Program Penanganan dan Pencegahan HIV dan AIDS di Puskesmas

advertisement
Program Penanganan dan Pencegahan HIV dan AIDS di
Puskesmas
Pendahuluan
Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah sejenis virus yang menyerang sel darah
putih yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired Immune
Deficiency Syndrome atau AIDS sekumpulan gejalan penyakit yang timbul kerana turunya
kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV. Akibat menurunya kekebalan tubuh,
maka orang yang tersebut sangat mudah untuk terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi
opportunistik) yang sering berakibat fatal. Epidemi HIV merupakan suatu tantangan global
dan salah satu masalah yang paling rumit dewasa ini, maka keberhasilan penanggulangan
HIV dan AIDS di Indonesia, tidak saja memberikan manfaat bagi Indonesia tetapi juga
penanggulangan AIDS secara global.1,2
Indonesia adalah salah satu negara di Asia dengan epidemi yang berkembang paling cepat
(UNAIDS, 2008). Kementerian Kesehatan memperkirakan, Indonesia pada tahun 2014 akan
mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dibandingkan
pada tahun 2008 (dari 277.700 orang menjadi 813.720 orang). Ini dapat terjadi bila tidak ada
upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang bermakna dalam kurun waktu tersebut.
Peningkatan penanggulangan HIV dan AIDS yang efektif dan komprehensif di Indonesia
memerlukan pendekatan yang strategik, yang menangani faktor-faktor struktural melibatkan
peran aktif semua sektor.2 Pada kesempatan kali ini saya akan membahas secara umum
mengenai upaya pencegahan dan penanganan HIV/AIDS pada level promotif dan preventif di
Puskesmas.
Skenario 5
Angka kejadian HIV-AIDS semakin hari semakin memprihatinkan. Sampai dengan triwulan
III tahun 2014 jumlah kasus baru HIV 7335 kasus, infeksi tertinggi menurut golongan umur
adalah 25-49 tahun mencapai 69,1%, 20-24 = 17,2%, umur ≥50 tahun = 5,5%. Rasio lakilaki:perempuan = 1:1. Sementara itu kasus AIDS dari bulan juli sampai September 2014 telah
bertambah 176 orang. Persentase tertinggi kasus AIDS pada usia 30-39 tahun (42%) umur 2029 tahun (36,9%) dan umur 40-49 (13,1%). Rasio AIDS laki-laki:perempuan adalah 2:1.
Yang menarik adalah adanya 4% kasus berasal dari ibu yang HIV positif yang menularkan
1
kepada anaknya. Pemerintah saat ini sedang melaksanakan program yang bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan dan perilaku masyarakat terhadap penyakit HIV-AIDS ini, antara
lain dengan program VCT (Voluntary, Counseling and Test). Diharapkan mampu menjaring
sebanyak mungkin kasus HIV-AIDS sedini mungkin untuk mencegah penularan lebih lanjut.
Selain itu sasaran lainnya adalah usia muda dan remaja agar mampu melaksanakan upaya
promosi dan prevensi terhadap penyakit ini.
Definisi HIV-AIDS
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sel darah putih di
dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Orang yang
dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan belum membutuhkan pengobatan.
Namun orang tersebut dapat menularkan virusnya kepada orang lain bila melakukan
hubungan seks berisiko dan berbagi alat suntik dengan orang lain.
AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang
timbul karena turunnya kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. Akibat
menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka orang tersebut sangat mudah terkena
penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan, otak
dan kanker. Stadium AIDS membutuhkan pengobatan Antiretroviral (ARV) untuk
menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh sehingga bisa sehat kembali.
ARV merupakan singkatan dari Antiretroviral, yaitu obat yang dapat menghentikan
reproduksi HIV didalam tubuh. Bila pengobatan tersebut bekerja secara efektif, maka
kerusakan kekebalan tubuh dapat ditunda bertahun–tahun dan dalam rentang waktu yang
cukup lama sehingga orang yang terinfeksi HIV dapat mencegah AIDS. Dengan semakin
meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV tersebut, ARV memiliki peran penting dalam
menciptakan masyarakat sehat melalui strategi penanggulangan AIDS yang memadukan
upaya pencegahan dengan upaya perawatan, dukungan serta pengobatan.
Hingga saat ini, ARV masih merupakan cara paling efektif serta mampu menurunkan angka
kematian dan berdampak pada peningkatan kualitas hidup orang terinfeksi HIV sekaligus
meningkatkan harapan masyarakat untuk hidup lebih sehat. Sehingga pada saat ini HIV dan
AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan seperti diabetes, asma atau
darah tinggi dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang pembunuh yang menakutkan.3
Faktor Determinan HIV
a. Faktor Host
2
Infeksi HIV/AIDS saat ini telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok
risiko tinggi maupun masyarakat umum. Kelompok masyarakat yang mempunyai risiko
tinggi adalah pengguna narkoba suntik (Injecting Drug Use), kelompok masyarakat yang
melakukan promiskuitas (hubungan seksual dengan banyak mitraseksual) misalnya WPS
(wanita penjaja seks), penerima transfusi darah, penerima donor organ tubuh, transmisi
transplasental yaitu transmisi dari ibu kepada bayi/janinnya saat hamil atau saat
melahirkan adalah 50%, yaitu apabila seorang ibu pengidap HIV melahirkan anak, maka
kemungkinan anak itu terlular HIV. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses
terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat
penularannya hanya 1%. dan petugas pelayan kesehatan juga mejadi kelompok yang
rawan tertular HIV.1,4
b. Faktor Agent
Virus HIV termasuk RNA virus Letigenivirus golongan Retrovirus family Retroviridae.
Sepsis HIV-1 dan HIV-2 merupakan penyebab infeksi HIV pada manusia. Virus HIV
secara langsung maupun tidak langsung akan menyerang sel CD4+. Infeksi HIV akan
menghancurkan sel-sel T, sehingga menggangu sel-sel efektor imun yang lainnya, daya
tahan tubuh menurun sehingga orang yang terinfeksi HIV akan jatuh ke dalam stadium
yang lebih lanjut.
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan cepat. Target
virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus, yang membuat individu
yang terinfeksi akan terkena infeksi opurtunistik. Jumlah virus HIV yang masuk sangat
menentukan penularan, penurunan jumlah sel limfosit T berbanding terbalik dengan
jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh.
AIDS adalah stage akhir dari infeksi HIV. Ketika sel CD4+ turun hingga dibawah 200
sel/mm3 kemungkinan menuju AIDS semakin besar. AIDS adalah suatu penyakit yang
sangat berbahaya karena mempunyai Case Fatality Rate 100% dalam lima tahun, artinya
dalam waktu lima tahun setelah diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan
meninggal. Proporsi kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal di Indonesia hingga
Desember 2009 adalah 19,3%.2-4
c. Faktor Environment
Menurut data UNAIDS (2009), dalam survei yang dilakukan di negara bagian SubSahara Afrika antara tahun 2001 dan 2005, prevalensi HIV lebih tinggi di daerah
perkotaan daripada di daerah pedesaan, dengan rasio prevalensi HIV di kota:pedesaan
yaitu 1,7:1.3
Cara Penularan
3
a. Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral, ataupun anal dengan seorang pengidap. Ini
adalah cara yang paling umum terjadi lebih mudah terjadi penularan bila terdapat lesi
penyakit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis,
gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Resiko pada seks anal lebih besar
dibanding seks vaginal dan resiko juga lebih besar pada yang reseptive dari pada yang
insertive.
b. Kontak langsung dengan darah / produk darah / jarum suntik.
