akurasi penerjemahan kata khalîfah dan khatâm

advertisement
AKURASI PENERJEMAHAN KATA KHALÎFAH DAN
KHATÂM DALAM WACANA KEAHMADIAHAN
Skripsi
Diajukan kepada fakultas Adab dan Humaniora
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana (S.S)
Sifa Kahfiani
107024001873
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar.
Jakarta, 14 September 2011
Sifa Kahfiani
NIM: 107024001873
i
ii
iii
PRAKATA
Puji Syukur senantiasa Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang
senantiasa melimpahkan begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada Penulis,
sehingga karya ini bisa selesai dan hadir ke hadapan para pembaca. Salawat serta
Salam Cinta senatiasa dilimpahkan kepada teladan alam semesta, Kanjeng
Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat. Semoga kita
mendapatkan “curahan syafa‟atnya” di hari nanti.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas
academica UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama kepada Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dr.
Abdullah Chaer, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi,
MA., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Ahmad
Saehuddin, M.Ag.
Terima kasih yang tak terhingga pula kepada Dr. Abdullah, M.Ag yang
telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi
serta motivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT
senantiasa membalas segala kebaikan Bapak.
Kepada jajaran Dosen Tarjamah : Ibu Karlina Helmanita, M.Ag, Bapak
Syarif Hidayatullah, M.Hum, Bapak Prof. Dr. Syukron Kamil, MA, Bapak Irfan
Abu Bakar, MA, Bapak Drs. A. Syatibi, M.Ag, Bapak Drs. Ikhwan Azizi, MA.
Bapak Ahmad Saehuddin, M.Ag, dan lainya. Terima kasih yang tak terhingga.
Semoga ilmu yang Penulis dapatkan menjadi manfaat di kemudian hari.
iv
Penghormatan serta salam cinta penulis haturkan kepada kedua Orang Tua
Penulis, Ayahanda Jamil Dalih dan Ibunda Ratna Ningsih. Kepada sanak saudara
Penulis yang berada di Bandung maupun di Jakarta telah memberikan bantuan
dan motivasi kepada Penulis, sehingga Penulis bisa menyelesaikan studi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan seperjuangan di
Tarjamah 2007, Hilman, Anhy, Ismhy, dan Anas yang telah membantu penulisan
skripsi ini dan anhy, ismhy, rahma, aisyah yang selalu memotivasi dalam
penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa juga teman-teman yang lain yang telah
memberikan hiburan, candaan, dan telah mengingatkan kekurangan dan
kekhilafan Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, telah berbagi informasi dan
pengalaman mereka sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga
kepada Sahabat karibku Rafika Fitria yang telah banyak memotivasi Penulis, dan
tak terlupakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kakanda Sanjung
Prasetyo yang telah banyak memberikan motivasi, bimbingan serta materil yang
diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta teman-teman
BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh Kakak dan Adik kelas. Penulis
mengahaturkan beribu terima kasih kepada seluruh teman-teman atas pinjaman
reverensinya yang begitu berharga, yang telah mencerahkan dan memberikan
paradigma baru kepada Penulis.
Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi
semuanya. Saran serta kritik konstruksif sangat Penulis butuhkan untuk
interpretasi yang lebih baik lagi.
v
Jakarta, 14 september 2011
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
PERNYATAAN......................................................................................................ii
PERESETUJUAN PEMBIMBING.....................................................................iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN......................................................................iv
PRAKATA..............................................................................................................v
DAFTAR ISI.........................................................................................................vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN................................................ix
ABSTRAK............................................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
Latar Belakang Masalah...............................................................................1
Pembatasan Dan Perumusan Masalah..........................................................6
Tujuan Dan Manfaat Penelitian...................................................................7
Metodologi Penelitian..................................................................................8
Sistematika Penulisan...................................................................................9
BAB II KERANGKA TEORI
A. Gambaran Umum Tentang Penerjemahan.................................................11
1. Definisi Penerjemahan.........................................................................11
2. Jenis Penerjemahan..............................................................................14
3. Tahap-Tahap Penerjemahan.................................................................17
4. Penerjemaan Al-Qur‟an.......................................................................20
B. Homonimi..................................................................................................28
1. Pengertian Homonimi..........................................................................28
2. Homonimi Dalam Bahasa Arab...........................................................31
3. Homonimi Dalam Bahasa Indonesia....................................................32
C. Pengertian Khâtam Dan Khalîfah..............................................................33
1. Pengertian Khâtam...............................................................................33
2. Pengertian Khalîfah..............................................................................35
vii
BAB III TENTANG AHMADIAH
A. Sejarah Berdirinya Ahmadiah....................................................................39
B. Aliran Ahmadiah Di Indonesia..................................................................49
C. Doktrin-doktrin Teologi Ahmadiah...........................................................58
BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN KATA KHALÎFAH DAN KHÂTAM
DALAM WACANA KEAHMADIAHAN
A. Analisis Terjemahan Terhadap Kata Khâtam Dalam Wacana
Keahmadiahan............................................................................................76
B. Analisis terjemahan terhadap kata khalîfah dalam wacana
keahmadiahan.............................................................................................81
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................93
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................95
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke
dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin
dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
1. Padanan Aksara
Huruf Arab
Huruf Latin
Huruf Arab
Huruf Latin
T
B
Z
T
„
Ts
Gh
J
F
H
Q
Kh
K
D
L
Dz
M
R
N
Z
W
S
H
Sy
`
S
Y
D
2. Vokal
ix
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
A. Vokal tunggal
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
----َ
A
Fathah
----ِ
I
Kasrah
-----ُ
U
Dammah
Tanda Vokal Latin
Keterangan
Ai
a dan i
Au
a dan u
B. Vokal rangkap
Tanda Vokal Arab
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
Â
a dengan topi di atas
Î
i dengan topi di atas
Û
u dengan topi di atas
3. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ‫ ال‬, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan arrijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.
4. Syaddah (Tasydîd)
x
Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda---ّ dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah
itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda
syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
syamsiyyah. Misalnya, kata ‫ الضّرورة‬tidak ditulis ad-darûrah melainkan
al- darûrah, demikian seterusnya.
5. Ta Marbûtah
Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang
sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na‟t) atau kata
sifat (contoh no.2). namun jika huruf Ta Marbûtah tersebut diikuti kata
benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (contoh
no.3)
No.
Kata Arab
Alih Aksara
1
Tarîqah
2
al-jâmi’ah al-islâmiyah
3
wihdat al-wujûd
6. Huruf kapital
Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama
tempat, dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf
“al” a tidak boleh kapital.
xi
ABSTRAK
Sifa Kahfiani
“Akurasi Terjemahan Kata Khâtam dan Khalîfah dalam Wacana
Keahmadiahan”. Dibawah Bimbingan Dr. Abdullah, M.Ag.
Penerjemahan merupakan sebuah kegiatan pemindahan makna dari bahasa
sumber (BSU) ke dalam bahasa sasaran (BSA). Terjemahan dapat dikatakan baik
bila benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Makna dan
gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sasaran (bahasa penerima)tidak
boleh menyimpang dari makna dan gaya/nada yang diungkapkan dalam bahasa
sumber.
Penulis melihat bahwa dalam bahasa Arab terdapat Musytarak Lafẕ i.
Musytarak lafẕ i menjelaskan bahwa banyak terdapat kata secara pelafalannya
sama, tetapi mempunyai makna yang berbeda. Dalam dunia penerjemah seseorang
harus mempunyai wawasan yang luas untuk dapat menerjemahkan kata-kata yang
mengandung musytarak lafẕ i.
Skripsi ini mencoba melihat penerjemahan mengenai terjemahan kata
khalîfah dan khâtam. Dengan memakai analisis musytarak lafẕ i. Sebagaimana
terjemah kata khalîfah tidak semata-mata diterjemahkan dengan kata pemimpin
dan kata khâtam tidak semata-mata diterjemahkan dengan kata penutup.
Seringkali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada terjadinya argumen yang
keliru hingga terjadi aliran yang berbeda hanya karena berbeda pendapat dalam
xii
memaknai kata khâtam yang terdapat dalam al-Qur‟an. Penulis melakukan
analisis perbandingan komparatif antara terjemahan al-Qur‟an pendapat
ahlusuṉ ṉ ah wal jama’ah dengan wacana keahmadiahan.
Penulis menarik kesimpulan bahwa hasil terjemahan antara pendapat
ahlusuṉ ṉ ah wal jama’ah dengan wacana keahmadiahn terdapat begitu banyak
perbedaan, sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda.
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia ilmu makna (semantik) sebagai ilmu baru yang berkembang
pada tahun 1970-an di dunia linguistik dan semantik. Kemampuan mengolah dan
memahami pemerian kebahasaan ada pada aspek makna dalam linguistik.
Kemampuan suatu bahasa menjadi bahasa ilmu dapat dipertimbangkan melalui
kecendikiaan bahasa tersebut, antara lain yang dikemukakan oleh pemuka aliran
praha (Prague school). Ia memaparkan, bahwa kecendikiaan bahasa ditandai oleh:
(a) kemampuan dalam membentuk dan menyampaikan pernyataan yang tepat,
seksama dan kaya. (b) bentuk kalimatnya mencerminkan penelitian penalaran
yang objektif sehingga relasi strukturnya sama dengan proposisi logika. (3)
mampu menunjukkan antar kalimat yang selaras, logis, dan memiliki keutuhan.
Dari tiga syarat tersebut dapat mempertimbangkan bahasa Indonesia dan bahasabahasa Indonesia nusantara yang lainnya dalam memenuhi syarat sebagai ilmu
bahasa. Semantik berhubungan erat dengan syarat ketiganya, bila dipahami
melalui proposisi yang logis, tepat, selaras dan memiliki keutuhan (terutama
dibidang acuan baik yang objektif maupun abstrak).
Dalam bidang semantik terdapat pembahasan mengenai homonimi atau
dalam bahasa Arab dikenal dengan kata musytarak lafzi. Homonimi (musytarak
lafzi) dapat diartikan sebagai nama sama untuk benda atau hal lain. Secara
1
semantik Verhaar (1978) memberi definisi homonimi (mustarak lafzi) sebagai
ungkapan yang berupa (kata, frase, atau kalimat). Yang bentuknya sama dengan
ungkapan lain yang berupa (kata, frase, atau pun kalimat) tetapi maknanya tidak
sama.1
Homonimi (musytarak lafzi) adalah relasi makna antar kata yang tertulis
sama, tetapi maknanya berbeda. Di dalam kamus kata-kata yang termasuk
homonimi muncul sebagai lema (entri) yang terpisah. Misalnya saja, kata kha.tam
dalam kamus Besar Bahasa Indonesia muncul sebagai dua lema:
Kha.tam kl n cincin materai; cincin stempel.
Kha.tam v tamat; selesai;habis: al-Qur‟an telah dibacanya sampai--;2
Penulis tertarik dengan pembahasan homonim atau musytarak lafzi karena
dalam pembahasan tersebut sangat menarik untuk diteliti dari satu kata dapat
memiliki berbagai makna, apalagi bila disatukan dengan berbagai kalimat yang
berbeda. Tentu saja ia akan memiliki makna yang sangat bervariasi, dan ini akan
menjadi pembahasan yang menarik untuk diteliti. Bagaimana seseorang yang
tidak memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab dapat mengerti dan memahami
sebuah kata tersebut dan bahkan sebuah kalimat dalam al-Qur‟an bila ia
menemukan kata yang bermakna musytarak lafzi tanpa pengetahuan bahasa Arab
sedikit pun. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik sekali dalam membahasan
musytarak lafzi ini.
1
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta : Rineka Cipta, 1994)h. 93
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai
Pustaka, 2006)h. 564
2
Dan musytarak lafzi sendiri merupakan salah satu kajian dalam al-Qur‟an.
al-Qur‟an sebagai kitab suci tidak hanya berisi mengenai kumpulan ayat-ayat
yang tertulis dengan bahasa Arab, tetapi juga menjadi pedoman hidup umat Islam.
Agar menjadi pegangan hidup, umat perlu mentafsirkan al-Qur‟an agar senantiasa
dapat mengaplikasikan dirinya di dalam kehidupan. Hal ini tanpa terkecuali ayatayat teologis yang berkaitan dengan khalifah dan khatam.
Pengertian kata khatam sendiri dalam kamus al-Munjid fi Lughah wa al„Am kata
‫ خاتم‬artinya adalah ‫مايختم به‬
dengannya), dan
‫عاقبة كل شئ‬
(sesuatu yang menutup/ menyudahi
(akhir dari sebagala sesuatu) 3. Begitu juga
penjelasan dalam kitab Lisan al-A‟arab kata al-khatim dan al-khatam artinya
‫( أخرهم‬yang terakhir dari mereka).4 Pada dasarnya kata khatam mempunyai tiga
arti yaitu: cincin, stempel/cap/segel dan penutup atau paling akhir.5 Sedangkan
pada kata khalifah sendiri dalam kamus al-Munjid fi Lughah wa al-„Am bermakna
pengganti.
Pada ayat yang terdapat dalam Al-qur‟an dalam surat Al-Ahzab ayat 40
menyatakan:
3
Al-Munjid Fi al-Lughah wa A’lam, h. 168
4
Imam al-Alamah Abu al-Fadl Jamaludin Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur al- Afriqy
al-Mishriy, Lisan al- A’rab, ( Beirut: Dar Shadir, 1990), Jilid 12, cet. Ke- 1, hal. 164
5
Kamus Kotemporer Arab Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok
Pesantern Krapyak, 1996), cet. Ke-1 , hal. 814
3
             
    
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara
kamu, namun dia adalah Rasul Allah dan penutup para nabi. Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
Dalam pemaparan ayat di atas yang di kutip dari ringkasan tafsir Ibnu
Katsir surat al-Ahzab ayat 40, bahwa makna kata tersebut adalah penutup para
nabi yaitu Rasul yang terakhir, dalam hadist riwayat Bukhori dan Muslim
mengatakan Rasul berkata “aku memiliki banyak nama. Aku bernama
Muhammad, Ahmad, pemusnah kekafiran atas pertolongan Allah, pengumpul
yang mengumpulkan manusia pada kedua kakiku, dan penumpas yang tiada lagi
nabi setelahnya”.6
Demikianlah Allah telah memberitahukan di dalam kitabnya dan Rasul
memberitahukan di dalam sunahnya yang mutawatir bahwa tidak ada nabi
setelahnya. Hal ini agar golongan jin dan manusia tahu bahwa jika ada nabi
setelahnya maka itu pendusta. Begitulah kutipan makna tersebut yang terdapat
pada terjemahan Tafsir Ibnu Katsir.
Salah satu contoh dari sekian banyak aliran yang memiliki seorang imam
yang mengaku sebagai nabi adalah golongan Ahmadiah dengan imam mereka
6
Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta
: Gema Insani Press, 2001) h. 867
4
yang bernama Mirza Gulam Ahmad. Golongan ini memiliki keyakinan bahwa
pintu kenabian masih terbuka. Mereka berkeyakinan bahwa pintu kenabian
sesudah Nabi Muhammad masih ada nabi yang lain, dan untuk itu mereka
mengajukan beberapa ayat al-Qur‟an dan hadist sebagai hujjah. 7 Sedangkan pada
ajaran Ahmadiah sendiri memiliki doktrin-doktrin yang dikatagorikan sebagai
doktrin terpenting di kalangan Ahmadiah, antara lain yaitu : tentang kenabian, almahdi dan al-masih, wahyu, khalifah, dan jihad.
Jelas bahwa golongan Ahmadiah memiliki pemahaman tersendiri tentang
kenabian yang mereka pahami dan kekhalifahan yang mereka yakini dengan
begitu yakinnya, tanpa ada keraguan sehingga bila mereka berselisih dengan
orang yang tidak meyakini hal tersebut akan menjadi perdebatan yang sangat
sengit.
Ayat di atas memaparkan dengan jelas bagaimana Allah telah berfirman
bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, sedangan kelompok Ahmadiah
memiliki pemahaman yang sangat kontras. Atas dasar tersebut, penulis menulis
skripsi yang berjudul AKURASI PENERJEMAHAN KATA
KHALIFAH
DAN KHATAM DALAM WACANA KEAHMADIAHAN
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
7
H. Mahmud Ahmad Chema, Tiga Masalah Penting, (Bandung : Jemaat Ahmadiah
Qadian Indonesia, 1993), h.26
5
Penjelasan latar belakang di atas telah jelas memaparkan bagaimana kata
khatam dan khalifah menarik dibahas dalam suatu skripsi. Berdasarkan latar
belakang di atas pula, maka penulis membatasi permasalahan ini dengan ayat-ayat
yang berisi tentang kata khatam dan khalifah.
Setelah memaparkan latar belakang, maka merasa perlu untuk
memberikan pembatasan dan rumusan masalah, yaitu terjemahan al-Qur‟an dan
wacana-wacana tentang keahmadiahan.
Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:
1) Bagaimana Ahmadiah memahami kata khatam dan khalifah yang terdapat
dalam kitab suci al-Qur‟an?
2) Apakah pemahaman Ahmadiah terhadap ayat yang mengandung kata khatam
dan khalifah mengakibatkan perbedaan pemahaman bahkan perbedaan
teologis?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini bertujuan untuk yaitu:
1) Agar masyarakat tidak keliru dalam memahami kata-kata yang
mengandung makna telogis terutama pada ayat yang mengandung kata
khatam dan khalifah.
6
2) Mengetahui teori yang diyakini oleh para kelompok Ahmadiah dalam
memahami kata khalifah dan khatam.
Penelitian ini memiliki manfaat diantaranya:
1) Manfaat teoritis yaitu:
a) Memberikan pengetahuan baru bagi yang mempelajari Bahasa
Arab terutama penerjemahan, yaitu pengetahuan tentang
perubahan makna terhadap penerjemahan.
2) Manfaat praktis yaitu:
a) Memberikan pengetahuan pada masyarakat luas bagaimana
kata khalifah dan khatam bila dipahami dengan keliru maka
akan menjadi perubahan bagi teologi seseorang.
D. Metodologi Penelitian
Berdasarkan tujuan penulisan yang telah penulis kemukakan, maka jenis
penelitian yang akan penulis lakukan adalah penelitian analisis deskriptif
berdasarkan teori yang dipakai yaitu terjemahan al-Qur‟an, wacana-wacana
Ahmadiah, dan doktrin-doktrin Ahmdiah. Sebagaimana telah disebutkan pada
judul skripsi ini.
Adapun pencarian data yang penulis pakai ada dua cara yaitu:
7
Pertama, data sendiri diperoleh melalui kajian lapangan yang bersumber
dari pengurus-pengurus Ahmadiah cabang Bungur dengan melakukan wawancara
dan pengajuan pertanyaan mengenai bagaiman kata khalifah dan khatam sendiri
dalam versi Ahmadiah, sejarah Ahmadiah, dan seluk beluk Ahmadiah lainnya
secara tertulis dengan jawaban yang dijawab secara tertulis pula.
Kedua, penelusuran literatur, yakni dengan mencari data-data yang
terdapat dalam literatur yang ada kaitannya dengan penelitian yang sedang
dilakukan.
Berdasarkan tingkat kebutuhan, sumber data dalam penelitian ini
dikategorikan menjadi dua bagian : data primer dan data skunder. Sumber data
primer adalah dengan cara mengumpulkan data-data dari al-Qur‟an yang
diterjemahkan, pengumpulan wacana-wacana tentang Ahmadiah dan buku-buku
tentang Ahmadiah dan ajaran-ajarannya sebagai bahan primer. Sedangkan untuk
bahan sekunder adalah dengan mengumpulkan dari berbagai literatur yang relevan
dengan pokok permasalahan baik artikel, majalah, internet, maupun dari bukubuku lain yang berkaitan erat dengan penelitian ini.
Data yang sudah didapat diolah menggunakan metode deskriptif analisis.
Data-data yang terkumpul, diklasifikasikan sesuai dengan bab yang dibutuhkan.
Setelah sumber data terklasifikasikan kemudian disusun menjadi laporan
penelitian secara deskriptif dan data tersebut menganalisa dengan menggunakan
teori kontrastif yang berkaitan juga dengan makna leksikal untuk lebih
mengetahui bagaimana perbedaan antara makna khalifah dan khatam versi
8
Ahmadiah dan versi Sunnah wal jama‟ah dan diberi analisa-analisa untuk
memberikan keteranagn lebih lanjut. “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi,
Tesis, dan Disertasi). Yang berlaku dilingkungan UIN Syarif Hidayatullah, yang
ditulis oleh Azyumardi Azra. Yang diterbitkan oleh CeQDA “Center for Quality
Development and Assurance “UIN Jakarta 2007”
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri atas IV bab, yaitu:
Bab I penulis akan menulis pendahuluan yang terdiri atas : latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan bab yang terdiri atas: gambaran umum tentang
penerjemahan yang di dalamnya terdapat definisi penerjemahan, jenis
penerjemahan, tahap penerjemahan: tahap analisis, tahap pengaliahan, tahap
penyerasian, penerjemahan Al-Qur‟an. Pengertian homonimi, homonimi dalam
bahasa Arab, homonimi dalam bahasa Indonesia dan aliran-aliran teologi.
