9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori A. Manajemen

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
A. Manajemen Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia (SDM) dalam konteks bisnis, adalah
orang yang bekerja dalam suatu organisasi yang sering pula disebut
karyawan. Sumber
berharga dalam
perusahaan
Daya
Manusia
merupakan aset
perusahaan, tanpa manusia
tidak akan dapat mengahasilkan
maka
yang paling
sumber
daya
laba atau menambah
nilainya sendiri.
Manajemen Sumber Daya Manusia didasari pada suatu konsep
bahwa setiap karyawan adalah manusia, bukan mesin, dan bukan
semata
menjadi
sumber
daya bisnis. Manajemen Sumber Daya
Manusia berkaitan dengan kebijakan dan praktek-praktek yang perlu
dilaksanakan oleh manajer, mengenai aspek-aspek Sumber
Daya
Manusia dari Manajemen Kerja.
Tidak ada definisi yang sama tentang Manajemen Sumber Daya
Manusia, 3 (tiga) definisi sebagai perbandingan dapat dikemukakan
sebagai berikut:
 Bagaimana orang-orang dapat dikelola dengan cara yang terbaik
dalam kepentingan organisasi, Amstrong (1994).
9
 Suatu metode memaksimalkan
kerja
hasil dari sumber
daya tenaga
dengan mengintergrasikan MSDM kedalam strategi bisnis,
Kenooy (1990).
 Pendekatan yang
khas, terhadap
manajemen tenaga
kerja yang
berusaha mencapai keunggulan kompetitif, melalui pengembangan
strategi dari tenaga kerja yang mampu dan
tinggi dengan
menggunakan
tatanan
memiliki
kultur
yang
komitmen
integrated,
struktural dan teknik-teknik personel, Storey (1995).
Dari
ke-3
definisi
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa,
Manajemen Sumber Daya Manusia berkaitan dengan cara pengelolaan
sumber
daya
insani,
mempengaruhinya,
agar
dalam
organisasi
mampu
dan
memberikan
lingkungan
kontribusi
yang
secara
optimal bagi pencapaian organisasi.
Manajemen Sumber Daya Manusia menurut Bambang Wahyudi
(2002:1): “Ilmu dan seni atau proses memperoleh, memajukan atau
mengembangkan, dan memelihara sumber daya manusia yang kompeten
sedemikian rupa, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai dengan efisien
dan ada kepuasan pada diri pribadi-pribadi yang yang bersangkutan.”
Definisi lain menurut Edwin B.Flippo dalam buku Bambang
Wahyudi Manajemen Sumber Daya Manusia (2002:9):”Manajemen
Sumber Daya Manusia merupakan perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, dan pengawasan daripada pengembangan, pemberian balas
jasa, pengintegrasian, pemeliharaan dan pemisahan sumber daya manusia
10
ke suatu titik akhir dimana tujuan-tujuan perorangan, organisasi dan
masyarakat”.
Selanjutnya
menurut
Malayu
S.P.
Hasibuan
(2002:10):”
Manajemen Sumber Daya Manusia adalah ilmu dan seni mengatur
hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu
terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat.”
Fungsi MSDM (Manajemen Sumberdaya Manusia) terdiri dari
dua fungsi, yaitu fungsi manajemen dan fungsi operasional .
 Fungsi Manajemen (FM) terdiri atas:
1). Fungsi Perencanaan
Menentukan terlebih dulu program yang akan membantu
mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan
2). Fungsi Pengorganisasian
Merancang susunan dari berbagai hubungan antara
jabatan,
personalia, dan faktor-faktor fisik
3). Fungsi Pengarahan
Melaksanakan pekerjaan, mengusahakan agar karyawan mau
bekerjasama secara efektif
4). Fungsi Pengkoordinasian
Tingkat kesiapan bawahan, penugasan dan kepemimpinan
11
5). Fungsi Pengontrolan/Pengawasan
Mengamati dan membandingkan pelaksanaan dengan rencana
dan
mengoreksinya apabila terjadi penyimpangan, atau kalau
perlu menyesuaikan kembali rencana yang telah dibuat.
 Fungsi Operasional (FO) terdiri atas:
a). Fungsi Pengadaan
Penentuan jenis/mutu karyawan dan jumlah (menentukan
keberhasilan rekruitmen melalui prosedur yang tepat). Sewaktu
menarik
karyawan
baru,
manajemen
haruslah
mempertimbangkan:
-
Keadaan pasar tenaga kerja/Jenis-jenis karyawan yang
diinginkan dan bagaimana yang tersedia
-
Jumlah tenaga kerja yang akan ditarik
Analisa jabatan merupakan suatu proses untuk mempelajari dan
mengumpulkan berbagai informasi yang berhubungan dengan
berbagai operasi dan kewajiban suatu jabatan, terdiri dari :
1. Deskripsi jabatan
Merupakan suatu statement yang teratur, dari berbagai tugas
dan kewajiban suatu jabatan tertentu.
 Indentifikasi jabatan,
 Ringkasan jabatan,
 Tugas yang dilaksanakan,
 Pengawasan yang diberikan dan yang diterima,
12
 Hubungan dengan jabatan-jabatan lain,
 Bahan-bahan,
alat-alat
dan
mesin-mesin
yang
dipergunakan,
 Kondisi kerja,
 Penjelasan istilah-istilah yang tidak lazim,
 Komentar tambahan untuk melengkapi penjelasan di atas.
2. Spesifikasi jabatan
Pada umumnya isi suatu spesifikasi jabatan terdiri dari:
 Identifikasi jabatan
-
Kode
-
Nama
-
Bagian
 Persyaratan Kerja:
-
Pendidikan (SD, SLTP, SLTA, PT)
-
Tingkat kecerdasan minimal yang diperlukan
-
Pengalaman yang diperlukan
-
Pengetahuan dan ketrampilan
-
Persyaratan fisik
-
Status perkawinan
-
Jenis Kelamin
-
Usia
-
Kewarganegaraan (penduduk)
13
b). Fungsi Pengembangan
Untuk perbaikan efektivitas kerja dengan cara memperbaiki
pengetahuan, ketrampilan maupun sikap karyawan.
c). Fungsi Pemberi Kompensasi
Balas
jasa,
berwujud
uang
atau
yang
lainnya
sesuai
pengorbanan/kontribusi karyawan. Upah adalah bagian dari
kompensasi, dapat pula berbentuk fasilitas-fasilitas yang dapat
dinilai dengan uang. Perlu memperhatikan faktor-faktor berikut
ini:
- Memenuhi kebutuhan minimal
- Dapat mengikat
- Dapat menimbulkan semangat dan kegairahan kerja
- Adil
- Tidak boleh bersifat statis
d). Fungsi Integrasi
Tercapainya sinergi antara karyawan dan perusahaan untuk
tujuan masing-masing yang berbeda (Teori kebutuhan Maslow
dan Motivasi XY Mc Gregor dan Mc Lelland)
e). Fungsi Pemeliharaan
Perusahaan memelihara kemampuan dan sikap karyawan melalui
program keselamatan, kesehatan dan pelayanan. Setiap program
keselamatan dapat terdiri dari salah satu atau lebih elemenelemen berikut ini:
14
a). Didukung oleh manajemen puncak (top management)
b). Menunjukkan seorang direktur keselamatan
c). Pembuatan pabrik dan operasi yang bertindak secara aman
d). Mendidik para karyawan untuk bertindak dengan aman
e). Menganalisa kecelakaan
f). Menyelenggarakan perlombaan atau keselamatan kerja
g). Menjalankan peraturan-peraturan untuk keselamatan kerja
B. Kompetensi
1.
Pengertian Kompetensi
Dilihat dari disiplin perilaku organisasi, kompetensi bersama
dengan komitmen termasuk pada kelompok faktor karakteristik
individu anggota organisasi. Para ahli perilaku organisasi seperti
Kreitner dan Kinicki (2003), konsep kompetensi dipahami sebagai
gabungan dari kemampuan dan keterampilan. Dijelaskan oleh
Kreitner dan Kinicki (2003: 185) bahwa: Kemampuan dan
keterampilan mendapat perhatian yang cukup besar dalam lingkaran
manajemen masa kini. Pengunaan istilah kompetensi merupakan
istilah yang digunakan untuk menjelaskan hal ini. Kemampuan
menunjukkan karakteristik stabil yang berkaitan dengan kemampuan
maksimum fisik dan mental seseorang. Keterampilan di sisi lain
adalah kapasitas khusus untuk memanipulasi objek.
15
Wood, Wallace dan Zeffane (2001), Robbins dan Judge (2007),
serta Harris (2000) menjelaskan konsep kompetensi sebagai gabungan
dari bakat (aptitude) dan kemampuan (ability). Bakat menunjukkan
kapabilitas untuk belajar sesuatu dan sifatnya potensial. Untuk
kemampuan merujuk pada kapasitas individu untuk mengerjakan
berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan dibina oleh
pengetahuan dan keterampilan.
Berbeda dengan para ahli perilaku organisasi, para ahli
manajemen pengetahuan (Koenig, 1997; Edvisson & Malone, 1997;
Fitz-enz & Davison, 2000; Mayo, 2002; Baron & Armstrong, 2007),
konsep kompetensi bersama dengan konsep komitmen telah dimaknai
sebagai modal manusia (human capital) yang dalam hal ini adalah
karyawan, secara bersama-sama dengan consumer capital dan
structure capital membentuk intellectual capital organisasi (Stewart,
1997). Berkaitan dengan itu, Dave Ulrich (1998: 15-26) secara tegas
menyatakan, kompetensi bersama-sama dengan komitmen dipandang
sebagai faktor pembentuk modal intelektual organisasi. Dikemukakan
oleh
Ulrich
bahwa,”Intellectual
Capital=Competence
x
Commitment.”
Sedangkan menurut Boulter et al. (dalam Rosidah, 2003:11),
kompetensi
adalah
karakteristik
dasar
dari
seseorang
yang
memungkinkan pegawai mengeluarkan kinerja superior dalam
pekerjaannya. Berdasarkan uraian di atas makna kompetensi
16
mengandung bagian kepribadian yang mendalam dan melekat pada
seseorang dengan perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai
keadaan dan tugas pekerjaan. Prediksi siapa yang berkinerja baik dan
kurang baik dapat diukur dari kriteria atau standar yang digunakan.
2.
Karakteristik Kompetensi
