AKURASI PENERJEMAHAN KATA KHALÎFAH DAN KHATÂM DALAM WACANA KEAHMADIAHAN Skripsi Diajukan kepada fakultas Adab dan Humaniora Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana (S.S) Sifa Kahfiani 107024001873 JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar. Jakarta, 14 September 2011 Sifa Kahfiani NIM: 107024001873 i ii iii PRAKATA Puji Syukur senantiasa Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada Penulis, sehingga karya ini bisa selesai dan hadir ke hadapan para pembaca. Salawat serta Salam Cinta senatiasa dilimpahkan kepada teladan alam semesta, Kanjeng Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat. Semoga kita mendapatkan “curahan syafa‟atnya” di hari nanti. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas academica UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dr. Abdullah Chaer, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Ahmad Saehuddin, M.Ag. Terima kasih yang tak terhingga pula kepada Dr. Abdullah, M.Ag yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi serta motivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan Bapak. Kepada jajaran Dosen Tarjamah : Ibu Karlina Helmanita, M.Ag, Bapak Syarif Hidayatullah, M.Hum, Bapak Prof. Dr. Syukron Kamil, MA, Bapak Irfan Abu Bakar, MA, Bapak Drs. A. Syatibi, M.Ag, Bapak Drs. Ikhwan Azizi, MA. Bapak Ahmad Saehuddin, M.Ag, dan lainya. Terima kasih yang tak terhingga. Semoga ilmu yang Penulis dapatkan menjadi manfaat di kemudian hari. iv Penghormatan serta salam cinta penulis haturkan kepada kedua Orang Tua Penulis, Ayahanda Jamil Dalih dan Ibunda Ratna Ningsih. Kepada sanak saudara Penulis yang berada di Bandung maupun di Jakarta telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis, sehingga Penulis bisa menyelesaikan studi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan seperjuangan di Tarjamah 2007, Hilman, Anhy, Ismhy, dan Anas yang telah membantu penulisan skripsi ini dan anhy, ismhy, rahma, aisyah yang selalu memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa juga teman-teman yang lain yang telah memberikan hiburan, candaan, dan telah mengingatkan kekurangan dan kekhilafan Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, telah berbagi informasi dan pengalaman mereka sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga kepada Sahabat karibku Rafika Fitria yang telah banyak memotivasi Penulis, dan tak terlupakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kakanda Sanjung Prasetyo yang telah banyak memberikan motivasi, bimbingan serta materil yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta teman-teman BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh Kakak dan Adik kelas. Penulis mengahaturkan beribu terima kasih kepada seluruh teman-teman atas pinjaman reverensinya yang begitu berharga, yang telah mencerahkan dan memberikan paradigma baru kepada Penulis. Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Saran serta kritik konstruksif sangat Penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi. v Jakarta, 14 september 2011 Penulis vi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...............................................................................................i PERNYATAAN......................................................................................................ii PERESETUJUAN PEMBIMBING.....................................................................iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN......................................................................iv PRAKATA..............................................................................................................v DAFTAR ISI.........................................................................................................vii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN................................................ix ABSTRAK............................................................................................................xii BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. E. Latar Belakang Masalah...............................................................................1 Pembatasan Dan Perumusan Masalah..........................................................6 Tujuan Dan Manfaat Penelitian...................................................................7 Metodologi Penelitian..................................................................................8 Sistematika Penulisan...................................................................................9 BAB II KERANGKA TEORI A. Gambaran Umum Tentang Penerjemahan.................................................11 1. Definisi Penerjemahan.........................................................................11 2. Jenis Penerjemahan..............................................................................14 3. Tahap-Tahap Penerjemahan.................................................................17 4. Penerjemaan Al-Qur‟an.......................................................................20 B. Homonimi..................................................................................................28 1. Pengertian Homonimi..........................................................................28 2. Homonimi Dalam Bahasa Arab...........................................................31 3. Homonimi Dalam Bahasa Indonesia....................................................32 C. Pengertian Khâtam Dan Khalîfah..............................................................33 1. Pengertian Khâtam...............................................................................33 2. Pengertian Khalîfah..............................................................................35 vii BAB III TENTANG AHMADIAH A. Sejarah Berdirinya Ahmadiah....................................................................39 B. Aliran Ahmadiah Di Indonesia..................................................................49 C. Doktrin-doktrin Teologi Ahmadiah...........................................................58 BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN KATA KHALÎFAH DAN KHÂTAM DALAM WACANA KEAHMADIAHAN A. Analisis Terjemahan Terhadap Kata Khâtam Dalam Wacana Keahmadiahan............................................................................................76 B. Analisis terjemahan terhadap kata khalîfah dalam wacana keahmadiahan.............................................................................................81 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan................................................................................................93 DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................95 viii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1. Padanan Aksara Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin T B Z T „ Ts Gh J F H Q Kh K D L Dz M R N Z W S H Sy ` S Y D 2. Vokal ix Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. A. Vokal tunggal Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ----َ A Fathah ----ِ I Kasrah -----ُ U Dammah Tanda Vokal Latin Keterangan Ai a dan i Au a dan u B. Vokal rangkap Tanda Vokal Arab C. Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu : Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan  a dengan topi di atas Î i dengan topi di atas Û u dengan topi di atas 3. Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan arrijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân. 4. Syaddah (Tasydîd) x Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda---ّ dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضّرورةtidak ditulis ad-darûrah melainkan al- darûrah, demikian seterusnya. 5. Ta Marbûtah Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na‟t) atau kata sifat (contoh no.2). namun jika huruf Ta Marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (contoh no.3) No. Kata Arab Alih Aksara 1 Tarîqah 2 al-jâmi’ah al-islâmiyah 3 wihdat al-wujûd 6. Huruf kapital Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat, dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a tidak boleh kapital. xi ABSTRAK Sifa Kahfiani “Akurasi Terjemahan Kata Khâtam dan Khalîfah dalam Wacana Keahmadiahan”. Dibawah Bimbingan Dr. Abdullah, M.Ag. Penerjemahan merupakan sebuah kegiatan pemindahan makna dari bahasa sumber (BSU) ke dalam bahasa sasaran (BSA). Terjemahan dapat dikatakan baik bila benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sasaran (bahasa penerima)tidak boleh menyimpang dari makna dan gaya/nada yang diungkapkan dalam bahasa sumber. Penulis melihat bahwa dalam bahasa Arab terdapat Musytarak Lafẕ i. Musytarak lafẕ i menjelaskan bahwa banyak terdapat kata secara pelafalannya sama, tetapi mempunyai makna yang berbeda. Dalam dunia penerjemah seseorang harus mempunyai wawasan yang luas untuk dapat menerjemahkan kata-kata yang mengandung musytarak lafẕ i. Skripsi ini mencoba melihat penerjemahan mengenai terjemahan kata khalîfah dan khâtam. Dengan memakai analisis musytarak lafẕ i. Sebagaimana terjemah kata khalîfah tidak semata-mata diterjemahkan dengan kata pemimpin dan kata khâtam tidak semata-mata diterjemahkan dengan kata penutup. Seringkali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada terjadinya argumen yang keliru hingga terjadi aliran yang berbeda hanya karena berbeda pendapat dalam xii memaknai kata khâtam yang terdapat dalam al-Qur‟an. Penulis melakukan analisis perbandingan komparatif antara terjemahan al-Qur‟an pendapat ahlusuṉ ṉ ah wal jama’ah dengan wacana keahmadiahan. Penulis menarik kesimpulan bahwa hasil terjemahan antara pendapat ahlusuṉ ṉ ah wal jama’ah dengan wacana keahmadiahn terdapat begitu banyak perbedaan, sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda. xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia ilmu makna (semantik) sebagai ilmu baru yang berkembang pada tahun 1970-an di dunia linguistik dan semantik. Kemampuan mengolah dan memahami pemerian kebahasaan ada pada aspek makna dalam linguistik. Kemampuan suatu bahasa menjadi bahasa ilmu dapat dipertimbangkan melalui kecendikiaan bahasa tersebut, antara lain yang dikemukakan oleh pemuka aliran praha (Prague school). Ia memaparkan, bahwa kecendikiaan bahasa ditandai oleh: (a) kemampuan dalam membentuk dan menyampaikan pernyataan yang tepat, seksama dan kaya. (b) bentuk kalimatnya mencerminkan penelitian penalaran yang objektif sehingga relasi strukturnya sama dengan proposisi logika. (3) mampu menunjukkan antar kalimat yang selaras, logis, dan memiliki keutuhan. Dari tiga syarat tersebut dapat mempertimbangkan bahasa Indonesia dan bahasabahasa Indonesia nusantara yang lainnya dalam memenuhi syarat sebagai ilmu bahasa. Semantik berhubungan erat dengan syarat ketiganya, bila dipahami melalui proposisi yang logis, tepat, selaras dan memiliki keutuhan (terutama dibidang acuan baik yang objektif maupun abstrak). Dalam bidang semantik terdapat pembahasan mengenai homonimi atau dalam bahasa Arab dikenal dengan kata musytarak lafzi. Homonimi (musytarak lafzi) dapat diartikan sebagai nama sama untuk benda atau hal lain. Secara 1 semantik Verhaar (1978) memberi definisi homonimi (mustarak lafzi) sebagai ungkapan yang berupa (kata, frase, atau kalimat). Yang bentuknya sama dengan ungkapan lain yang berupa (kata, frase, atau pun kalimat) tetapi maknanya tidak sama.1 Homonimi (musytarak lafzi) adalah relasi makna antar kata yang tertulis sama, tetapi maknanya berbeda. Di dalam kamus kata-kata yang termasuk homonimi muncul sebagai lema (entri) yang terpisah. Misalnya saja, kata kha.tam dalam kamus Besar Bahasa Indonesia muncul sebagai dua lema: Kha.tam kl n cincin materai; cincin stempel. Kha.tam v tamat; selesai;habis: al-Qur‟an telah dibacanya sampai--;2 Penulis tertarik dengan pembahasan homonim atau musytarak lafzi karena dalam pembahasan tersebut sangat menarik untuk diteliti dari satu kata dapat memiliki berbagai makna, apalagi bila disatukan dengan berbagai kalimat yang berbeda. Tentu saja ia akan memiliki makna yang sangat bervariasi, dan ini akan menjadi pembahasan yang menarik untuk diteliti. Bagaimana seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab dapat mengerti dan memahami sebuah kata tersebut dan bahkan sebuah kalimat dalam al-Qur‟an bila ia menemukan kata yang bermakna musytarak lafzi tanpa pengetahuan bahasa Arab sedikit pun. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik sekali dalam membahasan musytarak lafzi ini. 1 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta : Rineka Cipta, 1994)h. 93 2 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2006)h. 564 2 Dan musytarak lafzi sendiri merupakan salah satu kajian dalam al-Qur‟an. al-Qur‟an sebagai kitab suci tidak hanya berisi mengenai kumpulan ayat-ayat yang tertulis dengan bahasa Arab, tetapi juga menjadi pedoman hidup umat Islam. Agar menjadi pegangan hidup, umat perlu mentafsirkan al-Qur‟an agar senantiasa dapat mengaplikasikan dirinya di dalam kehidupan. Hal ini tanpa terkecuali ayatayat teologis yang berkaitan dengan khalifah dan khatam. Pengertian kata khatam sendiri dalam kamus al-Munjid fi Lughah wa al„Am kata خاتمartinya adalah مايختم به dengannya), dan عاقبة كل شئ (sesuatu yang menutup/ menyudahi (akhir dari sebagala sesuatu) 3. Begitu juga penjelasan dalam kitab Lisan al-A‟arab kata al-khatim dan al-khatam artinya ( أخرهمyang terakhir dari mereka).4 Pada dasarnya kata khatam mempunyai tiga arti yaitu: cincin, stempel/cap/segel dan penutup atau paling akhir.5 Sedangkan pada kata khalifah sendiri dalam kamus al-Munjid fi Lughah wa al-„Am bermakna pengganti. Pada ayat yang terdapat dalam Al-qur‟an dalam surat Al-Ahzab ayat 40 menyatakan: 3 Al-Munjid Fi al-Lughah wa A’lam, h. 168 4 Imam al-Alamah Abu al-Fadl Jamaludin Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur al- Afriqy al-Mishriy, Lisan al- A’rab, ( Beirut: Dar Shadir, 1990), Jilid 12, cet. Ke- 1, hal. 164 5 Kamus Kotemporer Arab Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantern Krapyak, 1996), cet. Ke-1 , hal. 814 3 Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, namun dia adalah Rasul Allah dan penutup para nabi. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Dalam pemaparan ayat di atas yang di kutip dari ringkasan tafsir Ibnu Katsir surat al-Ahzab ayat 40, bahwa makna kata tersebut adalah penutup para nabi yaitu Rasul yang terakhir, dalam hadist riwayat Bukhori dan Muslim mengatakan Rasul berkata “aku memiliki banyak nama. Aku bernama Muhammad, Ahmad, pemusnah kekafiran atas pertolongan Allah, pengumpul yang mengumpulkan manusia pada kedua kakiku, dan penumpas yang tiada lagi nabi setelahnya”.6 Demikianlah Allah telah memberitahukan di dalam kitabnya dan Rasul memberitahukan di dalam sunahnya yang mutawatir bahwa tidak ada nabi setelahnya. Hal ini agar golongan jin dan manusia tahu bahwa jika ada nabi setelahnya maka itu pendusta. Begitulah kutipan makna tersebut yang terdapat pada terjemahan Tafsir Ibnu Katsir. Salah satu contoh dari sekian banyak aliran yang memiliki seorang imam yang mengaku sebagai nabi adalah golongan Ahmadiah dengan imam mereka 6 Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta : Gema Insani Press, 2001) h. 867 4 yang bernama Mirza Gulam Ahmad. Golongan ini memiliki keyakinan bahwa pintu kenabian masih terbuka. Mereka berkeyakinan bahwa pintu kenabian sesudah Nabi Muhammad masih ada nabi yang lain, dan untuk itu mereka mengajukan beberapa ayat al-Qur‟an dan hadist sebagai hujjah. 7 Sedangkan pada ajaran Ahmadiah sendiri memiliki doktrin-doktrin yang dikatagorikan sebagai doktrin terpenting di kalangan Ahmadiah, antara lain yaitu : tentang kenabian, almahdi dan al-masih, wahyu, khalifah, dan jihad. Jelas bahwa golongan Ahmadiah memiliki pemahaman tersendiri tentang kenabian yang mereka pahami dan kekhalifahan yang mereka yakini dengan begitu yakinnya, tanpa ada keraguan sehingga bila mereka berselisih dengan orang yang tidak meyakini hal tersebut akan menjadi perdebatan yang sangat sengit. Ayat di atas memaparkan dengan jelas bagaimana Allah telah berfirman bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, sedangan kelompok Ahmadiah memiliki pemahaman yang sangat kontras. Atas dasar tersebut, penulis menulis skripsi yang berjudul AKURASI PENERJEMAHAN KATA KHALIFAH DAN KHATAM DALAM WACANA KEAHMADIAHAN B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 7 H. Mahmud Ahmad Chema, Tiga Masalah Penting, (Bandung : Jemaat Ahmadiah Qadian Indonesia, 1993), h.26 5 Penjelasan latar belakang di atas telah jelas memaparkan bagaimana kata khatam dan khalifah menarik dibahas dalam suatu skripsi. Berdasarkan latar belakang di atas pula, maka penulis membatasi permasalahan ini dengan ayat-ayat yang berisi tentang kata khatam dan khalifah. Setelah memaparkan latar belakang, maka merasa perlu untuk memberikan pembatasan dan rumusan masalah, yaitu terjemahan al-Qur‟an dan wacana-wacana tentang keahmadiahan. Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut: 1) Bagaimana Ahmadiah memahami kata khatam dan khalifah yang terdapat dalam kitab suci al-Qur‟an? 2) Apakah pemahaman Ahmadiah terhadap ayat yang mengandung kata khatam dan khalifah mengakibatkan perbedaan pemahaman bahkan perbedaan teologis? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini bertujuan untuk yaitu: 1) Agar masyarakat tidak keliru dalam memahami kata-kata yang mengandung makna telogis terutama pada ayat yang mengandung kata khatam dan khalifah. 6 2) Mengetahui teori yang diyakini oleh para kelompok Ahmadiah dalam memahami kata khalifah dan khatam. Penelitian ini memiliki manfaat diantaranya: 1) Manfaat teoritis yaitu: a) Memberikan pengetahuan baru bagi yang mempelajari Bahasa Arab terutama penerjemahan, yaitu pengetahuan tentang perubahan makna terhadap penerjemahan. 