1 Transformasi dan Pergeseran Legitimasi Islam dari Timur Tengah

advertisement
OTORITAS BARU ISLAM
Transformasi dan Pergeseran Legitimasi Islam dari Timur Tengah ke Barat
di Indonesia Abad ke-20
MOEFLICH HASBULLAH
            
“Katakanlah: ‘Kepunyaan Allah-lah timur dan barat;
Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.’”
(QS Al-Baqarah: 142)
Sudah sekitar lima ratus tahun sejak abad ke-17, kiblat keilmuan dunia
Islam berada di pusat-pusat ekumene Timur Tengah terutama Makkah dan
Madinah sebagai pusat-pusat belajar, pencarian ilmu keislaman dan legitimasi
keulamaan.1 Para pelajar dari berbagai penjuru negeri datang mengembara untuk
menuntut ilmu ke dua kota suci itu, belajar kepada para ulama terkenal tentang
berbagai ilmu keislaman seperti ’ulūm Al-Qur’ān, tafsīr, hadīs, fiqh, kalām,
falsafah dan tashawūf. Diantara mereka adalah para ulama Jawi yang dikenal
sebagai ashāb al-jāwiyyīn, sebutan orang Arab untuk komunitas ulama yang
datang dari Nusantara atau bilād al-jāwa (negeri Jawa) yang mencakup kawasan
Asia Tenggara pada abad ke-17 sampai abad ke-19.2 Sebutan al-Jāwi sama
dengan sebutan pada orang Cina, al-Sīn dan pada orang India, al-Hīnd.3
1
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama. Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VXII
dan XVIII. Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan,
1994), 59. Martin van Bruinessen, Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik
Haji Ulumul Qur'an II, No. 5 (1990): 42-49. Karel Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah:
Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta: LP3ES, 1994), 18. Michael Fancis Laffan,
Islamic Nationhood and the Colonial Indonesia. The umma below the winds (London and New
York: RoutledgeCurzon, 2003). Selain Makkah dan Madinah masih ada tempat-tempat lain sebagai
pusat-pusat keilmuan yang tidak kalah pentingnya seperti Kairo, tetapi menurut Bruinessen, orangorang Asia Tenggara lebih mencarinya di tanah suci ini. Bruinessen, Mencari Ilmu, 43.
2
Sebagai kawasan Asia Tenggara, negeri-negeri Jawi itu adalah wilayah Indonesia,
Malaysia, Thailand Selatan, Brunei, Filipina, Kamboja dan Myanmar. Lihat Iik A. Mansurnoor,
”Contemporary European Views of the Jawah: Brunei and the Malays in the Nineteenth and
Twentieth Centuries,” Journal of Islamic Studies 9, no. 2 (1998): 178-209.
3
Dalam bentuk lain, Jawī paralel dengan Sinī dan Hindī. Laffan, Islamic Nationhood, 13.
Ketika Marco Polo mengunjungi Asia Tenggara pada 1291, dia juga menyebut Sumatra dengan
‘Java Minora,’ Lihat George Coedès, The Indianized States of Southeast Asia (Canberra:
Australian National University Press, 1975), 203.
1
Komunitas-komunitas dari berbagai negeri itu belajar kepada banyak guru dan
ulama yang diselenggarakan di madrasah-madrasah awal berbentuk halaqah,
majlis al-tadris, kuttab dan ribath yang semuanya menjadi cikal bakal
pertumbuhan madrasah di dunia Islam dengan kekhasannya masing-masing.4
Ulama Haramayn (Makkah dan Madinah) yang paling masyhur pada
abad ke-17 sebagai guru para ulama Nusantara adalah Syeikh Ibrāhīm Al-Kūrānī
(1614-1690) yang bukan hanya mengajarkan Islam tapi juga menanamkan faham
reformisme di kalangan murid-muridnya.5 Begitu harumnya nama Ibrāhīm alKūrānī, menurut Bruinessen, kemungkinan ia juga adalah guru para pembaharu
terkenal seperti Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhāb dari Arab Saudi, Syeikh
Waliyullāh dari India dan Muslim Cina Ma Mingxin yang telah belajar kepada
murid-murid Ibrāhīm.6 Murid Ibrāhīm yang terkenal dari Nusantara adalah Yūsuf
Al-Maqassārī yang setelah pulang menyebarkan tarekat Khalwatiyah dan
menjadi penasihat Raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa. ’Abd al-Ra’ūf al-Sinkilī
juga adalah muridnya yang menerjemahkan Tafsīr al-Jalālaȳn dan menyebarkan
tarekat Syattāriyah di Indonesia dan menjadi guru ’Abdul Muhyī Pamijahan
Tasikmalaya, Jawa Barat. Kemudian ’Abd Shamad al-Pālimbānī yang terkenal
pada abad ke-18 dan Ahmad Khātib Minangkabau atau Ahmad Khātib Sambas
pada abad ke-19 yang mukim di Arab Saudi dan menjadi Imam Masjid al-Haram.
Setelah belajar sekian lama di Makkah, menurut Akhria Nazwar (1983), Ahmad
Khātib menjadi guru dari banyak tokoh pembaru Islam di Nusantara awal abad
ke-20 terutama mereka yang berasal dari Sumatera Barat dan Jawa seperti Syeikh
Muhammad Jamil Jambek (1863–1947), KH. Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah, (1868–1923), Syeikh Taher Jalaluddin (1869–1956), Syeikh
Muhammad Thaib Umar (1874–1920), Haji Abdullah Ahmad (1878–1933), Haji
Abdul Karim Amrullah (1879–1945), Syeikh Daud Rasyidi (1880–1948), Haji
Latif Syakur (1881–1963), Syeikh Abbas Abdullah (1883–1957), Syeikh Ibrahim
Musa Parabek (1884–1953), Haji Agus Salim (1884–1954), dan KH. Hasyim
Asy’ari (1871–1947). Walaupun Nazwar tidak mengulas secara jelas bagaimana
proses berguru dan belajar para ulama ini kepada Ahmad Khātib, ia menyebutkan
bahwa para ulama ini pernah bertemu muka, menjadi murid-muridnya di Makkah
dan diperkenalkan dengan ide-ide pembaruan yang ketika itu sedang menjadi
diskursus di Timur Tengah sejalan dengan menyebarnya faham Pan-Islamisme
yang digagas oleh Jamaluddin al-Afghānī.7 Ulama lain adalah Khalil Bangkalan
yang setelah pulang ia mendirikan pesantren dan menjadi ulama besar abad ke-20
yang banyak muridnya. Ia menulis al-Silāf fi Bayān al-Nikāh, kitab tentang
4
Seperti dikutip Azra dari Al-Suyuthi, istilah “madrasah” baru digunakan agak luas sejak
abad ke-9 sedangkan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang memiliki ciri-ciri madrasah seperti
yang dikenal sekarang berasal dari Nisyapur, Iran, pada abad ke-11. Untuk perkembangan lembaga
madrasah di Haramayn dan Timur Tengah secara keseluruhan lihat Azra, Jaringan Ulama, 62-71.
5
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning,Pesantren dan Tarekat, Edisi Revisi (Yogyakarta:
Gading Publsihing, 2012), 9.
6
Pengaruh reformisme Ibrāhīm yang luas ini lihat John O. Voll, “Muhammad Haya AlSindi and Muhammad ibn Al-Wahhab: An Analysis of an Intellectual Group in Eighteenth Century
Madinah,” Bulletin of the School of Oriental and African Studies 38 (1975): 32 - 39.
7
Lihat Akhria Nazwar, Syeikh Ahmad Khatib. Ilmuwan Islam di Permulaan Abad Ini
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983).
2
pernikahan dalam Islam. Diantara murid-murid Khalil Bangkalan adalah Hasyim
Asy’ari (w. 1947), pendiri Pesantren Tebu Ireng di Jawa Timur, Manaf ’Abdul
Karim dari Pesantren Lirboyo, Kediri Jawa Timur, Muhammad Al-Munawwir
(w. 1942) dari Pesantren Krapyak, Jawa Tengah, Kyai Maksum (1870-1972) dari
Pesantren Rembang Jawa Tengah, ’Abdullah Mubarak dari Pesantren Suryalaya,
Tasikmalaya Jawa Barat, Wahab Hasbullah (1888-1971) dari Pesantren Tambak
Beras Jawa Timur dan Bisri Syansuri (1886-1980) dari Pesantren Rembang Jawa
Timur.8 Kepulangan para ulama dari Haramayn setelah menunai haji, menuntut
ilmu dan menjadi ulama di Nusantara kemudian menjadi katalisator (transmitter)
tiga hal penting: Pertama, hidupnya tradisi intelektual keagamaan antara pusatpusat keilmuan Islam di Timur Tengah dengan Nusantara. Kedua, menguatnya
gerakan perlawanan kepada kolonial Belanda karena selama di Haramayn
mereka juga membangun kesadaran bersama (collective consciousness) sentimen
anti-kolonial. Ketiga, menyebarnya faham reformisme Islam dan gerakan
pembaruan.
Pencarian ilmu oleh para murid Jawi itu dilakukan setelah mereka
menunaikan ibadah haji sebagai kewajiban rukun Islam yang kelima. Setelah
belajar cukup lama dan menguasai ilmu-ilmu keislaman mereka kemudian
menjadi ulama-ulama otoritatif, dihormati dan berpengaruh baik di Haramayn
maupun ketika kembali pulang ke Nusantara. Setelah tradisi mencari ilmu di
pusat Islam itu berlangsung berabad-abad, pada awal abad ke-20, Makkah dan
Madinah kemudian menjadi sangat ramai oleh orang-orang Islam Asia Tenggara.
Jumlah mereka cukup besar dan bahasa Melayu menjadi sangat populer.
Mengacu pada data Snouck Hurgronje, Bruinessen menyebutkan, ”sekurangkurangnya sejak tahun 1860, bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di
Makkah, setelah bahasa Arab.”9 Hal itu tidaklah terlalu mengherankan mengingat
bahasa Melayu memang sudah menjadi lingua franca bagi Nusantara sebagai
media pemersatu dan penyebaran Islam.10 Popularitas bahasa Melayu
menunjukkan jumlah haji dari Asia Tenggara yang sangat signifikan terutama
karena penggunaannya dalam interaksi sosial dan pencarian ilmu. Hubungan
belajar-mengajar antara guru-murid dan antara banyak ulama dari banyak negeri
itu kemudian membentuk suatu komunitas interaksi keilmuan yang disebut Azra
sebagai ”jaringan ulama” (the network of ulama).
Posisi penting kedua kota suci ini, khususnya dalam kaitan dengan ibadah haji,
mendorong sejumlah besar guru (’ulama’) dan penuntut ilmu dari berbagai
wilayah Dunia Muslim datang dan bermukim di sana, yang pada gilirannya
menciptakan semacam jaringan keilmuan yang menghasilkan wacana ilmiah
yang unik. Sebagian besar wilayah Dunia Muslim, membawa berbagai tradisi
keilmuan ke Makkah dan Madinah. Terdapat usaha-usaha sadar di antara ulama
dalam jaringan untuk membarui dan merevitalisasi ajaran-ajaran Islam. Tema
8
Lihat Abdul Rachman, Pesantren Architecs and their Socio-Religious Teachings 18501950 (Los Angelos: Ph.D Thesis University of California, 1997), 171-172; Zamakhsyari Dhofier,
Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982), 92.
9
Bruinessen, Mencari Ilmu, 1.
10
Laffan, Islamic Nationhood, 14.
