saksi dan/atau korban untuk
perencanaan jadwal konseling setelah diberikan informasi tentang
kegiatan rehabilitasi dan hak-hak saksi dan/atau korban

Petugas melakukan penjangkauan/penelusuran terhadap keluarga saksi
dan/atau korban, guna mendukung proses pemulangan dan reintegrasi

Layanan shelter/rumah aman

Rehabilitasi lanjutan

Perekaman intervensi dan perkembangan kondisi dalam dokumen
database saksi dan/atau korban

Rekomendasi penanganan tindak lanjut
Untuk prosedur bantuan hukum, tujuan dilakukannya pelayanan ini adalah untuk
:

Memenuhi hak-hak saksi dan/atau korban di bidang hukum guna
memperoleh hak atas kebenaran dan keadilan atas kasus yang
dialaminya

Pemenuhan hak-hak saksi dan/atau korban, serta dilakukan secara
terintegrasi dengan pelayanan lainnya.
Kemudian langkah-langkah dalam memberikan pelayanan bantuan hukum
kepada saksi dan/atau korban berupa :

Pusat Pelayanan Terpadu menerima laporan saksi dan/atau korban yang
dikirim oleh keluarga korban, pendamping, Polisi, petugas instansi terkait,
atau rujukan dari proses sebelumnya.

Melakukan identifikasi saksi dan/atau korban dan alat bukti yang terkait
dengan tindak pidana perdagangan
59

Membantu saksi dan/atau korban untuk mengidentifikasi dan menyiapkan
bukti-bukti yang ada seperti paspor/fotokopinya, kuitansi pembayaran
makan, kuitansi pembelian tiket pesawat/tiket pesawat beserta boarding
pass, air port tax, surat kontrak kerja, slip pembayaran gaji

Di setiap tahapan proses hukum, saksi dan/atau korban wajib didampingi
advokat, paralegal/pendamping hukum

Menyediakan
penerjemah
yang
mampu
berkomunikasi
dan
menerjemahkan secara verbal dan tertulis, tersumpah, kompeten dan
terlatih mengenai TPPO dan pelayanan yang berprinsip HAM, gender,
dan anak (terlatih yang berperspektif HAM, gender, dan anak)

Polisi terlatih yang berperspektif HAM, gender, dan anak (unit PPA)
setelah menerima laporan dari korban, kuasa korban atau pendamping
korban, segera melakukan penyelidikan dan penyidikan, menyampaikan
kepada korban atas hak-hak korban termasuk restitusi, menyerahkan
berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU)

Setelah
pembuatan
laporan
polisi
dan
melengkapi
administrasi
penyidikan, penyidik segera membuat Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP).

SPDP dikirim ke Kejaksaan, Polisi dan JPU dapat melaksanakan
koordinasi dan kerjasama dalam penanganan TPPO yang dilaporkan oleh
korban, termasuk penerapan pasal-pasalnya, sehingga bolak-baliknya
perkara dapat diminimalisir sedini mungkin.

JPU terlatih yang berperspektif HAM, gender, dan anak setelah menerima
berkas perkara dari penyidik, kemudian meneliti berkas perkara,
memberikan surat keterangan P21 kepada kepolisian, melaksanakan prapenuntutan, pendakwaan, penuntutan, dan eksekusi.
Hakim terlatih yang berperspektif HAM, gender, dan anak memeriksa
berkas
penuntutan
dan
memutus
perkara
dan
Hakim
dapat
mempertimbangkan untuk memutuskan secara profesional, restitusi yang
menjadi hak korban serta melalui putusan Hakim mewajibkan pelaku
TPPO untuk memberikan restitusi dimaksud kepada korban.
60

Advokat, paralegal atau pendamping hukum membantu dan mendampingi
saksi dan/atau korban di setiap tahapan proses sidang peradilan pidana
sampai memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap serta korban
memperoleh restitusi.

Advokat, paralegal atau pendamping hukum membantu dan mendampingi
korban dalam mengajukan gugatan perdata sampai korban memperoleh
putusan yang berkekuatan hukum tetap serta eksekusi putusan.

Advokat,
paralegal
atau
pendamping
hukum
mendampingi
dan
menyiapkan kondisi fisik dan psikis saksi dan/atau korban dalam setiap
tahap proses peradilan pidana, perdata, dan administrasi.

Dalam hal saksi dan/atau korban adalah anak, pemeriksaan pada semua
tahapan tersebut di atas, wajib didampingi oleh pendamping, kemudian
direkam sebagai alat bukti untuk mewakili kehadiran saksi dan/atau
korban anak di sidang pengadilan. Segala bantuan hukum terhadap saksi
dan/atau korban anak harus menjamin penghormatan dan penegakan
hak-hak anak untuk bertahan hidup, pengembangan, perlindungan dan
partisipasi, serta kebutuhan akan perlindungan khusus demi kepentingan
terbaik bagi anak.

Melaksanakan koordinasi dengan pihak kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan dalam pemantauan proses hukum.

Setiap tahapan dalam prosedur bantuan hukum direkam dalam buku
rekam kasus dan diadministrasikan dalam sistem database penanganan
saksi dan/atau korban

Apabila TPPO terjadi di Luar Negeri, perwakilan Repulik Indonesia di Luar
Negeri
harus
menyediakan
dan
menunjuk
advokat
atau
paralegal/pendamping hukum, bagi saksi dan/atau korban sesuai dengan
kebutuhan proses hukum.
Dalam prosedur pemulangan, layanan pemulangan ini ditujukan untuk :
61

Memastikan perjalanan sukarela yang aman dan terlindung bagi saksi
dan/atau korban dari penampungan atau tempat perlindungan ke tempat
tinggal yang layak sesuai dengan keinginan saksi dan/atau korban.

Bagi saksi dan/atau korban anak, perlu dipastikan terlaksananya prinsipprinsip hak anak, termasuk perlindungan khusus demi kepentingan terbaik
untuk anak.
Kemudian dalam pelayanan pemulangan saksi dan/atau korban ini, prinsip yang
menjadi pedoman dalam penyelenggaraannya berupa :

Sukarela, yaitu pemulangan harus dilakukan secara sukarela, bukan
pengusiran atau pemaksaan.

Aman
dan
bermartabat,
yaitu
pemulangan
dilakukan
dengan
memperhatikan jaminan keamanan dari gangguan atau perlakuan yang
menimbulkan kerugian dan melanggar hak dan martabat saksi dan/atau
korban

Penghormatan
hak
korban,
yaitu
pemulangan
dilakukan
dengan
menghormati hak-hak korban dan diperlakukan secara manusiawi, dan
korban anak harus didampingi pada saat proses pemulangannya
Sedangkan langkah-langkah pelayanan pemulangan saksi dan/atau korban
dibagi dalam tiga jenis, yakni pertama pemulangan dari luar negeri/lintas batas
negara ke titik debarkasi, kedua pemulangan saksi dan/atau korban di provinsi
ke
kabupaten/kota, dan
ketiga
pemulangan
saksi dan/atau korban di
kabupaten/kota ke keluarga/keluarga pengganti.
Untuk pelayanan pemulangan dari luar negeri/lintas batas negara ke titik
debarkasi langkah-langkah penyelenggaraannnya berupa :

Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri berkoordinasi dengan pihak
Kepolisian di negara setempat untuk membantu mengidentifikasi dan
memberikan bantuan serta perlindungan kepada saksi dan/atau korban
62

Menempatkan saksi dan/atau korban sementara di penampungan
Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri sampai dengan kepulangan
atau selama dalam proses persidangan.

Apabila saksi dan/atau korban berada di penampungan Negara setempat,
Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri berkoordinasi dengan
aparat hukum setempat bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang
layak dan hak-hak mereka dilindungi serta izin tinggal mereka diurus

Memastikan saksi dan/atau korban mendapatkan fasilitas pemulihan
(rehabilitasi kesehatan dan rehabilitasi sosial) dari lembaga berwenang di
negara setempat.

Perwakilan
Republik
membicarakan
biaya
Indonesia
di
pemulangan
Luar
ke
Negeri
Indonesia
mengurus
dengan
dan
pejabat
berwenang di negara setempat, dan apabila Perwakilan Republik
Indonesia di Luar Negeri mengalami kesulitan dalam pemulangan saksi
dan/atau korban, Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri dapat
melakukan kerjasama dengan organisasi internasional yang mengurus
masalah tindak pidana perdagangan orang

Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, melalui Kementerian Luar
Negeri dan Kementerian Luar Negeri menghubungi instansi pemerintah
pusat terkait untuk memberitahu mengenai tanggal pemulangan, jenis
transportasi, pendampingan, tujuan dan rute perjalanan, diinformasikan
kepada korban termasuk memberikan nama dan alamat yang dapat
dihubungi pada tempat-tempat persinggahan, untuk mengantisipasi jika
terjadi keadaan darurat.

Instansi pemerintah pusat menghubungi pemerintah daerah terkait untuk
memastikan bahwa setelah dipulangkan, layanan pendukung untuk
memulihkan saksi dan/atau korban telah tersedia.

Pejabat Kabupaten/Kota yang berwenang, meminta pernyataan secara
tertulis kesanggupan orang tua/wali dan lingkungannya dalam menerima
saksi dan/atau korban kembali ke keluarga dan lingkungan masyarakat
setempat, selanjutnya pernyataan tertulis tersebut dikirim ke Perwakilan
63
Republik Indonesia di Luar Negeri disertai rekomendasi berdasarkan hasil
observasi tentang kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan dari
keluarga dan lingkungan masyarakatnya.

Komunikasi yang dilakukan Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri
melalui Kementerian Luar Negeri cq. Direktorat Perlindungan WNI dan
BHI

Pejabat pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, menyiapkan
Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP)/paspor dan exit permit dari
Negara setempat serta Berita Acara serah terima saksi dan/atau korban.

Penyerahan saksi dan/atau Korban dari Perwakilan Republik Indonesia di
Luar Negeri ke Kementerian Luar Negeri dibuktikan dengan Berita Acara
Serah Terima yang ditandatangani oleh Pejabat Perwakilan RI terkait dan
Kementerian Luar Negeri cq. Direktorat Perlindungan WNI dan BHI,
selanjutnya Kementerian Luar Negeri menyerahkan saksi dan/atau korban
kepada institusi pemerintah pusat (Kementerian Sosial, Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BNP2TKI) dengan berita acara yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Pemulangan saksi dan/atau korban dari titik debarkasi ke PPT /Shelter
/penampungan/ rumah perlindungan menjadi tanggung jawab BNP2TKI/
Depnakertrans/ Depsos selanjutnya dari PPT/ Shelter /penampungan
/rumah perlindungan ke daerah asal menjadi tanggung jawab instansi
sosial Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota.

Pemulangan saksi dan/atau korban TPPO selanjutnya sampai ke
Desa/Kelurahan
asal,
menjadi
tanggung
jawab
instansi
sosial
Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota atau Kabupaten/Kota yang menerima
korban dari Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri.

Dalam hal korban meninggal dunia, pemulangan jenazah korban
dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri cq. Direktorat Perlindungan WNI
dan BHI langsung kepada keluarga.
64
Untuk
pelayanan
pemulangan
saksi
dan/atau
korban
di
provinsi
ke
kabupaten/kota, langkah-langkah penyelenggaraannya berupa :

Petugas PPT provinsi menghubungi instansi sosial / PPT/ shelter/
penampungan di kabupaten/kota dimana korban akan dipulangkan untuk
melakukan penelusuran keluarga atau keluarga pengganti.

Hasil penelusuran keluarga diinformasikan kepada instansi sosial / PPT/
shelter/
penampung
kabupaten/kota
untuk
menentukan
kepastian
kepulangan saksi dan/atau korban

Setelah menandatangani formulir pemulangan sukarela saksi dan/atau
korban dipulangkan dengan didampingi pendamping ke kabupaten/kota.
Dan untuk pelayanan pemulangan saksi dan/atau korban di kabupaten/kota ke
keluarga/ keluarga pengganti, langkah-langkah penyelenggaraannya berupa :

Petugas instansi sosial/ PPT/ shelter/ penampungan kabupaten/kota
menghubungi keluarga atau keluarga pengganti dimana korban akan
dipulangkan.

Korban dipulangkan dengan aman dan diterima oleh keluarga atau
keluarga pengganti.

Pembiayaan pemulangan dibebankan kepada Instansi Sosial/ PPT/
shelter/ penampungan Kabupaten/Kota atau sumber lainnya
Kemudian prosedur terakhir dalam pelayanan ini adalah prosedur reintergrasi
sosial. Pelayananan reintegrasi sosial memiliki tujuan untuk mengembalikan atau
menyatukan kembali saksi dan/atau korban kepada keluarga atau keluarga
pengganti atau masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan
saksi dan/atau korban sehingga bisa menjalani kehidupannya kembali. Dalam
hal saksi dan/atau korban adalah anak, reintegrasi diprioritaskan untuk
mengembalikan atau menyatukan kembali dengan keluarga, saudara lain,
keluarga pengganti dan/atau masyarakat, dan untuk reintegrasi ke dalam
lembaga sosial atau panti hanya dilakukan sebagai pilihan terakhir.
65
Dalam memberikan pelayanan reintegrasi sosial kepada saksi dan/atau korban,
langkah-langkah penyelenggaraannya berupa :

Pre-reintegrasi sosial

Assesment (penilaian)

Pelaksanaan reintegrasi

Monitoring/bimbingan lanjut
Sebagai mandat dari Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara
dan Mekanisme Layanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang, Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak No. 22 Tahun 2010 ini sesungguhnya sudah cukup
komprehensif dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak saksi
dan/atau korban atas rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, bantuan hukum,
pemulangan, dan reintegrasi sosial.
Selain itu, prosedur standar operasional pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau
korban tindak pidana perdagangan orang ini dapat dikatakan sejalan dengan
panduan yang disusun oleh Asia Act dan Indonesia Act dalam “Melindungi Hak
dan Martabat Anak yang Diperdagangkan di Asia Tenggara”.
Kebijakan
menangani
korban
perdagangan
anak
dalam
memberikan
perlindungan dan pemenuhan hak atas perlindungan hukum, rehabilitasi, dan
reintegrasi pada tingkat nasional sejak tahun 2002 hingga 2011 setidaknya ada
10 kebijakan yang telah dikeluarkan. Kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut
berupa dalam bentuk undang-undang sebanyak 2 buah, dalam bentuk peraturan
pemerintah sebanyak 1 buah, dalam bentuk keputusan presiden sebanyak 1
buah, dalam bentuk peraturan presiden sebanyak 1 buah, dalam bentuk
peraturan menteri sebanyak 3 buah, dan dalam bentuk peraturan kepala
kepolisian sebanyak 2 buah.
66
Walau
begitu
banyak
kebijakan
yang
telah
dilahirkan,
namun
dalam
implementasinya kebijakan tersebut belumlah sepenuhnya diterapkan, terutama
pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Berkaitan dengan penerapan
kebijakan yang telah ditetapkan, Menteri Dalam Negeri memerintahkan kepada
Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota seluruh
Indonesia untuk melakukan percepatan penerapan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) di daerah melalui Surat No. 100/676/SJ tertanggal 7 Maret 2011. Diantara
Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang harus dipercepat penerapannya oleh
provinsi dan kabupaten/kota adalah Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan
Orang, dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu Bagi
Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.
Dalam Surat Perintah Menteri Dalam Negeri tersebut, untuk mempercepat
penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM), Gubernur, Bupati/Walikota,
DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota segera melakukan langkah-langkah :

Menjadikan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah ditetapkan
sebagai acuan dalam dokumen perencanaan dan penganggaran di
daerah, dengan tujuan untuk menjamin optimalisasi penerapan dan
pencapaian indikator SPM

Menyusun rencana pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang
memuat target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas
waktu pencapaian SPM sesuai dengan Peraturan Menteri/Kepala
Lembaga Non Kementerian

Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) tersebut, perlu
disinkronkan dan diintregrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja
Perangkat Daerah (Renstra SKPD)

Target
tahunan
pencapaian
Standar
Pelayanan
Minimal
(SPM)
dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana
Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD), Kebijakan Umum Anggaran
67
(KUA), Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah
(RKA-SKPD)

Dalam rangka penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah
Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat melakukan koordinasi dengan
Kementerian/LPNK dan Kementerian Dalam Negeri c.q Direktorat
Jenderal Otonomi Daerah.
2.2. DAERAH
2.2.1. PROVINSI SUMATERA UTARA
Dua tahun setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002
tentang
Rencana
Aksi
Nasional
Penghapusan
Perdagangan
(Trafiking)
Perempuan dan Anak, kemudian Provinsi Sumatera Utara mengeluarkan
kebijakan tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak
melalui Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004, pada 6
Juli 2004.
Dalam Peraturan Daerah ini, perdagangan perempuan dan anak didefinisikan
sebagai :
“Tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsurunsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan, perempuan atau anak dengan
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan,
penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau
penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan
dan anak”.
Kemudian dalam melakukan penghapusan perdagangan perempuan dan anak,
asas yang digunakan dalam Peraturan Daerah ini berupa penghormatan dan
pengakuan atas hak-hak dan martabat kemanusiaan yang sama dan
perlindungan hak-hak asasi perempuan dan anak. Sedangkan tujuan dari
peraturan daerah ini adalah untuk :

Melakukan pencegahan

Melakukan rehabilitasi dan reintegrasi perempuan dan anak korban
perdagangan
68
Dalam memberikan perlindungan kepada saksi dan/atau korban perdagangan,
peraturan
pemerintah
daerah
ini
memberikan
kabupaten/kota,
aparat
mandat
penegak
kepada
pemerintah
hukum,
lembaga
daerah,
swadaya
masyarakat yang memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan. Kemudian
setiap perempuan dan anak yang menjadi korban perdagangan berhak
mendapat bantuan hukum dari Gugus Tugas.
Untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban,
mandat yang diberikan dalam peraturan daerah ini berupa :

Korban
perdagangan
perempuan
dan
anak
berhak
memperoleh
rehabilitasi baik fisik maupun psikis akibat perdagangan

Layanan dan fasilitas rehabilitasi meliputi layanan konseling psikologis,
medis, pendampingan hukum dan pendidikan ketrampilan keahlian atau
pendidikan alternatif

Korban perdagangan perempuan dan anak yang telah kembali pulih baik
fisik maupun psikis berhak untuk diintegrasikan atau dikembalikan kepada
lingkungan keluarga, masyarakat dan lembaga pendidikan bagi yang
masih berstatus sekolah

Pemenuhan hak reintegrasi korban perdagangan perempuan dan anak
dilakukan secara kerjasama dan kordinasi antar seluruh instansi sector
terkait pemerintah daerah, organisasi masyarakat, LSM dan pemerintah
kabupaten/kota tempat tinggal korban atau keluarga

Pelaksanaan
rehabilitasi
dan
reintegrasi
sosial
terhadap
korban
perdagangan perempuan dan anak akan ditetapkan lebih lanjut dengan
keputusan kepala daerah.
Lahirnya Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004 ini sebelum dikeluarkannya
Undang-Undang PTPPO, maka dalam mendefinisikan tentang perdagangan
manusia peraturan daerah ini lebih mengacu kepada defenisi yang ditetapkan
oleh Rencana Aksi Nasional 2003-2007. Disamping itu, lahirnya peraturan
69
daerah ini juga merupakan bagian dari mandat Rencana Aksi Nasional 20032007.
Setahun setelah ditetapkannya Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004, kemudian
lahir kebijakan Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan Perempuan
dan Anak 2005 – 2009 dan Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan
Perempuan dan Anak yang ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Sumatera
Utara No. 24 Tahun 2005, pada 22 November 2005. Dalam menjalankan
Rencana
Aksi Provinsi dan
Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan
Perempuan dan Anak, nilai yang dianut berupa :

Kepentingan terbaik untuk perempuan dan anak

Kemitraan

Non diskriminasi

Transparansi dan memiliki integritas serta komitmen yang tinggi

Profesional dan berkualitas

Partisipasi anak dan perempuan
Selama lima tahun, kegiatan yang dilakukan Rencana Aksi Provinsi ini dalam
menangani korban perdagangan anak untuk perlindungan hukum, pemulihan
dan reintegrasi berupa :

Penyusunan
pola
koordinasi
penanganan
korban
perdagangan
perempuan dan anak.