2) Manfaat praktis yaitu: a) Memberikan pengetahuan pada masyarakat luas bagaimana kata khalifah dan khatam bila dipahami dengan keliru maka akan menjadi perubahan bagi teologi seseorang. D. Metodologi Penelitian Berdasarkan tujuan penulisan yang telah penulis kemukakan, maka jenis penelitian yang akan penulis lakukan adalah penelitian analisis deskriptif berdasarkan teori yang dipakai yaitu terjemahan al-Qur‟an, wacana-wacana Ahmadiah, dan doktrin-doktrin Ahmdiah. Sebagaimana telah disebutkan pada judul skripsi ini. Adapun pencarian data yang penulis pakai ada dua cara yaitu: 7 Pertama, data sendiri diperoleh melalui kajian lapangan yang bersumber dari pengurus-pengurus Ahmadiah cabang Bungur dengan melakukan wawancara dan pengajuan pertanyaan mengenai bagaiman kata khalifah dan khatam sendiri dalam versi Ahmadiah, sejarah Ahmadiah, dan seluk beluk Ahmadiah lainnya secara tertulis dengan jawaban yang dijawab secara tertulis pula. Kedua, penelusuran literatur, yakni dengan mencari data-data yang terdapat dalam literatur yang ada kaitannya dengan penelitian yang sedang dilakukan. Berdasarkan tingkat kebutuhan, sumber data dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua bagian : data primer dan data skunder. Sumber data primer adalah dengan cara mengumpulkan data-data dari al-Qur‟an yang diterjemahkan, pengumpulan wacana-wacana tentang Ahmadiah dan buku-buku tentang Ahmadiah dan ajaran-ajarannya sebagai bahan primer. Sedangkan untuk bahan sekunder adalah dengan mengumpulkan dari berbagai literatur yang relevan dengan pokok permasalahan baik artikel, majalah, internet, maupun dari bukubuku lain yang berkaitan erat dengan penelitian ini. Data yang sudah didapat diolah menggunakan metode deskriptif analisis. Data-data yang terkumpul, diklasifikasikan sesuai dengan bab yang dibutuhkan. Setelah sumber data terklasifikasikan kemudian disusun menjadi laporan penelitian secara deskriptif dan data tersebut menganalisa dengan menggunakan teori kontrastif yang berkaitan juga dengan makna leksikal untuk lebih mengetahui bagaimana perbedaan antara makna khalifah dan khatam versi 8 Ahmadiah dan versi Sunnah wal jama‟ah dan diberi analisa-analisa untuk memberikan keteranagn lebih lanjut. “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Yang berlaku dilingkungan UIN Syarif Hidayatullah, yang ditulis oleh Azyumardi Azra. Yang diterbitkan oleh CeQDA “Center for Quality Development and Assurance “UIN Jakarta 2007” E. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri atas IV bab, yaitu: Bab I penulis akan menulis pendahuluan yang terdiri atas : latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II merupakan bab yang terdiri atas: gambaran umum tentang penerjemahan yang di dalamnya terdapat definisi penerjemahan, jenis penerjemahan, tahap penerjemahan: tahap analisis, tahap pengaliahan, tahap penyerasian, penerjemahan Al-Qur‟an. Pengertian homonimi, homonimi dalam bahasa Arab, homonimi dalam bahasa Indonesia dan aliran-aliran teologi. BaB III Merupakan bab yang terdiri atas: sejarah berdirinya Ahmadiah, sejarah singkat masuknya Ahmadiah ke Indonesia, dan doktrin-doktrin teoligi Ahmadiah. Bab IV Merupakan hasil analisis dari “hasil terjemahan kata khalifah dan khatam” dengan melakukan analisis dalam wacana keahmadiahan dan dalam 9 perspektif para ahlu sunnah wal jama‟ah dengan memaparkan bagaimana pemahaman pada masyarakat luas juga. Bab V Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. 10 BAB II KERANGKA TEORI A. Gambaran Umum Tentang Penerjemahan 1. Definisi Penerjemahan Definisi penerjemahan dalam arti luas adalah “semua kegiatan manusia dalam mengalihkan makna atau pesan, baik verbal maupun non verbal dari informasi asal atau informasi sumber (source information) ke dalam informasi sasaran (target information).”8Sedangkan definisi terjemahan dalam arti sempit adalah “suatu proses pengalihan pesan yang terdapat di dalam teks bahasa sumber (source linguistik) dengan kesepadanan di dalam bahasa ke dua atau bahasa sasaran (target language).”9 Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, dalam buku mereka The Theory and Practice of Translation, memberikan definisi terjemahan sebagai berikut: “Translating consist in reproducing in the receptor languange the closest natural equivalent of the source language message, first in the terms of meaning secondly in terms of style.” (menerjemahkan berarti menciptakan padanan yang dekat dalam bahasa penerima terhadap pesan bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua pada gaya bahasa). 8 Suhendra Yusuf, Teori Terjemah (Pengantar kearah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik), (Bandung: PT.Mandar Maju, 1994). Cet ke-1. h. 8 9 Ibid., h. 8 11 Di sini Nida dan Teber tidak mempermasalahkan bahasa yang terlibat dalam penerjemahan, tetapi lebih tertarik pada cara kerja penerjemahan. Seperti yang dikutip oleh Simatupang yakni mencari padanan alami yang semirip mungkin sehingga pesan dalam bahasa sumber bisa disampaikan dalam bahasa sasaran.10Sehingga orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa sasaran pesannya sama dengan pesan orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa sumber. Menurut resensi Willie Koen, Nida dalam bukunya mengajarkan bahwa cara baru menerjemahkan haruslah fokus pada respon penerima pesan. (cara lama berfokus pada bentuk pesan). Itu berarti terjemahan dapat dikatakan baik, bila benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) tidak boleh menyimpang dari makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sumber, itulah sebabnya Nida mengatakan bahwa didalam bahasa penerima harus terdapat “The closest natural equivalent of the source language message, first in the terms of meaning secondly in terms of style.” Akan tetapi, ekuivalen itu haruslah natural (wajar, sesuai dengan langgam atau idiom bahasa kita sendiri). Catford (1965) menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikan sebagai “The replacement of textual material in one languange (SL) by equivalent textual material in another 10 Maurust Simatupang, Enam Makalah Tentang Penerjemahan.( Jakarta: PT. UKI. 1993)h. 3 12 language (TL).”11(Mengganti bahasa teks dalam bahasa sumber dengan bahasa teks yang sepadan dalam bahasa sasaran). Newmark (1998) juga memberikan definisi serupa, namun lebih jelas lagi: “Rendering the meaning of a teks into another languange in the way that the author intended the texs” (Menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai yang dimaksud pengarang). Pada definisi di atas tidak ditemukan tentang makna. Sementara itu secara garis besar terjemahan tidak dapat dipisahkan dari persoalan makna atau informasi. Sebagai ganti dari konsep makna adalah materi tekstual yang sepadan. Kesepadanan yang dimaksud materi tekstual oleh Catford tidak harus naskah tulis. Sedangkan Zahrudin mengatakan bahwa: “penerjemahan bisa berasal dari bahasa tulisan atau pun bahasa lisan.” Ungkapan lain tentang hakikat penerjemahan yang dikemukakan oleh Julian House dalam disertasinya mengatakan bahwa penerjemahan adalah “Penggantian kembali naskah bahasa yang secara semantik dan pragmatik sepadan.”12 Pada hakikatnya “esensi terjemahan itu terletak pada makna dari dua bahasa yang berbeda.”13Oleh karena itu, House pun menjelaskan bahwa makna ber-aspek semantik erat kaitannya dengan makan denotativ, yaitu makna yang terdapat dalam kamus (makna leksikal) dan makan beraspek pragmatik bertautan dengan makna konotatif, yaitu makna yang berarti kiasan. 11 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah. (Jakarta : PT Grasindo. Anggota IKAPI, 2000)h. 5 12 Nurrahman Hanafi, Teori dan Sastra Menerjemahkan, (NTT :Nusa Indah, 1996). Cet. Ke-1.h.26 13 Ibid,. h. 27 13 Dengan melihat definisi di atas, baik definisi penerjemahan dalam arti luas atau sempit, baik tinjauan semantik atau linguistik, sekilas masing-masing definisi tersebut berbeda-beda, yang sebenarnya mempunyai muatan yang sama, yaitu adanya persamaan yang penyesuaian pesan yang disampaikan oleh penulis naskah dengan pesan yang diterima pembaca. 2. Jenis Penerjemahan Dalam praktek penerjemahan, diterapkan beberapa jenis penerjemahan. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: a) Adanya perbedaan bahasa sumber dan sistem bahasa sasaran. b) Adanya perbedaan jenis materi teks yang diterjemahkan. c) Adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat komunikasi. d) Adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan suatu teks. Dalam kegiatan menerjemah sesungguhnya, keempat faktor tersebut tidak selalu berdiri sendiri dalam arti bahwa “ada kemungkinan kita menetapkan dua atau tiga jenis penerjemahan sekaligus dalam menerjemahkan sebuah teks.”14 Ada beberapa jenis terjemahan yang dapat kita terapkan dalam kegiatan penerjemahan, diantaranya: 14 M. Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1991). Cet. Ke-1 14 a) Penerjemahan Kata Demi Kata Penerjemahan ini disebut juga dengan interlinear translation, yaitu susunan kata bahasa sumber (BSU) dipertahankan dan kata-kata diterjemahkan satu persatu dengan makna yang paling umum. Metode ini bertujuan untuk memahami mekanisme dalam bahasa sumber (BSU) maupun untuk menganalisis teks yang sulit sebagai proses penerjemahan. b) Penerjemahan Harfiah Penerjemahan harfiah ini menggunakan metode konvensi, yaitu konstruksi gramatikal bahasa sumber (BSU) dikonveksikan kepadanan bahasa sasaran (BSA) yang paling dekat tetapi kata-kata leksikal masih diterjemahkan kata per kata. Penerjemahan ini memang akan membingungkan pembaca, oleh karean itu, penerjmah harus memberikan keterangan tambahan berupa catatan kaki (Foot Note). Biasanya metode penerjemahan ini digunakan dalam menerjemahkan alQur‟an. c) Penerjemaha Setia Penerjemahan ini merupakan proses menghasilkan kembali makna kontekstual bahasa sumber (BSU) yang tepat, dengan mentransfer kata kultural dan tetap mempertahankan tingkat ketiakwajaran gramatikal dan leksikal dalam proses penerjemahan. Dalam metode penerjemahan ini, masih mempertahankan kata-kata yang bermuatan budaya, dan diterjemahkan secara harfiah. 15 d) Penerjemahan Semantik Penerjemahan ini sudah luwes, artinya sudah tidak mempertahankan lagi tingkat ketidakwajaran gramatikal dan leksikal dalam proses penerjemahan. Penerjemahan ini masih mempertimbangkan unsur estetika teks BSU dengan memadankan makna selama masih dalam batas kewajaran. Dibandingkan dengan penerjemahan lain.15Penerjemahan semantik lebih fleksibel. e) Penerjemahan Adaptasi Penerjemahan ini merupakan bentuk terjemahan bebas yang biasa dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi. Biasanya antara tema, karakter, dan plot masih dipertahankan, dan peralihan budaya bahasa sumber (BSU) ke dalam budaya sasaran (BSA) ditulis kembali kedalam bahasa sasaran (BSA). f) Penerjemahan Bebas Penerjemahan ini merupakan metode yang mengutamakan isi dan bukan mengorbankan bentuk teks bahasa sumber (BSU). Umumnya penerjemahan ini berbentuk parafrase yang dapat lebih pendek atau lebih panjang dari teks aslinya dan biasa dipakai di kalangan media masa. g) Penerjemahan Idiomatik Penerjemahan ini dipakai dalam penerjemahan teks idiom atau istilahistilah idiomatis. Penerjemahan ini bertujuan memproduksi pesan dalam teks 15 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta : P.T Grasindo,Anggota IKAPI, 2000), h.52 16 bahasa sumber (BSU) dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada naskah aslinya, sehingga terjadi distorsi nuansa makna. h) Penerjemahan Komunikatif Penerjemahan ini merupakan upaya memberikan makna kontekstual bahasa sumber (BSU) yang tepat, sehingga isi dan bahasanya dapat diterima dan dimengerti oleh pembaca. Metode ini tetap memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi seperti kalayak pembaca dan tujuan penerjemahan, sehingga teks sumber dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi. Menurut Manna al-Qathathan, terjemahan dapat digunakan pada dua arti: 1) Terjemahan harfiah, yaitu mengalihkan lafal-lafal yang serupa dari suatu bahasa ke dalam lafal-lafal yan serupa dari bahasa lain sedemikian rupa. Sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama. 2) Terjemahan tafsiriyah atau terjemahan maknawiyah, yaitu menjelasan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terkait dengan tertib katakata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya. 3. Tahap-Tahap Penerjemahan 1) Tahap Analisa 17 Ketika seseorang ingin menuliskan semua kehendaknya ia ingin menyampaikan sesuatu kepada pembacanya. Hal ini juga berlaku bagi teks ekspresif (pewujudan persamaan) seperti puisi. Mustahil seseorang penulis puisi menulis sesuatu tanpa ingin perasaannya diwujudkan dalam puisi tersebut juga dirasakan orang lain. dengan demikian, setiap teks tentunya bukanlah hal yang saklar. Justru karena tidak saklar itulah maka suatu teks bahasa sumber perlu dianalisis terlebih dahulu sebelum diterjemahkan. Analisis itu bisa berupa pertanyaan seputar teks seperti: Apa maksud pengarang menuliskan teks itu?Apakah untuk menjelaskan sesuatu (eksposisi), ataukah untuk bercerita (narasi), atau untuk mempengaruhi pendapat umum (persuasi), ataukah suatu ajakan sendiri? Bagaimana pengarang atau penulis menyampaikan maksud tersebut? Bagaimana pengarang mewujudkan gaya tersebut dalam pemilihan kata, frase, dan kalimat? Sesudah mempunyai gambaran yang jelas, barulah ia dapat memulai proses selanjutnya. 2) Tahap Pengalihan Seorang penerjemah dalam tahap ini berupaya untuk menggantikan unsur teks bahasa sumber (BSU) dengan unsur teks bahasa sasaran (BSA) yang sepadan.”sepadan pada segala unsur alam teks, baik dalam bentuk maupun isinya disepadankan tapi kesepadanan bukanlah kesamaan.”16 Pada tahapan pengalihan, seorang penerjemah mengajukan beberapa pertanyaan sebagai upaya pertimbangan dalam melakukan kegiatan pengalihan. 16 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemahan, (Jakarta :PT. Grasindo, 2000), h.50 18 Diantaranya adalah: Apakah maksud yang ingin disampaikan pengarang tersebut harus dipertahankan dalam teks terjemahan? Jawaban dasar terhadap pertanyaan ini adalah: penerjemah harus mempertahankan maksud yang ingin disampaikan pengarang. Pertanyaan selanjutnnya yang mungkin timbul dalam tahap pengaliahan ini adalah: Bagaimana penerjemah menyampaikan maksud yang sepadan tersebut kedalam bahasa sasaran? Apakah masih dapat digunakan kalimat-kalimat yang serupa? Misalnya, Bagaiman kalimat-kalimat informasi dalam bahasa sumber dapat tetap terasa memberikan informasi dalam bahasa sasran? Alat bahasa apakah yang dipergunakan dalam hal ini? Namun, apabila teks sumber yang diterjemahkan sangat sukar dan melibatkan kata-kata yang bermakna ganda. Kata-kata yang bermakna emosi dan sebagainya . penerjemahan dapat saja bolak-balik dari tahap analisis ke pengalihan dan sebagainya sampai ia yakin yang harus dijalani adalah tahap penyerasian. 3) Tahap Penyerasian Pada saat ini penerjemah dapat menyelesaikan bahasanya yang masih terasa kaku untuk disesuaikan dengan kaidah bahasa sasaran. Disamping itu, mungkin juga terjadi penyerasian dalam hal peristilahan, misalnya apakah menggunakan istilah yang umum digunakan ataukah yang baku. Pada tahap penyerasian ini, penerjemah dapat melakukannya sendiri, atau membiarkan orang lain melakukakannya. Akan lebih baik apabila penyerasian itu 19 dilakukan oleh orang lain. ada dua alasan untuk hal ini, pertama, penerjemah biasanya sulit mengoreksi pekerjaannya sendiri, karena secara spikoligis ia akan beranggapan bahwa terjemahannya sudah tepat, bahasanya sudah cukup alamiah dan wajar, dan sebagainya. Kedua, penerjemah sebaikknya merupakan pekerjaan suatu team.17Dalam hal ini, penerjemah terus menerjemahkan, sedangkan kegiatan penyerasian dilakukan oleh orang lain. Namun tidak ada salahnya apabila penerjemah sendiri yang melakukan penyerasian mereka masing-masing. Kebanyakan masyarakat barat mengerti mengenai ajaran agama islam dan alQur‟an berdasarkan apa yang telah diterjemahkan oleh kelompok orientalis kedalam bahasa mereka. Baik mereka pada akhirnya mencaci al-Qur‟an atau justru masuk kedalam islam karena terjemahan al-Qur‟an tersebut. Dengan adanya penerjemahan yang dilakukan itu, seorang dapat mempelajari kandungan alQur‟an terutama bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab (al-Qur‟an) dengan baik. Dengan begitu, penerjemahan al-Qur‟an sangatlah penting dan berperan sekali dalam mengkaji lebih dalam segala sesuatu yang terkandung dalam al-Qur‟an. 4) Penerjemahan Al-Qur’an a) Sejarah Penerjemahan Al-Qur’an Al-Qur‟anul Karim telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, misalnya: Latin, Inggris, Prancis, Belanda dan sebagainya. Untuk pertama kalinya al-Qur‟an diterjemahkan pada tahun 1143 M, ke dalam bahasa Latin, sebagai bahasa ilmu di 17 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemahan, (Jakarta :PT. Grasindo, 2000), h.50 20 Eropa waktu itu. Al-Qur‟an masuk ke Eropa melalui Andalus. Dari terjemahan bahasa Latin inilah kemudian al-Qur‟an diterjemahkan ke dalam bahasa Itali, Jerman, dan Belanda oleh para orientalis barat. Pada umumnya penerjemah alQur‟an oleh para orientalis iu mempunai kecenderungan atau tendensi negatif, yaitu menjelek-jelekan Islam, karena motif mereka bukan untuk menggali dan memahami petunjuk al-Qur‟an, melainkan demi kepentingan misi mereka menyudutkan Islam. Maracci misalnya, di tahun 1689 mengeluarkan terjemahan al-Qur‟an ke dalam bahasa Latin, dengan teks Arab dan berbagai nukilan dari dari berbagai tafsir dalam bahasa Arab yang dipilih demikian rupa, ditujukan untuk memberikan kesan buruk islam di Eropa. Maracci sendiri adalah orang yang pandai, dan dalam menerjemahkan al-Qur‟an itu jelas bertujuan untuk menjelekjelekan Islam dikalangan orang-orang Eropa dengan mengambil pendapat ulamaulama Islam sendiri, yang menurutnya menunjukan kerendahan Islam. Maracci adalah seorang Roma katolik dan terjemahannya itu ia persembahkan kepada Empero Romawi. Terjemahan al-Qur‟an ke dalam bahasa Inggris, yang itu pun sesungguhnya sebagai hasil terjemahan dari bahasa Prancis, yang dilakukan oleh Du Ryer tahun 1647, untuk pertama kalinya dilakukan oleh A. Ross dan baru diterbitkan beberapa tahun setelah karya Du Ryer itu. Mengingat luasnya tujuan-tujuan terselubung dari para orientalis yang non Islam dan anti Islam, dalam