pengaruh metode think aloud pair problem solving - e

advertisement
Vol. 3 No. 1 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 Hal. 50-55
PENGARUH METODE THINK ALOUD PAIR
PROBLEM SOLVING (TAPPS) TERHADAP KEMAMPUAN
KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA SMA
Laely Suci Handayani1), Syafriandi2), Mirna3)
1)
FMIPA UNP, email : [email protected]
Dosen Jurusan Matematika, FMIPA UNP, UNP
2,3)
Abstract
Mathematical communication skill of the student at grade eleven of science of SMAN 10 Padang have not developed
optimally. During do the observation seen that the students are not facilitated in exploring its mathematical
communication skills. The learning process still focus on cultivation for concept of mathematics to the student. One of
the solution is using Think Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) method. This research is quasi experiment with
Randomized Control Group Only Design. The population is grade eleven of SMAN 10 Padang in academic year
2013/2014. The sample classes taken by random sampling. Experiment class was treated by implement of TAPPS
method and control class was treated to implement by conventional learning. The Data taken by giving the
mathematical communication skill test at the end of study. Then the data were analyzed by using t-test and support by
minitab software. Based on data analysis obtained P-value = 0,000. For α = 0,05 then P-value < α, it’s mean that the
hypothesis is accepted, so it can be concluded that student’s mathematical communication skills with the implementation
of TAPPS method is better than student’s mathematical communication skill with the implementation of conventional
learning.
Keywords - TAPPS Method, Mathematical Communication Skill
PENDAHULUAN
Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang sangat
penting sebagai pembentuk sikap dan pola pikir.
Matematika diajarkan dalam semua jenjang pendidikan,
mulai dari pendidikan dasar hingga tingkat perguruan tinggi.
Program pembelajaran pada semua jenjang pendidikan
hendaknya dapat membuat siswa menyatukan pikiran
matematika mereka melalui komunikasi secara logis dan
jelas kepada orang lain, mampu menganalisis pikiran
matematika orang lain, dan mampu menggunakan bahasa
matematika dalam menyatakan ide-ide matematika.
Matematika adalah bahasa yang melambangkan makna dari
serangkaian pernyataan yang ingin kita sampaikan.
Mengacu pada tujuan pembelajaran matematika yang
tercantum dalam Permendiknas No.22 Tahun 2006,
pembelajaran matematika mengharapkan setiap siswa
mampu mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,
atau media lain yang memperjelas keadaan atau masalah.
Selama pembelajaran di kelas sebaiknya siswa difasilitasi
dan dibimbing menggunakan berbagai cara dan bentuk
komunikasi, untuk mengemukakan gagasannya baik secara
lisan maupun tulisan. Komunikasi merupakan cara untuk
berbagi gagasan dan mengklarifikasi pemahaman baik
secara lisan maupun tulisan. Melalui komunikasi, semua
gagasan ataupun masalah akan menjadi lebih jelas. Proses
komunikasi juga dapat membantu dalam membangun
makna gagasan serta menjadikannya mudah diketahui dan
dimengerti oleh orang lain. Sama halnya dengan komunikasi
pada proses pembelajaran matematika. Ketika siswa mampu
menyampaikan gagasan atau ide suatu materi matematika
dengan baik maka permasalahan matematika itupun menjadi
jelas. Melalui pembelajaran matematika, siswa diharapkan
dapat mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,
diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau
masalah (Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006: 146)[3] .
Komunikasi matematika juga merupakan refleksi dari
pemahaman konsep matematika, artinya jika siswa telah
memiliki kemampuan komunikasi matematika dengan baik
maka siswa tersebut telah memahami konsep matematika
dengan baik pula dan pemahaman itupun dapat menjadi
lebih jelas dan dapat dimengerti orang lain. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematika
merupakan salah satu kompetensi penting yang harus
dimiliki oleh seorang siswa. Oleh karena itu, kemampuan
komunikasi matematika harus mendapat perhatian khusus
dalam pembelajaran matematika.