3
pokok pembaruan mereka adalah rekonstruksi sosio-moral masyarakatmasyarakat Muslim. Karena hubungan-hubungan ekstensif dalam jaringan
ulama, semangat pembaruan tadi segera menemukan berbagai ekspresinya di
banyak bagian Dunia Muslim. Pengembangan gagasan pembaruan dan
transmisinya melalui jaringan ulama melibatkan proses-proses yang amat
kompleks. Terdapat saling silang hubungan di antara banyak ulama dalam
jaringan, sebagai hasil dari proses keilmuan mereka, khususnya dalam bidang
hadis dan tasawuf (thariqah).11
Dengan Asia Tenggara, jaringan itu terbentuk mulai abad ke-17 ketika
para ulama Nusantara semakin terlibat secara aktif dan intensif dalam
komunikasi, proses berguru dan belajar-mengajar dengan para ulama Timur
Tengah.12 Banyak ulama Nusantara pergi ke Makkah berkali-kali yang kebiasaan
itu berlanjut hingga akhir abad ke-20. Kedatangan pertamanya untuk menunaikan
ibadah haji, selebihnya digunakan untuk menuntut ilmu. Kunjungan ibadah dan
ilmiah itu kemudian semakin intensif pada abad ke-19 ketika dua hal penting
sangat berpengaruh yaitu dioperasikannya kapal uap dan dibukanya Terusan
Suez yang mempercepat perjalanan haji.13 Pendorong lain adalah para ulama
Nusantara sudah menemukan guru-guru tempat mereka belajar apakah untuk
meneruskan pelajaran yang belum selesai atau belajar kepada ulama-ulama lain
11
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 16.
Perlu dicatat, hubungan kaum Muslim di kawasan Nusantara dengan Timur Tengah
sendiri sudah terjalin jauh sebelum abad ke-17 melalui hubungan perdagangan dan islamisasi. Awal
kontak mereka secara individual terjadi sejak abad ke-7/8 berbarengan dengan proses permulaan
masuknya Islam dan kemudian lebih intensif secara institusional melalui hubungan ekonomi
perdagangan dan politik antara kerajaan-kerajaan Islam Nusantara dengan Timur Tengah dan
bangsa-bangsa lain. Dalam hubungan perdagangan, Malaka misalnya, terhubung dengan jalur-jalur
yang membentang ke barat hingga ke Siam, Pegu, India, Persia, Arabia, Syria, Afrika Timur dan
Laut Tengah. Sedangkan ke timur, terbentang ke Cina dan Jepang. Gujarat dan Malaka adalah dua
tempat transaksinya yang paling penting. Jaringan luas perniagaan ini, menurut Ricklefs, mungkin
merupakan sistem perdagangan terbesar di dunia saat itu. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), 30. Dunia perdagangan Nusantara itu
mengalami puncak kesibukannya pada abad ke-16/17 sebagai periode booming perdagangan perak
(silver boom) terjadi antara tahun 1570–1630 yang oleh Reid disebut sebagai ”the Age of
Commerce.” Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Volume Two:
Expansion and Crisis (New Haven and London: Yale University Press, 1993), 133. Dapat
dikatakan, saat itu hampir tidak ada satu pun kerajaan Nusantara yang berada di pelabuhanpelabuhan kota (city-ports) yang tidak terhubungkan dengan perdagangan internasional dimana
para saudagar Timur Tengah memainkan perannya yang signifikan. Agar perdagangan itu tetap
aktif dan terjaga, maka tidak mungkin bagi istana-istana di Nusantara tidak mengikatkan diri
mereka pada situasi perdagangan internasional saat itu. Pada abad-abad kemudian hubungan itu
tidak hanya ritual-peribadatan, keilmuan dan perdagangan tetapi juga politik terutama ketika
imperalisme dan kolonialisme Eropa mulai mencengkram dunia Islam. Pada abad ke-19,
Kesultanan Aceh menjalin aliansi dengan Turki Ustmani dimana Sultan meminta bantuan Turki
untuk menghadapi Portugis. Tentang hubungan Aceh-Turki Utsmani ini diantaranya lihat Anthony
Reid, "Sixteenth-Century Turkish Influence in Western Indonesia," Journal of Southeast Asian
History 10, no. 13 (December 1969), 395 – 414 dan Aqib Suminto, "Relation between the Ottoman
Empire and the Muslim Kingdoms of the Malay-Indonesian Archipelago," Der Islam 57 (1980),
301 -310.
13
Steenbrink, Pesantren, Madasarah, Sekolah, 23.
12
4
yang berbeda keahlian ilmunya. Steenbrink melukiskan pentingnya posisi
Makkah sebagai pusat keilmuan saat itu:
Untuk belajar agama yang lebih mendalam selama abad ke-19, Mekkah tetap
merupakan pusatnya. Dalam dasa warsa terakhir abad ke-19 tersebut kapal uap
sudah mulai dioperasikan, sehingga jarak ke Mekkah menjadi semakin pendek
dan berakibat makin pentingnya Mekkah sebagai pusat pengajaran agama.
Disamping sekolah yang agak sederhana yang dipimpin oleh ulama Indonesia
yang menetap di Mekkah, orang dapat belajar pada ulama yang bertaraf
internasional dalam pengajaran agama. 14
Peranan sentral Makkah dan Madinah bagi umat Muslim didukung oleh
posisinya sebagai kota suci dan asal kelahiran Islam. ”Setelah orang Jawa masuk
Islam,” kata Bruinessen, ”Makkahlah yang, tentu saja, sebagai pusat kosmis
dunia. Bukankah Makkah merupakan kiblat bagi seluruh umat Islam, bukankah
di sana turun wahyu kepada Nabi, bukankah tanah suci merupakan pusat
keilmuan Islam?”15 Dalam nada yang sama, Azra juga menjelaskan, “Makkah
dan Madinah, sering juga disebut Haramayn (‘dua haram’) menduduki posisi
sangat istimewa dalam Islam dan kehidupan kaum Muslim. Haramayn
merupakan tempat Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad. Makkah adalah
qiblah, ke arah mana para penganut Islam menghadapkan wajah dalam shalah,
dan dimana mereka melakukan ibadah haji. Dengan signifikansi keagamaan khas
seperti itu, tidak heran kalau banyak keutamaan (fadha’il) dilekatkan kepada
Makkah dan Madinah.”16 Tetapi bukan hanya asal kelahiran Islam dan pusat
ritual-peribadatan, yang lebih penting, Makkah dan Madinah serta kawasan
Timur Tengah lainnya juga adalah pusat persemaian, pemupukan dan
perkembangan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan ketika dunia belahan
Barat masih sebagai ”hutan belantara.” Sutan Takdir Alisjahbana (STA)
menggambarkan kemajuan Timur Tengah saat itu:
Yang sangat menarik dalam perkembangan kebudayaan Islam dari abad ketujuh
sampai abad ketigabelas adalah bagaimana kebudayaan dan agama yang berasal
pada bangsa Arab di gurun pasir yang miskin dan terpencil itu dengan pimpinan
Nabi Muhammad SAW dan khalifah-khalifah rasidun dan khalifah raja-raja
seolah-olah tahu sekali, bahwa yang pertama harus direbutnya dari kebudayaankebudayaan dunia dewasa itu adalah ilmu. Dalam sejarah perkembangan Islam
dan kebudayaannya dalam lima-enam abad itu sangatlah kentara kegairahan
14
Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, 18.
Bruinessen, Kitab Kuning, 4.
16
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 59. Banyak ayat Qur’an dan Hadis menjelaskan
keutamaan Makkah dan Madinah sebagai kota suci. Diantaranya, "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim
berkata: ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku
beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala" (QS 4:35). “Sesungguhnya kota ini,
Allah telah memuliakannya pada hari penciptaan langit dan bumi. Ia adalah kota suci dengan dasar
kemuliaan yang Allah tetapkan sampai hari Kiamat " (HR. Bukhāri, no. 3189; Muslim, 9/128, no.
3289). Tentang keutamaan shalat di Masjidil Haram: "Satu shalat di Masjid al-Haram, lebih utama
dibandingkan seratus ribu shalat di tempat lainnya" (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh
Syaikh al Albani), dst.
15
5
pembesar-pembesar dan ahli-ahlinya mengumpulkan bermacam-macam ilmu
dan pengetahuan dari negeri yang sejauh-jauhnya maupun dari zaman yang telah
lama silam, dari ilmu kimia sampai ilmu kedokteran, dari ilmu matematika
sampai ilmu astronomi, dari ilmu bercocok tanam sampai ke ilmu membuat
bermacam-macam benda seperti kertas. Islam sendiri mengadakan perjalanan
ke negeri-negeri yang jauh, Menuliskan pengalaman, pengetahuan, kebudayaan
dan tamasya yang ditemuinya untuk disampaikan kepada umat Islam. Ke segala
bagian dunia yang terkenal dewasa itu dikirimkan orang-orang untuk mencari
buku-buku dan tulisan-tulisan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Perguruan tinggi dan lembaga-lembaga pengetahuan dan pendidikan di pusatpusat agama dan kerajaan Islam seperti Baghdad, Cordova, Kairo dan lain-lain
menjadi pusat pemikiran, penelitian, penyebaran ilmu dan pengetahuan yang
terbesar, terlengkap dan termaju di zaman itu.17
Karenanya, tak mengherankan bila kondisi itu menempatkan kawasan
Timur Tengah sebagai sumber legitimasi keilmuan Islam dan otoritas keulamaan
yang berlangsung berabad-abad. Dunia pandang ini pun melekat dalam alam
pikiran masyarakat Muslim Nusantara. Mereka yang memperoleh ilmu di
Haramayn, mendapatkan penghormatan yang tinggi di masyarakat dari pada yang
memperolehnya di pusat-pusat keilmuan lain. Tak mengherankan, karena sebagai
pusat intelektual dunia Islam, para ulama, sufi, filosof, penyair, pengusaha dan
sejarawan Muslim banyak terdapat disitu, bertemu dan berinteraksi saling
bertukar pikiran yang menyebabkan pandangan keagamaan mereka yang belajar
di Haramayn lebih kosmopolit dibanding mereka yang belajar di kota-kota
Muslim lain.18 Singkatnya, wilayah Haramayn adalah center of excellent dalam
ilmu dan peradaban dunia saat itu.
Tetapi, denyut jantung intelektual dunia Islam tak hanya Haramayn.
Tempat lain yang juga memosisikan peranan signifikan sebagai pusat keilmuan
Islam adalah Kairo. Walaupun tak sepenting Makkah dan Madinah sehingga
sumber-sumber yang memberikan informasi aktivitas keilmuan di pusat ekumene
Mesir itu tak sebanyak di Haramyan, tetapi pengaruh Kairo bagi Nusantara cukup
penting karena turut berperan membentuk diskursus Islam di Hindia Belanda
pada abad ke-19.19 Selain itu, posisi penting Kairo hubungannya dengan
Nusantara menurut Hurgronje adalah sebagai pusat pengajaran madzhab
Syafi’i.20 Seperti halnya di Haramayn, di Kairo juga terdapat kampung Muslim
Asia Tenggara yang disebut riwāq al-Jāwī. Komunitas Jawi di Kairo ini
menjadikan al-Azhar sebagai pusat mencari ilmu para santri Nusantara. Menurut
17
Sutan Takdir Alisjahbana, “Sumbangan Islam Kepada Kebudayaan Dunia di Masa
Lampau dan Akan Datang,” dalam Sumbangan Islam kepada Sains dan Peradaban Dunia, editor
A.I. Sabra et.al (Bandung: Penerbit Nuansa, 2001), 4.
18
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 59. Lihat juga, S.I. Gellens, “The Search for
Knowledge in Medieval Muslim Societies: A Comparative Approach,” dalam Muslim Travellers:
Pilgrimage, Migration and the Religious Imagination, editor D.F. Eickelman dan J. Piscatori
(Berkeley: University of California Press, 1990), 58.