Spencer
and
Spencer
(1993:9)
mengemukakan
bahwa
kompetensi individu merupakan karakter sikap dan perilaku, atau
kemampuan individual yang relatif bersifat stabil ketika menghadapi
suatu situasi di tempat kerja yang terbentuk dari sinergi antara watak,
konsep
diri,
motivasi
internal,
serta
kapasitas
pengetahuan
kontekstual. Ada lima karakteristik utama dari kompetensi yang pada
akhirnya akan mempengaruhi kinerja individu karyawan, yaitu :
1. Motif (motives), yaitu sesuatu yang dipikirkan atau diinginkan
oleh seseorang secara konsisten dan adanya dorongan untuk
mewujudkannya dalam bentuk tindakan-tindakan. Marshall
(2003:40) juga mengatakan bahwa motif adalah pikiran-pikiran
dan preferensi-preferensi tidak sadar yang mendorong perilaku
karena perilaku merupakan sumber kepuasan. Motif mendorong,
mengarahkan, dan memilih perilaku menuju tindakan atau tujuan
tertentu.
2. Watak (traits), yaitu karakteristik mental dan konsistensi respon
seseorang terhadap rangsangan, tekanan, situasi, atau informasi.
Hal ini dipertegas oleh Marshall (2003:40) yang mengatakan
17
bahwa watak adalah karakteristik yang mengakar pada diri
seseorang dan mencerminkan kecenderungan yang dimilikinya.
3. Konsep diri (self concept), yaitu tata nilai luhur yang dijunjung
tinggi oleh seseorang, yang mencerminkan tentang bayangan diri
atau sikap diri terhadap masa depan yang dicita-citakan atau
terhadap suatu fenomena yang terjadi di lingkungannya. Marshall
(2003:40) juga mengungkapkan bahwa konsep diri adalah
gambaran yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri dan
hal mencerminkan identitas dirinya. Disamping itu, Kreitner and
Kinicki (2001:137) bahwa konsep diri adalah persepsi diri
seseorang sebagai makhluk fisik, sosial dan spiritual.
4. Pengetahuan (knowledge), yaitu informasi yang memiliki makna
yang dimiliki seseorang dalam bidang kajian tertentu.
5. Keterampilan (skill), yaitu kemampuan untuk melakukan suatu
pekerjaan fisik atau mental. Dale (2003:29) mengatakan bahwa
keterampilan adalah aspek perilaku yang bisa dipelajari melalui
latihan yang digunakan untuk memenuhi tuntutan pekerjaan.
3.
Jenis Kompetensi
Pengklasifikasian jenis kompetensi biasanya dilihat dari
dimensi manusia secara personal dan hubungan antara personal
karena manusia adalah mahluk sosial. Willy Susilo (2001:17) dan
Zohar & Marshall (2000:3) mengatakan manusia memiliki tiga
dimensi, yaitu (1). fisik (body), (2). emosi (mind), dan (3). spiritual
18
(soul); dan atas dasar dimensi ini lalu mereka mengelompokkan
kompetensi menjadi tiga, yakni (a). kompetensi intelektual, (b).
kompetensi emosional, dan (c). kompetensi spiritual.
Menurut Spencer and Spencer (1993:34) mengklasifikasikan
dimensi dan komponen kompetensi individual menjadi tiga, yaitu :
(a). kompetensi intelektual, (b). kompetensi emosional, dan (c).
kompetensi sosial. Nampaknya spencer and Spencer telah melihat
komponen kompetensi dari aspek dimensi manusia dan hubungan
antarp-personal, tetapi belum menghasilkan komponen kompetensi
spiritual.
Uraian dari masing-masing kompetensi secara rinci dijelaskan
sebagai berikut :
1. Kompetensi intelektual
Kompetensi intelektual adalah karakter sikap dan perilaku
atau kemauan dan kemampuan intelektual individu (dapat berupa
pengetahuan, keterampilan, pemahaman profesional, pemahaman
kontekstual, dan lain-lain) yang bersifat relatif stabil ketika
menghadapi permasalahan di tempat kerja, yang dibentuk dari
sinergi antara watak, konsep diri, motivasi internal, serta kapasitas
pengetahuan kontekstual (Nahapiet & Ghoshal, 1998: 245).
Robbins & Judge (2007: 42) juga mengatakan bahwa kompetensi
intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan
kegiatan mental.
19
Kompetensi intelektual ini terinternalisasi dalam bentuk
sembilan kompetensi (Spencer & Spencer, 1993:35) sebagai
berikut :
a. Berprestasi, yaitu kemauan atau semangat seseorang untuk
berusaha mencapai kinerja terbaik dengan menetapkan tujuan
yang menantang serta menggunakan cara yang lebih baik
secara terus-menerus.
b. Kepastian kerja, yaitu kemauan dan kemampuan seseorang
untuk meningkatkan kejelasan kerja dengan menetapkan
rencana yang sistematik dan mampu memastikan pencapaian
tujuan berdasarkan data/informasi yang akurat.
c. Inisiatif, yaitu kemauan seseorang untuk bertindak melebihi
tuntutan seseorang, atau sifat keinginan untuk mengetahui halhal yang baru dengan mengevaluasi, menyeleksi, dan
melaksanakan
berbagai
metode
dan
strategi
untuk
meningkatkan kinerja. Inisiatif juga sangat berkaitan erat
dengan
konsep
kreativitas,
yaitu
kompetensi
yang
berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk berpikir dan
bertindak secara berbeda dari kebiasaan dan lebih efektif.
Dimensi dari kreatifitas ini memiliki empat sifat atau ciri, yaitu
(a). peka terhadap masalah, (b). kaya akan gagasan/alternatif
pemecahan, (c). mampu menghasilkan ide asli, dan (d).
20
memiliki sikap fleksibilitas (bersedia mempertimbangkan
berbagai gagasan).
d. Penguasaan informasi, yaitu kepedulian seseorang untuk
meningkatkan kualitas keputusan dan tindakan berdasarkan
informasi
yang
handal
dan
akurat
serta
berdasarkan
pengalaman dan pengetahuan atas kondisi lingkungan kerja
(konteks permasalahan).
e. Berpikir
analitik,
yaitu
kemampuan
seseorang
untuk
memahami situasi dengan cara menguraikan permasalahn
menjadi
komponen-komponen
menganalisis
permasalahan
yang
secara
lebih
rinci
serta
sistematik/bertahap
berdasarkan pendekatan logis.
f. Berpikir konseptual, yaitu kemampuan seseorang untuk
memahami dan memandang suatu permasalahan sebagai satu
kesatuan yang meliputi kemampuan yang memahami akar
permasalahan atau pola keterkaitan komponen masalah yang
bersifat abstrak (kualitatif) secara sistematik.
g. Keahlian praktikal, yaitu kemampuan menguasai pengetahuan
eksplisit berupa keahlian untuk menyelesaikan pekerjaan serta
kemauan untuk memperbaiki dan mengembangkan diri sendiri.
h. Kemampuan
linguistik,
yaitu
kemampuan
untuk
menyampaikan pemikiran atau gagasan secara lisan atau tulis
21
untuk kemudian didiskusikan atau didialogkan sehingga
terbentuk kesamaan persepsi.
i. Kemampuan naratif, yaitu kemampuan untuk menyampaikan
pokok-pokok pikiran dan gagasan dalam suatu pertemuan
formal atau informal dengan menggunakan media cerita,
dongeng atau perumpamaan.
2. Kompetensi emosional
Kompetensi emosional adalah karakter sikap dan perilaku
atau kemauan dan kemampuan untuk menguasai diri dan
memahami lingkungan secara objektif dan moralis sehingga pola
emosinya relatif stabil ketika menghadapi berbagai permasalahan
di tempat kerja yang terbentuk melalui sinergi antara watak,
konsep diri, motivasi internal serta kapasitas pengetahuan
mental/emosional (Spencer & Spencer, 1993: 35).
Kompetensi emosional individu terinternalisasi dalam bentuk
enam tingkat kemauan dan kemampuan (Spencer & Spencer,
1993:37) sebagai berikut:
a. Sensitivitas atau saling pengertian, yaitu kemampuan dan
kemauan untuk memahami, mendengarkan, dan menanggapi
hal-hal yang tidak dikatakan orang lain, yang bisa berupa
pemahaman atas pemikiran dan perasaan serta kelebihan dan
keterbatasan orang lain.
22
b. Kepedulian terhadap kepuasan pelanggan internal dan
eksternal, yaitu keinginan untuk membantu dan melayani
pelanggan internal dan eksternal.
c. Pengendalian diri, yaitu kemampuan untuk mengendalikan
prestasi dan emosi pada saat menghadapi tekanan sehingga
tidak melakukan tindakan yang negatif dalam situasi apapun.
d. Percaya diri, yaitu keyakinan seseorang untuk menunjukkan
citra diri, keahlian, kemampuan serta pertimbangan yang
positif.
e. Kemampuan beradaptasi, yaitu kemampuan menyesuaikan diri
dan bekerja secara efektif pada berbagai situasi dan mampu
melihat dari setiap perubahan situasi.
f. Komitmen pada organisasi, yaitu kemampuan seseorang untuk
mengikatkan diri terhadap visi dan misi organisasi dengan
memahami kaitan antara tanggung jawab pekerjaannya dengan
tujuan organisasi secara keseluruhan.
3. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah karakter sikap dan perilaku atau
kemauan dan kemampuan untuk membangun simpul-simpul kerja
sama dengan orang lain yang relatif bersifat stabil ketika
menghadapi permasalah di tempat kerja yang terbentuk melalui
sinergi antara watak, konsep diri, motivasi internal serta kapsitas
pengetahuan sosial (Imam sugeng, 2002:200).
23
Kompetensi sosial individu terinternalisasi dalam bentuk
tujuh tingkat kemauan dan kemampuan (Spencer & Spencer,
1993:39) sebagai berikut :

Pengaruh dan dampak, yaitu kemampuan meyakinkan dan
mempengaruhi orang lain untuk secara efektif dan terbuka
dalam berbagi pengetahuan, pemikiran dan ide-ide secara
perorangan atau dalam kelompok agar mau mendukung
gagasan atau idenya.

