Menyeimbangkan - Bank Indonesia

advertisement
gerai
3
Menuju
Keseimbangan
Ekonomi
EDISI 44 n NOVEMBER 2013 n TAHUN 4 n NEWSLETTER BANK INDONESIA
6
Saat ini terjadi
pergeseran lanskap
ekonomi global,
dalam wujud pemulihan dengan tiga
kecepatan. Sebuah
pencarian keseimbangan baru.
Tantangan
di Depan Mata
10
Kenaikan BI Rate:
Saatnya
Menginjak Rem
Menyeimbangkan
Perekonomian
13
Susanto
D
i tengah upaya pemulihan ekonomi global, Indonesia mencatatkan situasi kompleks. Pada
satu sisi pertumbuhan ekonomi masih melaju
tinggi, tetapi rupiah terus melemah, dan neraca perdagangan mengalami defisit untuk
pertama kalinya sejak memasuki 2013. Impor mencuat
menjadi sorotan, dengan beragam sudut pandang.
Daya tahan ekonomi memang sudah jauh lebih baik
daripada saat krisis moneter Asia 1997-1998 terlihat dari
masih terkendalinya inflasi sekalipun di te­ngah tahun
ada kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Memasuki November 2013, inflasi pun sudah terlihat kembali
menuju tren normal, meskipun masih ada imbas kenaik­
an harga bahan bakar minyak itu.
Namun, rencana Bank Sentral Amerika (The Fed) me­
ngurangi kucuran stimulus seiring membaiknya ekonomi
negara tersebut, menjadi sinyal nyaring tuntutan pembenahan yang lebih luas dan mendasar bagi perekonomi­
an Indonesia. Apalagi, saat ini terjadi pergeseran lanskap
ekonomi global, dalam wujud pemulihan dengan tiga ke­
cepat­an. Sebuah pencarian keseimbangan baru ekonomi.
Tak cukup pembenahan mengandalkan kebijakan
moneter. Tiga kali kenaikan BI rate semata upaya korek­
si atas kompleksitas ekonomi hari ini. Pembenahan sejati
harus dilakukan pada komponen dan sektor yang memang fundamental. Struktural. u
Respons
Kebijakan BI:
Biduk di Samudera
Bergejolak
15
Dari Yogyakarta
untuk Indonesia
DARI MEJA GUBERNUR
meja Redaksi
Menyetel Ulang
Keseimbangan Ekonomi
Agus DW Martowardojo
Gubernur Bank Indonesia
Dok BI
P
ertumbuhan yang tinggi dan ber­kua­litas
adalah ultimate target pembanguna­n
ekonomi yang ingin kita ca­pai. Dalam
konteks ini, ekonomi tumbuh berkesinambungan yaitu ber­tumbuh secara stabil dalam
jangka panjang.
Dinamika ekonomi 2013 mengharuskan
Bank Indonesia sebagai pengawal stabilitas
tampil ke depan. Mengapa?
Kami harus memastikan bahwa perekonomian nasional tumbuh dalam jalur yang
seharusnya (on-track). Perekonomian harus
tumbuh berimbang dan sehat, untuk melandasi kesinambungan pertumbuhan.
Dinamika ekonomi kita memang mulai
menunjukkan ketidakseimbangan dan pergeseran. Dimulai dari defisit neraca transaksi
berjalan pada akhir 2011 dan masih berlanjut
hingga November 2013.
Ketahanan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tambah goyah karena dampak dari
per­
geseran lanskap ekonomi global. Momentum laju pertumbuhan ekonomi sejak
2010 pun tersendat, terkendala lemahnya
keta­hanan neraca pembayaran (balance of
payment constrained growth).
Tak berimbangnya NPI tergambar jelas
da­ri berlebihnya permintaan devisa di pasar,
mengakibatkan fluktuasi tajam nilai tukar rupiah. Dan, fluktuasi nilai tukar berarti ketidakpastian bagi dunia usaha dan masyarakat luas.
Ketidakpastian adalah musuh, karena
merusak apa yang sudah direncanakan, termasuk investasi. Sementara, investasi diperlukan agar ekonomi lebih memiliki ruang (capacity) untuk tumbuh tinggi dan menyerap
angkatan kerja.
Inilah saatnya kita menyetel ulang (rebalancing) per­
tumbuhan dan melakukan
penyesuai­an agar ekonomi
kembali ke jalur yang seha­
rusnya, lebih sehat dan
kembali berimbang.
Pelemahan rupiah yang terlalu tajam pun
dapat merugikan perekonomian nasio­
nal
karena bisa memicu lingkaran negatif yang
membahayakan, antara ekspektasi depresiasi dan ekspektasi inflasi. Apalagi, inflasi sempat melambung karena kebijakan kenaikan
harga BBM pada pertengahan 2013.
Dalam pandangan kami, keseimbangan
ekonomi sudah bergeser dari jalurnya. Inilah
saatnya kita menyetel ulang (rebalancing)
per­tumbuhan dan melakukan penyesuai­an
agar ekonomi kembali ke jalur yang seha­
rusnya, lebih sehat dan kembali berimbang.
Menyehatkan kembali postur neraca
pembayaran memang butuh kebijakan re­
for­masi struktural, karena itulah akar pe­nye­
babnya. Ini alasan pemerintah menggulirkan paket kebijakan struktural pada Agustus
2013.
Namun, efektivitas kebijakan struktural
memerlukan waktu cukup lama untuk terlihat hasilnya. Sementara tekanan pelemahan
ru­
piah sebagai respon atas defisit neraca
transaksi berjalan sudah terlanjur terjadi demikian cepat, bahkan bergerak berlebihan,
serta berisiko memicu gejolak.
Karena itu, Bank Indonesia tidak bisa
menunda-nunda waktu. Lambat merespons
gejolak seringkali membuat kita kehilangan
momentum, berkonsekuensi pada besarnya
biaya yang harus ditanggung perekonomian.
Kebijakan stabilisasi harus dikedepankan.
Baik melalui kenaikan suku bunga, makroprudensial, maupun intervensi di pasar valas.
Kenaikan suku bunga memang dapat
memperlambat laju pertumbuhan, namun
per­lambatan itu harus dilihat sebagai proses
penyesuaian yang diperlukan, agar ke depan
perekonomian kita memiliki fondasi yang
le­bih kokoh untuk tumbuh sehat dan berimbang. u
redaksi
Penanggung Jawab
Difi A Johansyah
Pemimpin Redaksi
peter jacobs
2
Redaksi Pelaksana
Rizana Noor
DWI MUKTI WIBOWo
ERNAWATI JATININGRUM
Wahyu Indra Sukma
Surya Nanggala
Dahlia Dessianayanthi
lina ernawati
EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
Alamat Redaksi
Departemen Komunikasi
Jl MH Thamrin No 2 - Jakarta Pusat
Contact Center BICARA:
(Kode Area) 500 131
e-mail: [email protected]
website: www.bi.go.id
twitter: @bank_indonesia
Redaksi
menerima
kiriman naskah
dan mengedit
naskah sebelum
dipublikasikan.
Susanto
Pertumbuhan ekonomi yang
selama ini tinggi di negara
berkembang kebanyakan tak
didorong oleh fundamental
struktural di dalam negeri.
fokus
Menuju
Keseimbangan
Ekonomi
lambat sedangkan di negara berkembang
akan berlangsung cepat. Fakta hari ini, situa­
si berbalik. Ekonomi Amerika mulai terlihat
menguat lagi, Eropa memperbesar peluang
keluar dari krisis utang, sementara ekonomi
negara berkembang malah melambat.
Dalam acara bankers dinner November
2013, Gubernur Bank Indonesia Agus DW
Mar­
towardojo menyebut situasi ekonomi
glo­bal hari ini sebagai three-speed world recovery. Laju pemulihan ekonomi global ma­
kin tak seragam.
Keseimbangan Baru
A
pakah setiap resesi ekonomi
yang dalam masih selalu diikuti
pemulihan secara cepat? Adakah
perubahan pola soal siklus bisnis
(business cycle) di perekonomian
hari ini dibandingkan sejarah ekonomi mo­
dern yang ditorehkan dua abad terakhir?
Dari abad ke-19 sampai sebelum Perang
Dunia I, ketika bank sentral belum dibentuk
di Amerika Serikat, banyak ditemui fenome­
na resesi ataupun krisis ekonomi yang pemulihannya berlangsung cepat. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pengulangan siklus
per­ekonomian itu pun sederhana, biasanya
terkait aktivitas sektor riil entah investasi infrastruktur, kondisi hasil panen, atau pene­
muan tambang emas baru.
Setelah era Perang Dunia I, faktor yang
mem­pengaruhi resesi dan pemulihan eko­
nomi makin kompleks dan lebih banyak di­
do­
minasi kebijakan bank sentral. Depresi
Hebat 1929-1930 menunjukkan karakteristik
yang berbeda dari krisis pada periode sebelumnya. Pemulihan ekonomi berjalan sangat
lambat, dampak krisis terasa ke seluruh dunia, termasuk Hindia Belanda yang kala itu
terpukul anjloknya harga komoditas ekspor
perkebunan.
Sesudah era tersebut, resesi ekonomi
yang terjadi pun menorehkan warna bera­
gam. Ada yang cepat pulih, ada yang lambat,
bahkan ada yang lambat sekali. Dalam satu
dekade terakhir, muncullah istilah baru untuk menyederhanakan siklus bisnis itu, menjadi boom dan bust.
Lima tahun terakhir, menyusul krisis finansial global pada 2008, ekonomi Amerika
Serikat dan Eropa tumbuh sangat lambat se­
dangkan negara berkembang tumbuh me­
lesat didorong perpindahan aliran modal.
Hing­
ga hari ini, ekonomi masih tumbuh
lambat di seluruh belahan dunia, dengan beragam dinamika.
Siklikal atau Struktural?
Lambatnya pemulihan ekonomi dalam
dinamika perekonomian global saat ini kemudian memunculkan pertanyaan besar.
Apa­
kah penurunan kinerja ekonomi sekarang masih merupakan problem siklikal atau
sudah menjadi persoalan struktural?
Pola siklikal biasanya hanya bersifat jang­
ka pendek, untuk pulih tak lama kemudian.
Se­­
mentara pemulihan yang butuh waktu
pan­jang pada umumnya merupakan pertanda ada persoalan struktural di dalam perekonomian.
Kompleksitas persoalan juga terlihat dari
pergeseran lanskap perekonomian global.
Dua tahun lalu muncullah perbincangan
ten­tang two-speed world recovery, yakni pe­
mulihan ekonomi negara maju berjalan
Ekspor komoditas yang menjadi andal­
an negara berkembang selama super cycle
pa­da 2001 sampai 2008, kini anjlok seiring
pe­nurunan harga komoditas. Pada saat yang
sama, impor masih deras, karena kemam­
puan untuk menghasilkan bahan baku dan
barang modal belum terbangun optimal.
Pertumbuhan ekonomi yang selama ini
tinggi di negara berkembang kebanyakan
tak didorong oleh fundamental struktural di
da­lam negeri. Terlihat saat ekspor komoditas
melemah, impor masih tetap tinggi, maka
defisit neraca perdagangan menganga. Di­
tambah pembalikan arus modal, maka berguncanglah ekonomi negara berkembang
yang pada tahun-tahun terakhir dipenuhi
pujian.
Indonesia bukan pengecualian dari gambaran umum negara berkembang tersebut.
De­­
fisit neraca perdagangan yang terjadi
un­tuk pertama kali dalam beberapa dekade
ter­akhir, ditingkahi fluktuasi nilai tukar dan
harga saham di Bursa Efek Indonesia. Inflasi
yang melejit menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi menjadi faktor
tambahan.
Maka, koreksi tak terhindarkan lagi. Kali
ini untuk menemukan keseimbangan baru
ekonomi yang lebih selaras dengan penopang fundamental. Kebijakan ekonomi disusun untuk memastikan inflasi terkendali, nilai
tukar rupiah terjaga pada kondisi fundamentalnya, serta defisit neraca transaksi berjalan
dapat ditekan menuju tingkat yang sehat. u
EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
3
Susanto
fokus
Melambat T
untuk Lebih
Seimbang
Penurunan neraca ekspor Indonesia merupakan dampak dari
anjloknya harga komoditas yang saling bersilang-sengkarut
dengan melemahnya permintaan dari pasar ekspor utama.
4
EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
anpa pertanda, pada 22 Mei 2013 Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat
(The Fed) mengatakan sudah saatnya
Amerika mengurangi guyuran stimulus. Untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi, The Fed mengucurkan 85 miliar dolar
AS per bulan untuk membeli obligasi negara.
Pidato Bernanke sontak berdampak, salah
satunya berupa pembalikan arus modal. Arus
mo­dal yang selama beberapa waktu mengalir
ke emerging market, berbalik kembali ke Amerika, di tengah perekonomian global yang tak terlalu bergairah.
Bagi Indonesia, pidato ini ibarat dentang
lonceng memekakkan, menambah lagi alarm
yang bermula dari defisit neraca perdagangan
dan berujung pada pelemahan kurs rupiah.
Sepanjang 2013 defisit transaksi berjalan Indonesia membesar akibat perlambatan ekspor.
Penurunan neraca ekspor Indonesia merupakan dampak dari anjloknya harga komoditas yang saling bersilang-sengkarut dengan
me­
lemahnya permintaan dari pasar ekspor
utama. Pada saat yang sama, impor masih kuat.
Hasilnya, defisit neraca transaksi berjalan mencapai 3,4 persen produk domestik bruto.
Modal asing yang selama ini parkir di surat
utang negara (SUN) banyak pula yang keluar.
langkah bervisi ekonomi stabil dan seimbang. Respons kebijakan yang dikeluarkan
Bank Indonesia lebih diarahkan untuk memastikan penyesuaian ekonomi di tengah
tekanan global berjalan secara terkendali
(orderly rebalancing) menuju arah yang lebih
sehat.
Susanto
Berbenah Lebih Baik
Beragam strategi untuk mengantisipasi
dinamika perekonomian global, termasuk
pe­ngurangan stimulus oleh The Fed, dirancang. Tak terkecuali oleh Bank Indonesia.
Bauran kebijakan diperkuat. Paket kebijakan
tersebut sekaligus disusun untuk membantu
perbaikan defisit neraca transaksi berjalan.
Selama kurun Juni sampai November
2013, Bank Indonesia tiga kali menaikkan
suku bunga acuan (BI rate). Total kenaikan­nya
mencapai 175 basis poin, dari 5,75 persen
menjadi 7,5 persen. Pada rentang Juni sampai Sep­tember 2013, Bank Indonesia juga
memperkuat operasi moneter untuk menye­
rap kelebihan likuiditas di perbankan, sekaligus memompa upaya pendalaman pasar
ke­uangan domestik.
Bank Indonesia memastikan pula bera­
gam langkah stabilisasi nilai tukar rupiah. Di
antaranya dengan mendorong penyediaan
ragam instrumen lindung nilai dan meme­
nuhi kebutuhan likuiditas valuta asing di
pasar domestik.
Kerja sama antar-bank sentral di kawasan
juga diperkuat. Salah satunya berupa kesepakatan pinjaman dana siaga (billateral swap
agreement) dengan bank sentral Jepang.
Dari sisi makroprudensial, Bank Indonesia membantu menahan laju permintaan
yang mayoritas didorong sektor konsumsi,
seperti di sektor otomotif dan properti, melalui pengaturan manajemen risiko perbankan.
Salah satu kebijakan terkait hal itu adalah terbitnya revisi aturan mengenai loan to value
ratio (LTV) untuk kucuran kredit kepemilikan
kendaraan dan perumahan.
Situasi perekonomian global dan kondisi
di dalam negeri harus diantisipasi dengan
Respons kebijakan
yang dikeluarkan
Bank Indonesia
lebih diarahkan untuk
memastikan penyesuaian ekonomi
di tengah tekanan
global berjalan secara
terkendali (orderly
rebalancing) menuju
arah yang lebih sehat.
Beruntung, sistem keuangan Indonesia
saat ini relatif cukup solid, terutama di sektor
perbankan. Angka kredit bermasalah (nonperforming loan atau NPL) masih rendah
de­ngan posisi rasio kecukupan modal (CAR)
cukup tinggi. Kondisi tersebut memberi ruang untuk menyerap tambahan risiko selama
perlambatan ekonomi berlangsung.
Posisi utang luar negeri pemerintah
mau­pun swasta juga masih dalam proporsi
yang sehat dan aman, mengurangi satu lagi
risiko perlambatan ekonomi. Dari sisi fiskal,
defisit APBN juga masih terkendali. Pemerintah pun telah mengeluarkan paket kebijakan
pada Agustus dan Oktober yang memberikan insentif fiskal untuk mendorong investasi
sekaligus mendorong ekspor.
Hasilnya, indikator ekonomi Indonesia
mulai memperlihatkan indikator positif. Pro­
ses koreksi ekonomi Indonesia terkendali.
Defisit neraca perdagangan pada kuartal
ketiga 2013 mulai menurun. Aliran modal
a­sing pun kembali masuk.
Membaiknya neraca perdagangan juga
berdampak positif pada nilai tukar rupiah
sejak akhir September 2013. Inflasi juga pelahan menurun, kembali ke pola historis, se­
iring terkendalinya imbas dari kenaikan har­
ga BBM.
Namun, inflasi masih tercatat tinggi pada
barang-barang yang harganya ditentukan
pemerintah (adminestered price) dan pangan
(volatile food). Sedangkan inflasi inti ada di
bawah 5 persen, masih berada pada rentang
target inflasi 4,5 plus minus 1 persen. Hingga
akhir tahun, inflasi diperkirakan bakal berada
di level sekitar 8,5 persen.
Tapering yang tak jadi dimulai pada Oktober 2013 sebagaimana perkiraan banyak
kalangan, merupakan tambahan waktu bagi
negara berkembang termasuk Indonesia untuk bernapas. Namun, tantangan tetap ada
di depan mata. Pengurangan stimulus pasti
akan terjadi, hanya soal waktu dan tahapannya.
Apapun kebijakan dari Bank Indonesia,
sesuai fitrahnya adalah respons yang bersifat
jangka pendek sesuai dengan siklus perekonomian global maupun domestik. Penguat­
an ekonomi yang lebih fundamental jelas
butuh perbaikan struktural, yang itu mutlak
perlu gerak langkah serentak dari seluruh instansi dan warga negara Indonesia.
‘’Ketika perekonomian berada dalam
proses koreksi menuju soft landing, kami
melihat beberapa tantangan dari global dan
domestik masih mengemuka. Tantangan
bu­kan hanya berpola siklikal, namun juga
struktural, sehingga perlu menjadi perhatian
kita bersama,’’ kata Gubernur Bank Indonesia, Agus DW Martowardojo. Bagaimanapun,
mimpi besar yang harus diwujudkan adalah
ekonomi yang tumbuh mantap, bukan sekadar tumbuh cepat. u
EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
fokus
Imbal hasil SUN bertenor 10 tahun melonjak
275 basis poin selama 2013. Karena banyak
modal asing keluar, neraca pembayaran Indonesia pun ikut defisit.
Tekanan terhadap neraca pembayaran
Indonesia sempat menurunkan cadangan
devisa sampai tinggal 92,7 miliar dolar AS.
Cadangan devisa baru kembali bertambah
96,1 miliar dolar AS pada September 2013.
Lalu, pada Juni 2013 Pemerintah menaik­
kan harga bahan bakar minyak bersubsidi.
Inflasi melejit seiring melonjaknya harga
pa­ngan, meski masih terkendali. Namun tak
bisa dipungkiri lonjakan inflasi ini mengubah
tren penurunan inflasi yang sudah berlangsung selama satu dekade terakhir.
Dengan semua rententan peristiwa ini,
pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat
selama 2013. Tak hanya target pertumbuhan
ekonomi 2013 yang kemudian direvisi, tetapi
juga proyeksi 2014. Meskipun, perlambatan
yang terjadi tak sedrastis seperti di Cina dan
India, yang sebelumnya juga sama-sama
mencatatkan angka pertumbuhan fantastis.
5
Tantangan di Depan Mata
S
ebuah pernyataan dilontarkan
Gu­
bernur Bank Sentral Amerika
Se­
rikat, Ben Bernanke, pada 22
Mei 2013. Singkat saja. “If the data
supports, The Fed could take a step
down in the next two meetings.”