Memfasilitasi sistem pengaduan dan dukungan hukum yang mudah
diakses masyarakat.

Pelatihan implementasi perlindungan hukum terhadap perempuan dan
anak korban trafiking bagi aparat pemerintah, dan aparat penegak hukum,
LSM dan organisasi sosial lainnya.

Memperkuat system layanan emergency (DIC) yang ada di Pusat Pelayan
Terpadu Rumah Sakit Bhayangkara Kepolisian

Memperkuat pusat layanan (shelter/rumah aman) bagi korban trafiking.

Memfasilitasi penyusunan SOP penanganan korban trafiking.
70

Melakukan investigasi dan monitoring kasus-kasus perdagangan

Melakukan pendampingan/ konseling terhadap korban dan keluarga.

Memfasilitasi pemulangan korban ke keluarga atau komunitas

Memfasilitasi pemberdayaan ekonomi keluarga dan atau korban sendiri

Melakukan pendampingan dan monitoring pasca reintegrasi korban
trafiking.

Menginventarisir lembaga/organisasi yang melakukan pendampingan dan
perlindungan korban perdagangan.

Memperkuat komunikasi dan koordinasi dengan lembaga-lembaga yang
melakukan pendampingan dan perlindungan korban perdagangan

Memperkuat
pemahaman
dan
empathy
masyarakat
dalam
menerima/reintegrasi korban perdagangan.

Melibatkan masyarakat/organisasi masyarakat dalam upaya reintegrasi
korban perdagangan.

Memfasilitasi peningkatan kemampuan anggota gugus tugas dalam
memberikan pelayanan terhadap korban trafiking.

Membangun
sistem
pertukaran
penanganan,
penyelamatan,
informasi
pemulangan
dan
dan
kerjasama
dalam
perlindungan
serta
perlindungan hukum bagi korban.
Agar Rencana Aksi Provinsi ini terlaksana, Gugus Tugas Penghapusan
Perdagangan Perempuan dan Anak diberikan mandat untuk menjamin
terlaksananya rencana aksi ini. Kemudian anggota Gugus Tugas Penghapusan
Perdagangan Perempuan dan Anak sebanyak 35 instansi dan organisasi.
Instansi dan organisasi tersebut, terdiri dari instansi pemerintah, penegak
hukum, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi
kemasyarakatan.
Rencana Aksi Provinsi 2005 - 2009 merupakan rencana aksi pertama pada
tingkat Provinsi Sumatera Utara dalam upaya penghapusan perdagangan
perempuan dan anak. Dari Rencana Aksi Provinsi ini, upaya dalam menangani
71
korban untuk perlindungan hukum dan pemulihan setidaknya ada empat hal
yang ingin dicapai dalam pelaksanaan rencana aksi selama lima tahun, dan
capaian tersebut berupa :

Meningkatnya
perlindungan
dan
rehabilitasi
korban
perdagangan
perempuan dan anak

Meningkatknya kerangka kerja hukum

Menguatnya
implementasi
dan
supremasi
hukum
bagi
korban
perdagangan perempuan dan anak

Menguatnya sistem perlindungan khusus bagi perempuan dan anak
korban trafiking
Kemudian upaya dalam penanganan korban untuk reintegrasi, capaian yang
diharapkan selama lima tahun dari rencana aksi ini berupa :

Meningkatnya upaya reintegrasi korban perdagangan ke keluarga
dan/atau komunitas sosial masyarakat

Menguatnya pola koordinasi dalam upaya reintegrasi korban

Meningkatnya peran serta masyarakat terhadap penerimaan korban
perdagangan
Sejak ditetapkannya Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun
2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, dan
kemudian diikuti oleh Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan
(Trafiking) Perempuan dan Anak yang ditetapkan melalui Peraturan Gubernur
Sumatera Utara No. 24 Tahun 2005. Dalam perkembangannya, untuk
pelaksanaan dalam melindungi dan memenuhi hak korban perdagangan anak
atas perlindungan hukum, pemulihan dan reintegrasi masih banyak mengalami
persoalan, dan persoalan tersebut berupa :

Belum adanya persamaan persepsi antara penegak hukum dalam
pemahaman tentang penanganan tindak pidana perdagangan orang

Belum efektifnya pemberian bantuan hukum dan pendampingan korban
72

Lemahnya penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana perdagangan
orang

Lemahnya koordinasi gugus tugas dalam perlindungan hukum rehabilitasi
kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial

Belum optimalnya rumah penampungan sementara sebagai tempat
pelayanan terpadu bagi korban baik dari sisi kualitas dan kuantitas

Keterbatasan sumber daya manusia dalam hal rehabilitasi kesehatan,
mental dan sosial yang bisa diakses oleh korban

Belum adanya standar operasional umum untuk penanganan anak korban
perdagangan yang dimiliki oleh Provinsi Sumatera Utara

Kurangnya sarana/prasarana yang memadai dalam pemulihan fisik dan
psikis korban

Belum adanya shelter/rumah aman bagi korban di Provinsi Sumatera
Utara

Belum optimalnya pemulangan korban antar wilayah/daerah

Lemahnya program reintegrasi sosial korban sehingga korban yang sudah
dipulangkan diperdagangkan kembali

Kurangnya pembinaan life skill dan vocational training bagi korban

Korban yang dipulangkan ke daerah menjadi korban kembali karena
kurangnya kegiatan pendukung di daerah

Masih lemahnya sistem rehabilitasi, reintegrasi dan pemulangan korban

Terbatasnya kapasitas sumber daya manusia anggota gugus tugas dalam
memberikan pelayanan pada korban

Belum semua SKPD memahami tentang gender, hak anak dan
pemberdayaan perempuan dan anak sehingga sulit dalam melakukan
koordinasi dalam penanganan korban
Untuk mengatasi berbagai persoalan dalam menangani korban perdagangan
anak, upaya yang dilakukan oleh Provinsi Sumatera Utara adalah dengan
menetapkan
Rencana
Aksi
Provinsi
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Perdagangan Orang 2010 - 2015 melalui Peraturan Gubernur Sumatera Utara
73
No. 53 Tahun 2010, pada 21 September 2010. Rencana Aksi Provinsi ini
merupakan rencana aksi kedua dalam upaya memerangi perdagangan manusia
di Provinsi Sumatera Utara. Kemudian program yang akan dilakukan Rencana
Aksi Provinsi ini berupa:

Pencegahan
dan
partisipasi,
sebagai
penanggung
jawab
Dinas
Pendidikan Provinsi Sumatera Utara

Rehabilitasi kesehatan, sosial, pemulangan dan reintegrasi, sebagai
penanggung jawab Dinas Kesehatan dan Dinas Kesejahteraan dan Sosial
Provinsi Sumatera Utara

Pengembangan norma hukum, perlindungan dan penegakan hukum,
sebagai penanggung jawab Biro Hukum Setda Provinsi Sumatera Utara,
Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, Kepolisian Daerah
Sumatera Utara

Koordinasi
dan
kerjasama,
sebagai
penanggung
jawab
Biro
Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana Setda
Provinsi Sumatera Utara.
Sedangkan kegiatan untuk melindungi dan memenuhi hak korban perdagangan
anak atas perlindungan hukum, rehabilitasi dan reintegrasi, selama lima tahun
dalam Rencana Aksi Provinsi ini berupa :
Perlindungan hukum

Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan tindak pidana perdagangan orang secara kontiniu

Mengoptimalisasi rumah aman/sementara yang sudah ada seperti
P2TP2A, DIC/WCC dengan standart hak asasi manusia

Mendorong dan memfasilitasi kabupaten/kota untuk memiliki rumah aman
dengan standar hak asasi manusia

Pertemuan koordinasi rutin dalam management penanganan kasus

Memastikan perempuan dan anak korban perdagangan mendapat
bantuan hukum dan pendampingan serta perlindungan sebagai saksi
74

Penindakan dan penghukuman berat bagi perekrut dan pemakai anak
yang diperdagangkan

Penegakan hukum pada korban dan pelaku
Rehabilitas dan reintegrasi

Pelatihan penanganan korban bagi tenaga medis, psikologi, psikiater dan
pekerja sosial

Finalisasi dan mengesahkan draft standar operasional prosedur umum
penanganan anak korban perdagangan

Mensosialisasikan
dan
melatih
pemangku
kepentingan
dalam
menggunakan standar operasional prosedur

Meningkatkan cakupan pelayanan di rumah sakit dan puskesmas yang
menangani korban di provinsi dan kabupaten/kota

Menjalin kerjasama dengan fakultas psikologi dan biro konsultasi psikis

Peningkatan
mutu
sarana/prasarana
pelayanan
kesehatan
untuk
penanganan korban

Memfasilitasi dan mensupervisi kabupaten/kota dalam menyediakan
shelter/rumah aman bagi korban

Merujuk korban pada tahap kontak awal dan penanganan lanjutan di
rumah aman/sementara seperti DIC, P2TP2A, WCC, BP3TKI yang ada
sebagai lembaga rujukan korban

Peningkatan
kapasitas
pengelolaan
dan
melengkapi
sarana
dan
prasarana yang ada di rumah aman dan shelter bagi korban

Menyediakan anggaran pemulangan bagi korban sesuai kebutuhan

Mengembangkan kegiatan pengembangan usaha ekonomi produktif bagi
korban dan keluarganya

Pelatihan life skill dan vocational training bagi korban

Membantu/memfasilitasi korban yang telah mendapatkan vocational
training untuk magang
75

Pengembangan program pemberdayaan ekonomi dan peningkatan
aksessibilitas terhadap pendidikan (formal dan nonformal) bagi korban
dan keluarga miskin di daerah pengirim

Meningkatkan
koordinasi
antar
provinsi,
kabupaten/kota
untuk
pemulangan korban

Membangun koordinasi antar dinas/instansi terkait untuk reintegrasi sosial
Dari berbagai kegiatan yang akan dilakukan dalam Rencana Aksi Provinsi ini
untuk perlindungan hukum bagi korban perdagangan anak setidaknya ada tiga
hal yang ingin dicapai selama lima tahun, dan capaian tersebut berupa :

Terwujudnya perlindungan hukum dan perlindungan khusus bagi saksi
dan/atau korban

Terimplementasinya supremasi hukum yang memenuhi rasa keadilan bagi
korban

Percepatan penyelesaian dalam penanganan kasus tindak pidana
perdagangan orang
Sedangkan capaian untuk rehabilitasi dan reintegrasi bagi korban perdagangan
anak selama lima tahun berupa :

Terlaksananya sistem pelayanan kesehatan dasar dan rujukan bagi
korban

Teridentifikasinya korban yang mendapatkan rehabilitasi kesehatan dan
sosial di Provinsi Sumatera Utara

Terlaksananya layanan rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi
korban berdasarkan standar pelayanan minimal terpadu bagi saksi
dan/atau korban

Terlaksananya koordinasi antar daerah yang melandasi proses rehabilitasi
kesehatan, sosial, pemulangan dan reintegrasi korban
Pada waktu yang bersamaan juga ditetapkan Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Provinsi Sumatera Utara,
76
melalui Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 54 Tahun 2010, pada 21
September 2010. Pembentukan Gugus Tugas ini adalah untuk menjamin
terlaksananya
Rencana
Aksi
Provinsi
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Perdagangan Orang, dengan tugas :

Mengkoordinasikan pelaksanaan upaya pencegahan dan penanganan
tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh Pemerintah
Daerah dan masyarakat sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dan/atau
peran dan tanggung jawab masing-masing

Melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan dan kerjasama, baik
kerjasama nasional, provinsi dan kabupaten/kota

Memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban yang
meliputi rehabilitasi, pemulangan dan reintegrasi sosial

Memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum

Melaporkan dan melakukan evaluasi perkembangan pelaksanaan upaya
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang kepada Gubernur
Sedangkan untuk anggota Gugus Tugas ini merupakan wakil-wakil dari unsur
pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi perempuan, organisasi profesi dan peneliti/akademisi.
Kemudian
dalam
pelaksanaan
tugasnya,
Gugus
Tugas
Gugus
Tugas
Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Provinsi
Sumatera Utara ini dibagi menjadi empat sub bidang gugus tugas beserta
penanggung jawabnya. Keempat sub bidang gugus tugas tersebut terdiri dari :

Sub Gugus Tugas Bidang Pencegahan
dan
Partisipasi sebagai
penanggung jawab adalah Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara

Sub Gugus Tugas Bidang Rehabilitasi Kesehatan, Sosial, Pemulangan
dan Reintegrasi sebagai penanggung jawab adalah Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Utara dan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi
Sumatera Utara

Sub Gugus Tugas Bidang Pengembangan Norma Hukum, Perlindungan
dan Penegakan Hukum sebagai penanggung jawab adalah Biro Hukum
77
Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara, Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara dan Kepolisian Daerah
Sumatera Utara

Sub
Gugus
Tugas
Bidang
Koordinasi
dan
Kerjasama
sebagai
penanggung jawab adalah Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak dan
Keluarga Berencana Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara
Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, bahwa
dalam menjamin terlaksananya Rencana Aksi Nasional tersebut di daerah
dilakukan oleh Gugus Tugas Daerah, yang dibentuk melalui Keputusan
Gubernur untuk tingkat Provinsi dan Keputusan Bupati/Walikota untuk tingkat
Kabupaten/Kota.
Untuk Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2006, telah membentuk Gugus
Tugas Pencegahan dan Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak,
dengan Surat Keputusan Bupati No. 1086 Tahun 2006 Tentang Pembentukan
Ke Anggotaan Gugus Tugas Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan
(Trafiking) Perempuan dan Anak (RAN P3A) di Kabupaten Deli Serdang. Pada
awal pembentukan Gugus Tugas berada dibawah tanggungjawab Sekretaris
Daerah. Kemudian pada tahun 2008 Gugus Tugas untuk Pencegahan dan
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak dialihkan ke Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (Badan PP dan KB), dan
sekaligus Badan PP dan KB menjadi focal point dalam pencegahan dan
penghapusan perdagangan perempuan dan anak di tingkat Kabupaten Deli
Serdang.
Setelah dialihkan untuk penanggungjawab dalam menjalankan Gugus Tugas dari
Sekretaris Daerah ke Badan PP dan KB, belum pernah melakukan pertemuan
dengan stakeholders yang terlibat dalam Gugus Tugas untuk membuat satu
mekanisme dalam melakukan penanganan korban perdagangan perempuan dan
78
anak. Sehingga dalam pelaksanannya fungsi koordinasi tidak berjalan dengan
baik. Instansi yang berada di struktur Gugus Tugas tidak memahami fungsi dan
perannya sehingga terlihat seperti berjalan sendiri-sendiri dalam melakukan
penanganan korban. Ini dapat dilihat ketika dalam penanganan korban
perdagangan anak, Badan PP dan KB selalu mengungkapkan tidak adanya
anggaran untuk pelayanan kepada korban, dimana sebenarnya anggaran
pelayanan untuk korban ada pada instansi terkait yang berada pada struktur
Gugus Tugas. Karena tidak adanya sistem koordinasi yang dibangun sehingga
terkesan bahwa tidak tersedianya anggaran untuk penanganan korban
perdagangan anak.
Selain belum berfungsinya Gugus Tugas, Kabupaten Deli Serdang juga belum
mempunyai Rencana Aksi Daerah untuk pencegahan dan penghapusan
perdagangan perempuan dan anak. Sehingga untuk alokasi anggaran
penanganan korban tidak bisa di masukan dalam APBD. Namun di beberapa
instansi atau SKPD ada alokasi anggaran walau tidak secara spesifik
menyebutkan bahwa anggaran tersebut untuk melakukan penanganan korban
perdagangan perempuan dan anak. Misalnya di Dinas Sosial ada anggaran yang
bisa di akses oleh korban yaitu dana pemulangan dan proses reintegrasi untuk
korban baik dari maupun luar Provinsi Sumatera Utara. Di Dinas Pendidikan ada
anggaran untuk melakukan pencegahan perdagangan anak, di Rumah Sakit
yang dirujuk oleh Pemerintah Kabupaten/Kota ada menyediakan layanan
kesehatan baik untuk kesehatan fisik maupun psikis. Persoalannya selama ini
tidak terkordinasi dengan baik, sehingga cenderung berjalan sendiri-sendiri.
Dalam SK Bupati No. 1086 Tahun 2006 tentang Pembentukan Keanggotaan
Gugus Tugas Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan
dan Anak di Kabupaten Deli Serdang, bahwa fungsi dari Gugus Tugas tersebut
adalah :

Mengawasi perusahaan-perusahaan atau tempat kerja dari kemungkinan
terjadinya praktek trafiking perempuan dan anak;
79

Menerima dan menindak lanjuti terhadap setiap laporan adanya praktek
trafiking perempuan dan anak;

Mengadvokasi setiap tenaga kerja perempuan yang mengalami trafiking di
perusahaan atau tempat kerja yang berada di wilayah Kabupaten sesuai
hukum serta menempatkan korban dalam pusat rehabilitasi perempuan
korban trafiking;

Mengadakan tuntutan hukum untuk dan atas nama perempuan korban
trafiking terhadap perusahaan dan atau tempat kerja serta PJTKI dan
perantara pencari kerja yang turut bertanggungjawab dalam penyaluran di
perusahaan dan atau tempat kerja yang mempraktekan trafiking.
Dari fungsi Gugus Tugas yang ada di SK Bupati tersebut, secara jelas bahwa
SKPD atau instansi yang menjadi anggota Gugus Tugas tersebut secara garis
besar belum memahami tentang perdagangan perempuan dan anak. Selain itu,
persepsi Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuam dan Anak di
Kabupaten Deli Serdang masih berorientasi bahwa perdagangan perempuan
dan anak identik dengan TKI. Sehingga dalam SK tersebut tidak menjabarkan
bagaimana penanganan terhadap anak yang menjadi korban perdagangan.
Kemudian melalui Surat Keputusan Bupati Deli Serdang No. 1507 Tahun 2009
dibentuk Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A). Walau dalam cakupan tugasnya P2TP2A tidak saja melayani dan
melindungi
korban
perdagangan
perempuan
dan
anak,
tetapi
dalam
pelaksanaannya P2TP2A Kabupaten Deli Serdang hampir 95 % kasus yang
ditangani adalah kekerasan terhadap perempuan atau KDRT. Hal ini dapat
dilihat dengan banyaknya kasus yang di tangani, misalnya dari bulan Januari Desember 2011 ada 255 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang
ditangani, namun dari 255 kasus tersebut hanya 5 kasus perdagangan anak.
Sedikitnya penanganan terhadap kasus perdagangan anak karena minimnya
sosialisasi tentang perdagangan anak dan pemahaman aparatur pemerintah
80
sendiri tidak sama dalam memahami tentang perdagangan anak, sehingga
dalam penanganan kasus sering kali terjadi salah persepsi.
Peran masing-masing institusi dalam melakukan perlindungan hukum, pemulihan
dan reintegrasi bagi korban perdagangan anak di Kabupaten Deli Serdang tidak
berjalan secara maksimal. Seperti yang dilakukan oleh P2TP2A, dimana peran
yang paling banyak dilakukan berupa :