1. Transfusi darah yang tercemar HIV
2. Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik dan sempritnya pada
para pencandu narkotik suntik.
3. Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan.
c. Secara vertical dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selam hamil, saat
melahirkan ataupun setelah melahirkan. Infeksi HIV kadang-kadang ditularkan ke bayi
melalui air susu ibu (ASI). Saat ini belum diketahui dengan pasti frekuensi kejadian
seperti ini atau mengapa hanya terjadi pada beberapa bayi tertentu tetapi tidak pada bayi
yang lain. Di ASI terdapat lebih banyak virus HIV pada ibu-ibu yang baru saja terkena
infeksi dan ibu-ibu yang telah memperlihatkan tanda-tanda penyakit AIDS. Setelah 6
bulan, sewaktu bayi menjadi lebih kuat dan besar, bahaya diare dan infeksi menjadi lebih
baik. ASI dapat diganti dengan susu lain dan memberikan makanan tambahan. Dengan
cara ini bayi akan mendapat manfaat ASI dengan resiko lebih kecil untuk terkena HIV.2,4
Gejala Klinis
Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu.
a. Penderita asimtomatik, tanpa gejala, yang terjadi pada masa inkubasi yang berlangsung
antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya.
b. Persistent Generalized Lymphadenopathy (PGL) dengan gejala limfadenopati umum.
c. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam dan gangguan sistem imun
atau kekebalan.
d. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang berat berupa
diare kronis, pneumonitis interstitial, hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral
yang disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya Sarkoma Kaposi.
Penderita akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder.4
Diagnosis HIV/AIDS
Gejala klinis khas HIV adalah sebagai berikut.
1. HIV stadium 1 : asimtomatis atau terjadi PGL.
4
2. HIV stadium 2 : berat badan menurun lebih dari 10%, ulkus atau jamur di mulut,
menderita herpes zoster 5 tahun terakhir, sinusitis rekuren.
3. HIV stadium 3 : berat badan menurun lebih dari 10%, diare kronis dengan sebab tak jelas
lebih dari 1 bulan.
4. HIV stadium 4 : berat badan menurun lebih dari 10%, gejala-gejala infeksi
pneumosistosis, TBC, kriptokokosis, herpes zoster dan infeksi lainnya sebagai
komplikasi turunnya sistem imun (AIDS). Lain-lain untuk menentukan diagnosis pasti
HIV/AIDS, virus penyebabnya dapat diisolasi dari limfosit darah tepi atau dari sumsum
tulang penderita.
Menurut kriteria WHO, gejala klinis AIDS untuk penderita dewasa meliputi minimum 2
gejala mayor dan 1 gejala minor.
Gejala mayor
a. Berat badan menurun lebih dari 10%.
b. Diare kronis lebih dari 1 bulan.
c. Demam lebih dari 1 bulan.
Gejala minor
a.
b.
c.
d.
e.
Batuk lebih dari 1 bulan.
Pruritus dermatitis menyeluruh.
Infeksi umum rekuren misalnya herpes zoster atau herpes simpleks.
Limfadenopati generalisata.kandidiasis mulut dan orofaring.
Ibu menderita AIDS (kriteria tambahan untuk AIDS anak). Ibu membantu menegakkan
diagnosis, dilakukan pemeriksaan serologi untuk menentukan antibodi terhadap HIV
dengan uji ELISA, uji imunofluoresens, radioimmunopreciptin assay dan pemeriksaan
western blot.4
ELISA
ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay), tes ini mendeteksi antibodi yang dibuat tubuh
terhadap virus HIV. Antibodi tersebut biasanya diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan
setelah minggu ke 12 setelah terpapar virus HIV. Kerena alasan inilah maka para ahli
menganjurkan pemeriksaan ELISA dilakukan setelah minggu ke 12 sesudah melakukan
aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA
dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau air kencing.
Saat ini telah tersedia Tes HIV Cepat (Rapid HIV Test). Pemeriksaan ini sangat mirip dengan
ELISA. Ada dua macam cara yaitu menggunakan sampel darah jari dan air liur. Hasil positif
pada ELISA belum memastikan bahwa orang yang diperiksa telah terinfeksi HIV. Masih
5
diperlukan pemeriksaan lain, yaitu Western Blot atau IFA, untuk mengkonfirmasi hasil
pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun ELISA menunjukkan hasil positif, masih ada dua
kemungkinan, orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau betul-betul telah terinfeksi
HIV.
Western Blot
Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Western
blot menjadi tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih
spesifik, sehingga kasus 'yang tidak dapat disimpulkan' sangat kecil. Walaupun demikian,
pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian lebih dalam melakukannya.
IFA
IFA atau indirect fluorescent antibody juga meurupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA
positif. Seperti halnya dua pemeriksaan diatas, IFA juga mendeteksi antibodi terhadap HIV.
Salah satu kekurangan dari pemeriksaan ini adalah biayanya sangat mahal.
PCR Test
PCR atau polymerase chain reaction adalah uji yang memeriksa langsung keberadaan virus
HIV di dalam darah. Tes ini dapat dilakukan lebih cepat yaitu sekitar seminggu setelah
terpapar virus HIV. Tes ini sangat mahal dan memerlukan alat yang canggih. Oleh karena itu,
biasanya hanya dilakukan jika uji antibodi diatas tidak memberikan hasil yang pasti. Selain
itu, PCR test juga dilakukan secara rutin untuk uji penapisan (screening test) darah atau organ
yang akan didonorkan.
