BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Spiritual 2.1.1 Pengertian Spiritual

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Spiritual
2.1.1 Pengertian
Spiritual adalah suatu usaha dalam mencari arti kehidupan, tujuan dan panduan dalam
menjalani kehidupan bahkan pada orang-orang yang tidak memercayai adanya Tuhan.
(Ellison, 2002). Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan sang pencipta
(Achir Yani, 2000). Burkhard (1993) dalam buku Aspek Spiritual Dalam Keperawatan,
berpendapat bahwa spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut: (1) berhubungan dengan
sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan, (2) cara dalam
menemukan suatu arti dan tujuan hidup, (3) memiliki kemampuan dalam menyadari kekuatan
dalam untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri, (4) mempunyai perasaan
terikat dengan diri sendiri dan dengan Pencipta. Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk
mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta
kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan
penuh rasa percaya dengan Tuhan (Carson, 1989).
Kesejahteraan spiritual adalah suatu aspek yang terintegrasi dari manusia secara
keseluruhan yang ditandai oleh makna dan harapan. Kesehatan spiritual atau kesejahteraan
adalah rasa keharmonisan yang saling berdekatan antara diri dengan orang lain, alam dan
dengan kehidupan yang tertinggi. Rasa keharmonisan ini dicapai ketika seseorang
menemukan keseimbangan antara nilai, tujuan dan system keyakinan individu dengan
hubungan mereka di dalam diri mereka sendiri dan dengan orang lain. Keyakinan ini sering
berakar dalam spiritualitas orang tersebut. Sepanjang hidup seorang individu mungkin
spiritual akan lebih tumbuh sehingga individu menjadi lebih menyadari tentang makna,
tujuan dan nilai hidup.
Spiritualitas memberi dimensi luas pada pandangan holistik kemanusiaan. Definisi
spiritualitas atau dimensi spiritualitas akan unik dan berbeda bagi setiap individu. Definisi
individual tentang spiritualitas dipengaruhi oleh kultur, perkembangan, pengalaman hidup
dan ide-ide mereka sendiri tentang hidup. Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan
keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berusaha untuk menjawab atau
mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau
kematian, yang merupakan kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier, Erb, Blais
& Wilkinson, 1995; Murray & Zentner, 1993, dalam buku Aspek Spiritual Dalam
Keperawatan). Mickley et al (1992) membagi spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi,
yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan
arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus dengan hubungan seseorang dan
sang pencipta. Stoll (1989), menguraikan bahwa spiritualitas sebagai konsep dua dimensi
yaitu dimensi vertikal yang merupakan hubungan dengan pencipta yang menuntun kehidupan
seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri
dengan orang lain dan dengan lingkungan. Hubungan antara dua dimensi ini berlangsung
terus menerus.
Meskipun spiriualitas sulit untuk didefinisikan, terdapat dua karakteristik penting
tentang spiritualitas yang disetujui oleh sebagian orang: (1) Spiritualitas adalah kesatuan tema
dalam kehidupan kita. (2) Spiritualitas merupakan keadaan hidup. Jika diambil dari definisi
fungsionalnya, spiritualitas adalah komitmen tertinggi individu yang merupakan prinsipyang
paling komprehensif dari perintah atau nilai final yaitu argument yang sangat kuat yang
diberikan untuk pilihan yang dibuat dalam hidup kita (Potter & Perry, 2005).
2.1.2 Spiritual dan Fase Perkembangan
Spiritualitas dimulai ketika anak-anak belajar tentang diri mereka dan hubungan
mereka dengan orang lain dan sering memulai konsep tentang ketuhanan atau nilai seperti
yang disuguhkan kepada mereka oleh lingkungan rumah mereka atau komunitas religi
mereka. Remaja sering mempertimbangkan kembali konsep masa kanak – kanak mereka
tentang kekuatan spiritual dalam pencarian identitas, mungkin dengan mempertanyakan
tentang praktik atau nilai dalam menemukan kekuatan spiritual sebagai motivasi untuk
mencari makna hidup yang lebih jelas.
