gerai 3 Menuju Keseimbangan Ekonomi EDISI 44 n NOVEMBER 2013 n TAHUN 4 n NEWSLETTER BANK INDONESIA 6 Saat ini terjadi pergeseran lanskap ekonomi global, dalam wujud pemulihan dengan tiga kecepatan. Sebuah pencarian keseimbangan baru. Tantangan di Depan Mata 10 Kenaikan BI Rate: Saatnya Menginjak Rem Menyeimbangkan Perekonomian 13 Susanto D i tengah upaya pemulihan ekonomi global, Indonesia mencatatkan situasi kompleks. Pada satu sisi pertumbuhan ekonomi masih melaju tinggi, tetapi rupiah terus melemah, dan neraca perdagangan mengalami defisit untuk pertama kalinya sejak memasuki 2013. Impor mencuat menjadi sorotan, dengan beragam sudut pandang. Daya tahan ekonomi memang sudah jauh lebih baik daripada saat krisis moneter Asia 1997-1998 terlihat dari masih terkendalinya inflasi sekalipun di te­ngah tahun ada kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Memasuki November 2013, inflasi pun sudah terlihat kembali menuju tren normal, meskipun masih ada imbas kenaik­ an harga bahan bakar minyak itu. Namun, rencana Bank Sentral Amerika (The Fed) me­ ngurangi kucuran stimulus seiring membaiknya ekonomi negara tersebut, menjadi sinyal nyaring tuntutan pembenahan yang lebih luas dan mendasar bagi perekonomi­ an Indonesia. Apalagi, saat ini terjadi pergeseran lanskap ekonomi global, dalam wujud pemulihan dengan tiga ke­ cepat­an. Sebuah pencarian keseimbangan baru ekonomi. Tak cukup pembenahan mengandalkan kebijakan moneter. Tiga kali kenaikan BI rate semata upaya korek­ si atas kompleksitas ekonomi hari ini. Pembenahan sejati harus dilakukan pada komponen dan sektor yang memang fundamental. Struktural. u Respons Kebijakan BI: Biduk di Samudera Bergejolak 15 Dari Yogyakarta untuk Indonesia DARI MEJA GUBERNUR meja Redaksi Menyetel Ulang Keseimbangan Ekonomi Agus DW Martowardojo Gubernur Bank Indonesia Dok BI P ertumbuhan yang tinggi dan ber­kua­litas adalah ultimate target pembanguna­n ekonomi yang ingin kita ca­pai. Dalam konteks ini, ekonomi tumbuh berkesinambungan yaitu ber­tumbuh secara stabil dalam jangka panjang. Dinamika ekonomi 2013 mengharuskan Bank Indonesia sebagai pengawal stabilitas tampil ke depan. Mengapa? Kami harus memastikan bahwa perekonomian nasional tumbuh dalam jalur yang seharusnya (on-track). Perekonomian harus tumbuh berimbang dan sehat, untuk melandasi kesinambungan pertumbuhan. Dinamika ekonomi kita memang mulai menunjukkan ketidakseimbangan dan pergeseran. Dimulai dari defisit neraca transaksi berjalan pada akhir 2011 dan masih berlanjut hingga November 2013. Ketahanan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tambah goyah karena dampak dari per­ geseran lanskap ekonomi global. Momentum laju pertumbuhan ekonomi sejak 2010 pun tersendat, terkendala lemahnya keta­hanan neraca pembayaran (balance of payment constrained growth). Tak berimbangnya NPI tergambar jelas da­ri berlebihnya permintaan devisa di pasar, mengakibatkan fluktuasi tajam nilai tukar rupiah. Dan, fluktuasi nilai tukar berarti ketidakpastian bagi dunia usaha dan masyarakat luas. Ketidakpastian adalah musuh, karena merusak apa yang sudah direncanakan, termasuk investasi. Sementara, investasi diperlukan agar ekonomi lebih memiliki ruang (capacity) untuk tumbuh tinggi dan menyerap angkatan kerja. Inilah saatnya kita menyetel ulang (rebalancing) per­ tumbuhan dan melakukan penyesuai­an agar ekonomi kembali ke jalur yang seha­ rusnya, lebih sehat dan kembali berimbang. Pelemahan rupiah yang terlalu tajam pun dapat merugikan perekonomian nasio­ nal karena bisa memicu lingkaran negatif yang membahayakan, antara ekspektasi depresiasi dan ekspektasi inflasi. Apalagi, inflasi sempat melambung karena kebijakan kenaikan harga BBM pada pertengahan 2013. Dalam pandangan kami, keseimbangan ekonomi sudah bergeser dari jalurnya. Inilah saatnya kita menyetel ulang (rebalancing) per­tumbuhan dan melakukan penyesuai­an agar ekonomi kembali ke jalur yang seha­ rusnya, lebih sehat dan kembali berimbang. Menyehatkan kembali postur neraca pembayaran memang butuh kebijakan re­ for­masi struktural, karena itulah akar pe­nye­ babnya. Ini alasan pemerintah menggulirkan paket kebijakan struktural pada Agustus 2013. Namun, efektivitas kebijakan struktural memerlukan waktu cukup lama untuk terlihat hasilnya. Sementara tekanan pelemahan ru­ piah sebagai respon atas defisit neraca transaksi berjalan sudah terlanjur terjadi demikian cepat, bahkan bergerak berlebihan, serta berisiko memicu gejolak. Karena itu, Bank Indonesia tidak bisa menunda-nunda waktu. Lambat merespons gejolak seringkali membuat kita kehilangan momentum, berkonsekuensi pada besarnya biaya yang harus ditanggung perekonomian. Kebijakan stabilisasi harus dikedepankan. Baik melalui kenaikan suku bunga, makroprudensial, maupun intervensi di pasar valas. Kenaikan suku bunga memang dapat memperlambat laju pertumbuhan, namun per­lambatan itu harus dilihat sebagai proses penyesuaian yang diperlukan, agar ke depan perekonomian kita memiliki fondasi yang le­bih kokoh untuk tumbuh sehat dan berimbang. u redaksi Penanggung Jawab Difi A Johansyah Pemimpin Redaksi peter jacobs 2 Redaksi Pelaksana Rizana Noor DWI MUKTI WIBOWo ERNAWATI JATININGRUM Wahyu Indra Sukma Surya Nanggala Dahlia Dessianayanthi lina ernawati EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA Alamat Redaksi Departemen Komunikasi Jl MH Thamrin No 2 - Jakarta Pusat Contact Center BICARA: (Kode Area) 500 131 e-mail: [email protected] website: www.bi.go.id twitter: @bank_indonesia Redaksi menerima kiriman naskah dan mengedit naskah sebelum dipublikasikan. Susanto Pertumbuhan ekonomi yang selama ini tinggi di negara berkembang kebanyakan tak didorong oleh fundamental struktural di dalam negeri. fokus Menuju Keseimbangan Ekonomi lambat sedangkan di negara berkembang akan berlangsung cepat. Fakta hari ini, situa­ si berbalik. Ekonomi Amerika mulai terlihat menguat lagi, Eropa memperbesar peluang keluar dari krisis utang, sementara ekonomi negara berkembang malah melambat. Dalam acara bankers dinner November 2013, Gubernur Bank Indonesia Agus DW Mar­ towardojo menyebut situasi ekonomi glo­bal hari ini sebagai three-speed world recovery. Laju pemulihan ekonomi global ma­ kin tak seragam. Keseimbangan Baru A pakah setiap resesi ekonomi yang dalam masih selalu diikuti pemulihan secara cepat? Adakah perubahan pola soal siklus bisnis (business cycle) di perekonomian hari ini dibandingkan sejarah ekonomi mo­ dern yang ditorehkan dua abad terakhir? Dari abad ke-19 sampai sebelum Perang Dunia I, ketika bank sentral belum dibentuk di Amerika Serikat, banyak ditemui fenome­ na resesi ataupun krisis ekonomi yang pemulihannya berlangsung cepat. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengulangan siklus per­ekonomian itu pun sederhana, biasanya terkait aktivitas sektor riil entah investasi infrastruktur, kondisi hasil panen, atau pene­ muan tambang emas baru. Setelah era Perang Dunia I, faktor yang mem­pengaruhi resesi dan pemulihan eko­ nomi makin kompleks dan lebih banyak di­ do­ minasi kebijakan bank sentral. Depresi Hebat 1929-1930 menunjukkan karakteristik yang berbeda dari krisis pada periode sebelumnya. Pemulihan ekonomi berjalan sangat lambat, dampak krisis terasa ke seluruh dunia, termasuk Hindia Belanda yang kala itu terpukul anjloknya harga komoditas ekspor perkebunan. Sesudah era tersebut, resesi ekonomi yang terjadi pun menorehkan warna bera­ gam. Ada yang cepat pulih, ada yang lambat, bahkan ada yang lambat sekali. Dalam satu dekade terakhir, muncullah istilah baru untuk menyederhanakan siklus bisnis itu, menjadi boom dan bust. Lima tahun terakhir, menyusul krisis finansial global pada 2008, ekonomi Amerika Serikat dan Eropa tumbuh sangat lambat se­ dangkan negara berkembang tumbuh me­ lesat didorong perpindahan aliran modal. Hing­ ga hari ini, ekonomi masih tumbuh lambat di seluruh belahan dunia, dengan beragam dinamika. Siklikal atau Struktural? Lambatnya pemulihan ekonomi dalam dinamika perekonomian global saat ini kemudian memunculkan pertanyaan besar. Apa­ kah penurunan kinerja ekonomi sekarang masih merupakan problem siklikal atau sudah menjadi persoalan struktural? Pola siklikal biasanya hanya bersifat jang­ ka pendek, untuk pulih tak lama kemudian. Se­­ mentara pemulihan yang butuh waktu pan­jang pada umumnya merupakan pertanda ada persoalan struktural di dalam perekonomian. Kompleksitas persoalan juga terlihat dari pergeseran lanskap perekonomian global. Dua tahun lalu muncullah perbincangan ten­tang two-speed world recovery, yakni pe­ mulihan ekonomi negara maju berjalan Ekspor komoditas yang menjadi andal­ an negara berkembang selama super cycle pa­da 2001 sampai 2008, kini anjlok seiring pe­nurunan harga komoditas. Pada saat yang sama, impor masih deras, karena kemam­ puan untuk menghasilkan bahan baku dan barang modal belum terbangun optimal. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini tinggi di negara berkembang kebanyakan tak didorong oleh fundamental struktural di da­lam negeri. Terlihat saat ekspor komoditas melemah, impor masih tetap tinggi, maka defisit neraca perdagangan menganga. Di­ tambah pembalikan arus modal, maka berguncanglah ekonomi negara berkembang yang pada tahun-tahun terakhir dipenuhi pujian. Indonesia bukan pengecualian dari gambaran umum negara berkembang tersebut. De­­ fisit neraca perdagangan yang terjadi un­tuk pertama kali dalam beberapa dekade ter­akhir, ditingkahi fluktuasi nilai tukar dan harga saham di Bursa Efek Indonesia. Inflasi yang melejit menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi menjadi faktor tambahan. Maka, koreksi tak terhindarkan lagi. Kali ini untuk menemukan keseimbangan baru ekonomi yang lebih selaras dengan penopang fundamental. Kebijakan ekonomi disusun untuk memastikan inflasi terkendali, nilai tukar rupiah terjaga pada kondisi fundamentalnya, serta defisit neraca transaksi berjalan dapat ditekan menuju tingkat yang sehat. u EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA 3 Susanto fokus Melambat T untuk Lebih Seimbang Penurunan neraca ekspor Indonesia merupakan dampak dari anjloknya harga komoditas yang saling bersilang-sengkarut dengan melemahnya permintaan dari pasar ekspor utama. 4 EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA anpa pertanda, pada 22 Mei 2013 Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) mengatakan sudah saatnya Amerika mengurangi guyuran stimulus. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, The Fed mengucurkan 85 miliar dolar AS per bulan untuk membeli obligasi negara. Pidato Bernanke sontak berdampak, salah satunya berupa pembalikan arus modal. Arus mo­dal yang selama beberapa waktu mengalir ke emerging market, berbalik kembali ke Amerika, di tengah perekonomian global yang tak terlalu bergairah. Bagi Indonesia, pidato ini ibarat dentang lonceng memekakkan, menambah lagi alarm yang bermula dari defisit neraca perdagangan dan berujung pada pelemahan kurs rupiah. Sepanjang 2013 defisit transaksi berjalan Indonesia membesar akibat perlambatan ekspor. Penurunan neraca ekspor Indonesia merupakan dampak dari anjloknya harga komoditas yang saling bersilang-sengkarut dengan me­ lemahnya permintaan dari pasar ekspor utama. Pada saat yang sama, impor masih kuat. Hasilnya, defisit neraca transaksi berjalan mencapai 3,4 persen produk domestik bruto. Modal asing yang selama ini parkir di surat utang negara (SUN) banyak pula yang keluar. langkah bervisi ekonomi stabil dan seimbang. Respons kebijakan yang dikeluarkan Bank Indonesia lebih diarahkan untuk memastikan penyesuaian ekonomi di tengah tekanan global berjalan secara terkendali (orderly rebalancing) menuju arah yang lebih sehat. Susanto Berbenah Lebih Baik Beragam strategi untuk mengantisipasi dinamika perekonomian global, termasuk pe­ngurangan stimulus oleh The Fed, dirancang. Tak terkecuali oleh Bank Indonesia. Bauran kebijakan diperkuat. Paket kebijakan tersebut sekaligus disusun untuk membantu perbaikan defisit neraca transaksi berjalan. Selama kurun Juni sampai November 2013, Bank Indonesia tiga kali menaikkan suku bunga acuan (BI rate). Total kenaikan­nya mencapai 175 basis poin, dari 5,75 persen menjadi 7,5 persen. Pada rentang Juni sampai Sep­tember 2013, Bank Indonesia juga memperkuat operasi moneter untuk menye­ rap kelebihan likuiditas di perbankan, sekaligus memompa upaya pendalaman pasar ke­uangan domestik. Bank Indonesia memastikan pula bera­ gam langkah stabilisasi nilai tukar rupiah. Di antaranya dengan mendorong penyediaan ragam instrumen lindung nilai dan meme­ nuhi kebutuhan likuiditas valuta asing di pasar domestik. Kerja sama antar-bank sentral di kawasan juga diperkuat. Salah satunya berupa kesepakatan pinjaman dana siaga (billateral swap agreement) dengan bank sentral Jepang. Dari sisi makroprudensial, Bank Indonesia membantu menahan laju permintaan yang mayoritas didorong sektor konsumsi, seperti di sektor otomotif dan properti, melalui pengaturan manajemen risiko perbankan. Salah satu kebijakan terkait hal itu adalah terbitnya revisi aturan mengenai loan to value ratio (LTV) untuk kucuran kredit kepemilikan kendaraan dan perumahan. Situasi perekonomian global dan kondisi di dalam negeri harus diantisipasi dengan Respons kebijakan yang dikeluarkan Bank Indonesia lebih diarahkan untuk memastikan penyesuaian ekonomi di tengah tekanan global berjalan secara terkendali (orderly rebalancing) menuju arah yang lebih sehat. Beruntung, sistem keuangan Indonesia saat ini relatif cukup solid, terutama di sektor perbankan. Angka kredit bermasalah (nonperforming loan atau NPL) masih rendah de­ngan posisi rasio kecukupan modal (CAR) cukup tinggi. Kondisi tersebut memberi ruang untuk menyerap tambahan risiko selama perlambatan ekonomi berlangsung. Posisi utang luar negeri pemerintah mau­pun swasta juga masih dalam proporsi yang sehat dan aman, mengurangi satu lagi risiko perlambatan ekonomi. Dari sisi fiskal, defisit APBN juga masih terkendali. Pemerintah pun telah mengeluarkan paket kebijakan pada Agustus dan Oktober yang memberikan insentif fiskal untuk mendorong investasi sekaligus mendorong ekspor. Hasilnya, indikator ekonomi Indonesia mulai memperlihatkan indikator positif. Pro­ ses koreksi ekonomi Indonesia terkendali. Defisit neraca perdagangan pada kuartal ketiga 2013 mulai menurun. Aliran modal a­sing pun kembali masuk. Membaiknya neraca perdagangan juga berdampak positif pada nilai tukar rupiah sejak akhir September 2013. Inflasi juga pelahan menurun, kembali ke pola historis, se­ iring terkendalinya imbas dari kenaikan har­ ga BBM. Namun, inflasi masih tercatat tinggi pada barang-barang yang harganya ditentukan pemerintah (adminestered price) dan pangan (volatile food). Sedangkan inflasi inti ada di bawah 5 persen, masih berada pada rentang target inflasi 4,5 plus minus 1 persen. Hingga akhir tahun, inflasi diperkirakan bakal berada di level sekitar 8,5 persen. Tapering yang tak jadi dimulai pada Oktober 2013 sebagaimana perkiraan banyak kalangan, merupakan tambahan waktu bagi negara berkembang termasuk Indonesia untuk bernapas. Namun, tantangan tetap ada di depan mata. Pengurangan stimulus pasti akan terjadi, hanya soal waktu dan tahapannya. Apapun kebijakan dari Bank Indonesia, sesuai fitrahnya adalah respons yang bersifat jangka pendek sesuai dengan siklus perekonomian global maupun domestik. Penguat­ an ekonomi yang lebih fundamental jelas butuh perbaikan struktural, yang itu mutlak perlu gerak langkah serentak dari seluruh instansi dan warga negara Indonesia. ‘’Ketika perekonomian berada dalam proses koreksi menuju soft landing, kami melihat beberapa tantangan dari global dan domestik masih mengemuka. Tantangan bu­kan hanya berpola siklikal, namun juga struktural, sehingga perlu menjadi perhatian kita bersama,’’ kata Gubernur Bank Indonesia, Agus DW Martowardojo. Bagaimanapun, mimpi besar yang harus diwujudkan adalah ekonomi yang tumbuh mantap, bukan sekadar tumbuh cepat. u EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA fokus Imbal hasil SUN bertenor 10 tahun melonjak 275 basis poin selama 2013. Karena banyak modal asing keluar, neraca pembayaran Indonesia pun ikut defisit. Tekanan terhadap neraca pembayaran Indonesia sempat menurunkan cadangan devisa sampai tinggal 92,7 miliar dolar AS. Cadangan devisa baru kembali bertambah 96,1 miliar dolar AS pada September 2013. Lalu, pada Juni 2013 Pemerintah menaik­ kan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Inflasi melejit seiring melonjaknya harga pa­ngan, meski masih terkendali. Namun tak bisa dipungkiri lonjakan inflasi ini mengubah tren penurunan inflasi yang sudah berlangsung selama satu dekade terakhir. Dengan semua rententan peristiwa ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat selama 2013. Tak hanya target pertumbuhan ekonomi 2013 yang kemudian direvisi, tetapi juga proyeksi 2014. Meskipun, perlambatan yang terjadi tak sedrastis seperti di Cina dan India, yang sebelumnya juga sama-sama mencatatkan angka pertumbuhan fantastis. 