tim kajian integrasi model makro

advertisement
LAPORAN
TIM KAJIAN INTEGRASI
MODEL MAKRO
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN KEBIJAKAN FISKAL
PUSAT KEBIJAKAN EKONOMI MAKRO
2012
Kajian Integrasi Model Makro
Tim Kajian Integrasi Model Makro
Pusat Kebijakan Ekonomi Makro
1
Daftar Isi
Bab 1 Kebijakan Fiskal dan Model Ekonomi 3
Bab 2 Identifikasi Model Ekonomi di BKF 11
Bab 3 Model Proyeksi Asumsi Makro APBN 15
Bab 4 Model APBN 37
Bab 5 MODFI: Macro Model of MoF Indonesia 58
Bab 6 Model Computable General Equilibrium (CGE) 67
Bab 7 Langkah Integrasi dan Kegiatan 2012 91
Bab 8 Tindak Lanjut 99
Referensi 101
2
Bab 1
Kebijakan Fiskal dan Model Ekonomi
Badan Kebijakan Fiskal atau disingkat BKF merupakan salah satu unit eselon satu di
bawah Kementerian Keuangan. BKF dibentuk pada tahun 2006 sebagai hasil transformasi
dari kelembagaan di Kementerian Keuangan. BKF merupakan peningkatan tugas dari
organisasi sebelumnya yang lebih fokus pada aspek pengkajian yaitu Badan Pengkajian
Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional (Bapekki) menjadi organisasi yang
bertugas untuk memformulasikan kebijakan pemerintah di bidang fiskal.
BKF mengemban misi di bidang kebijakan fiskal, yaitu:
1.
menyajikan informasi dan pemantauan ekonomi dan sektor keuangan yang terkini;
2.
mewujudkan rumusan kebijakan pendapatan Negara, APBN, serta ekonomi makro
yang dipercaya dengan didukung hasil kajian (research based policy);
3.
mewujudkan pengelolaan risiko fiskal yang pasti dan terukur;
4.
mewujudkan pelaksanaan kerjasama ekonomi dan keuangan internasional yang
memberikan manfaat bagi kebijakan fiskal dan perekonomian;
5.
mewujudkan SDM yang profesional melalui peningkatan kompetensi dan disiplin
pegawai; dan
6.
memutakhirkan instrumen kebijakan yang terkini dan aplikatif.
Dengan rumusan misi tersebut di atas BKF memiliki tugas pokok sebagai berikut:
1.
Penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program analisis di bidang kebijakan fiskal;
2.
Pelaksanaan analisis dan pemberian rekomendasi di bidang kebijakan fiskal;
3.
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan analisis di bidang kebijakan fiskal;
dan
4.
Pelaksanaan administrasi Badan Kebijakan Fiskal.
BKF merumuskan misi organisasinya “menjadi unit terpercaya dalam perumusan
kebijakan fiskal yang antisipatif dan responsif”. Harapannya BKF mampu menjadi
lembaga yang terpercaya karena dukungan kompentensi sumber daya manusia yang unggul
dan telah menerapkan prinsip-prinsip good governance dalam pengorganisasiannya dalam
melakukan formulasi berbagai kebijakan fiskal baik yang memiliki dimensi jangka pendek
3
maupun jangka panjang yang direpresentasikan dalam susunan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).
Konsep umum Kebijakan Fiskal yang menjadi ruang lingkup tugas BKF dapat
dirangkum dalam gambaran skematik berikut:
Gambar 1.1: Konsep Umum Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal memiliki dimensi yang luas. Kalau didetailkan maka kebijakan
fiskal setidaknya memiliki tiga aspek utama, yaitu: (1) kebijakan yang terkait pendapatan
negara; (2) kebijakan yang terkait belanja negara; dan (3) kebijakan yang terkait
pembiayaan negara (below the line APBN). Masing-masing aspek tersebut pun memiliki
banyak sekali jenis kebijakan, misalnya untuk aspek pendapatan negara ada kebijakan
perpajakan, cukai, dan pendapatan negara bukan pajak; untuk aspek belanja negara ada
kebijakan alokasi belanja modal, subsidi dan lain-lain; dan untuk aspek pembiayaan ada
kebijakan utang luar negeri, kebijakan dividen BUMN, penyertaan modal negara (PMN)
dan lain-lain. Penyebutan beberapa kebijakan ini hanya sekedar untuk memberikan contoh
saja bahwa kebijakan fiskal itu beraneka ragam dan memiliki dimensi yang luas.
Menurut Musgrave dan Musgrave (1973) kebijakan fiskal memiliki tiga fungsi
utama, yaitu: (1) fungsi alokasi, dalam upaya penyediaan barang publik (public good); (2)
4
fungsi distribusi, dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat miskin dan mengurangi
ketimpangan dalam masyarakat misalnya melalui instrumen subsidi, pajak progresif atau
skema pajak-transfer (tax transfer scheme); dan (3) fungsi stabilisasi, dalam upaya menjaga
kesinambungan pertumbuhan ekonomi, stabilisasi harga (inflasi), dan ketenagakerjaan
serta menjaga neraca perdagangan dan neraca pembayaran tetap sehat.
Dengan melihat nature kebijakan fiskal sebagaimana diuraikan di atas maka
kebijakan fiskal akan memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian nas. Hal ini
tercermin dari besaran APBN yang saat ini mencapai Rp1.500 triliun atau setara dengan
20% PDB Nasional.
1.1. Pembentukan Unit Pengelola Kebijakan Fiskal
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 6, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara,
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan
pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan
tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil
Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan.
Lebih lanjut dalam pasal 8 undang-undang tersebut juga ditegaskan beberapa tugas
Menteri Keuangan sebagai pengelola fiskal diantaranya adalah menyusun kebijakan fiskal
dan kerangka ekonomi makro, menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan
APBN. Tugas tersebut diemban oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sebagai salah satu
unit eselon I di Kementerian Keuangan.
Dalam roadmap Departemen Keuangan1 Tahun 2005-2009 dijelaskan bahwa
perubahan organisasi Departemen Keuangan difokuskan pada kejelasan pembagian
kewenangan dalam pengelolaan keuangan Negara. Kewenangan dalam pengelolaan
keuangan negara pada Departemen Keuangan terbagi ke dalam 3 (tiga) area besar yaitu:
a. Kebijakan fiskal (fiscal policy), mencakup perumusan kerangka ekonomi makro dan
pokok-pokok kebijakan fiskal;
b. Perencanaan anggaran (budget planning),
mencakup perencanaan, alokasi, dan
penyusunan APBN; dan
c. Pelaksanaan
anggaran
(budget
execution),
mencakup
pelaksanaan
dan
pertanggungjawaban APBN.
1
Pada tahun 2005 masih menggunakan nomenklatur Departemen Keuangan, belum Kementerian Keuangan
5
Gambar 1.2: Pembagian Kewenangan Pengelolaan Keuangan Negara
Sumber: Roadmap Depertaman Keuangan, 2005-2009
Sebelumnya adanya roadmap, fungsi kebijakan fiskal tersebar di beberapa unit
pelaksana, seperti fungsi kebijakan PNBP di DJAPK, fungsi kebijakan perpajakan di
Ditjen Pajak, fungsi kebijakan kepabeanan dan cukai di Ditjen BC, dan fungsi kebijakan
ekonomi dan keuangan daerah termasuk pajak dan restribusi daerah di Badan Pengkajian
Ekonomi Keuangan dan Kejasama Internasional (Bapekki). Sebagai organisasi terpadu,
Departemen Keuangan membentuk unit eselon I yaitu Badan Kebijakan Fiskal (BKF)
untuk
menyatukan fungsi kebijakan fiskal secara menyeluruh, termasuk kebijakan
ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, serta kebijakan PNBP, perpajakan, dan
kepabeanan dan cukai.
Landasan hukum perubahan nama Bapekki menjadi Badan
Kebijakan Fiskal (BKF) adalah Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2006. Keppres
tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Keuangan tentang organisasi dan tata
kerja Departemen Keuangan dengan PMK Nomor: 100/PMK/2008.
6
Gambar 1.3: Proses Terbentuknya BKF
Sebelum Roadmap
Sesudah Roadmap
Sumber: Roadmap Depertaman Keuangan, 2005-2009
1.2. Tugas dan Fungsi BKF
Seiring dengan kebutuhan organisasi, melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor: PMK
Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Keuangan, peran
BKF diperluas dengan bertambahnya unit yang menangani kebijakan perubahan iklim.
Tugas utama Badan Kebijakan Fiskal (BKF) adalah melaksanakan analisis di bidang
kebijakan fiskal. Dalam melaksanakan tugas tersebut, BKF mempunyai fungsi:
a. penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program analisis di bidang kebijakan fiskal
b. pelaksanaan analisis dan pemberian rekomendasi di bidang kebijakan fiskal
c. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan analisis di bidang kebijakan fiskal
Dalam melaksanakan tugas analisis di bidang kebijakan fiskal, proses penyusunan
kebijakan dilaksanakan melalui mekanisme sebagai berikut:
(1)
Setiap usulan rumusan kebijakan fiskal dari Direktorat Jenderal/Badan di lingkungan
Departemen Keuangan disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Badan Kebijakan
Fiskal.
7
(2)
Badan Kebijakan Fiskal atas penugasan Menteri Keuangan, menganalisis dan
merumuskan rekomendasi atas usulan rumusan kebijakan, dan tembusannya
disampaikan
kepada
Direktorat
Jenderal/Badan
terkait
untuk
mendapatkan
tanggapan, sebelum ditetapkan sebagai materi dalam Keputusan/Peraturan Menteri
Keuangan, Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan di bidang fiskal.
(3)
Setiap usulan rumusan rekomendasi kebijakan fiskal dari Badan Kebijakan Fiskal
disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Direktorat Jenderal/Badan terkait.
(4)
Direktorat Jenderal/Badan terkait atas penugasan Menteri Keuangan, menganalisis
dan menyampaikan kepada Menteri Keuangan tanggapan atas usulan rumusan
rekomendasi
kebijakan
fiskal
sebelum
ditetapkan
sebagai
materi
dalam
Keputusan/Peraturan Menteri Keuangan, Presiden, dan Peraturan Perundangundangan di bidang fiskal.
Gambar 1.4: Triangle Proses Perumusan Kebijakan Fiskal
MENTERI
KEUANGAN
Perumusan
Rekomendasi
Perumusan
Kelayakan
Analisis
BKF
UNIT
ESELON I
- Koordinasi
- Evaluasi
Sebagai unit yang mengemban tugas dalam analisis dibidang kebijakan fiskal, BKF
didukung unit eselon II yang merupakan miniatur Eselon I di Kementrian Keuangan
khususnya yang terkait dengan kebijakan fiskal yang tercermin dalam APBN.
8
Gambar 1.5: Struktur Badan Kebijakan Fiskal
Untuk melaksanakan fungsi BKF sebagai unit analisis kebijakan fiskal, masingmasing unit eselon II dalam proses perumusan rekomendasi, analisis dan evaluasi
kebijakan fiskal didukung berbagai alat analisis yang sesuai dengan tugas masing-masing
fungsi unit. Dengan analisis yang memadai, proses perumusan, analisis dan evaluasi
kebijakan fiskal masing-masing unit dalam mendukung BKF sebagai unit analisis
kebijakan fiskal akan menjadi lebiuh kredible dan terpercaya. Alat analisis masing-masing
unit di BKF seperti dibahas dalam sub bab berikut.
9
1.3. Alat Analisis di BKF
Untuk mendukung analisis dan perumusan kebijakan fiskal diperlukan bantuan alat analisis
pemodelan ekonomi. Selama lima tahun terakhir, alat analisis dalam bentuk model
ekonomi telah bertumbuh cukup pesat untuk mendukung pelaksanaan tugas. Model-model
ini bertumbuh secara bottom up sesuai dengan bidang tugas masing-masing di level pusat.
Di satu sisi hal ini merupakan fenomena yang menggembirakan, namun di sisi yang lain
memerlukan tambahan perhatian agar supaya model-model yang tumbuh tersebut dapat
dimanfaatkan secara optimal.
Sejak akhir tahun 2011, dibentuklah embrio Tim Integrasi dan Pengembangan Model
BKF dan baru secara resmi bertugas mulai Januari 2012 untuk:
1. Mengidentifikasi model-model ekonomi yang telah dikembangkan unit-unit di BKF;
2. Melakukan integrasi model-model yang ada;
3. Melakukan pengembangan model; dan
4. Mengembangkan pola kerja terpadu.
10
Bab 2
Identifikasi Model Ekonomi di BKF
Model ekonomi bagi seorang analis kebijakan sama pentingnya seperti senjata bagi para
prajurit atau alat navigasi bagi para pengembara. Bisa dibayangkan betapa susahnya
seorang prajurit mengemban tugasnya dalam mengamankan negara dari berbagai ancaman,
akan tetapi nir perlengkapan persenjataan. Bagi seorang pengembara yang tidak dilengkapi
dengan seperangkat alat navigasi maka akan membuat mereka kehilangan arah, tersesat
dan terjebak dalam suatu kondisi ‘in the middle of nowhere’.
Model ekonomi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai simplifikasi atas
berbagai permasalahan yang kompleks, sehingga dapat diketahui strukturnya secara lebih
jelas, berbagai keterkaitan antarvariabelnya dan dapat diukur perubahan-perubahan di
dalamnya. Beberapa definisi lain lihat di BOX 2.1.
BOX 2.1: Beberapa Definisi Tentang Model Ekonomi
“A model is a simple description of a system which used for explaining how
something works or calculating what might happen, etc: a mathematical model for
determining the safe level of pesticides in food, a realistic model of evolution.”
(Hornby, 2000)
“A model is a formal framework for representing the basic features of a complex
system by a few central relationships. Models take the form of graphs, mathematical
equation, and computer programs.” (Samuelson and Nordhaus, 1998)
“A model or theory makes a series of simplification from which it deduces how
people will behave. It is a deliberate simplification of reality.” (Begg et al., 2000)
“An economic model is a simplified description of reality, designed to yield
hypotheses about economic behaviour that can be tested. An important feature of an
economic model is that it is necessarily subjective in design because there are no
objective measures of economic outcomes. Different economists will make different
judgments about what is needed to explain their interpretations of reality.”
(Ouliaris, 2011)
11
Proses simplifikasi ini perlu dilakukan untuk memudahkan proses komunikasi bagi
para stakeholder, utamanya untuk membangun semacam bridge communication antara
analis/peneliti dengan pengambil kebijakan. Dalam proses simplifikasi ini, ada peran
justifikasi yang dilakukan oleh modeller-nya, yang sering kali dipengaruhi oleh tingkat
pemahaman dan karakter seorang modeler. Penentuan asumsi, pemilihan variabel,
penentuan garis hubungan dan sebagainya sangat mungkin terbuka ruang ketidaktepatan.
Namun demikian, sebuah model tetaplah berguna sebagai alat bantu analisis. Tantangannya
ialah bagaimana untuk tetap menjaga atau meningkatkan kualitas model ekonomi sebagai
alat analisis yang andal.
Dalam dekade terakhir, sejalan dengan pertumbuhan peran dan fungsi BKF, modelmodel ekonomi tumbuh pesat sebagai alat bantu yang vital dalam analisis dan formulasi
dan kebijakan fiskal. Model-model ekonomi ini tumbuh di setiap unit sesuai dengan bidang
tugas dan pekerjaannya. Misalnya, di Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM), tumbuh
Model Proyeksi Asumsi Makro, di Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal (PPRF), tumbuh
Model Stresstest BUMN dan Model Dana Cadangan Risiko Fiskal, dan seterusnya. Dari
proses identifikasi yang dilakukan maka hasilnya dapat diikhtisarkan dalam Tabel 2.1.
Dalam proses identifikasi model ekonomi di BKF, selain ditemukan tumbuhnya
berbagai model ekonomi sebagai alat bantu, yang hal ini merupakan fenomena yang
menggembirakan, namun ditemukan juga beberapa fakta yang perlu dicatat untuk
dicarikan solusinya. Beberapa fakta tersebut, antara lain:
1. Terjadi overlapping antarmodel, misalnya pada Model Dana Cadangan Risiko Fiskal
dan Model Sensitivitas APBN. Kedua model ini sama-sama mengandalkan sensitivitas
variable ekonomi, namun karena pendekatan yang berbeda maka memberikan hasil
yang berbeda;
2. Antarmodel yang seharusnya terkait tetapi karena tumbuh di masing-masing Pusat
sesuai dengan kebutuhannya ternyata antarmodel ini belum saling mengait satu sama
lain. Misalnya, model proyeksi asumsi makro dan model lainnya. Seyogyanya model
yang lain tidak perlu melakukan proses forecasting atas variable ekonomi makro tetapi
cukup memanfaatkan hasil dari model proyeksi ini;
3. Terdapat beberapa model yang vakum karena para modelernya sedang menjalani tugas
studi lanjut atau mendapatkan penugasan di tempat yang lain. Contoh model yang
sebetulnya vital dan masih sangat relevan untuk digunakan, akan tetapi vakum ialah
Model MODFI;
12
4. Belum terdapat suatu mekanisme yang efektif untuk sharing data dan informasi
antarmodel. Salah satu konsekuensi dari kondisi ini ialah terjadinya duplikasi dalam
pengadaan data;
5. Konsekuensi atas beberapa model yang sifatnya ‘stand-alone’ ini, BKF belum mampu
memberikan jaminan atas hasil-hasil pemodelannya terhadap suatu isu yang
komprehensif, apakah hasilnya konsisten dan konvergen atau tidak. Hal ini membuka
kebutuhan perlunya integrasi atas model-model ekonomi yang sudah ada; dan
6. Terdapat beberapa area analisis yang belum ada model ekonomi sebagai alat bantunya,
sehingga dibutuhkan pengembangan model baru.
Tabel 2.1: Ikhtisar Model Ekonomi di BKF
Model
Deskripsi
Output
Unit
Model
Proyeksi
Asumsi
Makro
Dikembangkan dari model NAFF (Australia);
terdiri atas beberapa model proyeksi asumsi
makro: PDB growth (expenditure/sectors),
inflation (monthly), oil price (ARIMA)
Angka proyeksi:
- Pertumbuhan ekonomi
- Ekspor-impor (BoP)
- Inflasi
- Harga minyak
PKEM
Model
Perpajakan
Terdiri atas: Monitoring Perpajakan, Target
Penerimaan Perpajakan, Dampak Kebijakan,
Potensi Penerimaan Perpajakan, dan Target
Penerimaan Perpajakan per Sektor
Proyeksi penerimaan pajak: PPh,
PPN, PBB, Pajak lainnya, Bea masuk,
Bea keluar.
PKAPBN
Model
Belanja
Konversi belanja APBN ke dalam IO; analisis
dampak belanja APBN
Dampak belanja APBN ke:
- output
- pendapatan
- tenaga kerja
- kemiskinan
PKAPBN
Proyeksi:
- Subsidi BBM
- Subsidi Listrik
PKAPBN
Model
Subsidi:
BBM dan
Listrik
- Perhitungan Subsidi BBM
- Harga Keekonomian BBM Bersubsidi
- Perhitungan Subsidi Listrik
Model
Risiko
Fiskal
Model sensitivitas asumsi makro terhadap
APBN; menghitung besaran alokasi cadangan
risiko fiskal
- Angka sensitivitas
- Estimasi kebutuhan alokasi
cadangan risiko fiskal
PPRF
Model
Stress test
BUMN
Sensitivitas variabel makro thd indikator risiko
fiskal dari BUMN:
- Kontribusi bersih BUMN terhadap APBN
- Utang bersih BUMN
- Kebutuhan pembiayaan bruto BUMN
- Analisis skenario: baseline,
optimis, dan pesimis
- Hasil stress test atas: pertumbuhan
ekonomi, nilai tukar, harga
minyak, dan suku bunga
PPRF
Model
APBN
Model sensitivitas dan proyeksi komponen
APBN dalam format I-Account
Proyeksi I-Account APBN (Baseline)
atau pun policy measure
PKAPBN
MODFI
Macro-micro simultaneous model; tiga blok
persamaan: pemerintah, sektor riil, dan harga
Dampak perubahan ekonomi - makro
atau sektoral (9 sektor) ke APBN atau
sebaliknya
-
Model
CGE
Model CGE di BKF:
- AGEFIS/AGEFIS-E (berbasis SAM 2005)
- INDOFISCAL (SAM, IO, Susenas 2005)
Dampak berbagai kebijakan terhadap
variable makro, industri,
ketenagakerjaan, dan kemiskinan
-
13
Bagian berikutnya dari laporan ini akan menyajikan deskripsi masing-masing model
tersebut di atas secara lebih detail. Hal ini agar dapat diperoleh gambaran masing-masing
model itu dalam proses membantu tugas dan fungsi BKF dalam analisis dan formulasi
kebijakan fiskal. Setelah itu baru dijelaskan kegiatan Tim Integrasi dan Pengembangan
Model BKF selama periode tahun 2012 ini.
14
Bab 3
Model Proyeksi Asumsi Makro APBN
Dalam melakukan analisis dan perkiraan besaran-besaran asumsi, proses kerja tim
didasarkan pada berbagai informasi, indikator-indikator, serta perangkat model ekonomi
sebagai alat bantu utama untuk memberikan perkiraan arah pergerakan, besaran variabel
ekonomi yang cukup realistis serta dukungan penjelasan sebab akibat yang dapat
dipertanggung jawabkan. Namun dalam penentuan rekomendasi besaran asumsi, tidak
semata-mata menggunakan angka-angka yang dihasilkan oleh model, namun juga
disertakan pertimbangan-pertimbangan khusus yang mungkin tidak tertangkap oleh model
ekonomi dasar yang digunakan.
Pada prinsipnya, perangkat bantu analisis model ekonomi digunakan dalam proyeksi
dan rekomendasi masing-masing besaran asumsi dasar ekonomi makro. Namun dalam
prakteknya, tidak semua model yang telah disusun mampu memberikan perkiraan yang
cukup mendekati realita. Dalam kaitan ini, pendekatan-pendekatan lain yang dianggap
mampu memberikan hasil yang cukup baik juga akan digunakan. Lebih jauh lagi, perlu
terus dikembangkan model-model atau perangkat bantu analisa yang lebih akurat dalam
penentuan dan perkiraan besaran asumsi dasar ekonomi makro.
Di sisi lain, untuk penetapan asumsi-asumsi dasar harga minyak mentah Indonesia
dan lifting minyak mentah dan gas, lebih banyak didasarkan pada hasil diskusi dan
masukan dari unit lain, dalam hal ini Kementerian ESDM dan BP Migas. Hal tersebut
dilakukan mengingat bahwa besaran-besaran asumsi tersebut menjadi wewenang dan
tanggung jawab Kementerian ESDM dan BP Migas (di bulan November tahun 2012, BP
Migas dibubarkan).
3.1. Model Pertumbuhan Ekonomi
Dalam melakukan analisis dampak dan proyeksi pertumbuhan ekonomi, tim asumsi
menggunakan model ekonomi berbasis struktur pendapatan nasional, yang telah dibangun
sejak tahun 2008 bersama dengan wakil-wakil dari Australian Treasury. Perangkat analisa
tersebut terus dievaluasi dan diperbaharui setiap tahun untuk tetap menjaga dan
meningkatkan akurasi perhitungan yang dihasilkan.
15
Perangkat analisis yang diberi nama NATACCS tersebut dibangun dengan
menggunakan program Microsoft excel serta Perangkat Statistik Ekonometrik E-Views.
NATACCS terdiri dari 4 blok utama yang saling terkait satu sama lain.
1) NATCEIC adalah file tempat penyimpanan data. File ini terhubung dengan database
CEIC untuk memperbaharui/meng-update data PDB kuartalan, sebagai input dalam
Eviews. Isi dari file NATCEIC ada 5 sheet yaitu (i) BPS GDPE, (ii) BPS GDPP, (iii)
Seas, (iv) Eviewsin, dan (v) Eviewsout
2) NATACCS-GDPE adalah file untuk melakukan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari
sisi pengeluaran. Didalam file ini juga terdapat asumsi yang digunakan (misalnya
inflasi, nilai tukar, harga minyak dll). Isi dari file NATACCS GDPE ada 7 sheet yaitu
(i) asumsi, (ii) tabel ringkasan, (iii) PDB ringkasan, (iv) konsumsi, (v) investasi,
(vi) eksternal, dan (vii) tabel dan grafik
3) NATACCS-GDPP adalah file untuk melakukan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari
sisi produksi atau sektoral. Sama seperti halnya NATCCS GDPE, didalam file ini juga
terdapat asumsi yang digunakan (misalnya inflasi, nilai tukar, harga minyak dll). Isi
dari file NATACCS GDPP ada sheet yaitu (i) asumsi, (ii) tabel ringkasan, (iii) PDB
ringkasan, (iv) Pertanian, (v) Pertambangan, (vi) Industri pengolahan, (vii) Listrik,
(viii) Perdagangan, (ix) Pengangkutan dan Komunikasi, (x) Keuangan, dan
(xi) Jasa
4) FORECASTING SPREADSHEET
adalah file tempat melakukan proyeksi
pertumbuhan ekonomi dari beberapa alternatif model ekonometrika hasil pengolahan
dengan
Eviews.
File
ini
berisi
sheet
yaitu
(i)
ringkasan,
(ii)
data,
(iii) Eviews input, (iv) eviews output, (v) GDP model, (vi) GDPE models, dan (vii)
GDPP models.
A. Variabel dan Data Yang Digunakan
Model ini menggunakan beberapa variabel asumsi. Penetapan variabel asumsi ini
didasarkan pada alasan bahwa variabel ini digunakan sebagai asumsi makro dalam APBN
dan mudah diramalkan atau banyak pihak yang dapat meramalkan. Proyeksi dilakukan
dengan menggunakan beberapa model ekonometrika sebagai bahan perbandingan dan
akan dipilih model yang terbaik.
16
Variabel independen yang dipergunakan, yaitu (i) Major Trading Partner (MTP)
Growth, (ii) harga minyak mentah Indonesia (OILIDR), (iii) Indeks Harga Konsumen
(IHK atau CPI), dan (iv) kredit perbankan (CREIDR). Berikut penjelasan dari masingmasing variabel yang digunakan :
1. Pertumbuhan ekonomi negara partner dagang utama atau Major Trading Partner
(MTP) Growth. Adalah angka indeks komposit pertumbuhan ekonomi negara-negara
partner dagang utama Indonesia. Dalam indeks MTP ini ada 13 negara partner dagang
utama Indonesia. Pemilihan negara partner dagang utama didasarkan pada besarnya
volume perdagangan negara tersebut dengan Indonesia. Periode yang dipergunakan
adalah kuartalan. Variabel ini bisa diartikan mewakili sektor eksternal (ekspor dan
impor).
2. Harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Oil Price (ICP). ICP merupakan
basis harga minyak mentah yang digunakan sebagai asumsi dalam APBN. Sumber data
ICP adalah dari Kementerian ESDM. Variabel ini mewakili sektor industri manufaktur.
3. Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI) adalah suatu indeks
yang mengukur harga rata-rata dari barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah
tangga (household). Persentase perubahan IHK merupakan tingkat inflasi suatu negara
dan juga sebagai pertimbangan untuk penyesuaian gaji, upah, uang pensiun, dan
kontrak lainnya. Variabel inflasi digunakan untuk mewakili pengeluaran konsumsi
masyarakat dan pemerintah. Semakin tinggi tingkat inflasi maka konsumsi akan
semakin rendah. Rendahnya konsumsi pada gilirannya akan membuat pertumbuhan
ekonomi menjadi lebih rendah.
4. Kredit perbankan. Variabel ini mewakili pengeluaran investasi. Semakin tinggi kredit
yang disalurkan semakin tinggi investasi yang terjadi.
Dalam model ini, untuk meramalkan pertumbuhan ekonomi digunakan metode
seasonally adjusted secara kuartalan atau q-to-q. Data seasonally adjusted adalah data
yang digunakan dalam metode statistik dengan menghilangkan atau menormalkan efek
musiman dari data tersebut. Dengan data seasonally adjusted dapat diketahui apakah
perekenomian Indonesia tumbuh lebih cepat atau lebih lambat setelah faktor-faktor
musiman dikeluarkan. Faktor musiman dimaksudkan misalnya masa panen di sektor
pertanian, penyerapan anggaran pemerintah di akhir tahun, konsumsi menjelang hari besar
keagamaan dan lainnya. Periode data yang digunakan adalah kuartalan mulai kuartal I
tahun 2000 (2000:Q1).
17
Untuk mengatasi data outlier atau data yang diluar polanya, maka digunakan dummy
pada tahun tersebut. Dalam model ini, dummy digunakan pada Q4-2000, Q3-2001, Q42002, Q4-2003, Q4-2004, dan Q4-2010.
B. Spesikasi model pertumbuhan ekonomi (PDB) agregat :
Model pertumbuhan ekonomi yang digunakan adalah sebagai berikut :
dlogGDP = β0 + β1 D2000Q4 + β2 D2001Q3 + β3 D2002Q4 + β4D2003Q4 + β5
D2004Q4 + β6 D2010Q4 +β7 dlogMTP-1 + β8 dlogOILIDR-2 + β9
dlogCPI-2 + β10 dlogCREIDR-4 + β11 dlogGDP-1 + β12 dlogGDP-4
dimana:
MTP
= Major Trading Partner atau pertumbuhan ekonomi negara partner
dagang utama Indonesia
OILIDR
= harga minyak mentah Indonesia (ICP)
CPI
= Consumer Price Index atau indeks harga konsumen (IHK)
CREIDR
= kredit perbankan
GDP
= pertumbuhan ekonomi
Premis modelnya adalah sebagai berikut:

Pertumbuhan ekonomi negara partner dagang utama Indonesia akan berdampak positif
bagi pertumbuhan ekonomi indoneisia

Kenaikan harga minyak dunia akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi

Inflasi yang tinggi akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi

Penyaluran kredit akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Penjelasan model:

Variabel MTP yang digunakan merupakan lag 1 dan berpengaruh positif, atau diartikan
pertumbuhan ekonomi negara partner dagang utama satu kuartal sebelumnya akan
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara positif saat ini atau semakin
tinggi

Variabel OILIDR atau ICP yang digunakan merupakan lag 2 dan berpengaruh negatif
artinya harga minyak mentah Indonesia dua kuartal sebelumnya akan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini secara negatif atau semakin rendah
18

Variabel CPI atau IHK yang digunakan merupakan lag 2 dan berpengaruh negatif yang
artinya kenaikan IHK atau inflasi yang terjadi dua kuartal sebelumnya akan
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi saat ini secara atau semakin rendah

Variabel CREIDR yang digunakan merupakan lag 4 dan berpengaruh secara positif,
artinya kredit perbankan yang disalurkan empat kuartal sebelumnya akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi saat ini secara atau semakin tinggi
C. Hasil Model
Setelah dilakukan pengolahan data dengan menggunakan program Eviews, maka diperoleh
hasil sebagai berikut:
19
Penjelasan Hasil Model :
1) Apabila terjadi kenaikan 1 persen pada pertumbuhan negara-negara partner dagang
utama satu kuartal sebelumnya maka akan meningkatkan pertumbuhan PDB Indonesia
sebesar 0,23 persen (contoh: dari pertumbuhan PDB 6,00 persen menjadi 6,23 persen)
2) Apabila terjadi kenaikan 1 persen pada harga minyak mentah Indonesia (ICP) dua
kuartal sebelumnya maka pertumbuhan PDB Indonesia akan melambat sebesar 0,01
persen
3) Apabila terjadi kenaikan 1 persen pada indeks harga konsumen (IHK atau CPI) dua
kuartal sebelumnya maka pertumbuhan PDB Indonesia akan melambat sebesar 0,08
persen
4) Apabila terjadi kenaikan 1 persen pada penyaluran kredit perbankan empat kuartal
sebelumnya maka akan mendorong pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 0,01 persen.
3.2. Model Inflasi
A. Proses Pentapan Besaran Asumsi Inflasi
Sebagaimana telah diamatkan dalam RPJM 2010 - 2014, agenda pertama dalam program
pembangunan jangka menengah tahun 2010 – 2014 adalah Pembangunan Pembangunan
Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat. Program peningkatan kesejahteraan
dilakukan dengan mendorong sektor riil serta terus menjaga stabilitas ekonomi makro.
Dalam jangka menengah, melalui kebijakan Inflation Targeting Framework dan koordinasi
kebijakan makro antara Pemerintah, Bank Indonesia dan Pemerintah Daerah, laju inflasi
diarahkan untuk menurun secara bertahap dengan besaran sekitar 4 – 6 persen. Perkiraan
tersebut didasarkan dengan sasaran tingkat inflasi yang cukup rendah dan stabil tetapi tetap
memperhatikan pertumbuhan ekonomi.
Sasaran inflasi secara periodik ditetapkan oleh pemerintah melalui peraturan Menteri
Keuangan. Penetapan sasaran inflasi ini mengacu pada pasal 10, UU 6 tahun 2009 tentang
Bank Indonesia yang menyebutkan bahwa penetapan sasaran inflasi, yang merupakan
tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia, dilakukan oleh Pemerintah setelah
berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan
Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan
Menteri Keuangan (PMK).
20
Sasaran inflasi tahun 2010 – 2012 telah ditetapkan oleh pemerintah sebesar 5 % pada
tahun 2010 dan 2011, dan 4,5 % pada tahun 2012, dengan deviasi sebesar ±1%. Pada
tahun 2012, sebagai kesinambungan sasaran inflasi, telah ditetapkan sasaran inflasi tahun
2013, 2014, dan 2015,
masing-masing sebesar 4,5%, 4,5%, dan 4% masing-masing
dengan deviasi ±1%.
Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan
masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan sehingga tingkat inflasi dapat
diturunkan pada tingkat yang rendah dan stabil. Untuk mencapai sasaran inflasi yang telah
ditetapkan tersebut, Pemerintah dan Bank Indonesia melakukan koordinasi kebijakan
pengendalian inflasi, salah satunya melalui Tim Pengendalian Inflasi untuk membentuk
dan mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat agar sasaran inflasi yang telah ditetapkan
dapat sebagai acuan (anchor) baik bagi masyarakat, pelaku usaha, maupun pemerintah
sendiri khususnya dalam penyusunan APBN.
Dalam proses penetapan besaran asumsi inflasi dalam penyusunan APBN, nilai
(point) yang telah ditetapkan dalam sasaran inflasi tidak langsung digunakan sebagai angka
dalam asumsi, karena berbagai pertimbangan kondisi terkini baik kondisi global maupun
domestik. Angka sasaran inflasi tersebut disesuaikan dengan Adminitered Policy sesuai
dengan kebijakan yang akan dilaksanakan pemerintah serta pertimbangan ekonomi globak
dan domestik.
Secara grafis penetapan angka asumsi inflasi yang menjadi dasar dalam penyusunan
APBN adalah sebagai berikut:
Gambar 3.1: Proses Penetapan Angka Asumsi Inflasi
21
B. Model Disagregasi Inflasi
Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi
permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya
cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri
terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur
pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam
dan terganggunya distribusi. Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah
tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks
makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya
atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian.
Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku
ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin
dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat
menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah
minimum regional (UMR).
Dilihat dari disagregasinya, inflasi dapat dikelompokkan menjadi inflasi inti (core
inflation) yaitu yang dipengaruhi oleh fkator fundamental karena (i) interaksi permintaan –
penawaran, (ii) lingkungkungan eksternal seperti harga komoditas international, inflasi
mitra dagang, dan nilai tukar, serta (iii) ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.
Sedangkan inflasi non inti terdiri dari inflasi karena harga yang diatur pemerintah
(Administered Prices) seperti kenaikan harga BBM, tariff listrik, tariff angkutan, cukai
rokok, dll; serta karena harga yang begejolak (Volatile Food) akibat dari adanya shocks
dalam kelompok bahan makanan seperti gagal panen, gangguan alam, gangguan hama
penyakit, dll.
Pada tahun 2010 gejolak harga kelompok bahan pangan menyebabkan inflasi IHK
mencapai 6,96 %. Nilai realisasi inflasi tersebut melampaui sasaran inflasi tahun 2010
yang telah ditetapkan pemerintah (batas atas sebesar 6 %), maupun angka asumsi inflasi
dalam APBN-P tahun 2010 yang ditetapkan sebesar 5,3 %.
Dilihat dari disagregasi inflasi, tidak tercapainya sasaran dan asumi inflasi tahun
2010 diakibatkan oleh tingginya inflasi pada komponen barang yang bergejolak (volatile
food) yang mencapai 17,7 persen. Secara umum, bobot masing-masing komponen
pembentuk inflasi IHK adalah 60 % untuk komponen inflasi inti, 20 % untuk komponen
harga yang diatur pemerintah, dan 20 % untuk barang bergejolak. Dengan inflasi barang
22
bergejolak mencapai 17,7 %, maka komponen ini telah memberikan andil terhadap inflasi
sebesar 3,54 persen.2
Komoditas beras sebagai makanan utama tercatat memberikan andil terbesar sebagai
pembentuk inflasi tahun 2010 dengan total andil inflasi sebesar 1,1 persen. Inflasi beras
terjadi pada bulan Januari sebesar 0,35%, Februari 0,13 %, Juli 0,26 %, Nopember 0,12 %
dan Desember 0,23 %. Sementara itu cabe merah memberikan andil inflasi sebesar 0,32
persen. Kedua komoditas utama ini menjadi sumber utama penyebab tingginya inflasi IHK
pada tahun 2010, khususnya dari komponen barang yang bergejolak (volatile food).
Dari komponen harga yang diatur pemerintah, pada bulan Juli 2010 terjadi kenaikan
tarif listrk sebesar 10 % yang
mengakibatkan andil
komponen harga yang diatur
pemerintah pada tahun 2010 sebesar 1 %. Komponen inflasi inti memberikan andil sesebar
2,5 %.
Pada tahun 2011, realisasi inflasi IHK sebesar 3,79 persen, nilai ini juga berada lebih
rendah (diluar sasaran yang telah ditetapkan pemerintah) dari batas bawah sebesar 4
persen. Rendahnya komponen harga yang diatur pemerintah (andil sebesar 0,4 persen)
serta stabilnya komponen barang bergejolak (andil sebesar 0,7 persen). Sementara itu,
komponen inti memberikan andil sebesar 2,7 persen.
Gambar 3.2: Andil Komponen Inflasi Tahun 2010 - 2012
8,00
7,00
6,00
5,00
4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
2010
Inti
2011
Bergejolak
2012
Harga diatur Pemerintah
2
Andil komponen inflasi = bobot komponen x kenaikan harga pada komponen tersebut. Sehingga inflasi
IHK dilihat dari disagregasi masing-masing komponennya merupakan penjumlahan dari andil ketiga
komponen yakni, inti, harga diatur pemerintahg dan barang bergejolak.
23
Inflasi tahun 2012 mempunyai pola yang hampir sama dengan tahun 2011, dimana
komponen harga yang diatur pemerintah dan komponen barang bergejolak relatif stabil
sehingga tidak memberikan tekanan pada inflasi IHK tahun 2012. Komponen inti seperti
yang terjadi pada tahun 2010, dan 2011, tidak mengalami gejolak yang berarti. Inflasi IHK
tahun 2012 berada di tingkat 4,3 persen. Angka inflasi tahun 2012 tersebut masuk dalam
rentang sasaran inflasi yang telah ditetapkan pemerintah, yakni berada pada kisaran
rentang 3,5 % sampai dengan 5,5 persen.
Gambar 3.3: Disagregasi Komponen Inflasi Tahun 2010 - 2012
20
Core
18
Adm
16
Vol
Prosen (%)
14
IHK
12
10
8
6.96
6
3.79
4
3.66
2
0
2010
2011
2012 (ytd okt)
Tahun
IHK
Core
Adm
Vol
2010
6.96
4.28
5.4
17.7
2011
3.79
4.34
2.78
3.37
2012
4.30
4.40
2.26
5.68
24
BOX 3.1.
Disagregasi inflasi IHK berdasarkan komponen yang terdiri dari komponen inti (core), harga yang
diatur pemerintah (administered prices) serta harga barang bergejolak (volatile food) selama
periode 2010 sampai dengan 2012, diperoleh persamaan :
Log_IHK = 0,0412 + 0,618 Log_Core + 0,155 Log_Adm + 0,206 Log_Vol (R2 Adj = 0,999)
(106,26)
(16,53)
(80,00)
Dari persamaan tersebut dapat dilihat bahwa bobot komponen inti adalah yang paling tinggi,
mencapai 62 persen, diikuti oleh komponen harga bergejolak (21 persen) dan komponen harga
yang diatur pemerintah 16 persen. Pada kondisi normal/tanpa adanya shock, sasaran inflasi yang
telah ditetapkan pemerintah menjadi acuan dalam penentuan angka asumsi inflasi.
Gambar 3.4: Perkembangan Inflasi Bulanan (mtm)
2.00%
Prosentase
1.50%
1.00%
0.50%
0.00%
Realisasi
Prakiraan
-0.50%
Sep-12
Jul-12
May-12
Mar-12
Jan-12
Nov-11
Sep-11
Jul-11
May-11
Mar-11
Jan-11
Nov-10
Sep-10
Jul-10
May-10
Mar-10
Jan-10
Karena nilai sasaran inflasi yang ditetapkan pemerintah merupakan sasaran 3 tahun ke depan,
dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kebijakan terkini, terutama apabila ada kebijakan
pemerintah misalnya terkait dengan pengurangan subisidi BBM mamupun listrik, sehingga
berdampak pada kenaikan harga di pasaran.
Kenaikan harga tersebut menjadi shock dalam penghitungan angka asumsi inflasi di APBN yang
dimasukan sebagai andil tambahan inflasi. Penghitungan adalah sebagai berikut :
Andil tambahan = bobot komoditas inflasi x kenaikan harga komoditas
C. Evaluasi Model
Secara umum penentuan angka asumsi inflasi dalam mengacu pada dokumen sasaran
inflasi 2012 dan 2013 yang telah ditetapkan oleh pemerintah berupa RPJM 2010 - 2014
dan PMK Sasaran inflasi. Realisasi inflasi pada tahun 2010 tercatat sebesar 6,96 persen,
nilai ini melampaui batas tas sasaran inflasi tahun 2010 sebesar 6 persen sebagai akibat
25
dari tingginya fluktuasi komponen barang gejolak, khususnya beras dan cabe merah. Pada
tahun 2011, realisasi inflasi tercatat sebesar 3,79 persen, lebih rendah dari batas bawah
sasaran inflasi yakni sebesar 4 persen. Stabilnya barang bergejolak dan relatif tidak ada
kebijakan pemerintah mengakibatkan angka inflasi lebih rendah dari sasaran.
Pada tahun 2012, nilai asumsi inflasi dalam APBN sebesar 5,3 persen naik menjadi
6,8 persen pada APBN-P 2012. Kenaikan ini karena rencana mengurangan subsidi BBM
yang diprakirakan akan mengakibatkan kenaikan harga
BBM dari Rp4.500 per liter
menjadi Rp6.000. Namun dalam realisasinya pengurangan subsidi BBM tersebut belum
mendapatkan persetujuan DPR, disisi lain pembahasan asumsi makro telah disetujui
dengan inflasi mencapai 6,8 persen karena pembahasan asumsi makro dilaksanakan
sebelum pembahasan belanja pemerintah yang didalamnya termasuk subsidi BBM.
Gambar 3.5: Sasaran dan Realisasi Inflasi
8
8
6,96
7
7
6
6
5
5
4,3
PMK batas atas
3,79
4
PMK batas bawah
4
APBN
3
3
APBN-P
2
2
Realisasi
1
1
0
0
2010
2011
2012
2013
2014
3.3. Model Nilai Tukar Rupiah
Peran nilai tukar dalam penyusunan APBN cukup penting mengingat fungsinya dalam
memperhitungkan baik besaran belanja maupun penerimaan. Di sisi penerimaan, berbagai
penerimaan perpajakan terkait dengan kegiatan perdagangan internasional membutuhkan
satu acuan konversi untuk mengukur besar pajak yang diperoleh dari kegiatan transaksi
perdagangan (eskpor dan impor) yang dilakukan dalam mata uang dolar AS. Acuan
konversi tersebut juga dibutuhkan untuk mengukur besaran penerimaan yang bersumber
26
pada eksplorasi sumber daya alam (minyak dan gas) yang dihitung berdasarkan harga di
pasar internasional dalam mata uang dolar AS. Dengan prinsip yang sama, berbagai
pengeluaran subsidi energi dan juga pembayaran utang (pokok dan bunga) dalam bentuk
valas membutuhkan acuan konversi untuk perhitungan dalam nilai rupiah.
Mengingat pentingnya keakurasian proyeksi nilai tukar rupiah sebagai salah satu
asumsi ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan APBN, maka
diperlukan model proyeksi untuk menghasilkan perhitungan perkiraan rata-rata nilai tukar
rupiah yang akurat. Namun demikian, masih terdapat permasalahan dalam pembangunan
model yang memadai adalah belum adanya metodologi yang dapat memperkirakan besaran
nilai tukar secara presisi. Hal tersebut mengingat pergerakan nilai tukar sangat dipengaruhi
oleh mekanisme pasar, di mana banyak terdapat faktor di luar kendali Pemerintah. Untuk
itu, Tim kerja telah menggunakan metodologi perhitungan besaran angka asumsi nilai
tukar rupiah yang didasarkan pada perkiraan pergerakan nilai tukar rupiah di pasar uang,
prospek perekonomian domestik dan internasional, serta masukan dari berbagai
stakeholder.
Perkiraan nilai tukar rupiah untuk tahun 2012 mengacu pada besaran realisasi tahun
2011, dengan memperhitungkan prospek kondisi ekonomi domestik dan global ke depan,
besaran kewajiban pemerintah dan swasta yang akan jatuh tempo di tahun 2012 serta
pertimbangan-pertimbangan yang telah disebutkan sebelumnya. Selanjutnya evaluasi dan
outlook nilai tukar rupiah selama tahun berjalan dilakukan dengan menggunakan
perhitungan dan simulasi terhadap data-data realisasi rata-rata tertimbang nilai tukar rupiah
pada periode 30, 60 dan 90 hari serta rata-rata 6 dan 12 bulan sebelumnya.
Besaran besaran yang diperoleh dari perhitungan rata rata bergerak (moving average)
merupakan angka-angka acuan dasar asumsi nilai tukar rupiah merupakan angka
pertimbangan yang cukup fleksibel untuk kemudian disesuaikan dengan expert judgment,
serta berbagai faktor dan prospek ke depan. Meskipun masih terdapat kelemahan atas
judgement yang masih memiliki probabilitas kesalahan, pendekatan ini dinilai cukup
efektif dan masih mampu memberi gambaran yang cukup baik dan mengimbangi
kekurangan dari model perkiraan yang sedang dikembangkan.
27
Gambar 3.6: Model Nilai Tukar Rupiah
Faktor Judgment
1.
2.
3.
4.
Kebijakan APBN
Kondisi Inflasi Domestik
Asumsi Perkiraan Ekonomi Global dan
domestik
Tekanan supply-demand valas domestik
Rata-rata Tertimbang
30, 60 dan 90 hari Terakhir
Data-data historis
Asumsi Nilai
Tukar Rupiah
Metodologi Perhitungan Asumsi Nilai Tukar
Secara umum penentuan besaran rata-rata nilai tukar rupiah mengacu pada dokumen yang
telah ditetapkan oleh pemerintah berupa RPJM 2010 - 2014 dan memperhatikan beberapa
faktor tersebut di atas. Realisasi rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun 2010 tercatat
sebesar Rp9.087 per dolar AS. Pada tahun 2011, realisasi rata-rata nilai tukar rupiah
tercatat sebesar Rp8.779 per dolar AS. Pada tahun 2012, besaran asumsi rata-rata nilai
tukar dalam APBN sebesar Rp8.800 per dolar AS naik menjadi Rp9.000 per dolar AS pada
APBN-P 2012. Pelemahan asumsi nilai tukar rupiah tersebut dilandasi perkembangan
kondisi perekonomian global yang belum menunjukkan perbaikan serta memperhatikan
rencana kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi.
Tabel 3.1: Asumsi Nilai Tukar Rupiah
Item
EOP
Ave30D
Ave60D
Ave90D
Ave6M
Ave12M
Asumsi
APBN 2012*
8823
8765.5
8648.8
8610.2
8600
8767.0
8800
APBN-P 2012**
9180
9165
9095.5
9100.1
9049.9
8825.1
9000
APBN 2013***
9588
9566.4
9533.1
9507.6
9406.6
9228.2
9300
* Berdasarkan realisasi hingga kuartal III tahun 2011
** Berdasarkan realisasi hingga kuartal I tahun 2012
*** Berdasarkan realisasi hingga kartal III tahun 2012
Sesuai dengan pergerakan dan perkembangan rata-rata nilai tukar rupiah seperti tertera
pada tabel 3.1 di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut.
28
Penentuan Angka Asumsi Nilai Tukar Rupiah pada APBN 2012
Besaran asumsi Nilai Tukar Rupiah dalam APBN 2012 ditentukan sebesar Rp 8.800 per
dolar AS pada akhir kuartal ketiga tahun 2011. Penentuan besaran asumsi tersebut
didasarkan pada pada perkembangan rata-rata nilai tukar rupiah dalam rentang 30, 60 dan
90 hari serta 6 dan 12 bulan sebelumnya, yang bergerak pada kisaran Rp8.600 s.d. Rp8.850
per dolar AS. Beberapa pertimbangan yang disertakan dalam penetuan antara lain adalah:
faktor negatif berupa trend nilai tukar rupiah yang menunjukkan kecenderungan melemah
(depresiasi) selama beberapa bulan terakhir; serta faktor positif berupa ekspektasi
pemulihan ekonomi dunia pada tahun 2012.
Penentuan Angka Asumsi Nilai Tukar Rupiah pada APBN-P 2012
Pada kuartal pertama 2012, pemerintah telah mengajukan percepatan APBN-P 2012
mengingat pada saat itu rata-rata nilai tukar bergerak pada kisaran pada Rp8.800 s.d.
Rp9.200 per dolar AS. Beberapa faktor yang mendasari perubahan tersebut antara lain
adalah: (-) melambatnya perekonomian global serta perkembangan ekonomi global yang
belum menunjukkan pemulihan seperti yang diharapkan sebelumnya, sehingga
menimbulkan tekanan pada kinerja perdagangan internasional Indonesia; (-) kenaikan
harga minyak dunia yang semakin tinggi yang mendorong tekanan pada komoditas energi
dan bahan pangan di pasar domestik; (+) harapan pemulihan ekonomi global terjadi pada
semester kedua tahun 2012. Dengan beberapa sentimen negatif tersebut, nilai tukar rupiah
terus mengalami tekanan melemah hingga ke tingkat di atas Rp9.100 per dolar AS. Dengan
melihat perkembangan tersebut, maka asumsi nilai tukar dalam APBN-P 2012 diusulkan
untuk direvisi menjadi Rp9.000 per dolar AS, terdepresiasi dibandingkan dengan asumsi
nilai tukar dalam APBN 2012.
Penentuan Angka Asumsi Nilai Tukar Rupiah pada APBN 2013
Pada akhir kuartal ketiga 2012, Pemerintah kembali mengajukan usulan APBN 2013, dan
asumsi nilai tukar disepakati sebesar Rp9.300 per dolar AS. Penetapan angka tersebut,
selain memperhatikan sasaran RPJMN, dan potensi perkembangan ekonomi global dan
domestik ke depan, besaran nilai tukar didasarkan juga pada perkembangan nilai tukar
yang terjadi. Rata-rata nilai tukar bergerak pada kisaran antara Rp9.200 hingga Rp9.600
per dolar AS, dengan tren melemah yang terjadi sejak awal 2012. Namun, pemerintah
masih optimis dengan melihat beberapa faktor positif yang dapat menjadi pendorong
29
peningkatan nilai rupiah di tahun 2013. Hal itu mencakup (+) masih masuknya arus
investasi dan modal ke pasar dalam negeri; (+) masih terdapat harapan perbaikan ekonomi
di negara mitra dagang Indonesia; serta (+) meningkatkan daya saing ekspor Indonesia
seiring nilai tukar yang telah terdepresiasi jauh, dapat sehingga ke depan dapat terjadi
perbaikan kinerja perdagangan internasional
yang memberikan dampak apresiasi ke
Rupiah.
Berdasarkan perkembangan tersebut, besaran asumsi nilai tukar yang diajukan adalah
lebih rendah dibanding asumsi 2012, namun potensi faktor faktor positif menyebabkan
asumsi depresiasi nilai tukar relatif lebih rendah dibanding yang terjadi. Dalam kaitan ini,
asumsi nilai tukar dalam APBN 2013 disepakati sebesar Rp 9.300 per dolar AS.
5.4. Model Suku Bunga - SPN 3 Bulan
Bank Indonesia sejak bulan November tahun 2010 telah menghentikan pelelangan
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor 3 bulan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk
mengendalikan dana asing yang membanjiri instrumen SBI, kebijakan ini juga untuk
mengarahkan investor agar menanamkan dananya pada instrument berjangka waktu lebih
panjang. Bagi pemerintah, suku bunga rata rata SBI 3 bulan selama ini juga dijadikan
sebagai acuan (benchmark interest rate) dalam menentukan suku bunga Surat Utang
Negara (SUN) dengan suku bunga mengambang (variable rate). Sebagai konsekuensi dari
dihentikannya pelelangan SBI 3 bulan maka pemerintah harus menentukan instrument
surat utang lain dengan karakteristik sejenis seperti SBI 3 bulan yang bisa dijadikan acuan
untuk menentukan suku bunga.
Mengingat pentingnya keakurasian proyeksi tingkat suku bunga rata-rata SPN 3
bulan sebagai salah satu asumsi ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan
APBN, maka diperlukan model proyeksi untuk menghasilkan perhitungan perkiraan SPN 3
bulan yang akurat. Salah satu permasalahan dalam pembangunan model yang memadai
adalah kurangnya data series SPN 3 bulan yang tersedia mengingat instrumen tersebut baru
diterbitkan sejak Maret 2011. Dalam hal ini, angka asumsi suku bunga ditetapkan
berdasarkan perkiraan pergerakan suku bunga instrumen-instrumen di pasar modal,
prospek perekonomian, serta masukan dari berbagai stakeholder. Di tahun 2012, perkiraan
suku bunga mengacu pada besaran realisasi tahun 2011, dengan memperhitungkan prospek
kondisi ekonomi domestik dan global ke depan, serta pertimbangan-pertimbangan yang
30
telah disebutkan sebelumnya. Selanjutnya evaluasi dan outlook suku bunga SPN 3 bulan
selama tahun berjalan dilakukan dengan menggunakan perhitungan dan simulasi terhadap
data-data realisasi SPN 3 bulan sebelumnya.
Gambar 3.7: Model SPN 3 Bulan
Dalam perkembangannya, asumsi tingkat suku bunga SPN 3 Bulan masih dihitung
berdasarkan dengan perkiraan perkembangan rata-rata data historis dengan basis waktu 12
bulan terhitung mundur dari data terakhir yang digunakan. Angka pergerakan rata-rata
tersebut kemudian disesuaikan dengan pertimbangan aspek-aspek yang diperkirakan akan
terjadi pada masa yang akan datang. Adapun pertimbangan yang diberikan juga
memperhatikan bahwa instrumen SPN 3 Bulan merupakan instrumen yang fleksibel, yaitu
dapat disesuaikan dari jumlah penerbitan dan pembatasan atas penawaran yang masuk
sesuai dengan kebutuhan pembiayaan APBN. Penyesuaian angka ini merupakan angka
pertimbangan yang cukup fleksibel tergantung dari expert judgment. Meskipun masih
terdapat kelemahan atas judgement yang masih memiliki probabilitas kesalahan,
pendekatan ini dinilai cukup efektif mengingat data historis tingkat suku bunga SPN 3
Bulan yang masih pendek.
Dupont et. al. (1999) menjelaskan bahwa beberapa hal yang mempengaruhi
pergerakan treasury bill adalah demand, supply, economic conditions, monetary policy,
dan inflation. Untuk itu, aspek-aspek yang dipertimbangkan mempengaruhi pergerakan
dari SPN 3 Bulan yang adalah sebagai berikut:
1. Suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI rate. (monetary policy)
2. Posisi Kepemilikan Asing pada SUN (demand dan supply)
3. Kondisi Pembiayaan APBN (supply)
31
4. Inflasi Domestik (inflation)
5. Asumsi Perekonomian Global (economic conditions)
Faktor-faktor inilah yang menjadi kunci dalam penentuan angka penyesuaian dengan
proporsi masing-masing sesuai kondisi pada saat penghitungan angka asumsi.
Gambar 3.8: Perkembangan SPN 3 bulan
7.00
Pemberlakuan
Asumsi SPN 3 Bulan
6.00
5.00
4.00
3.00
Tingkat Suku Bunga
2.00
Rata-rata Tertimbang 12 Bulan Terakhir
Asumsi
1.00
2011
Nov
Okt
Sep
Jul
Ags
Jun
Apr
Mar
Mar
Feb
Feb
Jan
Jan
Nov
Nov
Okt
Okt
Sep
Ags
Jul
Jul
Jun
Apr
Mei
Apr
Mar
-
2012
Tabel 3.2: Perkembangan Asumsi SPN 3 bulan
Asumsi SPN 3 Bulan (%)
Rata-rata Tertimbang
12 bulan terakhir
Penyesuaian*
APBN-P 2011
5,6
4,78
0,8
APBN 2012**
6,0
4,81
1,2
APBN-P 2012***
5,0
4,26
0,7
APBN 2013****
5,0
3,54
1,5
Item
*penyesuaian merupakan keputusan expert judgment
**dihitung pada bulan September 2011
*** dihitung pada bulan Februari 2012
**** dihitung pada bulan September 2012
Sesuai dengan pergerakan dan perkembangan dari tingkat suku bunga SPN 3 Bulan seperti
tertera pada tabel 3.2 dapat dijelaskan sebagai berikut.
32
Penentuan Angka Asumsi Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan pada APBN 2012
Pada APBN 2012, asumsi tingkat suku bunga SPN 3 Bulan ditetapkan sebesar 6,0 persen,
lebih tinggi 0,4 persen dibandingkan asumsi pada APBN Perubahan 2011. Penetapan
angka ini dipertimbangkan berdasarkan pergerakan rata-rata tertimbang 12 bulan terakhir
yang sedikit mengalami peningkatan, dari 4,78 persen sedikit meningkat mencapai 4,81
persen. Meskipun peningkatan yang terjadi sangat tipis, namun aspek kondisi
perekonomian global, terutama Yunani dan Spanyol menjadi dasar utama untuk menaikkan
angka asumsi. Angka penyesuaian sebesar 0,8 persen mengakomodasi risiko atas potensi
sudden reversal yang dapat sewaktu-waktu terjadi akibat kekhawatiran pasar.
Penentuan Angka Asumsi Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan pada APBN-P 2012
Angka asumsi ditetapkan berdasarkan dengan pergerakan tingkat suku bunga SPN 3 Bulan
pada 12 bulan terakhir. Penghitungan dilakukan pada periode bulan Maret 2011 sampai
dengan bulan Februari 2012. Periode ini didasarkan pada agenda APBN Perubahan 2012
yang pembahasannya dilakukan pada bulan Maret 2012.
Pergerakan rata-rata 12 bulan terakhir mengalami penurunan tajam sebesar 0,5 persen
dibandingkan dengan pada saat perhitungan APBN 2012. Hal ini yang mendasari bahwa
perlu adanya revisi atas angka asumsi yang telah ditetapkan sebesar 6,0 persen. Penetapan
angka asumsi tingkat suku bunga SPN 3 Bulan yang terlalu besar akan mengakibatkan
ketidakakuratan perhitungan APBN secara keseluruhan yang juga berdampak pada beban
anggaran. Penurunan angka asumsi ini juga tetap mempertimbangkan potensi risiko
sehingga dilakukan penyesuaian sebesar 0,7 persen. Penyesuaian ini dipertimbangkan oleh
adanya gejala-gejala resesi ekonomi Eropa dan Amerika yang masih terlihat. Penyesuaian
yang ditetapkan lebih rendah dibandingkan pada perhitungan APBN 2012 didasari pada
kondisi domestik yang stabil dan baik meskipun global masih dalam ketidakjelasan.
Dengan begitu, angka asumsi tingkat suku bunga SPN 3 Bulan ditetapkan sebesar 5,0
persen.
Penentuan Angka Asumsi Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan pada APBN 2013
Dengan metode yang sama, tingkat suku bunga SPN 3 Bulan APBN 2013 ditetapkan
sebesar 5,0 persen. Meskipun penurunan rata-rata pergerakan suku bunga pada 12 bulan
terakhir jauh lebih besar yaitu sebesar 0,8 persen, namun Pemerintah tetap
mempertahankan angka asumsi pada posisi 5,0 persen. Angka penyesuaian yang ditetapkan
33
lebih besar, yaitu sebesar 1,5 persen. Angka penyesuaian yang lebih besar dipertimbangkan
berdasarkan potensi risiko atas kondisi perekonomian global yang masih mengalami
ketidakjelasan, terutama dampak resesi Eropa dan problematika fiskal Amerika. Angka
penyesuaian ini juga mengakomodasi atas perkembangan suku bunga SPN 3 Bulan
beberapa pelelangan terakhir yang sempat mengalami kenaikan di atas 3,0 persen. Hal ini
menjadi strategi antisipasi jika resesi global kian bertambah parah.
Memperhatikan keterbatasan yang ada, maka model perhitungan suku bunga SPN 3
bulan ini masih harus terus dikembangkan, misalnya dengan melakukan penelitian lebih
lanjut pergerakan suku bunga obligasi bertenor lain seperti obligasi bertenor 5 atau 10
tahun untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap terkait pergerakan suku bunga SPN
3 bulan. Keterbatasan data series suku bunga SPN 3 bulan masih merupakan kendala
utama dalam meningkatkan keakurasian perhitungan perkiraan suku bunga SPN 3 bulan ke
depan. Selain itu, karakteristik suku bunga SPN 3 bulan sebagai suatu tingkat bunga
kebijakan, yang dalam hal ini dipengaruhi oleh kebijakan Kementerian Keuangan
(Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang) sehingga tidak hanya tergantung pada sentimen
dan pergerakan pasar, juga merupakan hambatan dalam meningkatkan tingkat akurasi
perhitungan suku bunga SPN 3 bulan.
5.5. Quarterly Provincial Gross Product Forecasting Model
Model ini dikembangkan sebagai inisiatif baru setelah diskusi pada kunjungan terakhir
Prof. Geoffrey J.D. Hewings (Illinois University) dan Prof. Euijune Kim (Seoul National
University) di Jakarta pada bulan Agustus 2012 dalam rangka Technical Assistance Asian
Development Bank (TA ADB) untuk membantu pengembangan model di BKF. Model ini
ialah model kedua yang mereka kembangkan selain Model Financial CGE Transportation
Network (FCGE-TN). Pengembangan model ini diharapkan dapat mengisi gap jarangnya
model dengan basis pendekatan regional, sementara isu-isu kebutuhan analisis di level
regional semakin banyak.
Model ini bertujuan untuk memproyeksi pertumbuhan ekonomi (GDP) dengan
pendekatan bottom up, yaitu dengan mendasarkan pada proyeksi pertumbuhan ekonomi
setiap provinsi di Indonesia. Model ini menggunakan data panel spasial (spatial panel data)
yang terdiri atas data kuartalan PDRB 33 provinsi di Indonesia dari Q1-2005 sampai
dengan Q3-2012. Namun karena ketersediaan data untuk membangun trade-based spatial
34
weight matrix hanya ada untuk 30 provinsi maka model direduksi ke dalam 30 provinsi.
Data diperoleh dari World Bank Jakarta yang telah mulai membuat database Indonesia
berbasis provinsi dan kabupaten/kota.
Walaupun telah menghasilkan peramalan yang relatif baik tapi model ini masih
preliminary.
Oleh
karenanya
masih
diperlukan
beberapa
aktivitas
untuk
penyempurnaannya. Model ini memiliki potensi untuk dikembangkan ke level
kabupaten/kota. Sampai saat ini pengembangan model masih dalam tahap penyempurnaan.
Direncanakan akan dapat diserahterimakan pada bulan Maret 2013.
Sekedar sebagai ilustrasi awal gambaran hasil forecasting-nya adalah sebagai
berikut:
Gambar 3.9: Actual and forecasted values for the GDP growth rate model with one
temporal lag
40
0
10
20
30
40
.05 .06 .07 .08 .09
.03 .04 .05 .06 .07
.06
.05
.04
0
.04
.06
.05
.08
.1
.1
1273
.15
.1
.08
1280
20
30
40
35
0
0
.05
.04
-.05
0
.06
.08
.1
1286
.1
1285
.04
10
.05
.05
.1
.06
.04
.02
1284
.02
0
1266
1279
.06
.02 .04 .06 .08
.07
.06
30
1259
1272
1277
.08
1283
.1
.08
1282
.05
20
.1
.07
.06
.05
0
.4
.2
0
-.2
.2
.1
0
-.1
.1
10
1265
1271
.03 .04 .05 .06 .07
.06
.04
.02
.04
.02
1276
.03 .04 .05 .06 .07
1275
.02 .04 .06 .08
0
1264
.04
.04
.04
1269
.06
.02 .04 .06 .08
.1
.08
1268
1274
1281
.02 .04 .06 .08
0
.08
.06
.08
.06
.06
.05
1267
1258
.07
.1
.05
0
1263
.1
1262
1257
.04 .05 .06 .07 .08
.15
.05
0
-.05
-.1
1261
.07
1256
.02 .04 .06 .08
1255
.2
1254
0
10
20
30
40
0
10
20
30
40
0
10
20
30
40
Gambar 3.10: Actual and forecasted values for the GDP growth rate model with two
temporal lags
Gambar 3.11: Actual, fitted and forecasted values for the GDP share model
36
Bab 4
Model APBN
Dalam rumpun model APBN terdapat beberapa model ekonomi, antara lain: (1) Model
Perpajakan; (2) Model Belanja; (3) Model Subsidi (BBM dan Listrik); dan (4) Model
Sensitivitas APBN. Model-model tersebut didedikasikan secara langsung sebagai tulang
punggung dalam proses penyusunan RAPBN versi Badan Kebijakan Fiskal. Dalam proses
ini, beberapa model ekonomi lainnya digunakan sebagai model pendukung. Untuk
memberi gambaran lebih detail masing-masing model tersebut di atas, berikut ini disajikan
deskripsi singkat masing-masing model.
4.1. Model Perpajakan
Model Perpajakan digunakan sebagai alat bantu untuk penentuan target penerimaan
perpajakan dalam RAPBN secara lebih akurat sesuai dengan kondisi ekonomi dan potensi
penerimaan yang sesungguhnya. Selain itu, model ini juga digunakan sebagai alat
monitoring penerimaan perpajakan dibandingkan dengan target penerimaan perpajakan
dalam RAPBN-P dan pemantauan dini dalam rangka early warning system.
Model Perpajakan memiliki lima sub model yang diilustrasikan dalam Gambar 6.1
dan penjelasan untuk masing-masing sub model adalah sebagai berikut.
Gambar 4.1: Model Perpajakan
37
Model Monitoring Perpajakan
Merupakan model bulanan yang digunakan untuk: (1) melihat target bulanan penerimaan
perpajakan dalam setahun; (2) membandingkan antara target dan realisasi (early warning
system); (3) meng-up date target bulanan; dan (4) menetapkan perkiraan realisasi
penerimaan perpajakan hingga akhir tahun.
Gambar 4.2: Tampilan Hasil Model Monitoring Perpajakan
Model Target Penerimaan Perpajakan
Merupakan model tahunan untuk menetapkan target penerimaan perpajakan tahunan dalam
RAPBN dan target penerimaan perpajakan medium term (tiga tahun ke depan). Metode
estimasi untuk tiap-tiap komponen penerimaan perpajakan digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.3: Metode Estimasi Pajak Nonmigas
-Pertumbuhan Ekonomi
-Inflasi
-Nilai Tukar
Beberapa Indikator
Ekonomi Makro
Sensitivitas
Pendapatan Nasional
Konsumsi Dalam Negeri
PDB Per Sektor
Dasar Pengenaan Pajak
( Tax Base )
Elastisitas
Kebijakan/Administrasi
Perpajakan
Penerimaan
Perpajakan Baseline
Target Penerimaan
Perpajakan
38
Gambar 4.4: Metode Estimasi Bea dan Cukai
CUKAI = Produksi BKC 2011 X Tarif Full Spesifik
Proyeksi
Kebijakan
BEA MASUK = Tarif X Dutiable Import X Kurs
Kebijakan & Proy.
Kebijakan
Asumsi
Bea Keluar = Volume X HPE X Tarif X Kurs
Proyeksi
Kebijakan & Proy.
Asumsi
Gambar 6.4: Metode Estimasi Penerimaan PBB Migas
PBB Areal Migas
PBB Produksi Migas
Tarif PBB
Tarif PBB
Luas lahan
onshore dan offshore
Nilai Produksi
Migas tahun lalu
Total PBB MIGAS
Lifting X Harga X Kurs
tahun lalu
Gambar 4.5: Metode Estimasi Bea Masuk
39
Gambar 4.6: Metode Estimasi Bea Keluar
Output atau tampilan hasil dari Model Target Penerimaan Pajak diilustrasikan dalam
Gambar 4.7.
Gambar 4.7: Hasil Perhitungan Model Proyeksi
2005
Uraian
Penerimaan Perpajakan
Pajak Non Migas
Kepabeanan dan Cukai
PPh Migas
APBN-P Real.
352.0 347.0
264.9 263.4
49.8 48.5
37.2 35.1
2006
%
APBN-P Real.
2007
%
APBN-P Real.
2008
%
APBN-P Real.
2009
%
APBN-P Real.
2010
%
APBN-P Real.
%
98.6 425.1 409.2 96.3 492.0 491.0 99.8 609.2 658.7 108.1 652.0 619.9 95.1 743.3 744.4 100.1
99.4 333.0 315.0 94.6 395.2 381.4 96.5 480.9 494.1 102.7 528.4 494.5 93.6 606.1 590.5 97.4
97.4 53.3 51.0 95.6 59.5 65.6 110.3 74.7 87.6 117.3 74.6 75.4 101.1 81.8 95.0 116.1
94.4 38.7 43.2 111.6 37.3 44.0 118.1 53.6 77.0 143.6 49.0 50.0 102.1 55.4 58.9 106.3
40
Model Dampak Kebijakan
Model ini dipergunakan untuk mengestimasi dampak suatu kebijakan perpajakan terhadap
penerimaan perpajakan baik dampaknya berupa gain atau loss.
Model Potensi Penerimaan Perpajakan
Model ini digunakan untuk mengestimasi potensi penerimaan perpajakan. Sumber data
utama yang digunakan dalam model ini adalah: (1) Produk Domestik Bruto (PDB); (2)
Penghasilan rumah tangga di Indonesia (Susenas); (3) Tabel Input-Output (IO); dan (4)
Penghasilan laba usaha perusahaan di Indonesia (Kantor Kementrian BUMN dan
Bapepam). Bagaimana sumber data ini digunakan dan metode estimasinya dapat dijelaskan
dalam ilustrasi sebagai berikut:
Gambar 4.8: Alur Perhitungan Potensi PPh Orang Pribadi Progresif
Tabel IO
% Upah Gaji
PDB Nominal
Upah Gaji Orang
Pribadi (UGop)
Data Susenas
Rasio PU thd UGRT
Data Susenas
% penghasilan
> PTKP
Objek Pajak PPh OP
Progresif
Penghasilan Usaha Orang
Pribadi (Puop)
Data Susenas
Rasio PKP
Penghasilan OP
> PTKP
Data Susenas
Distribusi PKP per layer
PKP OP
Tax Base PPh OP
Progresif
X
Tarif PPh OP
Progresif
POTENSI PPh OP Progresif
Gambar 4.9: Alur Perhitungan Potensi PPh Orang Pribadi Final
Data Susenas
Rasio total penghasilan WP OP
thd UGRT
Upah Gaji Orang
Pribadi (UGop)
Data Susenas
% penghasilan kepemilikan
thd total penghasilan
Objek Pajak PPh
Final
Tax Base PPh OP
Final
X
Tarif PPh OP Final
POTENSI PPh OP Final
41
Gambar 4.10: Alur Perhitungan Potensi PPh Badan
PDB Nominal
Tabel IO
% Surplus Usaha
-
Surplus Usaha dari
PDB
Penghasilan
Usaha OP
Tax Base PPh
Badan
X
+
Tax Base PPh OP
Final
Tarif PPh Badan
POTENSI PPh Badan
Hasil estimasi model disajikan baik dalam jumlah total potensi maupun per potensi pajak
per klasifikasi tersebut di atas. Dari estimasi potensi ini dapat ditentukan besaran target
penerimaan pajak yang diharapkan.
Gambar 4.11: Hasil Perhitungan Potensi Penerimaan PPh
Tahun
Potensi Pajak Potensi
Total Potensi
Progresif
Pajak Final
PPh OP
Potensi PPh
Badan
Total Potensi
PPh
Realisasi/Target
APBN
ITCR
(%)
2008
2009
2010
2011
2012
136,375.4
211,089.0
247,873.1
286,388.5
347,715.9
52,596.4
59,597.4
67,279.5
74,530.0
86,656.6
188,971.8
270,686.4
315,152.6
360,918.5
434,372.4
275,996.7
312,733.7
353,045.0
391,091.9
454,725.1
464,968.5
583,420.0
668,197.6
752,010.4
889,097.5
250,478.8
267,571.3
297,726.7
364,940.2
430,584.1
53.87%
45.86%
44.56%
48.53%
48.43%
2013
411,274.1
97,722.6
508,996.7
512,793.5
1,021,790.2
509,145.5
49.83%
42
Model Potensi Penerimaan Pajak Sektoral
Selain itu, diperlukan juga suatu model yang digunakan untuk mengestimasi potensi
penerimaan pajak secara sektoral. Pendekatan sektoral diharapkan selain memberikan
informasi lebih detail yang dibutuhkan dalam kebijakan fiskal juga memberikan informasi
pada kelompok usaha yang lebih homogen. Pada prinsipnya dalam model ini dicoba
diperhitungkan segala bentuk pengecualian baik di sisi objek, subjek maupun tariff yang
diatur dalam ketentuan perundangan perpajakan untuk setiap sektor ekonomi didalam
