BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori A. Manajemen Sumber Daya Manusia Sumber Daya Manusia (SDM) dalam konteks bisnis, adalah orang yang bekerja dalam suatu organisasi yang sering pula disebut karyawan. Sumber berharga dalam perusahaan Daya Manusia merupakan aset perusahaan, tanpa manusia tidak akan dapat mengahasilkan maka yang paling sumber daya laba atau menambah nilainya sendiri. Manajemen Sumber Daya Manusia didasari pada suatu konsep bahwa setiap karyawan adalah manusia, bukan mesin, dan bukan semata menjadi sumber daya bisnis. Manajemen Sumber Daya Manusia berkaitan dengan kebijakan dan praktek-praktek yang perlu dilaksanakan oleh manajer, mengenai aspek-aspek Sumber Daya Manusia dari Manajemen Kerja. Tidak ada definisi yang sama tentang Manajemen Sumber Daya Manusia, 3 (tiga) definisi sebagai perbandingan dapat dikemukakan sebagai berikut: Bagaimana orang-orang dapat dikelola dengan cara yang terbaik dalam kepentingan organisasi, Amstrong (1994). 9 Suatu metode memaksimalkan kerja hasil dari sumber daya tenaga dengan mengintergrasikan MSDM kedalam strategi bisnis, Kenooy (1990). Pendekatan yang khas, terhadap manajemen tenaga kerja yang berusaha mencapai keunggulan kompetitif, melalui pengembangan strategi dari tenaga kerja yang mampu dan tinggi dengan menggunakan tatanan memiliki kultur yang komitmen integrated, struktural dan teknik-teknik personel, Storey (1995). Dari ke-3 definisi diatas dapat disimpulkan bahwa, Manajemen Sumber Daya Manusia berkaitan dengan cara pengelolaan sumber daya insani, mempengaruhinya, agar dalam organisasi mampu dan memberikan lingkungan kontribusi yang secara optimal bagi pencapaian organisasi. Manajemen Sumber Daya Manusia menurut Bambang Wahyudi (2002:1): “Ilmu dan seni atau proses memperoleh, memajukan atau mengembangkan, dan memelihara sumber daya manusia yang kompeten sedemikian rupa, sehingga tujuan organisasi dapat tercapai dengan efisien dan ada kepuasan pada diri pribadi-pribadi yang yang bersangkutan.” Definisi lain menurut Edwin B.Flippo dalam buku Bambang Wahyudi Manajemen Sumber Daya Manusia (2002:9):”Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan daripada pengembangan, pemberian balas jasa, pengintegrasian, pemeliharaan dan pemisahan sumber daya manusia 10 ke suatu titik akhir dimana tujuan-tujuan perorangan, organisasi dan masyarakat”. Selanjutnya menurut Malayu S.P. Hasibuan (2002:10):” Manajemen Sumber Daya Manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat.” Fungsi MSDM (Manajemen Sumberdaya Manusia) terdiri dari dua fungsi, yaitu fungsi manajemen dan fungsi operasional . Fungsi Manajemen (FM) terdiri atas: 1). Fungsi Perencanaan Menentukan terlebih dulu program yang akan membantu mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan 2). Fungsi Pengorganisasian Merancang susunan dari berbagai hubungan antara jabatan, personalia, dan faktor-faktor fisik 3). Fungsi Pengarahan Melaksanakan pekerjaan, mengusahakan agar karyawan mau bekerjasama secara efektif 4). Fungsi Pengkoordinasian Tingkat kesiapan bawahan, penugasan dan kepemimpinan 11 5). Fungsi Pengontrolan/Pengawasan Mengamati dan membandingkan pelaksanaan dengan rencana dan mengoreksinya apabila terjadi penyimpangan, atau kalau perlu menyesuaikan kembali rencana yang telah dibuat. Fungsi Operasional (FO) terdiri atas: a). Fungsi Pengadaan Penentuan jenis/mutu karyawan dan jumlah (menentukan keberhasilan rekruitmen melalui prosedur yang tepat). Sewaktu menarik karyawan baru, manajemen haruslah mempertimbangkan: - Keadaan pasar tenaga kerja/Jenis-jenis karyawan yang diinginkan dan bagaimana yang tersedia - Jumlah tenaga kerja yang akan ditarik Analisa jabatan merupakan suatu proses untuk mempelajari dan mengumpulkan berbagai informasi yang berhubungan dengan berbagai operasi dan kewajiban suatu jabatan, terdiri dari : 1. Deskripsi jabatan Merupakan suatu statement yang teratur, dari berbagai tugas dan kewajiban suatu jabatan tertentu. Indentifikasi jabatan, Ringkasan jabatan, Tugas yang dilaksanakan, Pengawasan yang diberikan dan yang diterima, 12 Hubungan dengan jabatan-jabatan lain, Bahan-bahan, alat-alat dan mesin-mesin yang dipergunakan, Kondisi kerja, Penjelasan istilah-istilah yang tidak lazim, Komentar tambahan untuk melengkapi penjelasan di atas. 2. Spesifikasi jabatan Pada umumnya isi suatu spesifikasi jabatan terdiri dari: Identifikasi jabatan - Kode - Nama - Bagian Persyaratan Kerja: - Pendidikan (SD, SLTP, SLTA, PT) - Tingkat kecerdasan minimal yang diperlukan - Pengalaman yang diperlukan - Pengetahuan dan ketrampilan - Persyaratan fisik - Status perkawinan - Jenis Kelamin - Usia - Kewarganegaraan (penduduk) 13 b). Fungsi Pengembangan Untuk perbaikan efektivitas kerja dengan cara memperbaiki pengetahuan, ketrampilan maupun sikap karyawan. c). Fungsi Pemberi Kompensasi Balas jasa, berwujud uang atau yang lainnya sesuai pengorbanan/kontribusi karyawan. Upah adalah bagian dari kompensasi, dapat pula berbentuk fasilitas-fasilitas yang dapat dinilai dengan uang. Perlu memperhatikan faktor-faktor berikut ini: - Memenuhi kebutuhan minimal - Dapat mengikat - Dapat menimbulkan semangat dan kegairahan kerja - Adil - Tidak boleh bersifat statis d). Fungsi Integrasi Tercapainya sinergi antara karyawan dan perusahaan untuk tujuan masing-masing yang berbeda (Teori kebutuhan Maslow dan Motivasi XY Mc Gregor dan Mc Lelland) e). Fungsi Pemeliharaan Perusahaan memelihara kemampuan dan sikap karyawan melalui program keselamatan, kesehatan dan pelayanan. Setiap program keselamatan dapat terdiri dari salah satu atau lebih elemenelemen berikut ini: 14 a). Didukung oleh manajemen puncak (top management) b). Menunjukkan seorang direktur keselamatan c). Pembuatan pabrik dan operasi yang bertindak secara aman d). Mendidik para karyawan untuk bertindak dengan aman e). Menganalisa kecelakaan f). Menyelenggarakan perlombaan atau keselamatan kerja g). Menjalankan peraturan-peraturan untuk keselamatan kerja B. Kompetensi 1. Pengertian Kompetensi Dilihat dari disiplin perilaku organisasi, kompetensi bersama dengan komitmen termasuk pada kelompok faktor karakteristik individu anggota organisasi. Para ahli perilaku organisasi seperti Kreitner dan Kinicki (2003), konsep kompetensi dipahami sebagai gabungan dari kemampuan dan keterampilan. Dijelaskan oleh Kreitner dan Kinicki (2003: 185) bahwa: Kemampuan dan keterampilan mendapat perhatian yang cukup besar dalam lingkaran manajemen masa kini. Pengunaan istilah kompetensi merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan hal ini. Kemampuan menunjukkan karakteristik stabil yang berkaitan dengan kemampuan maksimum fisik dan mental seseorang. Keterampilan di sisi lain adalah kapasitas khusus untuk memanipulasi objek. 15 Wood, Wallace dan Zeffane (2001), Robbins dan Judge (2007), serta Harris (2000) menjelaskan konsep kompetensi sebagai gabungan dari bakat (aptitude) dan kemampuan (ability). Bakat menunjukkan kapabilitas untuk belajar sesuatu dan sifatnya potensial. Untuk kemampuan merujuk pada kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan dibina oleh pengetahuan dan keterampilan. Berbeda dengan para ahli perilaku organisasi, para ahli manajemen pengetahuan (Koenig, 1997; Edvisson & Malone, 1997; Fitz-enz & Davison, 2000; Mayo, 2002; Baron & Armstrong, 2007), konsep kompetensi bersama dengan konsep komitmen telah dimaknai sebagai modal manusia (human capital) yang dalam hal ini adalah karyawan, secara bersama-sama dengan consumer capital dan structure capital membentuk intellectual capital organisasi (Stewart, 1997). Berkaitan dengan itu, Dave Ulrich (1998: 15-26) secara tegas menyatakan, kompetensi bersama-sama dengan komitmen dipandang sebagai faktor pembentuk modal intelektual organisasi. Dikemukakan oleh Ulrich bahwa,”Intellectual Capital=Competence x Commitment.” Sedangkan menurut Boulter et al. (dalam Rosidah, 2003:11), kompetensi adalah karakteristik dasar dari seseorang yang memungkinkan pegawai mengeluarkan kinerja superior dalam pekerjaannya. Berdasarkan uraian di atas makna kompetensi 16 mengandung bagian kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang dengan perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. Prediksi siapa yang berkinerja baik dan kurang baik dapat diukur dari kriteria atau standar yang digunakan. 