TEORI PERTUKARAN Teori pertukaran yang dibangun oleh George C. Homans merupakan reaksi terhadap paradigma fakta sosial yang terutama dikemukakan oleh Durkheim. Homans mengatakan bahwa proses interaksi sosial dapat memunculkan suatu fenomena baru akibat dari interaksi tersebut. Sekalipun ia mengakui proses interaksi, namun ia juga memperoalkan bagaimana cara menerangkan fenomena yang muncul dari proses interaksi. Substansi Teori Pertukaran Teori pertukaran adalah teori yang berkaitan dengan tindakan sosial yang saling memberi atau menukar objek-objek yang mengandung niali antar individu berdasarkan tatanan sosial tertentu Objek yang ditukarkan tidak berbentuk benda nyata, namun hal-hal yang tidak nyata. Adapun prinsip- prinsip teori pertukaran ini adalah (Wirawan, 2012 : 174176) : 1. Satuan analisis yaitu sesuatu yang diamati dalam penelitian dan memainkan peran penting dalam menjelaskan tatanan sosial dan individu. 2. Motif pertukaran diasumsikan bahwa setiap orang mempunyai keinginan sendiri. Setiap orang akan memerlukan sesuatu tetapi itu tidaklah merupakan tujuan yang umum. Artinya orang melakukan pertukaran karena termotivasi oleh gabungan berbagai tujuan dan keinginan yang khas. 3. Faedah atau Keuntungan berbentuk biaya yang dikeluarkan seseorang akan memperoleh suatu “hadiah” (reward) yang terkadang tidak memperhitungkan biaya yang dikeluarkan. Cost dapat didefenisikan sebagai upaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan kepuasan ditambah dengan reward apabila melakukan sesuatu. Kepuasan atau reward yang diperoleh seseorang itu dapat dinilai sebagai sebuah keuntungan. 4. Pengesahan sosial merupakan suatu pemuas dan merupakan motivator yang umum dalam sistem pertukaran. Besarnya ganjaran tidak diberi batasan karena sifatnya individual dan emosional. Reward adalah ganjaran yang memiliki kekuatan pengesahan sosial (social approval). Teori Pertukaran Perilaku GEORGE CASPER HOMANS George Casper Homans lahir di Boston Massachusetts tanggal 11 Agustus 1910. Ia meninggal di Cambridge Massachusetts pada tanggal 29 Mei 1989 dalam usia 78 tahun. Ia adalah seorang sosiolog Amerika dan pendiri sosiologi perilaku dan teori pertukaran. Homans terkenal karena penelitiannya dalam perilaku sosial dan karyakaryanya, termasuk Human Group, Social Behavior: Its Elementary Forms. Teori pertukaran dan berbagai proposisi digunakan untuk menjelaskan perilaku sosial. Dalam sosiologi dan psikologi sosial, Homans dianggap sebagai salah satu teori sosiologis utama pada periode dari tahun 1950 hingga 1970-an. Homans masuk Harvard College pada tahun 1928 dengan luas konsentrasi dalam bahasa Inggris dan sastra Amerika. Dengan tinggal di lingkungan di mana orang sangat menyadari hubungan sosial, Homans menjadi tertarik pada sosiologi. Dari tahun 1934 sampai 1939 ia adalah seorang Junior Fellow dari masyarakat terbentuk baru penerima beasiswa di Harvard, melakukan berbagai studi di berbagai bidang, termasuk sosiologi, psikologi dan sejarah. George C. Homans memulai karir dalam tradisi fungsionalisme struktural. Karyanya yang terkenal adalah The Human Group (1950) berkisar pada konsep sistem yang abstrak tentang kelompok-kelompok dan dititikberatkan pada komposisi struktural serta operasi kelompok. Bagi Homans semua masyarakat terorganisir ke dalam sistem berdasarkan sistem sosial yang terkecil yaitu kelompok. Ia menantang karya sarjana sosiologi klasik yaitu Emile Durkheim. Bagi Durkheim sosiologi adalah disiplin yang bebas dan fakta sosiologis tidak bisa dijelaskan oleh psikologi. Homans menyangkal pemikiran tersebut dengan menyatakan bahwa semua penjelasan perilaku sosial menyangkut masalah psikologis. Homans mencoba membawa individu ke dalam analisa sosiologis. Ia menggunakan perilaku untuk menjelaskan struktur sosial. Walaupun ia menggunakan proposisi perilaku sebagai pengganti konsep fungsionalisnya tetapi ia melampaui Merton yang tidak mencoba mengembangkan teori proposisionalnya. Teori pertukaran Homans bertumpu pada asumsi bahwa orang terlibat dalam perilaku untuk memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman. Teori ini dilandasi oleh prinsip transaksi ekonomis dimana orang menyediakan barang atau jasa dan sebagai imbalannya adalah memperoleh barang atau jasa yang diinginkan. Adapun asumsi teori ini adalah interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi. Namun bagi teori pertukaran, pertukaran sosial tidak hanya dapat diukur dengan uang saja karena hal-hal yang dipertukarkan adalah hal yang nyata dan tidak. Seseorang misalnya bekerja di sebuah perusahaan tidak hanya mengharapkan ganjaran ekstrinsik berupah upah tetapi juga ganjaran instrinsik berupa kesenangan, persahabatan dan kepuasan kerja. Pemikiran teori ini dapat dilihat dari skema berikut : stimulus respon Gambar 1 : Skema Teori Pertukaran Homans menjelaskan proses pertukaran dengan lima proposisi yaitu proposisi sukses, stimulus, nilai, deprivasi satiasi, dan restu agresi. Dalam merumuskan proposisi-proposisi tersebut ia mencoba saling mengkaitkan proposisi itu dalam sebuah teori pertukaran sosial. Adapun kelima proposisi itu adalah (Poloma, 2000 ;61-65). 1. Proposisi Sukses Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka kian kerap ia akan melakukan tindakan itu. Proposisi ini menyatakan bahwa bila seseorang berhasil memperoleh ganjaran, maka ia akan cenderung mengulangi tindakan tersebut. Seorang anak mendapatkan nilai rapor yang bagus setelah ia belajar sungguh-sungguh dan tekun. Proposisi ini menyangkut hubungan antara apa yang terjadi pada waktu silam dengan yang terjadi pada waktu sekarang. Gambar 2 : Seorang anak senang menerima hadiah (Sumber : http/kumpulan fotogratis.com/foto Nk menerima kado.html) 2. Proposisi Stimulus Jika di masa lalu terjadi stimulus yang khusus, atau seperangkat stimuli merupakan peristiwa dimana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu itu, akan semakin mungkin seseorang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama. Proposisi ini menyangkut frekuensi ganjaran yang diterima atas tanggapan atau tingkah laku tertentu dan kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama pada waktu sekarang. Makin sering dalam peristiwa tertentu tingkah laku seseorang memberikan ganjaran terhadap tingkah laku orang lain, makin sering pula orang lain itu mengulang tingkah lakunya itu. Sebagai contoh dapat kita lihat pada mahasiswa meninginkan nilai yang baik dan dengan kesadaran ia selalu mengikuti perkuliahan serta belajar sebelum ujian. Ia merasakan manfaat dari belajar bersama sebelum ujian, maka ia akan melakukan kembali belajar secara bersama dengan teman-temannya untuk mendapatkan hasil ujian yang baik. Gambar 3 : Mahasiswa untuk mendapatkan nilai baik selalu belajar 3. Proposisi Nilai Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang melakukan tindakan itu. Proposisi ini memberikan arti atau nilai kepada tingkah laku yang diarahkan oleh orang lain terhadap aktor. makin bernilai bagi seseorang sesuatu tingkah laku orang lain yang ditujukan kepadanya makin besar kemungkinan atau makin sering ia akan mengulangi tingkahlakunya itu. Sebagai contoh dapat dilihat pada tingkahlaku mahasiswa yang menganggap bahwa ia mempunyai kesempatan untuk melihat suatu konser favoritnya dan di saat yang sama ia harus mengenyampingkan perkuliahannya karena ia masih dapat kuliah di hari yang lain. Ini artinya ia menganggap mana yang lebih penting kuliah atau menikmati konser yang menyenangkan. Gambar 4 : Mahasiswa Memilih Pergi ke Konser Musik (Sumber : malesbanget.com) Gambar 5 : Lebih Penting Konser Musik daripada Kuliah (Sumber :blog.djarumbeasiswaplus.org) 4. Proposisi Deprivasi Satiasi Semakin sering di masa yang baru berlalu seseorang menerima suatu ganjaran tertentu, maka semakin kurang bernilai bagi orang tersebut peningkatan setiap unit ganjaran itu. Proposisi ini menjelaskan bahwa makin sering orang menerima ganjaran dari orang lain, makin berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya. Misalnya seorang wanita, setiap berulang tahun selalu diberikan hadiah boneka oleh teman prianya maka ia merasa hadiah itu menjadi tidak menarik bagi dirinya karena ia merasa telah jenuh atau bosan dengan bentuk hadiah yang selalu sama. Bosan hadiahnya itu melulu...apa tidak ada yang lain... uniabadi.blogspot.com Gambar 6 : Bila selalu menerima hadiah sama orang jadi bosan 5. Proposisi restu Agresi Bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkannya atau menerima hukuman yang tidak diinginkannya maka ia akan marah. Ia