Membantu korban untuk mengembalikan rasa percaya diri

Membantu korban dalam mengambil keputusan untuk dirinya sendiri

Memberikan pelayanan yang bersifat psikososial

Memberikan pembelaan secara hukum
Namun secara koordinasi bagaimana melakukan rehabilitasi dan rintegrasi
sosial, serta pemulangan belum berjalan. Misalnya, korban perdagangan anak
membutuhkan bantuan untuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial, sementara
program dan pos anggaran untuk bantuan tersebut ada pada Dinas Sosial, tetapi
karena Gugus Tugas tidak berjalan maka korban tidak mendapatkan bantuan
tersebut, sedangkan petugas P2TP2A sendiri tidak melakukan koordinasi
dengan Dinas Sosial. Sehingga terkesan bahwa di Kabupaten Deli Serdang tidak
mempunyai
anggaran
untuk
melakukan
penanganan
terhadap
korban
perdagangan anak.
Sejak dikeluarkannya SK Bupati No. 1086 tahun 2006 hingga saat ini Kabupaten
Deli Serdang belum memiliki Rencana Aksi Daerah untuk penanganan korban
perdagangan anak. Jika ada korban perdagangan anak di wilayah Kabupaten
Deli Serdang maka yang paling banyak berperan dalam melakukan perlindungan
hukum, pemulihan dan reintegrasi sosial adalah Lembaga Swadaya Masyarakat.
Selain itu, kelemahan pada SK Bupati tersebut dalam pembentukan Gugus
Tugas, bahwa tidak dimasukannya lembaga-lembaga yang fokus pada
perlindungan anak dan perdagangan manusia, sehingga tidak ada lembaga
81
pembanding untuk program-program atau rencana kerja yang akan dilakukan
oleh Gugus Tugas.
2.2.2. PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
Untuk menangani korban perdagangan manusia, Provinsi Nusa Tenggara Timur
telah mengeluarkan kebijakan mengenai Pencegahan dan Penanganan Korban
Perdagangan Orang yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah No. 14 Tahun
2008, pada 4 Juni 2008. Lahirnya Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara
Timur ini setahun setelah ditetapkannya undang-undang PTPPO.
Dalam mendefinisikan perdagangan manusia, peraturan daerah ini merujuk
kepada undang-undang PTPPO. Kemudian dalam pelaksanaan penanganan
korban perdagangan manusia berdasarkan asas kemanusiaan, kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keadilan, kepastian hukum,
kesetaraan gender, perlindungan korban, non diskriminasi dan keterpaduan.
Lahirnya peraturan daerah ini ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada
setiap anggota masyarakat dari upaya menjadikannya obyek komersial untuk
diperdagangkan. Sedangkan dalam penanganan korban perdagangan manusia,
tujuan dibentuknya peraturan daerah ini untuk melindungi hak asasi manusia
untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari segala bentuk perdagangan
orang, dan melakukan penanganan yang komprehensif terhadap korban demi
menyelamatkan
dan
memberikan
keadilan
sesuai
dengan
harkat
dan
martabatnya.
Dalam Peraturan Daerah ini, bentuk pelayanan dalam menangani korban
perdagangan manusia berupa rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan dan reintegrasi sosial. Dan untuk penyelenggaraan pelayanan ini
dilakukan di rumah perlindungan sosial daerah. Kemudian dalam peraturan
daerah ini memberikan mandat bahwa korban perdagangan manusia berhak
untuk mendapatkan :
82

Perlindungan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan

Pendampingan dalam semua proses penanganan

Pelayanan medis

Perlindungan
sosial
meliputi
masyarakat,
dihargai
dan
antara
lain
diberdayakan
diterima
sesuai
di
lingkungan
kebutuhan
dan
kemampuan.
Dalam memberikan perlindungan kepada saksi dan/atau korban perdagangan
manusia, mandat yang diberikan dalam peraturan daerah ini berupa :

Saksi dan/atau korban berhak mendapatkan perlindungan kerahasiaan
diri, identitas dan keluarganya, tempat tinggal dan tempat kerja dari suatu
publikasi untuk tidak disebarkan pada khalayak umum termasuk dari
petugas berwewenang, pers maupun terdakwa.

Hak diberikan juga kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai
dengan derajat kedua, apabila keluarga saksi dan/atau korban mendapat
ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan
keterangan saksi dan/atau korban
Kemudian dalam melindungi saksi dan/atau korban, peraturan daerah ini juga
memberikan mandat bahwa pemerintah daerah bekerjasama dengan kepolisian
daerah dalam melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau
korban perdagangan orang.
Dua tahun setelah ditetapkannya Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan
Penanganan Korban Perdagangan Orang, kemudian lahir kebijakan mengenai
Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) yang ditetapkan melalui
Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur No. 389/KEP/HK/2010, pada 2010.
Pelaksanaan Rencana Aksi Daerah ini selama lima tahun dari 2010 hingga 2014.
83
Dalam upaya memberikan perlindungan hukum, rehabilitasi dan reintegrasi,
kepada korban perdagangan manusia, kegiatan yang dilakukan selama lima
tahun dalam Rencana Aksi Daerah ini berupa :
Perlindungan hukum

Mereview peraturan daerah tentang pencatatan kelahiran, jaminan
kesejahteraan dan asuransi sosial, perlindungan TKI

Mendorong kabupaten/kota untuk membuat peraturan daerah yang
menindaklanjuti undang-undang PTPPO

Memperkuat sistem monitoring dan pengawasan penanganan kasus

Mengefektifkan layanan bantuan hukum korban sejak tahap identifikasi
Rehabilitasi dan reintegrasi

Meningkatkan pelayanan terhadap korban

Meningkatkan kapasistas sumber daya manusia untuk pelayanan
rehabilitasi kesehatan bagi korban

Mengembangkan
dan
menyediakan
sarana/prasarana
pelayanan
kesehatan untuk penanganan korban

Menyusun pedoman/standar layanan bagi korban

Meningkatkan kinerja layanan rehabilitasi sosial di rumah perlindungan
sosial/shelter/ rumah untuk korban dan fasilitas lainnya, dan memberikan
bantuan modal untuk meningkatkan kesejahteraan korban

Mengembangkan model penjangkauan dan rehabilitasi khusus korban

Meningkatkan koordinasi antar gugus tugas untuk pemulangan aman bagi
korban

Penjemputan korban di negara tempat bekerja

Membangun koordinasi antar dinas/instansi/lembaga untuk reintegrasi
sosial korban

Mendorong dan memfasilitasi adanya kerjasama antar daerah dalam
penanganan korban
84
Pada waktu yang bersamaan juga dibentuk Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan Korban Perdagangan Orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang
ditetapkan
melalui
Keputusan
Gubernur
Nusa
Tenggara
Timur
No.
389/KEP/HK/2010. Setahun kemudian, Gugus Tugas ini mengalami perubahan,
dan perubahan tersebut terjadi karena penambahan keanggotaan gugus tugas.
Kebijakan perubahan ini ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Nusa Tenggara
Timur No.190 /KEP/HK/2011, pada 18 Agustus 2011.
Keanggotaan Gugus Tugas ini merupakan wakil-wakil dari unsur pemerintah,
penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi perempuan, organisasi profesi dan peneliti/akademisi. Dalam
pelaksanaan tugasnya, Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Korban
Perdagangan Orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur dibagi menjadi enam sub
bidang gugus tugas beserta koordinatornya. Keenam sub bidang gugus tugas
tersebut terdiri dari :

Sub Gugus Tugas Pencegahan, sebagai koordinatornya Kepala Bidang
Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja pada Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Provinsi Nusa Tenggara Timur

Sub
Gugus
Tugas
Pengembangan
Norma
Hukum,
sebagai
koordinatornya Kepala Bidang HAM pada Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan HAM Provinsi Nusa Tenggara Timur

Sub Gugus Tugas Rehabilitasi Kesehatan, sebagai koordinatornya Kepala
Bidang Pelayanan Medis pada Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara
Timur

Sub Gugus Tugas Rehabilitasi Sosial, Pemulangan dan Reintegrasi,
sebagai koordinatornya Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial pada Dinas
Sosial Provinsi Nusa Tenggara Timur

Sub Gugus Tugas Penegakan Hukum, sebagai koordinatornya Kepala
Unit Trafficking dan People Smuggling Kepolisian Daerah Nusa Tenggara
Timur
85

Sub Gugus Tugas Kerjasama dan Koordinasi, sebagai koordinatornya
Kepala
Bagian
Pemberdayaan
Lembaga
Masyarakat
pada
Biro
Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Provinsi Nusa Tenggara
Timur
Untuk memerangi perdagangan manusia, upaya yang dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi Nusa Tenggara Timur setidaknya telah mengeluarkan tiga kebijakan,
satu kebijakan dalam bentuk peraturan daerah dan dua kebijakan dalam bentuk
keputusan gubernur. Dari ketiga kebijakan tersebut, misalnya Peraturan Daerah
mengenai Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang. Walau
pun dalam Peraturan Daerah ini menyebutkan tentang definisi anak dalam
ketentuan umum, namun dalam menangani korban perdagangan manusia
khususnya anak untuk rehabilitasi, reintegrasi dan pemulangan, peraturan
daerah ini belum memberikan aturan secara khusus dalam menanganinya. Jadi
peraturan daerah ini terkesan dalam menangani korban, menyamakan antara
korban dewasa dan korban anak. Tentu saja ini akan berdampak pada
implementasi dalam menangani korban anak untuk rehabilitasi, reintegrasi dan
pemulangan.
Kemudian dalam Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak, rumusan masalah dalam
penanganan korban perdagangan anak untuk perlindungan hukum, rehabilitasi
dan reintegrasi belum teridentifikasi. Begitu juga dalam Gugus Tugas
Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang yang tidak
mencantumkan sub gugus tugas bidang partisipasi anak.
Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan daerah pengirim (sending area) dan
daerah transit tenaga kerja non formal yang dikirim keluar negeri dengan 5 (lima)
negara tujuan terbesar yakni Malaysia, Singapura, Hongkong, Arab Saudi dan
Thailand. Dengan pendidikan yang minim, identitas dipalsukan, keterampilan
yang rendah, terjerat hutang, dibujuk teman, difasilitasi orang-orang terdekat dan
86
dengan alasan lainnya banyak anak-anak yang rentan terhadap perdagangan.
Walaupun belum ada lembaga khusus yang menyediakan data tentang kasus
perdagangan anak secara lengkap di Nusa Tenggara Timur, tetapi lembagalembaga dan instansi yang bekerja untuk isu ini mengetahui dan (mungkin)
mendokumentasikan kasus ini.
Sejak disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), setahun kemudian Pemerintah
Nusa Tenggara Timur mensahkan Peraturan Daerah (Perda) No. 14 Tahun 2008
Tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang. Untuk
merespon Perda tersebut, kemudian dibentuk Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan Korban Perdagangan Orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur
melalui Surat Keputusan Gubernur No. 389/KEP/HK/2010 dan diperbaharui lagi
melalui Surat Keputusan Gubernur No. 190/KEP/HK/2011. Aktivitas yang
dilakukan oleh Gugus Tugas paska dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur
tersebut adalah seminar, lokakarya, rapat koordinasi dan pembentukan badan
pengawas Gugus Tugas di bandara dan pelabuhan.
Walaupun sudah ada Gugus Tugas namun hasil yang diharapkan belumlah
optimal, dimana dalam melakukan penanganan masih berjalan sendiri-sendiri.
Hal ini dibuktikan dengan tidak semua kasus perdagangan anak dikoordinasikan
antar anggota dan tidak semua anggota tahu tentang kasus-kasus perdagangan
anak. Misalnya data yang disampaikan oleh IOM tentang kasus perdagangan
manusia di Nusa Tenggara Timur tidak diketahui dengan baik oleh anggota
Gugus Tugas.
Dengan melihat struktur Gugus Tugas yang terdiri dari orang-orang kunci di
Nusa Tenggara Timur dan jumlah instansi atau pun dinas yang cukup banyak,
seharusnya dapat meminimalisir persoalan perdagangan anak di Nusa Tenggara
Timur. Namun fakta membuktikan banyak sekali kasus-kasus perdagangan anak
yang terjadi di Nusa Tenggara Timur dan penyelasaian yang dilakukan masih
87
seperti pemadam kebakaran. Dimana ketika ada kasus perdagangan anak yang
terjadi di dalam maupun di luar negeri dan diberitakan oleh media secara besarbesaran baru di beri penanganan yang serius kepada korban.
2.2.3. PROVINSI JAWA TENGAH
Kebijakan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota mengenai perlindungan anak
kecenderungannya dilakukan bersamaan dengan perlindungan perempuan.
Upaya perlindungan anak dan perempuan yang sudah banyak dilakukan di
berbagai wilayah seperti pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) korban
kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Sebagai strategi untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak, dengan
harapan agar kondisi anak-anak lebih baik, beberapa kebijakan yang berkaitan
dengan perlindungan anak di Provinsi Jawa Tengah, antara lain :

Peraturan Gubernur Nomor 94 Tahun 2006 tentang Komite Aksi
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak

Peraturan Gubernur No 76 Tahun 2006 tentang Komisi Perlindungan
Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Tengah

Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Pekerja
Anak

Peraturan Gubernur No. 23 Tahun 2008 tentang Rencana Aksi
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak di Provinsi
Jawa Tengah

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Provinsi Jawa Tengah
Sebagai upaya untuk memerangi perdagangan orang, pada 14 September 2009
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mengeluarkan Peraturan Gubernur
(Pergub) No. 47 tentang Pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan Perdagangan Orang, yang kemudian diikuti oleh beberapa
kabupaten melalui Surat Keputusan Bupati.
88
Menurut Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga
Berencana (BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, beberapa kabupaten yang sudah
melaporkan tentang pembentukan Gugus Tugas Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang antara lain :
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Gugus Tugas
Kabupaten Grobogan
Kabupaten Jepara
Kabupaten Brebes
Kabupaten Klaten
Kabupaten Wonogiri
Kabupaten Kebumen
Kabupaten Wonosobo
Kabupaten Cilacap
Kabupaten Kudus
Kabupaten Karanganyar
Kota Semarang
Bentuk Kebijakan
SK Bupati No 300/363/2010
SK Bupati No 23/2011
SK Bupati No 260/456/2010
SK Bupati No 21/118/2010
SK Bupati 171/2011
SK Bupati 263/265/KEP/2011
SK Bupati 411/272/2011
SK Bupati 465.2/92/35/2010
Masih dalam proes
Masih dalam proses
Masih dalam proses
Tanggal Dikeluarkan
6 April 2012
21 Se[tember 2011
18 November 2010
18 Maret 2010
12 Mei 2011
11 Mei 2011
27 Juli 2011
22 Pebruari 2010
Sebagai implementasi Peraturan Gubernur No 47 tahun 2009, Pemerintah
Provinsi
Jawa
Tengah
sudah
mengeluarkan
Rencana
Aksi
Daerah
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Provinsi Jawa Tengah untuk
tahun 2008 – 2013.
Dalam Rencana Aksi Daerah tersebut, walaupun tidak secara khusus
menyebutkan perlindungan terhadap hak anak, namun telah memasukan
perspektif hak anak dalam penanganan bagi anak yang diperdagangkan. Seperti
pada pasal 4 (6) yang berbunyi:
Mengintegrasikan perspektif gender dan hak anak pada seluruh rencana aksi
daerah pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Sebagai upaya untuk pemulihan korban, tersedianya rumah aman untuk bagi
anak yang diperdagangkan sangat dibutuhkan. Dalam pertemuan jaringan
mengusulkan rumah aman bagi korban perdagangan. Usulan tersebut sudah
disetujui pada APBD tahun 2012-2013 Pemerintah Provinsi Jawa Tengah
dengan menganggarkan 650 juta untuk pembagunan shelter atau rumah aman
yang khusus bagi korban perdagangan anak. Dengan demikian sudah ada
89
upaya Pemerintah Jawa Tengah memandang bahwa penanganan korban
perdagangan anak berbeda dengan korban kekerasan lainnya.
Penyedia layanan bagi korban perdagangan anak dilakukan oleh Pusat
Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi yang merupakan lembaga rujukan ketika ada
kasus baik kekerasan maupun perdagangan anak. Untuk kasus perdagangan
anak, korban dirujuk ke LSM untuk proses pendampingan baik untuk kebutuhan
psikologis sampai pendampingan proses hukum. Sedangkan untuk upaya
penjemputan biasanya dilakukan oleh Badan Pemberdayaan dan Perlindungan
Perempuan dan Anak serta Keluarga Berencana (BP3AKB) dan dinas terkait
seperti Dinas Sosial.
Untuk
proses
reintegrasi,
PPT
Provinsi
berkoordinasi
dengan
PPT
kabupaten/Kota, pada saat penjemputan korban langsung diantarkan ke daerah
asal. Kemudian proses reintegrasi dilakukan oleh kabupaten/kota setempat.
Memang ada kendala pada proses reintegrasi tersebut, karena tidak semua
daerah mempunyai PPT atau PPT yang sudah terbentuk tidak optimal karena
tidak tersedianya anggaran. Dibeberapa kabupaten anggaran yang disediakan
oleh APBD hanya sebesar 25 juta untuk penanganan korban.
Untuk solusi jangka panjang bagi korban sudah ada upaya dari Dinas Sosial
dengan memberikan modal dan keterampilan agar korban bisa mandiri.
Sayangnya belum ada mekanisme monitoring dalam mempersiapkan korban
apakah keterampilan atau modal yang diberikan dapat menjamin kemandirian
korban, sehingga ada kemungkinan anak kembali menjadi korban perdagangan.
Kemudian berdasarkan Peraturan Gubernur No. 47 tahun 2009, Rencana Aksi
Daerah dalam Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Anak di Jawa
Tengah memberikan mandat :
90

Penanganan kasus bagi anak yang diperdagangkan ditangani oleh PPT
Provinsi dan dikoordinasikan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan,
Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Jawa Tengah (BP3AKB).

Untuk Pelayanan Kesehatan dan bantuan psikolog PPT berkoordinasi
dengan Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang, Rumah Sakit
Umum Daerah Margono Soekarjo, Rumah Sakit Umum Daerah Moewardi
Surakarta, Rumah Sakit Jiwa Aminogondo Hutomo, Rumah Sakit
Bhayangkara.

Untuk pendampingan hukum berkoordinasi dengan LSM KJHAM dan LBH
Apik Semarang,

Sebagai dukungan psikologis dalam proses reintegrasi sosial korban
perdagangan anak didampingi oleh Yayasan Setara, KJHAM yang
berkoordinasi dengan Bapermas kota, dan PPT di tingkat kecamatan.

