Gender Dalam Persfektif Kehidupan Sehari-hari Oleh: Ilham Jurusan Pendidikan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan ABSTRAK Dewasa ini banyak dari kalangan perempuan menuntuk hak agar disama ratakan hak antara laki-laki dengan perempuan. Dalam kehdupan sehari-hari wanita sering merasa mereka hanya sebagai pelengkap belaka alias tidak memiliki peran penting dalam berkarya maupun dalam memperoleh warisan dari orang tua. Kaum perempuan menganggap sumur, dapur, dan kasur adalah tempat yang kurang tepat, sementara kaum laki-laki disiapkan makanan pulang dan pergi kerja, maka dari situ wanita ingin keluar dari belenggu tersebut menjadi wanita yang bebas berkarya dan berekpresi layaknya seperti laki-laki. Keyword : gender, perempuan dan emansipasi I. Pendahuluan Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta peradaban manusia dari yang konserpatif kearah masyarakat yang berilmu pengetahuan dan modern. Seiring dengan itu menuntut segala aktivitas di kerjakan secara cepat, tepat dan bermanfaat bagi kehidupan manusia serta tidak bertentangan dengan HAM. Kehidupan masyarakat saat ini sangat jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat zaman dahulu. Pada zaman dahulu ada suatu hal yang menjadi pembeda antara kaum laki-laki dan kaum perempuan,Kaum perempuan sering sekali diidentikkan dengan selogan sumur, kasur dan dapur. Sementara laki-laki dianggap sebagai raja. Namun perbedaan tersebut tidak menjadi kendala pada saat itu, ironisnya wanita pada masa itu di tuntut 1 untuk bekerja selain pekerjaan rumah tangga juga di tuntut untuk mencari nafkah bersama sang suami tercinta, di sisi lain sewaktu pulang dari aktivitas pekerjaan perempuan kembali di tuntut untuk mengurusi pekerjaan rumah tangga dan di tambah lagi mengurusi anak, sementara si suami hanya duduk-duduk dengan di temani segelas kopi maupun secangkir teh hangat sambil membaca Koran. Pada zaman modern serta berkembangnya ilmu pengetahuan ternyata tidak ada pembeda antara laki-laki dan perempuan kecuali perbedaan yang di bawa sejak lahir (kodrat) dalam artian laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak dan peluang untuk menjadi pemimpin dan siap untuk di pimpin. Masalah tersebut merupakan suatu masalah yang menuntut suatu jawaban yang urgen dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu agar saling membenahi antara laki-laki dan perempuan harus mempelajari konsep gender secara kaffah. II. Kajian Teori Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan (Saptari, 1997). Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis (Moore, 1988). Ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminim dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminim itu tergantung dari konteks sosialbudaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin. Ketidak seimbangan berdasarkan gender (gender inequality) mengacu pada ketidakseimbangan akses sumber-sumber yang langka dalam masyarakat. Sumbersumber yang penting itu meliputi kekuasaan barang-barang material, jasa yang diberikan orang lain, prestise, perawatan medis, otonomi pribadi, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan, serta kebebasan dari paksaan atau siksaan fisik (Chafetz, 1991). Dalam menjelaskan timbulnya fenomena ketimpangan gender pada dasarnya ada tiga teori dasar yang dapat digunakan yaitu teori neo-klasik, teori segmentasi pasar tenaga 2 kerja dan teori feminis. Dua teori pertama lebih melihat ketimpangan gender dalam dunia kerja, sedangkan teori yang terakhir melihat ketimpangan gender secara lebih umum dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Teori neo-klasik menerangkan pembagian kerja seksual dengan menekankan perbedaan seksual dalam berbagai variabel yang mempengaruhi produktivitas pekerja. Perbedaanperbedaan itu meliputi pendidikan, keterampilan, lamanya jam kerja, tanggung jawab rumah tangga, serta kekuatan fisik. Semua ini didasari asumsi bahwa di dalam persaingan antar pekerja, pekerja memperoleh upah sebesar marginal product yang dihasilkannya. Asumsi lain adalah bahwa keluarga mengalokasikan sumber daya mereka secara rasional. Konsekuensi logis dari hal ini adalah