2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lapisan permukaan laut tropis umumnya memiliki suhu yang hangat dengan variasi suhu tahunan yang kecil, namun relatif tinggi untuk variasi suhu hariannya. Di daerah khatulistiwa variasi suhu tahunan rata-ratanya lebih kecil dari 2 °C, tetapi beberapa perairan seperti Laut Banda, Laut Arafura, Laut Timor, dan selatan Jawa kisaran variasi suhu tahunan rata-ratanya mencapai 3–4 oC. Sementara itu, untuk laut yang dangkal seperti Laut Jawa memiliki suhu yang konstan dari lapisan permukaan hingga dasar pada skala yang luas (Wyrtki, 1961). Secara alami SPL memang tergolong ke dalam lapisan hangat karena mendapat radiasi matahari pada siang hari. Adanya kerja angin menyebabkan terjadi pengadukan dari lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50–70 m sehingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 28 oC) yang homogen. Pada Lokasi upwelling SPL bisa turun sampai sekitar 25 oC. Hal ini disebabkan air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke atas (Nontji, 2005). Berbanding terbalik dengan kondisi suhu yang seragam, salinitas justru sangat variabel di perairan Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya curah hujan yang tinggi dan besarnya limpasan dari banyak sungai. Di perairan Indonesia yang termasuk iklim tropis, salinitas meningkat dari arah barat ke timur dengan kisaran antara 30–35. Air samudra yang memiliki salinitas lebih dari 34 ditemukan di Laut Banda dan Laut Arafura yang diduga berasal dari Samudra Pasifik (Wyrtki, 1961). Kisaran nilai salinitas permukaan di beberapa perairan Indonesia disajikan pada Lampiran 1. 4 5 Peta sebaran kandungan konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia pada bulan Juni 2004 disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Peta sebaran klorofil-a di perairan Indonesia skala nasional, Juni 2004 (Arsjad et al., 2004) Pada Gambar 1 terlihat perairan Indonesia yang mempunyai kandungan klorofil-a antara 0,5–1,0 mg/m3 berada di perairan pesisir timur Sumatera, Selat Karimata, pesisir Kalimantan, utara Jawa, selatan Makasar serta bagian barat Papua. Nilai kandungan klorofil-a yang tinggi di perairan tersebut kemungkinan karena banyak sungai yang bermuara di sana sehingga membawa banyak substrat yang mengandung unsur organik dan zat hara lainnya. Perairan Indonesia yang memiliki kandungan klorofil-a antara 0,3–0,5 mg/m3 berada di pesisir barat Sumatera, Laut Flores, Laut Jawa di utara Jawa Timur, sebagian Selat Makasar, Laut Sulawesi, dan Laut Banda, sedangkan perairan yang memiliki nilai klorofil-a rendah yaitu di bawah 0,3 mg/m3 antara lain di Samudra Hindia dan selatan Jawa. 6 Umumnya perairan yang bernilai klorofil-a rendah ini adalah perairan laut lepas yang jauh dari pengaruh daratan. Kandungan klorofil-a yang berada di atas nilai 2 mg/m3 perlu dilakukan cek lapang karena kemungkinan nilai tersebut bukanlah kandungan klorofil-a, tetapi merupakan pengaruh sedimentasi yang cukup tinggi seperti di pesisir timur Sumatera, pesisir Kalimantan, dan pesisir Papua (Arsjad et al., 2004). 2.2 Parameter-Parameter Oseanografi dalam Menduga Upwelling Upwelling adalah suatu proses dimana massa air laut didorong ke arah permukaan dari kedalaman tertentu. Massa air yang berasal dari lapisan yang dalam ini belum berhubungan dengan atmosfer dan karena itu mengandung kadar oksigen yang rendah, tetapi kaya akan larutan nutrien seperti nitrat dan fosfat yang merupakan pupuk bagi fitoplankton sebagai dasar rantai makanan di lautan (Hutabarat dan Evans, 1985). Upwelling meliputi daerah yang luas, umumnya terdapat di sepanjang pantai benua (coastal upwelling) dan terjadinya berkaitan erat dengan tiupan angin sejajar pantai yang mampu memindahkan sejumlah massa air laut di lapisan permukaan pada daerah pantai ke arah laut lepas. Tempat yang kosong di lapisan atas akan diisi oleh massa air dari lapisan yang lebih dalam. Upwelling dapat pula terjadi di laut lepas terutama di tempat-tempat yang terdapat divergensi atau percabangan arus yang kuat (Nontji, 2005). Mekanisme proses terjadinya coastal upwelling disajikan pada Gambar 2. 