Namun, dampaknya mengglobal. Sentimen para investor langsung ber­go­yang.
Dana asing yang sebelumnya mem­banjiri
negara berkembang, berbalik arah. Pasar
keuangan di kawasan negara berkembang
pun langsung tertekan, tak terkecuali Indonesia. Bagi Indonesia, wacana tapering adalah satu lagi tantangan di depan mata.
Ada tiga tantangan utama dengan im­
plikasi besar yang kini menghadang Indonesia. Selain tapering dan imbas kebijakan
Amerika secara umum, dua tantangan lain
adalah pergeseran lanskap ekonomi global
dan berakhirnya era super-cycle.
Tiga Kecepatan
Optimisme perbaikan ekonomi global
sempat merebak pada awal 2013. Roda eko­
nomi dunia diprediksi bergulir lebih cepat,
dengan Cina dan India sebagai tumpuan
ketika ekonomi Jepang, Amerika, dan Eropa
diperkirakan masih berkutat dengan krisis.
Proyeksi ini menggambarkan ekonomi glo­
bal mulai masuk fase pemulihan dua kecepatan dan akan segera keluar dari krisis.
Dalam perkembangannya, pertumbuh­
an te­tap melambat, hanya pendorongnya
bergeser. Mesin ekonomi Cina dan India
kehilang­
an tenaga. Di sisi lain, ekonomi
Amerika Se­rikat dan Jepang mulai bergulir cepat. Permintaan domestik di Amerika
Serikat menguat, sedangkan pemulihan
ekonomi Jepang tertolong kebijakan Abenomics. In­dikator ekonomi Eropa juga me­
nunjukkan tanda-tanda keluar dari krisis.
Lanskap ekonomi global bergeser, menjadi fase pemulihan tiga kecepatan. Perta­
nyaannya, perlambatan ekonomi global
yang masih berlanjut ini masuk kriteria
kejadian sesaat (siklikal) atau permanen
(struktural)? Pada kasus perlambatan eko­
nomi Ame­rika Serikat dan Cina, ada indikasi
persoalan struktural.
Pertumbuhan potensial Amerika Serikat
yang dulu 3,5 persen kini hanya 1,75 persen,
meskipun sekarang sudah mulai membaik.
6
nyerapan tenaga kerja serta berkurangnya
angka pengangguran. Muncullah rencana
tapering alias pengurangan stimulus itu.
Rencana tapering menimbulkan gelombang besar di pasar keuangan global. Harga
saham berjatuhan, nilai tukar tertekan, dan
risiko keuangan meningkat tajam. Penun­
daan tapering dan masalah anggaran
Ame­rika, hanya menjadi tambahan faktor
ketidakpastian perekonomian global, berujung gejolak di pasar keuangan.
Dok
fokus
Bagi Indonesia, penguatan fundamental ekonomi adalah harga yang tak bisa ditawar.
Akhir Era Super-Cycle
Firman Hidayat
Departemen Manajemen Strategis dan Tata Kelola
Perubahan demografi, penurunan inovasi
teknologi, serta lemah­
nya penelitian dan
pengembangan menjadi faktor penyebab.
Adapun model pertumbuhan Cina telah
men­
capai batas optimum dan memasuki
fase baru (new normal). Ekonomi Cina hanya
mam­pu tumbuh sekitar 7 persen setelah se­
belumnya melaju dua digit. Kontribusi eks­
por dan investasi cenderung turun karena
utang negara maju sudah cukup tinggi dan
terjadi over-investment di Cina.
Imbas Kebijakan Amerika Serikat
Dalam sistem moneter internasional
saat ini, Amerika Serikat memiliki keistimewaan (exorbitant privilege) sebagai pemasok
dollar dunia. Dinamika ekonomi Amerika
Se­rikat berdampak signifikan terhadap eko­
nomi global, termasuk soal kebijakan mone­
ter ultra-akomodatif oleh the Fed.
Sejak krisis 2008, the Fed menggelontorkan likuiditas dalam jumlah besar untuk
mendorong ekonomi domestik yang sedang lesu. Likuiditas tersebut memicu aliran
modal masuk ke negara berkembang. Nilai
tukar dollar AS melemah, sementara nilai
tukar mata uang negara lain cenderung me­
nguat.
Lima tahun berlalu, penyesuaian permintaan global mulai terlihat. Ekonomi
Ame­rika Serikat menguat lagi seiring pe­
ningkatan kepercayaan konsumen dan pe-
EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
Ketidakpastian juga terjadi pada per­
kembangan harga komoditas global. Dalam
satu dasawarsa terakhir, harga komoditas
melejit dan dikenal sebagai super-cycle
harga komoditas. Era supercycle terutama
didorong permintaan tinggi seiring industrialisasi dan urbanisasi. Ekonomi dunia
yang tumbuh cukup pesat, terutama sejak
munculnya Cina sebagai kekuatan baru
di tataran eko­
nomi global, menjadi pendorong melonjaknya permintaan dan harga
komoditas.
Sejak 2010, kondisi tersebut berubah.
Harga komoditas, kecuali minyak, menun­
jukkan tren menurun. Penelitian Jacks
(2013) menyimpulkan bahwa puncak super-cycle telah terjadi pada dasawarsa terakhir. Sesudah 2010, harga komoditas terus
menunjukkan penurunan. Penelitian juga
mengindikasikan pergerakan harga komo­
ditas global yang semakin tidak stabil (volatile).
Mutlak Bersiap
Tiga isu global tersebut menggambarkan tantangan yang tidak ringan. Apalagi,
the Fed diperkirakan segera mengurangi
kebijakan moneter ultra akomodatif. Jika ini
terjadi, likuiditas global akan semakin ketat.
Investor global akan tambah bergegas menarik modalnya dari negara berkembang.
Indonesia harus bersiap diri mengha­
dapi badai tantangan di depan mata. Bagi
Indonesia, penguatan fundamental ekonomi adalah harga yang tidak bisa ditawar. Re­
formasi struktural mendesak dilakukan dan
butuh dukungan semua kalangan, selain
memperkuat kerja sama bilateral, regional,
maupun internasional. u
Kombinasi
Kebijakan makroprudensial akan benarbenar efektif bila dipadukan dengan
kebijakan moneter yang tepat pada saat
situasi eksternal mendukung pula.
S
etelah bertahun-tahun menunjukkan kinerja perekonomian yang
ba­gus, negara-negara emerging
mar­ket mengalami perlambatan
pertumbuhan ekonomi.
Meskipun, beberapa negara berkembang sudah
semakin tangguh dan lebih baik menyikapi
persoalan ekonomi akibat pengaruh eksternal, selepas krisis ekonomi Asia pada 1997.
Para ekonom masih berdebat apakah si­
tuasi kali ini bersifat siklikal ataukah jangka
panjang. Kalaupun siklikal, para ekonom berpendapat kondisi ekonomi negara berkembang tak akan pulih ke tingkat pertumbuhan
sebelumnya.
Negara berkembang sebenarnya juga
sudah mengambil beragam tindakan pence­
gah­an untuk menghindari risiko sistemik yang
meluas di sistem keuangan. Brasil, misalnya.
Negara itu melakukan kombinasi ke­bijak­
an moneter dengan menaikkan suku bu­­nga
acuan, pengetatan fiskal, dan kebijakan makro­
prudensial. Tujuan utamanya, meredam in­flasi
dan mewujudkan kestabilan sistem finansial.
Menjaga Laju Kredit
Ketika harga komoditas masih melambung tinggi bersamaan dengan likuiditas
glo­bal mengalir ke emerging market, kenaik­
an agregat permintaan juga mendorong
kredit domestik melaju kencang.
Menghadapi fenomena tersebut, Brasil
fokus
Tepat
Susanto
memfokuskan kebijakan makroprudensial­
nya ke tiga instrumen. Yaitu, pajak transaksi
finansial (imposto sobre operações financeiras/IOF), reserve requirement (giro wajib mi­
nimum), dan istrumen pembatas untuk pinjaman konsumer. IOF sebesar 2 persen diterapkan lagi
sebagai respons banjir arus modal asing ke
instrumen portofolio per Oktober 2009. Besaran itu dikenakan untuk pembelian oleh
pihak asing atas portofolio dalam negeri se­
perti obligasi dan saham.
Tujuan penerapan IOF adalah mencegah
fluktuasi keluar masuknya hot money. Penge­
naan pajak diharapkan membuat modal
yang masuk itu berdiam di dalam negeri
dalam jangka panjang.
IOF diklaim sukses untuk mengurangi
beberapa jenis arus modal masuk. Namun,
mengingat tingkat suku bunga Brasil relatif
tinggi, masih banyak hot money menyasar ke
instrumen fixed income.
Situasi ini membuat otoritas keuangan
Brasil memperluas pajak itu ke beberapa ins­
trumen lain dengan masa jatuh tempo berbeda. Pada Maret dan April 2011, IOF diterapkan pula untuk pinjaman luar negeri dengan
masa kurang dari 360 hari dan 720 hari.
Bank Sentral Brasil menerapkan pula
aturan yang mengaitkan giro wajib mininum
(GWM) dengan laju pertumbuhan kredit. Kebijakan ini diselaraskan juga dengan penge­
tatan aturan kredit konsumer.
Bank besar bisa menikmati penurunan
giro wajib mininum bila menyalurkan likuiditas kepada bank kecil dan menengah yang
mengalami kesulitan pendanaan. Kebijakan
berbasis GWM tersebut efektif menaikkan
suku bunga kredit, menahan laju kredit pada
tingkat yang sehat.
Namun perbankan berusaha mencari ce­
lah menggunakan pinjaman antar­bank, ter­
utama melalui anak perusahaan di bidang
multifinansial. Bank Sentral Brasil pun kemudian menerapkan aturan GWM 100 persen
untuk pinjaman jangka pendek antarbank.
Sementara, booming di sektor kredit konsumer telah menyebabkan tingginya debt
service ratio di rumah tangga Brasil. Tingkat
utang rumah tangga di Brasil melampaui 40
persen pendapatan.
Kredit yang dikhawatirkan bakal
menim­bulkan masalah adalah kartu kredit,
kredit tanpa agunan, kredit dengan cicilan langsung potong gaji, kredit pemilikan
kendara­
an, dan kredit pemilikan rumah.