Kesadaran berorganisasi, yaitu kemampuan untuk memahami
posisi dan kekuasaan secara komprehensif baik dalam
organisasi maupun dengan pihak-pihak eksternal perusahaan.

Membangun hubungan kerja, yaitu kemampuan untuk
membangun dan memelihara jaringan kerja sama agar tetap
hangat dan akrab.

Mengembangkan orang lain,
yaitu kemampuan
untuk
meningkatkan keahlian bawahan atau orang lain dengan
memberikan
umpan
balik
yang
bersifat
membangun
berdasarkan fakta yang spesifik serta memberikan pelatihan,
dan
memberi
wewenang
untuk
memberdayakan
dan
meningkatkan partisipasinya.

Mengarahkan bawahan, yaitu kemampuan memerintah,
mempengaruhi,
dan
24
mengarahkan
bawahan
dengan
melaksanakan strategi dan hubungan interpersonal agar
mereka mau mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Kerja tim, yaitu keinginan dan kemampuan untuk bekerja
sama dengan orang lain secara koperatif yang menjadi bagian
yang bermakna dari suatu tim untuk mencapai solusi yang
bermanfaat bagi semua pihak.

Kepemimpinan kelompok, yaitu keinginan dan kemampuan
untuk berperan sebagai pemimpin kelompok dan mampu
menjadi
suri
teladan
bagi
anggota
kelompok
yang
dipimpinnya.
4. Kompetensi Spiritual
Kompetensi spiritual adalah karakter dan sikap yang
merupakan bagian dari kesadaran yang paling dalam pada
seseorang yang berhubungan dengan sadar yang tidak hanya
mengakui keberadaan nilai tetapi juga kreatif untuk menemukan
nilai-nilai baru (Zohar & Marshall, 2000:1).
Menurut Zohar & Marshall (2000:15) ada sembilan ciri
pengembangan kompetensi spiritual yang tinggi, yaitu:

Kemampuan bersikap fleksibel atau adaptif

Tingkat kesadaran diri yang tinggi

Kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi penderitaan

Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit

Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
25
5.

