BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1. Permasalahan Seni pertunjukan teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet merupakan teater kontemporer yang melakukan eksperimen dalam seni dengan menggunakan teater boneka sebagai medianya. Maria Tri Sulistyani mendirikan Papermoon Puppet pada tahun 2006. Pada mulanya Papermoon Puppet merupakan suatu ruang bagi anak-anak untuk berkreasi dalam membuat kerajinan origami, menggambar bersama, dan pentas boneka tangan, namun pada tahun 2006 ketika terjadi gempa bumi di Bantul Yogyakarta Papermoon Puppet seringkali membuat acara pementasan boneka tangan berlatar cerita anak-anak dari satu desa ke desa lainnya. Hal itu dimaksudkan untuk membantu memulihkan trauma dan menghibur anak-anak desa dari bencana. Seiring berjalannya waktu, Papermoon Puppet sering mengikuti serangkaian kegiatan workshop bertemakan puppet yang diadakan di dalam negeri maupun di luar negeri, oleh karenanya Papermoon Puppet terinspirasi bahwa puppet tidak hanya untuk cerita anak saja tetapi beragam cerita untuk semua kalangan. Pada tahun 2008 Papermoon Puppet memulai debutnya dengan mengubah haluannya menjadi puppet theater kontemporer yang semula teater tradisional karena mengangkat cerita anak-anak dan dongeng, lalu berganti 1 2 dengan mengangkat cerita sejarah, isu sosial, dan politik. Hal tersebut dirasa menjadi sesuatu yang memiliki ciri khas tersendiri bagi penulis untuk diteliti. Istilah puppet berasal dari kata bahasa Inggris yang berarti wayang atau boneka. Secara harfiah puppet diartikan sebagai sosok manusia, hewan, atau dalam bentuk yang abstrak dan digerakan oleh manusia karena tidak mekanis atau memerlukan bantuan (https://www.britannica.com/art/puppetry diakses pada tanggal 23 September 2016). Pupet juga diartikan sebagai sosok kecil dari seorang manusia atau hewan yang dibuat dan dapat digerakan dengan tali yang bergantung pada tubuhnya atau meletakan tangan pada bonekanya. Secara umum puppet digunakan untuk menceritakan sebuah cerita dan disajikan dalam bentuk pertunjukan (Oxford Dictionary, 1995: 941). Papermoon Puppet merupakan salah satu yang menggunakan hand puppet atau boneka tangan yang cara menggunakannya dengan tangan. Nama Papermoon dipilih karena hand puppet yang digunakan berasal dari barang-barang bekas. Dewasa ini, banyak kalangan yang mencoba untuk menempatkan diskursus seni sebagai sesuatu yang memiliki hubungan positif antara politik dan seni. Persoalan klasik yang sejak lama menjadi perbincangan di kalangan akademisi maupun pelaku seni sendiri (Panca, 2001: 2). Penulis akan mencoba meneliti relasi tersebut dalam seni pertunjukan teater ‘Laki-laki Laut’, selain itu ada persoalan yang lebih aktual dan relevan untuk dianalisis, yakni dengan meneliti dimensi estetis dalam seni pertunjukan teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet. 3 Penelitian tentang seni pertunjukan teater di Indonesia memang beragam dan tidak melulu berpaut dengan teater-teater yang selama ini dikenal di masyarakat seperti ketoprak, wayang, dan ludruk. Salah satu seni pertunjukan teater kontemporer yang terbilang baru adalah Papermoon Puppet. Teater yang mencoba untuk meceritakan kembali sejarah Indonesia pada masa lalu. Penulis memilih seni pertunjukan teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet karena ceritanya yang autentik dengan mengangkat cerita tentang penjelajahan beberapa manusia yang melakukan perjalan di seluruh dunia, untuk menemukan kepulauan muda (Indonesia pada zaman dahulu) ketika pulau tersebut belum dijamah dan banyak dicari oleh para penjelajah dari mancanegara (Website Papermoon Puppet, Laki-Laki Laut. http://www.papermoonpuppet.com/2013/07/laki-laki-laut-men-of-sea.html diakses pada tanggal 2 Februari 