cenderung menunjukkan perilaku agresif dan hasil perilaku tersebut bernilai baginya. Bila tindakan seseorang memperoleh ganjaran yang lebih besar dari yang diperkirakan atau tidak memperoleh hukuman yang diharapkannya, maka ia akan merasa senang. Proposisi ini melihat bahwa makin dirugikan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, makin besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi seperti marah. Gambar 7 : Orang akan Marah Jika Dirugikan (Sumber : kataucapan.me) Dalam memahami proposisi yang dimaksud di atas perlu diperhatikan bahwa (Ritzer, 1985 : 92) : a. Makin tinggi ganjaran (reward) yang diperoleh atau yang akan diperoleh makin besar kemungkinan sesuatu tingkah laku akan diulang. b. Makin tinggi biaya atau ancaman hukuman (punishment) yang akan diperoleh makin kecil kemungkinan tingkah laku yang serupa akan diulang. Homans menyatakan teori pertukaran dapat dipakai untuk menjelaskan perilaku manusia di tingkat institusional dan sub institusional, tetapi teori itu pada dasarnya bersifat sub institusional dan lebih beruang lingkup mikro. Berbeda dengan Peter M. Blau lebih memperluas prinsip-prinsip Homans untuk menjelaskan kelahiran strukur-struktur sosial yang lebih besar (Poloma, 2000 : 76). Teori Pertukaran Sosial PETER MICHAEL BALAU Peter M. Blau lahir di Wina Austria 7 Februari 1918 dan meninggal pada 12 Maret 2002. Ia bermigrasi ke AS tahun 1939 dan menjadi warga AS tahun 1943. Tahun 1942 ia menerima gelar BA dari Elmhrst College di Elmhurst Illionis. Blau mendapatkan penghargaan luas pertama dalam sosiologi karena sumbangannya dalam studi tentang organisasi formal. Hasil studi empirisnya tentang organisasi dan buku ajar yang ditulisnya tentang organisasi formal masih tetap dikutip secara luas. Kontribusi Blau terhadap sosiologi adalah ia telah memberikan kontribusi penting terhadap dua orientasi teoritis yang berbeda. Bukunya Exchange and Power in Social live (1964) merupakan komponen utama teori pertukaran masa kini. Kontribusi utama Blau tentang teori pertukaran pada kelompok primer pada berskala kecil diterapkan pada kelompok besar. Karya itu merupakan upaya penting untuk mengintegrasikan secara teoritis masalah sosiologi berskala luas dan berskala kecil. Blau pun berada di barisan terdepan pakar struktural. Untuk menjelaskan teori pertukaran, Blau menerima prinsip pertukaran sosial dari B.F Skinner dan George C. Homans. Bagi Blau fenomena daya tarik individu akan ganjaran sosial merupakan sesuatu yang bersifat “given” dan merupakan asal usul struktur sosial. Yang menarik individu ke dalam asosiasi karena mengharapkan ganjaran intrinsik dan ekstrinsik. Ganjaran ekstrinsik dapat berupa uang, barang-barang atau jasa-jasa, sedang ganjaran intrinsik dapat berupa kasih sayang, pujian, kehormatan dan kecantikan. Ada dua persyaratan yang harus dipenuhi perilaku yang menjurus pada pertukaran sosial. Persyaratan tersebut adalah : 1. Perilaku harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain. 2. Perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuantujuan tersebut. Perhatian utama teori Blau ditujukan pada perubahan dalam proses-proses sosial yang bergerak dari struktur sosial yang sederhana menuju struktur sosial yang lebih kompleks. Perhatian ini dapat dilihat pada perkembangan sistem stratifikasi dalam kelompok-kelompok yang lebih kompleks. Pada tahap awal pembentukan kelompok, individu mencoba menunjukkan nilai mereka bagi kelompok. Para anggota akan memberikan nilai yang berbeda sehingga terjadi perbedaan status. Tidak setiap orang mampu atau bersedia mengambil tanggung jawab kepemimpinan kelompok. Akibatnya beberapa dari mereka akan mundur dan memberi peluang orang lain untuk sebuah posisi. Adanya diferensiasi kekuasaan dapat mempertinggi tingkat kebutuhan akan integrasi sosial dari status-status yang berbeda. Dalam hal ini terjadi hubungan pertukaran yang terkait dengan masalah stratifikasi. Pertukaran terjadi jika hubungan itu menguntungkan bagi para anggota yang berkedudukan tinggi atau rendah. Namun, jika hubungan kekuasaan yang bersifat memaksa terjadi hubungan pertukaran yang tidak seimbang dan dipertahankan dengan menggunakan sangsi negatif. kekuasaan demikian penuh dengan masalah karena dapat melahirkan perlawanan. Untuk itu agar masyarakat berfungsi dengan baik, maka yang berada di bawah perlu mematuhi dan melaksanakan kewajiban mereka sehari-hari dengan pengarahan dari yang menduduki kekuasaan. Sangat bijaksana jika yang berkuasa sebanyak mungkin memperendah potensi penggunaan daya paksa tersebut. Blau juga menggambarkan “the emergence principle” yaitu adanya nilainilai dan norma-norma yang disetujui secara bersama dalam kelompok. Nilai-nilai sosial yang diterima bersama berfungsi sebagai media transaksi sosial bagi organisasi serta kelompok-kelompok sosial. Blau percaya bahwa kompleksitas pola-pola kehidupan sosial dapat dijembatani oleh nilai-nilai bersama yang melembaga. Nilai-nilai yang telah terlembaga akan bertahan bila memenuhi tiga syarat, yaitu (Poloma, 2000 : 92) : 1. Prinsip-prinsip yang diorganisir harus merupakan bagian dari prosedurprosedur yang diformalisir (konstitusi atau dokumen lainnya) sehingga setiap saat bebas dari orang yang melaksanakannya. 2. Nilai-nilai sosial yang mengesahkan bentuk institusional harus diwariskan kepada generasi selanjutnya melalui proses sosialisasi. 3. Kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat harus menganut nilai-nilai itu serta harus meminjamkan kekuasaannya untuk mendukung lembaga-lembaga yang memasyarakatkan nilai-nilai tersebut. Lebih jauhnya pembahasan Blau mengenai kelompok-kelompok sosial yang bersifat “emergent” ini dapat diamati ide-ide sebagai berikut (Poloma, 2000: 93) : 1. Dalam hubungan pertukaran yang elementer, orang tertarik satu sama lain melalui berbagai kebutuhan dan kepuasan timbal balik. Asumsinya adalah orang yang memberikan ganjaran, melakukan hal itu sebagai pembayaran bagi nilai yang diterimanya. 2. Pertukaran mudah berkembang menjadi hubungan-hubungan persaingan dimana setiap orang harus menunjukkan ganjaran yang diberikannya dengan maksud menekan orang lain dan sebagai usaha untuk memperoleh ganjaran yang lebih baik. 3. Persaingan melahirkan munculnyanya sistem stratifikasi dimana individuindividu dibedakan atas dasar kelangkaan sumber-sumber yang dimilikinya yang melahirkan konsep “emergent” tentang kekuasaan. 4. Kekuasaan dapat bersifat sah atau bersifat memaksa. Wewewnang tumbuh berdasarkan nilai-nilai yang sah yang memungkinkan berbagai kelompok dan organisasi yang bersifat “emergent” tanpa mendasarkan diri atas hubungan intim yaitu hubungan tatap muka. Para anggota menyadari bahwa berbagai kebutuhan dan tujuan kelompok maupun pertukaran di tingkat individu. Di pihak lain, penggunaan kekuasaan yang bersifat memaksa mengundang banyak masalah sehingga dapat meningkatkan perkembangan nilai-nilai oposisi. Pertukaran Tidak Seimbang dan Konsekuensinya Ketidakseimbangan dalam pertukaran dapat terjadi bila pemberian reward lebih kepada yang lain dan sebaliknya yang menerima reward membalasnya. Pihak terkecil dalam pertukaran yang tidak seimbang dapat memperoleh kompensasi social approval atau disebut sebagai kerelaan. Kerelaan dalam pertukaran tidak seimbang adalah suatu kredit kepada pihak superior, yaitu posisinya menjadi dominasi sehingga memungkinkan utnuk memerintah orang lain. Mikrostruktur dan Makrostruktur Menurut Blau, proses relasi tatap muka merupakan tipe mikrostruktur. Relasi adalah struktur dalam arti aturan-aturan, pemuas, kontrol legitimasi, dan pembagian tugas. Mikro dalam interaksi seperti itu berada pada tahap orang ke orang, lalu meluas dan jumlahnya bertambah sehingga menjadi bermakna. Akhirnya kolektivitas itu membentuk makrostruktur. Nilai dan Struktur Sosial Reward akan mendorong seseorang bergabung dalam kelompok. Nilainilai yang berlawanan akan ditolak karena memunculkan ketidaksamaan yang berakibat terjadinya perpecahan dalam kelompok. Nilai dapat menjadikan kebersamaan sebagai tanda solidaritas bagi mereka secara bersama dan kebersamaan untuk menuju integrasi dan kesepakatan bagi kelompok. TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK Teori interaksionisme simbolik dianggap sebagai pendatang baru dalam stusi-studi sosial sehingga ada yang meragukan kebsahannya sebagai pisau analisis. Namun, sebagian akar mengatakan bahwa teori ini telah berhasil dalam mengkaji perilaku sosial dalam sosiologi. Posisi teori ini paling kontras sekali dengan behaviorisme radikal yang mendalami konsep stimulus-respon. Substansi Teori Interaksionisme Simbolik Jika ditelusuri lebih dalam bahwa teori interaksionisme simbolik berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yaitu perspektif fenomenologis dan masuk dalam kategiri paradigma defenisi sosial yang menganggap bahwa subject matter sosiologi adalah tindakan sosial yang penuh arti (makna) yaitu tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada orang lain. Pandangan fenomenologis menganggap bahwa kesadaran atau jiwa manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial budaya. Pandangan ini menekankan pada pengalaman manusia yang terjadi tiap hari yang di dalamnya terkandung tindakan sosial atau interaksi yang dilakukan si aktor. Kekhasan interaksionisme simbolik adalah manusia saling menterjemahkan dan saling mendefenisikan tindakannnya melalui simbol-simbol yang muncul. Ia memandang diri aktor mampu untuk menciptakan realitasnya sendiri dimana fakta sosial ditempatkan dalam kerangka simbol-simbol interaksi sosial aktor. Pemaknaan muncul ketika interaksi berlangsung pada realita yang dikelilingi oleh pranata sosial dan struktur sosial. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema berikut : proses menafsirkan stimulus respon Gambar 8 : Skema Interaksionisme Simbolik Teori interaksionisme simbolik melihat simbol menjadi medium yang sangat efektif dalam interaksi yang dilakukan si aktor, bahkan simbol merupakan media yang digunakan oleh aktor untuk menyampaikan pikiran dan perasaan, maksudnya, tujuannya kepada orang lain. Simbol sebagai media primer dalam proses komunikasi dapat berupa bahasa, isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya. Manusia hidup melakukan tindak menafsir baik secara sadar atau tidak.Tidak ada dalam dunia manusia yang tanpa tafsir. George Ritzer dalam Umiarso (2014) memformulasikan 7 prinsip dari interaksionisme simbolik sebagai berikut : 1. Manusia tidak seperti hewan-hewan yang lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan untuk berpikir. 2. Kemampuan untuk berpikir dibentuk oleh interaksi sosial. 3. Dalam interaksi sosial orang mempelajari makna dan simbol-simbol yang memungkinkan, mereka melaksanakan kemampuan manusia yang khas untuk berpikir. 4. Makna-makna dan simbol-simbol memungkinkan orang melaksanakan tindakan dan interaksi manusia yang kahs. 5. Orang mampu memodifikasi dan mengubah makna-makna dan simbolsimbol yang mereka gunakan di dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka atas situasi. 6. Orang mampu membuat modifikasi-modifikasi dan perubahan-perubahan itu, sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan dirinya sendiri yang memungkinkan mereka memeriksa serangkaian tindakan yang mungkin, menaksir keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian relatifnya dan kemudian memilih salah satu di antaranya. 7. Pola-pola tindakan dan interaksi yang terangkai membentuk kelompokkelompok dan masyarakat-masyarakat. Berikut akan dijelaskan beberapa ahli yang dikategorikan dalam teori interaksionisme simbolik di antaranya adalah Herbert Mead, Charles Horton Cooley, Herbert Blumer dan Erfing Goffman. Konsep Diri : I dan Me HERBERT MEAD George Herbert Mead (1863-1931) lahir di South Hadley Massachusetts pada tanggal 27 Pebruari 1863 dari keluarga kelas menengah yang sukses dan terdidik.Pemikirannya dipengaruhi oleh filsuf William James tentang interaksionisme simbolik dan psikolog terkenal Wilhelm Wundt tentang symbolic gestures, society dan the self. Ia meninggal pada tahun 1931 dalam usia 68 tahun. Mead melihat interaksi sosial berdasarkan kesadaran diri aktor yang dikembangkan tindakannya dalam empat tahap yaitu (Umiarso, 2014 : 148) : 1. Tahap impulse yaitu tahap menangkap fenomena luar diri aktor yang terjadi sejak ia dilahirkan dalam realitas sosial. 2. Tahap perception yaitu terjadi saat diri aktor akan menyeleksi situasi dan kondisi yang hidup disekitarnya. 3. Tahap manipulation yaitu dibangun atas asumsi yangdiformulasikan dalam bentuk pertanyaan “apa yang harus saya perbuat?”. Pemaknaan sistuasi sejalan dengan peran yang harus dijalankan oleh diri (self)) aktor. Pada tahap ini kemampuan manusia untuk memecahkan persoalan dengan berbagai cara. 4. Tahap consummation yaitu tahap kepenuhan tindakan yang dipastikan sesuai dengan peran yang dimainkan oleh diri aktor. Menurut Mead perlu dipahami tentang diri sebagai subjek (I) dan objek (me). Diri adalah subjek dari fenomena pengalaman sendiri yaitu persepsi, emosi, dan pikiran. Dalam fenomenologi ini dipahami sebagai suatu pengalaman dan tidak ada yang mengalami tanpa ia mengalaminya sendiri. Oleh sebab itu diri adalah sebuah “given”. Jika dihubungkan dengan pemahaman tentang makna, maka konsep diri pribadi akan memunculkan dua sisi yaitu sisi pribadi (self) dan sisi sosial (person). Artinya, diri pribadi tidak hanya menanggapi atau membuat persepsi tentang orang lain (the other), tetapi juga mempersepsikan dirinya sendiri. Karakter diri secara sosial (person) tidak berdiri sendiri dan lepas dari the other atau realitas sosial. Pada hakikatnya, diri (self) akan terus menerus menanggapi stimulus dari luar dan dari dalam. Dalam diri terdapat kemampuan menanggapi diri sendiri secara sadar dan kemampuan tersebut memerlukan daya pikir reflektif. Diri juga dipengaruhi oleh varian dari luar seperti aturan, nilainilai, norma-norma dan budaya setempat dimana ia berada. The Looking Glass Self CHARLES HORTON COOLEY Charles Horton Cooley lahir di Ann Arbor, Mich pada tanggal 17 Agustus 1864. Sepanjang karirnya ia telah banyak menghasilkan karya yang cukup monumental dan kontributif di bidang psikologi dan sosiologi. Karyanya seperti Human Nature and The Social Order (1902), Social Organization (1909) dan Social Process (1918). Karir Cooley cukup dibilang cemerlang ketika ia lulus dari Universitas Michigan tahun 1887 dan tahun 1889 ia mulai masuk kerja di bidang kepemerintahan di Komisi Pelayanan Sipil dan Biro Sensus. Ia kemudian berlabuh di dunia akademis dan ia mulai mengajar pada ilmu-ilmu sosial seperti ilmu politik dan ekonomi (1892-1904) dan sosiologi (1904-1929). Pandangannya banyak mempengaruhi perkembangan teori-teori sesudahnya dan menjadi inspirasi terhadap bangunan teori selanjutnya seperti perkembangan teori interaksionisme simbolik. Konsep Diri Pada konteks interaksi sosial dalam sosialisasi, Cooley memiliki pandangan konsep diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini disebut sebagai the looking-glass self yang mengacu pada konsepsi diri yang berasal dari membayangkan bagaimana orang lainmenilai diri individu. Melalui konsep ini ia menyatakan bahwa manusia memiliki kesadaran yang terbentuk dalam dirinya melalui interaksi sosial yang terjadi. Diri (self) bukan pertama individual dan kemudian sosial, melainkan ia muncul secara dialektis lewat komunikasi atau interaksi diri dengan orang lain. Kesadaran diri individu tentang dirinya yang ia korelasikan dengan pikiran orang lain. Hal ini bisa dianalogikan dengan perilaku diri individu ketika bercermin kalau cermin memantulkan sesuatu yang terdapat di depannya, maka menurut Cooley diri seseorang pun memantulkan sesuatu yang dirasakan sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya. The Looking Glass Self Konsep the looking glass self ini memberikan gambaran bahwa konsep diri terbentuk dari bayangan kembar (diri individu dalam cermin) yang berasal yang berasal dari hubungan sosial, kesan diri individu dalam seseorang berkembang dan termanifestasikan melalui interaksi manusia : ‘tidak ada perasaan tanpa aspek asosiatif atas kita, mereka, atau kamu”. Dengan demikian siapa anda, dan bagaimana anda berpikir tentang diri sendiri erat kaitannya dalam interaksi. Dalam berinteraksi manusia memerlukan komunikasi terus menerus dan dir (self) jelas merupakan poduk sosial dari dialektika antara individu dan realitas sosial (masyarakat). CERMIN DIRI/SELF Gambar 9 : Diri (self) dalam Cermin Dalam konsep the looking glass self, terdapat tiga elemen pokok yang bersifat fundamental, yaitu (Umiarso, 2014 : 143-144) : 1. We imagine how our personality and appearace will look to other people. Pada elemen ini diri (self) akan membayangkan atau mengimajinasikan kepribadian dan penampilannya akan dilihat oleh orang lain. 2. We imagine how other people judge the appearance and personality that we think we present. Artinya diri (self) akan membayangkan penilaian orang lain terhadap penampilannya tersebut. 