5 Tantangan di Depan Mata S ebuah pernyataan dilontarkan Gu­ bernur Bank Sentral Amerika Se­ rikat, Ben Bernanke, pada 22 Mei 2013. Singkat saja. “If the data supports, The Fed could take a step down in the next two meetings.” Namun, dampaknya mengglobal. Sentimen para investor langsung ber­go­yang. Dana asing yang sebelumnya mem­banjiri negara berkembang, berbalik arah. Pasar keuangan di kawasan negara berkembang pun langsung tertekan, tak terkecuali Indonesia. Bagi Indonesia, wacana tapering adalah satu lagi tantangan di depan mata. Ada tiga tantangan utama dengan im­ plikasi besar yang kini menghadang Indonesia. Selain tapering dan imbas kebijakan Amerika secara umum, dua tantangan lain adalah pergeseran lanskap ekonomi global dan berakhirnya era super-cycle. Tiga Kecepatan Optimisme perbaikan ekonomi global sempat merebak pada awal 2013. Roda eko­ nomi dunia diprediksi bergulir lebih cepat, dengan Cina dan India sebagai tumpuan ketika ekonomi Jepang, Amerika, dan Eropa diperkirakan masih berkutat dengan krisis. Proyeksi ini menggambarkan ekonomi glo­ bal mulai masuk fase pemulihan dua kecepatan dan akan segera keluar dari krisis. Dalam perkembangannya, pertumbuh­ an te­tap melambat, hanya pendorongnya bergeser. Mesin ekonomi Cina dan India kehilang­ an tenaga. Di sisi lain, ekonomi Amerika Se­rikat dan Jepang mulai bergulir cepat. Permintaan domestik di Amerika Serikat menguat, sedangkan pemulihan ekonomi Jepang tertolong kebijakan Abenomics. In­dikator ekonomi Eropa juga me­ nunjukkan tanda-tanda keluar dari krisis. Lanskap ekonomi global bergeser, menjadi fase pemulihan tiga kecepatan. Perta­ nyaannya, perlambatan ekonomi global yang masih berlanjut ini masuk kriteria kejadian sesaat (siklikal) atau permanen (struktural)? Pada kasus perlambatan eko­ nomi Ame­rika Serikat dan Cina, ada indikasi persoalan struktural. Pertumbuhan potensial Amerika Serikat yang dulu 3,5 persen kini hanya 1,75 persen, meskipun sekarang sudah mulai membaik. 6 nyerapan tenaga kerja serta berkurangnya angka pengangguran. Muncullah rencana tapering alias pengurangan stimulus itu. Rencana tapering menimbulkan gelombang besar di pasar keuangan global. Harga saham berjatuhan, nilai tukar tertekan, dan risiko keuangan meningkat tajam. Penun­ daan tapering dan masalah anggaran Ame­rika, hanya menjadi tambahan faktor ketidakpastian perekonomian global, berujung gejolak di pasar keuangan. Dok fokus Bagi Indonesia, penguatan fundamental ekonomi adalah harga yang tak bisa ditawar. Akhir Era Super-Cycle Firman Hidayat Departemen Manajemen Strategis dan Tata Kelola Perubahan demografi, penurunan inovasi teknologi, serta lemah­ nya penelitian dan pengembangan menjadi faktor penyebab. Adapun model pertumbuhan Cina telah men­ capai batas optimum dan memasuki fase baru (new normal). Ekonomi Cina hanya mam­pu tumbuh sekitar 7 persen setelah se­ belumnya melaju dua digit. Kontribusi eks­ por dan investasi cenderung turun karena utang negara maju sudah cukup tinggi dan terjadi over-investment di Cina. Imbas Kebijakan Amerika Serikat Dalam sistem moneter internasional saat ini, Amerika Serikat memiliki keistimewaan (exorbitant privilege) sebagai pemasok dollar dunia. Dinamika ekonomi Amerika Se­rikat berdampak signifikan terhadap eko­ nomi global, termasuk soal kebijakan mone­ ter ultra-akomodatif oleh the Fed. Sejak krisis 2008, the Fed menggelontorkan likuiditas dalam jumlah besar untuk mendorong ekonomi domestik yang sedang lesu. Likuiditas tersebut memicu aliran modal masuk ke negara berkembang. Nilai tukar dollar AS melemah, sementara nilai tukar mata uang negara lain cenderung me­ nguat. Lima tahun berlalu, penyesuaian permintaan global mulai terlihat. Ekonomi Ame­rika Serikat menguat lagi seiring pe­ ningkatan kepercayaan konsumen dan pe- EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA Ketidakpastian juga terjadi pada per­ kembangan harga komoditas global. Dalam satu dasawarsa terakhir, harga komoditas melejit dan dikenal sebagai super-cycle harga komoditas. Era supercycle terutama didorong permintaan tinggi seiring industrialisasi dan urbanisasi. Ekonomi dunia yang tumbuh cukup pesat, terutama sejak munculnya Cina sebagai kekuatan baru di tataran eko­ nomi global, menjadi pendorong melonjaknya permintaan dan harga komoditas. Sejak 2010, kondisi tersebut berubah. Harga komoditas, kecuali minyak, menun­ jukkan tren menurun. Penelitian Jacks (2013) menyimpulkan bahwa puncak super-cycle telah terjadi pada dasawarsa terakhir. Sesudah 2010, harga komoditas terus menunjukkan penurunan. Penelitian juga mengindikasikan pergerakan harga komo­ ditas global yang semakin tidak stabil (volatile). Mutlak Bersiap Tiga isu global tersebut menggambarkan tantangan yang tidak ringan. Apalagi, the Fed diperkirakan segera mengurangi kebijakan moneter ultra akomodatif. Jika ini terjadi, likuiditas global akan semakin ketat. Investor global akan tambah bergegas menarik modalnya dari negara berkembang. Indonesia harus bersiap diri mengha­ dapi badai tantangan di depan mata. Bagi Indonesia, penguatan fundamental ekonomi adalah harga yang tidak bisa ditawar. Re­ formasi struktural mendesak dilakukan dan butuh dukungan semua kalangan, selain memperkuat kerja sama bilateral, regional, maupun internasional. u Kombinasi Kebijakan makroprudensial akan benarbenar efektif bila dipadukan dengan kebijakan moneter yang tepat pada saat situasi eksternal mendukung pula. S etelah bertahun-tahun menunjukkan kinerja perekonomian yang ba­gus, negara-negara emerging mar­ket mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Meskipun, beberapa negara berkembang sudah semakin tangguh dan lebih baik menyikapi persoalan ekonomi akibat pengaruh eksternal, selepas krisis ekonomi Asia pada 1997. Para ekonom masih berdebat apakah si­ tuasi kali ini bersifat siklikal ataukah jangka panjang. Kalaupun siklikal, para ekonom berpendapat kondisi ekonomi negara berkembang tak akan pulih ke tingkat pertumbuhan sebelumnya. Negara berkembang sebenarnya juga sudah mengambil beragam tindakan pence­ gah­an untuk menghindari risiko sistemik yang meluas di sistem keuangan. Brasil, misalnya. Negara itu melakukan kombinasi ke­bijak­ an moneter dengan menaikkan suku bu­­nga acuan, pengetatan fiskal, dan kebijakan makro­ prudensial. Tujuan utamanya, meredam in­flasi dan mewujudkan kestabilan sistem finansial. Menjaga Laju Kredit Ketika harga komoditas masih melambung tinggi bersamaan dengan likuiditas glo­bal mengalir ke emerging market, kenaik­ an agregat permintaan juga mendorong kredit domestik melaju kencang. Menghadapi fenomena tersebut, Brasil fokus Tepat Susanto memfokuskan kebijakan makroprudensial­ nya ke tiga instrumen. Yaitu, pajak transaksi finansial (imposto sobre operações financeiras/IOF), reserve requirement (giro wajib mi­ nimum), dan istrumen pembatas untuk pinjaman konsumer. IOF sebesar 2 persen diterapkan lagi sebagai respons banjir arus modal asing ke instrumen portofolio per Oktober 2009. Besaran itu dikenakan untuk pembelian oleh pihak asing atas portofolio dalam negeri se­ perti obligasi dan saham. Tujuan penerapan IOF adalah mencegah fluktuasi keluar masuknya hot money. Penge­ naan pajak diharapkan membuat modal yang masuk itu berdiam di dalam negeri dalam jangka panjang. IOF diklaim sukses untuk mengurangi beberapa jenis arus modal masuk. Namun, mengingat tingkat suku bunga Brasil relatif tinggi, masih banyak hot money menyasar ke instrumen fixed income. Situasi ini membuat otoritas keuangan Brasil memperluas pajak itu ke beberapa ins­ trumen lain dengan masa jatuh tempo berbeda. Pada Maret dan April 2011, IOF diterapkan pula untuk pinjaman luar negeri dengan masa kurang dari 360 hari dan 720 hari. Bank Sentral Brasil menerapkan pula aturan yang mengaitkan giro wajib mininum (GWM) dengan laju pertumbuhan kredit. Kebijakan ini diselaraskan juga dengan penge­ tatan aturan kredit konsumer. Bank besar bisa menikmati penurunan giro wajib mininum bila menyalurkan likuiditas kepada bank kecil dan menengah yang mengalami kesulitan pendanaan. Kebijakan berbasis GWM tersebut efektif menaikkan suku bunga kredit, menahan laju kredit pada tingkat yang sehat. Namun perbankan berusaha mencari ce­ lah menggunakan pinjaman antar­bank, ter­ utama melalui anak perusahaan di bidang multifinansial. Bank Sentral Brasil pun kemudian menerapkan aturan GWM 100 persen untuk pinjaman jangka pendek antarbank. Sementara, booming di sektor kredit konsumer telah menyebabkan tingginya debt service ratio di rumah tangga Brasil. Tingkat utang rumah tangga di Brasil melampaui 40 persen pendapatan. Kredit yang dikhawatirkan bakal menim­bulkan masalah adalah kartu kredit, kredit tanpa agunan, kredit dengan cicilan langsung potong gaji, kredit pemilikan kendara­ an, dan kredit pemilikan rumah. Untuk menanggulanginya, Bank Sentral Brasil mene­rapkan