19
Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah
Indonesia (Bandung: Mizan, 2012), 119.
20
Lihat Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter Part of the 19h Century (Leiden: E.J.
Brill).
6
Abaza, pada tahun 1871 diketahui terdapat enam orang pelajar Asia Tenggara
yang menghuni riwāq. Diantaranya, seorang bernama Ismail Muhammad al-Jawi,
santri senior yang menjadi guru para pelajar Islam dari Hindia Belanda.21 AlAzhar mengalami kemajuan pesat sebagai pusat pembelajaran Islam terutama
pada abad ke-19 karena terobosan yang dilakukan oleh Ismail Pasha yang
membuat kebijakan membebaskan institusi pendidikan Islam dari kewajiban
membayar pajak kepada pemerintah yang kemudian membuat al-Azhar memiliki
banyak modal untuk membangun fasilitas pendidikannya. Sejak itu, al-Azhar
berkembang dan semakin dikenal di negeri-negeri Muslim sebagai pusat mencari
ilmu-ilmu keislaman selain Makkah dan Madinah. Para pelajar pun berdatangan
dari berbagai negeri dan jumlahnya terus meningkat yang kemudian mendorong
pertumbuhan banyaknya riwāq. Sejak adanya dukungan pemerintah bagi
kemajuan pendidikan di Mesir itu, jumlah riwāq bertambah terus hingga
mencapai 39 yang penghuninya adalah para pelajar internasional dari berbagai
negara dimana riwāq al-Jāwī adalah salah satunya.22 Penjelasan posisi Kairo
yang melengkapi pentingnya pengaruh Makkah dan Madinah bagi Islam
Nusantara ini memperkuat kesimpulan bahwa Timur Tengah adalah pusat
otoritas dan legitimasi keilmuan keislaman hingga awal abad ke-20.
Namun, sejak pertengahan abad ke-20, sebuah fenomena sangat menarik
sedang terjadi (history in the making) terutama kaitannya dengan Islam
Indonesia. Sejalan dengan perkembangan studi-studi Islam di dunia Barat yang
meningkat pesat dan banyaknya sarjana Muslim Indonesia yang belajar Islam ke
Eropa dan Amerika yang kemudian ketika pulang menjadi tokoh-tokoh
berpengaruh, pusat keilmuan dunia Islam pun perlahan tapi pasti mengalami
pergeseran. Di Indonesia, kepulangan beberapa sarjana Muslim dan kemunculan
mereka sebagai tokoh-tokoh Islam setelah belajar di Barat seperti Harun
Nasution, Deliar Noer, Nurcholish Madjid, M. Amien Rais, Ahmad Syafi’i
Ma’arif, Imaduddin Abdul Rahim, Kuntowijoyo, Jalaluddin Rakhmat hingga
Azyumardi Azra menunjukkan kuatnya fenomena pergeseran itu.23 Sejalan
21
Lihat Mona Abaza, Indonesian Students in Cairo: Islamic Education, perceptions and
exchanges (Paris: Cahier d’Archipel, 1994). Lihat juga, William R. Roff, “Indonesian and Malay
Students in Cairo in the 1920s,” Indonesia 9: 73-87.
22
Lihat Heyworth-Dunner, J., An Introduction to the History of Education in Modern
Egypt (London: Luzac & CO, 1939), 395-405; Bayard Dodge, Al-Azhar: A Millenium of Muslim
Learning (Washington: Middle East Institute, 1961).
23
Mereka yang setelah pulang kemudian mendapat sebutan cendekiawan Muslim ini
adalah generasi tahun 1970-an kesini yaitu generasi kedua dari gelombang sarjana-sarjana Muslim
yang belajar ke Barat pada awal ke-20. Menurut Dawam, fenomena cendekiawan Muslim
sebenarnya sudah mulai muncul tahun 1930-an. Kehadiran mereka ditandai oleh dua hal: “Pertama,
gelar kesarjanaan dari perguruan tinggi yang paling terkemuka di Indonesia dan negeri Belanda.
Dan kedua, penampilan mereka sebagai kelompok tersendiri dalam berbagai studieclub, terutama di
bawah Dr. Sutomo di Surabaya dan di bawah Ir. Soekaro di Bandung. Kelompok itu adalah mereka
yang menyadari kedudukan dan kelebihan mereka sebagai sarjana dan dengan kesadaran itu mereka
ingin menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi pergerakan rakyat.” Dawam Rahardjo,
Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim (Bandung:
Mizan, 1993), 15. Cendekiawan generasi tahun 1930-an ini umumnya masuk ke dalam dunia
politik menjadi aktifis pergerakan. Contoh par excellence-nya misalnya Soekarno dan Hatta. Ada
juga cendekiawan tipe profesional yang terjun ke masyarakat yang menjadi tokoh-tokoh LSM,
7
dengan gelombang kepulangan para sarjana Muslim produk Barat yang
kemudian disebut kaum cendekiawan dan intelektual Muslim ini, serta hegemoni
mereka dalam diskursus keislaman Indonesia modern, otoritas dan legitimasi
keilmuan Islam pun perlahan-lahan mengalami pergeseran kutub. Sejak tahun
1970-an, menjadi ahli Islam, khususnya Islam yang mampu menjawab tantangantantangan perubahan sosial dan problem-problem modernitas, tidak lagi harus
dari Timur Tengah atau bersandar pada ulama-ulama yang kutub legitimasi
keilmuannya berasal dari Makkah, Madinah dan Kairo. Dengan kata lain, otoritas
Timur Tengah sebagai pusat legitimasi keilmuan Islam secara perlahan
mengalami transformasi dan pergeseran yang cukup signifikan. Sejak itu, banyak
sarjana Islam Indonesia, termasuk yang berlatar belakang tradisi pesantren,
dalam melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi (master dan doktor),
secara umum lebih memilih studi ke Barat dari pada ke Timur Tengah. Bahkan,
melalui program berkelanjutan, Departemen Agama Republik Indonesia di
bawah kepemimpinan Menteri Munawir Sadzali, membuat program khusus
bernama Program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indonesia untuk
mengirimkan calon-calon tenaga pengajar IAIN dengan belajar Islam ke
perguruan-perguruan tinggi di Barat. Barat pun menjadi pusat baru keilmuan
keislaman yang menggeser posisi Timur Tengah sebagai sumber letigimasi dan
otoritas. Sebuah fenomena unik pun terjadi yaitu munculnya gelombang baru
sarjana Islam yang belajar dasar-dasar keislaman di pesantren-pesantren,
meneruskan kuliah ke perguruan-perguruan tinggi Islam terutama IAIN tetapi
kemudian melabuhkan studi lanjutan ke jenjang yang lebih tinggi mengambil
program master dan doktor ke perguruan-perguruan tinggi sekuler di pusat-pusat
keilmuan Barat.
Fenomena ini cukup mengagetkan dan menghentak kesadaran sebagian
kalangan Muslim Indonesia karena dianggap sebagai proses sekularisasi dan
westernisasi masyarakat Islam. Kekagetan budaya (cultural shock) ini paling
tidak menyangkut dua hal: Pertama, persepsi sebagian masyarakat Islam yang
menganggap bahwa Barat adalah musuh Islam. Luka historis yang panjang
melalui proyek orientalisme, Perang Salib dan sejarah kolonialisme serta
pengalaman-pengalaman pahit era modern seperti kebijakan-kebijakan negaranegara Barat atas dunia Islam, standar ganda Amerika Serikat soal demokrasi,
sikap Amerika Serikat yang lunak pada Israel atas pembantaian sipil Palestina,
fenomena Islamo-phobia, munculnya novel “Satanic Verses” yang
menggemparkan hingga memunculkan fatwa hukuman mati untuk Salman
Rushdie oleh Imam Khomeini, pembuatan film “Fitna” tahun 2008 oleh Geert
Wilders, penerbitan kartun-kartun pelecehan Nabi yang tak henti-hentinya,
rencana dan ancaman pembakaran ribuan Al-Qur’an oleh Pastor Terry Jones dan
Marvin Sapp Jr. di Florida Amerika Serikat dalam peringatan 9/11 hingga
tuduhan Islam sebagai agama teroris, semuanya mengendap menjadi memori
kolektif kesadaran umat tentang hubungan Islam-Barat dan membuat anggapan
misalnya Dr. Sutomo dan cendekiawan pemikir dan budayawan seperti Sutan Takdir Alisjahbana.
Lihat Rahardjo, Intelektual Inteligensia, 15-16.
8
“Barat adalah musuh Islam” bukanlah tanpa alasan.24 Kedua, stigma yang
menempel kuat bahwa Barat adalah sarang orientalisme yang lama bercitra
negatif di dunia Islam disebabkan usaha-usaha mereka untuk memalingkan Islam
dari pengertian yang sesungguhnya.25 Walaupun kekagetan ini cukup masuk akal
dan bisa dimengerti, tampaknya arus sejarah lebih kuat mengalahkan citra dan
persepsi-persepsi itu. Kehendak dan tren studi Islam ke Barat terus berjalan dan
jumlahnya terus bertambah yang difasilitasi oleh meningkatnya produksi sarjana
yang dihasilkan oleh perguruan-perguruan tinggi Islam dari tahun ke tahun.
Selain Program Pembibitan Calon Dosen oleh Departemen Agama, tawarantawaran beasiswa S2-S3 terus mengalir hingga kini dari lembaga-lembaga donor
Eropa, Amerika dan Australia yang menawarkan kenyamanan belajar di kampuskampus terkemuka di luar negeri bertaraf internasional, sistem dan kelengkapan
perpustakaan yang excellent dan tentu saja pengalaman hidup berkesan di negaranegara maju.
Mengapa transformasi dan pergeseran arus belajar ini terjadi?
Jawabannya karena keterlibatan para sarjana Muslim alumni Barat dalam
diskursus Islam Indonesia modern terutama sejak tahun 1970-an terlihat lebih
aktif dan lebih artikulatif ketimbang para lulusan Timur Tengah. Generasi sarjana
Muslim alumni Barat jauh lebih intensif dalam merespon tantangan-tantangan
zaman yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang cepat (rapid social changes)
dan mampu merumuskan jawaban-jawaban Islam yang lebih akademis,
sosiologis dan realistis. Praktik diskursif Islam dan modernitas di Indonesia lebih
hidup dan bergairah sejak kedatangan gelombang sarjana Muslim alumni Barat.
Mereka sangat produktif dalam melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif dan
inovatif dalam bingkai tradisi kesarjanaan yang bermutu. Menyambut itu,
Penerbit Mizan Pimpinan Haidar Bagir misalnya menerbitkan buku-buku serial
khusus yaitu ”Seri Cendekiawan dan Intelektual Muslim Indonesia” yang
merekam hampir keseluruhan pemikiran Islam intelektual Muslim Indonesia
modern. Selain itu, sejumlah terbitan Islam modern muncul seperti Harian
Republika, Majalah Ummat, Jurnal ’Ulumul Qur’an, Studia Islamika, Jurnal
24
Sebaliknya, anggapan bahwa Islam sebagai musuh juga merupakan pemahaman umum
yang luas di Barat. Diantara penulis Barat yang dikenal sering bernada miring atas Islam bahkan
menganggap Muslim sebagai musuh adalah Bernard Lewis. Dalam jumlah yang siginifikan, kata
Lewis, Muslim fundamentalis atau bukan, mereka adalah jahat dan berbahaya, ini bukan karena
Barat membutuhkan musuh tapi karena mereka memang begitu. Lihat Bernard Lewis, The Crisis of
Islam: Holy War and Unholly Terror (London: Phoenix, 2004), 24. Munculnya buku “Islamic
Threats” oleh Esposito (1995) dan “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”
(1996) oleh Huntington, walaupun kontroversial dan menuai banyak kritik, dilihat sebagai
anggapan Barat atas Islam sebagai musuh.