Untuk menanggulanginya, Bank Sentral Brasil mene­rapkan ketentuan loan to value ratio (LTV) di sisi debitur dan juga GWM di sisi
kreditur untuk penyalur­an kredit ke sektor
berisiko ini.
Mengefektifkan Makroprudensial
Kebijakan makroprudensial akan benarbenar efektif bila dipadukan dengan kebijakan moneter yang tepat pada saat situasi
eksternal mendukung pula. Paduan kebijak­
an fiskal dan moneter di Brasil yang diambil
setelah terjadi krisis finansial global tak bisa
menahan ekonomi negara itu kepanasan.
Salah satu indikator yang terjadi di Brasil
adalah melebarnya defisit neraca transaksi
berjalan. Situasi ini menjadi landasan Bank
Sentral Brasil melakukan modifikasi kebijak­
an makroprudensial.
Pelaku pasar yang terus berusaha mencari celah untuk “mengakali” aturan adalah
tantangannya. Pada akhirnya kebijakan ma­
k­ro­prudensial bukanlah pengganti kebijakan
moneter, tetapi melengkapinya. u
EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
7
Sambutan Akhir Tahun Gubernur BI
liputan
Dok BI
Meletakkan Fondasi Ekonomi
Dok
H
Edhie Haryanto
Departemen Komunikasi
Arah kebijakan yang
konsisten menjaga
stabilitas perekonomian
dan sistem keuangan.
ujan deras di petang hari menjelang
Maghrib, 14 November 2013, tak menyurutkan para undangan datang
ke Gedung Kebon Sirih Kompleks
Perkan­toran Bank Indonesia. Mereka
ada­­lah para pimpinan dan anggota DPR, menteri
di bidang ekonomi, pimpinan perbankan, dan ka­
langan dunia usaha.
Hadir pula di jajaran para tamu, pimpinan
redaksi media massa utama, pengamat ekonomi,
pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian,
dan sejumlah lembaga internasional. Semua menanti pidato akhir tahun Gubernur Bank Indonesia
Agus DW Martowardjojo, di pertemuan tahunan
perbankan 2013.
Pertemuan akhir tahun menjadi ajang strate­
gis perekonomian nasional dan menjadi pusat
per­hatian. Maka, setiap detil penyajian acara pun
menjadi penting. Bank Indonesia harus menjadi
tuan rumah yang baik dan ramah.
Tepat pukul 19.00 WIB, Gubernur Bank Indonesia dan anggota Dewan Gubernur beserta para
undangan memasuki ruang Chandra. Suguhan
makan malam disajikan diiringi musik jazz. Tiba
pukul 19.45 WIB, Gubernur Bank Indonesia me­
nyampaikan pidato akhir tahunnya.
Tiga Isu Besar Global
Dalam pidato tersebut, Gubernur Bank Indonesia memaparkan tiga isu besar perekonomian
8
EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
global yang memberikan ketidakpastian dan te­
kan­an kepada ekonomi Indonesia pada 2013. Ke­
tiga isu itu mencakup ketidakpastian pemulih­an
perekonomian global, ketidakpastian terkait ke­
bijakan di Amerika Serikat, dan ketidak pastian
harga komoditas.
Tiga isu utama ekonomi global tersebut tidak
dapat dihindari menurunkan kinerja ekonomi Indonesia. Di tengah kuatnya pertumbuhan ekonomi domestik, isu-isu besar itu memicu tekanan
ter­
hadap neraca transaksi berjalan. Karenanya,
kebijakan yang dibuat harus diarahkan untuk
memastikan inflasi tetap terkendali, nilai rupiah
terjaga pada kondisi fundamentalnya, serta defisit
neraca transaksi berjalan dapat ditekan ke tingkat
yang sehat.
Arah Kebijakan
Sebagai respons atas tantangan yang dihadapi, Gubernur Bank Indonesia memaparkan arah
kebijakan bank sentral ke depan, termasuk menghadapi transisi politik 2014. Seluruh paparan tak
hanya disampaikan lisan tetapi disertai presentasi
tabel dan diagram dalam layar lebar di samping
podium.
Dalam paparannya, Gubernur Bank Indonesia
menegaskan arah kebijakan yang konsisten menjaga stabilitas perekonomian dan sistem keuang­
an. Stabilitas dikedepankan agar struktur pereko­
nomian menjadi lebih seimbang dan sehat.
Dok BI
OJK. Dari sisi kebijakan sistem pembayaran,
Bank Indonesia akan mengembangkan industri sistem pembayaran domestik yang
lebih efisien melalui penyempurnaan arsitektur sistem pembayaran dan perluasan
akses layanan pembayaran.
Gubernur Bank Indonesia juga mene­
gas­kan penguatan kebijakan terkait keuang­
an inklusif dan UMKM. Di ujung kesimpulan
pertimbangan tantangan ekonomi serta
arah yang akan ditempuh Bank Indonesia
dan pemerintah, perekonomian Indonesia
masih akan konsolidasi pada 2014, dengan
pertumbuhan ekonomi diperkirakan membaik di kisaran 5,8-6,2 persen, inflasi akan
ber­ada di rentang 4,5 plus-minus 1 persen,
dan pertumbuhan kredit antara 15 sampai
17 persen ditopang pertumbuhan dana pi­
hak ketiga pada kisaran yang sama.
Agus DW Martowardjojo menyampaikan pula perspektif jangka menengah 2015
sampai 2018 serta visi Bank Indonesia yang
telah dicanangkan hingga 2024 untuk menjadi bank sentral yang kredibel dan terbaik
di regional.
Untuk perspekstif jangka menengah
2015-2018, ekonomi global diperkirakan dapat tumbuh rata-rata sekitar 3,9 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan
mencapai 6,5 persen pada 2018, bila berbagai kebijakan transformasi perekonomian
berjalan sesuai harapan. Namun, pertum­
buhan ekonomi berpotensi tersendat di se­
kitar 6 persen bila proses transformasi tidak
berjalan sesuai harapan.
Guna mencapai visi tersebut, Bank Indo­
nesia ingin memastikan bahwa semua potensi sumber daya yang dimiliki berfungsi
secara lebih efektif melalui nilai-nilai strate­
gis. Nilai-nilai itu adalah menjunjung tinggi
kepercayaan dan integritas, mengedepan­
kan profesionalisme, mengupayakan kesempurnaan kinerja, memprioritaskan kepen­
tingan publik, serta memperkuat koordinasi
dan kerja sama. u
monetaria
Speed
Recovery
M
endekati akhir 2013, istilah
rebalancing ekonomi kembali
mencuat. Lanskap ekonomi
global disebut telah bergeser,
dari proyeksi pemulihan dua
kecepatan (two speed recovery) menjadi pemulihan tiga kecepatan (three speed recovery).
Lagi-lagi adalah Ben Bernanke, Gubernur
Bank Sentral Amerika Serikat, yang menjadikan istilah pemulihan dua kecepat­an dalam
konteks ekonomi global itu terke­nal. Pada 19
Juli 2010, Bernanke berpidato di depan jajaran
petinggi Bank Sentral Uni Eropa (ECB), berjudul Rebalancing the Global Reco­very'.
Dalam pidato tersebut, Bernanke banyak
berbicara tentang perbandingan perekonomian negara ekonomi berkembang (emerging
market economies) dan negara maju (advanced
economies). Dia mendefinisikan pemulihan
dua kecepatan sebagai situasi ketika negara
ekonomi berkembang memiliki laju pertumbuhan yang jauh melampaui negara maju,
pada masa pemulihan setelah krisis keuang­an
global yang bermula dari Amerika Serikat .
Bernanke mengatakan, perbedaan kecepatan pemulihan tersebut pada satu sisi
disebabkan oleh perbedaan potensi kedua
kelompok negara,. Namun, pada sisi lain harus
diakui ada perlambatan pertumbuhan di negara maju meskipun kondisinya sudah membaik. Pidato itu menyajikan pula data bahwa
sepulih-pulihnya ekonomi negara maju tak
akan kembali ke tingkat sebelum krisis, sebaliknya negara berkembang telah tumbuh
pada kisaran angka yang sama dengan saat
negara maju mulai mendekati krisis.
Pada 2013, gambaran soal kesetimbanga­n
baru melalui pendekatan dua kecepatan pemulihan ekonomi global itu mentah. India
dan Cina yang semula diperkirakan menjadi
penopang pertumbuhan ekonomi tinggi di
negara berkembang, tiba-tiba kehabisan tenaga. Amerika dan Jepang yang masuk kategori
negara maju justru mencatatkan percepatan
tren pemulihan ekonomi. Namun, Eropa yang
ada dalam satu kategori dengan Amerika dan
Jepang masih berkutat de­ngan krisis utang.
Inilah yang kemudian mendorong
munculnya frasa pemulihan tiga kecepatan.
Ditambah, membaiknya ekonomi Amerika
pun akan segera diikuti pengurangan kucur­
an stimulus. Artinya, aliran modal bakal turut
ber­balik. Tantangan besar menghadang negara berkembang.u
EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
monetaria
Tu­ju­annya, menyiapkan fondasi yang kuat
bagi transformasi ekonomi ke depan. Kebijakan itu diimplementasikan dalam bauran
kebijakan di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran.
Dari sisi kebijakan moneter, BI Rate akan
konsisten diarahkan untuk mengendalikan
inflasi agar sesuai target. Kebijakan nilai tu­
kar ditempuh guna mengarahkan agar ber­
gerak sesuai dengan nilai fundamentalnya
sehingga dapat berperan menjadi instrumen peredam gejolak.
Lalu, operasi moneter akan melanjutkan
strategi menyerap ekses likuiditas struktural
secara terarah dan terukur. Bank Indonesia
juga akan terus memperkuat pengembang­
an pasar uang rupiah maupun valas dan
melanjutkan program pendalaman pasar
keuangan.
Di samping itu, Bank Indonesia juga
akan terus mening­
katkan ketahanan eks­
ternal melalui kerja sama keuangan de­
ngan bank sentral dan otoritas keuangan
di kawasan. Dalam upaya memperkuat
ketahanan sektor eksternal, BI juga akan
menempuh kebijakan makroprudensial
melalui supervisory action yang di­arahkan
untuk memperkuat komposisi kre­dit kepada
sektor-sektor produktif yang berorientasi
ekspor dan menyediakan barang substitusi
impor serta mendukung upaya peningkatan
kapasitas perekonomian.