2016). Keunikan dari seni pertunjukan ‘Laki-laki Laut’ juga dapat dijumpai dalam unsur pertunjukannya, dimana alur ceritanya yang bersifat humoris, karakter puppet, gerak puppet dan puppeteers, lighting atau pencahayaan, tata panggung, musik pengiring, dan penonton. Unsur-unsur tersebut dapat ditelusuri dari sudut pandang estetika yang menghasilkan keindahan. Menurut Langer, seni adalah perihal keterampilan, namun untuk suatu tujuan yang khusus: yang menciptakan bentuk ekspresi secara visual, auditif, 4 atau dapat juga bentuknya dirasakan secara citrawi menyajikan sifat-sifat dasar perasaan insani (Langer, 2006: 122). Seni haruslah memiliki sesuatu yang dapat memberikan kesan terhadap penikmatnya, dengan kata lain seni memiliki nilainilai yang dapat diserap oleh indera manusia, entah itu bernilai baik atau buruk, menyenangkan atau tidak, bahkan indah atau jelek. Menurut Kattsof, karakter estetika berkaitan dengan penyelidikan mengenai yang indah, penyelidikan prinsip-prinsip yang mendasari dan pengalaman yang berkaitan dengan seni, masalah peciptaan seni, penilaian terhadap seni (Kattsof, 1992: 378). Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan suatu pemahaman yang menyeluruh mengenai aspek estetis dalam seni pertunjukan teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet, oleh karena itu penulis mengajukan penelitian teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet secara estetis dengan menggunakan pendekatan filosofis. Keindahan adalah suatu hal yang dapat memberikan pemahaman terhadap karya seni. Kant dalam teori selera (theory of taste) misalnya, Kant percaya bahwa tujuan seni adalah keindahan, kelihatannya Kant menyimpulkan bahwa organisme, yang mana adalah buatan Tuhan haruslah indah, karena jika setiap orang ingin meraih tujuan dari seni, Tuhan pun mampu melakukannya (Dickie, 1997: 21). Seni memang hadir dari hasil kreasi manusia, oleh karena itu, hadirnya seni menjadi arti bahwa manusia membutuhkan nilai estetis untuk mendapatkan harmoni. 5 2. Rumusan Masalah a. Bagaimana seni pertunjukan teater ‘Laki-laki laut’ oleh Pappermoon Puppet dipentaskan? b. Apa makna estetis dalam pertunjukan teater ‘Laki-laki laut’ oleh Papermoon Puppet? c. Apa pesan yang terkandung dalam pertunjukan teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet? 3. Keaslian Penelitian Tulisan ini objek materialnya adalah teater ‘Laki-laki Laut’ sedangkan objek formalnya adalah estetika. Sejauh ini penulis belum menemukan ada yang secara khusus meneliti mengenai teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet yang ditinjau dari estetika. Penulis menemukan beberapa penelitian yang memiliki kesamaan dalam objek material yang dikaji, namun belum ada judul yang sama persis dengan penelitian yang dibuat. a. Menjelajah Bersama Boneka (Studi Kasus Interaksi Pemain Boneka dan Penonton dalam Pertunjukan Men Of The Sea : Finding Lunang Karya Papermoon Puppet Theatre) skripsi di Fakultas Ilmu Budaya UGM oleh Tika Savitri tahun 2014. Skripsi ini menggunakan objek material yang sama dengan yang digunakan oleh penulis, yakni seni pertunjukan Papermoon Puppet ‘Laki-laki Laut’, namun, skripsi ini menggunakan objek formal yang berbeda yakni teori komunikasi. 6 b. Menolak Lupa, Terus Tercerita (Studi tentang proses penceritaan kembali mengenai sejarah tragedy 1965 dalam versi berbeda melalui pertunjukan teater boneka), skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik oleh Suryo Hapsoro tahun 2014. Skripsi ini menggunakan objek material yang sama yakni, Papermoon Puppet, namun menggunakan objek formal yang berbeda, yaitu sejarah. 