ketentuan loan to value ratio (LTV) di sisi debitur dan juga GWM di sisi kreditur untuk penyalur­an kredit ke sektor berisiko ini. Mengefektifkan Makroprudensial Kebijakan makroprudensial akan benarbenar efektif bila dipadukan dengan kebijakan moneter yang tepat pada saat situasi eksternal mendukung pula. Paduan kebijak­ an fiskal dan moneter di Brasil yang diambil setelah terjadi krisis finansial global tak bisa menahan ekonomi negara itu kepanasan. Salah satu indikator yang terjadi di Brasil adalah melebarnya defisit neraca transaksi berjalan. Situasi ini menjadi landasan Bank Sentral Brasil melakukan modifikasi kebijak­ an makroprudensial. Pelaku pasar yang terus berusaha mencari celah untuk “mengakali” aturan adalah tantangannya. Pada akhirnya kebijakan ma­ k­ro­prudensial bukanlah pengganti kebijakan moneter, tetapi melengkapinya. u EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA 7 Sambutan Akhir Tahun Gubernur BI liputan Dok BI Meletakkan Fondasi Ekonomi Dok H Edhie Haryanto Departemen Komunikasi Arah kebijakan yang konsisten menjaga stabilitas perekonomian dan sistem keuangan. ujan deras di petang hari menjelang Maghrib, 14 November 2013, tak menyurutkan para undangan datang ke Gedung Kebon Sirih Kompleks Perkan­toran Bank Indonesia. Mereka ada­­lah para pimpinan dan anggota DPR, menteri di bidang ekonomi, pimpinan perbankan, dan ka­ langan dunia usaha. Hadir pula di jajaran para tamu, pimpinan redaksi media massa utama, pengamat ekonomi, pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian, dan sejumlah lembaga internasional. Semua menanti pidato akhir tahun Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardjojo, di pertemuan tahunan perbankan 2013. Pertemuan akhir tahun menjadi ajang strate­ gis perekonomian nasional dan menjadi pusat per­hatian. Maka, setiap detil penyajian acara pun menjadi penting. Bank Indonesia harus menjadi tuan rumah yang baik dan ramah. Tepat pukul 19.00 WIB, Gubernur Bank Indonesia dan anggota Dewan Gubernur beserta para undangan memasuki ruang Chandra. Suguhan makan malam disajikan diiringi musik jazz. Tiba pukul 19.45 WIB, Gubernur Bank Indonesia me­ nyampaikan pidato akhir tahunnya. Tiga Isu Besar Global Dalam pidato tersebut, Gubernur Bank Indonesia memaparkan tiga isu besar perekonomian 8 EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA global yang memberikan ketidakpastian dan te­ kan­an kepada ekonomi Indonesia pada 2013. Ke­ tiga isu itu mencakup ketidakpastian pemulih­an perekonomian global, ketidakpastian terkait ke­ bijakan di Amerika Serikat, dan ketidak pastian harga komoditas. Tiga isu utama ekonomi global tersebut tidak dapat dihindari menurunkan kinerja ekonomi Indonesia. Di tengah kuatnya pertumbuhan ekonomi domestik, isu-isu besar itu memicu tekanan ter­ hadap neraca transaksi berjalan. Karenanya, kebijakan yang dibuat harus diarahkan untuk memastikan inflasi tetap terkendali, nilai rupiah terjaga pada kondisi fundamentalnya, serta defisit neraca transaksi berjalan dapat ditekan ke tingkat yang sehat. Arah Kebijakan Sebagai respons atas tantangan yang dihadapi, Gubernur Bank Indonesia memaparkan arah kebijakan bank sentral ke depan, termasuk menghadapi transisi politik 2014. Seluruh paparan tak hanya disampaikan lisan tetapi disertai presentasi tabel dan diagram dalam layar lebar di samping podium. Dalam paparannya, Gubernur Bank Indonesia menegaskan arah kebijakan yang konsisten menjaga stabilitas perekonomian dan sistem keuang­ an. Stabilitas dikedepankan agar struktur pereko­ nomian menjadi lebih seimbang dan sehat. Dok BI OJK. Dari sisi kebijakan sistem pembayaran, Bank Indonesia akan mengembangkan industri sistem pembayaran domestik yang lebih efisien melalui penyempurnaan arsitektur sistem pembayaran dan perluasan akses layanan pembayaran. Gubernur Bank Indonesia juga mene­ gas­kan penguatan kebijakan terkait keuang­ an inklusif dan UMKM. Di ujung kesimpulan pertimbangan tantangan ekonomi serta arah yang akan ditempuh Bank Indonesia dan pemerintah, perekonomian Indonesia masih akan konsolidasi pada 2014, dengan pertumbuhan ekonomi diperkirakan membaik di kisaran 5,8-6,2 persen, inflasi akan ber­ada di rentang 4,5 plus-minus 1 persen, dan pertumbuhan kredit antara 15 sampai 17 persen ditopang pertumbuhan dana pi­ hak ketiga pada kisaran yang sama. Agus DW Martowardjojo menyampaikan pula perspektif jangka menengah 2015 sampai 2018 serta visi Bank Indonesia yang telah dicanangkan hingga 2024 untuk menjadi bank sentral yang kredibel dan terbaik di regional. Untuk perspekstif jangka menengah 2015-2018, ekonomi global diperkirakan dapat tumbuh rata-rata sekitar 3,9 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai 6,5 persen pada 2018, bila berbagai kebijakan transformasi perekonomian berjalan sesuai harapan. Namun, pertum­ buhan ekonomi berpotensi tersendat di se­ kitar 6 persen bila proses transformasi tidak berjalan sesuai harapan. Guna mencapai visi tersebut, Bank Indo­ nesia ingin memastikan bahwa semua potensi sumber daya yang dimiliki berfungsi secara lebih efektif melalui nilai-nilai strate­ gis. Nilai-nilai itu adalah menjunjung tinggi kepercayaan dan integritas, mengedepan­ kan profesionalisme, mengupayakan kesempurnaan kinerja, memprioritaskan kepen­ tingan publik, serta memperkuat koordinasi dan kerja sama. u monetaria Speed Recovery M endekati akhir 2013, istilah rebalancing ekonomi kembali mencuat. Lanskap ekonomi global disebut telah bergeser, dari proyeksi pemulihan dua kecepatan (two speed recovery) menjadi pemulihan tiga kecepatan (three speed recovery). Lagi-lagi adalah Ben Bernanke, Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, yang menjadikan istilah pemulihan dua kecepat­an dalam konteks ekonomi global itu terke­nal. Pada 19 Juli 2010, Bernanke berpidato di depan jajaran petinggi Bank Sentral Uni Eropa (ECB), berjudul Rebalancing the Global Reco­very'. Dalam pidato tersebut, Bernanke banyak berbicara tentang perbandingan perekonomian negara ekonomi berkembang (emerging market economies) dan negara maju (advanced economies). Dia mendefinisikan pemulihan dua kecepatan sebagai situasi ketika negara ekonomi berkembang memiliki laju pertumbuhan yang jauh melampaui negara maju, pada masa pemulihan setelah krisis keuang­an global yang bermula dari Amerika Serikat . Bernanke mengatakan, perbedaan kecepatan pemulihan tersebut pada satu sisi disebabkan oleh perbedaan potensi kedua kelompok negara,. Namun, pada sisi lain harus diakui ada perlambatan pertumbuhan di negara maju meskipun kondisinya sudah membaik. Pidato itu menyajikan pula data bahwa sepulih-pulihnya ekonomi negara maju tak akan kembali ke tingkat sebelum krisis, sebaliknya negara berkembang telah tumbuh pada kisaran angka yang sama dengan saat negara maju mulai mendekati krisis. Pada 2013, gambaran soal kesetimbanga­n baru melalui pendekatan dua kecepatan pemulihan ekonomi global itu mentah. India dan Cina yang semula diperkirakan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi tinggi di negara berkembang, tiba-tiba kehabisan tenaga. Amerika dan Jepang yang masuk kategori negara maju justru mencatatkan percepatan tren pemulihan ekonomi. Namun, Eropa yang ada dalam satu kategori dengan Amerika dan Jepang masih berkutat de­ngan krisis utang. Inilah yang kemudian mendorong munculnya frasa pemulihan tiga kecepatan. Ditambah, membaiknya ekonomi Amerika pun akan segera diikuti pengurangan kucur­ an stimulus. Artinya, aliran modal bakal turut ber­balik. Tantangan besar menghadang negara berkembang.u EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA monetaria Tu­ju­annya, menyiapkan fondasi yang kuat bagi transformasi ekonomi ke depan. Kebijakan itu diimplementasikan dalam bauran kebijakan di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran. Dari sisi kebijakan moneter, BI Rate akan konsisten diarahkan untuk mengendalikan inflasi agar sesuai target. Kebijakan nilai tu­ kar ditempuh guna mengarahkan agar ber­ gerak sesuai dengan nilai fundamentalnya sehingga dapat berperan menjadi instrumen peredam gejolak. Lalu, operasi moneter akan melanjutkan strategi menyerap ekses likuiditas struktural secara terarah dan terukur. Bank Indonesia juga akan terus memperkuat pengembang­ an pasar uang rupiah maupun valas dan melanjutkan program pendalaman pasar keuangan. Di samping itu, Bank Indonesia juga akan terus mening­ katkan ketahanan eks­ ternal melalui kerja sama keuangan de­ ngan bank sentral dan otoritas keuangan di kawasan. Dalam upaya memperkuat ketahanan sektor eksternal, BI juga akan menempuh kebijakan makroprudensial melalui supervisory action