Dalam kaitannya sebagai otoritas ma­
kroprudensial, kebijakan BI akan diarahkan
pada pengelolaan risiko sistemik, termasuk
risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar, dan
penguatan struktur permodalan. Dalam pe­
ngelolaan risiko likuiditas, akan disempurnakan GWM syariah dan penerapan bertahap
instrumen Liquidity Coverage Ratio (LCR) mulai 1 Januari 2015.
Adapun untuk ruang lingkup penguatan
stabilitas sistem keuangan, BI memandang
pen­ting upaya penguatan koordinasi ma­
kro-mikro antara Bank Indonesia dengan
9
Kenaikan BI Rate
ruang baca
Saatnya Menginjak Rem
S
i Badu sedang senang-senangnya
na­ik sepeda. Memacu sepeda de­
ngan kecepatan tinggi menimbulkan sensasi menyenangkan. Bak
ter­bang si Badu menikmati angin
semilir yang menerpa wajahnya, terlebih di
jalanan menurun tanpa perlu mengayuh.
Ibu Badu selalu mengingatkan anaknya
untuk selalu berhati-hati. Termasuk soal bersepeda ini. Pegangan yang kuat. Konsentrasi
ke jalan. Lihat apa yang ada di depan. Jangan
berlebihan mengambil risiko. Dan tentu saja,
jangan lupa mengerem!
Kondisi perekonomian Indonesia pada
November 2013 ibarat si Badu yang sedang
se­nang-senang­nya bersepeda. Di tengah si­
tuasi perekonomian global yang lesu, Indo­
ne­
sia masih mencatatkan pertumbuhan
eko­nomi yang tinggi. Harus dipastikan, kecepatan itu tak justru membuat perekonomian
Indonesia terperosok.
Gambaran Situasi
Per Oktober 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di kisaran 6 per­sen. Lebih
rendah dari perkiraan, namun te­tap saja ti­
nggi dibandingkan negara kawasan bahkan
global.
Ibarat jalan, perekonomian global pada
hari-hari ini ibarat jalan yang terlihat menge­
cil lagi berbatu. Karenanya, keseimbangan
dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi
ha­
rus dikedepankan, stabilitas perekonomian harus diutamakan, dengan cara laju
“sepeda” perekonomian diperlambat.
Bagaimanapun, defisit neraca transaksi
berjalan kuartal III 2013 masih mencapai 3,8
persen produk domestik bruto (PDB). Ang­
ka ini melampaui perkiraan 3,4 persen PDB
berdasarkan proyeksi Bank Indonesia pada
Oktober 2013. Kondisi ini dikhawatirkan ma­
sih berlanjut hingga kuartal I dan II 2014,
de­­ngan kisaran di atas kondisi nyaman 2,5
persen PDB.
Data menunjukkan defisit besar karena
impor migas belum terlihat bakal menurun.
Pelaku ekonomi sadar betul bahwa defisit di
neraca transaksi berjalan berarti ada kebu­
tuh­
an pembiayaan ‘net-impor’ menggunakan devisa (foreign currency).
Belum lagi rencana pengurangan kucur­
an stimulus moneter oleh bank sentral Ame­
rika (The Fed) yang hanya soal waktu untuk
terjadi. Dulu stimulus ini ibarat jalan menurun yang mulus bagi negara-negara lain sehingga tak butuh banyak tenaga untuk me­
ng­­ayuh perekonomian melintasinya.
10
Pengurangan bertahap yang berujung
pada penghentian kebijakan uang longgar
(diistilahkan sebagai tapering) ini, mengonfir­
masi kembali menariknya perekonomian AS,
dan selanjutnya perekonomian negara maju
lain termasuk di Eropa, bagi para investor.
Dengan prospek membaik di belahan
dunia lain tersebut, negara-negara emer­
ging market seperti Indonesia akan menjadi
relatif berkurang daya tariknya. Inilah wujud
an­cam­an pembalikan modal (capital reversal)
yang dapat menggulung rupiah.
Tak Melulu Mengerem
Kompleksitas situasi di atas mendorong
Bank Indonesia untuk maju memimpin di
depan. Untuk ketiga kalinya selama 2013,
su­­ku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate)
dinaikkan pada November 2013, menjadi 7,5
persen. Peran kebijakan moneter menaikkan
suku bunga acuan yang dipadu dengan beragam kebijakan lain, tak beda dengan pesan
Ibu si Badu. Pegangan yang kuat. Konsentrasi
ke jalan. Lihat apa yang ada di depan. Jangan
berlebihan mengambil risiko. Dan tentu saja,
jangan lupa mengerem!
Kabar baik pun datang di pertengahan
November 2013. Lembaga pemeringkat
Fitch mempertahankan peringkat ‘layak investasi’ (investment grade) untuk Indonesia,
dengan outlook stabil. Pengumuman soal
peringkat investasi ini datang hanya tiga hari
setelah Bank Indonesia menaikkan suku bu­
nga acuan untuk yang ketiga kali pada 2013.
Dalam siaran pers-nya, disebutkan bahwa faktor kunci pertama yang mendasari ke­
putusan Fitch adalah “kebijakan pengelolaan
ekonomi yang baik terutama dalam menghadapi gejolak perekonomian global terkini.”
Konfirmasi yang melegakan.
Kabar baik berikutnya, neraca perda­
gangan Indonesia pada akhir November 2013
turut membaik juga. Walaupun neraca transaksi berjalan masih defisit, namun neraca
perdagangan sudah berada di teritori positif.
Ada surplus 772 juta dolar AS pada November 2013, lebih tinggi daripada surplus pada
Oktober 2013 sebesar 81 juta dolar AS, akibat
penurunan impor sebesar 4,5 persen diban­
dingkan bulan sebelumnya (mtm) yang lebih
besar daripada penurunan ekspor sebesar 0,1
persen (mtm).
Data inflasi sepanjang November 2013
pun memancarkan optimisme. Dengan inflasi bulanan di kisaran 0,12 persen, maka
inflasi selama 11 bulan pada 2013 adalah
EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
Dok
HARIS MUNANDAR
Departemen Manajemen Strategis dan Tata Kelola
7,79 persen. Bila inflasi Desember 2013 adalah 0,7 persen atau bahkan kurang, inflasi
sepanjang 2013 akan berada di bawah level
8,5 persen. Angka-angka tersebut jauh lebih
ren­
dah dari­­
pada perkiraan Agustus 2013,
yang memperkirakan inflasi sepanjang 2013
di kisaran 10 persen.
Neraca pembayaran Indonesia pada triwulan ketiga 2013 juga terlihat jauh lebih
bagus dibandingkan triwulan sebelumnya.
Se­
cara konsep maupun empirik, kenaikan
suku bunga acuan dalam enam bulan ter­
akhir telah sedikit mengurangi laju “sepeda”
perekonomian, sekalipun masih tetap berkecepatan tinggi.
Kebijakan BI menaikkan suku bunga
acu­an hingga tiga kali dalam rentang waktu
singkat, memang sempat me­ngundang kritik dan kekecewaan. Namun, setiap sepeda
harus punya rem yang juga tak lupa untuk
digunakan. Itu pun, tak selama­nya merupakan satu-satu­nya senjata mengendalikan
laju sepeda. Pada akhirnya, walau rem siap
digunakan setiap saat, si Badu tetap harus
menga­
yuh sepeda dengan hati-hati dan
mengarah­
kan setangnya. Badu juga tak
boleh lupa mera­wat sepeda dengan benar
dan memperbaiki bagian yang rusak. Demikian pula perekonomian. Faktor struktural
tetap harus dijaga dan dibenahi, tak bisa selamanya meng­andalkan instrumen kebijakan
yang bersifat siklikal saja.
Alan Greenspan pernah membuat remark
penting pada awal 2000-an setelah pecahnya
dot.com bubble. Saat memberikan pandangan terkait perekonomian AS di depan
Kongres, salah seorang senator menanyakan
dengan nada tajam, mengapa The Fed menaikkan suku bunga pada saat perekonomian
Amerika jelas-jelas sedang berada di tengah
ketidakpastian. Greenspan menjawab, “Kami
menaikkan suku bunga justru karena perekonomian Amerika sedang berada di tengah
ketidakpastian.... “ Nah. u
gerai canda
Djalu’13
Sahabat..
humor
Pemain Saham
Gulung Tikar...
D
ari iseng-iseng lalu ketagihan, Paijo sudah bermain saham
selama beberapa waktu. Namun, kondisi ekonomi global
membuatnya menyerah. Dia pun mencairkan semua saham
yang sempat dia miliki dan berencana menabung saja di bank.
Biarpun hanya dapat bunga kecil tetapi setidaknya Paijo bisa
memastikan jumlah uang yang dimilikinya. Maklum, uang yang
dia putar di saham masih sekelas ‘amatir’, sehingga fluktuasi jelas
berdampak besar padanya.
Petugas bank pun heran ada pemain saham yang sudah lumayan lama berkecimpung, bisa berpikiran demikian. Dia tanyakan
lebih jauh alasan Paijo. “Bermain saham sudah membuat siklus
tidur saya seperti bayi,” ujar Paijo ketika ditanya lebih jauh soal
alasannya.
“Apakah itu buruk, Pak?” tanya petugas bank masih belum menangkap maksud Paijo. “Oh, iya,” kata Paijo lugas. “Gara-gara bermain saham saat pasar berfluktuasi besar, saya akan tidur selama
beberapa jam, lalu terbangun untuk ‘menangis’ selama beberapa
jam juga,” ujar dia dengan raut kesal. u
humor
D
ua lelaki yang telah lama bersahabat bertemu
dalam sebuah pesta. Obrolan pun tak terasa
sampai soal asmara. Selain punya pacar, mereka
saling me­ngaku masih melirik perempuan lain.
Pada saat sedang enak-enaknya ngobrol, tibatiba wajah salah satu lelaki itu pucat. Pandangannya
tertumbuk pada dua perempuan yang sedang asyik
mengobrol juga.