penerjemahan al-Qur‟an, menyebabkan penulis21 penulis muslim berusaha menerjemahkan al-Qur‟an ke dalam bahasa Inggris. Sarjana muslim pertama-tama melakukan penerjemahan al-Qur‟an ke dalam bahasa Inggris ialah Dr. Muhammad Abdul Hakim Khan dari Patiala, pada tahun 1905 M. Mirza Hairat dari Delhi juga menerjemahkan al-Qur‟an dan diterbitkan di Delhi pada tahun 1919. Nawab Imadul Mulk Sayid Husein Bilgrami dari Hyderabad Dacca juga menerjemahkan sebagian al-Qur‟an. Ia meninggal sebelum menyelesaikannya. Ahmadiah Qadian juga menerjemahkan bagian pertama alQur‟an pada tahun 1915, Ahmadiah Lahore juga menerbitkan terjemahan alQur‟an Maulvi Muhammad Ali yang pertama terbit pada tahun 1917. Terjemahan al-Qur‟an tersebut merupakan terjemahan ilmiah yang diberi catatan-catatan yang luas dan pendahuluan serta indeks yang cukup. Terjemahan al-Qur‟an lain yang perlu disebutkan ialah terjemahan Hafidz Ghulam Sarwar yang diterbitkan pada tahun 1930. Dalam terjemahannya ia memberikan ringkasan, surat demi surat, bagian demi bagian, tetapi tidak diberikan foot note pada terjemahan itu. Catatan-catatan yang dimaksud kiranya sangat perlu untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an. Bahasa al-Qur‟an dengan ungkapan-ungkapan yang kaya akan arti memerlukan catatan-catatan yang memadai. Marmaduke Pichtall juga menerjemahkan al-Qur‟an dan diterbitkan pada tahun 1930. Ia adalah seorang muslim berkebangsaan Inggris yang pandai dan ahli dalam bahasa Arab. Terjemahan ke dalam bahasa non Eropa dilakukan ke dalam bahasa-bahasa : Persia, Turki, Urdu, Benggali, Indonesia dan berbagai bahasa timur dan beberapa bahasa Afrika. Terjemahan al-Qur‟an yang pertama dalam non Eropa adalah ke 22 dalam bahasa Urdu yang dialakukan oleh Syah Abdul Qadir dari Delhi (wafat 1826). Setelah itu banyak juga yang lain menerjemahkan al-Qur‟an ke dalam bahasa Urdu tersebut, yang pada umumnya terjemahan - terjemahan itu tidak sampai selesai. Diantara terjemahan yang lengakap yang dipergunakan sampai sekarang ialah terjemahan Syah Rafiuddin dari Delhi, Syah Asyraf Ali Thanawi dan Mulvi Nazir Ahmad (wafat 1912). Al-Qur‟anul Karim diterjemahkan kedalam bahasa Inonesia telah dilakukan oleh Abdul Ra‟uf Al-Fansuri, seorang ulama dari Singkel, pada pertengahan abad ke-17 M. Jelasnya ke dalam bahasa melayu, terjemahan tersebut bila dilihat dari segi ilmu bahasa atau tata cara bahasa Indonesia modern belum sempurna, namun pekerjaan itu sungguh besar artinya, terutama sebagai perinris awal. Diantara terjemahan yang lain ialah terjemahan yang dilakukan oleh kemajuan Islam di Yogyakarta, al-Qur‟an Kejawean dan al-Qur‟an Sundawiyah, terbitan percetakan A.B Siti Syamsiah Solo, Tafsir Hidayaturrahman oleh K.H. Mahmus Yunus (1935), Al Furqan dan tafsir Qur‟an oleh A.Hasan dari Bandung (1928), Tafsir al-Qur‟an oleh H.Zainuddin Hamidi Cs (1959), Al Ibris disusun oleh K.H Bisyri Musthafa dari Rembang (1960) dan lain-lain. Dari terjemahan-terjemahan al-Qur‟an, ada yang lengkap dan ada yang tidak selesai. Terjemahan al-Qur‟an ke dalam bahasa Indonesia yang kemunculannya menimbulkan pro dan kontra ialah bacaan mulia oleh kritikus sastra H.B Jassin, yang dalam terjemahan itu menggunakan pendekatan puitis. 23 Pemerintah RI menaruh perhatian besar terhadap upaya terjemahan al-Qur‟an ini. Hal tersebut terlihat semenjak pola I pembangunan semesta berencana, sampai pada masa pemerintahan sekarang ini. Al-Qur‟an dan terjemahannya yang telah beredar di masyarakat dan telah berulang kali dicetak ulang dengan penyempurnaan-penyempurnaan, adalah bukti nyata dari besarnya perhatian pemerintah terhadap penerjemahan al-Qur‟an itu.18 Dalam penerjemahan al-Qur‟an terdapat dua jenis terjemahan, yaitu: a) Terjemahan al-Qur‟an harfiah Terjemahan al-Qur‟an secara harfiah adalah terjemahan yang dilakukan dengan apa adanya, sesuai dengan susunan dan struktur dari bahasa sumber. Terjemahan harfiah dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang terdapat di dalam teks terlebih dahulu, setelah benar-benar di pahami kemudian dicari padanannya yang tepat ke dalam BSA. Muhammad Husain Al-Dzahabi membagi terjemahan harfiah ini dalam dua bagian, yaitu: Terjemahan Harfiah bi al-Mitsl, yaitu terjemahan yang dilakukan apa adanya, terkait dengan susnan dan struktur bahasa sumber yang diterjemahkan. Terjemah al-Qur‟an Bighairi al-Mitsl, pada dasarnya sama dengan terjemahan sebelumnya, hanya saja sedikit lebih linggar keterkaitannya dengan sususnan dan struktur bahasa sumber yang akan diterjemahkan. 18 M. Ali Hasan dan Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1988), h. 177-180 24 1) Terjemahan al-Qur’an Tafsiriah Terjemahan al-Qur‟an secara tafsiriah atau lebih yang lebih dikenal dengan penerjemahan maknawiyah yaitu penjelasan makna atau arti kata dengan bahasa lain, tanpa terkait dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimanya. Terjemahan ini lebih mengedepankan maksud atau isi kandungan yang terdapat dalam bahasa sumber yang diterjemahkan. Terjemahan ini tidak terkait dengan susunan dan struktur gaya bahasa yang diterjemahkna. Dengan kata lain dapat pula disebut dengan terjemahan bebas. b) Perbedaan Penerjemahan Al-Qur’an dengan Tafsir Sebelum penulis menjelaskan perbedaan penerjemahan dengan penafsiran, penulis ingin memaparkan tentang penafsiran terlebih dahulu. Tafsir atau at-tafsir menurut bahasa mengandung arti antar lain yaitu: 1) Menjelaskan, menerangkan, ( ), yakni ada sesuatu yang semula belum atau tidak jelas memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga jelas dan terang. 2) Keterangan sesuatu ( ), yakni perluasan dan pengembangan dari ungkapan-ungkapan yang masih sangat umum dan global, sehingga menjadi lebih terperinci mudah dipahami serta dihayati. 25 3) ( ), yakni (alat-alat kedokteran yang khusus dipergunakan untuk dapat mendeteksi/ mengetahui segala penyakit yang diderita seorang pasien). Kalu tafsiriah adalah alat kedokteran yang mengungkapkan penyakit dari seorang pasien, makna tafsir dapat mengeluarkan mkna yang tersimpan dalam kandungan ayat-ayat al-Qur‟an. Tafsir menurut istilah (terminologis), para ulama memberikan rumusan yang berbeda-beda, karena perbedaan dalam titik pusat perhatiannya, walaupun arah dan tujuannya yang sama. Adapun definisi tafsir adalah sebagai berikut: 1) Menurut Syaih Thahir Al- Jazair, dalam At-Taujih: “Tafsir pada hakikatnya ialah menerangkan (maksud) lafazh yang sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih menjelas pada maksud baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim itu, atau dengan mengemukakan uraian yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah.” 2) Merurut Syaikh Al- Jurjani dalam At-Ta‟rifat : 26 “Pada asalnya tafsir berarti membuka atau melahirkan, dalam pengertian syara‟, (tafsir) ialah menjelaskan makna ayat: dari segi segala persolannya, kisahnya, asbabul nuzulnya, dengan menggunakan lafazh yang menunjukan kepadanya secara terang.19 Terjemah, baik harfiah maupun tafsiriyah bukanlah tafsir, terjemah tidak identik dengan tafsir. Banyak orang mengira bahwa terjemah tafsiriyah itu pada hakikatnya adalah tafsir yang memakai bahasa non-Arab, atau terjemah tafsiriyah itu adalah terjemah dari tafsir yang berbahasa Arab. Persoalan ini memang sejak dulu diperdebatkan dan diperselihsikan. Antara keduanya jelas ada unsur kesamaan, yaitu bahwa baik tafsir maupun terjemah bertujuan untuk menjelaskan. Penjelasan tafsir ialah sesuatu maksud yang semula sulit dipahami, maka dengan penjelasan akan dapat mudah dipahami sedangkan terjemah juga menjelaskan makna dari suatu bahasa yang tidak dikuasai melalui suatu bahasa lain yang dikuasai. Ada unsur persamaan antara keduanya bukan berarti keduanya sama secara mutlak. Perbedaan-perbedan keduanya antara lain: 1) Pada terjemahan terjadi peralihan bahasa, dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, tidak ada lagi lafazh atau kosa kata pada bahasa sumber itu 19 M. Ali Hasan dan Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1988), h.139-141 27 melekat pada bahasa sasaran. Bentuk peenerjemahan telah lepas sama sekali dari bahasa yang diterjemahka. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Tafsir selalu ada keterkaitan dengan bahasa sumbernya, dan dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagai lazimnya dalam penerjemahan. Yang terpenting dan menonjol dalam tafsir ialah ada penjelasan, baik penjelasan kata-kata mufradat (kosa kata) maupun penjelasan susunan kalimat. 2) Pada penerjemahan sekali-kali tidak boleh melakukan yakni penguraian luas melebihi dari sekedar mencari padanan kata, sedangkan dalam tafsir, pada kondisi tertentu, tidak hanya boleh melakukan penguraian meluas itu, tentu justru penguraian meluas itu wajib dilakukan, jika usaha menjelaskan makna ayat al-Qur‟an yang dikehendaki baru dapat dicapai dengan mantap melalui penguraian masalahnya secara luas. Lagi pula dalam penerjemahan (terutama harfiah) makna yang diungkap sebaiknya tidak lebih dan tidak kurang dari bahasa sumber, sehingga bila terjadi kesalahan dalam bahasa sumber, niscaya kesalahan itu akan terjadi pula pada penerjemahannya. Berbeda dengan tafsir, bahwa yang dituntut dalam tafsir ialah menyampaikan pesan dari bahasa sumbernya. Terkadang penjelasan itu dapat dikembangkan ke arah pendapat yang beraneka ragam, melalui uaraian yang luas di atas. Itulah rahasianya, mengapa kebanyakan kitab-kitab tafsir al-Qur‟an memuat uraian luas yang beraneka macam pembahasannya, meliputi ilmu bahasa, akidah, ilmu fiqih, usul 28 fiqih, asbabun nuzul, nasikh mansukh, ilmu kauniyat, ilmu kemasyarakatan dan sebagainya. 3) Terjemah pada lazimnya mengandung tuntutan dipenuhi semua makna yang dikehendaki oleh bahasa sumber, tidak demikian halnya dengan tafsir. Yang menjadi pokok perhatiannya ialah tercapai penjelasan yang sebaik-baiknya, baik secara global maupun secara terperinci, baik mencakup keseluruhan makna saja, tergantung pada apa yang diperhatikan mufasir dan dua orang yang menerima tafsir itu. 4) Tafsir lazimnya mengandung tuntutan ada pengakuan, bahwa semua makna yang dimaksud, yang telah dialihbahasakan oleh penterjemah adalah makna yang ditunjuk oleh pembicara bahasa sumber dan memang itulah yang dikehendaki oleh penutur bahasa. Tidak demikian dengan tafsir. Dalam dunia tafsir soal pengakuan sangat relatif, tergantung pada faktor kredibilitas mufassirnya. Mufassir akan mendapatkan pengakuan jika dalam tafsir itu ia didukung oleh banyak dalil yang dikemukakannya, sebaliknya ia tidak akan mendapatkan pengakuan ketika hasil tafsirnya itu tidak didukung oleh dalil-dalil. Demikian pula jika yang melakukan penafsiran itu orang yang sehaluan dengan pembaca atau yang mendengar hasil penafsiran, maka akan mendapat pengakuan, akan tetapi jika tidak sehaluan, mungkin pengakuan itu tidak ada, atau 29 jika ilmunya lebih rendah dari yang membaca atau yang mendengar hasil tafsiran itu, maka pengakuan pun tidak ada, demikian pula sebaliknya.20 B. Homonimi 1. Pengertian hominimi Homonimi berasal dari bahasa kuno onoma artinya „nama‟ dan homo yang artinya „sama‟. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai “nama sama untuk benda atau hal lain”. secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi hominimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase, kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Umpamanya kata “pacar” yang berati „inai‟ dengan “pacar” yang berarti „kekasih‟, antara kata “bisa” yang berarti „racun ular‟ dan kata “bisa” yang berarti „sanggup‟, atau „dapat‟. Contoh lain, antara kata “baku” yang berarti „standar‟ dengan kata “baku” yang berarti „saling‟. Atau antara kata “bandar” yang berarti „pelabuhan‟ dengan “bandar” yang berarti „parit‟ dan “bandar” yang berati „pemegang uang dalam perjudian‟. Hubungan antara kata “pacar” dengan arti „inai‟ dan kata “pacar” dengan arti „kekasih‟ inilah yang disebut hominim. Jadi kata pacar yang pertama berhominimi ini bersifat dua arah. Dalam kasus bandar yang terjadi cotoh di atas, homonimi ini terjadi pada tiga buah kata. 20 M. Ali Hasan dan Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1988), h.139-141 30 Hubungan antara dua kata yang berhomonim bersifat dua arah. Artinya, kalau kata “bisa” yang berarti „racun ular‟ berhomonim dengan kata “bisa” yang berarti kata „sanggup‟, maka kata “bisa” yang berarti „sanggup‟ juga berhomonim dengan kata “bisa” yang berarti „racun ular‟. Kalau ditanyakan, bagaimana bisa terjadi bentuk-bentuk yang homonimi ini? Ada dua kemungkinan sebab yang terjadinya homonimi. Pertama, bentuk-bentuk hominimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya kata bisa yang berarti racun ular bersal dari bahasa melayu, sedangkan kata bisa yang berarti sanggup berasal dari bahasa jawa. Contoh lain kata „bang‟ yang berarti “adzan” berasal dari bahasa jawa, sedangkan kata „bang‟ (kependean dari bang) yang berarti “kakak laki-laki” berasal dari bahasa melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti pangkal bermula berasal dari bahasa melayu, sedangkan kata asal yang berarti kalau berasal dari dialek Jakarta. Kedua, bentuk-bentuk yang bersinonim itu terjadi dari hasil proses morfologis. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, jelas kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil poses pengimbuhan awalan me- pada kata kukur (me + kukur = mengukur), sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me + ukur = mengukur). 31 Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi, homonimi itupun dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Homonimi antar morfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem lainya. Misalnya, antar morfem-nya pada kalimat: ini buku saya, itu bukumu, dan yang disana buku-nya‟ berhomonimi dengan -nya pada kalimat “mau belajar tetapi bukunya belum ada”.morfem -nya adalah kata ganti orang ketiga, sedangkan morfem -nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu. Homonimi antar kata, misalnya antara kata bisa yang berarti racun ular dan kata bisa yang berarti sanggup atau dapat seperti disebutkan dimuka. Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak berarti perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya dan frase cinta anak yang berarti cinta kepada anak dari seorang ibu. Contoh lain, orang tua yang berarti ayah ibu dan frase orang tua yang berarti orang yang sudah tua. Juga antara frase lukisan Yusuf yang berarti lukisan hasil karya Yusuf, serta lukisan Yusuf yang berarti lukisan wajah Yusuf. Homonimi antar kalimat, misalnya antara kata istri lurah yang baru itu cantik yang berarti lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik, dan kalimat istri lurah yang baru itu cantik yang berarti lurah itu baru menikah dengan seorang yang cantik.21 21 Abdul Chair, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta :Rineka Cipta, 1994), h. 93-96 32 2. Homonim dalam Bahasa Arab Homonim (Al-Musytarak Al-Lafzi) Homonimi adalah beberapa kata yang sama, baik pelafalan maupun bentuk tulisannya, tetapi maknanya berlainan. Menurut Moelioni, homo sedikitnya mempunyai dua makna. Pertama, homo yang berasal dari bahasa latin yang bermakna „manusia‟. Kedua, homo yang berasal dari bahsa Yunani yang bermakna „sama‟. Dalam kasus ini, homo yang terdapat dalam homonim berasal dari bahas Yunani. Setidaknya inilah yang dikemukakan oleh Mattews. Nim (Nym) sendiri merupakan combining form yang mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan terapi maknanya berbeda. Oleh Fromkin dan Rodman (1998:163), homonim diperkenalkan dengan nama lain homofon. Untuk lebih sederhananya, Verhaar (1999:394) memperlambangkan hominim dengan X dan Y yang bermakna lain tetapi bentuknya sama. Pengaruh bahasa (kata) asing kedalam bahas Indonesia ternyata mengakibatkan munculnya banyak homonimi. Hominim dalam bahasa Arab banyak sekali dapat ditemukan. Berikut contoh homonim dalam bahasa Arab: a. Kata dharaba ( ) mempunyai arti (1) berdenyut; (2) mengepung; (3) memikat; (4) menembak; (5) memukul; (6) menyengat; (7) cenderung; (8) menentukan; (9) mengetuk. Semua kata dharaba yang mempunyai sedikitnya 9 arti ini semua dilafalkan dan bentuk sama. 33 ) mempunyai arti (1) berkuasa; (2) menaruh b. Kata tawalla ( perhatian; (3) mengendalikan diri; (4) mengerjakan; (5) mengemudikan; (6) memimpin. Semua kata tawalla yang mempunai sedikitnya 6 arti ini semuanya dilafalkan dalam bentuk sama c. Kata rusyd ( ) mempunyai arti (1) dewasa; (2) sadar; (3) petunjuk; (4) rasio. Semua kata rusyd yang mempunyai sedikitnya 4 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama. d. Kata qabadha ( (3) mengerutkan; ) mempunyai arti (menekan); (2) mengembalikan; (4) menyempitkan; (5) melepaskan; (6) meninggalkan; (7) bersegera. Semua kata qabadha yang mempunyai sedikitnya 7 arti semyanya dilafalkan dalam bentuk yang sama. e. Tahlil n puji-pujian kepada Tuhan dengan menyebut laila ha ila llah. Tahlil n pengesahan perwakilan antara suami dan sitri yang telah bercerai tiga kali dengan perantaran muhalil. f. Sirat n mata jala (jaring rajut), sirat n celah, sela (antara gigi dan gigi), sirat n jembatan. 