anggota rumah tangga laki-laki memperoleh investasi human capital yang lebih tinggi daripada perempuan. Selanjutnya, perempuan memperoleh pendapatan dari produktivitas yang lebih rendah dari laki-laki karena mereka memiliki human capital yang lebih rendah. (Anker dan Hein, 1986 dalam Susilastuti dkk, 1994). Teori segmentasi pasar tenaga kerja mengatakan bahwa laki-laki pada usia prima (primeage) terkonsentrasi dalam pekerjaan berupah tinggi, stabil dan dengan latihan, promosi dan prospek karir lebih baik: dan disebut sebagai primary jobs. Sedangkan Secondary jobs, tidak menjanjikan jaminan akan kestabilan bekerja, kompensasi rendah, tanpa prospek untuk berkembang di masa depan; dan pada umumnya perempuan berada pada segmen ini (Chiplin dan Sloane, 1982). Keterbatasan ruang lingkup kerja perempuan diakibatkan oleh karena perempuan tidak mempunyai kapasitas untuk akses pada male-dominated jobs, sehingga perempuan terkonsentrasi secara berlebih dalam suatu range kesempatan kerja terbatas, yang menekan tingkat upah perempuan (Chiplin dan Sloane, 1982). Terbatasnya pilihan pekerjaan perempuan ini menurut Peluso (1984) karena perempuan dibatasi oleh siklus hidup yang dialami karena kewajiban pada aktivitas rumah tangga dan mencari nafkah berbeda- beda pada masing-masing tahap siklus tersebut. 3 Dari hal tersebut terlihat bahwa teori segmentasi pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa pekerja laki-laki dan perempuan tidak bersaing dengan landasan yang sama, karenanya tidak mempunyai akses yang sama kelapangan kerja. Teori segmentasi pasar tenaga kerja ini dianggap tidak mampu menjelaskan mengapa segmentasi pasar tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin terjadi. Selanjutnya, untuk teori feminis, terdapat tiga pendekatan yaitu pendekatan feminis radikal, feminis marxis (sosialis) dan feminis liberal (Saptari,1997). Pendekatan feminis radikal lebih menekankan bahwa ketimpangan hubungan gender bersumber pada perbedaan biologis. Perempuan memiliki kebebasan untuk memutuskan kapan ia harus menggunakan atau tidak menggunakan teknologi pengendali reproduksi (kontrasepsi, sterilisasi, aborsi) dan teknologi pembentuk reproduksi. Pandangan feminis radikal ini terlalu menonjolkan determinisme biologis dan tidak mampu menjelaskan mengapa fakta perbedaan seks bisa berkembang menjadi perbedaan gender. Adapun pendekatan feminis marxis menjelaskan bahwa ketimpangan gender terjadi karena kapitalisme. Kapitalisme adalah tatanan sosial dimana para pemilik modal mengungguli kaum buruh dan laki-laki mengungguli perempuan. Pendekatan feminis marxis ini terlalu memfokuskan pada hubungan perempuan dengan kapital dan cara-cara berproduksi dan kurang menyoroti sebab-sebab ketimpangan gender dan subordinasi perempuan. Sedangkan pendekatan feminis liberal memandang bahwa subordinasi perempuan berakar pada seperangkat kendala dan kebiasaan budaya yang menghambat akses perempuan terhadap kesempatan untuk berkompetisi secara adil dengan laki-laki. Selanjutnya pendekatan feminis liberal, kedudukan perempuan yang relatif rendah dalam pasar tenaga kerja ini tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial yang menempatkan perempuan pada kedudukan yang lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan disosialisasikan pada kegiatan-kegiatan domestik dan sifat-sifat kewanitaan seperti sekretaris, resepsionis, waitres dan lainnya. Perbedaan perempuan dan laki-laki yang telah disosialisasikan dalam keluarga kemudian terefleksi dalam kecenderungan pekerjaan menerima perintah bagi perempuan dan memberi perintah bagi pekerjaan lakilaki (Collins, 1991). 4 III. Tujuan Terselenggaranya karya ilmiah ini adalah jalan yang memberikan suatu titik terang kepada pihak perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Yang mana pihak perempuan sebenarnya adalah manusia yang sangat harus di hormati karena jasanya sangat besar dalam membina rumah tangga dan mendidik anak. Jadi oleh karena itu pihak perempuan sudah seharusnya di berikan peluang yang besar dalam berkarya, dan menjadi perempuan karir yaitu dengan cara membuka diri kepada masyarakat luas bahwasanya perempuan itu bisa seperti laki-laki dan bahkan bisa melebihi laki-laki. IV. Metode Dalam hal penulisan ini penulis menggunakan pendekatan teoritik. Adapun tempat dan waktu penelitian kegiatan ini berlangsung yang mana kami teliti dari buku-buku yang berskaitan dengan masalah yang di hadapi perempuan yang belum berumah tangga dan sudah berumah tangga, yang mana mereka di berlakukan sangat tidak cocok untuk layaknya perempuan itu sendiri. Tempat penelitian ini berlangsung di perpustakaan UNIMED dalam jangka waktu dua minggu lamanya. V. Hasil dan Pembahasan Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan (Saptari, 1997). Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis (Moore, 1988). Ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminim dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminim itu tergantung dari konteks sosialbudaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin. Ketidakseimbangan berdasarkan gender (gender inequality) mengacu pada ketidakseimbangan akses sumber-sumber yang langka dalam masyarakat. Sumbersumber yang penting itu meliputi kekuasaan barang-barang material, jasa yang diberikan orang lain, prestise, perawatan medis, otonomi pribadi, kesempatan untuk memperoleh 5 pendidikan dan pelatihan, serta kebebasan dari paksaan atau siksaan fisik (Chafetz, 1991). Dalam menjelaskan timbulnya fenomena ketimpangan gender pada dasarnya ada tiga teori dasar yang dapat digunakan yaitu teori neo-klasik, teori segmentasi pasar tenaga kerja dan teori feminis. Dua teori pertama lebih melihat ketimpangan gender dalam dunia kerja, sedangkan teori yang terakhir melihat ketimpangan gender secara lebih umum dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Teori neo-klasik menerangkan pembagian kerja seksual dengan menekankan perbedaan seksual dalam berbagai variabel yang mempengaruhi produktivitas pekerja. Perbedaanperbedaan itu meliputi pendidikan, keterampilan, lamanya jam kerja, tanggung jawab rumah tangga, serta kekuatan fisik. Semua ini didasari asumsi bahwa di dalam persaingan antar pekerja, pekerja memperoleh upah sebesar marginal product yang dihasilkannya. Asumsi lain adalah bahwa keluarga mengalokasikan sumber daya mereka secara rasional. Konsekuensi logis dari hal ini adalah anggota rumah tangga laki-laki memperoleh investasi human capital yang lebih tinggi daripada perempuan. Selanjutnya, perempuan memperoleh pendapatan dari produktivitas yang lebih rendah dari laki-laki karena mereka memiliki human capital yang lebih rendah. (Anker dan Hein, 1986 dalam Susilastuti dkk, 1994). Teori segmentasi pasar tenaga kerja mengatakan bahwa laki-laki pada usia prima (primeage) terkonsentrasi dalam pekerjaan berupah tinggi, stabil dan dengan latihan, promosi dan prospek karir lebih baik: dan disebut sebagai primary jobs. Sedangkan Secondary jobs, tidak menjanjikan jaminan akan kestabilan bekerja, kompensasi rendah, tanpa prospek untuk berkembang di masa depan; dan pada umumnya perempuan berada pada segmen ini (Chiplin dan Sloane, 1982). Keterbatasan ruang lingkup kerja perempuan diakibatkan oleh karena perempuan tidak mempunyai kapasitas untuk akses pada male-dominated jobs, sehingga perempuan terkonsentrasi secara berlebih dalam suatu range kesempatan kerja terbatas, yang menekan tingkat upah perempuan (Chiplin dan Sloane, 1982). Terbatasnya pilihan 6 pekerjaan perempuan ini menurut Peluso (1984) karena perempuan dibatasi oleh siklus hidup yang dialami karena kewajiban pada aktivitas rumah tangga dan mencari nafkah berbeda- beda pada masing-masing tahap siklus tersebut. Dari hal tersebut terlihat bahwa teori segmentasi pasar tenaga kerja menunjukkan bahwa pekerja laki-laki dan perempuan tidak bersaing dengan landasan yang sama, kare¬nanya tidak mempunyai akses yang sama ke lapangan kerja. Teori segmentasi pasar tenaga kerja ini dianggap tidak mampu menjelaskan mengapa segmentasi pasar tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin terjadi. Selanjutnya, untuk teori feminis, terdapat tiga pendekatan yaitu pendekatan feminis radikal, feminis marxis (sosialis) dan feminis liberal (Saptari,1997). Pendekatan feminis radikal lebih menekankan