yang di­arahkan untuk memperkuat komposisi kre­dit kepada sektor-sektor produktif yang berorientasi ekspor dan menyediakan barang substitusi impor serta mendukung upaya peningkatan kapasitas perekonomian. Dalam kaitannya sebagai otoritas ma­ kroprudensial, kebijakan BI akan diarahkan pada pengelolaan risiko sistemik, termasuk risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar, dan penguatan struktur permodalan. Dalam pe­ ngelolaan risiko likuiditas, akan disempurnakan GWM syariah dan penerapan bertahap instrumen Liquidity Coverage Ratio (LCR) mulai 1 Januari 2015. Adapun untuk ruang lingkup penguatan stabilitas sistem keuangan, BI memandang pen­ting upaya penguatan koordinasi ma­ kro-mikro antara Bank Indonesia dengan 9 Kenaikan BI Rate ruang baca Saatnya Menginjak Rem S i Badu sedang senang-senangnya na­ik sepeda. Memacu sepeda de­ ngan kecepatan tinggi menimbulkan sensasi menyenangkan. Bak ter­bang si Badu menikmati angin semilir yang menerpa wajahnya, terlebih di jalanan menurun tanpa perlu mengayuh. Ibu Badu selalu mengingatkan anaknya untuk selalu berhati-hati. Termasuk soal bersepeda ini. Pegangan yang kuat. Konsentrasi ke jalan. Lihat apa yang ada di depan. Jangan berlebihan mengambil risiko. Dan tentu saja, jangan lupa mengerem! Kondisi perekonomian Indonesia pada November 2013 ibarat si Badu yang sedang se­nang-senang­nya bersepeda. Di tengah si­ tuasi perekonomian global yang lesu, Indo­ ne­ sia masih mencatatkan pertumbuhan eko­nomi yang tinggi. Harus dipastikan, kecepatan itu tak justru membuat perekonomian Indonesia terperosok. Gambaran Situasi Per Oktober 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di kisaran 6 per­sen. Lebih rendah dari perkiraan, namun te­tap saja ti­ nggi dibandingkan negara kawasan bahkan global. Ibarat jalan, perekonomian global pada hari-hari ini ibarat jalan yang terlihat menge­ cil lagi berbatu. Karenanya, keseimbangan dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi ha­ rus dikedepankan, stabilitas perekonomian harus diutamakan, dengan cara laju “sepeda” perekonomian diperlambat. Bagaimanapun, defisit neraca transaksi berjalan kuartal III 2013 masih mencapai 3,8 persen produk domestik bruto (PDB). Ang­ ka ini melampaui perkiraan 3,4 persen PDB berdasarkan proyeksi Bank Indonesia pada Oktober 2013. Kondisi ini dikhawatirkan ma­ sih berlanjut hingga kuartal I dan II 2014, de­­ngan kisaran di atas kondisi nyaman 2,5 persen PDB. Data menunjukkan defisit besar karena impor migas belum terlihat bakal menurun. Pelaku ekonomi sadar betul bahwa defisit di neraca transaksi berjalan berarti ada kebu­ tuh­ an pembiayaan ‘net-impor’ menggunakan devisa (foreign currency). Belum lagi rencana pengurangan kucur­ an stimulus moneter oleh bank sentral Ame­ rika (The Fed) yang hanya soal waktu untuk terjadi. Dulu stimulus ini ibarat jalan menurun yang mulus bagi negara-negara lain sehingga tak butuh banyak tenaga untuk me­ ng­­ayuh perekonomian melintasinya. 10 Pengurangan bertahap yang berujung pada penghentian kebijakan uang longgar (diistilahkan sebagai tapering) ini, mengonfir­ masi kembali menariknya perekonomian AS, dan selanjutnya perekonomian negara maju lain termasuk di Eropa, bagi para investor. Dengan prospek membaik di belahan dunia lain tersebut, negara-negara emer­ ging market seperti Indonesia akan menjadi relatif berkurang daya tariknya. Inilah wujud an­cam­an pembalikan modal (capital reversal) yang dapat menggulung rupiah. Tak Melulu Mengerem Kompleksitas situasi di atas mendorong Bank Indonesia untuk maju memimpin di depan. Untuk ketiga kalinya selama 2013, su­­ku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) dinaikkan pada November 2013, menjadi 7,5 persen. Peran kebijakan moneter menaikkan suku bunga acuan yang dipadu dengan beragam kebijakan lain, tak beda dengan pesan Ibu si Badu. Pegangan yang kuat. Konsentrasi ke jalan. Lihat apa yang ada di depan. Jangan berlebihan mengambil risiko. Dan tentu saja, jangan lupa mengerem! Kabar baik pun datang di pertengahan November 2013. Lembaga pemeringkat Fitch mempertahankan peringkat ‘layak investasi’ (investment grade) untuk Indonesia, dengan outlook stabil. Pengumuman soal peringkat investasi ini datang hanya tiga hari setelah Bank Indonesia menaikkan suku bu­ nga acuan untuk yang ketiga kali pada 2013. Dalam siaran pers-nya, disebutkan bahwa faktor kunci pertama yang mendasari ke­ putusan Fitch adalah “kebijakan pengelolaan ekonomi yang baik terutama dalam menghadapi gejolak perekonomian global terkini.” Konfirmasi yang melegakan. Kabar baik berikutnya, neraca perda­ gangan Indonesia pada akhir November 2013 turut membaik juga. Walaupun neraca transaksi berjalan masih defisit, namun neraca perdagangan sudah berada di teritori positif. Ada surplus 772 juta dolar AS pada November 2013, lebih tinggi daripada surplus pada Oktober 2013 sebesar 81 juta dolar AS, akibat penurunan impor sebesar 4,5 persen diban­ dingkan bulan sebelumnya (mtm) yang lebih besar daripada penurunan ekspor sebesar 0,1 persen (mtm). Data inflasi sepanjang November 2013 pun memancarkan optimisme. Dengan inflasi bulanan di kisaran 0,12 persen, maka inflasi selama 11 bulan pada 2013 adalah EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA Dok HARIS MUNANDAR Departemen Manajemen Strategis dan Tata Kelola 7,79 persen. Bila inflasi Desember 2013 adalah 0,7 persen atau bahkan kurang, inflasi sepanjang 2013 akan berada di bawah level 8,5 persen. Angka-angka tersebut jauh lebih ren­ dah dari­­ pada perkiraan Agustus 2013, yang memperkirakan inflasi sepanjang 2013 di kisaran 10 persen. Neraca pembayaran Indonesia pada triwulan ketiga 2013 juga terlihat jauh lebih bagus dibandingkan triwulan sebelumnya. Se­ cara konsep maupun empirik, kenaikan suku bunga acuan dalam enam bulan ter­ akhir telah sedikit mengurangi laju “sepeda” perekonomian, sekalipun masih tetap berkecepatan tinggi. Kebijakan BI menaikkan suku bunga acu­an hingga tiga kali dalam rentang waktu singkat, memang sempat me­ngundang kritik dan kekecewaan. Namun, setiap sepeda harus punya rem yang juga tak lupa untuk digunakan. Itu pun, tak selama­nya merupakan satu-satu­nya senjata mengendalikan laju sepeda. Pada akhirnya, walau rem siap digunakan setiap saat, si Badu tetap harus menga­ yuh sepeda dengan hati-hati dan mengarah­ kan setangnya. Badu juga tak boleh lupa mera­wat sepeda dengan benar dan memperbaiki bagian yang rusak. Demikian pula perekonomian. Faktor struktural tetap harus dijaga dan dibenahi, tak bisa selamanya meng­andalkan instrumen kebijakan yang bersifat siklikal saja. Alan Greenspan pernah membuat remark penting pada awal 2000-an setelah pecahnya dot.com bubble. Saat memberikan pandangan terkait perekonomian AS di depan Kongres, salah seorang senator menanyakan dengan nada tajam, mengapa The Fed menaikkan suku bunga pada saat perekonomian Amerika jelas-jelas sedang berada di tengah ketidakpastian. Greenspan menjawab, “Kami menaikkan suku bunga justru karena perekonomian Amerika sedang berada di tengah ketidakpastian.... “ Nah. u gerai canda Djalu’13 Sahabat.. humor Pemain Saham Gulung Tikar... D ari iseng-iseng lalu ketagihan, Paijo sudah bermain saham selama beberapa waktu. Namun, kondisi ekonomi global membuatnya menyerah. Dia pun mencairkan semua saham yang sempat dia miliki dan berencana menabung saja di bank. Biarpun hanya dapat bunga kecil tetapi setidaknya Paijo bisa memastikan jumlah uang yang dimilikinya. Maklum, uang yang dia putar di saham masih sekelas ‘amatir’, sehingga fluktuasi jelas berdampak besar padanya. Petugas bank pun heran ada pemain saham yang sudah lumayan lama berkecimpung, bisa berpikiran demikian. Dia tanyakan lebih jauh alasan Paijo. “Bermain saham sudah membuat siklus tidur saya seperti bayi,” ujar Paijo ketika ditanya lebih jauh soal alasannya. “Apakah itu buruk, Pak?” tanya petugas bank masih belum menangkap maksud Paijo. “Oh, iya,” kata Paijo lugas. “Gara-gara bermain saham saat pasar berfluktuasi besar, saya akan tidur selama beberapa jam, lalu terbangun untuk ‘menangis’ selama beberapa jam juga,” ujar dia dengan raut kesal. u humor D ua lelaki yang telah lama bersahabat bertemu dalam sebuah pesta. Obrolan pun tak terasa sampai soal asmara. Selain punya pacar, mereka saling me­ngaku masih melirik perempuan lain. Pada saat sedang enak-enaknya ngobrol, tibatiba wajah salah satu lelaki itu pucat. Pandangannya tertumbuk pada dua perempuan yang sedang asyik mengobrol juga. Lelaki yang mukanya pucat itu pun berbisik pada temannya, “Aduh, itu pacarku mengobrol bersama perempuan lain incaranku.” Sahabatnya menyahut, “Baru juga aku mau bilang hal yang sama.” u pemenang kuis Nama Pemenang Kuis Gerai Info Bank Indonesia Edisi September 2013. 