Pentingnya Bank Petani Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI* Pemerintah sedianya akan segera membentuk Bank Infrastruktur (Infrastructure Bank) serta Bank Tanah (Land Bank). Wacana pembentukan Bank Infrastruktur bahkan sudah dimulai dengan inisiasi awal penggabungan Pusat Investasi Pemerintah (PIP), salah satu Badan Layanan Umum (BLU) milik pemerintah yang selama ini dikenal sering memberikan dukungan pembangunan infrastruktur di daerah, bersama dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Dengan pembentukan Bank Infrastruktur ini, ke depannya pemerintah berharap dapat mengakselerasi target pembangunan infrastruktur bukan hanya di level pusat melainkan juga di daerah, mengingat selama ini persoalan ketiadaan dukungan pendanaan selalu dijadikan persoalan utama. Untuk tahap awal, rencananya pemerintah akan menyuntikkan modal sebesar Rp18,4 triliun yang didapat dari PIP yang mana akan diberhentikan operasionalnya. Jika ditambahkan dengan modal PT SMI sendiri, maka total modal Bank Infrastruktur akan mencapai Rp25 triliun-Rp26 triliun. Modal awal tersebut memang masih jauh dari kebutuhan pembangunan infrastruktur yang memadai. Namun, kemampuan tersebut diharapkan mampu mengurangi gap financing yang selama ini muncul dari skema pembiayaan infrastruktur yang tidak pernah klop dengan mekanisme perbankan konvensional. Mekanisme pembiayaan perbankan konvensional biasanya dititikberatkan kepada periodisasi jangka pendek, sementara infrastruktur mayoritas merupakan investasi jangka panjang. Hal yang sama juga terjadi untuk rencana pembentukan Bank Tanah. Pemerintah menganggap bahwa persoalan pembebasan lahan selama ini selalu menjadi kendala utama dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Jadi masih ada hubungan yang erat antara pembentukan Bank Infrastruktur dengan Bank Tanah. Jika dalam sebuah proses pembangunan infarstruktur nantinya Bank Infrastruktur akan fokus membantu masalah pendanaannya, maka Bank Tanah akan mendukung dari sisi pembebasan lahannya Terhadap ide dan wacana tersebut, sekiranya perlu mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya. Namun, penulis berharap bahwa pemerintah tidak hanya memikirkan Bank Infrastruktur serta Bank Tanah semata, karena faktanya ide pembentukan Bank Petani juga pernah bergulir sebelumnya serta dirasa sangat mendukung prioritas pemerintah dan Nawa Cita Presiden dalam hal kedaulatan pangan di Indonesia. Regulasi hukum pun sudah mewajibkan dalam Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3) yang telah disahkan beberapa periode sebelumnya. Pentingnya Bank Petani Dewasa ini, di mata pencari kerja, petani mungkin dianggap sebagai profesi yang paling tidak menarik. Dalam mimpinya pun, tidak terlintas sama sekali keinginan untuk menjadi petani. Bekerja di bank, pertambangan, industri atau bahkan menjadi politikus mungkin lebih menarik di mata mereka. Yang kebetulan memiliki orang tua petani pun kemudian merasa minder, malu jika ditanya jati dirinya. Tragisnya, fenomena ini tidak hanya menggejala di kota. Di desa pun, profesi petani semakin hari kian ditinggalkan. Akibatnya terjadi gelombang eksodus besar-besaran tenaga kerja dari desa menuju kota, dengan harapan memperbaiki tingkat penghidupannya. Sektor pertanian dianggap tidak mampu menjamin kesejahteraan. Petani juga identik dengan status miskin dan terbelakang. Fakta tersebut sungguh ironis, terlebih jika kita telusuri bagaimana sejarah bangsa ini dibangun pertama kalinya. Dikenal sebagai negara zamrud khatulistiwa, Indonesia memiliki sejarah panjang pembangunan sektor pertanian, khususnya di era Orde Baru. Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) di era Presiden Suharto, menjadi momentum bagaimana sektor pertanian menjadi soko guru perekonomian Indonesia. Cerita Indonesia meraih swasembada beras pada medio tahun 80-an disertai pidato Presiden Suharto di Food Agriculture Association (FAO), seakan menjadi warisan yang hingga kini belum dapat terulang kembali. Sejatinya, menurunnya pamor pertanian sebetulnya bukan hal yang mengejutkan. Kegamangan pemerintah, desakan industrialisasi serta ketiadaan master plan, menjadikan pertanian identik dengan ketidakberdayaan, khususnya dalam melakukan negosiasi harga hasil produksinya. Akibatnya posisi tawar petani menjadi lemah, sekaligus mempersulit usaha meningkatkan pendapatan petani. Secara umum, kondisi ini disebabkan kurangnya akses pasar, informasi pasar serta permodalan yang kurang memadai. Petani kesulitan menjual hasil panennya karena tidak punya jalur pemasaran sendiri, akibatnya petani menggunakan