25
Lihat misalnya buku klasik yang mengulas masalah ini oleh Muhammad Qutb, Islam:
the Misunderstood Religion (IIFSO, 2006 [1977]). Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Pusatka Salman ITB tahun 1984 dan populer menjadi
bacaan kaum Muslim Indonesia. Walaupun dewasa ini orientalisme sudah jauh mengalami
perkembangan positif tetapi anggapan bahaya orientalisme belum sepenuhnya hilang dari
masyarakat.
9
Hikmah, Jurnal Islamika dan lain-lain.26 Selain melalui tulisan dan penerbitan,
kelompok ini pun rutin muncul sebagai narasumber bahkan menjadi para
”selebritas” forum-forum ilmiah yaitu diskusi-diksusi dan seminar keislaman
yang meriah dan gegap gempita sejak tahun 1980-an hingga kini.
Karenanya, ”angkatan baru ulama” atau ulama modern itu lebih banyak
diminati terutama oleh kalangan terpelajar, mahasiswa dan generasi muda Islam
Indonesia khususnya di wilayah-wilayah perkotaan dan dunia kampus sejak
tahun 1980-an. Pergeseran ini diakui oleh Penasehat Presiden Persatuan Pelajar
dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kairo tahun 2005-2006, Romli Syarkowi Zain:
Pada awal dekade 90-an, perbincangan tentang alumni Timur tengah (Timteng)
sempat mengemuka di publik intelektual Indonesia. Alumni Timteng disorot
karena pada beberapa dekade sebelumnya, mereka dianggap "merajai" diskursus
keislaman di tanah air. Tapi situasi mulai bergeser ketika pemerintah, dalam hal
ini Departemen Agama mulai melirik dunia Barat sebagai alternatif studi-studi
keislaman. Dekade 80-an, melalui Program Pembibitan Dosen IAIN/STAIN,
pemerintah mulai mengirim "rombongan-rombongan" sarjana untuk ngelmu
Islam di Barat, persis seperti yang dilakukan Muhammad Ali di Mesir ketika
mengirim para intelektual Mesir ke Perancis pada abad ke-19. Pada dekade 90an, "tindakan" pemerintah ini mulai membuahkan hasil. Para sarjana yang
belajar Islam di Barat mulai ramai-ramai mudik. Mereka, berbekal metodologi
kajian keislaman yang dikembangkan di Barat, mulai menunjukkan "taring"
dengan melontarkan tinjauan-tinjauan baru dalam kajian Islam di Indonesia. Isuisu yang diangkat utamanya berkaitan dengan bagaimana Islam, agama yang
dianut mayoritas rakyat Indonesia, mampu mendorong modernisasi yang
perlahan mulai deras menerabas ke jantung masyarakat. Pada poin ini, alumni
Barat memiliki kelebihan daripada alumni Timteng, karena mereka lebih fasih
mengartikulasikan isu-isu Islam dan modernitas dengan langgam dan idiomidiom modern pula. Dari sini, muncullah usaha-usaha untuk mulai membandingbandingkan antara sarjana lulusan Timteng dengan alumni Barat. Lalu tersiarlah
pandangan umum yang menyatakan; alumni Timteng, dibanding "saingannya,"
para alumni Barat, mulai "lumpuh," atau lebih tepatnya, absen dalam percaturan
diskursus Islam dan modernitas di Indonesia.27
Pengiriman para sarjana Islam untuk belajar di Barat sebagai penyebab
pergeseran, seperti disinggung Romli, sebenarnya bukanlah faktor utama.
Program itu hanyalah salah satu riak dari fenomena historis sosiologis yang lebih
besar yang oleh Fernand Braudell, perintis sejarah total, dilihat sebagai “under
social stream.” Program pengiriman itu sesungguhnya hanyalah konsekuensi
26
Tentang penerbitan Islam modern di Indonesia sebagai kontestasi ideologi, lihat Robert
W. Hefner, “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries Among Indonesian Muslims,”
Indonesia 64 (October 1997).
27
Romli Syarkowi Zain, “Alumni Timteng dan Akumulasi ‘Kemiskinan,’” tulisan dalam
Mailing-List IKBAL Al-Amin Korda Kairo, 24 Maret 2006. Tulisan ini merupakan eksplorasi Romli
atas pernyataan Direktur INSIST, Hamid Fahmy Zarkasyi, dalam wawancara dengan Terobosan,
21 Februari 2006 tentang kemunduran peranan alumni Timur Tengah. Tulisan Romli dimulai
dengan menangkap kegeraman Hamid Fahmy yang seakan menyatakan: "Alumni Timur Tengah itu
tidak analitis, tidak argumentatif, tidak bisa menulis secara akademis dan metodologis."
10
logis atau respon atas arus panjang sejarah yang sudah berproses beberapa abad
terutama interaksi antara dunia Islam dan Barat. Paling tidak, terdapat lima latar
global yang menyebabkan pusat legitimasi keilmuan Islam bergeser yang bagi
Indonesia kemudian menjadi alasan pengiriman para sarjana untuk belajar di
kawasan baru Islam itu.
Pertama, melimpahnya kepustakaan di Barat. Pada awalnya, fungsi
kajian-kajian keislaman di Eropa diselenggarakan untuk melegitimasikan
dominasi Eropa atas negeri-negeri Muslim. Studi-studi Islam di beberapa
universitas seperi Cambridge, Leiden, Sorbone dan Berlin, menurut Sardar,
didirikan untuk menghasilkan tenaga-tenaga ahli dan pegawai pemerintah yang
terlatih dalam administrasi kolonial dalam rangka mempersenjatai para
misionaris Kristen dengan penjelasan-penjelasan yang mendeskreditkan Islam.28
Tujuan kolonialisme ini berjalan melalui proyek yang disebut orientalisme. Tapi
kemudian, orientalisme pun mengalami pergeseran. Bila orientalisme klasik
penuh dengan nada kebencian dan permusuhan karena berkaitan erat dengan
kolonialisme, sejak abad ke-19 wajah orientalisme mulai mengalami perubahan.
Para orientalis modern mempelajari Timur tidak lagi sepenuhnya dimotivasikan
oleh sikap antipati dan permusuhan melainkan oleh adanya upaya untuk saling
memahami (mutual understanding) antara Islam dan Kristen serta usaha-usaha
untuk memperbaiki hubungan dan kontak-kontak mereka sebelumnya.29
Montgomery Watt menjelaskan, perubahan itu terjadi disebabkan empat
faktor yang melatabelakanginya.30 Pertama, perluasan kekuasaan politik dinasti
Turki Utsmani. Dari abad empat belas hingga delapan belas, Turki Utsmani terus
meluaskan pengaruh Islam hingga periode kemundurannya ketika orang-orang
Turki secara getir disebut sebagai “orang sakit dari Eropa” (the sickman of
Europe). Kemenangan-kemenangan Turki dalam banyak peperangan ini
28
Ziauddin Sardar, “The Future of Islamic Studies,” Islamic Culture 57 (1983), 197.
Gambaran-gambaran keliru dan pelecehan tentang Islam dalam pandangan dunia Barat seperti yang
disinggung Sardar itu menemukan bentuk definitifnya pada periode Perang Salib. Lebih dari itu,
antara tahun 1100 dan 1300, dunia Eropa melakukan standarisasi dalam memandang Islam. Lihat
Norman Daniel, Islam and the West, The Making of an Image (Oneworld Publications Ltd, Third
Edition, 1993), 267-301. Mispersepsi, antipati dan konflik terhadap Islam pun diciptakan dalam
tiga level: teologis, ekonomi-politik dan kultural (Lihat Azra, ”Memahami Konflik Barat-Islam
dalam Era Globalisasi,” pengantar untuk buku Karel Steenbrink, Kawan Dalam Pertikaian: Kaum
Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia 1596-1942 (Bandung: Mizan, 1995), xxv. Kemudian,
Watt secara jelas mengemukakan empat standarisasi yang dibuat Eropa dalam memandang Islam:
Pertama, Islam itu salah dan merupakan penyimpangan dari kebenaran. Kedua, Islam adalah
agama yang disebarkan dengan kekerasan dan pedang. Ketiga, Islam adalah agama yang merasa
benar sendiri (self-indulgence). Keempat, Muhammad adalah seorang anti Yesus. Lihat William
Montgomery Watt, Muslim-Christian Encounters, Perceptions and Misperceptions (London and
New York: Routledge, 1991), 85-86.
29
Tentang usaha-usaha perbaikan hubungan ini, lihat misalnya Mohammed Abdou
Yamami, ‘Islam and the West: The Need for Mutual Understanding,’ The American Journal of
Islamic Social Sciences (AJISS) 14, no.1 (Spring 1997); Seyyed Hossein Nasr, “Islam and the
West: Yesterday and Today,” AJISS, 13, no.4 (Winter 1996); Juga William Montgomery Watt,
Muslim-Christian Encounters, Perceptions and Misperceptions (London and New York:
Routledge, 1991); Norman Daniel, Islam and the West: The Making of an Image, (Oneworld
Publications Ltd, 1993) dan yang lainnya.
30
Watt, Muslim-Christian Encounters, 89-99.
11
meningkatkan minat dan perhatian baru masyarakat Eropa untuk mendalami
pemahaman mereka tentang Islam. Kedua, kolonialisme Eropa. Kolonialisme
dimulai sejak penemuan Vasco da Gama atas India Timur tahun 1498.
Kemudian, Portugis, Inggris, Perancis dan Belanda datang ke Hindia Timur atau
Asia Tenggara untuk melakukan perdagangan yang diikuti kolonialisasi agar
dapat mengangkut kekayaan dari negeri-negeri jajahan seperti rempah-rempah
dan barang-barang manufaktur lainnya ke Eropa dengan melewati wilayahwilayah, masyarakat dan bangsa-bangsa Islam. Ketiga, munculnya gerakan
intelektual baru di Eropa. Dengan renaisan, Eropa memasuki era baru yang
menjadi dasar-dasar ilmu pengetahuan modern. Tetapi, di sisi lain, renaisan juga
dipandang sebagai penemuan warisan Eropa dari masa kejayaan Yunani dan
Roma. Konsekuensinya, dalam upaya menemukan kejayaan masa lalunya itu,
orang-orang Eropa harus menjalin hubungan dan mengakses literatur atau tradisi
keilmuan Arab dimana mereka dulu belajar. Keempat, sebagai efek dari ilmu
pengetahuan modern dan dampak perkembangan teknologi. Empat faktor ini
mengarahkan konflik Islam Kristen pada suatu nuansa relasi baru. Karya-karya
Kristen mulai dinafasi semangat untuk mencari kebenaran infomasi tentang
Islam. Pendekatan yang lebih rasional ini berdampak pada berkurangnya sikap
emosional dan prasangka. Banyak karya-karya baru Eropa mulai menghargai dan
menghormati Nabi Muhammad dan Al-Qur'an.