bahwa ketimpangan hubungan gender bersumber pada perbedaan biologis. Perempuan memiliki kebebasan untuk memutuskan kapan ia harus menggunakan atau tidak menggunakan teknologi pengendali reproduksi (kontrasepsi, sterilisasi, aborsi) dan teknologi pembentuk reproduksi. Pandangan feminis radikal ini terlalu menonjolkan determinisme biologis dan tidak mampu menjelaskan mengapa fakta perbedaan seks bisa berkembang menjadi perbedaan gender. Adapun pendekatan feminis marxis menjelaskan bahwa ketimpangan gender terjadi karena kapitalisme. Kapitalisme adalah tatanan sosial dimana para pemilik modal mengungguli kaum buruh dan laki-laki mengungguli perempuan. Pendekatan feminis marxis ini terlalu memfokuskan pada hubungan perempuan dengan kapital dan cara-cara berproduksi dan kurang menyoroti sebab-sebab ketimpangan gender dan subordinasi perempuan. Sedangkan pendekatan feminis liberal memandang bahwa subordinasi perempuan berakar pada seperangkat kendala dan kebiasaan budaya yang menghambat akses perempuan terhadap kesempatan untuk berkompetisi secara adil dengan laki-laki. Selanjutnya pendekatan feminis liberal, kedudukan perempuan yang relatif rendah dalam pasar tenaga kerja ini tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial yang menempatkan perempuan pada kedudukan yang lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan disosialisasikan pada kegiatan-kegiatan domestik dan sifat-sifat kewanitaan seperti 7 sekretaris, resepsionis, waitres dan lainnya. Perbedaan perempuan dan laki-laki yang telah disosialisasikan dalam keluarga kemudian terefleksi dalam kecenderungan pekerjaan menerima perintah bagi perempuan dan memberi perintah bagi pekerjaan lakilaki (Collins, 1991). Terbentuknya perbedaan peranan antara perempuan dan laki-laki, dimana wilayah kekuasaan perempuan di dalam rumah dan laki-laki di luar rumah. Hal ini dapat dilihat dari perspektif (Berger dan Luckmann,1976): Pertama, konstruksi Sosial, yang menerangkan bagaimana proses awal bidang domestik dan bidang publik itu terbentuk. Menurut Berger, karena a. Proses eksternalisasi, yaitu suatu nilai yang diproduksi oleh individu dari yang tidak ada menjadi ada. b. Proses objektivikasi, yaitu kesepakatankesepakatan tadi menjadi realitas sosial atau proses penolakan dan proses penerimaan sehingga realitas terbentuk. c. Proses Internalisasi, yaitu dari individu itu sendiri karena sebenarnya individu merupakan bagian dari masyarakat sosial. Kedua, Reproduksi Sosial, yaitu bagaimana sebenarnya perbedaan bidang domestik dan publik itu dikuatkan/diintensifkan. Hal ini dilakukan a. dengan simbol-simbol, seperti dibentuknya 'Dharma Wanita' yang sebenarnya lebih menguatkan posisi perempuan di bidang domestik dan laki-laki di bidang publik, b. reproduksi status biologis perempuan, misalnya perempuan adalah mahluk yang lemah, perempuan berkaitan dengan kesehatan, melahirkan, perempuan yang sedang menstruasi lebih emo¬sional sehingga dapat merugikan perempuan dalam dunia kerja. c. reproduksi status kultural perempuan, misalnya perempuan lebih telaten, rapi,dll, sehingga perempuan diberikan pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian yang tinggi (sebagai pekerja marginal). Persepsi adalah suatu objek yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri individu yang mewujud dari nilai-nilai yang diproduksi individu tersebut. Sebaliknya faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan luar individu. Menurut Mar'at (1982) persepsi ini sangat berhubungan dengan intuisi dan tercermin dalam bentuk perasaan senang/tidak senang terhadap sesuatu. 8 Dalam konteks persepsi perempuan terhadap ketimpangan gender, sulit untuk memisahkan pengaruh faktor internal dan eksternal. Hal ini berkaitan dengan konsep ketimpangan gender sebagai suatu hasil konstruksi sosial. Menurut Abdullah (1996) manusia memberi arti dan interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan yang kemudian melahirkan suatu struktur sosial dengan pembagian pembagian hak dan kewajiban secara seksual. Hal ini kemud¬ian menjadi realitas objektif yang memiliki daya paksa terhadap manusia yang semula menciptakannya. Demikian pula kemudian, kata Berger (1991) dalam Abdullah (1996), setiap orang diperkenalkan pada makna-makna budaya, belajar ikut serta dalam tugas-tugas yang sudah ditetapkan dan menerima peran-peran selain menerima identitas-identitas yang membentuk struktur sosialnya. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa proses objektivikasi tersebut dapat menjadi suatu faktor internal yang mempengaruhi persepsi individu. Dengan demikian menurut Astuti (1997) banyak kaum perempuan yang menerima ketida¬kadilan jender tersebut dengan wajar karena merupakan suatu takdir. Sebagai akibat dari sikap yang menerima keadaan ini, struktur sosial yang timpang ini akhirnya tidak hanya terus menerus dimitoskan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Hal tersebut juga berlaku pada kaum perempuan yang memiliki akses kekuasaan yang lebih tinggi. Menurut Astuti (1997), kelompok perempuan ini sering menempatkan perempuan sebagai subordinat. Dapat dilihat dari pernyataan seorang pengusaha perempuan sebagaimana yang dikutip Hariadi (1997) yang mengemukakan bahwa berdasarkan pengalamannya memiliki pekerja perempuan itu lebih menguntungkan. Karena mereka rajin, telaten, tidak banyak tuntutan dan mempunyai loyalitas tinggi. Lebih lanjut dia mengemu¬kakan bahwa secara psikologis sikap itu memang pembawaan dari sifat-sifat kaum perempuan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapus ketim¬pangan gender tersebut. Di samping upaya-upaya pergerakan perempuan yang menuntut persamaan hak, juga telah diatur dalam berbagai konvensi dan perundang-undangan. Pada tahun 1976, PBB telah mengeluarkan Deklarasi mengenai penghapu¬san diskriminasi terhadap perempuan. Pada 9 tanggal 18 Desember 1979 Majelis Umum PBB telah menyetujui konvensi tersebut. Selanjutnya karena konvensi tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka sejak tahun 1984 dengan UU RI No. 7 tahun 1984, Indonesia telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Namun demikian upaya tersebut tidak akan berhasil dengan baik jika tidak diikuti oleh perubahan dalam konstruksi sosial. Raharjo (1996) mengemukakan harus diadakan dekonstruksi hubungan gender dan reorientasi pemahaman seksualitas. Dekonstruksi sosial pada tahap awal akan berdampak pada perubahan persepsi masyarakat baik lakilaki maupun perempuan terhadap hubungan gender tersebut. Pada tahap selanjutnya, hal tersebut sekaligus juga akan dapat memperbaiki ketimpangan gender yang terjadi. VI. Kesimpulan Tidak dipungkiri lagi, peranan perempuan baik dalam memperjuangkan dan mempertahankan bangsa Indonesia ini sungguh sangat luar biasa. Oleh sebab itu sudah sepantas dan selayaknya kaum perempuan ikut ambil alih dalam segala asfek kehidupan bersosial, jadi sudah sepantasnya juga gerakan gander saat ini sedang digalak-galakan baik melalui seminar maupun dalam diskusi ilmiah. Sumur, dapur, dan kasur pada dasarnya bukanla tempat kaum perempuan semata, melainkan mereka juga bisa berbuat lebih dari itu dan bahkan melebihi kaum laki-laki, inilah suatu bukti kalau kaum perempuan itu juga bisa dalam segala hal. Daftar Pustaka Abdullah,I,1996, "Seks,Gender dan Reproduksi Kekuasaan", dalam Dwiyanto,A,dkk,(eds) Penduduk dan Pembangunan, Yogyakarta,Aditya Media dan PPKUGM 10 Ancok, D, 1996, Kualitas Manusia dan Produktivitas, (paper tidak diterbitkan) Astuti,M,1997,"Jender dan Pembangunan", disampaikan pada Penataran Metodologi Penelitian Kajian Wanita Berp¬erspektif Jender. Hotel Sri Wedari Yogyakarta, 7-13 September 1997 BPS, 2001, Pengembangan Indeks Pembangunan Manusia, Jakarta, BPS Hariadi,SS,1997,"Aplikasi Jender dalam Pembangunan", disampaikan pada Penataran Metodologi Penelitian Kajian Wanita Berperspektif Jender. Hotel Sri Wedari Yogyakarta, 7-13 September 1997 Moore,H.L. 1988. Feminism and Anthropology. Cambridge: Polity Press. Saptari,R, 1997. Studi Perempuan: Sebuah Pengantar dalam Saptari,R. dan Holzner (eds), Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Susilastuti DH, Hudayana,B., dan Hrdyastuti, 1994. Fe¬minisasi Pasar Tenaga Kerja. Yogyakarta. PPK-UGM. UNDP, 2001,2004, Indonesia Human Development Report 1992, Jakarta; BPSUNDP-BAPPENAS. 11