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat bagi : a. Bagi Pribadi Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pemahaman penulis mengenai seni pertunjukan teater secara filosofis. b. Ilmu pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana mengenai literatur kebudayaan, terutama seni pertunjukan. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya. c. Ilmu filsafat Penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran estetika, khususnya dalam pertunjukan ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet. d. Bangsa dan Negara Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih bagi masyarakat dalam membaca karya seni secara estetis. 7 B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan persoalan dalam rumusan masalah yaitu : 1. Mendeskripsikan tentang teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet dipentaskan. 2. Mengeksplorasi makna estetis yang terkandung dalam teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet. 3. Menemukan pesan yang terkandung dalam pertunjukan teater ‘Laki-Laki Laut’ oleh Papermoon Puppet. C. TINJAUAN PUSTAKA Teater berasal dari kata Yunani, ‘theatron’ (bahasa Inggris, Seeing Place) yang artinya tempat atau gedung pertunjukan. Teater dalam perkembangannya diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak, oleh karena itu, dalam rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, seperti halnya ketoprak, ludruk, dan wayang. Teater juga dapat dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas naluriah, seperti misalnya, anakanak bermain sebagai ayah dan ibu, bermain perang-perangan, dan lain sebagainya. Selain itu, teater merupakan manifestasi pembentukan strata sosial kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual. Upacara adat maupun upacara kenegaraan, keduanya sama-sama memiliki unsur-unsur teatrikal dan 8 bermakna filosofis. Berdasarkan paparan di atas, kemungkinan perluasan definisi teater itu bisa terjadi. Tetapi batasan tentang teater dapat dilihat dari sudut pandang sebagai berikut: “tidak ada teater tanpa aktor, baik berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap di layar maupun pertunjukan langsung yang dihadiri penonton, serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif”, (Harymawan,:1993). Teater mempunyai arti yang luas, cakupan dari segala sesuatu yang dipertunjukan dan ditonton orang. Berbagai tanggapan dan ungkapan yang bermacam-macam tentang teater, yang menarik selalu menyebut adanya 3 elemen pokok jika bicara tentang teater, ketiganya saling berkaitan dan tak terpisahkan. Brockett, dalam bukunya The Essential Theatre, menyebutkan elemen pokok dalam teater, yaitu: 1. Apa yang dipertunjukan (lakon, skrip, atau rencana ) 2. Pertunjukannya ( termasuk proses kreasi dan penyajiannya) 3. Penonton Diperkuat oleh rumusan Eric Bentley, yang mengatakan bahwa berbagai macam argumen tentang teater dapat dikurangi dan dipersingkat menjadi: A mempertunjukan B untuk C ( Brocket, 1988: 5) Pertunjukan teater di Indonesia pada umumnya dilaksanakan dalam rangka memenuhi keperluan masyarakatnya yang berkaitan dengan keperluan 9 upacara, hajatan, ataupun keperluan lainnya. Teater biasanya dimainkan oleh manusia sebagai tokoh utamanya, namun ada juga yang menggunakan piranti berupa benda seperti kayu atau kulit pada teater boneka atau wayang. Benda tersebut digunakan hanya sebatas alat peraga yang digerakan oleh manusia. Di Indonesia dan kawasan Asia pada umumnya, terdapat dua bentuk teater yang dilihat dari wujudnya, yakni: 1. Teater yang dimainkan oleh orang, dan 2. Teater boneka, yang umumnya terbuat dari kayu (bentuknya 3 dimensional) (https://etno06.wordpress.com/2010/01/10/mengenal-teater-tradisional-diindonesia/ diakses pada 9 September 2016). Menurut Arifin C. Noer, mengajukan konsep tentang teater tanpa batas. Teater tanpa batas ini berkembang dari teater rakyat yang tidak mengandalkan