2. Karakteristik Kompetensi Spencer and Spencer (1993:9) mengemukakan bahwa kompetensi individu merupakan karakter sikap dan perilaku, atau kemampuan individual yang relatif bersifat stabil ketika menghadapi suatu situasi di tempat kerja yang terbentuk dari sinergi antara watak, konsep diri, motivasi internal, serta kapasitas pengetahuan kontekstual. Ada lima karakteristik utama dari kompetensi yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja individu karyawan, yaitu : 1. Motif (motives), yaitu sesuatu yang dipikirkan atau diinginkan oleh seseorang secara konsisten dan adanya dorongan untuk mewujudkannya dalam bentuk tindakan-tindakan. Marshall (2003:40) juga mengatakan bahwa motif adalah pikiran-pikiran dan preferensi-preferensi tidak sadar yang mendorong perilaku karena perilaku merupakan sumber kepuasan. Motif mendorong, mengarahkan, dan memilih perilaku menuju tindakan atau tujuan tertentu. 2. Watak (traits), yaitu karakteristik mental dan konsistensi respon seseorang terhadap rangsangan, tekanan, situasi, atau informasi. Hal ini dipertegas oleh Marshall (2003:40) yang mengatakan 17 bahwa watak adalah karakteristik yang mengakar pada diri seseorang dan mencerminkan kecenderungan yang dimilikinya. 3. Konsep diri (self concept), yaitu tata nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seseorang, yang mencerminkan tentang bayangan diri atau sikap diri terhadap masa depan yang dicita-citakan atau terhadap suatu fenomena yang terjadi di lingkungannya. Marshall (2003:40) juga mengungkapkan bahwa konsep diri adalah gambaran yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri dan hal mencerminkan identitas dirinya. Disamping itu, Kreitner and Kinicki (2001:137) bahwa konsep diri adalah persepsi diri seseorang sebagai makhluk fisik, sosial dan spiritual. 4. Pengetahuan (knowledge), yaitu informasi yang memiliki makna yang dimiliki seseorang dalam bidang kajian tertentu. 5. Keterampilan (skill), yaitu kemampuan untuk melakukan suatu pekerjaan fisik atau mental. Dale (2003:29) mengatakan bahwa keterampilan adalah aspek perilaku yang bisa dipelajari melalui latihan yang digunakan untuk memenuhi tuntutan pekerjaan. 3. Jenis Kompetensi Pengklasifikasian jenis kompetensi biasanya dilihat dari dimensi manusia secara personal dan hubungan antara personal karena manusia adalah mahluk sosial. Willy Susilo (2001:17) dan Zohar & Marshall (2000:3) mengatakan manusia memiliki tiga dimensi, yaitu (1). fisik (body), (2). emosi (mind), dan (3). spiritual 18 (soul); dan atas dasar dimensi ini lalu mereka mengelompokkan kompetensi menjadi tiga, yakni (a). kompetensi intelektual, (b). kompetensi emosional, dan (c). kompetensi spiritual. Menurut Spencer and Spencer (1993:34) mengklasifikasikan dimensi dan komponen kompetensi individual menjadi tiga, yaitu : (a). kompetensi intelektual, (b). kompetensi emosional, dan (c). kompetensi sosial. Nampaknya spencer and Spencer telah melihat komponen kompetensi dari aspek dimensi manusia dan hubungan antarp-personal, tetapi belum menghasilkan komponen kompetensi spiritual. Uraian dari masing-masing kompetensi secara rinci dijelaskan sebagai berikut : 1. Kompetensi intelektual Kompetensi intelektual adalah karakter sikap dan perilaku atau kemauan dan kemampuan intelektual individu (dapat berupa pengetahuan, keterampilan, pemahaman profesional, pemahaman kontekstual, dan lain-lain) yang bersifat relatif stabil ketika menghadapi permasalahan di tempat kerja, yang dibentuk dari sinergi antara watak, konsep diri, motivasi internal, serta kapasitas pengetahuan kontekstual (Nahapiet & Ghoshal, 1998: 245). Robbins & Judge (2007: 42) juga mengatakan bahwa kompetensi intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental. 19 Kompetensi intelektual ini terinternalisasi dalam bentuk sembilan kompetensi (Spencer & Spencer, 1993:35) sebagai berikut : a. Berprestasi, yaitu kemauan atau semangat seseorang untuk berusaha mencapai kinerja terbaik dengan menetapkan tujuan yang menantang serta menggunakan cara yang lebih baik secara terus-menerus. b. Kepastian kerja, yaitu kemauan dan kemampuan seseorang untuk meningkatkan kejelasan kerja dengan menetapkan rencana yang sistematik dan mampu memastikan pencapaian tujuan berdasarkan data/informasi yang akurat. c. Inisiatif, yaitu kemauan seseorang untuk bertindak melebihi tuntutan seseorang, atau sifat keinginan untuk mengetahui halhal yang baru dengan mengevaluasi, menyeleksi, dan melaksanakan berbagai metode dan strategi untuk meningkatkan kinerja. Inisiatif juga sangat berkaitan erat dengan konsep kreativitas, yaitu kompetensi yang berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk berpikir dan bertindak secara berbeda dari kebiasaan dan lebih efektif. Dimensi dari kreatifitas ini memiliki empat sifat atau ciri, yaitu (a). peka terhadap masalah, (b). kaya akan gagasan/alternatif pemecahan, (c). mampu menghasilkan ide asli, dan (d). 20 memiliki sikap fleksibilitas (bersedia mempertimbangkan berbagai gagasan). d. Penguasaan informasi, yaitu kepedulian seseorang untuk meningkatkan kualitas keputusan dan tindakan berdasarkan informasi yang handal dan akurat serta berdasarkan pengalaman dan pengetahuan atas kondisi lingkungan kerja (konteks permasalahan). e. Berpikir analitik, yaitu kemampuan seseorang untuk memahami situasi dengan cara menguraikan permasalahn menjadi komponen-komponen menganalisis permasalahan yang secara lebih rinci serta sistematik/bertahap berdasarkan pendekatan logis. f. Berpikir konseptual, yaitu kemampuan seseorang untuk memahami dan memandang suatu permasalahan sebagai satu kesatuan yang meliputi kemampuan yang memahami akar permasalahan atau pola keterkaitan komponen masalah yang bersifat abstrak (kualitatif) secara sistematik. g. Keahlian praktikal, yaitu kemampuan menguasai pengetahuan eksplisit berupa keahlian untuk menyelesaikan pekerjaan serta kemauan untuk memperbaiki dan mengembangkan diri sendiri. h. Kemampuan linguistik, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pemikiran atau gagasan secara lisan atau tulis 21 untuk kemudian didiskusikan atau didialogkan sehingga terbentuk kesamaan persepsi. i. Kemampuan naratif, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran dan gagasan dalam suatu pertemuan formal atau informal dengan menggunakan media cerita, dongeng atau perumpamaan. 2. Kompetensi emosional Kompetensi emosional adalah karakter sikap dan perilaku atau kemauan dan kemampuan untuk menguasai diri dan memahami lingkungan secara objektif dan moralis sehingga pola emosinya relatif stabil ketika menghadapi berbagai permasalahan di tempat kerja yang terbentuk melalui sinergi antara watak, konsep diri, motivasi internal serta kapasitas pengetahuan mental/emosional (Spencer & Spencer, 1993: 35). Kompetensi emosional individu terinternalisasi dalam bentuk enam tingkat kemauan dan kemampuan (Spencer & Spencer, 1993:37) sebagai berikut: a. Sensitivitas atau saling pengertian, yaitu kemampuan dan kemauan untuk memahami, mendengarkan, dan menanggapi hal-hal yang tidak dikatakan orang lain, yang bisa berupa pemahaman atas pemikiran dan perasaan serta kelebihan dan keterbatasan orang lain. 22 b. Kepedulian terhadap kepuasan pelanggan internal dan eksternal, yaitu keinginan untuk membantu dan melayani pelanggan internal dan eksternal. c. Pengendalian diri, yaitu kemampuan untuk mengendalikan prestasi dan emosi pada saat menghadapi tekanan sehingga tidak melakukan tindakan yang negatif dalam situasi apapun. d. Percaya diri, yaitu keyakinan seseorang untuk menunjukkan citra diri, keahlian, kemampuan serta pertimbangan yang positif. e. Kemampuan beradaptasi, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dan bekerja secara efektif pada berbagai situasi dan mampu melihat dari setiap perubahan situasi. f. Komitmen pada organisasi, yaitu kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri terhadap visi dan misi organisasi dengan memahami kaitan antara tanggung jawab pekerjaannya dengan tujuan organisasi secara keseluruhan. 3. Kompetensi Sosial Kompetensi sosial adalah karakter sikap dan perilaku atau kemauan dan kemampuan untuk membangun simpul-simpul kerja sama dengan orang lain yang relatif bersifat stabil ketika menghadapi permasalah di tempat kerja yang terbentuk melalui sinergi antara watak, konsep diri, motivasi internal serta kapsitas pengetahuan sosial (Imam sugeng, 2002:200). 