2012 Laporan Hasil Penelitian Kebijakan, Intervensi Hukum, Sistem, Rencana Strategi dan Struktur Penegak Hukum Dalam Penanganan Korban Perdagangan Anak DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1.2. Rumusan Masalah Penelitian 1.3. Konsep Penelitian 1.4. Tujuan Penelitian 1.5. Metode dan Teknik Penelitian a. Ruang Lingkup Penelitian b. Lokasi Penelitian c. Teknik Pengumpulan Data d. Teknik Analisis Data 1.6. Sistematika Penulisan 1.7. Pelaksana Penelitian 1.8. Jadwal Penelitian 2 2 4 4 5 6 6 7 8 8 9 10 10 BAB II KEBIJAKAN DAN RENCANA STRATEGI PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK PADA TINGKAT NASIONAL DAN DAERAH 2.1. Nasional 2.2. Daerah 2.2.1. Provinsi Sumatera Utara 2.2.2. Provinsi Nusa Tenggara Timur 2.2.3. Provinsi Jawa Tengah 11 INTERVENSI HUKUM DALAM MENANGANI KORBAN PERDAGANGAN ANAK 3.1. Kepolisian 3.2. Kejaksaan 3.3. Biro/Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 3.4. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) 3.5. Dinas Sosial 96 BAB III BAB IV 11 68 68 82 88 97 107 115 121 131 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1. Kesimpulan 4.2. Rekomendasi 137 137 140 DAFTAR PUSTAKA 142 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kasus perdagangan anak (child trafficking) di Indonesia dalam lima tahun terakhir terus mengalami peningkatan, data dari International Organization for Migration (IOM) menunjukkan bahwa dari tahun 2005 hingga Desember 2010 ada 3.840 orang yang menjadi korban perdagangan manusia baik yang terjadi di dalam negeri maupun luar negeri. Dari 3.840 orang yang menjadi korban perdagangan tersebut, 899 diantaranya merupakan anak-anak. Begitu juga data dari Bareskrim Polri yang menyebutkan bahwa dari tahun 2005-2010 ada 364 anak yang menjadi korban perdagangan. Sebagian besar dari tujuan perdagangan ini adalah untuk eksploitasi seksual dan pekerja rumah tangga. Sementara asal korban sebagian besar berasal dari Provinsi Jawa Barat, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Dampak yang dialami korban perdagangan anak pun sangat serius, mulai berdampak secara fisik dan psikis, hingga berdampak kepada kematian. Begitu seriusnya dampak yang ditimbulkan maka perdagangan anak dapat dikatakan sebagai tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia. Karena perdagangan anak merupakan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia, maka dalam penanganan korban pun harus berbasiskan standar hak asasi manusia. Untuk penanganan korban perdagangan anak, di dalam Protokol untuk Pencegahan, Penekanan dan Penghukuman Perdagangan Manusia, khususnya Perempuan dan Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Kejahatan Transnasional yang Terorganisir, atau disebut juga Protokol Palermo menyebutkan bahwa negara diharuskan memberikan bantuan dan perlindungan bagi korban perdagangan manusia dengan menghormati secara 2 penuh hak asasi korban. Kemudian protokol ini disahkan oleh Indonesia menjadi Undang-Undang No. 14 tahun 2009. Untuk penanganan yang menghormati secara penuh hak asasi korban perdagangan manusia khususnya anak, Asia Against Child Trafficking (ACT) dan Indonesia ACT telah mengeluarkan panduan penanganan anak yang diperdagangkan yang berbasiskan hak asasi manusia dan penghargaan martabat anak. Di dalam panduan tersebut merincikan bagaimana melakukan pendeteksian dan pengidentifikasian awal, kontak awal, sistem rujukan, koordinasi, kolaborasi dan kerjasama, perawatan dan perlindungan sementara, manajemen kasus sosial anak yang diperdagangkan, akses pada keadilan, perawatan dan perlindungan bagi penyedia layanan kesejahteraan sosial, serta peningkatan kemampuan. Untuk penanganan perdagangan anak ini, dalam concluding observations atas Laporan Kedua Pelaksanaan KHA di Indonesia tahun 2004 Komite Hak Anak PBB merekomendasikan agar pemerintah Indonesia menetapkan definisi yang tepat dari perdagangan manusia, meningkatkan perlindungan hukum untuk anak-anak yang menjadi korban, mengambil tindakan-tindakan efektif untuk mempertegas penegakan hukum, dan meningkatkan intensitas daya upaya untuk menggalang kesadaran masyarakat tentang penjualan, perdagangan dan penculikan anak-anak. Dari rekomendasi Komite Hak Anak PBB tersebut jelaslah bahwa pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah dalam penanganan anak yang diperdagangkan baik itu legislatif, administratif, maupun program. Penanganan bagi anak yang menjadi korban perdagangan seperti yang direkomendasikan Komite Hak Anak PBB titik tekannya adalah memberikan keadilan pada korban. Untuk memastikan bagaimana penanganan korban yang memberikan rasa keadilan maka perlu diketahui situasi penanganan korban baik 3 dalam kebijakan dan praktiknya di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Untuk mendapatkan informasi mengenai penanganan bagi anak yang menjadi korban perdagangan yang telah dilakukan oleh pemerintah baik pusat, provinsi, dan kabupaten/kota perlu dilakukannya penelitian. Informasi ini menjadi sangat penting untuk menjadi dasar dalam melakukan advokasi perlindungan hukum bagi anak-anak yang menjadi korban perdagangan terutama dalam perlindungan hukum, pemulihan, dan reintegrasi. Penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan penanganan korban mulai perlindungan hukum hingga pemulihan dan reintegrasinya bagi anak-anak yang menjadi korban perdagangan yang telah dilakukan pemerintah yang memberikan rasa keadilan bagi korban, mulai dari kebijakan, rencana strategi, hingga struktur para penegak hukum dalam penanganan kasus hingga struktur pemulihan dan reintegrasi. 1.2. Rumusan Masalah Penelitian Rumusan masalah secara umum adalah : Bagaimana sistem penanganan korban perdagangan anak di Indonesia pada tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota? Rumusan masalah ini dibuat menjadi lebih spesifik sebagai berikut : a. Bagaimana penanganan perlindungan hukum bagi korban perdagangan anak b. Bagaimana penanganan pemulihan bagi korban perdagangan anak c. Bagaimana penanganan reintegrasi bagi korban perdagangan anak 1.3. Konsep Penelitian Dalam penelitian ini konsep penelitiannya adalah sebagai berikut : a. Sistem penanganan, adalah prosedur dan mekanisme yang dikembangkan dalam upaya memberikan bantuan/pelayanan terhadap korban perdagangan anak. 4 b. Perlindungan hukum, adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan hukum untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban perdagangan anak. c. Pemulihan adalah segala upaya untuk penguatan bagi korban perdagangan anak dari gangguan kondisi fisik, psikis, dan sosial sehingga dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. d. Reintegrasi adalah upaya penyatuan kembali korban dengan pihak keluarga, keluarga pengganti, atau masyarakat yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban perdagangan anak. e. Kebijakan, adalah perundang-undangan, peraturan-peraturan, dan keputusan-keputusan pemerintah pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dalam menangani korban perdagangan anak. f. Intervensi hukum, tindakan yang dilakukan oleh aparat yang diberi kewenangan oleh negara untuk memberikan perlindungan hukum, pemulihan, dan reintegrasi dalam penanganan korban perdagangan anak. g. Rencana strategi, adalah merupakan rencana aksi yang disusun oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk menangani korban perdagangan anak. h. Struktur penegak hukum, adalah susunan atau bagan dalam institusi aparat yang diberi kewenangan oleh negara untuk melakukan tugas pokok dan fungsi sebagai penegakan peraturan dan perundang-undangan yang menangani korban perdagangan anak, unsur penegak hukum adalah Polisi, Jaksa, Hakim. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Mendapatkan informasi mengenai kebijakan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dalam penanganan korban perdagangan anak. 5 b. Mendapatkan informasi mengenai perlindungan hukum, pemulihan, dan reintegrasi terhadap korban perdagangan anak. c. Mendapatkan informasi mengenai rencana strategi pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dalam penanganan korban perdagangan anak d. Mendapatkan informasi mengenai struktur penegak hukum yang menangani korban perdagangan anak 1.5. Metode dan Teknik Penelitian a. Ruang Lingkup Penelitian Untuk mencapai tujuan a, maka beberapa persoalan yang diharapkan dieksplorasi dalam penelitian ini diantaranya : 1. Bagaimana kebijakan tersebut mendefenisikan tentang perdagangan anak 2. Prinsip-prinsip yang dipertimbangkan dalam perlindungan bagi korban perdagangan anak di dalam kebijakan tersebut 3. Bagaimana kebijakan tersebut mengatur perlindungan hukum, pemulihan, dan reintegrasi bagi korban perdagangan anak Untuk mencapai tujuan b, maka beberapa persoalan yang diharapkan dieksplorasi dalam penelitian ini diantaranya : 1. Bagaimana peran masing-masing institusi dalam melakukan perlindungan hukum, pemulihan, dan reintegrasi bagi korban perdagangan anak 2. Bagaimana perlindungan bagi anak sebagai korban/saksi 3. Bagaimana kerjasama antar institusi dilakukan 4. Bagaimana pemantauan kasus dilakukan Untuk mencapai tujuan c, maka beberapa persoalan yang diharapkan dieksplorasi dalam penelitian ini diantaranya : 1. Bagaimana rencana aksi pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota untuk perlindungan hukum, pemulihan, dan reintegrasi sosial bagi korban perdagangan anak. 6 2. Bagaimana rencana aksi tersebut dijalankan dan siapa saja yang terlibat dalam menjalankan rencana aksi tersebut Untuk mencapai tujuan d, maka beberapa persoalan yang diharapkan dieksplorasi dalam penelitian ini diantaranya : 1. Institusi penegak hukum apa saja dalam melakukan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan putusan dalam menangani korban perdagangan anak. 2. Bagaimana struktur institusi penegak hukum dalam menangani korban perdagangan anak di Kepolisian dan Kejaksaan. b. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Untuk tingkat provinsi penelitian ini akan dilakukan di 3 provinsi yakni : 1. Provinsi Jawa Tengah 2. Provinsi Sumatera Utara 3. Provinsi Nusa Tenggara Timur Kemudian untuk tingkat kabupaten/kota dilakukan di 3 kabupaten/kota yakni : 1. Semarang 2. Deli Serdang 3. Kupang Provinsi dan kabupaten/kota ini merupakan daerah asal korban yang paling banyak ditemukan dan juga merupakan wilayah kerja Indonesia ACT. Pada tingkat nasional sasaran penelitiannya berupa kebijakan dimasing-masing Kementerian dalam menangani korban perdagangan anak, intervensi pemulihan dan reintegrasi korban, dan sistem penanganan korban. Kemudian institusi penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan berupa kebijakan dimasingmasing institusi dalam menangani korban, intervensi perlindungan hukum bagi 7 korban (penyidikan, penuntutan, persidangan), sistem penanganan korban, dan struktur dalam penanganan. Untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota sasaran penelitiannya adalah Badan/Biro Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dinas Sosial, dan P2TP2A. Data yang diharapkan dari institusi pemerintah daerah ini berupa kebijakan provinsi dan kabupaten/kota (Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota) untuk penanganan korban, intervensi pemulihan dan reintegrasi korban, sistem penanganan korban, dan rencana aksi daerah untuk penanganan korban. Kemudian untuk institusi penegak hukum pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota seperti Kepolisian Daerah (Polda), Kepolisian Resort/Kepolisian Resor Kota (Polres/Polresta), serta Kejaksaan Tinggi dan Negeri. Data yang diharapkan dari institusi penegak hukum di daerah ini berupa intervensi perlindungan hukum bagi korban, sistem penanganan korban, dan struktur dalam penanganan. c. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dalam pelaksanaan penelitian, proses pengumpulan data akan menggunakan dua strategi. Pertama adalah pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan terkait dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur dan Bupati/Walikota. Kebijakan pada tingkat penegak hukum seperti Kepolisian, dan Kejaksaan. Rencana Aksi pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, standar pelayanan minimal dan standar operasional prosesur. Kedua adalah melakukan wawancara dengan informan kunci seperti dari instansi pemerintah dan aparat penegak hukum di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. d. Teknik Analisis Data 8 Data-data yang terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan panduan penanganan anak yang diperdagangkan yang berbasiskan hak asasi manusia dan penghargaan martabat anak yang dikeluarkan oleh Asia ACT dan Indonesia ACT. Hasil analisis data akan disajikan secara naratif-deskriptif untuk mendapatkan gambaran detail tentang penanganan bagi anak yang menjadi korban perdagangan. 1.6. Sistematika Penulisan Bagian I : Pendahuluan Dalam bagian ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan rencana kerja penelitian (design penelitian) dengan Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah Penelitian, Konsep Penelitian, Tujuan Penelitian, Metode dan Teknik Penelitian, Laporan Penelitian, Personil Penelitian, dan Jadwal Penelitian. Bagian II : Deskripsi Mengenai Kebijakan dan Rencana Strategi Penanganan Korban Perdagangan Anak Pada bagian ini akan dibahas mengenai deskripsi kebijakan dan rencana strategis pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota penanganan korban perdagangan anak Bagian III : Deskripsi Mengenai Intervensi Hukum, dan Struktur Penegak Hukum Dalam Menangani Korban Perdagangan Anak Pada bagian ini akan dibahas mengenai intervensi hukum seperti perlindungan hukum, pemulihan, reintegrasi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota kepada korban. Mekanisme yang dikembangkan oleh pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota untuk menangani korban. Institusi penegak hukum dan struktur institusi dalam menangani korban. 9 Bagian IV : Kesimpulan dan Rekomendasi Bagian ini merupakan bagian penutup yang berisikan kesimpulan dan rekomendasi dari hasil penelitian yang berkaitan dengan tujuan penelitian. 1.7. Pelaksana Penelitian Pelaksana kegiatan penelitian ini adalah Yayasan KKSP – Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak, dengan struktur dan fungsi sebagai berikut : 1. Muhammad Jailani (Supervisor) 2. Syamsul (Koordinator) 3. Yayasan KKSP, Sumatera Utara (Anggota) 5. Yayasan Setara, Jawa Tengah (Anggota) 6. Rumah Perempuan, NTT (Anggota) 1.8. Jadwal Penelitian Penelitian ini akan dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu tahap penyusunan desain penelitian, tahap pengumpulan data, tahap analisis data dan tahap penulisan laporan. 10 BAB II KEBIJAKAN DAN RENCANA STRATEGI PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK PADA TINGKAT NASIONAL DAN DAERAH 2.1. Nasional Pada 15 November 2000 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan Protokol untuk Pencegahan, Penekanan dan Penghukuman Perdagangan Manusia, Khususnya Perempuan dan Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Kejahatan Transnasional yang Terorganisir, atau disebut juga sebagai Protokol Palermo, dan kemudian protokol ini diberlakukan pada tanggal 25 Desember 2003. Dalam protokol ini, perdagangan manusia didefinisikan : Perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan atau menerima individuindividu, dengan cara mengancam atau penggunaan paksaan atau bentukbentuk kekerasan lainnya, penculikan, penipuan, kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau pemanfaatan sebuah posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari seseorang untuk memiliki kontrol terhadap orang lain, dengan tujuan-tujuan untuk mengeksploitasi. Eksploitasi haruslah mencakup, pada tingkat paling minimum, eksploitasi prostitusi terhadap seseorang atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau penghilangan organ. Dari Protokol ini ada tiga unsur yang disebut sebagai perdagangan manusia yakni proses, cara, dan tujuan. Proses meliputi perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan atau menerima. Cara meliputi mengancam atau penggunaan paksaan atau bentuk-bentuk kekerasan lainnya, penculikan, penipuan, kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau pemanfaatan sebuah posisi yang rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mendapatkan izin dari seseorang untuk memiliki control terhadap orang lain. Tujuan untuk eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan atau praktekpraktek yang serupa dengan perbudakan, penghambaan atau penghilangan organ. 11 Sementara untuk perdagangan anak, dalam Protokol ini mendefinisikan : Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai “perdagangan manusia” meskipun jika hal ini tidak melibatkan cara. Jadi untuk anak apabila terdapat dua unsur saja yakni proses dan tujuan maka dapat disebut sebagai perdagangan manusia. Kemudian Protokol ini diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui UndangUndang No. 14 Tahun 2009. Dalam panduan “Melindungi Hak dan Martabat Anak Yang Diperdagangkan” yang disusun Asia Against Child Trafficking (ACT) dan Indonesia Against Child Trafficking (ACT) mendefinisikan bahwa perdagangan anak adalah : Rekrutmen, pengangkutan, pemindahan, menampung/menyembunyikan, atau penerimaan anak untuk tujuan eksploitasi di dalam atau di luar negeri, yang mencakup tetapi tidak terbatas pada pelacuran anak, pornografi anak, dan bentuk eksploitasi seksual lainnya, buruh anak, buruh atau kerja paksa, perbudakan, atau praktek-praktek mirip perbudakan, penghambaan, pemindahan dan penjualan organ tubuh, penggunaan aktivitas terlarang/tidak sah dan keikutsertaan dalam konflik bersenjata. Dalam panduan ini, rekrutmen, pengangkutan, pemindahan, penampungan/penerimaan anak lewat adopsi atau pernikahan untuk tujuan eksploitasi juga dianggap termasuk perdagangan anak. Persetujuan dari seorang anak atau orang yang memegang hak asuh atas seorang anak untuk diperdagangkan atau salah satu dari unsur perdagangan orang adalah tidak relevan dan tidak membebaskan atau mengurangi tanggungjawab pelaku atas tindakannya yang telah melakukan atau mendukung terjadinya perdagangan anak. Kemudian penggunaan ancaman atau paksaan atau bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penggelapan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau penggunaan posisi rentan atau memberi atau menerima bayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang bertanggung jawab atas anak tersebut dianggap tidak relevan dan tidak bisa dianggap sebagai unsur utama dalam perdagangan anak. 12 Untuk persoalan perdagangan manusia, sebagai langkah awal Pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak pada 30 Desember 2002. Rentang waktu Rencana Aksi Nasional ini untuk lima tahun, dari 2003 hingga 2007. Kemudian dalam Rencana Aksi Nasional ini, perdagangan perempuan dan anak didefinisikan : “Segala tindakan pelaku trafiking yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan anak. Dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.” Untuk mendefinisikan perdagangan manusia di dalam Rencana Aksi Nasional ini sudah mengacu kepada Protokol Palermo. Namun di dalam Rencana Aksi Nasional ini tidak mendefinisikan secara khusus untuk perdagangan anak, dan menggabungkan antara orang dewasa dengan anak. Artinya perdagangan anak harus memenuhi tiga unsur yakni proses, cara dan tujuan. Sementara untuk perdagangan anak di Protokol Palermo hanya memenuhi dua unsur yakni proses dan tujuan, sedangkan cara dapat diabaikan. Dalam Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak tahun 2003 – 2007, setidaknya ada empat yang menjadi target pencapaian dalam upaya penghapusan perdagangan perempuan dan anak selama lima tahun, yakni : Adanya norma hukum dan tindakan terhadap pelaku trafiking Terlaksananya rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban trafiking 13 Terlaksananya pencegahan segala bentuk trafiking Terciptanya kerjasama dan koordinasi dalam penghapusan trafiking perempuan dan anak antar instansi di tingkat nasional, regional dan internasional. Kemudian dalam memberikan perlindungan hukum, rehabilitasi dan reintergrasi bagi korban perdagangan perempuan dan anak, Rencana Aksi Nasional 2003 2007 merencanakan berbagai kegiatan dalam jangka waktu lima tahun, diantaranya : Mengharmonisasikan standar hukum internasional ke dalam hukum nasional di bidang pencegahan, pemberantasan, dan penghukuman terhadap pelaku trafiking manusia, terutama perempuan dan anak. Menyiapkan rancangan undang-undang dan mengesahkan undangundang mengenai : - Penghapusan trafiking Perempuan dan Anak - Perlindungan Saksi dan Korban - Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga - Perlindungan Buruh Migran Pengkajian dan penyiapan draft revisi terhadap KUHP, KUHAP, UndangUndang Perkawinan, Undang-Undang Keimigrasian, Undang-Undang Peradilan HAM ketetentuan yang berkaitan dengan penghapusan trafiking perempuan dan anak dengan berdasarkan prinsip : - Penetapan sistem sanksi minimal pelaku tindak pidana trafiking - Pemberatan sanksi hukuman terhadap pelaku tindak pidana trafiking - Pemberatan sanksi atas keterlibatan pejabat dan tokoh masyarakat yang tersangkut pada tindak pidana trafiking Meninjau dan mengevaluasi berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang merugikan perempuan dan anak Menerbitkan berbagai peraturan daerah mengenai pencegahan dan perlindungan trafiking perempuan dan anak, serta pemulihan korban trafiking 14 Memfasilitasi penyelesaian kasus trafiking Menyelenggarakan Diklat Hakim dan penegak hukum tentang penanganan kasus trafiking perempuan dan anak; Melakukan Diklat bagi PPNS khusus untuk pengawasan pekerja anak dan trafiking; Melakukan Diklat bagi aparatur Penegak Hukum Membentuk unit khusus untuk penanganan masalah tindak pidana trafiking. Mempersiapkan Rumah Sakit dan Puskesmas sebagai “Pusat Krisis” bagi korban Penyiapan rumah perlindungan/protection home, pusat krisis dan trauma serta panti rehabilitas Mendirikan dan mengembangkan Pusat Krisis Pengembangan pendidikan alternatif bagi anak-anak dan perempuan Mengembangkan dan menetapkan standars sistem rehabilitasi dan integrasi sosial Membangun berbagai pusat pelayanan terpadu di berbagai daerah Membangun sistem pengaduan korban Mengembangkan sistem kompensasi atas kerugian korban Mengalokasian anggaran pemerintah pusat dan daerah untuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban Dari Rencana Aksi Nasional 2003 - 2007 ini, selama lima tahun kegiatan yang direncanakan untuk perlindungan hukum bagi korban masih terbatas pada harmonisasi standar hukum internasional ke dalam hukum nasional, membuat rancangan dan mengesahkan undang-undang, pengkajian dan membuat rancangan revisi terhadap undang-undang yang sudah ada, mereviu dan mengevaluasi peraturan-peraturan di daerah, menerbitkan peraturan-peraturan daerah. Melakukan pendidikan dan latihan bagi hakim, aparatur penegak hukum, dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dalam penanganan kasus 15 perdagangan anak. Membentuk unit khusus dan memfasilitasi penanganan kasus tindak pidana perdagangan anak. Sedangkan untuk pemulihan dan reintegrasi lebih kepada mempersiapkan berbagai sarana pemulihan korban seperti rumah sakit dan puskesmas sebagai pusat krisis, rumah perlindungan, pusat trauma dan panti rehabilitasi, serta pusat pelayanan terpadu di daerah. Kemudian mengembangkan berbagai standar dan sistem untuk pemulihan dan integrasi, pengaduan, serta kompensasi atas kerugian korban. Mengembangkan pendidikan alternative bagi korban dan mengalokasikan anggaran pemerintah pusat dan daerah untuk pemulihan dan reintegrasi bagi korban. Di dalam Keppres No. 88 tahun 2002 ini juga menekankan dalam menjamin terlaksananya Rencana Aksi Nasional tersebut, dibentuklah Gugus Tugas pada tingkat nasional, dan untuk di daerah dibentuk Gugus Tugas Provinsi dan Gugus Tugas Kabupaten/Kota melalui Keputusan Gubernur dan Keputusan Bupati/Walikota. Diakhir jangka waktu Rencana Aksi Nasional 2002 - 2007, pada 19 April 2007 lahirlah kebijakan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) yang ditetapkan melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 2007. Di dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 perdagangan manusia didefinisikan : “Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.” Dari defenisi ini ada tiga unsur yang disebut sebagai perdagangan manusia yakni proses, cara, dan tujuan. 16 Proses meliputi perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang. Cara meliputi ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, Tujuan untuk eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi, dan eksploitasi diartikan sebagai tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Sedangkan sanksi bagi pelaku perdagangan manusia dalam undang-undang ini diancam dengan pidana penjara dan pidana denda, seperti yang tertera pada pasal 2 : “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”. Sementara untuk perdagangan anak, dalam undang-undang ini tidak mendefenisikan secara khusus, dan hanya menyebutkan pengiriman anak ke 17 dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi, seperti yang tertera pada pasal 6 : Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Termasuk juga dalam melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi, seperti pada pasal 5 : Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Kemudian undang-undang ini juga memberikan sanksi yang cukup berat bagi pelaku apabila tindak pidana perdagangan manusia dilakukan terhadap anak, yakni dengan ancaman pidananya tambah 1/3, seperti yang tercantum pada pasal 17 dalam undang-undang ini : Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga). Selain itu apabila korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, pelaku diancam dengan ancaman pidananya ditambah 1/3, dan apabila korban meninggal dunia maka pelaku diancam dengan pidana penjara maksimal seumur hidup dan pidana denda, seperti yang terdapat pada pasal 7 ayat 1 dan 2 : (1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. 18 (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Di undang-undang ini juga memberikan sanksi bagi penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan manusia. Sanksi bagi penyelenggara negara ini, ancaman pidananya ditambah 1/3 dan pemberhentian tidak hormat dari jabatannya, ketentuan ini diatur pada pasal 8 ayat 1 dan 2 : (1) Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya. Selain itu, undang-undang ini juga memberikan sanksi pidana kepada orang dan korporasi yang mendukung terjadinya tindak pidana perdagangan manusia, seperti : Berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi Membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang Merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang Menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan mempekerjakan korban korban tindak tindak pidana pidana perdagangan perdagangan orang orang, untuk 19 meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang Memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang Memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang Melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang Dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara perdagangan orang, Membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan : a. Memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku b. Menyediakan tempat tinggal bagi pelaku c. Menyembunyikan pelaku; atau d. Menyembunyikan informasi keberadaan pelaku Memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan Bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Dalam mendefenisikan perdagangan manusia, sesungguhnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 ini sudah merujuk pada Protokol Palermo, namun belum 20 mendefenisikan secara tegas untuk perdagangan anak. Tentu saja ini memiliki persepsi bahwa perdagangan manusia terhadap orang dewasa dan terhadap anak adalah sama yakni harus memenuhi tiga unsur tersebut. Selain itu, hal ini juga akan berakibat pada kasus-kasus perdagangan anak, maka unsur-unsur pembuktiannya tidak berbeda dengan orang dewasa. Jika mengacu kepada Protokol Palermo, hal yang membedakan antara perdagangan orang dewasa dengan anak, dari ketiga unsur yang harus dipenuhi dalam kasus perdagangan manusia (proses, cara dan tujuan eksploitasi) pada perdagangan anak, persyaratan penggunaan cara tidak berlaku. Sehingga apabila ada proses perekrutan dan perpindahan anak dari satu wilayah ke wilayah lain untuk tujuan eksploitasi, maka itu sudah dapat dikatakan sebagai perdagangan anak. Kekhawatiran pada penanganan kasus, akan banyak kasus-kasus perdagangan anak yang tidak dianggap sebagai kasus perdagangan anak. Kemudian juga harus diakui bahwa undang-undang ini juga memberikan sanksi pidana yang cukup berat terhadap pelaku tindak pidana perdagangan manusia. Dalam menangani korban perdagangan anak, Protokol Palermo menyebutkan bahwa korban harus mendapatkan bantuan dan perlindungan, serta pemulangan dari negara. Bantuan dan perlindungan bagi korban, negara harus melindungi privasi dan identitas korban, perlindungan dan bantuan hukum. Pemulihan fisik, psikis, sosial, dan kebutuhan-kebutuhan khusus anak-anak termasuk didalamnya konseling dan informasi, tempat tinggal, pendidikan dan pengasuhan yang layak. Menjamin keselamatan fisik korban, dan mendapatkan kompensasi atas kerugian yang diderita. Kemudian untuk pemulangan, negara harus memfasilitasi dan menerima kepulangan korban tanpa penundaan yang berlebihan dan tidak berlasan, dengan memperhatikan keselamatan korban, dan pemulangan korban lebih baik harus bersifat sukarela. Begitu juga dalam panduan “Melindungi Hak dan Martabat Anak yang Diperdagangkan” yang menyebutkan bahwa dalam memberikan perlindungan 21 dan pemenuhan hak anak yang diperdagangkan dalam setiap tahap pelayanannya harus mempertimbangkan prinsip: Hak anak Kepentingan terbaik untuk anak Hak untuk mendapatkan perlakuan yang tidak diskriminatif Penghargaan terhadap pandangan anak Keadilan dan kesetaraan gender Hak atas informasi Hak atas kerahasiaan Penghargaan atas suku, budaya, kepercayaan dan identitas agama anak Kemudian dalam panduan tersebut juga memberikan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak yang diperdagangkan. Langkah-langkah tersebut terdiri dari : Pendeteksian dan pengidentifikasian awal, dalam tahap ini langkahlangkah yang harus dilakukan berupa memperkirakan usia dan tindakan identifikasi proaktif Kontak awal, dalam tahap kontak awal langkah-langkah yang harus dilakukan berupa tindakan awal, wawancara awal untuk mendapatkan data diri anak, wawancara dan peliputan harus sensitive anak korban, perlindungan hukum bagi anak, dan korban dilindungi dari media Sistem rujukan, koordinasi, kolaborasi dan kerjasama, untuk tahap ini langkah-langkah yang harus dilakukan berupa mekanisme rujukan, koordinasi, kolaborasi antar negara dan dengan organisasi non pemerintah, sistem pembagian peran dan fungsi dalam penanganan perdagangan anak, serta pengembangan sistem data base Perawatan dan perlindungan sementara, dalam memberikan perawatan dan perlindungan sementara langkah-langkah yang harus dilakukan berupa penyediaan tempat-tempat yang aman bagi anak, pemberian bantuan pelayanan, serta memfasilitasi keabsahan tinggal 22 Manajemen kasus sosial anak yang diperdagangkan, dalam tahap ini langkah-langkah yang harus dilakukan berupa melakukan penilaian kasus individual, melakukan identifikasi solusi jangka panjang, pelaksanaan solusi jangka panjang, serta pemantauan solusi jangka panjang Akses pada keadilan, dalam memberikan akses pada keadilan untuk saksi dan/atau korban langkah-langkah yang harus dilakukan berupa melakukan perlindungan keselamatan saksi/korban, melakukan proses pidana dan proses perdata Perawatan dan perlindungan bagi penyedia layanan kesejahteraan sosial, dalam tahap ini langkah-langkah yang harus dilakukan berupa menjalankan prosedur kompensasi, memberikan bantuan hukum dan membangun sistem bantuan Di dalam Undang-Undang PTPPO, dalam melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan untuk saksi dan/atau korban perdagangan anak memberikan ketentuan : Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi dan/atau korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas. Sidang tindak pidana perdagangan orang untuk memeriksa saksi dan/atau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup. Pemeriksaan saksi dan/atau korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang tua asuh, advokat, atau pendamping lainnya. Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa. Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak, atas persetujuan hakim, dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman, dan pemeriksaan dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang. 23 Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau pendamping lainnya yang dibutuhkan. Kemudian untuk alat bukti dalam undang-undang ini dapat berupa: Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada: a. Tulisan, suara, atau gambar; b. Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau c. Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya. Berdasarkan bukti permulaan yang cukup penyidik berwenang menyadap telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindakan penyadapan hanya dilakukan atas izin tertulis ketua pengadilan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada penyedia jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang. 24 Untuk keterangan saksi dan/atau korban dan putusan terhadap terdakwa, undang-undang ini mengatur dengan ketentuan : Dalam hal saksi dan/atau korban tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual. Saksi dan/atau korban berhak meminta kepada hakim ketua sidang untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa. Dalam hal saksi dan/atau korban akan memberikan keterangan tanpa kehadiran terdakwa, hakim ketua sidang memerintahkan terdakwa untuk keluar ruang sidang. Pemeriksaan terdakwa dapat dilanjutkan setelah kepada terdakwa diberitahukan semua keterangan yang diberikan saksi dan/atau korban pada waktu terdakwa berada di luar ruang sidang pengadilan. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut, tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa. Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai alat bukti yang diberikan dengan kehadiran terdakwa. Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada keluarga atau kuasanya. Kemudian mengenai informasi tentang perkembangan kasus dan kerahasiaan pelapor, dalam undang-undang ini mengatur dengan ketentuan : Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya. 25 Informasi tentang perkembangan kasus dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan. Dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, pelapor berhak dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor. Dalam hal pelapor meminta dirahasiakan nama dan alamatnya atau halhal lain, kewajiban merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana perdagangan orang sebelum pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang yang melakukan pemeriksaan. Dalam undang-undang ini juga mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan/atau korban. Bentuk-bentuk perlindungan terhadap saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan manusia tersebut adalah : Saksi dan/atau korban berhak memperoleh kerahasiaan identitas, dan hak memperoleh kerahasiaan identitas juga diberikan kepada keluarga saksi dan/atau korban, apabila keluarga saksi dan/atau korban mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan keterangan saksi dan/atau korban. Untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus di kepolisian dalam melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban. Untuk melindungi saksi dan/atau korban, setiap kabupaten/kota dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban Kepolisian wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara, apabila saksi dan/atau korban beserta keluarganya mendapatkan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya. Korban atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya 26 untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis, dan/atau kerugian lain. Kerugian lain yang diderita korban dapat berupa kehilangan harta milik, biaya transportasi dasar, biaya pengacara, atau kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku. Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah. Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi wajib memberikan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan permohonan. Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi social, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. Menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukan, apabila korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya. Apabila korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum akibat tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya negara. Apabila korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, Pemerintah mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia. Saksi dan/atau korban juga berhak mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain, yakni undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan/atau korban. 27 Undang-undang ini juga memberikan mandat kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk melakukan pencegahan dan penanganan korban perdagangan manusia, dan mandat tersebut berupa : Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah-langkah untuk pencegahan dan penanganan. Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah pencegahan dan penanganan Pemerintah dan Pemerintah Daerah membentuk Gugus Tugas, dan Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang diperlukan. Kemudian juga memberikan mandat untuk melakukan kerjasama internasional, membuka akses peran serta masyarakat, dan perlindungan hukum bagi masyarakat yang membantu penanganan korban, dan secara rinci mandat tersebut berupa : Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, pemerintah wajib melaksanakan kerja sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral, dan kerja sama dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya Untuk tujuan pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang, pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat, baik nasional maupun internasional Untuk melaksanakan peran serta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban, masyarakat berhak untuk memperoleh perlindungan hukum. 28 Sesungguhnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) ini sudah cukup tegas dalam mengatur dan memberikan mandat dalam menangani korban perdagangan anak. Penanganan korban tersebut mulai dari penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Alat bukti, keterangan saksi dan/atau korban, informasi mengenai perkembangan kasus, perlindungan terhadap saksi dan/atau korban. Hingga kewajiban pemerintah dalam penanganan korban, kerjasama internasional dalam penanganan korban, dan memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang melakukan penanganan korban. Dan lahirnya undang-undang ini dapat dikatakan sebagai langkah awal untuk mewujudkan perlindungan terhadap korban perdagangan anak. Setelah tiga bulan lahirnya Undang-Undang PTPPO, kemudian Kepolisian mengambil langkah-langkah dalam upaya untuk memberikan pelayanan dan perlindungan kepada perempuan dan anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dengan membentuk unit khusus di institusi kepolisian. Langkah yang diambil kepolisian ini adalah dengan dikeluarkannya kebijakan melalui Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada 6 Juli 2007. Dalam peraturan ini, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) memiliki tugas memberikan pelayanan, dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya. Dalam melaksanakan tugas, unit PPA berfungsi sebagai : Penyelenggaraan pelayanan dan perlindungan hukum Penyelenggaraan dan penyidikan tindak pidana Penyelenggaraan kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait 29 Kemudian lingkup tugas unit PPA meliputi tindak pidana terhadap perempuan dan anak, seperti : Perdagangan manusia (human trafficking) Penyelundupan manusia (people smuggling) Kekerasan (secara umum maupun dalam rumah tangga) Susila (perkosaan, pelecehan, cabul) Perjudian dan prostitusi Adopsi illegal Pornografi dan pornoaksi Money laundering dari hasil kejahatan tersebut diatas Masalah perlindungan anak (sebagai korban/tersangka) Perlindungan korban, saksi, keluarga dan teman Kasus-kasus lain dimana pelakunya adalah perempuan dan anak Setelah dikeluarkannya Peraturan Kapolri mengenai Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, setahun kemudian institusi ini mengeluarkan kebijakan mengenai Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana melalui Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008. Lahirnya Peraturan Kapolri No. 3 Tahun 2008 ini merupakan mandat dari Undang-Undang PTPPO pasal 45 untuk melindungi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang dalam melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan. Di dalam peraturan ini, tujuan dibentuknya Ruang Pelayanan Khusus (RPK) adalah untuk: Memberikan pelayanan dan perlindungan khusus kepada perempuan dan anak yang menjadi saksi, korban dan/atau tersangka yang ditangani di RPK. Sebagai tempat pelaksanaan pelayanan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi saksi, dan/atau korban tindak pidana 30 perdagangan orang, dan juga digunakan untuk kepentingan pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban perempuan dan anak dalam tindak pidana lainnya. Menghindari terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan tindakan yang dapat menimbulkan ekses trauma atau penderitaan yang lebih serius bagi perempuan dan anak. Dalam penyelenggaraan pelayanan saksi dan/atau korban, prinsip-prinsip yang dipertimbangkan dalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada anak yang menjadi saksi dan/atau korban dalam peraturan ini berupa : Menjunjung tinggi hak asasi manusia Memberikan jaminan keselamatan terhadap saksi dan/atau korban yang memberikan keterangan Menjaga kerahasiaan saksi dan/atau korban Meminta persetujuan secara lisan akan kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan keterangan Mengajukan pertanyaan dengan cara yang bijak Tidak menghakimi saksi dan/atau korban Menyediakan penerjemah, apabila diperlukan Mendengarkan keterangan korban dengan aktif dan penuh pengertian Memberikan informasi tentang perkembangan perkaranya Menjaga profesionalisme untuk menjamin terwujudnya keadilan dan kepastian hukum Memperlakukan saksi dan/atau korban dengan penuh empati. Dalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada anak yang menjadi saksi dan/atau korban perdagangan, peraturan ini memberikan mandat bahwa prinsip-prinsip tersebut wajib dipedomani oleh semua petugas yang melaksanakan penanganan terhadap anak, yang dimanifestasikan dalam sikap, ucapan dan tindakan. 31 Kemudian selain prinsip penyelenggaraan pelayanan bagi saksi dan/atau korban, juga ada asas dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan di Ruang Pelayanan Khusus, dan asas yang digunakan dalam peraturan ini adalah : Asas legalitas yaitu berdasarkan hukum yang berlaku Asas praduga tak bersalah yaitu semua orang dianggap tidak bersalah sebelum ditentukan oleh keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap Asas perlindungan dan pengayoman yaitu memberikan perlindungan hakhak saksi, korban atau tersangka yang sedang diproses Asas kekeluargaan yaitu memperlakukan yang dilayani seakan sebagai anggota keluarga Asas pembinaan yaitu tujuan pelayanan untuk menumbuhkembangkan potensi anak dan perempuan Asas keadilan yaitu mendasari prinsip keadilan dalam penanganan, tidak membedakan, tidak memihak Asas pelayanan yaitu memberikan pelayanan yang maksimal Asas nesesitas yaitu berdasarkan keperluan Di Ruang Pelayanan Khusus juga dilengkapi dengan fasilitas dan perlengkapan berupa ruang tamu, ruang konseling dan pemeriksaan, ruang kontrol, dan ruang istirahat. Penyediaan fasilitas dan perlengkapan ini agar dapat menjamin suasana tenang, terang dan bersih, tidak menimbulkan kesan menakutkan, dan dapat menjaga kerahasiaan serta keamanan bagi saksi dan/atau korban yang perkaranya sedang ditangani. Personel yang mengawaki Ruang Pelayanan Khusus juga diatur dalam peraturan ini, seperti jumlah personel, keutamaan jenis kelamin personel, waktu kerja, persyaratan personel yang bertugas, dan tugas personel. Sedangkan tugas personel Ruang Pelayanan Khusus meliputi : Penerimaan laporan/pengaduan tentang tindak pidana Membuat laporan polisi Memberi konseling 32 Mengirimkan korban ke PPT atau RS terdekat Pelaksanaan penyidikan perkara Meminta visum Memberi penjelasan kepada pelapor tentang posisi kasus, hak-hak, dan kewajibannya Menjamin kerahasiaan info yang diperoleh Menjamin keamanan dan keselamatan korban Menyalurkan korban ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) /Rumah Aman Mengadakan koordinasi dan kerja sama dengan lintas sektoral Memberi tahu perkembangan penanganan kasus kepada pelapor Membuat laporan kegiatan sesuai prosedur. Kemudian mekanisme pelaksanaan tugas atau tata cara penanganan saksi dan/atau korban di Ruang Pelayanan Khusus terdiri dari penerimaan laporan polisi, penyidikan, dan tahap akhir penyidikan. Dalam penerimaan laporan laporan polisi di Ruang Pelayanan Khusus, mekanisme yang dijalankan adalah : Korban diterima oleh personel unit Pelayanan Perempuan dan Anak Proses pembuatan laporan polisi didahului dengan interviu/wawancara dan pengamatan serta penilaian penyidik/petugas terhadap keadaan saksi korban Apabila saksi korban dalam kondisi trauma/stres, penyidik melakukan tindakan penyelamatan dengan mengirim saksi/korban ke PPT Rumah Sakit Bhayangkara untuk mendapatkan penanganan medis-psikis serta memantau perkembangannya Dalam hal saksi dan/atau korban memerlukan istirahat, petugas mengantar ke ruang istirahat atau rumah aman atau shelter Apabila korban dalam kondisi sehat dan baik, penyidik dapat melaksanakan interviu/wawancara guna pembuatan laporan polisi Pembuatan laporan polisi oleh petugas unit Pelayanan Perempuan dan Anak dan bila perlu mendatangi TKP untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti 33 Register penomoran laporan polisi ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) Dalam hal saksi dan/atau korban perlu dirujuk ke PPT atau tempat lainnya, petugas wajib mengantarkan sampai ke tujuan rujukan dan menyerahkan kepada petugas yang bersangkutan disertai dengan penjelasan masalahnya Dalam hal saksi dan/atau korban selesai dibuatkan Laporan Polisi dan perlu visum maka, petugas mengantarkan saksi dan/atau korban ke PPT untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan dan visum Kasus yang tidak memenuhi unsur pidana, dilakukan upaya bantuan melalui konseling dan pendekatan psikologis. Untuk penyidikan di Ruang Pelayanan Khusus, mekanisme yang dijalankan adalah : Penyidik membuat surat permohonan pemeriksaan kesehatan dan visum kepada Kepala RS Bhayangkara atau rumah sakit lainnya yang secara hukum dapat mengeluarkan visum sehubungan dengan laporan polisi yang dilaporkan oleh korban Penyidik menyiapkan administrasi penyidikan Apabila korban siap diperiksa dan bersedia memberikan keterangan terkait dengan laporan polisi yang dilaporkan korban, penyidik dapat melaksanakan kegiatan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap korban Apabila kasus yang dilaporkan korban melibatkan satu korban, dan satu tersangka saja, maka laporan polisi tersebut dapat ditindaklanjuti oleh seorang penyidik saja Apabila kasus yang dilaporkan korban melibatkan banyak korban, tersangka, kurun waktu, barang bukti maupun tempat kejadian maka tugas penyidikan dilaksanakan dalam bentuk tim yang telah ditentukan oleh Kepala unit Pelayanan Perempuan dan Anak dan saksi/korban tetap diperiksa oleh Polwan unit PPA, sedangkan pengembangannya dapat dilaksanakan oleh Penyidik Polri pria 34 Apabila saksi korban berasal dari luar kota, maka untuk kepentingan penyidikan korban dapat dititipkan di shelter milik Kementerian Sosial Republik Indonesia atau pihak lain yang dinilai dapat memberikan perlindungan dan pelayanan hingga korban siap dipulangkan ke daerah asalnya Dan untuk tahap akhir penyidikan di Ruang Pelayanan Khusus, mekanisme yang dijalankan adalah : Koordinasi dengan instansi terkait sebagai ahli dalam rangka memperkuat pembuktian kasus yang sedang ditangani Menyelenggarakan gelar perkara kasus yang disidik Penelitian terhadap berkas perkara yang akan dikirim ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) Menitipkan korban pada rumah perlindungan milik Kemensos RI atau pihak lain yang dinilai dapat memberikan perlindungan dan pelayanan kepada korban apabila korban diperlukan kehadirannya di pengadilan Melakukan koordinasi dengan instansi dan LSM yang peduli terhadap perempuan dan anak korban tindak pidana pada sidang pengadilan, agar proses peradilan dan putusannya benar-benar memenuhi rasa keadilan. Dalam melakukan pemeriksaan saksi dan/atau korban, peraturan ini memberikan ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan saksi dan/atau korban. Tata cara pemeriksaan saksi dan/atau korban tersebut terdiri dari persiapan untuk melakukan pemeriksaan, kegiatan pemeriksaan, ketentuan dalam melakukan pemeriksaan, pertanyaan dalam pemeriksaan, dan tempat pemeriksaan. Prosedur persiapan untuk melakukan pemeriksaan dilakukan dengan langkahlangkah : Dalam hal telah dibuatkan Laporan Polisi, dan akan dilanjutkan dengan tahap pemeriksaan, maka Kepala unit PPA menunjuk para petugas pemeriksa dengan surat perintah 35 Petugas yang menerima perintah untuk melakukan pemeriksaan segera melakukan kegiatan pemeriksaan. Dalam kegiatan pemeriksaan prosedur yang dilakukan berupa : Menyiapkan administrasi penyidikan berupa Surat Perintah Tugas (Springas), Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) Menyusun rencana penyidikan/pemeriksaan Menentukan waktu, tempat dan sarana pemeriksaan dan menyampaikan kepada saksi dan/atau korban yang akan diperiksa Menyusun daftar pertanyaan pemeriksaan Menyiapkan ruangan pemeriksaan yang kondusif bagi yang akan diperiksa, agar dapat bebas dari gangguan fisik ataupun psikis bagi yang akan diperiksa. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban prosedur yang dilakukan berupa : Petugas tidak memakai pakaian dinas yang dapat berpengaruh terhadap psikis saksi dan/atau korban yang akan diperiksa Menggunakan bahasa yang mudah dapat dimengerti oleh yang diperiksa, bila perlu dengan bantuan penerjemah bahasa yang dipahami oleh yang diperiksa Pertanyaan diajukan dengan ramah dan penuh rasa empati Dilarang memberikan pertanyaan yang dapat menyinggung perasaan atau hal-hal yang sangat sensitif bagi saksi dan/atau korban yang diperiksa Tidak memaksakan pengakuan, atau memaksakan keterangan dari yang diperiksa Tidak menyudutkan atau menyalahkan atau mencemooh atau melecehkan yang diperiksa Tidak memberikan pertanyaan yang dapat menimbulkan kekesalan/ kemarahan yang diperiksa 36 Tidak bertindak diskriminatif dalam memberikan pelayanan/pemeriksaan Selama melakukan pemeriksaan, petugas senantiasa menunjukkan sikap bersahabat, melindungi, dan mengayomi yang diperiksa Selama dalam pemeriksaan, petugas mendengarkan dengan saksama semua keluhan, penjelasan, argumentasi, aspirasi, dan harapan untuk kelengkapan hasil Laporan Polisi yang berguna bagi proses selanjutnya Selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasa menaruh perhatian terhadap situasi dan kondisi fisik maupun kondisi kejiwaan yang diperiksa. Untuk pertanyaan dalam pemeriksaan terbagi atas tiga bagian yakni standar urutan pertanyaan, pertanyaan untuk mendapatkan keterangan mengenai substansi perkara yang sedang diperiksa, dan pertanyaan pada bagian akhir pemeriksaan. Standar urutan pertanyaan yang dimandatkan dalam peraturan ini berupa : Menanyakan kesehatan serta kesediaannya untuk diperiksa Menanyakan tentang bahasa yang dipahami dan akan digunakan dalam pemeriksaan Menanyakan perlu tidaknya didampingi oleh penasihat hukum atau pendamping lainnya Dalam hal yang diperiksa adalah anak, pemeriksa wajib memperhatikan dan mempedomani peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak Pemeriksaan terhadap anak wajib disediakan pendamping dan/atau penasihat hukum dan/atau psikolog oleh penyidik Pertanyaan yang diajukan untuk mendapatkan keterangan mengenai substansi perkara yang sedang diperiksa berupa : Latar belakang permasalahan atau perkara Kronologis peristiwa yang dialami oleh saksi dan/atau korban Kerugian yang diderita oleh saksi dan/atau korban sebagai bahan pengajuan restitusi atau pemberian ganti rugi 37 Barang bukti yang dapat diperoleh dan dapat digunakan untuk alat bukti Hubungan saksi dan/atau korban dengan saksi lainnya atau tersangka Tuntutan atau harapan saksi dan/atau korban. Dan pertanyaan yang diajukan pada bagian akhir pemeriksaan berupa: Pembacaan kembali hasil pemeriksaan Apakah ada jawaban-jawaban sebelumnya, yang perlu dikoreksi/diubah Apakah ada keterangan tambahan Apakah ada pemaksaan dalam memberikan keterangan Apakah bersedia menandatangani BAP Untuk tempat pemeriksaan saksi dan/atau korban, peraturan ini memberikan beberapa pilihan dalam melakukan pemeriksaan seperti: Tempat pemeriksaan saksi dan/atau korban, selain menggunakan Ruang Pelayanan Khusus yang tersedia di unit PPA dapat juga menggunakan tempat lain sesuai yang dikehendaki oleh yang diperiksa. Dalam hal saksi dan/atau korban tidak dapat hadir di Ruang Pelayanan Khusus, maka pemeriksaan dapat dilakukan di rumah/kediaman saksi dan/atau korban atau tempat lain yang diinginkan oleh saksi dan/atau korban. Kemudian peraturan ini juga memberikan mandat untuk dilakukannya koordinasi dan kerjasama dengan pihak lain dalam melakukan penanganan saksi dan/atau korban, dan mandat tersebut berupa : Dalam penanganan saksi dan/atau korban yang memerlukan pelayanan khusus di bidang medis, psikis, sosial, konseling, advokasi, dan/atau bantuan hukum, personel yang bertugas di Ruang Pelayanan Khusus wajib melaksanakan koordinasi dan kerja sama dengan pihak PPT setempat. 38 Untuk kepentingan penyidikan tindak pidana dan tindak pidana lainnya dengan saksi dan/atau korban perempuan dan/atau anak, unit PPA melaksanakan koordinasi dan kerja sama dengan instansi terkait. Dalam penanganan perkara dimana saksi dan/atau korban berada di luar negeri, unit PPA melaksanakan koordinasi dan kerja sama dengan Perwakilan Negara Republik Indonesia yang berada di luar negeri. Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, unit PPA melaksanakan koordinasi dan kerja sama dengan perwakilan negara yang bersangkutan yang berada di wilayah Indonesia. Sebagai mandat dari Undang-Undang PTPPO untuk melindungi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang dalam melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan, sesungguhnya peraturan ini sudah cukup memberikan perlindungan bagi saksi dan/korban perdagangan manusia khususnya anak. Perlindungan dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan yang diberikan kepada saksi dan/atau korban perdagangan anak terdiri dari tujuan, prinsip, dan asas dalam memberikan perlindungan. Kemudian fasilitas dan perlengkapan, personel yang memberikan perlindungan, mekanisme pelayanan dalam memberikan perlindungan, tata cara pemeriksaan, serta koordinasi dan kerjasama dalam menangani korban. Kemudian pada 4 Februari 2008 lahir kebijakan mengenai Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 2008. Lahirnya peraturan pemerintah ini berdasarkan mandat UndangUndang PTPPO pasal 46 untuk melindungi saksi dan/korban dalam pelayanan terpadu. Dalam Peraturan Pemerintah ini pelayanan terpadu merupakan kegiatan untuk melakukan perlindungan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh instansi atau lembaga 39 terkait sebagai satu kesatuan penyelenggaraan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Pelayanan terpadu memiliki tujuan untuk melaksanakan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban atas rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Untuk memberikan perlindungan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang, Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) memiliki kewajiban : Memberikan pelayanan dan penanganan secepat mungkin kepada saksi dan/atau korban Memberikan kemudahan, kenyamanan, keselamatan, dan bebas biaya bagi saksi dan/atau korban Menjaga kerahasiaan saksi dan/atau korban Menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi saksi dan/atau korban. Cakupan pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban meliputi pelayanan : Rehabilitasi kesehatan Rehabilitasi social Pemulangan dan reintegrasi social Advokasi Konseling Bantuan hukum Pelayanan terpadu ini diberikan kepada setiap saksi dan/atau korban yang berada di wilayah Republik Indonesia dan saksi dan/atau korban warga negara Indonesia yang berada di luar negeri. Kemudian dalam hal saksi dan/atau korban adalah anak, maka pelayanan diberikan secara khusus sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak. Untuk petugas pelaksana dalam 40 penyelenggaraan pelayanan terpadu wajib didukung oleh tenaga kesehatan, psikolog, psikiater, dan pekerja social. Dalam peraturan ini, tata cara dan mekanisme penyelenggaraan pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban dibagi menjadi lima kategori, yakni: Saksi dan/atau korban yang melapor di Pusat Pelayanan Terpadu Saksi dan/atau korban yang melapor di Kepolisian Saksi dan/atau korban warga negara Indonesia yang berada di luar negeri Saksi dan/atau korban berada di luar wilayah daerah asalnya Saksi dan/atau korban warga negara asing Untuk saksi dan/atau korban yang melapor di Pusat Pelayanan Terpadu, tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu yang dilakukan berupa : Saksi dan/atau korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum pada Pusat Pelayanan Terpadu. Hak tersebut diajukan oleh saksi dan/atau korban, keluarganya, temannya, petugas kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial. Petugas Pusat Pelayanan Terpadu wajib melayani saksi dan/atau korban Petugas Pusat Pelayanan Terpadu segera menangani saksi dan/atau korban Petugas Pusat Pelayanan Terpadu, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam sejak menerima saksi dan/atau korban yang sedang dirawat atau dipulihkan kesehatannya, wajib melaporkannya kepada petugas kepolisian terdekat. Saksi dan/atau korban yang melapor di Kepolisian, tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu yang dilakukan berupa : Dalam hal saksi dan/atau korban melaporkan kepada kepolisian terdekat, maka petugas kepolisian wajib menempatkan saksi dan/atau korban pada ruang pemeriksaan khusus yang tersedia. 41 Jika setelah dilakukan pemeriksaan dan terbukti bahwa saksi dan/atau korban mengalami penderitaan akibat tindak pidana perdagangan orang, maka petugas kepolisian yang melakukan pemeriksaan wajib membawa saksi dan/atau korban ke PPT terdekat. Laporan saksi dan/atau korban wajib ditindaklanjuti untuk diproses sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. Untuk menjalankan prosesnya, pimpinan kepolisian memerintahkan kepada penyidik untuk melakukan tugas penyidikan dan sekaligus melakukan perlindungan terhadap saksi dan/atau korban Saksi dan/atau korban warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu yang dilakukan berupa : Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara Indonesia dan berada di luar negeri, Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan saksi dan/atau korban serta memulangkannya ke Indonesia atas biaya negara. Untuk kepentingan pemulangan saksi dan/atau korban, perwakilan Pemerintah Republik Indonesia di luar negeri segera melaporkan kepada Menteri Luar Negeri dalam rangka percepatan penanganan saksi dan/atau korban. Menteri Luar Negeri wajib melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah asal saksi dan/atau korban dan instansi terkait lainnya, untuk memulangkan saksi dan/atau korban ke daerah asalnya. Pemerintah daerah wajib menjemput dan memulangkan ke daerah asal dan tindakan lain yang diperlukan dalam melindungi saksi dan/atau korban. Dalam hal saksi dan/atau korban mengalami penderitaan akibat tindak pidana perdagangan orang, maka Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri wajib memberikan pertolongan kepada saksi dan/atau korban ke rumah sakit terdekat, Kementerian Sosial atau instansi yang menangani 42 bidang sosial di daerah wajib membawa saksi dan/atau korban ke PPT terdekat. Saksi dan/atau korban berada di luar wilayah daerah asalnya, tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu yang dilakukan berupa : Dalam hal saksi dan/atau korban berada di luar wilayah daerah asalnya, kepala daerah setempat segera melakukan koordinasi dengan kepala daerah asal saksi dan/atau korban untuk mengambil tindakan atau langkah-langkah perlindungan dan pemulangan saksi dan/atau korban ke daerah asalnya. Bupati/walikota daerah asal saksi dan/atau korban tersebut wajib segera menangani hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan perlindungan dan pemulihan saksi dan/atau korban ke PPT yang tersedia. Dalam penyelenggaraan pemulangan saksi dan/atau korban, bupati/walikota dapat melakukan kerja sama dengan bupati/walikota lainnya dengan pemberitahuan kepada gubernur masing-masing Dan untuk saksi dan/atau korban warga negara asing, maka tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu yang dilakukan berupa : Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara asing, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia wajib berkoordinasi dengan instansi terkait dan perwakilan negara asal saksi dan/atau korban tersebut di Indonesia, untuk membantu pemulangannya dan memberitahukan kepada perwakilan asingnya. Pemulangan dibebankan kepada perwakilan negara asing yang berada di Indonesia Dalam hal saksi dan/atau korban adalah warga negara asing yang negaranya tidak mempunyai perwakilan di Indonesia, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia memberitahukan kepada negara asing tersebut pada perwakilan negara asing yang terdekat dengan wilayah negara Republik Indonesia. 43 Sebagai mandat dari Undang-Undang PTPPO untuk melaksanakan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban atas rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum, Peraturan Pemerintah ini sesungguhnya belumlah komprehensif dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban. Dimana peraturan ini belum secara khusus mengatur mengenai prinsip dalam menyelenggarakan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban yang wajib dipedomani oleh petugas pelaksana pelayanan terpadu. Kemudian dalam memberikan pelayanan kepada saksi dan/atau korban adalah anak, peraturan ini hanya mengatur dengan menyebutkan “pelayanan diberikan secara khusus sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak”. Namun untuk pelayanan secara khusus sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak, tidak diatur lebih lanjut dalam peraturan ini. Dan peraturan ini hanya memberikan mandat kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk menyusun dan menetapkan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur untuk menjamin kualitas pelayanan pada Pusat Pelayanan Terpadu. Pada 24 Juni 2008, lahir kebijakan mengenai Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Kebijakan ini dikeluarkan melalui Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008. Keluarnya Peraturan Presiden ini merupakan mandat dari Undang-Undang PTPPO pasal 58, dimana pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengambil langkah-langkah untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang, dan untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah tersebut pemerintah membentuk gugus tugas. 44 Dalam Peraturan Presiden ini, setidaknya ada lima yang menjadi tugas pokok dari Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yakni : Mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan masalah tindak pidana perdagangan orang Melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja sama baik kerja sama nasional maupun internasional Memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban yang meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial Memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum Melaksanakan pelaporan dan evaluasi. Sedangkan anggota gugus tugas merupakan wakil-wakil dari unsur pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi. Kemudian untuk menjamin sinergitas dan kesinambungan langkah-langkah pemberantasan tindak pidana perdagangan orang secara terpadu, Gugus Tugas Pusat, Gugus Tugas Provinsi, dan Gugus Tugas Kabupaten/Kota melakukan koordinasi dan hubungan secara langsung dengan instansi terkait dan pihak terkait lainnya untuk menyusun kebijakan, program, kegiatan, dalam bentuk Rencana Aksi Nasional dan Rencana Aksi Daerah. Dan untuk menjamin efektivitas langkah-langkah pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang, gugus tugas pusat, gugus tugas provinsi, dan gugus tugas kabupaten/kota melakukan koordinasi, pemantauan dan evaluasi, serta pelaporan secara periodik. Peraturan Presiden untuk gugus tugas ini hanya terbatas mengatur pada pembentukan, kedudukan, tugas, dan organisasi gugus tugas pusat. Termasuk juga gugus tugas provinsi dan gugus tugas kabupaten/kota, mekanisme kerja, serta anggaran. 45 Pada April 2009, lahir kebijakan mengenai Standar Pelayanan Minimal Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kabupaten/Kota, yang dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan No. 1 Tahun 2009. Lahirnya Peraturan Menteri ini adalah untuk melaksanakan mandat Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2008 mengenai Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 7. Dalam Peraturan Menteri ini, Standar Pelayanan Minimal bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang ditujukan untuk menjadi pedoman bagi daerah dalam melaksanakan perencanaan pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan serta pertanggungjawaban penyelenggaraan pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Sedangkan tujuan pemberian layanan minimal bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang untuk memberikan pelayanan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan kebutuhan dasar saksi dan / atau korban tindak pidana perdagangan orang. Kemudian prinsip dalam penyelenggaraan standar pelayanan minimal pelayanan terpadu ini berupa : Penghormatan hak saksi dan/atau korban, artinya pelayanan yang diberikan terhadap saksi dan/atau korban mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi, harkat dan martabat saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang Non diskriminasi, artinya pelayanan berlaku untuk seluruh saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang tanpa membedakan status, agama, suku, ras golongan dan gender; dan Akuntabilitas, artinya pelayanan saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 46 Standar Pelayanan Minimal (SPM) pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang meliputi penanganan pengaduan masyarakat, pelayanan rehabilitasi kesehatan, pelayanan perlindungan hukum, pelayanan rehabilitasi social, pelayanan pemulangan, dan pelayanan reintegrasi sosial. Dalam penanganan pengaduan masyarakat tentang tindak pidana perdagangan orang meliputi: Persentase cakupan ketersediaan petugas yang mempunyai kemampuan untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat tentang adanya tindak pidana perdagangan orang. Kemampuan petugas untuk menangani pengaduan tentang adanya tindak pidana perdagangan orang dilakukan melalui sertifikasi pelatihan. Pelayanan rehabilitasi kesehatan meliputi: Persentase cakupan pelayanan rehabilitasi kesehatan yang diberikan oleh petugas yang terlatih pada saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang Cakupan pelayanan rehabilitasi kesehatan yang menyediakan ruang khusus bagi saksi dan/atau korban tindak perdagangan orang di rumah sakit atau puskesmas. Pelayanan perlindungan hukum meliputi: Cakupan kasus tindak pidana perdagangan orang yang berhasil diputuskan berdasarkan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO Cakupan pelayanan perlindungan hukum kepada saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang yang diberikan oleh penegak hukum. Pelayanan rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial meliputi: 47 Persentase cakupan pelayanan bantuan rehabilitasi sosial di rumah perlindungan sosial dan sejenisnya kepada saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang oleh petugas rehabilitasi sosial. Persentase cakupan pelayanan yang diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan untuk pemulangan ke daerah asal. Persentase cakupan pelayanan reintegrasi sosial kepada saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang yang kembali ke keluarga, keluarga pengganti dan masyarakat lainnya. Sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, Peraturan Menteri ini hanya terbatas mengatur ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang berhak diperoleh setiap saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang secara minimal. Dan peraturan ini tidak mengatur secara khusus mengenai panduan ataupun langkah-langkah dalam memberikan pelayanan tersebut terutama untuk anak. Untuk menjamin sinergitas dan kesinambungan langkah-langkah pemberantasan tindak pidana perdagangan orang secara terpadu, Pemerintah membuat kebijakan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak untuk tahun 2009 – 2014. Kebijakan Rencana Aksi Nasional ini dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat No. 25/Kep/Menko/Kesra/IX/2009, pada 11 September 2009. Rencana Aksi Nasional (RAN) ini merupakan landasan dan pedoman pelaksanaan bagi gugus tugas dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi seksual anak. Pada Rencana Aksi Nasional (RAN) sebelumnya hanya fokus pada penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Namun pada RAN 2009-2014 memasukkan isu eksploitasi seksual anak. Masuknya isu eksploitasi seksual 48 anak pada RAN ini hanya didasarkan pada banyaknya korban tindak pidana perdagangan orang seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual, misalnya dalam bentuk pelacuran dan paedophilia. Setidaknya ada enam program yang akan dilakukan dalam RAN ini beserta penangungjawabnya, keenam program tersebut berupa : Pencegahan dan Partisipasi Anak, sebagai penanggung jawab adalah Kementerian Pendidikan Nasional Rehabilitasi Kesehatan, sebagai penanggung jawab adalah Kementerian Kesehatan Rehabilitasi Sosial, Pemulangan, dan Reintegrasi Sosial, sebagai penanggungjawab adalah Kementerian Sosial Pengembangan Norma Hukum, sebagai penanggungjawab adalah Kementerian Hukum dan HAM Penegakan Hukum, sebagai penanggungjawab adalah Polri Koordinasi dan Kerjasama, sebagai penanggungjawab adalah Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Kemudian tujuan RAN ini adalah : Mencegah terjadinya segala bentuk dan praktek yang berindikasi pada TPPO dan ESA Mewujudkan pelayanan yang memadai untuk rehabilitasi kesehatan Mewujudkan pelayanan yang memadai untuk rehabiitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial Mengembangkan norma hukum yang lebih memberikan perlindungan hukum bagi saksi dan atau korban Meningkatkan penegakan hukum terhadap pelaku dan perlindungan hukum bagi saksi dan atau korban. Membangun dan meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam upaya pencegahan dan penanganan di tingkat Nasional dan Internasional 49 Dalam menjalankan RAN ini, prinsip yang digunakan adalah : Kesetaraan dan non diskriminasi, tidak ada diskriminasi berdasarkan suku bangsa, agama, bahasa, keyakinan politik, status migrasi, dan daerah asal. Keadilan, memberi perhatian khusus pada kesejahteraan kelompokkelompok rentan dan yang terpinggirkan Pemberdayaan, menekankan strategi pemberdayaan daripada respon karitatif. Partisipasi, upaya penghapusan TPPO dan ESA mengarah pada tingkat partisipasi yang lebih tinggi dari masyarakat, khususnya perempuan dan anak-anak, dan memandang perempuan dan anak-anak – khususnya para korban, sebagai partisipan aktif dalam menemukan solusi konstruktif atas masalah TPPO dan ESA. Akuntabilitas, berfokus pada peningkatan akuntabilitas proses penanganan TPPO dan ESA, di mana pemerintah sebagai pengemban kewajiban dituntut untuk melakukan langkah-langkah progresif dalam menghapus TPPO dan ESA dan dalam pemenuhan hak korban khususnya dan hak setiap warga untuk terlindungi dan bebas dari kejahatan TPPO dan ESA. Dalam penanganan korban perdagangan anak kegiatan dilakukan dalam Rencana Aksi Nasional 2009-2014 terdiri dari rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi, penegakan hukum, koordinasi dan kerjasama. Untuk rehabilitasi kesehatan kegiatan yang dilakukan berupa : Meningkatkan pelayanan terhadap korban Meningkatkan kapasistas sumber daya manusia untuk pelayanan rehabilitasi kesehatan bagi korban Mengembangkan dan menyediakan sarana/prasarana pelayanan kesehatan untuk penanganan korban Memperbaiki dan meningkatkan sistem pencatatan dan pelaporan di semua pelayanan kesehatan 50 Menyusun pedoman/standar layanan kesehatan bagi korban Harmonisasi standar/pedoman yang sudah ada Untuk rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi kegiatan yang dilakukan berupa : Membangun dan mengembangkan Rumah Perlindungan Sosial Anak/Rumah Perlindungan Trauma Center untuk rehabilitasi sosial bagi korban dalam PPT Meningkatkan kinerja layanan rehabilitasi sosial di rumah perlindungan sosial/shelter/rumah untuk korban Mengembangkan model penjangkauan dan rehabilitasi khusus korban Meningkatkan koordinasi antar gugus tugas untuk pemulangan yang aman bagi korban Membangun koordinasi antar dinas/instansi untuk reintegrasi sosial korban Untuk penegakan hukum, kegiatan yang dilakukan berupa : Memperkuat sistem monitoring dan pengawasan penanganan kasus Mengembangkan dan memperkuat kelompok swadaya masyarakat dalam pengawasan penanganan kasus Percepatan proses penyusunan revisi atau perubahan atas UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak yang memuat konsep diversi dan restorative justice Penyusunan pedoman penanganan anak yang berhadapan dengan hukum Memposisikan anak sebagai korban, bukan sebagai pelaku dalam proses penegakan hukum Mengkriminalkan orang-orang atau pihak yang memfasilitasi berlangsungnya praktek perdagangan orang Pengembangan kerjasama antar aparat penegak hukum dalam penanganan kasus 51 Pengembangan capacity building bagi aparat penegak hukum Penyusunan dan penerbitan peraturan bersama tentang alat bukti bukti untuk kasus-kasus eksploitasi seksual Melakukan pendidikan pengungkapan, dan penyelidikan, pengembangan penyidikan ketrampilan perkara tindak dalam pidana perdagangan orang Melakukan pendidikan dan pengembangan informasi hukum mengenai tindak pidana perdagangan orang Melakukan pendidikan dan penyegaran Hakim dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang Membuat SOP bagi aparat penegak hukum dalam penanganan kasus Mengefektifkan kegiatan layanan bantuan hukum korban sejak tahap identifikasi. Mengoptimalkan Mutual Legal Assistance Treaty (MLAT) antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainya dalam memberikan bantuan hukum bagi korban di luar negeri. Mengatur tentang teknis penanganan korban warga negara asing di Indonesia Sedangkan untuk koordinasi dan kerjasama, kegiatan yang dilakukan berupa : Mendorong dan memfasilitasi adanya kerjasama antar daerah dalam penanganan korban Mengadakan pertemuan koordinasi secara berkala untuk rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi, penegakan hukum, dan program khusus. Rencana Aksi Nasional 2009-2014 ini merupakan rencana aksi yang kedua, sedangkan yang pertama adalah Rencana Aksi Nasional 2002-2007. Dari perkembangannya, dalam penanganan korban perdagangan manusia khususnya anak masih banyak kelamahan terutama dalam memberikan perlindungan hukum, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan 52 reintegrasi. Walau pun sudah begitu banyak kebijakan yang dikeluarkan, mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden hingga peraturan menteri. Kelemahan dalam menangani korban perdagangan anak dalam memberikan perlindungan hukum masih terdapat pada : Belum adanya pemahaman yang sama dalam penerapan perundangundangan yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang di antara aparat penegak hukum Belum meratanya sumberdaya penegak hukum seperti Hakim, Jaksa, Polisi dan sarana/prasarana pendukung yang sensitif akan hak anak dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang Belum maksimalnya kerjasama aparat penegak hukum Belum dipahaminya undang-undang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang oleh aparat Terbatasnya bantuan hukum dan pendampingan bagi korban. Belum dilakukannya harmonisasi norma hukum perlindungan anak Adanya Perda yang destruktif dan/atau kontradiktif dengan peraturan perundangan yang terkait dengan perlindungan anak dari perdagangan anak Untuk penanganan korban dalam melakukan rehabilitasi kesehatan masih terdapat kelemahan pada : Masih lemahnya sumber daya manusia dalam hal rehabilitasi kesehatan yang bisa diakses oleh korban Kurangnya sarana/prasarana yang memadai Lemahnya pencatatan dan pelaporan Lemahnya manajemen program dalam pelayanan bagi korban Untuk penanganan korban dalam melakukan rehabilitasi sosial, reintegrasi dan pemulangan kelemahannya masih terdapat pada : 53 Belum semua daerah memiliki Rumah Perlindungan Sosial Anak/Rumah Perlindungan Trauma Center untuk menangani rehabilitasi sosial dalam PPT bagi korban Masih kurangnya pelayanan rehabilitasi sosial yang bisa diakses oleh korban Belum optimalnya pemulangan korban yang aman dan berbasis pada kebutuhan korban. Lemahnya program reintegrasi sosial sehingga korban yang sudah dipulangkan diperdagangkan kembali Termasuk juga kelemahan dalam melakukan koordinasi dan kerjasama untuk penanganan korban, dan kelamahan tersebut terdapat pada : Belum adanya kerjasama antar daerah dalam penanganan korban Lemahnya koordinasi sub gugus tugas rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi, penegakan hukum Belum optimalnya peran dan fungsi gugus tugas di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dalam penanganan korban Minimnya sumber dana dalam melakukan penanganan korban Dari berbagai kelemahan dan kendala yang masih terjadi dalam menangani korban perdagangan anak dalam memberikan perlindungan hukum, pemulihan, reintegrasi dan pemulangan, Rencana Aksi Nasional 2009-2014 ini mencoba untuk menjawab berbagai kelemahan dan kendala yang masih terjadi tersebut melalui berbagai kegiatan selama lima tahun. Untuk menjamin kualitas pelayanan terpadu dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban, Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 2008 memberikan mandat kepada menteri untuk menyusun dan menetapkan standar operasional prosedur dalam melakukan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum pada pusat pelayanan terpadu. Berdasarkan mandat ini kemudian keluar kebijakan 54 melalui Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 22 Tahun 2010 Tentang Prosedur Standar Operasional Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, pada 25 November 2010. Dalam Peraturan Menteri ini, prosedur standar operasional pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang meliputi : Pelayanan pengaduan/identifikasi Rehabiltiasi kesehatan Rehabilitasi sosial Bantuan hukum Pemulangan dan reintegrasi sosial Kemudian Peraturan Menteri ini juga menekankan dalam implementasinya prosedur standar operasional ini dapat dijadikan panduan dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban bagi : Pusat Pelayanan Terpadu Pemerintah Pusat dan Daerah Unit Pelayanan Warga Negara Indonesia (WNI) yang ada di perwakilan RI di Luar Negeri Pusat Pelayanan Terpadu berbasis komunitas/masyarakat yang menyelenggaraan layanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang. Dalam menangani dan melindungi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang, setidaknya ada enam prinsip yang digunakan dalam prosedur standar operasional ini, prinsip tersebut berupa : Penghormatan dan Penegakan Hak Asasi Manusia Non Diskriminasi Pemenuhan Hak Anak Hak atas Informasi Hak atas Kerahasiaan dan Privasi 55 Penghormatan atas Suku, Budaya, Agama dan Kepercayaan Dalam memberikan pelayanan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang, prosedur pelayanan yang ditetapkan dalam peraturan ini berupa prosedur pelayanan pengaduan/identifikasi, rehabiltiasi kesehatan, rehabilitasi sosial, bantuan hukum, pemulangan dan reintegrasi sosial. Untuk prosedur pelayanan pengaduan/identifikasi, tujuan dilakukannya proses ini adalah untuk : Mengetahui kebenaran seseorang yang dilaporkan sebagai saksi dan/atau korban Mengetahui masalah dan kondisi seseorang yang diduga saksi dan/atau korban, berkaitan dengan kondisi kesehatan fisik, psikis dan psikososial, status, kepemilikan dokumen dan identitas diri, kondisi keuangan, hutangpiutang, keamanan, serta keinginan berkaitan dengan kasusnya. Mengetahui kebutuhan seseorang yang diduga saksi dan/atau korban yang harus segera dipenuhi seperti tempat tinggal sementara apabila korban dari luar daerah, perlindungan apabila korban terancam keselamatan, pengobatan, pendampingan, dan sebagainya. Langkah-langkah dalam menjalankan pelayanan pengaduan/identifikasi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang berupa : Asal mula kedatangan saksi dan/atau korban, dalam hal ini korban bisa berasal dari penjangkauan, datang sendiri, dan rujukan. Wawancara dan observasi Asesmen (penilaian) kebutuhan saksi dan/atau korban Rekomendasi layanan lanjutan Koordinasi dan rujukan ke layanan lanjutan dan pihak terkait Pengadministrasian proses identifikasi Dalam prosedur rehabilitasi kesehatan memiliki tujuan untuk : 56 Menyediakan akomodasi yang aman dan terlindungi serta dukungan medis bagi orang-orang yang teridentifikasi sebagai saksi dan/atau korban Memulihkan gangguan kondisi fisik dan psikis saksi dan/atau korban sehingga menjadi berdaya. Kemudian dalam memberikan pelayanan rehabilitasi kesehatan ini, prinsip yang digunakan dalam penyelenggaraannya berupa : Kerahasian, agar saksi dan/atau korban terjamin kerahasiaan dan kenyamanannya maka dibutuhkan ruang khusus pemeriksaan atau ruang tunggu untuk saksi dan/atau korban di rumah sakit/puskesmas sehingga saksi dan/atau korban tidak perlu menunggu bersama dengan pasien lainnya. Prosedur/penatalaksanaan khusus, untuk memastikan saksi dan/atau korban mendapatkan pelayanan sesuai dengan kondisi saksi dan/atau korban dan prinsip-prinsip HAM, gender, dan anak, maka rumah sakit/puskesmas diharapkan memiliki dan menjalankan prosedur/penatalaksanaan khusus untuk saksi dan/atau korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk didalamnya korban tindak pidana perdagangan orang. Tersedianya sumber daya manusia terlatih, diharapkan di tempat pelayanan, dilayani oleh petugas medis/perawat khusus yang telah dilatih untuk penanganan saksi dan/atau korban dengan prinsip-prinsip HAM, gender, dan anak. Pemberi layanan pada pelayanan rehabilitasi kesehatan meliputi dokter umum, dokter spesialis, perawat, dan tenaga non medis yang telah terlatih. Setiap melakukan tindakan rehabilitasi kesehatan, wajib dibuat perjanjian intervensi (informed consent). Langkah-langkah dalam melakukan pelayanan rehabilitasi kesehatan kepada saksi dan/atau korban berupa : Penerimaan rujukan saksi dan/atau korban 57 Triase atau cara pemilihan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang tersedia Pertolongan pertama sesuai dengan kondisi saksi dan/atau korban Penanganan lanjutan Perekaman intervensi dan perkembangan kondisi saksi dan/atau korban dalam dokumen database Rekomendasi penanganan tindak lanjut Untuk prosedur rehabilitasi sosial ditujukan dalam rangka : Membantu meringankan, melindungi dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial dan spiritual saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar. Rehabilitasi sosial dilakukan oleh pekerja sosial, petugas pendamping sosial, konselor, psikolog dan psikiater yang telah mendapatkan pelatihan penanganan rehabilitasi sosial untuk saksi dan/atau korban dengan prinsip-prinsip HAM, gender, dan anak. Dalam pelaksanaan pelayanan rehabilitasi social, prinsip penyelenggaraannya berupa : Keamanan, yaitu memberikan perlindungan kepada saksi dan/atau korban yang dilaksanakan di tempat khusus agar dapat memberi rasa aman terhadap saksi dan/atau korban dalam jangka tertentu. Efektifitas, yaitu saksi dan/atau korban ditangani segera tanpa prosedur yang berbelit-belit. Profesional, yaitu penanganan saksi dan/atau korban dilakukan secara tepat, sistematis dan terukur oleh tenaga terlatih. Keterpaduan, yaitu rehabilitasi sosial dilaksanakan secara bersama dan lintas sektor dalam satu pelayanan di PPT. 58 Sedangkan langkah-langkah dalam melakukan pelayanan rehabilitasi social kepada saksi dan/atau korban meliputi : Penerimaan rujukan saksi dan/atau korban Konselor melakukan konseling awal dan melakukan pemeriksaan kondisi psikis untuk membuat perencanaan tindakan rehabilitasi social Konselor membuat kesepakatan dengan saksi dan/atau korban untuk perencanaan jadwal konseling setelah diberikan informasi tentang kegiatan rehabilitasi dan hak-hak saksi dan/atau korban Petugas melakukan penjangkauan/penelusuran terhadap keluarga saksi dan/atau korban, guna mendukung proses pemulangan dan reintegrasi Layanan shelter/rumah aman Rehabilitasi lanjutan Perekaman intervensi dan perkembangan kondisi dalam dokumen database saksi dan/atau korban Rekomendasi penanganan tindak lanjut Untuk prosedur bantuan hukum, tujuan dilakukannya pelayanan ini adalah untuk : Memenuhi hak-hak saksi dan/atau korban di bidang hukum guna memperoleh hak atas kebenaran dan keadilan atas kasus yang dialaminya Pemenuhan hak-hak saksi dan/atau korban, serta dilakukan secara terintegrasi dengan pelayanan lainnya. Kemudian langkah-langkah dalam memberikan pelayanan bantuan hukum kepada saksi dan/atau korban berupa : Pusat Pelayanan Terpadu menerima laporan saksi dan/atau korban yang dikirim oleh keluarga korban, pendamping, Polisi, petugas instansi terkait, atau rujukan dari proses sebelumnya. Melakukan identifikasi saksi dan/atau korban dan alat bukti yang terkait dengan tindak pidana perdagangan 59 Membantu saksi dan/atau korban untuk mengidentifikasi dan menyiapkan bukti-bukti yang ada seperti paspor/fotokopinya, kuitansi pembayaran makan, kuitansi pembelian tiket pesawat/tiket pesawat beserta boarding pass, air port tax, surat kontrak kerja, slip pembayaran gaji Di setiap tahapan proses hukum, saksi dan/atau korban wajib didampingi advokat, paralegal/pendamping hukum Menyediakan penerjemah yang mampu berkomunikasi dan menerjemahkan secara verbal dan tertulis, tersumpah, kompeten dan terlatih mengenai TPPO dan pelayanan yang berprinsip HAM, gender, dan anak (terlatih yang berperspektif HAM, gender, dan anak) Polisi terlatih yang berperspektif HAM, gender, dan anak (unit PPA) setelah menerima laporan dari korban, kuasa korban atau pendamping korban, segera melakukan penyelidikan dan penyidikan, menyampaikan kepada korban atas hak-hak korban termasuk restitusi, menyerahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Setelah pembuatan laporan polisi dan melengkapi administrasi penyidikan, penyidik segera membuat Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). SPDP dikirim ke Kejaksaan, Polisi dan JPU dapat melaksanakan koordinasi dan kerjasama dalam penanganan TPPO yang dilaporkan oleh korban, termasuk penerapan pasal-pasalnya, sehingga bolak-baliknya perkara dapat diminimalisir sedini mungkin. JPU terlatih yang berperspektif HAM, gender, dan anak setelah menerima berkas perkara dari penyidik, kemudian meneliti berkas perkara, memberikan surat keterangan P21 kepada kepolisian, melaksanakan prapenuntutan, pendakwaan, penuntutan, dan eksekusi. Hakim terlatih yang berperspektif HAM, gender, dan anak memeriksa berkas penuntutan dan memutus perkara dan Hakim dapat mempertimbangkan untuk memutuskan secara profesional, restitusi yang menjadi hak korban serta melalui putusan Hakim mewajibkan pelaku TPPO untuk memberikan restitusi dimaksud kepada korban. 60 Advokat, paralegal atau pendamping hukum membantu dan mendampingi saksi dan/atau korban di setiap tahapan proses sidang peradilan pidana sampai memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap serta korban memperoleh restitusi. Advokat, paralegal atau pendamping hukum membantu dan mendampingi korban dalam mengajukan gugatan perdata sampai korban memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap serta eksekusi putusan. Advokat, paralegal atau pendamping hukum mendampingi dan menyiapkan kondisi fisik dan psikis saksi dan/atau korban dalam setiap tahap proses peradilan pidana, perdata, dan administrasi. Dalam hal saksi dan/atau korban adalah anak, pemeriksaan pada semua tahapan tersebut di atas, wajib didampingi oleh pendamping, kemudian direkam sebagai alat bukti untuk mewakili kehadiran saksi dan/atau korban anak di sidang pengadilan. Segala bantuan hukum terhadap saksi dan/atau korban anak harus menjamin penghormatan dan penegakan hak-hak anak untuk bertahan hidup, pengembangan, perlindungan dan partisipasi, serta kebutuhan akan perlindungan khusus demi kepentingan terbaik bagi anak. Melaksanakan koordinasi dengan pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dalam pemantauan proses hukum. Setiap tahapan dalam prosedur bantuan hukum direkam dalam buku rekam kasus dan diadministrasikan dalam sistem database penanganan saksi dan/atau korban Apabila TPPO terjadi di Luar Negeri, perwakilan Repulik Indonesia di Luar Negeri harus menyediakan dan menunjuk advokat atau paralegal/pendamping hukum, bagi saksi dan/atau korban sesuai dengan kebutuhan proses hukum. Dalam prosedur pemulangan, layanan pemulangan ini ditujukan untuk : 61 Memastikan perjalanan sukarela yang aman dan terlindung bagi saksi dan/atau korban dari penampungan atau tempat perlindungan ke tempat tinggal yang layak sesuai dengan keinginan saksi dan/atau korban. Bagi saksi dan/atau korban anak, perlu dipastikan terlaksananya prinsipprinsip hak anak, termasuk perlindungan khusus demi kepentingan terbaik untuk anak. Kemudian dalam pelayanan pemulangan saksi dan/atau korban ini, prinsip yang menjadi pedoman dalam penyelenggaraannya berupa : Sukarela, yaitu pemulangan harus dilakukan secara sukarela, bukan pengusiran atau pemaksaan. Aman dan bermartabat, yaitu pemulangan dilakukan dengan memperhatikan jaminan keamanan dari gangguan atau perlakuan yang menimbulkan kerugian dan melanggar hak dan martabat saksi dan/atau korban Penghormatan hak korban, yaitu pemulangan dilakukan dengan menghormati hak-hak korban dan diperlakukan secara manusiawi, dan korban anak harus didampingi pada saat proses pemulangannya Sedangkan langkah-langkah pelayanan pemulangan saksi dan/atau korban dibagi dalam tiga jenis, yakni pertama pemulangan dari luar negeri/lintas batas negara ke titik debarkasi, kedua pemulangan saksi dan/atau korban di provinsi ke kabupaten/kota, dan ketiga pemulangan saksi dan/atau korban di kabupaten/kota ke keluarga/keluarga pengganti. Untuk pelayanan pemulangan dari luar negeri/lintas batas negara ke titik debarkasi langkah-langkah penyelenggaraannnya berupa : Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri berkoordinasi dengan pihak Kepolisian di negara setempat untuk membantu mengidentifikasi dan memberikan bantuan serta perlindungan kepada saksi dan/atau korban 62 Menempatkan saksi dan/atau korban sementara di penampungan Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri sampai dengan kepulangan atau selama dalam proses persidangan. Apabila saksi dan/atau korban berada di penampungan Negara setempat, Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri berkoordinasi dengan aparat hukum setempat bahwa mereka mendapatkan perlakuan yang layak dan hak-hak mereka dilindungi serta izin tinggal mereka diurus Memastikan saksi dan/atau korban mendapatkan fasilitas pemulihan (rehabilitasi kesehatan dan rehabilitasi sosial) dari lembaga berwenang di negara setempat. Perwakilan Republik membicarakan biaya Indonesia di pemulangan Luar ke Negeri Indonesia mengurus dengan dan pejabat berwenang di negara setempat, dan apabila Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri mengalami kesulitan dalam pemulangan saksi dan/atau korban, Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri dapat melakukan kerjasama dengan organisasi internasional yang mengurus masalah tindak pidana perdagangan orang Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Luar Negeri menghubungi instansi pemerintah pusat terkait untuk memberitahu mengenai tanggal pemulangan, jenis transportasi, pendampingan, tujuan dan rute perjalanan, diinformasikan kepada korban termasuk memberikan nama dan alamat yang dapat dihubungi pada tempat-tempat persinggahan, untuk mengantisipasi jika terjadi keadaan darurat. Instansi pemerintah pusat menghubungi pemerintah daerah terkait untuk memastikan bahwa setelah dipulangkan, layanan pendukung untuk memulihkan saksi dan/atau korban telah tersedia. Pejabat Kabupaten/Kota yang berwenang, meminta pernyataan secara tertulis kesanggupan orang tua/wali dan lingkungannya dalam menerima saksi dan/atau korban kembali ke keluarga dan lingkungan masyarakat setempat, selanjutnya pernyataan tertulis tersebut dikirim ke Perwakilan 63 Republik Indonesia di Luar Negeri disertai rekomendasi berdasarkan hasil observasi tentang kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan dari keluarga dan lingkungan masyarakatnya. Komunikasi yang dilakukan Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri melalui Kementerian Luar Negeri cq. Direktorat Perlindungan WNI dan BHI Pejabat pada Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, menyiapkan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP)/paspor dan exit permit dari Negara setempat serta Berita Acara serah terima saksi dan/atau korban. Penyerahan saksi dan/atau Korban dari Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri ke Kementerian Luar Negeri dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima yang ditandatangani oleh Pejabat Perwakilan RI terkait dan Kementerian Luar Negeri cq. Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, selanjutnya Kementerian Luar Negeri menyerahkan saksi dan/atau korban kepada institusi pemerintah pusat (Kementerian Sosial, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BNP2TKI) dengan berita acara yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Pemulangan saksi dan/atau korban dari titik debarkasi ke PPT /Shelter /penampungan/ rumah perlindungan menjadi tanggung jawab BNP2TKI/ Depnakertrans/ Depsos selanjutnya dari PPT/ Shelter /penampungan /rumah perlindungan ke daerah asal menjadi tanggung jawab instansi sosial Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota. Pemulangan saksi dan/atau korban TPPO selanjutnya sampai ke Desa/Kelurahan asal, menjadi tanggung jawab instansi sosial Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota atau Kabupaten/Kota yang menerima korban dari Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri. Dalam hal korban meninggal dunia, pemulangan jenazah korban dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri cq. Direktorat Perlindungan WNI dan BHI langsung kepada keluarga. 64 Untuk pelayanan pemulangan saksi dan/atau korban di provinsi ke kabupaten/kota, langkah-langkah penyelenggaraannya berupa : Petugas PPT provinsi menghubungi instansi sosial / PPT/ shelter/ penampungan di kabupaten/kota dimana korban akan dipulangkan untuk melakukan penelusuran keluarga atau keluarga pengganti. Hasil penelusuran keluarga diinformasikan kepada instansi sosial / PPT/ shelter/ penampung kabupaten/kota untuk menentukan kepastian kepulangan saksi dan/atau korban Setelah menandatangani formulir pemulangan sukarela saksi dan/atau korban dipulangkan dengan didampingi pendamping ke kabupaten/kota. Dan untuk pelayanan pemulangan saksi dan/atau korban di kabupaten/kota ke keluarga/ keluarga pengganti, langkah-langkah penyelenggaraannya berupa : Petugas instansi sosial/ PPT/ shelter/ penampungan kabupaten/kota menghubungi keluarga atau keluarga pengganti dimana korban akan dipulangkan. Korban dipulangkan dengan aman dan diterima oleh keluarga atau keluarga pengganti. Pembiayaan pemulangan dibebankan kepada Instansi Sosial/ PPT/ shelter/ penampungan Kabupaten/Kota atau sumber lainnya Kemudian prosedur terakhir dalam pelayanan ini adalah prosedur reintergrasi sosial. Pelayananan reintegrasi sosial memiliki tujuan untuk mengembalikan atau menyatukan kembali saksi dan/atau korban kepada keluarga atau keluarga pengganti atau masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan saksi dan/atau korban sehingga bisa menjalani kehidupannya kembali. Dalam hal saksi dan/atau korban adalah anak, reintegrasi diprioritaskan untuk mengembalikan atau menyatukan kembali dengan keluarga, saudara lain, keluarga pengganti dan/atau masyarakat, dan untuk reintegrasi ke dalam lembaga sosial atau panti hanya dilakukan sebagai pilihan terakhir. 65 Dalam memberikan pelayanan reintegrasi sosial kepada saksi dan/atau korban, langkah-langkah penyelenggaraannya berupa : Pre-reintegrasi sosial Assesment (penilaian) Pelaksanaan reintegrasi Monitoring/bimbingan lanjut Sebagai mandat dari Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Layanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 22 Tahun 2010 ini sesungguhnya sudah cukup komprehensif dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban atas rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, bantuan hukum, pemulangan, dan reintegrasi sosial. Selain itu, prosedur standar operasional pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang ini dapat dikatakan sejalan dengan panduan yang disusun oleh Asia Act dan Indonesia Act dalam “Melindungi Hak dan Martabat Anak yang Diperdagangkan di Asia Tenggara”. Kebijakan menangani korban perdagangan anak dalam memberikan perlindungan dan pemenuhan hak atas perlindungan hukum, rehabilitasi, dan reintegrasi pada tingkat nasional sejak tahun 2002 hingga 2011 setidaknya ada 10 kebijakan yang telah dikeluarkan. Kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut berupa dalam bentuk undang-undang sebanyak 2 buah, dalam bentuk peraturan pemerintah sebanyak 1 buah, dalam bentuk keputusan presiden sebanyak 1 buah, dalam bentuk peraturan presiden sebanyak 1 buah, dalam bentuk peraturan menteri sebanyak 3 buah, dan dalam bentuk peraturan kepala kepolisian sebanyak 2 buah. 66 Walau begitu banyak kebijakan yang telah dilahirkan, namun dalam implementasinya kebijakan tersebut belumlah sepenuhnya diterapkan, terutama pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Berkaitan dengan penerapan kebijakan yang telah ditetapkan, Menteri Dalam Negeri memerintahkan kepada Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota seluruh Indonesia untuk melakukan percepatan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah melalui Surat No. 100/676/SJ tertanggal 7 Maret 2011. Diantara Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang harus dipercepat penerapannya oleh provinsi dan kabupaten/kota adalah Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Dalam Surat Perintah Menteri Dalam Negeri tersebut, untuk mempercepat penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM), Gubernur, Bupati/Walikota, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota segera melakukan langkah-langkah : Menjadikan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah ditetapkan sebagai acuan dalam dokumen perencanaan dan penganggaran di daerah, dengan tujuan untuk menjamin optimalisasi penerapan dan pencapaian indikator SPM Menyusun rencana pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang memuat target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga Non Kementerian Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) tersebut, perlu disinkronkan dan diintregrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD) Target tahunan pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) dituangkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Rencana Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD), Kebijakan Umum Anggaran 67 (KUA), Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) Dalam rangka penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dapat melakukan koordinasi dengan Kementerian/LPNK dan Kementerian Dalam Negeri c.q Direktorat Jenderal Otonomi Daerah. 2.2. DAERAH 2.2.1. PROVINSI SUMATERA UTARA Dua tahun setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, kemudian Provinsi Sumatera Utara mengeluarkan kebijakan tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak melalui Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004, pada 6 Juli 2004. Dalam Peraturan Daerah ini, perdagangan perempuan dan anak didefinisikan sebagai : “Tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsurunsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan, perempuan atau anak dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak”. Kemudian dalam melakukan penghapusan perdagangan perempuan dan anak, asas yang digunakan dalam Peraturan Daerah ini berupa penghormatan dan pengakuan atas hak-hak dan martabat kemanusiaan yang sama dan perlindungan hak-hak asasi perempuan dan anak. Sedangkan tujuan dari peraturan daerah ini adalah untuk : Melakukan pencegahan Melakukan rehabilitasi dan reintegrasi perempuan dan anak korban perdagangan 68 Dalam memberikan perlindungan kepada saksi dan/atau korban perdagangan, peraturan pemerintah daerah ini memberikan kabupaten/kota, aparat mandat penegak kepada pemerintah hukum, lembaga daerah, swadaya masyarakat yang memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan. Kemudian setiap perempuan dan anak yang menjadi korban perdagangan berhak mendapat bantuan hukum dari Gugus Tugas. Untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan/atau korban, mandat yang diberikan dalam peraturan daerah ini berupa : Korban perdagangan perempuan dan anak berhak memperoleh rehabilitasi baik fisik maupun psikis akibat perdagangan Layanan dan fasilitas rehabilitasi meliputi layanan konseling psikologis, medis, pendampingan hukum dan pendidikan ketrampilan keahlian atau pendidikan alternatif Korban perdagangan perempuan dan anak yang telah kembali pulih baik fisik maupun psikis berhak untuk diintegrasikan atau dikembalikan kepada lingkungan keluarga, masyarakat dan lembaga pendidikan bagi yang masih berstatus sekolah Pemenuhan hak reintegrasi korban perdagangan perempuan dan anak dilakukan secara kerjasama dan kordinasi antar seluruh instansi sector terkait pemerintah daerah, organisasi masyarakat, LSM dan pemerintah kabupaten/kota tempat tinggal korban atau keluarga Pelaksanaan rehabilitasi dan reintegrasi sosial terhadap korban perdagangan perempuan dan anak akan ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan kepala daerah. Lahirnya Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004 ini sebelum dikeluarkannya Undang-Undang PTPPO, maka dalam mendefinisikan tentang perdagangan manusia peraturan daerah ini lebih mengacu kepada defenisi yang ditetapkan oleh Rencana Aksi Nasional 2003-2007. Disamping itu, lahirnya peraturan 69 daerah ini juga merupakan bagian dari mandat Rencana Aksi Nasional 20032007. Setahun setelah ditetapkannya Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004, kemudian lahir kebijakan Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak 2005 – 2009 dan Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak yang ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 24 Tahun 2005, pada 22 November 2005. Dalam menjalankan Rencana Aksi Provinsi dan Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, nilai yang dianut berupa : Kepentingan terbaik untuk perempuan dan anak Kemitraan Non diskriminasi Transparansi dan memiliki integritas serta komitmen yang tinggi Profesional dan berkualitas Partisipasi anak dan perempuan Selama lima tahun, kegiatan yang dilakukan Rencana Aksi Provinsi ini dalam menangani korban perdagangan anak untuk perlindungan hukum, pemulihan dan reintegrasi berupa : Penyusunan pola koordinasi penanganan korban perdagangan perempuan dan anak. Memfasilitasi sistem pengaduan dan dukungan hukum yang mudah diakses masyarakat. Pelatihan implementasi perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak korban trafiking bagi aparat pemerintah, dan aparat penegak hukum, LSM dan organisasi sosial lainnya. Memperkuat system layanan emergency (DIC) yang ada di Pusat Pelayan Terpadu Rumah Sakit Bhayangkara Kepolisian Memperkuat pusat layanan (shelter/rumah aman) bagi korban trafiking. Memfasilitasi penyusunan SOP penanganan korban trafiking. 70 Melakukan investigasi dan monitoring kasus-kasus perdagangan Melakukan pendampingan/ konseling terhadap korban dan keluarga. Memfasilitasi pemulangan korban ke keluarga atau komunitas Memfasilitasi pemberdayaan ekonomi keluarga dan atau korban sendiri Melakukan pendampingan dan monitoring pasca reintegrasi korban trafiking. Menginventarisir lembaga/organisasi yang melakukan pendampingan dan perlindungan korban perdagangan. Memperkuat komunikasi dan koordinasi dengan lembaga-lembaga yang melakukan pendampingan dan perlindungan korban perdagangan Memperkuat pemahaman dan empathy masyarakat dalam menerima/reintegrasi korban perdagangan. Melibatkan masyarakat/organisasi masyarakat dalam upaya reintegrasi korban perdagangan. Memfasilitasi peningkatan kemampuan anggota gugus tugas dalam memberikan pelayanan terhadap korban trafiking. Membangun sistem pertukaran penanganan, penyelamatan, informasi pemulangan dan dan kerjasama dalam perlindungan serta perlindungan hukum bagi korban. Agar Rencana Aksi Provinsi ini terlaksana, Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak diberikan mandat untuk menjamin terlaksananya rencana aksi ini. Kemudian anggota Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak sebanyak 35 instansi dan organisasi. Instansi dan organisasi tersebut, terdiri dari instansi pemerintah, penegak hukum, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan. Rencana Aksi Provinsi 2005 - 2009 merupakan rencana aksi pertama pada tingkat Provinsi Sumatera Utara dalam upaya penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Dari Rencana Aksi Provinsi ini, upaya dalam menangani 71 korban untuk perlindungan hukum dan pemulihan setidaknya ada empat hal yang ingin dicapai dalam pelaksanaan rencana aksi selama lima tahun, dan capaian tersebut berupa : Meningkatnya perlindungan dan rehabilitasi korban perdagangan perempuan dan anak Meningkatknya kerangka kerja hukum Menguatnya implementasi dan supremasi hukum bagi korban perdagangan perempuan dan anak Menguatnya sistem perlindungan khusus bagi perempuan dan anak korban trafiking Kemudian upaya dalam penanganan korban untuk reintegrasi, capaian yang diharapkan selama lima tahun dari rencana aksi ini berupa : Meningkatnya upaya reintegrasi korban perdagangan ke keluarga dan/atau komunitas sosial masyarakat Menguatnya pola koordinasi dalam upaya reintegrasi korban Meningkatnya peran serta masyarakat terhadap penerimaan korban perdagangan Sejak ditetapkannya Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, dan kemudian diikuti oleh Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak yang ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 24 Tahun 2005. Dalam perkembangannya, untuk pelaksanaan dalam melindungi dan memenuhi hak korban perdagangan anak atas perlindungan hukum, pemulihan dan reintegrasi masih banyak mengalami persoalan, dan persoalan tersebut berupa : Belum adanya persamaan persepsi antara penegak hukum dalam pemahaman tentang penanganan tindak pidana perdagangan orang Belum efektifnya pemberian bantuan hukum dan pendampingan korban 72 Lemahnya penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana perdagangan orang Lemahnya koordinasi gugus tugas dalam perlindungan hukum rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial Belum optimalnya rumah penampungan sementara sebagai tempat pelayanan terpadu bagi korban baik dari sisi kualitas dan kuantitas Keterbatasan sumber daya manusia dalam hal rehabilitasi kesehatan, mental dan sosial yang bisa diakses oleh korban Belum adanya standar operasional umum untuk penanganan anak korban perdagangan yang dimiliki oleh Provinsi Sumatera Utara Kurangnya sarana/prasarana yang memadai dalam pemulihan fisik dan psikis korban Belum adanya shelter/rumah aman bagi korban di Provinsi Sumatera Utara Belum optimalnya pemulangan korban antar wilayah/daerah Lemahnya program reintegrasi sosial korban sehingga korban yang sudah dipulangkan diperdagangkan kembali Kurangnya pembinaan life skill dan vocational training bagi korban Korban yang dipulangkan ke daerah menjadi korban kembali karena kurangnya kegiatan pendukung di daerah Masih lemahnya sistem rehabilitasi, reintegrasi dan pemulangan korban Terbatasnya kapasitas sumber daya manusia anggota gugus tugas dalam memberikan pelayanan pada korban Belum semua SKPD memahami tentang gender, hak anak dan pemberdayaan perempuan dan anak sehingga sulit dalam melakukan koordinasi dalam penanganan korban Untuk mengatasi berbagai persoalan dalam menangani korban perdagangan anak, upaya yang dilakukan oleh Provinsi Sumatera Utara adalah dengan menetapkan Rencana Aksi Provinsi Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 2010 - 2015 melalui Peraturan Gubernur Sumatera Utara 73 No. 53 Tahun 2010, pada 21 September 2010. Rencana Aksi Provinsi ini merupakan rencana aksi kedua dalam upaya memerangi perdagangan manusia di Provinsi Sumatera Utara. Kemudian program yang akan dilakukan Rencana Aksi Provinsi ini berupa: Pencegahan dan partisipasi, sebagai penanggung jawab Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Rehabilitasi kesehatan, sosial, pemulangan dan reintegrasi, sebagai penanggung jawab Dinas Kesehatan dan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara Pengembangan norma hukum, perlindungan dan penegakan hukum, sebagai penanggung jawab Biro Hukum Setda Provinsi Sumatera Utara, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, Kepolisian Daerah Sumatera Utara Koordinasi dan kerjasama, sebagai penanggung jawab Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana Setda Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan kegiatan untuk melindungi dan memenuhi hak korban perdagangan anak atas perlindungan hukum, rehabilitasi dan reintegrasi, selama lima tahun dalam Rencana Aksi Provinsi ini berupa : Perlindungan hukum Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang secara kontiniu Mengoptimalisasi rumah aman/sementara yang sudah ada seperti P2TP2A, DIC/WCC dengan standart hak asasi manusia Mendorong dan memfasilitasi kabupaten/kota untuk memiliki rumah aman dengan standar hak asasi manusia Pertemuan koordinasi rutin dalam management penanganan kasus Memastikan perempuan dan anak korban perdagangan mendapat bantuan hukum dan pendampingan serta perlindungan sebagai saksi 74 Penindakan dan penghukuman berat bagi perekrut dan pemakai anak yang diperdagangkan Penegakan hukum pada korban dan pelaku Rehabilitas dan reintegrasi Pelatihan penanganan korban bagi tenaga medis, psikologi, psikiater dan pekerja sosial Finalisasi dan mengesahkan draft standar operasional prosedur umum penanganan anak korban perdagangan Mensosialisasikan dan melatih pemangku kepentingan dalam menggunakan standar operasional prosedur Meningkatkan cakupan pelayanan di rumah sakit dan puskesmas yang menangani korban di provinsi dan kabupaten/kota Menjalin kerjasama dengan fakultas psikologi dan biro konsultasi psikis Peningkatan mutu sarana/prasarana pelayanan kesehatan untuk penanganan korban Memfasilitasi dan mensupervisi kabupaten/kota dalam menyediakan shelter/rumah aman bagi korban Merujuk korban pada tahap kontak awal dan penanganan lanjutan di rumah aman/sementara seperti DIC, P2TP2A, WCC, BP3TKI yang ada sebagai lembaga rujukan korban Peningkatan kapasitas pengelolaan dan melengkapi sarana dan prasarana yang ada di rumah aman dan shelter bagi korban Menyediakan anggaran pemulangan bagi korban sesuai kebutuhan Mengembangkan kegiatan pengembangan usaha ekonomi produktif bagi korban dan keluarganya Pelatihan life skill dan vocational training bagi korban Membantu/memfasilitasi korban yang telah mendapatkan vocational training untuk magang 75 Pengembangan program pemberdayaan ekonomi dan peningkatan aksessibilitas terhadap pendidikan (formal dan nonformal) bagi korban dan keluarga miskin di daerah pengirim Meningkatkan koordinasi antar provinsi, kabupaten/kota untuk pemulangan korban Membangun koordinasi antar dinas/instansi terkait untuk reintegrasi sosial Dari berbagai kegiatan yang akan dilakukan dalam Rencana Aksi Provinsi ini untuk perlindungan hukum bagi korban perdagangan anak setidaknya ada tiga hal yang ingin dicapai selama lima tahun, dan capaian tersebut berupa : Terwujudnya perlindungan hukum dan perlindungan khusus bagi saksi dan/atau korban Terimplementasinya supremasi hukum yang memenuhi rasa keadilan bagi korban Percepatan penyelesaian dalam penanganan kasus tindak pidana perdagangan orang Sedangkan capaian untuk rehabilitasi dan reintegrasi bagi korban perdagangan anak selama lima tahun berupa : Terlaksananya sistem pelayanan kesehatan dasar dan rujukan bagi korban Teridentifikasinya korban yang mendapatkan rehabilitasi kesehatan dan sosial di Provinsi Sumatera Utara Terlaksananya layanan rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi korban berdasarkan standar pelayanan minimal terpadu bagi saksi dan/atau korban Terlaksananya koordinasi antar daerah yang melandasi proses rehabilitasi kesehatan, sosial, pemulangan dan reintegrasi korban Pada waktu yang bersamaan juga ditetapkan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Provinsi Sumatera Utara, 76 melalui Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 54 Tahun 2010, pada 21 September 2010. Pembentukan Gugus Tugas ini adalah untuk menjamin terlaksananya Rencana Aksi Provinsi Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dengan tugas : Mengkoordinasikan pelaksanaan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dan/atau peran dan tanggung jawab masing-masing Melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan dan kerjasama, baik kerjasama nasional, provinsi dan kabupaten/kota Memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban yang meliputi rehabilitasi, pemulangan dan reintegrasi sosial Memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum Melaporkan dan melakukan evaluasi perkembangan pelaksanaan upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang kepada Gubernur Sedangkan untuk anggota Gugus Tugas ini merupakan wakil-wakil dari unsur pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi perempuan, organisasi profesi dan peneliti/akademisi. Kemudian dalam pelaksanaan tugasnya, Gugus Tugas Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Provinsi Sumatera Utara ini dibagi menjadi empat sub bidang gugus tugas beserta penanggung jawabnya. Keempat sub bidang gugus tugas tersebut terdiri dari : Sub Gugus Tugas Bidang Pencegahan dan Partisipasi sebagai penanggung jawab adalah Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara Sub Gugus Tugas Bidang Rehabilitasi Kesehatan, Sosial, Pemulangan dan Reintegrasi sebagai penanggung jawab adalah Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara dan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara Sub Gugus Tugas Bidang Pengembangan Norma Hukum, Perlindungan dan Penegakan Hukum sebagai penanggung jawab adalah Biro Hukum 77 Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara dan Kepolisian Daerah Sumatera Utara Sub Gugus Tugas Bidang Koordinasi dan Kerjasama sebagai penanggung jawab adalah Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak, bahwa dalam menjamin terlaksananya Rencana Aksi Nasional tersebut di daerah dilakukan oleh Gugus Tugas Daerah, yang dibentuk melalui Keputusan Gubernur untuk tingkat Provinsi dan Keputusan Bupati/Walikota untuk tingkat Kabupaten/Kota. Untuk Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2006, telah membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, dengan Surat Keputusan Bupati No. 1086 Tahun 2006 Tentang Pembentukan Ke Anggotaan Gugus Tugas Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak (RAN P3A) di Kabupaten Deli Serdang. Pada awal pembentukan Gugus Tugas berada dibawah tanggungjawab Sekretaris Daerah. Kemudian pada tahun 2008 Gugus Tugas untuk Pencegahan dan Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak dialihkan ke Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (Badan PP dan KB), dan sekaligus Badan PP dan KB menjadi focal point dalam pencegahan dan penghapusan perdagangan perempuan dan anak di tingkat Kabupaten Deli Serdang. Setelah dialihkan untuk penanggungjawab dalam menjalankan Gugus Tugas dari Sekretaris Daerah ke Badan PP dan KB, belum pernah melakukan pertemuan dengan stakeholders yang terlibat dalam Gugus Tugas untuk membuat satu mekanisme dalam melakukan penanganan korban perdagangan perempuan dan 78 anak. Sehingga dalam pelaksanannya fungsi koordinasi tidak berjalan dengan baik. Instansi yang berada di struktur Gugus Tugas tidak memahami fungsi dan perannya sehingga terlihat seperti berjalan sendiri-sendiri dalam melakukan penanganan korban. Ini dapat dilihat ketika dalam penanganan korban perdagangan anak, Badan PP dan KB selalu mengungkapkan tidak adanya anggaran untuk pelayanan kepada korban, dimana sebenarnya anggaran pelayanan untuk korban ada pada instansi terkait yang berada pada struktur Gugus Tugas. Karena tidak adanya sistem koordinasi yang dibangun sehingga terkesan bahwa tidak tersedianya anggaran untuk penanganan korban perdagangan anak. Selain belum berfungsinya Gugus Tugas, Kabupaten Deli Serdang juga belum mempunyai Rencana Aksi Daerah untuk pencegahan dan penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Sehingga untuk alokasi anggaran penanganan korban tidak bisa di masukan dalam APBD. Namun di beberapa instansi atau SKPD ada alokasi anggaran walau tidak secara spesifik menyebutkan bahwa anggaran tersebut untuk melakukan penanganan korban perdagangan perempuan dan anak. Misalnya di Dinas Sosial ada anggaran yang bisa di akses oleh korban yaitu dana pemulangan dan proses reintegrasi untuk korban baik dari maupun luar Provinsi Sumatera Utara. Di Dinas Pendidikan ada anggaran untuk melakukan pencegahan perdagangan anak, di Rumah Sakit yang dirujuk oleh Pemerintah Kabupaten/Kota ada menyediakan layanan kesehatan baik untuk kesehatan fisik maupun psikis. Persoalannya selama ini tidak terkordinasi dengan baik, sehingga cenderung berjalan sendiri-sendiri. Dalam SK Bupati No. 1086 Tahun 2006 tentang Pembentukan Keanggotaan Gugus Tugas Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak di Kabupaten Deli Serdang, bahwa fungsi dari Gugus Tugas tersebut adalah : Mengawasi perusahaan-perusahaan atau tempat kerja dari kemungkinan terjadinya praktek trafiking perempuan dan anak; 79 Menerima dan menindak lanjuti terhadap setiap laporan adanya praktek trafiking perempuan dan anak; Mengadvokasi setiap tenaga kerja perempuan yang mengalami trafiking di perusahaan atau tempat kerja yang berada di wilayah Kabupaten sesuai hukum serta menempatkan korban dalam pusat rehabilitasi perempuan korban trafiking; Mengadakan tuntutan hukum untuk dan atas nama perempuan korban trafiking terhadap perusahaan dan atau tempat kerja serta PJTKI dan perantara pencari kerja yang turut bertanggungjawab dalam penyaluran di perusahaan dan atau tempat kerja yang mempraktekan trafiking. Dari fungsi Gugus Tugas yang ada di SK Bupati tersebut, secara jelas bahwa SKPD atau instansi yang menjadi anggota Gugus Tugas tersebut secara garis besar belum memahami tentang perdagangan perempuan dan anak. Selain itu, persepsi Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuam dan Anak di Kabupaten Deli Serdang masih berorientasi bahwa perdagangan perempuan dan anak identik dengan TKI. Sehingga dalam SK tersebut tidak menjabarkan bagaimana penanganan terhadap anak yang menjadi korban perdagangan. Kemudian melalui Surat Keputusan Bupati Deli Serdang No. 1507 Tahun 2009 dibentuk Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Walau dalam cakupan tugasnya P2TP2A tidak saja melayani dan melindungi korban perdagangan perempuan dan anak, tetapi dalam pelaksanaannya P2TP2A Kabupaten Deli Serdang hampir 95 % kasus yang ditangani adalah kekerasan terhadap perempuan atau KDRT. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya kasus yang di tangani, misalnya dari bulan Januari Desember 2011 ada 255 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani, namun dari 255 kasus tersebut hanya 5 kasus perdagangan anak. Sedikitnya penanganan terhadap kasus perdagangan anak karena minimnya sosialisasi tentang perdagangan anak dan pemahaman aparatur pemerintah 80 sendiri tidak sama dalam memahami tentang perdagangan anak, sehingga dalam penanganan kasus sering kali terjadi salah persepsi. Peran masing-masing institusi dalam melakukan perlindungan hukum, pemulihan dan reintegrasi bagi korban perdagangan anak di Kabupaten Deli Serdang tidak berjalan secara maksimal. Seperti yang dilakukan oleh P2TP2A, dimana peran yang paling banyak dilakukan berupa : Membantu korban untuk mengembalikan rasa percaya diri Membantu korban dalam mengambil keputusan untuk dirinya sendiri Memberikan pelayanan yang bersifat psikososial Memberikan pembelaan secara hukum Namun secara koordinasi bagaimana melakukan rehabilitasi dan rintegrasi sosial, serta pemulangan belum berjalan. Misalnya, korban perdagangan anak membutuhkan bantuan untuk rehabilitasi dan reintegrasi sosial, sementara program dan pos anggaran untuk bantuan tersebut ada pada Dinas Sosial, tetapi karena Gugus Tugas tidak berjalan maka korban tidak mendapatkan bantuan tersebut, sedangkan petugas P2TP2A sendiri tidak melakukan koordinasi dengan Dinas Sosial. Sehingga terkesan bahwa di Kabupaten Deli Serdang tidak mempunyai anggaran untuk melakukan penanganan terhadap korban perdagangan anak. Sejak dikeluarkannya SK Bupati No. 1086 tahun 2006 hingga saat ini Kabupaten Deli Serdang belum memiliki Rencana Aksi Daerah untuk penanganan korban perdagangan anak. Jika ada korban perdagangan anak di wilayah Kabupaten Deli Serdang maka yang paling banyak berperan dalam melakukan perlindungan hukum, pemulihan dan reintegrasi sosial adalah Lembaga Swadaya Masyarakat. Selain itu, kelemahan pada SK Bupati tersebut dalam pembentukan Gugus Tugas, bahwa tidak dimasukannya lembaga-lembaga yang fokus pada perlindungan anak dan perdagangan manusia, sehingga tidak ada lembaga 81 pembanding untuk program-program atau rencana kerja yang akan dilakukan oleh Gugus Tugas. 2.2.2. PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Untuk menangani korban perdagangan manusia, Provinsi Nusa Tenggara Timur telah mengeluarkan kebijakan mengenai Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2008, pada 4 Juni 2008. Lahirnya Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur ini setahun setelah ditetapkannya undang-undang PTPPO. Dalam mendefinisikan perdagangan manusia, peraturan daerah ini merujuk kepada undang-undang PTPPO. Kemudian dalam pelaksanaan penanganan korban perdagangan manusia berdasarkan asas kemanusiaan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keadilan, kepastian hukum, kesetaraan gender, perlindungan korban, non diskriminasi dan keterpaduan. Lahirnya peraturan daerah ini ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada setiap anggota masyarakat dari upaya menjadikannya obyek komersial untuk diperdagangkan. Sedangkan dalam penanganan korban perdagangan manusia, tujuan dibentuknya peraturan daerah ini untuk melindungi hak asasi manusia untuk mewujudkan masyarakat yang bebas dari segala bentuk perdagangan orang, dan melakukan penanganan yang komprehensif terhadap korban demi menyelamatkan dan memberikan keadilan sesuai dengan harkat dan martabatnya. Dalam Peraturan Daerah ini, bentuk pelayanan dalam menangani korban perdagangan manusia berupa rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial. Dan untuk penyelenggaraan pelayanan ini dilakukan di rumah perlindungan sosial daerah. Kemudian dalam peraturan daerah ini memberikan mandat bahwa korban perdagangan manusia berhak untuk mendapatkan : 82 Perlindungan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan Pendampingan dalam semua proses penanganan Pelayanan medis Perlindungan sosial meliputi masyarakat, dihargai dan antara lain diberdayakan diterima sesuai di lingkungan kebutuhan dan kemampuan. Dalam memberikan perlindungan kepada saksi dan/atau korban perdagangan manusia, mandat yang diberikan dalam peraturan daerah ini berupa : Saksi dan/atau korban berhak mendapatkan perlindungan kerahasiaan diri, identitas dan keluarganya, tempat tinggal dan tempat kerja dari suatu publikasi untuk tidak disebarkan pada khalayak umum termasuk dari petugas berwewenang, pers maupun terdakwa. Hak diberikan juga kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai dengan derajat kedua, apabila keluarga saksi dan/atau korban mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan keterangan saksi dan/atau korban Kemudian dalam melindungi saksi dan/atau korban, peraturan daerah ini juga memberikan mandat bahwa pemerintah daerah bekerjasama dengan kepolisian daerah dalam melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban perdagangan orang. Dua tahun setelah ditetapkannya Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang, kemudian lahir kebijakan mengenai Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) yang ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur No. 389/KEP/HK/2010, pada 2010. Pelaksanaan Rencana Aksi Daerah ini selama lima tahun dari 2010 hingga 2014. 83 Dalam upaya memberikan perlindungan hukum, rehabilitasi dan reintegrasi, kepada korban perdagangan manusia, kegiatan yang dilakukan selama lima tahun dalam Rencana Aksi Daerah ini berupa : Perlindungan hukum Mereview peraturan daerah tentang pencatatan kelahiran, jaminan kesejahteraan dan asuransi sosial, perlindungan TKI Mendorong kabupaten/kota untuk membuat peraturan daerah yang menindaklanjuti undang-undang PTPPO Memperkuat sistem monitoring dan pengawasan penanganan kasus Mengefektifkan layanan bantuan hukum korban sejak tahap identifikasi Rehabilitasi dan reintegrasi Meningkatkan pelayanan terhadap korban Meningkatkan kapasistas sumber daya manusia untuk pelayanan rehabilitasi kesehatan bagi korban Mengembangkan dan menyediakan sarana/prasarana pelayanan kesehatan untuk penanganan korban Menyusun pedoman/standar layanan bagi korban Meningkatkan kinerja layanan rehabilitasi sosial di rumah perlindungan sosial/shelter/ rumah untuk korban dan fasilitas lainnya, dan memberikan bantuan modal untuk meningkatkan kesejahteraan korban Mengembangkan model penjangkauan dan rehabilitasi khusus korban Meningkatkan koordinasi antar gugus tugas untuk pemulangan aman bagi korban Penjemputan korban di negara tempat bekerja Membangun koordinasi antar dinas/instansi/lembaga untuk reintegrasi sosial korban Mendorong dan memfasilitasi adanya kerjasama antar daerah dalam penanganan korban 84 Pada waktu yang bersamaan juga dibentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur No. 389/KEP/HK/2010. Setahun kemudian, Gugus Tugas ini mengalami perubahan, dan perubahan tersebut terjadi karena penambahan keanggotaan gugus tugas. Kebijakan perubahan ini ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur No.190 /KEP/HK/2011, pada 18 Agustus 2011. Keanggotaan Gugus Tugas ini merupakan wakil-wakil dari unsur pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi perempuan, organisasi profesi dan peneliti/akademisi. Dalam pelaksanaan tugasnya, Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur dibagi menjadi enam sub bidang gugus tugas beserta koordinatornya. Keenam sub bidang gugus tugas tersebut terdiri dari : Sub Gugus Tugas Pencegahan, sebagai koordinatornya Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Nusa Tenggara Timur Sub Gugus Tugas Pengembangan Norma Hukum, sebagai koordinatornya Kepala Bidang HAM pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Nusa Tenggara Timur Sub Gugus Tugas Rehabilitasi Kesehatan, sebagai koordinatornya Kepala Bidang Pelayanan Medis pada Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur Sub Gugus Tugas Rehabilitasi Sosial, Pemulangan dan Reintegrasi, sebagai koordinatornya Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial pada Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Timur Sub Gugus Tugas Penegakan Hukum, sebagai koordinatornya Kepala Unit Trafficking dan People Smuggling Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur 85 Sub Gugus Tugas Kerjasama dan Koordinasi, sebagai koordinatornya Kepala Bagian Pemberdayaan Lembaga Masyarakat pada Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Untuk memerangi perdagangan manusia, upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur setidaknya telah mengeluarkan tiga kebijakan, satu kebijakan dalam bentuk peraturan daerah dan dua kebijakan dalam bentuk keputusan gubernur. Dari ketiga kebijakan tersebut, misalnya Peraturan Daerah mengenai Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang. Walau pun dalam Peraturan Daerah ini menyebutkan tentang definisi anak dalam ketentuan umum, namun dalam menangani korban perdagangan manusia khususnya anak untuk rehabilitasi, reintegrasi dan pemulangan, peraturan daerah ini belum memberikan aturan secara khusus dalam menanganinya. Jadi peraturan daerah ini terkesan dalam menangani korban, menyamakan antara korban dewasa dan korban anak. Tentu saja ini akan berdampak pada implementasi dalam menangani korban anak untuk rehabilitasi, reintegrasi dan pemulangan. Kemudian dalam Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak, rumusan masalah dalam penanganan korban perdagangan anak untuk perlindungan hukum, rehabilitasi dan reintegrasi belum teridentifikasi. Begitu juga dalam Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang yang tidak mencantumkan sub gugus tugas bidang partisipasi anak. Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan daerah pengirim (sending area) dan daerah transit tenaga kerja non formal yang dikirim keluar negeri dengan 5 (lima) negara tujuan terbesar yakni Malaysia, Singapura, Hongkong, Arab Saudi dan Thailand. Dengan pendidikan yang minim, identitas dipalsukan, keterampilan yang rendah, terjerat hutang, dibujuk teman, difasilitasi orang-orang terdekat dan 86 dengan alasan lainnya banyak anak-anak yang rentan terhadap perdagangan. Walaupun belum ada lembaga khusus yang menyediakan data tentang kasus perdagangan anak secara lengkap di Nusa Tenggara Timur, tetapi lembagalembaga dan instansi yang bekerja untuk isu ini mengetahui dan (mungkin) mendokumentasikan kasus ini. Sejak disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), setahun kemudian Pemerintah Nusa Tenggara Timur mensahkan Peraturan Daerah (Perda) No. 14 Tahun 2008 Tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang. Untuk merespon Perda tersebut, kemudian dibentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur melalui Surat Keputusan Gubernur No. 389/KEP/HK/2010 dan diperbaharui lagi melalui Surat Keputusan Gubernur No. 190/KEP/HK/2011. Aktivitas yang dilakukan oleh Gugus Tugas paska dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur tersebut adalah seminar, lokakarya, rapat koordinasi dan pembentukan badan pengawas Gugus Tugas di bandara dan pelabuhan. Walaupun sudah ada Gugus Tugas namun hasil yang diharapkan belumlah optimal, dimana dalam melakukan penanganan masih berjalan sendiri-sendiri. Hal ini dibuktikan dengan tidak semua kasus perdagangan anak dikoordinasikan antar anggota dan tidak semua anggota tahu tentang kasus-kasus perdagangan anak. Misalnya data yang disampaikan oleh IOM tentang kasus perdagangan manusia di Nusa Tenggara Timur tidak diketahui dengan baik oleh anggota Gugus Tugas. Dengan melihat struktur Gugus Tugas yang terdiri dari orang-orang kunci di Nusa Tenggara Timur dan jumlah instansi atau pun dinas yang cukup banyak, seharusnya dapat meminimalisir persoalan perdagangan anak di Nusa Tenggara Timur. Namun fakta membuktikan banyak sekali kasus-kasus perdagangan anak yang terjadi di Nusa Tenggara Timur dan penyelasaian yang dilakukan masih 87 seperti pemadam kebakaran. Dimana ketika ada kasus perdagangan anak yang terjadi di dalam maupun di luar negeri dan diberitakan oleh media secara besarbesaran baru di beri penanganan yang serius kepada korban. 2.2.3. PROVINSI JAWA TENGAH Kebijakan di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota mengenai perlindungan anak kecenderungannya dilakukan bersamaan dengan perlindungan perempuan. Upaya perlindungan anak dan perempuan yang sudah banyak dilakukan di berbagai wilayah seperti pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) korban kekerasan terhadap anak dan perempuan. Sebagai strategi untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak, dengan harapan agar kondisi anak-anak lebih baik, beberapa kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan anak di Provinsi Jawa Tengah, antara lain : Peraturan Gubernur Nomor 94 Tahun 2006 tentang Komite Aksi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak Peraturan Gubernur No 76 Tahun 2006 tentang Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Tengah Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Pekerja Anak Peraturan Gubernur No. 23 Tahun 2008 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak di Provinsi Jawa Tengah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Provinsi Jawa Tengah Sebagai upaya untuk memerangi perdagangan orang, pada 14 September 2009 Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 47 tentang Pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Orang, yang kemudian diikuti oleh beberapa kabupaten melalui Surat Keputusan Bupati. 88 Menurut Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, beberapa kabupaten yang sudah melaporkan tentang pembentukan Gugus Tugas Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang antara lain : No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Gugus Tugas Kabupaten Grobogan Kabupaten Jepara Kabupaten Brebes Kabupaten Klaten Kabupaten Wonogiri Kabupaten Kebumen Kabupaten Wonosobo Kabupaten Cilacap Kabupaten Kudus Kabupaten Karanganyar Kota Semarang Bentuk Kebijakan SK Bupati No 300/363/2010 SK Bupati No 23/2011 SK Bupati No 260/456/2010 SK Bupati No 21/118/2010 SK Bupati 171/2011 SK Bupati 263/265/KEP/2011 SK Bupati 411/272/2011 SK Bupati 465.2/92/35/2010 Masih dalam proes Masih dalam proses Masih dalam proses Tanggal Dikeluarkan 6 April 2012 21 Se[tember 2011 18 November 2010 18 Maret 2010 12 Mei 2011 11 Mei 2011 27 Juli 2011 22 Pebruari 2010 Sebagai implementasi Peraturan Gubernur No 47 tahun 2009, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sudah mengeluarkan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Provinsi Jawa Tengah untuk tahun 2008 – 2013. Dalam Rencana Aksi Daerah tersebut, walaupun tidak secara khusus menyebutkan perlindungan terhadap hak anak, namun telah memasukan perspektif hak anak dalam penanganan bagi anak yang diperdagangkan. Seperti pada pasal 4 (6) yang berbunyi: Mengintegrasikan perspektif gender dan hak anak pada seluruh rencana aksi daerah pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Sebagai upaya untuk pemulihan korban, tersedianya rumah aman untuk bagi anak yang diperdagangkan sangat dibutuhkan. Dalam pertemuan jaringan mengusulkan rumah aman bagi korban perdagangan. Usulan tersebut sudah disetujui pada APBD tahun 2012-2013 Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan menganggarkan 650 juta untuk pembagunan shelter atau rumah aman yang khusus bagi korban perdagangan anak. Dengan demikian sudah ada 89 upaya Pemerintah Jawa Tengah memandang bahwa penanganan korban perdagangan anak berbeda dengan korban kekerasan lainnya. Penyedia layanan bagi korban perdagangan anak dilakukan oleh Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi yang merupakan lembaga rujukan ketika ada kasus baik kekerasan maupun perdagangan anak. Untuk kasus perdagangan anak, korban dirujuk ke LSM untuk proses pendampingan baik untuk kebutuhan psikologis sampai pendampingan proses hukum. Sedangkan untuk upaya penjemputan biasanya dilakukan oleh Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak serta Keluarga Berencana (BP3AKB) dan dinas terkait seperti Dinas Sosial. Untuk proses reintegrasi, PPT Provinsi berkoordinasi dengan PPT kabupaten/Kota, pada saat penjemputan korban langsung diantarkan ke daerah asal. Kemudian proses reintegrasi dilakukan oleh kabupaten/kota setempat. Memang ada kendala pada proses reintegrasi tersebut, karena tidak semua daerah mempunyai PPT atau PPT yang sudah terbentuk tidak optimal karena tidak tersedianya anggaran. Dibeberapa kabupaten anggaran yang disediakan oleh APBD hanya sebesar 25 juta untuk penanganan korban. Untuk solusi jangka panjang bagi korban sudah ada upaya dari Dinas Sosial dengan memberikan modal dan keterampilan agar korban bisa mandiri. Sayangnya belum ada mekanisme monitoring dalam mempersiapkan korban apakah keterampilan atau modal yang diberikan dapat menjamin kemandirian korban, sehingga ada kemungkinan anak kembali menjadi korban perdagangan. Kemudian berdasarkan Peraturan Gubernur No. 47 tahun 2009, Rencana Aksi Daerah dalam Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Anak di Jawa Tengah memberikan mandat : 90 Penanganan kasus bagi anak yang diperdagangkan ditangani oleh PPT Provinsi dan dikoordinasikan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Jawa Tengah (BP3AKB). Untuk Pelayanan Kesehatan dan bantuan psikolog PPT berkoordinasi dengan Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang, Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo, Rumah Sakit Umum Daerah Moewardi Surakarta, Rumah Sakit Jiwa Aminogondo Hutomo, Rumah Sakit Bhayangkara. Untuk pendampingan hukum berkoordinasi dengan LSM KJHAM dan LBH Apik Semarang, Sebagai dukungan psikologis dalam proses reintegrasi sosial korban perdagangan anak didampingi oleh Yayasan Setara, KJHAM yang berkoordinasi dengan Bapermas kota, dan PPT di tingkat kecamatan. Sebagai proses pemulihan anak yang diperdagangkan berkoordinasi dengan Dinas Sosial, Panti Sosial Adhi Karya Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan dalam mengupayakan pendidikan formal dan informal. Di tingkat provinsi, pada 2010 - 2011 sudah dibuat Standar Pelayanan Minimum (SPM) bagi korban perdagangan anak, tetapi dalam realisasinya ketika menjadi Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan korban perdagangan anak dijadikan satu dengan standar pelayanan bagi korban perdagangan orang. Sedangkan di tingkat Kota Semarang belum ada kebijakan yang mengatur mengenai perlindungan bagi korban perdagangan. Untuk Provinsi Jawa Tengah dalam penanganan perlindungan hukum bagi korban perdagangan anak masih sangat lemah, karena pihak Kepolisian Daerah Jawa Tengah kurang pro aktif dalam penanganan kasus perdagangan anak. Sebagai contoh pada saat penanganan kasus perdagangan anak di tahun 2011, ada 3 anak korban perdagangan di Provinsi Bangka Belitung yang berasal dari Semarang. Tetapi Kepolisian Daerah Jawa Tengah tidak memberikan akses bagi Kepolisian Daerah Bangka Belitung untuk membuatkan surat respon 91 penangkapan, sehingga Kepolisian Daerah Bangka Belitung tidak bisa melakukan penangkapan. Kemudian pada saat korban dimintai keterangan oleh Kepolisian, dimana korban seharusnya didampingi oleh pihak pendamping yang ditunjuk dan/atau oleh orang tua. Namun, terkadang Kepolisian baik Kepolisian Daerah maupun Polrestabes Semarang tidak memperhitungkan keselamatan korban dan keluarga, padahal perlu adanya jaminan perlindungan saksi dan/atau korban beserta keluarganya. Dalam menangani kasus perdagangan anak, juga kurang adanya koordinasi lintas sektor terutama untuk aparat penegak hukum, dalam hal persepsi diantara penegak hukum sendiri. Aparat penegak hukum masih mendefinisikan perdagangan anak sesuai dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), dan semua unsur dalam pengertian tersebut harus terpenuhi. Apabila tidak ada salah satu unsur maka tidak bisa diproses secara hukum, dan hanya dikenakan undang-undang lain yang relevan misalnya Undang-Undang Perlindungan Anak dan yang diambil adalah pasal mempekerjakan anak, seperti kasus yang pernah didampingi yaitu pada tahun 2010. Ketika seorang anak diperdagangkan disuatu lokalisasi di Kota Semarang, pelaku hanya dikenakan Undang-Undang Perlindungan Anak. Selain itu, ketika aparat penegak hukum sudah diberikan pelatihan mengenai perdagangan anak untuk menyamakan persepsi, namun ada pergantian atau mutasi pejabat, sehingga menyebabkan kurang pahamnya aparat yang menduduki bagian penanganan perdagangan anak maupun perempuan. Pada saat proses persidangan pun pelaku juga tidak dikenakan tuntutan yang tinggi, maka itu pun juga akan berpengaruh pada putusan hakim. Pada kasus perdagangan anak ini, banyak korban yang tidak tahu bahwa ketika kasus masuk ke ranah hukum, korban punya hak untuk mengajukan restitusi 92 atau ganti rugi yang sudah diutarakan ketika proses di Kepolisian, namun hak itu tidak disampaikan kepada pihak korban. Terkadang korban takut untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib karena korban dan keluarga mendapat ancaman dari pelaku atau pelaku meneror korban dan keluarga, sehingga korban enggan untuk melaporkan kasusnya pihak yang berwajib. Banyak sekali persoalan-persoalan yang berkaitan dengan perlindungan hukum dalam penanganan korban perdagangan anak. Selain persoalan perlindungan hukum juga ada persoalan yang berkaitan dengan pemulihan bagi korban perdagangan anak yang ada di Provinsi Jawa Tengah maupun yang ada di Kota Semarang sendiri. Persoalan ketika proses pemulihan bagi korban memang butuh penanganan yang terkoordinatif dan terintegrasi antar lintas sektor, baik pemerintah, organisasi sosial maupun LSM. Kurangnya sumber daya manusia dalam upaya pemulihan bagi korban juga menjadi kendala, ketika korban sudah dijemput dan dipulangkan ke provinsi asal, korban membutuhkan untuk pemulihan psikologis, karena kurangnya tenaga psikolog di Provinsi Jawa Tengah, menyebabkan korban hanya bisa dirujuk ke rumah sakit, shelter atau rumah aman. Bahkan untuk Kota Semarang tidak memiliki tenaga psikolog yang bisa menjadi rujukan, dan harus melalui Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo yang sekarang sudah berganti nama menjadi RS DR.Adyatma MPH, dimana rumah sakit ini yang juga menjadi rumah sakit rujukan dan tergabung menjadi anggota PPT Provinsi Jawa Tengah. Biasanya setelah selesai penjemputan korban yang dilakukan oleh pihak Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, korban diserahkan kepada pihak kabupaten/kota tempat asal korban, dan jika tidak bisa menangani akan dirujuk kembali kepada pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Hingga tahun 2012 belum tersedianya rumah aman di Kota Semarang bagi korban perdagangan anak. Ketika ada korban berasal dari kota Semarang, korban perdagangan anak ditempatkan di shelter menjadi satu dengan korban kekerasan lainnya. 93 Pada proses reintegrasi sosial, masih banyak persoalan dan kendala. Persoalan dalam proses reintegrasi sosial, ketika korban sudah dikembalikan ke rumah oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam hal ini adalah BP3AKB Jawa Tengah, ataupun Pemerintah kota Semarang, hanya sekedar dipulangkan kemudian diberikan santunan dana bagi korban. Namun dana tersebut tidak digunakan korban untuk kelangsungan hidup korban ataupun untuk kebutuhan korban sendiri seperti keinginan untuk melanjutkan pendidikan formal maupun non formal. Bahkan untuk kebutuhan pendidikan pun, terkendala dengan otonomi daerah, sehingga korban banyak yang tidak bisa mengakses pendidikan. Dinas Pendidikan baik dari Kota Semarang maupun Provinsi Jawa Tengah belum banyak berperan dalam proses reintegrasi bagi korban perdagangan anak. Justru korban banyak yang dikeluarkan dari sekolah setelah mengetahui korban adalah seorang korban perdagangan anak. Proses reintegrasi ini memang membutuhkan proses yang panjang, karena harus disiapkan lingkungan keluarga, dan masyarakat sekitar untuk menerima korban, dan korban tidak diberikan stigma yang negatif oleh masyarakat. Provinsi Jawa Tengah pernah memfaslitasi korban yang berasal dari Semarang, dimana lingkungan sekitar korban tidak bisa menerima korban karena korban pernah menjadi korban perdagangan anak untuk dipekerjakan di lokalisasi, dan masyarakat beranggapan korban akan membawa dampak negatif bagi pemuda maupun pemudi wilayah tersebut. Akhirnya Pemerintah Kota Semarang dan Provinsi Jawa Tengah, mengadakan pertemuan dengan warga untuk membahas persoalan ini, namun setelah itu tidak ada proses monitoring bagi korban. Kurangnya tenaga ahli atau sumber daya manusia dalam penanganan reintegrasi sosial korban juga menjadi persoalan, sehingga kasus-kasus perdagangan anak selesai saat dipulangkan saja. Kemudian kendala yang dialami pada saat proses reintegrasi korban adalah korban mendapat cemooh dari lingkungan sekitar, dan didiskreditkan, sehingga 94 membuat korban sendiri tidak nyaman di lingkungan tempat tinggalnya. Hal ini diperlukan upaya kerjasama antara PPT Kabupaten/Kota dan masyarakat setempat, untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap korban perdagangan anak. Disisi lain fungsi PPT Provinsi dan Gugus Tugas sama yaitu selain pelayanan juga melakukan koordinasi, pemantauan dan pelaporan. Gugus Tugas yang sudah dibentuk oleh Kabupaten/Kota tidak efektif dan tidak berjalan dikarenakan setiap kabupaten/kota sudah membentuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) korban kekerasan bagi Perempuan dan Anak yang beranggotakan SKPD dan LSM sehingga Gugus Tugas yang sudah dibentuk tersebut juga merupakan anggota dari PPT. Sementara untuk penanganan kasus perdagangan anak di tingkat kabupaten/kota tidak optimal dikarenakan tidak tersedianya anggaran dan sumber daya manusia yang tidak memadai. 95 BAB III INTERVENSI HUKUM DALAM MENANGANI KORBAN PERDAGANGAN ANAK Dalam menangani korban perdagangan anak, pada Januari 2010 Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Sosial telah menyatakan bahwa Panduan ASEAN dalam Melindungi Hak-Hak Anak Yang Diperdagangkan yang disusun oleh Asia ACT dan Indonesia ACT menjadi panduan nasional dan sebagai acuan dalam melindungi anak-anak yang menjadi korban perdagangan di Indonesia. Dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak korban perdagangan, dalam panduan tersebut menyebutkan bahwa : Setiap anak korban perdagangan berhak mendapatkan perlindungan hukum dan pendampingan hukum Anak yang diperdagangkan adalah korban dari pelanggaran HAM, mereka tidak boleh diperlakukan sebagai pelanggar atau subjek, atau diancam dengan sanksi kriminal atas tindakan pelanggaran yang terkait dengan situasi mereka sebagai anak yang diperdagangkan Akses terhadap kesejahteraan sosial dasar dan layanan dukungan tidak boleh bergantung pada kemauan anak untuk bekerja sama dengan pihak penegak hukum yang berwenang. Kemudian dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak korban perdagangan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, disebutkan bahwa: Dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas Sidang untuk memeriksa korban anak dilakukan dalam sidang tertutup 96 Dalam pemeriksaan korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang tua asuh, advokat, atau pendamping lainnya Pemeriksaan terhadap korban anak dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa Pemeriksaan terhadap korban anak dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman atas persetujuan hakim 3.1. Kepolisian Dalam memberikan perlindungan hukum dalam proses penyidikan bagi anak korban perdagangan, Undang-Undang PTPPO menyebutkan bahwa di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi korban. Untuk mendukung undang-undang ini kemudian Kepolisian mengeluarkan kebijakan mengenai Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan kebijakan mengenai Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana. Untuk proses penyidikan bagi anak korban perdagangan, di Kepolisian tingkat Provinsi atau Kepolisian Daerah (Polda) memiliki satu sub tersendiri dibawah Direktorat Reserse Kriminal Umum, yakni Sub Direktorat (Subdit) Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta). Subdit ini mulai melakukan penyidikan terhadap korban perdagangan anak sejak lahirnya Peraturan Kapolri No. 10 tahun 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA). Kemudian diperkuat dengan Peraturan Kapolri No. 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, dan Peraturan Kapolri No. 22 tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Daerah. Kemudian pada Kepolisian tingkat Kabupaten/Kota atau Kepolisian Resort (Polres) untuk penyidikan korban perdagangan anak dilakukan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). 97 Petugas atau personil yang menangani korban perdagangan anak, baik di tingkat Kepolisian Daerah dan Kepolisian Resort berjumlah 5 - 10 orang. Dalam melakukan penyidikan kasus perdagangan anak, petugas diberikan pelatihan khusus. Pelatihan ini diberikan oleh lembaga kepolisian, The Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC), International Organization for Migration (IOM), dan LSM. Sejak lahirnya Undang-Undang PTPPO banyak pelatihan yang diikuti yang berkaitan dengan penanganan kasus perdagangan anak. Dari hasil wawancara dengan Kepolisian Daerah dan Resort di Provinsi Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur dan Jawa Tengah, tidak semua kasus perdagangan anak yang ditangani diajukan ke pengadilan. Penyebab utama tidak diajukannya kasus perdagangan anak ke pengadilan tersebut karena alat bukti yang kurang, korban tidak merasa dirugikan, dan korban lari shelter. Kemudian untuk menentukan kasus perdagangan anak diajukan ke pengadilan didasarkan pada kecukupan alat bukti dan unsur perdagangan orang yang tertera pada Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO. Dalam penanganan kasus perdagangan anak tetap menggunakan undang-undang PTPPO, meskipun untuk anak tidak ada cara, namun jika diketahui itu untuk tujuan eksploitasi maka hal itu bisa dikenakan undang-undang PTPPO. Dan untuk kasus perdagangan manusia memang tak bisa main-main, kalau cukup bukti harus diajukan ke pengadilan. Dalam melakukan penyidikan kasus perdagangan anak, Polisi sendiri mengakui masih memiliki kendala terutama pada minimnya dana dan peralatan yang dimiliki oleh institusi kepolisian. Sedangkan untuk personil dan keahlian dalam melakukan penyidikan kasus perdagangan anak sudah memadai, karena sudah banyak mengikuti pelatihan dan seminar yang dilakukan oleh institusi Kepolisian sendiri maupun di luar institusi Kepolisian. Khusus untuk personil di Renakta dan unit PPA harus memiliki kualifikasi dan mampu menyidik anak, dan yang jelas harus memiliki kemampuan lebih dari polisi umum. 98 Dalam menanggapi kasus perdagangan anak, polisi terkadang pro aktif dan terkadang tergantung laporan yang masuk dari masyarakat, bahkan terkadang tergantung dana dan peralatan sehingga lebih banyak menunggu laporan. Polisi juga banyak melakukan penangkapan pelaku dengan informasi dari masyarakat, namun penangkapan dengan informasi dari masyarakat mengalami kesulitan di tingkat penuntutan di Kejaksaan. Alasannya mengapa Polisi sibuk mencari dan membongkar kasus trafiking, sementara korbannya tidak berkenan kasusnya dinaikkan. Sementara kasus trafiking meluas di masyarakat, tapi korbannya sendiri mempersulit penyidikan kasusnya, sehingga mempersulit Polisi di tingkat Kejaksaan. Kemudian ada infomasi dari surat kabar tentang kasus trafiking, setelah di datangi ke lokasi namun korbannya sendiri tidak mau melaporkan dengan alasan karena persoalan biaya, transportasinya jauh, tidak memiliki waktu. Dan ini merupakan hambatan dalam menanggapi kasus perdagangan anak. Dalam memahami tentang kasus perdagangan manusia diantara penegak hukum seperti Jaksa dan Hakim, Polisi sendiri mengakui masih kurang. Kalau Polisi kasus tindak pidana perdagangan orang itu adalah delik murni. Jadi ada tidak adanya pengaduan, selaku Polisi harus melakukan tindakan. Tetapi ketika Polisi menanggapi pengaduan dari masyarakat belum tentu Kejaksaan bisa menerima, dengan alasan banyak faktor-faktor dan unsurnya tidak terpenuhi, seperti “posisi rentan”. Karena undang-undang PTPPO tidak mengenal umur dan tidak hanya anak serta tidak dibatasi. Sehingga kalau seseorang berumur 23 tahun kalau diperdagangkan oleh mucikari otomatis itu adalah perdagangan orang, tetapi sering tidak dapat diajukan, malah nanti di tingkat Kejaksaan jadi pasal 296 KUHP tentang mata pencaharian jadinya, dan itu sering diterapkan. Prinsip Kepolisian jika ada informasi dari masyarakat, misalnya si A kerjanya memperdagangkan orang, dengan mendapat dan menerima imbalan dari kegiatan tersebut. Tetapi ketika dinaikkan kasus tersebut dianggap kurang alat bukti karena korban bukan “posisi rentan”. Untuk membuktikan korban “posisi 99 rentan” modus operandi ada di undang-undang PTPPO, dan itu hingga sekarang belum ada penjelasan yang mana dimaksud “posisi rentan”. Misalnya nanti jikalau ada pelatihan atau seminar tolong coba tanyakan kepada Kejaksaan, apakah seseorang yang memperdagangkan orang yang berusia 23 tahun, kemudian pelaku menerima uang dari tindakan perdagangan tersebut, apakah itu tidak trafiking? Cuma posisi korban tidak rentan, dan modus operandinya dengan bujuk rayu dan iming-iming. Jadi kalau korban berusia 23 tahun dan bisa menentukan baik dan buruk, tetapi dia melacurkan diri apakah si A itu melakukan perdagangan orang? Kalau korban perdagangan manusia adalah anak, Polisi mengakui masih bisa sejalan dengan Jaksa, dimana Jaksa selalu memberikan dukungan dan membantu untuk melengkapi kekurangan dalam pemberkasan perkara. Misalnya jika salah satu unsur tidak terpenuhi maka diambil pasal yang sesuai dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Termasuk juga pengadilan yang pro terhadap anak korban perdagangan. Kemudian yang menjadi kendala adalah ketika Jaksa dan Hakim meminta saksi petunjuk, yakni saksi yang mendengar langsung dan melihat langsung. Untuk memulai penyidikan kasus perdagangan anak, pedoman yang digunakan Polisi adalah undang-undang PTPPO, undang-undang Perlindungan Anak, dan KUHP. Sedangkan untuk mengidentifikasi korban perdagangan anak adalah dengan menanyakan usia korban, proses terjadinya tindak pidana perdagangan orang dan tujuannya, dokumen seperti ijazah dan akte, serta dengan melakukan visum. Semua kasus perdagangan anak ditanggapi termasuk laporan dari LSM, orang tua, dan institusi lain, apalagi kalau korban memberikan dukungan dan kooperatif. Jikalau pada tingkat Polsek kurang ditanggapi maka bisa memberikan informasi atau laporan ke tingkat Polres atau pun Polda. Walaupun demikian dalam menanggapi informasi dan laporan tentang kasus perdagangan anak, 100 Polisi mengakui masih terganjal dengan beberapa kendala seperti tempat yang jauh, minimnya dana dan peralatan, pembuktian yang sulit karena belum memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang. Dalam memproses kasus perdagangan anak dari penyidikan ke penuntutan, langkah-langkah yang dilakukan Polisi berupa : Penyelidikan Observasi Mendapatkan informasi Kalau ternyata merupakan tindak pidana perdagangan orang maka dilanjutkan ke tingkat penyidikan Pemeriksaan terhadap barang bukti dan apabila telah memenuhi unsur maka dinaikkan ke Kejaksaan Kemudian kalau korban anak perlu direhabilitasi maka dilakukan rehabilitasi dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah atau LSM, dengan disediakan shelter atau tempat penampungan. Yang jelas korban anak harus direhabilitasi, baik fisik maupun psikisnya. Begitu juga kalau korban anak mau dipulangkan, bekerjasama dengan Pemerintah Daerah atau LSM, karena Kepolisian tidak punya anggaran untuk itu. Untuk rehabilitasi dan reintegrasi bukan wilayahnya Kepolisian, jadi kami tidak punya anggaran untuk itu. Sedangkan lembaga atau institusi yang biasanya terlibat untuk proses ini adalah: Biro Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas Sosial Dinas Kesehatan BP3TKI LPA LSM Anak dan Perempuan Untuk memastikan bahwa anak sebagai korban dilindungi dari penyidikan hingga penuntutan, langkah-langkah yang dilakukan Polisi berupa : 101 Menjaga kerahasiaan korban dengan tidak menceriterakan hasil pemeriksaan kepada orang lain Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam penyediaan shelter bagi korban, dan jika tidak ada shelter maka korban akan ditempatkan di mess Polwan Tidak diekspos ke media dan menghindari korban dari wartawan Kemudian kalau korban tidak punya keluarga dicarikan tempat perlindungan korban, apakah di instansi pemerintah atau di LSM. Disamping itu, korban jangan sampai diintimidasi tersangka atau keluarga tersangka, dan korban juga harus didampingi hingga di sidang pengadilan. Inilah proses yang dilakukan untuk melindungi anak sebagai korban. Kemudian untuk melindungi hak privasi dan kerahasiaan korban dilakukan sesuai dengan undang-undang pengadilan anak. Selain itu kesaksian korban dilindungi, nama dan alamat korban tidak diekspos, tidak diekspos ke media dan pengambilan foto, dan diusahakan yang melakukan penyidikan terhadap korban adalah yang berjenis kelamin yang sama dengan korban. Dalam proses penyidikan, Polisi juga berbagi informasi dengan institusi penegak hukum lainnya yakni Kejaksaan dalam hal konsultasi tentang perkara. Sementara untuk proses penyidikan Jaksa tidak pernah terlibat dan hanya menerima berkas perkara, dan setelah berkas perkara diserahkan ke Jaksa baru mereka bergerak. Selain itu hingga saat ini belum adanya semacam MoU antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam menangani perkara trafiking, dan ini berdampak pada tidak adanya koordinasi yang baik dalam menangani perkara. Sehingga sering tidak adanya kesepemahaman antara Kepolisian dan Kejaksaan, misalnya untuk persoalan “posisi rentan”, dan Jaksa menganggap delik belum terpenuhi, sementara dalam undang-undang hal tersebut tidak relevan, karena memang tidak menggunakan KUHP. Akibatnya Kejaksaan menganggap berkas belum lengkap atau P19 dan dikembalikan ke Kepolisian. 102 Dari persoalan ini juga sebenarnya bisa akan berdampak pada terhentinya kasus dugaan perdagangan anak, karena Jaksa menganggap tidak memenuhi unsur pasal yang diterapkan dan tidak terpenuhi unsur perdagangan orang. Selain itu, kurangnya kesepemahaman dalam penyajian bukti dan kesaksian, dimana tidak cukup dari satu saja, karena untuk bukti dan saksi Jaksa masih berpedoman pada KUHP. Dalam masalah perdagangan anak, Polisi juga bekerjasama dengan institusi atau lembaga lain seperti dengan polisi pada unit Binmas untuk sosialisasi ke masyarakat. Dengan Imigrasi untuk pengecekan rekomendasi, dengan Jaksa dalam penyidikan kasus, dengan LSM dalam penyediaan pendamping dan shelter, dengan masyarakat atau pun komunitas dalam hal saling berbagi informasi tentang kasus dan sosialisasi tentang masalah perdagangan anak. Sedangkan dengan pengadilan atau Hakim belum pernah bekerjasama dan setiap vonis yang dijatuhkan oleh Hakim untuk pelaku perdagangan anak tidak pernah ditembuskan ke Kepolisian. Kemudian menurut Kepolisian untuk penanganan kasus perdagangan anak kerjasama yang perlu ditingkatkan antar institusi atau lembaga adalah : Dalam penyidikan kasus, Jaksa harus menerima dan menggunakan undang-undang PTPPO selain KUHP Memperkuat komitmen aparat penegak hukum dan perangkat di pemerintahan hingga ke desa. Sosialisasi ke unsur kunci yang ada di masyarakat untuk mencegah dan menangani perdagangan anak Pemerintah daerah harus mengalokasikan dana untuk penanganan korban perdagangan Untuk di Gugus Tugas trafiking perlu untuk mencantumkan nama dan jabatan personil yang bertanggung-jawab di Gugus Tugas, jadi tidak lembaganya saja misalnya Polda atau Polres 103 Sementara hubungan dengan masyarakat dalam menangani kasus perdagangan anak, Polisi mengungkapkan bahwa jika ada informasi langsung di laporkan, dan masyarakat merupakan sebagai mitra untuk memberikan informasi terkait dengan perdagangan anak dan mereka dapat menjadi corong informasi bagi anggota masyarakat lain yang belum mengetahui tentang perdagangan anak. Disisi lain ada masyarakat biasanya keluarga korban kurang mendukung untuk penanganan kasus apabila itu menjadi pilihan korban, padahal undang-undang PPTPO tidak mengenal itu. Namun kami tetap menjalin kerjasama dengan kelurahan sampai dengan lingkungan. Menurut Polisi, ada beberapa aspek yang menjadi tantangan yang dihadapi dalam menangani kasus perdagangan anak, tantangan yang dihadapi berupa : Jarak karena letak geografis yang cukup sulit Dana operasional dan fasilitas yang masih terbatas Orang yang merekrut atau calo tidak dikenal korban Cara perekrutan korban yang ilegal sehingga sulit teridentifikasi Unsur perdagangan orang tidak terpenuhi sehinga kasus tidak bisa dilanjutkan Terputusnya kontak dengan pihak PJTKI karena berpindah alamat Tersangka lari sehingga tidak bisa di BAP Kesulitan dalam memberikan shelter untuk korban Kurangnya alat bukti Komunikasi terputus dengan korban dan keluarganya karena setelah melapor tidak pernah datang lagi PJTKI tidak mau memberikan dokumen yang berhubungan dengan korban, dengan alasan tidak tahu atau hilang Kemauan korban sendiri untuk mau bekerja Adanya informasi yang diberikan oleh masyarakat tentang kasus perdagangan anak, namun korban tidak mau melaporkan Ketika mau melakukan penangkapan terhadap pelaku, informasi bocor 104 Selain itu juga ada aspek kerentanan keluarga, dimana tidak semua keluarga mau kasusnya dimajukan karena keluarga yang susah secara ekonomi. Kemudian juga dari sisi korbannya sendiri, biasanya mereka baru melapor ketika mereka tidak dibayar gajinya, jadi selama ini korban tenang-tenang saja, seolah tidak terjadi kejahatan terhadap dirinya. Untuk memidanakan kasus perdagangan anak, menurut Polisi ada dua faktor utama yang mempengaruhinya yakni tidak terpenuhinya unsur-unsur perdagangan orang dan kurangnya kesepamahaman dengan Kejaksaan sehingga berkas selalu dikembalikan atau P19. Kemudian menyangkut barang bukti, karena sering kali pelaku menghilangkan barang bukti. Termasuk juga dalam mendeteksi kasus dan kontak dengan korban, dimana kadang-kadang korban berbelit-belit dalam memberikan keterangan. Dan menurut Polisi, solusi untuk tantangan ini adalah perlunya koordinasi dan kerjasama dengan pihak lain dan masyarakat juga harus pro aktif kalau ada informasi tentang kasus perdagangan anak. Dari pantauan Polisi untuk kasus-kasus perdagangan anak ada yang sampai divonis, ada yang pelakunya bebas karena kurangnya saksi, dan ada kasusnya yang tidak dapat diteruskan ke persidangan karena pasal dan unsur perdagangan orang tidak terpenuhi. Sementara Polisi sendiri mengakui bahwa sistem yang dibangun untuk pemantauan kasus perdagangan anak hingga saat ini belum ada. Kemudian untuk kasus perdagangan anak yang pelakunya divonis bebas dan tidak dapat diteruskan, Polisi mengaku merasa kecewa karena sudah berupaya maksimal dan prihatin apalagi korbannya adalah perempuan karena mereka dieksploitasi dan ditipu. Dalam mendefinisikan keadilan, ada beberapa pendapat yang dikemukan oleh Polisi diantaranya : Keadaan yang dapat memberikan rasa ketentraman Sesuai dengan aturan dan perundang-undangan 105 Memahami apa yang diinginkan oleh korban dan cukup hukumannya serta tidak berat sebelah. Dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku, korban merasa senang dan bahagia karena diputuskan sesuai hukum, jadi ketika korban tidak komplain maka itulah keadilan Ketika tersangka mau mengakui perbuatannya dan ada ganti rugi materi untuk korban serta bertanggungjawab Sedangkan akses terhadap keadilan, Polisi mendefenisikannya sebagai : Korban dapat mengakses layanan secara komprehensif Ketika pelaku itu dihukum sesuai pasal dalam tindak pidana perdagangan orang Tidak dipersulit, diberi informasi akan haknya, dilindungi, ada tempat penampungan/shelter, dilakukan pendampingan, rehabilitasi, diberikan pemahaman, dilakukan reintegrasi Kemudian untuk memastikan akses terhadap keadilan bagi korban perdagangan anak, Polisi melakukan kerjasama dengan pihak terkait lainnya dalam melakukan rujukan kasus, melakukan penyidikan semaksiamal mungkin, melindungi hakhak korban, privasi dan kerahasiaan korban, memberikan konseling dan ruang istirahat. Ada beberapa perubahan ataupun perbaikan yang rekomendasikan Kepolisian agar anak korban perdagangan dapat mencapai keadilan atau memiliki akses terhadap keadilan, perubahan atau perbaikan yang direkomendasikan berupa : Perlu pendampingan secara menyeluruh bagi korban Tugas pokok dan fungsi dari instansi Pemerintah Daerah perlu dimaksimalkan dan yang terutama layanan yang diberikan pada korban tidak hanya berhenti setelah korban dipulangkan tapi perlu pendampingan lanjutan 106 Perlu MoU antara Kejaksaan dan Kepolisian khusus dalam menangani perkara perdagangan anak Pemerintah Daerah harus mengalokasikan dana untuk penanganan korban seperti penyediaan shelter, rehabilitasi, dan pemulangan Perlu memperhatikan pasal 26 undang-undang TPPO sehingga antara Kepolisian dan Kejaksaan terjadi kesepemahaman Masyarakat agar segera melaporkan jika ada kasus perdagangan anak 3.2. Kejaksaan Pada proses penuntutan terhadap kasus perdagangan anak dilakukan oleh Kejaksaan, untuk tingkat provinsi dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi dan tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh Kejaksaan Negeri. Di Kejaksaan sendiri tidak memiliki bagian atau unit khusus yang menangani masalah perdagangan anak, dan dalam proses penuntutan terhadap korban perdagangan anak dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Walaupun tidak memiliki bagian atau unit khusus, namun di Kejaksaan mendapatkan pendidikan dan pelatihan tentang penanganan kasus perdagangan anak yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, International Organization for Migration (IOM). Selain itu, dalam menangani kasus perdagangan anak, Jaksa yang ditunjuk adalah Jaksa-Jaksa yang memahami psikologi dari korban, agar rasa keadilan korban dapat terpenuhi. Dari hasil wawancara dengan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kejaksaan Negeri Kupang, Kejaksaan Negeri Semarang, selama dalam melakukan penanganan kasus perdagangan anak tidak ada kasus yang tidak diajukan ke pengadilan atau pun dihentikan. Semua kasus perdagangan anak dapat teratasi, dan sebelum lahirnya Undang-Undang PTPPO menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak. Untuk kasus perdagangan anak ini, Jaksa wajib menanganinya dan membuat surat dakwaan serta menuntut sesuai aturan hukum. 107 Dalam menangani kasus perdagangan anak, peran Jaksa adalah sebagai penuntut umum. Dalam proses penyidikan kasus perdagangan anak ini, sebagai tahap awal dikeluarkan surat perintah penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara tindak pidana. Kemudian dikeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan untuk ini sudah ada koordinasi awal dengan penyidik di Kepolisian, lalu berkoordinasi dengan LSM atau pendamping untuk membawa korban ke Kejaksaan. Sebelum sidang di pengadilan, Jaksa sudah melakukan pendekatan ke korban melalui LSM atau pendamping korban. Untuk selanjutnya, LSM atau pendamping korban akan menyampaikan kendala-kendala yang dihadapi oleh korban, seperti korban malu atau takut untuk berjumpa di persidangan. Untuk situasi ini, Jaksa akan memberikan pemahaman dan pengertian kepada korban, serta menjelaskan situasi sidang di pengadilan. Kemudian juga dijelaskan kepada korban tentang proses sidang di pengadilan, dan korban harus diberikan penjelasan yang sebenar-benarnya kalau mau mendapatkan keadilan. Ketika sidang di pengadilan, Majelis Hakim akan menyampaikan bahwa dalam hal memberi keterangan oleh korban, jikalau mau hadir silakan dan jikalau tidak mau hadir diwakilkan dengan pendamping, dan untuk pendamping tetap mendapatkan informasi dari Jaksa. Kemudian setelah sidang korban akan dibawa ke ruang jaksa, dan jaksa akan memberikan penjelasan dan pemahaman berkaitan dengan proses persidangan di pengadilan. Jaksa yang menangani kasus perdagangan anak wajib memberikan informasi berkenaan dengan proses hukum selama penuntutan, proses dan mekanisme persidangan, hingga keputusannya. Selain itu, Jaksa juga memberikan informasi kepada korban mengenai ancaman hukuman maksimal dan minimal terhadap terdakwa, denda dan lain-lain. Untuk kompensasi terhadap korban perdagangan anak sampai sekarang belum terlaksana. Kemudian untuk perlindungan dan keselamatan korban masih 108 sebatas penyampaian informasi saja, perlindungan dan keselamatan bagi korban secara nyata juga belum terlaksana. Bahkan Kejaksaan Negeri Kupang menyatakan belum ada sama sekali perlindungan kepada saksi dan/atau korban perdagangan anak. Dalam menangani kasus perdagangan anak dalam proses penuntutan, Jaksa juga bekerjasama dengan institusi lain seperti Kepolisian, Pengacara, Pekerja Sosial dan LSM, serta Hakim. Kerjasama yang dilakukan dengan institusi Kepolisian berupa : Kepolisian mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus perdagangan anak Kejaksaan membuat Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum (P16) untuk mengikuti perkembangan penyidikan perkara tindak pidana perdagangan orang Kemudian Kepolisian mengirimkan berkas perkara ke Kejaksaan, dan apabila belum lengkap maka Kejaksaan mengeluarkan P18 dan P19 atau hasil penyelidikan belum lengkap dan pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi. Jika sudah lengkap maka Kejaksaan mengeluarkan P21 atau pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap Untuk Pengacara kerjasama yang dilakukan pada tahap berkas perkara sudah lengkap dan pada saat persidangan atau pada proses hukum acara. Untuk Perkerja Sosial dan LSM, kerjasama yang dilakukan pada saat penelitian di surat perkara, komunikasi dengan korban, dan sebagai pendamping korban. Namun untuk Kejaksaan Negeri Kupang, selama menangani kasus perdagangan anak mengakui belum pernah bekerjasama dengan pekerja sosial dan LSM. Kemudian dengan Hakim kerjasama yang dilakukan berupa koordinasi terhadap keputusan yang diberikan sesuai dengan rasa keadilan. Dalam menangani kasus perdagangan anak, tantangan yang dihadapi Jaksa dalam melakukan penuntutan berupa : 109 Anak tidak mau kasusnya diproses secara hukum, namun orang tua menginginkan proses hukumnya dilanjutkan Penyajian bukti tidak lengkap dan saksi kurang Kejadiannya sudah lama dan terlambat melapor Pengacara mempengaruhi saksi dan/atau korban sehingga terdakwa divonis bebas Korban malu dan trauma sehingga sulit untuk memberikan informasi, dan kondisi inilah yang membuat proses hukumnya sedikit lama Kemudian langkah-langkah yang dilakukan Jaksa untuk melindungi keselamatan dan keamanan korban berupa : Melakukan koordinasi dengan Kepolisian, orang tua dan keluarga Korban di dampingi oleh orang tua, keluarga, dan LSM Sedangkan untuk keselamatan dan keamanan keluarga korban, Jaksa belum memberikan langkah-langkah perlindungan. Untuk memastikan bahwa korban dilindungi dari intimidasi, Jaksa melakukan komunikasi dengan Kepolisian dan komunikasi dengan korban agar waspada. Dari berbagai kasus perdagangan anak, banyak terdakwa atau keluarga terdakwa yang memojokkan korban karena mereka diperdagangkan itu karena kemauannya sendiri, dan memalsukan identitas. Untuk komunikasi, Jaksa memberikan nomor kontak kepada korban dan LSM agar bisa dihubungi sewaktu-waktu. Selain itu agar korban tegar dan percaya diri, serta memberikan rasa empati. Kemudian apabila korban mengalami kecacatan fisik seperti tuli, bisu Kejaksaan meminta alat bantu dan meminta pendamping tenaga ahli. Untuk memastikan keberadaan korban selama sidang, korban dibawa ke ruang Jaksa (ruang khusus) dan juga memberikan surat panggilan resmi. Identifikasi yang dilakukan Jaksa untuk kebutuhan korban ini hanya dilakukan pada proses persidangan. Untuk proses persidangan perkara perdagangan anak, biasanya agak dipercepat agar korban tidak mengalami 110 traumatis kepada terdakwa dan diupayakan agar tidak tertunda dan cepat selesai. Dalam melindungi hak privasi dan kerahasiaan korban, proses pemeriksaan sidang di pengadilan dilakukan adalah sidang tertutup, yang ada hanya Hakim, Jaksa, Panitera, Pengacara, orang tua korban, pendamping atau LSM. Kemudian langkah-langkah khusus yang dilakukan Jaksa untuk membantu korban dalam memberikan bukti sebelum dan selama persidangan adalah dengan melakukan pendekatan dengan korban agar korban tidak merasa takut, memberikan rasa percaya diri kepada korban agar korban berani bicara yang sebenarnya selama di persidangan, dan mencatat semua keterangan yang diberikan korban. Dalam menanggapi kondisi korban dalam proses persidangan, apabila korban tidak bisa menanggapi maka akan di bacakan BAP dan jika korban tidak dapat memahami pertanyaan dari maka Hakim mengulangi pertanyaan dan mengarahkan apa yang tidak dipahami oleh korban. Sebelum proses persidangan, korban ditanya terlebih dahulu apa masih ingat tentang kasusnya, dan apabila korban lupa maka akan diberikan berkas perkara untuk dibaca. Kemudian dalam menanggapi kondisi korban dalam situasi lainnya seperti mengamuk, gangguan emosional, dan lapar, maka Jaksa berkoordinasi dengan Pengadilan untuk menyiapkan pengawalan bagi korban dan memberikan makanan dan minuman kepada korban. Dari pengalaman dalam menangani kasus perdagangan anak korban umumnya meminta secepatannya proses persidangan selesai dan jangan ada yang berhenti itu yang selalu diminta oleh korban. Untuk persidangan kasus perdagangan anak, sampai saat ini belum ada kebijakan atau pun aturan khusus di Pengadilan, dan aturan di pengadilan sama seperti persidangan kasus-kasus anak yang lainnya. Aturan di pengadilan untuk persidangan kasus perdagangan anak adalah sebagai berikut : 111 Sebelum sidang dimulai Jaksa, Pengacara, saksi dan/atau korban, pendamping berada dalam ruangan sidang sebelum Hakim masuk sidang Setelah Hakim masuk, Hakim memerintahkan terdakwa untuk masuk Pengawal tahanan menjemput terdakwa Kemudian langkah-langkah yang dilakukan oleh Jaksa agar korban tidak harus menunggu sebelum memberikan bukti dipersidangan adalah dengan melakukan koordinasi dengan paniteranya untuk mendahulukan persidangan agar korban tidak mengalami trauma. Namun juga sering terjadi bahwa korban juga harus menunggu karena jadwal sidang kadang-kadang terlambat. Dalam penyajian bukti-bukti selama dipersidangan, Jaksa, Hakim, dan Pengacara melakukan proses pembuktian bersama dan ditunjukkan dipersidangan, dan semua keterangan korban dicatat. Kemudian kesulitan yang dihadapi oleh korban dalam menanggapi pertanyaan Jaksa dan Hakim di pengadilan berupa : Tidak ingat karena kasus dan peristiwanya sudah lama terjadi Gangguan emosional seperti takut, tertekan Malu dalam persidangan Untuk menanggapi kesulitan yang dihadapi oleh korban, Jaksa melakukan berkomunikasi langsung dengan korban dari hati-hati, dan biasanya Hakim akan mengarahkan ke Jaksa untuk memberikan pertanyaan kepada korban dengan bahasa yang sederhana. Karena anak tidak bisa mencerna bahasa-bahasa yang disampaikan orang dewasa. Kemudian untuk membantu korban dalam memberikan bukti, dukungan yang diberikan Jaksa adalah dengan melakukan komunikasi dengan keluarga atau orang-orang dekat korban supaya dapat berikan bukti tambahan, bertanya tentang kronologisnya dan dalam memberikan pertanyaan seperti temannya. 