memperhitungkan potensi penerimaan perpajakannya.
• Terdapat objek yg
tidak dikenakan
/dikecualikan dr
pengenaan pajak
subjek
• Terdapat subjek
dalam sektor/daerah
tertentu
memperoleh fasilitas
objek
• Terdapat perbedaan
tarif seperti tidak
dikenakan, dibebaskan,
tarif 0% dan
mendapatkan stimulus
fiskal
tarif
Dengan membandingkan potensi dan realisasi penerimaan pajak pada tahun-tahun
yang telah lalu maka dapat diketahui tax gap. Informasi ini berguna untuk analisis dan
penentuan target optimalisasi penerimaan perpajakan.
4.2. Model Belanja
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen kebijakan fiskal
yang sangat mempengaruhi jalannya perekonomian. Secara umum APBN menjabarkan
rencana kerja dan kebijakan Pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan,
mengalokasikan sumber-sumber ekonomi yang dimiliki, mendistribusikan pendapatan dan
belanja melalui intervensi kebijakan serta upaya menjaga stabilisasi dan akselerasi kinerja
ekonomi. Oleh karena itu strategi dan pengelolaan APBN memegang peranan yang sangat
penting dalam pengelolaan perekonomian nasional.
Mengingat peranan penting tersebut, dalam beberapa tahun terakhir strategi
kebijakan fiskal senantiasa diarahkan untuk melanjutkan dan memantapkan langkahlangkah konsolidasi fiskal guna mewujudkan APBN yang sehat serta ketahanan fiskal yang
43
berkelanjutan (fiscal sustainability) dengan tetap memberikan stimulus fiskal dalam batasbatas kemampuan keuangan negara. Dalam hal ini kondisi keuangan negara (APBN) yang
sehat dan berkelanjutan merupakan salah satu jangkar pengaman bagi kinerja ekonomi
nasional yang lebih baik sekaligus merupakan tolok ukur utama dari kesehatan
perekonomian nasional.
Model belanja ini diharapkan mampu menjadi alat pendukung dalam analisis
penentuan alokasi belanja dan mengestimasi dampak ekonominya sekaligus. Model belanja
yang dikembangkan ini dengan:
1) Melakukan konversi alokasi sektoral belanja pusat tahun 2008 dan 2009 ke dalam 66
sektor model I-O secara otomatis
2) Penggunaan alokasi hasil konversi otomatis ke dalam struktur model I-O, baik dengan
pendekatan demand side maupun supply side, dan model ekonometrika untuk
menghitung dampak realokasi sektoral belanja pusat terhadap beberapa indikator: (a)
Output; (b) Pendapatan masyarakat; (c) Tenaga kerja; dan (d) Kemiskinan.
Kedua komponen hasil konversi dan data I-O dihimpun dalam aplikasi komputasi berbasis
pengolah angka dari Microsoft yaitu Microsoft Excel sebagai alat simulasi dari model
belanja ini.
Gambar 4.12: Kerangka Pikir Model Belanja
44
4.3. Model Subsidi
Model subsidi dipergunakan untuk memproyeksikan besaran balanja subsidi dalam APBN
yaitu untuk subsidi BBM dan subsidi listrik. Dalam model subsidi ini terdapat tiga sub
model, yaitu: (1) Model Perhitungan Subsidi BBM; (2) Model Harga Keekonomian BBM
Bersubsidi; dan (3) Model Perhitungan Subsidi Listrik.
Model Perhitungan Subsidi BBM
Perhitungan besaran subsidi BBM mengikuti formula sebagai berikut:
Subsidi BBM:
= [Harga Patokan BBM- (Harga jual eceran BBM - Pajak) ] x volume BBM
dimana:
–
Harga jual eceran BBM merupakan harga jual eceran per liter BBM dalam negeri.
–
Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor (PBBKB).
–
PPN dengan besaran 10%
–
PBBKB dengan besaran 5%
–
Harga patokan BBM adalah harga yang dihitung berdasarkan MOPS ditambah biaya
distribusi dan margin.
–
Harga patokan BBM = MOPS + α
–
α adalah biaya distribusi + margin
–
Mid Oil Platt’s Singapore (MOPS) adalah harga transaksi jual beli pada bursa minyak
di Singapore
Gambar 4.12: Diagram Perhitungan Subsidi BBM
Harga Patokan
MOPS +
Harga Jual
Eceran BBM
Alpha (biaya
distribusi dan
margin)
Premium
Premium
Minyak
Tanah
Minyak
Tanah
Minyak
Solar
Minyak
Solar
Transportasi,
Pelayanan
Umum, Usaha
Kecil dan
Usaha
Perikanan
+ Delta MOPS
ICP
Rumah
Tangga dan
Usaha Kecil
Transportasi
dan
Pelayanan
Umum Usaha
Kecil dan
Usaha
Perikanan
Konsumen
45
Model Harga Keekonomian BBM Bersubsidi
Model harga keekonomian BBM terdiri atas dua macam: (1) bulanan; dan (2) tahunan.
Rumusan untuk masing-masing perhitungannya adalah sebagai berikut:
Harga Ekonomi BBM Per Bulan = Harga Patokan BBM + (PPN + PBBKB)
Harga Patokan BBM = ((MOPS t-1 x (1 + Alpha) x Kurs Beli t ))/159
dimana:
–
MOPS
t-1
 MOPS bulan sebelumnya, MOPS = Mid of Platts Singapore (Harga
transaksi jual beli pada bursa minyak di Singapore)
–
Alpha  biaya distribusi + margin PT Pertamina dan SPBU
–
Kurs Beli t  kurs beli rupiah rata-rata bulan berjalan
–
159  konversi barel ke liter yaitu 1 barel = 159 liter
–
Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor (PBBKB). PPN dengan besaran 10% dan PBBKB dengan besaran 5%.
Harga Ekonomi BBM Per Tahun = Harga Patokan BBM + (PPN + PBBKB)
Harga Patokan BBM = ((Delta MOPS + ICP) x (1 + Alpha) x Kurs Beli tahunan ))/159
Catatan:
–
Delta MOPS  selisih rata-rata realisasi MOPS dengan ICP
–
ICP  rata-rata asumsi ICP untuk 1 tahun
–
Kurs Beli tahunan  kurs beli rupiah rata-rata dalam 1 tahun
Model Subsidi Listrik
Perhitungan subsidi listrik mengikuti formula sebagai berikut:
Subsidi listrik = -[HJTL - BPP (1+m)] x VP
dimana:
HJTL
(Harga Jual Tenaga
Listrik)
Harga yang digunakan dalam penjualan tenaga listrik PT PLN (Persero) kepada
pelanggan dengan berdasarkan Tarif Dasar Listrik sesuai Keppres No.104 Tahun
2003 Tentang HJTL Tahun 2004 yang disediakan oleh PLN
BPP (Biaya Pokok
Penyediaan Tenaga
Listrik)
Biaya penyediaan tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) untuk melaksanakan
kegiatan operasi mulai dari pembangkitan, penyaluran (transmisi), sampai
dengan pendistribusian tenaga listrik ke pelanggan dibagi total kWh jual.
Dihitung berdasarkan formula
M (Margin)
Margin yang digunakan dalam perhitungan besaran subsidi listrik untuk
menghasilkan angka subsidi listrik yang ditetapkan dalam APBN atau APBN-P
V (Volume penjualan
tenaga listrik)
Hasil penjualan tenaga listrik (kWh) dari masing-masing golongan tarif
46
Proses perhitungan besaran subsidi listrik diilustrasikan sebagai berikut:
Gambar 4.12: Diagram Perhitungan Subsidi Listrik
Neraca Energi
Listrik (kwh)
BEBAN USAHA & BEBAN
PINJAMAN (RP)
Susut Jaringan
/Losses (%)
FORMULA PERHITUNGAN
BIAYA POKOK PENYEDIAAN
(BPP) TENAGA LISTRIK
BPP PER SISI TEGANGAN
TT,TM,TR (RP/KWH)
SUBSIDI PSO PER
GOL.TARIF (RP)
PENJUALAN ENERGI LISTRIK PER
GOL.TARIF (KWH)
HARGA JUAL ENERGI
LISTRIK PER GOL.TARIF
(RP/KWH) SESUAI TDL
PENDAPATAN PENJUALAN
ENERGI LISTRIK
PER GOL.TARIF (RP)
HARGA JUAL RATA2 PER
GOL.TARIF (RP/KWH)
PENJUALAN ENERGI
LISTRIK PER
GOL.TARIF (RP/KWH)
SUBSIDI PSO PER
GOL.TARIF (RP/KWH)
4.4. Model Stresstest BUMN3
Kesinambungan fiskal memerlukan manajemen risiko. Risiko adalah kemungkinan
penyimpangan dari yang diperkirakan akan atau diharapkan terjadi. Manajemen risiko
fiskal terkait dengan pengelolaan dan pengendalian risiko tersebut agar dapat terjadi
kesinambungan fiskal seperti yang diharapkan. Dengan manajemen risiko diharapkan
dampak akibat terjadinya kejadian risiko dan/atau kebolehjadian terjadinya kejadian risiko
dapat diperkecil sehingga kesinambungan tersebut dapat terjaga.
Salah satu sumber risiko fiskal adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Eksposur keuangan negara terhadap BUMN adalah melalui kontribusinya terhadap
pemasukan atau pengeluaran keuangan negara maupun kewajiban kontinjen sehubungan
dengan pembayaran hutang BUMN atau pun penambahan modal negara di kemudian hari.
Pemasukan atau pengeluaran keuangan negara terkait BUMN dilakukan melalui
transaksi antar keduanya. Transaksi tersebut meliputi pemasukan pemerintah dari BUMN
melalui: pajak, dividen, royalti, dan pembayaran hutang kepada pemerintah. Pengeluaran
3
Disarikan dari Tim-PPRF (2010), Buku Uji Macrostress Terhadap Risiko Fiskal Yang Bersumber Dari Badan
Usaha Milik Negara.
47
keuangan negara untuk BUMN melalui pinjaman (penerusan pinjaman maupun dari
Rekening Dana Investasi Pemerintah), subsidi, serta dukungan pemerintah terhadap
kecukupan modal BUMN. Kewajiban BUMN pada umumnya tidak dijamin oleh
pemerintah secara eksplisit kecuali pada kasus-kasus khusus seperti pinjaman untuk proyek
percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara 10,000MW. Meskipun
demikian, secara implisit kewajiban-kewajiban BUMN mendapat dukungan dari
pemerintah. Hubungan keuangan antara BUMN dan APBN secara diagramatik dapat
diikhtisarkan dalam Gambar 4.13.
Gambar 4.13: Hubungan keuangan antara BUMN dan APBN
BUMN
APBN
LABA/ RUGI
Pendapatan Usaha
Beban Usaha
Laba Usaha
Penghasilan/ Beban Lain-lain
Beban bunga dan keuangan
Laba sebelum pajak
Beban pajak
Laba bersih
A. Pendapatan Negara dan Hibah
I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak
II. Hibah
B. Belanja Negara
Belanja Pemerintah Pusat
C. Keseimbangan Primer
NERACA
Aset
Kewajiban
Ekuitas
Dividen
D. Surplus/ Defisit anggaran
E. Pembiayaan
I. Pembiayaan Dalam Negeri
II. Pembiayaan Luar Negeri (neto)
KEWAJIBAN KONTINJENSI
Penjaminan Pemerintah terhadap pinjaman BUMN, kenaikan pembayaran subsidi kepada BUMN,
penurunan nilai modal pemerintah di BUMN
Pembayaran pajak, setoran dividen, pembayaran pokok dan bunga pinjaman/SLA
Subsidi/PSO, pinjaman baru dalam negeri dan SLA, Penyertaan Modal Negara
Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi kesinambungan fiskal melalui transaksitransaksi tersebut secara umum dapat dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah faktorfaktor risiko makro dan kedua adalah faktor-faktor risiko mikro. Faktor-faktor risiko makro
adalah faktor-faktor penyebab penyimpangan dari perkiraan atau harapan yang
mempengaruhi semua agen ekonomi dalam perekonomian. Perekonomian ini meliputi
ekonomi global maupun nasional. Sedangkan faktor-faktor risiko mikro adalah yang
faktor-faktor yang mempengaruhi industri dan suatu agen ekonomi secara spesifik.
Umumnya faktor yang mempengaruhi suatu industri disebut faktor risiko industri, namun
untuk laporan ini faktor tersebut dimasukkan dalam faktor risiko mikro.
48
Kinerja BUMN dipengaruhi oleh faktor-faktor risiko makro dan mikro tersebut. Hal
ini pada gilirannya mempengaruhi kinerja transaksi BUMN dengan pemerintah. Oleh
karena dalam rangka pengelolaan dan pengendalian risiko terhadap kesinambungan fiskal
juga perlu dilakukan pula identifikasi faktor-faktor risiko yang mempengaruhi BUMN.
Identifikasi tersebut kemudian dilanjutkan dengan pengukuran dampak dan probabilitas
terjadinya. Beberapa risiko yang diperkirakan sangat mempengaruhi kinerja, perlu
mendapatkan perhatian manajemen BUMN dan akhirnya otoritas fiskal. Budaya risiko
harus diterapkan di pemerintahan maupun BUMN untuk menjamin kesinambungan fiskal.
Gambar 4.14. menunjukkan transmisi faktor-faktor risiko tersebut kepada kesinambungan
fiskal melalui BUMN.
Gambar 4.14: Transmisi Faktor-faktor Risiko Kepada Kesinambungan Fiskal
Faktor-faktor risiko
Makro
Faktor-faktor risiko
spesifik Industri
Portofolio
BUMN
Transaksi dgn
Pemerintah
Kesinambungan
Fiskal
Faktor-faktor risiko
spesifik perusahaan
Model Stresstest BUMN digunakan untuk analisis skenario, macro stress test dan
micro stress test terhadap transaksi antara pemerintah dengan BUMN serta kinerja
kesehatan BUMN. Skenario analisis yang dimaksud adalah skenario asumsi-asumsi faktorfaktor risiko makro yang digunakan oleh Departemen Keuangan Republik Indonesia.
Skenario ini terdiri dari tiga, yaitu skenario basis, optimis dan pesimis. Analisis akan
dilakukan terhadap pengaruh skenario-skenario tersebut terhadap kinerja transaksi antara
BUMN dengan pemerintah dan serta kesehatan BUMN.
Makrostress test dilakukan dengan memberikan kejutan atau shock akibat terjadinya
perubahan ekstrim suatu faktor makro. Faktor-faktor makro yang diperhitungkan pada
studi ini adalah : penurunan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), kenaikan kurs
valuta asing, kenaikan harga minyak bumi, dan kenaikan suku bunga. Berdasarkan hasil uji
makrostress akan didapat faktor risiko makro yang paling perlu mendapatkan perhatian
49
oleh BUMN tertentu. Pengelolaan dan pengendaliannya akan menjadi prioritas bagi
manajemen BUMN tersebut.
Uji mikrostress dilakukan dengan memberikan kejutan atau shock akibat terjadinya
perubahan ekstrim suatu faktor mikro. Sebelum melakukan uji ini, pertama-tama dilakukan
identifikasi faktor-faktor risiko mikro yang dianggap signifikan mempengaruhi kinerja
perusahaan. Setelah itu dilakukan estimasi besaran ekstrim yang dapat terjadi. Dampaknya
terhadap kinerja transaksi antara BUMN tersebut dengan pemerintah akan dianalisis
kemudian. Berdasarkan hasil ini akan didapatkan gambaran mengenai besarnya dampak
faktor risiko tersebut sehingga memberikan masukan kepada manajemen BUMN untuk
melakukan pengelolaan dan pengendalian faktor-faktor risiko mikro tersebut. Transmisi
faktor-faktor risiko tersebut mempengaruhi kinerja transaksi dengan pemerintah maupun
kinerja perusahaan akan membantu perencanaan dan implementasi pengelolaan dan
pengendalian risiko tersebut.
Maksud dari studi ini adalah melakukan analisis skenario, uji makrostress dan uji
mikrostress terhadap kinerja transaksi antara BUMN dengan pemerintah serta kinerja
BUMN. Kinerja BUMN diukur menggunakan ukuran kesehatan BUMN yang ditetapkan
oleh Kementrian BUMN dan ukuran kemampuan membayar pinjaman serta prediksi
kebangkrutan. Gambar 4.15. menunjukkan struktur dari analisis dalam studi ini.
Gambar 4.15: Struktur Analisis Sebuah BUMN
Uji
Makrostress
BUMN A
Faktor-faktor risiko
Makro
Skenario faktorfaktor makro
Transaksi dgn
Pemerintah
Faktor-faktor risiko
Mikro
Skenario faktorfaktor mikro
Kinerja
BUMN
Uji
Mikrostress
50
Skenario analisis dilakukan berdasarkan asumsi faktor-faktor makro dalam keadaan
basis, optimis dan pesimis. Asumsi-asumsi ini adalah yang digunakan dalam APBN.
Faktor-faktor makro ini akan mempengaruhi faktor-faktor risiko industri dan faktor-faktor
risiko spesifik perusahaan. Dengan demikian, apabila diidentifikasi, terdapat faktor-faktor
risiko mikro (industri dan spesifik perusahaan) yang mengikuti atau sinkron dengan
skenario faktor-faktor makro. Skenario analisis ini dilakukan secara simultan untuk faktorfaktor makro dan faktor-faktor mikro, bila teridentifikasi. Sedangkan uji stress dilakukan
secara terpisah antara uji makrostress dan uji mikrostress. Uji mikrostress menggunakan
skenario basis dari faktor-faktor makro.
Eksposur keuangan negara dari BUMN adalah eksposur dari portofolio. Oleh karena
itu risiko spesifik dari suatu BUMN dapat dikurangi kontribusinya dengan adanya risiko
spesifik dari BUMN lain yang memiliki korelasi yang rendah. Oleh karena itu korelasi
antar risiko juga merupakan elemen penting dari analisis eksposur ini. Namun dalam studi
ini, korelasi antar risiko belum digunakan. Oleh karena itu, analisis agregat eksposur dari
BUMN hanya berkaitan dengan faktor-faktor risiko makro dan faktor-faktor risiko mikro
sejauh faktor-faktor risiko mikro tersebut merupakan fungsi dari faktor-faktor risiko
makro.
Jadi secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Model Stresstest BUMN digunakan untuk
menunjukkan sensitivitas variabel makro ekonomi terhadap indikator risiko fiskal BUMN
yaitu:
- Kontribusi bersih BUMN terhadap APBN, yaitu selisih bersih antara aliran dana dari
APBN kepada BUMN dan sebaliknya, yang berdampak langsung terhadap APBN;
- Utang bersih BUMN, yaitu kemampuan likuiditas BUMN dalam memenuhi
kewajibannya; dan
- Kebutuhan pembiayaan bruto BUMN, yaitu tingkat pembiayaan yang dibutuhkan agar
BUMN terus tumbuh.
Model Stresstest risiko fiskal BUMN menyajikan dua hasil utama yaitu:
- Analisis skenario: baseline, optimis, dan pesimis; dan
- Hasil stress test atas variable ekonomi makro: pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, harga
minyak, dan suku bunga.
Pengujian
dilakukan
terhadap
22
sample
BUMN
yang
dipilih
dengan
mempertimbangkan keterwakilan sektor, kondisi keuangan dan kemampuan untuk
menggambarkan keseluruhan kondisi BUMN serta alasan kepraktisan.
51
Tabel 4.1: Daftar BUMN yang diuji
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
BUMN
No
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
PT Pertamina
PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk
PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk
PT Bank Mandiri, Tbk
PT Perusahaan Gas Negara, Tbk
PT Semen Gresik, Tbk
PT Tambang Batubara Bukit Asam, Tbk
PT Pupuk Sriwidjaja
PT Asuransi Kesehatan Indonesia
PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja
PT Garuda Indonesia
BUMN
PT Pelabuhan Indonesia II
PT Aneka Tambang, Tbk
PT Krakatau Steel
PT Perkebunan Nusantara IV
PT Timah, Tbk
PT Wijaya Karya, Tbk
PT Perusahaan Listrik Negara
PT Kereta Api Indonesia
Perum BULOG
PT PAL Indonesia
PT Pelayaran Nasional Indonesia
Struktur spreadsheet untuk tiap-tiap BUMN dalam Model Stresstest BUMN adalah
seperti pada gambar 4.16.
Gambar 4.16: Struktur Spreadsheet Model
Worksheet Input
Worksheet
Asumsi
Skenario
Makroekonomi
Worksheet
Asumsi
Standard
Stress Test
Input Laporan
Keuangan 3 thn
RKAP, RJPP,
FGD BUMN
Worksheet ComSize
Common Size
Lap. Keuangan
Kebutuhan
Investasi
Worksheet Proyeksi
Worksheet
Asumsi
Asumsi
Makroekonomi
Proyeksi Lap.
Keuangan
Worksheet Tran_Pem
Worksheet
Asumsi
Asumsi
Industri
Worksheet
Asumsi
Asumsi
Perusahaan
Worksheet
Asumsi
Uji
Microstress
Proy. Transaksi
dg Pemerintah
Rencana
Pendanaan
Worksheet Pinjaman
Kesehatan BUMN
Kemampuan membayar
pinjaman
Prediksi kebangkrutan
Worksheet Output
Output
Arus kas bersih kepada
Keuangan Negara
Nilai hutang bersih
Perusahaan
Kebutuhan pendanaan bruto
Subsidi pemerintah
Laba bersih perusahaan
Secara skematis Model Stresstest BUMN dan aplikasinya dapat digambarkan sebagai
berikut:
52
Gambar 4.17: Skema Model Macrostress Test Risiko Fiskal BUMN
Gambar 4.18: Aplikasi Model Stress Test BUMN
53
4.5. Model Dana Cadangan Risiko Fiskal
Model Dana Cadangan Risiko Fiskal digunakan untuk membantu pemerintah dalam
melakukan estimasi besaran dana cadangan fiskal apabila terjadi deviasi asumsi
makroekonomi. Estimasi ini digunakan untuk alokasi dana cadangan risiko fiskal dalam
APBN, sebagai bantalan risiko memitigasi adanya deviasi atas penetapan asumsi variable
makroekonomi.
Kerangka umum model dana cadangan risiko fiskal digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.19: Kerangka Umum Model Dana Cadangan Risiko Fiskal
Probability
Baseline
(Asumsi Makro
APBN)
Forecasting
Risiko
Fiskal
Deviasi
(1) market
consensus
(2) teknik
ekonometrik
Eksposure
Kebutuhan
Dana
Cadangan
Risiko
Fiskal
Dalam menentukan probabilitas keterjadian risiko deviasi asumsi APBN digunakan dua
pendekatan: (1) market consensus; dan (2) teknik ekonometrika.
Gambar 4.20: Pendekatan I – Market Consensus
Analisis Kebutuhan Dana Cadangan Risiko Perubahan Asumsi Makro (per 31 Januari 2011)
Variabel
Pertumbuhan Ekonomi (%)
Inflasi (%)
Tingkat Suku Bunga SBI 3 Bulan (%)
Nilai Tukar (Rp/US$)
ICP (US$ per barel)
Produksi Minyak (MBCD)
Variabel
Sensitivitas(
triliun)
-5.2
-5.2
-1.4
-0.2
-0.2
-3
per Satuan
perubahan
1
Under
1
Under
1
Over
100 Depresiasi
1
Over
10
Under
APBN 2012 Moderate Scenario
Pertumbuhan Ekonomi (%)
Inflasi (%)
Tingkat Suku Bunga SBI 3 Bulan (%)
Nilai Tukar (Rp/US$)
ICP (US$ per barel)
Produksi Minyak (MBCD)
Jumlah
Dana Cadangan 2012
Selisih Kebutuhan dgn Pagu
Coverage Ratio(%)
6.5
5.5
6.0
9,200
80.0
970
6.4
6.00
7.0
8,663
98.6
953
*)
*)
*)
*)
*)
**)
Deviasi
Ket
0.1
Under
0.5
Over
1.0
Over
(537.0) Apresiasi
18.6
Over
17.0
Under
Sensitivitas*Deviasi
2012
Risiko Fiskal
(Triliun)
(0.5)
2.6
(1.4)
1.1
(3.7)
(5.1)
(7.1)
Probability
43%
55%
55%
22%
60%
100%
Kebutuhan
cadangan
Dana
Eksposure
(0.22)
1.42
(0.76)
0.24
(2.23)
(5.10)
(6.66)
Keb. Dana
Cadangan (triliun)
0.22
(1.42)
0.76
(0.24)
2.23
5.10
6.66
(6.66)
-
APBN-ESTIMASI
*) Berdasarkan Market Concensus Forecast per 31 Januari
2011
untuk Pertumbuhan Ekonomi,
Suku Bunga, Forecast per 31 Januari
*)
Berdasarkan
MarketInflasi,
Concensus
Nilai Tukar, dan Harga Minyak.
2011
untukrealisasi
Pertumbuhan
Ekonomi, Inflasi, Suku Bunga,
**) Lifting
berdasarkan
2010
Nilai Tukar, dan Harga Minyak.
**) Lifting berdasarkan realisasi 2010.
Prob * Risiko Fiskal
Market Consensus
=setuju/tot
responden
54
8
Penggunaan ekspektasi pelaku pasar (market consensus) di dalam estimasi kebutuhan dana
cadangan merupakan proxi untuk memperhitungkan elemen ketidakpastian/risiko di dalam
analisis risiko fiskal. Namun pendekatan ini memiliki kelemahan karena ketidaktersediaan
market concensus untuk dua atau tiga tahun kedepan, sehingga diperlukan pendekatan lain.
Untuk digunakan pendekatan ekonometrika untuk mengestimasi volatilitas di masa yang
akan datang dengan menggunakan data historis (teknik GARCH dan simulasi Montecarlo).
Gambar 4.21: Probabilitas Deviasi Asumsi dan Realisasi
Cdf 1 =
1
0.8
Prob deviasi
0.6
0.4
Cdf 2
-3
0.2
-2
-1
1
2
3
DEVIASI APBN - Real
•
Simulasi dilakukan pada data deviasi historis antara APBN terhadap realisasi;
•
Deviasi = 0 menunjukkan kesesuaian antara APBN dengan realisasi;
•
Rata-rata deviasi historis memiliki nilai fungsi distribusi kumulatif (cdf1) paling besar;
•
Input realisasi memiliki nilai fungsi distribusi kumulatif (cdf2);
•
Probabilitas input adalah rasio probabilitas input realisasi terhadap probabilitas terbesar
sesuai dengan data historis; dan
•
Input realisasi yang sesuai dengan realisasi historis memiliki rasio probabilitas terbesar.
Aplikasi model dana cadangan risiko fiskal dengan pendekatan teknik ekonometrika
diilustrasikan sebagai berikut:
55
Gambar 4.22: Menu Model Dana Cadangan Risiko Fiskal
Gambar 4.23: Fitur Input
Input data untuk simulasi
Penjelasan Input
Probabilitas terjadinya INPUT REALISASI
• Prob terbesar jika INPUT REALISASI =
data Realisasi
Rasio Probabilitas terjadinya INPUT
REALISASI
• Berdasarkan data Realiasasi th
bersangkutan
• Prob terbesar jika INPUT REALISASI =
data Realisasi
Skenario
• Penjelasan, Rentang CV Berdasarkan nilai
Perencanaan tahun bersangkutan
Input Basis data untuk forecast
Metode Forecast dan Volatilitas
56
Gambar 4.24: Fitur Output
• Informasi Data yang digunakan
• Probabilitas terbesar pada angka
realisasi
Ris Fiskal = Sensitifitas
* percentile
Rasio Probabilitas terjadinya Kebutuhan Cadangan
• Berdasarkan data Realiasasi th bersangkutan
• Prob terbesar jika INPUT REALISASI = data
Realisasi
• Dihitung berdasarkan PERCENTILE dari nilai
Risiko Fiskal
57
Kebutuhan Dana Cadangan
• Berdasarkan deviasi
INPUT REALISASI
terhadap Perencanaan
tahun bersangkutan
Bab 5
MODFI: Macro Model of MoF Indonesia4
Model MODFI merupakan model ekonomi makro permintaan dan penawaran agregat,
dengan basis data Neraca Nasional (National Accounts) dan data lainnya serta teori
ekonomi yang menjelaskan behavioral pelaku ekonomi dalam ekonomi pasar. Model ini
mengandung baik persamaan-persamaan di sisi permintaan maupun penawaran. Model
MODFI merupakan model ekonomi makro Departemen Keuangan (Depkeu) yang
digunakan untuk melakukan analisa dampak perekonomian terhadap anggaran pemerintah
atau sebaliknya, dampak anggaran pemerintah terhadap perekonomian. Model tersebut
merupakan model simultan yang dibangun menggunakan MSExcel, terorganisasi dalam
blok dan sheet.
Dalam penyusunan model ekonomi makro terdapat beberapa kriteria yang harus
dipenuhi, yakni: landasan teoritis, relevansi kebijakan, dan mudah untuk dipahami. Model
ekonomi makro dibangun sesuai dengan konteks ekonomi pasar yang menjelaskan perilaku
para pelaku pasar. Sebagai langkah awal, analisa regresi telah digunakan untuk
mengestimasi koefisien-koefisien model. Dalam mengestimasi persamaan, terdapat banyak
kriteria selain indikator-indikator statistik tradisional. Kriteria-kriteria tersebut adalah
kelayakan kualitatif dan kuantitatif dari persamaan, goodness of fit, besarnya residual, dan
kelayakan hasil simulasi. Dalam kasus tertentu, apabila tidak tersedia data tahunan (sebagai
contoh persamaan tenaga kerja), koefisien persamaan ditentukan melalui beberapa bentuk
analisa kalibrasi. Model ekonomi makro harus mengandung variabel instrumen kebijakan
yang dikendalikan oleh pembuat kebijakan dan variabel ekonomi penting, seperti
pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, transaksi pemerintah/defisit anggaran, dan transaksi
berjalan agar mempunyai relevansi kebijakan.
Agar mudah dipahami, model tersebut harus transparan dan terbuka secara
keseluruhan, baik mengenai persamaan-persamaan model maupun input model. Pada
akhirnya, perlu dicatat bahwa pengembangan model adalah proses pembelajaran, baik bagi
penyusun model maupun pengguna sehingga mereka dan seyogyanya belajar satu sama
4
Deskripsi lebih lengkap, silakan merujuk Tim MODFI (2005), Model Ekonomi Makro Departemen Keuangan
RI (MODFI) Edisi Revisi, Direktorat Kebijakan Ekonomi Makro DJAPK, Departemen Keuangan dan berbagai
Seri Paper MODFI (Macro Model of MoF Indonesia), terakhir edisi Paper 22, Dec 2012.
58
lain. Semua hasil regresi didasarkan atas analisa parsial. Di dalam model, analisa parsial ini
digabungkan dalam suatu sistem persamaan. Sebagai bagian dari sistem, dampak yang
secara relatif moderat dari satu variabel terhadap lainnya dapat diperkuat oleh persamaanpersamaan yang lain. Dengan demikian, penginterpretasian kinerja setiap persamaan secara
individual perlu dilakukan secara hati-hati. Pada akhirnya, sistem tersebut secara
keseluruhan dapat bekerja yang pada gilirannya sangat menentukan suksesnya suatu
model.
5.1. Struktur Model Ekonomi Makro
Model MODFI yang dibangun sebagai model analisa kebijakan terdiri dari empat blok
utama: blok pasar barang, blok pemerintah, blok moneter, dan blok eksternal.
Pada pasar barang, produksi ditentukan oleh permintaan. Total permintaan
didefinisikan sebagai penjumlahan dari konsumsi, investasi, perubahan stok, dan ekspor
dikurangi impor. Dalam jangka pendek, total permintaan dapat tidak seimbang dengan
penawarannya. Total penawaran didefinisikan sebagai fungsi produksi yang biasa
digunakan. Fungsi produksi yang digunakan adalah model Leontief dimana besaran stok
modal merupakan kendala. Selisih antara permintaan dan penawaran kemudian diukur
dengan tingkat kapasitas utilisasi (capacity utilization rate). Dengan demikian, capacity
utilization rate merupakan tolak ukur ketidakseimbangan (disequilibrium) pada pasar
barang.
Dalam model, setidaknya terdapat dua variabel yang mendorong ke arah penciptaan
equilibrium (lihat Gambar 5.1 di bawah) yaitu harga dan investasi. Sebagai contoh,
diasumsikan bahwa capacity utilization rate berada di atas tingkat yang stabil. Hal itu
berarti terdapat kelebihan permintaan dalam perekonomian. Pertama, hal tersebut akan
meningkatkan tekanan ke atas terhadap harga-harga, yang pada gilirannya akan
mengurangi permintaan. Kedua, hal itu juga akan mendorong investasi yang lebih tinggi,
yang pada gilirannya akan meningkatkan penawaran. Dalam jangka menengah, pasar
barang akan menuju ke arah equilibrium. Dengan demikian, perubahan harga-harga
mempunyai peranan yang sangat menentukan di dalam model, terutama terhadap sisi
permintaan. Oleh karena itu, melalui mekanisme harga ini, sisi permintaan telah
mempengaruhi tingkat pertumbuhan dalam jangka pendek. Selanjutnya dalam jangka
menengah harga-harga menjamin perkembangan ekonomi yang sustainable apabila
59
pertumbuhan total permintaan sejalan dengan pertumbuhan penawaran. Oleh karena itu,
dalam jangka menengah, sisi penawaran akan menentukan tingkat pertumbuhan.
Elemen kedua adalah dampak keuntungan atas investasi. Keuntungan yang diukur di
sini adalah tingkat pengembalian investasi neto (net rate of return on investment). Pada
dasarnya, keuntungan adalah faktor utama dalam investasi dalam jangka menengah. Oleh
karena itu, keuntungan pada gilirannya sangat menentukan perkembangan kapasitas
produksi dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam model ekonomi makro yang dikembangkan ini (MODFI), blok pemerintah
mempunyai uraian yang lebih rinci. Variabel dalam sisi penerimaan negara hampir
seluruhnya bersifat endogen. Penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak sangat
dipengaruhi oleh kinerja ekonomi secara keseluruhan. Beberapa variabel pada sisi
pengeluaran bersifat endogen seperti tingkat bunga dan belanja pegawai, sedangkan
variabel-variabel lainnya bersifat eksogen karena merupakan rencana kebijakan
pemerintah.
Tingkat bunga ditentukan dalam blok moneter. Tingkat bunga dispesifikasikan dalam
persamaan turunan (derived equation) dan menentukan keseimbangan pasar uang. Sejauh
ini, tingkat bunga luar negeri belum mempunyai peranan dalam model. Nilai tukar adalah
eksogen dan diperlakukan sebagai variabel instrumen. Jika diperlukan dalam aplikasi, nilai
tukar dapat dijadikan endogen dalam simulasi.
Pada pasar tenaga kerja, tingkat penyerapan tenaga kerja sangat ditentukan oleh
permintaan, dengan asumsi terdapat persediaan tenaga kerja yang berlebih pada sektor
informal. Sektor administrasi pemerintah mempengaruhi trend upah sektor swasta. Upah
sektor pemerintah mengikuti inflasi periode sebelumnya ditambah dengan peningkatan
upah riil secara konstan.
Hubungan berbagai variabel dalam model dapat diilustrasikan melalui diagram dan
dalam box di bawah. Arah panah dalam diagram hanya menunjukkan variabel-variabel dan
hubungan yang utama saja. Diagram tersebut dibagi dalam tiga kolom: pemerintah, sektor
riil, dan harga.
Model
ekonomi
makro
yang
dikembangkan
mempunyai
variabel-variabel
penerimaan dan pengeluaran pemerintah secara rinci, yang dalam diagram hanya
ditunjukkan dalam tiga bagian, pendapatan, belanja, dan defisit anggaran. Pengeluran
utama pemerintah, seperti konsumsi barang dan jasa, upah dan investasi merupakan
komponen dari produksi domestik bruto. Tingkat upah sektor pemerintah diasumsikan
60
lebih atau kurang mengikuti tingkat upah sektor swasta dan konsumsi barang pemerintah
mengikuti pertumbuhan PDB. Selanjutnya, pemerintah juga harus membayar suku bunga
utang pemerintah. Untuk menghindari agar arus bagan dari tingkat bunga ke arah
pembayaran bunga tidak terlalu panjang, dalam diagram model ini pembayaran bunga dari
pemerintah digambarkan sebagai penerimaan (negatif). Sementara itu, pajak tidak langsung
berdampak langsung pada harga, sedangkan pajak langsung yang merupakan fungsi
pendapatan masyarakat, berdampak tidak langsung pada harga setelah terlebih dahulu
mempengaruhi konsumsi dan investasi.
Dalam diagram, komponen dari produk domestik bruto (PDB) diidentifikasikan
berasal dari konsumsi swasta, investasi swasta, konsumsi pemerintah, investasi pemerintah,
ekspor dan impor. Pertumbuhan konsumsi seiring dengan pertumbuhan pendapatan riil
(dengan tingkat tabungan dari pendapatan keuntungan lebih tinggi dibanding pendapatan
upah). Sementara itu, persamaan investasi dijelaskan oleh perubahan tingkat keuntungan,
suku bunga, dan tingkat utilisasi. Pertumbuhan ekspor nonmigas dipengaruhi oleh
pertumbuhan perdagangan dunia dan tingkat daya saing (harga relatif barang-barang
ekspor terhadap impor). Pertumbuhan impor sejalan dengan pertumbuhan permintaan
akhir, yang ditimbang dengan intensitas impor serta daya saing (harga relatif barang impor
dan barang domestik).
Selain komponen PDB, arus dalam diagram juga menunjukkan berbagai hal dalam
sektor riil yang bukan merupakan komponen PDB, yaitu: (1) kapasitas produksi, (2) tingkat
utilisasi (rasio antara PDB real dan kapasitas produksi. Rasio utilisasi ini mempengaruhi
harga konsumsi, harga investasi, dan volume investasi), dan (3) jumlah penyerapan tenaga
kerja dalam setahun dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB riil. Diagram tersebut juga
menunjukkan produktivitas tenaga kerja yang mempengaruhi upah dan biaya produksi.
Kolom harga terdapat pada kolom 3 dalam diagram yang terdiri dari: (1) harga biaya
produksi dipengaruhi oleh biaya-biaya pada sektor formal yang mencakup antara lain upah,
harga impor, harga BBM, (2) harga konsumen dipengaruhi oleh harga biaya produksi,
perubahan dalam tingkat utilisasi, dan perubahan dalam pajak tidak langsung, (3) harga
ekspor dipengaruhi oleh biaya produksi dan harga kompetitor, (4) harga investasi sama
dengan harga konsumen tanpa pajak tidak langsung, (5) tingkat upah mengikuti trend
produktivitas tenaga kerja dan inflasi, (6) tingkat bunga nominal hampir eksogen, dan (7)
nilai tukar eksogen.
61
Gambar 5.1: Struktur Model Ekonomi Makro (MODFI)
62
BOX 5.1: Persamaan Behavioral dalam MODFI
63
5.2. Variabel Primer dan Sekunder, Sektor, dan Pasar dalam Model
Ekonomi Makro
Sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 5.2, variabel dalam model ekonomi makro
dibedakan antara variabel primer dan sekunder. Pembedaan ini tidak biasa dalam
pengembangan model, namun hal ini dilakukan mengingat pendekatan model ekonomi
makro yang dipakai yaitu merupakan kombinasi model data dan model peramalan. Hal ini
dimaksudkan untuk memaksimalkan kegunaan dari model.
Variabel primer dalam model merupakan variabel eksogen atau yang diturunkan dari
persamaan behavioral. Pembedaan ini hanya relevan jika dilakukan prediksi terhadap nilai
dimasa datang. Nilai-nilai variabel untuk masa lalu merupakan akumulasi data
perekonomian dari berbagai sumber. Data tersebut merupakan basis data untuk
memprediksi nilai yang akan datang, baik yang berdasarkan variabel eksogen maupun
variabel behavioral. Secara ringkas, nilai variabel primer dalam model sudah tertentu di
masa lalu, sementara nilai di masa datang dihasilkan atas dasar persamaan eksogen atau
behavioral.
Gambar 5.2: Variabel Ekonomi
Variabel sekunder dalam model diperoleh dengan menggunakan persamaan definisi.
Nilai-nilai tersebut secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan variabel primer.
64
Dalam model ekonomi makro ini yang dikembangkan adalah setelah variabel primer di
masa lalu dan estimasi untuk masa datang terisi, maka secara otomatis variabel sekunder
terisi. Jika model diubah dengan merubah variabel primernya, variabel sekunder akan
mengikuti sesuai dengan persamaan definisinya.
Dengan demikian, persamaan dalam model ini terdiri dari dua kelompok utama:
1. Variabel primer: persamaan semi behavioral dalam blok pemerintah pusat, persamaan
behavior, dan variabel eksogen.
2. Varibel sekunder: variabel definisi (variabel pembantu dan variabel output).
7.3. Koefisien-koefisien dalam Model MODFI
Koefisien-koefisien dalam model ekonomi makro didasarkan atas:
1. Hasil analisa regresi
2. Matrik struktur produksi kumulatif (cumulative production structure matrix)
3. Kelayakan berbagai analisa varian dan base line
4. Berbagai policy measures (langkah kebijakan yang diperkirakan akan diambil,
khususnya untuk koefisien dalam persamaan fiskal)
5. Properti model jangka panjang
6. Hasil kalibrasi dari nilai koefisien awal
7. Diskusi dengan para ahli dalam berbagai workshop.
7.4. Catatan
Model MODFI dikembangkan pertama kali pada tahun 2000 atas bantuan proyek Bank
Dunia (ASEM trust fund) dan technical assistance dari MMC Micromacro Consultants
BV, Netherlands. Pada bulan Maret 2001, model MODFI untuk pertama kali selesai
dikembangkan dan digunakan untuk mendukung Departemen Keuangan dalam: proyeksi
APBN, analisis kebijakan fiskal (khususnya perpajakan) dan untuk peramalan variabel
ekonomi makro. Setelah itu berbagai seri training untuk staff Kementerian Keuangan dan
penyempurnaan model dilakukan. Setiap progress pengembangan model dan kegiatan
training terdokumentasikan di dalam serial Paper MODFI. Hingga saat ini telah terdapat 22
seri paper MODFI, edisi yang terakhir yaitu Paper 22, Desember 2012 merupakan
dokumentasi hasil pengembangan dan training MODFI Modeller BKF di kantor MMC
Micromacro Consultants BV, Netherlands.
65
Dalam beberapa tahun terakhir Model MODFI sempat vakum ketika para modellernya sedang menjalani studi lanjut. Pada tahun ini dicoba untuk direvitalisasikan kembali.
Hal ini antara lain dimotivasi oleh keunggulan yang dimiliki oleh Model MODFI sebagai
salah satu model utama yang perlu tetap dikembangkan untuk melayani tugas-tugas BKF.
Keunggulan itu antara lain:
1. Model MODFI merupakan tipikal model micro-macro simulation yang mampu
menghubungkan variabel-variabel mikro dan makro ekonomi;
2. Model MODFI dapat digunakan untuk keperluan peramalan (forecasting) maupun
analisis dampak (kebijakan APBN ke ekonomi atau sebaliknya).
3. Model MODFI memiliki klasifikasi APBN secara detail sebagaimana dalam klasifikasi
I-Account, sehingga mampu menggambarkan perubahan-perubahan baik yang bersifat
peramalan maupun analisis dampak secara utuh atau keseluruhan APBN;
4. Model MODFI memiliki potensi untuk dikembangkan fitur-fiturnya dengan
menambahkan blok atau model satelit yang terhubung dengan model induk MODFI,
misalnya model satelit untuk analisis kemiskinan;
5. Model MODFI dijalankan dengan aplikasi Excel sehingga relatif mudah untuk
dikaitkan dengan beberapa model BKF lainnya yang memiliki platform aplikasi yang
sama; dan
6. Model MODFI dikuasai dengan baik oleh beberapa modeller di BKF, walaupun
sebagian besarnya sudah menjadi staf senior sehingga mendesak diperlukan regenerasi;
66
Bab 6
Model Computable General Equilibrium (CGE)
Model Keseimbangan Umum atau Computable General Equilibrium (CGE) ialah suatu
persamaan simultan nonlinier yang mensimulasikan bekerjanya perekonomian dengan
mengakomodasi penyesuaian harga dan kuantitas sebagai penyeimbang pasar faktor
produksi maupun pasar komoditi (Lewis, 1991). Jika diuraikan maka dapat didefinisikan
bahwa model CGE memiliki pengertian sebagai berikut:
–
CGE adalah sebuah model yang berbentuk persamaan-persamaan matematika
–
Persamaan-persamaan dituliskan dituliskan berdasarkan teori ekonomi (mostly
microeconomic theory)
–
Jadi kadang CGE disebut sebagai “sistem persamaan non-linear dengan n variable dan
n persamaan”
–
Karena n nya banyak, maka perlu komputer untuk menyelesaikannya
–
“.. in all cases where the repercussions of proposed policies are widespread, there is
no real alternative to CGE” (Arrow, 2005, p. 13).
Saat ini ada beberapa model CGE yang dapat digunakan untuk analisis dampak suatu
kebijakan kebijakan fiskal. Deskripsi tentang berbagai model CGE tersebut akan dijelaskan
satu per satu sebagai berikut.
6.1. Model AGEFIS5 dan AGEFIS-E6
AGEFIS (Applied General Equilibrium model for FIScal Policy Analysis) merupakan
model computable general equilibrium (CGE) yang didesain secara khusus, tapi tidak
terbatas, untuk melakukan analisis berbagai aspek kebijakan fiskal di Indonesia. Model
CGE AGEFIS dibangun dalam rangka kerjasama capacity building untuk Badan Kebijakan
Fiskal (BKF), Departemen Keuangan, Republik Indonesia bersama dengan Center for
Economics and Development Studies (CEDS), Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran.
Model ini dikembangkan untuk mengantisipasi kebutuhan BKF untuk menganalisa
dampak berbagai kebijakan fiskal terhadap perekonomian, juga dampak dari berbagai
shocks dalam perekonomian terhadap posisi fiskal.
5
6
Versi lengkap tentang Model AGEFIS silakan merujuk ke paper Yusuf et al. (2008)
Versi lengkap tentang Model AGEFIS-E silakan merujuk ke paper Yusuf et al. (2010)
67
Tidak seperti layaknya kebanyakan model‐model CGE Indonesia yang berbasis
GEMPACK dan menggunakan data tabel IO sebagai data dasar (misal INDORANI,
WAYANG, INDOCEEM, dll), AGEFIS menggunaan data SAM. Ini mutlak diperlukan
karena untuk memfokuskan pada aspek fiskal, table IO jauh dari mencukupi. Untuk
menganalisa aspek fiskal diperlukan arus transaksi darimana saja penerimaan pemerintah,
dan kemana saja aliran pengeluaran pemerintah. Informasi ini tidak tersedia dari tabel IO.
Oleh karena itu, satu‐satunya cara adalah membangun model yang murni berbasis data
SAM (Fully SAM-based CGE model).
Sepanjang pengetahuan penulis, sampai sejauh ini, AGEFIS adalah satu‐satunya
CGE model berbasis GEMPACK yang bersifat Fully SAM-Based di Indonesia. Walaupun
secara struktur Model AGEFIS, mirip dengan model‐model SAM‐based lain yang
umumnya menggunakan software GAMS, AGEFIS didesain interface‐nya untuk
memudahkan analisa‐analisa fiskal. Pengguna bisa melakukan shock‐shock exogenous
pada berbagai variable komponen anggaran pemerintah atau melihat dampaknya secara
mudah dan cepat untuk melihat dampak sebuah shock terhadap posisi fiskal.
Model AGEFIS masih jauh dari sempurna dan memerlukan berbagai modifikasi dan
ekstensi untuk menyempurnakan. Misalnya: jumlah sektor AGEFIS yang hanya 23
komoditi kurang memberi fleksibilitas dalam melakukan simulasi sektoral yang detail.
Selain itu juga belum ada link teoritis antara penerimaan pemerintah dengan pengeluaran
pemerintah untuk investasi (capital expenditure). Di masa yang akan datang
kelemahan‐kelemahan ini bisa diperbaiki.
Semantara itu, AGEFIS-E (E singkatan dari energy) ialah modifikasi dari Model
AGEFIS pertama, untuk melakukan analisis lanjut berbagai kebijakan terkait mitigasi
perubahan iklim (climate change) dari sektor energi. Model ini dikembangkan untuk
mengevaluasi berbagai skenario pengurangan emisi karbon dari sektor energi.
Secara singkat, beberapa modifikasi yang dilakukan atas Model AGEFIS adalah
sebagai berikut: (i) disagregasi secara lebih detail untuk beberapa sektor energi baik fosil
tau penghasil karbon maupun sumber energy terbarukan secara eksplisit; (ii) perubahan di
struktur produksi sehingga memungkinkan substitusi antar jenis eumber energy dan antar
energy dengan input lainnya (dalam hal ini input primer) dan dengan sektor energi
terbarukan dalam hal ini geothermal dan hydropower; (iii) disagregasi rumah tangga
kedalam klasifikasi urban poor, urban non poor, rural poor, dan rural non poor; dan (iv)
perlakuan emisi karbon dan pajak karbon secara eksplisit.
68
Struktur model AGEFIS-E dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut. Struktur
produksi terdiri dari 33 sektor berdasar fungsi produksi Leontief dari input antara
(intermediate input) dan nilai tambah (value added). Nilai tambah merupakan fungsi
Constant Elasticity of Substitution (CES) atas factor produksi primer: modal dan tenaga
kerja. Model AGEFIS-E memperluas sektor produksi yang memungkinkan untuk substitusi
energi (Lihat Gambar 6.1).
Gambar 6.1: Struktur Produksi Model CGE AGEFIS-E
Pilihan konsumsi antara barang impor dan domestic ditentukan dengan spesifikasi
Armington. Rumah tangga memaksimalkan fungsi utilitas Cobb-Douglas dengan kendala
anggaran. Rumah tangga menerima pendapatan dari kepemilikan factor produksi dan
69
transfer dari institusi lainnya (government, corporations, dan rest of the world). Pemerintah
memperoleh pendapatan bersumber pada pajak tidak langsung, pajak langsung,
kepemilikan factor produksi dan transfer dari institusi lainnya, seperti dari rest of the
world. Pemerintah membelanjakannya dalam bentuk konsumsi, subsidi dan transfer ke
institusi lainnya.
Model AGEFIS merupakan model comparative statics yang memiliki pilihan closure
yang cukup fleksibel, yaitu: (i) long-term closure, perekonomian dalam kondisi full
employment; modal dan tenaga kerja dapat bergerak bebas antarsektor; (ii) short-term
closure dengan karakter modal tetap dan agregat tenaga kerja yang berubah (terjadi
pengangguran); (iii) short-term closure dengan karakter kondisi full employment dan
modal tetap; dan (iv) beberapa kemungkinan closure lain dari sisi fiscal. Database
AGEFIS-E disusun dengan basis Social Accounting Matrix (SAM) 2005 dengan beberapa
pengembangan lanjut untuk features energy dengan bantuan Badan Pusat Statistik.
6.2. Model INDOFISCAL
Model CGE INDOFISCAL dikembangkan oleh Amir (2011) dalam disertasinya. Aspek
pemodelannya merupakan rumpun Model ORANI-G (2003) dan dikombinasikan dengan
fitur-fitur dari Model Applied General Equilibrium Model for Fiscal Policy Analysis
(AGEFIS) yang dikembangkan oleh Yusuf et al. (2008). Adopsi fitur AGEFIS digunakan
untuk mengakomodasi informasi-informasi penting dalam Social Accounting Matrix
(SAM) yang tidak dicakup dalam Tabel Input-Output (IO), khususnya yang terkait
transaksi antar institusi atau agen dalam perekonomian. AGEFIS merupakan model CGE
berbasis penuh SAM yang pertama kali di Indonesia dengan fokus target penggunaan
untuk alat analisis kebijakan fiscal. Model CGE dengan basis SAM memiliki informasi
yang lebih kaya khususnya dalam kemampuannya menyajikan informasi arus transaksi
pemerintah baik dari sisi pendapatan maupun sisi pengeluaran. Tidak hanya arus transaksi
yang dilakukan oleh pemerintah namun juga rumah tangga, perusahaan dan rest of the
world.
Struktur teoritis dalam Model INDOFISCAL mengikuti Johansen approach, yaitu
persamaan-persamaannya disajikan dalam bentuk linearisasi persentasi perubahan bukan
dalam bentuk persamaan level. Pendekatan ini juga digunakan oleh kebanyakan model
CGE Australian style seperti ORANI (P.B. Dixon et al., 1982) and MONASH (Peter B.
70
Dixon and
Rimmer, 2002). Dalam hal pengembangan kategori rumah tangga untuk
mampu menggambarkan pola distribusi pendapatan dan kemiskinan ke dalam model,
digunakan pendekatan yang dilakukan oleh Yusuf (2007).
Struktur produksi
Struktur produksi model INDOFISCAL diilustrasikan seperti dalam Gambar 6.2. yaitu
mengikuti pendekatan beberapa model sebelumnya, antara lain: ORANI-G (Horridge,
2003), dan WAYANG (Wittwer, 1999). Industri di dalam model merupakan industry
dengan output komoditas tunggal; menggunakan input baik dari komoditas domestik
maupun impor, faktor produksi primer dan biaya lain-lain. Faktor produksi primer terdiri
atas modal dan 16 jenis tenaga kerja sebagaimana klasifikasi dalam SAM 2005.
Output dihasilkan dari tiga level proses. Pada level teratas, output produksi setiap
industri memerlukan intermediate input, faktor primer dan biaya lain-lain. Biaya lain-lain
terdisi atas semua pajak atau subsidi pada kegiatan produksi. Semua input ini mengikuti
fungsi fixed-proportion relationship menurut Leontief sebagaimana prinsip dalam Tabel
IO. Dengan fungsi persamaan ini, misalnya terdapat banyak tersedia intermediate input
bagi sutu industri, tidak berarti bahwa level produksi akan selalu meningkat. Hal ini
tergantung dari ketersediaan faktor produksi lainnya seperti input primer tenaga kerja atau
mesin untuk tetap menjaga bahwa semua input produksi dalam proporsi yang tetap sama.
Pada level yang lebih rendah, ada dua kelompok persamaan: komposisi domestik
atau impor dari intermediate input dan proporsi faktor produksi primer. Pertama,
permintaan intermediate input untuk setiap industry mengikuti fungsi minimisasi biaya
produksi melalui substitusi barang domestik dan impor menurut asumsi Armington
(Armington, 1969). Untuk meminimisasi biaya, produsen memilih untuk membeli bahan
baku baik dari pasar domestik atau impor yang memberikan harga yang termurah. Jika
harga bahan baku di pasar domestik meningkat dan menjadi lebih mahal secara relatif
maka produsen akan mengalihkan untuk membeli dari pasar impor. Proses substitusi ini
dipengaruhi oleh CES (Armington) parameter untuk menghasilkan respon yang realistis
atas perubahan harga. Kedua, minimisasi biaya permintaan atas faktor primer juga
menggunakan fungsi CES. Sama dengan prosedur dalam permintaan intermediate input,
produsen akan mensubstitusi input yang lebih mahal secara relatif (modal atau tenaga kerja
komposit) dengan yang relatif lebih murah.
71
Pada level paling bawah, terjadi minimisasi biaya permintaan terhadap tenaga kerja
komposit dengan fungsi CES terhadap kombinasi atas 16 jenis tenaga kerja. Jenis tenaga
kerja yang lebih murah akan mensubstitusi jenis tenaga kerja yang lebih mahal secara
relatif sedemikian rupa sehingga menghasilkan biaya tenaga kerja yang paling minimal.
Gambar 6.2: Struktur produksi Model INDOFISCAL
Output
Leontief
Intermediate
inputs (i to n)
Primary factors
CES
CES
Imports
Labour
Composite
Capital
Domestic
Other costs
CES
Key
Functional
form
Inputs or Outputs
Labour 1
. up to .
Labour 16
Sumber: Horridge (2003)
Permintaan investasi
Struktur permintaan akhir untuk investasi bagi industri sangat mirip dengan struktur
produksi kecuali bahwa untuk investasi tidak memerlukan faktor primer dan biaya lainlain. Modal diasumsikan dihasilkan dengan input baik dari domestik maupun impor.
Permintaan investasi diturunkan dari dua proses minimisasi biaya. Pada level pertama, total
biaya dari komoditas domestik dan impor diminimisasi dengan fungsi produksi CES. Pada
level kedua, diatasnya, total biaya atas kombinasi komoditas diminimasi dengan fungsi
produksi Leontief. Total nilai investasi untuk tiap industri ialah eksogen dan didefinisikan
dalam persamaan yang lain.
72
Household demands
Ada 200 rumat tangga di dalam model. Tiap rumah tangga memaksimalkan utilitasnya
dengan memilih komoditas yang dikonsumsi dalam batasan anggaran. Persamaan
maksimasi utilitas rumah tangga pada prinsipnya mirip dengan persamaan permintaan
investasi. Perbedaannya bahwa kombinasi komoditas menggunakan fungsi utilitas KleinRubin yang merupakan linear expenditure system (LES).
Dalam fungsi ini, alokasi pengeluaran rumah tangga untuk mengkonsumsi kombinasi
komoditas yang dibedakan dalam dua jenis permintaan:
‘subsistence demand’ untuk
permintaan barang yang tidak dipengaruhi oleh harga dan ‘luxury demand’ untuk porsi
konsumsi atas komoditas yang dipengaruhi oleh harga (Horridge, 2003).
Fungsi utilitas rumah tangga hanya menjelaskan komposisi permintaan komoditas
oleh rumah tangga untuk memaksimalkan utilitasnya. Sementara total konsumsi rumah
tangga di perekonomian dihasilkan dari total pendapatan disposable yaitu pendapatan
keseluruhan rumah tangga dikurangi pajak penghasilannya. Lebih detail akan dijelaskan
dalam bagian pembahasan tentang institusi dalam model.
Permintaan ekspor
Terdiri atas dua kelompok permintaan: individual dan kolektif. Untuk ekspor individual,
permintaan luar negeri berbanding terbalik dengan harga komoditas tersebut. Untuk ekspor
kolektif, permintaan luar negeri berbanding terbalik dengan rata-rata harga untuk
keseluruhan komoditas kolektif yang diekspor.
Institusi
Terdapat empat institusi di dalam model: rumah tangga, perusahaan, pemerintah dan rest of
the world (ROW). Rumah tangga merupakan sumber factor produksi, mendapatkan
penghasilan atas kepemilikan factor produksi (tenaga kerja dan modal). Penghasilan rumah
tangga juga berasal dari transfer dari pemerintah, perusahaan, luar negeri (ROW) dan dari
rumah tangga lainnya. Penghasilan rumah tangga dikurang pajak penghasilan merupakan
pendapatan disposable, dan pajak merupakan persentase atas penghasilan. Sebagian
pendapatan disposable dibelanjakan dan sisanya disimpan sebagai tabungan rumah tangga.
Pendapatan perusahaan terdiri atas penghasilan atas kepemilikan factor produksi
(modal) dikurangi pajak penghasilan badan, dan transfer dari institusi yang lain. Belanja
73
perusahaan berupa pembayaran atau transfer ke institusi yang lain. Saldonya merupakan
tabungan perusahaan.
Pendapatan pemerintah merupakan total penerimaan dari berbagai sumber
pendapatan, yaitu: (i) pajak tidak langsung; (ii) pendapatan dari ekspor; (iii) tariff impor;
(iv) pajak penghasilan (rumah tangga); (v) pajak penghasilan badan; (vi) transfer dari
ROW; dan (vii) pendapatan dari kepemilikan factor produksi. Belanja pemerintah terdiri
atas konsumsi barang dan jasa, dan transfer ke institusi lain baik domestik maupun luar
negeri. Belanja lain berupa subsidi baik subsidi atas komoditas maupun subsidi ke industry.
Pendapatan pemerintah dikurangi belanjanya merupakan saldo (surplus) anggaran.
Pada ROW, pendapatan luar negeri merupakan pendapatan dari kepemilikan faktor
produksi oleh ROW, pembayaran yang diterima dari impor komoditas dan transfer dari
institusi lainnya. Pengeluaran luar negeri terdiri atas belanja dari barang yang diekspor,
pembayaran untuk faktor produksi dan transfer ke institusi yang lain. Saldonya merupakan
tabungan luar negeri.
Closure
Dalam model CGE comparative static, reaksi perekonomian atas shock kebijakan hanya
dalam satu periode waktu, sehingga solusi yang berupa perubahan dalam beberapa waktu
atau periode tidak bisa dihasilkan. Tetapi dapat dihasilkan dalam dua periode: short-run
dan long-run. Dalam model ini, closure short-run dan long-run dibedakan oleh variable
eksogen di pasar faktor. Pada short-run, diasumsikan bahwa tidak cukup waktu untuk
melakukan penambahan modal (tidak ada investasi). Modal spesifik terhadap sector dan
fixed serta tidak bisa berpindah antarindustri. Rate of return modal berubah untuk
merefleksikan perubahan permintaan modal. Closure short-run juga mengasumsikan
bahwa waktu tidak memadai untuk melakukan penyesuaian kontraktual tenaga kerja. Maka
tingkat upah riil diasumsikan tetap/tidak berbah. Ini berarti bahwa ketenagakerjaan secara
agregat dapat berubah mengikuti perubahan di pasar tenaga kerja.
Di sisi lain, closure long-run, tingkat upah riil dibuat fleksibel untuk menjaga
ekonomi berada dalam kondisi full-employment. Tenaga kerja dapat berpindah antarsektor
dan antarjenis pekerjaan. Selain itu, modal dapat berubah dan bergerak antarsektor. Rate of
return modal pada level nasional dibuat tetap tetapi pada level sector dapat berubah sejalan
dengan pertumbuhan modal sektoral. Variabel eksogen untuk short-run dan long-run
adalah tariff pajak, impor, transfers antarinstitusi dan perubahan teknologi.
74
Dalam aplikasi kebijakan, simulasi juga dibedakan dalam dua kondisi: budget
neutrality untuk long-run dan non-budget neutrality untuk short-run. Dalam kondisi nonbudget neutrality, kebijakan kenaikan perpajakan akan menaikkan pendapatan Negara dari
pajak tahun berjalan, ketika pemerintah tetap menjaga level belanjanya (tidak berubah)
maka deficit anggaran akan menurun. Namun, dalam kondisi budget neutrality, tambahan
pendapatan perpajakan akan dialokasikan untuk meningkatkan belanja pemerintah secara
proporsional sehingga level deficit anggaran tidak berubah. Sebagai catatan bahwa model
CGE ini belum mengakomodasi perubahan anggaran pemerintah dari aspek keuangan. Hal
ini memungkinkan untuk model CGE financial (Financial CGE Model).
Database Model
Database model dikonsolidasikan dari tiga sumber data utama: (a) Table IO; (b) SAM; dan
(c) Susenas. Semua data merupakan publikasi BPS-Statistics Indonesia. Ada dua langkah
utama untuk mengkonsolidasi ketiga sumber data ini. Pertama, menambah klasifikasi
rumah tangga pada Tabel IO dan SAM dengan menggunakan informasi distribusi
pengeluaran berdasar data Susenas. Kedua, menggabungkan dan mengkonsolidasi data IO
dan SAM yang telah ditambahkan klasifikasi rumah tangganya. Dengan demikian database
model mampu mengakomodasi berbagai keunggulan informasi yang dimiliki oleh sumber
data utama ini. Proses konstruksi database secara sederhana dapat diilustrasikan
sebagaimana dalam Gambar 8.3. Saat ini model INDOFISCAL memiliki tiga benchmark
database: (1) Benchmark data 2005 dengan 24 sektor industry; (2) Benchmark data 2005
dengan 175 sektor industry; dan (3) Benchmark data 2008 dengan 66 sektor industri.
Penggunaan database ini disesuaikan dengan kebutuhan analisis kebijakan yang akan
disimulasikan.
Contoh Analisis dengan Model CGE INDOFISCAL
Beberapa analisis kebijakan yang pernah dilakukan dengan menggunakan model CGE
INDOFISCAL antara lain sebagai berikut:
3. Analisis dampak stimulus fiskal aspek perpajakan dalam mengantisipasi krisis tahun
2009 (Amir, 2012b; Amir et al., 2013);
4. Analisis dampak pengenaan pajak ekspor bijih mineral dan hasil tambang mentah 2012
(Amir, 2012a); dan
5. Analisis dampak kenaikan besaran PTKP 2012 (Amir and Hewings, 2013);
75
Gambar 6.3: Proses Konstruksi Database Model
SAM
(24 industri x 24 komoditas)
Matriks yang menggambarkan aliran uang antara
pelaku dan sektor ekonomi :
 Rumah Tangga (10 kategori):
• konsumsi (domestik & impor)
• faktor produksi : 16 tenaga kerja dan 1 capital
• Pajak Perseorangan (PIT)
• Transfer ke dan dari pelaku lainnya
 Faktor produksi dari pelaku lainnya
 Transfer antar pelaku ekonomi : pemerintah,
perusahaan, dan ROW
 APBN : Pajak Perusahaan; Pajak Tidak Langsung;
Bea Masuk; Subsidi; Factor Income dan Konsumsi
SUSENAS
Perluasan SAM kategori Rumah Tangga :
Modul Konsumsi dan Penghasilan
(100 pedesaan + 100 perkotaan)
Penghasilan Rumah Tangga :
 Gaji dan Upah (16 jenis)
 Capital income
 Transfer dari : Rumah tangga (200),
pemerintah, perusahaan, dan ROW
SurveI tentang karakteristik sosial-ekonomi Rumah
Tangga termasuk penghasilan dan pengeluaran untuk
berbagai komoditi.
Household Expenditure:
 Pajak Perseorangan/PIT (200 h.)
 Transfer ke : Rumah tangga (200), pemerintah,
perusahaan, dan ROW (24 domestik, 24 impor)
Percentile expenditure dan income per capita for
rural dan urban areas
Perluasan Kategori
household kategori
IO
Size
Basic
Flows
Margins
 200 Rumah Tangga (100 pedesaan + 100 perkotaan)
Berdasarkan distribusi penghasilan dan pengeluaran
 Komponen IO yang sangat diperlukan adalah
produksi output dan komposisi harga
 Komponen SAM yang sangat diperlukan adalah
transaksi inkorporasi antar pelaku ekonomi
Taxes
Labour
Kombinasi Fitur Rumah Tangga IO-SAM
termasuk :
- links penghasilan RT dengan factor
income (upah dan gaji dan capital
income)
- links konsumsi RT dengan permintaan
RT
Kombinasi dan kompilasi fitur IO-SAM
lainnya
76
Capital
Production
Tax
Other
Costs
IO
Absorption Matrix
MODEL DATABASE
 Kombinasi IO dan SAM dengan kategori Rumah
Tangga yang diperluas
RT

C x S


C x S x M


C x S


O


1


1


1

1
2
3
4
5
6
Producers
Investors
Household
Export
Government
Change in
Inventories
I
I H
1
1
1
V1BAS
V2BAS
V3BAS
V4BAS
V5BAS
V6BAS
V1MAR
V2MAR
V3MAR
V4MAR
V5MAR
n/a
V1TAX
V2TAX
V3TAX
V4TAX
V5TAX
n/a
V1LAB
V1CAP
V1PTX
OCT
C
I
S
O
H
M
=
=
=
=
=
=
Number of Commodities
Number of Industries
2: Domestic, Imported,
Number of Occupation Types
Number of Household Categories
Number of Commodities used as Margins
Production
Matrix
Import Duty
Size
I
Size
 1

C

MAKE

C

V0TAR
6.3. Model CGE Berbasis Web7
Suatu model perekonomian dibangun dengan tujuan untuk memahami perilaku nyata
dalam suatu perekonomian. Dengan membangun suatu model yang tepat, ekonom dapat
mempelajari sebab dari suatu peristiwa ekonomi beserta dampaknya. Ada banyak model
perekonomian yang dapat digunakan, salah satunya adalah model Computable General
Equilibrium (CGE).
Model CGE dapat membantu kita untuk mendapatkan pemahaman lebih baik tentang
kejadian dan interaksi yang terjadi dalam suatu perekonomian. Model CGE memodelkan
perekonomian secara keseluruhan, mulai dari pelaku/agen-agen yang terlibat dalam
perekonomian, beserta perilaku dan interaksinya dalam suatu perekonomian.
Gambar 6.4: Agen-agen yang terlibat dalam perekonomian beserta interaksinya
Sebagaimana gambar 6.4 diatas, ada berbagai pelaku/agen-agen yang terlibat dalam
suatu perekonomian sebagai contoh produsen, rumah tangga, dan pemerintah. Agen-agen
perekonomian tersebut mempunyai perilaku dan motifnya masing-masing serta saling
berinteraksi
7
di
dalam
perekonomian.
Misalkan
produsen
mempunyai
periaku
Versi lengkap tentang Model CGE Berbasis Web silakan merujuk Laporan Hasil Kajian Tim-PKPN (2012)
tentang Pembentukan Model Pengukuran Dampak Atas Pemberian Fasilitas/Insentif Perpajakan Pada
Sektor Industri Nasional
77
memaksimalkan keuntungan, sedangkan pengguna barang/jasa mempunyai perilaku
memaksimalkan utilitas. Motif-motif inilah yang membentuk interaksi dari agen-agen
tersebut dalam perekonomian. Inilah yang dicoba untuk dimodelkan dalam model CGE.
Penggunaan Model CGE dalam bidang perekonomian telah meluas selama 25 tahun
terakhir (Burfisher, 2011). Penggunannya lebih detekankan untuk menganalisis dampak
dari suatu kebijakan terhadap perekonomian secara keseluruhan. Model CGE disusun
berdasarkan teori ekonomi makro dan mikro, teori keuangan, teori perdagangan dan teoriteori perekonomian yang lain. Kelebihan model CGE antara lain:
-
Sifatnya general equilibrium
-
Analisis terhadap banyak sektor beserta keterkaitan antar sektor
-
Adanya peran harga dalam supply dan demand
-
Analisis short term dan long term
Namun demikian model ini memiliki kelemahan yaitu adanya kebutuhan data yang
besar dan kompleksitas dalam bahasa pemodelannya. Hal ini yang sering membuat orang
menjadi kesulitan dan akhirnya enggan memanfaatkan model tersebut.
Gambar 6.5: Bahasa Pemodelan Tablo pada Gempack
Model CGE biasanya terdiri dari ribuan baris bahasa pemodelan tablo seperti
dicontohkan pada gambar 6.5 diatas. Dari sini sudah terbayang kompleksitas yang akan
78
dihadapai dalam melakukan pemodelan CGE. Selain kompleksitas dari sisi pemodelan,
kelemahan lain dari model ini adalah susah mencerna hasil dari simulasinya sehingga
model ini sering disebut dengan istilah “Black Box”. Hal ini dikarenakan model ini
menghasilkan banyak angka output/variabel, sedangkan angka variable tersebut susah
ditelusuri darimana asalnya karena besarnya ukuran model.
Dari sini muncul suatu ide untuk melakukan suatu inovasi agar model ini dapat
dengan mudah dioperasionalkan dan dipahami oleh ekonom/penggunanya. Model harus
diracang ulang sedemikian rupa sehingga kerumitan yang ada pada model tidak tampak
lagi pada penggunanya. Solusi yang dicoba adalah dengan mengembangkan lebih lanjut
dan mengintegrasikan model CGE ke dalam aplikasi berbasis web.
Teknologi Web-Based
Aplikasi berbasis web (Web Based Application) adalah aplikasi yang dapat diakses melalui
web, baik itu jaringan internet maupun intranet. Aplikasi jenis ini dapat diakses melalui
web browser, itu artinya aplikasi ini dapat dijalankan dengan mudah dari manapun dan
kapanpun pada saat dibutuhkan. Karena kemudahannya tersebut, penggunaan aplikasi
berbasis web akhir-akhir ini semakin meluas baik di dalam organisasi privat maupun
pemerintah. Aplikasi berbasis web ini umumnya digunakan untuk merencanakan sekaligus
untuk mengelola sumber daya yang ada di dalam berbagai perusahaan/organisasi. Dewasa
ini aplikasi jenis ini populer dengan istilah cloud computing.
Pemanfaatan aplikasi berbasis web ini mulai berkembang di Kementerian keuangan
sejak lima tahun terakhir. Pemanfaatannya dapat kita lihat antara lain dapat ditemui dari
mulai aplikasi database pegawai sampai dengan Dashboard Bussines Inteligence
(BI)/Early Warning System (EWS) Kementerian Keuangan. Keunggulan aplikasi berbasis
web antara lain:
1.
Dapat diakses dimanapun dan kapanpun pada saat dibutuhkan melalui web browser,
tanpa harus menginstall software di komputer
2.
Dapat diakses secara bersama-sama oleh banyak pengguna (multi-users)
3.
Dapat dijalankan di berbagai sistem operasi
4.
Dapat diakses melalui banyak media seperti komputer, laptop, tablet, smartphone, dll
5.
Aplikasi dapat di desain dan disesuaikan untuk berbagai jenis industri/keperluan
6.
Dapat dilakukan pengaturan terhadap siapa saja yang bisa mengakses aplikasi, dan
sampai sejauh mana aksesnya
79
Sedangkan kelemahan dari aplikasi berbasis web adalah adanya ketergantungan
terhadap jaringan internet/intranet selama menjalankan aplikasi.
Gambar 6.6: Konsep Web-Based CGE yang dikembangkan
Web-Based CGE
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, aplikasi berbasis web dapat di desain dan
disesuaikan untuk berbagai jenis keperluan termasuk untuk keperluan analisis. Dengan
mengembangkan aplikasi berbasis web secara khusus dan mengintegrasikannya dengan
model CGE, diharapkan dapat membuat model CGE yang ada menjadi lebih efisien dan
efektif dalam melakukan analisis perekonomian. Efisien dan efektif disini dapat dartikan
bahwa model CGE menjadi lebih mudah dipahami dan lebih cepat dalam melakukan
simulasi dan analisis terhadap suatu kebijakan di bidang perekonomian.
Secara ilustratif, pembuatan web based CGE model dengan menggunakan model
CGE INDOFISCAL dengan database benchmark tahun 2008 adalah sebagaimana disajikan
dalam Gambar 6.7. sebagai berikut:
80
Gambar 6.7: Ilustrasi Proses Kerja Web-based CGE Model
Proses pengembangan Web-Based CGE Model
Salah satu tugas utama Pusat Kebijakan Pendapatan Negara adalah untuk melaksanakan
analisis dan penyusunan kebijakan teknis di bidang kebijakan pendapatan negara. Tugas
dari PKPN tersebut mencakup analisis dampak dari berbagai kebijakan pendapatan negara
yang meliputi pajak, cukai, bea masuk, bea keluar, dll. Selain itu PKPN juga dituntut untuk
dapat melakukan analisis kebijakan tersebut dalam waktu yang cepat. Agar dapat
memenuhi berbagai tuntutan tugas ini dengan baik, maka PKPN harus dibekali dengan alat
analisis yang handal. Atas dasar inilah dipilih model CGE karena model tersebut sesuai
dengan karakteristik tuntutan pekerjaan di PKPN.
Namun demikian sebagaimana dijelaskan sebelumnya, model CGE mempunyai
kelemahan yaitu model ini sangat kompleks dari sisi pemodelan, dan sifatnya yang “black
box”, sehingga
dibutuhkan suatu inovasi agar model ini dapat dengan mudah
dioperasionalkan dan dipahami oleh ekonom/penggunanya. Atas dasar hal tersebutlah
maka dirancang suatu model Web-based CGE.
81
Gambar 6.8: Proses Pengembangan Web-Based CGE
Proses pengembangan Web-Based CGE menganut metodologi System Development
Live Cycle (SDLC) dimana pengembangan model dibagi menjadi empat tahapan utama
yaitu Planning & Analysis, Design, Implementation dan Testing. Adapun software yang
digunakan dalam pengembangan Web-Based CGE antara lain SAS, GAMS, Visual Studio,
dan beberapa software pendukung lainnya.
Pada tahapan pertama (Planning & Analysis), ditentukan tujuan pembangunan
model, model CGE yang digunakan, simulasi apa saja yang akan dilakukan, dan variable
apa saja yang akan dihasilkan. Dari sisi tujuannya, pembangunan model ini disesuaikan
dengan tuntutan tugas di PKPN yaitu mencakup analisis dampak dari berbagai kebijakan
yang terkait dengan pendapatan Negara yang meliputi PPN, cukai, bea masuk, bea keluar,
dan PPh. Sedangkan untuk Model CGE yang akan dikembangkan lebih lanjut, digunakan
model INDOFISCAL yang dikembangkan oleh Amir (2011) karena model tersebut sudah
dilengkapi dengan variabel-variabel fiskal yang telah desesuaikan dengan kebutuhan
analisis di BKF.
Pada tahapan kedua (Design), konsep model yang dibangun sudah mulai disusun ke
dalam suatu rancangan. Rancangan dapat berupa rancangan fitur-fitur apa saja yang ada di
dalam model, mulai dari tampilan simulasi sampai dengan tampilan report/laporan yang
akan dihasilkan. Untuk Tampilan simulasi dibagi menjadi empat tampilan utama simulasi
82
yaitu simulasi perubahan indirect tax (PPN/Cukai), simulasi perubahan tarif bea masuk,
simulasi perubahan tarif bea keluar, dan simulasi perubahan PPH Badan. Sedangkan untuk
tampilan report/laporan yang dihasilkan dalam model ini didesain menjadi lima
kategori/indikator utama, yaitu indikator Makro, Indikator Industri/sektoral, indikator
Perdagangan/Trade, Indikator Fiskal, dan Indikator Rumah Tangga (Household). Masingmasing indikator tersebut terdiri dari berbagai variable yang menyusunnya sebagaimana
dapat dilihat pada Gambar 6.9.
Gambar 6.9: Indikator dan variabel yang dihasilkan oleh model dalam bentuk report
Pada tahapan ketiga (Implementation), model mulai dikembangkan sesuai desain
yang telah ditentukan. Pada tahapan ini dilakukan konstruksi dan integrasi Web-Based
CGE berdasarkan desain yang telah ditentukan. Tahapan ini adalah tahapan yang paling
menyita waktu karena memerlukan perancangan script/kode progam ASP dan integrasi
berbagai aplikasi dan database. Setelah model berjalan dengan sempurna, baru kemudian
model tersebut dipasang di server agar dapat dilakukan pengetesan oleh pengguna.
Pada tahapan keempat (Testing), dilakukan berbagai skenario/tes terhadap model.
Proses testing ini dilakukan untuk mendapatkan keyakinan bahwa model dapat bekerja
dengan sempurna/tanpa error, dan arah analisis yang dilakukan oleh model benar dan
sesuai dengan teori ekonomi. Setelah melewati keempat tahapan tersebut, maka model siap
dimanfaatkan untuk melakukan analisis di bidang pendapatan Negara.
Secara ilustratif, sederhananya apa yang kami lakukan dalam pengembangan
Aplikasi Web-based CGE Model adalah sbb:
1.
Mengintegrasikan pengolahan data statistik yang besar (IO+SAM+Susenas) dan
bahasa pemodelan dalam Gempack Software, proses pengolahan dan transformasi data
83
oleh Software SAS agar mampu dibaca software web design ASP.net dan
menyajikannya dalam bentuk online.
2.
Mentransformasi perintah-perintah untuk melakukan simulasi kebijakan yang
sebelumnya dalam bahasa Tablo yang rumit menjadi opsi-opsi yang user friendly di
desktop.
84
3.
Menyajikan hasil simulasi kebijakan dalam grafik dan data excel yang siap saji.
4.
Aplikasi Web-based CGE Model dapat diakses melalui jaringan kantor di alamat:
10.242.149.103. Untuk mendapatkan akses login dan password silakan menghubungi
[email protected] atau [email protected].
85
Karakteristik, Tantangan dan Peluang Pengembangan Model ke Depan
Web-Based CGE dibangun dengan tujuan menggabungkan kelebihan dari masing masing
Model CGE dan aplikasi berbasis web. Berikut adalah karakteristik dari model yang telah
dibangun:
•
Menghindari ‘rumit’-nya model besar (CGE),
•
Cepat - dalam simulasi typical policy
•
Output yang generic; grafik dan excel
•
Visualisasi atas dampak kebijakan yang lebih baik
•
Dapat diakses dari manapun, kapanpun
•
Sifatnya general equilibrium
•
Adanya keterkaitan antar sektor
•
Analisis short term dan long term
Perlu diperhatikan dalam penggunakan model ini, bahwa suatu model hanya sebuah
tool, sehingga hasil analisisnya harus tetap membutuhkan evaluasi dari para ahli
perekonomian (expert judgement) dan juga perlu dilakukan diskusi atas hasil analisis
tersebut.
Adapun untuk tantangan dan peluang pengembangan model ke depan masih sangat
terbuka, antara lain:

Model dapat dikembangkan ke dalam sektor-sektor yang lebih rinci sesuai kebutuhan
dan tujuan analisis