50
Vol. 3 No. 1 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 Hal. 50-55
Berdasarkan observasi di kelas X1, X2, dan X3 SMAN
10 Padang pada Tanggal 11-16 Februari 2013 terlihat
bahwa pembelajaran yang diterapkan guru di sekolah
tersebut masih kurang memfasilitasi siswa untuk dapat
mengembangkan kemampuan komunikasi matematika
mereka. Untuk memperkuat dugaan tersebut maka
dilakukan tes kemampuan komunikasi pada Tanggal 30
Maret 2013. Tes yang diberikan berupa soal komunikasi
matematika kepada siswa kelas X1 dengan topik
trigonometri. Dari 32 siswa yang mengikuti tes diketahui
bahwa 28,13% siswa tidak memberikan jawaban, 15,63%
siswa sudah bisa menyatakan ide soal ke dalam bentuk
matematika, dan 40,61% siswa memberikan jawaban namun
bukti atas solusi yang diberikan belum lengkap, serta
15,63% siswa yang memberikan kesimpulan atas solusi
yang diberikan meskipun masih ada penjelasan yang salah.
Secara keseluruhan siswa masih belum mampu
menghubungkan ide-ide yang telah didapatkannya sehingga
siswa tidak dapat mencari solusi atas permasalahan tersebut.
Observasi juga dilakukan pada bulan Maret-Juni 2013
pada saat peneliti mengikuti kegiatan praktek lapangan di
SMAN 10 Padang. Selama observasi berlangsung terlihat
bahwa sebagian besar siswa senang belajar matematika.
Mereka antusias dalam mengerjakan setiap tugas yang
diberikan oleh guru. Siswa juga aktif dalam menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh guru. Namun demikian,
siswa masih mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal
yang memiliki tingkat kesulitan sedang hingga sulit. Hal ini
disebabkan siswa terbiasa mendapatkan soal berupa aplikasi
rumus yang sederhana. Mereka belum terbiasa dalam
menyelesaikan soal yang membutuhkan pemikiran yang
lebih mendalam. Dalam hal ini siswa membutuhkan inovasi
baru dalam proses pembelajaran yang mampu memfasilitasi
dalam menggali potensi yang mereka miliki yaitu
kemampuan penalaran, pemecahan masalah, dan
komunikasi matematika.
Selama proses pembelajaran, peneliti memberikan soal
yang bervariasi yang dimaksudkan untuk melihat
kemampuan siswa secara spesifik seperti kemampuan
pemahaman konsep, pemecahan masalah, penalaran
matematis, ataupun komunikasi matematika siswa. Selama
proses pembelajaran terlihat bahwa siswa telah memiliki
kemampuan pemahaman konsep, representasi, dan
penalaran matematis yang baik namun lain halnya dengan
kemampuan pemecahan masalah serta komunikasi
matematika. Sebagian besar siswa mengalami kesulitan
dalam menyelesaikan masalah matematika yang berbentuk
pemecahan masalah. Siswa kesulitan dalam menyatakan ide
soal serta menyusunnya menjadi sebuah solusi secara
lengkap dan logis. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi
matematika siswa masih cukup rendah.
Kemampuan pemecahan masalah matematika adalah
kemampuan tertinggi yang harus dimiliki oleh siswa.
Namun demikian, siswa akan sulit memiliki kemampuan
tersebut jika kemampuan komunikasi matematika mereka
masih rendah. Oleh karena itu, guru harus memberikan
perhatian khusus dalam menggali potensi kemampuan
komunikasi matematika siswa.
Proses komunikasi dapat membantu dalam membangun
makna gagasan serta menjadikannya mudah diketahui dan
dimengerti
oleh
orang
lain.
Siswa
dapat
mengkomunikasikan gagasan yang dimilikinya dengan
simbol, tabel, atau diagram, untuk memperjelas keadaan
atau masalah matematika. Kemampuan komunikasi
matematika akan dimiliki oleh siswa jika guru mampu
memfasilitasi siswa dengan menerapkan pembelajaran yang
kreatif serta inovatif. Selama observasi berlangsung, siswa
terlihat antusias dalam mengerjakan soal matematika secara
berkelompok. Siswa akan bertanya minimal dengan teman
sebangku jika mereka menemukan sebuah masalah. Hal ini
bisa menjadi acuan bagi guru untuk menerapkan sebuah
strategi pembelajaran dalam menggali kemampuan
komunikasi matematika siswa. Dari kenyataan tersebut
terlihat bahwa kemampuan komunikasi matematika siswa
masih rendah. Dalam jangka panjang, hal ini juga akan
berdampak pada kehidupan siswa karena kemampuan
komunikasi ini juga berpengaruh pada pola pikir siswa
dalam menganalisa sebuah masalah. Untuk mengatasi
masalah ini dibutuhkan sebuah metode yang tepat sehingga
dalam proses pembelajaran siswa lebih berperan dan belajar
aktif.