Sebagai proses pemulihan anak yang diperdagangkan berkoordinasi
dengan Dinas Sosial, Panti Sosial Adhi Karya Dinas Sosial dan Dinas
Pendidikan dalam mengupayakan pendidikan formal dan informal.
Di tingkat provinsi, pada 2010 - 2011 sudah dibuat Standar Pelayanan Minimum
(SPM) bagi korban perdagangan anak, tetapi dalam realisasinya ketika menjadi
Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan korban perdagangan anak
dijadikan satu dengan standar pelayanan bagi korban perdagangan orang.
Sedangkan di tingkat Kota Semarang belum ada kebijakan yang mengatur
mengenai perlindungan bagi korban perdagangan.
Untuk Provinsi Jawa Tengah dalam penanganan perlindungan hukum bagi
korban perdagangan anak masih sangat lemah, karena pihak Kepolisian Daerah
Jawa Tengah kurang pro aktif dalam penanganan kasus perdagangan anak.
Sebagai contoh pada saat penanganan kasus perdagangan anak di tahun 2011,
ada 3 anak korban perdagangan di Provinsi Bangka Belitung yang berasal dari
Semarang. Tetapi Kepolisian Daerah Jawa Tengah tidak memberikan akses bagi
Kepolisian
Daerah
Bangka
Belitung
untuk
membuatkan
surat
respon
91
penangkapan, sehingga Kepolisian Daerah Bangka Belitung tidak bisa
melakukan penangkapan.
Kemudian pada saat korban dimintai keterangan oleh Kepolisian, dimana korban
seharusnya didampingi oleh pihak pendamping yang ditunjuk dan/atau oleh
orang tua. Namun, terkadang Kepolisian baik Kepolisian Daerah maupun
Polrestabes Semarang tidak memperhitungkan keselamatan korban dan
keluarga, padahal perlu adanya jaminan perlindungan saksi dan/atau korban
beserta keluarganya.
Dalam menangani kasus perdagangan anak, juga kurang adanya koordinasi
lintas sektor terutama untuk aparat penegak hukum, dalam hal persepsi diantara
penegak hukum sendiri. Aparat penegak hukum masih mendefinisikan
perdagangan anak sesuai dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), dan semua unsur dalam pengertian
tersebut harus terpenuhi. Apabila tidak ada salah satu unsur maka tidak bisa
diproses secara hukum, dan hanya dikenakan undang-undang lain yang relevan
misalnya Undang-Undang Perlindungan Anak dan yang diambil adalah pasal
mempekerjakan anak, seperti kasus yang pernah didampingi yaitu pada tahun
2010. Ketika seorang anak diperdagangkan disuatu lokalisasi di Kota Semarang,
pelaku hanya dikenakan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Selain itu, ketika aparat penegak hukum sudah diberikan pelatihan mengenai
perdagangan anak untuk menyamakan persepsi, namun ada pergantian atau
mutasi pejabat, sehingga menyebabkan kurang pahamnya aparat yang
menduduki bagian penanganan perdagangan anak maupun perempuan. Pada
saat proses persidangan pun pelaku juga tidak dikenakan tuntutan yang tinggi,
maka itu pun juga akan berpengaruh pada putusan hakim.
Pada kasus perdagangan anak ini, banyak korban yang tidak tahu bahwa ketika
kasus masuk ke ranah hukum, korban punya hak untuk mengajukan restitusi
92
atau ganti rugi yang sudah diutarakan ketika proses di Kepolisian, namun hak itu
tidak disampaikan kepada pihak korban. Terkadang korban takut untuk
melaporkan kepada pihak yang berwajib karena korban dan keluarga mendapat
ancaman dari pelaku atau pelaku meneror korban dan keluarga, sehingga
korban enggan untuk melaporkan kasusnya pihak yang berwajib. Banyak sekali
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan perlindungan hukum dalam
penanganan korban perdagangan anak.
Selain persoalan perlindungan hukum juga ada persoalan yang berkaitan
dengan pemulihan bagi korban perdagangan anak yang ada di Provinsi Jawa
Tengah maupun yang ada di Kota Semarang sendiri. Persoalan ketika proses
pemulihan bagi korban memang butuh penanganan yang terkoordinatif dan
terintegrasi antar lintas sektor, baik pemerintah, organisasi sosial maupun LSM.
Kurangnya sumber daya manusia dalam upaya pemulihan bagi korban juga
menjadi kendala, ketika korban sudah dijemput dan dipulangkan ke provinsi asal,
korban membutuhkan untuk pemulihan psikologis, karena kurangnya tenaga
psikolog di Provinsi Jawa Tengah, menyebabkan korban hanya bisa dirujuk ke
rumah sakit, shelter atau rumah aman. Bahkan untuk Kota Semarang tidak
memiliki tenaga psikolog yang bisa menjadi rujukan, dan harus melalui Rumah
Sakit Umum Daerah Tugurejo yang sekarang sudah berganti nama menjadi RS
DR.Adyatma MPH, dimana rumah sakit ini yang juga menjadi rumah sakit
rujukan dan tergabung menjadi anggota PPT Provinsi Jawa Tengah.
Biasanya setelah selesai penjemputan korban yang dilakukan oleh pihak Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Keluarga Berencana
(BP3AKB)
Provinsi
Jawa
Tengah,
korban
diserahkan
kepada
pihak
kabupaten/kota tempat asal korban, dan jika tidak bisa menangani akan dirujuk
kembali kepada pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Hingga tahun 2012 belum
tersedianya rumah aman di Kota Semarang bagi korban perdagangan anak.
Ketika ada korban berasal dari kota Semarang, korban perdagangan anak
ditempatkan di shelter menjadi satu dengan korban kekerasan lainnya.
93
Pada proses reintegrasi sosial, masih banyak persoalan dan kendala. Persoalan
dalam proses reintegrasi sosial, ketika korban sudah dikembalikan ke rumah
oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam hal ini adalah BP3AKB Jawa
Tengah, ataupun Pemerintah kota Semarang, hanya sekedar dipulangkan
kemudian diberikan santunan dana bagi korban. Namun dana tersebut tidak
digunakan korban untuk kelangsungan hidup korban ataupun untuk kebutuhan
korban sendiri seperti keinginan untuk melanjutkan pendidikan formal maupun
non formal. Bahkan untuk kebutuhan pendidikan pun, terkendala dengan
otonomi daerah, sehingga korban banyak yang tidak bisa mengakses
pendidikan.
Dinas Pendidikan baik dari Kota Semarang maupun Provinsi Jawa Tengah
belum banyak berperan dalam proses reintegrasi bagi korban perdagangan
anak. Justru korban banyak yang dikeluarkan dari sekolah setelah mengetahui
korban adalah seorang korban perdagangan anak. Proses reintegrasi ini
memang membutuhkan
proses yang panjang,
karena harus disiapkan
lingkungan keluarga, dan masyarakat sekitar untuk menerima korban, dan
korban tidak diberikan stigma yang negatif oleh masyarakat. Provinsi Jawa
Tengah pernah memfaslitasi korban yang berasal dari Semarang, dimana
lingkungan sekitar korban tidak bisa menerima korban karena korban pernah
menjadi korban perdagangan anak untuk dipekerjakan di lokalisasi, dan
masyarakat beranggapan korban akan membawa dampak negatif bagi pemuda
maupun pemudi wilayah tersebut. Akhirnya Pemerintah Kota Semarang dan
Provinsi Jawa Tengah, mengadakan pertemuan dengan warga untuk membahas
persoalan ini, namun setelah itu tidak ada proses monitoring bagi korban.
Kurangnya tenaga ahli atau sumber daya manusia dalam penanganan
reintegrasi sosial korban juga menjadi persoalan, sehingga kasus-kasus
perdagangan anak selesai saat dipulangkan saja.
Kemudian kendala yang dialami pada saat proses reintegrasi korban adalah
korban mendapat cemooh dari lingkungan sekitar, dan didiskreditkan, sehingga
94
membuat korban sendiri tidak nyaman di lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini
diperlukan upaya kerjasama antara PPT Kabupaten/Kota dan masyarakat
setempat, untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap korban perdagangan
anak.
Disisi lain fungsi PPT Provinsi dan Gugus Tugas sama yaitu selain pelayanan
juga melakukan koordinasi, pemantauan dan pelaporan. Gugus Tugas yang
sudah dibentuk oleh Kabupaten/Kota tidak efektif dan tidak berjalan dikarenakan
setiap kabupaten/kota sudah membentuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT)
korban kekerasan bagi Perempuan dan Anak yang beranggotakan SKPD dan
LSM sehingga Gugus Tugas yang sudah dibentuk tersebut juga merupakan
anggota dari PPT. Sementara untuk penanganan kasus perdagangan anak di
tingkat kabupaten/kota tidak optimal dikarenakan tidak tersedianya anggaran dan
sumber daya manusia yang tidak memadai.
95
BAB III
INTERVENSI HUKUM DALAM MENANGANI KORBAN PERDAGANGAN
ANAK
Dalam menangani korban perdagangan anak, pada Januari 2010 Pemerintah
melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan
Kementerian Sosial telah menyatakan bahwa Panduan ASEAN dalam
Melindungi Hak-Hak Anak Yang Diperdagangkan yang disusun oleh Asia ACT
dan Indonesia ACT menjadi panduan nasional dan sebagai acuan dalam
melindungi anak-anak yang menjadi korban perdagangan di Indonesia.
Dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak korban perdagangan, dalam
panduan tersebut menyebutkan bahwa :

Setiap anak korban perdagangan berhak mendapatkan perlindungan
hukum dan pendampingan hukum

Anak yang diperdagangkan adalah korban dari pelanggaran HAM, mereka
tidak boleh diperlakukan sebagai pelanggar atau subjek, atau diancam
dengan sanksi kriminal atas tindakan pelanggaran yang terkait dengan
situasi mereka sebagai anak yang diperdagangkan

Akses terhadap kesejahteraan sosial dasar dan layanan dukungan tidak
boleh bergantung pada kemauan anak untuk bekerja sama dengan pihak
penegak hukum yang berwenang.
Kemudian dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (PTPPO), dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak korban
perdagangan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, disebutkan bahwa:

Dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan
yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas

Sidang untuk memeriksa korban anak dilakukan dalam sidang tertutup
96

Dalam pemeriksaan korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang
tua asuh, advokat, atau pendamping lainnya

Pemeriksaan terhadap korban anak dilaksanakan tanpa kehadiran
terdakwa

Pemeriksaan terhadap korban anak dapat dilakukan di luar sidang
pengadilan dengan perekaman atas persetujuan hakim
3.1. Kepolisian
Dalam memberikan perlindungan hukum dalam proses penyidikan bagi anak
korban perdagangan, Undang-Undang PTPPO menyebutkan bahwa di setiap
provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor
kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi
korban.
Untuk
mendukung
undang-undang
ini
kemudian
Kepolisian
mengeluarkan kebijakan mengenai Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan
Perempuan dan Anak (Unit PPA) di Lingkungan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dan kebijakan mengenai Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan
Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana.
Untuk proses penyidikan bagi anak korban perdagangan, di Kepolisian tingkat
Provinsi atau Kepolisian Daerah (Polda) memiliki satu sub tersendiri dibawah
Direktorat Reserse Kriminal Umum, yakni Sub Direktorat (Subdit) Remaja, Anak,
dan Wanita (Renakta). Subdit ini mulai melakukan penyidikan terhadap korban
perdagangan anak sejak lahirnya Peraturan Kapolri No. 10 tahun 2007 tentang
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA). Kemudian diperkuat dengan
Peraturan Kapolri No. 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan
Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, dan
Peraturan Kapolri No. 22 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja pada Tingkat Kepolisian Daerah. Kemudian pada Kepolisian tingkat
Kabupaten/Kota atau Kepolisian Resort (Polres) untuk penyidikan korban
perdagangan anak dilakukan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).
97
Petugas atau personil yang menangani korban perdagangan anak, baik di tingkat
Kepolisian Daerah dan Kepolisian Resort berjumlah 5 - 10 orang. Dalam
melakukan penyidikan kasus perdagangan anak, petugas diberikan pelatihan
khusus. Pelatihan ini diberikan oleh lembaga kepolisian, The Jakarta Centre for
Law Enforcement Cooperation (JCLEC), International Organization for Migration
(IOM), dan LSM. Sejak lahirnya Undang-Undang PTPPO banyak pelatihan yang
diikuti yang berkaitan dengan penanganan kasus perdagangan anak.
Dari hasil wawancara dengan Kepolisian Daerah dan Resort di Provinsi
Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur dan Jawa Tengah, tidak semua kasus
perdagangan anak yang ditangani diajukan ke pengadilan. Penyebab utama
tidak diajukannya kasus perdagangan anak ke pengadilan tersebut karena alat
bukti yang kurang, korban tidak merasa dirugikan, dan korban lari shelter.
Kemudian untuk menentukan kasus perdagangan anak diajukan ke pengadilan
didasarkan pada kecukupan alat bukti dan unsur perdagangan orang yang
tertera pada Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO. Dalam
penanganan kasus perdagangan anak tetap menggunakan undang-undang
PTPPO, meskipun untuk anak tidak ada cara, namun jika diketahui itu untuk
tujuan eksploitasi maka hal itu bisa dikenakan undang-undang PTPPO. Dan
untuk kasus perdagangan manusia memang tak bisa main-main, kalau cukup
bukti harus diajukan ke pengadilan.
Dalam melakukan penyidikan kasus perdagangan anak, Polisi sendiri mengakui
masih memiliki kendala terutama pada minimnya dana dan peralatan yang
dimiliki oleh institusi kepolisian. Sedangkan untuk personil dan keahlian dalam
melakukan penyidikan kasus perdagangan anak sudah memadai, karena sudah
banyak mengikuti pelatihan dan seminar yang dilakukan oleh institusi Kepolisian
sendiri maupun di luar institusi Kepolisian. Khusus untuk personil di Renakta dan
unit PPA harus memiliki kualifikasi dan mampu menyidik anak, dan yang jelas
harus memiliki kemampuan lebih dari polisi umum.
98
Dalam menanggapi kasus perdagangan anak, polisi terkadang pro aktif dan
terkadang tergantung laporan yang masuk dari masyarakat, bahkan terkadang
tergantung dana dan peralatan sehingga lebih banyak menunggu laporan. Polisi
juga banyak melakukan penangkapan pelaku dengan informasi dari masyarakat,
namun penangkapan dengan informasi dari masyarakat mengalami kesulitan di
tingkat penuntutan di Kejaksaan. Alasannya mengapa Polisi sibuk mencari dan
membongkar kasus trafiking, sementara korbannya tidak berkenan kasusnya
dinaikkan. Sementara kasus trafiking meluas di masyarakat, tapi korbannya
sendiri mempersulit penyidikan kasusnya, sehingga mempersulit Polisi di tingkat
Kejaksaan. Kemudian ada infomasi dari surat kabar tentang kasus trafiking,
setelah di datangi ke lokasi namun korbannya sendiri tidak mau melaporkan
dengan alasan karena persoalan biaya, transportasinya jauh, tidak memiliki
waktu. Dan ini merupakan hambatan dalam menanggapi kasus perdagangan
anak.
Dalam memahami tentang kasus perdagangan manusia diantara penegak
hukum seperti Jaksa dan Hakim, Polisi sendiri mengakui masih kurang. Kalau
Polisi kasus tindak pidana perdagangan orang itu adalah delik murni. Jadi ada
tidak adanya pengaduan, selaku Polisi harus melakukan tindakan. Tetapi ketika
Polisi menanggapi pengaduan dari masyarakat belum tentu Kejaksaan bisa
menerima, dengan alasan banyak faktor-faktor dan unsurnya tidak terpenuhi,
seperti “posisi rentan”. Karena undang-undang PTPPO tidak mengenal umur dan
tidak hanya anak serta tidak dibatasi. Sehingga kalau seseorang berumur 23
tahun kalau diperdagangkan oleh mucikari otomatis itu adalah perdagangan
orang, tetapi sering tidak dapat diajukan, malah nanti di tingkat Kejaksaan jadi
pasal 296 KUHP tentang mata pencaharian jadinya, dan itu sering diterapkan.
Prinsip Kepolisian jika ada informasi dari masyarakat, misalnya si A kerjanya
memperdagangkan orang, dengan mendapat dan menerima imbalan dari
kegiatan tersebut. Tetapi ketika dinaikkan kasus tersebut dianggap kurang alat
bukti karena korban bukan “posisi rentan”. Untuk membuktikan korban “posisi
99
rentan” modus operandi ada di undang-undang PTPPO, dan itu hingga sekarang
belum ada penjelasan yang mana dimaksud “posisi rentan”. Misalnya nanti
jikalau ada pelatihan atau seminar tolong coba tanyakan kepada Kejaksaan,
apakah seseorang yang memperdagangkan orang yang berusia 23 tahun,
kemudian pelaku menerima uang dari tindakan perdagangan tersebut, apakah
itu tidak trafiking? Cuma posisi korban tidak rentan, dan modus operandinya
dengan bujuk rayu dan iming-iming. Jadi kalau korban berusia 23 tahun dan bisa
menentukan baik dan buruk, tetapi dia melacurkan diri apakah si A itu melakukan
perdagangan orang?
Kalau korban perdagangan manusia adalah anak, Polisi mengakui masih bisa
sejalan dengan Jaksa, dimana Jaksa selalu memberikan dukungan dan
membantu untuk melengkapi kekurangan dalam pemberkasan perkara. Misalnya
jika salah satu unsur tidak terpenuhi maka diambil pasal yang sesuai dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak. Termasuk juga pengadilan yang pro
terhadap anak korban perdagangan. Kemudian yang menjadi kendala adalah
ketika Jaksa dan Hakim meminta saksi petunjuk, yakni saksi yang mendengar
langsung dan melihat langsung.
Untuk memulai penyidikan kasus perdagangan anak, pedoman yang digunakan
Polisi adalah undang-undang PTPPO, undang-undang Perlindungan Anak, dan
KUHP. Sedangkan untuk mengidentifikasi korban perdagangan anak adalah
dengan menanyakan usia korban, proses terjadinya tindak pidana perdagangan
orang dan tujuannya, dokumen seperti ijazah dan akte, serta dengan melakukan
visum.
Semua kasus perdagangan anak ditanggapi termasuk laporan dari LSM, orang
tua, dan institusi lain, apalagi kalau korban memberikan dukungan dan
kooperatif. Jikalau pada tingkat Polsek kurang ditanggapi maka bisa memberikan
informasi atau laporan ke tingkat Polres atau pun Polda. Walaupun demikian
dalam menanggapi informasi dan laporan tentang kasus perdagangan anak,
100
Polisi mengakui masih terganjal dengan beberapa kendala seperti tempat yang
jauh, minimnya dana dan peralatan, pembuktian yang sulit karena belum
memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang.
Dalam memproses kasus perdagangan anak dari penyidikan ke penuntutan,
langkah-langkah yang dilakukan Polisi berupa :

Penyelidikan

Observasi

Mendapatkan informasi

Kalau ternyata merupakan tindak pidana perdagangan orang maka
dilanjutkan ke tingkat penyidikan

Pemeriksaan terhadap barang bukti dan apabila telah memenuhi unsur
maka dinaikkan ke Kejaksaan
Kemudian kalau korban anak perlu direhabilitasi maka dilakukan rehabilitasi dan
bekerjasama dengan Pemerintah Daerah atau LSM, dengan disediakan shelter
atau tempat penampungan. Yang jelas korban anak harus direhabilitasi, baik fisik
maupun
psikisnya.
Begitu
juga
kalau
korban
anak mau
dipulangkan,
bekerjasama dengan Pemerintah Daerah atau LSM, karena Kepolisian tidak
punya anggaran untuk itu. Untuk rehabilitasi dan reintegrasi bukan wilayahnya
Kepolisian, jadi kami tidak punya anggaran untuk itu. Sedangkan lembaga atau
institusi yang biasanya terlibat untuk proses ini adalah:

Biro Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Dinas Sosial

Dinas Kesehatan

BP3TKI

LPA

LSM Anak dan Perempuan
Untuk memastikan bahwa anak sebagai korban dilindungi dari penyidikan hingga
penuntutan, langkah-langkah yang dilakukan Polisi berupa :
101

Menjaga
kerahasiaan
korban
dengan
tidak
menceriterakan
hasil
pemeriksaan kepada orang lain

Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam penyediaan shelter bagi
korban, dan jika tidak ada shelter maka korban akan ditempatkan di mess
Polwan

Tidak diekspos ke media dan menghindari korban dari wartawan
Kemudian kalau korban tidak punya keluarga dicarikan tempat perlindungan
korban, apakah di instansi pemerintah atau di LSM. Disamping itu, korban
jangan sampai diintimidasi tersangka atau keluarga tersangka, dan korban juga
harus didampingi hingga di sidang pengadilan. Inilah proses yang dilakukan
untuk melindungi anak sebagai korban. Kemudian untuk melindungi hak privasi
dan kerahasiaan korban dilakukan sesuai dengan undang-undang pengadilan
anak. Selain itu kesaksian korban dilindungi, nama dan alamat korban tidak
diekspos, tidak diekspos ke media dan pengambilan foto, dan diusahakan yang
melakukan penyidikan terhadap korban adalah yang berjenis kelamin yang sama
dengan korban.
Dalam proses penyidikan, Polisi juga berbagi informasi dengan institusi penegak
hukum lainnya yakni Kejaksaan dalam hal konsultasi tentang perkara.
Sementara untuk proses penyidikan Jaksa tidak pernah terlibat dan hanya
menerima berkas perkara, dan setelah berkas perkara diserahkan ke Jaksa baru
mereka bergerak. Selain itu hingga saat ini belum adanya semacam MoU antara
Kepolisian dan Kejaksaan dalam menangani perkara trafiking, dan ini berdampak
pada tidak adanya koordinasi yang baik dalam menangani perkara. Sehingga
sering tidak adanya kesepemahaman antara Kepolisian dan Kejaksaan,
misalnya untuk persoalan “posisi rentan”, dan Jaksa menganggap delik belum
terpenuhi, sementara dalam undang-undang hal tersebut tidak relevan, karena
memang tidak menggunakan KUHP. Akibatnya Kejaksaan menganggap berkas
belum lengkap atau P19 dan dikembalikan ke Kepolisian.
102
Dari persoalan ini juga sebenarnya bisa akan berdampak pada terhentinya kasus
dugaan perdagangan anak, karena Jaksa menganggap tidak memenuhi unsur
pasal yang diterapkan dan tidak terpenuhi unsur perdagangan orang. Selain itu,
kurangnya kesepemahaman dalam penyajian bukti dan kesaksian, dimana tidak
cukup dari satu saja, karena untuk bukti dan saksi Jaksa masih berpedoman
pada KUHP.
Dalam masalah perdagangan anak, Polisi juga bekerjasama dengan institusi
atau lembaga lain seperti dengan polisi pada unit Binmas untuk sosialisasi ke
masyarakat. Dengan Imigrasi untuk pengecekan rekomendasi, dengan Jaksa
dalam penyidikan kasus, dengan LSM dalam penyediaan pendamping dan
shelter, dengan masyarakat atau pun komunitas dalam hal saling berbagi
informasi tentang kasus dan sosialisasi tentang masalah perdagangan anak.
Sedangkan dengan pengadilan atau Hakim belum pernah bekerjasama dan
setiap vonis yang dijatuhkan oleh Hakim untuk pelaku perdagangan anak tidak
pernah ditembuskan ke Kepolisian.
Kemudian menurut Kepolisian untuk penanganan kasus perdagangan anak
kerjasama yang perlu ditingkatkan antar institusi atau lembaga adalah :

Dalam penyidikan kasus, Jaksa harus menerima dan menggunakan
undang-undang PTPPO selain KUHP

Memperkuat komitmen aparat penegak hukum dan perangkat di
pemerintahan hingga ke desa.

Sosialisasi ke unsur kunci yang ada di masyarakat untuk mencegah dan
menangani perdagangan anak

Pemerintah daerah harus mengalokasikan dana untuk penanganan
korban perdagangan

Untuk di Gugus Tugas trafiking perlu untuk mencantumkan nama dan
jabatan personil yang bertanggung-jawab di Gugus Tugas, jadi tidak
lembaganya saja misalnya Polda atau Polres
103
Sementara hubungan dengan masyarakat dalam menangani kasus perdagangan
anak, Polisi mengungkapkan bahwa jika ada informasi langsung di laporkan, dan
masyarakat merupakan sebagai mitra untuk memberikan informasi terkait
dengan perdagangan anak dan mereka dapat menjadi corong informasi bagi
anggota masyarakat lain yang belum mengetahui tentang perdagangan anak.
Disisi lain ada masyarakat biasanya keluarga korban kurang mendukung untuk
penanganan kasus apabila itu menjadi pilihan korban, padahal undang-undang
PPTPO tidak mengenal itu. Namun kami tetap menjalin kerjasama dengan
kelurahan sampai dengan lingkungan.
Menurut Polisi, ada beberapa aspek yang menjadi tantangan yang dihadapi
dalam menangani kasus perdagangan anak, tantangan yang dihadapi berupa :

Jarak karena letak geografis yang cukup sulit

Dana operasional dan fasilitas yang masih terbatas

Orang yang merekrut atau calo tidak dikenal korban

Cara perekrutan korban yang ilegal sehingga sulit teridentifikasi

Unsur perdagangan orang tidak terpenuhi sehinga kasus tidak bisa
dilanjutkan

Terputusnya kontak dengan pihak PJTKI karena berpindah alamat

Tersangka lari sehingga tidak bisa di BAP

Kesulitan dalam memberikan shelter untuk korban

Kurangnya alat bukti

Komunikasi terputus dengan korban dan keluarganya karena setelah
melapor tidak pernah datang lagi

PJTKI tidak mau memberikan dokumen yang berhubungan dengan
korban, dengan alasan tidak tahu atau hilang

Kemauan korban sendiri untuk mau bekerja

Adanya informasi yang diberikan oleh masyarakat tentang kasus
perdagangan anak, namun korban tidak mau melaporkan

Ketika mau melakukan penangkapan terhadap pelaku, informasi bocor
104
Selain itu juga ada aspek kerentanan keluarga, dimana tidak semua keluarga
mau kasusnya dimajukan karena keluarga yang susah secara ekonomi.
Kemudian juga dari sisi korbannya sendiri, biasanya mereka baru melapor ketika
mereka tidak dibayar gajinya, jadi selama ini korban tenang-tenang saja, seolah
tidak terjadi kejahatan terhadap dirinya.
Untuk memidanakan kasus perdagangan anak, menurut Polisi ada dua faktor
utama
yang
mempengaruhinya
yakni
tidak
terpenuhinya
unsur-unsur
perdagangan orang dan kurangnya kesepamahaman dengan Kejaksaan
sehingga berkas selalu dikembalikan atau P19. Kemudian menyangkut barang
bukti, karena sering kali pelaku menghilangkan barang bukti. Termasuk juga
dalam mendeteksi kasus dan kontak dengan korban, dimana kadang-kadang
korban berbelit-belit dalam memberikan keterangan. Dan menurut Polisi, solusi
untuk tantangan ini adalah perlunya koordinasi dan kerjasama dengan pihak lain
dan masyarakat juga harus pro aktif kalau ada informasi tentang kasus
perdagangan anak.
Dari pantauan Polisi untuk kasus-kasus perdagangan anak ada yang sampai
divonis, ada yang pelakunya bebas karena kurangnya saksi, dan ada kasusnya
yang tidak dapat diteruskan ke persidangan karena pasal dan unsur
perdagangan orang tidak terpenuhi. Sementara Polisi sendiri mengakui bahwa
sistem yang dibangun untuk pemantauan kasus perdagangan anak hingga saat
ini belum ada. Kemudian untuk kasus perdagangan anak yang pelakunya divonis
bebas dan tidak dapat diteruskan, Polisi mengaku merasa kecewa karena sudah
berupaya maksimal dan prihatin apalagi korbannya adalah perempuan karena
mereka dieksploitasi dan ditipu.
Dalam mendefinisikan keadilan, ada beberapa pendapat yang dikemukan oleh
Polisi diantaranya :

Keadaan yang dapat memberikan rasa ketentraman

Sesuai dengan aturan dan perundang-undangan
105

Memahami apa yang diinginkan oleh korban dan cukup hukumannya
serta tidak berat sebelah.

Dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku, korban merasa senang dan
bahagia karena diputuskan sesuai hukum, jadi ketika korban tidak
komplain maka itulah keadilan

Ketika tersangka mau mengakui perbuatannya dan ada ganti rugi materi
untuk korban serta bertanggungjawab
Sedangkan akses terhadap keadilan, Polisi mendefenisikannya sebagai :

Korban dapat mengakses layanan secara komprehensif

Ketika pelaku itu dihukum sesuai pasal dalam tindak pidana perdagangan
orang

Tidak dipersulit, diberi informasi akan haknya, dilindungi, ada tempat
penampungan/shelter, dilakukan pendampingan, rehabilitasi, diberikan
pemahaman, dilakukan reintegrasi
Kemudian untuk memastikan akses terhadap keadilan bagi korban perdagangan
anak, Polisi melakukan kerjasama dengan pihak terkait lainnya dalam melakukan
rujukan kasus, melakukan penyidikan semaksiamal mungkin, melindungi hakhak korban, privasi dan kerahasiaan korban, memberikan konseling dan ruang
istirahat.
Ada beberapa perubahan ataupun perbaikan yang rekomendasikan Kepolisian
agar anak korban perdagangan dapat mencapai keadilan atau memiliki akses
terhadap keadilan, perubahan atau perbaikan yang direkomendasikan berupa :

Perlu pendampingan secara menyeluruh bagi korban

Tugas pokok dan fungsi dari instansi Pemerintah Daerah perlu
dimaksimalkan dan yang terutama layanan yang diberikan pada korban
tidak hanya berhenti setelah korban dipulangkan tapi perlu pendampingan
lanjutan
106

Perlu MoU antara Kejaksaan dan Kepolisian khusus dalam menangani
perkara perdagangan anak

Pemerintah Daerah harus mengalokasikan dana untuk penanganan
korban seperti penyediaan shelter, rehabilitasi, dan pemulangan

Perlu memperhatikan pasal 26 undang-undang TPPO sehingga antara
Kepolisian dan Kejaksaan terjadi kesepemahaman

Masyarakat agar segera melaporkan jika ada kasus perdagangan anak
3.2. Kejaksaan
Pada proses penuntutan terhadap kasus perdagangan anak dilakukan oleh
Kejaksaan, untuk tingkat provinsi dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi dan tingkat
kabupaten/kota dilakukan oleh Kejaksaan Negeri. Di Kejaksaan sendiri tidak
memiliki bagian atau unit khusus yang menangani masalah perdagangan anak,
dan dalam proses penuntutan terhadap korban perdagangan anak dilakukan
oleh Jaksa Penuntut Umum. Walaupun tidak memiliki bagian atau unit khusus,
namun
di
Kejaksaan
mendapatkan
pendidikan
dan
pelatihan
tentang
penanganan kasus perdagangan anak yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung,
International Organization for Migration (IOM). Selain itu, dalam menangani
kasus perdagangan anak, Jaksa yang ditunjuk adalah Jaksa-Jaksa yang
memahami psikologi dari korban, agar rasa keadilan korban dapat terpenuhi.
Dari hasil wawancara dengan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kejaksaan
Negeri Kupang, Kejaksaan Negeri Semarang, selama dalam melakukan
penanganan kasus perdagangan anak tidak ada kasus yang tidak diajukan ke
pengadilan atau pun dihentikan. Semua kasus perdagangan anak dapat teratasi,
dan sebelum lahirnya Undang-Undang PTPPO menggunakan Undang-Undang
Perlindungan
Anak.
Untuk
kasus
perdagangan
anak
ini,
Jaksa
wajib
menanganinya dan membuat surat dakwaan serta menuntut sesuai aturan
hukum.
107
Dalam menangani kasus perdagangan anak, peran Jaksa adalah sebagai
penuntut umum. Dalam proses penyidikan kasus perdagangan anak ini, sebagai
tahap awal dikeluarkan surat perintah penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk
mengikuti
perkembangan
penyidikan
perkara
tindak
pidana.
Kemudian
dikeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan untuk ini
sudah ada koordinasi awal dengan penyidik di Kepolisian, lalu berkoordinasi
dengan LSM atau pendamping untuk membawa korban ke Kejaksaan.
Sebelum sidang di pengadilan, Jaksa sudah melakukan pendekatan ke korban
melalui LSM atau pendamping korban. Untuk selanjutnya, LSM atau pendamping
korban akan menyampaikan kendala-kendala yang dihadapi oleh korban, seperti
korban malu atau takut untuk berjumpa di persidangan. Untuk situasi ini, Jaksa
akan
memberikan
pemahaman
dan
pengertian
kepada
korban,
serta
menjelaskan situasi sidang di pengadilan. Kemudian juga dijelaskan kepada
korban tentang proses sidang di pengadilan, dan korban harus diberikan
penjelasan yang sebenar-benarnya kalau mau mendapatkan keadilan.
Ketika sidang di pengadilan, Majelis Hakim akan menyampaikan bahwa dalam
hal memberi keterangan oleh korban, jikalau mau hadir silakan dan jikalau tidak
mau hadir diwakilkan dengan pendamping, dan untuk pendamping tetap
mendapatkan informasi dari Jaksa. Kemudian setelah sidang korban akan
dibawa ke ruang jaksa, dan jaksa akan memberikan penjelasan dan pemahaman
berkaitan dengan proses persidangan di pengadilan. Jaksa yang menangani
kasus perdagangan anak wajib memberikan informasi berkenaan dengan proses
hukum selama penuntutan, proses dan mekanisme persidangan, hingga
keputusannya. Selain itu, Jaksa juga memberikan informasi kepada korban
mengenai ancaman hukuman maksimal dan minimal terhadap terdakwa, denda
dan lain-lain.
Untuk kompensasi terhadap korban perdagangan anak sampai sekarang belum
terlaksana. Kemudian untuk perlindungan dan keselamatan korban masih
108
sebatas penyampaian informasi saja, perlindungan dan keselamatan bagi korban
secara nyata juga belum terlaksana. Bahkan Kejaksaan Negeri Kupang
menyatakan belum ada sama sekali perlindungan kepada saksi dan/atau korban
perdagangan anak.
Dalam menangani kasus perdagangan anak dalam proses penuntutan, Jaksa
juga bekerjasama dengan institusi lain seperti Kepolisian, Pengacara, Pekerja
Sosial dan LSM, serta Hakim. Kerjasama yang dilakukan dengan institusi
Kepolisian berupa :

Kepolisian mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
(SPDP) kasus perdagangan anak

Kejaksaan membuat Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum
(P16) untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara tindak pidana
perdagangan orang

Kemudian Kepolisian mengirimkan berkas perkara ke Kejaksaan, dan
apabila belum lengkap maka Kejaksaan mengeluarkan P18 dan P19 atau
hasil penyelidikan belum lengkap dan pengembalian berkas perkara untuk
dilengkapi. Jika sudah lengkap maka Kejaksaan mengeluarkan P21 atau
pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap
Untuk Pengacara kerjasama yang dilakukan pada tahap berkas perkara sudah
lengkap dan pada saat persidangan atau pada proses hukum acara. Untuk
Perkerja Sosial dan LSM, kerjasama yang dilakukan pada saat penelitian di surat
perkara, komunikasi dengan korban, dan sebagai pendamping korban. Namun
untuk Kejaksaan Negeri Kupang, selama menangani kasus perdagangan anak
mengakui belum pernah bekerjasama dengan pekerja sosial dan LSM.
Kemudian dengan Hakim kerjasama yang dilakukan berupa koordinasi terhadap
keputusan yang diberikan sesuai dengan rasa keadilan.
Dalam menangani kasus perdagangan anak, tantangan yang dihadapi Jaksa
dalam melakukan penuntutan berupa :
109

Anak tidak mau kasusnya diproses secara hukum, namun orang tua
menginginkan proses hukumnya dilanjutkan

Penyajian bukti tidak lengkap dan saksi kurang

Kejadiannya sudah lama dan terlambat melapor

Pengacara mempengaruhi saksi dan/atau korban sehingga terdakwa
divonis bebas

Korban malu dan trauma sehingga sulit untuk memberikan informasi, dan
kondisi inilah yang membuat proses hukumnya sedikit lama
Kemudian langkah-langkah yang dilakukan Jaksa untuk melindungi keselamatan
dan keamanan korban berupa :

Melakukan koordinasi dengan Kepolisian, orang tua dan keluarga

Korban di dampingi oleh orang tua, keluarga, dan LSM
Sedangkan untuk keselamatan dan keamanan keluarga korban, Jaksa belum
memberikan langkah-langkah perlindungan.
Untuk memastikan bahwa korban dilindungi dari intimidasi, Jaksa melakukan
komunikasi dengan Kepolisian dan komunikasi dengan korban agar waspada.
Dari berbagai kasus perdagangan anak, banyak terdakwa atau keluarga
terdakwa yang memojokkan korban karena mereka diperdagangkan itu karena
kemauannya sendiri, dan memalsukan identitas.
Untuk komunikasi, Jaksa memberikan nomor kontak kepada korban dan LSM
agar bisa dihubungi sewaktu-waktu. Selain itu agar korban tegar dan percaya
diri, serta memberikan rasa empati. Kemudian apabila korban mengalami
kecacatan fisik seperti tuli, bisu Kejaksaan meminta alat bantu dan meminta
pendamping tenaga ahli. Untuk memastikan keberadaan korban selama sidang,
korban dibawa ke ruang Jaksa (ruang khusus) dan juga memberikan surat
panggilan resmi. Identifikasi yang dilakukan Jaksa untuk kebutuhan korban ini
hanya dilakukan pada proses persidangan. Untuk proses persidangan perkara
perdagangan anak, biasanya agak dipercepat agar korban tidak mengalami
110
traumatis kepada terdakwa dan diupayakan agar tidak tertunda dan cepat
selesai.
Dalam melindungi hak privasi dan kerahasiaan korban, proses pemeriksaan
sidang di pengadilan dilakukan adalah sidang tertutup, yang ada hanya Hakim,
Jaksa, Panitera, Pengacara, orang tua korban, pendamping atau LSM.
Kemudian langkah-langkah khusus yang dilakukan Jaksa untuk membantu
korban dalam memberikan bukti sebelum dan selama persidangan adalah
dengan melakukan pendekatan dengan korban agar korban tidak merasa takut,
memberikan rasa percaya diri kepada korban agar korban berani bicara yang
sebenarnya selama di persidangan, dan mencatat semua keterangan yang
diberikan korban.
Dalam menanggapi kondisi korban dalam proses persidangan, apabila korban
tidak bisa menanggapi maka akan di bacakan BAP dan jika korban tidak dapat
memahami
pertanyaan
dari
maka
Hakim
mengulangi
pertanyaan
dan
mengarahkan apa yang tidak dipahami oleh korban. Sebelum proses
persidangan, korban ditanya terlebih dahulu apa masih ingat tentang kasusnya,
dan apabila korban lupa maka akan diberikan berkas perkara untuk dibaca.
Kemudian dalam menanggapi kondisi korban dalam situasi lainnya seperti
mengamuk, gangguan emosional, dan lapar, maka Jaksa berkoordinasi dengan
Pengadilan untuk menyiapkan pengawalan bagi korban dan memberikan
makanan dan minuman kepada korban. Dari pengalaman dalam menangani
kasus perdagangan anak korban umumnya meminta secepatannya proses
persidangan selesai dan jangan ada yang berhenti itu yang selalu diminta oleh
korban.
Untuk persidangan kasus perdagangan anak, sampai saat ini belum ada
kebijakan atau pun aturan khusus di Pengadilan, dan aturan di pengadilan sama
seperti persidangan kasus-kasus anak yang lainnya. Aturan di pengadilan untuk
persidangan kasus perdagangan anak adalah sebagai berikut :
111

Sebelum sidang dimulai Jaksa, Pengacara, saksi dan/atau korban,
pendamping berada dalam ruangan sidang sebelum Hakim masuk sidang

Setelah Hakim masuk, Hakim memerintahkan terdakwa untuk masuk

Pengawal tahanan menjemput terdakwa
Kemudian langkah-langkah yang dilakukan oleh Jaksa agar korban tidak harus
menunggu sebelum memberikan bukti dipersidangan adalah dengan melakukan
koordinasi dengan paniteranya untuk mendahulukan persidangan agar korban
tidak mengalami trauma. Namun juga sering terjadi bahwa korban juga harus
menunggu karena jadwal sidang kadang-kadang terlambat.
Dalam penyajian bukti-bukti selama dipersidangan, Jaksa, Hakim, dan
Pengacara
melakukan
proses
pembuktian
bersama
dan
ditunjukkan
dipersidangan, dan semua keterangan korban dicatat. Kemudian kesulitan yang
dihadapi oleh korban dalam menanggapi pertanyaan Jaksa dan Hakim di
pengadilan berupa :