Epidemiologi HIV-AIDS
AIDS pertama dikenal sebagai gejala entitas klinis yang aneh pada tahun 1981, namun secara
retrospektif dapat dilacak kembali bahwa kasus AIDS secara terbatas telah muncul selama
tahun 1970-an di AS dan di beberapa bagian di dunia (Haiti, afrika, eropa). Akhir tahun 1999,
lebih dari 700.000 kasus AIDS dilaporkan di AS. Walaupun AS tercatat mempunyai kasus
AIDS terbesar, estimasi kumulatif dan angka tahunan AIDS di Negara-negara Sub- Sahara
Afrika ternyata jauh lebih tinggi. Di seluruh dunia, WHO memperkirakan lebih lebih dari 13
juta kasus (dan sekitar 2/3 nya Negara-negara Sub-Sahara Afrika) terjadi pada tahun 1999.Di
AS, distribusi kasus AIDS disebabkan oleh “risk behavior” yang berubah pada dekade waktu
yang lalu. Walaupun wabah AIDS di AS terutama terjadi pada pria yang berhubungan sex
dengan pria, angka pertambahan terbesar di laporkan pada pertengahan tahun 1990-an terjadi
6
diantara wanita dan populasi minoritas. Pada tahun 1993 AIDS muncul sebagai penyebab
kematian terbesar pada penduduk berusia 25-44 tahun, tetapi turun ke urutan kedua sesudah
kematian yang disebabkan oleh kecelakaan pada tahun 1996. Namun infeksi HIV tetap
merupakan kasus tertinggi penyebab kematian pada pria dan wanita kulit hitam berusia 25-44
tahun. Penurunan insidens dan kematian karena AIDS di Amerika Utara sejak pertengahan
tahun 1990 antara lain karena efektifnya pengobatan antiretroviral, disamping upaya
pencegahan dan evolusi alamiah dari wabah juga berperan. HIV/AIDS yang dihubungkan
dengan penggunaan jarum suntik terus berperan dalam wabah HIV terutama dikalangan kaum
minoritas kulit berwarna di AS. Penularan heteroseksual dari HIV di AS meningkat secara
bermakna dan menjadi pola predominan dalam penyebaran HIV di Negara-negara
berkembang. Kesenjangan besar
dalam mendapatkan terapi antiretroviral antara Negara
berkembang dan Negara maju di ilustrasikan dengan menurunnya kematian karena AIDS
pertahun di semua Negara maju sejak pertengahan tahun 1990-an dibandingkan dengan
meningkatnya kematian karena AIDS pertahun di sebagian besar Negara berkembang yang
mempunyai prevalensi HIV yang tinggi.Di AS dan Negara-negara barat, insidens HIV
pertahunnya menurun secara bermakna sebelum pertengahan tahun 1980-an dan tetap relative
rendah sejak itu. Namun, di beberapa Negara sub-Sahara Afrika yang sangat berat kena
penyakit ini, insiden HIV tahunan yang tetap tinggi hamper tidak teratasi sepanjang tahun
1980 dan 1990-an. Negara-negara di luar Sub-Sahara Afrika, tingginya prevalensi HIV (lebih
dari 1%) pada populasi usia 15-49 tahun, ditemukan di Negara-negara Karibia, Asia Selatan
dan Asia Tenggara. Dari sekitar 33,4 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS pada tahun
1999 diseluruh dunia 22,5 juta diantaranya ada di Negara-negara sub Sahara Afrika dan 6,7
juta ada di Asia Selatan dan Asia Tenggara, 1,4 juta ada di Amerika latin dan 665.000 di AS.
Diseluruh dunia AIDS menyebabkan 14 juta kematian, termasuk 2,5 juta di tahun 1998. HIV1 adalah yang paling tinggi, HIV-2 hanya ditemukan paling banyak di Afrika Barat dan di
Negara lain secara epidemiologis berhubungan dengan Afrika Barat.5
Manajemen dan Administrasi Puskesmas
Dalam usaha melaksanankan program-program atau dimana saja pusat kesehatan harus
dimulai dengan manajemen atau administrasi. Manajemen adalah ilmu dan seni tentang
bagaimana menggunakan sumber daya secara efisien, efektif dan rasional untuk mencapai
tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Tiga prinsip pokok penerapan
manajemen adalah; Efisien, dalam pemanfaatan sumbernya; Efektif, dalam memilih alternatif
7
kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi; Rasional, dalam pengambilan keputuan
manajerial
Proses manajemen dapat dikaji dari proses pemecahan masalah yang dikembangkan oleh
semua unit kerja di dalam organisasi. Langkah praktisnya terdiri dari identifikasi (perumusan)
masalah dan langkah – langkah pemecahannya. Untuk itu diperlukan penguasaan teknikteknik identifikasi masalah dan pemilihan alternatif terbaik pemecahan masalah (analisis
situasi). Untuk menganalisis masalah kesehatan masyarakat seorang manajemen puskesmas
dapat menggunakan ;Pendekatan epidemiologi; Prinsip – prinsip public health; Kedokteran
pencegahan; Paradigma hidup sehat; dan Analisis sistem.
Sedangkan administrasi adalah proses penyelenggaraan kerja yang dilakukan secara bersamasama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Administrasi baik dalam pengertian luas
maupun sempit didalam penyelenggaraannya diwujudkan melalui fungsi-fungsi manajemen,
yang terdiri dari prencanaan, perorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan.
Masukan merupakan suatu struktur yang berupa sumber daya manusia (man), dana (money),
sarana fisik perlengkapa dan peralatan (material), organisasi dan manajemen (method).
Proses meliputi perencanaan, perorganisasian, pelaksanaan, pencatatan, dan pelaporan, serta
pengawasan.
Perencanaan merupakan proses penyusunan rencana tahuan Puskesmas untuk mengatasi
masalah kesehatan di wilayah kerja Puskesmas. Perencana akan memberikan pola pandang
secara menyeluruh terhadap semua pekerjaan yang akan dijalankan, siapa yang akan
melakukan dan kapan akan dilakukan. Puskesmas merupakan unit pelaksana pelayanan
kesehatan masyarakat tingkat 1 yang dibina oleh DKK, yang bertanggung kawab untuk
melaksanakan identifikasi kondisi maslah kesehatan masyarakat dan lingkungan serta
fasilitas pelayanan kesehatan meliputi cakupan mutu pelayanan, identifikasi mutu sumber
daya manusia dan provider, serta menetapkan kegiatan untuk menyelesaikan masalah.
Perencanaan meliputi kegiatan program dan kegiatan rutin puskesmas yang berdasarkan visi
dan misi puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan primer dimana visi dan misi
digunakan sebagai acuan dalam melakukan setiap kegiatan pokok puskesmas.
Budgeting dalam perencanaan manajemen keuangan dikelola sendiri oleh puskesmas sesuai
tatacara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan. Adapun sumber biaya didapatkan
dari pemerintah daerah, retribusi puskesamas, swasta ataupun lembaga sosial masyarakat dan
pemerintah yang ditujukan untuk jenis pembiayaan layanan kesehatan yang mempunyai ciri8
ciri barang atau jasa publik seperti penyuluhan kesehatan, perbaikan gizi, dan pelayanan
kesehatan.
Pengorganisasian, Dinas Kesehatan Kota mempunyai tugas untuk menentukan menetapkan
struktur organisasi puskesmas dengan pertimbangan sebagai fasilitas pelayanan kesehatan
masyarakat tingkat 1. Pada organisasi meliputi kepala, wakil kepala, unit tata usaha, unit
fungsional agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pelaksaaan kegiatan yang nantinya akan
berpengaruh terhadap kualitas program yang ditangani.Struktur organisasi puskesmas: Unsur
pimpinan yaitu kepala Puskesmas; Unsur pembantu pimpinan yaitu Tata usaha; Unsur
pelaksana yaitu Unit I, II, III, IV, VI, VII.