Peluang pengembangan variabel dan equation sangat terbuka

Peluang pengembangan menjadi model dinamik

Peluang pengembangan menjadi model inter-regional

Peluang optimalisisasi model, sehingga kecepatan pemrosesan model bisa lebih
maksimal
Pengembangan model adalah suatu proses iterasi yang berjalan terus menerus,
sehingga dengan evaluasi dan pengembangan yang terus berjalan dibarapkan model akan
semakin matang dan dapat melakukan analisis dengan lebih baik.
6.4. Model Financial CGE Transportation Network
Model Financial CGE Transportation Network (FCGE-TN) merupakan suatu model
integral yang mengkombinasikan sektor riil perekonomian dengan aspek keuangan dan
model aksesibilitas transportasi. Model ini memiliki keunggulan untuk diterapkan dalam
86
analisis dampak ekonomi atas belanja investasi di sektor transportasi dengan
mempertimbangkan berbagai pilihan alternatif sumber pendanaannya. Model ini
dikembangkan untuk memadukan interaksi antara real-side dan financial-side di dalam
perekonomian. Sektor produksi terdiri atas 9 sektor: agriculture, mining, manufacturing,
utility, construction, hotel and restaurant, transportation and communication, finance, and
other sectors. Terdapat 8 institusi ekonomi: households (Rural Low, rural high, Urban
Low and urban high), corporations, financial institutions (including the central bank),
government, and rest of the world. Blok real-side menggambarkan perilaku produsen dan
konsumen di dalam perekonomian mengikuti prinsip perubahan harga untuk marketclearing, memaksimalkan laba perusahaan dan utilitas rumah tangga. Komoditas berasal
dari produksi domestic dan impor dan didistribusikan secara spasial untuk konsumsi
domestik dan ekspor. Harga komoditas diasumsikan untuk berubah mengikuti
keseimbangan antara permintaan dan penawaran baik dalam pasar factor produksi atau pun
pasar komoditas. Ukuran kemakmuran terdiri atas kemakmuran riil dan keuangan, dan
diklasifikasikan ke dalam instrument keuangan. Gambar 6.10 mengilustrasikan skema
struktur model FCGE-TN.
Gambar 6.10: Skema Struktur Model FCGE-TN
Source: Kim et al. (2012)
Struktur produksi dalam model terdiri atas dua level. Pada level atas, output tiap
industri dihasilkan oleh dua level fungsi produksi yang terpisah, value-added dan komposit
87
input antara, menurut fungsi Leontief yaitu output industri dihasilkan dalam proporsi tetap
antara valua added dan komposit input antara. Tenaga kerja diasumsikan homogen dan
dapat bergerak antarsektor, sementara stok kapital diasumsikan tetap dalam jangka pendek.
Permintaan tenaga kerja dihasilkan dari turunan pertama fungsi maksimasi value-added
produsen, dimana upah rata-rata merupakan hasil keseimbangan antara total permintaan
tenaga kerja dan total penawarannya. Input antara didapatkan dari koefisien input-output.
Value-added dihasilkan dari fungsi produksi atas input tenaga kerja dan kapital dengan
fungsi Hicks’ neutral dan factor eksternal seperti aksesibilitas. Aksesibilitas didefinisikan
sebagai representasi kedua faktor skala dan kedekatan populasi dan aktivitas ekonomi
sebagai proksi atas kualitas jasa transportasi dan potensi pembangunan. Hal ini diukur
sebagai jumlah tertimbang dari populasi atas 440 kabupaten/kota di Indonesia dalam
bentuk gravity-typed form (Kim et al., 2004).
Waktu tempuh (travel time)
antarkabupaten/kota dikalibrasi dengan jarak terdekat antarkabupaten/kota dengan GIS,
suatu pendekatan di luar model.
Pada level kedua, pasar domestic diasumsikan sebagai price taker terhadap pasar
dunia. Oleh karena itu, perdagangan ke luar negeri mengikuti small-country assumption
dan pendekatan Armington. Substitusi tidak sempurna dimungkinkan antara produk
domestik dan impor pada sisi permintaan sebagaimana juga domestic produk dan ekspor
pada sisi penawaran.
Total permintaan barang dan jasa terdiri atas permintaan input antara, total konsumsi
rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi. Pendapatan rumah tangga terdiri atas
gaji, pendapatan dari kepemilikan modal dan transfer dari institusi lainnya. Rumah tangga
membayar biaya bunga dan sewa, transfer ke institusi lainnya termasuk pajak dan
menggunakan pendapatan disposabelnya untuk konsumsi dan tabungan. Perusahaan dan
institusi keuangan mendapatkan pendapatan capital dari investasi riil capital dan
pendapatan lainnya seperti pendapatan bunga, sewa dan dividen, serta transfer dari institusi
lainnya. Pengeluaran pemerintah terdiri atas belanja untuk konsumsi dan investasi, subsidi
kepada produsen dan rumah tangga, transfer ke institusi keuangan dan ROW, serta dalam
bentuk tabungan pemerintah. Sementara itu, sumber pendapatannya terdiri atas penerimaan
pajak, impor luar negeri dan kepemilikan pemerintah atas aset financial.
Model FCGE-TN memiliki spesifikasi pasar sector keuangan seperti: uang (deposits),
domestic bonds, equity dan real capital. Total kemakmuran (wealth) terdiri atas real wealth
dan financial wealth. Real wealth terdiri atas mesin-mesin dan bangunan; financial wealth
88
terdiri atas: government bonds, dan berbagai aset finansial seperti kepemilikan modal,
deposito (uang) dan obligasi swasta.
Gambar 6.11: Total Wealth Demand Structure
Total Wealth
Financial Wealth
(1-g1)
Composite Financial
Wealth
(1-g2)*(1-g1)
Real Wealth (g1)
National Bond
(g2)*(1-g1)
Model FCGE-TN ini menggunakan sumber data utama Financial Social Accounting
Matrix (FSAM) tahun 2005 dan beberapa sumber data pendukung lainnya terkait seperti:
data aksesibilitas, ketenagakerjaan dan populasi berdasarkan daerah kabupaten/kota dan
propinsi di Indonesia. Data FSAM 2005 merupakan prototype pengembangan FSAM
pertama kali di Indonesia, sebagai hasil kerja sama Bank Indonesia dan BPS. Karena
bersifat prototype maka klasifikasinya masih kurang detail. Selain itu, karena dibangun
‘based on project basis’ maka keberlanjutan ketersediaan data tersebut untuk
pengembangan model lebih lanjut juga perlu dipertimbangkan.
Tipikal kebijakan yang dapat dianalisis dengan menggunakan Model FCGE-TN
antara lain:
(1) analisis dampak pembangunan infrastruktur dengan berbagai skema pembiayaan,
(2) analisis dampak kebijakan sektor keuangan,
(3) analisis dampak sebagaimana model CGE yang lainnya akan tetapi dengan kekayaan
informasi sektor keuangannya.
Namun demikian data Finansial SAM 2005 yang dikembangkan oleh Bank Indonesia dan
BPS masih bersifat prototype sehingga informasi yang ada masih terlalu global. Sementara
dalam perspektif kebijakan diperlukan informasi yang relatif lebih detail. Model FCGE-TN
berpeluang untuk dikembangkan untuk memiliki kapasitas analisis yang lebih besar dengan
memanfaatkan data-data terutama Finansial SAM yang lebih detail untuk versi tahun yang
akan datang.
89
Model FCGE-TN ini dikembangkan dengan bantuan tenaga ahli yaitu: Prof. Geoffrey
JD Hewings dari Regional Economic Application Laboratory (REAL) Illinois University
(USA) dan Prof. Euijune Kim dari Seoul National University (SNU), Korea Selatan; dan
didukung pendanaannya oleh Asian Development Bank (ADB). Sampai saat ini Model
FCGE-TN masih dalam tahap penyempurnaan dan direncanakan akan tuntas pada bulan
Maret 2013.
6.5. Model CGE-GTAP
Model CGE-GTAP didedikasikan lebih banyak untuk analisis perdagangan internasional.
Hal ini didukung oleh GTAP database yang dikompilasikan dari berbagai Tabel IO di
dunia untuk menghasilkan data IO yang multi-countries. Database GTAP merupakan
database yang berisi data dan informasi perdagangan bilateral antarnegara secara lengkap
termasuk informasi keterkaitan transportasi dan proteksi. Database ini dikompilasi dari
table IO negara-negara di dunia. Database GTAP yang terbaru (versi 8, release Mei 2012)
menggunakan data dengan tahun benchmark 2004 dan 2007 dan terdiri atas data dari 129
negara dan 57 jenis komoditas.
Sampai saat ini kapasitas yang dimiliki di BKF baru merupakan model CGE GTAP
Standar, yang salah satu contoh aplikasinya ialah yang digunakan dalam policy paper oleh
(Amir et al., 2012) sebagai hasil studi yang dilakukan oleh Tim-PKRB (2012) dalam
melakukan evaluasi dampak Free Trade Agreement (FTA) dan Economic Partnership
Agreement (EPA) Indonesia dengan Negara mitra dan dampaknya bagi arus perdagangan
dan investasi. Informasi lebih lengkap terkait Model CGE GTAP dapat diperoleh di
www.gtap.agecon.purdue.edu.
90
Bab 7
Langkah Integrasi dan Kegiatan 2012
Setelah berhasil melakukan proses identifikasi model ekonomi di lingkungan Badan
Kebijakan Fiskal dan menemukan beberapa potensi pengembangan agar model ekonomi
dapat lebih efektif sebagai alat bantu yang digunakan dalam analisis dan formulasi
kebijakan fiskal. Langkah pertama yang dilakukan untuk merespon hal ini ialah dengan
membentuk suatu tim yang akan focus untuk menangani kegiatan pengembangan
pemodelan yang ada di BKF. Tim Integrasi dan Pengembangan Model BKF dibentuk
dengan melibatkan sebanyak mungkin anggota yang telah berkecimpung dengan kegiatan
pemodelan di BKF. Hal ini penting untuk mendapatkan gambaran awal yang lebih utuh
terkait sejarah, latar belakang dan peran model ekonomi yang telah dikembangkan atau
dimanfaatkan dalam menunjang tugas. Lebih detail keanggotaan Tim ada di bagian akhir
laporan ini.
7.1. Langkah Integrasi
Setelah dibentuk, yang pertama dilakukan Tim ialah melakukan brainstorming untuk
bertukar pendapat dan menyamakan persepsi atas kondisi faktual yang terkait kegiatan
pemodelan, penugasan yang diberikan kepada Tim, dan prioritas serta target yang rasional
dari kegiatan Tim. Dari brainstorming ini mengemuka beberapa hal yang dijadikan sebagai
pola pendekatan untuk melakukan integrasi dan pengembangan model ekonomi di BKF,
yaitu:
(1) Bottom up approach, pengembangan model dilakukan dengan mempertimbangkan
kebutuhan dan aspirasi unit-unit (Pusat) yang ada di BKF. Walaupun dalam hal ini,
tetap dibuka ruang untuk pendekatan top-down, yaitu penugasan dari pimpinan terkait
kebutuhan suatu pemodelan tertentu;
(2) Sharing dan manajemen data, yaitu dibuat mekanisme untuk saling berbagai data dan
informasi antar unit di BKF, atau pun antar pengguna atau pengembang model. Data
dan informasi bisa berupa data mentah yang digunakan sebagai input suatu model atau
pun data hasil output pemodelan;
91
(3) Membuat link antarmodel, membuat jembatan penghubung antara model yang terkait.
Hal ini bisa dilakukan dengan proses sharing data, output suatu model menjadi input
bagi model yang lain, atau dengan membuat keterkaitan persamaan di dalam
pemodelannya. Hal ini diperlukan tidak hanya untuk mengurangi redundansi (irisan)
dalam cakupan sebuah model, namun juga untuk mencari jalan kearah proses
menghasilkan analisis yang konsisten dan konvergen. Pendekatan ini merupakan
bagian krusial didalam proses integrasi model. Model-model ekonomi di BKF
umumnya digunakan sebagai alat bantu dalam proses analisis dan formulasi kebijakan
fiskal atau pun secara spesifik dalam proses penyusunan APBN (Gambar 7.1) yang
dilakukan dalam siklus tahunannya. Atau jika diilustrasikan dengan menggambarkan
hubungan antarmodel ekonomi sebagaimana dalam Gambar 7.2.
Gambar 7.1: Ilustrasi Model Ekonomi dalam Penyusunan APBN
92
Gambar 7.2: Ilustrasi Hubungan Antar-Model dalam Penyusunan APBN
(4) Revitalisasi model yang vakum tetapi masih dibutuhkan, misalnya yang dilakukan
dengan Model MODFI. Model ini memiliki kapasitas kegunaan yang relative lengkap,
tidak hanya dalam proses forecasting atau proyeksi akun APBN secara detail tetapi
juga untuk analisis dampak suatu kebijakan makro terhadap APBN atau sebaliknya.
Sehingga model ini memiliki potensi untuk dijadikan model induk bagi BKF.
Momentum revitalisasi sangat tepat mengingat para modelernya sudah kembali
bertugas di BKF setelah menyelesaikan tugas belajarnya;
(5) Membuat kerangka kerja Tim Model. Kerangka kerja Tim Model merupakan salah satu
yang cukup pelik untuk dihasilkan karena harus mempertimbangkan berbagai kondisi
dan mengakomodasi berbagai pertimbangan. Hal ini mengingat bahwa Tim Model
masih merupakan tugas baru dan melibatkan berbagai unit di BKF baik itu pejabat
struktural maupun peneliti. Sebagai draft awal, telah dihasilkan pola partisipasi Tim
Model dalam memanfaatkan model-model ekonomi dalam proses penyusunan APBN
sesuai dengan siklusnya (Gambar 7.3). Dengan pola ini diharapkan Tim Model tidak
hanya berpartisipasi untuk mendukung penyusunan APBN tetapi juga untuk
berinteraksi langsung dengan kebutuhan riil alat analisis yang idealnya dapat
93
digunakan. Interaksi ini penting untuk memahami kebutuhan pengembangan model,
baik penyempurnaan model yang telah ada atau pun pengembangan baru.
Gambar 7.3: Ilustrasi Kerangka Kerja Tim Model dalam Siklus APBN
7.2. Kegiatan Tim Integrasi Model 2012
Rangkaian kegiatan yang dilakukan Tim Integrasi Model selama periode tahun 2012
sebagai berikut:
1. Brainstroming awal Tim Integrasi Model
- dilaksanakan pada 18 Januari 2012 di Ruang Rapat PKEM
- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model
- target kegiatan untuk brainstorming terkait kegiatan pemodelan ekonomi di BKF
dan kesamaan persepsi antaranggota Tim atas penugasan dari Kepala BKF.
2. Presentasi dan Demonstrasi Model (Konsinyering)
- dilaksanakan pada 9-10 Februari 2012 di Hotel Lumire, Jakarta
- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model
94
- kegiatan berupa: (1) presentasi dan demonstrasi berbagai model ekonomi di BKF
oleh masing-masing penanggung jawab model; (2) presentasi kerangka pemodelan
di World Bank; dan (3) Elaborasi Keterkaitan Model dan Kerangka Model BKF.
3. Diskusi Link Antarmodel I: Subsidi (BBM dan Listrik) – Sensitivitas Makro APBN
(MOSIM) – Stresstest BUMN
- dilaksanakan pada 16 April 2012 di Ruang Rapat PKEM, Jakarta
- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model yang terkait dengan model-model
tersebut
- diskusi untuk mencari link antarmodel Subsidi (BBM dan Listrik) – Sensitivitas
Makro APBN (MOSIM) – Stresstest BUMN
4. Diskusi Link Antarmodel II: Proyeksi Asumsi Makro – Perpajakan
- dilaksanakan pada 24 April 2012 di Hotel Lumire, Jakarta
- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model yang terkait dengan model-model
tersebut
- diskusi untuk mencari link antarmodel Proyeksi Asumsi Makro – Perpajakan
5. Pembuatan aplikasi sharing data untuk anggota Tim Model (Mei – Juni 2012)
6. Rapat koordinasi Tim Integrasi Model
- dilaksanakan pada 15 Juni 2012 di Ruang Rapat PKEM, Jakarta
- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model
- koordinasi dan diskusi tindak lanjut kegiatan integrasi model BKF
7. Workshop Tim Integrasi Model
- Tempat: Hotel Aryaduta
- Waktu: Rabu - Kamis, 1 - 2 Agustus 2012
- Agenda: (1) Lecture dari Prof Hewings tentang "Regional Perspective in the
Economic Development"; (2) Presentasi Kemajuan Pengembangan Financial CGE
Model - Model yg sedang dikembangkan oleh TA (Prof Hewings dan Prof Kim) (3)
Diskusi Tim Integrasi Model.
8. Rapat Tim Integrasi Model dengan Tim Asistensi BKF
- Tempat: Ruang Rapat BKF Lt 3
- Waktu: Selasa, 7 Agustus 2012
- Agenda: (1) Presentasi Konsep BKF Future Model oleh Tim kepada Kepala BKF;
(2) Diskusi Tim Integrasi Model dengan Tim Asistensi BKF
95
9. Rapat koordinasi atas model-model yang dapat digunakan dalam pembahasan RAPBN
2013
- dilaksanakan pada 28 Agustus 2012 di Ruang Rapat PKEM, Jakarta
- peserta adalah perwakilan Tim Integrasi Model yang mengelola model
bersangkutan
10.
Identifikasi dan simulasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi RAPBN 2013
dengan menggunakan model-model di BKF (Rapat lanjutan)
- dilaksanakan pada 31 Agustus 2012 di Ruang Rapat PKEM, Jakarta
- peserta adalah Tim Integrasi Model
11. Kunjungan ke World Bank Office Jakarta oleh Hidayat Amir (Tim Integrasi Model)
pada 31 Agustus 2012 dalam rangka pengumpulan data-data ekonomi berbasis
kabupaten/kota dan propinsi sebagai bahan pengembangan Model Peramalan Berbasis
Regional (Quarterly Provincial GDP Forecasting Model).
12. Presentasi dan Demonstrasi Model dan Diskusi dalam Rangka Penyusunan RAPBN
2013 (Konsinyering)
- dilaksanakan pada 3-4 September 2012 di Swiss-Bel Hotel, Jakarta
- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model
- kegiatan berupa presentasi dan demonstrasi hasil simulasi model ekonomi di BKF
oleh
masing-masing
penanggung
jawab
model
atas
faktor-faktor
yang
mempengaruhi penyusunan RAPBN 2013 (pertumbuhan, inflasi, skenario belanja,
kemiskinan, pengangguran, dan analisis dampak untuk antisipasi atas beberapa
kebijakan fiskal potensial akan dilakukan oleh pemerintah).
13. Training Revitalisasi Model MODFI I
- dilaksanakan pada 7-14 September 2012 di Ruang Rapat PKEM, Jakarta
- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model plus beberapa staff BKF lainnya
- narasumber: Dr. Marein van Schaaijk, Direktur
Micromacro Consultants NV
(MMC), Netherlands
- dengan support pendanaan dari ADB
14. Meeting dengan BKF Technical Assistant Modeling Team (Prof. Geoffrey J.D.
Hewings dan Prof. Euijune Kim)
- dilaksanakan pada 12-16 November 2012 di Seoul National University, Korea
Selatan dengan support pendanaan dari ADB
96
- Peserta: Hidayat Amir (Tim Integrasi Model), Prof. Geoffrey J.D. Hewings dan
Prof. Euijune Kim
- Kegiatan: pembahasan dan pengembangan Model Financial CGE–Transportation
Network dan Model Peramalan Berbasis Regional (Quarterly Provincial GDP
Forecasting Model).
15. Update Arah Pengembangan Model BKF dan Laporan Kegiatan 2012 (Konsinyering)
- dilaksanakan pada 5-6 November 2012 di Hotel Lumire, Jakarta
- peserta adalah anggota Tim Integrasi Model
- kegiatan berupa: (1) diskusi update arah pengembangan model ekonomi BKF; (2)
pembahasan realisasi kegiatan 2012 dan penyusunan rencana kegiatan 2013; dan
(3) penyusunan dan penyelesaian laporan akhir kegiatan 2012.
16. Training Revitalisasi Model MODFI II
- dilaksanakan pada 12-21 Desember 2012 di Kantor MMC Netherlands
- peserta adalah: Kindy R. Syahrir, Heru Wibowo, dan Abdurrohman (Tim Integrasi
Model)
- narasumber: para expert di MMC
- dengan support pendanaan dari ADB
17. Mensupport TA ADB (Prof. Geoffrey J.D. Hewings dan Prof. Euijune Kim) dalam
proses pengembangan Model Financial CGE–Transportation Network dan Model
Peramalan Berbasis Regional (Quarterly Provincial GDP Forecasting Model) –
kegiatan sepanjang tahun 2012.
18. Melakukan pengembangan Model CGE Berbasis Web; pemanfaatan dan pendanaan
kegiatan oleh Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) sebagai model yang
digunakan untuk analisis dampak kebijakan insentif perpajakan. Model CGE yang
digunakan sebagai basis awal ialah Model CGE INDOFISCAL – kegiatan sepanjang
tahun 2012.
7.3. Arah Pengembangan Model BKF
Melalui rangkaian diskusi yang cukup panjang semenjak Tim Integrasi Model ini terbentuk
maka gambaran Model BKF masa datang ialah sebagaimana dalam ilustrasi Gambar 7.4.
Gambaran ideal BKF Future Model ialah bukan gambaran yang statis tetapi ia dinamis
sesuai dengan dinamika yang hidup di BKF sebagai institusi pengelola kebijakan fiskal
97
atau sejalan dengan dinamika tuntutan kebijakan dalam pembangunan perekonomian
Indonesia.
Namun setidaknya gambaran yang jelas tentang BKF Future Model akan
memberikan panduan arah pengembangan model BKF menuju kondisi ideal, sesuai dengan
kebutuhan dan tingkat pemahaman saat ini. Dalam gambar 7.4 tersebut, intinya model yang
ada mampu berkomunikasi satu sama lain dengan pola kerja dan mekanisme kerja yang
baik dan efisien. Terhubung satu sama lain, tidak tumpang tindih, didukung oleh
manajemen data dan informasi yang baik dan saling melengkapi.
Gambar 7.3: Ilustrasi BKF Future Model
SOE Stress test
Model
Data and Information Management
Revenue Model
Expenditure Model
Tax
Sectoral spending
Oil
Elect
Non-Tax
Financing Model
Fiscal Risk Model
Model for
Projection of
Macro
Assumptions
Policy
Changes /
New Policy
MODFI
Proposed
Budget
(RAPBN)
BKF version
CGE Models
Sensitivity
APBN
Econometrics – IO Model: forecast – sectors | Regional GDP Forecasting
Early Warning System – Crisis Management Protocols
98
Bab 8
Tindak Lanjut
Harapannya pengembangan model ini dapat men-support kebutuhan BKF untuk
menjadi institusi yang handal dalam analisis dan perumusan kebijakan fiskal, baik
kebijakan yang bersifat responsif maupun antisipatif. Kegiatan pengembangan model
sebagai alat pendukung tugas BKF juga diharapkan menjadi bagian integral dari BKF
sebagai institusi yang terus bertumbuh dan berkembang memenuhi tuntutan kebutuhan
zaman (learning organisation).
Perlu dicatat bahwa pekerjaan integrasi dan pengembangan model ekonomi
merupakan suatu kegiatan yang lengthy process. Tidak hanya memakan waktu yang lama
tetapi membutuhkan daya dukung sumber daya yang memadai dan kesabaran yang besar
untuk menekuni proses demi proses. Namun jika ada kemauan bersama bagi semua pihak
yang terlibat yang didasari oleh tuntutan kebutuhan yang nyata serta dukungan yang
memadai untuk terus konsisten dengan proses pengembangan model ini, maka kesemuanya
itu akan lebih menjamin terjadinya kemajuan yang signifikan dan besar.
Sampai dengan akhir tahun 2012 telah banyak kemajuan yang dihasilkan,
sebagaimana telah disampaikan dalam bagian sebelumnya. Dengan mempertimbangkan
berbagai kemajuan itu, beberapa kegiatan yang perlu ditindaklanjuti untuk periode yang
akan datang antara lain:
1. Penyempurnaan pengembangan Model Financial CGE Transportation Network
(FCGE-TN) oleh BKF Technical Assistant Modeling Team (Prof. Geoffrey J.D.
Hewings dan Prof. Euijune Kim), direncanakan akan selesai pada akhir Maret 2013.
2. Penyempurnaan pengembangan Model Provincial GDP Forecasting Model oleh BKF
Technical Assistant Modeling Team (Prof. Geoffrey J.D. Hewings dan Prof. Euijune
Kim), direncanakan akan selesai pada akhir Maret 2013.
3. Melanjutkan proses revitalisasi Model MODFI dengan transfer knowledge atau
workshop untuk menghasilkan modeller generasi baru (regenerasi) serta pengembangan
model yang ada dengan fitur-fitur tambahan yang diperlukan.
4. Melakukan update database setiap model untuk menjaga keandalan model ekonomi
yang ada.
99
5. Melakukan penyempurnaan Model CGE berbasis web serta penambahan model ke
dalam aplikasi tersebut, sehingga ada pilihan penggunaan model yang tepat sesuai
dengan kebutuhan analisisnya.
6. Merintis pengembangan model baru yang belum ada dalam skema BKF Future Model,
misal model analisis sisi pembiayaan APBN.
7. Mengembangkan data warehouse – data management yang andal, up to date dan
mudah diakses.
8. Mengembangkan Financial SAM berbasis data IO dan SAM terbaru (2010) untuk
menghasilkan fitur yang lebih detail. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan kapasitas
analisis Model FCGE-TN yang telah dimulai pengembangannya.
9. Mengembangkan semacam pola hubungan yang definitif antara Tim Pengembangan
Model dengan unit pengguna di lingkungan BKF.
10. Mengembangkan semacam pola insentif untuk para pegawai di lingkungan BKF yang
bersedia untuk menekuni pekerjaan pemodelan ekonomi.
100
Referensi
Amir, H. (2011). Tax Policy, Growth, and Income Distribution in Indonesia: A Computable
General Equilibrium Analysis. Unpublished PhD Thesis, The University of Queensland,
Brisbane.
Amir, H. (2012a). Economic impact analysis of the 2012 Indonesia mineral-export tax policy: a
CGE approach. Paper presented at the 11th International Conference of the Japan
Economic Policy Association (JEPA), Nagoya Gakuin University, Japan, 20 – 21 October
2012.
Amir, H. (2012b). Impact of the 2009 Indonesia fiscal stimulus: a computable general equilibrium
analysis. Paper presented at the 11th Indonesian Regional Science Association (IRSA)
International Conference Banjarmasin, South Kalimantan, Indonesia, 9 – 11 July 2012.
Amir, H., et al. (2013). The Impact of the Indonesian Income Tax Reform: A CGE Analysis.
Economic Modelling, 31, 492-501.
Amir, H., and Hewings, G. J. (2013). Distributional Welfare Impact of the 2013 Adjustment of
Tax-Free Income Threshold in Indonesia: A CGE Simulation, submitted to the 21st
International Input-Output Conference, Kitakyushu, Japan, July 9 - 12, 2013.
Amir, H., et al. (2012). Free Trade Agreement (FTA) dan Economic Partnership Agreement (EPA),
dan Pengaruhnya terhadap Arus Perdagangan dan Investasi, Unpublished Policy Paper.
Armington, P. S. (1969). Theory of Demand for Products Distinguished by Place of Production.
IMF Staff Paper, 16(1), 159 - 178.
Arrow, K. J. (2005). Personal Reflections on Applied General Equilibrium Models. In T. J. Kehoe,
et al. (Eds.), Frontiers in Applied General Equilibrium Models. New York: Cambridge
University Press.
Begg, D., et al. (2000). Economics, 6th ed. London: McGraw-Hill Education.
Burfisher, M. E. (2011). Introduction to Computable General Equilibrium Models. New York:
Cambridge University Press.
Dixon, P. B., et al. (1982). ORANI: A Multisectoral Model of Australian Economy. Amsterdam:
North-Holland.
Dixon, P. B., and Rimmer, M. T. (2002). Dynamic General Equilibrium Modelling for Forecasting
and Policy: A Practical Guide and Documentation of MONASH. Amsterdam: North
Holland.
Hornby, A. S. (2000). Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 6th ed. London: Oxford University
Press.
Horridge, J. M. (2003). ORANI-G: A Generic Single-Country Computable General Equilibrium
Model. Retrieved 22 April 2009, from http://www.monash.edu.au/policy/oranig.htm
Kim, E., et al. (2012). Highway Investments and Financing: a Financial CGE Model. Paper
presented at the 51th Anniversary Meeting of the Western Regional Science Association.
101
Kim, E., et al. (2004). An Application of and Integrated Transport Network-Multiregional CGE
Model: A Framework for the Economic Analysis of Highway Projects. Economic Systems
Research, 16(3), 235-258.
Lewis, J. D. (1991). A Computable General Equilibrium Model of Indonesia, Development
Discussion Paper No. 378. Harvard Institute for International Development: Harvard
University Press.
Musgrave, R. A., and Musgrave, P. B. (1973). Public Finance in Theory and Practice. London:
McGraw-Hill.
Ouliaris, S. (2011). Economic Models: Simulations of Reality. Retrieved 21 December 2012,
from http://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/basics/models.htm
Samuelson, P. A., and Nordhaus, W. D. (1998). Economics, 16th ed. New York: Irwin/McGrawHill.
Tim-MODFI. (2005). Model Ekonomi Makro Departemen Keuangan RI (MODFI) Edisi Revisi:
Direktorat Kebijakan Ekonomi Makro DJAPK, Departemen Keuangan.
Tim-PKPN. (2012). Pembentukan Model Pengukuran Dampak Atas Pemberian Fasilitas/Insentif
Perpajakan Pada Sektor Industri Nasional. Jakarta: Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF.
Tim-PKRB. (2012). Free Trade Agreement (FTA) dan Economic Partnership Agreement (EPA),
dan Pengaruhnya terhadap Arus Perdagangan dan Investasi. Jakarta: Badan Kebijakan
Fiskal.
Tim-PPRF. (2010). Buku Uji Macrostress Terhadap Risiko Fiskal Yang Bersumber Dari Badan
Usaha Milik Negara. Jakarta: Badan Kebijakan Fiskal.
Wittwer, G. (1999). WAYANG: a General Equilibrium Model Adapted for the Indonesian
Economy. Adelaide: Centre for International Economic Studies, University of Adelaide.
Yusuf, A. A. (2007). Constructing Indonesian Social Accounting Matrix for Distributional
Analysis in the CGE Modelling Framework. MPRA Paper No. 1730.
Yusuf, A. A., et al. (2008). AGEFIS: Applied General Equilibrium for FIScal Policy Analysis.
Working Papers in Economics and Development Studies (WoPEDS) 200807, Department
of Economics, Padjadjaran University.
Yusuf, A. A., et al. (2010). Scenarios for Climate Change Mitigation from the Energy Sector in
Indonesia: The Role of Fiscal Instruments. Working Papers in Economics and
Development Studies (WoPEDS) 201005, Department of Economics, Padjadjaran
University.
102
Download