3. We developa self-concept. If we think the evaluation of other is favorable, our self-concept is enhanced. If we think the evaluation is unfavorable, our self-concept is diminished. Pada elemen ini, diri (self) mempunyai perasaan untuk mengembangkan konsep diri (self – concept) sebagai bentuk tanggapan orang lainnya terhadapnya seperti perasaan bangga atau malu. Pengembangan ini sangat tergantung pada “penilaian” orang lain terhadap diri (self). Jika diri (self) berpikir dalam evaluasi orang lain terhadap kepribadian dan penampilannya menguntungkan, maka konsep diri akan ditingkatkan. Namun, jika evaluasi orang lain kurang baik, maka konsep diri akan diturunkan. Dari ketiga elemen tersebut dapat ditekankan pada proses pengembangan konsep diri yaitu imajinasi diri. Namun bukan berarti merupakan fantasi. Imajinasi yang dimiliki manusia merupakan fakta masyarakat yang solid dan berfungsi sebagai warisan realitas dunia subjektif. Meskipun fakta objektif tidak boleh diabaikan sama sekali. Ini dapat dilihat dari kenyataan diri yang mencoba membatasi sesuatu sebagai realitas yang riil yang terdiri dari pikiran orang lain dari masyarakat itu sendiri. Perbandingan Konsep “Diri” Mead dengan Cooley George Herbert Mead Konsep diri adalah suatu proses yang berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain. Individu adalah makhluk yang bersifat sensitif, aktif, kreatif dan inovatif. Keberadaan sosialnya sangat menentukan bentuk lingkungan sosialnya dan dirinya sendiri secara efektif. “Diri” (self) dapat bersifat sebagai objek maupun subjek sekaligus. Objek yang dimaksud berlaku pada dirinya sendiri sebagai karakter dasar dari makhluk lain, sehingga mampu mencapai kesadaran diri (self conciousness) dan dasar mengambil sikap untuk dirinya, juga untuk situasi sosial yang dapat dijabarkan dengan konsep :pengambilan peran orang lain” (taking the role of the other). “Diri” akan menjadi objek terlebih dahulu sebelum ia berada pada posisi subjek. Dalam hal ini, “diri” akan mengalami proses internalisasi atau interpretasi subjek, atas realitas struktur yang luas. Dia merupakan produk dialektis dari “I” impulsif dari “diri” yaitui aku sebagai subjek dan “me” sisi sosial dari manusia yaitu “daku” sebagai objek, perkembangan “diri” (self), sejalan dengan sosialisasi inividu dalam masyarakat yakni merujuk kepada kapasitas dan pengalaman manusia sebagai objek bagi diri sendiri. Ringkasnya, “diri” Charles Horton Cooley “disi” sebagai segala sesuatu yang dirujuk dalam pembicaraan biasa melalui kata ganti orang pertama tunggal seperti “aku” (I), “daku” (me), “milikku” (mine) dan “diriku” (my self). Segala sesuatu yang dikaitkan dengan diri menciptakan emosi lebih kuat dibandingkan dengan yang tidak dikaitkan dengan diri. Diri dapat dikenal hanya melalui perasaan subjektif. Konsep diri individu secara signifikan ditentukan apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain mengenai dirinya. Artinya individu memerlukan respons orang lain yang ditafsirkan subjektif sebagai data dirinya. Perasaan “diri” dikembangkan lewat penafsiran individu atas realitas fisik dan sosial, termasuk aspek-aspek pendapat tentang tubuh, tujuan, materi, ambisi, gagasan bersifat sosial yang dianggap milik individu. Perasaan diri bersifat sosial karena maknanya diciptkan melalui bahasa dan budaya bersama dari interpretasi subjektif individu, atas orang-orang yang mereka anggap penting yang punya hubungan dekat (significant others). Demikian pula pengambilan peran dan sikap orang lain secara umum (generalized others). Kesimpulannya. “diri individu dan masyarakat bukanlah realitas yang terpisah. Sumber : Umiarso, 2014 hal 155-156. HERBERT BLUMER Herbert Blumer lahir di St. Louis, Missouri pada tanggal 7 Maret 1900. Setelah lulus dari University of Missouri tahun 1918 sampai 1922 ia mengajar di sana tetapi tahun 1925 pindah ke Universitas Chicago. Ia melanjutkan penelitiannya dan karya Mead tentang interaksionisme simbolik. Herbert Blumer mencoba merekonstruksi kajian interaksionisme simbolik yang telah dirintis oleh gurunya George Herbert Mead. Blumer kemudian menyusun sebuah buk yang berjudul “Symbolic Interacsionism”. Interaksionisme simbolik berpandangan bahwa tindakan manusia didasarkan pada yang ada pada dirinya. Makna tersebut berasal dari proses interpretasi seseorang terhadap objek di luar dirinya ketika interaksi sosial sedang berlangsung. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis tetapi sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Bagi Blumer, manusia bertindak bukan hanya karena faktor eksternal dan internal saja, namun individu juga melakukan self indication atau memberi arti, menilai, memutuskan untuk bertindak berdasarkan referensi yang mengelilinginya tersebut. Herbert Blumer mengemukakan bahwa interaksionisme simbolik sebagai perspektif yang bertumpu pada tiga premis yaitu : 1. Premis pertama menunjukkan bahwa tindakan individu sangat bergantung kepada pemaknaan terhadap sesuatu objek. Makna berasal dari pikiran individu bukan melekat pada objek atau sesuatu yang inheren dalam objek tetapi diciptakan oleh individu sendiri. Ini berarti bahwa individu bertindak terhadap sesuatu berdasarkan pada makna yang diberikan terhadap sesuatu tersebut. 2. Premis kedua menunjukkan bahwa makna muncul dalam diri aktor dengan adanya interaksi dengan diri aktor lain. Walaupun makna muncul dari pikiran masing-masing subjek (aktor), tetapi hal itu tidak ada atau muncul begitu saja, tetapi melalui pengamatan kepada individu-individu lain yang sudah lebih dulu mengetahui. Diri sang aktor berinteraksi antara aktor satu dengan lainnya melalui proses menginterpretasi atau mendefenisikan tindakan dari masing-masing aktor tersebut bukan hanya bereaksi terhadap tindakan masing-masing aktor. Dengan demikian interaksi sosial antar subjek (aktor) dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol dan makna, penafsiran atau proses memastikan makna tindakan antara masing-masing aktor yang akhirnya memunculkan tindakan sosial antara mereka. 3. Premis ketiga menunjukkan bahwa makna bukan sesuatu yang final tetapi terus-menerus dalam proses pemaknaan yang “menjadi”. Dalam hal ini diri sang aktor perlu jeli dalam menilai simbol yang diperlihatkan orang lain agar dapat mengantisipasi tindakan orang lain. INTERAKSIONISME SIMBOLIK 1.Bertindak pada makna terhadap sesuatu. 2.Makna dari diri aktor yang berinteraksi dengan aktor lain. 3. Makna sesuatu yang terjadi terus-menerus Gambar 10 : Premis Interaksionisme Simbolik Blumer Kedirian (self) dikonstruksikan melalui interaksi dengan tahapan sebagai berikut : 1. Tahap individu menginternalisasi objek. Seorang individu secara sadar memahami realitas tempat dia berhubungan dan berusaha melepaskan diri tekanannya. Ketika ia meninternalisasi objek berbentuk fisik dan menguasainya lalu menjadi bagian dari pengalaman batinnya. 2. Tahap terjadinya transmisi. Proses transmisi terjadi ketika individu merealisasikannya. Ia juga merupakan objek bersama dengan objekobjek lain di lingkungannya. Pandangan George H.Mead dan Herbert Blumer Aspek Persamaan Mead dan Blumer Tekanan Individu memeiliki kesendirian dan karenanya memiliki kemapuan untuk melakukan self interaction. Arti Pentingnya Makna Penentu tindakan seseorang. Manusia bertindak atas sesuatu berdasar makna yang dimiliki. Kapasitas/Fungsi Interaction Self *Self interaction termanifestasikan dalam peran yang dimainkan seseorang ketika mereka membuat indikasi-indikasi terhadap dirinya. *Self interaction mengevaluasi dan memungkinkan menganalisis individu sesuatu berdasarkan apa yang dipikirkan. Kapasitas/Fungsi Individu dalam Interaction Melalui interaksi dengan dirinya sendiri, individu Self dapat mengantisipasi efek-efek dari berbagai alternatif sikapnya dan karenanya dia dapat memilihnya. Perilaku Individu Tidak hanya sebagai respon terhadap lingkungan, juga bukan hasil dari disposisi, sikap, dan motif tak sadar atau nilai-nilai sosial. Kritik terhadapnya Keduanya dikritik tidak memperhitungkan struktur sosial dan efek-efek yang tidak diharapkan dan karya mereka dinilai memberikan kontribusi besar bagi psikologi sosial tetapi gagal sebagai teori sosial. Sumber : Umiarso, 2014 hal 172-173 Perbedaan Pandangan G.H Mead dan Herbert Blumer Aspek G. H Mead Herbert Blumer Pendekatan Behaviorisme Behaviorisme Sosial Keberadaan Menolak Mengakui struktur sebagai Struktur (Posisi sesuatu yang fleksibel dan Sosial, Organisasi kemampuan improvisasi dsb) Hakikat Manusia Makhluk Kreatif Makhluk yang sadar dan refleksif Sumber : Umiarso, 2014 hal 172 Teori Dramaturgi