formalitas, menghargai kebebasan realitas, tetapi tetap terikat pada ide. Hal yang paling penting dalam teater adalah bahwa teater itu mesti hidup, artinya naskah hadir dan beradaptasi dengan lingkungan dan keadaan sekarang yang konkret. Menurut Peter Broke, teater hendaknya selalu menemukan relevansinya supaya tontonan tidak dingin dan tidak ada jarak antara pemain dan penonton (Sutrisno, 1993: 106). Jadi, karya seni yang berbentuk seni pertunjukan, unsur penonton secara tidak langsung merupakan bagian dari proses diciptakannya karya seni tersebut. Seni pertunjukan belum merupakan hasil karya yang utuh sebelum disaksikan oleh penonton. 10 Hasil penelitian Tika Savitri yang berjudul ‘Menjelajah Bersama Boneka (Studi Kasus Interaksi Pemain Boneka dan Penonton dalam Pertunjukan Men Of The Sea : Finding Lunang Karya Papermoon Puppet Theatre)’, teater ‘Laki-laki Laut’ diterangkan dari segi teori komunikasi. Kemudian dari hasil penelitiannya dijelaskan bahwa ada suatu pola komunikasi antara pemain boneka dan penontonnya, terdapat elemen-elemen yang terkandung dalam pertunjukan teater sehingga ada pesan yang dapat ditangkap oleh penonton, proses produksi teater yang ‘hidup’ sehingga penonton dapat menangkap pesan yang disampaikan (Savitri, 2014: 8). Teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet adalah suatu pengulangan cerita pada masa lalu ketika para pelaut mancanegara mencari pulau yang kaya akan sumber daya alam. Latar cerita yang diangkat walaupun cerita masa lalu tetapi dalam menyajikannya kepada penonton dapat dikatakan baru dan lebih modern jika dibanding dengan teater tradisional. Teater ‘Lakilaki Laut’ oleh Papermoon Puppet tanpa dialog atau narasi, tetapi penonton dapat mengerti dan seolah masuk ke dalam cerita melalui suasana yang disajikan dengan gerak boneka, lighting, dan musik. Pada pertunjukan ‘Laki-laki Laut’ negara Indonesia itu sendiri digambarkan melalui sosok boneka bernama Lunang. Nama Lunang sendiri memiliki arti Ombak. Di mana dalam cerita tersebut digambarkan Lunang lahir dari bumi dan tokoh Lunang ini adalah sosok anak kecil, lucu, usil dan yang 11 selalu membawa kantong yang berisi ‘keajaiban’ di dalamnya ke manapun Lunang pergi. Kantong tersebut menggambarkan kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia. Seni pertunjukan merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan isi cerita selain dari fungsinya sebagai hiburan. Teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet merupakan suatu bentuk seni pertunjukan sebagai komunikasi. Tidak jarang seni pertunjukan di Asia Tenggara memang tidak menggunakan dialog atau narasi dalam menyajikan isinya, tetapi melalui kodekode dari musik, tari, dan elemen-elemen produksi visual, dan juga lewat kodekode bahasa, pola-pola pembicaraan, dan struktur dramatik (Brandon, 2003: 415). Puppet theatre, like modern ‘physical’ theatre, is generally seen to take its main thrust form image, gesture and design rather than from the word. It is primarily a spectacle, with its roots in an oral tradition in which text is seen as secondary, often improvised and spontaneous, worked up by the puppeteer from scenario, a storyboard or a series of random episodes, in the spirit of the anarchic and the carnivalesque (Baraister, 1999:2). Baraister menjelaskan bahwa teater boneka seperti halnya teater ‘fisik’ modern, umumnya dipandang untuk mengambil dorongan utama dari gambar, gesture, dan desain ketimbang dari kata. Hal ini menunjukan bahwa pementasan teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet yang menyampaikan pesan tidak melalui kata, akan tetapi melalui gesture, gambaran, yang pertunjukan. dan sebagainya direpresentasikan dengan unsur-unsur 12 D. LANDASAN TEORI Estetika berasal dari bahasa Yunani ‘aisthetika’ yang berarti hal-hal yang dapat diserap oleh panca indera, oleh karena itu, estetika sering diartikan sebagai persepsi indera (sense of perception) (Dharsono, 2004: 5). Permasalahan mengenai estetika dalam sejarah pemikiran berasal dari dua masalah pokok, yakni teori tentang keindahan yang mempertanyakan apa itu indah dan teori seni yang mempertanyakan apa seni itu. Plato adalah filsuf pertama yang mendiskusikan hal tersebut (Dickie, 1997: 3). Keindahan merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia sejauh mereka hidup di dunia. Dalam arti yang luas memiliki gagasan tentang kebaikan dan telah diwariskan oleh bangsa Yunani dahulu. Plato misalnya, menyebut tentang watak yang indah dan hukum yang indah. Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang baik dan menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Bangsa Yunani juga mengenal kata keindahan dalam arti estetis yang disebutnya sebagai ‘symmetria’ untuk keindahan visual, dan harmoni untuk keindahan berdasarkan pendengaran (Dharsono, 2004: 9). Ada perbedaan yang signifikan antara abad ke-18 dan sesudahnya mengenai perdebatan tentang estetika. Di mana antara abad ke-18 dan sebelumnya para filsuf hanya memperdebatkan hakikat keindahan, dan setelah abad ke-18 para filsuf mulai ramai memperbincangkan mengenai keindahan 13 yang luhur. Kant, Shaftesbury, Hutcheson, Burke, Alison (sebelum abad ke-18) menyoroti teori selera (taste) sebagai pisau analisis ‘pengalaman keindahan’. Maka dikaitkanlah rasa indah, halus, luhur, dengan seni. Kata kunci mereka adalah disinterestesness dalam estetika. Setelah abad ke-18, kata indah disamakan dengan ‘mempunyai nilai estetis’ yang lazim dipakai untuk mengaitkan seni dengan alam. Soal keindahan lalu kemudian dibahas dalam dua teori, yakni teori mengenai estetika dan teori mengenai seni (Sutrisno, 2006: 51). Francis Hutcheson menyatakan bahwa ide-ide keindahan dan harmoni, seperti ide-ide yang masuk akal lainnya, yang tentu menyenangkan untuk manusia. Anggapan kita terhadap keindahan hanya muncul sebagai rasa apabila ia terbedakan dari bentuk kognitif atau keinginan yang membuat muncul rasa keindahan sebagai hasrat untuk keindahan adalah kehendak manusia untuk melakukan itu (Sutrisno, 2010: 86-88). Artinya dalam menikmati suatu keindahan dari karya seni seseorang harus memiliki hasrat terlebih dahulu untuk menilai suatu karya. Francis Hutcheson juga membagi tiga macam wajah keindahan dalam ekspresinya, yakni; pertama, adanya uniformitas diantara keragaman dalam apa yang dipersepsi yang akan menjadi sumber keindahan asli; kedua, kesatuan dalam keragaman isi konseptual yang akan menjadi sumber teori-teori keindahan; ketiga, adanya keindahan relatif atau komparatif, yang dialami, 14 ditemukan dalam sebuah objek yang sering dikatakan sebagai imitasi dari yang orisinal dan kenikmatan akan keindahan juga dialami dari kesesuaian. Hutcheson menyatakan bahwa rasa keindahan tidak terikat ke salah satu lima indra manusia ketika menghasratinya tapi menekankan adanya sense, rasa perasa yang menghasratinya untuk mau mengalami yang indah itu adalah locus, tempat pengalaman berlangsung (Sutrisno, 2010: 89). Clive Bell dalam George Dickie (1997: 54) menekankan bahwa komponen dasar dari teorinya yang disebut sebagai ‘emosi estetis’ dan ‘bentuk signifikan’. Clive Bell menyatakan bahwa titik awal dari semua sistem estetika haruslah pengalaman pribadi dari emosi yang khusus. Objek yang memprovokasi emosi ini disebut sebagai karya seni. Semua orang yang peka setuju bahwa ada emosi yang khusus dipicu oleh karya seni emosi ini disebut sebagai emosi estetika. Ia juga menekankan ‘bentuk signifikan dengan argumen sebagai berikut, ‘jika dapat menemukan kualitas umum dan khusus dari semua