3. Homonimi Dalam Bahasa Indonesia Seed (2000:63) menyebutkan bahwa homonimi adalah relasi antara kata fonologis yang sama namun maknanya tidak berhubungan. Definisi ini agak 34 berbeda dengan definisi Matthews (1997: 164) yang menyebutkan homonimi sebagai relasi antara kata-kata yang bentuknya sama namun maknanya berbeda dan tidak bisa dihubungkan. Menurut pendapat saya, definisi homonimi menurut Saeed rancu dengan definisi homofon, sedangkan definisi homonimi menurut Matthews rancu dengan definisi homograf. Hominimi seharusnya mencakup relasi antara kata yang pengucapannya dan bentuknya sama, namun maknanya tidak berhubungan. Berikut contoh homonim dalam bahasa Indonesia Rapat (berdempat-dempat) dengan kata rapat (meeting) Beruang (hewan) dengan kata beruang (punya uang) Bisa (dapat) dengan kata bisa (racun ular) Pacar (inai) dengan kata pacar (kekasih) Bandar (pelabuhan, dengan bandar (parit) , bandar (pemegang uang dalam perjudian) C. Pengertian Khalifah dan Khatam 1. Pengertian Khatam Pengertian kata khatam sendiri dalam kamus al-Munjid fi Lughah wa al„Am kata artinya adalah (sesuatu yang menutup/ menyudahi 35 dengannya), dan (akhir dari sebagala sesuatu) 22 . Begitu juga penjelasan dalam kitab Lisan al-A‟arab kata al-khatim dan al-khatam artinya (yang terakhir dari mereka).23 Pada dasarnya kata khatam mempunyai tiga arti yaitu: cincin, stempel/cap/segel dan penutup atau paling akhir.24 Sedangkan pada kata khalifah sendiri dalam kamus al-Munjid fi Lughah wa al-„Am bermakna pengganti. Perkataan khatam akan berubah-ubah maknanya sesuai dengan kata yang ada didepannya atau yang merangkainya. Sebagaimana dalam kamus Kotemporer Arab Indonesia, jika dirangkaikan dengan kata emas maka artinya adalah cincin namun apabila dirangkai dengan kata nabi maka artinya adalah nabi penutup. Perbedaan penafsiaran atas lafazh khatam al-nabiyyin telah muncul berbagai persoalan pelik yang seolah tanpa penyelesaian bahan permasalahnnya berujung pada perpecahan dikalangan umat muslim sendiri, hal ini dikarenankan dampak dari perbedaan itu sesudah menyentuh pada permasalahan aqidah. Pendapat pertama tentang khatam yang memiliki penafsiran yang menghasilkan pemahaman bahwa rasul adalah rasul terakhir dan penutup para nabi, sehingga dengan demikian diperoleh kesimpulan akhir bahwa pintu kenabian telah tertutup, dan tidak ada lagi nabi atau pun rasul setelah rasul wafat. 22 Al-Munjid Fi al-Lughah wa A’lam, h. 168 23 Imam al-Alamah Abu al-Fadl Jamaludin Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur alAfriqy al-Mishriy, Lisan al- A’rab, ( Beirut: Dar Shadir, 1990), Jilid 12, cet. Ke- 1, hal. 164 24 Kamus Kotemporer Arab Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantern Krapyak, 1996), cet. Ke-1 , hal. 814 36 Pendapat kedua adalah atas khatam tidak dipahami dengan sebagai rasul terakhir atau penutup para rasul, akan tetapi dipahami dengan berbagai penafsiran yang berbeda yang berada di luar konteks itu. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa pintu kenabian masih terbuka, Muhammad bukanlah rasul atau nabi terakhir. Dan masih akan ada nabi atau rasul yang akan di utus setelah beliau. Pada umumnya penafsiran seperti ini dianut oleh sekelompok atau aliran aliran yang menganggap imam atau pemimpin mereka sebagai seorang nabi yang meneruskan perjuangan dakwah nabi Muhamad seperti aliran ahmadiah. 2. Pengertian Khalifah Pengertian khalifah adalah seseorang yang diangkat oleh seorang penguasa atau masyarakat untuk menjalankan kekuasaan dan wewenangnya. Ini disebut “pengemban amanah” atau wakil. Untuk menjalankan tugasnya dalam memimpin suatu kelompok atau masyarakat. Menurut ajaran islam setiap orang itu, adalah khalifah dimuka bumi ini. Yaitu khalifah sebagai pengemban amanah dan tugas dari tuhan untuk menjaga dan melestaraikan bumi ini. Di dalam Al-Qur‟an orang yang mengembankan amanat disebut khalifah dan untuk kelembagaannya disebut khilafah. 37 Kata khalifah secara syara‟ berasal dari kata, . Yang berarti mengganti atau memberi ganti. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata yang berarti menggantikan dan menempati tempatnya. Khalifah berasal dari kata bahasa Arab yang berarti “wakil, pengganti, atau duta” yakni pengganti tuhan dan mengganti nabi Muhammad dalam fungsi sebagai kepala negara. Khalifah juga berarti wakil, deputi atau pengganti. Kata lain dan gelar khalifah adalah imam “pemimpin”. Khususnya pemimpin dalam shalat atau komandan kaum muslimin yang diberikan kepada mereka yang menggantikan nabi, sebagai penguasa riil atau nominal dunia islam, gelar lengkapnya adalah khalifah rosulullah25 Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata khalifah mempunyai tiga arti, yakni: pertama, wakil (pengganti) nabi Muhammad setelah nabi Muhammad wafat, dalam mengurus urusan agama dan negara, yang melakasanakan syari‟at islam dan hukum negara. Kedua, digunakan untuk gelar kepada agama atau raja – raja di negara islam. Yang ketuga, penguasa atau pengelola.26 Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, dikatakan bahwa kata khalifah itu berasal dari kata kerja khalafa yang berat pengganti atau pengurus. Sebuah istilah klasik bagi pemimpin yang tertinggi di dunia islam. Kata khalifah bersinonim dengan kata imanah, menurut Syaikh Abu Zahra di dalam diskursusnya, dikatakan khalifah karena ia menjadi pemimpin yang tertinggi dalam menggantikan peran Rasullulah dalam memgatur urusan kaum muslim, dan dia dinamakan imam, karena khalifah juga bertindak selaku imam bagi masyarakatnya. 25 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Kebudayaan Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), cet ke-4, hal. 497 26 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Kebudayaan Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), cet ke-4, hal. 497 38 Pada masa Khalifah Rasyidin, istilah khalifah belum digunakan sebagai nama atau gelar yang menunujukan pada suatu jabatan “kepala pemerintah”. Ketika Abu Bakar terpilih jadi penganti rasul, sebutan ini merupakan gelar khusus baginya sebagai pengganti yang melanjutkan tugas nabi Muhammad untuk memimpin masyarakat dalam urusan agama dunia. Pengertian ini terus berkembang pada arti yang lebih luas. Ini semua bermula dari Umar Bin Khatabb yang menyebut dirinya Khalifah Rasul. Yakni pengganti rasul hingga pada masa Ustman Bin Affan dia disebur sebagai Khalifah Allah. Gelar ini pertama kali diberikan oleh Zaid Bin Tsabit, salah seorang sahabat rasul. Kata ini diucapkannya untuk meguji Utsman Bin Affan. Mulai saat ini kata khalifah menjadi populer hingga masa Ali Bin Thalib. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah makna khalifah mengalami perkembangan makna, yakni Khalifah Allah”wakil allah di muka bumu” bukan lagi Khalifah Rasul “pengganti rosul”, sedangkan pada masa Abasiyah makna khalifah menjadikan sebuah kedudukan yang sangat tinggi yakni “Khalifatullah Fi alArd” atau bayangan-bayangan Allah di muka bumi. Dalam islam kata khilafah dan khalifah sama artinya denag imanah. Khilafah merupakan refleksi dari kepemimpinan dakwah islamiah yang melaksanakan konstitusi islam di wilayah tertentu. Abu Baqar berkata: khalifah adalah orang yang menggantikan orang lain, sedangkan khalifah adalah niyabah (perwakilan) dari orang lain. karena kepergiannya atau karena kematian, khalifah atau khilafah bermakna orang yang mewakili orang-orang sebelumnya. Ada juga yang 39 mengatakan khalifah itu adalah orang yang mengemban amanah dan dia sebagai seorang wakil. Sedangkan kata khalifah menurut syara‟, para ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan khalifah adalah pengganti rasul dalam melaksanakan syariat Islam. Sedangkan Imam Baydlawi mengatakan, khalifah adalah pribadi yang menggantikan rasul dalam menegakkan syariat Islam. Menjaga agama, di mana dia wajib di taati oleh seluruh kaum muslim. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan terhadap makna khalifah27 Kata khalifah (pengganti) di dalam Al-Qur‟an terdapat tiga pengertian: Khalifah yang dipergunakan untuk nabi-nabi yang seakan-akan menjadi pengganti Allah di dunia Khaliafah yang diartikan sebagai kaum yang datang kemudian. Dalam pengertian ini diartikan sebagai pengganti nabi, dipilih oleh kaumnya sendiri. Seperti contoh adalah Khalifah Abu Bakar Khalifah dipergunakan untuk para pengganti nabi karena mereka mengikuti jejak para nabi sebelum mereka. Khalifah-khalifah semacam itu dapat dianggkat oleh tuhan sebagaimana nabi yang diangkat oleh tuhan sendiri. Khalifah yang berpangkat nabi ini adalah pembantu bagi nabi yang sebelumnya atau pada masa umpamanya nabi Harun adalah khalifah nabi Musa. Dari ketiga pengertian tersebut dapat diambil satu kesimpulan, 27 Syamsuddin Ramdhan, Menegakkan Kembali Khalifah Islamiah (Jakarta: Daftar Pustaka Panjimas, 2003), hal. 1-3 40 kalau khalifah adalah pemimpin-pemimpin rohani. Diantara sekian banyak nabi dan rasul yang disebutkan dalam Al-Qur‟an hanya beberapa orang saja yang menjadi pemimpin rohani dan sekaligus pemimpin pemerintah. Pemaknaan sebuah kata atau bahasa sangat erat kaitannya dengan budaya yang melatar belakanginya. Karena suatu bahasa merupakan alat komunikasi, maka manusia sebagai pemakai bahasa selalu berusaha untuk memaknai bahasa itu sesuai dengan perkembangan manusia tersebut agar komunikasi yang dibangun selalu relevan dengan kondisi masyarakat tersebut. Demikian juga halnya dengan apa yang penulis bahas pada skripsi ini, yaitu tentang khalifah dan khatam. 41 BAB III TENTANG AHMADIAH A. Sejarah Berdirinya Ahmadiah Sejak kekalahan Turki Usmani dalam serangan ke benteng Wina pada tahun 1683, pihak Barat mulai bangkit menyerang Kerajaan tersebut, dan serangan itu lebih efektif lagi ke abad 18. Kemudian pada abad berikutnya Bangsa-Bangsa Barat ini mulai aktif menjajah ke daerah-daerah yang didudukinya, seperti Inggris menjajah India dan Mesir, Prancis dapat menguasai Afrika Utara, dan bangsabangsa Eropa yang lain menjajah daerah-daerah Islam yang lain. Gerakan kononialisasi ini disebabkan oleh berbagai macam penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan industri, misalnya ditemukannya alat transportasi dengan tenaga uap tahun 1902 M, mesin cetak tahun 1814 M, kapal uap pertama menjelajahi jarak antar kota Liver Pool dan Glasgow tahun 1815 M, telegraf tahun 1820 M, jaringan kereta api dibuka di Inggris tahun 1825 M, mesin elektromagnetik tahun 1820 M, dan terusan Suez dibangun tahun 18833-1865 M. Kemunculan Ahmadiah di India merupakan salah satu bagian dari peristiwa sejarah dalam Islam yang tidak lepas dari konteks sosial pada saat itu. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, bahwa kerajaan Islam yang menguasai anak Benua India adalah Kerajaan Mughal (1526-1858) yang saat ini sedang menuju kehancuran. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: pertama, melemahnya pemerintahan karena dekadensi moral dan pola hidup mewah yang melanda para 42 pejabat pemerintahan pasca Aungrazeb.28Kedua, adanya pemberontakan yang dilakukan secara terus menerus oleh golongan Hindu dan Sikh di India29. Walaupun India berada dalam wilayah kekuasaan kerajaan Islam Mughal, tetapi mayoritas penduduknya masih tetap beragama Hindu, sebagian lain beragama Kristen, Budha, dan Sikh. Tercatat telah terjadi pemberontakan Sikh yang dipimpin guru Tegh Bhadur dan guru Gobin Singh. Golongan Rajput juga mengadakan pemberontakan dibawah pimpinan Raja Udaipur, sedangkan golongan Sikh dibawah pimpinan Banda yang berhasil merampas kota Sadhaura di sebelah utara Delhi, dan mengadakan perampasan serta pembunuhan terhadap penduduk yang beragama Islam di kota Sirhind. Selain itu golongan Maratha yang dipimpin Raji Rao dapat merampas sebagian daerah Gujarat tahun 1732 M30. Ketiga, adanya campur tangan Inggris yang datang ke India sejak abad ke-15, terutama setelah pecahnya revolusi India yang terkenal dengan pemberontakan Munity tahun 1857 M. Pemberontakan ini berakhir dengan kemenangan East India Company, dimana Inggris menjadikan India sebagai salah satu kolonialnya yang terpenting di dunia dengan utuhnya kerajaan Mughal di India. Namun bila runtuh kerajaan Mughal di India maka secara otomatis pula akan meruntuhkan pula kekuasaan politik Islam dan inilah periode yang gelap bagi umat Islam. Inggris menduduki India dan menggantikan pemerintahan umat Islam dengan membawa kebudayaan Eropa. 28 Iskandar Zulkarnaen, Ahmadiah di Indonesia : sebuah titik yang dilupa, (Jakarta : Pustaka Zaman, 2001), h. 47 29 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), h.19 30 Ibid, h. 19 43 Situasi keagamaan menjelang kelahian Ahmadiah ditandai dengan gencarnya gerakan misi-misi Kristen di seluruh dunia yang dilakukan sejak tahun 1804 M, khususnya ketika British dan Foreign Bible Soiety terbentuk. Kelompok Kristen menetapkan pada tahun 1814-1815 M sebagai The Great Century of World Evangelization (abad agung penginjilan di dunia), dimana anak benua India merupakan sebuah sasaran yang dijadikan sebuah proyek besar bagi gerakan penginjilan atau kristenisasi, sehingga jutaan orang masuk ke dalam agama Kristen melalui gerakan-gerakan missionaris Kristen. Ketika penginjilan dijalankan dan kondisi umat Islam India yang mundur, maka banyak pula bermunculan kelompok Neo-Hindu, di antaranya yang paling militan dan agresif adalah sekte Arya Samaj (Aryan Society) yang berkembang cukup pesat, khususnya di daerah Punjab. Arya Samaj merupakan gerakan yang ingin mengembalikan kemurnian agama Hindu dan menampilkannnya sebagai suatu kebanggaan nasional India, menentang pemahaman-pemahaman Hindu Brahma yang ortodoks, dan sering melancarkan serangan besar-besaran terhadap ajaran Kristen dan Islam. Gerakan ini sudah dikembangkan dari tahun 1865 M oleh Swami Dayananda Saraswati yang digelari Hindu Luther oleh penentangnya. Ia menulis sebuah kitab Veda yang menggambarkan sikap Hindu terhadap agamaagama lainya, dan terhadap permasalahan-permasalahan sosial kontemporer. Keadaan tersebut makin diperparah dengan kondisi intelektualitas dan moral umat Islam yang sangat memprihatinkan. Masyarakat India saat ini seakan telah terbiasa meminum khamar, menghisap candu, dan melacur. Di sisi lain seperti dalam beribadah, mereka malas datang ke masjid sehingga banyak masjid menjadi 44 kosong, serta sering terjadi pertarungan antara sesama kelompok muslim yang disebabkan perbedaan yang sepele, dan mengganggap sebagai pengabdian yang paling besar terhadap Islam dengan mencap muslim lainnya sebagai kafir. Menanggapi kondisi yang terjadi saat ini, seorang yang menjadi pendiri Ahmadiah, Mirza Ghulam Ahmad mengatakan: “Sayang sekali masjid-masjid pada zaman kita ini keadaannya sangat memprihatinkan. Sekiranya seseorang berkeinginan mengimami shalat di masjidmasjid seperti itu, imam-imam yang resmi tidak mau bertoleransi. Sebabnya sudah dimaklumi oleh semua orang bahwa mengimami shalat telah menjadi semacam bisnis bagi imam-imam ini. Lima kali sehari mereka bukan memasuki tempat shalat, melainkan cenderung seperti memasuki toko demi melayani para pelanggan. Mereka beserta keluarganya hidup dari penghasilan itu. Orang-orang pergi ke pengadilan bila terdapat perselisihan mengenai apakah seseorang tertentu akan meneruskan sebagai imam atau tidak. Banyak para Maulvi memasukkan permohonan naik banding di pengadilan untuk memperoleh keputusan hukum tentang kedudukan mereka sebagai imam. Ahmadiah lahir di India yang akhir abad ke-19 di tengah suasana kemunduran umat Islam India di bidang agama, sosial, politik, ekonomi, dan bidang kehidupan lainnya dan juga sebagai protes terhadap keberhasilan kaum missionaris Kristen memperoleh pengikut-pengikut baru. Selesain itu, sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad Khan yang merupakan orang pertama yang membawa ide-ide pembaharuan untuk 45 kepentingan kemajuan Islam di India dengan Alirannya. Pusatnya ialah Muhammedan Anglo Oriental College yang kemudian ditingkatkan menjadi universitas31. Satu-satunya sekte baru di India dalam Islam yang lahir dan berhasil menuntut H.A.R. Gibb adalah kelompok Ahmadiah. Menurutnya, Ahmadiah merupakan sekte yang berawal sebagai gerakan pembaharuan yang bersifat liberal dan cinta damai dengan maksud menarik perhatian orang-orang yang telah kehilangan kepercayaan terhadap Islam dengan pemahaman yang lama. Pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan bahwa dirinya tidak hanya sebagai al-Mahdi Islam dan al-Masih bagi umat Kristen, tetapi juga sebagai Avatar (inkarnasi) Krishna. Kelahiran Ahmadiah juga berorientasi pada pembaruan pemikiran. Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku telah diangkat Tuhan sebagai al-Mahdi dan alMasih merasa memiliki tanggung jawab besar yang harus dipikulnya untuk memajukan Islam dengan memberikan interpretasi baru terhadap ayat-ayat alQur‟an sesuai dengan tuntunan zaman. Sebagai salah satu aliran keagamaan yang bertahan hingga saat ini, sejarah berdirinya Ahmadiah dan tentunya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sendiri sebagai pendirinya. Mirza Ghulam Ahmad lahir saat subuh, hari jum‟at, tanggal 13 februari 1835 M/ 14 Syawal 1250 H di Qaddian, India. Qadian adalah nama sebuah desa yang terletak di Distrik Gurdaspur Punjab India, jaraknya 100 km di sebelah Timur laut kota Lahore. Asal-usul kata Qadian 31 Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), h.167 46 berasal dari nenek moyang Mirza Ghulam Ahmad yang bernama Mirza Hadi Beg yang diangkat sebagai qadhi (hakim) itulah maka tempat itu disebut Islampur Qadhi yang lambat laun kata Islampur hilang dan tinggal Qadhi saja. Dikarenakan logat daerah tersebut, akhirnya Qadhi disebut sebagai Qadi atau Qadian. Dan informasi tentang keluarganya diperoleh data bahwa ayahnya bernama Mirza Ghulam Murtadha (meninggal tahun 1876 M), dan dia adalah seorang tabib yang sangat mahir. Ibunya bernama Ciraagh Bibi, dan nama kakeknya adalah keturunana Haji Barlas, yang berasal dari keluarga Moghul. Haji Barlas adalah raja kawasan Qesh yang merupakan paman Amir Tughlak Temir. Ketika penyerangan terjadi Haji Barlas sekeluarga terpaksa mengungsi ke Khurasan dan Samarkhan yang kemudian menetap disana. Pada tahun 1530 M, seorang keturunan Haji Barlas yang bernama Mirza Hadi Beg beserta 200 orang pengikutnya hijrah dari Khurasan ke daerah Gurdashpur di Punjab yang letaknya 70 mil sebelah timur Lhor sekitar kawasan sungai Bias, dengan mendirikan sebuah perkampungan yang bernama Islampur. Menurut berbagai sumber Ahmadiah yang telah diteliti oleh ulama dan tokohtokoh Islam tertentu dapat dibuktikan bahwa Mirza Murthada ayahanda Mirza Ghulam Ahmad bukan sekedar pegawai tinggi biasa bagi kolonial Inggris, tetapi pada hakekatnya ia adalah seorang yang mengabdikan segenap hidupnya demi kelancaran roda penjajahan Inggris-India. Di sini terlihat bahwa keluarga Mirza Ghulam Ahmad pernah menjadi pembantu setia kolonial Inggris. Hamka Haq alBadry menjelaskan bahwa kolonial Inggris datang menjajah negeri India membawa perubahan dalam iklim beragama. Mirza Ghulam Ahmad sendiri ketika 47 berusia 29 tahun (1864-1868) pernah menjadi pegawai negeri pada pemerintahan Inggris di kantor Bupati Sialkot. Akan tetapi, sesudah empat tahun tinggal di kota itu ia dipanggil ayahnya untuk pulang ke Qadian untuk bertani. Merasa tidak cocok dengan pekerjaan itu, maka sebagian besar waktunya digunakan untuk mempelajari al-Qur‟an dan lebih suka menyepi dari pada mengejar keduniaan. Dengan demikian tidak aneh lagi jika gerakan Ahmadiah bersikap kooperatif dengan pemerintah Inggris. Terlihat pula perbedaan sikap kooperatif yang dilakukan antara Mirza Ghulam Ahmad dengan Sayyid Ahmad Khan dengan gerakan Aligarhnya, sekalipun keduanya sama-sama mendapat reaksi keras dari umat Islam India. Syyid Ahmad Khan menginginkna agar umat Islam dapat memperoleh kemajuan dan kesuksesan sebagaimana yang dicapai bangsa Eropa dengan mendirikan Universitas Aligarh, sedangkan Mirza Ghulam Ahmad dengan gerakan Ahmadiahnya ingin mendapatkan perlindungan secara politis agar dapat menyebarkan ajaran keahmadiahannya dan dapat mempertahankannya secara bebas. Mengenaai pergulatan dalam pendidikan, Mirza Ghulam Ahmad tidak banyak mendapatkan pendidikan formal semasa hidupnya. Ia mulai mendapatkan pendidikan ketika berusia 6-7 tahun di rumahnya, dimana pada tahun 1841 M, ayahnya memperkerjakan guru yang bernama Fazal Ilahi untuk mengajarkana alQur‟an dan kitab-kitab bahasa Persi. Tahun 1845 M, saat Mirza Ghulam Ahmad berusia 10 tahun ayahnya memperkerjakan guru untuk mengarkan kitab-kitab nahwu dan sharaf. pada saat ia berumur 17 tahun Mirza Ghulam Ahmad 48 mendapat pengajaran kitab-kitab manthiq dari guru yang bernama Gul Ali Syah. Adapun ilmu ketabiban ia dapatkan dari ayahnya sendiri yang saat itu tekenal sebagai seorang tabib yang sangat mahir dan pandai. Di usianya yang matang, hatinya mulai merasakan kesedihan melihat golongan Hindu, Nasrani, Sikh dan golongan-golongan lainya yang melancarkan serangan terhadap Islam. Maka menjelang tahun 1875M, Mirza Ghulam Ahmad mengadakan mujahadah atau menjalani disiplis asketis dengan melakukan puasa selama 6 bulan berturut-turut. Tujuannya adalah untuk melarutkan diri dan bertawajuh kepada Allah dengan beribadah, berdo‟a, berpuasa, dan setiap malam bangun untuk shalat tahajud. Keteguhan hatinya ternyata diuji oleh wafatnya ayahandanya di tahun 1876 M. Akan tetapi, hal tersebut tidak membuat semangatnya kendur untuk memperjuangkan Islam. Mirza Ghulam Ahmad tidak peduli dengan warisan harta benda yang ditinggalkan ayahnya, bahkan ia lebih memfokuskan diri dengan mulai menulis artikel untuk membela ajaran Islam dari serangan-serangan yang dilancarkan oleh berbagai golongan, khususnya Nasrani dan Arya Samaj di beberapa media masa. Mirza Ghulam Ahmad akhirnya menerbitkan sebuah buku yang sangat monumental saat ini berjudul Barahin Ahmadiah yang berisikan tentang penjelasan keunggulan ajaran Islam dan keunggulan ajaran al-Qur‟an dibandingkan agama Nasrani, Hindu, Arya Samaj, dan agama-agama lainya. Dengan diterbitkannya buku tersebut maka terjadi pro-kontra di kalangan umat beragama di India. Dikalangan umat Islam, kehadiran buku tersebut disambut dengan suka cita, karena dianggap telah membela ajaran agama Islam dari 49 serangan yang dilancarkan oleh beberapa pihak khususnya dari kalangan nonHindu (Arya Samaj dan Brahma Samaj), dan Nasrani. Salah seorang ulama ahli hadist ternama, Maulvi Muhammad Husain Batalvi menulis dalam buku nya Isya at- as-Sunnah jilid VII. No. 6-1, halaman 169-170 dan Syawanah Fazl Umar jilid I, halaman 20: “Menurut pandangan kami, pada zaman sekarang sesuai kondisi yang berlaku, buku ini adalah sedemikian rupa yang mana sampai saat ini tidak ada bandingannya telah ditulis dalam islam, dan tidak ada kabar di masa mendatang, karena Allah-lah yang telah mengetahui kejadian ini. Penulisnya pun dalam hal memberikan bantuan terhadap Islam dari segi harta, jiwa, tulisan maupun lisan, dan langkah-langkahnya adalah sangat teguh dan kokoh. Karenanya, sangat sedikit sekali diketemukan contoh seperti dirinya biarpun dari kalangan Islam terdahulu”. Sehubungan dengan terbitnya buku Barahin Ahmadiah yang di dalamnya ada pendakwaan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Mujaddid abad ke-14 M dan berdasarkan ilham-ilham yang diterimanya, maka pada tahun 1883 banyak dari kalangan umat Islam yang menginginkan untuk melakukan bai‟at (janji setia) menjadi muridnya, tetapi Mirza Gulam Ahmad menolak dengan alasan belum ada ilham dari Allah untuk membai‟at dari orang-orang. Selanjutnya, berdasarkan ilham yang diterima Mirza Ghulam Ahmad tahun 1888 M dari Allah untuk mengambil bai‟at (janji setia), maka tanggal 23 maret 1889 M sebanyak 40 orang melakukan bai‟at pertama di tangan Mirza Ghulam Ahmad yang dilaksanakan dirumah Mia Ahmad Jaan, Ludhiana, India. Saat itulah dinyatakan sebagai 50 peletakan batu pertama berdirinya organisasi al-Jama‟ah al-Ahmadiah (Jamaah Islam Ahmadiah). Dalam wahyu yang diterima, Mirza Gulam Ahmad berpendapat bahwa ia dituntut untuk melakukan dua hal. Pertama, menerima bai‟at dari para pengikutnya. Kedua, membuat bahtera, yakni membuat wadah untuk menghimpun suatu kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita keahmadiahaannya guna menyerukan Islam ke seluruh penjuru dunia. Perintah Tuhan untuk membai‟at belum dilaksanakan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Adapun perintah Tuhan membuat bahtera, yakni membuat wadah (organisasi) menurut Ahmadiah Lahore, telah dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad dengan mendirikan Ahmadiah. Setelah adanya pernyataan-pernyataan dari Mirza Ghulam Ahmad, yang menyatakan Nabi Isa telah wafat dan pendakwaan digantikan oleh Mirza Ghulam Ahmad sebagai al-Masih al-Mau‟ud dan Imam Mahdi , maka gemparlah seluruh umat beragama di India saat itu, baik di kalangan non-muslim maupun kalanggan muslim sendiri.32 Sejak saat itu dukungan mau pun penentangan terhadap ide-ide pemikiran Mirza Ghulam Ahmad berdatangan dari berbagai pihak. Dari satu pihak, orang-orang yang setuju dengan ide-ide pemikirannya dan seluruh pendakwaan dirinya sebagai figur al-Masih yang dijanjikan dan Imam Mahdi, mendukungnya dengan melakukan Bai‟at (janji setia) kepada dirinya. Sebaliknya dipihak lain, orang-ornag yang tidak setuju dengan berbagai macam pemikiran 32 Mirza Tahir Ahmad, Penumpahan Darah Atas Nama Agama, (Padang : Mubaligh Jemaat Ahmadiah, 1984) h. 7 51 dan pendakwaan dirinya sebagai al-Masih, menentangnya dengan berbagai cara, baik dengan cara polemik di media massa maupun dilakukan dengan debat terbuka. Penentangan semakin menjadi-jadi setelah adanya pendakwaan diri Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang Nabi “Dzilli” dan Ummati (Nabi bayangan dan Nabi umat Muhammad) pada tahun 1901 M.33 B. Aliran Ahmadiah di Indonesia Dalam perkembangannya, Ahmadiah baik Qadian maupun Lahore mulai melebarkan sayap pergerakan dan memperluas jaringan organisasinya ke berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia. Ahmadiah masuk ke Indonesia sekitar tahun 1924 M. Program perluasan jaringan ke Indonesia di kalangan aliran Qadian terjadi pada masa Khalifah II Bashiruddin Mahmud Ahmad, tetapi di Indonesia sendiri yang pertama masuk melalui para mubalighnya adalah Ahmadiah Lahore, para mubalighnya yang datang sebagai pedagang. Ada karakteristik yang berbeda di antara kedua aliran tersebut dalam penyebaran gerakannya. Aliran Lahore banyak mengggunakan cara penyebarannya melalui pengiriman mubaligh-mubalighnya ke berbagai negara meskipun tanpa undangan dari negara yang dituju. Sementara aliran Qadian menyebarkan sayap gerakannya di Indonesia melalui para santri yang mondok di pesantren sumatera thawalib dan melanjutkan sekolah ke Qadian kemudian kembali ke Indonesia dan menyebarkan ajaran Ahmadiah. 33 Ahmad Saefullah, Sinopsis Karya-Karya Hz. Mirza Ghulam Ahmad, (Yogyakarta: Taman Pustaka Arif Rahman Hakim, 2000), h. 5-13 52 Menurut Federspiel bahwa Ahmadiah pada awalnya sampai ke Indonesia melalui para santri yang belajar di sekolah Ahmadiah di Qadian, khususnya pada abad ke-19. Hamka menyatakan bahwa proses pengenalan Ahmadiah di Indonesia pada awalnya banyak melalui informasi yang didapatkan melalui majalah-majalah yang terbit diluar negeri dan datang ke Indonesia. Lain halnya dengan Raden Ngabei Haji Minhadjurrahman Djojosugito yang menyatakan bahwa dirinya mendengar gerakan Ahmadiah sekitar tahun 1921 M, namun demikian sebenarnya Ahmadiah sudah di kenal sejak tahun 1918 M. Melalui majalah Islamic Rewiew edisi melayu yang terbit di Singapura, tetapi Ahmadiah baru mendatangkan tokohnya ke Indonesia tahun 1920 . Yaitu seorang tokoh kenamaan Indonesia yaitu Prof.Dr. Maulana H. Kwadja Kamaluddin, BA.,LLB. Pada tahun 23 oktober 1920M, ia berkunjung ke Surabaya dengan maksud untuk berobat karena gangguan kesehatan sekaligus melihat kondisi sosial keagamaan masyarakat di Surabaya. Pada tanggal 28 oktober 1920 M, tanpa perencanaan perhimpunan Taswirul Afkar mengundangnya untuk memberikan ceramah umum pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, di masjid Ampel Surabaya. Materi yang disampaikan dalam ceramahnya seputar ajakan untuk terus melakukan dakwah Islam kepada orang yang masih awam dan melakuakan kajian mendalam terhadap al-Qur‟an agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Di samping itu, ia juga menyampaikan tentang semangat dakwah Islam di Inggris dan kegigihan para muallaf untuk mengkaji al-Qur‟an. Ceramah di Surabaya ini ternyata mendorong ia untuk keliling ke berbagai kota antara lain, Gambir Park, Batavia, dan lain-lain. 53 Aliran Qadian datang ke Indonesia berawal dari keberangkatan dua santri Sumatera Thawalib ke India yaitu Abu Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin. Atas saran dan nasehat Ibrahim Musa Parabek sorang ulama terkenal di Bukit Tinggi agar melanjutkan sekolah ke Hindustan, karena sudah banyak santri yang melanjutkan ke Timur Tengah dan pada waktu itu kualitas di Hindustan menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dan pendidikan yang bermutu tinggi serta memiliki para tokoh intelektual yang ternama. Para tahun 1922 M, mereka berangkat ke India dengan tujuan Lucknow dan bertemu dengan seorang ulama besar Abdul Bari Ansari, kemudian mereka disarankan belajar di sekolah Nizamiah yang di pimpinnya. Di kota tersebut mereka menjadi bertiga karena salah seorang temanya bernama Zaini Dahlan yang baru datang dari Padang Panjang bergabung dengan mereka. Setelah dua bulan, mereka memutuskan untuk meninggalkan sekolah tersebut karena mereka mengetahui ternyata gurunya adalah seorang yang suka menyembah kuburan seorang Kiyai. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Lahore dan di kota ini mereka juga mengenal beberapa tokoh Ahmadiah yang pernah datang ke Indonesia seperti Maulana H. Kwadja Kamaluddin. Di Lahore mereka belajar kepada para ulama yaitu Maulana Abdullah Malabari, Maulana Syaikh Abdul Khalid, dan Maulana Taqi yang waktu itu sengaja datang ke Lahore untuk berdebat dengan pimpinan Anjuman Ahmadiah Lahore, Maulana Muhammad Ali. Melalui tiga gurunya mereka mengenal Ghulam Ahmad pendiri Ahmadiah yang dimakamkan di Qadian. 54 Pada bulan Juli tahun 1925 M, Maulana Rahmad Ali tiba di Indonesia dan singgah di Banda Aceh. Kemudian ia tinggal di Tapaktuan, di rumah mantan pelajar Indonesia yang belajar di Qadian yaitu Muhammad Samin. Kegiatan pengajian dan ceramah ke berbagai pelosok desa Tapaktuan yang dilakukan Maulana Rahmad Ali telah menarik banyak orang untuk masuk Ahmadiah, apalagi materi yang disampaikannya seputar Mirza Ghulam Ahmad dan Imam Mahdi, kewafatan Isa ibn Maryam, pintu kenabian dan lain-lainnya. Banyak orang yang tertarik dengan Ahmadiah sampai akhirnya berdirilah cabang Ahmadiah di Tapaktuan. Setahun kemudian ia berangkat ke Padang, kota yang sangat ramai karena merupakan pusat perdagangan. Kedatangannya mengundang banyak reaksi dari ulama yang ada di Bukit Tinggi dan Padang Panjang, sampai akhirnya harus dibuat sebuah “komite mencari hak” pimpinan Tahar Sutan Marajo, tetapi pertemuan yang direncanakan dengan tujuan akan dilakukan diskusi antara kedua belah pihak akhirnya gagal terlaksana karena para ulama tersebut tidak datang. Reaksi keras pun datang dari Dr. H. Karim Amrullah yang mengecam bahwa Ahmadiah adalah di luar Islam, sesat, dan kafir. Bahkan ejekan dan penghinaan menjadi warna setiap hari dari kegiatan dakwah mubaligh tersebut dan hal itu tidak menyurutkan semangat tablig mubaligh Ahmadiah. Banyak orang juga yang tertarik pada Ahmadiah. Banyak orang yang ternyata juga tertarik dengan Ahmadiah dari berbagai golongan dan latar belakang sosial di Padang. Tidak lama kemudian datang para pelajar yang sudah lulus belajar di Qadian dan menjadi munaligh Ahmadiah di Padang. Bertambahnya tenaga mubaligh 55 membantu gerakan tabligh Ahmadiah sehingga berdirilah Jema‟at Ahmadiah Qadian di Padang. Dengan demikian, sebenarnya Maulana Rahmad Ali dan para pemuda Indonesia yang belajar di Qadian adalah orang yang membawa ajaran Ahmadiah Qadian ke Indonesia dan sebagai perintis Ahmadiah di Indonesia. Pada tahun 1931 Maulana Rahmad Ali meninggalkan Sumatera dan pergi ke Jawa, tetapi ia tidak pergi ke Yogyakara, karena disana sudah ada dua mubaligh Ahmadaiah Lahore yang lebih dahulu di kenal di Jawa, yaitu Maulana Ahmad dan Ahmad Baig. Kedua mubaligh tersebut selama di Yogyakarta ditampung oleh Muhammadiyah. Banyak isu seputar kedatangan dua mubaligh tersebut bahwa mereka adalah misionaris dan pembawa ajaran sesat, tetapi Muhamadiyah tidak terpengaruh oleh isu negatif tersebut, bahkan Muhamadiyah menyambut baik dengan Kongres Muhammadiyah tahun 1924 dan 1925. Adanya hubungan baik anatara Ahmadiah dan Muhamaddiyah di Indonesia disebabkan oleh adanya kesamaan misi, yaitu melakukan perlawanan terhadap misi Zending Kristen. Keakraban ini semakin kental ketika rumah tempat tinggal Wali Big menjadi tempat diskusi dan belajar bahasa Inggris tokoh muda Muhammadiyah. Suasana keakraban antara Muhammadiah dan Ahmadiyah mulai retak. Hal ini sebabkan banyak tokoh Muhammadiyah yang mengakui bahwa doktrin Ahmadiyah tidak sejalan dengan mayoritas Islam. Sebenarnya informasi ini sudah mereka ketahui dari H. Karim Amrullah ketika berkunjung ke Yogyakarta. Puncak keretakan adalah ketika diketahui ada beberapa ajaran Ahmadiah yang dianggap sesat dan keluar dari Islam, tetapi bersamaan dengan hal itu, Ahmadiah Qadian di beberapa daerah sudah melebarkan sayap dakwahnya dan begitu pun 56 dengan aliran Lahore. Penafsiran-penafsiran yang menjadi perdebatan hanyalah seputar kenabian, kewafatan Nabi Isa, dan masalah imam mahdi. Muhamadiyah memiliki pandangan yang berbeda dengan Ahmadiyah khususnya pada wilayah tersebut di atas. Puncak perselisihan antara Ahmadiah dengan Muhammadiyah terjadi pada saat Kongres Muhammadiyah tahun 1928 M. Salah satu agenda Kongres tersebut adalah menyikapi persoalan Ahmadiyah. Perdebatan cukup alot pada acara tersebut. Solusi yang diberikan adalah opsi kepada mereka para anggota Muhammadiyah yang mendukung Ahmadiyah, apakah akan memilih Muhamadiyah atau Ahmadiyah. Beberapa tokoh aktif di Muhammadiyah pada waktu itu dengan penuh tekanan akhirnya keluar dan memilih Ahmadiah. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Djojosugito, Muhammad Husni, Muhammad Kusban, Sutantyo, dan Supratolo. Tidak hanya dengan Muhammadiyah, pada tahun-tahun berikutnya hubungan mereka dengan organisasi masa Islam lain seperti SI, Persis, NU, dan ormas lainya juga mengalami keretakan karena perdebatan doktrin teologi Ahmadiyah. Peretentangan NU, Persis, dan Muhammadiyah ditunjukkkan dengan ditolaknya al-Qur‟an Penerjemah H.O.S. Tjokroaminoto yang merupakan karya terjemahan dari Holy Qu‟ran karya Maulana Muhammad Ali, Khalifah Ahmadiyah Lahore pertama. Pertentangan ini berakibat di tubuh PSII pada waktu itu. Di Indonesian aliran Qadian dan Lahore mempunyai struktur organisasi yang hampir mirip dengan organisasi kemasyarakatan Islam seperti Muhammadiyah 57 dan lainya. Struktur Qadian mulai dirumuskan pada Konferensi Ahmadiah Qadian tahun 1935 di Jakarta dan berhasil merumuskan anggaran dasar dan anggaran Rumah Tangga, struktur organisasi, dan kepengurusannya. Struktur kepengurusan ini terdiri dari 1 orang ketua, 2 orang sekertaris, dan 5 anggota. Ketua pertama yang terpilih pada waktu itu adalah R. Moh. Muhjidin. Pada awal peresmiannya, nama gerakan ini adalah Ahmadiah Qadian Departemen Indonesia (AQDI). Sebagai langkah penyempurnaan, maka diselenggarakan konferensi tahun 1937 M di Jakarta dan mengubah nama AQDI menjadi Anjuman Ahmadiah Departemen Indonesia (AADI). Pada muktamar bulan desmber 1949 M, nama tersebut diubah lagi dengan Jema‟at Ahmadiah Indonesia (JAI) sampai sekarang dan memiliki badan hukum dengan surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Secara hirarkis, organisasi JAI memiliki empat tingkatan, mulai dari pengurus besar, pengurus daerah, pengurus cabang, dan pengurus Ranting. Pengurus besar ini bertanggung jawab melaporkan kepada pusat gerakan di Qadian, yang sekarang pindah ke Inggris. Sedangkan pengertian pemasaran berasal dari kata pasar yang dalam konteks tradisional diartikan dengan “tempat orang berjual beli”. Akan tetapi, pengertian pasar yang dimaksud disini bukan dalam pengertian kongkrit, melainkan lebih ditujukan pada pengertian abstrak. Menurut Philip Kotler pemasaran adalah sebuah proses sosial dan manajerial, dimana individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan, melalui penciptaan dan pertukaran produk serta nilai dengan pihak lain. Pemasaran juga dapat diartikan sebagai 58 upaya untuk menciptakan dan menjual produk kepada berbagai pihak dengan maksud tertentu Ahmadiah Lahore tidak terlalu struktural pada awal berdirinya. Hanya saja ada inisiatif dari Djojosugito dan Muhammad Husni yang ingin membuat wadah untuk berdiskusi dan berkumpul bersama. Tepatnya pada tahun 1928 M, mereka mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia Centrum Lahore dan secara resmi mendapatkan badan hukum pada tahun 1929 M dengan nama Gerakan Ahmadiayah Indonesia (GAI) Lahore sampai sekarang. Struktur organsasi GAI berdasarkan Qanun Asasi tahun 1930 M terdiri dari pengurus pusat dengan sebutan Pedoman Besar dan pengurus cabang. Pada periode pertama yang menjabat sebagai ketua adalah Djojosugito dan Muhammad Kusni sebagai sekertaris. Perkembangan Ahmadiyah Lahore dan Qadian di Indonesia ini cukup pesat. Beberapa tahun setelah resmi berdiri, kedua kelompok aliran tersebut menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Ahmadiayah Qadian tersebar di Sumatera Barat, khususnya di Padang, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, Nusa Tenggara Barat, dan daerah-daerah lain di Indonesia. Sementara Ahmadiyah Lahore mulai menyebar di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jakarta, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Perkembangan yang sangat pesat ini dari gerakan Ahmadiah Qadian dan Lahore ini adalah karena mereka banyak menggunakan berbagai macam media, antara lain melalui majalah, tabligh, kegiatana sosial, dan buletinbuletin. 