Konsekuensi dari kecenderungan membaik ini, sebutan pun mengalami
perubahan. Bila sebelumnya digunakan istilah ”orientalis” (yang dirasakan sudah
out of date) kemudian berubah menjadi ”islamolog” dan berubah lagi menjadi
”Islamisis” (ahli Islam).31 Menguatnya tradisi studi Islam yang lebih netral dan
lebih akademik dengan pendekatan historis dan sosiologis, pada gilirannya
menumbuhsuburkan kajian-kajian keislaman yang lebih luas oleh para sarjana
Barat.32 Pada abad ke-20, orientalisme lebih berkembang lagi dengan munculnya
karya-karya yang, walaupun belum sepenuhnya berhasil, lebih ilmiah tentang
Islam. Dalam tradisi baru studi ini, teks-teks dan literatur Arab dan Islam klasik
memiliki tempatnya tersendiri. Dunia Barat menemukan sebuah belantara
khazanah ilmu pengetahuan yang mengagumkan yaitu hutan lebat teks-teks dan
kekayaan literatur Islam yang sangat melimpah. Dari periode inilah, lahir namanama besar Islamolog di dunia Barat seperti Ignaz Goldziher, Louis Massignon,
Sir Thomas Arnold, Sir Hamilton A.R Gibb, Bernard Lewis, William
Montgomery Watt, Wilfred Cantwell Smith, Marshal Hudgson, Frithjof Schuon,
Annemarie Schimmel dan segudang penulis-penulis prolifik lainnya, terlepas dari
masih adanya nada-nada miring tentang Islam dalam pemikiran mereka. Bila
yang bernada pejoratif masih ada, yang lebih simpatik jumlahnya kini jauh lebih
banyak.
Produksi dan reproduksi teks sebagai literatur keislaman yang dihasilkan
orientaslime menghasilkan jumlah koleksi yang sangat berlimpah di zaman
31
Nur A. Fadhil Lubis, “Kecenderungan Kajian Keislaman di Amerika Serikat: Sebuah
Survei Kepustakaan,” ‘Ulumul Qur’an IV, no. 4 (1993), 70.
32
Perlu dijelaskan, konteks “orientalisme” disini bukan pemikiran para orientalis yang
berpandangan negatif terhadap Islam, melainkan sebuah imperium studi tentang Timur di Barat
terlepas dari kecenderungan pandangan-pandangan mereka.
12
modern.33 Bila pada abad pertengahan, karya-karya magnum opus ditulis dan
diproduksi oleh para ilmuwan Muslim, di era modern, karya-karya besar itu
dihasilkan oleh para sarjana non-Muslim di dunia Barat. Edward Said mencatat,
antara tahun 1800 hingga 1950, studi Islam di Barat telah menghasilkan sekitar
60.000 judul buku.34 Karya-karya tersebut tertulis dalam bahasa Inggris, Arab,
Perancis, Itali, Belanda dan bahasa-bahasa Islam lainnya. Steenbrink
mengajurkan agar karya-karya itu dibaca dan dipelajari oleh kaum Muslimin. Dia
memberikan dua alasan mengapa umat Islam harus mengaksesnya: Pertama,
seluruh buku-buku teks dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan modern
seperti ekonomi, sosiologi, psikologi, teknologi, kedokteran dan lain sebagainya
datang dari Barat.35 Jika studi-studi Islam tidak ingin tertinggal, maka harus
mempertahankan dialog dengan karya-karya yang ditulis oleh orang-orang Barat,
terutama dalam lapangan studi-studi Islam. Kedua, dalam mengoleksi, merawat
dan menyimpan buku-buku perbendaharaan lama berikut manuskrip-manuskrip
tua, orientalisme memiliki tradisi yang kuat dan panjang. Adalah kenyataan
bahwa banyak karya-karya yang sulit tersedia atau ditemukan di masyarakatmasyarakat Muslim, mudah ditemukan di perpustakaan-perpustakaan Barat yang
menyimpan koleksi itu dengan rapih dan terawat.36 Dari koleksi besar itu,
tidaklah diragukan bahwa kaum Muslim telah banyak mengambil manfaatnya.
Studi dan penelitian para sarjana tentang Islam disediakan literatur yang sangat
melimpah. Karena itulah, banyak kaum terpelajar Islam yang sesudah berkenalan
dengan karya-karya Barat lebih memilih membaca karya-karya mereka
ketimbang karya orang-orang Islam sendiri karena sisi rasionalitas, kritisitas,
aktualitas dan kelimpahan literatur modernnya.
33
Untuk kajian sumbangan orientalisme pada dunia Islam, lihat misalnya Moeflich
Hasbullah, ‘Assesment on Orientalist Contributions to the Islamic World,’ HARMONI, Jurnal
Multikultural & Multirelijius 4, no.13 (Januari-Maret 2005): 14 - 37.
34
Edward Said, Orientalism: Western Conceptions of the Orient (Penguin Book 1995),
204.
35
Untuk tidak lupa diri melupakan mata rantai sejarah dan peradaban seolah supremasi
Barat itu berdiri sendiri, catatan korektif perlu diberikan atas pernyataan Steenbrink ini.
Pernyataannya bahwa seluruh buku-buku teks dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan modern
sebagai datang dari Barat, tidaklah sepenuhnya benar mengingat fakta sejarah peradaban Barat
merupakan kelanjutan dari supremasi yang telah dibangun oleh dunia Islam. Pengakuan jujur atas
kenyataan ini diberikan oleh Watt: “Ketika kita mencermati keseluruh sisi konfrontasi antara Islam
dan Kristen pada abad pertengahan, menjadi jelas buat kita bahwa pengaruh Islam atas dunia
Kristen Eropa lebih besar ketimbang yang selama ini kita sadari. Bersama-sama Islam, Eropa Barat
tidak saja menikmati produk-produk material dan temuan-temuan teknologi; Islam bukan saja
mendorong tumbuhnya intelektualisme Eropa dalam lapangan-lapangan ilmu pengetahuan dan
filsafat. Di samping itu, Islam telah mendorong Eropa untuk membentuk citra baru mengenai
dirinya sendiri. Karena Eropa bereaksi terhadap Islam, wajar saja kalau mereka melecehkan
pengaruh yang diterimanya dari kaum Sarasen, dan pada saat yang sama melebih-lebihkan
ketergantungannya dalam kedua lapangan di atas kepada warisan Yunani dan Romawi. Maka,
dewasa ini, ketika kita tengah bergerak menuju satu dunia, penting bagi kita orang Eropa Barat
untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan ini, dan mengakui sepenuhnya utang kita kepada
orang Arab dan dunia Islam.” Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam
Atas Eropa Abad Pertengahan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan MISSI, 1995), 125.
36
Karel Steenbrink, ‘Berdialog dengan Karya-karya kaum Orientalis, ‘Ulumul Qur’an
III, no. 2 (1992).
13
Kedua, bebasnya hambatan psikologis. Dalam tradisi akademik Barat,
Islam dianalisis secara lebih historis, sosiologis dan fenomenologis karena
sebagai objek studi agama ditempatkan sebagai hal yang profan. Karena bukan
Muslim, para sarjana Barat tidak menempatkan Islam sebagai keyakinan, ajaran
dogmatis atau doktrin suci yang imun dari kesalahan melainkan sebagai realitas
historis-sosiologis yang terbuka untuk dikritik, direinterpretasi dan disimpulkan
ulang yang bisa jadi menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang secara dogmatis
bertentangan dengan keyakinan Muslim atau menyalahi tradisi yang sudah
dipegang puluhan tahun oleh kaum Muslim tetapi secara pemikiran
mencerahkan. Tentang ulama-lama besar klasik misalnya, di mata orang Barat
non-Muslim, pandangan tentang ulama bisa lebih netral karena tiadanya unsur
kepenganutan dan kekaguman yang bersifat hagiografis. Sejak pengaruh studi
Barat melanda dunia Islam, di kalangan sarjana Muslim pun belakangan sudah
muncul kecenderungan tidak mensakralkan ulama. Hambatan-hambatan
psikologis yang dulu menjadi barrier (penghalang) objektifitas pemikiran, kini
perlahan-lahan menghilang yang kemudian kritik pada ulama sebagai manusia
biasa menjadi lebih terbuka. Bagi generasi baru Muslim yang tidak tertarik
dengan pemahaman Islam yang bersifat doktriner dan dogmatis, membaca karyakarya yang lebih akademis dan analitis menjadi lebih menarik. Sementara
pemikiran tentang Islam yang ditulis oleh ulama-ulama Timur Tengah, seperti
diakui Zain di atas, banyak yang bersifat doktriner atau kurang menekankan sisi
analisis, karya-karya yang ditulis oleh orang-orang Barat atau yang ditulis oleh
Muslim dalam tradisi kesarjanaan modern menjadi alternatif.
Ketiga, Menjamurnya institusi-institusi kajian keislaman. Pada zaman
modern, kaum Muslim dapat menemukan banyak sekali pusat-pusat lembaga
kajian Islam atau Islamic studies di Barat. Apapun kepentingannya, institusiinsitusi kajian Islam dan Islamic studies itu memiliki peranan penting dalam
perkembangan studi-studi keislaman. Salah satu kunci dalam Islamic studies atau
untuk memahami realitas dan historis dunia Islam adalah bahasa Arab.
Signifikansi bahasa Arab sudah disadari sejak awal kontak Barat dengan dunia
Islam dalam tradisi orientalisme klasik. Ketika masyarakat Kristen Eropa pada
abad pertengahan pertama kali menyadari bahwa mereka tertinggal jauh oleh
dunia Islam terutama dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka
menemukan bahwa kuncinya adalah bahasa Arab. Karena bahasa Arab adalah
bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat, dengan demikian mereka harus
mempelajarinya. Program besar-besaran mempelajari bahasa Islam itu pun
kemudian diselenggarakan. Eropa kemudian memasukan pengajaran bahasa Arab
ke dalam kurikulum-kurikulum universitas mereka seperti di Universitas Bologna
Itali pada tahun 1076, di Universitas Chartres Perancis tahun 1117, di Oxford
Inggris tahun 1167 dan di Paris tahun 1170. Program ini kemudian diperluas
pada abad ke-13 dan ke-14. Di Itali pengajaran Bahasa Arab diselenggarakan di
Roma pada tahun 1303, di Florencia tahun 1321, di Padua tahun 1362, dan
Gregoria tahun 1553. Di Perancis, diselenggarakan di Toulouse (1217),
Montpellier (1221) and Bordeaux (1209). Dari proyek ini, lahirlah generasi
14
pertama para penerjemah bahasa Arab ke dalam bahasa Eropa seperti
Constantinus Africanus (w.1087) dan Gerald Cremonia (w.1187).37
Munculnya institusi-institusi bahasa Arab pada abad pertengahan di
Barat itu, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi akar-akar studi kawasan
atau wilayah tentang Timur di universitas-universitas Barat modern. Orientalist
Congress misalnya mengganti namanya menjadi International Congress on Asia
and North Africa dan kongres tersebut telah mendirikan pusat-pusat studi
ketimuran (Centres of Oriental Studies) seperti Ecole des Langues Orientalis
Vivantes (1975) di Paris. Studi kawasan dan stuti-studi agama di Eropa dewasa
ini sudah berkembang sangat pesat. Beberapa diantaranya misalnya The School
of Oriental and African Studies (SOAS), London University didirikan pada 1917;
Oosters Instituut, Leiden University (1917); Institut voor het Moderne Nabije
Oosten, Amsterdam University (1956). Insititusi-institusi kajian ketimuran lain
misalnya Societe Asiatique (1822) di Paris; American Oriental Society di
Amerika Serikat (1842); Royal Asiatic Society di Inggris dan Oosters
Genootschap di Leiden (1929). Selain contoh-contoh tersebut, dunia kesarjanaan
Barat juga menerbitkan sejumlah banyak sekali jurnal dan majalah tentang Timur
diantaranya Journal Asiatique (1822) di Paris; Journal of the Royal Asiatic
Society (1899) di London; Journal of the American Oriental Society (1849) di
Amerika Serikat; Revue de Monde Musulman (1907) di Perancis; Der IslamZeitschrift fur Geschichte und Kultur des Islamischen (1910) di Jerman; The
Muslim World (1917) di Amerika Serikat, dan Bulletin of the School of Oriental
and African Studies (1917) di London. Hampir semua jurnal ini masih terbit
hingga sekarang.