Pelaksanaan merupakan fungsi penggerak semua kegiatan yang telah dituangkan dalam
fungsi pengorganisasian untuk mencapai tujuan organisasi yang telah dirumuskan pada fungsi
perencanaan. Fungsi manajemen ini lebih menekankan tentang bagaimana manajer
mengarahkan dan menggerakkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah
disepakati. Dalam menggerakan dan mengarahkan sumber daya manusia dalam suatu
organisasi, peranan pemimpin, motivasi staf, kerjasama dan komunikasi antar staf merupakan
hal-hal pokok yang perlu diperhatikan oleh seorang manajer.
Secara praktis fungsi pelaksanaan ini merupakan usaha untuk menciptakan iklim kerjasama
diatara staf pelaksana program sehingga tujuan organisasi tercapai secara efektif dan efisien.
Fungsi pelaksaan ini haruslah dimulai dari manajer, dimana manajer harus menunjukan
kepada stafnya bahwa ia mempunyai tekad untuk mencapai kemajuan dan peka terhadap
lingkungannya. Ia harus mempunyai kemampuan bekerjasama denga orang lain secara
harmonis.
Pengawasan (controling) dalam manajemen puskesmas merupakan fungsi terakhir yang
berkait erat dengan fungsi manajemen yang lainnya. Melalui fungsi pengewasan dan
penegendalian, standar keberhasilan selalu dibandingkan dengan hasil yang telah dicapai atau
yang mampu dikerjakan. Jika ada penyimpangan maka diupayakan dapat terdeteksi sacara
dini, dicegah, dikendali atau dikurangi. Tindakan pengewasan ini bertujuan agar efisiensi
penggunaan sumber daya dapat lebih berkembang, dan efektifitas tugas-tugas staf untuk
mencapai tujuan program dapat lebih terjamin.
Tiga langkah untuk melakukan pengawasan: Mengukur hasil yang telah dicapai;
Membandingkan hasil yang dicapai dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya;
Memperbaiki penyimpangan yang dijumpai berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya
9
penyimpangan. Jika ditemukan penyimpngan maka pimpinan lebih dulu berusaha untuk
mencari faktor penyebabnya dan mengatasinya.
Keluaran adalah hasil akhir dari kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap
pasien atau terhadap suatu program yang dilaksanakan.Sasaran merupakan golongan yang
menjadi tumpuan terhadap pelaksanaan suatu program yang direncanakan. Sasaran dapat
berupa perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat.
Dampak adalah hasil dari pelaksaan yang dijadikan indikator apakah kebutuhan dan tuntutan
kelompok sasaran terpenuhi atau tidak. Dampak merupakan indikator yang sulit untuk dinilai.
Umpan balik, merupakan hasil dari keluaran yang menjadi masukan dari suatu sistem.
Lingkungan fisik (faktor kesulitan geografis, iklim, transport, dan lain-lain) dan non fisik
(sosial budaya, tingkat pendapatan ekonomi masyarakat, pendidikan masyarakat, dan lainlain).6,7
Strategi dan Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan adalah proses pemberdayaan masyarakat agar mampu memelihara dan
meningkatkan kesehatannya. Proses pemberdayaan dilakukan dengan pembelajaran yaitu
upaya untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam bidang kesehatan
Proses pemberdayaan dilakukan: dari, oleh dan untuk masyarakat, melalui kelompok
potensial, bahkan semua komponen masyarakat Proses pemberdayaan dilakukan sesuai
dengan sosial budaya setempat, artinya sesuai dengan keadaan, permasalahan dan potensi
setempat Proses pembelajaran dibarengi dengan upaya mempengaruhi lingkungan, baik fisik,
non fisik, maupun kebijakan.
Menurut Depkes RI (2005), kebijakan Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan 3
strategi dasar promosi kesehatan, yaitu: Gerakan pemberdayaan adalah proses pemberian
informasi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran,
serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tahu menjadi tahu atau
sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mahu (aspek attitude), dan dari mau menjadi
mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice). Sasaran utama
pemberdayaan adalah indivisu dan keluarga, serta kelompok masyarakat;
Bina suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong
individu anggota masyarakat mau melakukan perilaku yang diperkenalkan. Seseorang akan
terdorong untuk melakukan sesuatu apabila lingkungan social di mana pun dia berada
memiliki opini positif terhadap perilaku tersebut. Terdapat 3 pendekatan suasana : Bina
10
suasana individu ditujukan kepada individu-individu tokoh masyarakat; Bina suasana
kelompok ditujukan kepada kelompok masyarakat seperti Kepala Lingkungan, majelis
pengajian, organisasi pemuda dan lain-lain; Bina suasana masyarakat dilakukan terhadap
masyarakat umum dengan membina dan memanfaatkan media-media komunikasi.
Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis atau terencana untuk mendapatkan
komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders). Advokasi diarahkan
untuk mendapatkan dukungan yang berupa kebijakan, dana, sarana dan lain-lain.
Stakeholders yang dimaksudkan bisa berupa tokoh masyarakat formal yang umumnya
berperan sebagai penentu kebijakan pemerintah dan penyandang dana pemerintah, tokoh
agama, tokoh adat dan lain-lain.
Kemitraan harus digalang dalam rangka pemberdayaan maupun bina suasana dan advokasi
guna membangun kerjasama dan mendapatkan dukungan. Dengan demikian kemitraan perlu
digalang antar individu, keluarga, pejabat atau instansi pemerintah yang terkait dengan urusan
kesehatan (lintas sektor), pemuka atau tokoh masyarakat, media massa dan lain-lain.8
Surveilans
Surveilans HIV/AIDS adalah metode untuk mengetahui tingkat masalah melalui
pengumpulan data yang sistematis dan terus menerus terhadap distribusi dan kecenderungan
infeksi HIV dan penyakit terkait lainnya. Tujuan surveilans HIV/AIDS adalah untuk
memperoleh gambaran epidemiologi tentang infeksi HIV/AIDS di Indonesia untuk keperluan
perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan program.
Manfaat Surveilans HIV/AIDS: Melakukan pengamatan dini yaitu Sistem Kewaspadaan Dini
(SKD) HIV/AIDS di Puskesmas dan unit pelayanan kesehatan lainnya dalam rangka
mencegah Kejadian Luar Biasa (KLB) HIV/AIDS; Dapat menjelaskan pola penyakit
HIV/AIDS yang sedang berlangsung yang dapat dikaitkan dengan tindakan –
tindakan/intervensi kesehatan masyarakat.
Contoh kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut, deteksi perubahan akut dari penyakit
HIV/AIDS yang terjadi dan distribusinya; Identifikasi dan perhitungan trend dan pola
penyakit HIV/AIDS; Identifikasi dan faktor risiko dan penyebab lainnya, seperi vektor yang
sebabkan HIV: Deteksi perubahan pelayanan kesehatan.8
Konsep Surveilans HIV dan AIDS
11
Prosedur pemeriksaan darah untuk penderita AIDS adalah yang pertama harus mengisi
informed consent yang artinya ketersediaan subjek untuk diambil darahnya kemudian
diberikan konseling sebelum serta sesudah test terhadap subjek dan yang terpenting harus
rahasia agar subjek yag diambil darahnya merasa nyaman dan tidak timbul rasa khawatir
misalnya tidak di beri nama bisa langsung nama kota atau nama samara saja.