Salah satu metode yang diperkirakan dapat digunakan
adalah metode Think Aloud Pair Problem Solving (TAPPS).
Menurut Marteen (1994: 18)[4], “The think aloud method is a
good way to avoid false information and obtain direct data
about the solution process that takes place when an expert
solves a problem”. Metode ini merupakan sebuah metode
pembelajaran dimana siswa akan dibagi menjadi beberapa
kelompok yang terdiri dari dua orang yang masingmasingnya akan berperan sebagai problem solver (PS) dan
listener (L). Di dalam kelompok tersebut siswa akan
mengerjakan beberapa masalah matematika yang diberikan
oleh guru sesuai dengan perannya masing-masing. Pada
metode pembelajaran ini lebih menekankan pada proses
penyelesaian masalah matematika daripada hasil. PS akan
mengutarakan proses analisa yang digunakan dalam
menyelesaikan masalah matematika berupa tulisan beserta
penjelasannya. PS akan terus berusaha membuat L mengerti
dengan proses yang dipihnya sedangkan L berperan
mendorong PS untuk terus berfikir dan menggambarkan
langkah-langkah penyelesaian masalah tersebut. Selain itu
L juga dapat mengajukan pertanyaan klarifikasi dan
memberikan saran tetapi tetap harus menahan diri untuk
menyelesaikan masalah. Dalam hal ini siswa akan terlatih
untuk menyampaikan semua ide-ide yang dimilikinya dalam
proses penyelesaian masalah. Dari hasil diskusi siswa akan
51
Vol. 3 No. 1 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 Hal. 50-55
dapat menarik kesimpulan atau solusi yang disertai dengan
bukti terhadap kesimpulan atau solusi tersebut.
Metode TAPPS diperkirakan dapat memantau siswa
sehingga siswa dapat mengetahui apa yang dipahami dan
apa yang belum dipahaminya. Dengan langkah-langkah
problem solving diperkirakan siswa dapat menghubungkan
ide-ide dari masalah matematika yang diberikan dan mampu
menghubungkannya
sehingga
mendorong
untuk
mendapatkan solusi dan kesimpulan atas masalah tersebut.
Proses ini cenderung membuat proses berpikir siswa lebih
sistematis dan dapat membantu mereka menemukan
kesalahan.
Berdasarkan uraian yang telah disajikan, penulis
berupaya untuk mengungkapkan apakah kemampuan
komunikasi matematika siswa dengan diterapkannya metode
TAPPS lebih baik daripada kemampuan komunikasi
matematika siswa dengan diterapkannya pembelajaran
konvensional.
Standar kurikulum matematika NCTM (2000: 60)[2]
menyatakan bahwa ada tiga aspek komunikasi yaitu reading
(membaca), writing (menulis), discussing (diskusi).
Representasi tidak menjadi aspek komunikasi namun
menjadi salah satu standar kurikulum yang perlu
dikembangkan di dalam proses pembelajaran matematika.
Di dalam matematika reading (membaca) yang dimaksud
adalah membaca aktif yaitu serangkaian keterampilan untuk
menyusun intisari informasi dari suatu teks. Discussing
(diskusi) termasuk listening (mendengarkan) didalamnya.
Writing (menulis) memberikan kesempatan kepada siswa
untuk dapat menghubungkan berbagai konsep yang telah
dipelajari.
Dalam penelitian ini aspek komunikasi matematika
yang menjadi fokus utama adalah aspek tulisan. Untuk
mengembangkan kemampuan menulis siswa dibutuhkan
peran guru seperti pada pemberian tugas atau berupa
pertanyaan dan penjelasan selama proses pembelajaran
berlangsung. Hal ini sejalan dengan pendapat Armiati
(2009: 5)[1] yang menyatakan bahwa salah satu hal yang
dapat dilakukan guru untuk mendorong siswa memiliki
keterampilan menulis adalah dengan pemberian tugas
seperti membuat rangkuman dengan bahasa mereka sendiri.
Tugas menulis diartikan sebagai tugas bagi siswa untuk
mengorganisasi, merangkum, dan mengkomunikasikan
pemikiran mereka secara tertulis. Tugas menulis dapat juga
mencakup pengungkapan apa yang sudah dipahami dan
yang belum dipahami siswa.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian quasi eksperimen.