Banyak orang dewasa yang mengalami pertumbuhan spiritual ketika memasuki
hubungan yang harmonis. Kemampuan untuk mengasihi orang lain dan diri sendiri secara
bermakna adalah bukti dari kesehatan spiritualitas. Sejalan dengan semakin dewasanya
seseorang, mereka sering berintrospeksi untuk memperkaya nilai dan konsep ketuhanan yang
telah lama dianut dan bermakna. Pada orang tua, sering terarah pada hubungan yang penting
dan menyediakan diri mereka bagi orang lain sebagai tugas spiritual. Menetapkan hubungan
dengan kehidupan atau nilai adalah salah satu cara mengembangkan spiritualitas. Kesehatan
spiritual yang sehat pada lansia adalah sesuatu yang memberikan kedamaian dan penerimaan
tentang diri dan hal tersebut sering didasarkan pada hubungan yang harmonis dengan Tuhan.
Penyakit dan kehilangan dapat mengancam dan menantang proses perkembangan
spiritual. Distress spiritual dapat berkembang sejalan dengan seseorang mencari makna
tentang apa yang sedang terjadi, yang mungkin dapat mengakibatkan seseorang merasa
sendiri dan terisolasi dari orang lain. Individu meungkin mempertanyakan nilai spiritual
mereka, mengajukan pertanyaan tentang jalan hidup seluruhnya, tujuan hidup dan sumber
dari makna hidup (Potter & Perry, 2005).
2.1.3 Spiritual dan Keperawatan
Secara tradisional, model holistic keperawatan tentang kesehatan telah mencakup
dimensi fisik, psikologis, kultural, perkembangan, sosial dan spiritual. Setiap dimensi
berhubungan dengan dimensi lainnya mengandung gambaran atau karakteristik yang unik.
Terdapat model pilihan yang dikembangkan oleh Farran et al, yang menunjukkan signifikansi
tentang spiritualitas sebagai suatu tema yang terintegrasi dalam hidup. Dalam model ini
dijelaskan bahwa spiritualitas mewakili totalitas keberadaan seseorang dan berfungsi sebagai
perspektif pendorong yang menyatukan berbagai aspek individual. Lebih jauh didefinisikan
model penyatuan spiritualitas dengan meringkaskan berbagai pandangan teoritis tentang
spiritualitas (Potter & Perry, 2005).
Dimensi spiritualitas menyebar di seluruh dimensi lainnya, baik itu dikenali atau
dikembangkan oleh individu atau tidak. Individu dikuatkan melalui diri yang mengakibatkan
peralihan kearah kesejahteraan. Pertumbuhan spiritual terjadi hampir pada seluruh rentang
kehidupan. Individu mencapai tahap perkembangan yang berbeda tergantung pada
karakteristik individu masing – masing dan interpretasi tentang pengalaman dan pertanyaan
dalam kehidupan.
Terdapat pandangan teoritis mengenai spiritual serta bagaimana teori ini dapat
diaplikasikan terhadap keperawatan. Menurut teori filosofi, perawat dapat meneliti esensial,
asal, sifat dan nilai keyakinan spiritual seseorang. Filosofi membantu seseorang meneliti
keyakinan seseorang guna memahami secara logis dan seberapa jauh spiritualitas menjadi
cara hidup seseorang. Hal ini memberikan pemandangan yang luas tentang dimensi spiritual.
Dari teori teologi spiritualitas dapat membantu perawat mencapai pemahaman tentang
keyakinan seseorang mengenai sifat Tuhan atau menghargai kehidupan yang lebih tinggi.
Teologi membentuk keyakinan seseorang tentang hidup dan makna dari pengalaman ini.
Melalui pandangan teori fisiologis tentang spiritrualitas membantu perawat untuk
memahami interaksi yang terjadi diantara tubuh, pikiran dan spirit dalam sehat dan sakit.
Pandangan psikologis memberi perawat suatu pemahaman tentang proses mental seseorang,
pengalaman, dan emosi serta peran spiritualitas yang dimainkan dalam ekspresi yang berbeda
pada tiap – tiap individu. Perawat akan mampu mencerna apa yang member makna hidup
pada klien, kemana klien mencari pedoman, dan dari sumber apa klien mendapat dorongan
dan harapan. Dalam teori sosiologi dijelaskan bahwa semua orang dipengaruhi oleh
masyarakat atau kelompok dimana mereka hidup. Pandangan ini membantu perawat
memahami pentingnya individu dan kelompok yang menempatkan hubungan dengan
seseorang yang mempunyai keyakinan serupa. Pandangan ini juga menunjukkan kepentingan
dan makna yang dimiliki dalam ritual dan praktik bagi individu dan kelompok (Potter &
Perry, 2005).
2.1.4 Religi / Spiritualitas dan Neuropsikiatri
Pengalaman spiritual, religi dan ritual merupakan hasil dari perubahan evolusional
dari otak yang membantu manusia untuk bersosialisasi dan membentuk komunitas dan
kelompok. Dari sudut pandang evolusional, spiritualitas atau religi dapat diibaratkan sebagai
suatu keuntungan bagi manusia dibandingkan spesies lainnya. Mungkin terdapat proses
neurochemical yang kompleks yang terjadi di otak.
Hampir semua sinaps yang dipakai untuk menjalankan sinyal pada sistem saraf pusat
manusia adalah sinaps kimia. Pada sinaps kimia ini, neuron pertama menyekresikan pada
sinaps ujung sarafnya suatu bahan kimia yang disebut neurotransmitter (atau sering disebut
bahan transmitter). Neurotransmitter ini berdistribusi secara luas di otak dan menutupi
wilayah yang spesifik. Neurotransmitter ini disintesiskan di neuron pre-sinaptik dan
dilepaskan dari neuron kedalam celah sinaptik dan bertindak mengikuti reseptor
neurotransmitter yang spesifik. Neurotransmitter hanya bisa terikat pada reseptor spesifik ini,
dan efeknya dipengaruhi oleh reseptor ini. Serotonin dan Dopamine menutupi aktivitas otak
pada orang yang ikut dalam praktik religi maupun aktivitas spiritual.
Andrew Newberg (2009), mempelajari fungsi otak pada orang yang melakukan
meditasi atau berdoa. Dia mengemukakan bahwa pengalaman mistis dan spiritual dapat
diukur dan dijelaskan melalui pathway anatomis yang kompleks. Bagian frontal lobe
merupakan salah satu bagian yang paling dipengaruhi oleh aktivitas religi yang dilakukan.
Newberg berfokus pada prefrontal cortex dan hubungannya dengan thalamus, posterior
superior lobe dan system limbic (terutama amygdala dan hippocampus) , dengan mengukur
aliran darah diotak Newberg menyimpulkan bahwa semakin seorang individu itu masuk
kedalam suatu kegiatan spiritual ataupun religi maka frontal lobe dan limbic system akan
semakin aktif.
Bagian frontal lobe merupakan bagian yang memegang peranan penting dalam
konsentrasi dan perhatian dan system limbic merupakan bagian dimana emosi dan perasaan
serta perilaku diatur. Menariknya, ketika frontal lobe dan limbic system aktif bekerja, maka
parietal lobe menjadi kurang aktif. Studi yang dilakukan dengan menilai aktivitas otak
menggunakan topographical electroenchepalogram, aliran darah otak ataupun metabolism
cerebral menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan aktivitas temporal lobe selama
melakukan aktivitas religi.
System saraf otonom (simpatik dan parasimpatik) juga mengalami aktivitas yang
signifikan selama melakukan meditasi dan aktivitas spiritual lainnya. Aktivasi yang terjadi
pada system saraf otonom ini menyebabkan penurunan denyut jantung dan laju pernapasan
yang merupakan efek dari rasa rileks yang dirasakan.
Endophenotype merupakan suatu pengukuran yang dapat dilakukan untuk menilai
hubungan genetik dan kelainan yang dimiliki individu. Dengan menghubungkan varian DNA
dan psikologikal phenotype maka akan memberikan kemudahan untuk mengetahui pengaruh
genetik pada seseorang.
2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi spiritualitas
Menurut Taylor et al (1997) dalam buku Aspek Spiritual Dalam Keperawatan, ada
beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang, yaitu:
1) Tahap perkembangan: berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan empat
agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka memiliki konsep spiritualitas yang
berbeda menurut usia, jenis kelamin, agama dan kepribadian anak
2) Keluarga: peran orang tua sangat penting dalam perkembangan spiritualitas seorang
anak karena orang tua sebagai role model. Keluarga juga sebagai orang terdekat di
lingkungan dan pengalaman pertama anak dalam mengerti dan menyimpulkan
kehidupan di dunia, maka pada umumnya pengalaman pertama anak selalu
berhubungan dengan orang tua ataupun saudaranya
3) Latar belakang etnik budaya: sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar
belakang etnik dan sosial budaya. Hal yang perlu diperhatikan adalah apapun tradisi
agama atau system keagamaan yang dianut individu, tetap saja pengalaman spiritual
tiap individu berbeda dan mengandung hal unik.
4) Pengalaman hidup sebelumnya: Pengalaman hidup baik positif maupun negatif dapat
mempengaruhi spiritualitas seseorang. Selain itu juga dipengaruhi oleh bagaimana
seseorang mengartikan secara spiritual kejadian atau pengalaman tersebut. Peristiwa
dalam kehidupan sering dianggap sebagai suatu ujian . Pada saat ini, kebutuhan
spiritual akan meningkat yang memerlukan kedalaman spiritual dan kemampuan
koping untuk memenuhinya.
5) Krisis dan perubahan: krisis dan perubahan dapat memperkuat kedalaman spiritual
seseorang. Krisis sering dialami ketika individu dihadapkan dengan hal sulit. Apabila
klien mengalami krisis, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk melakukan
kegiatan spiritual menjadi lebih tinggi.
6) Terpisah dari ikatan spiritual: individu yang biasa melakukan kegiatan spiritual
ataupun tidak dapat berkumpul dengan orang terdekat biasanya akan mengalami
terjadinya perubahan fungsi spiritual.
2.2
Body Image
2.2.1
Pengertian
Body image adalah bagaimana cara individu mempersepsikan tubuhnya, baik secara
sadar maupun tidak sadar yang meliputi ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi tubuh
berikut bagian-bagiannya. Dengan kata lain, body image adalah kumpulan sikap individu,
baik yang disadari ataupun tidak yang ditujukan terhadap dirinya. Beberapa hal terkait body
image antara lain: 1) Fokus individu terhadap bentuk fisiknya. 2) Cara individu memandang
dirinya berdampak penting terhadap aspek psikologis individu tersebut. 3) Body image
seseorang sebagian dipengaruhi oleh sikap dan respon orang lain terhadap dirinya, dan
sebagian lagi oleh eksplorasi individu terhadap dirinya. 4) Gambaran yang realistis tentang
menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa aman serta mencegah kecemasan
dan meningkatkan harga diri. 5) Individu yang stabil, realistis dan konsisten terhadap body
imagenya dapat mencapai kesuksesan dalam hidup (Mubarak, Wahit & Chayatin, 2009).
Body image adalah bagian dari konsep diri yang mencakup sikap dan pengalaman
yang berkaitan dengan tubuh, termasuk pandangan mengenai maskulinitas dan feminitas,
kegagahan fisik, daya tahan dan kapabilitas. Konsep diri adalah citra subjektif dari diri dan
pencampuran yang kompleks dari perasaan, sikap dan persepsi bawah sadar maupun sadar.
Konsep diri merupakan representasi fisik seorang individu pusat inti dari diri dimana semua
persepsi dan pengalaman terorganisasi. Konsep diri adalah kombinasi dinamis yang terbentuk
selama bertahun-tahun dan didasarkan pada hal berikut ini: (1) Reaksi orang lain terhadap
tubuh seseorang. (2) Persepsi berkelanjutan tentang reaksi orang lain terhadap diri. (3)
Hubungan diri dan orang lain. (4) Struktur kepribadian. (5) Persepsi terhadap stimulus yang
mempunyai dampak pada diri. (6) Pengalaman baru atau sebelumnya. (7) Perasaan saat ini
tentang fisik, emosional, dan sosial diri. (8) Harapan tentang diri
Body image juga terbentuk selama bertahun-tahun sejalan dengan manusia belajar
mengenai tubuh dan struktur serta fungsi, kemampuan dan keterbatasan mereka. Body image
dapat berubah dalam beberapa jam, hari, minggu, atau bulan bergantung pada stimuli
eksternal pada tubuh dan perubahan aktual dalam penampilan, struktur atau fungsi. Hal yang
paling berpengaruh dalam konsep Body image adalah cara orang lain melihat dan bereaksi
pada tubuh seseorang.
Body image membentuk persepsi seseorang tentang tubuh, baik secara internal
maupun eksternal. Persepsi ini mencakup perasaan dan sikap yang ditujukan pada tubuh.
Body image dipengaruhi pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik dan
oelah persepsi dari pandangan orang lain. Body image dipengaruhi oleh pertumbuhan kognitif
dan perkembangan fisik. Perubahan perkembangan yang normal seperti pertumbuhan dan
penuaan mempunyai efek penampakan yang lebih besar pada tubuh dibandingkan dengan
aspek lainnya dari konsep diri. Sikap dan nilai kultural serta sosial juga mempengaruhi Body
image. Dalam kultur barat, wanita yang cantik, muda adalah hal-hal yang ditekankan dalam
masyarakat, semua ini didapat dari apa yang biasa ditayangkan di program televisi.
Sedangkan dalam kultur timur, penuaan dipandang secara sangat positif, karena orang dengan
usia tua dihormati.
Body image bergantung hanya sebagian pada realitas tubuh. Seseorang umumnya
tidak mengadaptasi dengan cepat terhadap perubahan dalam fisik tubuh. Perubahan fisik
mungkin tidak dimasukan ke dalam Body image ideal seseorang. Misalnya saja orang yang
mengalami penurunan berat badan masih tidak menganggap diri mereka kurus. Perubahan
dalam penampilan, struktur atau fungsi bagian tubuh akan membutuhkan perubahan dalam
Body image. Meskipun terjadi perubahan pada bagian yang tak terlihat oleh orang lain,
perubahan tubuh mempunyai efek yang signifikan pada individu. Selain itu, penurunan atau
penambahan berat badan juga mengubah Body image seseorang.
Persepsi seseorang mengenai perubahan pada tubuhnya dapat dipengaruhi oleh
bagaimana perubahan tersebut terjadi selain itu respons orang lain mengenai perubahan yang
dialami juga mempengaruhi persepsi seseorang mengenai perubahan yang dialami tubuhnya.
Makna dari kehilangan fungsi atau perubahan dalam penampilan dipengaruhi oleh persepsi
individu tentang perubahan yang dialaminya. Body image terdiri dari elemen yang ideal dan
nyata. Makin besar makna penting dari tubuh atau bagian tubuh yang spesifik, maka makin
besar ancaman yang dirasakan akibat perubahan dalam Body image.
Untuk meraih kembali konsep diri dan harga diri yang positif dan untuk
mempertahankan kesehatan yang baik, mereka harus mengadaptasi stressor Body image
mereka. Seseorang yang mengalami perubahan Body image sering merasa ditolak atau
terasing. Perasaan tak berdaya juga merupakan perasaan yang umum pada orang yang
mengalami perubahan Body image. Media yang sering menyajikan cerita positif mengenai
orang yang mengalami perubahan tubuh dapat memberikan peran model positif bagi individu
yang mengalami stressor akibat perubahan tubuh yang dialaminya, begitu juga bagi keluarga,
teman dan masyarakat sekitar mereka secara keseluruhan.
Pada masa remaja pergolakan fisik, emosional, dan sosial sering terjadi. Anak remaja
dipaksa untuk mengubah gambaran mental mereka tentang diri mereka. Perubahan fisik
dalam ukuran badan dan penampilan menyebakan perubahan dalam persepsi diri dan
penggunaan tubuh. Anak remaja menghabiskan banyak waktu di depan cermin untuk mencari
perbaikan dari penampilan mereka sebanyak mungkin, hal ini menyebabkan distress yang
besar berkaitan dengan ketidaksempurnaan tubuh yang dirasakan. Pada dewasa muda, konsep
diri dan Body image adalah kreasi sosial dan penghargaan dan penerimaan diberikan untuk
penampilan normal dan perilaku yang sesuai berdasarkan standar sosial. Konsep diri secara
konstan terus berkembang dan dapat diidentifikasi dalam nilai, sikap dan perasaan tentang
diri. (Potter & Perry, 2005)
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Body image
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi Body image individu, baik dari dalam
diri individu itu maupun dari luar diri individu tersebut.
1) Berat badan:
Berat badan dapat menjadi salah satu faktor kuat terjadinya Body image yang negatif pada
individu (Xanthopoulos et al., 2011). Orang biasanya akan cenderung membandingkan
tubuhnya dengan orang lain yang dilihatnya atau ada disekitarnya. Individu yang
memiliki berat badan berlebih atau mengalami peningkatan berat badan akan mengalami
gangguan Body image (Goldfield et al., 2010).
2) Media masa:
Media masa memegang peranan penting dalam terjadinya gangguan Body image.
Penampilan model maupun selebritis di televisi dengan wanita yang memiliki bentuk
tubuh kurus dan laki-laki yang memiliki bentuk tubuh besar dan berotot juga dapat
mempengaruhi kepuasan individu terhadap bentuk tubuhnya. Walaupun hal ini tidak
mempengaruhi semua orang.
3) Faktor psikologi individu:
Pada studi yang pernah dilakukan, ditemukan adanya hubungan antara depresi dan
gangguan Body image pada laki-laki maupun perempuan(Cohane et al., 2001). Walaupun
perempuan lebih cenderung mengalami depresi yang berkepanjangan dibandingkan lakilaki dengan masalah yang sama.
4) Pengaruh dari orang lain:
Orang tua dan teman sebaya dapat menjadi pengaruh yang baik untuk individu dalam
membangun kepercayaan dirinya. Holsen et al (2012) mengungkapkan bahwa individu
yang memiliki hubungan baik dengan orang lain akan cenderung memiliki Body image
yang baik berbeda dengan orang yang tidak memiliki hubungan baik dengan orangtua
maupun teman sebayanya. Tekanan sosial dan pendapat orang lain mengenai penampilan
dan diri seseorang juga dapat menjadi hal positif maupun negatif yang dapat
mempengaruhi pandangan seseorang terhadap dirinya. Wanita memang lebih cenderung
mengalami tekanan ini untuk memiliki tubuh ideal dibandingkan laki-laki (Esnaola et al.,
2010).
2.2.3 Komponen Body image
Ada beberapa ahli yang mengemukakan mengenai komponen body image. Salah
satunya adalah Cash (2008) yang mengemukakan adanya lima komponen body image, yaitu :
1) Appearance Evaluation (Evaluasi Penampilan), yaitu penilaian individu mengenai
keseluruhan tubuh dan penampilan dirinya, apakah menarik atau tidak menarik,
memuaskan atau tidak memuaskan.
2) Appearance Orientation (Orientasi Penampilan), perhatian individu terhadap
penampilan dirinya dan usaha yang dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan
penampilan dirinya.
3) Body Areas Satisfaction (Kepuasan terhadap Bagian Tubuh), yaitu kepuasan individu
terhadap bagian tubuh secara spesifik, seperti wajah, rambut, payudara, tubuh bagian
bawah (pinggul, pantat, kaki), tubuh bagian tengah (pinggang, perut), dan keseluruhan
tubuh.
4) Overweight Preocupation (Kecemasan Menjadi Gemuk), yaitu kecemasan menjadi
gemuk, kewaspadaan individu terhadap berat badan, melakukan diet ketat, dan
membatasi pola makan.
5) Self-Clasified Weight (Persepsi terhadap Ukuran Tubuh), yaitu persepsi dan penilaian
individu terhadap berat badannya, mulai dari kekurangan berat badan sampai
kelebihan berat badan.
2.2.4 Pengaruh body image terhadap perkembangan kepribadian
Body image, yaitu perasaan individu yang bersifat subjektif terhadap tubuh diteorikan
sebagai komponen utama kepribadian (Rierdan & Koff,2009). Body image dianggap sebagai
dasar dari perkembangan kepribadian. Hal ini menyebabkan variasi dalam body image
dihubungkan dengan perbedaan individu dalam hal kepribadian dan pengalaman hidup.
Perbedaan body image dihubungkan dengan perbedaan tingkat harga diri dan tingkat depresi
individu. Individu yang memiliki body image positif cenderung memiliki harga diri yang
lebih tinggi serta kecenderungan depresi yang lebih rendah dibandingkan dengan individu
yang memiliki body image negatif.
Keliat (2006) menyatakan bahwa body image berhubungan dengan kepribadian. Cara
individu memandang dirinya mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologisnya.
Pandangan yang realistis terhadap diri serta kemampuan menerima keadaan tubuh akan
membuat individu terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri individu. Selain
itu, timbul masalah psikologis lainnya, seperti mudah marah, merasa gagal dan inferior,
masalah ingatan, kecemasan, dan gangguan penyesuaian.
Papalia & Olds (2008) menyatakan bahwa wanita yang memiliki persepsi positif
terhadap body image lebih mampu menghargai dirinya. Individu tersebut cenderung menilai
dirinya sebagai orang dengan kepribadian cerdas, asertif, dan menyenangkan. Dacey dan
Kenny (1994) mengemukakan bahwa persepsi negatif remaja terhadap body image akan
menghambat perkembangan kemampuan interpersonal dan kemampuan membangun
hubungan yang positif dengan remaja lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa body image individu memiliki
pengaruh terhadap kepribadian. Individu yang memiliki body image positif cenderung
memiliki kepribadian sehat yang diasosiasikan dengan peningkatan kualitas hidup, seperti
peningkatan harga diri, kepercayaan diri, dan kesehatan mental. Sebaliknya, individu yang
memiliki body image negatif cenderung mengembangkan kepribadianya yang tidak sehat,
seperti penurunan harga diri, kemampuan interpersonal yang buruk, bahkan dalam banyak
kasus berkembang menjadi patologis, seperti anorexia dan bulimia.
Download