Dunia ini panggung sandiwara Ceritanya mudah berubah Kisah Mhabrata atau tragedi dari Yunani Setiap insan punya satu peranan Yang harus kita mainkan Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura Mengapa kita bersandiwara Mengapa kita bersandiwara Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang Dunia ini penuh peranan Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan Mengapa kita bersandiwara Mengapa kita bersandiwara (Teks lagu Panggung Sandiwara oleh Ahmad Albar Sumber : Mulyana, 2004 :103) ..diri bukan sesuatu bersifat organik yang memiliki lokasi tertentu....Dalam menganalisis diri kita terseret dari pemiliknya, dari orang yang paling untung atau rugi olehnya, karena ia dan tubuhnya sekadar menyediakan pasak tempat bergantung suatu hasil kerjasama untuk sementara waktu...sarana memperoduksi dan memupuk diri tidak berada di dalam pasak. Diri sebagai produk interaksi antarpribadi inilah sebagai milik sang aktor yang dianalisis Goffman (dikutip dari Anderson dan Meyer dalam Mulyana, 2004 : 109). ERVING GOFFMAN Goffman lahir pada tanggal 11 Juni 1922 di Mannville, Alberta Kanada.Master dan doktornya diberikan di Universitas Chicago tahun 1949 dan 1953 di bidang sosiologi dan antropologi sosial. Erving Goffman dianggap sebagai sosiolog mikro karena ia lebih berkonsentrasi pada analisis rinci dari interaksi dan norma-norma yang mengatur interaksi tersebut. Oleh sebab itu komunikasi merupakan fokus utama kajiannya. Ia mengkaji interaksi sosial, ritus, kesopanan, pembicaraan dan semua hal yang menjalin hubungan seharihari. Interaksi dianggap sebagai dasar kebudayaan yang memiliki norma, mekanisme dan regulasi. Ritual-ritual dianggap ajang menegaskan tatanan moral dan sosial sehingga diri sang aktor berusaha mengatur citra dirinya sendiri. Goffman memberikan asumsi bahwa diri sang aktor perlu menyadari peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Aktor harus mendefenisikan situasi yang dibedakan menjadi strip yaitu sebuah sekuen aktivitas dan frame merupakan pola pengaturan dasar yang digunakan untuk mendefenisikan strip (Umiarso, 2014 : 249-250). Dalam bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life diterbitkan tahun 1959 menjelaskan proses dan makna dalam interaksi. Goffman menganalogikan dunia sosial seperti panggung sandiwara dimana individu-individu menjadi aktor yang memegang peran dalam hubungan sosial sebagai representasi yang tunduk pada aturan yang baku. Dalam panggung sandiwara aktor memiliki kemampuan menampilkan “kesan realitas” kepada diri aktor lain agar dapat meyakinkan gambaran (citra) yang akan diberikan kepada orang lain. Asumsi dasar teori Goffman adalah bahwa peran yang ditampilkan atau yang diharapkan dalam interaksi antar diri sang aktor mengandung simbol tertentu yang digunakan sebagai standar dari perilaku bersama. Kontribusi Goffman lain yang juga kuat adalah tentang stigma dalam bukunya “Stigma : Notes on the Management of Spoiled Identity. Ia meneliti bagaimana diri sang aktor mengelola penempilan diri mereka sendiri, terlebih pada saat penampilan mereka tidak sesuai dengan standar yang disetujui dalam perilaku atau penampilan yang semestinya, maka mereka mencoba untuk melindungi identitats mereka tersebut dengan cara mengelola penampilan dirinya (Umiarso, 2014 : 253-254). Presentasi Diri Jika Mead menganggap diri pada dasarnya bersifat sosial, bagi goffman individu tidak sekedar mengambil peran orang lain melainkan bergantung pada orang lain untuk melengkapkan citra diri. Atau dengan kata lain, diri bukanlah sesuatu yang dimiliki individu tetapi yang dipinjamkan orang lain kepadanya. Menurut interaksionisme simbolik manusia memainkan berbagai peran dan mengasumsikan identitas yang relevan dengan peran-peran yang terlibat dalam kegiatan yang menunjukkan satu sam lainnya siapa dan apa mereka. mereka menandai satu sama lain dann situasi-situasi yang mereka masuki. Presentasi diri bertujuan memproduksi defenisi siatuasi dan identitas sosial bagi aktor dan defenisi situasi tersebut mempengaruhi ragam ingteraksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada. Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka ingin menyajikan gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ini disebut sebagai “pengelolaan kesan” (impression management) yaitu teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini dapat dilihat pada atribut, milik atau aktivitas manusia, busana yang dipakai, rumah yang dihuni, cara berjalan dan berbicara, cara menghabiskan waktu luang dan pekerjaan yang kita lakukan. Cara kita berbicara di depan kelas ketika adanya diskusi berbeda pada saat kita berada diantara teman-teman di luar kelas. Busana yang dipakai di rumah berbeda ketika akan pergi ke kantor. Kita mengelola informasi yang kita berikan kepada orang lain. Orang lain pun berbuat hal yang sama terhadap kita, dan kita memperlakukannya sesuai dengan citra dirinya yang kita bayangkan dalam benak kita. Jadi, kita bukan hanya sebagai pelaku, tetapi juga sekaligus sebagai khalayak. Panggung Depan dan Panggung Belakang Menurut Goffman, kehidupan sosial dibagi menjadi “wilayah depan” (front region) dan “wilayah belakang” (back region). Wilayah depan menunjukkan kepada peristiwa sosial yang memungkinkan individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Sedang wilayah belakang menunjukkan kepada tempat dan peristiwa yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedangkan wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan. Goffman membagi panggung depan menjadi dua bagian, yaitu front pribadi (personal front) dan setting yaitu situasi fisik yang harus ada ketika aktor harus melakukan pertunjukkan. Tanpa setting aktor biasanya tidak dapat melakukan pertunjukkan Misalnya seorang dokter bedah memerlukan ruang operasi, seorang guru memerlukan ruangan kelas, dan seorang sopir memerlukan kendaraan. Front pribadi terdiri dari alat-alat yang dianggap khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting. Dokter diharapkan mengenakan jas dokter, dengan stetoskop menggantung di leher, dosen membawa buku ketika mengajar di kelas, wartawan diharapkan membawa kamera, alat perekam atau buku catatan. Personal front juga mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh sang kator misalnya guru berbicara teratur dan sopan, intonasi, postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan usia, ciri-ciri fisik dan sebagainya. Berbeda dengan panggung depan, panggung belakang memungkinkan adanya pembicaraan dengan menggunakan kata-kata kasar, duduk dan berdiri sembrono, merokok, berpakaian seenaknya, mengomel, berteriak, bertindak agresif, bersenandung dan sebagainya. Panggung belakang biasanya berbatasan dengan panggung depan tetapi tersembunyi dari pandangan khalayak. Ini bertujuan untuk melindungi rahasia pertunjukkan, dan khalayak biasanya tidak diizinkan memasuki panggung belakang kecuali dalam keadaan darurat. Ada 7 hal yang disembunyikan aktor dalam pertunjukkan, yaitu (Mulyana, 2004 : 116) : 1. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesenangan-kesenangan tersembunyi seperti meminum-minuman keras sebelum pertunjukkan. 2. Aktor mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat persiapan pertunjukkan juga langkah-langkah yang diambil untuk memperbaiki kesalahan tersebut. 3. Aktor mungkin merasa perlu menunjukkan produk akhir dan menyembunyikan proses memproduksinya. 4. Aktor mungkin perlu menyembunyikan “kerja kotor” yang dilakukan untuk membuat produk akhir dari khalayak, seperti kejam, semi legal dan menghinakan. 5. Dalam melakukan pertunjukkan tertentu, aktor mungkin harus mengabaikan standar lain. 6. Aktor mungkin perlu menyembunyikan hinaan, pelecehan, atau perundingan yang dibuat sehingga pertunjukkan dapat berlangsung. 