Lelaki yang mukanya pucat itu pun berbisik pada
temannya, “Aduh, itu pacarku mengobrol bersama
perempuan lain incaranku.” Sahabatnya menyahut,
“Baru juga aku mau bilang hal yang sama.” u
pemenang kuis
Nama Pemenang Kuis Gerai Info Bank Indonesia Edisi
September 2013.
1. Henni Monika Doloksaribu
Alamat: Pematangsiantar
Telepon: 08136200xxxx
2. Rezha Mario Ibrahim
Alamat : Pekanbaru
Telepon: 08788336xxxx
EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
11
perspektif
Dok
Tak Cukup Inflasi Rendah Saja
Firman Mochtar
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
B
anyak ekonom berkeyakinan bah­
wa inflasi yang rendah merupakan
prasyarat pendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi.
Berbagai studi seakan kompak
menyebut inflasi rendah akan mendorong
daya beli, meningkatkan efisiensi dan
pro­
duktivitas, serta akhirnya berkontribusi pada kesinambungan pertumbuhan
ekonomi.
Beranjak dari pandangan ini pula,
studi-studi lanjutan seolah juga satu suara
menyebut penurunan inflasi akan mening­
katkan kualitas pertumbuhan ekonomi.
Argumentasinya, berkurangnya tekanan
har­ga akan menurunkan kemiskinan dan
me­ngurangi kesenjangan antar-kelompok
pendapatan.
Risiko Tersembunyi
Namun, keyakinan hubungan inflasi dan kesinambungan pertumbuhan
ekonomi tersebut sepertinya terusik dalam
dekade terakhir. Ada gambaran baru bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dengan
cepat menurun, meskipun inflasi cukup
terkendali dan rendah. Ada risiko tersembunyi di balik inflasi yang rendah tersebut.
Penyebab fenomena ini, yang pertama
adalah perubahan perilaku pasar ke­uangan,
disinyalir mulai nampak sejak dekade awal
90-an dan berlanjut hingga kini. Perubahan
perilaku yang kemudian mengubah asumsi
lama yang sebelumnya telah terbentuk.
Asumsi lama mengatakan pasar
keuang­an merupakan perantara kegiatan
pasar barang atau sektor riil. Dalam asumsi
itu, saat terjadi pertambahan likuiditas
maka pasar keuangan akan menjadi perantara yang baik, dengan mengalirkannya ke
pasar barang dan kemudian mendorong
12
kenaikan permintaan barang. Sesuai hukum ekonomi, bila permintaan barang
meningkat, penyesuaian akan terjadi di
sektor riil berupa kenaikan harga alias inflasi. Jika inflasi terus berlangsung, kesi­
nambungan pertumbuhan ekonomi pun
terganggu. Sebaliknya, likuiditas yang ter­
kendali akan dapat menurunkan inflasi dan
mendorong keberlanjutan pertumbuhan
ekonomi.
Belakangan, asumsi itu berubah karena
ternyata pasar keuangan pun tak bebas da­
ri inovasi dan teknologi canggih. Inovasi
ini meningkatkan kemampuan pasar ke­
uangan menyerap risiko kelebihan likuiditas yang seharusnya dapat memicu kenaik­
an harga dan selanjutnya inflasi. Artinya,
risiko inflasi tersamarkan karena tetap stabil, meskipun pada sisi lain terjadi kelebih­
an likuiditas.
Padahal inovasi di pasar keuangan
mengangkat risiko lain bagi kesinambung­
an pertumbuhan ekonomi. Pasar keuang­
an yang semula pasif mengikuti kegiatan
ekonomi, telah berubah menjadi sangat
aktif bergerak sendiri. Pengalaman krisis
keuangan global 2008 menunjukkan penurunan pertumbuhan ekonomi dapat terjadi
dengan cepat saat gejolak terjadi di pasar
keuangan, meskipun inflasi di lain pihak berada pada level yang masih rendah.
Faktor Impor
Aspek kedua yang menyebabkan inflasi
rendah belum cukup mendorong pertumbuhan ekonomi ada­lah peningkatan impor.
Peningkatan permintaan domestik yang seharusnya bisa mendorong kenaikan harga
dan inflasi, untuk sementara juga diserap
pasokan impor.
Dalam dekade terakhir, peningkatan
pasokan impor untuk memenuhi pertumbuhan permintaan domestik antara lain aki­
bat merebaknya produk murah dari Cina.
Nilai tukar riil yang menguat juga berpe­
ngaruh pada kenaikan impor, karena relatif
mempermurah harga barang impor terhadap barang domestik. Satu faktor yang
mempengaruhi penguatan nilai tukar riil
ialah peningkatan pesat aliran modal yang
masuk ke negara berkembang sejak krisis
keuangan global 2008. Belum lagi berbagai
subsidi pemerintah, termasuk subsidi energi. Pemberian subsidi mengesankan harga
murah, sekalipun harga komoditas energi
global mengalami tren kenaikan.
Berbagai faktor yang mendorong pe­
ning­katan impor tersebut, di satu sisi memang dapat mengendalikan inflasi ke level
EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
yang rendah. Namun pada sisi lain, impor
melonjak.
Untuk konteks Indonesia, impor terus
menguat juga karena pada saat bersamaan
permintaan domestik mening­kat didorong
lonjakan kebutuhan kelas menengah yang
belum dapat dipenuhi produksi dalam
nege­
ri. Satu studi menunjukkan semua
faktor itu mengakibatkan elastisitas permintaan domestik terhadap impor cende­
rung me­
ningkat setelah krisis Asia pada
1997-1998.
Kenaikan impor ini harus menjadi so­
rot­an sekalipun di sisi lain telah menekan
inflasi ke level rendah. Impor akan membe­
ri te­
kanan pada kinerja neraca transaksi
ber­­jalan. Tekanan terhadap neraca transaksi berjalan akan semakin kuat bila pada saat
bersamaan ekspor sumber daya alam juga
terpuruk akibat harga komoditas global
yang menurun tajam, lagi-lagi seperti yang
sekarang dialami Indonesia.
Bila kondisi ini tidak segera dibenahi,
ujungnya akan terjadi tekanan terhadap
nilai tukar mata uang, yang bila berlanjut
akan memberikan tekanan balik kepada
inflasi. Akhirnya, kesinambungan pertumbuhan ekonomi pun terganggu.
Keseimbangan
Bagi bank sentral, keberadaan dua faktor penyerap risiko inflasi ini menjadikan
kebijakannya tak bisa hanya berpaku pada
pengendalian inflasi tetapi harus diperluas.
Yaitu diperluas pada upaya penciptaan
lingkungan ekonomi yang seimbang, de­
ngan ditopang stabilitas sistem keuangan
yang tetap terkendali.
Dalam konteks ini, kebijakan moneter
ditempuh untuk me­
ngelola inflasi tetap
rendah, sambil bersamaan secara seimbang mengelola kegiatan perekonomian
agar tak berlebihan membebani neraca
transaksi berjalan. Selain itu, kebijakan
makroprudensial yang ditempuh bank sentral juga menjadi strategis agar risiko sistemik terhadap stabilitas sistem keuangan
dapat diminimalkan.
Kebijakan bank sentral dalam konteks
menjaga keseimbangan di pasar barang
dan pasar uang tersebut selaras dengan
Hicks (1939) dalam “Value and Capital”.
Kebijakan untuk keseimbang­
an perlu
ditempuh karena mengacu pada potensi
pergeseran portofolio di pasar barang dan
pasar uang, bahkan di pasar komoditas untuk konteks kekinian, yang kemudian akan
menentukan kesinambung­an ekonomi secara keseluruhan. u
Respons Kebijakan BI
Improvisasi Operasi Moneter
Saat ini suku bunga pasar sudah men­
dekati level suku bunga deposit facility (DF).
Operasi moneter pun sudah mengalami
im­provisasi. Misalnya, menggunakan suku
bunga DF sebagai sinyal bahwa saat ini berlaku kebijakan yang lebih ketat.
Masih ada improvisasi selain pengguna­
an sinyal DF tersebut. Improvisasi lain ini
mengupayakan instrumen pasar uang le­
bih fleksibel demi kepentingan manajemen
likuiditas bank dan mendorong penda­
laman pasar.
Pertama, penerbitan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI). Instrumen ini di­
nilai bakal ampuh menyerap likuiditas dan
mendukung pendalaman pasar uang tanpa
memberi ruang spekulasi bagi hot money.
Karena, SDBI hanya dapat diperdagangkan
antarbank.
Kedua, melonggarkan kembali fitur
month holding period pada instrumen sertifikat Bank Indonesia. Bila setelah paket
kebijakan Oktober 2010 SBI baru dapat di­
perdagangkan setelah dimiliki minimal se­
lama 6 bulan, sekarang diperlonggar menjadi 1 bulan. Harapannya, pelonggaran ini
akan membuat pasar sekunder SBI berkembang, pada saat penyerapan likuiditas untuk tujuan operasi moneter tetap optimal.
Manuver Stabilisasi Kurs
Sedangkan untuk nilai tukar, manuver yang dilakukan antara lain berupa
in­
tervensi ganda (twin operation). Yaitu
me­
lalui penambahan pasokan valuta
Susanto
I
barat lautan, gejolak ekonomi sepanjang 2013 adalah ombak besar yang
meng­
getarkan jiwa dan menciutkan
nyali penumpang biduk yang berlayar.
Samudera bergejolak ini, dalam pereko­
nomian global sekarang adalah pasar ke­
uangan.
Untuk bertahan menghadapi gelombang, bauran peralatan pun harus dikeluarkan untuk memastikan biduk berlayar stabil sampai ke tempat sandar. Semakin besar
gelombang, butuh pula semakin banyak
manuver untuk menaklukkannya.
Kompleksitas permasalahan tak cukup
dihadapi dengan satu peralatan. Demikian
pula dalam konteks kondisi ekonomi hari
ini, tak cukup dihadapi hanya dengan kebijakan suku bunga. Operasi moneter dan
penguatan nilai tukar rupiah harus berjalan
seiring kenaikan suku bunga acuan.
fitria irmi triswati
Departemen Pengelolaan Moneter
a­sing dibarengi dengan pembelian surat
berharga negara (SBN) secara terukur di
pasar sekunder. Tujuannya, meminimalkan
dampak volatilitas berlebihan di pasar SBN
terhadap nilai tukar. Pemerintah juga turun
tangan dengan membeli kembali (buyback)
SBN di pasar sekunder.