1. Henni Monika Doloksaribu Alamat: Pematangsiantar Telepon: 08136200xxxx 2. Rezha Mario Ibrahim Alamat : Pekanbaru Telepon: 08788336xxxx EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA 11 perspektif Dok Tak Cukup Inflasi Rendah Saja Firman Mochtar Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter B anyak ekonom berkeyakinan bah­ wa inflasi yang rendah merupakan prasyarat pendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Berbagai studi seakan kompak menyebut inflasi rendah akan mendorong daya beli, meningkatkan efisiensi dan pro­ duktivitas, serta akhirnya berkontribusi pada kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Beranjak dari pandangan ini pula, studi-studi lanjutan seolah juga satu suara menyebut penurunan inflasi akan mening­ katkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Argumentasinya, berkurangnya tekanan har­ga akan menurunkan kemiskinan dan me­ngurangi kesenjangan antar-kelompok pendapatan. Risiko Tersembunyi Namun, keyakinan hubungan inflasi dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi tersebut sepertinya terusik dalam dekade terakhir. Ada gambaran baru bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dengan cepat menurun, meskipun inflasi cukup terkendali dan rendah. Ada risiko tersembunyi di balik inflasi yang rendah tersebut. Penyebab fenomena ini, yang pertama adalah perubahan perilaku pasar ke­uangan, disinyalir mulai nampak sejak dekade awal 90-an dan berlanjut hingga kini. Perubahan perilaku yang kemudian mengubah asumsi lama yang sebelumnya telah terbentuk. Asumsi lama mengatakan pasar keuang­an merupakan perantara kegiatan pasar barang atau sektor riil. Dalam asumsi itu, saat terjadi pertambahan likuiditas maka pasar keuangan akan menjadi perantara yang baik, dengan mengalirkannya ke pasar barang dan kemudian mendorong 12 kenaikan permintaan barang. Sesuai hukum ekonomi, bila permintaan barang meningkat, penyesuaian akan terjadi di sektor riil berupa kenaikan harga alias inflasi. Jika inflasi terus berlangsung, kesi­ nambungan pertumbuhan ekonomi pun terganggu. Sebaliknya, likuiditas yang ter­ kendali akan dapat menurunkan inflasi dan mendorong keberlanjutan pertumbuhan ekonomi. Belakangan, asumsi itu berubah karena ternyata pasar keuangan pun tak bebas da­ ri inovasi dan teknologi canggih. Inovasi ini meningkatkan kemampuan pasar ke­ uangan menyerap risiko kelebihan likuiditas yang seharusnya dapat memicu kenaik­ an harga dan selanjutnya inflasi. Artinya, risiko inflasi tersamarkan karena tetap stabil, meskipun pada sisi lain terjadi kelebih­ an likuiditas. Padahal inovasi di pasar keuangan mengangkat risiko lain bagi kesinambung­ an pertumbuhan ekonomi. Pasar keuang­ an yang semula pasif mengikuti kegiatan ekonomi, telah berubah menjadi sangat aktif bergerak sendiri. Pengalaman krisis keuangan global 2008 menunjukkan penurunan pertumbuhan ekonomi dapat terjadi dengan cepat saat gejolak terjadi di pasar keuangan, meskipun inflasi di lain pihak berada pada level yang masih rendah. Faktor Impor Aspek kedua yang menyebabkan inflasi rendah belum cukup mendorong pertumbuhan ekonomi ada­lah peningkatan impor. Peningkatan permintaan domestik yang seharusnya bisa mendorong kenaikan harga dan inflasi, untuk sementara juga diserap pasokan impor. Dalam dekade terakhir, peningkatan pasokan impor untuk memenuhi pertumbuhan permintaan domestik antara lain aki­ bat merebaknya produk murah dari Cina. Nilai tukar riil yang menguat juga berpe­ ngaruh pada kenaikan impor, karena relatif mempermurah harga barang impor terhadap barang domestik. Satu faktor yang mempengaruhi penguatan nilai tukar riil ialah peningkatan pesat aliran modal yang masuk ke negara berkembang sejak krisis keuangan global 2008. Belum lagi berbagai subsidi pemerintah, termasuk subsidi energi. Pemberian subsidi mengesankan harga murah, sekalipun harga komoditas energi global mengalami tren kenaikan. Berbagai faktor yang mendorong pe­ ning­katan impor tersebut, di satu sisi memang dapat mengendalikan inflasi ke level EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA yang rendah. Namun pada sisi lain, impor melonjak. Untuk konteks Indonesia, impor terus menguat juga karena pada saat bersamaan permintaan domestik mening­kat didorong lonjakan kebutuhan kelas menengah yang belum dapat dipenuhi produksi dalam nege­ ri. Satu studi menunjukkan semua faktor itu mengakibatkan elastisitas permintaan domestik terhadap impor cende­ rung me­ ningkat setelah krisis Asia pada 1997-1998. Kenaikan impor ini harus menjadi so­ rot­an sekalipun di sisi lain telah menekan inflasi ke level rendah. Impor akan membe­ ri te­ kanan pada kinerja neraca transaksi ber­­jalan. Tekanan terhadap neraca transaksi berjalan akan semakin kuat bila pada saat bersamaan ekspor sumber daya alam juga terpuruk akibat harga komoditas global yang menurun tajam, lagi-lagi seperti yang sekarang dialami Indonesia. Bila kondisi ini tidak segera dibenahi, ujungnya akan terjadi tekanan terhadap nilai tukar mata uang, yang bila berlanjut akan memberikan tekanan balik kepada inflasi. Akhirnya, kesinambungan pertumbuhan ekonomi pun terganggu. Keseimbangan Bagi bank sentral, keberadaan dua faktor penyerap risiko inflasi ini menjadikan kebijakannya tak bisa hanya berpaku pada pengendalian inflasi tetapi harus diperluas. Yaitu diperluas pada upaya penciptaan lingkungan ekonomi yang seimbang, de­ ngan ditopang stabilitas sistem keuangan yang tetap terkendali. Dalam konteks ini, kebijakan moneter ditempuh untuk me­ ngelola inflasi tetap rendah, sambil bersamaan secara seimbang mengelola kegiatan perekonomian agar tak berlebihan membebani neraca transaksi berjalan. Selain itu, kebijakan makroprudensial yang ditempuh bank sentral juga menjadi strategis agar risiko sistemik terhadap stabilitas sistem keuangan dapat diminimalkan. Kebijakan bank sentral dalam konteks menjaga keseimbangan di pasar barang dan pasar uang tersebut selaras dengan Hicks (1939) dalam “Value and Capital”. Kebijakan untuk keseimbang­ an perlu ditempuh karena mengacu pada potensi pergeseran portofolio di pasar barang dan pasar uang, bahkan di pasar komoditas untuk konteks kekinian, yang kemudian akan menentukan kesinambung­an ekonomi secara keseluruhan. u Respons Kebijakan BI Improvisasi Operasi Moneter Saat ini suku bunga pasar sudah men­ dekati level suku bunga deposit facility (DF). Operasi moneter pun sudah mengalami im­provisasi. Misalnya, menggunakan suku bunga DF sebagai sinyal bahwa saat ini berlaku kebijakan yang lebih ketat. Masih ada improvisasi selain pengguna­ an sinyal DF tersebut. Improvisasi lain ini mengupayakan instrumen pasar uang le­ bih fleksibel demi kepentingan manajemen likuiditas bank dan mendorong penda­ laman pasar. Pertama, penerbitan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI). Instrumen ini di­ nilai bakal ampuh menyerap likuiditas dan mendukung pendalaman pasar uang tanpa memberi ruang spekulasi bagi hot money. Karena, SDBI hanya dapat diperdagangkan antarbank. Kedua, melonggarkan kembali fitur month holding period pada instrumen sertifikat Bank Indonesia. Bila setelah paket kebijakan Oktober 2010 SBI baru dapat di­ perdagangkan setelah dimiliki minimal se­ lama 6 bulan, sekarang diperlonggar menjadi 1 bulan. Harapannya, pelonggaran ini akan membuat pasar sekunder SBI berkembang, pada saat penyerapan likuiditas untuk tujuan operasi moneter tetap optimal. Manuver Stabilisasi Kurs Sedangkan untuk nilai tukar, manuver yang dilakukan antara lain berupa in­ tervensi ganda (twin operation). Yaitu me­ lalui penambahan pasokan valuta Susanto I barat lautan, gejolak ekonomi sepanjang 2013 adalah ombak besar yang meng­ getarkan jiwa dan menciutkan nyali penumpang biduk yang berlayar. Samudera bergejolak ini, dalam pereko­ nomian global sekarang adalah pasar ke­ uangan. Untuk bertahan menghadapi gelombang, bauran peralatan pun harus dikeluarkan untuk memastikan biduk berlayar stabil sampai ke tempat sandar. Semakin besar gelombang, butuh pula semakin banyak manuver untuk menaklukkannya. Kompleksitas permasalahan tak cukup dihadapi dengan satu peralatan. Demikian pula dalam konteks kondisi ekonomi hari ini, tak cukup dihadapi hanya dengan kebijakan suku bunga. Operasi moneter dan penguatan nilai tukar rupiah harus berjalan seiring kenaikan suku bunga acuan. fitria irmi triswati Departemen Pengelolaan Moneter a­sing dibarengi dengan pembelian surat berharga negara (SBN) secara terukur di pasar sekunder. Tujuannya, meminimalkan dampak volatilitas