BaB III Merupakan bab yang terdiri atas: sejarah berdirinya Ahmadiah,
sejarah singkat masuknya Ahmadiah ke Indonesia, dan doktrin-doktrin teoligi
Ahmadiah.
Bab IV Merupakan hasil analisis dari “hasil terjemahan kata khalifah dan
khatam” dengan melakukan analisis dalam wacana keahmadiahan dan dalam
9
perspektif para ahlu sunnah wal jama‟ah dengan memaparkan bagaimana
pemahaman pada masyarakat luas juga.
Bab V Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
10
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Gambaran Umum Tentang Penerjemahan
1. Definisi Penerjemahan
Definisi penerjemahan dalam arti luas adalah “semua kegiatan manusia
dalam mengalihkan makna atau pesan, baik verbal maupun non verbal dari
informasi asal atau informasi sumber (source information) ke dalam informasi
sasaran (target information).”8Sedangkan definisi terjemahan dalam arti sempit
adalah “suatu proses pengalihan pesan yang terdapat di dalam teks bahasa sumber
(source linguistik) dengan kesepadanan di dalam bahasa ke dua atau bahasa
sasaran (target language).”9
Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, dalam buku mereka The Theory
and Practice of Translation, memberikan definisi terjemahan sebagai berikut:
“Translating consist in reproducing in the receptor languange the closest natural
equivalent of the source language message, first in the terms of meaning secondly
in terms of style.” (menerjemahkan berarti menciptakan padanan yang dekat
dalam bahasa penerima terhadap pesan bahasa sumber, pertama dalam hal makna
dan kedua pada gaya bahasa).
8
Suhendra Yusuf, Teori Terjemah (Pengantar kearah Pendekatan Linguistik dan
Sosiolinguistik), (Bandung: PT.Mandar Maju, 1994). Cet ke-1. h. 8
9
Ibid., h. 8
11
Di sini Nida dan Teber tidak mempermasalahkan bahasa yang terlibat
dalam penerjemahan, tetapi lebih tertarik pada cara kerja penerjemahan. Seperti
yang dikutip oleh Simatupang yakni mencari padanan alami yang semirip
mungkin sehingga pesan dalam bahasa sumber bisa disampaikan dalam bahasa
sasaran.10Sehingga orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa
sasaran pesannya sama dengan pesan orang yang membaca atau mendengar pesan
itu dalam bahasa sumber.
Menurut resensi Willie Koen, Nida dalam bukunya mengajarkan bahwa
cara baru menerjemahkan haruslah fokus pada respon penerima pesan. (cara lama
berfokus pada bentuk pesan). Itu berarti terjemahan dapat dikatakan baik, bila
benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Makna dan gaya
atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) tidak boleh
menyimpang dari makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa
sumber, itulah sebabnya Nida mengatakan bahwa didalam bahasa penerima harus
terdapat “The closest natural equivalent of the source language message, first in
the terms of meaning secondly in terms of style.” Akan tetapi, ekuivalen itu
haruslah natural (wajar, sesuai dengan langgam atau idiom bahasa kita sendiri).
Catford (1965) menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat
kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikan sebagai “The replacement of
textual material in one languange (SL) by equivalent textual material in another
10
Maurust Simatupang, Enam Makalah Tentang Penerjemahan.( Jakarta: PT. UKI. 1993)h. 3
12
language (TL).”11(Mengganti bahasa teks dalam bahasa sumber dengan bahasa
teks yang sepadan dalam bahasa sasaran). Newmark (1998) juga memberikan
definisi serupa, namun lebih jelas lagi: “Rendering the meaning of a teks into
another languange in the way that the author intended the texs” (Menerjemahkan
makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai yang dimaksud pengarang).
Pada definisi di atas tidak ditemukan tentang makna. Sementara itu secara
garis besar terjemahan tidak dapat dipisahkan dari persoalan makna atau
informasi. Sebagai ganti dari konsep makna adalah materi tekstual yang sepadan.
Kesepadanan yang dimaksud materi tekstual oleh Catford tidak harus naskah tulis.
Sedangkan Zahrudin mengatakan bahwa: “penerjemahan bisa berasal dari bahasa
tulisan atau pun bahasa lisan.” Ungkapan lain tentang hakikat penerjemahan yang
dikemukakan oleh Julian House dalam disertasinya mengatakan bahwa
penerjemahan adalah “Penggantian kembali naskah bahasa yang secara semantik
dan pragmatik sepadan.”12
Pada hakikatnya “esensi terjemahan itu terletak pada makna dari dua
bahasa yang berbeda.”13Oleh karena itu, House pun menjelaskan bahwa makna
ber-aspek semantik erat kaitannya dengan makan denotativ, yaitu makna yang
terdapat dalam kamus (makna leksikal) dan makan beraspek pragmatik bertautan
dengan makna konotatif, yaitu makna yang berarti kiasan.
11
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah. (Jakarta : PT Grasindo. Anggota IKAPI,
2000)h. 5
12
Nurrahman Hanafi, Teori dan Sastra Menerjemahkan, (NTT :Nusa Indah, 1996). Cet. Ke-1.h.26
13
Ibid,. h. 27
13
Dengan melihat definisi di atas, baik definisi penerjemahan dalam arti luas
atau sempit, baik tinjauan semantik atau linguistik, sekilas masing-masing definisi
tersebut berbeda-beda, yang sebenarnya mempunyai muatan yang sama, yaitu
adanya persamaan yang penyesuaian pesan yang disampaikan oleh penulis naskah
dengan pesan yang diterima pembaca.
2. Jenis Penerjemahan
Dalam praktek penerjemahan, diterapkan beberapa jenis penerjemahan.
Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a) Adanya perbedaan bahasa sumber dan sistem bahasa sasaran.
b) Adanya perbedaan jenis materi teks yang diterjemahkan.
c) Adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat komunikasi.
d) Adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan suatu teks.
Dalam kegiatan menerjemah sesungguhnya, keempat faktor tersebut tidak
selalu berdiri sendiri dalam arti bahwa “ada kemungkinan kita menetapkan dua
atau tiga jenis penerjemahan sekaligus dalam menerjemahkan sebuah teks.”14
Ada beberapa jenis terjemahan yang dapat kita terapkan dalam kegiatan
penerjemahan, diantaranya:
14
M. Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1991). Cet. Ke-1
14
a) Penerjemahan Kata Demi Kata
Penerjemahan ini disebut juga dengan interlinear translation, yaitu
susunan kata bahasa sumber (BSU) dipertahankan dan kata-kata diterjemahkan
satu persatu dengan makna yang paling umum. Metode ini bertujuan untuk
memahami mekanisme dalam bahasa sumber (BSU) maupun untuk menganalisis
teks yang sulit sebagai proses penerjemahan.
b) Penerjemahan Harfiah
Penerjemahan harfiah ini menggunakan metode konvensi, yaitu konstruksi
gramatikal bahasa sumber (BSU) dikonveksikan kepadanan bahasa sasaran (BSA)
yang paling dekat tetapi kata-kata leksikal masih diterjemahkan kata per kata.
Penerjemahan ini memang akan membingungkan pembaca, oleh karean itu,
penerjmah harus memberikan keterangan tambahan berupa catatan kaki (Foot
Note). Biasanya metode penerjemahan ini digunakan dalam menerjemahkan alQur‟an.
c) Penerjemaha Setia
Penerjemahan ini merupakan proses menghasilkan kembali makna
kontekstual bahasa sumber (BSU) yang tepat, dengan mentransfer kata kultural
dan tetap mempertahankan tingkat ketiakwajaran gramatikal dan leksikal dalam
proses penerjemahan. Dalam metode penerjemahan ini, masih mempertahankan
kata-kata yang bermuatan budaya, dan diterjemahkan secara harfiah.
15
d) Penerjemahan Semantik
Penerjemahan ini sudah luwes, artinya sudah tidak mempertahankan lagi
tingkat ketidakwajaran gramatikal dan leksikal dalam proses penerjemahan.
Penerjemahan ini masih mempertimbangkan unsur estetika teks BSU dengan
memadankan makna selama masih dalam batas kewajaran. Dibandingkan dengan
penerjemahan lain.15Penerjemahan semantik lebih fleksibel.
e) Penerjemahan Adaptasi
Penerjemahan ini merupakan bentuk terjemahan bebas yang biasa dipakai
dalam penerjemahan drama atau puisi. Biasanya antara tema, karakter, dan plot
masih dipertahankan, dan peralihan budaya bahasa sumber (BSU) ke dalam
budaya sasaran (BSA) ditulis kembali kedalam bahasa sasaran (BSA).
f) Penerjemahan Bebas
Penerjemahan ini merupakan metode yang mengutamakan isi dan bukan
mengorbankan bentuk teks bahasa sumber (BSU). Umumnya penerjemahan ini
berbentuk parafrase yang dapat lebih pendek atau lebih panjang dari teks aslinya
dan biasa dipakai di kalangan media masa.
g) Penerjemahan Idiomatik
Penerjemahan ini dipakai dalam penerjemahan teks idiom atau istilahistilah idiomatis. Penerjemahan ini bertujuan memproduksi pesan dalam teks
15
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta : P.T Grasindo,Anggota IKAPI,
2000), h.52
16
bahasa sumber (BSU) dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan
idiomatik yang tidak didapati pada naskah aslinya, sehingga terjadi distorsi
nuansa makna.
h) Penerjemahan Komunikatif
Penerjemahan ini merupakan upaya memberikan makna kontekstual
bahasa sumber (BSU) yang tepat, sehingga isi dan bahasanya dapat diterima dan
dimengerti oleh pembaca. Metode ini tetap memperhatikan prinsip-prinsip
komunikasi seperti kalayak pembaca dan tujuan penerjemahan, sehingga teks
sumber dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi.
Menurut Manna al-Qathathan, terjemahan dapat digunakan pada dua arti:
1) Terjemahan harfiah, yaitu mengalihkan lafal-lafal yang serupa dari suatu
bahasa ke dalam lafal-lafal yan serupa dari bahasa lain sedemikian rupa.
Sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan
tertib bahasa pertama.
2) Terjemahan tafsiriyah atau terjemahan maknawiyah, yaitu menjelasan
makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terkait dengan tertib katakata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
3. Tahap-Tahap Penerjemahan
1) Tahap Analisa
17
Ketika
seseorang
ingin
menuliskan
semua
kehendaknya
ia
ingin
menyampaikan sesuatu kepada pembacanya. Hal ini juga berlaku bagi teks
ekspresif (pewujudan persamaan) seperti puisi. Mustahil seseorang penulis puisi
menulis sesuatu tanpa ingin perasaannya diwujudkan dalam puisi tersebut juga
dirasakan orang lain. dengan demikian, setiap teks tentunya bukanlah hal yang
saklar. Justru karena tidak saklar itulah maka suatu teks bahasa sumber perlu
dianalisis terlebih dahulu sebelum diterjemahkan.
Analisis itu bisa berupa pertanyaan seputar teks seperti: Apa maksud
pengarang menuliskan teks itu?Apakah untuk menjelaskan sesuatu (eksposisi),
ataukah untuk bercerita (narasi), atau untuk mempengaruhi pendapat umum
(persuasi), ataukah suatu ajakan sendiri? Bagaimana pengarang atau penulis
menyampaikan maksud tersebut? Bagaimana pengarang mewujudkan gaya
tersebut dalam pemilihan kata, frase, dan kalimat? Sesudah mempunyai gambaran
yang jelas, barulah ia dapat memulai proses selanjutnya.
2) Tahap Pengalihan
Seorang penerjemah dalam tahap ini berupaya untuk menggantikan unsur teks
bahasa sumber (BSU) dengan unsur teks bahasa sasaran (BSA) yang
sepadan.”sepadan pada segala unsur alam teks, baik dalam bentuk maupun isinya
disepadankan tapi kesepadanan bukanlah kesamaan.”16
Pada tahapan pengalihan, seorang penerjemah mengajukan beberapa
pertanyaan sebagai upaya pertimbangan dalam melakukan kegiatan pengalihan.
16
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemahan, (Jakarta :PT. Grasindo, 2000), h.50
18
Diantaranya adalah: Apakah maksud yang ingin disampaikan pengarang tersebut
harus dipertahankan dalam teks terjemahan? Jawaban dasar terhadap pertanyaan
ini adalah: penerjemah harus mempertahankan maksud yang ingin disampaikan
pengarang.
Pertanyaan selanjutnnya yang mungkin timbul dalam tahap pengaliahan ini
adalah: Bagaimana penerjemah menyampaikan maksud yang sepadan tersebut
kedalam bahasa sasaran? Apakah masih dapat digunakan kalimat-kalimat yang
serupa? Misalnya, Bagaiman kalimat-kalimat informasi dalam bahasa sumber
dapat tetap terasa memberikan informasi dalam bahasa sasran? Alat bahasa
apakah yang dipergunakan dalam hal ini?
Namun, apabila teks sumber yang diterjemahkan sangat sukar dan melibatkan
kata-kata yang bermakna ganda. Kata-kata yang bermakna emosi dan sebagainya .
penerjemahan dapat saja bolak-balik dari tahap analisis ke pengalihan dan
sebagainya sampai ia yakin yang harus dijalani adalah tahap penyerasian.
3) Tahap Penyerasian
Pada saat ini penerjemah dapat menyelesaikan bahasanya yang masih terasa
kaku untuk disesuaikan dengan kaidah bahasa sasaran. Disamping itu, mungkin
juga terjadi penyerasian dalam hal peristilahan, misalnya apakah menggunakan
istilah yang umum digunakan ataukah yang baku.
Pada tahap penyerasian ini, penerjemah dapat melakukannya sendiri, atau
membiarkan orang lain melakukakannya. Akan lebih baik apabila penyerasian itu
19
dilakukan oleh orang lain. ada dua alasan untuk hal ini, pertama, penerjemah
biasanya sulit mengoreksi pekerjaannya sendiri, karena secara spikoligis ia akan
beranggapan bahwa terjemahannya sudah tepat, bahasanya sudah cukup alamiah
dan wajar, dan sebagainya. Kedua, penerjemah sebaikknya merupakan pekerjaan
suatu team.17Dalam hal ini, penerjemah terus menerjemahkan, sedangkan kegiatan
penyerasian dilakukan oleh orang lain. Namun tidak ada salahnya apabila
penerjemah sendiri yang melakukan penyerasian mereka masing-masing.
Kebanyakan masyarakat barat mengerti mengenai ajaran agama islam dan alQur‟an berdasarkan apa yang telah diterjemahkan oleh kelompok orientalis
kedalam bahasa mereka. Baik mereka pada akhirnya mencaci al-Qur‟an atau
justru masuk kedalam islam karena terjemahan al-Qur‟an tersebut. Dengan adanya
penerjemahan yang dilakukan itu, seorang dapat mempelajari kandungan alQur‟an terutama bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab (al-Qur‟an)
dengan baik.
Dengan begitu, penerjemahan al-Qur‟an sangatlah penting dan berperan sekali
dalam mengkaji lebih dalam segala sesuatu yang terkandung dalam al-Qur‟an.
4) Penerjemahan Al-Qur’an
a) Sejarah Penerjemahan Al-Qur’an
Al-Qur‟anul Karim telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, misalnya:
Latin, Inggris, Prancis, Belanda dan sebagainya. Untuk pertama kalinya al-Qur‟an
diterjemahkan pada tahun 1143 M, ke dalam bahasa Latin, sebagai bahasa ilmu di
17
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemahan, (Jakarta :PT. Grasindo, 2000), h.50
20
Eropa waktu itu. Al-Qur‟an masuk ke Eropa melalui Andalus. Dari terjemahan
bahasa Latin inilah kemudian al-Qur‟an diterjemahkan ke dalam bahasa Itali,
Jerman, dan Belanda oleh para orientalis barat. Pada umumnya penerjemah alQur‟an oleh para orientalis iu mempunai kecenderungan atau tendensi negatif,
yaitu menjelek-jelekan Islam, karena motif mereka bukan untuk menggali dan
memahami petunjuk al-Qur‟an, melainkan demi kepentingan misi mereka
menyudutkan Islam.
Maracci misalnya, di tahun 1689 mengeluarkan terjemahan al-Qur‟an ke
dalam bahasa Latin, dengan teks Arab dan berbagai nukilan dari dari berbagai
tafsir dalam bahasa Arab yang dipilih demikian rupa, ditujukan untuk
memberikan kesan buruk islam di Eropa. Maracci sendiri adalah orang yang
pandai, dan dalam menerjemahkan al-Qur‟an itu jelas bertujuan untuk menjelekjelekan Islam dikalangan orang-orang Eropa dengan mengambil pendapat ulamaulama Islam sendiri, yang menurutnya menunjukan kerendahan Islam. Maracci
adalah seorang Roma katolik dan terjemahannya itu ia persembahkan kepada
Empero Romawi.
Terjemahan al-Qur‟an ke dalam bahasa Inggris, yang itu pun sesungguhnya
sebagai hasil terjemahan dari bahasa Prancis, yang dilakukan oleh Du Ryer tahun
1647, untuk pertama kalinya dilakukan oleh A. Ross dan baru diterbitkan
beberapa tahun setelah karya Du Ryer itu.
Mengingat luasnya tujuan-tujuan terselubung dari para orientalis yang non
Islam dan anti Islam, dalam penerjemahan al-Qur‟an, menyebabkan penulis21
penulis muslim berusaha menerjemahkan al-Qur‟an ke dalam bahasa Inggris.
Sarjana muslim pertama-tama melakukan penerjemahan al-Qur‟an ke dalam
bahasa Inggris ialah Dr. Muhammad Abdul Hakim Khan dari Patiala, pada tahun
1905 M. Mirza Hairat dari Delhi juga menerjemahkan al-Qur‟an dan diterbitkan
di Delhi pada tahun 1919. Nawab Imadul Mulk Sayid Husein Bilgrami dari
Hyderabad Dacca juga menerjemahkan sebagian al-Qur‟an. Ia meninggal sebelum
menyelesaikannya. Ahmadiah Qadian juga menerjemahkan bagian pertama alQur‟an pada tahun 1915, Ahmadiah Lahore juga menerbitkan terjemahan alQur‟an Maulvi Muhammad Ali yang pertama terbit pada tahun 1917. Terjemahan
al-Qur‟an tersebut merupakan terjemahan ilmiah yang diberi catatan-catatan yang
luas dan pendahuluan serta indeks yang cukup.
Terjemahan al-Qur‟an lain yang perlu disebutkan ialah terjemahan Hafidz
Ghulam Sarwar yang diterbitkan pada tahun 1930. Dalam terjemahannya ia
memberikan ringkasan, surat demi surat, bagian demi bagian, tetapi tidak
diberikan foot note pada terjemahan itu. Catatan-catatan yang dimaksud kiranya
sangat perlu untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an. Bahasa al-Qur‟an dengan
ungkapan-ungkapan yang kaya akan arti memerlukan catatan-catatan yang
memadai. Marmaduke Pichtall juga menerjemahkan al-Qur‟an dan diterbitkan
pada tahun 1930. Ia adalah seorang muslim berkebangsaan Inggris yang pandai
dan ahli dalam bahasa Arab.
Terjemahan ke dalam bahasa non Eropa dilakukan ke dalam bahasa-bahasa :
Persia, Turki, Urdu, Benggali, Indonesia dan berbagai bahasa timur dan beberapa
bahasa Afrika. Terjemahan al-Qur‟an yang pertama dalam non Eropa adalah ke
22
dalam bahasa Urdu yang dialakukan oleh Syah Abdul Qadir dari Delhi (wafat
1826). Setelah itu banyak juga yang lain menerjemahkan al-Qur‟an ke dalam
bahasa Urdu tersebut, yang pada umumnya terjemahan - terjemahan itu tidak
sampai selesai. Diantara terjemahan yang lengakap yang dipergunakan sampai
sekarang ialah terjemahan Syah Rafiuddin dari Delhi, Syah Asyraf Ali Thanawi
dan Mulvi Nazir Ahmad (wafat 1912).
Al-Qur‟anul Karim diterjemahkan kedalam bahasa Inonesia telah dilakukan
oleh Abdul Ra‟uf Al-Fansuri, seorang ulama dari Singkel, pada pertengahan abad
ke-17 M. Jelasnya ke dalam bahasa melayu, terjemahan tersebut bila dilihat dari
segi ilmu bahasa atau tata cara bahasa Indonesia modern belum sempurna, namun
pekerjaan itu sungguh besar artinya, terutama sebagai perinris awal.