Cara pencatatan kasus surveilans AIDS yaitu yang pertama malakukan pemeriksaan fisik
terhadap penderita yang mencurigakan terkena AIDS seperti terdapat 2 tanda mayor serta 1
tanda minor, kedua yaitu pemeriksaan laboratorium untuk menguatkan dugaan terhadap
penderita, selanjutnya pemeriksaan laboratorium akan menghasilkan data apakah penderita
positif AIDS atau tidak. Apabila penderita positif menderita AIDS maka wajib mengisi
formuir penderita AIDS agar semua kasus dapat dilaporkan baik yang sudah meninggal atau
yang masih hidup, untuk yang sudah meninggal meskipun sebelumnya sudah lapor pada saat
meninggal juga wajib lapor, karena penguburan mayat positif AIDS berbeda dengan yang
biasa.
Pelaporan kasus surveilans AIDS yaitu dengan menggunakan formulir dari laporan penderita
positif AIDS yang kemudian laporan kasus ini dikirim secepatnya tanpa menunggu suatu
periode waktu dan harus dilaporkan pada saat menemukan penderita positif AIDS bisa
melalui fax atau email untuk sementara tetapi kemudian disusul dengan data secara tertulis.8
Program puskesmas untuk HIV/AIDS
Voluntary, Counseling and Test adalah proses konseling pra testing, konseling post testing,
dan testing HIV secara sukarela yang bersifat confidental dan secara lebih dini membantu
orang mengetahui status HIV. Dalam tahapan VCT, konseling dilakukan dua kali yaitu
sebelum dan sesudah tes HIV. Pada tahap pre konseling dilakukan pemberian informasi
tentang HIV dan AIDS, cara penularan, cara pencegahan dan periode jendela. Kemudian
konselor melakukan penilaian klinis. Pada saat ini klien harus jujur menceritakan kegiatan
yang beresiko HIV/AIDS seperti aktivitas seksual terakhir, menggunakan narkoba suntik,
pernah menerima produk darah atau organ, dan sebagainya. Konseling pra testing
memberikan pengetahuan tentang manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan
perencanaan atas issue HIV yang dihadapi.
Setelah tahap pre konseling, klien akan melakukan tes HIV. Pada saat melakukan tes, darah
akan diambil secukupnya dan pemeriksaan darah ini bisa memakan waktu antara setengah
jam sampai satu minggu tergantung metode tes darahnya. Dalam tes HIV, diagnosis
12
didasarkan pada antibodi HIV yang ditemukan dalam darah. Tes antibodi HIV dapat
dilakukan dengan tes ELISA, Westren Blot ataupun Rapid. Setelah klien mengambil hasil
tesnya, maka klien akan menjalani tahapan post konseling.
Apabila hasil tes adalah negatif (tidak reaktif) klien belum tentu tidak memiliki HIV karena
bisa saja klien masih dalam periode jendela, yaitu periode dimana orang yang bersangkutan
sudah tertular HIV tapi antibodinya belum membentuk sistem kekebalan terhadap HIV. Klien
dengan periode jendela ini sudah bisa menularkan HIV. Kewaspadaan akan periode jendela
itu tergantung pada penilaian resiko pada pre konseling. Apabila klien mempunyai faktor
resiko terkena HIV maka dianjurkan untuk melakukan tes kembali tiga bulan setelahnya.
Selain itu, bersama dengan klien, konselor akan membantu merencanakan program
perubahan perilaku.
Apabila pemeriksaan pertama hasil tesnya positif (reaktif) maka dilakukan pemeriksaan
kedua dan ketiga dengan ketentuan beda sensitifitas dan spesifisitas pada reagen yang
digunakan. Apabila tetap reaktif klien bebas mendiskusikan perasaannya dengan konselor.
Konselor juga akan menginformasikan fasilitas untuk tindak lanjut dan dukungan. Misalnya,
jika klien membutuhkan terapi ARV ataupun dukungan dari kelompok sebaya. Selain itu,
konselor juga akan memberikan informasi tentang cara hidup sehat dan bagaimana agar tidak
menularkannya ke orang lain.
Pemeriksaan dini terhadap HIV/AIDS perlu dilakukan untuk segera mendapat pertolongan
kesehatan sesuai kebutuhan bagi mereka yang diidentifikasi terinfeksi karena HIV/AIDS
belum ditemukan obatnya, dan cara penularannya pun sangat cepat. Memulai menjalani VCT
tidaklah perlu merasa takut karena konseling dalam VCT dijamin kerahasiaannya dan tes ini
merupakan suatu dialog antara klien dengan petugas kesehatan yang bertujuan agar orang
tersebut mampu untuk menghadapi stress dan membuat keputusan sendiri sehubungan
dengan HIV/AIDS.8,9
Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB)
Dalam rangka melaksanakan program pencegahan dan penangulangan HIV-AIDS, Konsep
Layanan yang komprehensif dan Berkesinambungan di gagas oleh Kementerian Kesehatan
melalui upaya-upaya promotif, preventif kuratif, dan rehabilitatif agar Masyarakat yang
belum terinfeksi tidak tertular HIV-AIDS. Bagi Masyarakat yang sudah terinfeksi dapat
meningkatkan kualitas hidupnya di masa yang akan datang. Secara teknis upaya-upaya
tersebut dilakukan dengan menyediakan layanan HIV yang komprehensif atau paripurna
13
sejak terjadi kasus HIV-AIDS di rumah/komunitas hingga ke layanan kesehatan seperti
Puskesmas/Rumah Sakit. Baik selama perjalanan infeksi HIV sampai dengan si pasien dapat
kembali lagi ke rumah.
Dalam implementasinya LKB ini harus melibatkan seluruh pihak baik pemerintah, swasta,
maupun masyarakat (kader, LSM, kelompok dampingan sebaya, tokoh masyarakat dan tokoh
lainnya). Dari konsep-konsep tentang LKB diatas, dapat dipahami sebenarnya program LKB
ini merupakan suatu bentuk integrasi upaya penanggulangan HIV AIDS dalam kerangka
Sistem Kesehatan Nasional.