59 Saat ini, tanpa harus menutup mata kita bahwa sumbangan Ahmadiyah di Indonesia cukup besar baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan yang lainya. Hal yang paling menarik adalah sumbangan Ahmadiyah terhadap dunia Islam melalui MTA (Muslim Television Ahmadiah). Melalui MTA ini, Ahmadiah melakukan dan menyebarkan informasi Islam ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Siaran yang menjadi program dari televisi tersebut ialah al-Qur‟an dan al-Hadits Teaching, Islam News, Islam and Lenguage, Children Cornex, Women Corner, Liqa‟ ma‟al-A‟rab Muhadharah, dan lain-lain. Di samping, itu kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya berlanjut yang dilakukan adalah penerbitan buku, majalah, dan buletin. Berbagai kajian buku, diskusi, dialog, dan seminar baik nasional maupun internaional telah banyak dilaksanakan. Hal yang paling spektakuler adalah agenda penerjemahan alQur‟an ke dalam seratus bahasa, yang saat ini masih dalam tahap penyelesaian, tetapi hanya sekitar dua puluh bahasa lagi yang belum selesai. Ahmadiah juga merencanakan pembangunan seratus masjid di Eropa. Melihat potret gerakan yang ada, bahwa Ahmadiah adalah satu-satunya organisasi masa Islam yang memiliki aset sangat besar dan memberikan sumbangan sosial kepada negara yang tidak sedikit. Padahal Ahmadiah hanya mengandalkan dana dari internal anggotanya saja dan tidak menerima sumbangan dari luar sampai saat ini. Sehingga langkah kemandirian melalui doktrin teologis di kalangan Ahmadiah sangat efektif dan behasil untuk mengaplikasikan gerakan sosial kemasyarakatan dan gerakan dakwah Islam yang mempunyai misi menyebarkan dakwah islam 60 dan melakuakn counter attack terhadap misi-misi Kristenisasi di dunia. Melalui progresivitas gerakan dengan memperkuat intensitas dakwah dan mempertajam basis intelektualitas di dunia keilmuan dalam berbagai implementasi dari misi universal Islam rahmatan lil‟alamin. C. Doktrin-doktrin Teologi Ahmadiah 1. Konsep Jihad Di kalangan aliaran Ahmadiah, pandangan terhadap konsep wahyu tidak terjadi perdebatan antara Qadian dan Lahore. Masalah wahyu ini masih paralel dengan konsep kenabian, Imam Mahdi dan al-Masih serta sosial kontrofersal Gulham Ahmad sendiri. Menurut Ahmadaiah Qadian, wahyu adalah lafadz Allah swt yang sampai kepada para penerimanya dan bukan merupakan inspirasi yang kemudian diucapkan dengan kalimat sendiri oleh para penerimanya. Sedangkan menurut Ahmadiah Lahore, dalam hal ini di kemukakan oleh Maulana Muhammad Ali, wahyu adalah isyarat yang cepat. Wahyu itu sendiri merupakan sabda yang masuk ke dalam kalbu para nabi dan orang-orang tulus dan ikhlas. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa wahyu Allah, tidak hanya diturunkan kepada para nabi saja, tetapi diberikan juga kepada seluruh manusia bahkan kepada semua mahluk ciptaan Allah. Seperti: binatang, tumbuhan, dan lainya. Namun proses transmisinya wahyu itu berbeda. Lebih lanjut Maulana Ali mengungkapkan bahwa di dalam al-Qur‟an disebutkan ada lima macam wahyu: pertama, wahyu yang diturunkan kepada mahluk yang tidak bernyawa seperti bumi dan langit yang terdapat pada ayat al61 Qur‟an surat fushilat ayat 11-12. Kedua, wahyu yng diturunkan kepada binatang pada ayat al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 68-69. Ketiga, wahyu yang diturunkan kepada malaikat pada ayat al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 12. Keempat, wahyu yang diturunkan kepada manusia biasa pada ayat al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 11. Kelima, wahyu yang diturunkan kepada para nabi dan rasul pada surat al-Anbiya ayat 74 dan ayat 164. Bentuk dari kelima wahyu itu bermacam-macam bergantung kepada siapa yang menerima wahyu tersebut. Aliran Ahmadiah meyakini bahwa Ghulam Ahmad (al-Mahdi dan al-Masih mas‟ud) menerima wahyu dari Allah swt. Namun, wahyu yang diterima dan disampaikan oleh Ghulam Ahmad berfungsi sebagai interpretasi al-Qur‟an bukan teks yang menyamai al-Qur‟an itu sendiri. Ahmadiah sendiri meyakini al-Qur‟an merupakan satu-satunya kitab suci yang dapat diperbaiki dan dapat diperbaharui berbagai macam kerusakan yang ada, tetapi tidak dapat berjalan dengan mulus tanpa ada tuntunan dari Allah. Tuntunan itu datang salah satunya dari Ahmadiah. Sebenarnya Ghulam Ahmad sendiri mengakui bahwa pentunjuk yang diterimanya hanyalah ilham, tetapi oleh para pengikutnya kemudian dinyatakan sebagai wahyu. Dalam kasus tersebut, Ghulam Ahmad sendiri tidak menyalahkan pengikutnya bahkan memberikan pembenaran, sehingga di kalangan ahmadiah akhirnya banyak menggunakan istilah-istilah baru, seperti wahyu nubuwwah, wahyu tasyri‟, wahyu ghair tasyri‟, wahyu walayah, wahyu mathluw, wahyu ghair mathluw, dan sebagainya. Menurut Ahmadiah, kalam Allah datang dalam berbagai muatan dan varian pesan, di antaranya masalah syariat dan hukum, tradisi, wejangan, nasihat-nasihat 62 serta kewajiban dan ancaman. Wahyu akan turun terus menerus hingga hari kiamat tiba, sebab menurut pandangan Ahmadiah bahwa komunikasi Tuhan dengan manusia terjadi melalui wahyu. Mereka menyandarkan argumentasi tersebut pada al-Qur‟an surat as-Syu‟ara ayat 5134 . Atas dasar tersebut, Ahmadiah meyakini bahwa proses transmisi wahyu dari Allah terjadi melalui berbagai macam cara, di antaranya: pertama, wahyu datang langsung berupa kalam yang diilhamkan langsung ke dalam kalbu para nabi dan orang-orang tulus. Hal ini merupakan bentuk pengikut nabi Isa dan ibn nabi Musa, kedua, di belakang tirai, jenis wahyu tersebut ada tiga macam, yaitu mimpi yang baik (mubasyarah) berupa petunjuk Allah yang diterima seseorang dalam keadaan setengah tidur, petunjuk ilahi yang diterima seseorang dalam keadaan sadar dan melihat dengan mata nurani (kasyaf) dan petunjuk ilahi yang datang kepada seseorang dalam keadaan sadar dan mendengar dengan telinga rohani (ilham). Ketiga, wahyu turun melalui utusan. Proses pewahyuan terjadi seperti wahyu yang diterima oleh para nabi melalui malaikat Jibril. Wahyu jenis pertama dan kedua merupakan tingkatan proses pewahyuan yang paling rendah dan akan tetap terbuka selama-lamanya, dalam pengertian bahwa wahyu jenis tersebut akan datang dan diturunkan sampai hari kiamat. Wahyu tersebut akan diturunkan kepada orang-orang yang khusus yang diangkat ke derajat kenabian. Tetapi, yang menjadi catatan adalah bahwa orang-orang tersebut mempunyai kelebiahan yang tidak dimiliki orang pada umumnya. Kelebihan tersebut adalah “indra rohani”. Indra ini akan melihat, mendengar, dan merasakan 34 A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah (Jakarta: P.T. Wahana Semesta Intermedia, 2006), h. 68 63 sesuatu yang tidak akan didengar, dilihat, dan dirasakan orang lain kecuali yang mengalaminya. Wahyu seperti ini disebut wahyu ghaib mathluw (wahyu yang tidak dibacakan dan diucapkan) atau wahyu khafiy (wahyu batin). Sementara wahyu jenis ketiga, hanya diberikan kpada para nabi dan tertutup setelah berakhirnya masa kenabian nabi Muhammas SAW. Karena beliau penutup para nabi. Wahyu jenis ini di sebut wahyu nubuwwah (wahyu kenabian) atau wahyu mathluw (wahyu yang dibacakan dan ucapkan). Sementar itu, menurut Nazir Ahmad bahwa wahyu terputus sesudah nabi Muhammad. Oleh karena itu, Nazir berpendapat bahwa Mirza Gulham Ahmad mendapatkan wahyu tasyri‟ “yaitu wahyu yang mutlak dapat diterima oleh siapa saja, tidak hanya dikhususkan pada para nabi”. Sementara khalifah II Ahmadiah, Bashiruddin Ahmad mengatakan pewahyuan itu masih terbuka, meskipun tidak ada syariat yang diturunkan, karena para nabi yang diutus mengungkapkan kekayaan yang terkandung dalam alQur‟an yang masih tersembunyi. Lebih lanjut khalifah II mengatakan, bukan hanya wahyu yang kami percayai akan terus terbuka selama-lamanya, melainkan wilayah kenabian pun akan terus terbuaka. melihat argumentasi di atas tidak terjadi banyak perbedaan mengenai wahyu antara Qadian dan Lahore. Hanya saja, aliaran Qadian meyakini bahwa wahyu akan selalu datang dan terbuka, tetapi kenabian pun akan terus berlangsung. Titik permasalahan yang kontroversial dalam hal ini bahwa aliran Qadian meyakini Ghulam Ahmad sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dianggakat oleh Allah SWT. melalui ilham yang diterimanya, kemudian dia diangkat sebagai nabi karena dianggap sebagai duplikat nabi Isa 64 sehingga mereka meyakini bahwa proses penerimaan wahyu terjadi pada Ghulam Ahmad. Secara substansial tidak terdapat perbedaan terhadap aliran tersebut, hanya tema-tema tertentu saja yang membedakan keduanya dalam masalah wahyu tersebut. Pendapat yang selama ini banyak yang mengkritisi negatif terhadap Ahmadiah mengatakan bahwa aliran Qadian meyakini wahyu yang di turunakn Allah SWT kepada manusia yang berjumlah lima yaitu: injil, thaurat, zabur, al-Qur‟an dan tazkirah yang diturunkan pada Ghulam Ahmad. Namun demikian, sejauh pembacaan dan pengakajian terhadap sumbersumber primer yang ada keterangan tentang hal tersebut tidak ditemuakan. Terkait dengan konsep wahyu yang membedakan antara Ahmadiah dan umat Islam selama ini adalah terletak pada pendefinisian wahyu dan ilham. Ahmadiah meyakini bahwa wahyu dan ilmu itu sama, sementara kelompok “mayoritas” membedakannya. Menurut pemahaman yang berkembang pada mayoritas umat Islam saat ini adalah antara wahyu dan ilham itu berbeda. Wahyu hanya diturunkan kepada para nabi dan rasul, sementara ilham diturunkan kepada manuusia biasa dan derajat di antara keduanya sangat berbeda. Dalam hal ini, memang terjadi perbedaan mendasar pada wilayah epistemologis antara Ahmadiah dan umat islam pada umumnya. 65 2. Syariat Jihad Bagi Ahmadiah, jihad didefinisikan sebagai tindakan mencurahkan segala macam kesanggupan, kemampuan, dan kekuatan yang dimiliki dalam memghadapi pertempuran, menyampaikan pesan kebenaran, ataupun mengerakan seluruh daya kemampun dalam menghadapi segala urusan. Dengan kata lain jihad adalah mengerahkan segala daya memaksakan diri dalam menyampai suatu tujuan. Menurut S. Ali Yasir, salah seorang tokoh Ahmadiah menyatakan, bahwa sekitar 40 ayat dalam al-Qur‟an yang terkait dengan masalah jihad dan semuanya mengandung pengartian berjuang sekuat tenaga atau berusaha keras 35. Dalam pandangannya, jihad menurut al-Qur‟an adalah perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan mencapai tujuan suci yang diridai Allah SWT. Tindakan mengangkat senjata untuk membela diri juga dinamakan jihad. Dalam al-Qur‟an istilah yang tepat sering disebut qital. Ahmadiah mengklasifikasikan jihad menjadi tiga kategori yaitu: pertama, jihad shagir adalah perjuangan membela agama, nusa, dan bangsa dengan mempergunakan senjata terhadap musuh-musuh yang menggunakan kekerasan dan senjata dengan tujuan memusnahkan agama, nusa, dan bangsa. Ahmadiah meyakini bahwa perjuangan jihad dengan senjata itu membela agama sudah tidak diperlukan lagi saat ini, karena tidak ada orang atau pihak yang menggunakan senjata itu untuk membela dan mengembangkan agama. Kategori jihad seperti ini merupakan tingkatan paling rendah nilainya. Kedua, jihad khabir adalah perjuangan atau jihad dengan mempergunakan dalil-dalil atau 35 A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah (Jakarta: P.T. Wahana Semesta Intermedia, 2006), h. 78 66 keterangan baik lisan, maupun lisan, untuk menyebarluaskan ajaran al-Qur‟an kepada kaum kafir dan musyrik. Jihad dalam bentuk ini yang sedang dilancarkan oleh Ahmadiah saai ini. Ketiga, jihad akbar ialah perjuangan atau jihad terhadap godaan setan hawa nafsu akan terus dilakukan setiap saat 36. Jihad pada bentuk ini dilakukan setiap saat sama seperti ketika kita terus melakukan aktivitas. Kategori jihad ini sangat tergantung pada bakat dan sifat manusia itu sendiri dalam menerjemahkan hawa nafsnya dalam aktivitas praktis sehari-harinya. Khalifah II Ahmadiah Bashiruddin Mahmud Ahmad menyimpulkan bahwa banyak orang yang mempunyai pemahaman keliru tentang Ahmadiah terkait dengan masalah jihad. Menurut pandangannya dan kemudian menjadi paham Ahmadiah, bahwa peperangan itu terbagi menjadi dua macam, yaitu: perang jihad dan perang lumrah. Perang jihad adalah perang yang terjadi karena dorongan mempertahankan keyakinan dan kepercayaan agama, sementara musuh yang dihadapi adalah sekelompok orang atau pihak yang mencoba membinasakan dan melakuakan tindak kekerasan dengan maksud dan tujuan mengubah dan memaksa seseorang atau kelompok untuk melepaskan kepercayaan dan keyakinan agamanya. Isu yang menjadi main stream dalam peperangan tersebut adalah perang agama atau perang suci (holy war). Kahlifah II ini lebih lanjut menjelaskan, bahwa seandainya peperangan melawan kelompok bersenjata dengan motivasi seperti di atas, maka wajib setiap kaum muslim untuk berjihad. Akan tetapi, ada persyaratan yang harus di penuhi dalam perang jihad tersebut diantaranya adalah keharusan adanya seorang imam yang mengatur dan 67 memberikan intruksi kepada umatnya bahwa siapa saja yang berhak mengikuti perang dan siapa yang harus menunggu gilirannya. Khalifah II mengatakan bahwa orang yang mendapat gilirangnya harus turun ke medan jihad tetapi bila tidak melaksanakannya, maka ia akan berdosa37. Menarik untuk dikaji secara lebih mendalam bahwa isu Ahmadiah yang tidak mempunyai syarat jihad dan melarang kepada jemaatnya untuk berjihad ketika pemerintahan Inggris melakukan penjajahan dan berkuasa di India dan Pakistan, khususnya di daerah Punjab. Menurut pendapat yang berkembang bahwa terjadi kontroversi mengenai argumentasi Ahmadiah yang pada waktu itu tidak melakukan jihad dengan senjata melawan Inggris. Hal yang muncul kepermukaaan ialah faktor politik mendorong Ahmadiah untuk bersikap seperti itu. Gerakan Ahamadiah pada waktu itu telah melakukan kompromi dan kesepakatan politik dengan Inggris. Ahmadiah telah melakukan perjanjian perdamaian dan mendukung penjajahan serta kekuasaan Inggris di India dan Pakistan. Sebagai imbalannya mereka meminta dukungan dan perlindungan terhadap gerakan mereka dan para jemaatnya agar tidak mengalami intimidasi apa pun dari pemerintahan Inggris. Ahmadiah menjadi “antek” atau “demang” pemerintahan Inggris untuk menjadi komunikator dengan masyarakat. Di samping itu, pemerintahan Inggris harus membantu kelangsungan gerakan Ahamadiah dan perkembangannya ke berbagai negara. 37 A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah, (Jakarta: P.T. Wahana Semesta Inter Media, 2006), h. 72 68 Memang tidak dapat disangkal kedekatan keluarga Ghulam Ahmad dengan pemerinatahan Inggris, bahkan Hasan bin Mahmud Audah mengatakan kedekatan Gulham Ahmad dengan pemerintahan Inggris sebagai berikut. “Hubungan Mirza Ghulam Ahmad dengan Inggris bukan hanya hubungan antara muslim yang hendak berterima kasih karena telah berbuat baik kapadanya, tetapi hubungan itu adalah lebih dengan antara seorang “pelayan” kepada seorang “majikan” dengan menutip perkataan Ghulam Ahmad: “sungguh telah aku habiskan umurku untuk mengokohkan dan membantu pemerinatahan Inggris.” Dalam keterangan yang lain, Gulham Ahmad mengatakan bahwa hanya dengan bernaung di bawah pemerintahan Inggris kehidupan masyarakat India akan berlangsung aman, sentosa, dan merdeka. Pengakuan Ghulam Ahmad sebagai imam dan sosok yang dihormati dengan doktrin yang disampaikan kepada jamaatnya untuk tidak melakukan perlawanan dan mengagkat senjata kepada pemerintahan Inggris merupakan sebuah keuntungan bagi Inggris, bahkan Ghulam Ahmad menyarankan kepada jamaatnya untuk mengubah kebencian menjadi kecintaan kepada pemerintahan Inggris supaya menjadi koloni India lebih lama lagi menyangkal sekaligus menjawab persepsi negatif tersebut, para pendiri (founding fathers) Ahmadiah, dalam hal ini Ghulam Ahmad dalam kitabnya Tuhfah Golarwiyah mengatakan bahwa: Tidak sedikitpun keraguan bahwa syaratsyarat yang diletakan (dalam al-Qur‟an suci) tidak didapat saat ini di negeri di mana penulis hidup, karena itu disini jihad dengan pedeang tidak syah”. Dalam pandangan Ahamadiah, penjajahan Inggris pada waktu itu tidak menuntut kepada masyarakat jajahannya untuk menukar agama atau memaksakan 69 melepaskan kepercayaannya dan keyakinan agama masyarakat. Bahkan Ahmadiah memandang kewajiban anggotanya untuk berjihad jika seandainya Inggris menunutut untuk melepas atau menukar agama, maka hukumanya wajib, tetapi situasi tersebut tidak terjadi pada waktu itu. Khalifah II menyangkal tuduhan dan isu yang berkembang tersebut. Khalifah mengatakan, bahwa menurut hitmad kami pada waktu itu belum tiba saatnya melakukan jihad dengan senjata. Jika kami berada dalam posisi dan sikap yang salah ini semata-mata hanyalah kekeliruan ijtihad. Alasan lain yang dikemukan bahwa Ahmadiah lebih memilih mengaplikasikan bentuk jihad kabir dan jihad akbar untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia, dan bukan jihad shagir. Menurut Ahmadiah bahwa pada abad XX, jihad dalam bentuk perang sudah tidak sesuai lagi. Jihad dengan lisan atau tulisan adalah jihad yang paling tepat. Dalam tulisan Mirza Ghulam Ahmad mengatakan bahwa: “Pada saat ini Islam mengahadapi ancaman yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam, akan tetapi alat yang mereka gunakan berlainan sama