Diantara terjemahan yang lain ialah terjemahan yang dilakukan oleh kemajuan
Islam di Yogyakarta, al-Qur‟an Kejawean dan al-Qur‟an Sundawiyah, terbitan
percetakan A.B Siti Syamsiah Solo, Tafsir Hidayaturrahman oleh K.H. Mahmus
Yunus (1935), Al Furqan dan tafsir Qur‟an oleh A.Hasan dari Bandung (1928),
Tafsir al-Qur‟an oleh H.Zainuddin Hamidi Cs (1959), Al Ibris disusun oleh K.H
Bisyri Musthafa dari Rembang (1960) dan lain-lain. Dari terjemahan-terjemahan
al-Qur‟an, ada yang lengkap dan ada yang tidak selesai. Terjemahan al-Qur‟an ke
dalam bahasa Indonesia yang kemunculannya menimbulkan pro dan kontra ialah
bacaan mulia oleh kritikus sastra H.B Jassin, yang dalam terjemahan itu
menggunakan pendekatan puitis.
23
Pemerintah RI menaruh perhatian besar terhadap upaya terjemahan al-Qur‟an
ini. Hal tersebut terlihat semenjak pola I pembangunan semesta berencana, sampai
pada masa pemerintahan sekarang ini. Al-Qur‟an dan terjemahannya yang telah
beredar di masyarakat dan telah berulang kali dicetak ulang dengan
penyempurnaan-penyempurnaan, adalah bukti nyata dari besarnya perhatian
pemerintah terhadap penerjemahan al-Qur‟an itu.18
Dalam penerjemahan al-Qur‟an terdapat dua jenis terjemahan, yaitu:
a) Terjemahan al-Qur‟an harfiah
Terjemahan al-Qur‟an secara harfiah adalah terjemahan yang dilakukan
dengan apa adanya, sesuai dengan susunan dan struktur dari bahasa sumber.
Terjemahan harfiah dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang
terdapat di dalam teks terlebih dahulu, setelah benar-benar di pahami kemudian
dicari padanannya yang tepat ke dalam BSA.
Muhammad Husain Al-Dzahabi membagi terjemahan harfiah ini dalam dua
bagian, yaitu:
Terjemahan Harfiah bi al-Mitsl, yaitu terjemahan yang dilakukan apa adanya,
terkait dengan susnan dan struktur bahasa sumber yang diterjemahkan.
Terjemah al-Qur‟an Bighairi al-Mitsl, pada dasarnya sama dengan terjemahan
sebelumnya, hanya saja sedikit lebih linggar keterkaitannya dengan sususnan dan
struktur bahasa sumber yang akan diterjemahkan.
18
M. Ali Hasan dan Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta : PT. Bulan
Bintang, 1988), h. 177-180
24
1) Terjemahan al-Qur’an Tafsiriah
Terjemahan al-Qur‟an secara tafsiriah atau lebih yang lebih dikenal dengan
penerjemahan maknawiyah yaitu penjelasan makna atau arti kata dengan bahasa
lain, tanpa terkait dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan
kalimanya. Terjemahan ini lebih mengedepankan maksud atau isi kandungan yang
terdapat dalam bahasa sumber yang diterjemahkan. Terjemahan ini tidak terkait
dengan susunan dan struktur gaya bahasa yang diterjemahkna. Dengan kata lain
dapat pula disebut dengan terjemahan bebas.
b) Perbedaan Penerjemahan Al-Qur’an dengan Tafsir
Sebelum penulis menjelaskan perbedaan penerjemahan dengan penafsiran,
penulis ingin memaparkan tentang penafsiran terlebih dahulu.
Tafsir atau at-tafsir menurut bahasa mengandung arti antar lain yaitu:
1) Menjelaskan, menerangkan, (
), yakni ada
sesuatu yang semula belum atau tidak jelas memerlukan
penjelasan lebih lanjut, sehingga jelas dan terang.
2) Keterangan sesuatu (
), yakni perluasan dan
pengembangan dari ungkapan-ungkapan yang masih sangat
umum dan global, sehingga menjadi lebih terperinci mudah
dipahami serta dihayati.
25
3) (
), yakni (alat-alat kedokteran yang khusus
dipergunakan untuk dapat mendeteksi/ mengetahui segala
penyakit yang diderita seorang pasien). Kalu tafsiriah
adalah alat kedokteran yang mengungkapkan penyakit dari
seorang pasien, makna tafsir dapat mengeluarkan mkna
yang tersimpan dalam kandungan ayat-ayat al-Qur‟an.
Tafsir menurut istilah (terminologis), para ulama memberikan rumusan yang
berbeda-beda, karena perbedaan dalam titik pusat perhatiannya, walaupun arah
dan tujuannya yang sama. Adapun definisi tafsir adalah sebagai berikut:
1) Menurut Syaih Thahir Al- Jazair, dalam At-Taujih:
“Tafsir pada hakikatnya ialah menerangkan (maksud) lafazh yang sukar
dipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih menjelas pada maksud
baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati
sinonim itu, atau dengan mengemukakan uraian yang mempunyai petunjuk
kepadanya melalui suatu jalan dalalah.”
2) Merurut Syaikh Al- Jurjani dalam At-Ta‟rifat :
26
“Pada asalnya tafsir berarti membuka atau melahirkan, dalam pengertian
syara‟, (tafsir) ialah menjelaskan makna ayat: dari segi segala persolannya,
kisahnya, asbabul nuzulnya, dengan menggunakan lafazh yang menunjukan
kepadanya secara terang.19
Terjemah, baik harfiah maupun tafsiriyah bukanlah tafsir, terjemah tidak
identik dengan tafsir. Banyak orang mengira bahwa terjemah tafsiriyah itu pada
hakikatnya adalah tafsir yang memakai bahasa non-Arab, atau terjemah tafsiriyah
itu adalah terjemah dari tafsir yang berbahasa Arab. Persoalan ini memang sejak
dulu diperdebatkan dan diperselihsikan. Antara keduanya jelas ada unsur
kesamaan, yaitu bahwa baik tafsir maupun terjemah bertujuan untuk menjelaskan.
Penjelasan tafsir ialah sesuatu maksud yang semula sulit dipahami, maka
dengan penjelasan akan dapat mudah dipahami sedangkan terjemah juga
menjelaskan makna dari suatu bahasa yang tidak dikuasai melalui suatu bahasa
lain yang dikuasai. Ada unsur persamaan antara keduanya bukan berarti keduanya
sama secara mutlak. Perbedaan-perbedan keduanya antara lain:
1) Pada terjemahan terjadi peralihan bahasa, dari bahasa sumber ke bahasa
sasaran, tidak ada lagi lafazh atau kosa kata pada bahasa sumber itu
19
M. Ali Hasan dan Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta : PT. Bulan
Bintang, 1988), h.139-141
27
melekat pada bahasa sasaran. Bentuk peenerjemahan telah lepas sama
sekali dari bahasa yang diterjemahka. Tidak demikian halnya dengan
tafsir. Tafsir selalu ada keterkaitan dengan bahasa sumbernya, dan dalam
tafsir
tidak
terjadi
peralihan
bahasa,
sebagai
lazimnya
dalam
penerjemahan. Yang terpenting dan menonjol dalam tafsir ialah ada
penjelasan, baik penjelasan kata-kata mufradat (kosa kata) maupun
penjelasan susunan kalimat.
2) Pada penerjemahan sekali-kali tidak boleh melakukan
yakni
penguraian luas melebihi dari sekedar mencari padanan kata, sedangkan
dalam tafsir, pada kondisi tertentu, tidak hanya boleh melakukan
penguraian meluas itu, tentu justru penguraian meluas itu wajib dilakukan,
jika usaha menjelaskan makna ayat al-Qur‟an yang dikehendaki baru dapat
dicapai dengan mantap melalui penguraian masalahnya secara luas. Lagi
pula dalam penerjemahan (terutama harfiah) makna yang diungkap
sebaiknya tidak lebih dan tidak kurang dari bahasa sumber, sehingga bila
terjadi kesalahan dalam bahasa sumber, niscaya kesalahan itu akan terjadi
pula pada penerjemahannya. Berbeda dengan tafsir, bahwa yang dituntut
dalam tafsir ialah menyampaikan pesan dari bahasa sumbernya. Terkadang
penjelasan itu dapat dikembangkan ke arah pendapat yang beraneka
ragam, melalui uaraian yang luas di atas. Itulah rahasianya, mengapa
kebanyakan kitab-kitab tafsir al-Qur‟an memuat uraian luas yang beraneka
macam pembahasannya, meliputi ilmu bahasa, akidah, ilmu fiqih, usul
28
fiqih,
asbabun
nuzul,
nasikh
mansukh,
ilmu
kauniyat,
ilmu
kemasyarakatan dan sebagainya.
3) Terjemah pada lazimnya mengandung tuntutan dipenuhi semua makna
yang dikehendaki oleh bahasa sumber, tidak demikian halnya dengan
tafsir. Yang menjadi pokok perhatiannya ialah tercapai penjelasan yang
sebaik-baiknya, baik secara global maupun secara terperinci, baik
mencakup keseluruhan makna saja, tergantung pada apa yang diperhatikan
mufasir dan dua orang yang menerima tafsir itu.
4) Tafsir lazimnya mengandung tuntutan ada pengakuan, bahwa semua
makna yang dimaksud, yang telah dialihbahasakan oleh penterjemah
adalah makna yang ditunjuk oleh pembicara bahasa sumber dan memang
itulah yang dikehendaki oleh penutur bahasa. Tidak demikian dengan
tafsir. Dalam dunia tafsir soal pengakuan sangat relatif, tergantung pada
faktor kredibilitas mufassirnya. Mufassir akan mendapatkan pengakuan
jika dalam tafsir itu ia didukung oleh banyak dalil yang dikemukakannya,
sebaliknya ia tidak akan mendapatkan pengakuan ketika hasil tafsirnya itu
tidak didukung oleh dalil-dalil.
Demikian pula jika yang melakukan penafsiran itu orang yang sehaluan
dengan pembaca atau yang mendengar hasil penafsiran, maka akan mendapat
pengakuan, akan tetapi jika tidak sehaluan, mungkin pengakuan itu tidak ada, atau
29
jika ilmunya lebih rendah dari yang membaca atau yang mendengar hasil tafsiran
itu, maka pengakuan pun tidak ada, demikian pula sebaliknya.20
B. Homonimi
1. Pengertian hominimi
Homonimi berasal dari bahasa kuno onoma artinya „nama‟ dan homo yang
artinya „sama‟. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai “nama sama
untuk benda atau hal lain”. secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi
hominimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase, kalimat) yang bentuknya sama
dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak
sama.
Umpamanya kata “pacar” yang berati „inai‟ dengan “pacar” yang berarti
„kekasih‟, antara kata “bisa” yang berarti „racun ular‟ dan kata “bisa” yang berarti
„sanggup‟, atau „dapat‟. Contoh lain, antara kata “baku” yang berarti „standar‟
dengan kata “baku” yang berarti „saling‟. Atau antara kata “bandar” yang berarti
„pelabuhan‟ dengan “bandar” yang berarti „parit‟ dan “bandar” yang berati
„pemegang uang dalam perjudian‟.
Hubungan antara kata “pacar” dengan arti „inai‟ dan kata “pacar” dengan arti
„kekasih‟ inilah yang disebut hominim. Jadi kata pacar yang pertama berhominimi
ini bersifat dua arah. Dalam kasus bandar yang terjadi cotoh di atas, homonimi ini
terjadi pada tiga buah kata.
20
M. Ali Hasan dan Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta : PT. Bulan
Bintang, 1988), h.139-141
30
Hubungan antara dua kata yang berhomonim bersifat dua arah. Artinya, kalau
kata “bisa” yang berarti „racun ular‟ berhomonim dengan kata “bisa” yang berarti
kata „sanggup‟, maka kata “bisa” yang berarti „sanggup‟ juga berhomonim dengan
kata “bisa” yang berarti „racun ular‟. Kalau ditanyakan, bagaimana bisa terjadi
bentuk-bentuk yang homonimi ini? Ada dua kemungkinan sebab yang terjadinya
homonimi.
Pertama, bentuk-bentuk hominimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang
berlainan. Misalnya kata bisa yang berarti racun ular bersal dari bahasa melayu,
sedangkan kata bisa yang berarti sanggup berasal dari bahasa jawa. Contoh lain
kata „bang‟ yang berarti “adzan” berasal dari bahasa jawa, sedangkan kata „bang‟
(kependean dari bang) yang berarti “kakak laki-laki” berasal dari bahasa
melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti pangkal bermula berasal dari bahasa
melayu, sedangkan kata asal yang berarti kalau berasal dari dialek Jakarta.
Kedua, bentuk-bentuk yang bersinonim itu terjadi dari hasil proses
morfologis. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat ibu sedang mengukur
kelapa di dapur adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat
petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, jelas kata mengukur
yang pertama terjadi sebagai hasil poses pengimbuhan awalan me- pada kata
kukur (me + kukur = mengukur), sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi
sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me + ukur =
mengukur).
31
Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi, homonimi itupun dapat terjadi
pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
Homonimi antar morfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan
morfem lainya. Misalnya, antar morfem-nya pada kalimat: ini buku saya, itu
bukumu, dan yang disana buku-nya‟ berhomonimi dengan -nya pada kalimat
“mau belajar tetapi bukunya belum ada”.morfem -nya adalah kata ganti orang
ketiga, sedangkan morfem -nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.
Homonimi antar kata, misalnya antara kata bisa yang berarti racun ular dan
kata bisa yang berarti sanggup atau dapat seperti disebutkan dimuka.
Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak berarti perasaan cinta
dari seorang anak kepada ibunya dan frase cinta anak yang berarti cinta kepada
anak dari seorang ibu. Contoh lain, orang tua yang berarti ayah ibu dan frase
orang tua yang berarti orang yang sudah tua. Juga antara frase lukisan Yusuf yang
berarti lukisan hasil karya Yusuf, serta lukisan Yusuf yang berarti lukisan wajah
Yusuf.
Homonimi antar kalimat, misalnya antara kata istri lurah yang baru itu cantik
yang berarti lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik, dan
kalimat istri lurah yang baru itu cantik yang berarti lurah itu baru menikah dengan
seorang yang cantik.21
21
Abdul Chair, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta :Rineka Cipta, 1994), h. 93-96
32
2. Homonim dalam Bahasa Arab
Homonim (Al-Musytarak Al-Lafzi)
Homonimi adalah beberapa kata yang sama, baik pelafalan maupun bentuk
tulisannya, tetapi maknanya berlainan. Menurut Moelioni, homo sedikitnya
mempunyai dua makna. Pertama, homo yang berasal dari bahasa latin yang
bermakna „manusia‟. Kedua, homo yang berasal dari bahsa Yunani yang
bermakna „sama‟. Dalam kasus ini, homo yang terdapat dalam homonim berasal
dari bahas Yunani. Setidaknya inilah yang dikemukakan oleh Mattews. Nim
(Nym) sendiri merupakan combining form yang mempunyai kesamaan bentuk dan
pelafalan terapi maknanya berbeda. Oleh Fromkin dan Rodman (1998:163),
homonim diperkenalkan dengan nama lain homofon. Untuk lebih sederhananya,
Verhaar (1999:394) memperlambangkan hominim dengan X dan Y yang
bermakna lain tetapi bentuknya sama.
Pengaruh bahasa (kata) asing kedalam bahas Indonesia ternyata
mengakibatkan munculnya banyak homonimi. Hominim dalam bahasa Arab
banyak sekali dapat ditemukan. Berikut contoh homonim dalam bahasa Arab:
a. Kata dharaba (
) mempunyai arti (1) berdenyut; (2) mengepung;
(3) memikat; (4) menembak; (5) memukul; (6) menyengat; (7)
cenderung; (8) menentukan; (9) mengetuk. Semua kata dharaba yang
mempunyai sedikitnya 9 arti ini semua dilafalkan dan bentuk sama.
33
) mempunyai arti (1) berkuasa; (2) menaruh
b. Kata tawalla (
perhatian;
(3)
mengendalikan
diri;
(4)
mengerjakan;
(5)
mengemudikan; (6) memimpin. Semua kata tawalla yang mempunai
sedikitnya 6 arti ini semuanya dilafalkan dalam bentuk sama
c. Kata rusyd (
) mempunyai arti (1) dewasa; (2) sadar; (3) petunjuk;
(4) rasio. Semua kata rusyd yang mempunyai sedikitnya 4 arti ini
semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.
d. Kata qabadha (
(3)
mengerutkan;
) mempunyai arti (menekan); (2) mengembalikan;
(4)
menyempitkan;
(5)
melepaskan;
(6)
meninggalkan; (7) bersegera. Semua kata qabadha yang mempunyai
sedikitnya 7 arti semyanya dilafalkan dalam bentuk yang sama.
e. Tahlil n puji-pujian kepada Tuhan dengan menyebut laila ha ila llah.
Tahlil n pengesahan perwakilan antara suami dan sitri yang telah
bercerai tiga kali dengan perantaran muhalil.
f. Sirat n mata jala (jaring rajut), sirat n celah, sela (antara gigi dan gigi),
sirat n jembatan.
3. Homonimi Dalam Bahasa Indonesia
Seed (2000:63) menyebutkan bahwa homonimi adalah relasi antara kata
fonologis yang sama namun maknanya tidak berhubungan. Definisi ini agak
34
berbeda dengan definisi Matthews (1997: 164) yang menyebutkan homonimi
sebagai relasi antara kata-kata yang bentuknya sama namun maknanya
berbeda dan tidak bisa dihubungkan. Menurut pendapat saya, definisi
homonimi menurut Saeed rancu dengan definisi homofon, sedangkan definisi
homonimi menurut Matthews rancu dengan definisi homograf. Hominimi
seharusnya mencakup relasi antara kata yang pengucapannya dan bentuknya
sama, namun maknanya tidak berhubungan.
Berikut contoh homonim dalam bahasa Indonesia

Rapat (berdempat-dempat) dengan kata rapat (meeting)

Beruang (hewan) dengan kata beruang (punya uang)

Bisa (dapat) dengan kata bisa (racun ular)

Pacar (inai) dengan kata pacar (kekasih)

Bandar (pelabuhan, dengan bandar (parit) , bandar (pemegang uang
dalam perjudian)
C. Pengertian Khalifah dan Khatam
1. Pengertian Khatam
Pengertian kata khatam sendiri dalam kamus al-Munjid fi Lughah wa al„Am kata
artinya adalah
(sesuatu yang menutup/ menyudahi
35
dengannya), dan
(akhir dari sebagala sesuatu)
22
. Begitu juga
penjelasan dalam kitab Lisan al-A‟arab kata al-khatim dan al-khatam artinya
(yang terakhir dari mereka).23 Pada dasarnya kata khatam mempunyai
tiga arti yaitu: cincin, stempel/cap/segel dan penutup atau paling akhir.24
Sedangkan pada kata khalifah sendiri dalam kamus al-Munjid fi Lughah wa
al-„Am bermakna pengganti.
Perkataan khatam akan berubah-ubah maknanya sesuai dengan kata yang ada
didepannya atau yang merangkainya. Sebagaimana dalam kamus Kotemporer
Arab Indonesia, jika dirangkaikan dengan kata emas maka artinya adalah cincin
namun apabila dirangkai dengan kata nabi maka artinya adalah nabi penutup.
Perbedaan penafsiaran atas lafazh khatam al-nabiyyin telah muncul berbagai
persoalan pelik yang seolah tanpa penyelesaian bahan permasalahnnya berujung
pada perpecahan dikalangan umat muslim sendiri, hal ini dikarenankan dampak
dari perbedaan itu sesudah menyentuh pada permasalahan aqidah.
Pendapat
pertama
tentang
khatam
yang
memiliki
penafsiran
yang
menghasilkan pemahaman bahwa rasul adalah rasul terakhir dan penutup para
nabi, sehingga dengan demikian diperoleh kesimpulan akhir bahwa pintu
kenabian telah tertutup, dan tidak ada lagi nabi atau pun rasul setelah rasul wafat.
22
Al-Munjid Fi al-Lughah wa A’lam, h. 168
23
Imam al-Alamah Abu al-Fadl Jamaludin Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur alAfriqy al-Mishriy, Lisan al- A’rab, ( Beirut: Dar Shadir, 1990), Jilid 12, cet. Ke- 1, hal. 164
24
Kamus Kotemporer Arab Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok
Pesantern Krapyak, 1996), cet. Ke-1 , hal. 814
36
Pendapat kedua adalah atas khatam tidak dipahami dengan sebagai rasul
terakhir atau penutup para rasul, akan tetapi dipahami dengan berbagai penafsiran
yang berbeda yang berada di luar konteks itu. Sehingga diperoleh kesimpulan
bahwa pintu kenabian masih terbuka, Muhammad bukanlah rasul atau nabi
terakhir. Dan masih akan ada nabi atau rasul yang akan di utus setelah beliau.
Pada umumnya penafsiran seperti ini dianut oleh sekelompok atau aliran aliran
yang menganggap imam atau pemimpin mereka sebagai seorang nabi yang
meneruskan perjuangan dakwah nabi Muhamad seperti aliran ahmadiah.
2. Pengertian Khalifah
Pengertian khalifah adalah seseorang yang diangkat oleh seorang penguasa
atau masyarakat untuk menjalankan kekuasaan dan wewenangnya. Ini disebut
“pengemban amanah” atau wakil. Untuk menjalankan tugasnya dalam memimpin
suatu kelompok atau masyarakat.
Menurut ajaran islam setiap orang itu, adalah khalifah dimuka bumi ini. Yaitu
khalifah sebagai pengemban amanah dan tugas dari tuhan untuk menjaga dan
melestaraikan bumi ini.
Di dalam Al-Qur‟an orang yang mengembankan amanat disebut khalifah dan
untuk kelembagaannya disebut khilafah.
37
Kata khalifah secara syara‟ berasal dari kata,
. Yang berarti
mengganti atau memberi ganti. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata
yang berarti menggantikan dan menempati tempatnya.
Khalifah berasal dari kata bahasa Arab yang berarti “wakil, pengganti, atau
duta” yakni pengganti tuhan dan mengganti nabi Muhammad dalam fungsi
sebagai kepala negara.
Khalifah juga berarti wakil, deputi atau pengganti. Kata lain dan gelar khalifah
adalah imam “pemimpin”. Khususnya pemimpin dalam shalat atau komandan
kaum muslimin yang diberikan kepada mereka yang menggantikan nabi, sebagai
penguasa riil atau nominal dunia islam, gelar lengkapnya adalah khalifah
rosulullah25
Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata khalifah mempunyai tiga arti, yakni:
pertama, wakil (pengganti) nabi Muhammad setelah nabi Muhammad wafat,
dalam mengurus urusan agama dan negara, yang melakasanakan syari‟at islam
dan hukum negara. Kedua, digunakan untuk gelar kepada agama atau raja – raja di
negara islam. Yang ketuga, penguasa atau pengelola.26 Dalam Ensiklopedi Islam
Indonesia, dikatakan bahwa kata khalifah itu berasal dari kata kerja khalafa yang
berat pengganti atau pengurus. Sebuah istilah klasik bagi pemimpin yang tertinggi
di dunia islam.
Kata khalifah bersinonim dengan kata imanah, menurut Syaikh Abu Zahra di
dalam diskursusnya, dikatakan khalifah karena ia menjadi pemimpin yang
tertinggi dalam menggantikan peran Rasullulah dalam memgatur urusan kaum
muslim, dan dia dinamakan imam, karena khalifah juga bertindak selaku imam
bagi masyarakatnya.
25
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Kebudayaan Bahasa
Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), cet ke-4, hal. 497
26
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Kebudayaan Bahasa
Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), cet ke-4, hal. 497
38
Pada masa Khalifah Rasyidin, istilah khalifah belum digunakan sebagai nama
atau gelar yang menunujukan pada suatu jabatan “kepala pemerintah”. Ketika Abu
Bakar terpilih jadi penganti rasul, sebutan ini merupakan gelar khusus baginya
sebagai pengganti yang melanjutkan tugas nabi Muhammad untuk memimpin
masyarakat dalam urusan agama dunia.
Pengertian ini terus berkembang pada arti yang lebih luas. Ini semua bermula
dari Umar Bin Khatabb yang menyebut dirinya Khalifah Rasul. Yakni pengganti
rasul hingga pada masa Ustman Bin Affan dia disebur sebagai Khalifah Allah.
Gelar ini pertama kali diberikan oleh Zaid Bin Tsabit, salah seorang sahabat rasul.
Kata ini diucapkannya untuk meguji Utsman Bin Affan.
Mulai saat ini kata khalifah menjadi populer hingga masa Ali Bin Thalib. Pada
masa pemerintahan Bani Umayyah makna khalifah mengalami perkembangan
makna, yakni Khalifah Allah”wakil allah di muka bumu” bukan lagi Khalifah
Rasul “pengganti rosul”, sedangkan pada masa Abasiyah makna khalifah
menjadikan sebuah kedudukan yang sangat tinggi yakni “Khalifatullah Fi alArd” atau bayangan-bayangan Allah di muka bumi.
Dalam islam kata khilafah dan khalifah sama artinya denag imanah. Khilafah
merupakan refleksi dari kepemimpinan dakwah islamiah yang melaksanakan
konstitusi islam di wilayah tertentu. Abu Baqar berkata: khalifah adalah orang
yang menggantikan orang lain, sedangkan khalifah adalah niyabah (perwakilan)
dari orang lain. karena kepergiannya atau karena kematian, khalifah atau khilafah
bermakna orang yang mewakili orang-orang sebelumnya. Ada juga yang
39
mengatakan khalifah itu adalah orang yang mengemban amanah dan dia sebagai
seorang wakil.
Sedangkan kata khalifah menurut syara‟, para ulama berbeda pendapat, ada
yang mengatakan khalifah adalah pengganti rasul dalam melaksanakan syariat
Islam. Sedangkan Imam Baydlawi mengatakan, khalifah adalah pribadi yang
menggantikan rasul dalam menegakkan syariat Islam. Menjaga agama, di mana
dia wajib di taati oleh seluruh kaum muslim. Perbedaan ini terjadi karena adanya
perbedaan pandangan terhadap makna khalifah27
Kata khalifah (pengganti) di dalam Al-Qur‟an terdapat tiga pengertian:

Khalifah yang dipergunakan untuk nabi-nabi yang seakan-akan menjadi
pengganti Allah di dunia

Khaliafah yang diartikan sebagai kaum yang datang kemudian. Dalam
pengertian ini diartikan sebagai pengganti nabi, dipilih oleh kaumnya
sendiri. Seperti contoh adalah Khalifah Abu Bakar

Khalifah dipergunakan untuk para pengganti nabi karena mereka
mengikuti jejak para nabi sebelum mereka. Khalifah-khalifah semacam itu
dapat dianggkat oleh tuhan sebagaimana nabi yang diangkat oleh tuhan
sendiri. Khalifah yang berpangkat nabi ini adalah pembantu bagi nabi
yang sebelumnya atau pada masa umpamanya nabi Harun adalah khalifah
nabi Musa. Dari ketiga pengertian tersebut dapat diambil satu kesimpulan,
27
Syamsuddin Ramdhan, Menegakkan Kembali Khalifah Islamiah (Jakarta: Daftar
Pustaka Panjimas, 2003), hal. 1-3
40
kalau khalifah adalah pemimpin-pemimpin rohani. Diantara sekian banyak
nabi dan rasul yang disebutkan dalam Al-Qur‟an hanya beberapa orang
saja yang menjadi pemimpin rohani dan sekaligus pemimpin pemerintah.
Pemaknaan sebuah kata atau bahasa sangat erat kaitannya dengan budaya
yang melatar belakanginya. Karena suatu bahasa merupakan alat komunikasi,
maka manusia sebagai pemakai bahasa selalu berusaha untuk memaknai bahasa
itu sesuai dengan perkembangan manusia tersebut agar komunikasi yang
dibangun selalu relevan dengan kondisi masyarakat tersebut. Demikian juga
halnya dengan apa yang penulis bahas pada skripsi ini, yaitu tentang khalifah dan
khatam.
41
BAB III
TENTANG AHMADIAH
A. Sejarah Berdirinya Ahmadiah
Sejak kekalahan Turki Usmani dalam serangan ke benteng Wina pada tahun
1683, pihak Barat mulai bangkit menyerang Kerajaan tersebut, dan serangan itu
lebih efektif lagi ke abad 18. Kemudian pada abad berikutnya Bangsa-Bangsa
Barat ini mulai aktif menjajah ke daerah-daerah yang didudukinya, seperti Inggris
menjajah India dan Mesir, Prancis dapat menguasai Afrika Utara, dan bangsabangsa Eropa yang lain menjajah daerah-daerah Islam yang lain. Gerakan
kononialisasi ini disebabkan oleh berbagai macam penemuan baru dalam ilmu
pengetahuan dan industri, misalnya ditemukannya alat transportasi dengan tenaga
uap tahun 1902 M, mesin cetak tahun 1814 M, kapal uap pertama menjelajahi
jarak antar kota Liver Pool dan Glasgow tahun 1815 M, telegraf tahun 1820 M,
jaringan kereta api dibuka di Inggris tahun 1825 M, mesin elektromagnetik tahun
1820 M, dan terusan Suez dibangun tahun 18833-1865 M.
Kemunculan Ahmadiah di India merupakan salah satu bagian dari peristiwa
sejarah dalam Islam yang tidak lepas dari konteks sosial pada saat itu.
Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, bahwa kerajaan Islam yang menguasai
anak Benua India adalah Kerajaan Mughal (1526-1858) yang saat ini sedang
menuju kehancuran. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: pertama, melemahnya
pemerintahan karena dekadensi moral dan pola hidup mewah yang melanda para
42
pejabat pemerintahan pasca Aungrazeb.28Kedua, adanya pemberontakan yang
dilakukan secara terus menerus oleh golongan Hindu dan Sikh di India29.
Walaupun India berada dalam wilayah kekuasaan kerajaan Islam Mughal, tetapi
mayoritas penduduknya masih tetap beragama Hindu, sebagian lain beragama
Kristen, Budha, dan Sikh. Tercatat telah terjadi pemberontakan Sikh yang
dipimpin guru Tegh Bhadur dan guru Gobin Singh. Golongan Rajput juga
mengadakan pemberontakan dibawah pimpinan Raja Udaipur, sedangkan
golongan Sikh dibawah pimpinan Banda yang berhasil merampas kota Sadhaura
di sebelah utara Delhi, dan mengadakan perampasan serta pembunuhan terhadap
penduduk yang beragama Islam di kota Sirhind. Selain itu golongan Maratha yang
dipimpin Raji Rao dapat merampas sebagian daerah Gujarat tahun 1732 M30.
Ketiga, adanya campur tangan Inggris yang datang ke India sejak abad ke-15,
terutama setelah pecahnya revolusi India yang terkenal dengan pemberontakan
Munity tahun 1857 M. Pemberontakan ini berakhir dengan kemenangan East
India Company, dimana Inggris menjadikan India sebagai salah satu kolonialnya
yang terpenting di dunia dengan utuhnya kerajaan Mughal di India. Namun bila
runtuh kerajaan Mughal di India maka secara otomatis pula akan meruntuhkan
pula kekuasaan politik Islam dan inilah periode yang gelap bagi umat Islam.
Inggris menduduki India dan menggantikan pemerintahan umat Islam dengan
membawa kebudayaan Eropa.
28
Iskandar Zulkarnaen, Ahmadiah di Indonesia : sebuah titik yang dilupa, (Jakarta :
Pustaka Zaman, 2001), h. 47
29
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), h.19
30
Ibid, h. 19
43
Situasi keagamaan menjelang kelahian Ahmadiah ditandai dengan gencarnya
gerakan misi-misi Kristen di seluruh dunia yang dilakukan sejak tahun 1804 M,
khususnya ketika British dan Foreign Bible Soiety terbentuk. Kelompok Kristen
menetapkan pada tahun 1814-1815 M sebagai The Great Century of World
Evangelization (abad agung penginjilan di dunia), dimana anak benua India
merupakan sebuah sasaran yang dijadikan sebuah proyek besar bagi gerakan
penginjilan atau kristenisasi, sehingga jutaan orang masuk ke dalam agama
Kristen melalui gerakan-gerakan missionaris Kristen.
Ketika penginjilan dijalankan dan kondisi umat Islam India yang mundur,
maka banyak pula bermunculan kelompok Neo-Hindu, di antaranya yang paling
militan dan agresif adalah sekte Arya Samaj (Aryan Society) yang berkembang
cukup pesat, khususnya di daerah Punjab. Arya Samaj merupakan gerakan yang
ingin mengembalikan kemurnian agama Hindu dan menampilkannnya sebagai
suatu kebanggaan nasional India, menentang pemahaman-pemahaman Hindu
Brahma yang ortodoks, dan sering melancarkan serangan besar-besaran terhadap
ajaran Kristen dan Islam. Gerakan ini sudah dikembangkan dari tahun 1865 M
oleh Swami Dayananda Saraswati yang digelari Hindu Luther oleh penentangnya.
Ia menulis sebuah kitab Veda yang menggambarkan sikap Hindu terhadap agamaagama lainya, dan terhadap permasalahan-permasalahan sosial kontemporer.
Keadaan tersebut makin diperparah dengan kondisi intelektualitas dan moral
umat Islam yang sangat memprihatinkan. Masyarakat India saat ini seakan telah
terbiasa meminum khamar, menghisap candu, dan melacur. Di sisi lain seperti
dalam beribadah, mereka malas datang ke masjid sehingga banyak masjid menjadi
44
kosong, serta sering terjadi pertarungan antara sesama kelompok muslim yang
disebabkan perbedaan yang sepele, dan mengganggap sebagai pengabdian yang
paling besar terhadap Islam dengan mencap muslim lainnya sebagai kafir.
Menanggapi kondisi yang terjadi saat ini, seorang yang menjadi pendiri
Ahmadiah, Mirza Ghulam Ahmad mengatakan:
“Sayang sekali masjid-masjid pada zaman kita ini keadaannya sangat
memprihatinkan. Sekiranya seseorang berkeinginan mengimami shalat di masjidmasjid seperti itu, imam-imam yang resmi tidak mau bertoleransi. Sebabnya
sudah dimaklumi oleh semua orang bahwa mengimami shalat telah menjadi
semacam bisnis bagi imam-imam ini. Lima kali sehari mereka bukan memasuki
tempat shalat, melainkan cenderung seperti memasuki toko demi melayani para
pelanggan. Mereka beserta keluarganya hidup dari penghasilan itu. Orang-orang
pergi ke pengadilan bila terdapat perselisihan mengenai apakah seseorang tertentu
akan meneruskan sebagai imam atau tidak. Banyak para Maulvi memasukkan
permohonan naik banding di pengadilan untuk memperoleh keputusan hukum
tentang kedudukan mereka sebagai imam.
Ahmadiah lahir di India yang akhir abad ke-19 di tengah suasana kemunduran
umat Islam India di bidang agama, sosial, politik, ekonomi, dan bidang kehidupan
lainnya dan juga sebagai protes terhadap keberhasilan kaum missionaris Kristen
memperoleh pengikut-pengikut baru. Selesain itu, sebagai protes terhadap paham
rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad Khan yang
merupakan orang pertama yang membawa ide-ide pembaharuan untuk
45
kepentingan kemajuan Islam di India dengan Alirannya. Pusatnya ialah
Muhammedan Anglo Oriental College yang kemudian ditingkatkan menjadi
universitas31.
Satu-satunya sekte baru di India dalam Islam yang lahir dan berhasil menuntut
H.A.R. Gibb adalah kelompok Ahmadiah. Menurutnya, Ahmadiah merupakan
sekte yang berawal sebagai gerakan pembaharuan yang bersifat liberal dan cinta
damai dengan maksud menarik perhatian orang-orang yang telah kehilangan
kepercayaan terhadap Islam dengan pemahaman yang lama. Pendirinya, Mirza
Ghulam Ahmad menyatakan bahwa dirinya tidak hanya sebagai al-Mahdi Islam
dan al-Masih bagi umat Kristen, tetapi juga sebagai Avatar (inkarnasi) Krishna.
Kelahiran Ahmadiah juga berorientasi pada pembaruan pemikiran. Mirza
Ghulam Ahmad yang mengaku telah diangkat Tuhan sebagai al-Mahdi dan alMasih merasa memiliki tanggung jawab besar yang harus dipikulnya untuk
memajukan Islam dengan memberikan interpretasi baru terhadap ayat-ayat alQur‟an sesuai dengan tuntunan zaman.
Sebagai salah satu aliran keagamaan yang bertahan hingga saat ini, sejarah
berdirinya Ahmadiah dan tentunya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Mirza
Ghulam Ahmad sendiri sebagai pendirinya. Mirza Ghulam Ahmad lahir saat
subuh, hari jum‟at, tanggal 13 februari 1835 M/ 14 Syawal 1250 H di Qaddian,
India. Qadian adalah nama sebuah desa yang terletak di Distrik Gurdaspur Punjab
India, jaraknya 100 km di sebelah Timur laut kota Lahore. Asal-usul kata Qadian
31
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), h.167
46
berasal dari nenek moyang Mirza Ghulam Ahmad yang bernama Mirza Hadi Beg
yang diangkat sebagai qadhi (hakim) itulah maka tempat itu disebut Islampur
Qadhi yang lambat laun kata Islampur hilang dan tinggal Qadhi saja. Dikarenakan
logat daerah tersebut, akhirnya Qadhi disebut sebagai Qadi atau Qadian.
Dan informasi tentang keluarganya diperoleh data bahwa ayahnya bernama
Mirza Ghulam Murtadha (meninggal tahun 1876 M), dan dia adalah seorang tabib
yang sangat mahir. Ibunya bernama Ciraagh Bibi, dan nama kakeknya adalah
keturunana Haji Barlas, yang berasal dari keluarga Moghul. Haji Barlas adalah
raja kawasan Qesh yang merupakan paman Amir Tughlak Temir. Ketika
penyerangan terjadi Haji Barlas sekeluarga terpaksa mengungsi ke Khurasan dan
Samarkhan yang kemudian menetap disana. Pada tahun 1530 M, seorang
keturunan Haji Barlas yang bernama Mirza Hadi Beg beserta 200 orang
pengikutnya hijrah dari Khurasan ke daerah Gurdashpur di Punjab yang letaknya
70 mil sebelah timur Lhor sekitar kawasan sungai Bias, dengan mendirikan
sebuah perkampungan yang bernama Islampur.
Menurut berbagai sumber Ahmadiah yang telah diteliti oleh ulama dan tokohtokoh Islam tertentu dapat dibuktikan bahwa Mirza Murthada ayahanda Mirza
Ghulam Ahmad bukan sekedar pegawai tinggi biasa bagi kolonial Inggris, tetapi
pada hakekatnya ia adalah seorang yang mengabdikan segenap hidupnya demi
kelancaran roda penjajahan Inggris-India. Di sini terlihat bahwa keluarga Mirza
Ghulam Ahmad pernah menjadi pembantu setia kolonial Inggris. Hamka Haq alBadry menjelaskan bahwa kolonial Inggris datang menjajah negeri India
membawa perubahan dalam iklim beragama. Mirza Ghulam Ahmad sendiri ketika
47
berusia 29 tahun (1864-1868) pernah menjadi pegawai negeri pada pemerintahan
Inggris di kantor Bupati Sialkot. Akan tetapi, sesudah empat tahun tinggal di kota
itu ia dipanggil ayahnya untuk pulang ke Qadian untuk bertani. Merasa tidak
cocok dengan pekerjaan itu, maka sebagian besar waktunya digunakan untuk
mempelajari al-Qur‟an dan lebih suka menyepi dari pada mengejar keduniaan.
Dengan demikian tidak aneh lagi jika gerakan Ahmadiah bersikap kooperatif
dengan pemerintah Inggris.
Terlihat pula perbedaan sikap kooperatif yang dilakukan antara Mirza Ghulam
Ahmad dengan Sayyid Ahmad Khan dengan gerakan Aligarhnya, sekalipun
keduanya sama-sama mendapat reaksi keras dari umat Islam India. Syyid Ahmad
Khan menginginkna agar umat Islam dapat memperoleh kemajuan dan
kesuksesan sebagaimana yang dicapai bangsa Eropa dengan mendirikan
Universitas Aligarh, sedangkan Mirza Ghulam Ahmad dengan gerakan
Ahmadiahnya ingin mendapatkan perlindungan secara politis agar dapat
menyebarkan ajaran keahmadiahannya dan dapat mempertahankannya secara
bebas.
Mengenaai pergulatan dalam pendidikan, Mirza Ghulam Ahmad tidak banyak
mendapatkan pendidikan formal semasa hidupnya. Ia mulai mendapatkan
pendidikan ketika berusia 6-7 tahun di rumahnya, dimana pada tahun 1841 M,
ayahnya memperkerjakan guru yang bernama Fazal Ilahi untuk mengajarkana alQur‟an dan kitab-kitab bahasa Persi. Tahun 1845 M, saat Mirza Ghulam Ahmad
berusia 10 tahun ayahnya memperkerjakan guru untuk mengarkan kitab-kitab
nahwu dan sharaf. pada saat ia berumur 17 tahun Mirza Ghulam Ahmad
48
mendapat pengajaran kitab-kitab manthiq dari guru yang bernama Gul Ali Syah.
Adapun ilmu ketabiban ia dapatkan dari ayahnya sendiri yang saat itu tekenal
sebagai seorang tabib yang sangat mahir dan pandai.
Di usianya yang matang, hatinya mulai merasakan kesedihan melihat
golongan Hindu, Nasrani, Sikh dan golongan-golongan lainya yang melancarkan
serangan terhadap Islam. Maka menjelang tahun 1875M, Mirza Ghulam Ahmad
mengadakan mujahadah atau menjalani disiplis asketis dengan melakukan puasa
selama 6 bulan berturut-turut. Tujuannya adalah untuk melarutkan diri dan
bertawajuh kepada Allah dengan beribadah, berdo‟a, berpuasa, dan setiap malam
bangun untuk shalat tahajud.