Sejumlah besar universitas-universitas di Amerika Serikat seperti
Harvard University, Columbia University, Ohio State of University, UCLA,
Wisconsin University, University of Boston, Syracuse University, Yale
University dan lain-lain memiliki program religious studies dimana buku-buku
atau literatur tentang Islam diterbitkan, dipelajari dan dipelihara dengan sangat
baik. Lebih dari itu, dalam program-program studi keislaman itu disediakan
beberapa ahli Muslim baik sebagai tenaga tetap maupun dosen tamu (visiting
scholars) termasuk beberapa orang Indonesia seperti Prof. Nurcholish Madjid,
Munawir Sadzali MA, Dr. Atho Mudzhar dan lainnya. Di UCLA, tokoh-tokoh
Islam dari negeri-negeri Muslim pun pernah diundang seperti Prof. An-Na’ym
ahli hukun Islam, Dr. Hasan Turabi, aktivis Islam Sudan dan Profesor Nazif
Shahrani, antropolog asal Pakistan.38 Dalam usahanya untuk membangun relasi
yang haromis antar agama-agama, Sir Wilfred Cantwell Smith menginisiasi
37
Selain sebagai pintu gerbang kepada warisan ilmu pengetahuan Islam, terdapat tiga
alasan mengapa bahasa Arab sangat penting saat itu: Pertama, kepentingan agama Kristen terhadap
Islam. Kedua, ada tujuan-tujuan bisnis dan komersial dan ketiga, ada alasan-alasan sekuler dan
kepentingan-kepentingan ilmiah untuk mengejar kemajuan bahasa-bahasa Islam seperti bahasa
Persia dan Turki. Lihat, resensi George Saliba atas buku Russell, “The Arabick” Interest of the
Natural Philosophers in Seventeenth-Century England,’ Journal of the American Oriental Society
117, no.1 (January-March 1997): 175-177. Informasi lain tentang signifikansi peranan Bahasa Arab
pada abad pertengahan, lihat Edward Grant, The Foundation, 172-173.
38
Lubis, Kecenderungan, Kajian Keislaman, 69.
15
fakultas Islamic Studies di McGill University yang sejak akhir abad ke-20 telah
menjadi fakultas termashur tentang studi Islam. Semua universitas, fakultas dan
lembaga-lembaga tersebut memiliki semangat yang tinggi dalam
menyelenggarakan studi-studi Islam dengan pendekatan ilmiah. Terlepas dari
adanya kecurigaan tentang adanya kepentingan dibalik itu semua seperti
kolonialisasi, atau murni dalam rangka tradisi kesarjanaan (scholarship), dunia
Barat secara umum atau orientalisme khususnya telah berperan penting dalam
mengembangkan dan memajukan studi-studi Islam yang diselenggarakan dengan
pendekatan akademik. Hal ini tentu saja memperkaya dan memberi nutrisi pada
Islam sebagai kajian ilmu. Pada gilirannya, perkembangan ini telah membuat
Islamic studies di Barat semakin mapan. Sudah sangat banyak belakangan ini
universitas Barat memberikan gelar MA dan Ph.D untuk disiplin yang semakin
berkembang dengan pendekatan yang semakin beragam. Dewasa ini menurut
Lubis, hampir setiap pusat kajian keislaman di universitas di Amerika merupakan
program inter-deparmental, banyak komite guru besarnya merupakan para ahli
terkemuka berbagai disiplin dan jurusan. ”Islamic Studies IDP (Interdepartmental Program) di UCLA bahkan menghimpun lebih dari dua puluh guru
besar tetap yang berasal dari fakultas sejarah, sosiologi, studi Timur Dekat,
antropologi, hukum, pendidikan dan linguistik bahkan fakultas kesehatan dan
perfilman.”39
Keempat, metodologi yang lebih maju dan terbuka. Pendekatan terbaru
yang berkembang dewasa ini atas studi Islam mengakui bahwa Islam hanya dapat
dipahami sebagai agama bila dilihat sebagai gabungan berbagai aspek yang
komprehensif yaitu sosial, kultural, ekonomi, politik, hukum, pendidikan dan
bahkan mistik-spiritual. Pendekatan multidisipliner ini dikenal sebagai
pendekatan integral, holistik dan anti-reduksionisme untuk mengurangi
kesalahanpahaman tentang Islam yang selama ini banyak terjadi.40 Di atas
fundasi kesadaran itulah, menurut Fadhil Lubis, studi Islam di Barat sudah jauh
mengalami banyak perkembangan metodologis yang positif. ”Kajian keislaman
telah tumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga makin beraneka ragam
dan tersebar. Dalam perkembangan ini telah terjadi kritisisme diri dan upaya
pendewasaan serta pengembangan, bari dari sisi topik penelitian maupun
metodologi dan latar belakang filsafat ilmunya.”41 Salah satu kajian yang berisi
kritik tajam atas dunia Barat dan menimbulkan kontroversi serta perdebatan besar
di Barat dan di Timur adalah karya Edward Said, Orientalism (1978) dan
Covering Islam (1981). Walaupun bukan Muslim, Edward Said adalah juru
bicara Timur untuk Barat karena pikiran-pikirannya yang mewakili aspirasi dunia
Timur. Dalam orientalism, ia mengatakan, setelah 200 tahun Perang Salib (109639
Lubis, Kecenderungan Kajian Keislaman, 70-71.
Hingga era modern, kesalahfahaman yang kemudian menimbulkan kecurigaan, fobiaIslam dan ketakutan masih terjadi. Lihat misalnya John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or
Reality? Second Edition (New York: Oxford University Press, 1995); Seyyed Hossein Nasr, “Islam
and the West: Yesterday and Today,” The American Journal of Islamic Social Sciences 4, no.13
(Winter 1996); Gilles Keppel, Allah in the West, Islamic Movements in America and Europe (Polity
Press, 1997).
41
Lubis, Kecenderungan Kajian Keislaman, 69.
40
16
1291), Barat telah mengukuhkan dominasi sosial, politik dan kebudayaan selama
berabad-abad atas dunia Timur. Timur kemudian dianggap ada karena usahausaha kesarjanaan Barat.“The Orient was almost a European inventions, and had
been since antiquity a place of romance, exotic being, haunting memories and
landscape, remarkable experiences.”42 Orientalisme menurutnya paling tidak
diartikan dalam tiga pengertian: Pertama, secara budaya dan ideologi,
orientalisme mengekspresikan berbagai wacana yang membentuk institusi,
vokabulari, kesarjanaan, imajinasi, doktrin dan bahkan birokrasi kolonial dan
model kolonialisme. Kedua, gaya pemikiran yang dikonstruk berdasarkan
perbedaan-perbedaan ontologis dan epistemologis antara “the orient” (Barat) dan
“the occident” (Timur). Ketiga, merupakan institusi korporasi Barat tentang
ketimuran yang memiliki wewenang mendefinisikan Timur, memproduksi
statement-statement, mengotorisasi pemikiran, mengajarkan dan menguasai
diskursus-diskursus tentangnya. Pendek kata, kata Said, orientalisme adalah “a
western style for dominating, restructuring, and having authority over the
Orient.”43 Kritik Said yang jitu dan argumentasinya yang kuat yang dibangun di
atas dekonstruksionisme telah merevisi dan mendobrak bias dan kekeliruan Barat
dalam mengkaji Islam dan masyarakatnya. Sejumlah pemikir Muslim juga
menggunakan metode itu untuk mengkritisi dan merekonstruksi beberapa aspek
agama Islam dalam upaya mencari alternatif yang lebih sesuai dengan
perkembangan ilmu dan zaman.
Kelima, banyaknya tawaran-tawaran beasiswa yang disediakan oleh
lembaga-lembaga donor asing dan perguruan tinggi di Barat untuk studi ke
negara-negara mereka mengambil program master (MA) dan doktor (Ph.D).
Lima tren global Islam di Barat itulah yang telah menciptakan arus para
sarjana Islam Indonesia belajar ke Barat terutama para dosen dari perguruan
tinggi Islam (IAIN/UIN). Pergeseran otoritas dan legitimasi keilmuan dunia
Islam itu adalah fenomena alami sebagai konsekuensi dari berpindah-pindah atau
bergesernya pusat-pusat keilmuan dan peradaban. Perpindahan pusat-pusat
keilmuan yang kemudian diikuti oleh proses migrasi belajar masyarakat ke
berbagai negara mengunjungi pusat-pusat peradaban baru adalah konsekuensi
logis dan sesuatu yang lumrah dalam sejarah dan kebudayaan manusia termasuk
yang terjadi antara Islam dan Barat. Sejarah menunjukkan bahwa Islam pun
menerima warisan peradaban keilmuan dari Yunani yang kemudian
dikembangkan menjadi peradaban Islam.44 Barat pun kemudian belajar kepada
Islam dan kini Islam pun belajar lagi kepada Barat. Sutan Takdir Alisjahbana
menggambarkan proses dialektika ini.
Dalam abad pertengahan, dunia Eropa belajar kepada orang Islam dan
kebudayaan Islam, antara lain dengan perantaraan terjemahan buku-buku dan
mengunjungi negeri-negeri Islam. Sekarang justru sebaliknya yang terjadi.
Orang-orang Islam belajar ke dunia Eropa dan Amerika tentang filsafat dan
42
Edward Said, Orientalism, 1.
Edward Said, Orientalism, 2-3.
44
Lihat Edward Grant, The Foundations of Modern Science in the Middle Age, Their
Religious, Institutional, and Intellectual Context (Cambridge University Press, 1996).
43
17
ilmu, tentang teknologi, ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Bukan saja
kita lihat negara yang penduduknya hampir seluruhnya beragama Islam seperti
Turki yang mengambil undang-undang Swiss, mahan banyak orang-orang dari
negeri-negeri Islam yang pergi belajar tentang Islam dan mencapai derajat
akademik yang setinggi-tingginya dalam pengetahuan tentang agama dan
kebudayaan Islam bukan di Mekah, Medinah dan Kairo tetapi justru dari
London, Paris, Leiden, Toronto dan sebagainya. Malahan festival Islam yang
berlaku di London baru-bari ini, yang memperlihatkan kejayaan dan kebesaran
kebudayaan Islam di masa yang silam dan memungkinkan pertukaran pikiran
tentang soal-soal agama maupun kebudayaan Islam di zaman ini, berlaku di kota
London dan bukan di negara-negara Islam.45
Perubahan arus belajar Islam ke Barat ini menunjukkan telah bergeser
pula otoritas dan legitimasi keilmuan Islam di kalangan Muslim Indonesia. Bila
pada periode tahun 1970-an ke belakang, legitimasi keislaman itu bersumber di
kota-kota suci Timur Tengah sekarang telah bergeser ke hutan-hutan beton dan
kota-kota sekuler di Eropa dan Amerika. Bila dulu belajar Islam dan untuk diakui
sebagai ulama harus belajar ke Makkah, Madinah dan Kairo, dewasa ini
berpindah ke universitas-universitas Barat seperti McGill, Chicago, Harvard,
Princeton, Columbia, UCLA, Boston, Michigan, Ohio dan lain-lain di Amerika
dan Leiden, Oxford, London, Sorbone dan seterusnya di Eropa.46 Dua kutub
Islam ini pun menghasilkan nomenklatur yang berbeda. Bila alumni Timur
Tengah yang kemudian menjadi ahli agama dengan penguasaan dasar-dasar
keislaman normatif disebut “ulama,” lulusan Barat yang fasih berbicara Islam
dalam konteks modernitas disebut “cendekiawan” dan “intelektual.”47 Dawam
45
Sutan Takdir, Sumbangan Islam, 28 – 29. Festival Islam di London yang disebutkan
Sutan Takdir kemudian berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Pada 7 Maret 2006, diselenggarakan
lagi sebuah eksibisi yang bertemakan “1001 Invention. Discover the Muslim Heritage in Our
World” di Manchester, Inggris. Sebagai sebuah pendidikan global, pameran itu dimaksudkan “to
raise awareness of the Muslim contribution to modern civilisation” yang mendapat respon positif
dari seluruh dunia. Pameran ini diselenggarakan oleh organisasi akademik non-profit Foundation
for Science Technology and Civilisation bekerjasama dengan Muslim Heritage Consulting.