Konseling dan Tes HIV, layanan ini sebenarnya telah dilaksanakan sebelum program Layanan
Komprehensif Berkesinambungan. Puskesmas melalui klinik HIV IMS-nya memberikan
layanan Konseling dan Tes HIV secara sukarela (KTS) pada masyarakat yang datang secara
sukarela dan meminta untuk diberikan konseling tentang HIV/AIDS dan melakukan
pemeriksaan tes HIV. Dengan LKB ini, Puskesmas tidak hanya memberikan layanan KTS
tadi tetapi juga petugas kesehatan di Puskesmas dapat menawarkan konseling dan tes HIV
atas inisiatifnya bila mencurigai pasien tersebut, ini yang disebut KTIP (Konseling dan Test
HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan) yaitu petugas kesehatan yang ada di poli-poli
Puskesmas dapat menawarkan layanan ini ke pasien yang datang baik di Poli Gigi, Poli
Dewasa, Poli Lansia, Poli KIA-KB dan Poli Obgin yang ada di Puskesmas. Anjuran tes HIV
ini terutama ditujukan pada ibu hamil, pasien IMS, pasien TB, pasangan ODHA, pasien
hepatitis. Setelah mengetahui hasil tes, maka terhadap pasien tersebut diberikan konseling
pasca tes oleh konselor Puskesmas untuk mendapatkan layanan Perawatan, Dukungan dan
Pengobatan (PDP). Bagi populasi kunci yang hasil tes HIV-nya masih negatif, maka dapat
dilakukan tes ulang minimal setiap 6 bulan.
Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP), sebagai tindak lanjut terhadap hasil tes HIV
pemberian ARV dapat langsung diberikan tanpa memandang jumlah CD4nya kepada mereka
yang HIV (+) yaitu pada ibu hamil, pasien koinfeksi TB, pasien koinfeksi Hepatitis B dan C,
ODHA yang pasangan tetapnya memiliki status HIV (-) dan tidak menggunakan kondom
secara konsisten.
Puskesmas akan bekerjasama dengan LSM atau Kelompok Dampingan Sebaya (KDS) untuk
memberikan layanan konseling, pendampingan, perawatan dan untuk memastikan kepatuhan
pasien dalam minum obat seumur hidup dengan memberikan pendampingan terutama pada
awal pengobatan, serta memberikan dukungan yang tepat dari keluarga, komunitas, kelompok
14
dukungan sebaya dan layanan kesehatan.Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)
layanan ini mencakup pelayanan ANC dan melakukan tes HIV bagi ibu hamil
Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS), puskesmas bekerjasama dengan
LSM/KDS dalam memberikan layanan konseling untuk perubahan perilaku dan penyediaan
kondom dan pelicin. LSM yang terlibat antara lain GSM dengan kelompok dampingan pada
waria, LSL dan pelanggan, H2O dengan kelompok dampingan pada WPS dan pelanggan,
Medan Plus dengan kelompok dampingan waria dan ODHA.
Program Terapi Rumatan Metadon, layanan ini dilaksanakan dalam rangka mengurangi risiko
penularan HIV melalui penggunaan jarum suntik pada kelompok Penasun. Pencandu obat
opiat yang menggunakan jarum suntik akan beralih meminum obat dan secara perlahan-lahan
diharapkan dapat terlepas dari kecanduan obat.
Dukungan sosial dan ekonomi, layanan ini tersedia dengan baik, dimana kerjasama lintas
sektoral Dinas Kesehatan/Puskesmas dengan pihak swasta maupun SKPD terkait belum
terimplementasi dengan baik terutama dalam anggaran yang mendukung program
penanggulangan HIV AIDS. Dukungan pada kelompok ODHA dan keluarganya misalnya
dengan memberikan pelatihan ketrampilan, hibah untuk modal usaha, yang seyogyanya dapat
melibatkan Dinas Sosial dan CRS dari pihak swasta belum terealisasi. Demikian juga
kerjasama dengan SKPD lainnya seperti Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata, dan Dinas
Perhubungan masih sebatas komitmen menyokong kegiatan Dinas Kegiatan.7,8
Sistem Pencatatan dan Pelaporan Tingkat Puskesmas (SP2TP)
SP2TP adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan data umum, sarana, tenaga dan upaya
pelayanan kesehatan di Puskesmas yang bertujuan agar didapatnya semua data hasil kegiatan
Puskesmas (termasuk Puskesmas dengan tempat tidur, Puskesmas Pembantu, Puskesmas
keliling, bidan di Desa dan Posyandu) dan data yang berkaitan, serta dilaporkannya data
tersebut kepada jenjang administrasi diatasnya sesuai kebutuhan secara benar, berkala dan
teratur, guna menunjang pengelolaan upaya kesehatan masyarakat. Tujuan Sistem Informasi
Manajemen di Puskesmas adalah untuk meningkatkan kualitas manajemen Puskesmas secara
lebih berhasil guna dan berdaya guna, melalui pemanfaatan secara optimal data SP2TP dan
informasi lain yang menunjang.
Pelaporan terpadu Puskesmas menggunakan tahun kalender yaitu dari bulan Januari sampai
dengan Desember dalam tahun yang sama. Adapun formulir Laporan yang digunakan untuk
kegiatan SP2TP adalah: 1) Laporan bulanan, yang mencakup: Data Kesakitan (LB.1), Data
15
Obat-Obatan (LB.2), Gizi, KIA, Imunisasi dan Pengamatan Penyakit menular (LB.3) serta
Data Kegiatan Puskesmas (LB.4); 2) laporan Sentinel, yang mencakup: Laporan Bulanan
Sentinel (LB1S) dan, Laporan Bulanan Sentinel (LB2S); 3) Laporan Tahunan, yang
mencakup: Data dasar Puskesmas (LT-1), Data Kepegawaian (LT-2) dan, Data Peralatan (LT3).
Ada juga jenis laporan lain seperti laporan triwulan, laporan semester dan laporan tahunan
yang mencakup data kegiatan progam yang sifatnya lebih komprehensif disertai penjelasan
secara naratif. Yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan semua jenis data yang telah
dibuat dalam laporan sebagai masukan atau input untuk menyusun perencanaan puskesmas
(micro planning) dan lokakarya mini puskesmas (LKMP).
Analisis data hasil kegiatan progam puskesmas akan diolah dengan menggunakan statistic
sederhana dan distribusi masalah dianalisis menggunakan pendekatan epidemiologis
deskriptif. Data tersebut akan disusun dalam bentuk table dan grafik informasi kesehatan dan
digunakan sebagai masukkan untuk perencanaan pengembangan progam puskesmas. Data
yang digunakan dapat bersumber dari pencatatan masing-masing kegiatan progam kemudian
data dari pimpinan puskesmas yang merupakan hasil supervisi lapangan. Dinas kesehatan
kabupaten/kota mengolah kembali laporan puskesmas dan mengirimkan umpan baliknya ke
Dinkes Provinsi dan Depkes Pusat. Feed back terhadap laporan puskesmas harus dikirimkan
kembali secara rutin ke puskesmas untuk dapat dijadikan evaluasi keberhasilan program.