Keteguhan hatinya ternyata diuji oleh wafatnya ayahandanya di tahun 1876
M. Akan tetapi, hal tersebut tidak membuat semangatnya kendur untuk
memperjuangkan Islam. Mirza Ghulam Ahmad tidak peduli dengan warisan harta
benda yang ditinggalkan ayahnya, bahkan ia lebih memfokuskan diri dengan
mulai menulis artikel untuk membela ajaran Islam dari serangan-serangan yang
dilancarkan oleh berbagai golongan, khususnya Nasrani dan Arya Samaj di
beberapa media masa. Mirza Ghulam Ahmad akhirnya menerbitkan sebuah buku
yang sangat monumental saat ini berjudul Barahin Ahmadiah yang berisikan
tentang penjelasan keunggulan ajaran Islam dan keunggulan ajaran al-Qur‟an
dibandingkan agama Nasrani, Hindu, Arya Samaj, dan agama-agama lainya.
Dengan diterbitkannya buku tersebut maka terjadi pro-kontra di kalangan umat
beragama di India. Dikalangan umat Islam, kehadiran buku tersebut disambut
dengan suka cita, karena dianggap telah membela ajaran agama Islam dari
49
serangan yang dilancarkan oleh beberapa pihak khususnya dari kalangan nonHindu (Arya Samaj dan Brahma Samaj), dan Nasrani. Salah seorang ulama ahli
hadist ternama, Maulvi Muhammad Husain Batalvi menulis dalam buku nya Isya
at- as-Sunnah jilid VII. No. 6-1, halaman 169-170 dan Syawanah Fazl Umar jilid
I, halaman 20:
“Menurut pandangan kami, pada zaman sekarang sesuai kondisi yang berlaku,
buku ini adalah sedemikian rupa yang mana sampai saat ini tidak ada
bandingannya telah ditulis dalam islam, dan tidak ada kabar di masa mendatang,
karena Allah-lah yang telah mengetahui kejadian ini. Penulisnya pun dalam hal
memberikan bantuan terhadap Islam dari segi harta, jiwa, tulisan maupun lisan,
dan langkah-langkahnya adalah sangat teguh dan kokoh. Karenanya, sangat
sedikit sekali diketemukan contoh seperti dirinya biarpun dari kalangan Islam
terdahulu”.
Sehubungan dengan terbitnya buku Barahin Ahmadiah yang di dalamnya ada
pendakwaan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid abad ke-14 M dan
berdasarkan ilham-ilham yang diterimanya, maka pada tahun 1883 banyak dari
kalangan umat Islam yang menginginkan untuk melakukan bai‟at (janji setia)
menjadi muridnya, tetapi Mirza Gulam Ahmad menolak dengan alasan belum ada
ilham dari Allah untuk membai‟at dari orang-orang. Selanjutnya, berdasarkan
ilham yang diterima Mirza Ghulam Ahmad tahun 1888 M dari Allah untuk
mengambil bai‟at (janji setia), maka tanggal 23 maret 1889 M sebanyak 40 orang
melakukan bai‟at pertama di tangan Mirza Ghulam Ahmad yang dilaksanakan
dirumah Mia Ahmad Jaan, Ludhiana, India. Saat itulah dinyatakan sebagai
50
peletakan batu pertama berdirinya organisasi al-Jama‟ah al-Ahmadiah (Jamaah
Islam Ahmadiah).
Dalam wahyu yang diterima, Mirza Gulam Ahmad berpendapat bahwa ia
dituntut untuk melakukan dua hal. Pertama, menerima bai‟at dari para
pengikutnya.
Kedua,
membuat
bahtera,
yakni
membuat
wadah
untuk
menghimpun suatu kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita
keahmadiahaannya guna menyerukan Islam ke seluruh penjuru dunia. Perintah
Tuhan untuk membai‟at belum dilaksanakan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Adapun
perintah Tuhan membuat bahtera, yakni membuat wadah (organisasi) menurut
Ahmadiah Lahore, telah dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad dengan
mendirikan Ahmadiah.
Setelah adanya pernyataan-pernyataan dari Mirza Ghulam Ahmad, yang
menyatakan Nabi Isa telah wafat dan pendakwaan digantikan oleh Mirza Ghulam
Ahmad sebagai al-Masih al-Mau‟ud dan Imam Mahdi , maka gemparlah seluruh
umat beragama di India saat itu, baik di kalangan non-muslim maupun kalanggan
muslim sendiri.32 Sejak saat itu dukungan mau pun penentangan terhadap ide-ide
pemikiran Mirza Ghulam Ahmad berdatangan dari berbagai pihak. Dari satu
pihak, orang-orang yang setuju dengan ide-ide pemikirannya dan seluruh
pendakwaan dirinya sebagai figur al-Masih yang dijanjikan dan Imam Mahdi,
mendukungnya dengan melakukan Bai‟at (janji setia) kepada dirinya. Sebaliknya
dipihak lain, orang-ornag yang tidak setuju dengan berbagai macam pemikiran
32
Mirza Tahir Ahmad, Penumpahan Darah Atas Nama Agama, (Padang : Mubaligh
Jemaat Ahmadiah, 1984) h. 7
51
dan pendakwaan dirinya sebagai al-Masih, menentangnya dengan berbagai cara,
baik dengan cara polemik di media massa maupun dilakukan dengan debat
terbuka. Penentangan semakin menjadi-jadi setelah adanya pendakwaan diri
Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang Nabi “Dzilli” dan Ummati (Nabi
bayangan dan Nabi umat Muhammad) pada tahun 1901 M.33
B. Aliran Ahmadiah di Indonesia
Dalam perkembangannya, Ahmadiah baik Qadian maupun Lahore mulai
melebarkan sayap pergerakan dan memperluas jaringan organisasinya ke
berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia. Ahmadiah masuk ke Indonesia
sekitar tahun 1924 M. Program perluasan jaringan ke Indonesia di kalangan
aliran Qadian terjadi pada masa Khalifah II Bashiruddin Mahmud Ahmad, tetapi
di Indonesia sendiri yang pertama masuk melalui para mubalighnya adalah
Ahmadiah Lahore, para mubalighnya yang datang sebagai pedagang.
Ada karakteristik yang berbeda di antara kedua aliran tersebut dalam
penyebaran
gerakannya.
Aliran
Lahore
banyak
mengggunakan
cara
penyebarannya melalui pengiriman mubaligh-mubalighnya ke berbagai negara
meskipun tanpa undangan dari negara yang dituju. Sementara aliran Qadian
menyebarkan sayap gerakannya di Indonesia melalui para santri yang mondok di
pesantren sumatera thawalib dan melanjutkan sekolah ke Qadian kemudian
kembali ke Indonesia dan menyebarkan ajaran Ahmadiah.
33
Ahmad Saefullah, Sinopsis Karya-Karya Hz. Mirza Ghulam Ahmad, (Yogyakarta: Taman
Pustaka Arif Rahman Hakim, 2000), h. 5-13
52
Menurut Federspiel bahwa Ahmadiah pada awalnya sampai ke Indonesia
melalui para santri yang belajar di sekolah Ahmadiah di Qadian, khususnya pada
abad ke-19. Hamka menyatakan bahwa proses pengenalan Ahmadiah di
Indonesia pada awalnya banyak melalui informasi yang didapatkan melalui
majalah-majalah yang terbit diluar negeri dan datang ke Indonesia. Lain halnya
dengan Raden Ngabei Haji Minhadjurrahman Djojosugito yang menyatakan
bahwa dirinya mendengar gerakan Ahmadiah sekitar tahun 1921 M, namun
demikian sebenarnya Ahmadiah sudah di kenal sejak tahun 1918 M. Melalui
majalah Islamic Rewiew edisi melayu yang terbit di Singapura, tetapi Ahmadiah
baru mendatangkan tokohnya ke Indonesia tahun 1920 . Yaitu seorang tokoh
kenamaan Indonesia yaitu Prof.Dr. Maulana H. Kwadja Kamaluddin, BA.,LLB.
Pada tahun 23 oktober 1920M, ia berkunjung ke Surabaya dengan maksud untuk
berobat karena gangguan kesehatan sekaligus melihat kondisi sosial keagamaan
masyarakat di Surabaya. Pada tanggal 28 oktober 1920 M, tanpa perencanaan
perhimpunan Taswirul Afkar mengundangnya untuk memberikan ceramah umum
pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, di masjid Ampel
Surabaya. Materi yang disampaikan dalam ceramahnya seputar ajakan untuk
terus melakukan dakwah Islam kepada orang yang masih awam dan melakuakan
kajian mendalam terhadap al-Qur‟an agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
Di samping itu, ia juga menyampaikan tentang semangat dakwah Islam di Inggris
dan kegigihan para muallaf untuk mengkaji al-Qur‟an. Ceramah di Surabaya ini
ternyata mendorong ia untuk keliling ke berbagai kota antara lain, Gambir Park,
Batavia, dan lain-lain.
53
Aliran Qadian datang ke Indonesia berawal dari keberangkatan dua santri
Sumatera Thawalib ke India yaitu Abu Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin. Atas
saran dan nasehat Ibrahim Musa Parabek sorang ulama terkenal di Bukit Tinggi
agar melanjutkan sekolah ke Hindustan, karena sudah banyak santri yang
melanjutkan ke Timur Tengah dan pada waktu itu kualitas di Hindustan menjadi
salah satu pusat ilmu pengetahuan dan pendidikan yang bermutu tinggi serta
memiliki para tokoh intelektual yang ternama. Para tahun 1922 M, mereka
berangkat ke India dengan tujuan Lucknow dan bertemu dengan seorang ulama
besar Abdul Bari Ansari, kemudian mereka disarankan belajar di sekolah
Nizamiah yang di pimpinnya. Di kota tersebut mereka menjadi bertiga karena
salah seorang temanya bernama Zaini Dahlan yang baru datang dari Padang
Panjang bergabung dengan mereka. Setelah dua bulan, mereka memutuskan
untuk meninggalkan sekolah tersebut karena mereka mengetahui ternyata
gurunya adalah seorang yang suka menyembah kuburan seorang Kiyai.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Lahore dan di kota ini mereka juga
mengenal beberapa tokoh Ahmadiah yang pernah datang ke Indonesia seperti
Maulana H. Kwadja Kamaluddin. Di Lahore mereka belajar kepada para ulama
yaitu Maulana Abdullah Malabari, Maulana Syaikh Abdul Khalid, dan Maulana
Taqi yang waktu itu sengaja datang ke Lahore untuk berdebat dengan pimpinan
Anjuman Ahmadiah Lahore, Maulana Muhammad Ali. Melalui tiga gurunya
mereka mengenal Ghulam Ahmad pendiri Ahmadiah yang dimakamkan di
Qadian.
54
Pada bulan Juli tahun 1925 M, Maulana Rahmad Ali tiba di Indonesia dan
singgah di Banda Aceh. Kemudian ia tinggal di Tapaktuan, di rumah mantan
pelajar Indonesia yang belajar di Qadian yaitu Muhammad Samin. Kegiatan
pengajian dan ceramah ke berbagai pelosok desa Tapaktuan yang dilakukan
Maulana Rahmad Ali telah menarik banyak orang untuk masuk Ahmadiah,
apalagi materi yang disampaikannya seputar Mirza Ghulam Ahmad dan Imam
Mahdi, kewafatan Isa ibn Maryam, pintu kenabian dan lain-lainnya. Banyak
orang yang tertarik dengan Ahmadiah sampai akhirnya berdirilah cabang
Ahmadiah di Tapaktuan.
Setahun kemudian ia berangkat ke Padang, kota yang sangat ramai karena
merupakan pusat perdagangan. Kedatangannya mengundang banyak reaksi dari
ulama yang ada di Bukit Tinggi dan Padang Panjang, sampai akhirnya harus
dibuat sebuah “komite mencari hak” pimpinan Tahar Sutan Marajo, tetapi
pertemuan yang direncanakan dengan tujuan akan dilakukan diskusi antara kedua
belah pihak akhirnya gagal terlaksana karena para ulama tersebut tidak datang.
Reaksi keras pun datang dari Dr. H. Karim Amrullah yang mengecam bahwa
Ahmadiah adalah di luar Islam, sesat, dan kafir. Bahkan ejekan dan penghinaan
menjadi warna setiap hari dari kegiatan dakwah mubaligh tersebut dan hal itu
tidak menyurutkan semangat tablig mubaligh Ahmadiah. Banyak orang juga yang
tertarik pada Ahmadiah. Banyak orang yang ternyata juga tertarik dengan
Ahmadiah dari berbagai golongan dan latar belakang sosial di Padang. Tidak
lama kemudian datang para pelajar yang sudah lulus belajar di Qadian dan
menjadi munaligh Ahmadiah di Padang. Bertambahnya tenaga mubaligh
55
membantu gerakan tabligh Ahmadiah sehingga berdirilah Jema‟at Ahmadiah
Qadian di Padang. Dengan demikian, sebenarnya Maulana Rahmad Ali dan para
pemuda Indonesia yang belajar di Qadian adalah orang yang membawa ajaran
Ahmadiah Qadian ke Indonesia dan sebagai perintis Ahmadiah di Indonesia.
Pada tahun 1931 Maulana Rahmad Ali meninggalkan Sumatera dan pergi ke
Jawa, tetapi ia tidak pergi ke Yogyakara, karena disana sudah ada dua mubaligh
Ahmadaiah Lahore yang lebih dahulu di kenal di Jawa, yaitu Maulana Ahmad
dan Ahmad Baig. Kedua mubaligh tersebut selama di Yogyakarta ditampung
oleh Muhammadiyah. Banyak isu seputar kedatangan dua mubaligh tersebut
bahwa mereka adalah misionaris dan pembawa ajaran sesat, tetapi Muhamadiyah
tidak terpengaruh oleh isu negatif tersebut, bahkan Muhamadiyah menyambut
baik dengan Kongres Muhammadiyah tahun 1924 dan 1925. Adanya hubungan
baik anatara Ahmadiah dan Muhamaddiyah di Indonesia disebabkan oleh adanya
kesamaan misi, yaitu melakukan perlawanan terhadap misi Zending Kristen.
Keakraban ini semakin kental ketika rumah tempat tinggal Wali Big menjadi
tempat diskusi dan belajar bahasa Inggris tokoh muda Muhammadiyah.
Suasana keakraban antara Muhammadiah dan Ahmadiyah mulai retak. Hal ini
sebabkan banyak tokoh Muhammadiyah yang mengakui bahwa doktrin
Ahmadiyah tidak sejalan dengan mayoritas Islam. Sebenarnya informasi ini
sudah mereka ketahui dari H. Karim Amrullah ketika berkunjung ke Yogyakarta.
Puncak keretakan adalah ketika diketahui ada beberapa ajaran Ahmadiah yang
dianggap sesat dan keluar dari Islam, tetapi bersamaan dengan hal itu, Ahmadiah
Qadian di beberapa daerah sudah melebarkan sayap dakwahnya dan begitu pun
56
dengan aliran Lahore. Penafsiran-penafsiran yang menjadi perdebatan hanyalah
seputar kenabian, kewafatan Nabi Isa, dan masalah imam mahdi. Muhamadiyah
memiliki pandangan yang berbeda dengan Ahmadiyah khususnya pada wilayah
tersebut di atas.
Puncak perselisihan antara Ahmadiah dengan Muhammadiyah terjadi pada
saat Kongres Muhammadiyah tahun 1928 M. Salah satu agenda Kongres tersebut
adalah menyikapi persoalan Ahmadiyah. Perdebatan cukup alot pada acara
tersebut. Solusi yang diberikan adalah opsi kepada mereka para anggota
Muhammadiyah
yang
mendukung
Ahmadiyah,
apakah
akan
memilih
Muhamadiyah atau Ahmadiyah. Beberapa tokoh aktif di Muhammadiyah pada
waktu itu dengan penuh tekanan akhirnya keluar dan memilih Ahmadiah. Di
antara tokoh-tokoh tersebut adalah Djojosugito, Muhammad Husni, Muhammad
Kusban, Sutantyo, dan Supratolo.
Tidak hanya dengan Muhammadiyah, pada tahun-tahun berikutnya hubungan
mereka dengan organisasi masa Islam lain seperti SI, Persis, NU, dan ormas
lainya juga mengalami keretakan karena perdebatan doktrin teologi Ahmadiyah.
Peretentangan NU, Persis, dan Muhammadiyah ditunjukkkan dengan ditolaknya
al-Qur‟an Penerjemah H.O.S. Tjokroaminoto yang merupakan karya terjemahan
dari Holy Qu‟ran karya Maulana Muhammad Ali, Khalifah Ahmadiyah Lahore
pertama. Pertentangan ini berakibat di tubuh PSII pada waktu itu.
Di Indonesian aliran Qadian dan Lahore mempunyai struktur organisasi yang
hampir mirip dengan organisasi kemasyarakatan Islam seperti Muhammadiyah
57
dan lainya. Struktur Qadian mulai dirumuskan pada Konferensi Ahmadiah
Qadian tahun 1935 di Jakarta dan berhasil merumuskan anggaran dasar dan
anggaran Rumah Tangga, struktur organisasi, dan kepengurusannya. Struktur
kepengurusan ini terdiri dari 1 orang ketua, 2 orang sekertaris, dan 5 anggota.
Ketua pertama yang terpilih pada waktu itu adalah R. Moh. Muhjidin. Pada awal
peresmiannya, nama gerakan ini adalah Ahmadiah Qadian Departemen Indonesia
(AQDI). Sebagai langkah penyempurnaan, maka diselenggarakan konferensi
tahun 1937 M di Jakarta dan mengubah nama AQDI menjadi Anjuman
Ahmadiah Departemen Indonesia (AADI). Pada muktamar bulan desmber 1949
M, nama tersebut diubah lagi dengan Jema‟at Ahmadiah Indonesia (JAI) sampai
sekarang dan memiliki badan hukum dengan surat Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia. Secara hirarkis, organisasi JAI memiliki empat
tingkatan, mulai dari pengurus besar, pengurus daerah, pengurus cabang, dan
pengurus Ranting. Pengurus besar ini bertanggung jawab melaporkan kepada
pusat gerakan di Qadian, yang sekarang pindah ke Inggris.
Sedangkan pengertian pemasaran berasal dari kata pasar yang dalam konteks
tradisional diartikan dengan “tempat orang berjual beli”. Akan tetapi, pengertian
pasar yang dimaksud disini bukan dalam pengertian kongkrit, melainkan lebih
ditujukan pada pengertian abstrak. Menurut Philip Kotler pemasaran adalah
sebuah proses sosial dan manajerial, dimana individu dan kelompok memperoleh
apa yang mereka butuhkan dan inginkan, melalui penciptaan dan pertukaran
produk serta nilai dengan pihak lain. Pemasaran juga dapat diartikan sebagai
58
upaya untuk menciptakan dan menjual produk kepada berbagai pihak dengan
maksud tertentu
Ahmadiah Lahore tidak terlalu struktural pada awal berdirinya. Hanya saja
ada inisiatif dari Djojosugito dan Muhammad Husni yang ingin membuat wadah
untuk berdiskusi dan berkumpul bersama. Tepatnya pada tahun 1928 M, mereka
mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia Centrum Lahore dan secara resmi
mendapatkan badan hukum pada tahun 1929 M dengan nama Gerakan
Ahmadiayah Indonesia (GAI) Lahore sampai sekarang. Struktur organsasi GAI
berdasarkan Qanun Asasi tahun 1930 M terdiri dari pengurus pusat dengan
sebutan Pedoman Besar dan pengurus cabang. Pada periode pertama yang
menjabat sebagai ketua adalah Djojosugito dan Muhammad Kusni sebagai
sekertaris.
Perkembangan Ahmadiyah Lahore dan Qadian di Indonesia ini cukup pesat.
Beberapa tahun setelah resmi berdiri, kedua kelompok aliran tersebut menyebar
ke berbagai daerah di Indonesia. Ahmadiayah Qadian tersebar di Sumatera Barat,
khususnya di Padang, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Aceh, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Jakarta, Nusa Tenggara Barat, dan daerah-daerah lain di
Indonesia. Sementara Ahmadiyah Lahore mulai menyebar di Yogyakarta, Jawa
Tengah, Jakarta, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan daerah-daerah
lainnya di Indonesia. Perkembangan yang sangat pesat ini dari gerakan Ahmadiah
Qadian dan Lahore ini adalah karena mereka banyak menggunakan berbagai
macam media, antara lain melalui majalah, tabligh, kegiatana sosial, dan buletinbuletin.
