UJI SENSITIVITAS ANTIBIOTIKA PADA ISOLAT

advertisement
UJI SENSITIVITAS ANTIBIOTIKA PADA ISOLAT LAPANG
Staphylococcus aureus
MOHD ASRAF BIN ASMAT
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESMAVET
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul uji sensitivitas isolat
lapang Staphylococcus aureus adalah benar karya Saya dengan arahan dari
Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini Saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis Saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015
Mohd Asraf Bin Asmat
NIM B04088019
3
ABSTRACT
Staphylococcus aureus is a pathogen, which the infection by these bacteria
can be spread to livestock. The infection in livestock correlates with the use of
antibiotics to cure or prevent the infections. This research aims to determine the
sensitivity of S. aureus to the antibiotics: erythromisin, streptomisin, tetracycline,
cefepime, neomisine, nitrofurantoine, amikacine, chlorampenicol and
ciprofloxacine. This research was conducted through isolation on agar and disk
diffusion test. The result of this research showed that our S. aureus isolates are
resistant to cefepime, neomisine, amikacine and ciprofloxacine.
Keywords: Sensitivity, antibiotics, Staphylococcus aureus
4
UJI SENSITIVITAS ANTIBIOTIKA PADA ISOLAT LAPANG
Staphylococcus aureus
MOHD ASRAF BIN ASMAT
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESMAVET
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015
6
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
1
1
1
1
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Staphylococcus aureus
Mekanisme Resistensi Antibiotik
Eritromisin
Streptomycin
Tetrasiklin
Cefepime
Neomycin
Nitrofurantoine
Amikasin
Klorampenikol
Ciprofloxacin
Uji Kepekaan Antibiotika
2
2
3
3
4
4
4
5
5
5
5
6
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Desain Penelitian
Alat dan Bahan
Prosedur Pengujian
Isolat
Persiapan Uji dan Pengujian Isolat
Persiapan Media Agar
Persiapan Kultur
Cara Pengujian
Analisis Data
6
6
6
6
6
7
7
8
8
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
9
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
12
12
12
7
PENDAHULUAN
Staphylococcus aureus (S.aureus) merupakan bakteri yang umum
ditemukan di lingkungan. S. aureus menjadi perhatian peneliti di bidang
kesehatan hewan dan manusia karena S. aureus dapat menyebabkan infeksi baik
di hewan maupun manusia. Di dunia kesehatan hewan, bakteri ini merupakan
patogen utama yang sering menyebabkan mastitis subklinis (Sudono et al. 2013).
Mastitis pada hewan ternak sebagian besar diakibatkan oleh infeksi S. aureus.
Mastitis yang disebabkan oleh S. aureus sering kali susah untuk diobati dan S.
aureus juga mudah menyebar ke lingkungan.
Kebanyakan dari kasus mastitis terjadi akibat pengawasan yang tidak ketat,
sehingga infeksi sudah menjadi parah pada saat ditemukan. Untuk mencegah
kasus tersebut tidak berulang, maka perlu adanya pencegahan sebelum terjadi
penyakit seperti sanitasi kandang, melaksanakan masa kering dan penggunaan
antibiotika (Subroto 2003). Penggunaan antibiotika sangat penting dalam
melawan bakteri yang menyebabkan mastitis sehingga penggunaan antiotika yang
tepat mestilah dipilih untuk memastikan efektivitas antibiotika tersebut.
Penggunaan antibiotika di Indonesia yang cukup dominan di manusia dan hewan
adalah turunan tetrasiklin, penisilin, kloramfenikol, eritromisin dan streptomisin
baik pada manusia maupun hewan. Seperti juga di negara-negara lain, pola
penggunaan antibiotika tersebut telah mencapai tingkat yang berlebihan dan
banyak diantaranya masih digunakan secara tidak tepat. Penelitian ini bertujuan
untuk menentukan sifat sensitivitas beberapa antibiotika terhadap S. aureus yang
diisolasi dari sapi yang pernah menderita mastitis. Manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai tingkat sensitivitas isolat S.
aureus terhadap beberapa antibiotika tertentu. Dengan adanya informasi tersebut
harapannya akan membantu dalam pengobatan suatu penyakit infeksius yang
disebabkan oleh S. aureus.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sifat resistensi
Staphylococcus aureus terhadap antibiotika eritromisin, streptomisin, tetrasiklin,
cefepime, neomisin, nitrofurantoine, amikasin, klorampenikol dan ciprofloxasin.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan data isolat lapang
Staphylococcus aureus yang telah resisten dan yang masih sensitif terhadap
antibiotika eritromisin, streptomisin, tetrasiklin, cefepime, neomisin,
nitrofurantoine, amikasin, klorampenikol dan ciprofloxasin.
Hipotesis
Staphylococcus aureus yang diperoleh dari isolat lapang sensitif terhadap
antibiotika eritromisin, streptomisin, tetrasiklin, cefepime, neomisin,
nitrofurantoine, amikasin, klorampenikol dan ciprofloxasin.
8
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi dan Karakteristik Staphylococcus aureus
Terdapat 23 spesies Staphylococcus dan dua belas diantaranya merupakan
flora normal bagi manusia dan yang terpenting secara klinis ada tiga spesies yaitu
Staphylococcus aureus, Staphyloccus epidermidis, Staphylococcus saprophyticus.
S. aureus memiliki klasifikasi sebagai berikut (Todar 2005)
Dunia
: Prokariota
Divisi
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Ordo
: Bacillales
Famili
: Micrococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Species
: Staphylococcus aureus
S. aureus merupakan bakteri gram positif, berbentuk bola dengan diameter
sekitar 1 µm, tidak motil, tidak membentuk spora, tersusun dalam kelompok
dengan susunan yan tidak beraturan dan menghasilkan katalase positif. S. aureus
tahan pada suhu 50 °C, tahan pada lingkungan dengan konsentrasi garam yang
tinggi dan mudah membentuk pigmen pada suhu kamar (20-25 °C). Koloni S.
aureus pada media MSA berbentuk bundar, halus, konveks dan berwarna kuning
(Tolan 2008). Ciri utama yang paling mudah dan penting untuk membedakan
antara S aureus dengan spesies Staphylococcus lainnya yaitu produksi enzim
koagulase. Koagulase memiliki kemampuan untuk menggumpalkan plasma.
Sekitar 97% S. aureus menghasilkan enzim ini. Dalam dunia kedokteran hewan,
S. aureus memberi dampak besar kepada peternak dan masyarakat salah satunya
adalah mastitis pada sapi perah (Purnomo et al. 2006). Mastitis yang disebabkan
oleh S. aureus dapat terjadi secara klinis namun seringkali terjadi secara subklinis
(Dodd dan Booth 2001; Bannerman dan Wall 2005). Mastitis menyebabkan
kerugian ekonomi yang sangat besar bagi peternakan sapi perah di seluruh dunia
(Bannerman dan Wall 2005). Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh mastitis,
terutama mastitis subklinis, meliputi penurunan produksi dan mutu susu,
peningkatan biaya perawatan dan pengobatan, pengafkiran ternak lebih awal serta
pembelian sapi perah baru (Subronto 2003).
Mekanisme Resistensi Antibiotika
Penggunaan antibiotika untuk mengobati penyakit infeksi oleh S. aureus
pada ternak telah banyak dilakukan, baik menggunakan antibiotika yang dibuat
secara alami maupun sintesis. Resistensi antibiotika terhadap bakteri dapat terjadi
secara alami atau secara dapatan. Resistensi dapatan dapat terjadi meskipun
antibiotika tersebut belum pernah dikenalkan pada bakteri sedangkan resistensi
dapatan terjadi karena perubahan komposisi genetik bakteri. Dengan demikian,
antibiotika yang awalnya sensitif menjadi tidak sensitif lagi dan mengakibatkan
resistensi. Resistensi yang terjadi dapat bervariasi yaitu terkadang perubahan
genetis hanya berakibat penurunan aktivitas antibiotika tetapi tidak sampai
menghilangkan keseluruhan efektivitas antibiotika (Ebrahim 2010).
9
Strategi bakteri untuk menurunkan kemampuan kerja atau aktivitas
antibiotika terjadi melalui beberapa cara yaitu penetralan antibiotika oleh enzim
dalam bakteri, membatasi kadar antibiotika dalam bakteri dengan menurunkan
influks dan meningkatkan efluks, mengubah target antibiotika sehingga tidak
mampu lagi membunuh bakteri dan menghilangkan target antibiotika dengan
membentuk jalur metabolik baru. Bakteri dapat menggunakan satu atau beberapa
strategi untuk melawan satu jenis antibiotika tertentu. Satu strategi bahkan dapat
menyebabkan resistensi terhadap beberapa antibiotika atau multi resisten terhadap
berbagai antibiotika berbagai jenis (Ebrahim 2010).
Berdasarkan cara kerjanya antibiotika digolongkan menjadi beberapa
golongan antara lain: antibiotika yang bekerja dengan menghambat sintesis
dinding sel bakteri (penisilin, sefalosporin carbapenem, basitrain, vankomisin, dan
sikloserin); antibiotika yang mengganggu keutuhan membran sel mikroba
(polimiksin, golongan polien serta berbagai antibakteri kemoterapetik); antibiotika
yang bekerja dengan menghambat sintesa protein (kloramfenikol, eritromisin,
linkomisin, tetrasiklin, dan golongan aminoglikosida); antibiotika yang bekerja
dengan menghambat sintesis asam nukleat (asam nalidiksat, rifampisin,
sulfonamid, trimetoprim; antibiotika yang bekerja dengan menghambat
metabolisme sel bakteri (sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat, dan
sulfon) (Ebrahim 2010) .
Eritromisin
Eritromisin merupakan antibiotika golongan makrolida yang bekerja dengan
berikatan pada ribosom subunit 50 S sehingga menghambat sintesis protein
bakteri. Antibiotika golongan makrolida efektif digunakan terhadap infeksi
bakteri Gram positif baik yang bersifat aerobik maupun anaerobik. Selain itu,
eritromisin juga efektif terhadap bakteri Gram negatif seperti Neisseria,
Haemophilus influenza, Bordetella pertusis, Brucella, Riketsia, Treponema dan
Mycoplasma peumoniae. Resistensi silang dapat terjadi pada berbagai antibiotika
golongan makrolida. Antibiotika ini dapat bersifat bersifat bakteriostatik atau
bakterisida tergantung dari jenis bakteri dan konsentrasi antibiotika dalam darah
(Gaynor dan Mankin 2003; Plumb 2008; Kanoh dan Bruce 2010).
Streptomisin
Streptomisin merupakan aminoglikosida yang aktif terhadap mycobacteria
yang sedang membelah aktif dan pesat. Mekanisme kerja antibiotika ini ialah
dengan menghambat sintesa protein bakteri dengan pengikatan pada RNA
ribosomal (Mycek 2001). Senyawa ini efektif terhadap banyak kuman gram
negatif dan gram positif, termasuk Mycobacterium tuberculosis dan
Mycobacterium bovis. Streptomisin khusus aktif terhadap mycobacteria
ekstraseluler yang sedang membelah aktif dan pesat. Pada bakteri S.aureus,
sensitivitas streptomisin tergolong intermediet masih efektif untuk digunakan
sebagai antibiotika spektrum luas dalam pengobatan infeksi S. aureus. Akan
tetapi, pengobatan tersebut harus diperhatikan dosisnya. (Atlas 2000).
10
Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan salah satu obat antimikroba yang menghambat
sintesis protein mikroba. Untuk kehidupannya, sel mikroba perlu mensintesis
berbagai protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom, dengan bantuan mRNA
dan tRNA. Pada bakteri, ribosom terdiri atas atas dua subunit, yang berdasarkan
konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S. untuk berfungsi
pada sintesis protein, kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai
mRNA menjadi ribosom 70S. Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein
bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi dua proses dalam masuknya
antibiotika ke dalam ribosom bakteri gram-negatif. Pertama, difusi pasif melalui
kanal hidrofilik dan kedua ialah sistem transport aktif. Setelah antibiotika masuk
ke dalam bakteri maka antibiotika tersebut akan berikatan dengan ribosom 30S
dan menghalangi masuknya komplek tRNA–asam amino pada lokasi asam amino.
Tetrasiklin sudah tidak sesuai untuk digunakan sebagai pengobatan infeksi S.
aureus karena sudah banyak strain S. aureus yang resisten terhadap antibiotika ini
(Mycek 2001).
Cefepime
Cefepime merupakan antibiotika golongan sephalosporin generasi keempat,
yang bekerja sama halnya dengan golongan sephalosporin lain yaitu dengan
menghambat sintesis dinding sel bakteri. Antibiotika ini memiliki spektrum yang
lebih luas dibanding generasi ketiga dan lebih stabil terhadap bakteri penghasil
beta laktamase. Cefepime efektif terhadap aktivitas bakteri Gram positif seperti
beberapa strain Staphylococcus spp. dan Streptococcus spp.. Selain itu, cefepime
juga efektif terhadap bakteri Gram negatif yang setara dengan sephalosporin
generasi ketiga yang memiliki aktivitas cukup baik terhadap infeksi
Enterobacteriaceae seperti Enterobacter spp., Escherichia coli, Proteus spp., dan
Klebsiella (Plumb 2008).
Neomisin
Neomycin merupakan antibiotika aminoglikosida yang ditemukan dalam
banyak digunakan dalam obat topikal seperti krim, salep, dan obat tetes mata.
Antibiotika ini ditemukan pada tahun 1949 dan merupakan antara penemuan yang
penting pada waktu itu. Neomycin tergolong kelas antibiotik aminoglikosida yang
mengandung dua atau lebih gula amino yang terikat oleh ikatan glikosida
(Sweetman 2002). Antibiotika ini sangat efektif digunakan untuk melawan infeksi
dari bakteri gram negatif tetapi kurang baik digunakan dalam pengobatan bakteri
gram positif. Antibiotika ini sangat jarang digunakan pada S. aureus karena
dianggap kurang baik digunakan dalam pengobatan infeksi bakteri gram positif.
11
Nitrofurantoine
Nitrofurantoine merupakan antiobiotika yang sering digunakan untuk
infeksi pada saluran pencernaan. Nitrofurantoine bekerja dengan menonaktifkan
atau merubah flavoprotein atau molekul lain pada bakteri. Akibat dari inaktivasi
ini, proses biokimia yang vital seperti sintesis protein, metabolisme energi
aerobik, sintesis DNA, sintesis RNA dan sintesis dinding terhambat (Sandegren et
al 2008) Antibiotika ini efektif untuk melawan bakteri Escherichia coli,
Staphylococcus saprophyticus, Entertococcus faecalis, S. aureus, Streptococcus
agalactiae dan juga dari spesies Citrobacter dan Klebsiella (Sweetman 2002).
Amikasin
Amikasin adalah antibiotika aminoglikosida semi sintetik derivat dari
kanamycin. Amikasin merupakan antibakteri yang berspektrum luas yang aktif
terhadap bakteri gram negatif dan beberapa bakteri gram positif. Amikasin efektif
untuk bakteri gram negatif seperti Escherichia coli, Enterobacter, Serratia,
Citrobacter, Acinetobacter dan spesies Providencia. Amikasin juga aktif terhadap
S. aureus, termasuk strain yang resisten terhadap methisillin dan juga aktif
terhadap beberapa bakteri gram positif lain seperti Streptococcus pyogenes,
Streptococcus pneumoniae dan beberapa strain tertentu dari Enterococci.
Amikasin juga diketahui aktif terhadap beberapa strain yang resisten terhadap
golongan aminoglikosida yang lain (Arsyad dan Rusmarjono 2006).
Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan suatu golongan antibiotika yang menghambat
pertumbuhan bakteri dengan spektrum kerja yang luas terhadap Haemophilus
influenza, Neisseria meningitides, Streptococcus pneumonia, Staphylococcus
pyogenes, Staphylococus agalactiae, Staphylococcus pneumonia, dan
Staphylococcus aureus (Siswando et al. 2000). Antibiotika ini bekerja dengan
menghambat proses sintesis protein yang terjadi pada sel bakteri S. aureus.
Kloramfenikol akan berikatan secara reversibel dengan unit ribosom 50S sehingga
mencegah ikatan antara asam amino dengan ribosom (Katzung 2000).
Ciproflocacin
Ciproflocacin merupakan antibiotika yang tergolong dari golongan
fluoroquinolones (Huang dan Stafford 2000). Antibiotika ini bekerja dengan
menghambat enzim topoisomerase II dan topoimerase IV yang dibutuhkan dalam
proses replikasi, transkripsi dan rekombinasi DNA pada bakteri. Ciprofloxacin
merupakan antibiotika yang berspektrum luas dan mampu untuk melawan infeksi
dari bakteri gram negatif atau gram positif termasuk S. aureus (Katzung (2000).
12
Uji Kepekaan Antimikroba
Kemampuan antimikroba dalam melawan bakteri dapat diuji dengan
beberapa metode antara lain: metode dilusi, metode difusi, dan Etest. Metode
dilusi terdiri dari dua teknik pengerjaan yaitu dilusi perbenihan cair dan dilusi
agar. Metode ini bertujuan untuk menentukan aktifitas antimikroba secara
kuantitatif. Metode difusi merupakan metode pengujian yang paling sering
digunakan karena mudah dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Metode ini
menggunakan cakram kertas yang telah dibubuhkan sejumlah tertentu
antimikroba. Konsentrasi antimikroba ditentukan oleh difusi dari kertas cakram
dan adanya zona hambat bening karena pertumbuhan bakteri yang dihambat
penyebarannya di sekitar difusi antimikroba. Terbentuknya zona bening di sekitar
cakram menunjukkan bakteri yang diuji sensitif terhadap antimikroba (CLSI
2008; OIE 2012). Metode lain yang digunakan dalam pengujian antimikroba
adalah metode Etest (Epsilometer test) yang juga berdasarkan prinsip difusi. Etest menggunakan strip berbentuk persegi panjang yang telah mengandung
antibiotika.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan April 2015 di Laboratorium Bakteriologi
Bagian Mikrobiologi Medis, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner (IPHK), Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor (IPB).
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat S. aureus, Manitol
Salt agar (MSA), blood agar (BAP), tripsin soy agar (TSA), serta Mueller Hinton
agar (MHA) sebagai media uji resistensi, disk antibiotika (Eritromisin,
Streptomisin, Tetrasiklin, Cefepime, Neomisin, Nitrofurantoine, Amikasin,
Klorampenikol dan Ciprofloxasin), akuades steril, air, sabun (Dettol®), dan
alkohol 70%.
Alat yang digunakan ialah alat pelindung diri, plastik steril tahan panas,
cotton swab, cawan petri (diameter 10 cm), tabung reaksi (volume 15 ml), rak
tabung reaksi, pinset, jarum inokulasi (ose), pembakar Bunsen, pengocok tabung
(vortex), inkubator, penangas air, autoklaf, lemari steril, lemari pendingin, dan
penggaris.
13
Prosedur Penelitian
Isolat
Isolat yang digunakan dalam pengujian ini adalah 13 isolat S. aureus yang
merupakan koleksi laboratorium FKH IPB yang berasal dari sampel susu yang
diambil dari sapi yang menderita mastitis subklinis dan 1 isolat S. aureus
Cowan 1.
Persiapan Uji dan Pengujian Isolat
Pemeriksaan sensitivitas S. aureus terhadap antibiotika eritromisin,
streptomisin, tetrasiklin, cefepime, neomisin, nitrofurantoine, amikasin,
klorampenikol dan kiprofloxasin dilakukan dengan metode difusi dengan
mengukur diameter zona hambatan pada kertas cakram. Secara umum, tahapan
pengujian sensitifitas bakteri terhadap antibiotika tersebut yaitu suspensi bakteri
disebarkan ke atas permukaan media MHA. Kertas cakram yang mengandung
antibiotika kemudian ditempelkan di atas permukaan media agar yang telah
disebar dengan suspensi bakteri uji.
Persiapan Media Agar
Tryptic Soy Agar
Sebanyak 40 g media TSA dilarutkan ke dalam 1000 ml akuades kemudian
dipanaskan hingga mendidih. Media yang telah mendidih kemudian disterilkan
menggunakan autoklaf dengan tekanan 2 atm pada suhu 121 °C selama 15 menit.
Media kemudian dituang ke dalam cawan petri dan ditunggu hingga membeku
dengan suhu ruangan 25 °C.
Manitol Salt Agar
Sebanyak 60 gram media MSA dilarutkan ke dalam 1000 ml akuadest
dingin. Kemudian dipanaskan sampai mendidih larut sempurna. Media yang telah
mendidih kemudian disterilkan menggunakan autoklaf dengan tekanan 2 atm pada
suhu 121 °C selama 15 menit. Media kemudian dituang ke dalam cawan petri dan
ditunggu hingga membeku dengan suhu ruangan 25 °C.
Blood Agar
Sebanyak 40 gram media BA ke dalam 1000 ml air akuadest. Kemudian
larutan tersebut dihomogenkan dan dipanaskan sampai mendidih agar media
mikrobiologi larut dengan sempurna. Kemudian, larutan tersebut disterilkan
menggunakan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121ºC. Media kemudian
didinginkan sampai 50 ºC dan secara aseptik ditambahkan darah defibrinasi steril.
14
Mueller-Hinton agar (MHA)
Sebanyak 38 gram MHA dilarutkan ke dalam 1000 ml akuades, kemudian
dipanaskan hingga menididih. Larutan media kemudian disterilkan di dalam
autoklaf tekanan 2 atm pada suhu 121 °C selama 5 menit. Larutan media tersebut
kemudian dituang ke dalam cawan petri untuk digunakan selanjutnya.
Persiapan Kultur
Masing-masing 13 isolat S. aureus dan 1 isolat Cowan diinokulasikan ke
media agar TSA dan diikubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Bakteri yang telah
ditumbuhkan tersebut kemudian diambil dengan menggunakan ose dan di
inokulasikan ke media agar MSA dan kemudian diikubasi pada suhu 37 °C
selama 24 jam. Bakteri yang telah ditumbuhkan tersebut kemudian diambil
dengan menggunakan ose dan diinokulasikan ke BAP dan kemudian diikubasi
pada suhu 37 °C selama 24 jam. Bakteri yang telah ditumbuhkan tersebut
kemudian diambil dengan menggunakan ose dan dimasukkan ke dalam larutan
NaCl steril 9 ml. Larutan tersebut lalu dihomogenkan dengan vortex selama 2
menit untuk membuat suspensi. Kekeruhan larutan disamakan dengan kekeruhan
MacFarland 1.
Cara Pengujian
Masing-masing suspensi bakteri disebarkan ke atas permukaan media MHA
dengan menggunakan cotton swab steril. Tiap cawan petri berisi 9 lembar kertas
cakram yang masing-masing mengandung antibiotika eritromisin, streptomisin,
tetrasiklin, cefepime, neomisin, nitrofurantoine, amikasin, klorampenikol dan
ciprofloxasin. Kertas cakram tersebut diletakkan di atas permukaan kultur media.
Cawan petri tersebut ditutup dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24 jam. Agar
data yang didapatkan akurat, maka pengujian isolat dilakukan secara duplo. Hasil
uji ditentukan dengan mengamati dan mengukur diameter zona hambatan yang
terbentuk di sekeliling kertas cakram menggunakan penggaris. Berikut merupakan
zona hambatan inhibisi antibiotika yang disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Zona Hambatan Inhibisi Antibiotika (CLSI 2008)
Zona hambatan inhibisi (mm)
Nomer
Antibiotika
Ukuran
Sensitif
Intermediet
Resisten
(µg)
1
Eritromisin
25
≥17
15-16
≤14
2
Streptomisin
25
23
14-22
13
3
Tetrasiklin
30
19
15-18
14
4
Cefepime
30
18
15-17
14
5
Neomisin
30
17
13-16
12
6
Nitrofurantoine
300
17
15-16
14
7
Amikasin
30
17
15-16
14
8
Klorampenikol
30
18
13-17
12
9
Ciprofloxacin
10
21
16-20
15
15
Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara deskriptif
menggunakan tabel dan gambar.
Hasil dan Pembahasan
Hasil uji dan persentase hasil uji sensitivitas antibiotika pada isolat
Staphylococcus aureus menunjukkan adanya reaksi yang berbeda terhadap
beberapa jenis antibiotika yang digunakan yaitu eritromisin, streptomisin,
tetrasiklin, cefepime, neomisin, nitrofurantoine, amikasin, klorampenikol dan
ciprofloxasin Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2 Hasil uji sensitivitas S. aureus terhadap antibiotika
Antibiotika
Jumlah Hasil
Uji
S
I
R
S.
ER ST TE CE NE NI AM KL CI
aureus
1
S
I
I
R
R
I
R
S
R
2
2
5
2
S
I
S
R
R
R
R
I
R
2
2
5
3
I
I
I
R
R
R
R
S
R
1
3
5
4
S
I
S
R
I
S
I
S
R
4
3
2
5
S
I
S
R
I
S
I
R
R
3
3
3
6
S
I
S
R
I
S
I
I
R
3
4
2
7
S
I
I
R
I
S
I
R
R
2
4
3
8
S
I
S
R
S
S
I
S
I
5
3
1
9
S
S
S
I
S
S
R
S
S
7
1
1
10
R
S
R
R
I
S
S
S
S
5
3
1
11
S
I
S
R
I
I
R
S
I
3
4
2
12
R
I
S
S
S
S
S
S
I
6
2
2
13
S
I
S
R
I
S
R
S
I
4
3
2
Cowan 1 S
I
S
R
I
S
I
S
R
4
3
2
Keterangan: ER (eritromisin), ST (streptomisin), TE (Tetrasiklin), CE (cefepime),
NE (neomisin), NI (nitrofurantoine), AM (amikasin), KL (klorampenikol), CI
(ciprofloxacin), S (sensitif), I (intermediet), R (resisten)
16
Tabel 3 Persentase hasil uji sensitivitas S.aureus terhadap antibiotika
Persentase %
Nomor
Antibiotika
S
I
R
S
I
1
Eritromisin
11
1
2
78.6
7.1
2
Streptomisin
2
12
0
14.3
85.7
3
Tetrasiklin
9
3
2
64.2
21.5
4
Cefepime
0
1
13
0
7
5
Neomisin
2
8
4
14.3
57.1
6
Nitrofurantoine
9
3
2
64.2
21.5
7
Amikasin
1
7
6
7.1
50
8
Klorampenikol
9
2
3
64.2
14.4
9
Ciprofloxacin
2
4
7
14.3
35.7
R
14.3
0
14.3
93
28.6
14.3
42.9
21.4
50
Hasil uji sensitivitas menunjukkan bahwa 78.6% dari isolat S. aureus yang
diuji bersifat sensitif terhadap antibiotika eritromisin. Ini sesuai dengan Khan et
al. (2010) yang menyatakan bahwa S. aureus merupakan bakteri gram-positif
yang masih sensitif terhadap eritromisin. Akan tetapi, ditemukan beberapa strain
S.aureus yang bersifat resisten terhadap eritromisin seperti yang p ditemukan oleh
(Steward et al. 2005) yang mengunakan isolat bakteri dari manusia. Menurut
(Khan et al. 2010), resistensi antibiotika dari S. aureus berkembang dari mutasi
organisme di dalam strain sensitif ke bentuk resisten ketika bersentuhan dengan
antibiotika, bentuk resisten bakteri terhadap antibiotika pada golongan penisilin
terjadi secara bertahap atau disebut bermutasi secara perlahan.
Sensitivitas isolat S. aureus terhadap streptomisin tergolong rendah dengan
14.3% tetapi hasil lainnya menunjukkan reaksi zona terang yang berada di tahap
intermediet. Menurut (Atlas 2000), sensitivitas streptomisin terhadap S. aureus
yang tergolong intermediet masih efektif untuk digunakan sebagai antibiotika
spektrum luas dalam pengobatan infeksi S. aureus. Akan tetapi, pengobatan
tersebut harus diperhatikan dosisnya. Resistensi S. aureus terhadap streptomycin
berhubungan erat dengan resistensi yang bersifat genetik. Perkembangan
resistensi bakteri terhadap streptomycin didasarkan pada terjadinya mutasi dan
seleksi mutan secara acak dan streptomycin berperan sebagai agen seleksi yang
memungkinkan terjadinya multiplikasi kelompok bakteri resisten dan menekan
pertumbuhan semua organisme yang memiliki sifat sensitif terhadap
streptomycin. Mutasi yang terjadi dapat merubah tempat pengikatan normal
streptomycin pada ribosom bakteri (Atlas 2000).
Tingkat sensitivitas S. aureus terhadap tetrasiklin adalah 64.2%. Hal ini
berbeda dengan (Mycek 2001) yang menyatakan tetrasiklin sudah tidak sesuai
untuk digunakan sebagai pengobatan infeksi S. aureus karena sudah banyak strain
S. aureus yang resisten terhadap antibiotika ini. Sementara itu, Nonong dan Satari
(2005), memperoleh hasil yang hampir serupa yaitu mayoritas hasil isolat
S. aureus terhadap streptomisin masih tergolong sensitif dan masih baik untuk
digunakan sebagai antibiotika pengobatan infeksi S. aureus. Menurut Rice (2004),
bakteri yang sensitif terhadap tetrasiklin menunjukkan bahwa bakteri tersebut
masih memiliki sisi pengenalan target tetrasiklin. Tetrasiklin bekerja dengan
inhibisi proses translasi di mana ribosom sel menghasilkan protein yaitu dengan
mengikat ikatan subunit kecil 16S ribosom dari subunit 30s lalu menghambat
amino-asetil tRNA dari mengikat ke tapak pengikatan pada ribosom. Ini
17
menyebabkan proses sintetis bakteri gagal sehingga bakteri tidak mampu untuk
berkembang. Dengan demikian, isolat S. aureus yang diuji di dalam penelitian ini
masih sensitif dan belum bersifat resisten terhadap antibiotika tetrasiklin.
Hasil uji sensitivitas isolat S. aureus terhadap cefepime memperlihatkan
hasil 93% bersifat resisten. Menurut Asbel dan Levison (2000), cefepime sangat
efektif untuk melawan infeksi dari bakteri gram negatif seperti Escherichia coli
atau Pseudomonas aeruginosa dan gram positif seperti Streptococcus pneumoniae,
Streptococcus pygones dan termasuk S. aureus dengan pengecualian strain
tersebut S. aureus tidak bersifat resisten terhadap metisilin. Isolat yang diuji tidak
mencatat hasil sensitif dan hanya mencatat 7% hasil intermediet sehingga bisa
dinyatakan strain yang digunakan dalam uji ini bersifat resisten terhadap
methicilin atau disebut MRSA. Menurut Stapleton dan Taylor (2002), resistensi
methicilin terjadi akibat melalui penghasilan bentuk lain dari PBP (Penicillin
binding protein) yang memiliki sifat pengikatan penisilin yang rendah dan resisten
serta mampu mengambil alih proses cross linking dari PBP yang asal. Bentuk
baru dari PBP yang dihasilkan memiliki struktur pengikatan yang sama dengan
penisilin seperti PBP sebelumnya, tetapi sifat pengikatannya dengan antibiotika βlactamase 5 berkurang dengan banyak.
Hasil uji sensitivitas isolat S. aureus terhadap neomisin tergolong
intermediet. Hasil ini berbeda dengan Suzuki (2011) yang menyatakan isolat S.
aureus memiliki hasil resisten. Hasil dari penelitian ini melihatkan isolat
cenderung intermediet dan resisten berbanding sensitif. Resistensi S. aureus
semakin menghilang ketika perubahan akibat dari kehilangan kromosal yang
menjadi karakteristik dari resistensi yang dikontrol oleh elemen ekstrakromosal
atau plasmid (Bennett 2008).
Sifat sensitif juga diperlihatkan oleh isolat S. aureus terhadap antibiotika
nitrofurantoine. Nitrofurantoine bekerja dengan menonaktifkan atau merubah
flavoprotein atau molekul lain pada bakteri. Akibat dari inaktivasi ini, proses
biokimia yang vital seperti sintesis protein, metabolisme energi aerobik, sintesis
DNA, sintesis RNA dan sintesis dinding terhambat (Sandegren et al 2008). Akibat
dari inaktivasi ini, bakteri tidak mampu untuk berkembang karena bakteri tidak
lagi mampu melakukan proses vitalnya dan menjadi sensitif terhadap antibiotika
tersebut. Hasil uji sensitivitas nitrofurantoine adalah 64.2% sensitif terhadap isolat
S. aureus. Hasil yang didapatkan hampir sama dengan Babakir-Mina et al. (2012)
yang memperoleh hasil 80% sensitif terhadap isolat S. aureus diikuti hasil
resistensi yang sangat rendah.
Hasil uji isolat S. aureus diperoleh 42.9% resisten terhadap antibiotika
amikasin. Amikasin bekerja dengan mengikat situs amino-asetil ribosomal RNA
16S di dalam subunit ribosomal 30s yang menyebabkan kegagalan dalam bacaan
kode genetik yang mengakibatkan terjadinya inhibisi translokasi (Jana dan Deb
2006). Neetad dan Mohiuddin (2014) menyatakan bahwa S. aureus semakin
bersifat resisten terhadap amikasin sehingga bakteri ini harus mendapat perhatian
serius terkait efektifitas pengobatan terhadap bakteri tersebut menggunakan
amikasin.
Hasil uji menggunakan antibiotika klorampenikol menunjukkan hasil
sensitif sebesar 64.2%. Antibiotika berspektrum luas ini bekerja dengan
menghambat proses sintesis protein yang terjadi pada sel bakteri S. aureus.
Kloramfenikol akan berikatan secara reversibel dengan unit ribosom 50 S
18
sehingga mencegah ikatan antara asam amino dengan ribosom. Klorampenikol
akan berikatan secara spesifik dengan akseptor (tempat ikatan awal dari amino
asil t-RNA) atau pada bagian peptidil yang merupakan tempat ikatan kritis untuk
perpanjangan rantai peptida sehingga bakteri tidak mampu untuk melakukan
proses vital untuk berkembang (Katzung 2000). Menurut Tao Lu et al. (2003),
kasus dimana antibiotika kloramfenikol tidak bisa menghambat pertumbuhan S.
aureus banyak ditemukan akibat dari munculnya strain baru yang bersifat resisten
terhadap klorampenikol. Dalam penelitian ini, antibiotika ini masih bisa
menghambat pertumbuhan isolat S. aureus pada agar. Hal ini menunjukkan bahwa
isolat S. aureus yang diuji belum bersifat resisten terhadap antibiotika yang
digunakan.
Hasil uji menggunakan antibiotika ciprofloxacin menunjukkan tingkat
resistensi 50%. Antibiotika ini bekerja dengan menghambat enzim topoisomerase
II dan topoimerase IV yang dibutuhkan dalam proses replikasi, transkripsi dan
rekombinasi DNA pada bakteri. Ciprofloxacin merupakan antibiotika yang
berspektrum luas dan mampu untuk melawan infeksi dari bakteri gram negatif
atau gram positif termasuk S. aureus. Menurut Katzung (2000), ciprofloxacin
efektif untuk pengobatan infeksi gram negatif seperti Escherichia coli,
Haemophilus influenzae, Klebsiella pneumoniae, Legionella pneumophila,
Moraxella catarrhalis, Proteus mirabilis, dan Pseudomonas aeruginosa dan
infeksi dari bakteri gram positif seperti S. aureus, Streptococcus pneumoniae,
Staphylococcus epidermidis, Enterococcus faecalis, dan Streptococcus pyogenes
tetapi yang belum menjadi resisten terhadap metisilin. Pada hasil uji yang
dilakukan, isolat S. aureus yang diuji terbukti resisten terhadap ciprofloxacin.
Dari hasil uji antibiotika ini, ditemukan isolat yang cenderung intermediet
terhadap streptomisin dan neomisin. Penggunaan antibiotika dengan interpretasi
intermediet sebaiknya dihindari dan diganti dengan antibiotika lain dari golongan
yang sama namun memiliki potensi dan spektrum lebih baik, ataupun menaikkan
dosis antibiotika untuk memperoleh hasil pengobatan yang optimal dan tidak bisa
menyebabkan berkembangnya sifat resistensi bakteri terhadap antibiotika (Atlas
2000).
Simpulan
Hasil dari uji sensitivitas isolat Staphylococcus aureus menunjukkan bahwa
isolat S. aureus dalam penelitian ini bersifat resisten terhadap antibiotika cefepime
(93%) dan ciprofloxacin (50%). Isolat bereaksi intermediet terhadap neomisin
(28.6%), Streptomisin (85.7%) dan amikasin (50%). Sementara itu, isolat S.
aureus menunjukkan sifat sensitif terhadap eritromisin (78.6%), tetrasiklin
(64.2%), nitrofurantoine (64.2%) dan kloramfenikol (64.2%).
Saran
Pemeriksaan uji sensitivitas antibiotika terhadap isolat bakteri S. aureus
sebaiknya dilakukan secara berkala untuk mengetahui perkembangan mutasi
strain bakteri tersebut sehingga efektivitas dalam pengobatan terhadap infeksi ini
19
tidak terganggu. Pengobatan untuk infeksi S. aureus dapat menggunakan
eritromisin.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad ES, Rusmarjono. 2006. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telingga Hidung
Tenggorok Kepala Leher: Edisi 5. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Asbel LE, Levison ME. 2000. Cephalosporins, carbapenems, and monobactams.
Infect Dis Clin North Am. 14(2): 435 – 47.
Atlas RM. 2000. A Survey of Antibiotic Resistant Staphylococcus Aureus Strains
from Clinical Sources in Owerri. 4th Edition. Mosby – Year Book, Inc.
Babakir-Mina M, Othman N, Najmuldeen HH, Noori CK, Fatah CF, Perno CF,
Ciotti M. 2012. Antibiotic susceptibility of vancomyin and nitrofurantoin in
Staphylococcus aureus isolated from burnt patients in Sulaimaniyah, Iraqi
Kurdistan. New Microbiol. 35(4): 439 – 46.
Bannerman DD, Wall RJ. 2005. A Novel Strategy for the Prevention of
Staphylococcus aureus-Induced Mastitis in Dairy Cows. Information
Systems for Biotechnology News Report. Virginia (US): Virginia Tech
University.
Bennett PM. 2008. Plasmid encoded antibiotic resistance: acquisition and transfer
of antibiotic resistance genes in bacteria. Br J Pharmacol. 153(1): 347 –
357.
[CLSI] Clinical and Laboratory Standards Institute. 2008. Performance Standards
for Antimicrobial Disk and Dilution Susceptibility Tests for Bacteria
Isolated from Animals Approved Standard [Internet]. [diunduh pada 2014
April 24] Tersedia pada: http://antimicrobianos.com.ar/ATB/wpcontent/uploads/2012/11/M100S22E.pdf.
Dodd FH, Booth JM. 2001. Mastitis and milk production. In: E. H. Marth dan J.
L. Steele. Applied Dairy Microbiology 2nd. Marcell Dekker Inc. USA. 213 –
255.
Ebrahim GJ. 2010. Bacterial resistance to antimicrobials. J Trop Pediatr
56(3):141-143.
Gaynor M, Mankin AS. 2003. Macrolide antibiotics: binding site, mechanism of
action, resistance. Current Topics in Medicinal Chemistry (3):949-961.
Huang ES, Stafford RS. 2000. National patterns in the treatment of Urinary tract
infections in women by ambulatory care physicians. Arch. Intern. Med 200.
162:41–47.
Jana S, Deb JK. 2006. Molecular understanding of aminoglycoside action and
resistance. Appl Microbiol Biotechnol. 70(2): 140 – 50.
Kanoh S and Bruce K Rubin. 2010. Mechanisms of Action and Clinical
Application of Macrolides as Immunomodulatory Medications. Clinical
Microbiology Reviews 590–615 Department of Pediatrics, Virginia
Commonwealth University School of Medicine, Richmond, Virginia
doi:10.1128/CMR.00078-09
20
Katzung BG. 2000. Basic and Clinical Pharmacology. J Antimicrob Chemother.
52: 61 – 64.
Khan NW, Hassan F, Naqvi BS, Hasan SM. 2010. Antimicrobial activity of
erythromycin and clarithromycin against clinical isolates of Escherichia
coli, Staphylococcus aureus, Klebsiella and Proteus by disc diffusion
method. J Pharm Sci. 24(1): 25 – 9.
Mycek MJ. 2001. Farmakologi: Ulasan bergambar. Edisi ke-2. Widya Medika.
Neetad G, Mohiuddin QS. 2014. Recent Trend of aminoglycoside resistance
among staphylococcus aureus isolate in tertiary care hospital. J Microbio
and Antimicrob. 6(6): 94 – 96.
Nonong YH, Satari MH. 2005. Tetrasiklin sebagai salah satu antibiotika yang
dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus resisten – Metisilin
(MRSA). Bandung (ID): Universitas Padjadjaran [OIE] World Organization
for Animal Health. 2012. Laboratory Methodologies for Bacterial
Antimicrobial Susceptibility Testing.
[OIE]. World Organization for Animal Health. 2012. Laboratory Methodologies
for Bacterial Antimicrobial Susceptibility Testing
Plumb CD. 2008. Plumbs: Veterinary Drug Handbook Sixth Edition. Wisconsin
(US): Pharma Vet. Inc.
Purnomo A, Hartatik, Khusnan SIO, Salasia, Soegiyono. 2006. Isolasi dan
Karakterisasi Staphylococcus aureus asal susu kambing peternakan ettawa.
Media Kedokteran Hewan. 22 (3): 142 - 147.
Rice BL. 2004. Mechanism of Bacterial Resistance to Antimicrobial Agents. 3rd
Edition. Lippincort William & Wilkins.
Sandegren L, Lindqvist A, Kahlmeter G, Andersson DI. 2008. Nitrofurantoin
resistance mechanism and fitness cost in Escherichia coli. J Antimicrob
Chemother
Stapleton PD, Taylor PW. 2002. Methicillin resistance in Staphylococcus aureus
mechanisms and modulation. Sci Prog. 85(1): 57 – 72.
Steward CD, Ranney MP ,Morell AK, Willams PP, McDougal L, Jevitt L,
McGowan J, Tenover F. 2005.Testing for Induction of clindamycin
resistance in erythromycin-resistant isolates of Staphylococcus aureus.
Microbiol.43(4): 1716-1721.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, Hal. 320-325.
Sudono A, Rosdiana FR, Setiawan RS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara
Intensif. AgroMedia Pustaka: Jakarta Siswandono, Bambang S. 2000. Kimia
Medisinal Edisi I. Surabaya: Airlangga university Press.
Suzuki M, Yamada K, Nagao M, Aoki E, Matsumoto M, Hirayama T, Yamamoto
H, Hiramatsu R, Ichiyama S, Iinuma Y. 2011. Antimicrobial Ointments and
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus USA300. Emerg Infect Dis.
17(10): 1917 – 1920.
Sweetman SC. 2002. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-third
Edition. London (UK): Pharmaceutical Press.
Tao L, Xilin Z, Xinying L, Hansen G, Blondeau J, Drlica K. 2003. Effect of
Chloramphenicol, Erythromycin, Moxifloxacin, Penicillin and Tetracycline
concentration on the recovery of resistant mutants of Mycobacterium
21
smegmatis and Staphylococcus aureus. J Antimicrob Chemother. 52(1): 61
– 64.
Tolan RW. 2008. Staphylococcus aureus infection [internet]. [diunduh pada 2014
24 April] Tersedia pada :http://www.emedicine. com /ped/topic2704.htm
Todar K. 2005. Staphylococcus. Madison: Departement of Bacteriology
University of Wisconsin.
Download