Tidak ingat karena kasus dan peristiwanya sudah lama terjadi

Gangguan emosional seperti takut, tertekan

Malu dalam persidangan
Untuk menanggapi kesulitan yang dihadapi oleh korban, Jaksa melakukan
berkomunikasi langsung dengan korban dari hati-hati, dan biasanya Hakim akan
mengarahkan ke Jaksa untuk memberikan pertanyaan kepada korban dengan
bahasa yang sederhana. Karena anak tidak bisa mencerna bahasa-bahasa yang
disampaikan orang dewasa. Kemudian untuk membantu korban dalam
memberikan bukti, dukungan yang diberikan Jaksa adalah dengan melakukan
komunikasi dengan keluarga atau orang-orang dekat korban supaya dapat
berikan bukti tambahan, bertanya tentang kronologisnya dan dalam memberikan
pertanyaan seperti temannya.
112
Untuk pengaturan pada saat hari persidangan untuk kasus perdagangan anak
tidak ada pengaturan secara khusus. Pengaturan yang dilakukan hanya
kerjasama dengan pendamping korban. Jikalau tidak ada pendamping, Jaksa
akan mengontak korban dan komunikasi dengan korban, dan komunikasi
dengan korban dilakukan seperti orang tua dengan anaknya sehingga korban
bisa berterus terang dan tidak ada yang dirahasiakan. Sedangkan untuk
pengaturan persidangannya sama seperti kasus untuk anak-anak yang lainnya,
dimana korban ditempatkan di kursi pengunjung dan agak berjauhan dengan
terdakwa untuk menghindari konfrontasi dan meminta bantuan pengamanan dari
Kepolisian.
Dalam proses persidangan, Jaksa mengakui tidak pernah bertanya untuk
memperagakan hubungan intim atau sejenisnya kepada korban. Karena
pertanyaan tersebut justru membuat korban malu dan untuk menjaga psikologi
korban. Sedapat mungkin pertanyaan tersebut jangan ditanyakan kepada
korban, dan pertanyaan yang diajukan hanya sebatas “melakukan hubungan apa
saja”, “sudah melakukan hubungan suami istri” “sudah berapa kali”. Jadi untuk
pertanyaan
ini tidak ada
peragaan
termasuk juga
dengan alternative
menggunakan alat bantu. Kemudian untuk alamat korban, dalam proses
persidangan diungkapkan jika korban tidak keberatan. Pengungkapan ini untuk
menyesuaikan identitas korban benar atau tidak dengan BAP.
Dalam melindungi korban dari pertanyaan yang tidak tepat atau tidak patut
dipertanyakan, Jaksa melakukan interupsi dan mengajukan keberatan serta
minta kepada Hakim agar pertanyaan yang diajukan harus relevan dengan
kasus. Kemudian dalam melindungi kepentingan korban di pengadilan, Hakim
memberikan kesempatan kepada korban untuk memberikan keterangan yang
sebenar-benarnya dan penggalian kebenaran informasi. Setelah memberikan
keterangan, Hakim akan menyampaikan kepada korban ada lagi yang mau di
sampaikan, jika tidak ada korban boleh pulang. Selanjutnya kalau sudah
113
penuntutan kalau mau hadir silakan jika tidak juga tidak apa-apa, dan korban
bisa bertanya kepada Jaksa
Untuk anak sebagai saksi dan/atau korban perdagangan manusia diperlakukan
di Indonesia, tanggapan Jaksa menyatakan bahwa belum ada yang di
istimewakan atau di khususkan, terutama dalam memberikan kepercayaan diri
pada anak sebagai saksi dan/atau korban. Jika dibandingkan di luar negeri
sudah ada ruang khusus untuk anak di pengadilan sebagai saksi dan/atau
korban, termasuk pengadilan anak. Walaupun demikian sekarang ini situasinya
agak lebih baik dari dahulu, misalnya setiap anak korban perdagangan wajib di
dampingi oleh penasehat hukum dan LSM.
Setelah sidang, Jaksa mengakui tidak ada bantuan atau dukungan yang
diberikan kepada korban. Jaksa hanya memberikan informasi seperti informasi
tentang restitusi, namun selama menangani kasus perdagangan anak belum ada
yang mengajukan gugutan ganti rugi karena terkendala dengan prosesnya yang
memerlukan waktu.
Dari pengalaman Jaksa dalam menangani kasus perdagangan anak, umumnya
Hakim memutuskan sesuai dengan tuntutan Jaksa dan jarang yang diputus
bebas. Namun dari beberapa kasus banyak terdakwa tidak menerima dituntut
sekian tahun sesuai dengan undang-undang, karena merasa terlalu berat dan
tidak adil. Kemudian terdakwa juga sudah merasa di rugikan untuk biaya
membuat paspor, biaya tranportasi, dan ini kemauan korban. Tidak ada satu pun
terdakwa yang menerima jika sudah di putuskan dan hampir semuanya
mengamuk. Dalam penuntutan kasus perdagangan anak, semua Jaksa
mengatakan merasa puas karena telah menuntut pelaku sesuai dengan undangundang, dan sesuai dengan rasa keadilan.
Untuk kasus perdagangan anak selama ini belum pernah dihentikan karena
apabila perkara sudah P21 maka harus disidangkan. Kemudian untuk tersangka
114
yang dibebaskan dengan jaminan juga belum pernah terjadi. Namun kalau
tersangka dibebaskan pernah terjadi karena bukti yang kurang. Kemudian jikalau
tersangka melarikan diri maka Jaksa akan melakukan pencarian sampai ketemu,
dan jika tersangka bebas maka Jaksa akan melakukan advokasi ke Mahkamah
Agung. Termasuk juga jika ada kekalahan putusan oleh pengadilan yang lebih
tinggi, maka Jaksa akan melakukan kasasi di Mahkamah Agung.
Dalam melakukan pemantauan kasus, Jaksa hanya membuat laporan ke
Kejaksaan Tinggi untuk setiap tahapan proses hukumnya dan setelah
persidangan selesai tidak dilakukan pemantauan, tapi jika bertemu dengan
pendamping korban bertanya bagaimana korban sekarang dan apa kegiatannya.
Jaksa mendefinisikan keadilan adalah adanya keseimbangan perbuatan dengan
hukuman dan kesamaan hak atas keadilan. Sedangkan akses keadilan
merupakan proses peradilan yang cepat, sederhana dan murah sesuai dengan
yang diingankan oleh korban. Kemudian perubahan atau perbaikan yang
rekomendasikan oleh Jaksa sehingga anak korban perdagangan dapat
mencapai keadilan atau mempunyai akses terhadap keadilan berupa :

Adanya ruangan khusus di Kejaksaan untuk kasus anak, karena secara
struktur di Kejaksaan belum ada yang khusus menangani kasus anak, jadi
tidak semua Jaksa dapat menangani kasus anak.

Adanya ruangan khusus di Pengadilan untuk kasus anak, jangan sama
dengan orang dewasa

Kesejahteraan dan perbaikan ekonomi
3.3. Biro/Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Biro/Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merupakan
vocal point untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan
orang di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sedangkan peran dari Biro/Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai focal point berperan
115
sebagai koordinasi, fasilitasi, dan advokasi untuk pencegahan dan penanganan
tindak pidana perdagangan orang.
Dari hasil wawancara dengan Biro Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Provinsi Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, dan
Kabupaten Kupang menyatakan bahwa untuk penanganan, pendampingan, dan
rehabilitasi korban perdagangan anak dilakukan koordinasi dengan anggota
Gugus Tugas, seperti Kepolisian, LSM, dan dinas yang terkait. Biro/Badan ini
juga mengakui bahwa mereka tidak bersentuhan langsung dengan korban.
Kemudian langkah-langkah koordinasi yang dilakukan oleh Biro/Badan PP dan
PA selama ini dalam penanganan korban perdagangan anak adalah :

Untuk tempat tinggal (shelter) bagi korban berkoordinasi dengan P2TP2A

Untuk pendampingan korban berkoordinasi dengan LSM anak dan
perempuan

Untuk rehabilitasi psikologis dan kesehatan korban berkoordinasi dengan
Rumah Sakit, Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial

Untuk proses hukum berkoordinasi dengan Kepolisian

Untuk pemulangan dan reintegrasi berkoordinasi dengan Dinas Sosial
Dari pengalaman Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga
Berencana Provinsi Sumatera Utara dalam kasus perdagangan anak pada tahun
2005, ada pelaku divonis 11 tahun penjara. Ketika itu undang-undang PTPPO
belum lahir dan hanya ada Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004. Untuk kasus
perdagangan anak pada tahun 2011 di Provinsi Sumatera Utara ada 6 kasus dan
di Provinsi Nusa Tenggara Timur ada 1 kasus. Dalam menangani kasus
perdagangan anak khususnya untuk proses hukum, Biro/Badan PP dan PA
mengakui mengalami kendala ketika kasus dilanjutkan di Pengadilan. Dimana
adanya kesulitan mendatangkan lagi saksi dan/atau korban untuk diminta
keterangannya, karena Pengadilan meminta saksi dan/atau korban dihadirkan.
Sementara korban sudah dipulangkan ke kampung halaman atau daerah
asalnya. Kemudian Biro Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
116
Provinsi Nusa Tenggara Timur mengungkapkan bahwa di Provinsi Nusa
Tenggara Timur masih dihadapkan pada persoalan perbedaan pemahaman
tentang perdagangan anak diantara mitra, mekanisme penanganan yang belum
terkoordinir dengan baik, serta ketidakjelasan peran dan fungsi diinstitusi
pemerintah.
Setelah lahirnya undang-undang PTPPO banyak kasus perdagangan anak yang
ditangani dan diproses secara hukum karena masing-masing pihak terutama
aparat penegak hukum sudah ditingkatkan pemahamannya. Pelatihan-pelatihan
lebih sering dilakukan untuk meningkatkan kapasitas personil yang terlibat dalam
penanganan kasus perdagangan anak, jadi masing-masing pihak sudah mulai
memahami. Walaupun demikian, ada juga kasus perdagangan anak yang sulit
untuk diproses secara hukum, dengan alasan karena alat bukti yang tidak
lengkap, tidak memenuhi unsur perdagangan orang sehingga kasus tidak bisa
diproses.
Dalam menjalankan peran koordinasi, kalau dilihat dari perkembangannya yang
dimulai tahun 2003 di Sumatera Utara, untuk bangunan kerjasama ini sudah
cukup bisa dipertahankan, dimana sampai ada Peraturan Daerah yang disahkan
pada tahun 2004. Kemudian agar bangunan kerjasama ini lebih kuat, harus
diperlukan komitmen pimpinan daerah seperti Gubernur, Bupati dan Walikota.
Disamping itu anggaran juga menjadi penting, tetapi tidak mesti ada anggaran
baru bisa bergerak. Untuk koordinasi dalam penanganan korban perdagangan
anak ini dilakukan dengan instansi pemerintah, instansi penegak hukum, dan
LSM agar korban perdagangan anak benar-benar ditangani.
Dalam penanganan korban perdagangan anak ini juga mengalami kendala,
misalnya ketika proses hukum selesai pada tingkat Kepolisian kemudian
diajukan ke Kejaksaan bisa jadi P19. Jadi untuk persoalan ini perlu koordinasi
yang lebih baik dan lebih konprehensif, sehingga jejaring memang harus
dibangun lebih kuat lagi. Begitu juga untuk tempat perlindungan (shelter) bagi
117
korban, begitu dikoordinasikan dengan LSM ternyata LSM sudah tidak punya lagi
tempat perlindungan (shelter). Termasuk juga persoalan perpindahan atau
mutasi pimpinan instansi pemerintah, sehingga ketika berhubungan dengan
pimpinan baru harus memulai dari awal lagi.
Untuk rehabilitasi korban perdagangan anak, Biro/Badan PP dan PA
berkoordinasi dengan Rumah Sakit, Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial karena
memang tugas pokok dan fungsinya mereka. Kemudian misalnya kalau korban
di luar penduduk Provinsi Sumatera Utara maka korban dipulangkan ke
kampung
halamannya
atau
daerah
asalnya.
Untuk
pemulangan
ini
dikoordinasikan dengan Dinas Sosial, dan Dinas Sosial melakukan pemulangan
korban secara estafet, misalnya dari Medan korban dikirim ke Pekanbaru, dari
Pekanbaru ke Palembang, dan seterusnya hingga korban sampai ke kampung
halamannya. Kalau korbannya penduduk Provinsi Sumatera Utara maka akan
berkoordinasi dengan Dinas Sosial untuk pelatihan-pelatihan yang bisa diberikan
kepada korban. Untuk pendampingan korban berkoordinasi dengan LSM anak
dan perempuan, tempat perlindungan berkoordinasi dengan P2TP2A, pemulihan
kesehatan dan psikologis berkoordinasi dengan Rumah Sakit dan Dinas
Kesehatan. Sementara untuk pemantauan terhadap korban, Biro/Badan PP dan
PA mengakui belum adanya sistem dan juga belum melakukan.
Untuk persoalan penanganan perdagangan anak, bukan hanya sekadar
perlindungan hukum tetapi juga penyadaran. Biaya untuk penanganan tersebut
lebih besar daripada pencegahan, jadi perlu untuk menyebarkan pemahaman,
memotivasi masyarakat agar memerangi perdagangan anak, karena sisi
pencegahan lebih signifikan daripada penanganan.
Kemudian menurut Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan
Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, kebijakan yang sudah
dibuat oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam penanganan perdagangan
anak adalah dengan dibuatnya Peraturan Gubernur No. 47 tahun 2009
118
mengenai Pembentukan Gugus Tugas dalam Pencegahan dan Penanganan
Tindak Pidana Perdagangan Orang di Propinsi Jawa Tengah. Dari Peraturan
Gubernur tersebut dibuatlah Rencana Aksi Daerah. Sejak dari tahun 2009
hingga sekarang Rencana Aksi Daerah tersebut terbengkalai dan tidak diurusi
lagi, karena ketika itu dari bagian Biro Hukum akan menjadikan satu antara
Rencana Aksi Daerah ini dengan Rencan Aksi Daerah politik, ekonomi dan dua
isu lain. Oleh karena itu dari BP3AKB tidak sepakat dan membiarkan hingga
sekarang.
Dalam penanganan kasus perdagangan anak, BP3AKB Jawa Tengah hanya
membantu untuk memfasilitasi penjemputan korban dari provinsi lain, dan
Pemerintah Propinsi Jawa Tengah sendiri sudah menandatangani kerjasama
atau MoU dengan beberapa provinsi yaitu Kalimantan Timur, Bangka Belitung,
Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, dan yang masih akan dilakukan adalah
dengan Sumatera Utara. Selain itu juga ada kerja sama dalam penanganan
perdagangan orang dengan wilayah se Mitra Praja Utama (MPU) yang
mencakup Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Bali, DI Yogyakarta, Banten, DKI Jakarta, dan Lampung.
BP3AKB sebenarnya bukan pada teknis penanganannya tetapi lebih pada
koordinasinya, namun karena selama ini kabupaten/kota tidak memiliki anggaran
untuk penjemputan korban perdagangan anak, akhirnya dilakukan oleh BP3AKB
sendiri dengan melakukan kerjasama dengan provinsi. Dari kerjasama dengan
provinsi wilayah Mitra Praja Utama, hanya 1 provinsi yang dirasa sangat sulit
untuk kerjasama, yaitu Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketika penanganan
kasus di Labuhan Bajo, Gubernur Jawa Tengah dan BP3AKB sampai
mengirimkan surat, namun sama sekali tidak ada tanggapan dari Gubernur NTT,
dan penanganan akhirnya dilakukan suster yang ada di Labuhan bajo.
Dalam penanganan kasus perdagangan anak, Propinsi Jawa Tengah sudah
menganggarkan 650 juta yang masuk di Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah
119
untuk merenovasi dan membangun rumah aman atau shelter untuk korban
perdagangan anak, dan itu terpisah dengan shelter korban kekerasan berbasis
gender dan anak, karena untuk penanganan kasus perdagangan anak memang
agak berbeda dengan korban kekerasan lainnya.
Kemudian BP3AKB Jawa Tengah hanya melakukan penjemputan dari provinsi
lain untuk dibawa ke provinsi Jawa Tengah. Namun setelah sampai di Jawa
Tengah dikembalikan ke kabupaten/kota tempat korban tinggal, dan dijemput
oleh pemerintah kabupaten/kota. Untuk proses pemulihan dan reintegrasi
dikembalikan kepada pemerintah kabupaten/kota masing-masing. Misalkan
untuk pendidikan, yang membantu adalah pemerintah kabupaten/ kota, dan
untuk
pendidikan
bagi
korban
pemerintah
kabupaten/kota
tidak
begitu
bermasalah. Kemudian yang menjadi persoalan adalah untuk reintegrasi korban,
misalkan untuk pemenuhan ekonomi, dan itu yang sering menjadi kendala di
kabupaten/kota. Jika kabupaten/kota mengalami masalah barulah pemerintah
provinsi ikut turun tangan.
Kendala yang sering dihadapi adalah ketika korban harus didatangkan ke
provinsi tempat kejadian di provinsi lain, sementara BP3AKB sendiri tidak ada
anggaran untuk mendatangkan saksi ketika sidang, dan seharusnya anggaran
tersebut ada di Kejaksaan. Namun dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM)
sendiri anggaran untuk mendatangkan saksi hanya sebesar 25 ribu.
Kemudian sistem pendataan untuk khusus perdagangan anak memang belum
ada, dan yang ada hanya untuk korban kekerasan berbasis gender dan anak.
Sedangkan untuk perdagangan orang masih dijadikan satu, baik dewasa
maupun anak, sehingga sulit untuk melihat berapa banyak kasus perdagangan
anak dan perempuan. Dari 35 kabupaten atau kota yang ada di Provinsi Jawa
Tengah, hanya 8 kabupaten saja yang sudah ada Gugus Tugas Perdagangan
Orang, dan yang mengecewakan lagi adalah Kota Semarang sebagai ibu kota
120
provinsi dan harusnya bisa jadi acuan kabupaten/kota lain malah tidak memiliki
Gugus Tugas di tingkat kota.
3.4. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A)
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A)
merupakan suatu lembaga yang dibentuk oleh pemerintah baik di tingkat provinsi
dan kabupaten/kota untuk menangani isu perempuan dan anak, salah satunya
adalah isu perdagangan manusia.
Dari hasil wawancara dengan P2TP2A Provinsi Sumatera Utara, Nusa Tenggara
Timur, Jawa Tengah, dan Kota Semarang dalam menangani kasus perdagangan
anak dilakukan oleh divisi hukum dan konselor yang ada di P2TP2A, serta
bekerjasama dengan Kepolisian, Dokter, dan LSM anak dan perempuan. Dari
tahun 2010 hingga 2011 ada 17 kasus perdagangan anak yang ditangani oleh
P2TP2A di empat wilayah ini. Dalam meningkatkan pemahaman tentang
perdagangan anak, petugas P2TP2A telah mengikuti beberapa pelatihan dan
workshop yang dilakukan oleh Kementerian PP dan PA, Biro PP dan PA, dan
LSM.
Dalam menangani kasus perdagangan anak, peran yang dilakukan P2TP2A
selama ini berupa :

Melakukan pelayanan pada korban dan orang tua korban

Mengantar pulang korban

Melakukan koordinasi dengan pihak keluarga

Melakukan koordinasi dengan Kepolisian, institusi pemerintah, dan LSM
Kemudian layanan yang diberikan oleh P2TP2A kepada korban perdagangan
anak adalah:

Penyediaan shelter

Layanan kesehatan, konseling, pemulihan trauma
121

Mendampingi korban di Kepolisian

Melakukan rujukan untuk layanan kesehatan dan bantuan hukum
Untuk dapat mengakses pelayanan ini, P2TP2A mengakui tidak ada syaratsyarat tertentu bagi korban untuk mengakses pelayanan di P2TP2A.
Sebelum korban membuat keputusan untuk melanjutkan kasus ke proses
hukum, informasi yang diberikan oleh petugas P2TP2A kepada korban berupa :

Informasi tentang hak-hak korban

Informasi mengenai apa yang korban alami merupakan eksploitasi
sehingga perlu diproses secara hukum agar pelaku menjadi jera

Menguatkan korban agar bangkit dan percaya diri

Membantu korban dalam mengambil keputusan sendiri
Dari kasus perdagangan anak yang ditangani, petugas P2TP2A menyatakan
bahwa ada kasus perdagangan anak tidak dilanjutkan ke proses hukum
dikarenakan :

Korban merasa takut

Orang tua korban juga terlibat dan takut masuk penjara

Diselesaikan secara kekeluargaan

Yang penting gaji korban bisa dibayarkan dan tidak mau lapor ke Polisi
Sedangkan ada kasus perdagangan anak yang lanjutkan ke proses hukum,
namun tidak sampai akhir yang disebabkan :

Tidak ada persamaan persepsi diantara Kepolisian dan Kejaksaan dalam
memahami undang-undang PTPPO

Bukti kurang

Penyidikan terhambat karena lokasi tempat tinggal korban yang sangat
jauh

Adanya upaya damai dari pelaku kepada keluarga korban
122
Kemudian tantangan yang dihadapi dalam tahap proses hukum dalam
menangani kasus perdagangan anak ini berupa :