59
Saat ini, tanpa harus menutup mata kita bahwa sumbangan Ahmadiyah di
Indonesia cukup besar baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan
sosial, dan yang lainya. Hal yang paling menarik adalah sumbangan Ahmadiyah
terhadap dunia Islam melalui MTA (Muslim Television Ahmadiah). Melalui
MTA ini, Ahmadiah melakukan dan menyebarkan informasi Islam ke berbagai
negara di dunia, termasuk Indonesia. Siaran yang menjadi program dari televisi
tersebut ialah al-Qur‟an dan al-Hadits Teaching, Islam News, Islam and
Lenguage, Children Cornex, Women Corner, Liqa‟ ma‟al-A‟rab Muhadharah,
dan lain-lain.
Di samping, itu kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya berlanjut yang dilakukan
adalah penerbitan buku, majalah, dan buletin. Berbagai kajian buku, diskusi,
dialog, dan seminar baik nasional maupun internaional telah banyak
dilaksanakan. Hal yang paling spektakuler adalah agenda penerjemahan alQur‟an ke dalam seratus bahasa, yang saat ini masih dalam tahap penyelesaian,
tetapi hanya sekitar dua puluh bahasa lagi yang belum selesai. Ahmadiah juga
merencanakan pembangunan seratus masjid di Eropa. Melihat potret gerakan
yang ada, bahwa Ahmadiah adalah satu-satunya organisasi masa Islam yang
memiliki aset sangat besar dan memberikan sumbangan sosial kepada negara
yang tidak sedikit. Padahal Ahmadiah hanya mengandalkan dana dari internal
anggotanya saja dan tidak menerima sumbangan dari luar sampai saat ini.
Sehingga langkah kemandirian melalui doktrin teologis di kalangan Ahmadiah
sangat efektif dan behasil untuk mengaplikasikan gerakan sosial kemasyarakatan
dan gerakan dakwah Islam yang mempunyai misi menyebarkan dakwah islam
60
dan melakuakn counter attack terhadap misi-misi Kristenisasi di dunia. Melalui
progresivitas gerakan dengan memperkuat intensitas dakwah dan mempertajam
basis intelektualitas di dunia keilmuan dalam berbagai implementasi dari misi
universal Islam rahmatan lil‟alamin.
C.
Doktrin-doktrin Teologi Ahmadiah
1. Konsep Jihad
Di kalangan aliaran Ahmadiah, pandangan terhadap konsep wahyu tidak
terjadi perdebatan antara Qadian dan Lahore. Masalah wahyu ini masih paralel
dengan konsep kenabian, Imam Mahdi dan al-Masih serta sosial kontrofersal
Gulham Ahmad sendiri. Menurut Ahmadaiah Qadian, wahyu adalah lafadz Allah
swt yang sampai kepada para penerimanya dan bukan merupakan inspirasi yang
kemudian diucapkan dengan kalimat sendiri oleh para penerimanya. Sedangkan
menurut Ahmadiah Lahore, dalam hal ini di kemukakan oleh Maulana
Muhammad Ali, wahyu adalah isyarat yang cepat. Wahyu itu sendiri merupakan
sabda yang masuk ke dalam kalbu para nabi dan orang-orang tulus dan ikhlas.
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa wahyu Allah, tidak hanya diturunkan kepada
para nabi saja, tetapi diberikan juga kepada seluruh manusia bahkan kepada
semua mahluk ciptaan Allah. Seperti: binatang, tumbuhan, dan lainya. Namun
proses transmisinya wahyu itu berbeda.
Lebih lanjut Maulana Ali mengungkapkan bahwa di dalam al-Qur‟an
disebutkan ada lima macam wahyu: pertama, wahyu yang diturunkan kepada
mahluk yang tidak bernyawa seperti bumi dan langit yang terdapat pada ayat al61
Qur‟an surat fushilat ayat 11-12. Kedua, wahyu yng diturunkan kepada binatang
pada ayat al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 68-69. Ketiga, wahyu yang diturunkan
kepada malaikat pada ayat al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 12. Keempat, wahyu yang
diturunkan kepada manusia biasa pada ayat al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 11.
Kelima, wahyu yang diturunkan kepada para nabi dan rasul pada surat al-Anbiya
ayat 74 dan ayat 164. Bentuk dari kelima wahyu itu bermacam-macam bergantung
kepada siapa yang menerima wahyu tersebut.
Aliran Ahmadiah meyakini bahwa Ghulam Ahmad (al-Mahdi dan al-Masih
mas‟ud) menerima wahyu dari Allah swt. Namun, wahyu yang diterima dan
disampaikan oleh Ghulam Ahmad berfungsi sebagai interpretasi al-Qur‟an bukan
teks yang menyamai al-Qur‟an itu sendiri. Ahmadiah sendiri meyakini al-Qur‟an
merupakan satu-satunya kitab suci yang dapat diperbaiki dan dapat diperbaharui
berbagai macam kerusakan yang ada, tetapi tidak dapat berjalan dengan mulus
tanpa ada tuntunan dari Allah. Tuntunan itu datang salah satunya dari Ahmadiah.
Sebenarnya Ghulam Ahmad sendiri mengakui bahwa pentunjuk yang diterimanya
hanyalah ilham, tetapi oleh para pengikutnya kemudian dinyatakan sebagai
wahyu. Dalam kasus tersebut, Ghulam Ahmad sendiri tidak menyalahkan
pengikutnya bahkan memberikan pembenaran, sehingga di kalangan ahmadiah
akhirnya banyak menggunakan istilah-istilah baru, seperti wahyu nubuwwah,
wahyu tasyri‟, wahyu ghair tasyri‟, wahyu walayah, wahyu mathluw, wahyu ghair
mathluw, dan sebagainya.
Menurut Ahmadiah, kalam Allah datang dalam berbagai muatan dan varian
pesan, di antaranya masalah syariat dan hukum, tradisi, wejangan, nasihat-nasihat
62
serta kewajiban dan ancaman. Wahyu akan turun terus menerus hingga hari
kiamat tiba, sebab menurut pandangan Ahmadiah bahwa komunikasi Tuhan
dengan manusia terjadi melalui wahyu. Mereka menyandarkan argumentasi
tersebut pada al-Qur‟an surat as-Syu‟ara ayat 5134 . Atas dasar tersebut, Ahmadiah
meyakini bahwa proses transmisi wahyu dari Allah terjadi melalui berbagai
macam cara, di antaranya: pertama, wahyu datang langsung berupa kalam yang
diilhamkan langsung ke dalam kalbu para nabi dan orang-orang tulus. Hal ini
merupakan bentuk pengikut nabi Isa dan ibn nabi Musa, kedua, di belakang tirai,
jenis wahyu tersebut ada tiga macam, yaitu mimpi yang baik (mubasyarah)
berupa petunjuk Allah yang diterima seseorang dalam keadaan setengah tidur,
petunjuk ilahi yang diterima seseorang dalam keadaan sadar dan melihat dengan
mata nurani (kasyaf) dan petunjuk ilahi yang datang kepada seseorang dalam
keadaan sadar dan mendengar dengan telinga rohani (ilham). Ketiga, wahyu turun
melalui utusan. Proses pewahyuan terjadi seperti wahyu yang diterima oleh para
nabi melalui malaikat Jibril.
Wahyu jenis pertama dan kedua merupakan tingkatan proses pewahyuan yang
paling rendah dan akan tetap terbuka selama-lamanya, dalam pengertian bahwa
wahyu jenis tersebut akan datang dan diturunkan sampai hari kiamat. Wahyu
tersebut akan diturunkan kepada orang-orang yang khusus yang diangkat ke
derajat kenabian. Tetapi, yang menjadi catatan adalah bahwa orang-orang tersebut
mempunyai kelebiahan yang tidak dimiliki orang pada umumnya. Kelebihan
tersebut adalah “indra rohani”. Indra ini akan melihat, mendengar, dan merasakan
34
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah (Jakarta: P.T. Wahana Semesta
Intermedia, 2006), h. 68
63
sesuatu yang tidak akan didengar, dilihat, dan dirasakan orang lain kecuali yang
mengalaminya. Wahyu seperti ini disebut wahyu ghaib mathluw (wahyu yang
tidak dibacakan dan diucapkan) atau wahyu khafiy (wahyu batin). Sementara
wahyu jenis ketiga, hanya diberikan kpada para nabi dan tertutup setelah
berakhirnya masa kenabian nabi Muhammas SAW. Karena beliau penutup para
nabi. Wahyu jenis ini di sebut wahyu nubuwwah (wahyu kenabian) atau wahyu
mathluw (wahyu yang dibacakan dan ucapkan). Sementar itu, menurut Nazir
Ahmad bahwa wahyu terputus sesudah nabi Muhammad. Oleh karena itu, Nazir
berpendapat bahwa Mirza Gulham Ahmad mendapatkan wahyu tasyri‟ “yaitu
wahyu yang mutlak dapat diterima oleh siapa saja, tidak hanya dikhususkan pada
para nabi”.
Sementara khalifah II Ahmadiah, Bashiruddin Ahmad mengatakan
pewahyuan itu masih terbuka, meskipun tidak ada syariat yang diturunkan, karena
para nabi yang diutus mengungkapkan kekayaan yang terkandung dalam alQur‟an yang masih tersembunyi. Lebih lanjut khalifah II mengatakan, bukan
hanya wahyu yang kami percayai akan terus terbuka selama-lamanya, melainkan
wilayah kenabian pun akan terus terbuaka. melihat argumentasi di atas tidak
terjadi banyak perbedaan mengenai wahyu antara Qadian dan Lahore. Hanya saja,
aliaran Qadian meyakini bahwa wahyu akan selalu datang dan terbuka, tetapi
kenabian pun akan terus berlangsung. Titik permasalahan yang kontroversial
dalam hal ini bahwa aliran Qadian meyakini Ghulam Ahmad sebagai al-Masih
dan al-Mahdi yang dianggakat oleh Allah SWT. melalui ilham yang diterimanya,
kemudian dia diangkat sebagai nabi karena dianggap sebagai duplikat nabi Isa
64
sehingga mereka meyakini bahwa proses penerimaan wahyu terjadi pada Ghulam
Ahmad.
Secara substansial tidak terdapat perbedaan terhadap aliran tersebut, hanya
tema-tema tertentu saja yang membedakan keduanya dalam masalah wahyu
tersebut.
Pendapat yang selama ini banyak yang mengkritisi negatif terhadap Ahmadiah
mengatakan bahwa aliran Qadian meyakini wahyu yang di turunakn Allah SWT
kepada manusia yang berjumlah lima yaitu: injil, thaurat, zabur, al-Qur‟an dan
tazkirah yang diturunkan pada Ghulam Ahmad.
Namun demikian, sejauh pembacaan dan pengakajian terhadap sumbersumber primer yang ada keterangan tentang hal tersebut tidak ditemuakan. Terkait
dengan konsep wahyu yang membedakan antara Ahmadiah dan umat Islam
selama ini adalah terletak pada pendefinisian wahyu dan ilham. Ahmadiah
meyakini bahwa wahyu dan ilmu itu sama, sementara kelompok “mayoritas”
membedakannya. Menurut pemahaman yang berkembang pada mayoritas umat
Islam saat ini adalah antara wahyu dan ilham itu berbeda. Wahyu hanya
diturunkan kepada para nabi dan rasul, sementara ilham diturunkan kepada
manuusia biasa dan derajat di antara keduanya sangat berbeda. Dalam hal ini,
memang terjadi perbedaan mendasar pada wilayah epistemologis antara
Ahmadiah dan umat islam pada umumnya.
65
2. Syariat Jihad
Bagi Ahmadiah, jihad didefinisikan sebagai tindakan mencurahkan segala
macam
kesanggupan,
kemampuan, dan kekuatan
yang dimiliki dalam
memghadapi pertempuran, menyampaikan pesan kebenaran, ataupun mengerakan
seluruh daya kemampun dalam menghadapi segala urusan. Dengan kata lain jihad
adalah mengerahkan segala daya memaksakan diri dalam menyampai suatu
tujuan. Menurut S. Ali Yasir, salah seorang tokoh Ahmadiah menyatakan, bahwa
sekitar 40 ayat dalam al-Qur‟an yang terkait dengan masalah jihad dan semuanya
mengandung pengartian berjuang sekuat tenaga atau berusaha keras 35. Dalam
pandangannya, jihad menurut al-Qur‟an adalah perjuangan untuk menegakkan
kebenaran dan mencapai tujuan suci yang diridai Allah SWT. Tindakan
mengangkat senjata untuk membela diri juga dinamakan jihad. Dalam al-Qur‟an
istilah yang tepat sering disebut qital. Ahmadiah mengklasifikasikan jihad
menjadi tiga kategori yaitu: pertama, jihad shagir adalah perjuangan membela
agama, nusa, dan bangsa dengan mempergunakan senjata terhadap musuh-musuh
yang menggunakan kekerasan dan senjata dengan tujuan memusnahkan agama,
nusa, dan bangsa. Ahmadiah meyakini bahwa perjuangan jihad dengan senjata itu
membela agama sudah tidak diperlukan lagi saat ini, karena tidak ada orang atau
pihak yang menggunakan senjata itu untuk membela dan mengembangkan agama.
Kategori jihad seperti ini merupakan tingkatan paling rendah nilainya. Kedua,
jihad khabir adalah perjuangan atau jihad dengan mempergunakan dalil-dalil atau
35
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah (Jakarta: P.T. Wahana Semesta
Intermedia, 2006), h. 78
66
keterangan baik lisan, maupun lisan, untuk menyebarluaskan ajaran al-Qur‟an
kepada kaum kafir dan musyrik. Jihad dalam bentuk ini yang sedang dilancarkan
oleh Ahmadiah saai ini. Ketiga, jihad akbar ialah perjuangan atau jihad terhadap
godaan setan hawa nafsu akan terus dilakukan setiap saat 36. Jihad pada bentuk ini
dilakukan setiap saat sama seperti ketika kita terus melakukan aktivitas. Kategori
jihad ini sangat tergantung pada bakat dan sifat manusia itu sendiri dalam
menerjemahkan hawa nafsnya dalam aktivitas praktis sehari-harinya.
Khalifah II Ahmadiah Bashiruddin Mahmud Ahmad menyimpulkan bahwa
banyak orang yang mempunyai pemahaman keliru tentang Ahmadiah terkait
dengan masalah jihad. Menurut pandangannya dan kemudian menjadi paham
Ahmadiah, bahwa peperangan itu terbagi menjadi dua macam, yaitu: perang jihad
dan perang lumrah. Perang jihad adalah perang yang terjadi karena dorongan
mempertahankan keyakinan dan kepercayaan agama, sementara musuh yang
dihadapi adalah sekelompok orang atau pihak yang mencoba membinasakan dan
melakuakan tindak kekerasan dengan maksud dan tujuan mengubah dan memaksa
seseorang atau kelompok untuk melepaskan kepercayaan dan keyakinan
agamanya. Isu yang menjadi main stream dalam peperangan tersebut adalah
perang agama atau perang suci (holy war). Kahlifah II ini lebih lanjut
menjelaskan, bahwa seandainya peperangan melawan kelompok bersenjata
dengan motivasi seperti di atas, maka wajib setiap kaum muslim untuk berjihad.
Akan tetapi, ada persyaratan yang harus di penuhi dalam perang jihad tersebut
diantaranya adalah keharusan adanya seorang imam yang mengatur dan
67
memberikan intruksi kepada umatnya bahwa siapa saja yang berhak mengikuti
perang dan siapa yang harus menunggu gilirannya. Khalifah II mengatakan bahwa
orang yang mendapat gilirangnya harus turun ke medan jihad tetapi bila tidak
melaksanakannya, maka ia akan berdosa37.
Menarik untuk dikaji secara lebih mendalam bahwa isu Ahmadiah yang
tidak mempunyai syarat jihad dan melarang kepada jemaatnya untuk berjihad
ketika pemerintahan Inggris melakukan penjajahan dan berkuasa di India dan
Pakistan, khususnya di daerah Punjab. Menurut pendapat yang berkembang
bahwa terjadi kontroversi mengenai argumentasi Ahmadiah yang pada waktu itu
tidak melakukan jihad dengan senjata melawan Inggris. Hal yang muncul
kepermukaaan ialah faktor politik mendorong Ahmadiah untuk bersikap seperti
itu. Gerakan Ahamadiah pada waktu itu telah melakukan kompromi dan
kesepakatan politik dengan Inggris. Ahmadiah telah melakukan perjanjian
perdamaian dan mendukung penjajahan serta kekuasaan Inggris di India dan
Pakistan. Sebagai imbalannya mereka meminta dukungan dan perlindungan
terhadap gerakan mereka dan para jemaatnya agar tidak mengalami intimidasi apa
pun dari pemerintahan Inggris. Ahmadiah menjadi “antek” atau “demang”
pemerintahan Inggris untuk menjadi komunikator dengan masyarakat. Di samping
itu, pemerintahan Inggris harus membantu kelangsungan gerakan Ahamadiah dan
perkembangannya ke berbagai negara.
37
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah, (Jakarta: P.T. Wahana Semesta Inter
Media, 2006), h. 72
68
Memang tidak dapat disangkal kedekatan keluarga Ghulam Ahmad
dengan pemerinatahan Inggris, bahkan Hasan bin Mahmud Audah mengatakan
kedekatan Gulham Ahmad dengan pemerintahan Inggris sebagai berikut.
“Hubungan Mirza Ghulam Ahmad dengan Inggris bukan hanya hubungan antara
muslim yang hendak berterima kasih karena telah berbuat baik kapadanya, tetapi
hubungan itu adalah lebih dengan antara seorang “pelayan” kepada seorang
“majikan” dengan menutip perkataan Ghulam Ahmad: “sungguh telah aku
habiskan umurku untuk mengokohkan dan membantu pemerinatahan Inggris.”
Dalam keterangan yang lain, Gulham Ahmad mengatakan bahwa hanya
dengan bernaung di bawah pemerintahan Inggris kehidupan masyarakat India
akan berlangsung aman, sentosa, dan merdeka. Pengakuan Ghulam Ahmad
sebagai imam dan sosok yang dihormati dengan doktrin yang disampaikan kepada
jamaatnya untuk tidak melakukan perlawanan dan mengagkat senjata kepada
pemerintahan Inggris merupakan sebuah keuntungan bagi Inggris, bahkan
Ghulam Ahmad menyarankan kepada jamaatnya untuk mengubah kebencian
menjadi kecintaan kepada pemerintahan Inggris supaya menjadi koloni India lebih
lama lagi menyangkal sekaligus menjawab persepsi negatif tersebut, para pendiri
(founding fathers) Ahmadiah, dalam hal ini Ghulam Ahmad dalam kitabnya
Tuhfah Golarwiyah mengatakan bahwa: Tidak sedikitpun keraguan bahwa syaratsyarat yang diletakan (dalam al-Qur‟an suci) tidak didapat saat ini di negeri di
mana penulis hidup, karena itu disini jihad dengan pedeang tidak syah”.
Dalam pandangan Ahamadiah, penjajahan Inggris pada waktu itu tidak
menuntut kepada masyarakat jajahannya untuk menukar agama atau memaksakan
69
melepaskan kepercayaannya dan keyakinan agama masyarakat. Bahkan
Ahmadiah memandang kewajiban anggotanya untuk berjihad jika seandainya
Inggris menunutut untuk melepas atau menukar agama, maka hukumanya wajib,
tetapi situasi tersebut tidak terjadi pada waktu itu.
Khalifah II menyangkal tuduhan dan isu yang berkembang tersebut.
Khalifah mengatakan, bahwa menurut hitmad kami pada waktu itu belum tiba
saatnya melakukan jihad dengan senjata. Jika kami berada dalam posisi dan sikap
yang salah ini semata-mata hanyalah kekeliruan ijtihad. Alasan lain yang
dikemukan bahwa Ahmadiah lebih memilih mengaplikasikan bentuk jihad kabir
dan jihad akbar untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia, dan bukan jihad
shagir. Menurut Ahmadiah bahwa pada abad XX, jihad dalam bentuk perang
sudah tidak sesuai lagi. Jihad dengan lisan atau tulisan adalah jihad yang paling
tepat. Dalam tulisan Mirza Ghulam Ahmad mengatakan bahwa: “Pada saat ini
Islam mengahadapi ancaman yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam, akan
tetapi alat yang mereka gunakan berlainan sama sekali dengan dengan apa yang
mereka gunakan tiga belas abad yang lampau (perang salib). Kini mereka
menggunakan tulisan-tulisan untuk menyerang dan memfitnah, baik dalam surat
kabar, pentas-pentas, maupun dalam buku-buku bacaan. Kita tidak boleh tinggal
diam, kita harus berjuang (berjihad) sekuat tenaga untuk membatalkan
propoganda palsu lawan. Adapun alatnya cukup dengan pena dan tinta saja, untuk
menulis karangan yang bermutu dan sangat menguntungkan Islam.