7. Aktor sering berusaha menyampaikan kesan bahwa mereka punya hubungan khusus atau jarak sosial lebih dekat dengan khalayak daripada jarak sosial yang sebenarnya. Penggunaan Tim Goffman tidak hanya melihat individu tetapi juga kelompok yang ia sebut tim. Aktor berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya baik di keluarga, tempat bekerja, partai politik atau organisasi lain. Semua anggota disebut sebati “tim pertunjukkan” (performance team) yang mendramatisasikan suatu aktivitas. kerjasam tim sering dilakukan oleh para anggota dalam menciptakan dan menjaga penampilan dalam wilayah depan. Sepasang suami istri menyembunyikan pertengkaran dari anak-anak mereka, menjaga keselarasan dan setelah anaknya pergi bertengkar kembali. Pertunjukkan yang dibawakan tim sangat bergantung pada kesetiaan setiap anggotanya untuk memegang rahasia tersembunyi bagi khalayak. Interaksi Sebagai Ritual Menurut Goffman, interaksi mirip dengan upacara keagamaan yang sarat dengan berbagai ritual. Aspek-aspek “remeh” dalam perilaku yang sering luput dari perhatian orang merupakan butki-bukti penting seperti kontak mata antara orang-orang yang tidak saling mengenal di tempat umum. Perilaku saling melirik satu sama lain untuk kemudian berpaling ke arah yang lain menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak saling mengenal menaruh kepercayaan kepada yang lain untuk tidak saling menganggu. Ini seperti adanya aturan tidak tertulis yang diterima orang dalam berinteraksi. Bahkan kita merasa tidak nyaman, takut dan gugup bila ada seseorang menatap kita lebih lama dari yang lazimnya. menjaga jarak atau berpaling ke arah lain adalah untuk menjaga privasi orang. Ini merupakn ritual antarpribadi atau menghargai diri yang “keramat” (sacred self). Penghargaan atas diri yang “keramat” dibalas dengan tindakan serupa sehingga berlangsunglah upacara kecil seperti anggukan kepala, senyuman, atau saling berjabat tangan ketika bertemu dengan orang lain atau bertanya “apa khabar ?” meskipun sebenarnya orang yang bersangkutan sedang sakit, ucapan maaf, terima kasih atau lambaian tangan ketika berpisah dengan orang lain adalah ritual antarpribadi untuk memelihara hubungan dengan orang lain. Pandangan Yang Berpengaruh Ada beberapa pandangan ahli interaksionisme simbolik yang mempengaruhi Erving Goffman di antaranya adalah (Wirawan, 2012: 255) : 1. Pemikiran Charles Horton Cooley tentang the looking glass self yang mendeskripsikan tentang sikap sang aktor lain sebagi cermin bagi diri sang aktor sendiri dalam menilai objek di lingkungannya. Teori ini menunjuk kepada pengembangan konsep diri seorang individu berdasarkan pandangan ketika individu membanyangkan citra diri melalui pandangan orang lain, maka aktor juga membayangkan penilaian orang lain sebagai harga diri dan rasa malu. 2. Pemikiran George Herbert Mead tentang konsep I dan Me. Diri sang aktorn yang objektif dan subjektif yang menunjuk pada ketidaksesuaian antara diri manusiawi dan diri sang aktor sebagai hasil proses sosialisasi. Diri muncul dalam proses interaksi karena manusia baru menyadari dirinya sendiri dalam interaksi sosial. 3. Pemikiran Herbert Blumer mengenai diri sebagai sebuah proses bukan benda. Diri sang aktor merupakan individu yang sadar dan reflektif, menyatukan objek melalui proses komunikasi. Individu dapat mengetahui sesuatu, menilai, memberi makna dan memberi tindakan dalam konteks sosial (self indication). C.H COOLEY : the looking glass self ERVING GOFFMAN G.H MEAD : I dan Me Dramaturgi H. BLUMER : Self Indication Gambar 11 : Skema Pengaruh Pandangan Interaksionisme Simbolik Terhadap Goffman TEORI IMAGINASI SOSIOLOGIS Semangat untuk mengembalikan sosiologi kepada masyarakat dari mana dia berasal sesungguhnya merupakan tindakan deprofesionalisasi sosiologi. Berdasarkan atas pendapat Mills bahwa pada dasarnya manusia memang tidak rasional, makhluk yang hanya tanggap pada impuls, slogan politik, status, simbol, dan sebagainya, untuk ini sosiologi menyediakan sarana sebagai pembuang sifat egois, picik dan kebanggaan (yang tidak layak) pada dongeng, dan ketika manusia tumbuh dewasa, sosiologi menolongnya untuk “mengetahui di mana dia berada “, ke mana boleh pergi, dan apa jika ada yang dapat dilakukan saat ini sebagai sejarah dan di masa depan sebagai pertanggungjawaban” (Horowitz dalam Poloma, 2000 : 335). C.WRIGHT MILLS Wright Mills dilahirkan pada tanggal 28 Agustus 1916 di Waco Texas. Ia kuliah di Universitas Texas dan menjelang tahun 1939 mendapatkan gelar sarjana dan master. meninggal pada usia 45 tahun. Mills sebagai seorang ahli teori tidak pernah mengenyampingkan prinsip-prinsip psikologis dan mencoba menghubungkan masalah sosiologis dengan struktur. Pada tahun 1950an Mills telah mengumandangkan “Imaginasi Sosiologis”. Imaginasi sosiologi adalah gabungan dari “dua cara penelitian” yang diidentifikasi oleh Mills sebagai makrokospik dan molekuar. Makrokospik berhubungan dengan keseluruhan struktur sosial dalam lingkup ahli sejarah dengan menampilkan tipe-tipe fenomena historis dan secara sistematis menghubungkan dengan berbagai lingkungan institusional masyarakat lalu dihubungkan dengan tipe-tipe manusia yang ada. Kesadaran akan sejarah membuat dia tetap sepenuhnya berpikir tentang fakta konflik sosial dan kebutuhan analisis sosiologis. Ini menjelaskan bahwa Mills menitikberatkan perhatiannya atas biografi dan sejarah sebagai sumber data sosiologis. Menurut C. Wright Mills, “kaum ilmiawan” (The scientists) tidak peduli dengan masyarakat dan sejarah padahal perspektif ini dibutuhkan karena mengandung tiga masalah yaitu (Poloma, 2000 : 329) : 1. Arti penting kedudukan ide dalam sejarah manusia 2. Hakikat kekuasaan dan hubungannya dengan pengetahuan. 3. Pengertian tindakan moral dan penempatan pengetahuan di dalamnya. Mills menulis tentang politik dan kekuasaan yang mengkaji White-Collar Workers dan pemegang kekuasaan. Ia mengakui bahwa kelas menengah berkembang yang dtidak dirapkan muncul antara produsen dan kelas pekerja. Kelas menengah baru telah lahir sebagai bagian dari penduduk Amerika yang terdiri dari para manajer, buruh upahan, salesman dan pekerja kantor. Sebagian besar mereka adalah karyawan berkerah putih (white collar-workers). Mereka semakin kehilangan kekuatan pribadinya. Menurut Mills, karyawan berkerah putih ini harus ditempatkan dalam masa sejarah disertai dengan pemahaman struktur sosial dan memahaminya dalam kerangka psikologis dan sosiologis. Dengan menggunakan penjelasan sejarah, Mills menggambarkan bahwadunia pengusaha kecil di masa silam adalah orang yang bebas, bukan terikat dan bukan orang yang dibatasi oleh tradisi. Perubahan yang terjadi adalah dalam kelas berkerah putih sejak tahun 1900 umumnya menunjukkan keruntuhan posisi mereka dengan kecenderungan yaitu : 1) hilangnya prestise bila dibandingkan dengan pengusaha tipe lama; 2) merosotnya pendapatan riil; 3) mekanisasi jabatan yang mengancam eksistensi sekian lapangan kerja yang dipegang oleh karyawan berkerah putih; 4) pembatasan otonomi pekerja kantor dan 5) banyaknya pekerjaan karyawan berkerah putih bersifat rutin dan membosankan dan hanya sedikit harapan untuk membangkitkan minat kerja di masa datang. Selanjutnya, Mills melihat bahwa adanya Power Elite yang menentukan. Mereka adalah yang duduk di tingkat tertinggi struktur kekuasaan dan dapat mengambil keputusan dengan berbagai akibat besar. Mereka itu terdiri dari pemimpin ekonomi, pemimpin politik dan pemimpin militer. Ketiga unsur inilah terletaknya kekuatan yang penting dalam sejarah. Ketiga unsur itu juga telah mempengaruhi dan tumbuh besar mendominasi selama abad keduapuluh. Kekuasaan yang berada di tingkat menengah walaupun bergerak, namun di tingkat nasional dan internasional baik membuat keputusan perang atau damai, daerah miskin dan masalah kemelaratan dan keputusan-keputusan lain dapat diambil oleh elit kekuasaan yang terdiri dari elit ekonomi, elit politik dan elit militer tersebut. Pada masa kini, hampir tidak mungkin memisahkan bisnis raksasa dengan pemerintahan yang kuat dan kekuasaan militer. Menurut Mills di Amerika terdapat struktur militer sebagai bagian terpenting dari struktur politik. Hal ini terjadi karena pergeseran fokus elit kekuasaan dari masalah-masalah nasional ke isu-isu internasional yang memberikan suara lebih besar kepada para pemimpin militer dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, setiap harapan untuk mewujudkan pemerintahan yang bertanggung jawab hanya dapat digapai lewat pertumbuhan kesadaran masyarakat akan situasi kekuasaan di Amerika Serikat dan di tambah dengan minat sosiologis terhadap isu-isu yang relevan. Kepercayaan terhadap kebebasan manusia untuk mengubah sejarah menyebabkan Mills menuntut pembaharuan sosiologi yang bermanfaat bagi masyarakat. Bagi Mills kemampuan sosiologi untuk mempengaruhi perubahan sosial tidak bolah berhenti hanya karena kekaguman terhadap model ilmu alam. Mills menghimbau adanya “imaginasi sosiologis” bagi sosiologi yang relevan dan merupakan inti masalah kekinian. Himbauan Mills terhadap “imajinasi sosiologis” ini adalah suatu kritikan terhadap model naturalistis yang sudah dominan dalam sosiologi kontemporer. Ia mengatakan bahwa sosiologi lebih banyak terlena dengan metode-metode yang bersifat praktis