46
Pergeseran ini tidak sepenuhnya menghapus otoritas para ulama tradisional, alumni
Timur Tengah atau bukan. Alumni Timur Tengah masih menyisakan pengaruhnya tetapi lebih pada
wilayah-wilayah keislaman normatif dan doktrinal. Sementara wacana pemikiran modern
didominasi oleh para sarjana Islam modern. Tetapi, dalam level tertentu, para sarjana lulusan Barat
yang studinya mendalami tafsir dan hadits misalnya, juga masuk kepada wacana dirāsat alIslāmiyah tetapi dengan analisis-analisis yang kritis dan tafsiran-tafsiran baru. Itu disebabkan
karena pengaruh metodologi modern yang mereka gunakan, seperti pendekatan dekonstruksi
misalnya. Selain itu, di Barat mereka pun berguru pada ahli-ahli Islam dari kalangan Muslim
sendiri seperti Fazlur Rahman di Chicago University dimana dua muridnya yang terkenal dari
Indonesia adalah Nurcholish Majid dan Ahmad Syafii Maarif.
47
“Intelektual” dan “cendekiawan” sesungguhnya adalah dua hal yang sangat berbeda
secara konseptual. Penjelasan detail tentang ini lihat Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa.
Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (Bandung: Mizan, 2005), 20-37. Namun
sebagai istilah untuk menyebut lapisan kaum terdidik, sarjana, pemikir dan kelompok elit Muslim
Indonesia tahun 1990-an, disertasi ini akan menggunakan kedua istilah itu secara bergantian karena
“intelektual Muslim” dan “cendekiawan Muslim,” walaupun secara konseptual bisa dibedakan,
dalam fungsinya agak sulit dipisahkan dan sudah populer penggunaannya dalam wacana publik
Indonesia untuk menyebut kelompok pemikir Muslim. Sebagai studi yang fokusnya bukan tentang
18
Rahardjo memberikan gambaran perbedaan orientasi ini. “Misi cendekiawan
Muslim,” menurutnya, “tidak dapat dicari hanya dengan menengok kepada
ajaran-ajaran normatif, melainkan harus melihat juga tantangan konkret dalam
masyarakat. Respon terhadap tantangan zaman itulah, berdasarkan seperangkat
nilai yang dianut, yang perumusannya berkembang dari waktu ke waktu itu, yang
memberi gambaran tengtang suatu misi, yaitu persepsi mengenai peranan yang
dijalankannya dalam menjawab tantangan zaman.”48 Pada tahun 1990-an,
menebalnya jumlah ahli Islam alumi Barat ini telah membentuk lapisan sosial
baru yang sedang menguat baik secara politik, kultural dan intelektual yaitu kelas
menengah Muslim.49
Pergeseran kutub ini selain sebagai fenomena sangat menarik juga
momentum sangat penting dalam sejarah Islam Indonesia karena menandakan
perubahan pusat-pusat otoritas dan legitimasi keislaman yang dalam sejarah
terjadi hanya dalam beberapa abad sekali. Makkah dan Madinah sebagai pusat
legitimasi keislaman sudah berlangsung selama lima abad atau 500 tahun sejak
Muslim Nusantara mulai melaksanakan haji dan mencari ilmu di tanah suci pada
abad ke-16 hingga abad ke-20. Pemimpin Islam adalah ulama, ulama adalah
mereka yang menguasai ilmu-ilmu keislaman normatif, dan legitimasi atas
wibawa keilmuan ulama itu bila sudah belajar di Makkah dan Madinah. Sejak
pertengahan abad ke-20, supremasi itu runtuh, otoritas bergeser, legitimasi
berubah dan ulama sebagai sumber utama referensi pengetahuan Islam
”berakhir.”50 Ororitas kebenaran di masyarakat Muslim pun mengalami
penegasan identitas-identitas kelompok, kajian ini tidak menuntut keharusan-keharusan ketat
tentang definisi-definisi tersebut. Lain kata, pengertian common sense tidak menganggu substansi
studi ini.
48
Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1993), 19.
49
Untuk studi tentang proses-proses sosiologis kelahiran dan karakteristik kultural kelas
menengah Muslim Indonesia, lihat Moeflich Hasbullah, “Cultural Presentation of the Muslim
Middle Class in Contemporary Indonesia,” Studia Islamika VII, no 2 (2000).
50
Lihat John L. Esposito and John O. Voll, Makers of Contemporary Islam (New York:
Oxford Unversity, 2001). Bukan hanya karena munculnya legitimasi baru Islam, keberakhiran
ulama sebagai ahli tunggal dalam Islam kontemporer juga disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti
meningkatnya pendidikan tinggi (Eickleman 1992: 1-13) dan perkembangan media cetak yang
semakin banyak dan buku-buku keislaman yang melimpah. Penggunaan internet di sisi lain telah
membuka ruang publik di mana ulama menjadi hanya salah satu nara sumber tentang Islam
(Robinson 1993: 254). Dengan semakin banyaknya sumber-sumber Islam yang melimpah, terbuka
dan mudah diakses, kemudahan belajar bahasa Arab dengan metode-metode terbaru yang praktis
dan efektif, dan internet yang memberikan jawaban “segala masalah” melalui pencarian Google,
bahkan teks-teks Arab seperti hadis-hadis dan kaidah-kaidah fiqh, masyarakat kini bisa belajar
dengan mudah dan mandiri tentang ajaran-ajaran Islam. Dengan tingkat pendidikan yang sudah
rata-rata tinggi serta kemajuan berfikir, kini muncul kecenderungan di media sosial, setiap orang
mendadak menjadi “ahli Islam.” Tren ini semua mengurangi fungsi ulama sebagai referensi tunggal
atau otoritas ulama sebagai satu-satunya ahli Islam. Tetapi, keruntuhan pengaruh ulama tetap saja
sifatnya tidak total. Dalam aspek-aspek lain seperti proses pendidikan, pelayanan masyarakat,
otoritas keislaman normatif dan fungsi fatwa, ulama tetap memiliki komunitas dan pengaruhnya.
Bahkan mungkin akan selamanya karena ranah normatif memang adalah wilayah otoritasnya.
Dalam level tertentu bahkan banyak ulama yang keluar melampaui melebihi batas wilayah
tradisional mereka. Dalam konteks ini peran mereka masih tetap bertahan bahkan dalam
pergumulan politik. Untuk studi tentang kontinyuitas peran ulama ini dalam politik Indonesia, lihat
19
diferensiasi dan fragmentasi yang luas. Figur keagamaan, orientasi pemikiran dan
tradisi intelektual Islam Indonesia yang semula mengacu kepada para ulama
tradisional dengan sumber legitimasi keilmuannya di Timur Tengah khususnya
tanah suci pusat kelahiran Islam, berubah kepada para cendekiawan dan kaum
intelektual yang referensi keislamannya dari Barat, yang uniknya, Barat, secara
politik dan kultural selama berabad-abad dipersepsikan oleh sebagian kalangan
Muslim sebagai musuh Islam. Sejak terbentuknya pergeseran itu, masyarakat
Muslim Indonesia terutama lapisan terpelajar dan kelas menengah yang berbasis
di wilayah-wilayah perkotaan tidak lagi menyandarkan pengetahuan
keislamannya pada ulama-ulama konvensional di pesantren-pesantren dan alumni
Timur Tengah tetapi pada lapisan baru ulama modern yaitu para cendekiawan
Muslim. Berbeda dengan ulama tradisional, pemahaman keislaman generasi baru
ini lebih bernuansa historis-sosiologis dengan watak kritis, terbuka, inklusif dan
toleran.
Mengingat signifikansi, relevansi, aktualitas dan daya tarik momentum
historis ini bagi perkembangan Islam Indonesia ini, penelitian disertasi ini akan
merekam, mencatat dan menganalisis semua hal yang berkaitan dengan
pergeseran kutub tersebut. Disertasi ini akan melakukan studi yang mendalam
tentang pergeseran otoritas dan legitimasi keilmuan keislaman di Indonesia yang
semula, dalam jangka waktu yang lama, bersumber di Timur Tengah dengan
sosoknya para ulama kemudian bergeser ke pusat-pusat pengetahuan di Barat
dengan figurnya kaum cendekiawan dan intelektual Muslim.[]
Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia
(Bandung: Mizan, 2012).
20
BIBLIOGRAFI
Abaza, Mona. Indonesian Students in Cairo: Islamic Education, perceptions and
exchanges. Paris: Cahier d’Archipel, 1994.
_____. Changing Image of Three Generations of Azharities in Indonesia.
Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 1994.
Alisjahbana, Sutan Takdir. “Sumbangan Islam Kepada Kebudayaan Dunia di
Masa Lampau dan Akan Datang,” dalam Sumbangan Islam kepada Sains
dan Peradaban Dunia. Editor A.I. Sabra et.al (Bandung: Penerbit Nuansa,
2001), 1-33.
Anderson, Walter Truett (ed.). The Fontana Postmodernism Reader. Fontana
Press, 1996.
Antoun, Richard T. and Mary Elaine Hegland. Religious Resurgence.
Contemporary Cases in Islam, Christianity and Judaism. Editor. New
York: Syracuse University Press, 1987.
Azra, Azyumardi. “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia:
Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian 'Ulama in the
Seventeenth and Eighteenth Centuries.” (Ph.D diss, Columbia University,
1992).
_____. “Ulama Indonesia di Haramyan: Pasang dan Surutnya Sebuah Wacana
Intelektual,” ‘Ulumul Qur’an III , 2 (1992).
_____. Jaringan Ulama. Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VXII
dan XVIII. Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di
Indonesia. Bandung: Mizan, 1994.
_____. “Guarding the Faith of the Ummah: Religio-Intellectual Journey of
Mohammad Rasjidi.” Studia Islamika 1, 2 (1994).
_____. ‘Opposition to sufism in the East Indies in the seventeeth and eighteenth
centuries.’ Dalam Islamyc mysticism contested: Thirteenth centuries of
controversies and polemics. Editor Frederick De Jong and Bernd Radtke,
665-118. Leiden, Boston and Köln: Brill.
_____. “Hadrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary
Study of Sayyid ‘Uthman.” Studia Islamika 2, 2 (1995): 1-33.
_____. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga
Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
_____. Islam Reformis: Dinamika Gerakan, Pembaharuan dan Intelektual.
Jakarta: Penerbit Rajawali, 1999.
_____. Islam Substantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan, 2000.
_____. The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of MalayIndonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth
21
Centuries (Honolulu: ASAA-Allen & Unwin and University of Hawai’i
Press, 2004).
Barton, Greg. “Neo-Modernism: A Vital Synthesis of Traditionalist and
Modernist Islamic Thought in Indonesia,” Studia Islamika 2, 3 (1995).