Dalam
pandangan
Ahmadiah,
ketika
terjadi
keterlibatan
dengan
pemerintahan pada pelaksaaan jihad kabir dan jihad akbar, maka Ahmadiah harus
70
taat dan setia kepada pemerintah dan negara di mana mereka berada. Hal ini di
buktikan dengan gerakan Ahmadiah yang dengan gentar melakukan perlawanan
terhadap Agama Kristen, Hindu, Budha dan Marxis dengan perlawanan
menggunakan dalil-dalil dan keterangan yang argumentatif secara rasional
menurut mereka. Bahkan sampai saat ini Ahmadiah masih terus melakukan
berbagai aplikasi jihad untuk memajukan Islam tanpa harus mengangkat senjata.
Secara garis besar, ada dua hal yang menjadi alasan utama bagi khalifah II
mengapa Ahmadiah tidak melakukan perlawatan kepada Inggris. Pertama, di
bawah pemerintahan Inggris kebebasan beragama menjadi terjamin, tidak ada
pemaksaan agama. Kedua, Mirza Ghulam Ahmad bukanlah politikus pemimpin
duniawi, tetapi tidak lebih dari sekedar pemimpin duniawi, tetapi tidak lebih dari
sekedar pemimpin ruhani. Tidak ada faktor politik yang melatarbelakangi sikap
Ahmadiah dalam memandang jihad. Lebih jauh Ahmadiah memandang bahwa
kemajuan Islam di tentukan oleh penghayatan dan pengkajian umat Islam untuk
menggali makna tersembunyi di balik al-Qur‟an. Apabila al-Qur‟an itu dipahami
dengan baik, maka jihad seharusnya dilancarkan dengan perantara al-Qur‟an
bukan dengan pedang.
Berdasarkan keterangan di atas, tidak ada perbedaan yang prinsip antara
Ahmadiah dengan “mayoritas umat Islam” tentang jihad. Hanya saja Ahmadiah
mengaggap bahwa dalam makna jihad terkandung makna qital, seperti dalam
jihad shagir, tetapi saat ini jihad shagir dengan makna qital dianggap sudah tidak
ada, sebaliknya yang ada hanyalah jihad akbar dan jihad kabir. Berbeda dengan
“mayoritas umat Islam” bahwa jihad masih bisa dipahami dalam bentuk jihad
71
shagir, jihad akbar dan jihad kabir. Maka dari itu, makna jihad menurut
Ahmadiah ketika dikaitkan dengan pemerintahan, tidak memperhatikan siapa
pemerintah yang berkuasa. Walaupun bersikap baik, bagaimana pun adanya
penjajah tetap harus dilawan. Nasionalisme untuk kedaulatan dan kemerdekaan
negeri sendiri merupakan hal yang paling krusial dan harus dipertaruhkan dengan
berbagai cara.
3. Konsep Khalifah
Pemahaman Ahmadiah tetang konsep khalifah baik aliran Qadian maupun
aliran Lahore sebenarnya sama-sama mendasarkan pemahamannya pada alQur‟an. Namun demikian, di antara kedua aliran Ahmadiah tersebut ada
perbedaan dalam memberikan penafsian. Menurut Ahmadiah Qadian, dalam hal
ini Bashiruddin Mahmud Ahmad (khalifah II), bahwa perkataan khalifah
(pengganti) yang terdapat dalam al-Qur‟an dipahami dan digunakan dalam tiga
pengertian, antara lain: petama, khalifah dipergunakan untuk nabi-nabi yang
disinyalir sebagai penggani Allah di dunia, seperti Nabi Adam disebut sebagai
khalifah dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 31-32 dan sama juga seperti Nabi
Daud dalam surat as-Shad ayt 27. Kedua, khalifah dipahami sebagai makna bagi
umat atau kaum yang datang kemudian pada surat al-A‟raf ayat 70 dan 75.
Khalifah dalam pengertian ini adalah para pengganti nabi yang dipilih oleh kaum
dan umatnya sendiri, seperti Abu Bakar yang menggantikan Nabi Muhammad.
Ketiga, khalifah dipergunakan untuk menjelaskan para pengganti nabi, karena
mereka telah mengikuti jejak para nabi sebelumnya. Proses penggantian tersebut
72
secara langsung diangkat oleh Allah, khalifah dengan pangkat nabi ini
berkedudukan sebagai pengganti atau pendamping bagi nabi yang ada sebelumnya
atau pada masanya, seperti Nabi Harun yang merupakan khalifah bagi Nabi Musa
pada sutar al-Araf disebutka ayat 143 .
Katagori khalifah dalam pengertian yang pertama dan ketiga hanyalah pada
pemimpin ruhani. Aliran Ahmadaih Qadian ini menjelaskan bahwa tidak semua
nabi dan rasul yang disebutkan dalam al-Qur‟an menjabat sebagai pemimpin
ruhani sekaligus pemimpin pemerintahan. Para rasul yang di utus Allah yang
hanya menjabat sebagai pemimpin ruhani di antaranya adalah Nabi Yahya, Isa,
Zakaria dan Harun sementara Nabi Muhammad adalah seorang Nabi sekaligus
pemegang tampuk kepemimpinan pemerintah. Para khalifah yang menggantikan
beliau, seperti Abu Bakar, Umar ibn Khatab, Usman ibn Affan dan Ali bin Abi
Thalib juga pemimpin pemerintah, tetapi sistem khalifah ini berakhir sejak masa
Muawiyyah berkuasa, karena penguasa yang datang berikutnya hanya berdasarkan
keturunanan dan pengangkatan diri sendiri, berbeda dengan makna khalifah
sebagaimana yang tersebut dalam al-Qur‟an.
Sementara Ahmadiah Lahore menyatakan bahwa ada dua macam khalifah.
Pertama, khalifah yang sesuai dengan makna khalifah dalam al-Qur‟an dalam
surat an-Nur ayat 55. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa umat Islam adalah
umat yang akan memimpin peradaban di muka bumi, karena itu dibutuhkan
sistem kekhalifahan untuk membangun pemerintahan tersebut. Nabi Muhammad
adalah khalifah pertama dan kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya
Khulafaur Rasyidin. Kedua, khalifah dimaknai sebagai mujaddid dan para tokoh
73
spiritual yang mendirikan sebuah orgnisasi atau komunitas terstruktur yang akan
meneruskan syariat. Dalam hadits dinyatakan bahwa akan muncul setiap satu abad
sekali para mujaddid yang akan memperbaharui agamanya.
Dikalangan aliaran Ahmadiah terjadi perbedaan pendapat mengenai posisi
setelah Ghulam Ahmad meninggal. Menurut Ahmadiah Qadian setelah Ghulam
Ahmad meninggal, maka berdirilah sistem khalifah dalam Ahmadiah yang
terkenal dengan khalifah al-Masih. Doktrin khalifah al-Masih ini didasarkan dan
dimotivasi oleh wasiat Ghulam Ahmad mengenai keharusan adanya khalifah yang
menggantikannya. Hal ini juga didasarkan pada hadits nabi yang menggambarkan
hakikat seorang khalifah dibandingkan dengan pemimpin negara.
Ahmadiah Qadian meyakini bahwa apa yang telah disabdakan oleh nabi
Muhammad adalah terbukti menjadi kenyataan. Sejarah islam telah mencatat
bagaiman awal kekhalifahan dengan pola kenabian dan dikenal dengan khilafah
rasyidah, murni dari Abu Bakar dan berakhir dengan khalifah Ali bin Abu Thalib
setelah itu baru muncullah kekhalifahan dengan pola kerajaan yng berawal dari
Muawiyyah dan berakhir dengan Sultan Hamid II di Turki. Setelah dua pola
tersebut terlewati dalam masa kesejahteraan Islam, merujuk pada hadits di atas,
akan muncul kembali pola kekhalifahan dengan sistem kenabian kedua pada masa
Isa dan Mahdi diatas dasar polarisasi sistem kekhalifahan tersebut, maka
Ahmadiah berdiri sebagai kelanjutan sistem kekhalifahan tersebut. Dalam
Ahmadiah dikenal dengan khalifah al Masih. Sistem ini sebagai kelanjutan dari
pekerjaan Ghulam Ahmad, Al Masih dan Imam mahdi yang berpangkat nabi .
74
Sistem khalifah dengan pola kenabian yang ada pada masa Nabi Muhammad
sebenarnya berbeda dengan yang terjadi pada masa Ghulam Ahmad. Khilafah
dengan pola kenabian pada masa Nabi Muhammad mempunyai fungsi ganda,
yakni disamping sebagai Nabi sebagai Nabi yang mempunyai misi menyebarkan
dakwah agama Islam, juga memegang dan menjalankan fungsi pemerintahan.
Sementara itu khilafah dengan pola kenabian yang terjadi pada masa Ghulam
Ahmad hanya berfungsi tunggal, semata-mata sebagai pemimpin ruhani yang
menyebarkan dakwah Islam tidak masuk dalam arena kekuasaan dan tidak
memegang tampuk kepemimpinan. Dalam aliran Ahmadiah Qadian, setelah
Ghulam
Ahmad meninggal
menjadi
wajib hukumnya
untuk
dicarikan
penggantinya sebagai khalifah sebagai Jema‟at Ahmadiah yang menjadi
pemimpin tertinggi yang harus ditaati.
Setelah kepemimpinan Ghulam Ahmad, maka tampuk pimpinan
dilanjutkan oleh Maulana Hakim Nuruddin sebagai Khalifatul masih I tahun
1841-1941 M, kemudian Bashiruddin Ahmad yang merupakan putra dari Ghulam
Ahmad sebagai khalifatul Masih II tahun 1889-1965 M, kemudian Nashir ahmad
terpilih sebagai khalifatul masih III tahun 1909-1985 M, dan khalifatul masih IV
adalah Tahir Ahmad, serta khalifatul masih V, Mansyur Ahmad yang menjadi
pemimpin pusat Jemaat Ahmadiah hingga sekarang.
Perbedaan anatara Ahmadiah Qadian dan Lahore dengan kaum muslimin
secara umum tentang khalifah adalah menurut kaum muslim, bahwa khalifah yang
menggantikan pangkat dan kedudukannya sebagai nabi dan penerima wahyu,
melaikan hanya sebagai pelangsung gerak dakwah Islam ke penjuru dunia. Di
75
samping itu, bahwa makna khalifah setelah rasul dalam pimpinan negara yang
kewenangannya telah diberikan oleh yang berwenang. Sementara Ahmadiah
Qadian menganggap bahwa khalifah yang menggantikan nabi sekaligus berfungsi
menggantikan nabi sekaligus mendapatkan wahyu dari Allah. sementara
Ahmadaiah Lahore menganggap posisi khalifah tersebut adalah hanya sebagai
mujaddid, tetapi di pilih oleh Tuhan melalui wahyu. Menurut sebagian besar umat
Islam, hal ini merupakan suatu yang paling prinsipil yang membedakan antara
mayoritas umat Islam dengan aliran Ahmadiah.
4. Konsep Kenabian
Sebelum memjelaskan pandangan Ahmadiah tentang konsep kenabian,
terlebih dahulu perlu kiranya di jelaskan mengenai definisi nabi dan rasul secara
umum. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa definisi nabi dan rasul secara
umum adalah seorang laki-laki akil, baligh, berbudi pekerti baik, dan dan
kepadanya diturunkannya wahyu syariat. Jika seorang laki-laki tersebut
diperintahkan menyampaikan apa yang diwahyukan kepada umat, maka ia
didefnisikan sebagai rosul. Sebaliknya, jika dia tidak diterimanya sebagai wahyu,
maka ia didefinisikan sebagai nabi.
Keterangan di atas memberikan penjelasan bahwa setiap rosul secara otomatis
berpangkat sebagai nabi, tetapi tidak setap nabi berarti rosul. Jumlah nabi sangat
banyak sekali, bahkan tidak semunya tersebut dalam al-Qur‟an ada yang
menyebutkan bahwa jumlah nabi sebanyak 314 orang yang di mulai dari Adam
dan berakhir dengan Nabi Muhammad, namun dalam pandangan Ahmadiah
76
definisi dan jumlah tersebut tidak benar, karena jumlah nabi yang membawa
syariat sangat sedikit. Hanya Nabi Musa yang membawa kitab Thaurat dan Nabi
Muhammad yang membawa al-Qur‟an.
Dalam persfektif Ahmadiah, nabi seperti didefinisikan diatas adalah salah,
Ahmadiah mendefinisikan nabi adalah laki-laki baligh, berakal, berbudi pekerti
baik, dan di turunkan kepada wahyu. Jika wahyunya mengandung hukum-hukum
baru yang belum terdapat pada syariat sebelumnya maka ia di namakan sebagai
nabi yang membawa syariat baru. Sementara jika mereka tidak mebawa syariat
baru, maka ia dinamakan nabi pembantu. Fungsi dari nabi pembantu itu dalalah
menguatkan dan menjelaskan apa yang terjadi dalam syariat yang dibawa oleh
nabi sebelumnya. Menurut Ahmadiah perbedaan antara nabi dan rasul hanya
nisbati saja, sedangkan wujudnya satu. Lebih lanjut menurut Ahmadaih baik nabi
maupun rasul sama-sama harus menyampaikan wahyu yang diterimanya, kalau
tidak disampaikan ia akan berdosa karena telah menyembunyikan pengetahuan
yang telah diterimanaya dari Allah. Singkatnya, menurut Ahmadiah setiap nabi
dan rasul adalah niscahya sebaliknya, setiap rasul adalah nabi.
Terkait dengan kenabian Ghulam Ahmad, terjadi perbedaan mendasar antara
aliran Qadian dan Lahore. Aliran Qadian mengagap bahwa kenabian yang
membawa syariat baru sudah berakhir, tetapi untuk kenabian zhilli ghari tasyri‟
masih akan terus terbuka. Namun kenabian ini akan berlangsung kedatangannya
umat Nabi Muhammad pada ranah ini, aliran Qadian meyakini bahwa Ghulam
Ahmad adalah nabi sementara aliran Lahore meyakini bahwa Ghulam Ahmad
77
hanyalah sebagai mujaddidin, meskipun secara implisit mereka menganggap
sebagai nabi lughawi atau majazi.
78
BAB IV
ANALISIS HASIL TERJEMAHAN KATA KHATAM DAN
KHALIFAH DALAM WACANA KEAHMADIAHAN
A. Analisis Terjemahan Terhadap Kata Khatam Dalam Wacana
Keahmadiahan
Konsentrasi dalam pembahasan ini adalah kata khatam yang di analisis
dalam wacana keahmadiahan. Kata khatam mengandung makna musytarak lafzi
oleh karena itu banyak sekali pemahaman yang berbeda-beda dalam kata khatam
ini sendiri.
Dalam al-Qur‟an sendiri kata khatam hanya terdapat dalam satu ayat alQur‟an, yaitu pada surat al-Ahzab ayat 40:
              
   
Terjemahan versi Tafsir Ibnu Katsir
Muhammad itu sekali-sekali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara
kamu, namun dia adalah Rasul Allah dan penutup para nabi. Allah adalah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
Di tuliskan dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Hadits yang di riwayatkan
oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah.
79
Az-Zuhri meriwayatkan dari Jubair bin Muth‟im, dari ayahnya r.a, dia
mendengar Rasullah bersabda:
‫ َأوب المبحّ الذْ ٔمحُ اهلل‬,‫ َأوب أحمد‬,‫ أوب محمد‬:‫إن لٓ أسمبء‬
‫ َأوب‬,ّ‫ َأوب الحبشز الذْ ٔحشز الىبس علٓ قدم‬, ‫تعبلٓ بً الكفز‬
ٓ‫العبقب الذْ لٕس بعدي وب‬
“Aku memiliki banyak nama. Aku bernama Muhammad, Ahmad, pemusnah
kekafiran atas pertolongan Allah, pengumpul yang mengumpulkan manusia pada
kedua kakiku, dan pamungkas yang tiada lagi nabi setelahnya.”
Hadits ini pun dikemukakan dalam Shahihain.
Demikianlah, Allah Ta‟ala telah memberitahukan dalam kitabnya dan
Rasulullah memberitahukan dalam sunnahnya yang mutawatir bahwa tidak ada
nabi setelah dia. Hal ini agar golongan jin dan manusia mengetahui bahwa setiap
orang yang mengaku sebagai nabi sepeninggalnya maka ia pendusta, pembual,
Dajjal38, orang sesat, dan menyesatkan, walaupun ia menampilkan hal-hal yang
38
Diantara pendusta dan pembohong tersebut ialah seorang zindik, kafir, dan musyrik
yang mengaku sebagai nabi. Orang ini hidup di India, yaitu di negara Qadian. Dia bernama Mirza
Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Semoga Allah melaknatnya secara bertubi-tubi hingga hari kiamat.
Dia mengaku sebagai nabi dan pemilik al-Qur’an. Dia mengklaim bahwa Allah telah menurunkan
al-Qur’an kepadanya. Diantara ucapan yang terdapat dalam al-Qur’annnya adalah,”Hai, Ahmad,
engkau bagaikan anakkku. Enggkau berhak mendapatkan keesaan dan ketunggalanku.” Orang
kafir yang jahat ini telah mati. Kemudian ia digantikan oleh anaknya. Propaganda yang sesat ini
memiliki beberapa kelompok di sejumlah negara. Aliran ini merupakan hasil rekayasa Inggris dan
India.
Diantara pesan si kafir yang jahat ini, Mirza Ghulam Ahmad, ialah apabila terjadi krisis
antara kaum muslim dan Inggris, maka para pengikutnya dari kalangan Qadiyan harus membela
Inggris. Kelompok ini mmiliki pengikut di Damaskus yang jumlahnya sedikit sekali. Mereka
berupaya menebarkan racunya di Haleb. Mereka mengirimkan salah seorang propagandisnya
yang bernama Ghulam Ahmad. Lalu dakwah salafiyah kita berupaya mengganyangkan sehingga
mampu—berkat karunia Allah semata dan bantuan beberapa mahasiswa serta dukungan
pemerintah—menghentikan propoganda si kafir yang jahat ini secara total pada tahun
80
luar biasa, aneka jenis sihir, dan tilasmat (jampi-jampi). Semua penampilan ini
adalah mustahil dan sesat menurut pemilik akal sehat, seperti Musailamah alKadzab di Yamamah. Kedua orang itu telah menampilkan perilaku yang merusak
dan pernyataan-pernyataan yang musykil sehingga tidak dapat diterima dan
dipahami oleh akal sehat. Kedua orang tersebut pendusta dan menyesatkan39.
Terjemahan versi Ahmadiah dalam kitab Tazkirah
ً‫ٌُ الذْ أرسل رسُلً ببلٍدِ َدٔه الحق لٕظٍزي علّ الدٔه كلً (حقٕق‬
(71: ّ‫الُح‬
Dialah yang mengutus Rasul-Nya (Mirza Ghulam Ahmad) dengan membawa
petunjuk dan agama yang benar agar dia memenangkannya atas segala agamaagama semuanya. (Haqiqatul Wahyi : 71)
Disini penulis melihat bahwa begitu kontras sekali antara penjelasan yang
terdapat dalam tafsir yang telah disepakati oleh para ahlu sunnah waljama‟ah
dengan kitab tazkirah milik Ahmadiah, dalam kitab Tazkirah itu pun membajak
ayat dalam al-Qur‟an yang jelas ayat itu diturunkan untuk nabi Muhammad
dengan asbabul nuzul sedangkan Mirza Ghulam Ahmad mengakuinya dengan
sangat bangganya.
1371H/1951M. Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir
(Jakarta : Gema Insani Press, 2001) h. 870
39
Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta
: Gema Insani Press, 2001) h. 870
81
Ayat al-Qur‟an tersebut terdapat pada surat as-Shaf ayat 9, kelompok
Ahmadiah hanya membajaknya dari ayat yang terdapat dalam al-Qur‟an dan
mengakui bahwa Allah telah mengutus Mirza Ghulam Ahmad dengan ayat
tersebut.
Dan Ahmadiah Qadian memaknai kata khatam yang terdapat dalam ayat alQur‟an surat al-Ahzab ayat 40 dengan makna nabi yang paling sempurna. Untuk
menguatkan pendapatnya kata khatam nabiyyin dengan makna nabi yang paling
sempurna, paling mulia, paling afdhal dan paling tinggi. Maka Ahmadiah Qadian
juga mengemukakan dalil dari hadits nabi:
ٓ‫أطمئه ٔب عمز فإوك خبتم المٍبجزٔه فٓ الٍجزة كمب أوب خبتم الىبٕٕه ف‬
‫الىبُة‬
Tenagkanlah hatimu wahai Umar, sesungguhnya engkau adalah khatam
orang-orang yang berhijrah sebagaimana saya adalah khatam nabi-nabi.
Ahmadiah Qadian menjelaskan sebutan khatamul muhajirin, bukan bermakna
penutup tetapi istimewa begitu pun dengan kata khatam yang terdapat dalam ayat
al-Qur‟an berarti bukan bermakna penutup sedangkan Rasul sendiri memaknai
kata khatam bukan penutup40.