sekali dengan dengan apa yang mereka gunakan tiga belas abad yang lampau (perang salib). Kini mereka menggunakan tulisan-tulisan untuk menyerang dan memfitnah, baik dalam surat kabar, pentas-pentas, maupun dalam buku-buku bacaan. Kita tidak boleh tinggal diam, kita harus berjuang (berjihad) sekuat tenaga untuk membatalkan propoganda palsu lawan. Adapun alatnya cukup dengan pena dan tinta saja, untuk menulis karangan yang bermutu dan sangat menguntungkan Islam. Dalam pandangan Ahmadiah, ketika terjadi keterlibatan dengan pemerintahan pada pelaksaaan jihad kabir dan jihad akbar, maka Ahmadiah harus 70 taat dan setia kepada pemerintah dan negara di mana mereka berada. Hal ini di buktikan dengan gerakan Ahmadiah yang dengan gentar melakukan perlawanan terhadap Agama Kristen, Hindu, Budha dan Marxis dengan perlawanan menggunakan dalil-dalil dan keterangan yang argumentatif secara rasional menurut mereka. Bahkan sampai saat ini Ahmadiah masih terus melakukan berbagai aplikasi jihad untuk memajukan Islam tanpa harus mengangkat senjata. Secara garis besar, ada dua hal yang menjadi alasan utama bagi khalifah II mengapa Ahmadiah tidak melakukan perlawatan kepada Inggris. Pertama, di bawah pemerintahan Inggris kebebasan beragama menjadi terjamin, tidak ada pemaksaan agama. Kedua, Mirza Ghulam Ahmad bukanlah politikus pemimpin duniawi, tetapi tidak lebih dari sekedar pemimpin duniawi, tetapi tidak lebih dari sekedar pemimpin ruhani. Tidak ada faktor politik yang melatarbelakangi sikap Ahmadiah dalam memandang jihad. Lebih jauh Ahmadiah memandang bahwa kemajuan Islam di tentukan oleh penghayatan dan pengkajian umat Islam untuk menggali makna tersembunyi di balik al-Qur‟an. Apabila al-Qur‟an itu dipahami dengan baik, maka jihad seharusnya dilancarkan dengan perantara al-Qur‟an bukan dengan pedang. Berdasarkan keterangan di atas, tidak ada perbedaan yang prinsip antara Ahmadiah dengan “mayoritas umat Islam” tentang jihad. Hanya saja Ahmadiah mengaggap bahwa dalam makna jihad terkandung makna qital, seperti dalam jihad shagir, tetapi saat ini jihad shagir dengan makna qital dianggap sudah tidak ada, sebaliknya yang ada hanyalah jihad akbar dan jihad kabir. Berbeda dengan “mayoritas umat Islam” bahwa jihad masih bisa dipahami dalam bentuk jihad 71 shagir, jihad akbar dan jihad kabir. Maka dari itu, makna jihad menurut Ahmadiah ketika dikaitkan dengan pemerintahan, tidak memperhatikan siapa pemerintah yang berkuasa. Walaupun bersikap baik, bagaimana pun adanya penjajah tetap harus dilawan. Nasionalisme untuk kedaulatan dan kemerdekaan negeri sendiri merupakan hal yang paling krusial dan harus dipertaruhkan dengan berbagai cara. 3. Konsep Khalifah Pemahaman Ahmadiah tetang konsep khalifah baik aliran Qadian maupun aliran Lahore sebenarnya sama-sama mendasarkan pemahamannya pada alQur‟an. Namun demikian, di antara kedua aliran Ahmadiah tersebut ada perbedaan dalam memberikan penafsian. Menurut Ahmadiah Qadian, dalam hal ini Bashiruddin Mahmud Ahmad (khalifah II), bahwa perkataan khalifah (pengganti) yang terdapat dalam al-Qur‟an dipahami dan digunakan dalam tiga pengertian, antara lain: petama, khalifah dipergunakan untuk nabi-nabi yang disinyalir sebagai penggani Allah di dunia, seperti Nabi Adam disebut sebagai khalifah dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 31-32 dan sama juga seperti Nabi Daud dalam surat as-Shad ayt 27. Kedua, khalifah dipahami sebagai makna bagi umat atau kaum yang datang kemudian pada surat al-A‟raf ayat 70 dan 75. Khalifah dalam pengertian ini adalah para pengganti nabi yang dipilih oleh kaum dan umatnya sendiri, seperti Abu Bakar yang menggantikan Nabi Muhammad. Ketiga, khalifah dipergunakan untuk menjelaskan para pengganti nabi, karena mereka telah mengikuti jejak para nabi sebelumnya. Proses penggantian tersebut 72 secara langsung diangkat oleh Allah, khalifah dengan pangkat nabi ini berkedudukan sebagai pengganti atau pendamping bagi nabi yang ada sebelumnya atau pada masanya, seperti Nabi Harun yang merupakan khalifah bagi Nabi Musa pada sutar al-Araf disebutka ayat 143 . Katagori khalifah dalam pengertian yang pertama dan ketiga hanyalah pada pemimpin ruhani. Aliran Ahmadaih Qadian ini menjelaskan bahwa tidak semua nabi dan rasul yang disebutkan dalam al-Qur‟an menjabat sebagai pemimpin ruhani sekaligus pemimpin pemerintahan. Para rasul yang di utus Allah yang hanya menjabat sebagai pemimpin ruhani di antaranya adalah Nabi Yahya, Isa, Zakaria dan Harun sementara Nabi Muhammad adalah seorang Nabi sekaligus pemegang tampuk kepemimpinan pemerintah. Para khalifah yang menggantikan beliau, seperti Abu Bakar, Umar ibn Khatab, Usman ibn Affan dan Ali bin Abi Thalib juga pemimpin pemerintah, tetapi sistem khalifah ini berakhir sejak masa Muawiyyah berkuasa, karena penguasa yang datang berikutnya hanya berdasarkan keturunanan dan pengangkatan diri sendiri, berbeda dengan makna khalifah sebagaimana yang tersebut dalam al-Qur‟an. Sementara Ahmadiah Lahore menyatakan bahwa ada dua macam khalifah. Pertama, khalifah yang sesuai dengan makna khalifah dalam al-Qur‟an dalam surat an-Nur ayat 55. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang akan memimpin peradaban di muka bumi, karena itu dibutuhkan sistem kekhalifahan untuk membangun pemerintahan tersebut. Nabi Muhammad adalah khalifah pertama dan kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya Khulafaur Rasyidin. Kedua, khalifah dimaknai sebagai mujaddid dan para tokoh 73 spiritual yang mendirikan sebuah orgnisasi atau komunitas terstruktur yang akan meneruskan syariat. Dalam hadits dinyatakan bahwa akan muncul setiap satu abad sekali para mujaddid yang akan memperbaharui agamanya. Dikalangan aliaran Ahmadiah terjadi perbedaan pendapat mengenai posisi setelah Ghulam Ahmad meninggal. Menurut Ahmadiah Qadian setelah Ghulam Ahmad meninggal, maka berdirilah sistem khalifah dalam Ahmadiah yang terkenal dengan khalifah al-Masih. Doktrin khalifah al-Masih ini didasarkan dan dimotivasi oleh wasiat Ghulam Ahmad mengenai keharusan adanya khalifah yang menggantikannya. Hal ini juga didasarkan pada hadits nabi yang menggambarkan hakikat seorang khalifah dibandingkan dengan pemimpin negara. Ahmadiah Qadian meyakini bahwa apa yang telah disabdakan oleh nabi Muhammad adalah terbukti menjadi kenyataan. Sejarah islam telah mencatat bagaiman awal kekhalifahan dengan pola kenabian dan dikenal dengan khilafah rasyidah, murni dari Abu Bakar dan berakhir dengan khalifah Ali bin Abu Thalib setelah itu baru muncullah kekhalifahan dengan pola kerajaan yng berawal dari Muawiyyah dan berakhir dengan Sultan Hamid II di Turki. Setelah dua pola tersebut terlewati dalam masa kesejahteraan Islam, merujuk pada hadits di atas, akan muncul kembali pola kekhalifahan dengan sistem kenabian kedua pada masa Isa dan Mahdi diatas dasar polarisasi sistem kekhalifahan tersebut, maka Ahmadiah berdiri sebagai kelanjutan sistem kekhalifahan tersebut. Dalam Ahmadiah dikenal dengan khalifah al Masih. Sistem ini sebagai kelanjutan dari pekerjaan Ghulam Ahmad, Al Masih dan Imam mahdi yang berpangkat nabi . 74 Sistem khalifah dengan pola kenabian yang ada pada masa Nabi Muhammad sebenarnya berbeda dengan yang terjadi pada masa Ghulam Ahmad. Khilafah dengan pola kenabian pada masa Nabi Muhammad mempunyai fungsi ganda, yakni disamping sebagai Nabi sebagai Nabi yang mempunyai misi menyebarkan dakwah agama Islam, juga memegang dan menjalankan fungsi pemerintahan. Sementara itu khilafah dengan pola kenabian yang terjadi pada masa Ghulam Ahmad hanya berfungsi tunggal, semata-mata sebagai pemimpin ruhani yang menyebarkan dakwah Islam tidak masuk dalam arena kekuasaan dan tidak memegang tampuk kepemimpinan. Dalam aliran Ahmadiah Qadian, setelah Ghulam Ahmad meninggal menjadi wajib hukumnya untuk dicarikan penggantinya sebagai khalifah sebagai Jema‟at Ahmadiah yang menjadi pemimpin tertinggi yang harus ditaati. Setelah kepemimpinan Ghulam Ahmad, maka tampuk pimpinan dilanjutkan oleh Maulana Hakim Nuruddin sebagai Khalifatul masih I tahun 1841-1941 M, kemudian Bashiruddin Ahmad yang merupakan putra dari Ghulam Ahmad sebagai khalifatul Masih II tahun 1889-1965 M, kemudian Nashir ahmad terpilih sebagai khalifatul masih III tahun 1909-1985 M, dan khalifatul masih IV adalah Tahir Ahmad, serta khalifatul masih V, Mansyur Ahmad yang menjadi pemimpin pusat Jemaat Ahmadiah hingga sekarang. Perbedaan anatara Ahmadiah Qadian dan Lahore dengan kaum muslimin secara umum tentang khalifah adalah menurut kaum muslim, bahwa khalifah yang menggantikan pangkat dan kedudukannya sebagai nabi dan penerima wahyu, melaikan hanya sebagai pelangsung gerak dakwah Islam ke penjuru dunia. Di 75 samping itu, bahwa makna khalifah setelah rasul dalam pimpinan negara yang kewenangannya telah diberikan oleh yang berwenang. Sementara Ahmadiah Qadian menganggap bahwa khalifah yang menggantikan nabi sekaligus berfungsi menggantikan nabi sekaligus mendapatkan wahyu dari Allah. sementara Ahmadaiah Lahore menganggap posisi khalifah tersebut adalah hanya sebagai mujaddid, tetapi di pilih oleh Tuhan melalui wahyu. Menurut sebagian besar umat Islam, hal ini merupakan suatu yang paling prinsipil yang membedakan antara mayoritas umat Islam dengan aliran Ahmadiah. 4. Konsep Kenabian Sebelum memjelaskan pandangan Ahmadiah tentang konsep kenabian, terlebih dahulu perlu kiranya di jelaskan mengenai definisi nabi dan rasul secara umum. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa definisi nabi dan rasul secara umum adalah seorang laki-laki akil, baligh, berbudi pekerti baik, dan dan kepadanya diturunkannya wahyu syariat. Jika seorang laki-laki tersebut diperintahkan menyampaikan apa yang diwahyukan kepada umat, maka ia didefnisikan sebagai rosul. Sebaliknya, jika dia tidak diterimanya sebagai wahyu, maka ia didefinisikan sebagai nabi. Keterangan di atas memberikan penjelasan bahwa setiap rosul secara otomatis berpangkat sebagai nabi, tetapi tidak setap nabi berarti rosul. Jumlah nabi sangat banyak sekali, bahkan tidak semunya tersebut dalam al-Qur‟an ada yang menyebutkan bahwa jumlah nabi sebanyak 314 orang yang di mulai dari Adam dan berakhir dengan Nabi Muhammad, namun dalam pandangan Ahmadiah 76 definisi dan jumlah tersebut tidak benar, karena jumlah nabi yang membawa syariat sangat sedikit. Hanya Nabi Musa yang membawa kitab Thaurat dan Nabi Muhammad yang membawa al-Qur‟an. Dalam persfektif Ahmadiah, nabi seperti didefinisikan diatas adalah salah, Ahmadiah mendefinisikan nabi adalah laki-laki baligh, berakal, berbudi pekerti baik, dan di turunkan kepada wahyu. Jika wahyunya mengandung hukum-hukum baru yang belum terdapat pada syariat sebelumnya maka ia di namakan sebagai nabi yang membawa syariat baru. Sementara jika mereka tidak mebawa syariat baru, maka ia dinamakan nabi pembantu. Fungsi dari nabi pembantu itu dalalah menguatkan dan menjelaskan apa yang terjadi dalam syariat yang dibawa oleh nabi sebelumnya. Menurut Ahmadiah perbedaan antara nabi dan rasul hanya nisbati saja, sedangkan wujudnya satu. Lebih lanjut menurut Ahmadaih baik nabi maupun rasul sama-sama harus menyampaikan wahyu yang diterimanya, kalau tidak disampaikan ia akan berdosa karena telah menyembunyikan pengetahuan yang telah diterimanaya dari Allah. Singkatnya, menurut Ahmadiah setiap nabi dan rasul adalah niscahya sebaliknya, setiap rasul adalah nabi. Terkait dengan kenabian Ghulam Ahmad, terjadi perbedaan mendasar antara aliran Qadian dan Lahore. Aliran Qadian mengagap bahwa kenabian yang membawa syariat baru sudah berakhir, tetapi untuk kenabian zhilli ghari tasyri‟ masih akan terus terbuka. Namun kenabian ini akan berlangsung kedatangannya umat Nabi Muhammad pada ranah ini, aliran Qadian meyakini bahwa Ghulam Ahmad adalah nabi sementara aliran Lahore meyakini bahwa Ghulam Ahmad 77 hanyalah sebagai mujaddidin, meskipun secara implisit mereka menganggap sebagai nabi lughawi atau majazi. 78 BAB IV ANALISIS HASIL TERJEMAHAN KATA KHATAM DAN KHALIFAH DALAM WACANA KEAHMADIAHAN A. Analisis Terjemahan Terhadap Kata Khatam Dalam Wacana Keahmadiahan Konsentrasi dalam pembahasan ini adalah kata khatam yang di analisis dalam wacana keahmadiahan. Kata khatam mengandung makna musytarak lafzi oleh karena itu banyak sekali pemahaman yang berbeda-beda dalam kata khatam ini sendiri. Dalam al-Qur‟an sendiri kata khatam hanya terdapat dalam satu ayat alQur‟an, yaitu pada surat al-Ahzab ayat 40: Terjemahan versi Tafsir Ibnu Katsir Muhammad itu sekali-sekali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, namun dia adalah Rasul Allah dan penutup para nabi. Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu. Di tuliskan dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Hadits yang di riwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah. 79 Az-Zuhri meriwayatkan dari Jubair bin Muth‟im, dari ayahnya r.a, dia mendengar Rasullah bersabda: َأوب المبحّ الذْ ٔمحُ اهلل, َأوب أحمد, أوب محمد:إن لٓ أسمبء َأوب,ّ َأوب الحبشز الذْ ٔحشز الىبس علٓ قدم, تعبلٓ بً الكفز ٓالعبقب الذْ لٕس بعدي وب “Aku memiliki banyak nama. Aku bernama Muhammad, Ahmad, pemusnah kekafiran atas pertolongan Allah, pengumpul yang mengumpulkan manusia pada kedua kakiku, dan pamungkas yang tiada lagi nabi setelahnya.” Hadits ini pun dikemukakan dalam Shahihain. Demikianlah, Allah Ta‟ala telah memberitahukan dalam kitabnya dan Rasulullah memberitahukan dalam sunnahnya yang mutawatir bahwa tidak ada nabi setelah dia. Hal ini agar golongan jin dan manusia mengetahui bahwa setiap orang yang mengaku sebagai nabi sepeninggalnya maka ia pendusta, pembual, Dajjal38, orang sesat, dan menyesatkan, walaupun ia menampilkan hal-hal yang 38 Diantara pendusta dan pembohong tersebut ialah seorang zindik, kafir, dan musyrik yang mengaku sebagai nabi. Orang ini hidup di India, yaitu di negara Qadian. Dia bernama Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani. Semoga Allah melaknatnya secara bertubi-tubi hingga hari kiamat. Dia mengaku sebagai nabi dan pemilik al-Qur’an. Dia mengklaim bahwa Allah telah menurunkan al-Qur’an kepadanya. Diantara ucapan yang terdapat dalam al-Qur’annnya adalah,”Hai, Ahmad, engkau bagaikan anakkku. Enggkau berhak mendapatkan keesaan dan ketunggalanku.” Orang kafir yang jahat ini telah mati. Kemudian ia digantikan oleh anaknya. Propaganda yang sesat ini memiliki beberapa kelompok di sejumlah negara. Aliran ini merupakan hasil rekayasa Inggris dan India. Diantara pesan si kafir yang jahat ini, Mirza Ghulam Ahmad, ialah apabila terjadi krisis antara kaum muslim dan Inggris, maka para pengikutnya dari kalangan Qadiyan harus membela Inggris. Kelompok ini mmiliki pengikut di Damaskus yang jumlahnya sedikit sekali. Mereka berupaya menebarkan racunya di Haleb. Mereka mengirimkan salah seorang propagandisnya yang bernama Ghulam Ahmad. Lalu dakwah salafiyah kita berupaya mengganyangkan sehingga mampu—berkat karunia Allah semata dan bantuan beberapa mahasiswa serta dukungan pemerintah—menghentikan propoganda si kafir yang jahat ini secara total pada tahun 80 luar biasa, aneka jenis sihir, dan tilasmat (jampi-jampi). Semua penampilan ini adalah mustahil dan sesat menurut pemilik akal sehat, seperti Musailamah alKadzab di Yamamah. Kedua orang itu telah menampilkan perilaku yang merusak dan pernyataan-pernyataan yang musykil sehingga tidak dapat diterima dan dipahami oleh akal sehat. Kedua orang tersebut pendusta dan menyesatkan39. Terjemahan versi Ahmadiah dalam kitab Tazkirah ًٌُ الذْ أرسل رسُلً ببلٍدِ َدٔه الحق لٕظٍزي علّ الدٔه كلً (حقٕق (71: ّالُح Dialah yang mengutus Rasul-Nya (Mirza Ghulam Ahmad) dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dia memenangkannya atas segala agamaagama semuanya. (Haqiqatul Wahyi : 71) Disini penulis melihat bahwa begitu kontras sekali antara penjelasan yang terdapat dalam tafsir yang telah disepakati oleh para ahlu sunnah waljama‟ah dengan kitab tazkirah milik Ahmadiah, dalam kitab Tazkirah itu pun membajak ayat dalam al-Qur‟an yang jelas ayat itu diturunkan untuk nabi Muhammad dengan asbabul nuzul sedangkan Mirza Ghulam Ahmad mengakuinya dengan sangat bangganya. 1371H/1951M. Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta : Gema Insani Press, 2001) h. 870 39 Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta : Gema Insani Press, 2001) h. 870 81 Ayat al-Qur‟an tersebut terdapat pada surat as-Shaf ayat 9, kelompok Ahmadiah hanya membajaknya dari ayat yang terdapat dalam al-Qur‟an dan mengakui bahwa Allah telah mengutus Mirza Ghulam Ahmad dengan ayat tersebut. Dan Ahmadiah Qadian memaknai kata khatam yang terdapat dalam ayat alQur‟an surat al-Ahzab ayat 40 dengan makna nabi yang paling sempurna. Untuk menguatkan pendapatnya kata khatam nabiyyin dengan makna nabi yang paling sempurna, paling mulia, paling afdhal dan paling tinggi. Maka Ahmadiah Qadian juga mengemukakan dalil dari hadits nabi: ٓأطمئه ٔب عمز فإوك خبتم المٍبجزٔه فٓ الٍجزة كمب أوب خبتم الىبٕٕه ف الىبُة Tenagkanlah hatimu wahai Umar, sesungguhnya engkau adalah khatam orang-orang yang berhijrah sebagaimana saya adalah khatam nabi-nabi. Ahmadiah Qadian menjelaskan sebutan khatamul muhajirin, bukan bermakna penutup tetapi istimewa begitu pun dengan kata khatam yang terdapat dalam ayat al-Qur‟an berarti bukan bermakna penutup sedangkan Rasul sendiri memaknai kata khatam bukan penutup40. Disini penulis melihat dengan salah memaknai sebuah kata saja maka seseorang dengan mudahnya dapat mengatakan bahwa akan ada rasul sekaligus nabi lagi setelah nabi Muhammad bukankah itu hal yang sangat menyesatkan, dengan segala cara kelompok Ahmadiah memutar balikkan fakta dengan 40 M. Amin Djalaluddin, Ahmadaiah dan Pembajakan Al-Qur’an (Jakarta : Lembaga Penelitian dan Pengakajian Islam, 2005)hal. 75-78 82 membajak al-Qur‟an dengan mengutip hadits nabi hanya untuk mengakui kepada seluruh umat Islam di dunia bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah penerus nabi Muhamad yang telah di urus oleh Allah. Oleh sebab itu, perbedaan penafsiaran atas lafazh khatam al-nabiyyin telah muncul berbagai persoalan pelik yang seolah tanpa penyelesaian bahan permasalahnnya berujung pada perpecahan di kalangan umat muslim sendiri, hal ini dikarenankan dampak dari perbedaan itu sesudah menyentuh pada permasalahan aqidah. B. Analisis Terjemahan Terhadap Kata Khalifah Dalam Wacana Keahmadiahan Konsentrasi dalam pembahasan ini adalah kata khalifah yang di analisis dalam wacana keahmadiahan. Kata khalifah mengandung makna musytatarak lafzi oleh karena itu banyak sekali pemahaman yang berbeda-beda dalam kata khalifah ini sendiri. 