23 Kompetensi sosial individu terinternalisasi dalam bentuk tujuh tingkat kemauan dan kemampuan (Spencer & Spencer, 1993:39) sebagai berikut : Pengaruh dan dampak, yaitu kemampuan meyakinkan dan mempengaruhi orang lain untuk secara efektif dan terbuka dalam berbagi pengetahuan, pemikiran dan ide-ide secara perorangan atau dalam kelompok agar mau mendukung gagasan atau idenya. Kesadaran berorganisasi, yaitu kemampuan untuk memahami posisi dan kekuasaan secara komprehensif baik dalam organisasi maupun dengan pihak-pihak eksternal perusahaan. Membangun hubungan kerja, yaitu kemampuan untuk membangun dan memelihara jaringan kerja sama agar tetap hangat dan akrab. Mengembangkan orang lain, yaitu kemampuan untuk meningkatkan keahlian bawahan atau orang lain dengan memberikan umpan balik yang bersifat membangun berdasarkan fakta yang spesifik serta memberikan pelatihan, dan memberi wewenang untuk memberdayakan dan meningkatkan partisipasinya. Mengarahkan bawahan, yaitu kemampuan memerintah, mempengaruhi, dan 24 mengarahkan bawahan dengan melaksanakan strategi dan hubungan interpersonal agar mereka mau mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kerja tim, yaitu keinginan dan kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain secara koperatif yang menjadi bagian yang bermakna dari suatu tim untuk mencapai solusi yang bermanfaat bagi semua pihak. Kepemimpinan kelompok, yaitu keinginan dan kemampuan untuk berperan sebagai pemimpin kelompok dan mampu menjadi suri teladan bagi anggota kelompok yang dipimpinnya. 4. Kompetensi Spiritual Kompetensi spiritual adalah karakter dan sikap yang merupakan bagian dari kesadaran yang paling dalam pada seseorang yang berhubungan dengan sadar yang tidak hanya mengakui keberadaan nilai tetapi juga kreatif untuk menemukan nilai-nilai baru (Zohar & Marshall, 2000:1). Menurut Zohar & Marshall (2000:15) ada sembilan ciri pengembangan kompetensi spiritual yang tinggi, yaitu: Kemampuan bersikap fleksibel atau adaptif Tingkat kesadaran diri yang tinggi Kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi penderitaan Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai 25 5. Keengganan untuk membuat kerugian yang tidak perlu Kecenderungan untuk melihat segala sesuatu secara holistik Kecenderungan untuk selalu bertanya mengapa Memiliki kemudahan untuk melawan konvensi Dimensi Kompetensi Individu Ada lima dimensi kompetensi yang harus dimiliki oleh semua individu (Moeheriono, 2009:15) yaitu sebagai berikut: 1. Keterampilan menjalankan tugas (Task-skills), yaitu keterampilan untuk melaksanakan tugas-tugas rutin sesuai dengan standar di tempat kerja. 2. Keterampilan mengelola tugas (Task management skills), yaitu keterampilan untuk mengelola serangkaian tugas yang berbeda yang muncul di dalam pekerjaan. 3. Keterampilan mengambil tindakan (Contingency management skills), yaitu keterampilan mengambil tindakan yang cepat dan tepat bila timbul suatu masalah di dalam pekerjaan. 4. Keterampilan bekerja sama (Job role environment skills), yaitu keterampilan untuk bekerja sama serta memelihara kenyamanan lingkungan kerja. 5. Keterampilan beradaptasi (Transfer skill), yaitu keterampilan untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru. 26 6. Manfaat Penggunaan Kompetensi Konsep kompetensi sudah mulai diterapkan dalam berbagai aspek dari manajemen sumber daya manusia walaupun yang paling banyak adalah pada bidang pelatihan dan pengembangan, rekrutmen dan seleksi, dan sistem remunerasi. Ruky (dalam Sutrisno, 2010:2008), mengemukakan konsep kompetensi menjadi semakin popular dan sudah banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar dengan berbagai alasan yaitu: 1. Memperjelas standar kerja dan harapan yang ingin dicapai. Dalam hal ini, model kompetensi akan mampu menjawab dua pertanyaan mendasar: keterampilan, pengetahuan, dan karakteristik apa saja yang dibutuhkan dalam pekerjaan, dan perilaku apa saja yang berpengaruh langsung dengan kinerja. Kedua hal tersebut akan banyak membantu dalam mengurangi pengambilan keputusan secara subjektif dalam bidang sumber daya manusia. 2. Alat seleksi karyawan Penggunaan kompetensi standar sebagai alat seleksi dapat membantu organisasi untuk memilih calon karyawan yang terbaik. Dengan kejelasan terhadap perilaku efektif yang diharapkan dari karyawan, kita dapat mengarahkan pada sasaran yang selektif serta mengurangi biaya rekrutmen yang tidak perlu. Caranya dengan mengembangkan 27 suatu perilaku yang dibutuhkan untuk setiap fungsi jabatan serta memfokuskan wawancara seleksi pada perilaku yang dicari. 3. Memaksimalkan produktivitas Tuntutan untuk menjadikan suatu organisasi .ramping. mengharuskan kita untuk mencari karyawan yang dapat dikembangkan secara terarah untuk menutupi kesenjangan dalam keterampilannya sehingga mampu untuk dimobilisasikan secara vertikal maupun horizontal. 4. Dasar untuk pengembangan sistem remunerasi Model kompetensi dapat digunakan untuk mengembangkan sistem remunerasi (imbalan) yang akan dianggap lebih adil. Kebijakan remunerasi akan lebih terarah dan transparan dengan mengaitkan sebanyak mungkin keputusan dengan suatu set perilaku yang diharapkan yang ditampilkan seorang karyawan 5. Memudahkan adaptasi terhadap perubahan Dalam era perubahan yang sangat cepat, sifat dari suatu pekerjaan sangat cepat berubah dan kebutuhan akan kemampuan baru terus meningkat. Model kompetensi memberikan sarana untuk menetapkan keterampilan apa saja yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan yang selalu berubah. 28 6. Menyelaraskan perilaku kerja dengan nilai-nilai organisasi Model kompetensi merupakan cara yang paling mudah untuk mengkomunikasikan nilai-nilai dan hal-hal apa saja yang harus menjadi fokus dalam unjuk kerja karyawan C. Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence) diperkenalkan pertama kali oleh Salovey dan Meyer (1990 dalam Sy dan Cote 2004). Menurut Salovey dan Meyer, 1999 (handbook Emotional Intelligence training, prime consulting, p.11) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan emosi, menerima dan membangun emosi dengan baik, memahami emosi dan pengetahuan emosional sehingga dapat meningkatkan perkembangan emosi dan intelektual. Salovey juga memberikan definisi dasar tentang kecerdasan emosi dalam lima wilayah utama yaitu, kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang kain, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Seorang ahli kecerdasan emosi, Goleman (2000, p.xiii) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kecerdasan emosi di dalamnya termasuk kemampuan mengontrol diri, memacu, tetap tekun, serta 29 dapat memotivasi diri sendiri. Kecakapan tersebut mencakup pengelolaan bentuk emosi baik yang positif maupun negatif. Purba (1999, p.64) berpendapat bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan di bidang emosi yaitu kesanggupan menghadapi frustasi, kemampuan mengendalikan emosi, semamgat optimisme, dan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain atau empati. Hal tersebut seperti yang dikemukakan Patton (1998, p.3) bahwa penggunaan emosi yang efektif akan dapat mencapai tujuan dalam membangun hubungan yang produktif dan meraih keberhasilan kerja Menurut Ary Ginanjar Agustian (2002:199) kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, dan pengaruh manusia. Kecerdasan emosional menurut Goleman (2002:512) adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Patton (dalam Setiyawan, 2005) memberi definisi mengenai kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif untuk mencapai tujuan membangun produktif dan meraih keberhasilan. Menggunakan emosi secara efektif individu akan 30 lebih bertanggung jawab, lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas, tidak impulsif, lebih bisa mengendalikan diri yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja. Sedangkan menurut Imam Kam (2009:102) kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang untuk memotivasi dirinya sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati (kegembiraan, kesedihan, kemarahan dan lain-lain) tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, dan mampu mengendalikan stres. Kecerdasan emosional berdasarkan teori yang telah dijelaskan adalah kemampuan diri seorang individu untuk mengenali perasaannya secara optimal sehingga dapat mengatur dirinya sendiri, menimbulkan motivasi dalam dirinya untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan dapat membina hubungan baik terhadap orang lain dan juga mampu menimbulkan rasa empati di lingkungan sosial. Selanjutnya Howes dan Herald (1999 dalam Abidin 1999) mengatakan pada intinya kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Senada dengan Sy (2004), bahwa karyawan yang secara emosional cerdas dapat memahami bagaimana emosi terjadi, dapat mengatur emosinya, mengurangi emosi tidak produktif yang menjadi penghalang dalam bekerjasama, serta mengambil langkah-langkah proaktif untuk mencapai keberhasilan dalam bekerja. 