benda yang memprovokasi (emosi estetis), maka yang akan dipecahkan adalah apa yang diambil untuk menjadi masalah utama dalam estetika, kemudian akan ditemukan kualitas esensial dari karya seni. Tidak semua karya seni rupa memiliki beberapa kualitas umum, atau ketika berbicara tentang ‘karya seni’ seolah membual tak bermakna apa-apa. Oleh karena itu, suatu karya seni dalam pengamatannya tidak dapat diartikan sebagai sesuatu yang bernilai indah 15 melalui dengan penyajiannya yang kompleks (komposisi), tetapi juga dari persepsi yang ditangkap oleh para penikmatnya. Menurut Djelantik, terdapat tiga prinsip estetika, yakni : (1) Keutuhan atau kebersatuan (unity) prinsip ini dimaksudkan bahwa karya yang indah menunjukkan dalam keseluruhannya sesuatu yang utuh, artinya tidak ada yang kurang dan tidak ada yang berlebihan. Atau dengan kata lain ada hubungan yang relevan antara bagian-bagian, tanpa adanya bagian yang sekali tidak berguna atau tidak ada hubungannya dengan yang lain dan juga tidak memberi kesan merusak kesatuan, (2) Penonjolan (dominance) memiliki maksud untuk mengarahkan perhatian subjek yang menikmati karya seni ke suatu hal yang menonjol, yang dipandang lebih penting daripada hal-hal yang lain dalam karya seni tersebut, (3) Keseimbangan merupakan kebutuhan alamiah manusia sehingga dalam menciptakan karya seni. Sejak mulainya kebudayaan manusia hingga saat ini, dimana termasuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, keseimbangan merupakan syarat estetik yang mendasar dalam semua karya seni (Djelantik, 1990: 39-42). Oleh karena itu, penulis akan menggunakan tiga prinsip ini dalam menganilis unsur-unsur estetis dalam pertunjukan sehingga akan didapat makna estetis yang terkandung dalam pertunjukan ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet. Istilah seni pertunjukan diadopsi dari bahasa Inggris yakni, performance art yang berarti sebagai seni yang dipertunjukan kepada penonton 16 baik itu seni teater, musik, dan tari. Menurut Umar Khayam, seni pertunjukan Indonesia memiliki ciri yang istimewa. Merupakan sosok seni pertunjukan yang sangat lentur dan ‘cair’ sifatnya. Disebut demikian karena lingkungan masyarakatnya yang terus berubah-ubah (Khayam, 2000: 21). Kondisi masyarakat selalu ditentukan oleh latar belakang sosio-politiknya, dengan demikian, hal tersebut juga berdampak pada perkembangan seni pertunjukan, khususnya teater. E. METODE PENELITIAN 1. Bahan Penelitian Objek material dari penelitian ini adalah teater berjudul ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet, maka teater tersebut menjadi sumber primernya. Selanjutnya objek material itu akan dikaji dengan studi pustaka menggunakan berbagai sumber pustaka yang terdiri dari : a. Pustaka primer: 1. Buku Marion Baraister tahun 1999 berjudul Theatre of Animation: Contemporary Adult Puppet Plays on Context. Singapore: Overseas Publisers Assocoation. 2. Buku James Barandon tahun 2003 berjudul Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara. Bandung. F4st UPI 17 Data primer non pustaka yang terkait dengan pertunjukan teater ‘Lakilaki Laut’ oleh Papermoon Puppet berupa; 1) DVD yang berjudul ‘Laki-laki Laut’ (Men of the sea) oleh Papermoon Puppet. 2) Foto pertunjukan teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet 3) Transkripsi wawancara langsung dengan Beni Sanjaya selaku Puppeteers & setting builder 4) Website National Geographic http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/07/artjog13peristiwa-menikmati-kreasi-perupa-kontemporer-dunia (diakses pada tanggal 19/02/2016 pukul 14:47 W.I.B) 5) Website Kedaulatan Rakyat Jogja http://krjogja.com/read/180330/pencarian-tentang-maritim.kr (diakses pada tanggal 19/02/2016 pukul 14:49 W.I.B) 6) Website Papermoon Puppet theatre (papermoonpuppet.com), dan segala hal yang yang terakait dengan pertunjukan teater tersebut. b. Pustaka sekunder 1. Buku George Dickie tahun 1997 berjudul Introduction to Aesthetics an Analytic Approach. New York. Oxford University Press. 