1) Khalifah bermakna pengganti Dalam surat al-Baqarah ayat 30 Terjemahan versi Tafsir Ibnu Katsir 83 Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?”Tuhan berfirman,”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dalam Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan Allah berkata “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi,” Yakni, suatu kaum yang akan menggantikan satu sama lain, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi, sebagaimana Allah Ta‟ala berfirman, “Dialah yang menjadikan kaum sebagimana khalifah-khalifah di bumi.” Abdul Razaq, dari Muammar, dan dari Qata‟ah berkata berkaitan dengan firman Allah, “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya.”Seolah-olah Allah memberitahukan kepada para malaikat bahwa apabila di bumi ada mahluk, maka mereka akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di sana. Perkataan malaikat ini bukanlah sebagai bantahan kepada Allah sebagiman diduga orang, karena malaikat disifati Allah sebagai mahluk yang tidak dapat menanyakan apa pun yang tidak diizinkanNya. Ibnu Juraij berkata bahwa sesungguhnya para malaikat itu berkata menurut apa yang telah diberitahukan Allah kepadanya ihwal keadaan penciptaan Adam. Maka para malaikata berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu 84 orang yang membuat kerusakan padanya?”Ibnu Jarir berkata, “Sebagaian ulama mengatakan, „Sesungguhnya malaikat mengatakan seperti itu, karena Allah mengizinkan mereka untuk bertanya ihkwal hal itu setelah diberitahukan kepada mereka bahwa khalifah itu terdiri atas keturunan Adam. Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan padanya?” Sesungguhnya mereka bermaksud mengatakan bahwa di antara keturunan Adam itu ada yang melakukan kerusakan. Pernyataan itu bersifat meminta informasi dan mencari tahu ikhwal hikmah. Maka Allah berfirman sebagai jawaban atas mereka, “Allah berkata, „Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, “Yakni Aku mengetahui kemaslahatan yang baik dalam penciptaan spesies yang suka melakukan kerusakan seperti kamu sebutkan, dan kemaslahatana itu tidak kamu ketahui, karena Aku akan menjadikan di natara mereka para nabi, rasul, orang-orang saleh, dan para wali41. 41 Al-Qur’an maupun sunnah yang menyatakan bahwa manusia merupakan khalifah Allah di bumi, karena Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi.”Ayat ini jangan dipahami bahwa Adam adalah khalifah Allah di bumi, sebab Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di bumi.” Allah meengatakannya demikian, dan tidak mengatakan, “Sesungguhnya Aku akan menjadikan, untuk-Ku, seorang khalifah di bumi,” atau Dia mengatakan, “Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah bagi-Ku di bumi,”atau “Menjadikan khalifah-Ku”. Dari mana kita menyimpulkan bahwa Adam atau spesies manusia sebagai khalifah Allah di bumi? Ketahuilah, sesungguhnya urusan Allah itu lebih mulia dan lebih agung dari pada itu, dan maha tinggi Allah dari perbuatan itu. Namun, mayoritas mufasirin mengatakan, “Yakni, suatu kaum menggantikan kaum yang lain, kurun demi kurun, dan generasi demi generesi.” Ulama lain menafsirkan ayat diatas dengan”menjadikan sebagai khalifah bagi mahluk sebelumnya yang terdiri atas jin atau mahluk lain yang mungkin berada di muka bumi yang ada sebelum spesies manusia. Penafsiran yang pertama adalah lebih jelas karena dikuatkan dengan al-Qur’an dan sunnah. Adapun orang yang berpandangan ini tidak dapat diterima. Karena hukum yang valid ialah yang bersumber dari wahyu yang telah ditetapkan Allah, bukan hukum si khalifah, namun hukum Allah, dan hukum itu merupakan sarana penghambaaan kepada Allah. alangkah jauhnya jarak antara ibadah dengan perwakilan dan kekhalifahan. Jadi, jelaslah bahwa orang yang menghukumi itu tiada lain hanyalah menetapkan hukum Allah, bukan menggantikanNya. Muhammad Nasib Ar-rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta : Gema Insani Press, 2001) h. 103-106 85 Dalam Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, menjelaskan tentang ayat tersebut bahwa penyampaian keputusan Allah kepada para malaikat tentang rencana-Nya menciptakan manusia di bumi. Penyampaian kepada mereka penting, karena malaikat akan dibebani sekian tugas menyangkut manusia. Ada yang akan bertugas mencatat amal-amal manusia, ada yang bertugas memeliharanya, ada yang membimbingnya, dan sebagainya. Penyampaian itu juga, kelak ketika diketahui manusia, akan mengantarnya bersyukur kepada Allah atas anugerahNya yang tersimpul dalam dialog Allah dengan para malaikat. Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di dunia, demikian penyampaian Allah. penyampaian ini bisa jadi setelah proses penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk dihuni manusia pertama (Adam) dengan nyaman. Mendengar rencana tersebut para malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak dan menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia, di mana ada mahluk yang berlaku demikian, atau bisa bisa juga berdasarka asumsi bahwa karena yang akan ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, maka pasti mahluk itu berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih menyucikan Allah. Pertanyaan mereka juga bisa lahir dari penamaan Allah terhadap mahluk yang akan diciptakan itu dengan khalifah. Kata ini menegaskan makna pelerai perselisihan dan penegak hukum, sehingga dengan demikian pasti ada diantara mereka yang berselisih dan menumpahkan darah. Bisa jadi demikian dugaan malaikat sehingga muncul pertanyaan demikian. 86 Semua itu adalah dugaan, namun apapun latar belakangnya, yang pasti adalah mereka bertanya kepada Allah, bukan berkeberatan atas rencana-Nya42. Pengertian khalifah bermakna pengganti versi Ahmadiah Pengertian di atas berbeda dengan yang dipahami oleh Ahmadiah, mereka menganggap khalifah diperlukan guna meneruskan perjuangan sepeninggalan Mirza Ghulam Ahmad. Dalam hal khalifah ini, terdapat perbedaan antara Ahmadiah Qadian43 dan Ahmadiah Lahore44. Dalam konsep khalifah, baik Ahmadiah Qadian maupun Ahmadiah Lahore sama-sama mendasarkan pemahamannya pada al-Qur‟an. Akan tetapi mereka berbeda dalam menafsirkannya. Menurut Ahmadiah Qadian dalam hal ini Bashiruddin Mahmud Ahmad (khalifah II), mengatakan bahwa perkataan khalifah (pengganti) yang terdapat dalam al-Qur‟an dipahami dan dipergunakan dalam tiga pengertian lain: Pertama, khalifah dipergunakan untuk nabi-nabi yang di sinyalir sebagai pengganti Allah didunia, seperti nabi Adam disebut sebagai khalifah yang terdapat pada surat al-baqarah ayat 3045. Kedua, khalifah dipahami sebagai makna bagi umat atau kaum yang datang kemudian. Khalifah dalam pengertian ini adalah para pengganti nabi yang dipilih 42 M. Quraish Shihab, Tatsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta : Lentera Hati, 2000)h. 138-139 43 Ahmadiah Qadian disebut juga Jemaat Ahmadiah Indonesia (JAI) 44 Ahmadiah Lahore disebut juga gerakan Ahmadiah Indonesia (GAI) 45 A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah (Jakarta :RM Books, 2006)h. 74-75 87 oleh kaum dan umatnya sendiri, seperti Abu Bakar yang menggantikan nabi Muhammad. Ketiga, khalifah dipergunakan untuk menjelaskan para pengganti nabi, karena mereka telah mengikuti para nabi sebelumnya. Proses penggantian tersebut secara langsung diangkat oleh Allah. khalifah dengan pangkat bagi para nabi yang sebelumnya atau pada masanya, seperti nabi Harun yang merupakan khalifah bagi nabi Musa46. Kategori khalifah dalam pengertian yang pertama dan ketiga hanyalah pemimpin ruhani. Aliran Ahmadiah Qadian ini menjelaskan bahwa tidak semua nabi dan rasul yang disebutkan dalam al-Qur‟an menjabat sebagai pemimpin ruhani sekaligus pemimpin pemerintahan. Para nabi dan rasul yang di utus Allah yang hanya menjabat sebagai pemimpin ruhani diantaranya adalah nabi Muhammad sekaligus pemegang tampuk kepemimpinan pemerintah. Sedangkan Ahmadiah Lahore menyatakan bahwa ada dua macam khalifah, pertama, khalifah sesuai dengan makna khalifah dalam al-Qur‟an surat an-nur ayat 55. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang memimpin peradaban di muka bumi ini, oleh karena itu dibutuhkan kekhalifahan untuk membangun pemerintah tersebut. Nabi Muhammad adalah khalifah pertama yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya yakni Khulafaur Rasyidin. Kedua, khalifah dimaknai sebagai mujaddid dan para tokoh spritual yang mendirikan sebuah organisasi atau komunitas terstruktur yang akan meneruskan 46 A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah (Jakarta :RM Books, 2006)h. 75 88 syari‟at. Dalam hadits dikatakan bahwa akan muncul satu abad sekali para mujaddid47. Di sini penulis melihat perbedaan penafsiran antara pendapat yang telah disepakati oleh para Ahlusunnah wal jama‟ah dengan pendapat golongan Ahmadiah, mereka berpendapat bahawa khalifah adalah seorang yang harus mengemban amanat Mirza Ghulam Ahmad dan dapat membai‟at anggota baru Ahmadiah sedangkan dalam Islam tidak ada hal demikian. Tetapi Ahmadiah dalam hal memaknai kata khalifah tidak terlalu berbeda pendapat dengan pendapat umat Islam pada umumnya, hanya saja penafsiran mereka yang berbeda. Dan anehnya lagi sesama anggota Ahmadiah saja sudah berbeda pendapat lalu bagaimana mereka dapat benar-benar meyakini bahwa ajaran mereka benar di mata Allah kalau dalam meyakini kata khlaifah saja mereka sudah bercerai berai. 2) Khalifah Bermakna Pemimpin Dalam surat as-Shad ayat 27 Terjemahan versi Tafsir Ibnu Katsir 47 Sebutan Pemimpin spiritual pada kelompok Ahmadiah Lahore 89 Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan Kamu khalifah di muka bumi, maka berikanlah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan Kamu dari jalan Allah. sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena Mereka melupakan hari perhitungan. Dalam Tafsir Ibnu Katsir mengenai ayat ini dijelaskan, pesan Allah kepada para penguasa agar memberikan keputusan diantara manusia dengan kebenaran yang telah diturunkan dari sisi-Nya, tidak menyimpang dari kebenaran itu. Jika menyimpang, maka mereka sesat dan melupakan hari perhitungan suatu siksaan yang amat pedih. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibrahim Abu Zur‟ah, Dia seorang yang dalam pengetahuan-Nya tentang al-Kitab bahwa sesungguhnya Walid bin Abdil Malik telah mengatakan kepadanya, “Apakah seorang khalifah akan dihisab? Sebab engkau telah membaca kitab perjanjian lama dan al-Qur‟an, dan engkau adalah seorang faqih. “Aku menjawab, “Wahai Amirullah Mukminin, haruskah aku katakan?” Dia menjawab, “Katakanlah demi amanat Allah. “ Aku menjawab , “Wahai Amirul Mukminin, engkau yang lebih mulia di sisi Allah ataukah Daud? Sesungguhnya, Allah telah menyatukan baginya kenabian dan kekhalifahan, kemudian Allah mengancam dia didalam Kitab-Nya, „Hai Daud, sesunggguhnya Kami menjadikan Kamu khalifah di muka bumi, maka berikanlah keputusan diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena dia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah! Dan firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena 90 mereka melupakan hari perhitungan. „as-Sidi berkata, maksudnya, bagi mereka adalah siksa yang hebat lantaran mereka telah meninggalkan amal untuk hari perhitungan. Pemaknaan kata khalifah yang bermakan pemimpin versi Ahmadiah Berbeda dengan Ahamdaih Qadian, Ahmadiah Lahore dengan dasar al-Quran surat an-Nur dan wasiat Mirza Ghulam Ahmad, maka berakhir sudah khalifah dalam Ahmadiah, bagi Ahmadiah Lahore. Setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal tampuk kepemimpinan dan keputusan tertinggi berada di tangna Sadr Anjuman Ahmadiah, sementara dengan sangat diplomatis aliran ini mengatakan bahwa seandainya masih dibutuhkan khalifah, maka tidak wajib ditaati karena khalifah hanya berfungsi sebagai penerima bai‟at saja. Sedangkan tanggung jawab kepemimpinan tetap berada ditangan pusat Anjuman Ahmadiah dan keputusan wajib ditaati. Ahmadiah Lahore juga mengatakan bahwa setelah khalifah Rasyidah dan termasuk Ghulam Ahmad tidak ada lagi khalifah, yang ada hanyalah mujaddid yang muncul setiap satu abad sekali48. Pandangan Ahmadiah Lahore tentang khalifah ini merupakan pemicu dari perpecahan Ahmadiah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut, diantaranya adalah pertama, perbedaan penafsiran surat dan wasiat Mirza Ghulam Ahmad. Kedua, perbedaan penafsiran terhadap surat an-Nur ayat 55, tetapi yang jadi permasalahan selanjutnya adalah sikap kontroversial sistem 48 A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah (Jakarta :RM Books, 2006)h. 76 91 khalifah sebagimana Ahmadiah Qadian. Penolakan ini muncul setelah khalifah I Maulana Hakim meninggal pada tahun 1914 M. Ahmadiah Lahore mengingkari kebenaran khalifah dalam Ahmadiah setelah sistem itu berlangsung selama satu periode kekhalifahan, padahal jika mereka ingin menolak sitem tersebut disampaikan setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal. Hal tersebut mengandung kontroversial dikalangan pemerhati Ahmadiah. Bahkan muncul isu negatif bahwa penganut Ahmadiah Lahore melakukan hal itu karena kekalahan politik pada masa pemilihan khalifah II, sehingga mereka memisahkan diri dari Ahmadaih Qadian49. Di sini penulis melihat bahwa dalam mamaknai kata khalifah yang bermakna pemimpin ini memiliki sudut pandang yang berbeda antara pendapat ahlusunnah wal jama‟ah dengan kelompok Ahmadiah, karena kelompok Ahmadiah memaknai kata khalifah dengan membahas bagaimana suatu kelompok mereka dapat menguasai kelompok yang lainya tanpa melihat pada sisi negatif dampak yang terjadi bila mereka saling bercerai berai. Dan ironisnya, antara kelompok Ahmadiah Qadian dan Ahmadiah Lahore saling berselisih politik siapa yang pemimpinya memimpin tongkat khalifah pada masa itu maka yang akan berkuasa adalah kelompok tersebut. Apabila tongkat kepemimpiannya jatuh di tangan kelompok lain maka kelompok yang lain tersebut akan keluar dan memiliki pemahaman yang berbeda tentang makna khaliafah itu sendiri. 49 A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah (Jakarta :RM Books, 2006)h. 80 92 Berbeda dengan makna khalifah yang bermakana pemimpin yang terdapat dalam al-Qur‟an, disitu Allah menjelaskan bahwa sang pemimpinlah yang memiliki begitu banyak beban karena ia harus menjalankan perintah Allah tanpa harus mendahulukan hawa nafsu sedikitpun karena itu akan menyesatkan sedangkan di kelompok Ahmadiah sendiri mereka lebih mementingkan kepentingannya dari pada kepentingan ajarnnya kalau sampai bercerai berai hanya karna pemimpin kelompoknya tidak memenagkan pemilihan khalifah menurut versi mereka. Terlihat jelas sekali penulis melihat bahwa kata musytarak lafzi dalam kata khatam dan khalifah memang banyak dan masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda dan juga mempunyai pemahaman yang berbeda. Melihat dari terjemahan Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Mishbah dengan dibandingkan dengan pemahaman kelompok Ahmadiah tentang makna kata khatam dan khalifah sangat berbeda sekali, kelompok Ahmadiah sampai membajak al-Qur‟an diperuntukan agar pemahaman mereka dapat diterima umat Islam yang lainnya. Bukankah itu hal yang sangat menyesatkan. Dengan berbagai cara mereka membenarkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah rasul utusan Allah, tetapi ironisnya mereka saling berselisih paham antara satu dengan yang lainya dalam memaknai kata khalifah itu sendiri. 93 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, diantara terjemahan Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Mishbah dengan pemahaman kelompok Ahmadiah sangat kontras sekali, kelompok Ahmadiah menghalalkan segala cara demi mendapatkan pengakuan dari unat Islam yang lain bahwa Mirza Ghulam Ahmad dapat diterima sebagai rasul penerus nabi Muhammad dengan membajak al-Qur‟an, memakai hadits nabi dengan pemaknaan yang berbeda, dan lain sebagainya. Hanya karena berbeda pendapat dalam memaknai satu kata yaitu kata khatam yang terdapat dalam al-Qur‟an surat al-Ahzab ayat 40 seseorang dapat berbeda pemahaman pula, perbincangan mengenai hakikat kata khalifah dan khatam menjadi titik poin yang sangat sensitif sekali. Kesalahan dalam menangkap kata khalifah dan khatam dapat berakibat fatal. Banyak orang yang salah memahami kata tersebut dan berujung mereka mengikuti aliran lain, khususnya pada ayat al-Qur‟an kata khalifah dan khatam sangat sensitif sekali pemaknaannya. Iman merupakan gambaran akidah manusia sebenarnya. Masalah keyakinan bersangkut dengan hati, sedangkan kemampuan kita untuk mengetahuinya sangat terbatas, yaitu hanya melalui ucapan dan perilaku. 94 Dengan demikian, kita harus menjadikan ucapan dan perilaku sebagai bukti keyakinan yang tersimpan didalam hati agar tidak terjerumus pada akhirnya. Melihat dari kesimpulan diatas, agaknya akan menjadi tantangan besar bagi penerjemah Indonesia untuk dapat menciptakan sebuah terjemahan al-Qur‟an dengan menyelaraskan kebudayaan bangsa kita yang majemuk dan problematika kekinian. Hal ini diperlukan karena konteks budaya kita yang berbeda jauh dengan konteks budaya timur tengah di mana al-Qur‟an diwahyukan. Sedangkan ayat-ayat al-Qur‟an berlaku secara universal, disemua tempat diseluruh dunia dan sepanjang zaman. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat teknis dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi zaman, selama tak menyimpang dari garis norma dan kaidah ketatabahasaan yang berlaku. Dan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan lagi agar mereka tahu manakah penafsiran pada ayat al-Qur‟an yang benar dan yang salah agar tidak terjadi kekeliruan yang berkelanjutan. 95