Keengganan untuk membuat kerugian yang tidak perlu

Kecenderungan untuk melihat segala sesuatu secara holistik

Kecenderungan untuk selalu bertanya mengapa

Memiliki kemudahan untuk melawan konvensi
Dimensi Kompetensi Individu
Ada lima dimensi kompetensi yang harus dimiliki oleh semua
individu (Moeheriono, 2009:15) yaitu sebagai berikut:
1. Keterampilan
menjalankan
tugas
(Task-skills),
yaitu
keterampilan untuk melaksanakan tugas-tugas rutin sesuai
dengan standar di tempat kerja.
2. Keterampilan mengelola tugas (Task management skills), yaitu
keterampilan untuk mengelola serangkaian tugas yang berbeda
yang muncul di dalam pekerjaan.
3. Keterampilan mengambil tindakan (Contingency management
skills), yaitu keterampilan mengambil tindakan yang cepat dan
tepat bila timbul suatu masalah di dalam pekerjaan.
4. Keterampilan bekerja sama (Job role environment skills), yaitu
keterampilan untuk bekerja sama serta memelihara kenyamanan
lingkungan kerja.
5. Keterampilan beradaptasi (Transfer skill), yaitu keterampilan
untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru.
26
6.
Manfaat Penggunaan Kompetensi
Konsep kompetensi sudah mulai diterapkan dalam berbagai
aspek dari manajemen sumber daya manusia walaupun yang paling
banyak adalah pada bidang pelatihan dan pengembangan, rekrutmen
dan seleksi, dan sistem remunerasi. Ruky (dalam Sutrisno,
2010:2008), mengemukakan konsep kompetensi menjadi semakin
popular dan sudah banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan
besar dengan berbagai alasan yaitu:
1. Memperjelas standar kerja dan harapan yang ingin dicapai.
Dalam hal ini, model kompetensi akan mampu menjawab dua
pertanyaan
mendasar:
keterampilan,
pengetahuan,
dan
karakteristik apa saja yang dibutuhkan dalam pekerjaan, dan
perilaku apa saja yang berpengaruh langsung dengan kinerja.
Kedua hal tersebut akan banyak membantu dalam mengurangi
pengambilan keputusan secara subjektif dalam bidang sumber
daya manusia.
2. Alat seleksi karyawan
Penggunaan kompetensi standar sebagai alat seleksi dapat
membantu organisasi untuk memilih calon karyawan yang
terbaik. Dengan kejelasan terhadap perilaku efektif yang
diharapkan dari karyawan, kita dapat mengarahkan pada sasaran
yang selektif serta mengurangi biaya rekrutmen yang tidak perlu.
Caranya
dengan
mengembangkan
27
suatu
perilaku
yang
dibutuhkan untuk setiap fungsi jabatan serta memfokuskan
wawancara seleksi pada perilaku yang dicari.
3. Memaksimalkan produktivitas
Tuntutan
untuk
menjadikan
suatu
organisasi
.ramping.
mengharuskan kita untuk mencari karyawan yang dapat
dikembangkan secara terarah untuk menutupi kesenjangan dalam
keterampilannya sehingga mampu untuk dimobilisasikan secara
vertikal maupun horizontal.
4. Dasar untuk pengembangan sistem remunerasi
Model kompetensi dapat digunakan untuk mengembangkan
sistem remunerasi (imbalan) yang akan dianggap lebih adil.
Kebijakan remunerasi akan lebih terarah dan transparan dengan
mengaitkan sebanyak mungkin keputusan dengan suatu set
perilaku yang diharapkan yang ditampilkan seorang karyawan
5. Memudahkan adaptasi terhadap perubahan
Dalam era perubahan yang sangat cepat, sifat dari suatu
pekerjaan sangat cepat berubah dan kebutuhan akan kemampuan
baru terus meningkat. Model kompetensi memberikan sarana
untuk menetapkan keterampilan apa saja yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan yang selalu berubah.
28
6. Menyelaraskan perilaku kerja dengan nilai-nilai organisasi
Model kompetensi merupakan cara yang paling mudah untuk
mengkomunikasikan nilai-nilai dan hal-hal apa saja yang harus
menjadi fokus dalam unjuk kerja karyawan
C. Kecerdasan Emosi
1.
Pengertian Kecerdasan Emosi
Istilah
kecerdasan
emosional
(emotional
intelligence)
diperkenalkan pertama kali oleh Salovey dan Meyer (1990 dalam Sy
dan Cote 2004). Menurut Salovey dan Meyer, 1999 (handbook
Emotional Intelligence training, prime consulting, p.11) kecerdasan
emosi adalah kemampuan untuk merasakan emosi, menerima dan
membangun emosi dengan baik, memahami emosi dan pengetahuan
emosional sehingga dapat meningkatkan perkembangan emosi dan
intelektual.
Salovey juga memberikan definisi dasar tentang kecerdasan
emosi dalam lima wilayah utama yaitu, kemampuan mengenali emosi
diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi
orang kain, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain.
Seorang ahli kecerdasan emosi, Goleman (2000, p.xiii) mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan kecerdasan emosi di dalamnya
termasuk kemampuan mengontrol diri, memacu, tetap tekun, serta
29
dapat memotivasi diri sendiri. Kecakapan tersebut mencakup
pengelolaan bentuk emosi baik yang positif maupun negatif.
Purba (1999, p.64) berpendapat bahwa kecerdasan emosi adalah
kemampuan di bidang emosi yaitu kesanggupan menghadapi frustasi,
kemampuan mengendalikan emosi, semamgat optimisme, dan
kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain atau empati. Hal
tersebut seperti yang dikemukakan Patton (1998, p.3) bahwa
penggunaan emosi yang efektif akan dapat mencapai tujuan dalam
membangun hubungan yang produktif dan meraih keberhasilan kerja
Menurut Ary Ginanjar Agustian (2002:199) kecerdasan
emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara
efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi,
informasi, dan pengaruh manusia. Kecerdasan emosional menurut
Goleman
(2002:512) adalah
kemampuan
seseorang mengatur
kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life
with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya
(the appropriateness of emotion and its expression) melalui
keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati
dan keterampilan sosial.
Patton (dalam Setiyawan, 2005) memberi definisi mengenai
kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk menggunakan emosi
secara efektif untuk mencapai tujuan membangun produktif dan
meraih keberhasilan. Menggunakan emosi secara efektif individu akan
30
lebih bertanggung jawab, lebih mampu memusatkan perhatian pada
tugas, tidak impulsif, lebih bisa mengendalikan diri yang pada
akhirnya dapat meningkatkan kinerja.
Sedangkan menurut Imam Kam (2009:102) kecerdasan
emosional merupakan kemampuan seseorang untuk memotivasi
dirinya sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan
dorongan hati (kegembiraan, kesedihan, kemarahan dan lain-lain)
tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, dan
mampu mengendalikan stres. Kecerdasan emosional berdasarkan teori
yang telah dijelaskan adalah kemampuan diri seorang individu untuk
mengenali perasaannya secara optimal sehingga dapat mengatur
dirinya
sendiri,
menimbulkan
motivasi
dalam
dirinya
untuk
meningkatkan kualitas hidupnya dan dapat membina hubungan baik
terhadap orang lain dan juga mampu menimbulkan rasa empati di
lingkungan sosial.
Selanjutnya Howes dan Herald (1999 dalam Abidin 1999)
mengatakan pada intinya kecerdasan emosional merupakan komponen
yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Senada
dengan Sy (2004), bahwa karyawan yang secara emosional cerdas
dapat memahami bagaimana emosi terjadi, dapat mengatur emosinya,
mengurangi emosi tidak produktif yang menjadi penghalang dalam
bekerjasama, serta mengambil langkah-langkah proaktif untuk
mencapai keberhasilan dalam bekerja.
31
Menurut Robbins (2003, p.144) Kecerdasan Emosional merujuk
pada satu keanekaragaman keterampilan, kapabilitas, dan kompetensi
kognitif, yang mempengaruhi kemampuan sesorang untuk berhasil
dalam menghadapi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence merujuk kepada
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola
emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan
orang lain (Goleman, 2005, P.512).
2.
Ciri-ciri Kecerdasan Emosional
Secara konseptual, kerangka kerja kecerdasan emosional yang
dikemukakan oleh Carson, dan Birkenmeier ( 2000); Goleman (1998,
dalam Deeter, dkk, 2003) meliputi dimensi-dimensi sebagai berikut :
1. Kesadaran Diri (Self-Awareness)
2. Pengaturan diri (Self-Regulation)
3. Motivasi Diri (Self-Motivation)
4. Empati (Empathy)
5. Keterampilan hubungan antar pribadi (Interpersonal Skill)
Menurut Goleman (2004, p.45), ciri-ciri kecerdasan emosional
meliputi kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan
menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebihlebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban
stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa
32
Kecerdasan Emosi dapat diukur dari beberapa aspek-aspek
yang ada. Goleman (2001, p.42-43) mengemukakan lima kecakapan
dasar dalam kecerdasan Emosi, yaitu:
1. Self awareness
Merupakan kemampuan sesorang untuk mengetahui perasaan
dalam dirinya dan efeknya serta menggunakannya untuk membuat
keputusan bagi diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis,
atau kemampuan diri dan mempunyai kepercayaan diri yang kuat
lalu mengkaitkannya dengan sumber penyebabnya.
2. Self management
Yaitu merupakan kemampuan menangani emosinya sendiri,
mengekspresikan serta mengendalikan emosi, memiliki kepekaan
terhadap kata hati, untuk digunakan dalam hubungan dan tindakan
sehari-hari.
3. Motivation
Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat untuk
setiap saat membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai
keadaan yang lebih baik serta mampu mengambil inisiatif dan
bertindak secara efektif, mampu bertahan menghadapi kegagalan
dan frustasi.
4. Empati (social awareness)
Empati
merupakan
kemampuan
merasakan
apa
yang
dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif orang
33
lain, dan menimbulkan hubungan saling percaya serta mampu
menyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu
5. Relationship management
Merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika
berhubungan
dengan
mempertahankan
mempengaruhi,
orang
hubungan
memimpin,
lain
dan
dengan
menciptakan
orang
bermusyawarah,
lain,
serta
bisa
menyelesaikan
perselisihan dan bekerja sama dalam tim.
Sri
Iswati
yang
dikutip
Sebtina
Mulya
(2007,
p.16)
menyebutkan beberapa ciri kecerdasan emosional, yaitu:
1). Memiliki kemampuan untuk mendengarkan dan berkomunikasi
lisan.
2). Beradaptasi
3). Berkreasi
4). Berketahanan mental terhadap kegagalan
5). Kepercayaan diri
6). Kerjasama tim
7). Dorongan untuk memberi kontribusi pada yang lain.
Goleman
(2002:58-59)
mengutip
Salovey
menempatkan
menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar
tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas
kemampuan tersebut menjadi lima indikator kemampuan utama, yaitu:
34
a. Mengenali emosi diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan
untuk
mengenali
perasaan
sewaktu perasaan itu
terjadi.
Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para
ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood,
yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Ketrampilan
mengenali emosi diri atau kesadaran diri ini dapat dijelaskan