ketimbang dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan. Bagi Mills kemampuan untuk melakukan “imajinasi sosiologis” harus dimiliki oleh sosiologi sehingga dapat menangkap sejarah dan biorafi serta daya gunanya dalam masyarakat. TEORI PILIHAN RASIONAL Banyak perbincangan mengenai teori sosiologi yang dianggap memberikan kekecewaan karena dianggap khayalan semata dan tumbuh secara parsial. Orang yang tidak memiliki kompetensi di suatu bidang seringkali kurang memahami dengan baik bidang yang lain. teori pilihan rasional meberikan suatu tren yang analisisnya di tingkat mikro sosiologi.Pilihan rasional sebelumnya mendominasi kajiannya di bidang ekonomi berkembang ke bidang ilmu politik. JAMES S. COLEMAN Fokus Perhatian Pilihan Rasional Teori pilihan rasional menekankan pada perilaku atau tindakan seseorang sebagai suatu tujuan atau para pelaku harus dipandang sebagai seseorang termotivasi oleh kepentingan diri. Pada tahun 1989 James S. Coleman mendirikan jurnal Rationality and Society yang bertujuan untuk menyebarkan pemikiran pilihan rasional. Coleman menerbitkan buku yang sangat berpengaruh berjudul Foundations of Social Theory (1990) dan The Rational Reconstruction of Society tahun 1992. Menurut Coleman sosiologi seharusnya memusatkan perhatian kepada sistem sosial namun fenomena makro itu harus dijelaskan oleh faktor internalnya sendiri. Coleman lebih menekankan analisisnya pada faktor individual. Dengan demikian gagasan dasar teori ini adalah adanya tindakan seseorang yang mengarah kepada suatu tujuan dan tujuan tersebut ditentukan oleh nilai atau pilihan. Penekanan Coleman pada pandangan bahwa individu adalah homo sociologicus mendorong perspektif ini pada proses sosialisasi yang akrab antara individu dan masyarakat. Kontrasnya adalah homo economicus dalam pandangan Coleman harus diperjelas. Ini semua adalah upaya Coleman menyerang teori sosial tradisonal yang hanya melatunkan mantra-mantra yang sudah tidak relevan dalam perjalanan masyarakat yang telah berubah saat ini. Ada dua unsur utama dalam teori pilihan rasional Coleman ini, yaitu aktor dan sumber daya. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat dikontrol oleh aktor. Tindakan rasional individu dilanjutkan ada masalah hubungan mikro-makro atau makro-mikro. Analisis di Tingkat Makro-Mikro Salah satu contoh pendekatan Coleman dalam menganalisis fenomena makro adalah pada kasus perilaku kolektif terjadi pemindahan kontrol secara sepihak untuk memaksimalkan kepentingan individu dan tidak harus menyebabkan keseimbangan sistem. Fenomena lain yang terkait dengan tingkat analisis makro Coleman adalah norma. Merskipun norma menerangkan perilaku individu, namun tidak dijelaskan mengapa dan bagaimana cara norma itu terwujud yaitu dengan adanya sekelompok aktor yang rasional. Norma diprakarsai oleh beberapa orang yang melihat adanya keuntungan dari pengalamannya terhadap norma tersebut dan adanya kerugian ketika melakukan pelanggaran terhadap norma itu. Norma akan efektif jika aktor memiliki kemampuan melaksanakan konsensus. Norma adalah fenomena tingkat makro yang ada berdasarkan tindakan bertujuan di tingkat mikro. Ketika ada norma dan sanksi, maka dapat mempengaruhi tindakan individu. Untuk melanjutkan analisisnya di tingkat makro, Coleman membahas aktor kolektif. Dalam kolektivitas aktor tidak boleh bertindak menurut kepentingan pribadi, tetapi harus berdasarkan pada kepentingan kolektivitas. Selain itu ada tiga bentuk lembaga dalam menjelaskan pilihan-pilihan tindakan, apakah berdasarkan pelaku tunggal atau pelaku kelompok. Tiga bentuk lembaga tersebut adalah (Wirawan, 2012 :200-202) : 1. Norma : pelaku sosial menjadi pengikut suatu hukum atau atruran. Teori pilihan rasional memfokuskan pada pemunculan dan penerapan normanorma-norma. Struktur interaksi dimana norma-norma didasarkan adalah ketika aktorkelompok memiliki kontrol atas seorang pelaku tunggal. 2. Pasar : didasarkan pada perkumpulan pertukaran di antara pelaku tunggal yang meliputi para individu, seperti pasar petani, pelaku kelompok, seperti pasar modal Hubungan antara kepentingan kolektif di dalam pasar menghasilkan adanya “tangan yang tidak terlihat” (invisible hand). 3. Hirarki. Prinsip fundamental organisasi bagi pelaku tunggal adalah memunculkan kekuasaan atau pengaruh terhadap seperangkat pelaku subordinat. Di dalam struktur yang paling sederhana para subordinat dalam suatu hubungan berfungsi sebagai superordinat di dalam satu bentuk hubungan yang lain. Sebagian besar penganut teori pilihan rasional selalu mendasari bahasannya pada kata-kata kunci seperti asumsi intensionalitas, asumsi rasionalitas, perbedaan antara informasi yang “sempurna” dan “tidak sempurna”, antara “resiko” dan “ketidakpastian”, dan perbedaan antara tindakan “strategis” dan “saling ketergantungan” (Wirawan, 2012 : 210-213). Pertama, asumsi intensionalitas.Intentional explaining tidak hanya menyatakan bahwa setiap invidu bertindak secara intensional dengan maksud tertentu tetapi juga mempertimbangkan praktik-praktik sosial seperti keyakinan/kepercayaan masyarakat serta keinginan-keinginan individu.Tindakan ini disertai dengan pencarian akibat-akibat yang tidak dimaksudkan dari tindakan yang bertujuan dari para pelaku. Teori ini memperhatikan dua bentuk yaitu negatif atau kontradiksi sosial (counterfinality dan suboptimality). Kedua, asumsi rasionalitas. Rasionalitas diartikan bahwa ketika bertindak dan beraksi, individu memiliki rencana yang koheren dan memaksimalkan kepuasan dirinya serta meminimalkan biaya yang dibutuhkan. Ketiga, ada perbedaan antara ketidakpastian dan resiko. Asumsinya adalah orang-orang telah mengetahui dengan pasti konsekuensi-konsekuensi dari tindakan mereka. Tidak ada setting dalam kehidupan nyatauntuk mendapatkan informasi yang sempurna. Ketika dihadapkan pada resiko, orang-orang dapat mengatribusikan berbagai kemungkinan ke berbagai hasil (outcome) sementara bila dihadapkan pada ketidakpastian, maka mereka tidak dapat melakukan hal itu. Keempat, ada perbedaan antara pilihan-pilhan strategis dan parametrik. Pilihan parametrik merujuk pada pilihan-pilihan yang dihadapi oleh para individu yang dihadapkan dengan lingkungan pilihan independen. Contoh dari pilihan strategis adalah suboptimality dan couterfinality dimana seseorang sebelum menentukan pilihan-pilihan pertimbangan terhadap pilihan-pilhan tersebut. harus melakukan 1. Asumsi intensionalitas 2. Asumsi rasionalitas Teori Pilihan Rasional 3. Ketidakpastian dan resiko. 4. Pilihan-pilhan strategis dan parametrik. Gambar 12 : Asumsi Yang mendasari Teori Pilihan Rasional Namun, dalam perjalanannya Coleman mendapat kritikan dari Tilly (Ritzer, 2003 : 400) yaitu : 1. Tidak menyebutkan mekanisme kausal 2. Mempromosikan reduksionisme yang tidak lengkap sehingga dianggap menyesatkan. 3. Mendukung sebentuk teori umum analisis pilihan rasional yang selama beberapa waktu telah menarik ilmuan sosial ke jalan gelap dimana mereka selalu mengembara tanpa tujuan menjadi korban reduksionisme individual. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa teori pilihan rasional dianggap kurang lengkap karena seharusnya sosiologi berfokus pada fenomena tingkat makro sementara pilihan rasional penjelasannya berada pada tingkat individual yang merupakan bidang teori yang berada di luar batas sosiologi. Dari perspektif interaksionisme simbolik Denzin dalam Ritzer (2003 : 401) menjelaskan bahwa teori pilihan rasional gagal dalam mengemukakan jawaban meyakinkan atas pertanyaan apakah mungkin ada masyarakat yang norma idealnya tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari dan apakah memang ada norma tentang rasionalitas yang mengatur aktivitas interaksi antar individu yang sebenarnya. Teori pilihan rasional sedikit sekali manfaatnya bagi teori sosial masa kini. Skemanya tentang kehidupan kelompok dan gambarannya tentang kehidupan manusia, tindakan, interaksi, kedirian, jenis kelamin, emosionalitas, kekuasaan, bahasa, politik ekonomi kehidupan sehari-hari dan sejarah sangat sempit dan sama sekali tidak memadai untuk tujuan interpretatif. TEORI STRUKTURASI Manusia selalu mempunyai ide tentang dunia sosial, tentang dirinya, tentang masa depannya, dan tentang kondisi kehidupannya. Melalui idenya manusia masuk ke dalam dunia sambil mempunyai niat untuk mempengaruhi dan mengubahnya. Dunia modern dicirikan oleh tumbuh dan berkembangnya refleksivitas. Hidup kita semakin hari semakin sedikit ditentukan oleh kepastian dan ketentutan tradisi. Kita mengambil keputusan karena