berlebihan di pasar SBN terhadap nilai tukar. Pemerintah juga turun tangan dengan membeli kembali (buyback) SBN di pasar sekunder. Sementara untuk memenuhi kebutuh­ an pengelolaan likuiditas valuta asing, Bank Indonesia menambah keragaman tenor le­lang term deposit (TD) valuta a­sing. Ada tambahan tenor overnight, selain tenor 7,14, dan 30 hari yang selama ini ada. Bersamaan disediakan pula instrumen lin­ dung nilai (hedging) untuk perbankan dan ka­langan usaha, berupa transaksi FX Swap bilateral dan lelang. Kebijakan pelonggaran juga dilakukan. Seperti, pengecualian perhitungan ketentuan pinjaman luar negeri jangka pendek masimum 30 persen modal. Juga, diperbolehkannya bank secara bebas menerus-lanjutkan (pass-on) transaksi FX Swap dengan nasabahnya kepada bank lain atau ke Bank Indonesia. Intinya, operasi moneter Bank Indone­ sia bertujuan menjaga stabilitas dan memastikan penyesuaian pasar berjalan mu­­ lus. Bank Indonesia menyiapkan pula ins­­trumen term repo yang menerima underlying SBI dan SBN, apabila diperlukan. Makroprudensial dan Cadangan Devisa Bauran kebijakan juga berlaku di sisi makroprudensial, untuk mengelola kredit dan manajemen risiko perbankan. Bentuk­ nya, kebijakan loan to value (LTV), bersamaan dengan penerbitan aturan yang me­­ngaitkan kinerja kredit dengan besaran kewajiban giro wajib minimum (GWM) sekunder. Kinerja kredit diukur menggunakan loan to deposit ratio (LDR). Untuk menambah keyakinan pasar, SDBI dimasukkan se­ bagai komponen baru yang diperhitungkan untuk GWM sekunder per 1 Oktober 2013. Sebagai penguat, bantalan kecukupan cadangan devisa pun disiapkan berlapis. Mes­ki cadangan devisa diperkirakan masih mencukupi menahan tekanan neraca pembayaran, antisipasi ketidakpastian perekonomian global diupayakan pula dengan memperkuat kerja sama antar-bank sentral terkait kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan. Wujud penguatan berlapis untuk cadangan devisa ini antara lain berupa perpanjangan billateral swap arrangement (BSA) dengan Cina dan Jepang, BSA baru dengan Korea, serta menambah kerja sama yang telah ada dalam kerangka Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) dan Global Finacial Safety Net (GFSN) dari IMF. Ada pula pembahasan kerja sama serupa dengan bank sentral di kawasan. perspektif Biduk Raksasa di Samudera Bergejolak Menjaga Waspada Seluruh senjata bauran kebijakan te­ lah dikerahkan. Biduk pun tak terhantam gelombang terlalu keras. Inflasi sudah kembali ke pola normal lima tahun terakhir, defisit neraca perdagangan juga sudah ber­ kurang. Arus modal asing yang masuk masih cukup banyak pula untuk menopang kebutuhan domestik. Nilai tukar, putri duyung nan seksi yang menjadi perhatian seluruh samudera pasar keuangan, bergerak lebih stabil. Pertumbuhan ekonomi pun melambat sesuai perkiraan dan terkendali, tercermin dari pertumbuhan yang masih cukup tinggi dibandingkan negara di kawasan. Namun, biduk ini tetap tak boleh le­ ngah. Ombak siklikal masih akan mengha­ dang, demikian pula karang struktural per­ekonomian dan pasar keuangan. Butuh senjata lain yang lebih ampuh lagi untuk menghadapi karang struktural itu. Maka, koordinasi dengan pemerintah dan otoritas lain harus terus diperkuat pula. Misalnya, dengan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Tujuannya, didapatkan kebijakan yang komprehensif dan tepat sasaran. Bila terwujud, biduk besar ini akan jauh lebih siap menghadapi topan badai dan karang sepanjang pelayaran membelah samudera bergejolak. u EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA 13 Dok BI Gres! dan Sejuta Berdaya S G erakan Indonesia Menabung (GIM) dicanangkan pada 20 Februari 2010. Setiap Rabu di awal bulan, ditetapkan pula sebagai Hari Rajin Menabung pada 2012. Beragam upaya terus dilakukan Bank Indonesia untuk menyukseskan ke­ dua program nasional tersebut. Pada 2013, Bank Indonesia menggandeng 21 Bank Pokja Edukasi Keuangan dan TabunganKu serta Badan Musyawarah Perbankan Daerah, menggelar kampanye GIM di sembilan wilayah. Lokasi yang dipi­ lih adalah Makassar, Banjarmasin, Denpasar, Surabaya, Semarang, Ban­ dung, Palembang, Pekanbaru, dan Medan. Sebagai pembuka, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI, mem­bawahi Jawa Barat dan Banten, menjadi tuan rumah perdana. Ke­ giatan digelar pada 13 Oktober 2013, bertempat di halaman Gedung Sa­te, Kota Bandung, Jawa Barat. Gelaran ini terlaksana dengan kerja sama Bank BJB, BCA, dan Bank DKI. Puncak acara dibuka oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Her­yawan, dihadiri Kepala Per­ wakilan Bank Indonesia Wi­ la­ yah VI, sejumlah pejabat ter­kait, serta sekitar 1.000 ma­ syarakat dan pelajar. Pada hari itu, ketiga bank membuka re­ kening bagi 900 pelajar, ditandai penyerahan buku TabunganKu secara simbolis kepada perwakilan pelajar. Kampanye GIM berikutnya berlangsung di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 19 Oktober 2013. Kali ini menggandeng BRI, Bank Danamon, dan Bank CIMB Niaga. Di sini, tak kurang dari 360 pelajar sekolah dasar diajak serta, dengan pembukaan rekening TabunganKu secara sim­bolis pula. Selanjutnya, kegiatan serupa berlanjut di Surabaya, Jawa Timur, pada 27 Oktober 2013. Di kota ini, 950 siswa hadir dalam kegiatan. Empat kota lain disambangi kegiatan yang sama selama November, yakni Pekanbaru, Palembang, Medan, Denpasar, dan Makassar. Sementara untuk Semarang, kegiatan serupa digelar pada Desember 2013. Rangkaian kegiatan GIM bertujuan meningkatkan kesadaran pelajar dan masyarakat tentang pentingnya menabung sejak usia muda. Akses keuangan pelajar dan masyarakat pun diharapkan turut meningkat pula. Per Agustus, program tabungan murah TabunganKu telah memiliki 5.201.856 rekening. Jumlah tersebut melejit 43 persen dibandingkan pada akhir 2012. Angka ini diharapkan masih akan meningkat lagi, bi­ la program Bantuan Siswa Miskin dari pemerintah disalurkan melalui produk ini kepada 12,5 juta siswa penerimanya. u Dok BI peristiwa & humaniora Dok BI Mendorong Indonesia Menabung 14 EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA ejak kelahiran bank syariah pertama di Tanah Air pa­da 1992, sistem keuangan syariah berkembang cepat. Tidak hanya perbankan, industri keuangan non-bank syariah seperti asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, obligasi (sukuk), reksadana, dan pasar modal syariah juga maju pesat. Sistem syariah pun merambah ke sektor riil dengan berkembangnya industri busana muslim, hotel, dan res­ toran syariah, serta berbagai produk halal. Namun, per­ kembangan pesat ini dinilai belum diikuti dengan pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap ekonomi syariah. Sebagai upaya untuk mengoptimalkan edukasi dan sosialisasi mengenai ekonomi syariah, Bank Indonesia menginisiasi program nasional. Nama yang dipilih adalah Gerakan Ekonomi Syariah alias gres!. Gerakan ini dica­ nangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 November 2013 di lapangan Monumen Nasional, Jakarta. Presiden dalam sambutannya mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, dengan jumlah penduduk kelas menengah yang juga terus bertambah, punya potensi menjadi pusat ekonomi syariah dunia. Saat ini, aset industri perbank­an syariah Indonesia telah meningkat 14 kali sejak pertama kali muncul, rata-rata pertumbuhannya mencapai 15 persen per tahun. Pencanangan gerakan ini, kata Presiden, merupakan sebuah sejarah baru dalam agenda nasional. Pemerintah ingin masyarakat berperan aktif mengembangkan eko­ nomi syariah melalui gerakan ini. Selain di Jakarta, pencanangan gres! dilakukan se­ rempak di 24 kota lain, sebagai implementasi dari cetak biru perbankan syariah. Kampanye melalui gerakan ini juga bertujuan mendorong kesadaran para pemegang otoritas, pelaku industri dan bisnis, serta asosiasi dan lembaga penunjang, untuk bersinergi membangun sistem ekonomi syariah nasional. Bersamaan dengan pencanangan gres!, diluncurkan pula program ‘Sejuta Berdaya’. Lewat ‘Sejuta Berdaya’, di­ salurkan pembiayaan dengan nilai mulai dari Rp 1 juta per orang atau keluarga, untuk 10.000 orang atau keluarga prasejahtera. Sumber dana pembiayaan ini berasal dari dana kebajikan yang dihimpun bank syariah dan lembaga amil zakat. ‘Sejuta Berdaya’ bertujuan meningkatkan kapasitas ekonomi mikro dan kecil. Sejalan dengan strategi na­sio­nal keuangan inklusif, program ini bertujuan pula mem­buka akses bagi masyarakat yang selama ini belum memiliki akses terhadap sistem keuangan, termasuk perbankan. u an dilakukan dengan penandatanganan ko­­mitmen ‘Bela dan Beli Produk Indonesia’ menggunakan canting batik pada selembar kain