Pada saat kasus di tahap penyidikan sering bolak-balik berkas perkara
dari Kejaksaan ke Kepolisian dengan berbagai alasan

Adanya upaya pelaku untuk menyelesaikan kasus dengan uang

Adanya upaya pelaku berdamai dengan membayar korban

Adanya tekanan kepada korban dari pelaku
Dalam memutuskan untuk melanjutkan kasus ke proses hukum, petugas
P2TP2A menyatakan kadang orang tua atau keluarga korban dan kadang juga
korban. Namun ada juga keluarga korban yang tidak mau melapor ke Polisi dan
hanya meminta agar korban bisa dipulangkan kembali. Dan bagi korban yang
belum mau melapor biasanya diberi konseling dan penguatan sehingga korban
tidak takut dan mau melaporkan kasusnya. Kemudian keterlibatan anak dalam
memutuskan untuk melanjutkan ke proses hukum, biasanya dalam kasus
perdagangan anak biasanya orang tua yang lebih sering memutuskan karena
orang tua korbanlah yang melaporkan anaknya hilang dan belum ditemukan.
Dan untuk membantu anak dalam membuat keputusan untuk melanjutkan kasus
ke proses hukum dilakukan dengan konseling dan penguatan sehingga korban
memahami akan hak-haknya, korban menjadi kuat, tidak takut dan bebas dari
rasa terancam dan terintimidasi, serta diyakinkan tentang proses hukum
terhadap kasus yang dialaminya. Menurut petugas P2TP2A, pentingnya
melibatkan anak dalam pengambilan keputusan adalah untuk mendengar
pendapat anak sehingga kita memahami kebutuhan mereka dan menumbuhkan
kemampuan pada korban dalam proses hukum.
Kemudian ada beberapa pertimbangan bagi korban atau keluarga korban
memutuskan menjadi saksi dalam kasus perdagangan anak ini, pertimbangan
tersebut berupa :

Keluarga korban ingin pelaku dihukum seberat-beratnya

Keluarga korban ingin proses hukum dijalankan seadil-adilnya
123

Keluarga korban ingin masalah ini tidak terjadi lagi pada korban lain

Agar korban bisa kembali

Agar korban dapat memperoleh gaji
Dan bagi korban yang setuju untuk menjadi saksi, maka langkah-langkah
perlindungan khusus yang diberikan adalah dengan menyediakan shelter, setiap
saat
korban
didampingi,
meminta
perlindungan
dari
Kepolisian,
dan
menyediakan alat komunikasi seperti telpon kepada korban.
Dalam tahap proses hukum, petugas P2TP2A menyatakan ketika di Kepolisian
mendampingi korban dan memberikan kenyamanan bagi korban untuk
menceritakan kejadian yang dialaminya, mendiskusikan perkembangan kasus,
minta agar kasus segera diproses, dan selalu menanyakan jika kasus terhambat
dan belum P21. Dengan Jaksa, mendiskusikan perkembangan kasus untuk
menyelesaikan kasus yang dialami korban. Dengan LSM, merujuk kasus dan
koordinasi untuk membantu menyelesaikan kasus korban. Dengan Hakim,
meminta kepada Hakim agar memperhatikan hak-hak anak korban dan dipilah
antara ruangan anak dengan ruangan orang dewasa. Dengan orang tua korban,
melakukan pendampingan dan konseling penguatan.
Dalam
proses
penyidikan,
peran
petugas
P2TP2A
adalah
melakukan
pendampingan terhadap korban untuk diberi penguatan dan juga untuk
mencegah agar Polisi tidak melakukan kekerasan verbal, serta membantu
korban dalam proses hukum. Dalam proses penyidikan ini petugas P2TP2A juga
mengakui adanya kesulitan terutama pada personel Kepolisian, dimana Polisi
masih melakukan kekerasan verbal dalam melakukan penyidikan kepada
korban.
Selain
itu,
pelaku
terkadang
mengelak,
adanya
upaya
untuk
meringankan hukuman bagi pelaku, kesulitan mendapatkan bukti, adanya upaya
damai dan diselesaikan secara kekeluargaan.
124
Kemudian untuk proses selama sidang pengadilan, petugas P2TP2A melakukan
pendampingan dan membawa saksi dan/atau korban, membawa BAP dan buktibukti pendukung lainnya, dan menjelaskan kasus yang dialami oleh korban. Dan
langkah-langkah untuk membantu anak dalam memberikan bukti baik sebelum
dan selama persidangan adalah dengan memotivasi korban agar tidak takut,
memotivasi anak untuk jelas menceritakan kejadian yang dialaminya, dan
membantu anak agar menceritakan kronologi kasus.
Menurut petugas P2TP2A, langkah-langkah khusus yang sering kali berguna
atau bermanfaat bagi anak sebagai saksi dan/atau korban perdagangan yang
ditangani adalah :

Menguatkan saksi dan/atau korban agar tidak takut menjadi saksi

Membantu saksi dan/atau korban menjelaskan kejadian kasus

Meyakinkan saksi dan/atau korban proses hukum berjalan

Menjamin keselamatan saksi dan/atau korban

Menyakinkan orang tua saksi dan/atau korban
Sedangkan langkah-langkah khusus yang sama sekali tidak berguna atau
bermanfaat bagi anak sebagai saksi dan/atau korban perdagangan, berupa
bertanya berulang-ulang sama saksi dan/atau korban, pengambilan foto, dan
dikerumuni orang banyak karena korban masih trauma dan bisa menimbulkan
trauma yang berkelanjutan.
Untuk pengaturan pada hari persidangan, langkah-langkah yang dilakukan
petugas P2TP2A adalah mengatur tempat dan ruangan anak di pengadilan agar
tidak terjadi konfrontasi antara saksi dan/atau korban dengan pelaku. Jumlah
keluarga yang akan ikut di sidang pengadilan dibatasi agar mengurangi resiko
terjadinya kekerasan dengan pelaku, dan kadang-kadang ada perangkat dari
kelurahan, RT/RW yang ikut agar bisa memberi rasa aman bagi korban karena
merasa diperhatikan. Dan jumlah pendamping yang mendampingi korban pada
hari persidangan biasanya 2 orang.
125
Kemudian untuk memastikan kebutuhan saksi dan/atau korban dilindungi dari
intimidasi dan pelecehan, petugas P2TP2A menyebutkan dengan meyakinkan
saksi bahwa Kepolisian menjamin keselamatannya. Untuk komunikasi, dengan
menggunakan bahasa yang sangat mudah di pahami oleh saksi dan/atau
korban. Untuk kondisi cacat fisik, menggunakan fasilitas untuk saksi cacat phisik
seperti menggunakan juru bahasa dan alat bantu pendengaran saksi. Untuk
pelaksanaan
kegiatan
keagamaan,
dengan
memfasilitasi
saksi
secara
kerohanian dan juga mengudang tokoh agama. Untuk merasa nyaman dan
santai selama persidangan, saksi dan/korban diyakinkan bahwa proses hukum
akan berjalan, diberikan ketenangan, dan menjamin keselamatan saksi. Untuk
memastikan kehadiran korban selama persidangan, untuk panggilan sidang
biasanya diinformasikan ke Pengadilan Negeri agar sidang dapat diatur agar
tidak ada penundaan pelaksanaan sidang. Dalam proses di persidangan
biasanya saksi dan/atau korban biasanya merasa takut, malu, trauma, kurang
percaya diri, dan untuk situasi ini pendamping memberikan dan membangun
kepercayaan diri korban.
Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan di pengadilan, kesulitan yang
dihadapi anak sebagai saksi dan/atau korban, seperti :

Merasa rasa takut untuk bersaksi

Adanya ancaman bagi pelaku

Kurang berani mengutarakan kejadian sebenarnya

Adanya hubungan keluarga antara korban dan pelaku
Dalam melindungi hak privasi dan kerahasiaan korban, hal-hal yang dilakukan
Pengadilan menurut petugas P2TP2A adalah dengan tidak mempublikasikan ke
media cetak dan elektronik serta tidak menyebutkan nama korban hanya dengan
insial saja. Namun kadang-kadang Pengadilan juga masih kurang dalam
melindungi hak privasi dan kerahasiaan korban, misalnya ketika sidang tertutup
tapi orang bisa melihat dan menonton dari kaca dan suara bisa didengar dari
126
luar. Petugas P2TP2A juga mengakui belum ada menemukan kasus selama
dalam persidangan ketika anak sebagai saksi tidak ditangani dengan benar atau
penanganan yang tidak sensitif oleh pengacara atau hakim, yang kemungkinan
ini bisa berisiko ataupun berbahaya.
Dalam melindungi kepentingan saksi di pengadilan, menurut petugas P2TP2A
Hakim hanya menyebut inisial saksi dan menunjukkan barang-barang bukti
kasus, menyebutkan bukti saksi dalam kasus tersebut dan tidak menyebutkan
nama dan asal, selain itu Hakim hanya bilang tidak usah takut. Kemudian
tentang cara anak sebagai saksi diperlakukan di pengadilan, menurut petugas
P2TP2A masih kurang dimana harus ada ruang tunggu khusus untuk anak
karena kadang-kadang menunggu sidang terlalu lama, misalnya jadwal surat
panggilan sidang dimulai jam 9 ternyata jam 1 atau 2 siang baru sidang dimulai.
Selain itu, sebaiknya dalam sidang bahasa yang dipakai adalah bahasa anak
dan bahasa yang sangat sederhana, demi kenyamanan anak waktu sidang dan
setelah selesai sidang. Ketika sidang pengadilan ditunda, korban sering merasa
tertekan, lapar dan haus tapi korban tidak mau makan. Dan untuk situasi ini
korban diajak berkomunikasi dan ditenangkan agar korban merasa nyaman.
Menurut petugas P2TP2A ada beberapa dampak pada korban ketika kasus
diajukan ke Pengadilan, seperti :

Dampak pada pendidikan, dimana anak terkadang tidak mau bersekolah
karena malu dengan kawannya, prestasi anak menurun sebelumnya
masuk 10 besar tapi sekarang sering linglung. Dan untuk ini diupayakan
pendekatan kepada pihak sekolah agar anak di perhatikan dengan baik
dan kalau perlu dipindahkan dari sekolahnya.

Dampak pada kesehatan berupa murung, stres, dan malu.

Dampak pada hubungan dengan keluarga, ada keluarga yang mendukung
tetapi ada juga keluarga yang over protektif dan anak dilarang untuk
berhubungan dengan orang lain, termasuk juga ada keluarga yang
menyalahkan anak.
127

Dampak pada hubungan dengan anggota masyarakat, ada masyarakat
yang mendukung tetapi ada juga masyarakat yang mengasingkan anak
dan melarang anak mereka untuk bergaul dengan korban.

Dampak pada hubungan dengan sekolah, ada sekolah yang mendukung
tetapi ada juga kebijakan sekolah bagi anak yang sudah tidak mengikuti
pelajaran dalam waktu yang lama bisa mengikuti ujian.
Untuk kasus perdagangan anak yang diberhentikan atau tersangka dibebaskan,
menurut petugas P2TP2A dikarenakan kurangnya bukti atau bukti tidak lengkap,
pemahaman yang tidak sama antara Kepolisian dengan Kejaksaan, keluarga
korban takut. Kemudian untuk memantau kasus ini dilakukan dengan mengikuti
proses hukum mulai dari penyidikan hingga ke persidangan, dan melakukan
koordinasi dengan pihak yang menangani kasus.
Kemudian setelah sidang, bantuan yang diberikan kepada anak korban berupa:

Pendampingan

Memfasilitasi anak untuk sekolah

Mencari biaya pendidikan
Dalam mendefiniskan keadilan, petugas P2TP2A menyebutkan berjalannya
proses hukum sesuai dengan tindakan kejahatan yang dilakukan pelaku dan
memperhatikan hak-hak korban, dan orang yang bersalah harus dihukum sesuai
perbuatannya. Sedangkan akses terhadap keadilan yakni berhak dapat keadilan
dan adil bagi korban. Kemudian langkah-langkah atau perubahan yang
diperlukan sehingga korban perdagangan anak dapat memiliki akses terhadap
keadilan

Proses hukum yang tepat, mudah, cepat dan jangan dipersulit

Tempat pengaduan mudah dijangkau baik di Pemerintah dan LSM

Persamaan persepsi bagi aparat penegak hukum

Implementasi undang-undang PTPPO secara maksimal

Sosialisasi undang-undang PTPPO bagi semua elemen masyarakat
128

Adanya ruang tunggu anak di pengadilan
Dalam memperkirakan usia korban perdagangan manusia, langkah-langkah
yang dilakukan dengan melihat dokumen pendukung seperti akte, ijazah, surat
baptis, serta melihat wajah dan penampilan korban. Sedangkan dalam
melakukan kontak awal dengan korban perdagangan anak, petugas P2TP2A
mengaku biasanya mendapat rujukan dari instansi atau lembaga lain.
Dalam melakukan wawancara dengan korban perdagangan anak dilakukan
dengan :

Menggunakan pendekatan dan metode yang sesuai dengan usia korban

Tidak memaksakan korban untuk bicara

Didampingi orang tua/keluarga korban

Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti korban
Kemudian yang terlibat dalam melakukan wawancara dengan korban adalah
orang tua, keluarga, pihak yang merujuk seperti LSM dan instansi yang terkait.
Sedangkan kendala yang dihadapi ketika melakukan wawancara dengan korban
berupa korban tidak mau berbicara karena merasa tertekan dan takut, dan untuk
mengatasi kendala tersebut adalah dengan tidak memaksa korban untuk bicara
pada saat itu dan mengajak bermain agar rileks
Untuk perawatan dan perlindungan sementara korban perdagangan anak
ditempatkan di shelter, dengan disediakan makan, minum, pakaian, serta obatobatan. Dan dalam memberikan pelayanan juga melibatkan para konselor.
Dalam melakukan penilaian kasus terhadap korban perdagangan anak,
dilakukan dengan melihat proses dan tujuan. Kemudian dalam menentukan
solusi jangka panjang bagi korban perdagangan anak adalah dengan
memperhatikan kebutuhan jangka panjang meliputi pemulihan psikologis,
kebutuhan pendidikan yang layak, mengembangkan bakat dan minat anak.
129
Biasanya solusi jangka panjang yang diberikan kepada korban berupa
pendampingan
lanjutan
untuk
pemulihan
dan
memfasilitasi
pendidikan.
Sedangkan lembaga atau institusi yang terlibat dalam memberikan solusi jangka
panjang ini seperti Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan. Walaupun
demikian, dalam memberikan solusi jangka panjang ini juga mengahadapi
kendala, yakni terputusnya layanan bagi korban termasuk pendampingan yang
intensif.
Dalam melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan solusi jangka panjang ini
dilakukan dengan berkoordinasi dengan pihak yang memberikan bantuan, dan
dari hasil pemantauan petugas P2TP2A yang terjadi dengan korban adalah
korban tidak mendapatkan layanan lanjutan yang komprehensif. Sedangkan
perubahan atau perbaikan yang direkomendasikan sehingga anak-anak korban
perdagangan
mendapatkan
layanan
sepenuhnya
untuk
pemulihan
dan
reintegrasi, menurut petugas P2TP2A berupa perlunya layanan lanjutan yang
komprehensif bagi korban, dan ini harus dilakukan oleh pihak-pihak yang
memberikan bantuan terutama dari Pemerintah.
Untuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Tengah mengungkapkan
bahwa selama ini PPT Provinsi hanya dilibatkan ketika dibutuhkan untuk
mendampingi saat persidangan korban saja. Sedangkan untuk proses
penjemputan tidak dilibatkan, dan untuk penjemputan dilakukan oleh Badan
Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak serta KB (BP3AKB)
Provinsi Jawa Tengah, termasuk juga untuk proses screening awal. Setelah
korban dijemput oleh personil BP3AKB korban langsung diantar ke daerah asal
tanpa melakukan assessment awal ke korban. Bahkan dokumen kasus dari
korban yang sudah dipulangkan tidak diketahui mengenai intervensi apa yang
sudah dilakukan oleh Dinas Sosial atau Dinas terkait lainnya, dan korban hanya
diserahkan kepada kabupaten/kota asal.
130
Ketika PPT Provinsi dibutuhkan, baru PPT bisa melakukan screening kepada
korban. Peran PPT Provinsi adalah sebagai pendamping korban untuk
persidangan, memberikan motivasi bagi korban, melakukan terobosan upaya
yang terbaik bagi korban. Melakukan konseling kepada korban dan orang tua,
dan memfasilitasi untuk membuat keputusan dalam melanjutkan perkara atau
tidak terhadap kasus yang dialami korban.
Menurut petugas PPT Provinsi Jawa Tengah, tidak semua kasus perdagangan
anak yang masuk di PPT diselesaikan sampai persidangan, hanya beberapa
saja, karena terkendala proses hukumnya dimana pelaku yang masih di luar
daerah, dan Kepolisian Daerah Jawa Tengah tidak memberikan kewenangan
kepada Kepolisian Daerah Provinsi lain untuk melakukan intervensi. Kemudian
juga kendala yang dihadapi oleh PPT adalah kurangnya koordinasi di lintas
SKPD dalam penaganan perdagangan anak, sehingga penanganan korban
perdagangan anak tidak optimal.
Kemudian Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Kota Semarang, PPT Kota biasanya
hanya melakukan penjemputan ketika sudah sampai di Provinsi Jawa Tengah
dan memulangkan ke rumah korban. Untuk reintegrasinya mengajak masyarakat
dan perangkat desa setempat untuk ikut melindungi korban dari ancaman pelaku
dan tidak mendapatkan stigmatisasi di masyarakat.
Selain itu PPT juga memberikan modal bagi korban perdagangan anak tetapi
bukan berupa uang tetapi berupa barang untuk dikembangkan oleh korban, serta
jika ingin ketrampilan, maka PPT akan membantu memfasilitasi mencarikan
kursus atau jika ingin sekolah PPT kota akan memfasilitasi bersama Dinas
Pendidikan kota Semarang.
3.5. Dinas Sosial
131
Dalam menangani korban perdagangan anak di Dinas Sosial baik pada tingkat
Provinsi dan Kabupaten dilakukan oleh Bidang Rehabilitasi Sosial, Seksi Anak
dan Seksi Jaminan Bantuan Sosial.
Dari hasil wawancara dengan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi
Sumatera Utara, Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dinas Sosial
Provinsi Jawa Tengah, Dinas Sosial Kabupaten Deli Serdang, Kupang, dan Kota
Semarang. Hingga 2011 ada 36 kasus perdagangan anak yang ditangani oleh
Dinas Sosial di enam wilayah ini. Dalam menangani korban perdagangan anak
bekerjasama dengan Kepolisian untuk proses hukumnya, dan dengan LSM anak
dalam penyediaan shelter, pendampingan, serta pemulihan psikologisnya.
Dalam menangani kasus perdagangan anak, peran Dinas Sosial adalah :

Melakukan fungsi rehabilitasi

Mendampingi korban

Memberikan konseling

Memfasilitasi untuk layanan kesehatan dan pendidikan
Sedangkan layanan yang berikan kepada anak korban perdagangan berupa :

Shelter dan Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA)

Layanan konseling

Layanan kesehatan

Layanan pendidikan

Bantuan makanan, minuman, obat-obatan

Bantuan dana stimulan

Latihan ketrampilan

Pemulangan
Sementara untuk Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Deli
Serdang mengaku sampai saat ini belum memiliki shelter dan RPSA untuk
korban perdagangan anak, dan untuk tempat perlindungan bagi korban
bekerjasama dengan P2TP2A dan LSM.
132
Kemudian bagi korban yang ingin mengakses layanan, Dinas Sosial menyatakan
tidak ada syarat-syarat tertentu, dan informasi yang diberikan kepada anak
korban perdagangan sebelum membuat keputusan untuk mengajukan sebuah
kasus berupa :

Hak-hak korban

Perlindungan hukum

Rehabilitasi

Reintegrasi

Pemulangan
Menurut Dinas Sosial, ada kasus perdagangan anak yang tidak diajukan sama
sekali ke pengadilan dikarenakan :