31 Menurut Robbins (2003, p.144) Kecerdasan Emosional merujuk pada satu keanekaragaman keterampilan, kapabilitas, dan kompetensi kognitif, yang mempengaruhi kemampuan sesorang untuk berhasil dalam menghadapi tuntutan dan tekanan lingkungan. Kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2005, P.512). 2. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional Secara konseptual, kerangka kerja kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Carson, dan Birkenmeier ( 2000); Goleman (1998, dalam Deeter, dkk, 2003) meliputi dimensi-dimensi sebagai berikut : 1. Kesadaran Diri (Self-Awareness) 2. Pengaturan diri (Self-Regulation) 3. Motivasi Diri (Self-Motivation) 4. Empati (Empathy) 5. Keterampilan hubungan antar pribadi (Interpersonal Skill) Menurut Goleman (2004, p.45), ciri-ciri kecerdasan emosional meliputi kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebihlebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa 32 Kecerdasan Emosi dapat diukur dari beberapa aspek-aspek yang ada. Goleman (2001, p.42-43) mengemukakan lima kecakapan dasar dalam kecerdasan Emosi, yaitu: 1. Self awareness Merupakan kemampuan sesorang untuk mengetahui perasaan dalam dirinya dan efeknya serta menggunakannya untuk membuat keputusan bagi diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis, atau kemampuan diri dan mempunyai kepercayaan diri yang kuat lalu mengkaitkannya dengan sumber penyebabnya. 2. Self management Yaitu merupakan kemampuan menangani emosinya sendiri, mengekspresikan serta mengendalikan emosi, memiliki kepekaan terhadap kata hati, untuk digunakan dalam hubungan dan tindakan sehari-hari. 3. Motivation Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat untuk setiap saat membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih baik serta mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, mampu bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. 4. Empati (social awareness) Empati merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif orang 33 lain, dan menimbulkan hubungan saling percaya serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu 5. Relationship management Merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan mempertahankan mempengaruhi, orang hubungan memimpin, lain dan dengan menciptakan orang bermusyawarah, lain, serta bisa menyelesaikan perselisihan dan bekerja sama dalam tim. Sri Iswati yang dikutip Sebtina Mulya (2007, p.16) menyebutkan beberapa ciri kecerdasan emosional, yaitu: 1). Memiliki kemampuan untuk mendengarkan dan berkomunikasi lisan. 2). Beradaptasi 3). Berkreasi 4). Berketahanan mental terhadap kegagalan 5). Kepercayaan diri 6). Kerjasama tim 7). Dorongan untuk memberi kontribusi pada yang lain. Goleman (2002:58-59) mengutip Salovey menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima indikator kemampuan utama, yaitu: 34 a. Mengenali emosi diri Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Ketrampilan mengenali emosi diri atau kesadaran diri ini dapat dijelaskan dengan ciri-ciri: a). Mampu memandang kejadian apapun dengan kesadaran yang netral dan senantiasa mawas diri. b). Mampu merasakan dan mengidentifikasi emosi c). Mampu memahami dan mengontrol alam bawah sadar. b. Mengelola emosi Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan. Ketrampilan mengelola emosi ini dapat dijelaskan dengan ciri-ciri sebagai berikut: a). Mampu meredakan amarah dengan cepat 35 b). Mampu mengatasi kecemasan c). Tidak cenderung larut dalam depresi atau kesedihan d). Bermeditasi atau berdoa bila menghadapi masalah. c. Memotivasi diri sendiri Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri. Orang yang memiliki ketrampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan. Ketrampilan memotivasi diri sendiri dapat dijelaskan dengan ciri-ciri: a). Suka tantangan b). Mampu menunda pemuasan demi mendapatkan sesuatu yang lebih baik. c). Memiliki ketekunan d). Optimis terhadap apa yang dikerjakan e). Mampu mencapai flow atau kenikmatan dalam bekerja. d. Mengenali emosi orang lain Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap 36 sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apaapa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Ketrampilan empati ini dapat dijelaskan dengan ciri-ciri: a). Mampu membaca perasaan orang lain. b). Memiliki pertimbangan moral dalam melakukan segala sesuatu. c). Memiliki rasa belas kasihan yang tinggi. e. Membina Hubungan Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Ketrampilan ini menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Orang yang hebat dalam ketrampilan ini akan sukses dalam bidang pekerjaan yang mengandalkan pergaulan, mereka adalah “bintang-bintang pergaulan”. Ketrampilan membina hubungan ini dapat dijelaskan dengan ciri-ciri: a). Memiliki kharisma atau daya tarik dalam pergaulan. b). Pandai menangani perselisihan c). Mampu menularkan emosinya pada orang lain 37 d). Setia kawan. 3. Cara Untuk Mengembangkan Kecerdasan Emosional Untuk mengembangkan ketrampilan kecerdasan emosional, Salovey (dalam Agung R. Harmoko) memberikan beberapa arahan agar seseorang dapat mengenali dan mengembangkan kecerdasan emosional seperti: 1). Mengenali emosi diri kesadaran diri, mengenali perasaan sewaktu perasaan yang dirasakann terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi pemahaman diri. 2). Mengelola emosi, menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat adalah kecakapan yang tergantung pada kesadaran diri. 3). Memotivasi diri, penataan emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam keterkaitan memberi perhatian untuk memotivasi diri sendiri dan mengusai diri serta mampu melakukan kreasi secara bebas. 4). Memahami emosi orang lain, adalah kemampuan yang juga tergantung pada kesadaran diri emosional, kemampuan bergaul/berinteraksi dengan orang lain. 38 merupakan 5). Membina hubungan, ketrampilan membina hubungan ini merupakan bagian dari ketrampilan sosial dan dapat menunjang seseorang dalam mengembangkan pergaulan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan komunikasi. 6). Berkomunikasi “dengan jiwa”. Tidak hanya menjadi pembicara, terkadang seseorang harus memberikan waktu kepada lawan untuk berbicara juga dengan demikian posisikan diri menjadi pendengar dan penanya. Dengan hal ini diharapkan seseorang mampu membedakan antara apa yang mereka lakukan dan katakan dengan reaksi atau penilaian. 4. Aspek Kecerdasan Emosional dalam Manajemen Dalam suatu organisasi, setiap pegawai berinteraksi dengan pegawai lainnya. Dibutuhkan rasa nyaman dan menyenangkan dari setiap pegawai, sehingga mereka dapat bekerjasama dengan baik, serta memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan kelompok, mampu berkomunikasi dengan baik, mampu mengelola konflik yang terjadi dalam organisasi, serta menjadi katalisator perubahan yang terjadi dalam organisasi. Kemampuan seorang pegawai dalam mengatur emosinya secara cerdas akan memunculkan sosok pegawai yang mampu mengunakan emosinya secara benar, tenang dalam bekerja dan dapat mengambil keputusan dengan tepat. Pegawai demikian akan efektif dalam 39 melaksanakan tugasnya. Menurut Carter (2010), ada dua aspek utama kecerdasan emosional yaitu: (1) memahami diri sendiri, tujuan, citacita, respons, dan perilaku, (2) memahami orang lain dan perasaan mereka. Dengan memiliki kecerdasan emosional yang baik, yakni memahami perasaan sendiri akan memunculkan sikap bijaksana dalam mengambil keputusan, serta dapat mengungkapkan emosinya secara selaras. Pegawai yang mampu mengendalikan dirinya sendiri selalu tenang dalam menghadapi permasalahan dalam pekerjaan, sehingga dapat mengatasi permasalahan dengan pikiran yang jernih, juga akan dapat bernegosiasi dalam memecahkan suatu masalah atau memecahkan silang pendapat diantara pegawai yang lain. Selain itu mampu menciptakan sinergi kelompok dan dapat bekerjasama dengan orang lain demi tujuan bersama. Goleman (2005), menjelaskan bahwa emosi sangat penting bagi kehidupan manusia kerena emosi merupakan penggerak perilaku (motivator) dalam arti dapat meningkatkan kinerja, namun sebaliknya apabila kecemasan yang ditimbulkan berlebihan akan dapat menghambat prestasi kerjanya. Pendapat tersebut memperlihatkan bahwa terdapat dua sisi dari emosi, yaitu emosi yang terkendali akan menjadi motivator terhadap peningkatan kualitas perilaku, sedang emosi yang tidak terkendali terutama apabila menimbulkan kecemasan berlebihan akan menjadi