Desain penelitian yang digunakan adalah Randomized
Control Group Only Design. Pada desain ini, populasi
dibagi atas dua kelompok secara random. Kelompok
pertama merupakan kelas eksperimen dan kelompok kedua
merupakan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen diberi
perlakuan metode TAPPS dan kelas kontrol diberi perlakuan
pembelajaran konvensional. Hal ini dapat dilihat pada Tabel
1.
TABEL 1
RANCANGAN PENELITIAN
Kelas
Eksperimen
Kontrol
Perlakuan
X
-
Sumber: Suryabrata(2004:104)[5]
Tes Akhir
T
T
Keterangan :
X : Metode TAPPS
T : Tes Kemampuan Komunikasi Matematika
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA
SMAN 10 Padang yang terdaftar pada semester 1 tahun
pelajaran 2013/2014. Sampel pada penelitian ini terdiri dari
dua kelas XI IPA yang dipilih secara random.
Variabel dalam penelitian ini adalah variabel bebas dan
variabel terikat. Dalam hal ini yang menjadi variabel bebas
adalah metode TAPPS dan variabel terikat adalah
kemampuan komunikasi matematika siswa dalam
pembelajaran matematika.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah tes
kemampuan komunikasi matematika. Tes ini terdiri dari
enam butir soal. Untuk mendapatkan hasil tes yang baik
maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penyusunan kisi-kisi tes.
2. Menyusun soal tes sesuai dengan kisi-kisi tes.
3. Validasi tes dengan dosen jurusan matematika FMIPA
UNP.
4. Uji coba tes yang dicobakan pada kelas XI IPA SMAN 3
Padang.
5. Analisis soal uji coba tes
Untuk menentukan kualitas soal yang baik maka
dilakukan hal berikut:
a. Uji daya beda soal
Uji ini dilakukan untuk membedakan siswa yang
berkemampuan
tinggi
dengan
siswa
yang
berkemampuan rendah.
b. Uji indeks kesukaran
Uji ini digunakan untuk melihat apakah soal tersebut
soal mudah, sedang atau sukar.
c. Uji reabilitas tes
Uji ini digunakan untuk mengetahui suatu ukuran
apakah tes dari soal-soal tersebut dapat dipercaya.
Analisis tes kemampuan komunikasi matematika
dimaksudkan untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam
penelitian. Analisis yang dilakukan terdiri dari beberapa
tahap yaitu sebagai berikut:
1. Uji normalitas, uji ini dilakukan dengan uji
Kolmogorov-Smirnov.
2. Uji homogenitas, uji ini dilakukan dengan uji-F.
52
Vol. 3 No. 1 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 Hal. 50-55
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengolahan terhadap hasil tes akhir,
diperoleh data tentang kemampuan komunikasi matematika
siswa. Deskripsi hasil tes kemampuan komunikasi
matematika siswa dapat dilihat pada Tabel 2.
TABEL 2
HASIL ANALISIS DATA TES KEMAMPUAN KOMUNIKASI
MATEMATIKA
Kelas
N
X maks
X min
s
Eksperimen
33
93
34
70,6
14,6
Kontrol
31
94
39
67,8
15,3
Berdasarkan Tabel 2 di atas terlihat bahwa kelas
eksperimen memiliki rata-rata tes lebih tinggi daripada
kelas kontrol. Ditinjau dari simpangan baku, simpangan
baku kelas eksperimen lebih tinggi dari pada kelas kontrol.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai pada kelas kontrol lebih
seragam.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah “kemampuan
komunikasi matematika siswa yang menggunakan metode
Think Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) lebih baik
daripada kemampuan komunikasi matematika siswa yang
menggunakan pembelajaran konvensional pada siswa kelas
XI IPA SMAN 10 Padang”. Sebelum melakukan uji
hipotesis, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji
homogenitas dengan bantuan software minitab.
Uji normalitas dilakukan dengan uji KormogorovSmirnov. Dari uji yang dilakukan diperoleh P-value kelas
eksperimen > 0,15 dan P-value kelas kontrol
> 0,15.
Maka dapat disimpulkan bahwa nilai tes kemampuan
komunikasi matematika siswa kelas sampel berdistribusi
normal.