dengan ciri-ciri:
a). Mampu memandang kejadian apapun dengan kesadaran yang
netral dan senantiasa mawas diri.
b). Mampu merasakan dan mengidentifikasi emosi
c). Mampu memahami dan mengontrol alam bawah sadar.
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam
menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau
selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu.
Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri
sendiri,
melepaskan
kecemasan,
kemurungan
atau
ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta
kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
Ketrampilan mengelola emosi ini dapat dijelaskan dengan ciri-ciri
sebagai berikut:
a). Mampu meredakan amarah dengan cepat
35
b). Mampu mengatasi kecemasan
c). Tidak cenderung larut dalam depresi atau kesedihan
d). Bermeditasi atau berdoa bila menghadapi masalah.
c. Memotivasi diri sendiri
Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam
diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri
terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta
mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme,
gairah, optimis dan keyakinan diri. Orang yang memiliki
ketrampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam
hal apapun yang mereka kerjakan. Ketrampilan memotivasi diri
sendiri dapat dijelaskan dengan ciri-ciri:
a). Suka tantangan
b). Mampu menunda pemuasan demi mendapatkan sesuatu yang
lebih baik.
c). Memiliki ketekunan
d). Optimis terhadap apa yang dikerjakan
e). Mampu mencapai flow atau kenikmatan dalam bekerja.
d. Mengenali emosi orang lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga
empati. Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau
peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu
yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap
36
sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apaapa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu
menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan
orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Ketrampilan empati ini dapat dijelaskan dengan ciri-ciri:
a). Mampu membaca perasaan orang lain.
b). Memiliki pertimbangan moral dalam melakukan segala
sesuatu.
c). Memiliki rasa belas kasihan yang tinggi.
e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu
keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan
keberhasilan antar pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi
merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina
hubungan.
Ketrampilan
ini
menunjang
popularitas,
kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Orang yang hebat
dalam ketrampilan ini akan sukses dalam bidang pekerjaan yang
mengandalkan
pergaulan,
mereka
adalah
“bintang-bintang
pergaulan”. Ketrampilan membina hubungan ini dapat dijelaskan
dengan ciri-ciri:
a). Memiliki kharisma atau daya tarik dalam pergaulan.
b). Pandai menangani perselisihan
c). Mampu menularkan emosinya pada orang lain
37
d). Setia kawan.
3.
Cara Untuk Mengembangkan Kecerdasan Emosional
Untuk mengembangkan ketrampilan kecerdasan emosional,
Salovey (dalam Agung R. Harmoko) memberikan beberapa arahan
agar seseorang dapat mengenali dan mengembangkan kecerdasan
emosional seperti:
1). Mengenali emosi diri kesadaran diri, mengenali perasaan sewaktu
perasaan yang dirasakann terjadi merupakan dasar kecerdasan
emosional.
Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu
merupakan hal penting bagi pemahaman diri.
2). Mengelola emosi, menangani perasaan agar dapat terungkap
dengan tepat adalah kecakapan yang tergantung pada kesadaran
diri.
3). Memotivasi diri, penataan emosi sebagai alat untuk mencapai
tujuan adalah hal yang sangat penting dalam keterkaitan memberi
perhatian untuk memotivasi diri sendiri dan mengusai diri serta
mampu melakukan kreasi secara bebas.
4). Memahami emosi orang lain, adalah kemampuan yang juga
tergantung
pada
kesadaran
diri
emosional,
kemampuan bergaul/berinteraksi dengan orang lain.
38
merupakan
5). Membina
hubungan,
ketrampilan
membina
hubungan
ini
merupakan bagian dari ketrampilan sosial dan dapat menunjang
seseorang dalam mengembangkan pergaulan. Hal ini dapat
dilakukan dengan melakukan komunikasi.
6). Berkomunikasi “dengan jiwa”. Tidak hanya menjadi pembicara,
terkadang seseorang harus memberikan waktu kepada lawan
untuk berbicara juga dengan demikian posisikan diri menjadi
pendengar dan penanya. Dengan hal ini diharapkan seseorang
mampu membedakan antara apa yang mereka lakukan dan
katakan dengan reaksi atau penilaian.
4.
Aspek Kecerdasan Emosional dalam Manajemen
Dalam suatu organisasi, setiap pegawai berinteraksi dengan
pegawai lainnya. Dibutuhkan rasa nyaman dan menyenangkan dari
setiap pegawai, sehingga mereka dapat bekerjasama dengan baik, serta
memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan kelompok, mampu
berkomunikasi dengan baik, mampu mengelola konflik yang terjadi
dalam organisasi, serta menjadi katalisator perubahan yang terjadi
dalam organisasi.
Kemampuan seorang pegawai dalam mengatur emosinya secara
cerdas akan memunculkan sosok pegawai yang mampu mengunakan
emosinya secara benar, tenang dalam bekerja dan dapat mengambil
keputusan dengan tepat. Pegawai demikian akan efektif dalam
39
melaksanakan tugasnya. Menurut Carter (2010), ada dua aspek utama
kecerdasan emosional yaitu: (1) memahami diri sendiri, tujuan, citacita, respons, dan perilaku, (2) memahami orang lain dan perasaan
mereka.
Dengan memiliki kecerdasan emosional yang baik, yakni
memahami perasaan sendiri akan memunculkan sikap bijaksana dalam
mengambil keputusan, serta dapat mengungkapkan emosinya secara
selaras. Pegawai yang mampu mengendalikan dirinya sendiri selalu
tenang dalam menghadapi permasalahan dalam pekerjaan, sehingga
dapat mengatasi permasalahan dengan pikiran yang jernih, juga akan
dapat
bernegosiasi
dalam
memecahkan
suatu
masalah
atau
memecahkan silang pendapat diantara pegawai yang lain. Selain itu
mampu menciptakan sinergi kelompok dan dapat bekerjasama dengan
orang lain demi tujuan bersama.
Goleman (2005), menjelaskan bahwa emosi sangat penting bagi
kehidupan manusia kerena emosi merupakan penggerak perilaku
(motivator) dalam arti dapat meningkatkan kinerja, namun sebaliknya
apabila
kecemasan
yang ditimbulkan
berlebihan
akan
dapat
menghambat prestasi kerjanya. Pendapat tersebut memperlihatkan
bahwa terdapat dua sisi dari emosi, yaitu emosi yang terkendali akan
menjadi motivator terhadap peningkatan kualitas perilaku, sedang
emosi
yang
tidak
terkendali
terutama
apabila
menimbulkan
kecemasan berlebihan akan menjadi penghambat prestasi. Oleh sebab
40
itu, seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik harus
mampu mengelola dengan baik, sehingga menjadi motivator perilaku,
dan
menekan
emosi
(kecemasan
berlebihan)
yang
menjadi
penghambat dalam meningkatkan kinerja.
Menurut Carter, (2010), orang yang memiliki soft competency
sering disebut memiliki kecerdasan emosional atau emotional
intelligence, yang sering diukur sebagai emotional intelligent quotient
(EQ), adalah kemampuan untuk menyadari emosi diri sendiri dan
emosi orang lain. Adanya hubungan antara kompetensi dan
kemampuan seseorang dalam mengendalikan emosi sangat bermanfaat
untuk mengembangkan kompetensi seseorang. Apabila seseorang
ingin merubah kompetensinya, dia harus mampu merubah cara
berpikirnya, terutama dalam menggunakan kemampuan intelegensinya
serta mengendalikan emosinya.
Jika kita mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional
kita dengan tidak menjalankan disiplin diri untuk berusaha mencapai
kemenangan pribadi yang selanjutnya akan membawa kemenangan
publik, kita akan mengalami trauma-trauma emosional, stres,
membawa kemenangan publik, kita akan mengalami trauma-trauma
emosional, stres, dan emosi-emosi yang negatif dan merusak, seperti
marah, iri hati, ketamakan, kecemburuan, dan rasa bersalah yang
irasional.
41
Pengembangan kompetensi teknis biasanya lebih mudah
dilakukan daripada pengembangan kompetensi perilaku karena
kompetensi teknis lebih fokus kepada pengetahuan dan keterampilan
yang dapat diperoleh dan dikembangkan dengan hanya membaca,
mendengar atau mengikuti pelatihan.
Berbeda dari kompetensi teknis, pengembangan kompetensi
perilaku memerlukan waktu yang lebih panjang karena pengembangan
kompetensi perilaku memerlukan perubahan sikap. Perubahan sikap
tersebut erat hubungannya dengan keseimbangan emosi dan logika,
karena itu perubahan sikap tersebut memerlukan kecerdasan emosi.
Dengan kemampuan emosional yang berkembang baik, seseorang
kemungkinan besar ia akan berhasil dan bahagia dalam kehidupannya,
karena
ia
menguasai
kebiasaan
berfikir
yang
mendorong
produktivitasnya. Sedangkan orang yang tidak dapat mengendalikan
kehidupan emosionalnya, ia akan mengalami pertarungan batin, yang
merampas kemampuan mereka dalam memusatkan perhatian pada
pekerjaan. Dengan demikian, konsep kecerdasan emosional berarti
memiliki kesadaran diri yang memungkinkan diri sendiri untuk
mengenali perasaan-perasaan dan mengelola emosi diri sendiri dan itu
melibatkan motivasi diri dan mampu untuk fokus pada sebuah tujuan
dari pada menuntut pemenuhan segera.
42
D. Kinerja Pegawai
1. Pengertian Kinerja Pegawai
Kinerja dapat diartikan sebagai prestasi atau performance yang
berarti hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang
dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai
tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum
dan sesuai dengan moral maupun etika (Alek S. Nitisemito,
2001:89).
Definisi kinerja dapat kita ambil dari kamus Bahasa Indonesia
yang
diartikan
sebagai
suatu
yang
dicapai,
prestasi
yang
diperlihatkan dari kemampuan kerja. Kinerja (performance) berasal
dari kata “to perform”, arti performance atau kinerja adalah hasil
kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam
satu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab
masing-masing,
dalam
upaya
mencapai
tujuan
organisasi
bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan
moral maupun etika.
Di samping itu, kinerja diartikan sebagai hasil kerja seorang
pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara
keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat ditunjukkan
buktinya secara konkrit dan dapat di ukur. Beberapa kata kunci dari
defenisi kinerja yaitu: hasil kerja pekerja, proses atau organisasi,
43
terbukti secara konkrit dapat di ukur dan di bandingkan dengan
standar yang telah ditentukan. (Soeprihanto 1999:22).
Pengertian kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam kemampuan
melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan tanggungjawab yang
diberikan oleh atasan kepadanya. Selain itu, kinerja juga dapat
diartikan sebagai suatu hasil dan usaha seseorang yang dicapai
dengan adanya kemampuan dan perbuatan dalam situasi tertentu.
Pengertian kinerja adalah hasil pegawai yang dapat dicapai
oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing. Dalam
rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan sacara legal,
tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan
suatu
kegiatan/program
kebijaksanaan
dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi.
Pengertian kinerja menurut Siswanto (2002:235) menyatakan
bahwa kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang
diberikan kepadanya.
Sedangkan
pengertian
kinerja
menurut
Anwar
Prabu
(2003:355) kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan
44
setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan
sesuai dengan perannya dalam perusahaan.
Selanjutnya Rivai (2005:309) mengatakan bahwa kinerja
merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai
prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya
dalam perusahaan. Pengertian kinerja juga dikemukakan oleh
beberapa ahli manajemen dalam (Tika, 2006:121) antara lain sebagai
berikut:
a. Prawiro Suntoro mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil
kerja yang dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu
organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi dalam
periode tertentu.
b. Handoko
mendefinisikan
kinerja
sebagai
proses
dimana
organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan.
Pengertian kinerja menurut Benardin dan Russell (1998: 239)
adalah pencatatan outcome yang dihasilkan pada fungsi atau aktivitas
pekerjaan secara khusus selama periode waktu tertentu. Menurut
Wood et al. (2001: 114) kinerja merupakan suatu pengukuran
ringkas dari kuantitas dan kualitas kontribusi tugas-tugas yang
dilakukan oleh individu atau kelompok untuk kerja unit atau
organisasi.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, penulis mengambil
kesimpulan tentang definisi dari kinerja seseorang pegawai adalah
45
sebagai hasil pekerjaan atau kegiatan seorang pegawai secara
kualitas dan kuantitas dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan
dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Prawirasentono (2001:12) telah menyatakan, efektivitas dan
efisiensi. Bila suatu tujuan tertentu akhirnya bisa dicapai, kita boleh
mengatakan bahwa kegiatan tersebut efektif tetapi apabila akibatakibat yang tidak dicari kegiatan mempunyai nilai yang penting dari
hasil yang dicapai sehingga mengakibatkan ketidakpuasan walaupun
efektif dinamakan tidak efisien. Sebaliknya bila akibat yang dicaricari tidak penting atau remeh maka kegiatan tersebut efisien.
Menurut Gibson, et al. (dalam Novitasari, 2003:39-40), ada
tiga perangkat variabel yang mempengaruhi perilaku dan prestasi
kerja atau kinerja, yaitu:
1. Variabel individual, terdiri dari:
a.
Kemampuan dan ketrampilan: mental dan fisik
b. Latar belakang: keluarga, tingkat sosial, penggajian
c. Demografis: umur, asal-usul, jenis kelamin.
2. Variabel
organisasional,
terdiri
dari:
sumber
daya,
kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.
3. Variabel psikologis, terdiri dari: persepsi, sikap, kepribadian,
belajar dan motivasi.
46
Menurut Tiffin dan Me. Cormick (dalam Novitasari, 2003:3637) ada dua variabel yang dapat mempengaruhi kinerja, yaitu:
1. Variabel individual, meliputi: sikap, karakteristik, sifat-sifat
fisik, minat dan motivasi, pengalaman, umur, jenis kelamin,
pendidikan, serta faktor individual lainnya.
2. Variabel situasional:
a. Faktor fisik dan pekerjaan, terdiri dari ; metode kcrja, kondisi
dan desain perlengkapan kerja, penataan ruang dan
lingkungan fisik (penyinaran, temperatur, dan ventilasi)
b. Faktor sosial dan organisasi, meliputi: peraturan-peraturan
organisasi, sifat organisasi, jenis latihan dan pengawasan,
sistem upah dan lingkungan sosial.
Mengukur kinerja secara struktur organisasi hal yang dinilai
adalah keefektifan dan tingkat efisiensi struktur organisasi tersebut.
Bisa dinilai struktur organisasi yang ada kurang memenuhi
efektifitas, berarti kinerja organisasi tersebut dianggap tidak
memenuhi kebutuhan lagi. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan
tentang kemungkinan menyempurnakan struktur sesuai dengan
kebutuhan.
3. Indikator Pengukuran Kinerja Pegawai
Pengukuran
Kinerja
Pegawai,
menurut
Agus
Dharma
(2003:355) mengatakan hampir semua cara pengukuran kinerja
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
47
a)
kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai.
b)
kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya).
Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran atau
tingkat kepuasan yaitu seberapa baik penyelesaiannya
c)
ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang
direncanakan.
Sedangkan menurut Mathis (2002:78) yang menjadi
indikator dalam mengukur kinerja atau prestasi karyawan adalah
sebagai berikut:
a)
kuantitas kerja, yaitu volume kerja yang dihasilkan dalam
kondisi normal.
b)
kualitas kerja, yaitu dapat berupa kerapian ketelitian dan
keterkaitan hasil dengan tidak mengabaikan volume pekerjaan.
c)
pemanfaatan waktu, yaitu penggunaan masa kerja yang
disesuaikan dengan kebijaksanaan perusahaan atau lembaga
pemerintahan.
d)
kerjasama, yaitu kemampuan menangani hubungan dengan
orang lain dalam pekerjaan.
Menurut Benardin & Russell (1998 : 383) ada 6 (enam) kriteria
primer yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja :
1. Quality, merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil
pelaksanaan kegiatan mendekati kesempurnaan atau mendekati
tujuan yang diharapkan.
48
2. Quantity, merupakan jumlah yang dihasilkan, misalnya jumlah
rupiah, jumlah unit, jumlah siklus kegiatan yang diselesaikan.
3. Timeliness
adalah
diselesaikan
tingkat
pada
sejauh
waktu
yang
mana
suatu
kegiatan
dikehendaki
dengan
memperhatikan koordinasi output lain serta waktu yang tersedia
untuk kegiatan lain.
4. Cost – effectiveness adalah tingkat sejauh mana penggunaan daya
organisasi
(manusia,
keuangan,
teknologi,
material)
dimaksimalkan untuk mencapai hasil tertinggi atau pengurangan
kerugian dari setiap unit penggunaan sumber daya.
5. Need for supervision, merupakan tingkat sejauh mana seseorang
pekerja dapat melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa
memerlukan pengawasan seorang supervisor untuk mencegah
tindakan yang kurang diinginkan.
6. Interpersonal impact, merupakan tingkat sejauh mana karyawan
memelihara harga diri, nama baik dan kerjasama diantara rekan
kerja dan bawahan.
4. Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja (performance appraisal) memainkan peranan
yang sangat penting dalam peningkatan motivasi di tempat kerja.
Karyawan menginginkan dan memerlukan balikan berkenan dengan
prestasi mereka dan penilaian menyediakan kesempatan untuk
memberikan balikan kepada mereka. Jika kinerja tidak sesuai dengan
49
standar, maka penilaian memberikan kesempatan untuk meninjau
kemajuan karyawan dan untuk menyusun rencana peningkatan
kinerja.
Penilaian kinerja merupakan upaya membandingkan prestasi
aktual karyawan dengan prestasi kerja dengan yang diharapkan
darinya (Dessler 2000). Dalam penilaian kinerja karyawan tidak
hanya menilai hasil fisik, tetapi pelaksanaan pekerjaan secara
keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan
kerja, kerajinan, kedisiplinan, hubungan kerja atau hal-hal khusus
sesuai dengan bidang dan level pekerjaan yang dijabatnya. Menurut
Dessler (2000) ada lima faktor dalam penilaian kinerja yang populer,
yaitu:
a) Prestasi pekerjaan, meliputi: akurasi, ketelitian, keterampilan,
dan penerimaan keluaran.
b) Kuantitas pekerjaan, meliputi: volume keluaran dan kontribusi
c) Kepemimpinan yang diperlukan, meliputi: membutuhkan saran,
arahan atau perbaikan
d) Kedisiplinan, meliputi: kehadiran, sanksi, warkat, regulasi, dapat
dipercaya/diandalkan dan ketepatan waktu.
e) Komunikasi, meliputi: hubungan antar karyawan maupun dengan
pimpinan, media komunikasi.
Menurut Hani Handoko (2002) pengukuran kinerja adalah
usaha untuk merencanakan dan mengontrol proses pengelolaan
50
pekerjaan sehingga dapat dilaksanakan sesuai tujuan yang telah
ditetapkan, penilaian prestasi kerja juga merupakan proses
mengevaluasi dan menilai prestasi kerja karyawan diwaktu yang lalu
atau untuk memprediksi prestasi kerja di waktu yang akan datang
dalam suatu organisasi.
Kinerja karyawan pada dasarnya adalah hasil kerja karyawan
selama periode tertentu. Pemikiran tersebut dibandingkan dengan
target/sasaran yang telah disepakati bersama. Tentunya dalam
penilaian
tetap
mempertimbangkan
berbagai
keadaan
dan
perkembangan yang mempengaruhi kinerja tersebut.
Hani Handoko (2000) menyebutkan bahwa penilaian kinerja
terdiri dari 3 kriteria, yaitu :
a) Penilaian berdasarkan hasil yaitu penilaian yang didasarkan
adanya target-target dan ukurannya spesifik serta dapat diukur.
b) Penilaian berdasarkan perilaku yaitu penilaian perilaku-perilaku
yang berkaitan dengan pekerjaan.
c) Penilaian
berdasarkan
judgement
yaitu
penilaian
yang
berdasarkan kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan, koordinasi,
pengetahuan pekerjaan dan ketrampilan, kreativitas, semangat
kerja, kepribadian, keramahan, intregitas pribadi serta kesadaran
dan dapat dipercaya dalam menyelesaikan tugas.
Menurut PP No.46 Tahun 2011 tentang Penilaian Kinerja
Pegawai Negeri Sipil menyebutkan bahwa Penilaian prestasi kerja
51
PNS adalah suatu proses penilaian secara sistematis yang dilakukan
oleh pejabat penilai terhadap sasaran kerja pegawai dan perilaku
kerja PNS. Penilaian prestasi kerja PNS dilakukan berdasarkan
prinsip:
a. objektif;
b. terukur;
c. akuntabel;
d. partisipatif; dan
e. transparan.
Penilaian Kinerja kerja PNS terdiri atas unsur:
1). SKP (Sasaran Kerja Pegawai)
SKP memuat kegiatan tugas jabatan dan target yang harus
dicapai dalam kurun waktu penilaian yang bersifat nyata dan
dapat diukur. SKP yang telah disusun harus disetujui dan
ditetapkan oleh pejabat penilai. Dalam hal SKP yang disusun
oleh
PNS
tidak
disetujui
oleh
pejabat
penilai
maka
keputusannya diserahkan kepada atasan pejabat penilai dan
bersifat final. SKP ditetapkan setiap tahun pada bulan Januari.
Penilaian SKP meliputi aspek: kuantitas, kualitas, waktu; dan
biaya.
2). Perilaku Kerja
Perilaku
Kerja
meliputi:
orientasi
pelayanan,
integritas,
komitmen, disiplin, kerja sama, dan kepemimpinan. Penilaian
52
perilaku kerja sebagaimana dimaksud dalam dilakukan melalui
pengamatan oleh pejabat penilai terhadap PNS sesuai kriteria
yang ditentukan. Pejabat penilai dalam melakukan penilaian
perilaku kerja PNS sebagaimana dapat mempertimbangkan
masukan dari pejabat penilai lain yang setingkat di lingkungan
unit kerja masing-masing. Nilai perilaku kerja dapat diberikan
paling tinggi 100 (seratus).
Penilaian prestasi kerja sebagaimana dimaksud dalam dilakukan
dengan cara menggabungkan penilaian SKP dengan penilaian perilaku
kerja. Bobot nilai unsur SKP 60% (enam puluh persen) dan perilaku kerja
40% (empat puluh persen). Penilaian prestasi kerja PNS dilaksanakan oleh