Sejak otonomi daerah mulai dilaksanakan, puskesmas tidak wajib lagi mengirimkan laporan
ke Depkes Pusat. Dinkes kabupaten/kotalah yang mempunyai kewajiban menyampaikan
laporan rutinnya ke Depkes Pusat.8
Sistem Rujukan Difusi
Sistem rujukan di Indonesia dibedakan atas 2 jenis yaitu rujukan medis dan rujukan
kesehatan. Rujukan medis adalah upaya rujukan kesehatan yang dapat bersifat vertikal,
horizontal atau timbal balik yang terutama berkaitan dengan upaya penyembuhan dan
rehabilitasi serta upaya yang bertujuan mendukungnya. Rujukan kesehatan adalah rujukan
upaya kesehatan yang bersifat vertikal dan horisontal yang terutama berkaitan dengan upaya
peningkatan dan pencegahan serta upaya yang mendukungnya. Sistem rujukan medis di
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta mencakup 3 (tiga) aspek pelayanan medis yaitu
16
rujukan pasien, rujukan spesimen/penunjang diagnostik lainnya dan rujukan pengetahuan.
Sistem rujukan di puskesmas dapat dilaksanakan secara horisontal, vertikal atau keduaduanya dari tingkat bawah ke tingkat yang lebih tinggi.
Pelayanan kesehatan telah tersedia pada semua tingkatan mulai dari tingkat dasar seperti
klinik pratama / klinik utama, puskesmas pembantu, puskesmas dan dokter praktek swasta /
bidan praktek swasta sampai ke tingkat yang lebih tinggi seperti rumah sakit. Apabila klinik
pratama / klinik utama, puskesmas Kelurahan, puskesmas, atau dokter praktek swasta/bidan
praktek swasta menerima atau merawat kasus gawat darurat atau non gawat darurat (penyakit
kronis) dan tidak berwenang atau tidak mampu memberikan penanganan medis tertentu atau
pelayanan kesehatan penunjang, maka harus merujuk pasien tersebut kepada fasilitas
kesehatan yang lebih mampu, misalnya rumah sakit pemerintah/swasta atau fasilitas
kesehatan terdekat dan merupakan fasilitas kesehatan rujukan.6,7
Kerja Sama Pemerintah Puskesmas
Pengembangan kemitraan di bidang kesehatan secara konsep terdiri 3 tahap yaitu: Tahap
pertama adalah kemitraan lintas program di lingkungan sektor kesehatan sendiri; Tahap kedua
kemitraan lintas sektor di lingkungan institusi pemerintah dan; Tahap ketiga adalah
membangun kemitraan yang lebih luas, lintas program, lintas sektor.6,7
Kerja Sama Lintas Program
Kerja sama lintas program merupakan kerja sama yang dilakukan antara beberapa program
dalam bidang yang sama untuk mencapai tujuan yang sama. Kerja sama lintas program yang
diterapkan di puskesmas berarti melibatkan beberapa program terkait yang ada di puskesmas.
Tujuan khusus kerja sama lintas program adalah untuk menggalang kerja sama dalam tim dan
selanjutnya menggalang kerja sama lintas sektoral.
Contoh keterpaduan lintasprogram antara lain: Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS):
keterpaduan KIA dengan P2M, gizi, promosi kesehatan, pengobatan;Upaya Kesehatan
Sekolah (UKS); keterpaduan kesehatan lingkungan dengan promosi kesehatan, pengobatan,
kesehatan gigi, kesehatan reproduksi remaja dan kesehatan jiwa.6,7
Kerja Sama Lintas Sektor
Kerja sama lintas sektor melibatkan dinas dan orang-orang di luar sektor kesehatan yang
merupakan usaha bersama mempengaruhi faktor yang secara langsung atau tidak langsung
terhadap kesehatan manusia. Prinsip kerja sama lintas sektor melalui pertalian dengan
17
program di dalam dan di luar sektor kesehatan untuk mencapai kesadaran yang lebih besar
terhadap konsekuensi kesehatan dari keputusan kebijakan dan praktek organisasi sektorsektor yang berbeda.
Kerja sama lintas sektor harus dilakukan sejak perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan
dan pengendalian, sampai pada pengawasan dan penilaiannya. Terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi kerjsasama lintas sektor penganggulangan yang meliputi anggaran, peraturan,
komunikasi, komitmen, peran, dan tanggung jawab. Masalah anggaran sering membuat
beberapa institusi membentu kerja sama. Pengendalian melalui manajemen lingkungan
memerlukan kejelasan yang efektif antara sektor klinis, kesehatan lingkungan, perencanaan
pemukiman, institusi akademis, dan masyarakat setempat.
Dalam pengembangan kemitraan di bidang kesehatan terdapat tiga institusi kunci organisasi
atau unsur pokok yang terlibat di dalamnya, yaitu: Unsur pemerintah, yang terdiri dari
berbagai sektor pemerintah yang terkait dengan kesehatan, antara lain; kesehatan sebagai
sektor kunci, pendidikan, pertanian, kehutanan, lingkungan hidup, industri dan perdagangan,
agama, dan sebagainya.
Unsur swasta atau dunia usaha (private sector) atau kalangan bisnis, yaitu dari kalangan
pengusaha, industriawan, dan para pemimpin berbagai perusahaan. Unsur organisasi nonpemerintah atau non-government organization (NGO), meliputi dua unsur penting yaitu
Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Masyarakat (ORMAS) termasuk
yayasan di bidang kesehatan.
Contoh keterpaduan lintas sektor antara lain; Upaya Kesehatan Sekolah: keterpaduan sektor
kesehatan dengan camat, lurah/kepala desa, pendidikan, agama; Upaya promosi kesehatan:
keterpaduan sektor kesehatan dengan camat, lurah/kepala desa, pendidikan, agama,
pertanian.6,7
Upaya Kesehatan dalam Penyakit HIV AIDS
Promosi Kesehatan, memberikan pendidikan kesehatan tentang HIV AIDS yang meliputi
pengertian HIV AIDS, tanda gejala HIV AIDS, bagaimana cara penularannya virus HIV dari
satu orang ke orang lain. Dengan begitu masyarakat terutama kalangan remaja jelas dan dapat
memahami tentang semua hal tentang HIV AIDS.
Perlindungan Khusus: Penggunaan kondom untuk mencegah penyakit HIV/AIDS; Semua
alat yang menembus kulit dan darah (seperti jarum suntik, jarum tattoo, atau pisau cukur)
harus disterilisasi dengan cara yang benar; Tidak memakai jarum suntik atau alat yang
18
menembus kulit bergantian dengan orang lain; jangan memberikan ASI kepada bayi bila ibu
positif mengidap HIV AIDS; Setia dengan pasangan.
Diagnosa dini dan pengobatan yang cepat dan tepat; Tes reaksi berantai polimerase (PCR)
merupakan teknik deteksi berbasis asam nukleat (DNA dan RNA) yang dapat mendeteksi
keberadaan materi genetik HIV di dalam tubuh manusia. Tes ini sering pula dikenal sebagai
tes beban virus atau tes amplifikasi asam nukleat (HIV NAAT). Deteksi asam nukleat ini
dapat mendeteksi keberadaan HIV pada 11-16 hari sejak awal infeksi terjadi. Tes ini biasanya
digunakan untuk mendeteksi HIV pada bayi yang baru lahir, namun jarang digunakan pada
individu dewasa karena biaya tes PCR yang mahal dan tingkat kesulitan mengelola dan
menafsirkan hasil tes ini lebih tinggi bila dibandingkan tes lainnya.