Kelas sampel berdistribusi normal maka dapat dilakukan
uji homogenitas data tes kemampuan komunikasi
matematika. Dari uji yang dilakukan diperoleh P-value
sebesar 0,675. Sedangkan taraf signifikansi yang diuji
adalah 0,05. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa data
bersifat homogen pada α= 0,05.
Setelah ditunjukkan bahwa data berdistribusi normal
dan homogen, maka untuk menguji hipotesis digunakan ujit dengan taraf signifikan α = 0,05. Berdasarkan hasil uji t
tersebut, diperoleh P-value = 0,000 maka H0 ditolak
sehingga disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi
matematika siswa yang menggunakan metode Think Aloud
Pair Problem Solving (TAPPS) lebih baik daripada
kemampuan
komunikasi
matematika siswa
yang
menggunakan pembelajaran konvensional pada siswa kelas
XI IPA SMAN 10 Padang.
Untuk menunjang hasil uji hipotesis, dilakukan pula
analisis data pada setiap indikator kemampuan komunikasi
matematika siswa, yang diukur berdasarkan rubrik
penskoran yang telah ditetapkan dalam bentuk tes
kemampuan komunikasi matematika. Tes yang diberikan
kepada siswa berupa soal essay sebanyak enam item soal.
Soal tes yang dirancang untuk mengukur kemampuan
komunikasi matematika siswa menuntut siswa memberikan
penyelesaian dengan menggunakan bahasa matematika yang
benar. Sehingga ketika penilaian pada tes dilakukan dengan
menggunakan rubrik penskoran kemampuan komunikasi,
banyak siswa yang memberikan jawaban kurang lengkap
dan pemakaian bahasa matematika yang kurang tepat.
Berikut akan diuraikan tentang pencapaian siswa di setiap
indikator kemampuan komunikasi matematika pada soal tes.
1.
Menyatakan ide soal ke dalam kalimat matematika
Berdasarkan analisis yang dilakukan pada lembar
jawaban siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol,
dideskripsikan hasil kemampuan komunikasi matematika
dalam menyatakan ide soal kedalam kalimat matematika.
Hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
Persentase
3. Uji hipotesis, karena diperoleh sampel yang normal dan
homogen, maka pengujian hipotesis dilakukan dengan
uji-t.
Ketiga uji analisis di atas diperoleh dengan
menggunakan bantuan software minitab.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Kelas
Eksperimen
Kelas Kontrol
1
5
Nomor Soal
Gambar 1. Persentase Siswa yang Mampu Menyatakan Ide Soal
Kedalam Kalimat Matematika
Berdasarkan Gambar 1, pada soal nomor 5 terlihat
adanya perbedaan yang cukup signifikan antara persentase
siswa kelas eksperimen dengan persentase siswa kelas
kontrol. Namun, untuk soal nomor 1 perbedaan persentase
siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol tidak terlalu
terlihat.
Untuk soal nomor 1, persentase siswa yang mampu
menyatakan ide soal ke dalam kalimat matematika pada
kelas kontrol lebih besar daripada kelas eksperimen
meskipun tidak terlalu terlihat. Hal ini dikarenakan tingkat
kesulitan soal yang tergolong sedang sehingga sebagian
besar siswa baik pada kelas eksperimen maupun kelas
kontrol dapat menyelesaikan dengan baik meskipun masih
ada beberapa jawaban siswa yang belum lengkap.
53
Vol. 3 No. 1 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 Hal. 50-55
Untuk soal nomor 5, terlihat adanya perbedaan yang
cukup signifikan antara siswa kelas eksperimen dengan
siswa kelas kontrol. Pada kelas eksperimen, siswa telah
mampu memahami masalah dengan mengidentifikasi apa
yang diketahui, apa yang ditanyakan dari permasalahan,
melakukan simbolisasi sampai dengan penyelesaian masalah
dengan baik. Sedangkan pada kelas kontrol, kemampuan
siswa dalam memahami masalah masih kurang yaitu masih
terdapat jawaban siswa yang tidak menyatakan ide soal
secara keseluruhan. Berikut disajikan salah satu jawaban
siswa kelas eksperimen dan siswa kelas kontrol untuk soal
nomor 5.