pejabat penilai sekali dalam 1 (satu) tahun. Penilaian prestasi kerja
sebagaimana dimaksud pada dilakukan setiap akhir Desember pada tahun
yang bersangkutan dan paling lama akhir Januari tahun berikutnya.
2.2. Landasan Penelitian
Grand Teori yang menjadi landasan penelitian ini adalah Model
Teori Kinerja Gibson. Teori ini memadukan 4 komponen penting yang
dapat disebut sebagai faktor-faktor. Tiga faktor diataranya adalah (1)
Variabel Individu, (2) Variabel Psikologis dan (3) Variabel Organisasi
yang dapat dikategorikan sebagai variabel kausa (independen) terhadap 1
faktor keempat yaitu Variabel Prilaku Individu yang idendtik sebagai
Variabel Kinerja.
53
Variabel
Individu
Variabel
Kinerja
Individu
Variabel
Psikologis
Variabel
Organisasi
Gambar 2.1 Model Teori Kinerja Gibson (2008)
Pada model tersebut dinyatakan ada pengaruh 3 faktor (variabel)
utama terhadap kinerja/pencapaian seseorang baik di dalam produk kerja
yang nampak dalam prestasi kerja per target ataupun dapat dicermati dari
bentuk perubahan perilaku pegawai menyesuaikan diri di jalur ketetapan,
peraturan serta budaya komunitas organisasi yang menjadi tempatnya
bersekutu.
Di dalam kerangka konsep grand teori ini akan diperkaya dan
disederhanakan menyesuaikan materi penelitian dengan garis besar tujuan
penelitian. (1) Pada Variabel Individu dibahas mengenai faktor-faktor
kompetensi, (2) Pada Variabel Psikologis akan dicermati masalah
kecerdasan emosi, (3) Pada Variabel Organisasi akan dibahas mengenai
penilaian kinerja pegawai.
54
Data-data
yang
diukur
dalam
kuesioner
terstruktur
untuk
mencermati persepsi responden menilai apa yang mereka rasakan selama
bekerja di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jepara, kemudia
dianalisis bagaimana regresinya dikaitkan dengan variabel kinerja/perilaku
dari responden satu demi satu. Dari analisis semacam ini diharapkan akan
dapat diketahui besar koefisien pengaruh dari masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen yaitu perubahan perilaku atau
disebut sebagai peningkatan kualitas di dalam pelayanan mereka terhadap
publik.
Sebagai
bahan perbandingan dalam
penelitian Kompetensi
Kinerja pengembangan sumber daya manusia, diantaranya dikemukakan
Fitriyadi (2001) dengan judul Pengaruh Kompetensi Skill, Knowledge,
Ability dalam pengembangan sumber daya manusia terhadap Kinerja
Operator PD. BANGUN BANUA Propinsi Kalimantan Selatan. Hasil
penelitian menunjukkan Variabel Kompetensi Skill Teknis, kompetensi
skill non teknis, knowledge dan ability mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap peningkatan kinerja karyawan. Secara parsial variabel
yang paling besar memberikan pengaruh terhadap peningkatan kinerja
karyawan adalah variabel kompetensi knowledge.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Kartikawangi (2002) dalam
sebuah jurnal dengan judul Karakteristik Sumber Daya Manusia yang
Dibutuhkan
Dunia
Industri/Organisasi.
Hasil
dari
penelitian
ini
menunjukkan karakteristik dasar yang dibutuhkan oleh perusahaan
55
mencakup karakteristik umum (demografi) dan karakteristik khusus yang
mencakup
Knowledge,
Skill,
Ability dan Others (KSAOs).
Dalam
seleksi, karakteristik umum akan dilihat pertama kali, bila memenuhi
persyaratan awal tersebut calon karyawan selanjutnya akan mengikuti
KSAOs. Pemenuhan karakteristik umum oleh calon karyawan dapat
dilihat dari sifat
lamaran dan daftar riwayat hidup dari
Karakteristik khusus diprediksikan
melalui
rangkaian
pelamar.
tes
yang
mencakup keempatnya. Keempat karakteristik khusus dianggap penting
oleh perusahaan dan semakin menguat pada kepribadian (personality)
calon karyawan.
Sedangkan menurut Parulian Hutapea (2001) dari PT. Best Orgz
solusi dalam jurnal yang berjudul Competencies Based Integrated HR
System. Menyimpulkan bahwa salah satu manfaat utama penggunaan
kompetensi dalam organisasi adalah menggerakkan Sumber Daya Manusia
ke arah target yang ingin dicapai perusahaan. Disamping itu kompetensi
akan mendorong karyawan untuk mendapatkan dan menerapkan Skill dan
Knowledge sesuai kebutuhan pekerjaan, karena hal ini merupakan
Instrumen bagi pencapaian targetnya. Untuk itu System pengembangan
sumber daya manusia di perusahaan haruslah berdasarkan kompetensi.
Sistemnya harus terintegrasi mulai dari rekrutmen, penempatan orang,
performance appraisal, sistem kompensasi, dan pengembangan karir.
Penelitian mengenai kecerdasan emosional di tempat kerja sudah
dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Penelitian mengenai
56
bagaimana kecerdasan emosional berhubungan terhadap konflik dan
kesiapan untuk melakukan inovasi, serta pengaruh dari karakteristik
biografis terhadap kecerdasan emosional, konflik, dan kesiapan untuk
inovasi yang dilakukan oleh Abubaks M. Sulaiman terhadap perusahaanperusahaan yang berada di United Arab Emirates menunjukkan bahwa ada
perbedaan antara partisipan – tergantung pada karakteristik biografis
mereka – mengenai persepsi mereka terhadap kecerdasan emosional,
konflik, dan kesiapan untuk inovasi. Pada penelitian Sulaiman, dilaporkan
pula bahwa karyawan dengan kecerdasan emosional yang tinggi
cenderung menunjukkan konflik yang rendah dibandingkan oleh rekan
kerja mereka yang rendah dalam kecerdasan emosional. Selain itu,
kecerdasan emosi karyawan yang tinggi juga menunjukkan tingkat
kesiapan karyawan yang tinggi untuk inovasi. Abraham (1999), peneliti
lain juga menemukan bahwa partisipan dengan kecerdasan emosional yang
tinggi cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi.
Peneliti lain, Wong dan Law (2002) menghipotesiskan bahwa
kecerdasan emosional dari atasan dan bawahan seharusnya mempunyai
dampak yang positif pada kinerja pekerjaan, oleh karena itu mereka
menguji dampak kecerdasan emosional dari atasan dan bawahan pada
kinerja dan sikap. Hasilnya menunjukkan bahwa kecerdasan emosional
dari bawahan berdampak pada kinerja dan kepuasan kerja, sementara
kecerdasan emosional atasan berdampak pada kepuasan dan perilaku
mereka dalam menjalankan peran.
57
Jordan, Ashkansy, Hartel dan Hooper (2002) mencoba mempelajari
hubungan antara kecerdasan emosional, efektifitas tim dan fokus tujuan.
Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kecerdasan emosional dari
anggota tim tercermin dari awal kinerja tim. Mereka menemukan bahwa
tim yang rendah kecerdasan emosionalnya pada awalnya menunjukkan
kinerja pada level rendah daripada tim yang tinggi kecerdasan
emosionalnya.
Brooks dan Nafukho (2006) mencoba menunjukkan integrasi antara
kecerdasan emosional, sumber daya manusia, modal sosial dan
produktivitas organisasi. Mereka menyimpulkan bahwa kecerdasan
emosional jelas berhubungan dengan produktivitas organisasi dan
organisasi harus mencari untuk memperkerjakan dan mengembangkan
pekerja dengan kecerdasan emosional yang tinggi.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Armanu Thoyib dan Wiwin
Kisworini (2005) pengaruh variabel motivasi dan variabel kecerdasan
emosional terhadap kinerja karyawan, disimpulkan bahwa secara simultan
kedua variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap kinerja karyawan.
Franci Chandra (2005) juga melakukan penelitian pengaruh
variabel kecerdasan emosional terhadap semangat kerja karyawan dan
hasilnya adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel
kecerdasan emosional dan semangat kerja karyawan. Sedangkan untuk
pengaruh variabel-variabel bebas secara parsial, seluruh variabel bebas
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terkait, kecuali
58
variabel kesadaran diri yang memiliki pengaruh kurang signifikan.
Diantara variabel-variabel kecerdasan emosional, variabel motivasi
menunjukkan pengaruh dominan terhadap variabel semangat kerja. Hal ini
dipahami karena motivasi diri merupakan refleksi dari motivasi internal,
yaitu dengan dorongan dari dalam diri karyawan untuk memiliki sikap dan
perilaku yang positif terhadap pekerjaan mereka sehingga mereka lebih
bersemangat melakukan pekerjaan tersebut tanpa harus diperintah dan
diawasi.
2.3.
Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai kompetensi kerja dan kecerdasan emosi serta
pengaruhnya terhadap penilaian kinerja telah diteliti oleh beberapa
peneliti, diantaranya adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
No
1
Peneliti &
Metode
Tahun
Judul
Variabel
Penelitian
Hasil Penelitian
Afrizal Saputra
(2011)
Pengaruh Kecerdasan
Emosional
dan
Komitmen Organisasi
Terhadap
Kinerja
Karyawan
PT.Jamsostek (Persero)
Cabang Riau I
Kecerdasan
Emosi
(X1),
Komitmen
Organisasi (X2),
Kinerja
Karyawan (Y)
Regresi Linear
Berganda
 Variabel kecerdasan
emosional dan komitmen
organisasi secara simultan
berpengaruh terhadap
kinerja karyawan PT.
Jamsostek (Persero)
cabang Riau I.
 Variabel kecerdasan
emosional secara parsial
berpengaruh signifikan
terhadap kinerja
karyawan PT. Jamsostek
(Persero) Cabang Riau .
 Variabel komitmen
organisasi secara parsial
berpengaruh signifikan
terhadap kinerja
59
karyawan PT. Jamsostek
(Persero) Cabang Riau I.
2
Dyah
Ayu
Sekarningtyas
(2011)
Analisis
Pengaruh
Komunikasi
dan
Kecerdasan Emosional
Terhadap
Kinerja
Karyawan
Komunikasi
(X1),
Kecerdasan
Emosi
(X2),
Kinerja
Karyawan (Y)
Regresi Linear
Berganda
3
Laras
Tris
Ambar Suksesi
Edwardin
(2006),
Analisis
Pengaruh
Kompetensi
Komunikasi,
Kecerdasan Emosional,
dan Budaya Organisasi
Terhadap
Kinerja
Karyawan
Kompetensi
Komunikasi
(X1),
Kecerdasan
Emosional (X2),
Budaya
Organisasi (X3),
Kinerja
Karyawan (Y)
Structural
Equation
Modeling
(SEM).
4
Anila (2012)
Pengaruh Kompetensi
dan Motivasi Terhadap
Kompetensi
(X1), Motivasi
Regresi Linear
Berganda
60
 Variabel komunikasi
memiliki pengaruh positif
dan signifikan terhadap
kinerja karyawan,
semakin baik komunikasi
pada Dinas Perhubungan,
Komunikasi dan
Informatikan Kabupaten
Pemalang, maka akan
meningkatkan kinerja
karyawan.
 Variabel kecerdasan
emosional memiliki
pengaruh positif dan
signifikan terhadap
kinerja karyawan.
Semakin baik kecerdasan
emosional pada karyawan
Dinas Perhubungan,
Komunikasi dan
Informatikan Kabupaten
Pemalang, maka akan
meningkatkan kinerja
karyawan.
 Variabel komunikasi
memiliki pengaruh
terbesar terhadap kinerja
karyawan dibandingkan
variabel kecerdasan
emosional.
 Variabel komunikasi dan
kecerdasan emosi hanya
dapat mempengaruhi
kinerja karyawan sebesar
30%, sedangkan sisanya
70% dipengaruhi oleh
variabel-variabel lain.
 Terdapat pengaruh yang
signifikan dan positif
antara kompetensi
komunikasi dengan
kinerja karyawan.
 Terdapat pengaruh yang
signifikan dan positif
antara kecerdasan
emosional dengan kinerja
karyawan.
 Terdapat pengaruh yang
signifikan dan positif
antara kompetensi
komunikasi dengan
budaya organisasi.
 Terdapat pengaruh yang
signifikan dan positif
antara budaya organisasi
dengan kinerja karyawan.
 Variabel bebas
kompetensi kerja, dan
Kinerja
Karyawan
Bagian
Pengolahan
pada
PT.Perkebunan
Nusantara V Kebun
Tandun
Kabupaten
Kampar
(X2),
(Y)
Kinerja