Disini penulis melihat dengan salah memaknai sebuah kata saja maka
seseorang dengan mudahnya dapat mengatakan bahwa akan ada rasul sekaligus
nabi lagi setelah nabi Muhammad bukankah itu hal yang sangat menyesatkan,
dengan segala cara kelompok Ahmadiah memutar balikkan fakta dengan
40
M. Amin Djalaluddin, Ahmadaiah dan Pembajakan Al-Qur’an (Jakarta : Lembaga
Penelitian dan Pengakajian Islam, 2005)hal. 75-78
82
membajak al-Qur‟an dengan mengutip hadits nabi hanya untuk mengakui kepada
seluruh umat Islam di dunia bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah penerus nabi
Muhamad yang telah di urus oleh Allah.
Oleh sebab itu, perbedaan penafsiaran atas lafazh khatam al-nabiyyin telah
muncul berbagai persoalan pelik yang seolah tanpa penyelesaian bahan
permasalahnnya berujung pada perpecahan di kalangan umat muslim sendiri, hal
ini dikarenankan dampak dari perbedaan itu sesudah menyentuh pada
permasalahan aqidah.
B. Analisis Terjemahan Terhadap Kata Khalifah Dalam Wacana
Keahmadiahan
Konsentrasi dalam pembahasan ini adalah kata khalifah yang di analisis
dalam wacana keahmadiahan. Kata khalifah mengandung makna musytatarak
lafzi oleh karena itu banyak sekali pemahaman yang berbeda-beda dalam kata
khalifah ini sendiri.
1) Khalifah bermakna pengganti
Dalam surat al-Baqarah ayat 30
            
               
  
Terjemahan versi Tafsir Ibnu Katsir
83
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”Mereka berkata,
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih
dengan
memuji
Engkau
dan
menyucikan
Engkau?”Tuhan
berfirman,”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dalam
Ringkasan
Tafsir
Ibnu
Katsir
dijelaskan
Allah
berkata
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi,” Yakni, suatu kaum
yang akan menggantikan satu sama lain, kurun demi kurun, dan generasi demi
generasi, sebagaimana Allah Ta‟ala berfirman, “Dialah yang menjadikan kaum
sebagimana khalifah-khalifah di bumi.”
Abdul Razaq, dari Muammar, dan dari Qata‟ah berkata berkaitan dengan
firman Allah, “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi orang yang akan
membuat kerusakan padanya.”Seolah-olah Allah memberitahukan kepada para
malaikat bahwa apabila di bumi ada mahluk, maka mereka akan membuat
kerusakan dan menumpahkan darah di sana. Perkataan malaikat ini bukanlah
sebagai bantahan kepada Allah sebagiman diduga orang, karena malaikat disifati
Allah sebagai mahluk yang tidak dapat menanyakan apa pun yang tidak diizinkanNya.
Ibnu Juraij berkata bahwa sesungguhnya para malaikat itu berkata menurut
apa yang telah diberitahukan Allah kepadanya ihwal keadaan penciptaan Adam.
Maka para malaikata berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu
84
orang yang membuat kerusakan padanya?”Ibnu Jarir berkata, “Sebagaian ulama
mengatakan, „Sesungguhnya malaikat mengatakan seperti itu, karena Allah
mengizinkan mereka untuk bertanya ihkwal hal itu setelah diberitahukan kepada
mereka bahwa khalifah itu terdiri atas keturunan Adam. Mereka berkata,
“Mengapa Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan
padanya?” Sesungguhnya mereka bermaksud mengatakan bahwa di antara
keturunan Adam itu ada yang melakukan kerusakan. Pernyataan itu bersifat
meminta informasi dan mencari tahu ikhwal hikmah. Maka Allah berfirman
sebagai jawaban atas mereka, “Allah berkata, „Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui, “Yakni Aku mengetahui kemaslahatan yang baik
dalam penciptaan spesies yang suka melakukan kerusakan seperti kamu sebutkan,
dan kemaslahatana itu tidak kamu ketahui, karena Aku akan menjadikan di natara
mereka para nabi, rasul, orang-orang saleh, dan para wali41.
41
Al-Qur’an maupun sunnah yang menyatakan bahwa manusia merupakan khalifah
Allah di bumi, karena Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di
bumi.”Ayat ini jangan dipahami bahwa Adam adalah khalifah Allah di bumi, sebab Dia berfirman,
“Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di bumi.” Allah meengatakannya demikian, dan
tidak mengatakan, “Sesungguhnya Aku akan menjadikan, untuk-Ku, seorang khalifah di bumi,”
atau Dia mengatakan, “Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah bagi-Ku di
bumi,”atau “Menjadikan khalifah-Ku”. Dari mana kita menyimpulkan bahwa Adam atau spesies
manusia sebagai khalifah Allah di bumi? Ketahuilah, sesungguhnya urusan Allah itu lebih mulia
dan lebih agung dari pada itu, dan maha tinggi Allah dari perbuatan itu. Namun, mayoritas
mufasirin mengatakan, “Yakni, suatu kaum menggantikan kaum yang lain, kurun demi kurun, dan
generasi demi generesi.”
Ulama lain menafsirkan ayat diatas dengan”menjadikan sebagai khalifah bagi mahluk
sebelumnya yang terdiri atas jin atau mahluk lain yang mungkin berada di muka bumi yang ada
sebelum spesies manusia. Penafsiran yang pertama adalah lebih jelas karena dikuatkan dengan
al-Qur’an dan sunnah. Adapun orang yang berpandangan ini tidak dapat diterima. Karena hukum
yang valid ialah yang bersumber dari wahyu yang telah ditetapkan Allah, bukan hukum si
khalifah, namun hukum Allah, dan hukum itu merupakan sarana penghambaaan kepada Allah.
alangkah jauhnya jarak antara ibadah dengan perwakilan dan kekhalifahan. Jadi, jelaslah bahwa
orang yang menghukumi itu tiada lain hanyalah menetapkan hukum Allah, bukan menggantikanNya. Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta :
Gema Insani Press, 2001) h. 103-106
85
Dalam Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, menjelaskan tentang ayat
tersebut bahwa penyampaian keputusan Allah kepada para malaikat tentang
rencana-Nya menciptakan manusia di bumi. Penyampaian kepada mereka penting,
karena malaikat akan dibebani sekian tugas menyangkut manusia. Ada yang akan
bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas memeliharanya, ada
yang membimbingnya, dan sebagainya. Penyampaian itu juga, kelak ketika
diketahui manusia, akan mengantarnya bersyukur kepada Allah atas anugerahNya yang tersimpul dalam dialog Allah dengan para malaikat. Sesungguhnya Aku
akan menjadikan khalifah di dunia, demikian penyampaian Allah. penyampaian
ini bisa jadi setelah proses penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk dihuni
manusia pertama (Adam) dengan nyaman. Mendengar rencana tersebut para
malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa
khalifah ini akan merusak dan menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin
berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia, di mana ada
mahluk yang berlaku demikian, atau bisa bisa juga berdasarka asumsi bahwa
karena yang akan ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, maka pasti mahluk
itu berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih menyucikan Allah. Pertanyaan
mereka juga bisa lahir dari penamaan Allah terhadap mahluk yang akan
diciptakan itu dengan khalifah. Kata ini menegaskan makna pelerai perselisihan
dan penegak hukum, sehingga dengan demikian pasti ada diantara mereka yang
berselisih dan menumpahkan darah. Bisa jadi demikian dugaan malaikat sehingga
muncul pertanyaan demikian.
86
Semua itu adalah dugaan, namun apapun latar belakangnya, yang pasti
adalah mereka bertanya kepada Allah, bukan berkeberatan atas rencana-Nya42.
Pengertian khalifah bermakna pengganti versi Ahmadiah
Pengertian di atas berbeda dengan yang dipahami oleh Ahmadiah, mereka
menganggap khalifah diperlukan guna meneruskan perjuangan sepeninggalan
Mirza Ghulam Ahmad. Dalam hal khalifah ini, terdapat perbedaan antara
Ahmadiah Qadian43 dan Ahmadiah Lahore44.
Dalam konsep khalifah, baik Ahmadiah Qadian maupun Ahmadiah Lahore
sama-sama mendasarkan pemahamannya pada al-Qur‟an. Akan tetapi mereka
berbeda dalam menafsirkannya.
Menurut Ahmadiah Qadian dalam hal ini Bashiruddin Mahmud Ahmad
(khalifah II), mengatakan bahwa perkataan khalifah (pengganti) yang terdapat
dalam al-Qur‟an dipahami dan dipergunakan dalam tiga pengertian lain:
Pertama, khalifah dipergunakan untuk nabi-nabi yang di sinyalir sebagai
pengganti Allah didunia, seperti nabi Adam disebut sebagai khalifah yang
terdapat pada surat al-baqarah ayat 3045.
Kedua, khalifah dipahami sebagai makna bagi umat atau kaum yang datang
kemudian. Khalifah dalam pengertian ini adalah para pengganti nabi yang dipilih
42
M. Quraish Shihab, Tatsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta :
Lentera Hati, 2000)h. 138-139
43
Ahmadiah Qadian disebut juga Jemaat Ahmadiah Indonesia (JAI)
44
Ahmadiah Lahore disebut juga gerakan Ahmadiah Indonesia (GAI)
45
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah (Jakarta :RM Books, 2006)h. 74-75
87
oleh kaum dan umatnya sendiri, seperti Abu Bakar yang menggantikan nabi
Muhammad.
Ketiga, khalifah dipergunakan untuk menjelaskan para pengganti nabi, karena
mereka telah mengikuti para nabi sebelumnya. Proses penggantian tersebut secara
langsung diangkat oleh Allah. khalifah dengan pangkat bagi para nabi yang
sebelumnya atau pada masanya, seperti nabi Harun yang merupakan khalifah bagi
nabi Musa46.
Kategori khalifah dalam pengertian yang pertama dan ketiga hanyalah
pemimpin ruhani. Aliran Ahmadiah Qadian ini menjelaskan bahwa tidak semua
nabi dan rasul yang disebutkan dalam al-Qur‟an menjabat sebagai pemimpin
ruhani sekaligus pemimpin pemerintahan. Para nabi dan rasul yang di utus Allah
yang hanya menjabat sebagai pemimpin ruhani diantaranya adalah nabi
Muhammad sekaligus pemegang tampuk kepemimpinan pemerintah.
Sedangkan Ahmadiah Lahore menyatakan bahwa ada dua macam khalifah,
pertama, khalifah sesuai dengan makna khalifah dalam al-Qur‟an surat an-nur
ayat 55. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang
memimpin peradaban di muka bumi ini, oleh karena itu dibutuhkan kekhalifahan
untuk membangun pemerintah tersebut. Nabi Muhammad adalah khalifah pertama
yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya yakni Khulafaur Rasyidin.
Kedua, khalifah dimaknai sebagai mujaddid dan para tokoh spritual yang
mendirikan sebuah organisasi atau komunitas terstruktur yang akan meneruskan
46
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah (Jakarta :RM Books, 2006)h. 75
88
syari‟at. Dalam hadits dikatakan bahwa akan muncul satu abad sekali para
mujaddid47.
Di sini penulis melihat perbedaan penafsiran antara pendapat yang telah
disepakati oleh para Ahlusunnah wal jama‟ah dengan pendapat golongan
Ahmadiah, mereka berpendapat bahawa khalifah adalah seorang yang harus
mengemban amanat Mirza Ghulam Ahmad dan dapat membai‟at anggota baru
Ahmadiah sedangkan dalam Islam tidak ada hal demikian.
Tetapi Ahmadiah dalam hal memaknai kata khalifah tidak terlalu berbeda
pendapat dengan pendapat umat Islam pada umumnya, hanya saja penafsiran
mereka yang berbeda. Dan anehnya lagi sesama anggota Ahmadiah saja sudah
berbeda pendapat lalu bagaimana mereka dapat benar-benar meyakini bahwa
ajaran mereka benar di mata Allah kalau dalam meyakini kata khlaifah saja
mereka sudah bercerai berai.
2) Khalifah Bermakna Pemimpin
Dalam surat as-Shad ayat 27
              
   
Terjemahan versi Tafsir Ibnu Katsir
47
Sebutan Pemimpin spiritual pada kelompok Ahmadiah Lahore
89
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan Kamu khalifah di muka bumi,
maka berikanlah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan Kamu dari jalan Allah.
sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena Mereka melupakan hari perhitungan.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir mengenai ayat ini dijelaskan, pesan Allah
kepada para penguasa agar memberikan keputusan diantara manusia dengan
kebenaran yang telah diturunkan dari sisi-Nya, tidak menyimpang dari kebenaran
itu. Jika menyimpang, maka mereka sesat dan melupakan hari perhitungan suatu
siksaan yang amat pedih.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibrahim Abu Zur‟ah, Dia seorang yang
dalam pengetahuan-Nya tentang al-Kitab bahwa sesungguhnya Walid bin Abdil
Malik telah mengatakan kepadanya, “Apakah seorang khalifah akan dihisab?
Sebab engkau telah membaca kitab perjanjian lama dan al-Qur‟an, dan engkau
adalah seorang faqih. “Aku menjawab, “Wahai Amirullah Mukminin, haruskah
aku katakan?” Dia menjawab, “Katakanlah demi amanat Allah. “ Aku menjawab ,
“Wahai Amirul Mukminin, engkau yang lebih mulia di sisi Allah ataukah Daud?
Sesungguhnya, Allah telah menyatukan baginya kenabian dan kekhalifahan,
kemudian Allah mengancam dia didalam Kitab-Nya, „Hai Daud, sesunggguhnya
Kami menjadikan Kamu khalifah di muka bumi, maka berikanlah keputusan
diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena
dia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah! Dan firman Allah, Sesungguhnya
orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena
90
mereka melupakan hari perhitungan. „as-Sidi berkata, maksudnya, bagi mereka
adalah siksa yang hebat lantaran mereka telah meninggalkan amal untuk hari
perhitungan.
Pemaknaan kata khalifah yang bermakan pemimpin versi Ahmadiah
Berbeda dengan Ahamdaih Qadian, Ahmadiah Lahore dengan dasar al-Quran
surat an-Nur dan wasiat Mirza Ghulam Ahmad, maka berakhir sudah khalifah
dalam Ahmadiah, bagi Ahmadiah Lahore. Setelah Mirza Ghulam Ahmad
meninggal tampuk kepemimpinan dan keputusan tertinggi berada di tangna Sadr
Anjuman Ahmadiah, sementara dengan sangat diplomatis aliran ini mengatakan
bahwa seandainya masih dibutuhkan khalifah, maka tidak wajib ditaati karena
khalifah hanya berfungsi sebagai penerima bai‟at saja. Sedangkan tanggung
jawab kepemimpinan tetap berada ditangan pusat Anjuman Ahmadiah dan
keputusan wajib ditaati. Ahmadiah Lahore juga mengatakan bahwa setelah
khalifah Rasyidah dan termasuk Ghulam Ahmad tidak ada lagi khalifah, yang ada
hanyalah mujaddid yang muncul setiap satu abad sekali48.
Pandangan Ahmadiah Lahore tentang khalifah ini merupakan pemicu dari
perpecahan Ahmadiah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan
tersebut, diantaranya adalah pertama, perbedaan penafsiran surat dan wasiat
Mirza Ghulam Ahmad. Kedua, perbedaan penafsiran terhadap surat an-Nur ayat
55, tetapi yang jadi permasalahan selanjutnya adalah sikap kontroversial sistem
48
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah (Jakarta :RM Books, 2006)h. 76
91
khalifah sebagimana Ahmadiah Qadian. Penolakan ini muncul setelah khalifah I
Maulana Hakim meninggal pada tahun 1914 M.
Ahmadiah Lahore mengingkari kebenaran khalifah dalam Ahmadiah setelah
sistem itu berlangsung selama satu periode kekhalifahan, padahal jika mereka
ingin menolak sitem tersebut disampaikan setelah Mirza Ghulam Ahmad
meninggal. Hal tersebut mengandung kontroversial dikalangan pemerhati
Ahmadiah. Bahkan muncul isu negatif bahwa penganut Ahmadiah Lahore
melakukan hal itu karena kekalahan politik pada masa pemilihan khalifah II,
sehingga mereka memisahkan diri dari Ahmadaih Qadian49.
Di sini penulis melihat bahwa dalam mamaknai kata khalifah yang
bermakna pemimpin ini memiliki sudut pandang yang berbeda antara pendapat
ahlusunnah wal jama‟ah dengan kelompok Ahmadiah, karena kelompok
Ahmadiah memaknai kata khalifah dengan membahas bagaimana suatu kelompok
mereka dapat menguasai kelompok yang lainya tanpa melihat pada sisi negatif
dampak yang terjadi bila mereka saling bercerai berai. Dan ironisnya, antara
kelompok Ahmadiah Qadian dan Ahmadiah Lahore saling berselisih politik siapa
yang pemimpinya memimpin tongkat khalifah pada masa itu maka yang akan
berkuasa adalah kelompok tersebut. Apabila tongkat kepemimpiannya jatuh di
tangan kelompok lain maka kelompok yang lain tersebut akan keluar dan
memiliki pemahaman yang berbeda tentang makna khaliafah itu sendiri.
49
A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah (Jakarta :RM Books, 2006)h. 80
92
Berbeda dengan makna khalifah yang bermakana pemimpin yang terdapat
dalam al-Qur‟an, disitu Allah menjelaskan bahwa sang pemimpinlah yang
memiliki begitu banyak beban karena ia harus menjalankan perintah Allah tanpa
harus mendahulukan hawa nafsu sedikitpun karena itu akan menyesatkan
sedangkan di kelompok Ahmadiah sendiri mereka lebih mementingkan
kepentingannya dari pada kepentingan ajarnnya kalau sampai bercerai berai hanya
karna pemimpin kelompoknya tidak memenagkan pemilihan khalifah menurut
versi mereka.
Terlihat jelas sekali penulis melihat bahwa kata musytarak lafzi dalam kata
khatam dan khalifah memang banyak dan masing-masing mempunyai makna
yang berbeda-beda dan juga mempunyai pemahaman yang berbeda.
Melihat dari terjemahan Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Mishbah dengan
dibandingkan dengan pemahaman kelompok Ahmadiah tentang makna kata
khatam dan khalifah sangat berbeda sekali, kelompok Ahmadiah sampai
membajak al-Qur‟an diperuntukan agar pemahaman mereka dapat diterima umat
Islam yang lainnya. Bukankah itu hal yang sangat menyesatkan.
Dengan berbagai cara mereka membenarkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad
adalah rasul utusan Allah, tetapi ironisnya mereka saling berselisih paham antara
satu dengan yang lainya dalam memaknai kata khalifah itu sendiri.
93
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, diantara
terjemahan Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Mishbah dengan pemahaman kelompok
Ahmadiah sangat kontras sekali, kelompok Ahmadiah menghalalkan segala cara
demi mendapatkan pengakuan dari unat Islam yang lain bahwa Mirza Ghulam
Ahmad dapat diterima sebagai rasul penerus nabi Muhammad dengan membajak
al-Qur‟an, memakai hadits nabi dengan pemaknaan yang berbeda, dan lain
sebagainya.
Hanya karena berbeda pendapat dalam memaknai satu kata yaitu kata
khatam yang terdapat dalam al-Qur‟an surat al-Ahzab ayat 40 seseorang dapat
berbeda pemahaman pula, perbincangan mengenai hakikat kata khalifah dan
khatam menjadi titik poin yang sangat sensitif sekali. Kesalahan dalam
menangkap kata khalifah dan khatam dapat berakibat fatal. Banyak orang yang
salah memahami kata tersebut dan berujung mereka mengikuti aliran lain,
khususnya pada ayat al-Qur‟an kata khalifah dan khatam sangat sensitif sekali
pemaknaannya. Iman merupakan gambaran akidah manusia sebenarnya.
Masalah keyakinan bersangkut dengan hati, sedangkan kemampuan kita
untuk mengetahuinya sangat terbatas, yaitu hanya melalui ucapan dan perilaku.
94
Dengan demikian, kita harus menjadikan ucapan dan perilaku sebagai bukti
keyakinan yang tersimpan didalam hati agar tidak terjerumus pada akhirnya.
Melihat dari kesimpulan diatas, agaknya akan menjadi tantangan besar
bagi penerjemah Indonesia untuk dapat menciptakan sebuah terjemahan al-Qur‟an
dengan menyelaraskan kebudayaan bangsa kita yang majemuk dan problematika
kekinian. Hal ini diperlukan karena konteks budaya kita yang berbeda jauh
dengan konteks budaya timur tengah di mana al-Qur‟an diwahyukan. Sedangkan
ayat-ayat al-Qur‟an berlaku secara universal, disemua tempat diseluruh dunia dan
sepanjang zaman. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat teknis dapat
dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi zaman, selama tak
menyimpang dari garis norma dan kaidah ketatabahasaan yang berlaku. Dan agar
tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan lagi agar mereka tahu manakah
penafsiran pada ayat al-Qur‟an yang benar dan yang salah agar tidak terjadi
kekeliruan yang berkelanjutan.
95
Download