Berdasarkan jawaban siswa di atas, terlihat bahwa
siswa pada kelas eksperimen mampu menyatakan ide soal
melalui gambar disertai dengan aljabar dan simbol
matematika yang lengkap. Sedangkan pada kelas kontrol,
siswa masih kesulitan dalam menyatakan semua ide soal ke
dalam kalimat matematika sehingga informasi soal terlihat
belum lengkap.
telah terbiasa dalam menyelesaikan soal matematika yang
berhubugan dengan manipulasi matematika yang diberikan
pada saat proses pembelajaran.
Untuk soal nomor 5 terlihat perbedaan yang cukup
signifikan antara persentase siswa kelas eksperimen dan
siswa kelas kontrol dalam melakukan manipulasi
matematika. Hal ini terlihat siswa pada kelas eksperimen
mampu memnberikan solusi dari suatu permasalahan secara
jelas dan benar.
Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa siswa pada kelas
eksperimen telah mampu melakukan manipulasi aljabar
dengan baik disertai penggunaan simbol matematika yang
lengkap dan logis. Siswa telah mampu menghubungkan ideide disetiap langkah penyelesaian yang dipilihnya dan
disertai dengan jawaban yang benar. Sedangkan dari
jawaban siswa pada kelas kontrol terlihat siswa masih
mengalami kesulitan dalam melakukan manipulasi aljabar.
Siswa masih kesulitan dalam menghubungkan ide-ide yang
ada pada soal.
2.
3.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Menarik kesimpulan, menyusun bukti, atau memberi
alasan terhadap beberapa solusi
Berdasarkan analisis yang dilakukan pada lembar
jawaban siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol,
dideskripsikan hasil kemampuan komunikasi matematika
dalam menarik kesimpulan, menyusun bukti, atau memberi
alasan terhadap
beberapa solusi. Hasil tersebut dapat
dilihat pada Gambar 3.
80
Kelas
Eksperimen
Kelas
Kontrol
1
2
3a
3b
4
5
Nomor Soal
Gambar 2. Persentase Siswa yang Mampu Melakukan
Manipulasi Matematika
Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa secara
keseluruhan persentase siswa kelas eksperimen yang
mampu melakukan manipulasi matematika lebih tinggi
daripada siswa kelas kontrol. Untuk soal nomor 1 dan 2
terlihat bahwa persentase siswa yang mampu melakukan
manipulasi matematika pada kedua kelas sampel tidak
mengalami perubahan yaitu 73% untuk kelas eksperimen
dan 55% untuk kelas kontrol.
Untuk soal nomor 3a, 3b, dan 4, persentase siswa yang
mampu melakukan manipulasi matematika mengalami
peningkatan baik pada kelas eksperimen maupun kelas
kontrol. Hal ini dikarenakan siswa pada kedua kelas sampel
Persentase
Persentase
Melakukan manipulasi matematika
Berdasarkan analisis yang dilakukan pada lembar
jawaban siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol,
dideskripsikan hasil kemampuan komunikasi matematika
dalam melakukan manipulasi matematika. Hasil tersebut
dapat dilihat pada Gambar 2.
60
Kelas
Eksperimen
40
20
Kelas Kontrol
0
1
2
3a
Nomor Soal
Gambar 3. Persentase Siswa yang Mampu Menarik Kesimpulan, Menyusun
Bukti, atau Memberi Alasan Terhadap Beberapa Solusi
Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa secara
keseluruhan persentase siswa kelas eksperimen yang
mampu menarik kesimpulan, menyusun bukti, atau memberi
alasan terhadap beberapa solusi lebih tinggi daripada siswa
kelas kontrol. Pada kelas eksperimen persentase terendah
pada kemampuan tersebut yaitu pada soal nomor 3a. Hal ini
disebabkan soal nomor 3a memiliki tingkat kesulitan yang
cukup tinggi sehingga menuntut siswa untuk lebih kreatif
dalam memunculkan bukti atas solusi yang diharapkan.
Persentase siswa kelas kontrol tidak mengalami perbedaan
yang cukup signifikan untuk setiap soalnya. Secara umum
54
Vol. 3 No. 1 (2014) : Jurnal Pendidikan Matematika, Part 1 Hal. 50-55
siswa kelas kontrol mengalami kesulitan dalam menyusun
bukti atas solusi yang mereka dapatkan.