112 Untuk pengaturan pada saat hari persidangan untuk kasus perdagangan anak tidak ada pengaturan secara khusus. Pengaturan yang dilakukan hanya kerjasama dengan pendamping korban. Jikalau tidak ada pendamping, Jaksa akan mengontak korban dan komunikasi dengan korban, dan komunikasi dengan korban dilakukan seperti orang tua dengan anaknya sehingga korban bisa berterus terang dan tidak ada yang dirahasiakan. Sedangkan untuk pengaturan persidangannya sama seperti kasus untuk anak-anak yang lainnya, dimana korban ditempatkan di kursi pengunjung dan agak berjauhan dengan terdakwa untuk menghindari konfrontasi dan meminta bantuan pengamanan dari Kepolisian. Dalam proses persidangan, Jaksa mengakui tidak pernah bertanya untuk memperagakan hubungan intim atau sejenisnya kepada korban. Karena pertanyaan tersebut justru membuat korban malu dan untuk menjaga psikologi korban. Sedapat mungkin pertanyaan tersebut jangan ditanyakan kepada korban, dan pertanyaan yang diajukan hanya sebatas “melakukan hubungan apa saja”, “sudah melakukan hubungan suami istri” “sudah berapa kali”. Jadi untuk pertanyaan ini tidak ada peragaan termasuk juga dengan alternative menggunakan alat bantu. Kemudian untuk alamat korban, dalam proses persidangan diungkapkan jika korban tidak keberatan. Pengungkapan ini untuk menyesuaikan identitas korban benar atau tidak dengan BAP. Dalam melindungi korban dari pertanyaan yang tidak tepat atau tidak patut dipertanyakan, Jaksa melakukan interupsi dan mengajukan keberatan serta minta kepada Hakim agar pertanyaan yang diajukan harus relevan dengan kasus. Kemudian dalam melindungi kepentingan korban di pengadilan, Hakim memberikan kesempatan kepada korban untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan penggalian kebenaran informasi. Setelah memberikan keterangan, Hakim akan menyampaikan kepada korban ada lagi yang mau di sampaikan, jika tidak ada korban boleh pulang. Selanjutnya kalau sudah 113 penuntutan kalau mau hadir silakan jika tidak juga tidak apa-apa, dan korban bisa bertanya kepada Jaksa Untuk anak sebagai saksi dan/atau korban perdagangan manusia diperlakukan di Indonesia, tanggapan Jaksa menyatakan bahwa belum ada yang di istimewakan atau di khususkan, terutama dalam memberikan kepercayaan diri pada anak sebagai saksi dan/atau korban. Jika dibandingkan di luar negeri sudah ada ruang khusus untuk anak di pengadilan sebagai saksi dan/atau korban, termasuk pengadilan anak. Walaupun demikian sekarang ini situasinya agak lebih baik dari dahulu, misalnya setiap anak korban perdagangan wajib di dampingi oleh penasehat hukum dan LSM. Setelah sidang, Jaksa mengakui tidak ada bantuan atau dukungan yang diberikan kepada korban. Jaksa hanya memberikan informasi seperti informasi tentang restitusi, namun selama menangani kasus perdagangan anak belum ada yang mengajukan gugutan ganti rugi karena terkendala dengan prosesnya yang memerlukan waktu. Dari pengalaman Jaksa dalam menangani kasus perdagangan anak, umumnya Hakim memutuskan sesuai dengan tuntutan Jaksa dan jarang yang diputus bebas. Namun dari beberapa kasus banyak terdakwa tidak menerima dituntut sekian tahun sesuai dengan undang-undang, karena merasa terlalu berat dan tidak adil. Kemudian terdakwa juga sudah merasa di rugikan untuk biaya membuat paspor, biaya tranportasi, dan ini kemauan korban. Tidak ada satu pun terdakwa yang menerima jika sudah di putuskan dan hampir semuanya mengamuk. Dalam penuntutan kasus perdagangan anak, semua Jaksa mengatakan merasa puas karena telah menuntut pelaku sesuai dengan undangundang, dan sesuai dengan rasa keadilan. Untuk kasus perdagangan anak selama ini belum pernah dihentikan karena apabila perkara sudah P21 maka harus disidangkan. Kemudian untuk tersangka 114 yang dibebaskan dengan jaminan juga belum pernah terjadi. Namun kalau tersangka dibebaskan pernah terjadi karena bukti yang kurang. Kemudian jikalau tersangka melarikan diri maka Jaksa akan melakukan pencarian sampai ketemu, dan jika tersangka bebas maka Jaksa akan melakukan advokasi ke Mahkamah Agung. Termasuk juga jika ada kekalahan putusan oleh pengadilan yang lebih tinggi, maka Jaksa akan melakukan kasasi di Mahkamah Agung. Dalam melakukan pemantauan kasus, Jaksa hanya membuat laporan ke Kejaksaan Tinggi untuk setiap tahapan proses hukumnya dan setelah persidangan selesai tidak dilakukan pemantauan, tapi jika bertemu dengan pendamping korban bertanya bagaimana korban sekarang dan apa kegiatannya. Jaksa mendefinisikan keadilan adalah adanya keseimbangan perbuatan dengan hukuman dan kesamaan hak atas keadilan. Sedangkan akses keadilan merupakan proses peradilan yang cepat, sederhana dan murah sesuai dengan yang diingankan oleh korban. Kemudian perubahan atau perbaikan yang rekomendasikan oleh Jaksa sehingga anak korban perdagangan dapat mencapai keadilan atau mempunyai akses terhadap keadilan berupa : Adanya ruangan khusus di Kejaksaan untuk kasus anak, karena secara struktur di Kejaksaan belum ada yang khusus menangani kasus anak, jadi tidak semua Jaksa dapat menangani kasus anak. Adanya ruangan khusus di Pengadilan untuk kasus anak, jangan sama dengan orang dewasa Kesejahteraan dan perbaikan ekonomi 3.3. Biro/Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Biro/Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merupakan vocal point untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sedangkan peran dari Biro/Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai focal point berperan 115 sebagai koordinasi, fasilitasi, dan advokasi untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang. Dari hasil wawancara dengan Biro Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, dan Kabupaten Kupang menyatakan bahwa untuk penanganan, pendampingan, dan rehabilitasi korban perdagangan anak dilakukan koordinasi dengan anggota Gugus Tugas, seperti Kepolisian, LSM, dan dinas yang terkait. Biro/Badan ini juga mengakui bahwa mereka tidak bersentuhan langsung dengan korban. Kemudian langkah-langkah koordinasi yang dilakukan oleh Biro/Badan PP dan PA selama ini dalam penanganan korban perdagangan anak adalah : Untuk tempat tinggal (shelter) bagi korban berkoordinasi dengan P2TP2A Untuk pendampingan korban berkoordinasi dengan LSM anak dan perempuan Untuk rehabilitasi psikologis dan kesehatan korban berkoordinasi dengan Rumah Sakit, Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial Untuk proses hukum berkoordinasi dengan Kepolisian Untuk pemulangan dan reintegrasi berkoordinasi dengan Dinas Sosial Dari pengalaman Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera Utara dalam kasus perdagangan anak pada tahun 2005, ada pelaku divonis 11 tahun penjara. Ketika itu undang-undang PTPPO belum lahir dan hanya ada Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004. Untuk kasus perdagangan anak pada tahun 2011 di Provinsi Sumatera Utara ada 6 kasus dan di Provinsi Nusa Tenggara Timur ada 1 kasus. Dalam menangani kasus perdagangan anak khususnya untuk proses hukum, Biro/Badan PP dan PA mengakui mengalami kendala ketika kasus dilanjutkan di Pengadilan. Dimana adanya kesulitan mendatangkan lagi saksi dan/atau korban untuk diminta keterangannya, karena Pengadilan meminta saksi dan/atau korban dihadirkan. Sementara korban sudah dipulangkan ke kampung halaman atau daerah asalnya. Kemudian Biro Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 116 Provinsi Nusa Tenggara Timur mengungkapkan bahwa di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih dihadapkan pada persoalan perbedaan pemahaman tentang perdagangan anak diantara mitra, mekanisme penanganan yang belum terkoordinir dengan baik, serta ketidakjelasan peran dan fungsi diinstitusi pemerintah. Setelah lahirnya undang-undang PTPPO banyak kasus perdagangan anak yang ditangani dan diproses secara hukum karena masing-masing pihak terutama aparat penegak hukum sudah ditingkatkan pemahamannya. Pelatihan-pelatihan lebih sering dilakukan untuk meningkatkan kapasitas personil yang terlibat dalam penanganan kasus perdagangan anak, jadi masing-masing pihak sudah mulai memahami. Walaupun demikian, ada juga kasus perdagangan anak yang sulit untuk diproses secara hukum, dengan alasan karena alat bukti yang tidak lengkap, tidak memenuhi unsur perdagangan orang sehingga kasus tidak bisa diproses. Dalam menjalankan peran koordinasi, kalau dilihat dari perkembangannya yang dimulai tahun 2003 di Sumatera Utara, untuk bangunan kerjasama ini sudah cukup bisa dipertahankan, dimana sampai ada Peraturan Daerah yang disahkan pada tahun 2004. Kemudian agar bangunan kerjasama ini lebih kuat, harus diperlukan komitmen pimpinan daerah seperti Gubernur, Bupati dan Walikota. Disamping itu anggaran juga menjadi penting, tetapi tidak mesti ada anggaran baru bisa bergerak. Untuk koordinasi dalam penanganan korban perdagangan anak ini dilakukan dengan instansi pemerintah, instansi penegak hukum, dan LSM agar korban perdagangan anak benar-benar ditangani. Dalam penanganan korban perdagangan anak ini juga mengalami kendala, misalnya ketika proses hukum selesai pada tingkat Kepolisian kemudian diajukan ke Kejaksaan bisa jadi P19. Jadi untuk persoalan ini perlu koordinasi yang lebih baik dan lebih konprehensif, sehingga jejaring memang harus dibangun lebih kuat lagi. Begitu juga untuk tempat perlindungan (shelter) bagi 117 korban, begitu dikoordinasikan dengan LSM ternyata LSM sudah tidak punya lagi tempat perlindungan (shelter). Termasuk juga persoalan perpindahan atau mutasi pimpinan instansi pemerintah, sehingga ketika berhubungan dengan pimpinan baru harus memulai dari awal lagi. Untuk rehabilitasi korban perdagangan anak, Biro/Badan PP dan PA berkoordinasi dengan Rumah Sakit, Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial karena memang tugas pokok dan fungsinya mereka. Kemudian misalnya kalau korban di luar penduduk Provinsi Sumatera Utara maka korban dipulangkan ke kampung halamannya atau daerah asalnya. Untuk pemulangan ini dikoordinasikan dengan Dinas Sosial, dan Dinas Sosial melakukan pemulangan korban secara estafet, misalnya dari Medan korban dikirim ke Pekanbaru, dari Pekanbaru ke Palembang, dan seterusnya hingga korban sampai ke kampung halamannya. Kalau korbannya penduduk Provinsi Sumatera Utara maka akan berkoordinasi dengan Dinas Sosial untuk pelatihan-pelatihan yang bisa diberikan kepada korban. Untuk pendampingan korban berkoordinasi dengan LSM anak dan perempuan, tempat perlindungan berkoordinasi dengan P2TP2A, pemulihan kesehatan dan psikologis berkoordinasi dengan Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan. Sementara untuk pemantauan terhadap korban, Biro/Badan PP dan PA mengakui belum adanya sistem dan juga belum melakukan. Untuk persoalan penanganan perdagangan anak, bukan hanya sekadar perlindungan hukum tetapi juga penyadaran. Biaya untuk penanganan tersebut lebih besar daripada pencegahan, jadi perlu untuk menyebarkan pemahaman, memotivasi masyarakat agar memerangi perdagangan anak, karena sisi pencegahan lebih signifikan daripada penanganan. Kemudian menurut Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, kebijakan yang sudah dibuat oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam penanganan perdagangan anak adalah dengan dibuatnya Peraturan Gubernur No. 47 tahun 2009 118 mengenai Pembentukan Gugus Tugas dalam Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Propinsi Jawa Tengah. Dari Peraturan Gubernur tersebut dibuatlah Rencana Aksi Daerah. Sejak dari tahun 2009 hingga sekarang Rencana Aksi Daerah tersebut terbengkalai dan tidak diurusi lagi, karena ketika itu dari bagian Biro Hukum akan menjadikan satu antara Rencana Aksi Daerah ini dengan Rencan Aksi Daerah politik, ekonomi dan dua isu lain. Oleh karena itu dari BP3AKB tidak sepakat dan membiarkan hingga sekarang. Dalam penanganan kasus perdagangan anak, BP3AKB Jawa Tengah hanya membantu untuk memfasilitasi penjemputan korban dari provinsi lain, dan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah sendiri sudah menandatangani kerjasama atau MoU dengan beberapa provinsi yaitu Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, dan yang masih akan dilakukan adalah dengan Sumatera Utara. Selain itu juga ada kerja sama dalam penanganan perdagangan orang dengan wilayah se Mitra Praja Utama (MPU) yang mencakup Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, DI Yogyakarta, Banten, DKI Jakarta, dan Lampung. BP3AKB sebenarnya bukan pada teknis penanganannya tetapi lebih pada koordinasinya, namun karena selama ini kabupaten/kota tidak memiliki anggaran untuk penjemputan korban perdagangan anak, akhirnya dilakukan oleh BP3AKB sendiri dengan melakukan kerjasama dengan provinsi. Dari kerjasama dengan provinsi wilayah Mitra Praja Utama, hanya 1 provinsi yang dirasa sangat sulit untuk kerjasama, yaitu Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketika penanganan kasus di Labuhan Bajo, Gubernur Jawa Tengah dan BP3AKB sampai mengirimkan surat, namun sama sekali tidak ada tanggapan dari Gubernur NTT, dan penanganan akhirnya dilakukan suster yang ada di Labuhan bajo. Dalam penanganan kasus perdagangan anak, Propinsi Jawa Tengah sudah menganggarkan 650 juta yang masuk di Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah 119 untuk merenovasi dan membangun rumah aman atau shelter untuk korban perdagangan anak, dan itu terpisah dengan shelter korban kekerasan berbasis gender dan anak, karena untuk penanganan kasus perdagangan anak memang agak berbeda dengan korban kekerasan lainnya. Kemudian BP3AKB Jawa Tengah hanya melakukan penjemputan dari provinsi lain untuk dibawa ke provinsi Jawa Tengah. Namun setelah sampai di Jawa Tengah dikembalikan ke kabupaten/kota tempat korban tinggal, dan dijemput oleh pemerintah kabupaten/kota. Untuk proses pemulihan dan reintegrasi dikembalikan kepada pemerintah kabupaten/kota masing-masing. Misalkan untuk pendidikan, yang membantu adalah pemerintah kabupaten/ kota, dan untuk pendidikan bagi korban pemerintah kabupaten/kota tidak begitu bermasalah. Kemudian yang menjadi persoalan adalah untuk reintegrasi korban, misalkan untuk pemenuhan ekonomi, dan itu yang sering menjadi kendala di kabupaten/kota. Jika kabupaten/kota mengalami masalah barulah pemerintah provinsi ikut turun tangan. Kendala yang sering dihadapi adalah ketika korban harus didatangkan ke provinsi tempat kejadian di provinsi lain, sementara BP3AKB sendiri tidak ada anggaran untuk mendatangkan saksi ketika sidang, dan seharusnya anggaran tersebut ada di Kejaksaan. Namun dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) sendiri anggaran untuk mendatangkan saksi hanya sebesar 25 ribu. Kemudian sistem pendataan untuk khusus perdagangan anak memang belum ada, dan yang ada hanya untuk korban kekerasan berbasis gender dan anak. Sedangkan untuk perdagangan orang masih dijadikan satu, baik dewasa maupun anak, sehingga sulit untuk melihat berapa banyak kasus perdagangan anak dan perempuan. Dari 35 kabupaten atau kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah, hanya 8 kabupaten saja yang sudah ada Gugus Tugas Perdagangan Orang, dan yang mengecewakan lagi adalah Kota Semarang sebagai ibu kota 120 provinsi dan harusnya bisa jadi acuan kabupaten/kota lain malah tidak memiliki Gugus Tugas di tingkat kota. 3.4. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) merupakan suatu lembaga yang dibentuk oleh pemerintah baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk menangani isu perempuan dan anak, salah satunya adalah isu perdagangan manusia. Dari hasil wawancara dengan P2TP2A Provinsi Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, dan Kota Semarang dalam menangani kasus perdagangan anak dilakukan oleh divisi hukum dan konselor yang ada di P2TP2A, serta bekerjasama dengan Kepolisian, Dokter, dan LSM anak dan perempuan. Dari tahun 2010 hingga 2011 ada 17 kasus perdagangan anak yang ditangani oleh P2TP2A di empat wilayah ini. Dalam meningkatkan pemahaman tentang perdagangan anak, petugas P2TP2A telah mengikuti beberapa pelatihan dan workshop yang dilakukan oleh Kementerian PP dan PA, Biro PP dan PA, dan LSM. Dalam menangani kasus perdagangan anak, peran yang dilakukan P2TP2A selama ini berupa : Melakukan pelayanan pada korban dan orang tua korban Mengantar pulang korban Melakukan koordinasi dengan pihak keluarga Melakukan koordinasi dengan Kepolisian, institusi pemerintah, dan LSM Kemudian layanan yang diberikan oleh P2TP2A kepada korban perdagangan anak adalah: Penyediaan shelter Layanan kesehatan, konseling, pemulihan trauma 121 Mendampingi korban di Kepolisian Melakukan rujukan untuk layanan kesehatan dan bantuan hukum Untuk dapat mengakses pelayanan ini, P2TP2A mengakui tidak ada syaratsyarat tertentu bagi korban untuk mengakses pelayanan di P2TP2A. Sebelum korban membuat keputusan untuk melanjutkan kasus ke proses hukum, informasi yang diberikan oleh petugas P2TP2A kepada korban berupa : Informasi tentang hak-hak korban Informasi mengenai apa yang korban alami merupakan eksploitasi sehingga perlu diproses secara hukum agar pelaku menjadi jera Menguatkan korban agar bangkit dan percaya diri Membantu korban dalam mengambil keputusan sendiri Dari kasus perdagangan anak yang ditangani, petugas P2TP2A menyatakan bahwa ada kasus perdagangan anak tidak dilanjutkan ke proses hukum dikarenakan : Korban merasa takut Orang tua korban juga terlibat dan takut masuk penjara Diselesaikan secara kekeluargaan Yang penting gaji korban bisa dibayarkan dan tidak mau lapor ke Polisi Sedangkan ada kasus perdagangan anak yang lanjutkan ke proses hukum, namun tidak sampai akhir yang disebabkan : Tidak ada persamaan persepsi diantara Kepolisian dan Kejaksaan dalam memahami undang-undang PTPPO Bukti kurang Penyidikan terhambat karena lokasi tempat tinggal korban yang sangat jauh Adanya upaya damai dari pelaku kepada keluarga korban 122 Kemudian tantangan yang dihadapi dalam tahap proses hukum dalam menangani kasus perdagangan anak ini berupa : Pada saat kasus di tahap penyidikan sering bolak-balik berkas perkara dari Kejaksaan ke Kepolisian dengan berbagai alasan Adanya upaya pelaku untuk menyelesaikan kasus dengan uang Adanya upaya pelaku berdamai dengan membayar korban Adanya tekanan kepada korban dari pelaku Dalam memutuskan untuk melanjutkan kasus ke proses hukum, petugas P2TP2A menyatakan kadang orang tua atau keluarga korban dan kadang juga korban. Namun ada juga keluarga korban yang tidak mau melapor ke Polisi dan hanya meminta agar korban bisa dipulangkan kembali. Dan bagi korban yang belum mau melapor biasanya diberi konseling dan penguatan sehingga korban tidak takut dan mau melaporkan kasusnya. Kemudian keterlibatan anak dalam memutuskan untuk melanjutkan ke proses hukum, biasanya dalam kasus perdagangan anak biasanya orang tua yang lebih sering memutuskan karena orang tua korbanlah yang melaporkan anaknya hilang dan belum ditemukan. Dan untuk membantu anak dalam membuat keputusan untuk melanjutkan kasus ke proses hukum dilakukan dengan konseling dan penguatan sehingga korban memahami akan hak-haknya, korban menjadi kuat, tidak takut dan bebas dari rasa terancam dan terintimidasi, serta diyakinkan tentang proses hukum terhadap kasus yang dialaminya. Menurut petugas P2TP2A, pentingnya melibatkan anak dalam pengambilan keputusan adalah untuk mendengar pendapat anak sehingga kita memahami kebutuhan mereka dan menumbuhkan kemampuan pada korban dalam proses hukum. Kemudian ada beberapa pertimbangan bagi korban atau keluarga korban memutuskan menjadi saksi dalam kasus perdagangan anak ini, pertimbangan tersebut berupa : Keluarga korban ingin pelaku dihukum seberat-beratnya Keluarga korban ingin proses hukum dijalankan seadil-adilnya 123 Keluarga korban ingin masalah ini tidak terjadi lagi pada korban lain Agar korban bisa kembali Agar korban dapat memperoleh gaji Dan bagi korban yang setuju untuk menjadi saksi, maka langkah-langkah perlindungan khusus yang diberikan adalah dengan menyediakan shelter, setiap saat korban didampingi, meminta perlindungan dari Kepolisian, dan menyediakan alat komunikasi seperti telpon kepada korban. Dalam tahap proses hukum, petugas P2TP2A menyatakan ketika di Kepolisian mendampingi korban dan memberikan kenyamanan bagi korban untuk menceritakan kejadian yang dialaminya, mendiskusikan perkembangan kasus, minta agar kasus segera diproses, dan selalu menanyakan jika kasus terhambat dan belum P21. Dengan Jaksa, mendiskusikan perkembangan kasus untuk menyelesaikan kasus yang dialami korban. Dengan LSM, merujuk kasus dan koordinasi untuk membantu menyelesaikan kasus korban. Dengan Hakim, meminta kepada Hakim agar memperhatikan hak-hak anak korban dan dipilah antara ruangan anak dengan ruangan orang dewasa. Dengan orang tua korban, melakukan pendampingan dan konseling penguatan. Dalam proses penyidikan, peran petugas P2TP2A adalah melakukan pendampingan terhadap korban untuk diberi penguatan dan juga untuk mencegah agar Polisi tidak melakukan kekerasan verbal, serta membantu korban dalam proses hukum. Dalam proses penyidikan ini petugas P2TP2A juga mengakui adanya kesulitan terutama pada personel Kepolisian, dimana Polisi masih melakukan kekerasan verbal dalam melakukan penyidikan kepada korban. Selain itu, pelaku terkadang mengelak, adanya upaya untuk meringankan hukuman bagi pelaku, kesulitan mendapatkan bukti, adanya upaya damai dan diselesaikan secara kekeluargaan. 124 Kemudian untuk proses selama sidang pengadilan, petugas P2TP2A melakukan pendampingan dan membawa saksi dan/atau korban, membawa BAP dan buktibukti pendukung lainnya, dan menjelaskan kasus yang dialami oleh korban. Dan langkah-langkah untuk membantu anak dalam memberikan bukti baik sebelum dan selama persidangan adalah dengan memotivasi korban agar tidak takut, memotivasi anak untuk jelas menceritakan kejadian yang dialaminya, dan membantu anak agar menceritakan kronologi kasus. Menurut petugas P2TP2A, langkah-langkah khusus yang sering kali berguna atau bermanfaat bagi anak sebagai saksi dan/atau korban perdagangan yang ditangani adalah : Menguatkan saksi dan/atau korban agar tidak takut menjadi saksi Membantu saksi dan/atau korban menjelaskan kejadian kasus Meyakinkan saksi dan/atau korban proses hukum berjalan Menjamin keselamatan saksi dan/atau korban Menyakinkan orang tua saksi dan/atau korban Sedangkan langkah-langkah khusus yang sama sekali tidak berguna atau bermanfaat bagi anak sebagai saksi dan/atau korban perdagangan, berupa bertanya berulang-ulang sama saksi dan/atau korban, pengambilan foto, dan dikerumuni orang banyak karena korban masih trauma dan bisa menimbulkan trauma yang berkelanjutan. Untuk pengaturan pada hari persidangan, langkah-langkah yang dilakukan petugas P2TP2A adalah mengatur tempat dan ruangan anak di pengadilan agar tidak terjadi konfrontasi antara saksi dan/atau korban dengan pelaku. Jumlah keluarga yang akan ikut di sidang pengadilan dibatasi agar mengurangi resiko terjadinya kekerasan dengan pelaku, dan kadang-kadang ada perangkat dari kelurahan, RT/RW yang ikut agar bisa memberi rasa aman bagi korban karena merasa diperhatikan. Dan jumlah pendamping yang mendampingi korban pada hari persidangan biasanya 2 orang. 125 Kemudian untuk memastikan kebutuhan saksi dan/atau korban dilindungi dari intimidasi dan pelecehan, petugas P2TP2A menyebutkan dengan meyakinkan saksi bahwa Kepolisian menjamin keselamatannya. Untuk komunikasi, dengan menggunakan bahasa yang sangat mudah di pahami oleh saksi dan/atau korban. Untuk kondisi cacat fisik, menggunakan fasilitas untuk saksi cacat phisik seperti menggunakan juru bahasa dan alat bantu pendengaran saksi. Untuk pelaksanaan kegiatan keagamaan, dengan memfasilitasi saksi secara kerohanian dan juga mengudang tokoh agama. Untuk merasa nyaman dan santai selama persidangan, saksi dan/korban diyakinkan bahwa proses hukum akan berjalan, diberikan ketenangan, dan menjamin keselamatan saksi. Untuk memastikan kehadiran korban selama persidangan, untuk panggilan sidang biasanya diinformasikan ke Pengadilan Negeri agar sidang dapat diatur agar tidak ada penundaan pelaksanaan sidang. Dalam proses di persidangan biasanya saksi dan/atau korban biasanya merasa takut, malu, trauma, kurang percaya diri, dan untuk situasi ini pendamping memberikan dan membangun kepercayaan diri korban. Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan di pengadilan, kesulitan yang dihadapi anak sebagai saksi dan/atau korban, seperti : Merasa rasa takut untuk bersaksi Adanya ancaman bagi pelaku Kurang berani mengutarakan kejadian sebenarnya Adanya hubungan keluarga antara korban dan pelaku Dalam melindungi hak privasi dan kerahasiaan korban, hal-hal yang dilakukan Pengadilan menurut petugas P2TP2A adalah dengan tidak mempublikasikan ke media cetak dan elektronik serta tidak menyebutkan nama korban hanya dengan insial saja. Namun kadang-kadang Pengadilan juga masih kurang dalam melindungi hak privasi dan kerahasiaan korban, misalnya ketika sidang tertutup tapi orang bisa melihat dan menonton dari kaca dan suara bisa didengar dari 126 luar. Petugas P2TP2A juga mengakui belum ada menemukan kasus selama dalam persidangan ketika anak sebagai saksi tidak ditangani dengan benar atau penanganan yang tidak sensitif oleh pengacara atau hakim, yang kemungkinan ini bisa berisiko ataupun berbahaya. Dalam melindungi kepentingan saksi di pengadilan, menurut petugas P2TP2A Hakim hanya menyebut inisial saksi dan menunjukkan barang-barang bukti kasus, menyebutkan bukti saksi dalam kasus tersebut dan tidak menyebutkan nama dan asal, selain itu Hakim hanya bilang tidak usah takut. Kemudian tentang cara anak sebagai saksi diperlakukan di pengadilan, menurut petugas P2TP2A masih kurang dimana harus ada ruang tunggu khusus untuk anak karena kadang-kadang menunggu sidang terlalu lama, misalnya jadwal surat panggilan sidang dimulai jam 9 ternyata jam 1 atau 2 siang baru sidang dimulai. Selain itu, sebaiknya dalam sidang bahasa yang dipakai adalah bahasa anak dan bahasa yang sangat sederhana, demi kenyamanan anak waktu sidang dan setelah selesai sidang. Ketika sidang pengadilan ditunda, korban sering merasa tertekan, lapar dan haus tapi korban tidak mau makan. Dan untuk situasi ini korban diajak berkomunikasi dan ditenangkan agar korban merasa nyaman. Menurut petugas P2TP2A ada beberapa dampak pada korban ketika kasus diajukan ke Pengadilan, seperti : Dampak pada pendidikan, dimana anak terkadang tidak mau bersekolah karena malu dengan kawannya, prestasi anak menurun sebelumnya masuk 10 besar tapi sekarang sering linglung. Dan untuk ini diupayakan pendekatan kepada pihak sekolah agar anak di perhatikan dengan baik dan kalau perlu dipindahkan dari sekolahnya. Dampak pada kesehatan berupa murung, stres, dan malu. Dampak pada hubungan dengan keluarga, ada keluarga yang mendukung tetapi ada juga keluarga yang over protektif dan anak dilarang untuk berhubungan dengan orang lain, termasuk juga ada keluarga yang menyalahkan anak. 127 Dampak pada hubungan dengan anggota masyarakat, ada masyarakat yang mendukung tetapi ada juga masyarakat yang mengasingkan anak dan melarang anak mereka untuk bergaul dengan korban. Dampak pada hubungan dengan sekolah, ada sekolah yang mendukung tetapi ada juga kebijakan sekolah bagi anak yang sudah tidak mengikuti pelajaran dalam waktu yang lama bisa mengikuti ujian. Untuk kasus perdagangan anak yang diberhentikan atau tersangka dibebaskan, menurut petugas P2TP2A dikarenakan kurangnya bukti atau bukti tidak lengkap, pemahaman yang tidak sama antara Kepolisian dengan Kejaksaan, keluarga korban takut. Kemudian untuk memantau kasus ini dilakukan dengan mengikuti proses hukum mulai dari penyidikan hingga ke persidangan, dan melakukan koordinasi dengan pihak yang menangani kasus. Kemudian setelah sidang, bantuan yang diberikan kepada anak korban berupa: Pendampingan Memfasilitasi anak untuk sekolah Mencari biaya pendidikan Dalam mendefiniskan keadilan, petugas P2TP2A menyebutkan berjalannya proses hukum sesuai dengan tindakan kejahatan yang dilakukan pelaku dan memperhatikan hak-hak korban, dan orang yang bersalah harus dihukum sesuai perbuatannya. Sedangkan akses terhadap keadilan yakni berhak dapat keadilan dan adil bagi korban. Kemudian langkah-langkah atau perubahan yang diperlukan sehingga korban perdagangan anak dapat memiliki akses terhadap keadilan Proses hukum yang tepat, mudah, cepat dan jangan dipersulit Tempat pengaduan mudah dijangkau baik di Pemerintah dan LSM Persamaan persepsi bagi aparat penegak hukum Implementasi undang-undang PTPPO secara maksimal Sosialisasi undang-undang PTPPO bagi semua elemen masyarakat 128 Adanya ruang tunggu anak di pengadilan Dalam memperkirakan usia korban perdagangan manusia, langkah-langkah yang dilakukan dengan melihat dokumen pendukung seperti akte, ijazah, surat baptis, serta melihat wajah dan penampilan korban. Sedangkan dalam melakukan kontak awal dengan korban perdagangan anak, petugas P2TP2A mengaku biasanya mendapat rujukan dari instansi atau lembaga lain. Dalam melakukan wawancara dengan korban perdagangan anak dilakukan dengan : Menggunakan pendekatan dan metode yang sesuai dengan usia korban Tidak memaksakan korban untuk bicara Didampingi orang tua/keluarga korban Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti korban Kemudian yang terlibat dalam melakukan wawancara dengan korban adalah orang tua, keluarga, pihak yang merujuk seperti LSM dan instansi yang terkait. Sedangkan kendala yang dihadapi ketika melakukan wawancara dengan korban berupa korban tidak mau berbicara karena merasa tertekan dan takut, dan untuk mengatasi kendala tersebut adalah dengan tidak memaksa korban untuk bicara pada saat itu dan mengajak bermain agar rileks Untuk perawatan dan perlindungan sementara korban perdagangan anak ditempatkan di shelter, dengan disediakan makan, minum, pakaian, serta obatobatan. Dan dalam memberikan pelayanan juga melibatkan para konselor. Dalam melakukan penilaian kasus terhadap korban perdagangan anak, dilakukan dengan melihat proses dan tujuan. Kemudian dalam menentukan solusi jangka panjang bagi korban perdagangan anak adalah dengan memperhatikan kebutuhan jangka panjang meliputi pemulihan psikologis, kebutuhan pendidikan yang layak, mengembangkan bakat dan minat anak. 129 Biasanya solusi jangka panjang yang diberikan kepada korban berupa pendampingan lanjutan untuk pemulihan dan memfasilitasi pendidikan. Sedangkan lembaga atau institusi yang terlibat dalam memberikan solusi jangka panjang ini seperti Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan. Walaupun demikian, dalam memberikan solusi jangka panjang ini juga mengahadapi kendala, yakni terputusnya layanan bagi korban termasuk pendampingan yang intensif. Dalam melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan solusi jangka panjang ini dilakukan dengan berkoordinasi dengan pihak yang memberikan bantuan, dan dari hasil pemantauan petugas P2TP2A yang terjadi dengan korban adalah korban tidak mendapatkan layanan lanjutan yang komprehensif. Sedangkan perubahan atau perbaikan yang direkomendasikan sehingga anak-anak korban perdagangan mendapatkan layanan sepenuhnya untuk pemulihan dan reintegrasi, menurut petugas P2TP2A berupa perlunya layanan lanjutan yang komprehensif bagi korban, dan ini harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memberikan bantuan terutama dari Pemerintah. Untuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Tengah mengungkapkan bahwa selama ini PPT Provinsi hanya dilibatkan ketika dibutuhkan untuk mendampingi saat persidangan korban saja. Sedangkan untuk proses penjemputan tidak dilibatkan, dan untuk penjemputan dilakukan oleh Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak serta KB (BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, termasuk juga untuk proses screening awal. Setelah korban dijemput oleh personil BP3AKB korban langsung diantar ke daerah asal tanpa melakukan assessment awal ke korban. Bahkan dokumen kasus dari korban yang sudah dipulangkan tidak diketahui mengenai intervensi apa yang sudah dilakukan oleh Dinas Sosial atau Dinas terkait lainnya, dan korban hanya diserahkan kepada kabupaten/kota asal. 130 Ketika PPT Provinsi dibutuhkan, baru PPT bisa melakukan screening kepada korban. Peran PPT Provinsi adalah sebagai pendamping korban untuk persidangan, memberikan motivasi bagi korban, melakukan terobosan upaya yang terbaik bagi korban. Melakukan konseling kepada korban dan orang tua, dan memfasilitasi untuk membuat keputusan dalam melanjutkan perkara atau tidak terhadap kasus yang dialami korban. Menurut petugas PPT Provinsi Jawa Tengah, tidak semua kasus perdagangan anak yang masuk di PPT diselesaikan sampai persidangan, hanya beberapa saja, karena terkendala proses hukumnya dimana pelaku yang masih di luar daerah, dan Kepolisian Daerah Jawa Tengah tidak memberikan kewenangan kepada Kepolisian Daerah Provinsi lain untuk melakukan intervensi. Kemudian juga kendala yang dihadapi oleh PPT adalah kurangnya koordinasi di lintas SKPD dalam penaganan perdagangan anak, sehingga penanganan korban perdagangan anak tidak optimal. Kemudian Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Kota Semarang, PPT Kota biasanya hanya melakukan penjemputan ketika sudah sampai di Provinsi Jawa Tengah dan memulangkan ke rumah korban. Untuk reintegrasinya mengajak masyarakat dan perangkat desa setempat untuk ikut melindungi korban dari ancaman pelaku dan tidak mendapatkan stigmatisasi di masyarakat. Selain itu PPT juga memberikan modal bagi korban perdagangan anak tetapi bukan berupa uang tetapi berupa barang untuk dikembangkan oleh korban, serta jika ingin ketrampilan, maka PPT akan membantu memfasilitasi mencarikan kursus atau jika ingin sekolah PPT kota akan memfasilitasi bersama Dinas Pendidikan kota Semarang. 3.5. Dinas Sosial 131 Dalam menangani korban perdagangan anak di Dinas Sosial baik pada tingkat Provinsi dan Kabupaten dilakukan oleh Bidang Rehabilitasi Sosial, Seksi Anak dan Seksi Jaminan Bantuan Sosial. Dari hasil wawancara dengan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara, Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Timur, Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah, Dinas Sosial Kabupaten Deli Serdang, Kupang, dan Kota Semarang. Hingga 2011 ada 36 kasus perdagangan anak yang ditangani oleh Dinas Sosial di enam wilayah ini. Dalam menangani korban perdagangan anak bekerjasama dengan Kepolisian untuk proses hukumnya, dan dengan LSM anak dalam penyediaan shelter, pendampingan, serta pemulihan psikologisnya. Dalam menangani kasus perdagangan anak, peran Dinas Sosial adalah : Melakukan fungsi rehabilitasi Mendampingi korban Memberikan konseling Memfasilitasi untuk layanan kesehatan dan pendidikan Sedangkan layanan yang berikan kepada anak korban perdagangan berupa : Shelter dan Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Layanan konseling Layanan kesehatan Layanan pendidikan Bantuan makanan, minuman, obat-obatan Bantuan dana stimulan Latihan ketrampilan Pemulangan Sementara untuk Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Deli Serdang mengaku sampai saat ini belum memiliki shelter dan RPSA untuk korban perdagangan anak, dan untuk tempat perlindungan bagi korban bekerjasama dengan P2TP2A dan LSM. 132 Kemudian bagi korban yang ingin mengakses layanan, Dinas Sosial menyatakan tidak ada syarat-syarat tertentu, dan informasi yang diberikan kepada anak korban perdagangan sebelum membuat keputusan untuk mengajukan sebuah kasus berupa : Hak-hak korban Perlindungan hukum Rehabilitasi Reintegrasi Pemulangan Menurut Dinas Sosial, ada kasus perdagangan anak yang tidak diajukan sama sekali ke pengadilan dikarenakan : Umumnya anak tidak siap untuk proses hukum karena mereka merasa takut Anak merasa bersalah karena menyebabkan orang lain harus berurusan dengan hukum Anak merasa tertekan jika berhadapan dengan polisi Orang tua dan keluarga juga merasa takut karena mereka akan terlibat Orang tua berpikir yang penting anaknya bisa kembali Kemudian untuk kasus yang diajukan tetapi tidak sampai akhir, dikarenakan kurangnya bukti dan kesulitan dalam menghadirkan saksi petunjuk sehingga terpenuhinya unsur-unsur perdagangan orang. Sedangkan tantangan yang dihadapi dalam tahapan proses hukum ini pelakunya sulit ditangkap karena berada di luar negeri. Dalam memutuskan untuk mengajukan kasus perdagangan anak semuanya dilakukan oleh orang tua korban, sebenarnya apabila peristiwa pidana terjadi diminta atau tidak diminta ini akan di tindak dan di proses sesuai undang-undang PTPPO sebagai acuannya. Menurut Dinas Sosial, keterlibatan anak dalam 133 memutuskan apakah kasus diajukan atau tidak belum bisa karena masih anakanak. Jadi belum dapat sepenuhnya diberikan kepada anak dalam memutuskan kasusnya untuk diajukan atau tidak, dan orang tua atau keluarganyalah yang memutuskan. Walaupun demikian pendapat dan keputusan anak tetap harus di lindungi dan dihargai. Untuk proses hukum dalam kasus perdagangan anak, Dinas Sosial melakukan pendampingan kepada korban pada tingkat penyidikan di Kepolisian dan dalam proses penyidikan kepada korban harus mengacu pada undang-undang PTPPO. Kemudian Dinas Sosial juga menyatakan bahwa dalam penanganan untuk proses hukum ini ada beberapa instansi yang belum memahami tentang penanganan korban perdagangan anak, dan ini merupakan salah satu yang menjadi kesulitan dalam proses hukum. Untuk tahap proses hukum dalam kasus perdagangan anak, Dinas Sosial mengaku hanya sampai terlibat pada tahap penyidikan di Kepolisian, sedangkan pada tahap penuntutan dan sidang di pengadilan tidak terlibat. Sedangkan untuk memantau kasus dalam proses hukum, hanya mendapatkan laporan dari Kepolisian dan setelah proses hukum selesai korban dipulangkan. Rehabiltasi dan Reintegrasi Dalam memperkirakan usia korban perdagangan manusia, langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan : Melihat wajah dan penampilan korban Pengakuan korban Melihat dokumen pendukung seperti akte, ijazah Sedangkan dalam melakukan kontak awal dengan korban perdagangan anak dilakukan dengan komunikasi dengan korban seperti mengajak korban bercerita. Kemudian dalam melakukan wawancara dengan korban perdagangan anak, dilakukan dengan : Menggunakan pendekatan dan metode yang sesuai dengan anak 134 Tidak memaksakan anak untuk bicara Di tempat yang tertentu atau khusus Yang mewawancarai berjenis kelamin sama dengan korban Sementara yang terlibat dalam melakukan wawancara dengan korban selama ini adalah orang tua dan keluarga korban, pendamping atau pekerja sosial, psikolog, dan LSM anak. Sedangkan kendala yang dihadapi ketika melakukan wawancara dengan korban, berupa anak tidak mau berbicara karena merasa tertekan dan takut, dari sisi bahasa dimana korban ada yang kurang mengerti bahasa Indonesia. Dan untuk mengatasi kendala ini dilakukan dengan tidak memaksa anak untuk bicara saat itu dan menyediakan penterjemah bahasa daerah. Untuk perawatan dan perlindungan sementara, korban perdagangan anak ditempatkan di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), P2TP2A, dan shelternya LSM. Dengan fasilitas yang disediakan berupa : Layanan konseling Pemulihan trauma Makan dan minum Pelayanan kesehatan Biaya pendidikan selama berada di RPSA Pelatihan ketrampilan sesuai minat dan bakat Kemudian yang terlibat dalam memberikan bantuan pelayanan kepada korban, jika di RPSA petugas Dinas Sosial dan pekerja sosial, jika di P2TP2A atau LSM ada pendamping dan petugas dari instansi lain seperti Dinas Kesehatan dan lainnya. Dalam melakukan penilaian kasus terhadap korban perdagangan anak, dilakukan dengan memperhatikan proses bagaimana korban direkrut dan dieksploitasi. Kemudian dalam menentukan solusi jangka panjang bagi korban 135 perdagangan anak dengan memperhatikan kebutuhan jangka panjang yang terkait dengan pendidikan korban, dan setelah dipulangkan perlu pemberdayaan bagi keluarga agar pendidikan korban tidak terputus. Solusi jangka panjang yang diberikan kepada korban perdagangan anak selama ini berupa bantuan pemberdayaan ekonomi bagi korban dan keluarga, termasuk juga jika korban tidak mau sekolah lagi diberikan pelatihan keterampilan. Sementara lembaga atau pun institusi yang terlibat dalam memberikan solusi jangka panjang ini selain Dinas Sosial ada Dinas Pendidikan, dan juga ada LSM. Setelah korban dipulangkan, dari shelter pun juga melakukan home visit ke rumah korban, namun itupun tidak bisa sering hanya beberapa kali saja, terkendala sarana dan prasarana dalam shelter sendiri, karena kurangnya transportasi untuk kerumah korban, ketika harus memulangkan korban pun juga terkendala dengan sarana transportasi. Dinas Sosial sendiri mengakui bahwa kendala yang dihadapi dalam memberikan solusi jangka panjang ini terutama persoalan anggaran yang terbatas dan pendampingan secara kontinyu yang tidak dapat dilakukan. Termasuk juga pemantauan yang tidak dilakukan secara rutin dan sistematis. Sebenarnya untuk pelaksanaan solusi jangka panjang ini belumlah maksimal yang diberikan kepada korban perdagangan anak baik itu bantuannya maupun pendampingannya. Kemudian perubahan atau perbaikan yang direkomendasikan sehingga anakanak korban perdagangan mendapatkan layanan sepenuhnya untuk pemulihan dan reintegrasi, menurut Dinas Sosial perlu kerjasama berbagai pihak misalnya Dinas Pendidikan, Dinas Koperasi, Dinas kesehatan, dan lainnya sehingga layanan yang diberikan benar-benar menyentuh kebutuhan korban. 136 BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1. Kesimpulan Sejak tahun 2002 hingga 2011 setidaknya ada 10 kebijakan pada tingkat nasional yang telah dikeluarkan dalam menangani korban perdagangan anak untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak atas perlindungan hukum, rehabilitasi, dan reintegrasi. Kebijakan tersebut mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, hingga Peraturan Kepala Kepolisian. Walau pun sudah begitu banyak kebijakan yang dikeluarkan, namun dari perkembangannya dalam penanganan korban perdagangan manusia khususnya anak masih banyak kelamahan terutama dalam memberikan perlindungan hukum, rehabilitasi, pemulangan dan reintegrasi. Untuk perlindungan hukum misalnya, kelemahannya masih terdapat pada : Pemahaman yang belum sama dalam penerapan perundang-undangan yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang di antara aparat penegak hukum Sumberdaya penegak hukum yang belum merata seperti Hakim, Jaksa, Polisi dan sarana/prasarana pendukung yang sensitif akan hak anak dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang Kerjasama aparat penegak hukum belum maksimal Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) belum dipahami sepenuhnya oleh aparat penegak hukum Bantuan hukum dan pendampingan bagi korban masih terbatas Harmonisasi norma hukum perlindungan anak belum terlaksana Kemudian kelemahan dalam penanganan korban untuk rehabilitasi, pemulangan dan reintegrasi masih terdapat pada : Sumber daya manusia yang masih lemah dalam hal rehabilitasi yang bisa diakses oleh korban 137 Rumah Perlindungan Sosial Anak/Rumah Perlindungan Trauma Center untuk menangani rehabilitasi sosial bagi korban belum dimiliki oleh semua daerah Pelayanan rehabilitasi sosial yang bisa diakses oleh korban masih kurang Manajemen program dalam pelayanan bagi korban masih lemah Sarana/prasarana yang masih kurang memadai Pencatatan dan pelaporan masih lemah Pemulangan korban yang aman dan berbasis pada kebutuhan korban belum optimal Lemahnya program reintegrasi sosial sehingga korban yang sudah dipulangkan diperdagangkan kembali Sedangkan untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota, walaupun sudah terbentuk Gugus Tugas untuk memberikan perlindungan hukum, rehabilitasi, pemulangan dan reintegrasi bagi korban namun hasil yang diharapkan belumlah optimal. Dimana persoalan yang terjadi adalah karena tidak berjalannya fungsi dan peran Gugus Tugas, masih berjalan sendiri-sendiri, lemahnya koordinasi diantara anggota Gugus Tugas, tidak memahami masalah, hingga persoalan anggaran. Sehingga banyak korban tidak mendapatkan penanganan yang dimandatkan oleh peraturan perundang-undangan. Jika melihat struktur keanggotaan Gugus Tugas baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota, yang terdiri dari “orang-orang kunci” dan jumlah institusi ataupun lembaga yang cukup banyak, seharusnya mampu mengentaskan persoalan perdagangan anak dan penanganan korban secara maksimal. Kemudian bagi institusi di tingkat provinsi dan kebupaten/kota yang menangani korban dalam memberikan perlindungan hukum, rehabilitasi, pemulangan dan reintegrasi, ada beberapa kendala yang dihadapi. Misalnya institusi Kepolisian, yang mengungkapkan tentang tidak adanya semacam Memorandum of Understanding (MoU) antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam menangani 138 perkara perdagangan orang, dan ini berdampak pada tidak adanya koordinasi yang baik dalam menangani perkara. Sehingga sering tidak adanya kesepemahaman antara Kepolisian dan Kejaksaan. Selain itu, kurangnya kesepemahaman dalam penyajian bukti dan kesaksian, karena untuk bukti dan saksi, Jaksa masih berpedoman pada KUHP. Dari persoalan ini akan berdampak pada terhentinya kasus dugaan perdagangan anak, karena Jaksa menganggap tidak memenuhi unsur pasal yang diterapkan dan tidak terpenuhi unsur perdagangan orang. Untuk institusi Kejaksaan, dalam menangani kasus perdagangan anak belum ada terlaksana restitusi dan kompensasi terhadap korban. Kemudian untuk perlindungan dan keselamatan korban dan keluarga korban masih sebatas penyampaian informasi saja, perlindungan dan keselamatan bagi korban dan keluarga korban secara nyata belum ada sama sekali. Kemudian bagi Biro/Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak masih dihadapkan pada persoalan perbedaan pemahaman tentang perdagangan anak diantara mitra, mekanisme penanganan yang belum terkoordinir dengan baik, serta ketidakjelasan peran dan fungsi SKPD. Termasuk juga persoalan perpindahan atau mutasi pimpinan SKPD, sehingga ketika berhubungan dengan pimpinan baru harus memulai dari awal lagi. Sedangkan untuk sistem dan implementasi pemantauan terhadap korban juga belum terbangun dan terlaksana. Untuk Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), dalam menangani korban tantangan yang dihadapi berupa adanya upaya damai dari pelaku kepada keluarga korban. Kemudian dalam proses penyidikan, personel Kepolisian masih melakukan kekerasan verbal dalam melakukan penyidikan kepada korban. Dalam persidangan, kadang-kadang Pengadilan juga masih kurang dalam melindungi hak privasi dan kerahasiaan 139 korban, misalnya ketika sidang tertutup tapi orang lain bisa melihat dan menonton dari kaca dan suara bisa didengar dari luar. Bagi Dinas Sosial, kendala yang dihadapi dalam memberikan rehabilitasi, pemulangan dan reintegrasi terutama persoalan anggaran yang terbatas dan pendampingan secara kontinyu yang tidak dilakukan. Begitu juga dalam melakukan pemantauan kepada korban yang tidak dilakukan secara rutin dan sistematis. Jika kasus perdagangan anak tidak bisa ditangani secara optimal dikarenakan tidak tersedianya anggaran yang memadai dan fungsi koordinasi yang tidak berjalan, sehingga menyebabkan perlindungan hukum, rehabilitasi, pemulangan dan reintegrasi bagi korban tidak dapat direalisasikan. Hal ini memungkinkan anak yang diperdagangkan menjadi korban kembali. Situasi buruk yang dialami oleh anak yang diperdagangkan menyebabkan posisi anak semakin rentan terhadap berbagai pelanggaran terhadap hak-hak mereka sebagai anak. Oleh karena itu, tantangan besar yang dihadapi adalah bagaiamana menyelamatkan anak-anak agar terhindar sebagai korban, dan bagaimana anak-anak yang telah menjadi korban dapat diselamatkan dari situasi buruk tersebut. Walaupun sudah ada peraturan mengenai pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, namun peraturan tersebut masih sulit untuk menjerat pelaku. Selain itu, peraturan yang telah dilahirkan belum semuanya dapat dilaksanakan secara optimal dikarenakan ketidaktahuan aparat penegak hukum dalam memandang anak sebagai korban. 4.2. Rekomendasi Dalam memberikan perlindungan hukum, rehabilitasi, pemulangan dan reintegrasi kepada korban perdagangan anak, maka yang harus dilakukan adalah: 140 Implementasi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan peraturan turunannnya secara maksimal Proses hukum yang tepat, mudah, cepat dan tidak dipersulit dalam menangani kasus perdagangan anak Perlunya ruangan khusus di Kejaksaan untuk kasus anak, karena secara struktur di Kejaksaan belum ada yang khusus menangani kasus anak Perlunya ruangan khusus dan ruang tunggu di Pengadilan untuk kasus perdagangan anak Tempat pengaduan yang mudah dijangkau oleh korban Pendampingan dan layanan lanjutan yang komprehensif bagi korban, dan harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memberikan bantuan terutama dari Pemerintah Tugas pokok dan fungsi dari SKPD Pemerintah Daerah sebagai penyedia layanan pada korban dimaksimalkan dan tidak hanya berhenti setelah korban dipulangkan tapi perlu pendampingan lanjutan Pemerintah Daerah harus mengalokasikan anggaran untuk penanganan korban seperti perlindungan hukum, rehabilitasi, pemulangan dan reintegrasi Meningkatkan koordinasi dan kerjasama diantara Gugus Tugas dan SKPD dalam menangani korban sehingga layanan yang diberikan benarbenar menyentuh kebutuhan korban. 141 DAFTAR PUSAKA Protokol untuk Pencegahan, Penekanan dan Penghukuman Perdagangan Manusia, Khususnya Perempuan dan Anak, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Kejahatan Transnasional yang Terorganisir, 2000 Keputusan Presiden No. 88 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, 2002 Panduan “Melindungi Hak dan Martabat Anak Yang Diperdagangkan” Asia Against Child Trafficking (ACT) dan Indonesia Against Child Trafficking (ACT), 2006 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, 2007 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2007 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, 2008 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 69 Tahun 2008 Tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, 2008 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, 2008 Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia No. 25/Kep/Menko/Kesra/IX/2009 Tentang Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) 2009 – 2014, 2009 Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia No. 01 Tahun 2009 Tentang Standar Pelayanan Minimal Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kabupaten/Kota, 2009 Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia No. 22 Tahun 2010 Tentang Prosedur Standar Operasional 142 Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, 2010 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan Dan Anak, 2004 Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 24 Tahun 2005 Tentang Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak 2005 – 2009 dan Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, 2005 Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 53 Tahun 2010 Tentang Rencana Aksi Provinsi Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 2010-2015, 2010 Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 54 Tahun 2010 Tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Provinsi Sumatera Utara, 2010 Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur No.14 Tahun 2008 Tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang, 2008 Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur No. 389/KEP/HK/2010 Tentang Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA), 2010 Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur No.190 /KEP/HK/2011 Tentang Tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2011 Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 47 Tahun 2009 Tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, 2009 Keputusan Walikota Semarang No. 463/05 Tahun 2011 Tentang Penanganan Korban Perdagangan Anak, 2011 Wawancara dengan Emmy Suryana Lubis, S.H, MAP, Kepala Bagian Perlindungan dan Kualitas Hidup Perempuan, Biro Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera Utara, 2011 Wawancara dengan AKP Sitiani Purba, Sub Direktorat Remaja, Anak, dan Wanita Kepolisian Daerah Sumatera Utara, 2011 Wawancara dengan Batara SH, Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara, 2011 Wawancara dengan Emmi Suryanti Lubis, SH, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, 2011 143 Wawancara dengan Drs. Darwin Surbakti, Kepala Bidang Rehabiltasi Sosial, Dinas Sosial Kabupaten Deli Serdang, 2012 Wawancara dengan Parlaungan Harahap, SE, Staf P2TP2A Kabupaten Deli Serdang, 2012 Wawancara dengan Iptu Devi Ariantari, Kepala Unit PPA Kepolisian Resor Deli Serdang, 2012 Wawancara dengan dr.Yovita Anike Mitak, MPH, Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2011 Wawancara dengan Yermias Sine, Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2011 Wawancara dengan AKP Bertha Hangge, Kepala Unit PPA Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur, 2011 Wawancara dengan Len Agustin, Staf P2TP2A Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2011 Wawancara dengan Elisabeth Boki, Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan, Badan Partisipasi Masyarakat dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Kupang, 2011 Wawancara dengan Dra. Nina Laminasari Aminta, Kepala Bidang P2SPMK3, Dinas Sosial Kabupaten Kupang, 2011 Wawancara dengan Iptu Ade Irma, Kepala Unit PPA Kepolisian Resor Kupang, 2011 Wawancara dengan Yesron Mbau, SH, Jaksa Pidana Umum Kejaksaan Negeri Kupang, 2011 Wawancara dengan Ema Rahmawati, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan, Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Tengah, 2011 Wawancara dengan AKP Siti Rohani, Kepala Unit Remaja, Anak, dan Wanita Kepolisian Daerah Jawa Tengah, 2012 Wawancara dengan Tri Murdiastuti dan Heni, Bagian Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah, 2012 Wawancara dengan Indira Hapsari, staf Pusat Pelayan Terpadu Provinsi Jawa Tengah, 2012 144 Wawancara dengan Iptu Endang Suprobo, Kepala Unit PPA Polrestabes Semarang, 2012 Wawancara dengan Mustaqfirin SH, Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Semarang, 2012 Wawancara dengan Rumiyati Hanum, staf PPT Seruni Kota Semarang, 2012 Wawancara dengan Budi, Dinas Sosial, Pemuda dan Olah Raga Kota Semarang, 2012 145