_____. “Islam, Pancasila and the Middle Path of Tawassuth: The Thought oh
Achmad Siddiq.” Dalam Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and
Modernity in Indonesia. Editor: Greg Barton and Greag Fealy. Clayton,
Victoria: Monash Asia Institute, Monash University, 1996: 100 – 128.
_____. “The Liberal, Progressive Roots of Abdurrahman Wahid.” Dalam
Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia. Editor:
Greg Barton and Greg Fealy. Clayton, Victoria: Monash Asia Institute,
Monash University, 1996: 190-226.
_____. “Indonesia’s Nurcholish Madjid and Abdurrahman Wahid as Intellectual
‘Ulamâ: The Meeting Place of Islamic Traditionalism and Modernism in
Neo-modernist Thought.” Studia Islamika 4,1 (1997).
Bottomore, T.B. Elites and Society. Penguins Books, 1964.
Brinton, Crane. ‘Sejarah Intelektual.’ Dalam Ilmu Sejarah dan Historiografi:
Arah dan Perspektif. Editor Taufik Abdullah dan Abdurrachman
Surjomihardjo. Jakarta: Gramedia, 1985.
Bruinessen, Martin van. “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang
Nusantara Naik Haji,” Ulumul Qur'an, Vol II, No 5 (1990): 42- 49.
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Yogyakarta:
Gading Publishing, 2012.
Burhanudin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam
Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan, 2012.
Cahoone, Lawrence E. From Modernism to Postmodernism. An Anthology.
Editor. Blackwell Publisher, 1996.
Coedès, George. The Indianized States of Southeast Asia. Canberra: Australian
National University Press, 1975.
Coser, Lewis A. Men of Ideas: A Sociologist View. New York: Simon&Schuster,
1997.
Cox, Harvey. The Secular City, Secularization and Urbanization in Theological
Perspective. London: SCM Press, 1965.
Daniel, Norman. Islam and the West, The Making of an Image. Oneworld
Publications Ltd, Third Edition, 1993.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta: LP3ES, 1982.
Dodge, Bayard. Al-Azhar: A Millenium of Muslim Learning. Washington: Middle
East Institute, 1961.
Eccel, Christ. Islam and Social Change: al-Azhar in Conflict and
Accommodation. Berlin: Schwarz, 1984.
22
Eickelman, Dale F. “Mass Higher Education and the Religious Imagination in
Contemporary Arab Society,” American Ethnologist, 19, 4 (1992): 643655.
Esposito, John L. The Islamic Threat: Myth or Reality? Second Edition. New
York: Oxford University Press, 1995.
Esposito, John L. and John O. Voll. Makers of Contemporary Islam. New York:
Oxford Unversity, 2001.
Evers, Hans-Dieter & Tilman Schiel. Kelompok-kelompok Strategis. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1992.
Federspiel, Howard, M., Muslim Intellectual and National Development in
Indonesia, New York: Nova Science Publishers Inc., 1992.
Foucault, Michel. Madness and Civilization. A History of Insanity in the Age of
Reason. New York: Random House, 1976.
_____. Archeology of Knowledge. London: Tavistock, 1972.
_____. The Order of the Things: An Archeology of Human Sciences. London:
Tavistock, 1970.
Geertz, Clifford. The Interpretation of Culture. Basicbooks: HarperCollins
Publishers, 1973.
Gellens, S.I. “The Search for Knowledge in Medieval Muslim Societies: A
Comparative Approach.” Dalam Muslim Travellers: Pilgrimage,
Migration and the Religious Imagination. Editor: D.F. Eickelman dan J.
Piscatori. Berkeley: University of California Press, 1990.
Grant, Edward. The Foundations of Modern Science in the Middle Age, Their
Religious, Institutional, and Intellectual Context. Cambridge University
Press, 1996.
Guenon, Rene. The Crisis of Modern World. Sophia Perennis, Revised edition,
2004.
Hefner, Robert W. “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries Among
Indonesian Muslims,” Indonesia 64 (October 1997).
Heyworth-Dunner, J., An Introduction to the History of Education in Modern
Egypt. London: Luzac & CO, 1939.
Mansurnoor, Iik A. “Contemporary European Views of the Jawah: Brunei and
the Malays in the Nineteenth and Early Twentieth Centuries.” Journal of
Islamic Studies 9, 2 (1998): 178-209.
Habermas, Jürgen. Knowledge and Interest, Second Edition. London:
Heinemann, 1981.
Hamim, Toha. “Moenawar Khalil: The Career and Thought Indonesian Muslim
Reformist.” Studia Islamika 4, 2 (1997).
Hasbullah, Moeflich. “Cultural Presentation of the Muslim Middle Class in
Contemporary Indonesia.” Studia Islamika 7, 2 (2000).
23
_____. Gagasan dan Perdebatan Islamisasi Ilmu. Editor. IIIT, LSAF, IRIS,
Cidesindo, 2000.
_____. ‘Assesment on Orientalist Contributions to the Islamic World.’
HARMONI, Jurnal Multikultural & Multirelijius, IV, 13 (Januari-Maret
2005): 14 - 37.
Hassan, Kemal. Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization
in Indonesia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980.
Hurgronje, Snouck. Mekka in the Latter Part of the 19h Century. Leiden: E.J.
Brill.
Jamil, Fathurrahman. “Muhammad Quraish Shihab wa Ārâ-uhu al-Fiqhiyyah.”
Studia Islamika 4, 2 (1999).
Kahfi, Erny Haryanti. “Islam and Indonesian Nationalism: The Political Thought
of Haji Agus Salim.” Studia Islamika 4, 3 (1997).
Kartanegara, Mulyadhi. Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon terhadap
Modernitas. Yogyakarta: Erlangga, 2007.
Kartodirdjo, Sartono. The Protest Movements in Rural Java. Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1978.
_____. Pemberontakan Petani Banten 1888. Depok: Komunitas Bambu, 2015.
Keppel, Gilles. Allah in the West, Islamic Movements in America and Europe.
Polity Press, 1997.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991.
_____. Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang Realitas. Bandung: Mizan, 2002.
_____. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.
_____. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika. Jakarta: Teraju,
2004.
Latif, Yudi. Inteligensia Muslim dan Kuasa. Genealogi Inteligensia Muslim
Indonesia Abad ke-20. Bandung: Mizan, 2005.
Lewis, Bernard. The Crisis of Islam: Holy War and Unholly Terror. London:
Phoenix, 2004.
Lubis, Nur. A. Fadhil. “Kecenderungan Kajian Keislaman di Amerika Serikat:
Sebuah Survei Kepustakaan. Jurnal Ulumul Qur’an. No. 4, Vol. IV
(1993): 68 - 84.
MacDonell, Diane. Theories of Discourse: An Introduction. Basil Blackwell,
1991.
Malik, Dedy Djamaluddin dan Idi Subandy Ibrahim. Zaman Baru Islam
Indonesia: Pemikiran & Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais,
Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman Wacana Mulia,
1998.
Mandan, A.M., (ed.), Subchan Z.E. Sang Maestro: Politisi Intelektual dari
Kalangan NU Modern. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2001.
24
Minhaji, Akh. “Islamic Reform in Contest: Ahmad Hassan and His Traditionalist
Opponents.” Studia Islamika 7, 2 (2000).
Mujani, Saiful. “Islam dalam Hegemoni Teori Modernisasi: Telaah Kasus Awal
Pemikiran Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo dan M. Dawam Rahardjo.”
Prisma 1, XXII (1993).
_____. “Mu’tazilah and the Modernization of the Indonesian Muslim
Community: Intellectual Portrait of Harun Nasution.” Studia Islamika 1, 1
(1994).
Nasr, Seyyed Hossein. “Islam and the West: Yesterday and Today.” The
American Journal of Islamic Social Sciences. No. 4, Vol. 13 (Winter
1996).
_____. Islam and the Plight of Modern Man. Kazi Publications, 2001.
Nazwar, Akhria. Syeikh Ahmad Khatib. Ilmuwan Islam di Permulaan Abad Ini.
Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Rachman, Abdul. Pesantren Architecs and their Socio-Religious Teachings
1850-1950. Los Angelos: Ph.D Thesis University of California, 1997.
Rahardjo, Dawam M., “Islam dan Modernisasi: Catatan Atas Paham Sekularisasi
Nurcholish Madjid,” kata pengantar untuk buku Nurcholish Madjid, Islam,
Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung, Mizan, 1987.
_____. Intelektual, Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan, 1993.
_____. ‘Strategi Islamisasi Ilmu.’ Dalam Gagasan dan Perdebatan Islamisasi
Ilmu. Editor: Moeflich Hasbullah. IIIT, LSAF, Iris, Cidesindo, 2000.
Ramage, Douglas E. “Democratisation, Religious Tolerance and Pancasila: The
Political Thought of Abdurrahman Wahid.” Dalam Nahdlatul Ulama,
Traditional Islam and Modernity in Indonesia. Editor Greg Barton and
Greg Fealy. Clayton, Victoria: Monash Asia Institute, Monash University,
1996, 227-256.
Rasjidi, H.M., Koreksi Terhadap Drs. Nurcholish Madjid Tentang Sekulerisasi.
Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
Reid, Anthony. "Sixteenth-Century Turkish Influence in Western Indonesia,"
Journal of Southeast Asian History 10, 13 (December 1969): 395 – 414.
_____. Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680. Volume Two:
Expansion and Crisis. New Haven and London: Yale University Press,
1993.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1993.
Robinson, Francis, “Technology and Religious Change: Islam and the Impact of
Print,” Modern Asian Studies, 27,1 (1993): 229-351.
Roff, William R. “Indonesian and Malay Students in Cairo in the 1920s.”
Indonesia 9 (1970): 73-87.
25
Saefuddin, A.M. dan Jujun Suparjan Suriasumantri. Desekularisasi Pemikiran:
Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan, 1987.
Said, Edward. Orientalism, Western Conceptions of the Orient. Penguin Book,
1995.
Sardar, Ziauddin. “The Future of Islamic Studies.” Islamic Culture 57 (1983).
Shils, Edward. The Intellectuals and the Powers and Other Essays. Chicago &
London: The University of Chicago Press, 1972.
Suminto, H. A. "Relation between the Ottoman Empire and the Muslim
Kingdoms of the Malay-Indonesian Archipelago," Der Islam 57 (1980),
301 -310.
Steenbrink, Karel. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern. Jakarta: LP3ES, 1994.
_____. “Hamka (1908-1981) and the Integration of the Islamic Ummah in
Indonesia,” Studia Islamika I, 3 (1994).
Shihab, Alwi. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung:
Mizan, 1997.
Voll, John O. “Muhammad Haya Al-Sindi and Muhammad ibn Al-Wahhab: An
Analysis of an Intellectual Group in Eighteenth Century Madinah,”
Bulletin of the School of Oriental and African Studies, 38 (1975): 32 - 39.
Watt, William Montgomery. Muslim-Christian Encounters, Perceptions and
Misperceptions. London and New York: Routledge, 1991.
_____. Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam Atas Eropa Abad
Pertengahan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan MISSI, 1995.
Webb, Jennifer M. Powerful Ideas: Perspectives on the Good Society. Editor.
Victoria: The Cranlana Program, 2002.
Woodward, Mark R. Toward A New Paradigm: Recent developments in
Idonesian Islamic Thought. Arizona State University: Program for
Southeast Asian Studies, 1996.
Yamami, Mohammed Abdou. ‘Islam and the West: The Need for Mutual
Understanding.’ The American Journal of Islamic Social Sciences (AJISS).
Vol. 14, No.1 (Spring 1997).
Yusanto, Muhammad Ismail dan Muhammad Karebet Widjayakusuma.
Menggagas Bisnis Islami. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
26
Download