7 Gambar 2. Mekanisme coastal upwelling (Alex, 2009) Daerah-daerah upwelling di Indonesia sebagian sudah diketahui dan dibuktikan dengan pasti, tetapi di beberapa daerah lainnya masih merupakan dugaan yang masih perlu dikaji lebih lanjut. Pada Gambar 3 ditampilkan empat daerah yang sudah diketahui secara pasti sering terjadi upwelling yaitu Laut Cina Selatan, perairan Selatan Jawa hingga Sumbawa, selatan Selat Makasar, dan Laut Banda-Arafura (Nontji, 2005). Parameter-parameter oseanografi yang penting untuk menduga daerah upwelling adalah SPL, salinitas, klorofil-a, TSS, dan TPL (Nontji, 2005; Nababan et al., in press). Gambar 3. Peta daerah upwelling di Indonesia (Nontji, 2005) 8 2.2.1 Suhu Permukaan Laut Suhu adalah ukuran energi kinetik gerakan molekul yang terkandung dalam suatu benda (Nybakken, 1988). Daerah yang paling banyak menerima radiasi dari sinar matahari adalah daerah-daerah yang terletak pada lintang 10o LU–10o LS. Oleh karena itu, suhu air laut yang tertinggi akan ditemukan di daerah ekuator. Jumlah bahang yang diserap oleh air laut pada suatu lokasi semakin berkurang bila letaknya semakin mendekati kutub (Sverdrup et al., 1961 dalam Hatta, 2001). Selain faktor sinar matahari, suhu di daerah tropik juga dipengaruhi oleh kondisi meteorologi antara lain ialah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, dan kecepatan angin sehingga suhu air di permukaan laut biasanya mengikuti pola musiman (Nontji, 2005). Sebaran suhu yang ada di permukaan laut hingga mencapai kedalaman 10 m didefinisikan sebagai SPL. Parameter ini sangat penting untuk diketahui karena dapat memberikan informasi mengenai front, upwelling, arus, daerah tangkapan ikan, cuaca/iklim, pencemaran miyak, dan pecemaran panas (Susilo, 2006). Upwelling di lautan dapat dilihat dari SPL di daerah terjadinya upwelling lebih rendah dari daerah sekitarnya. Hal ini disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke atas (Hutabarat dan Evans, 1985; Nontji, 2005). Semua benda pada suhu di atas nol derajat absolut (0 K, atau -273,16 oC) memancarkan energi radiasi elektromagnetik secara terus menerus. Energi dari partikel suatu benda dalam gerakan acak disebut kinetic heat. Panas kinetik internal dapat dikonversi ke radiant energy. Jumlah fluks radiasi yang diemisi dari sebuah objek disebut radiant themperature (Trad). Umumnya antara themperatur kinetic sebuah objek (Tkin) dan jumlah Trad berkorelasi positif 9 sehingga radiasi suhu suatu objek dapat diukur dari suatu jarak tertentu dengan mengunakan sensor radiometer. Hal inilah yang menjadi dasar dari penginderaan jarak jauh (inderaja) sistem inframerah termal (Susilo dan Gaol, 2008). 2.2.2 Salinitas Salinitas didefinisikan kembali ketika teknik untuk menentukan salinitas dari hasil pengukuran konduktivitas, temperatur, dan tekanan telah dikembangkan. Sejak tahun 1978 digunakan Practical Salinity Scale (Skala Salinitas Praktis) untuk mendefinisikan salinitas sebagai rasio dari konduktivitas. Salinitas praktis, dengan simbol S, dari suatu sampel air laut didefinisikan sebagai rasio dari konduktivitas listrik (K) sampel air laut pada temperatur 15 oC dan tekanan 1 ATM terhadap larutan kalium klorida (KCl), dimana bagian massa KCl adalah 0,0324 pada temperatur dan tekanan yang sama (Millero, 2005). Definisi Practical Salinity Scale ini dihitung dengan rumus menurut (Millero, 2005), pada persamaan (1). S = 0.0080 - 0.1692 K1/2 + 25.3853 K + 14.0941 K3/2 - 7.0261 K2 + 2.7081 K5/2 + ∆S………………………………………..……(1) Sebaran horizontal salinitas di lautan menurut Ross (1970) dalam Rosmawati (2004) bahwa semakin ke arah lintang tinggi maka salinitas akan semakin tinggi. Dalam pola distribusi secara horizontal, daerah yang memiliki salinitas tertinggi berada pada daerah lintang 30o LU dan 30o LS, kemudian menurun ke daerah khatulistiwa. Hal ini disebabkan presipitasi di daerah tropis jauh lebih tinggi sehingga terjadi pengenceran oleh air hujan. Selain perbedaan 10 lintang, salinitas suatu wilayah perairan bergantung pada topografi daerah tersebut. Hal tersebut terkait dengan ada tidaknya limpasan air tawar yang berasal dari sungai menuju muara. Daerah upwelling dapat dilihat dari nilai salinitasnya yang lebih tinggi dari pada di daerah sekitarnya karena upwelling mengangkat massa air dari lapisan bawah yang salinitasnya lebih tinggi ke permukaan (Hutabarat dan Evans, 1985; Nontji, 2005). 2.2.3 Klorofil-a Klorofil-a adalah suatu pigmen aktif dalam sel tumbuhan yang mempunyai peran penting di dalam berlangsungnya proses fotosintesis (Prezin, 1981 dalam Sediadi dan Edward, 2000). Klorofil-a merupakan pigmen yang paling dominan yang terdapat pada fitoplankton sehingga konsentrasi klorofil-a dapat digunakan sebagai indikator dari kelimpahan fitoplankton di suatu perairan (Parsons et al., 1977 dalam Prihartato, 2009). Semakin banyaknya kandungan klorofil-a di perairan menunjukkan semakin banyaknya biomassa fitoplankton di perairan tersebut. Oleh karena itu, pengukuran kandungan klorofil-a fitoplankton merupakan salah satu alat pengukuran kesuburan suatu perairan yang dinyatakan dalam bentuk produktivitas primer (Uno, 1982 dalam Sediadi dan Edward, 2000). Menurut Tubawalony (2007) konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat ditentukan oleh intensitas cahaya dan keberadaan nutrien. Menurut Matsuura et al. (1997) dalam Tubawalony (2007) bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a di bagian atas lapisan tercampur sangat sedikit dan konsentrasinya mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan tersebut, setelah itu menurun secara drastis 11 pada lapisan termoklin, hingga tidak ada lagi klorofil-a pada lapisan di bawah termoklin. Klorofil merupakan pigmen berwarna dalam sel tumbuhan. Pigmen ini terdiri dari beberapa jenis dan berbagai warna. Ada puluhan jenis pigmen terdapat dalam sel tumbuhan namun sekitar 80–90 % dari total pigmen tersebut merupakan klorofil-a. Oleh karena itu, konsentrasi klorofil-a merupakan representasi konsentrasi klorofil dari sel tumbuhan. Mengingat klorofil-a ini berwarna kehijauan (greenish) maka klorofil-a ini mempunyai nilai optik sehingga secara teori kandungan konsentrasi klorofil-a ini dapat diduga melalui teknik penginderaan jauh (satelit) yang sering disebut sebagai ocean color sensor satellite (Nababan, 2009). Daerah upwelling dapat dilihat dari konsentrasi nutrien yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya ditambah dengan intensitas cahaya yang cukup untuk proses fotosintesis maka akan menghasilkan konsentrasi klorofil-a yang tinggi pula (Hutabarat dan Evans, 1985). Upwelling selalu disertai dengan produksi fitoplankton yang tinggi sehingga daerah upwelling memiliki potensi perikanan yang tinggi pula (Nontji, 2005). 2.2.4 Total Suspended Solid Partikel-partikel tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 µm digolongkan ke dalam TSS. Komponen penyusun TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air 12 meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser (Effendi, 2003). Kisaran nilai TSS untuk kepentingan perikanan ditunjukkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai TSS Nilai TSS (mg/Liter) Pengaruh terhadap kepentingan perikanan <25 Tidak berpengaruh 25–80 Sedikit berpengaruh 81–400 Kurang baik bagi kepentingan perikanan >400 Tidak baik bagi kepentingan perikanan Sumber: Alabaster dan Lyod, 1982 dalam Effendi, 2003 Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA, 1976 dalam Effendi, 2003). Pada daerah upwelling kandungan nilai TSS ini akan terlihat sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya karena disebabkan adanya fitoplankton yang mati setelah terjadinya blooming (Nababan et al., in press). 2.2.5 Tinggi Paras Laut Inderaja untuk topografi sering disebut sebagai inderaja altimetri dengan menggunakan sensor altimeter. Inderaja altimetri ini telah cukup lama berkembang. Inderaja altimetri untuk topografi permukaan laut pertama kali dikembangkan sejak peluncuran SKYLAB dengan sensor atau radiometer yang disebut S-193. Satelit altimeter terus disempurnakan dan telah tercatat beberapa 13 satelit yang membawa altimeter yaitu GEOS-3, SEASAT, ERS-1, TOPEX/Poseidon dan terakhir adalah satelit Jason (Susilo, 2006). Menurut Susilo (2006) TPL dihitung berdasarkan jarak atau ketinggian muka laut dari “geoid”. Geoid adalah permukaan bumi yang bersifat ekuipotensial, yaitu mempunyai potensial yang sama (konstan). Geoid bertepatan dengan “mean sea level” atau MSL jika laut tidak bergerak (motionless) pada suhu 0 oC dan salinitas 35. Geoid ini secara matematis dapat dihitung. Geoid berhubungan dengan gravitasi dan “ellipsoid” serta memenuhi persyaratan dalam persamaan (2). g.hgeo = konstan........................................................................(2) dimana g = gravitasi hgeo = ketinggian geoid dari ellipsoid Ellipsoid adalah permukaan bumi yang mempunyai geopotensial sama atau konstan. Ellipsoid ini adalah permukaan bumi yang secara matematis paling mendekati permukaan bumi yang sebenarnya. Ellipsoid ini juga dapat dihitung melalui persamaan matematis dengan memasukkan berbagai parameter kebumian (Susilo, 2006). Nilai TPL yang rendah (-) berasosiasi dengan daerah upwelling atau cyclone, sedangkan daerah dengan TPL yang tinggi (+) umumnya berasosiasi dengan daerah downwelling atau anticyclone. Pada belahan bumi utara transpor Ekman dibelokkan 90o kearah kanan dari arah wind stress menyebabkan terjadinya divergensi dari permukaan perairan sehingga angin cyclone dapat menyebabkan terjadinya upwelling, sedangkan angin anticyclone menyebabkan 14 hal yang sebaliknya. Perubahan garis termoklin pada saat terjadinya upwelling dan downwelling disebabkan karena adanya pompa Ekman sebagai respon dari wind stress di permukaan (Brown et al., 1989). 2.3 Karakteristik Sensor Aqua-MODIS Sensor Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) adalah instrumen kunci yang dimiliki satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM). Orbit satelit Terra mengelilingi bumi dari utara ke selatan melintasi khatulistiwa pada saat pagi sementara itu satelit Aqua melintasi khatulistiwa dari arah selatan ke utara pada saat sore hari. Satelit Terra-MODIS dan Aqua-MODIS mencitra permukaan bumi setiap satu hingga dua hari. Sensor MODIS menyediakan resolusi radiometrik dengan sensitivitas tinggi (12 bit) dalam 36 kanal spektral (Lampiran 2) dengan kisaran panjang gelombang 0,4–14,4 µm (Maccherone, 2007). Spesifikasi teknis dari satelit Aqua-MODIS ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi teknis dari satelit Aqua-MODIS Orbit 705 km, melintasi khatulistiwa pada pukul 1:30 p.m waktu setempat. ascending node, sun-synchronous, nearpolar, sirkular Dimensi Sapuan 2330 km (lintasan silang) dengan 10 km (di titik nadir) Ukuran 1,0 x 1,6 x 1,0 m Berat 228,7 kg Daya 162,5 W (rata-rata orbit tunggal) Kuantisasi 12 bit Resolusi Spasial 250 m (band 1-2) 500 m (band 3-7) 1000 m (band 8-36) Umur Desain 6 tahun Sumber: Maccherone, 2007 Sensor MODIS pertama kali diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999 yang dibawa oleh satelit Terra dengan spesifikasi teknis untuk mengamati daratan. 15 Pada tanggal 4 Mei 2002 diluncurkan satelit Aqua yang membawa sensor MODIS dengan spesifikasi teknis untuk daerah perairan. Satelit Aqua-MODIS dapat digunakan untuk menduga ocean color seperti konsentrasi klorofil-a dan juga mampu mengestimasi SPL di perairan (Maccherone, 2007). 2.4 Karakteristik Sensor Jason-2 Satelit Jason-2 atau dikenal juga sebagai Ocean Surface Topography Mission (OSTM) adalah misi satelit internasional yang akan melanjutkan misi perekaman data TPL yang telah dimulai dari tahun 1992 oleh satelit sebelumnya. Sensor altimeter yang dibawa oleh satelit Jason-2 adalah Poseidon-3 yang memancarkan pulsa gelombang mikro pada frekuensi 13,6 GHz dan 5,3 GHz. Pulsa ini kemudian dipancarkan oleh transmiter dan akan dipantulkan kembali oleh permukaan laut. Waktu yang diperlukan pulsa untuk kembali ke satelit kemudian dikalikan dengan kecepatan cahaya untuk mendapatkan jarak dari satelit ke permukaan laut. Setelah itu dilakukan koreksi untuk mengurangi galat akibat adanya pengaruh atmosfer atau pun dari instrumen itu sendiri, akurasi pengukuran TPL yang didapatkan dari sensor altimeter ini adalah kurang dari 3 cm. Satelit Jason-2 merupakan hasil kerja sama antara NASA dengan CNES yang diluncurkan pada tanggal 20 Juni 2008 menggunakan roket Delta II 7320 (NASA, 2008). Spesifikasi teknis dari satelit Jason-2 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Spesifikasi teknis dari satelit Jason-2 Orbit Resolusi Spasial Resolusi Temporal Umur Desain Sumber: NASA, 2008 1,336 km, non-sun-synchronous dengan kemiringan 66 derajat dari khatulistiwa, sirkular 11,2 km (panjang) x 5,1 km (lebar) 10 hari 3 Tahun