18 2. Buku Darsono Kartika tahun 2004 berjudul Pengantar Estetika. Bandung. Rekayasa Sains 3. Buku Mudji Sutrisno tahun 1993 berjudul Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta. Kanisius. 4. Buku Mudji Sutrisno tahun 2006 berjudul Oase Estetis. Yogyakarta. Kanisius 5. Buku Mudji Sutrisno tahun 2010 berjudul Ranah-ranah Estetika. Yogyakarta. Kanisius 2. Jalannya penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan dengan berbagai langkah sebagai berikut: a. Reduksi data: proses pengumpulan data yang berkaitan dengan uraian verbal yang dapat ditangkap maknanya. b. Klasifikasi data: mengelompokkan data-data berdasarkan ciri khas masing- masing berdasarkan objek formal penelitian. c. Display data: mengorganisasikan data-data dalam suatu peta yang sesuai dengan objek formal dan tujuan penelitian. d. Memberikan penafsiran serta interpretasi dan mengambil keputusan: mengungkap makna yang terkandung dalam bahasa atau suatu benda budaya lainnya. Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian historis faktual. 19 3. Analisis Hasil Penelitian ini menggunakan unsur-unsur metodis yang mengacu pada buku yang ditulis oleh Kaelan yang berjudul Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (2005: 54-95) serta buku Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair yang berjudul Metodologi Penelitian Filsafat (1990: 41-45): a. Deskripsi Penulis mendeskripsikan teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet. Selain itu penulis juga akan mendeskripsikan tentang pengertian estetika. b. Verstehen Penulis berusaha untuk menemukan makna yang terkandung dalam seni pertunjukan ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet. c. Interpretasi Penulis berusaha menafsirkan nilai estetis yang terkandung dalam seni pertunjukan ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet. d. Hermeneutika Mencari dan menemukan makna estetis yang terkandung dalam pertunjukan teater ‘Laki-laki Laut’, melalui pemahaman dan interpretasi. e. Refleksi Membangun konsepsi mengenai estetika dan hubungannya dengan seni pertunjukan ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet. 20 f. Induksi Membentuk suatu ‘konstruksi teoretis’ melalui suatu intuisi berdasarkan struktur logika. F. HASIL YANG AKAN DICAPAI 1. Memperoleh deskripsi yang komprehensif tentang teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet. 2. Memperoleh gambaran yang sistematis tentang konsep estetika yang terkandung dalam teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet. 3. Memahami pesan yang terkandung dalam ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet. G. SISTEMATIKA PENULISAN Hasil penelitian ini akan dilaporkan dalam lima bab sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Berupa pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, hasil yang dicapai, dan sistematika penulisan. 21 BAB II ESTETIKA Deskripsi mengenai pengertian estetika: Pengertian Estetika, Problem Pembahasan Estetika, dan Aliran dalam Estetika. BAB III SENI PERTUNJUKAN PAPERMOON PUPPET ‘LAKI-LAKI LAUT’ Berupa pemaparan mengenai Pengertian Seni, Seni Pertunjukan, Sejarah Seni Pertunjukan di Indonesia, Elemen-elemen dalam Seni Pertunjukan, dan Bentuk pertunjukan teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet. BAB IV ANALISIS ESTETIS DAN PESAN YANG TERKANDUNG DALAM PERTUNJUKAN ‘LAKI-LAKI LAUT’ Berupa pemaparan unsur estetis dan pesan yang terkandung dalam pertunjukan teater ‘Laki-laki Laut’ oleh Papermoon Puppet. BAB V PENUTUP Kesimpulan dan Saran.