5
Halida
(2012)
Zia
Pengaruh Kompetensi
dan Motivasi Terhadap
Kinerja Anggota
Kepolisian Pada Polsek
Bukit Raya Pekanbaru
Kompetensi
(X1), Motivasi
(X2),
Kinerja
(Y)
Regresi Linear
Berganda



61
motivasi secara bersamasama berpengaruh secara
signifikan terhadap
kinerja karyawan.
Koefisien Determinasi
(R2) Dari hasil
perhitungan diperoleh
hasil bahwa 37,8%
kinerja karyawan bagian
pengolahan pada PT
Perkebunan Nusantara V
Kebun Tandun pada
dasarnya memang
dipengaruhi oleh
kompetensi dan motivasi.
Variabel bebas
kompetensi dan motivasi
secara individual
berpengaruh secara
signifikan terhadap
kinerja karyawan.
Variabel Kompetensi
mempunyai pengaruh
yang lebih kuat terhadap
kinerja karyawan
dibandingkan variabel
motivasi.
Variabel kompetensi dan
motivasi secara simultan
maupun parsial
mempunyai pengaruh
positif yang signifikan
terhadap variabel
Kinerja..
besarnya koefisien
determinasi nilai R2
sebesar 0,749. Ini berarti
74,9% variabel
kompetensi dan motivasi
secara bersama-sama
sedangkan sisanya
sebesar 25,1%
dipengaruhi oleh variabel
lain yang tidak diamati
dalam penelitian ini.
Variabel yang paling
dominan berpengaruh
terhadap variabel terikat
yaitu kompetensi dengan
t-hitung terbesar yaitu
sebesar 11,67 dengan
taraf signifikasi 0,000.
2.4.
Kerangka Pemikiran Teoritis
Berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai visi dan misinya secara
berkelanjutan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusianya
(SDM). Dalam suatu organisasi baik bisnis maupun publik agar dapat
bertahan dan konsisten harus menjadi learning organization. Menurut
Senge (2001) sumber daya manusia yang berkualitas harus memiliki
antara lain: (1) system thinking, yaitu kemampuan berfikir secara sistem,
mencakup makna kemampuan untuk selalu berfikir dan bertindak dengan
pendekatan yang menyeluruh dan mampu menimbang segala unsur yang
saling berkaitan atau sistemik. (2) personal mastery, yaitu derajat
kemampuan/keahlian kerja setiap anggota tim, mencakup makna semangat
menemukan proses kerja dan hasil kerja yang lebih baik dari sebelumnya
serta derajat kemampuan atau keahlian kerja dari setiap anggota. (3)
shared vision, yaitu kemampuan dan kemauan setiap anggota untuk
menumbuhkan
persamaan
menumbuhkan
kesadaran
pandangan
komitmen,
masa
mencakup
depan
makna
kemudian
adanya
kesepakatan seluruh anggota tim untuk menjadikan proses berbagai
kebiasaan kerja sehari-hari, (4) mental model, yaitu keserasian nilai-nilai
antar anggota tim, mencakup makna adanya keserasian nilai-nilai yang
dianut dalam menyikapi proses pembelajaran, (5) team learning, yaitu
kemampuan dan kemauan untuk belajar dan bekerja sama dalam satu tim,
mencakup makna derajat semangat seluruh anggota tim untuk saling
berbagi pengetahuan dan saling mengajarkan berbagai cara, serta derajat
62
kemampuan seluruh anggota tim untuk belajar dan bekerjasama sebagai
satu kesatuan.
Berkenaan tersebut, maka kemampuan sumber daya manusia dalam
suatu
organisasi
tidak
lepas
dari
kemampuan
mengendalikan
emosionalnya dan faktor kompetensi merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja pegawai yang ingin dicapai.
Semakin tinggi kompetensi dan kemampuan mengendalikan emosi yang
dimiliki pegawai maka semakin tinggi pula kinerja yang akan dicapai,
begitupun sebaliknya.
Seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosional adalah apabila
ia mampu mengenali emosi dirinya dengan baik, mengelola emosinya,
serta mampu mengenali emosi orang lain. Dalam aktivitas bekerja, sering
sekali dirasakan bahwa emosi negatif sangat menguras tenaga,
menumpulkan kecerdasan intelektual dan membuat gerakan menjadi tidak
terkendali dan tidak terkoordinasi. Oleh sebab itu, seseorang yang
memiliki kecerdasan emosional yang baik harus mampu mengelola
emosinya dengan baik, sehingga menjadi motivator perilaku, dan dapat
menekan emosi yang berlebihan.
Kecerdasan emosional dapat diartikan kemampuan untuk mengenali,
mengelola,
dan
mengekspresikan
dengan
tepat,
termasuk
untuk
memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina
hubungan dengan orang lain. Emosi merupakan penggerak perilaku
(motivator) dalam arti dapat meningkatkan kinerja, namun sebaliknya
63
apabila emosi yang ditimbulkan berlebihan akan dapat menghambat
kinerjanya.
Dalam suatu organisasi seringkali individu tidak mampu
menangani
masalah-masalah
emosional
di
tempat
kerja
secara
memuaskan. Bukan saja tidak mampu memahami perasaan diri sendiri,
melainkan juga perasaan orang lain yang berinteraksi dengan kita.
Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman dan konflik antar pribadi.
Kinerja merupakan fungsi dari kemampuan dan motivasi. Atau
dengan kata lain, kinerja individu sebagai anggota kelompok organisasi
ditentukan oleh kemampuan dan kemauannya dalam melaksanakan tugas.
Luthan (2008), berpendapat bahwa kinerja tidak hanya dipengaruhi oleh
sejumlah usaha yang dilakukan seseorang, tetapi dipengaruhi pula oleh
kemampuan (ability), komitmen, umpan balik (feed back), kompleksitas
tugas (task complexity), tantangan (challenge), tujuan (goal), kondisi yang
menghambat (situasional constrant), keakuratan diri (self afficacy), arah
(direction), usaha (effort), daya tahan, ketekunan (persistance), strategi
khusus dalam menghadapi tugas (task specific strategies).
Kinerja yang baik merupakan salah satu sasaran organisasi dalam
mencapai produktivitas kerja yang tinggi serta merujuk pada tingkat
keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Kinerja dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan
dapat tercapai dengan baik. Batasan ini menunjukkan bahwa kinerja
didasarkan pada tingkat keberhasilan dalam pencapaian tujuan dan
64
kemampuan yang diperlukan untuk mencapai hasil pekerjaan tersebut.
Robbins (2001) mengemukakan bahwa kinerja adalah ukuran kerja yang
dilakukan dengan menggunakan kriteria yang disetujui bersama.
Dengan demikian setiap pegawai harus dievaluasi atau dinilai hasil
kerjanya. Evaluasi kinerja adalah suatu metode dan proses penilaian
pelaksanaan tugas seseorang atau kelompok orang atau unit-unit kerja
dalam suatu perusahaan atau organisasi sesuai dengan standar kinerja atau
tujuan yang ditetapkan terlebih dahulu.
Untuk mengetahui kinerja pegawai yang dipengaruhi kompetensi
dan kecerdasan emosi maka dibuatlah suatu kerangka pemikiran.
kompetensi dan kecerdasan emosi sebagai variabel bebas (variabel
independen), sedangkan kinerja pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah
Kabupaten Jepara adalah variabel terikat (variabel dependen), maka
pengaruh dari variabel terikat dan variabel bebas tersebut digambarkan
dalam kerangka pemikiran sebagai berikut:
65
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kompetensi
(X1)
Kecerdasan
Emosi
H1
Kinerja
Pegawai pada
Badan
Kepegawaian
Daerah
Kabupaten
Jepara
H2
(Y)
(X2)
Sumber: Dikembangkan dari Teori Kinerja Gibson (2008)
Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel bebas (independent
variable) yaitu, Kompetensi (X1), dan Kecerdasan Emosi (X2) dan satu
variabel terikat (dependent variable), yaitu kinerja pegawai pada Badan
Kepegawaian Daerah Kabupaten Jepara (Y). Definisi operasional dari
masing-masing variabel adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2
Operasionalisasi Variabel Penelitian
Variabel/Sub
Variabel
Konsep Variabel
& Sub Variabel
Kompetensi (X1)
Kompetensi
merupakan
kemampuan yang
terbentuk dari
sinergi watak, motif,
konsep diri,
pengetahuan dan
66
Indikator Utama
1). Motif (motives),
2). Watak (traits),
3). Konsep diri (self
concept),
4). Pengetahuan
(knowledge),
5). Keterampilan (skill).
Ukuran
Ordinal
Likert)
(Skala
Kecerdasan Emosi
(X2)
Kinerja (Y)
2.5.
keterampilan yang
diimplementasikan
dalam bentuk sikap
atau perilaku dalam
bekerja. (Spencer &
Spencer, 1993: 9)
Kecerdasan Emosi
adalah kemampuan
lebih yang dimiliki
seseorang
dalam
memotivasi
diri,
ketahanan
dalam
menghadapi
kegagalan,
mengendalikan
emosi dan menunda
kepuasan,
serta
mengatur
keadaan
(Goleman,
jiwa
1999)
Pengukuran Kinerja
pegawai merupakan
cara
pengukuran
kinerja
yang
mempertimbangkan
kuantitas, kualitas,
pemanfaatan waktu,
dan
kerja
sama
(Mathis, 2002:78)
1). Motivasi Diri
2). Ketahanan
menghadapi
kegagalan
3). Pengendalian Emosi
4). Penundaan Kepuasan
5). Pengendalian JIwa
Ordinal
Likert)
(Skala
1). Kuantitas, jumlah
yang harus
diselesaikan/dicapai
2). Kualitas, mutu yang
harus dihasilkan
3). Pemanfaatan waktu,
sesuai tidaknya
dengan waktu yang
direncakanan
4). Kerja sama dengan
rekan kerja
Ordinal
Likert)
(Skala
Perumusan Hipotesis
Setiap melakukan penelitian, perumusan suatu hipotesis sangat
penting. Dalam usaha untuk memperoleh pengendalian atau asumsi
mengenai populasi yang bersangkutan. Pengandaian ini mungkin betul
ataupun mungkin tidak betul hal ini disebut hipotesis.
Menurut Nanang Martono (2010:57), hipotesis dapat didefinisikan
sebagai jawaban sementara yang kebenarannya harus diuji atau rangkuman
kesimpulan secara teoritis yang diperoleh melalui tinjauan pustaka.
67
Sejalan dengan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan
penelitian, maka dapat diambil suatu hipotesis sebagai berikut:
H1
Terdapat pengaruh yang positif dari variabel Kompetensi terhadap
Penilaian Kinerja pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah
Kabupaten Jepara
H2
Terdapat pengaruh yang positif dari variabel Kecerdasan Emosi
terhadap Penilaian Kinerja pegawai pada Badan Kepegawaian
Daerah Kabupaten Jepara
H3
Terdapat pengaruh yang positif dari variabel Kompetensi dan
Kecerdasan Emosi terhadap Penilaian Kinerja pegawai pada Badan
Kepegawaian Daerah Kabupaten Jepara
68
Download