penghambat prestasi. Oleh sebab 40 itu, seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik harus mampu mengelola dengan baik, sehingga menjadi motivator perilaku, dan menekan emosi (kecemasan berlebihan) yang menjadi penghambat dalam meningkatkan kinerja. Menurut Carter, (2010), orang yang memiliki soft competency sering disebut memiliki kecerdasan emosional atau emotional intelligence, yang sering diukur sebagai emotional intelligent quotient (EQ), adalah kemampuan untuk menyadari emosi diri sendiri dan emosi orang lain. Adanya hubungan antara kompetensi dan kemampuan seseorang dalam mengendalikan emosi sangat bermanfaat untuk mengembangkan kompetensi seseorang. Apabila seseorang ingin merubah kompetensinya, dia harus mampu merubah cara berpikirnya, terutama dalam menggunakan kemampuan intelegensinya serta mengendalikan emosinya. Jika kita mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional kita dengan tidak menjalankan disiplin diri untuk berusaha mencapai kemenangan pribadi yang selanjutnya akan membawa kemenangan publik, kita akan mengalami trauma-trauma emosional, stres, membawa kemenangan publik, kita akan mengalami trauma-trauma emosional, stres, dan emosi-emosi yang negatif dan merusak, seperti marah, iri hati, ketamakan, kecemburuan, dan rasa bersalah yang irasional. 41 Pengembangan kompetensi teknis biasanya lebih mudah dilakukan daripada pengembangan kompetensi perilaku karena kompetensi teknis lebih fokus kepada pengetahuan dan keterampilan yang dapat diperoleh dan dikembangkan dengan hanya membaca, mendengar atau mengikuti pelatihan. Berbeda dari kompetensi teknis, pengembangan kompetensi perilaku memerlukan waktu yang lebih panjang karena pengembangan kompetensi perilaku memerlukan perubahan sikap. Perubahan sikap tersebut erat hubungannya dengan keseimbangan emosi dan logika, karena itu perubahan sikap tersebut memerlukan kecerdasan emosi. Dengan kemampuan emosional yang berkembang baik, seseorang kemungkinan besar ia akan berhasil dan bahagia dalam kehidupannya, karena ia menguasai kebiasaan berfikir yang mendorong produktivitasnya. Sedangkan orang yang tidak dapat mengendalikan kehidupan emosionalnya, ia akan mengalami pertarungan batin, yang merampas kemampuan mereka dalam memusatkan perhatian pada pekerjaan. Dengan demikian, konsep kecerdasan emosional berarti memiliki kesadaran diri yang memungkinkan diri sendiri untuk mengenali perasaan-perasaan dan mengelola emosi diri sendiri dan itu melibatkan motivasi diri dan mampu untuk fokus pada sebuah tujuan dari pada menuntut pemenuhan segera. 42 D. Kinerja Pegawai 1. Pengertian Kinerja Pegawai Kinerja dapat diartikan sebagai prestasi atau performance yang berarti hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika (Alek S. Nitisemito, 2001:89). Definisi kinerja dapat kita ambil dari kamus Bahasa Indonesia yang diartikan sebagai suatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan dari kemampuan kerja. Kinerja (performance) berasal dari kata “to perform”, arti performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam satu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Di samping itu, kinerja diartikan sebagai hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat ditunjukkan buktinya secara konkrit dan dapat di ukur. Beberapa kata kunci dari defenisi kinerja yaitu: hasil kerja pekerja, proses atau organisasi, 43 terbukti secara konkrit dapat di ukur dan di bandingkan dengan standar yang telah ditentukan. (Soeprihanto 1999:22). Pengertian kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam kemampuan melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan oleh atasan kepadanya. Selain itu, kinerja juga dapat diartikan sebagai suatu hasil dan usaha seseorang yang dicapai dengan adanya kemampuan dan perbuatan dalam situasi tertentu. Pengertian kinerja adalah hasil pegawai yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing. Dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan sacara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi. Pengertian kinerja menurut Siswanto (2002:235) menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya. Sedangkan pengertian kinerja menurut Anwar Prabu (2003:355) kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan 44 setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Selanjutnya Rivai (2005:309) mengatakan bahwa kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Pengertian kinerja juga dikemukakan oleh beberapa ahli manajemen dalam (Tika, 2006:121) antara lain sebagai berikut: a. Prawiro Suntoro mengemukakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi dalam periode tertentu. b. Handoko mendefinisikan kinerja sebagai proses dimana organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Pengertian kinerja menurut Benardin dan Russell (1998: 239) adalah pencatatan outcome yang dihasilkan pada fungsi atau aktivitas pekerjaan secara khusus selama periode waktu tertentu. Menurut Wood et al. (2001: 114) kinerja merupakan suatu pengukuran ringkas dari kuantitas dan kualitas kontribusi tugas-tugas yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk kerja unit atau organisasi. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, penulis mengambil kesimpulan tentang definisi dari kinerja seseorang pegawai adalah 45 sebagai hasil pekerjaan atau kegiatan seorang pegawai secara kualitas dan kuantitas dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Prawirasentono (2001:12) telah menyatakan, efektivitas dan efisiensi. Bila suatu tujuan tertentu akhirnya bisa dicapai, kita boleh mengatakan bahwa kegiatan tersebut efektif tetapi apabila akibatakibat yang tidak dicari kegiatan mempunyai nilai yang penting dari hasil yang dicapai sehingga mengakibatkan ketidakpuasan walaupun efektif dinamakan tidak efisien. Sebaliknya bila akibat yang dicaricari tidak penting atau remeh maka kegiatan tersebut efisien. Menurut Gibson, et al. (dalam Novitasari, 2003:39-40), ada tiga perangkat variabel yang mempengaruhi perilaku dan prestasi kerja atau kinerja, yaitu: 1. Variabel individual, terdiri dari: a. Kemampuan dan ketrampilan: mental dan fisik b. Latar belakang: keluarga, tingkat sosial, penggajian c. Demografis: umur, asal-usul, jenis kelamin. 2. Variabel organisasional, terdiri dari: sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. 3. Variabel psikologis, terdiri dari: persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. 46 Menurut Tiffin dan Me. Cormick (dalam Novitasari, 2003:3637) ada dua variabel yang dapat mempengaruhi kinerja, yaitu: 1. Variabel individual, meliputi: sikap, karakteristik, sifat-sifat fisik, minat dan motivasi, pengalaman, umur, jenis kelamin, pendidikan, serta faktor individual lainnya. 2. Variabel situasional: a. Faktor fisik dan pekerjaan, terdiri dari ; metode kcrja, kondisi dan desain perlengkapan kerja, penataan ruang dan lingkungan fisik (penyinaran, temperatur, dan ventilasi) b. Faktor sosial dan organisasi, meliputi: peraturan-peraturan organisasi, sifat organisasi, jenis latihan dan pengawasan, sistem upah dan lingkungan sosial. Mengukur kinerja secara struktur organisasi hal yang dinilai adalah keefektifan dan tingkat efisiensi struktur organisasi tersebut. Bisa dinilai struktur organisasi yang ada kurang memenuhi efektifitas, berarti kinerja organisasi tersebut dianggap tidak memenuhi kebutuhan lagi. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan tentang kemungkinan menyempurnakan struktur sesuai dengan kebutuhan. 3. Indikator Pengukuran Kinerja Pegawai Pengukuran Kinerja Pegawai, menurut Agus Dharma (2003:355) mengatakan hampir semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 47 a) kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. b) kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran atau tingkat kepuasan yaitu seberapa baik penyelesaiannya c) ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan. Sedangkan menurut Mathis (2002:78) yang menjadi indikator dalam mengukur kinerja atau prestasi karyawan adalah sebagai berikut: a) kuantitas kerja, yaitu volume kerja yang dihasilkan dalam kondisi normal. b) kualitas kerja, yaitu dapat berupa kerapian ketelitian dan keterkaitan hasil dengan tidak mengabaikan volume pekerjaan. c) pemanfaatan waktu, yaitu penggunaan masa kerja yang disesuaikan dengan kebijaksanaan perusahaan atau lembaga pemerintahan. d) kerjasama, yaitu kemampuan menangani hubungan dengan orang lain dalam pekerjaan. Menurut Benardin & Russell (1998 : 383) ada 6 (enam) kriteria primer yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja : 1. Quality, merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan kegiatan mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan. 48 2. Quantity, merupakan jumlah yang dihasilkan, misalnya jumlah rupiah, jumlah unit, jumlah siklus kegiatan yang diselesaikan. 3. Timeliness adalah diselesaikan tingkat pada sejauh waktu yang mana suatu kegiatan dikehendaki dengan memperhatikan koordinasi output lain serta waktu yang tersedia untuk kegiatan lain. 4. Cost – effectiveness adalah tingkat sejauh mana penggunaan daya organisasi (manusia, keuangan, teknologi, material) dimaksimalkan untuk mencapai hasil tertinggi atau pengurangan kerugian dari setiap unit penggunaan sumber daya. 5. Need for supervision, merupakan tingkat sejauh mana seseorang pekerja dapat melaksanakan suatu fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seorang supervisor untuk mencegah tindakan yang kurang diinginkan. 6. Interpersonal impact, merupakan tingkat sejauh mana karyawan memelihara harga diri, nama baik dan kerjasama diantara rekan kerja dan bawahan. 4. Penilaian Kinerja Penilaian kinerja (performance appraisal) memainkan peranan yang sangat penting dalam peningkatan motivasi di tempat kerja. Karyawan menginginkan dan memerlukan balikan berkenan dengan prestasi mereka dan penilaian menyediakan kesempatan untuk memberikan balikan kepada mereka. Jika kinerja tidak sesuai dengan 49 standar, maka penilaian memberikan kesempatan untuk meninjau kemajuan karyawan dan untuk menyusun rencana peningkatan kinerja. Penilaian kinerja merupakan upaya membandingkan prestasi aktual karyawan dengan prestasi kerja dengan yang diharapkan darinya (Dessler 2000). Dalam penilaian kinerja karyawan tidak hanya menilai hasil fisik, tetapi pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan kerja, kerajinan, kedisiplinan, hubungan kerja atau hal-hal khusus sesuai dengan bidang dan level pekerjaan yang dijabatnya. Menurut Dessler (2000) ada lima faktor dalam penilaian kinerja yang populer, yaitu: a) Prestasi pekerjaan, meliputi: akurasi, ketelitian, keterampilan, dan penerimaan keluaran. b) Kuantitas pekerjaan, meliputi: volume keluaran dan kontribusi c) Kepemimpinan yang diperlukan, meliputi: membutuhkan saran, arahan atau perbaikan d) Kedisiplinan, meliputi: kehadiran, sanksi, warkat, regulasi, dapat dipercaya/diandalkan dan ketepatan waktu. e) Komunikasi, meliputi: hubungan antar karyawan maupun dengan pimpinan, media komunikasi. Menurut Hani Handoko (2002) pengukuran kinerja adalah usaha untuk merencanakan dan mengontrol proses pengelolaan 50 pekerjaan sehingga dapat dilaksanakan sesuai tujuan yang telah ditetapkan, penilaian prestasi kerja juga merupakan proses mengevaluasi dan menilai prestasi kerja karyawan diwaktu yang lalu atau untuk memprediksi prestasi kerja di waktu yang akan datang dalam suatu organisasi. Kinerja karyawan pada dasarnya adalah hasil kerja karyawan selama periode tertentu. Pemikiran tersebut dibandingkan dengan target/sasaran yang telah disepakati bersama. Tentunya dalam penilaian tetap mempertimbangkan berbagai keadaan dan perkembangan yang mempengaruhi kinerja tersebut. Hani Handoko (2000) menyebutkan bahwa penilaian kinerja terdiri dari 3 kriteria, yaitu : a) Penilaian berdasarkan hasil yaitu penilaian yang didasarkan adanya target-target dan ukurannya spesifik serta dapat diukur. b) Penilaian berdasarkan perilaku yaitu penilaian perilaku-perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan. c) Penilaian berdasarkan judgement yaitu penilaian yang berdasarkan kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan, koordinasi, pengetahuan pekerjaan dan ketrampilan, kreativitas, semangat kerja, kepribadian, keramahan, intregitas pribadi serta kesadaran dan dapat dipercaya dalam menyelesaikan tugas. Menurut PP No.46 Tahun 2011 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil menyebutkan bahwa Penilaian prestasi kerja 51 PNS adalah suatu proses penilaian secara sistematis yang dilakukan oleh pejabat penilai terhadap sasaran kerja pegawai dan perilaku kerja PNS. Penilaian prestasi kerja PNS dilakukan berdasarkan prinsip: a. objektif; b. terukur; c. akuntabel; d. partisipatif; dan e. transparan. Penilaian Kinerja kerja PNS terdiri atas unsur: 1). SKP (Sasaran Kerja Pegawai) SKP memuat kegiatan tugas jabatan dan target yang harus dicapai dalam kurun waktu penilaian yang bersifat nyata dan dapat diukur. SKP yang telah disusun harus disetujui dan ditetapkan oleh pejabat penilai. Dalam hal SKP yang disusun oleh PNS tidak disetujui oleh pejabat penilai maka keputusannya diserahkan kepada atasan pejabat penilai dan bersifat final. SKP ditetapkan setiap tahun pada bulan Januari. Penilaian SKP meliputi aspek: kuantitas, kualitas, waktu; dan biaya. 2). Perilaku Kerja Perilaku Kerja meliputi: orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, kerja sama, dan kepemimpinan. Penilaian 52 perilaku kerja sebagaimana dimaksud dalam dilakukan melalui pengamatan oleh pejabat penilai terhadap PNS sesuai kriteria yang ditentukan. Pejabat penilai dalam melakukan penilaian perilaku kerja PNS sebagaimana dapat mempertimbangkan masukan dari pejabat penilai lain yang setingkat di lingkungan unit kerja masing-masing. Nilai perilaku kerja dapat diberikan paling tinggi 100 (seratus). Penilaian prestasi kerja sebagaimana dimaksud dalam dilakukan dengan cara menggabungkan penilaian SKP dengan penilaian perilaku kerja. Bobot nilai unsur SKP 60% (enam puluh persen) dan perilaku kerja 40% (empat puluh persen). Penilaian prestasi kerja PNS dilaksanakan oleh pejabat penilai sekali dalam 1 (satu) tahun. Penilaian prestasi kerja sebagaimana dimaksud pada dilakukan setiap akhir Desember pada tahun yang bersangkutan dan paling lama akhir Januari tahun berikutnya. 2.2. Landasan Penelitian Grand Teori yang menjadi landasan penelitian ini adalah Model Teori Kinerja Gibson. Teori ini memadukan 4 komponen penting yang dapat disebut sebagai faktor-faktor. Tiga faktor diataranya adalah (1) Variabel Individu, (2) Variabel Psikologis dan (3) Variabel Organisasi yang dapat dikategorikan sebagai variabel kausa (independen) terhadap 1 faktor keempat yaitu Variabel Prilaku Individu yang idendtik sebagai Variabel Kinerja. 53 Variabel Individu Variabel Kinerja Individu Variabel Psikologis Variabel Organisasi Gambar 2.1 Model Teori Kinerja Gibson (2008) Pada model tersebut dinyatakan ada pengaruh 3 faktor (variabel) utama terhadap kinerja/pencapaian seseorang baik di dalam produk kerja yang nampak dalam prestasi kerja per target ataupun dapat dicermati dari bentuk perubahan perilaku pegawai menyesuaikan diri di jalur ketetapan, peraturan serta budaya komunitas organisasi yang menjadi tempatnya bersekutu. Di dalam kerangka konsep grand teori ini akan diperkaya dan disederhanakan menyesuaikan materi penelitian dengan garis besar tujuan penelitian. (1) Pada Variabel Individu dibahas mengenai faktor-faktor kompetensi, (2) Pada Variabel Psikologis akan dicermati masalah kecerdasan emosi, (3) Pada Variabel Organisasi akan dibahas mengenai penilaian kinerja pegawai. 54 Data-data yang diukur dalam kuesioner terstruktur untuk mencermati persepsi responden menilai apa yang mereka rasakan selama bekerja di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jepara, kemudia dianalisis bagaimana regresinya dikaitkan dengan variabel kinerja/perilaku dari responden satu demi satu. Dari analisis semacam ini diharapkan akan dapat diketahui besar koefisien pengaruh dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen yaitu perubahan perilaku atau disebut sebagai peningkatan kualitas di dalam pelayanan mereka terhadap publik. Sebagai bahan perbandingan dalam penelitian Kompetensi Kinerja pengembangan sumber daya manusia, diantaranya dikemukakan Fitriyadi (2001) dengan judul Pengaruh Kompetensi Skill, Knowledge, Ability dalam pengembangan sumber daya manusia terhadap Kinerja Operator PD. BANGUN BANUA Propinsi Kalimantan Selatan. Hasil penelitian menunjukkan Variabel Kompetensi Skill Teknis, kompetensi skill non teknis, knowledge dan ability mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kinerja karyawan. Secara parsial variabel yang paling besar memberikan pengaruh terhadap peningkatan kinerja karyawan adalah variabel kompetensi knowledge. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Kartikawangi (2002) dalam sebuah jurnal dengan judul Karakteristik Sumber Daya Manusia yang Dibutuhkan Dunia Industri/Organisasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan karakteristik dasar yang dibutuhkan oleh perusahaan 55 mencakup karakteristik umum (demografi) dan karakteristik khusus yang mencakup Knowledge, Skill, Ability dan Others (KSAOs). Dalam seleksi, karakteristik umum akan dilihat pertama kali, bila memenuhi persyaratan awal tersebut calon karyawan selanjutnya akan mengikuti KSAOs. Pemenuhan karakteristik umum oleh calon karyawan dapat dilihat dari sifat lamaran dan daftar riwayat hidup dari Karakteristik khusus diprediksikan melalui rangkaian pelamar. tes yang mencakup keempatnya. Keempat karakteristik khusus dianggap penting oleh perusahaan dan semakin menguat pada kepribadian (personality) calon karyawan. Sedangkan menurut Parulian Hutapea (2001) dari PT. Best Orgz solusi dalam jurnal yang berjudul Competencies Based Integrated HR System. Menyimpulkan bahwa salah satu manfaat utama penggunaan kompetensi dalam organisasi adalah menggerakkan Sumber Daya Manusia ke arah target yang ingin dicapai perusahaan. Disamping itu kompetensi akan mendorong karyawan untuk mendapatkan dan menerapkan Skill dan Knowledge sesuai kebutuhan pekerjaan, karena hal ini merupakan Instrumen bagi pencapaian targetnya. Untuk itu System pengembangan sumber daya manusia di perusahaan haruslah berdasarkan kompetensi. Sistemnya harus terintegrasi mulai dari rekrutmen, penempatan orang, performance appraisal, sistem kompensasi, dan pengembangan karir. Penelitian mengenai kecerdasan emosional di tempat kerja sudah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Penelitian mengenai 56 bagaimana kecerdasan emosional berhubungan terhadap konflik dan kesiapan untuk melakukan inovasi, serta pengaruh dari karakteristik biografis terhadap kecerdasan emosional, konflik, dan kesiapan untuk inovasi yang dilakukan oleh Abubaks M. Sulaiman terhadap perusahaanperusahaan yang berada di United Arab Emirates menunjukkan bahwa ada perbedaan antara partisipan – tergantung pada karakteristik biografis mereka – mengenai persepsi mereka terhadap kecerdasan emosional, konflik, dan kesiapan untuk inovasi. Pada penelitian Sulaiman, dilaporkan pula bahwa karyawan dengan kecerdasan emosional yang tinggi cenderung menunjukkan konflik yang rendah dibandingkan oleh rekan kerja mereka yang rendah dalam kecerdasan emosional. Selain itu, kecerdasan emosi karyawan yang tinggi juga menunjukkan tingkat kesiapan karyawan yang tinggi untuk inovasi. Abraham (1999), peneliti lain juga menemukan bahwa partisipan dengan kecerdasan emosional yang tinggi cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi. Peneliti lain, Wong dan Law (2002) menghipotesiskan bahwa kecerdasan emosional dari atasan dan bawahan seharusnya mempunyai dampak yang positif pada kinerja pekerjaan, oleh karena itu mereka menguji dampak kecerdasan emosional dari atasan dan bawahan pada kinerja dan sikap. Hasilnya menunjukkan bahwa kecerdasan emosional dari bawahan berdampak pada kinerja dan kepuasan kerja, sementara kecerdasan emosional atasan berdampak pada kepuasan dan perilaku mereka dalam menjalankan peran. 57 Jordan, Ashkansy, Hartel dan Hooper (2002) mencoba mempelajari hubungan antara kecerdasan emosional, efektifitas tim dan fokus tujuan. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kecerdasan emosional dari anggota tim tercermin dari awal kinerja tim. Mereka menemukan bahwa tim yang rendah kecerdasan emosionalnya pada awalnya menunjukkan kinerja pada level rendah daripada tim yang tinggi kecerdasan emosionalnya. Brooks dan Nafukho (2006) mencoba menunjukkan integrasi antara kecerdasan emosional, sumber daya manusia, modal sosial dan produktivitas organisasi. Mereka menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional jelas berhubungan dengan produktivitas organisasi dan organisasi harus mencari untuk memperkerjakan dan mengembangkan pekerja dengan kecerdasan emosional yang tinggi. Dari penelitian yang dilakukan oleh Armanu Thoyib dan Wiwin Kisworini (2005) pengaruh variabel motivasi dan variabel kecerdasan emosional terhadap kinerja karyawan, disimpulkan bahwa secara simultan kedua variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap kinerja karyawan. Franci Chandra (2005) juga melakukan penelitian pengaruh variabel kecerdasan emosional terhadap semangat kerja karyawan dan hasilnya adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel kecerdasan emosional dan semangat kerja karyawan. Sedangkan untuk pengaruh variabel-variabel bebas secara parsial, seluruh variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terkait, kecuali 58 variabel kesadaran diri yang memiliki pengaruh kurang signifikan. Diantara variabel-variabel kecerdasan emosional, variabel motivasi menunjukkan pengaruh dominan terhadap variabel semangat kerja. Hal ini dipahami karena motivasi diri merupakan refleksi dari motivasi internal, yaitu dengan dorongan dari dalam diri karyawan untuk memiliki sikap dan perilaku yang positif terhadap pekerjaan mereka sehingga mereka lebih bersemangat melakukan pekerjaan tersebut tanpa harus diperintah dan diawasi. 2.3. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai kompetensi kerja dan kecerdasan emosi serta pengaruhnya terhadap penilaian kinerja telah diteliti oleh beberapa peneliti, diantaranya adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu No 1 Peneliti & Metode Tahun Judul Variabel Penelitian Hasil Penelitian Afrizal Saputra (2011) Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan PT.Jamsostek (Persero) Cabang Riau I Kecerdasan Emosi (X1), Komitmen Organisasi (X2), Kinerja Karyawan (Y) Regresi Linear Berganda Variabel kecerdasan emosional dan komitmen organisasi secara simultan berpengaruh terhadap kinerja karyawan PT. Jamsostek (Persero) cabang Riau I. Variabel kecerdasan emosional secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Riau . Variabel komitmen organisasi secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja 59 karyawan PT. Jamsostek (Persero) Cabang Riau I. 2 Dyah Ayu Sekarningtyas (2011) Analisis Pengaruh Komunikasi dan Kecerdasan Emosional Terhadap Kinerja Karyawan Komunikasi (X1), Kecerdasan Emosi (X2), Kinerja Karyawan (Y) Regresi Linear Berganda 3 Laras Tris Ambar Suksesi Edwardin (2006), Analisis Pengaruh Kompetensi Komunikasi, Kecerdasan Emosional, dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan Kompetensi Komunikasi (X1), Kecerdasan Emosional (X2), Budaya Organisasi (X3), Kinerja Karyawan (Y) Structural Equation Modeling (SEM). 4 Anila (2012) Pengaruh Kompetensi dan Motivasi Terhadap Kompetensi (X1), Motivasi Regresi Linear Berganda 60 Variabel komunikasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan, semakin baik komunikasi pada Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatikan Kabupaten Pemalang, maka akan meningkatkan kinerja karyawan. Variabel kecerdasan emosional memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Semakin baik kecerdasan emosional pada karyawan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatikan Kabupaten Pemalang, maka akan meningkatkan kinerja karyawan. Variabel komunikasi memiliki pengaruh terbesar terhadap kinerja karyawan dibandingkan variabel kecerdasan emosional. Variabel komunikasi dan kecerdasan emosi hanya dapat mempengaruhi kinerja karyawan sebesar 30%, sedangkan sisanya 70% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain. Terdapat pengaruh yang signifikan dan positif antara kompetensi komunikasi dengan kinerja karyawan. Terdapat pengaruh yang signifikan dan positif antara kecerdasan emosional dengan kinerja karyawan. Terdapat pengaruh yang signifikan dan positif antara kompetensi komunikasi dengan budaya organisasi. Terdapat pengaruh yang signifikan dan positif antara budaya organisasi dengan kinerja karyawan. Variabel bebas kompetensi kerja, dan Kinerja Karyawan Bagian Pengolahan pada PT.Perkebunan Nusantara V Kebun Tandun Kabupaten Kampar (X2), (Y) Kinerja 5 Halida (2012) Zia Pengaruh Kompetensi dan Motivasi Terhadap Kinerja Anggota Kepolisian Pada Polsek Bukit Raya Pekanbaru Kompetensi (X1), Motivasi (X2), Kinerja (Y) Regresi Linear Berganda 61 motivasi secara bersamasama berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan. Koefisien Determinasi (R2) Dari hasil perhitungan diperoleh hasil bahwa 37,8% kinerja karyawan bagian pengolahan pada PT Perkebunan Nusantara V Kebun Tandun pada dasarnya memang dipengaruhi oleh kompetensi dan motivasi. Variabel bebas kompetensi dan motivasi secara individual berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja karyawan. Variabel Kompetensi mempunyai pengaruh yang lebih kuat terhadap kinerja karyawan dibandingkan variabel motivasi. Variabel kompetensi dan motivasi secara simultan maupun parsial mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap variabel Kinerja.. besarnya koefisien determinasi nilai R2 sebesar 0,749. Ini berarti 74,9% variabel kompetensi dan motivasi secara bersama-sama sedangkan sisanya sebesar 25,1% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diamati dalam penelitian ini. Variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap variabel terikat yaitu kompetensi dengan t-hitung terbesar yaitu sebesar 11,67 dengan taraf signifikasi 0,000. 2.4. Kerangka Pemikiran Teoritis Berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai visi dan misinya secara berkelanjutan sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusianya (SDM). Dalam suatu organisasi baik bisnis maupun publik agar dapat bertahan dan konsisten harus menjadi learning organization. Menurut Senge (2001) sumber daya manusia yang berkualitas harus memiliki antara lain: (1) system thinking, yaitu kemampuan berfikir secara sistem, mencakup makna kemampuan untuk selalu berfikir dan bertindak dengan pendekatan yang menyeluruh dan mampu menimbang segala unsur yang saling berkaitan atau sistemik. (2) personal mastery, yaitu derajat kemampuan/keahlian kerja setiap anggota tim, mencakup makna semangat menemukan proses kerja dan hasil kerja yang lebih baik dari sebelumnya serta derajat kemampuan atau keahlian kerja dari setiap anggota. (3) shared vision, yaitu kemampuan dan kemauan setiap anggota untuk menumbuhkan persamaan menumbuhkan kesadaran pandangan komitmen, masa mencakup depan makna kemudian adanya kesepakatan seluruh anggota tim untuk menjadikan proses berbagai kebiasaan kerja sehari-hari, (4) mental model, yaitu keserasian nilai-nilai antar anggota tim, mencakup makna adanya keserasian nilai-nilai yang dianut dalam menyikapi proses pembelajaran, (5) team learning, yaitu kemampuan dan kemauan untuk belajar dan bekerja sama dalam satu tim, mencakup makna derajat semangat seluruh anggota tim untuk saling berbagi pengetahuan dan saling mengajarkan berbagai cara, serta derajat 62 kemampuan seluruh anggota tim untuk belajar dan bekerjasama sebagai satu kesatuan. Berkenaan tersebut, maka kemampuan sumber daya manusia dalam suatu organisasi tidak lepas dari kemampuan mengendalikan emosionalnya dan faktor kompetensi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja pegawai yang ingin dicapai. Semakin tinggi kompetensi dan kemampuan mengendalikan emosi yang dimiliki pegawai maka semakin tinggi pula kinerja yang akan dicapai, begitupun sebaliknya. Seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosional adalah apabila ia mampu mengenali emosi dirinya dengan baik, mengelola emosinya, serta mampu mengenali emosi orang lain. Dalam aktivitas bekerja, sering sekali dirasakan bahwa emosi negatif sangat menguras tenaga, menumpulkan kecerdasan intelektual dan membuat gerakan menjadi tidak terkendali dan tidak terkoordinasi. Oleh sebab itu, seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik harus mampu mengelola emosinya dengan baik, sehingga menjadi motivator perilaku, dan dapat menekan emosi yang berlebihan. Kecerdasan emosional dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain. Emosi merupakan penggerak perilaku (motivator) dalam arti dapat meningkatkan kinerja, namun sebaliknya 63 apabila emosi yang ditimbulkan berlebihan akan dapat menghambat kinerjanya. Dalam suatu organisasi seringkali individu tidak mampu menangani masalah-masalah emosional di tempat kerja secara memuaskan. Bukan saja tidak mampu memahami perasaan diri sendiri, melainkan juga perasaan orang lain yang berinteraksi dengan kita. Akibatnya sering terjadi kesalahpahaman dan konflik antar pribadi. Kinerja merupakan fungsi dari kemampuan dan motivasi. Atau dengan kata lain, kinerja individu sebagai anggota kelompok organisasi ditentukan oleh kemampuan dan kemauannya dalam melaksanakan tugas. Luthan (2008), berpendapat bahwa kinerja tidak hanya dipengaruhi oleh sejumlah usaha yang dilakukan seseorang, tetapi dipengaruhi pula oleh kemampuan (ability), komitmen, umpan balik (feed back), kompleksitas tugas (task complexity), tantangan (challenge), tujuan (goal), kondisi yang menghambat (situasional constrant), keakuratan diri (self afficacy), arah (direction), usaha (effort), daya tahan, ketekunan (persistance), strategi khusus dalam menghadapi tugas (task specific strategies). Kinerja yang baik merupakan salah satu sasaran organisasi dalam mencapai produktivitas kerja yang tinggi serta merujuk pada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik. Batasan ini menunjukkan bahwa kinerja didasarkan pada tingkat keberhasilan dalam pencapaian tujuan dan 64 kemampuan yang diperlukan untuk mencapai hasil pekerjaan tersebut. Robbins (2001) mengemukakan bahwa kinerja adalah ukuran kerja yang dilakukan dengan menggunakan kriteria yang disetujui bersama. Dengan demikian setiap pegawai harus dievaluasi atau dinilai hasil kerjanya. Evaluasi kinerja adalah suatu metode dan proses penilaian pelaksanaan tugas seseorang atau kelompok orang atau unit-unit kerja dalam suatu perusahaan atau organisasi sesuai dengan standar kinerja atau tujuan yang ditetapkan terlebih dahulu. Untuk mengetahui kinerja pegawai yang dipengaruhi kompetensi dan kecerdasan emosi maka dibuatlah suatu kerangka pemikiran. kompetensi dan kecerdasan emosi sebagai variabel bebas (variabel independen), sedangkan kinerja pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jepara adalah variabel terikat (variabel dependen), maka pengaruh dari variabel terikat dan variabel bebas tersebut digambarkan dalam kerangka pemikiran sebagai berikut: 65 Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Teoritis Kompetensi (X1) Kecerdasan Emosi H1 Kinerja Pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jepara H2 (Y) (X2) Sumber: Dikembangkan dari Teori Kinerja Gibson (2008) Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel bebas (independent variable) yaitu, Kompetensi (X1), dan Kecerdasan Emosi (X2) dan satu variabel terikat (dependent variable), yaitu kinerja pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jepara (Y). Definisi operasional dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Operasionalisasi Variabel Penelitian Variabel/Sub Variabel Konsep Variabel & Sub Variabel Kompetensi (X1) Kompetensi merupakan kemampuan yang terbentuk dari sinergi watak, motif, konsep diri, pengetahuan dan 66 Indikator Utama 1). Motif (motives), 2). Watak (traits), 3). Konsep diri (self concept), 4). Pengetahuan (knowledge), 5). Keterampilan (skill). Ukuran Ordinal Likert) (Skala Kecerdasan Emosi (X2) Kinerja (Y) 2.5. keterampilan yang diimplementasikan dalam bentuk sikap atau perilaku dalam bekerja. (Spencer & Spencer, 1993: 9) Kecerdasan Emosi adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan (Goleman, jiwa 1999) Pengukuran Kinerja pegawai merupakan cara pengukuran kinerja yang mempertimbangkan kuantitas, kualitas, pemanfaatan waktu, dan kerja sama (Mathis, 2002:78) 1). Motivasi Diri 2). Ketahanan menghadapi kegagalan 3). Pengendalian Emosi 4). Penundaan Kepuasan 5). Pengendalian JIwa Ordinal Likert) (Skala 1). Kuantitas, jumlah yang harus diselesaikan/dicapai 2). Kualitas, mutu yang harus dihasilkan 3). Pemanfaatan waktu, sesuai tidaknya dengan waktu yang direncakanan 4). Kerja sama dengan rekan kerja Ordinal Likert) (Skala Perumusan Hipotesis Setiap melakukan penelitian, perumusan suatu hipotesis sangat penting. Dalam usaha untuk memperoleh pengendalian atau asumsi mengenai populasi yang bersangkutan. Pengandaian ini mungkin betul ataupun mungkin tidak betul hal ini disebut hipotesis. Menurut Nanang Martono (2010:57), hipotesis dapat didefinisikan sebagai jawaban sementara yang kebenarannya harus diuji atau rangkuman kesimpulan secara teoritis yang diperoleh melalui tinjauan pustaka. 67 Sejalan dengan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat diambil suatu hipotesis sebagai berikut: H1 Terdapat pengaruh yang positif dari variabel Kompetensi terhadap Penilaian Kinerja pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jepara H2 Terdapat pengaruh yang positif dari variabel Kecerdasan Emosi terhadap Penilaian Kinerja pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jepara H3 Terdapat pengaruh yang positif dari variabel Kompetensi dan Kecerdasan Emosi terhadap Penilaian Kinerja pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Jepara 68