Berdasarkan jawaban siswa terlihat bahwa siswa kelas
eksperimen telah mampu menyusun bukti-bukti yang logis
untuk mendukung solusi yang dipilihnya. Siswa juga
mampu menghubungkan ide-ide yang dimilikinya sehingga
dapat ditarik kesimpulan atas jawaban soal yang diinginkan.
Sedangkan pada kelas kontrol, siswa masih mengalami
kesulitan dalam menyusun ide-ide soal yang mereka
dapatkan sehingga bukti yang mereka berikan kurang logis
dan kurang tepat. Hal ini mengakibatkan siswa kesulitan
dalam proses penyelesaian soal yang diberikan sehingga
tidak didapatkan solusi yang diharapkan.
Dari ketiga indikator kemampuan komunikasi
matematika yang telah diuraikan di atas terlihat bahwa
kemampuan komunikasi matematika kelas eksperimen lebih
baik daripada kemampuan komunikasi matematika kelas
kontrol. Hal ini dikarenakan dalam pembelajaran
menggunakan metode TAPPS, siswa dituntut untuk berfikir
keras terhadap solusi atas masalah yang diberikan dan
mampu mengkomunikasikannya dalam bentuk bahasa dan
simbol matematika serta memanipulasi aljabar dengan
lengkap dan logis. Siswa diminta untuk berbagi ide dalam
kelompok dan menyelesaikan persoalan secara bersama
sehingga siswa saling berbagi pengetahuan dalam
kelompok. Kemampuan komunikasi matematika siswa
dapat dilatih ketika mereka berbagi ide-ide matematika dan
mengkomunikasikan fikiran matematika mereka secara logis
dan jelas. Guru hanya sebagai fasilitator yang memberikan
motivasi kepada siswa untuk terus aktif selama
pembelajaran
serta
membimbing
siswa
dalam
menyelesaikan masalah matematika yang diberikan.
Selama penelitian berlangsung, ditemukan beberapa
kendala yaitu pada beberapa pertemuan alokasi jam
pelajaran yang seharusnya 90 menit berkurang menjadi 80
menit. Hal ini disebabkan pelajaran matematika di kelas
eksperimen berlangsung pada hari Jumat pada jam pertama.
Setiap hari Jumat pihak sekolah mengadakan program
kuliah tujuh menit sebelum dimulainya proses
pembelajaran. Namun waktu yang telah ditetapkan sering
melewati dari yang telah dijadwalkan sehingga proses
pembelajaran pada jam
pertama terganggu. Hal ini
mengakibatkan alokasi waktu yang dirancang selama
penelitian terutama dalam diskusi kelompok kurang berjalan
efektif sehingga berdampak pada alokasi waktu untuk
kegiatan seterusnya.
Kegiatan yang kurang optimal dalam kegiatan
pembelajaran ini adalah pemberian soal mandiri yang
terkendala oleh waktu. Keterlambatan dalam memulai
pelajaran juga menjadi salah satu kendala karena terkadang
kegiatan kultum dari pihak sekolah tidak sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan. Alokasi waktu yang dirancang
selama penelitian terutama dalam diskusi kelompok kurang
berjalan efektif sehingga berdampak pada alokasi waktu
untuk kegiatan seterusnya. Guru mengalami kesulitan untuk
membagi waktu dalam pemberian soal mandiri sehingga
pada akhirnya, soal mandiri yang direncanakan dikerjakan
di sekolah terkadang dijadikan sebagai pekerjaan rumah
(PR) bagi siswa.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang telah
dilakukan, maka disimpulkan bahwa kemampuan
komunikasi matematika siswa kelas XI IPA SMAN 10
Padang yang menggunakan metode pembelajaran Think
Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) lebih baik daripada
kemampuan
komunikasi
matematika siswa
yang
menggunakan metode pembelajaran konvensional.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Armiati. 2009. Komunikasi Matematis dan Pembelajaran Berbasis
Masalah. Makalah disajikan dalam Semnas Matematika UNPAR
Bandung, 5 september 2009.
[2] NCTM. 2000. Principles and Standars for School Mathematics. USA:
The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.
[3]
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Permendiknas Nomor 22
tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah.
Jakarta: Depdiknas.
[4] Marteen, Van Someren. W., Barnard,Yvonne F., dan Sandberg,
Jacobijn A.C. (1994). The Think Aloud Method. London: University of
Amsterdam.
[5]
Suryabrata, Sumadi. 2004. Metode Penelitian. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
55
Download