Untuk mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes antibodi HIV yang
murah dan akurat. Seseorang yang terinfeksi HIV akan menghasilkan antibodi untuk
melawan infeksi tersebut. Tes antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang terbentuk di
darah, saliva (liur), dan urin.
Sejak tahun 2002, telah dikembangkan suatu penguji cepat (rapid test) untuk mendeteksi
antibodi HIV dari tetesan darah ataupun sampel liur (saliva) manusia. Sampel dari tubuh
pasien tersebut akan dicampur dengan larutan tertentu. Kemudian, kepingan alat uji (test
strip) dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif maka akan muncul dua pita
berwarna ungu kemerahan. Tingkat akurasi dari alat uji ini mencapai 99.6%, namun semua
hasil positif harus dikonfirmasi kembali dengan ELISA. Selain ELISA, tes antibodi HIV lain
yang dapat digunakan untuk pemeriksaan lanjut adalah Western blot.
Tes antigen dapat mendeteksi antigen (protein P24) pada HIV yang memicu respon antibodi.
Pada tahap awal infeksi HIV, P24 diproduksi dalam jumlah tinggi dan dapat ditemukan dalam
serum darah. Tes antibodi dan tes antigen digunakan secara berkesinambungan untuk
memberikan hasil deteksi yang lebih akurat dan lebih awal. Tes ini jarang digunakan sendiri
karena sensitivitasnya yang rendah dan hanya bisa bekerja sebelum antibodi terhadap HIV
terbentuk.
Pembatasan Kecacatan, perawatan untuk menghentikan penyakit, pencegahan komplikasi
lebih lanjut, dan memberikan fasilitas yang terbaik untuk mengatasi cacat dan mencegah
kematian.
Sementara ini pengobatan untuk AIDS masih bersifat memperpanjang hidup dan
memperbaiki kualitas hidupnya. Sampai saat ini belum ada obat yang dapat membasmi HIV.
19
Walaupun demikian, akhir-akhir ini terdapat racikan baru yang dapat mengurangi kecepatan
pertumbuhan HIV dan dianggap potensial untuk mengatasi AIDS.
Pemulihan Kesehatan, Kita tahu bahwa HIV AIDS belum ditemukan obatnya, dan HIV AIDS
bisa tertular dengan cara kita berhubungan seksual, memakai jarum bersama, dan lain
sebagainya. Kita dapat memutus rantai virus HIV salah satunya dengan memakai kondom
saat berhubungan, tidak menggunakan jarum suntik bersama. Namun untuk meningkatkan
kualitas hidup ODHA dia harus meminum obat untuk menekan virus HIVdisepanjang
hidupnya. Oleh karena itu kita tidak perlu khawatir tertular bila hanya melakukan kontak
biasa dan tidak perlu menjauhi ODHA dan selalu memberi dukungan dan semangat kepada
ODHA bahwa penyakit tersebut bisa disembuhkan dan berusaha untuk mencoba sembuh dan
memberi semangat bahwa mereka selalu dibutuhkan dikeluarga dan dimasyarakat.2,7
Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan sebelum seseorang terinfeksi HIV. Hal ini diberikan pada
seseorang yang sehat secara fisik dan mental. Pencegahan ini tidak bersifat terapeutik; tidak
menggunakan tindakan yang terapeutik; dan tidak menggunakan identifikasi gejala penyakit.
Pencegahan ini meliputi dua hal, yaitu; peningkatan kesehatan, misalnya: dengan pendidikan
kesehatan reproduksi tentang HIV/AIDS; standarisasi nutrisi; menghindari seks bebas;
secreening, dan sebagainya. Perlindungan khusus, misalnya: imunisasi; kebersihan pribadi;
atau pemakaian kondom.8
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder berfokus pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) agar tidak
mengalami komplikasi atau kondisi yang lebih buruk. Pencegahan ini dilakukan melalui
pembuatan diagnosa dan pemberian intervensi yang tepat sehingga dapat mengurangi
keparahan kondisi dan memungkinkan ODHA tetap bertahan melawan penyakitnya.
Pencegahan sekunder terdiri dari teknik skrining dan pengobatan penyakit pada tahap dini.
Hal ini dilakukan dengan menghindarkan atau menunda keparahan akibat yang ditimbulkan
dari perkembangan penyakit; atau meminimalkan potensi tertularnya penyakit lain.8
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dilakukan ketika seseorang teridentifikasi terinfeksi HIV/AIDS dan
mengalami ketidakmampuan permanen yang tidak dapat disembuhkan. Pencegahan ini terdiri
dari cara meminimalkan akibat penyakit atau ketidakmampuan melalui intervensi yang
bertujuan mencegah komplikasi dan penurunan kesehatan. Kegiatan pencegahan tersier
20
ditujukan untuk melaksanakan rehabilitasi, dari pada pembuatan diagnosa dan tindakan
penyakit. Perawatan pada tingkat ini ditujukan untuk membantu ODHA mencapai tingkat
fungsi setinggi mungkin, sesuai dengan keterbatasan yang ada akibat HIV/AIDS.8
Kesimpulan
Untuk mengatasi masalah dipuskesmas kita perlu memilih prioritas masalah terlebih dahulu,
kemudian menganalisanya, menentukan kesenjangan yang terjadi (input, proses, keluaran,
dan sebagainya) kemudian mencari solusi yang tepat sehingga masalah cakupan program
puskesmas yang tidak terpenuhi dapat terselesaikan. Diperlukan penanganan secara
keseluruhan dalam seluruh lapisan masyarakat karena HIV AIDS bukan hanya masalah
nasional tetapi merupakan masalah global. Dalam hal ini diperlukan kerja sama berbagai
sektor terutama dari pendidikan dan agama.
Daftar Pustaka
1. Chandra B. Kontrol penyakit menular pada manusia. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2011.h.58-9.
2. Info HIV dan AIDS. http://www.aidsindonesia.or.id/contents/37/78/Info-HIV-danAIDS#sthash.oCOQM6mB.dpbs/. Diunduh pada 17 Juli 2016.
3. What is HIV / AIDS. Revisi terakhir pada 14 Juli 2016. https://www.aids.gov/hiv-aidsbasics/hiv-aids-101/what-is-hiv-aids/. Diunduh pada 17 Juli 2016.
4. Soedarto. Penyakit menular di Indonesia. Jakarta: Sagung Seto; 2009.h.195-8.
5. HIV/AIDS. Diunggah pada 1 Juli 2014. http://www.diskes.baliprov.go.id/id/HIVAIDS/. Diunduh pada 17 Juli 2016.
6. Notoadmojo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.h.265-9,2747.
7. Maulana HDJ. Promosi kesehatan. Jakarta: EGC; 2009.h.74-90.
8. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA. Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2005.h.61-70.
9. http://www.aidsindonesia.or.id/elib/uploads/20130819143308.Boklet_VCT_Orange.pdf
. Diunduh pada 17 Juli 2016.
21
Download