panjang, melibatkan masyarakat umum. Dok BI Beragam Kegiatan Beragam kegiatan digelar untuk meme­ riahkan pencanangan gerakan tersebut. Rang­kaian aktivitas berlangsung pada 14-17 November 2013. Di antara kegiatan itu adalah seminar, temu responden, dan pagelaran batik Yogyakarta. Sejumlah budayawan Indonesia, antara Sehat Money dan Jasmani K esehatan jasmani itu penting. Apa­ lagi bila dibarengi dengan kondisi keuangan prima. Inilah yang kemudian mendasari Bank Indonesia menggelar kampanye “Sehat Money dan Jasmani”, pada Minggu, 26 November 2013. Bertempat di Jalan M H Thamrin, de­ ngan memanfaatkan momen hari bebas ken­ daraan, Departemen Komunikasi BI dengan DPKL, DSDM, DPSI, dan DLP membuka stan pelayanan masyarakat, menebar ajakan untuk memperhatikan kesehatan badan dan keuangan. Kegiatan ini pun mendapat sambut­ an positif dari masyarakat. Stan yang di­sediakan BI tak pernah sepi dari pe­ lain Butet Kertaradjasa, Slamet Rahardjo, Ja­ jang C Noer, dan Happy Salma, hadir pula dalam kegiatan ini sekaligus menjadi Duta Gerakan Bela dan Beli Produk Indonesia. Pada hari kedua kegiatan, 15 November 2013, Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi (PPA) Kosmetika Indonesia menggelar talkshow bertajuk ‘Upaya Peningkatan Daya Saing Kosmetika Indonesia’. Lalu pada hari ketiga, 16 November 2013, kembali digelar talkshow. Kali ini mengha­ dirkan motivator Hepy Trenggono dan Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo. Hasto dikenal dengan keberhasilannya mempromosikan produk dan komoditas lokal lewat Gerakan Bela dan Beli Kulonprogo. Selama empat hari kegiatan, berlangsung pula expo produk-produk kebanggaan nasional asli Yogyakarta dan pameran foto. Expo tersebut diikuti UMKM dari berbagai jenis usaha seperti otomotif, teknologi informasi, teknologi tepat guna, handicraft, mebel, fashion, kuliner, dan bahan pangan. Rangkaian kegiatan ini hanyalah permulaan. Berhasil tidaknya kampanye yang dikumandangkan tergantung pada praktik di lapangan. Sebagai upaya untuk menjaga keberlanjutan gerakan, bantuan teknis dirancang untuk para pelaku ekonomi riil, berupa Forum Pengembangan Ekonomi Daerah, optimalisasi penggunaan produk nasional, serta penyusunan peraturan daerah untuk mendorong penggunaan produk lokal. u Dok BI E ra perdagangan bebas dan Masya­ rakat Ekonomi ASEAN 2015 sudah di depan mata. Sudah saatnya produk Indonesia memperlihatkan kemampuan bersaing dengan produk a­sing. Menyongsong era tersebut, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Daerah Istimewa Yog­ yakarta menginisiasi gerakan sosial ekonomi bertajuk ‘Bela dan Beli Produk Indonesia’. Tujuan kegiatan, meningkatkan kesadaran konsumen untuk mempromosikan produk-produk Indonesia, sekali­ gus menumbuhkan apresiasi dan ke­ banggaan menggunakan produk buatan bangsa sendiri. Pencanangan dilakukan pada 14 November 2013, di halaman Gedung Kantor Perwakilan Bank Indonesia Dae­ rah Istimewa Yogyakarta. Hadir dalam pencanangan tersebut Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Arief Budi Santoso. “Indonesia harus berdikari di bidang eko­nomi,” pesan Sri Sultan dalam kesempat­ an itu. Sultan juga mengatakan masyarakat ha­rus bangga menggunakan produk lokal, un­tuk dapat mewujudkan kemandirian eko­ nomi itu. Sedangkan Arief dalam sambutannya me­ngatakan bahwa gerakan ‘Bela dan Beli Produk Indonesia’ berlatar belakang sema­ ngat dan keinginan meningkatkan nilai tambah produk Indonesia. Pencanganan gerak­ peristiwa & humaniora Dari Yogyakarta untuk Indonesia ngunjung. Antrean terjadi untuk mendapatkan layanan pemeriksaan kesehatan, BI checking, dan konsultasi keuangan ber­sama para ahli. Bila pemeriksaan kesehatan dilakukan untuk tekanan darah, BI checking ada­ lah permintaan rekam jejak Informasi Debitur Individual (IDI). Layanan ini diharapkan memberi edukasi kepada masyarakat untuk bertanggung jawab dengan kewajiban kredit mereka. Melalui layanan BI checking, masya­ rakat diajak untuk ikut serta mengawasi kebenaran dan akurasi data yang dilaporkan lembaga keuangan kepada Bank Indonesia. Seperti halnya badan, kesehatan keuangan pun penting. u EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA 15 Sebuah Langkah Koreksi Stabilitas adalah lebih utama, walaupun berarti laju ekonomi sedikit diperlambat. S elama 2013, Bank Indonesia tiga kali menaikkan suku bunga acuan (BI rate). Dari posisi 5,75 persen menjadi 7,5 persen. Ba­nyak kalangan terkejut bahkan tak sedikit yang mempertanyakan. Ba­ nyak sudut pandang masih menempatkan BI rate semata instrumen moneter. Gubernur Bank Indonesia, Agus DW Mar­towardojo, mengatakan kenaikan BI rate sebesar 175 basis poin ini tak terle­ pas dari strategi bauran kebijakan yang menjadi arah strategi kebijakan bank sentral. Menurut Agus, tiga kenaikan BI rate sepanjang 2013 adalah untuk memastikan terkendalinya proses koreksi pereko­ nonomian Indonesia. Kilas Balik November 2013 Perekonomian Indonesia pada awal November 2013 masih mencatatkan per­ tum­ buhan sekitar 6 persen. Angka ini melebihi pertumbuhan ekonomi negara tetangga bahkan di seantero bumi. Inflasi pun sudah lebih terkendali setelah baru saja ada kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, walau masih terbaca ada peningkatan permintaan agregat, de­ ngan imbas pada inflasi inti. Sementara itu, risiko yang meninggi masih terdeteksi pada bagian eksternal. Neraca pembayaran menunjukkan lampu kuning yang masih pekat. De­fisit neraca transaksi berjalan kuartal III masih besar, sekitar 3,8 persen produk domestik bruto (PDB). Diperkirakan pula sampai kuartal II 2014, perekonomian masih akan suram. Data menunjukkan besarnya defisit ne­ raca perdagangan disumbang impor migas yang tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Bersamaan, gelagat membaiknya perekonomian AS dan global, menguatkan rencana pe­ngu­ rangan stimulus oleh bank sentral Amerika Serikat, alias tapering. Dengan prospek membaik di belahan dunia lain tersebut, daya tarik negara-ne- 16 gara emerging market termasuk Indonesia relatif berkurang. Modal asing pun bersiap meninggalkan negara berkembang, tak terkecuali Indonesia. Sementara, ke­ bu­ tuhan valuta asing tetap berjalan, terutama untuk pembayaran impor dan utang. Naiknya porsi kelas menengah Indonesia telah membuat kebutuhan barang dan jasa semakin kompleks. Sayangnya in­ dustri dalam negeri belum bisa memenuhi demand tersebut. Jadilah impor sebagai penambal kebutuhan pada saat ekspor Indonesia masih berbasis sumber daya alam. Sebenarnya, obat dari tekanan defisit neraca transaksi berjalan memang baik­ nya be­rupa perbaikan struktural, artinya yang menyentuh sendi-sendi mendasar per­ekonomian. Yakni, perindustrian, perdagangan, ketenagakerjaan, sampai pertanian. Sayangnya, 2014 merupakan tahun po­litik yang akan membatasi ruang perbaikan struktural itu. Bukan berarti dibenarkan untuk berdiam diri tanpa ada koreksi perekonomian nasional. Respons dan Dampak Mencermati segala fenomena yang saling bersilang-sengkarut, Bank Indonesia mengambil langkah ke depan. Di antaranya adalah dengan menaikkan suku bu­nga acuan, semata ibarat mengerem laju perekonomian yang terlalu kencang. Sedikit ditahan meski tak kemudian memelan drastis. Inilah latar kenaikan BI rate untuk ketiga kali pada November 2013, yang banyak mendapat sorotan. Bank Indonesia berkeyakinan, kese­ imbangan dan berkelanjutannya pertumbuhan harus dikedepankan, bukan semata ekonomi tumbuh. Stabilitas adalah lebih utama, walaupun berarti laju ekonomi sedikit diperlambat dalam pro­ sesnya. Kabar baik sudah datang pada akhir EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA Susanto ekspose Kenaikan BI Rate November 2013. Surplus terjadi di nera­ca perdagangan, defisit neraca tran­saksi berjalan sudah dipersempit. Tingkat inves­tasi Indonesia pun tak turun meski rupiah terhantam dinamika perekonomian global yang mengharuskan terus berlanjutnya upaya mencari titik keseimbangan nilai tukar baru. Walaupun neraca transaksi berjalan masih defisit, namun neraca perdagangan pada November 2013 sudah berada di teritori positif. Terjadi surplus sebesar 772 juta dolar AS, karena penurunan impor jauh melampaui penurunan ekspor. Data inflasi sepanjang November memancarkan pula optimisme, dengan inflasi bulanan sebesar 0,12 persen. “Tanpa bermaksud berpuas diri, tidak berlebihan bila dikatakan, berbagai res­ pons kebijakaan mulai berkontribusi po­ sitif,” kata Agus. Namun, pembenahan struktural tetap mutlak menjadi tantang­ an. Rem paling bagus sekalipun tak akan selamanya menyelamatkan pengendara kendaraan, bila kondisi sepeda atau cara berkendara tak menjamin keselamatan. u