Sementara untuk memenuhi kebutuh­
an pengelolaan likuiditas valuta asing, Bank
Indonesia menambah keragaman tenor
le­lang term deposit (TD) valuta a­sing. Ada
tambahan tenor overnight, selain tenor
7,14, dan 30 hari yang selama ini ada. Bersamaan disediakan pula instrumen lin­
dung nilai (hedging) untuk perbankan dan
ka­langan usaha, berupa transaksi FX Swap
bilateral dan lelang.
Kebijakan pelonggaran juga dilakukan.
Seperti, pengecualian perhitungan ketentuan pinjaman luar negeri jangka pendek
masimum 30 persen modal. Juga, diperbolehkannya bank secara bebas menerus-lanjutkan (pass-on) transaksi FX Swap dengan
nasabahnya kepada bank lain atau ke Bank
Indonesia.
Intinya, operasi moneter Bank Indone­
sia bertujuan menjaga stabilitas dan memastikan penyesuaian pasar berjalan
mu­­
lus. Bank Indonesia menyiapkan pula
ins­­trumen term repo yang menerima underlying SBI dan SBN, apabila diperlukan.
Makroprudensial
dan Cadangan Devisa
Bauran kebijakan juga berlaku di sisi
makroprudensial, untuk mengelola kredit
dan manajemen risiko perbankan. Bentuk­
nya, kebijakan loan to value (LTV), bersamaan
dengan penerbitan aturan yang me­­ngaitkan
kinerja kredit dengan besaran kewajiban
giro wajib minimum (GWM) sekunder.
Kinerja kredit diukur menggunakan
loan to deposit ratio (LDR). Untuk menambah keyakinan pasar, SDBI dimasukkan se­
bagai komponen baru yang diperhitungkan
untuk GWM sekunder per 1 Oktober 2013.
Sebagai penguat, bantalan kecukupan
cadangan devisa pun disiapkan berlapis.
Mes­ki cadangan devisa diperkirakan masih
mencukupi menahan tekanan neraca pembayaran, antisipasi ketidakpastian perekonomian global diupayakan pula dengan
memperkuat kerja sama antar-bank sentral
terkait kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan.
Wujud penguatan berlapis untuk cadangan devisa ini antara lain berupa perpanjangan billateral swap arrangement
(BSA) dengan Cina dan Jepang, BSA baru
dengan Korea, serta menambah kerja sama
yang telah ada dalam kerangka Chiang Mai
Initiative Multilateralisation (CMIM) dan
Global Finacial Safety Net (GFSN) dari IMF.
Ada pula pembahasan kerja sama serupa
dengan bank sentral di kawasan.
perspektif
Biduk Raksasa di Samudera Bergejolak
Menjaga Waspada
Seluruh senjata bauran kebijakan te­
lah dikerahkan. Biduk pun tak terhantam
gelombang terlalu keras. Inflasi sudah
kembali ke pola normal lima tahun terakhir,
defisit neraca perdagangan juga sudah ber­
kurang.
Arus modal asing yang masuk masih
cukup banyak pula untuk menopang kebutuhan domestik. Nilai tukar, putri duyung
nan seksi yang menjadi perhatian seluruh
samudera pasar keuangan, bergerak lebih
stabil. Pertumbuhan ekonomi pun melambat sesuai perkiraan dan terkendali, tercermin dari pertumbuhan yang masih cukup
tinggi dibandingkan negara di kawasan.
Namun, biduk ini tetap tak boleh le­
ngah. Ombak siklikal masih akan mengha­
dang, demikian pula karang struktural
per­ekonomian dan pasar keuangan. Butuh
senjata lain yang lebih ampuh lagi untuk
menghadapi karang struktural itu.
Maka, koordinasi dengan pemerintah
dan otoritas lain harus terus diperkuat pula.
Misalnya, dengan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Tujuannya,
didapatkan kebijakan yang komprehensif
dan tepat sasaran. Bila terwujud, biduk besar ini akan jauh lebih siap menghadapi topan badai dan karang sepanjang pelayaran
membelah samudera bergejolak. u
EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
13
Dok BI
Gres! dan Sejuta Berdaya
S
G
erakan Indonesia Menabung (GIM) dicanangkan pada 20
Februari 2010. Setiap Rabu di awal bulan, ditetapkan pula
sebagai Hari Rajin Menabung pada 2012. Beragam upaya
terus dilakukan Bank Indonesia untuk menyukseskan ke­
dua program nasional tersebut.
Pada 2013, Bank Indonesia menggandeng 21 Bank Pokja Edukasi
Keuangan dan TabunganKu serta Badan Musyawarah Perbankan Daerah, menggelar kampanye GIM di sembilan wilayah. Lokasi yang dipi­
lih adalah Makassar, Banjarmasin, Denpasar, Surabaya, Semarang, Ban­
dung, Palembang, Pekanbaru, dan Medan.
Sebagai pembuka, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah VI,
mem­bawahi Jawa Barat dan Banten, menjadi tuan rumah perdana. Ke­
giatan digelar pada 13 Oktober 2013, bertempat di halaman Gedung
Sa­te, Kota Bandung, Jawa Barat. Gelaran ini terlaksana dengan kerja
sama Bank BJB, BCA, dan Bank
DKI.
Puncak acara dibuka oleh
Gubernur Jawa Barat Ahmad
Her­yawan, dihadiri Kepala Per­
wakilan Bank Indonesia Wi­
la­
yah VI, sejumlah pejabat
ter­kait, serta sekitar 1.000 ma­
syarakat dan pelajar. Pada hari
itu, ketiga bank membuka
re­
kening bagi 900 pelajar,
ditandai penyerahan buku TabunganKu
secara simbolis kepada perwakilan pelajar.
Kampanye GIM berikutnya berlangsung di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 19 Oktober 2013. Kali ini menggandeng BRI, Bank
Danamon, dan Bank CIMB Niaga. Di sini, tak kurang dari 360 pelajar
sekolah dasar diajak serta, dengan pembukaan rekening TabunganKu
secara sim­bolis pula.
Selanjutnya, kegiatan serupa berlanjut di Surabaya, Jawa Timur,
pada 27 Oktober 2013. Di kota ini, 950 siswa hadir dalam kegiatan. Empat kota lain disambangi kegiatan yang sama selama November, yakni
Pekanbaru, Palembang, Medan, Denpasar, dan Makassar. Sementara untuk Semarang, kegiatan serupa digelar pada Desember 2013.
Rangkaian kegiatan GIM bertujuan meningkatkan kesadaran pelajar
dan masyarakat tentang pentingnya menabung sejak usia muda. Akses
keuangan pelajar dan masyarakat pun diharapkan turut meningkat pula.
Per Agustus, program tabungan murah TabunganKu telah memiliki
5.201.856 rekening. Jumlah tersebut melejit 43 persen dibandingkan
pada akhir 2012. Angka ini diharapkan masih akan meningkat lagi, bi­
la program Bantuan Siswa Miskin dari pemerintah disalurkan melalui
produk ini kepada 12,5 juta siswa penerimanya. u
Dok BI
peristiwa & humaniora
Dok BI
Mendorong
Indonesia Menabung
14
EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
ejak kelahiran bank syariah pertama di Tanah Air
pa­da 1992, sistem keuangan syariah berkembang
cepat. Tidak hanya perbankan, industri keuangan
non-bank syariah seperti asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, obligasi (sukuk), reksadana, dan pasar
modal syariah juga maju pesat.
Sistem syariah pun merambah ke sektor riil dengan
berkembangnya industri busana muslim, hotel, dan res­
toran syariah, serta berbagai produk halal. Namun, per­
kembangan pesat ini dinilai belum diikuti dengan pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap ekonomi
syariah.
Sebagai upaya untuk mengoptimalkan edukasi dan
sosialisasi mengenai ekonomi syariah, Bank Indonesia
menginisiasi program nasional. Nama yang dipilih adalah Gerakan Ekonomi Syariah alias gres!. Gerakan ini dica­
nangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 17
November 2013 di lapangan Monumen Nasional, Jakarta.
Presiden dalam sambutannya mengatakan bahwa
Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, dengan jumlah penduduk kelas menengah
yang juga terus bertambah, punya potensi menjadi pusat
ekonomi syariah dunia. Saat ini, aset industri perbank­an
syariah Indonesia telah meningkat 14 kali sejak pertama
kali muncul, rata-rata pertumbuhannya mencapai 15
persen per tahun.
Pencanangan gerakan ini, kata Presiden, merupakan
sebuah sejarah baru dalam agenda nasional. Pemerintah
ingin masyarakat berperan aktif mengembangkan eko­
nomi syariah melalui gerakan ini.
Selain di Jakarta, pencanangan gres! dilakukan se­
rempak di 24 kota lain, sebagai implementasi dari cetak
biru perbankan syariah. Kampanye melalui gerakan ini
juga bertujuan mendorong kesadaran para pemegang
otoritas, pelaku industri dan bisnis, serta asosiasi dan
lembaga penunjang, untuk bersinergi membangun sistem ekonomi syariah nasional.
Bersamaan dengan pencanangan gres!, diluncurkan
pula program ‘Sejuta Berdaya’. Lewat ‘Sejuta Berdaya’, di­
salurkan pembiayaan dengan nilai mulai dari Rp 1 juta
per orang atau keluarga, untuk 10.000 orang atau keluarga prasejahtera. Sumber dana pembiayaan ini berasal
dari dana kebajikan yang dihimpun bank syariah dan
lembaga amil zakat.
‘Sejuta Berdaya’ bertujuan meningkatkan kapasitas
ekonomi mikro dan kecil. Sejalan dengan strategi na­sio­nal
keuangan inklusif, program ini bertujuan pula mem­buka
akses bagi masyarakat yang selama ini belum memiliki
akses terhadap sistem keuangan, termasuk perbankan. u
an dilakukan dengan penandatanganan
ko­­mitmen ‘Bela dan Beli Produk Indonesia’
menggunakan canting batik pada selembar
kain panjang, melibatkan masyarakat umum.
Dok BI
Beragam Kegiatan
Beragam kegiatan digelar untuk meme­
riahkan pencanangan gerakan tersebut.