Umumnya anak tidak siap untuk proses hukum karena mereka merasa
takut

Anak merasa bersalah karena menyebabkan orang lain harus berurusan
dengan hukum

Anak merasa tertekan jika berhadapan dengan polisi

Orang tua dan keluarga juga merasa takut karena mereka akan terlibat

Orang tua berpikir yang penting anaknya bisa kembali
Kemudian untuk kasus yang diajukan tetapi tidak sampai akhir, dikarenakan
kurangnya bukti dan kesulitan dalam menghadirkan saksi petunjuk sehingga
terpenuhinya unsur-unsur perdagangan orang. Sedangkan tantangan yang
dihadapi dalam tahapan proses hukum ini pelakunya sulit ditangkap karena
berada di luar negeri.
Dalam memutuskan untuk mengajukan kasus perdagangan anak semuanya
dilakukan oleh orang tua korban, sebenarnya apabila peristiwa pidana terjadi
diminta atau tidak diminta ini akan di tindak dan di proses sesuai undang-undang
PTPPO sebagai acuannya. Menurut Dinas Sosial, keterlibatan anak dalam
133
memutuskan apakah kasus diajukan atau tidak belum bisa karena masih anakanak. Jadi belum dapat sepenuhnya diberikan kepada anak dalam memutuskan
kasusnya untuk diajukan atau tidak, dan orang tua atau keluarganyalah yang
memutuskan. Walaupun demikian pendapat dan keputusan anak tetap harus di
lindungi dan dihargai.
Untuk proses hukum dalam kasus perdagangan anak, Dinas Sosial melakukan
pendampingan kepada korban pada tingkat penyidikan di Kepolisian dan dalam
proses penyidikan kepada korban harus mengacu pada undang-undang PTPPO.
Kemudian Dinas Sosial juga menyatakan bahwa dalam penanganan untuk
proses hukum ini ada beberapa instansi yang belum memahami tentang
penanganan korban perdagangan anak, dan ini merupakan salah satu yang
menjadi kesulitan dalam proses hukum. Untuk tahap proses hukum dalam kasus
perdagangan anak, Dinas Sosial mengaku hanya sampai terlibat pada tahap
penyidikan di Kepolisian, sedangkan pada tahap penuntutan dan sidang di
pengadilan tidak terlibat. Sedangkan untuk memantau kasus dalam proses
hukum, hanya mendapatkan laporan dari Kepolisian dan setelah proses hukum
selesai korban dipulangkan.
Rehabiltasi dan Reintegrasi
Dalam memperkirakan usia korban perdagangan manusia, langkah-langkah
yang dilakukan adalah dengan :

Melihat wajah dan penampilan korban

Pengakuan korban

Melihat dokumen pendukung seperti akte, ijazah
Sedangkan dalam melakukan kontak awal dengan korban perdagangan anak
dilakukan dengan komunikasi dengan korban seperti mengajak korban bercerita.
Kemudian dalam melakukan wawancara dengan korban perdagangan anak,
dilakukan dengan :

Menggunakan pendekatan dan metode yang sesuai dengan anak
134

Tidak memaksakan anak untuk bicara

Di tempat yang tertentu atau khusus

Yang mewawancarai berjenis kelamin sama dengan korban
Sementara yang terlibat dalam melakukan wawancara dengan korban selama ini
adalah orang tua dan keluarga korban, pendamping atau pekerja sosial,
psikolog, dan LSM anak. Sedangkan kendala yang dihadapi ketika melakukan
wawancara dengan korban, berupa anak tidak mau berbicara karena merasa
tertekan dan takut, dari sisi bahasa dimana korban ada yang kurang mengerti
bahasa Indonesia. Dan untuk mengatasi kendala ini dilakukan dengan tidak
memaksa anak untuk bicara saat itu dan menyediakan penterjemah bahasa
daerah.
Untuk perawatan dan perlindungan sementara, korban perdagangan anak
ditempatkan di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), P2TP2A, dan
shelternya LSM. Dengan fasilitas yang disediakan berupa :

Layanan konseling

Pemulihan trauma

Makan dan minum

Pelayanan kesehatan

Biaya pendidikan selama berada di RPSA

Pelatihan ketrampilan sesuai minat dan bakat
Kemudian yang terlibat dalam memberikan bantuan pelayanan kepada korban,
jika di RPSA petugas Dinas Sosial dan pekerja sosial, jika di P2TP2A atau LSM
ada pendamping dan petugas dari instansi lain seperti Dinas Kesehatan dan
lainnya.
Dalam melakukan penilaian kasus terhadap korban perdagangan anak,
dilakukan dengan memperhatikan proses bagaimana korban direkrut dan
dieksploitasi. Kemudian dalam menentukan solusi jangka panjang bagi korban
135
perdagangan anak dengan memperhatikan kebutuhan jangka panjang yang
terkait dengan pendidikan korban, dan setelah dipulangkan perlu pemberdayaan
bagi keluarga agar pendidikan korban tidak terputus. Solusi jangka panjang yang
diberikan kepada korban perdagangan anak selama ini berupa bantuan
pemberdayaan ekonomi bagi korban dan keluarga, termasuk juga jika korban
tidak mau sekolah lagi diberikan pelatihan keterampilan. Sementara lembaga
atau pun institusi yang terlibat dalam memberikan solusi jangka panjang ini
selain Dinas Sosial ada Dinas Pendidikan, dan juga ada LSM.
Setelah korban dipulangkan, dari shelter pun juga melakukan home visit ke
rumah korban, namun itupun tidak bisa sering hanya beberapa kali saja,
terkendala sarana dan prasarana dalam shelter sendiri, karena kurangnya
transportasi untuk kerumah korban, ketika harus memulangkan korban pun juga
terkendala dengan sarana transportasi.
Dinas Sosial sendiri mengakui bahwa kendala yang dihadapi dalam memberikan
solusi jangka panjang ini terutama persoalan anggaran yang terbatas dan
pendampingan secara kontinyu yang tidak dapat dilakukan. Termasuk juga
pemantauan yang tidak dilakukan secara rutin dan sistematis. Sebenarnya untuk
pelaksanaan solusi jangka panjang ini belumlah maksimal yang diberikan
kepada
korban
perdagangan
anak
baik
itu
bantuannya
maupun
pendampingannya.
Kemudian perubahan atau perbaikan yang direkomendasikan sehingga anakanak korban perdagangan mendapatkan layanan sepenuhnya untuk pemulihan
dan reintegrasi, menurut Dinas Sosial perlu kerjasama berbagai pihak misalnya
Dinas Pendidikan, Dinas Koperasi, Dinas kesehatan, dan lainnya sehingga
layanan yang diberikan benar-benar menyentuh kebutuhan korban.
136
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1. Kesimpulan
Sejak tahun 2002 hingga 2011 setidaknya ada 10 kebijakan pada tingkat
nasional yang telah dikeluarkan dalam menangani korban perdagangan anak
untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak atas perlindungan hukum,
rehabilitasi, dan reintegrasi. Kebijakan tersebut mulai dari Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden, Peraturan
Menteri, hingga Peraturan Kepala Kepolisian. Walau pun sudah begitu banyak
kebijakan yang dikeluarkan, namun dari perkembangannya dalam penanganan
korban perdagangan manusia khususnya anak masih banyak kelamahan
terutama dalam memberikan perlindungan hukum, rehabilitasi, pemulangan dan
reintegrasi. Untuk perlindungan hukum misalnya, kelemahannya masih terdapat
pada :

Pemahaman yang belum sama dalam penerapan perundang-undangan
yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang di
antara aparat penegak hukum

Sumberdaya penegak hukum yang belum merata seperti Hakim, Jaksa,
Polisi dan sarana/prasarana pendukung yang sensitif akan hak anak
dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang

Kerjasama aparat penegak hukum belum maksimal

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(PTPPO) belum dipahami sepenuhnya oleh aparat penegak hukum

Bantuan hukum dan pendampingan bagi korban masih terbatas

Harmonisasi norma hukum perlindungan anak belum terlaksana
Kemudian kelemahan dalam penanganan korban untuk rehabilitasi, pemulangan
dan reintegrasi masih terdapat pada :

Sumber daya manusia yang masih lemah dalam hal rehabilitasi yang bisa
diakses oleh korban
137

Rumah Perlindungan Sosial Anak/Rumah Perlindungan Trauma Center
untuk menangani rehabilitasi sosial bagi korban belum dimiliki oleh semua
daerah

Pelayanan rehabilitasi sosial yang bisa diakses oleh korban masih kurang

Manajemen program dalam pelayanan bagi korban masih lemah

Sarana/prasarana yang masih kurang memadai

Pencatatan dan pelaporan masih lemah

Pemulangan korban yang aman dan berbasis pada kebutuhan korban
belum optimal

Lemahnya program reintegrasi sosial sehingga korban yang sudah
dipulangkan diperdagangkan kembali
Sedangkan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota, walaupun sudah
terbentuk Gugus Tugas untuk memberikan perlindungan hukum, rehabilitasi,
pemulangan dan reintegrasi bagi korban namun hasil yang diharapkan belumlah
optimal. Dimana persoalan yang terjadi adalah karena tidak berjalannya fungsi
dan peran Gugus Tugas, masih berjalan sendiri-sendiri, lemahnya koordinasi
diantara anggota Gugus Tugas, tidak memahami masalah, hingga persoalan
anggaran. Sehingga banyak korban tidak mendapatkan penanganan yang
dimandatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Jika melihat struktur keanggotaan Gugus Tugas baik di tingkat provinsi maupun
di kabupaten/kota, yang terdiri dari “orang-orang kunci” dan jumlah institusi
ataupun lembaga yang cukup banyak, seharusnya mampu mengentaskan
persoalan perdagangan anak dan penanganan korban secara maksimal.
Kemudian bagi institusi di tingkat provinsi dan kebupaten/kota yang menangani
korban dalam memberikan perlindungan hukum, rehabilitasi, pemulangan dan
reintegrasi, ada beberapa kendala yang dihadapi. Misalnya institusi Kepolisian,
yang mengungkapkan tentang tidak adanya semacam Memorandum of
Understanding (MoU) antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam menangani
138
perkara perdagangan orang, dan ini berdampak pada tidak adanya koordinasi
yang
baik
dalam
menangani
perkara.
Sehingga
sering
tidak
adanya
kesepemahaman antara Kepolisian dan Kejaksaan. Selain itu, kurangnya
kesepemahaman dalam penyajian bukti dan kesaksian, karena untuk bukti dan
saksi, Jaksa masih berpedoman pada KUHP. Dari persoalan ini akan berdampak
pada terhentinya kasus dugaan perdagangan anak, karena Jaksa menganggap
tidak memenuhi unsur pasal yang diterapkan dan tidak terpenuhi unsur
perdagangan orang.
Untuk institusi Kejaksaan, dalam menangani kasus perdagangan anak belum
ada terlaksana restitusi dan kompensasi terhadap korban. Kemudian untuk
perlindungan dan keselamatan korban dan keluarga korban masih sebatas
penyampaian informasi saja, perlindungan dan keselamatan bagi korban dan
keluarga korban secara nyata belum ada sama sekali.
Kemudian bagi Biro/Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
masih dihadapkan pada persoalan perbedaan pemahaman tentang perdagangan
anak diantara mitra, mekanisme penanganan yang belum terkoordinir dengan
baik, serta ketidakjelasan peran dan fungsi SKPD. Termasuk juga persoalan
perpindahan atau mutasi pimpinan SKPD, sehingga ketika berhubungan dengan
pimpinan baru harus memulai dari awal lagi. Sedangkan untuk sistem dan
implementasi pemantauan terhadap korban juga belum terbangun dan
terlaksana.
Untuk Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak
(P2TP2A), dalam menangani korban tantangan yang dihadapi berupa adanya
upaya damai dari pelaku kepada keluarga korban. Kemudian dalam proses
penyidikan, personel Kepolisian masih melakukan kekerasan verbal dalam
melakukan penyidikan kepada korban. Dalam persidangan, kadang-kadang
Pengadilan juga masih kurang dalam melindungi hak privasi dan kerahasiaan
139
korban, misalnya ketika sidang tertutup tapi orang lain bisa melihat dan
menonton dari kaca dan suara bisa didengar dari luar.
Bagi Dinas Sosial, kendala yang dihadapi dalam memberikan rehabilitasi,
pemulangan dan reintegrasi terutama persoalan anggaran yang terbatas dan
pendampingan secara kontinyu yang tidak dilakukan. Begitu juga dalam
melakukan pemantauan kepada korban yang tidak dilakukan secara rutin dan
sistematis.
Jika kasus perdagangan anak tidak bisa ditangani secara optimal dikarenakan
tidak tersedianya anggaran yang memadai dan fungsi koordinasi yang tidak
berjalan, sehingga menyebabkan perlindungan hukum, rehabilitasi, pemulangan
dan reintegrasi bagi korban tidak dapat direalisasikan. Hal ini memungkinkan
anak yang diperdagangkan menjadi korban kembali.
Situasi buruk yang dialami oleh anak yang diperdagangkan menyebabkan posisi
anak semakin rentan terhadap berbagai pelanggaran terhadap hak-hak mereka
sebagai anak. Oleh karena itu, tantangan besar yang dihadapi adalah
bagaiamana menyelamatkan anak-anak agar terhindar sebagai korban, dan
bagaimana anak-anak yang telah menjadi korban dapat diselamatkan dari situasi
buruk tersebut. Walaupun sudah ada peraturan mengenai pemberantasan tindak
pidana perdagangan orang, namun peraturan tersebut masih sulit untuk menjerat
pelaku. Selain itu, peraturan yang telah dilahirkan belum semuanya dapat
dilaksanakan secara optimal dikarenakan ketidaktahuan aparat penegak hukum
dalam memandang anak sebagai korban.
4.2. Rekomendasi
Dalam
memberikan
perlindungan
hukum,
rehabilitasi,
pemulangan
dan
reintegrasi kepada korban perdagangan anak, maka yang harus dilakukan
adalah:
140

Implementasi
Undang-Undang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Perdagangan Orang (PTPPO) dan peraturan turunannnya secara
maksimal

Proses hukum yang tepat, mudah, cepat dan tidak dipersulit dalam
menangani kasus perdagangan anak

Perlunya ruangan khusus di Kejaksaan untuk kasus anak, karena secara
struktur di Kejaksaan belum ada yang khusus menangani kasus anak

Perlunya ruangan khusus dan ruang tunggu di Pengadilan untuk kasus
perdagangan anak

Tempat pengaduan yang mudah dijangkau oleh korban

Pendampingan dan layanan lanjutan yang komprehensif bagi korban, dan
harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memberikan bantuan terutama dari
Pemerintah

Tugas pokok dan fungsi dari SKPD Pemerintah Daerah sebagai penyedia
layanan pada korban dimaksimalkan dan tidak hanya berhenti setelah
korban dipulangkan tapi perlu pendampingan lanjutan

Pemerintah Daerah harus mengalokasikan anggaran untuk penanganan
korban seperti perlindungan hukum, rehabilitasi, pemulangan dan
reintegrasi

Meningkatkan koordinasi dan kerjasama diantara Gugus Tugas dan
SKPD dalam menangani korban sehingga layanan yang diberikan benarbenar menyentuh kebutuhan korban.
141
DAFTAR PUSAKA
Protokol untuk Pencegahan, Penekanan dan Penghukuman Perdagangan
Manusia, Khususnya Perempuan dan Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa terhadap Kejahatan Transnasional yang Terorganisir, 2000
Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, 2002
Panduan “Melindungi Hak dan Martabat Anak Yang Diperdagangkan” Asia
Against Child Trafficking (ACT) dan Indonesia Against Child Trafficking (ACT),
2006
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, 2007
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 2007
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit
PPA) di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2007
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara
dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang, 2008
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 69 Tahun 2008 Tentang Gugus
Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, 2008
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008
Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan
Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, 2008
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia
No.
25/Kep/Menko/Kesra/IX/2009
Tentang
Rencana
Aksi
Nasional
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan Eksploitasi
Seksual Anak (ESA) 2009 – 2014, 2009
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia No.
01 Tahun 2009 Tentang Standar Pelayanan Minimal Pelayanan Terpadu Bagi
Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kabupaten/Kota,
2009
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Republik Indonesia No. 22 Tahun 2010 Tentang Prosedur Standar Operasional
142
Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan
Orang, 2010
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan Dan Anak, 2004
Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 24 Tahun 2005 Tentang Rencana Aksi
Provinsi Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak 2005 – 2009 dan
Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, 2005
Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 53 Tahun 2010 Tentang Rencana Aksi
Provinsi Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 2010-2015, 2010
Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 54 Tahun 2010 Tentang Gugus Tugas
Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Provinsi
Sumatera Utara, 2010
Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur No.14 Tahun 2008 Tentang
Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang, 2008
Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur No. 389/KEP/HK/2010 Tentang
Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA), 2010
Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur No.190 /KEP/HK/2011 Tentang
Tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan
Orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2011
Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 47 Tahun 2009 Tentang Gugus Tugas
Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, 2009
Keputusan Walikota Semarang No. 463/05 Tahun 2011 Tentang Penanganan
Korban Perdagangan Anak, 2011
Wawancara dengan Emmy Suryana Lubis, S.H, MAP, Kepala Bagian
Perlindungan dan Kualitas Hidup Perempuan, Biro Pemberdayaan Perempuan,
Anak dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera Utara, 2011
Wawancara dengan AKP Sitiani Purba, Sub Direktorat Remaja, Anak, dan
Wanita Kepolisian Daerah Sumatera Utara, 2011
Wawancara dengan Batara SH, Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi
Sumatera Utara, 2011
Wawancara dengan Emmi Suryanti Lubis, SH, Kejaksaan Tinggi Sumatera
Utara, 2011
143
Wawancara dengan Drs. Darwin Surbakti, Kepala Bidang Rehabiltasi Sosial,
Dinas Sosial Kabupaten Deli Serdang, 2012
Wawancara dengan Parlaungan Harahap, SE, Staf P2TP2A Kabupaten Deli
Serdang, 2012
Wawancara dengan Iptu Devi Ariantari, Kepala Unit PPA Kepolisian Resor Deli
Serdang, 2012
Wawancara dengan dr.Yovita Anike Mitak, MPH, Kepala Biro Pemberdayaan
Perempuan Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2011
Wawancara dengan Yermias Sine, Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Dinas
Sosial Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2011
Wawancara dengan AKP Bertha Hangge, Kepala Unit PPA Kepolisian Daerah
Nusa Tenggara Timur, 2011
Wawancara dengan Len Agustin, Staf P2TP2A Provinsi Nusa Tenggara Timur,
2011
Wawancara dengan Elisabeth Boki, Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan,
Badan Partisipasi Masyarakat dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten
Kupang, 2011
Wawancara dengan Dra. Nina Laminasari Aminta, Kepala Bidang P2SPMK3,
Dinas Sosial Kabupaten Kupang, 2011
Wawancara dengan Iptu Ade Irma, Kepala Unit PPA Kepolisian Resor Kupang,
2011
Wawancara dengan Yesron Mbau, SH, Jaksa Pidana Umum Kejaksaan Negeri
Kupang, 2011
Wawancara dengan Ema Rahmawati, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan,
Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana
Provinsi Jawa Tengah, 2011
Wawancara dengan AKP Siti Rohani, Kepala Unit Remaja, Anak, dan Wanita
Kepolisian Daerah Jawa Tengah, 2012
Wawancara dengan Tri Murdiastuti dan Heni, Bagian Rehabilitasi Sosial, Dinas
Sosial Provinsi Jawa Tengah, 2012
Wawancara dengan Indira Hapsari, staf Pusat Pelayan Terpadu Provinsi Jawa
Tengah, 2012
144
Wawancara dengan Iptu Endang Suprobo, Kepala Unit PPA Polrestabes
Semarang, 2012
Wawancara dengan Mustaqfirin SH, Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan
Negeri Semarang, 2012
Wawancara dengan Rumiyati Hanum, staf PPT Seruni Kota Semarang, 2012
Wawancara dengan Budi, Dinas Sosial, Pemuda dan Olah Raga Kota
Semarang, 2012
145
Download