refleksivitas. Risiko menjadi sebuah keniscayaan. Jadi, yang terpenting bukan menghindari risiko, melainkan manajemen resiko. Giddens mengajak kita untuk mengolah tantangan baru dengan cara yang baru pula. Resep untuk mengatasi masalah yang timbul karena peradaban masyarakat industri harus dengan cara meradikalkan dan mengembangkan modernitas secara lebih dinamis (Giddens dalam Wirawan, 2012 : 292). ANTHONY GIDDENS Anthony Gidden lahir pada tanggal 8 Januari 1938 di Edmonton London pertama Utara. sekali Bukunya yang mendapatkan penghargaan berjudul Class Structure of Advanced Societies (1975) dan tahun 1984 karyanya The Constitutions of Society : Outline of The Theory of The Society mencapai puncaknya dan tahun 1985 ia diangkat menjadi profesor sosiologi di Universitas Cambridge. Agen dan Struktur Giddens meneliti sejumlah besar teori mulai dari teori yang berorientasi individual atau agen maupun masyarakat atau struktur. Giddens memulai bukan dari kedua kutub tersebut, namun menitikberatkan pada praktik sosial yang berulang yang menghubungkan antara agen dan struktur. Agen dan struktur tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tetapi dilihat sebagai hubungan dialektik dan saling mempengaruhi. Agen dan struktur adalah dwi rangkap, yaitu seluruh tindakan sosial memerlukan struktur dan seluruh struktur memerlukan tindakan sosial. Agen dan struktur saling jalin menjalin dalam praktik atau aktivitas manusia. Tindakan dilihat sebagai perulangan dimana aktivitas bukan dihasilkan sekali jadi saja oleh aktor, namun dilakukan secara terus menerus atau mereka ciptakan ulang melalui suatu cara dan dengan cara itu juga mereka menyatakan diri mereka sendiri sebagai aktor. Atau dengan kata lain Giddens menjelaskan tentang agen-struktur secara historis, processual dan dinamis. Inilah yang dimaksud oleh Giddens dengan strukturasi. Teori strukturasi memiliki elemen yang dimulai dari pemikiran tentang agen yang terus menerus memonitor pemikiran dan aktivitas mereka sendiri serta konteks sosial dan fisik mereka. Dalam hal ini aktor melakukan rasionalisasi kehidupan mereka. Rasionalisasi adalah mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang memberikan rasa aman kepada aktor dan kemungkinan menghadapi kehidupan secara efisien. Selain rasionalisasi aktor juga memiliki motivasi untuk bertindak yang menjadi pendorong melakukan tindakan. Tidak hanya rasionalisasi dan motivasi, kesadaran juga diperlukan. Giddens membedakan kesadaran diskursif dan kesadaran praktis. Kesadaran diskursif memerlukan kemampuan untuk melukiskan tindakan kita dalam kata- kata. Kesadaran praktis melibatkan tindakan yang dianggap aktor benar tanpa mampu mengungkapkan dengan kata-kata tentang apa yang mereka lakukan. Giddens memberi penekanan pada keagenan (agency) yakni menyangkut kejadian yang dilakukan seorang individu, yaitu peran individu. Agen memiliki kemampuan untuk menciptakan pertentangan dalam kehidupan sosial dan agen tidak akan berarti apa-apa tanpa kekuasaan agen tersebut. Paksaan dan batasan terhadap aktor tidak menjadikan aktor tidak memiliki pilihan dan peluangh untuk membuat pertentangan. Konsep strukturasi mendasari bahwa agen dan struktur adalah dua kumpulan yang tidak berdiri sedniri tetapi mencerminkan dualitas ciri-ciri struktural sistem sosial sekaligus medium dan hasil praktik sosial yang dibentuk secara berulang-ulang. Dualisme Subjek-Objek Dualisme subjek (dirinya)-objek (struktur) berkaitan dengan orientasi individu terhadap struktur. Ada tiga orientasi individu terhadap struktur yaitu (Gidden dalam Wirawan, 2012 ; 299-300) : 1. Orientasi rutin-praktis yaitu aktor yang secara psikologi mencari rasa aman dan berusaha menghindari akibat-akibat tindakan yang tidak disadari atau belum terbayangkan. Orientasi ini menempatkan diri invidu sebagai objek-objek. 2. Orientasi yang bersifat teoritis. Di sini aktor mampu memelihara jarak dirinya dengan struktur masyarakat sehingga memahami tentang struktur tersebut dan memberikan respon yang muncul dari struktur tersebut. 3. Orientasi yang bersifat strategik-pemantauan, dimana individu tidak hanya mampu memelihara jarak dengan struktur, tetapi juga memiliki kepentingan dengan apa yang dilahirkan oleh struktur tersebut sehingga dianggap cepat tanggap terhadap kondisi yang ada. Konsep Kekuasaan Kekuasaan merupakan alat analisis kehidupan sosial yang terkait dengan dualitas struktur karena kekuasaan terkait dengan tindakan manusia dan struktur. Davis menyimpulkan ada 5 karakteristik utama dari kekuasaan menurut pandangan strukturasionis yaitu (Wirawan, 2012 : 306-307) : 1. Kekuasaan sebagai bagian integral dari interaksi sosial (power as integration to social interaction). Setiap interaksi sosial selalu melibatkan kekuasaan sehingga dapat diterapkan pada semua jenjang kehidupan sosial dari hal yang sempit maupun secara luas. 2. Kekuasaan merupakan hal yang pokok dalam diri manusia (power as intrinsic to human agency).Kekuasan dapat mempengaruhi dan mengintervensi serangkaian peristiwa. 3. Kekuasaan adalah konsep relasional termasuk hubungan otonomi dan ketergantungan (power as relational concept, involving relations of otonomy and dependence). Kekuasan bukan sekedar kapasitas transformasi aktor untuk mencapai tujuan, melainkan juga konsep relasional. Artinya setiap aktor dapat mempengaruhi lingkungan di mana peristiwa interaksi itu terjadi agar aktor lauin dapat memenuhi keinginannya. 4. Kekuasaan bersifat membatasi dan memberi kebebasan (power as contraining as well as enabling).Kekuasaan bergandengan tangan dengan dominasi yang terstruktur dimana anggota masyarakat melakukan intervensi terhadap jalannya interaksi dan melakukan kontrol terhadap perilaku orang lain dengan adanya pemberian sanksi. 5. Kekuasaan sebagai proses (power as process). Terjadinya hubungan dialektik antara aktor dan struktur secara kontinu melakukan produksi dan reproduksi melalui proses strukturasi. Strukturasionis WHAT IS POWER ? 1. power as integration to social interaction 2. power as intrinsic to human agency 3.power as relational concept, involving relations of otonomy and dependence 4. power as contraining as well as enabling 5. power as process Gambar 13 : Skema Konsep Strukturasionis tentang Kekuasaan Penggunaan Teori Strukturasi dalam Riset Inti dari teori strukturasi dapat kita lihat dari empat hal yang digunakan dalam risetnya yaitu (Ritzer, 2003 : 512) : 1. Teori strukturasi memusatkan perhatian pada tatanan institusi sosial yang melintasi waktu dan ruang. Institusi tersebut adalah tatanan simbolik, institusi politik, institusi ekonomi, dan institusi hukum. 2. Pemusatan perhatian pada perubahan institusi sosial melintasi ruang dan waktu. 3. Peneliti harus peka terhadap cara-cara pemimpin berbagai institusi ikut campur tangan mengubah pola sosial. 4. Pakar strukturasi perlu memonitor dan peka terhadap pengaruh temuan penelitian mereka terhadap kehidupan sosial, seperti dampak dari perpecahan, dan masalah sosial yang terjadi. Namun, teori strukturasi dari Giddens ini juga dikritik oleh beberapa ahli. Misalnya Ian Craib mengkritik sebagai berikut : 1. Pusat perhatian dari kajian Giddens yang menekankan tindakan sosial dinilai dari segi ontologis memiliki kedalaman yang kurang. Giddens dianggap gagal menjelaskan struktur sosial yang melandasi kehidupan sosial. 2. Upaya dalam membuat sintesis teoritis tidak bertautan cesara tepat dengan kompleksitas kehidupan sosial. Craib menjelaskan bahwa kehidupan sosial itu sangat rumit dan ruwet tidak bisa dijelaskan dengan pendekatan tunggal. 3. Giddens dianggap tidak bertolak dari landasan teoritis tertentu maka ia mengalami kekurangan untuk menganalisis secara kritis tentang masyarakat modern akibatnya kritikannya terhadap masyarakat modern cendrung berkualitas khusus untuk tujuan tertentu ketimbang menganalisis secara sistematis dari inti teori tersebut. 4. Giddens kelihatannya secara fragmentaris tidak berkaitan secara utuh menyebabkan pemikirannya dianggap sepengal sehingga teorinya tidakl dapat dipersatukan satu sama lain. DAFTAR PUSTAKA Mulyana, Deddy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Poloma, Margareth M, 2000. Sosiologi Kotemporer. Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada. Ritzer, George &Douglas J.Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana. Ritzer, George. 1980. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta : CV. Rajawali. Umiarso & Elbadiansyah. 2014. Interaksionisme Simbolik dari Era Klasik Hingga Modern. Jakarta : Rajawali Pers.