Rang­kaian aktivitas berlangsung pada 14-17
November 2013. Di antara kegiatan itu adalah seminar, temu responden, dan pagelaran
batik Yogyakarta.
Sejumlah budayawan Indonesia, antara
Sehat Money dan Jasmani
K
esehatan jasmani itu penting. Apa­
lagi bila dibarengi dengan kondisi
keuangan prima. Inilah yang kemudian mendasari Bank Indonesia
menggelar kampanye “Sehat Money dan
Jasmani”, pada Minggu, 26 November
2013.
Bertempat di Jalan M H Thamrin, de­
ngan memanfaatkan momen hari bebas
ken­
daraan, Departemen Komunikasi
BI dengan DPKL, DSDM, DPSI, dan DLP
membuka stan pelayanan masyarakat,
menebar ajakan untuk memperhatikan
kesehatan badan dan keuangan.
Kegiatan ini pun mendapat sambut­
an positif dari masyarakat. Stan yang
di­sediakan BI tak pernah sepi dari pe­
lain Butet Kertaradjasa, Slamet Rahardjo, Ja­
jang C Noer, dan Happy Salma, hadir pula
dalam kegiatan ini sekaligus menjadi Duta
Gerakan Bela dan Beli Produk Indonesia.
Pada hari kedua kegiatan, 15 November
2013, Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi
(PPA) Kosmetika Indonesia menggelar talkshow bertajuk ‘Upaya Peningkatan Daya Saing Kosmetika Indonesia’.
Lalu pada hari ketiga, 16 November 2013,
kembali digelar talkshow. Kali ini mengha­
dirkan motivator Hepy Trenggono dan
Bupati Kulonprogo Hasto Wardoyo. Hasto
dikenal dengan keberhasilannya mempromosikan produk dan komoditas lokal
lewat Gerakan Bela dan Beli Kulonprogo.
Selama empat hari kegiatan, berlangsung pula expo produk-produk kebanggaan nasional asli Yogyakarta dan
pameran foto. Expo tersebut diikuti UMKM
dari berbagai jenis usaha seperti otomotif,
teknologi informasi, teknologi tepat guna,
handicraft, mebel, fashion, kuliner, dan bahan pangan.
Rangkaian kegiatan ini hanyalah permulaan. Berhasil tidaknya kampanye yang dikumandangkan tergantung pada praktik di
lapangan. Sebagai upaya untuk menjaga keberlanjutan gerakan, bantuan teknis dirancang untuk para pelaku ekonomi riil, berupa
Forum Pengembangan Ekonomi Daerah,
optimalisasi penggunaan produk nasional,
serta penyusunan peraturan daerah untuk
mendorong penggunaan produk lokal. u
Dok BI
E
ra perdagangan bebas dan Masya­
rakat Ekonomi ASEAN 2015 sudah di
depan mata. Sudah saatnya produk
Indonesia memperlihatkan kemampuan bersaing dengan produk a­sing.
Menyongsong era tersebut, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Daerah Istimewa
Yog­
yakarta menginisiasi gerakan sosial
ekonomi bertajuk ‘Bela dan Beli Produk Indonesia’. Tujuan kegiatan, meningkatkan
kesadaran konsumen untuk mempromosikan produk-produk Indonesia, sekali­
gus menumbuhkan apresiasi dan
ke­
banggaan menggunakan produk
buatan bangsa sendiri.
Pencanangan dilakukan pada 14
November 2013, di halaman Gedung
Kantor Perwakilan Bank Indonesia
Dae­
rah Istimewa Yogyakarta. Hadir
dalam pencanangan tersebut Sri Sultan
Hamengku Buwono X dan Kepala Kantor
Perwakilan Bank Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Arief Budi Santoso.
“Indonesia harus berdikari di bidang
eko­nomi,” pesan Sri Sultan dalam kesempat­
an itu. Sultan juga mengatakan masyarakat
ha­rus bangga menggunakan produk lokal,
un­tuk dapat mewujudkan kemandirian eko­
nomi itu.
Sedangkan Arief dalam sambutannya
me­ngatakan bahwa gerakan ‘Bela dan Beli
Produk Indonesia’ berlatar belakang sema­
ngat dan keinginan meningkatkan nilai tambah produk Indonesia. Pencanganan gerak­
peristiwa & humaniora
Dari Yogyakarta untuk Indonesia
ngunjung. Antrean terjadi untuk mendapatkan layanan pemeriksaan kesehatan,
BI checking, dan konsultasi keuangan
ber­sama para ahli.
Bila pemeriksaan kesehatan dilakukan untuk tekanan darah, BI checking
ada­
lah permintaan rekam jejak Informasi Debitur Individual (IDI). Layanan
ini diharapkan memberi edukasi kepada
masyarakat untuk bertanggung jawab
dengan kewajiban kredit mereka.
Melalui layanan BI checking, masya­
rakat diajak untuk ikut serta mengawasi kebenaran dan akurasi data yang
dilaporkan lembaga keuangan kepada
Bank Indonesia. Seperti halnya badan,
kesehatan keuangan pun penting. u
EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
15
Sebuah Langkah Koreksi
Stabilitas adalah lebih utama, walaupun berarti laju ekonomi sedikit diperlambat.
S
elama 2013, Bank Indonesia tiga
kali menaikkan suku bunga acuan (BI rate). Dari posisi 5,75 persen menjadi 7,5 persen. Ba­nyak
kalangan terkejut bahkan tak
sedikit yang mempertanyakan. Ba­
nyak
sudut pandang masih menempatkan BI
rate semata instrumen moneter.
Gubernur Bank Indonesia, Agus DW
Mar­towardojo, mengatakan kenaikan BI
rate sebesar 175 basis poin ini tak terle­
pas dari strategi bauran kebijakan yang
menjadi arah strategi kebijakan bank sentral. Menurut Agus, tiga kenaikan BI rate
sepanjang 2013 adalah untuk memastikan terkendalinya proses koreksi pereko­
nonomian Indonesia.
Kilas Balik November 2013
Perekonomian Indonesia pada awal
November 2013 masih mencatatkan per­
tum­
buhan sekitar 6 persen. Angka ini
melebihi pertumbuhan ekonomi negara
tetangga bahkan di seantero bumi. Inflasi
pun sudah lebih terkendali setelah baru
saja ada kenaikan harga bahan bakar
minyak bersubsidi, walau masih terbaca
ada peningkatan permintaan agregat, de­
ngan imbas pada inflasi inti.
Sementara itu, risiko yang meninggi
masih terdeteksi pada bagian eksternal.
Neraca pembayaran menunjukkan lampu
kuning yang masih pekat. De­fisit neraca
transaksi berjalan kuartal III masih besar,
sekitar 3,8 persen produk domestik bruto
(PDB). Diperkirakan pula sampai kuartal II
2014, perekonomian masih akan suram.
Data menunjukkan besarnya defisit
ne­
raca perdagangan disumbang impor
migas yang tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Bersamaan,
gelagat membaiknya perekonomian AS
dan global, menguatkan rencana pe­ngu­
rangan stimulus oleh bank sentral Amerika Serikat, alias tapering.
Dengan prospek membaik di belahan
dunia lain tersebut, daya tarik negara-ne-
16
gara emerging market termasuk Indonesia
relatif berkurang. Modal asing pun bersiap meninggalkan negara berkembang,
tak terkecuali Indonesia. Sementara,
ke­
bu­
tuhan valuta asing tetap berjalan,
terutama untuk pembayaran impor dan
utang.
Naiknya porsi kelas menengah Indonesia telah membuat kebutuhan barang
dan jasa semakin kompleks. Sayangnya
in­
dustri dalam negeri belum bisa memenuhi demand tersebut. Jadilah impor
sebagai penambal kebutuhan pada saat
ekspor Indonesia masih berbasis sumber
daya alam.
Sebenarnya, obat dari tekanan defisit
neraca transaksi berjalan memang baik­
nya be­rupa perbaikan struktural, artinya
yang menyentuh sendi-sendi mendasar
per­ekonomian. Yakni, perindustrian, perdagangan, ketenagakerjaan, sampai pertanian.
Sayangnya, 2014 merupakan tahun
po­litik yang akan membatasi ruang perbaikan struktural itu. Bukan berarti dibenarkan untuk berdiam diri tanpa ada koreksi perekonomian nasional.
Respons dan Dampak
Mencermati segala fenomena yang
saling bersilang-sengkarut, Bank Indonesia mengambil langkah ke depan. Di antaranya adalah dengan menaikkan suku
bu­nga acuan, semata ibarat mengerem
laju perekonomian yang terlalu kencang.
Sedikit ditahan meski tak kemudian memelan drastis. Inilah latar kenaikan BI rate
untuk ketiga kali pada November 2013,
yang banyak mendapat sorotan.
Bank Indonesia berkeyakinan, kese­
imbangan dan berkelanjutannya pertumbuhan harus dikedepankan, bukan
semata ekonomi tumbuh. Stabilitas adalah lebih utama, walaupun berarti laju
ekonomi sedikit diperlambat dalam pro­
sesnya.
Kabar baik sudah datang pada akhir
EDISI 44 u NOVEMBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
Susanto
ekspose
Kenaikan BI Rate
November 2013. Surplus terjadi di nera­ca
perdagangan, defisit neraca tran­saksi berjalan sudah dipersempit. Tingkat inves­tasi
Indonesia pun tak turun meski rupiah terhantam dinamika perekonomian global
yang mengharuskan terus berlanjutnya
upaya mencari titik keseimbangan nilai
tukar baru.
Walaupun neraca transaksi berjalan
masih defisit, namun neraca perdagangan pada November 2013 sudah berada
di teritori positif. Terjadi surplus sebesar
772 juta dolar AS, karena penurunan impor jauh melampaui penurunan ekspor.
Data inflasi sepanjang November memancarkan pula optimisme, dengan inflasi bulanan sebesar 0,12 persen. “Tanpa
bermaksud berpuas diri, tidak berlebihan
bila dikatakan, berbagai res­
pons kebijakaan mulai berkontribusi po­
sitif,” kata
Agus.
Namun, pembenahan struktural tetap
mutlak menjadi tantang­
an. Rem paling
bagus sekalipun tak akan selamanya menyelamatkan pengendara kendaraan, bila
kondisi sepeda atau cara berkendara tak
menjamin keselamatan. u
Download