sistem tebang jual. Pemerintah sebetulnya memiliki peran krusial dalam memberdayakan nasib petani. Dengan kebijakan dan alokasi anggaran yang dimiliki, pemerintah mampu mengubah kesejahteraan para petani. Dari alokasi APBN, dukungan alokasi anggaran untuk sektor pertanian juga terus meningkat setiap tahunnya. Tahun 2006, subsidi pertanian dalam APBN masih berkisar Rp12,8 triliun atau 11,9% dari total belanja subsidi. Alokasi tersebut terus meningkat menjadi Rp43,5 triliun dalam APBN 2009 atau 31,5% total belanja subsidi. Alokasi tersebut terus bertahan dalam APBN 2011 dan 2012 meskipun persentasenya sedikit berkurang akibat kenaikan beban subsidi BBM. Sayangnya, dukungan anggaran yang telah dialokasikan dalam APBN, sepertinya belum mampu mengangkat wajah pertanian seperti yang diharapkan. Pertanian tetap menjadi sektor yang inferior, meskipun dari sumbangannya terhadap PDB tetap signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Data BPS dari tahun 2009 hingga 2012 mendukung argumentasi tersebut. Kontribusi sektor pertanian secara rata-rata setiap tahunnya masih berada di kisaran 14%-15%. Bahkan ketika diklasifikasikan dalam sektor pertanian secara sempit, kontribusinya secara rata-rata masih diatas 10% atau setara dengan kontribusi sektor pertambangan dan galian. Kontribusi tersebut hanya kalah dibandingkan sektor industri pengolahan, jasa perdagangan, perhotelan, hotel dan restoran. Mengingat pentingnya kontribusi sektor pertanian, selain komposisi penduduk yang masih dominan bergerak di sektor pertanian, kedepannya tentu dibutuhkan suatu terobosan baru dalam upaya mengangkat citra pertanian sekaligus menciptakan ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia. Dan momen tersebut diharapkan terwujud seiring disahkannya Rancangan Undang- undang (RUU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3). Ada banyak hal positif yang diharapkan mampu mendukung era pemberdayaan petani di masa depan. Salah satunya adalah kewajiban pemerintah terkait pembiayaan perlindungan dan pemberdayaan petani melalui pendirian bank bagi petani maupun lembaga pembiayaan petani. Pembentukan bank petani tersebut ditujukan bagi pelaksanaan kegiatan penyaluran kredit bagi petani dengan persyaratan sederhana dan prosedur cepat. Yang dimaksud dengan persyaratan sederhana adalah penjaminan agunan oleh pemerintah atau penyaluran kredit tanpa agunan. Ke depannya, selain melaksanakan penyaluran kredit, bank petani juga menyalurkan kredit bersubsidi dan/atau pembiayaan kepada petani melalui lembaga keuangan pertanian bukan bank dan/atau jejaring lembaga keuangan mikro agrobisnis. Ide dan wacana pendirian bank petani di Indoensia sebetulnya isu lama yang belum terealisasikan hingga kini. Berbagai peraturan dan regulasi yang ada di industri perbankan nasional, dianggap menjadi kendala utama. Padahal, lemahnya akses petani terhadap lembaga perbankan terbukti menjadi salah satu penyebab kemiskinan dalam sektor pertanian. Dilihat dari sisi best practise, beberapa negara di dunia terbukti sukses menjalankan mekanisme bank petani. Tiongkok dikenal sebagai negara pelopor bank petani sejak tahun 1979 melalui pembentukan Pertanian Bank of China (ABC). ABC ini pada awalnya dikhususkan untuk menangani semua bisnis perbankan lepas pantai di daerah perdesaan. Hal yang sama terjadi di Thailand dan Vietnam melalui fasilitas undang-undang yang memaksa bank-bank untuk menyediakan kredit yang murah kepada sektor pertanian. Di Jepang, Norinchukin Bank juga melakukan praktek yang sama, mampu berkembang dengan pesat hingga mendirikan banyak kantor cabang di lokasi dimana petani tinggal. Awal medio 80-an, peran bank petani sebetulnya diamanatkan kepada Bank Rakyat Indonesia (BRI). Melalui skema tabungan Simpanan Masyarakat Perdesaan (Simpedes), BRI berusaha memfokuskan aktivitasnya kepada masyarakat desa yang sebagian besar berprofesi sebagai petani. Adanya permasalahan yang terjadi dalam mekanisme penyaluran serta meningkatnya iklim persaingan, memaksa BRI merevitalisasi skema pembiayaannya. Mengingat besarnya manfaat yang akan diberikan, gagasan mendirikan bank petani seyogyanya wajib untuk segera diimplementasikan. Dalam tahap awal, demi menciptakan efisiensi operasional, bank pelaksana yang nantinya ditunjuk menjadi bank petani, dapat diwujudkan dalam bentuk bank umum yang memberikan kemudahan pengembangan kredit pertanian. Dukungan pemerintah juga wajib diberikan baik dalam bentuk alokasi anggaran dalam APBN maupun bentuk dukungan lainnya yang bersifat non-budgeting. *Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja