Pendahuluan Prevalensi gagal jantung di negara

advertisement
Pendahuluan
Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan makin meningkat.
Oleh karena itu gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang utama. Setengah
dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung masih punya harapan hidup 5 tahun(4).
Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62% pada pria dan 42%
wanita
Berdasar perkiraan tahun 1989, di Amerika terdapat 3 juta penderita gagal jantung dan
setiap tahunnya bertambah 400.000 orang. Walaupun angka-angka yang pasti belum
ada untuk seluruh Indonesia, dapat diperkirakan jumlah penderita gagal jantung akan
bertambah setiap tahunnya
Definisi
Gagal jantung atau payah jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan
gejala) ditandai oleh sesak napas (dispneu) dan mudah lelah (fatigue), baik pada saat
istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung,
yang mengganggu kemampuan ventrikel (bilik jantung) untuk mengisi dan
mengeluarkan darah ke sirkulasi.
Gagal jantung kongestif merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya
abnormalitas fungsi ventrikel kiri dan kelainan regulasi neurohormonal, disertai dengan
intoleransi kemampuan kerja fisis retensi cairan, dan memendeknya umur hidup.
Etiologi (Penyebab)
Penyebab reversible dari gagal jantung antara lain: aritmia (misalnya: atrial fibrillation),
emboli paru-paru (pulmonary embolism), hipertensi maligna atau accelerated, penyakit
tiroid (hipotiroidisme atau hipertiroidisme), valvular heart disease, unstable angina, high
output failure, gagal ginjal, permasalahan yang ditimbulkan oleh pengobatan
(medication-induced problems), intake (asupan) garam yang tinggi, dan anemia berat.
Menurut Cowie MR, Dar O (2008), penyebab gagal jantung dapat diklasifikasikan dalam
enam kategori utama:
1.
Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas miokard, dapat disebabkan
oleh hilangnya miosit (infark miokard), kontraksi yang tidak terkoordinasi (left bundle
branch block), berkurangnya kontraktilitas (kardiomiopati).
2.
Kegagalan yang berhubungan dengan overload (hipertensi).
3.
Kegagalan yang berhubungan dengan abnormalitas katup.
4.
Kegagalan yang disebabkan abnormalitas ritme jantung (takikardi).
5.
Kegagalan yang disebabkan abnormalitas perikard atau efusi perikard
(tamponade).
6.
Kelainan kongenital jantung.
Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus
♣
Faktor Predisposisi
Yang merupakan faktor predisposisi gagal jantung antara lain: hipertensi, penyakit arteri
koroner, kardiomiopati, enyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis
mitral, dan penyakit perikardial.
♣
Faktor Pencetus
Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan
(intake) garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak
miokard akut, hipertensi, aritmia akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia,
tirotoksikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif.
Patofisiologi
Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang menurun pada gagal jantung
akan mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel, sehingga volume residu
ventrikel menjadi meningkat akibat berkurangnya stroke volume yang diejeksikan oleh
ventrikel kiri tersebut. Dengan meningkatnya EDV (End Diastolic Volume), maka terjadi
pula peningkatan LVEDP (Left Ventricle End Diastolic Pressure), yang mana derajat
peningkatannya bergantung pada kelenturan ventrikel. Oleh karena selama diastol
atrium dan ventrikel berhubungan langsung, maka peningkatan LVEDP akan
meningkatkan LAP( Left Atrium Pressure ), sehingga tekanan kapiler dan vena paruparu juga akan meningkat. Jika tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru melebihi
tekanan onkotik vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan ke interstitial dan bila
cairan tersebut merembes ke dalam alveoli, terjadilah edema paru-paru.
Peningkatan tekanan vena paru yang kronis dapat meningkatkan tekanan arteri paru
yang disebut dengan hipertensi pulmonal, yang mana hipertensi pulmonal akan
meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Bila proses yang terjadi pada
jantung kiri juga terjadi pada jantung kanan, akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan
edema.
Menurut Laksono S (2009), ada beberapa mekanisme patofisiologi gagal jantung:
1.
Mekanisme neurohormonal
Pengaturan neurohormonal melibatkan sistem saraf adrenergik (aktivasi sistem saraf
simpatis akan meningkatkan kadar norepinefrin), sistem renin-angiotensin, stres oksidatif
(peningkatan kadar ROS/reactive oxygen species), arginin vasopressin (meningkat),
natriuretic peptides, endothelin, neuropeptide Y, urotensin II, nitric oxide, bradikinin,
adrenomedullin (meningkat), dan apelin (menurun).
2.
Remodeling ventrikel kiri
Remodeling ventrikel kiri yang progresif berhubungan langsung dengan memburuknya
kemampuan ventrikel di kemudian hari.
3.
Perubahan biologis pada miosit jantung
Terjadi hipertrofi miosit jantung, perubahan komplek kontraksi-eksitasi, perubahan
miokard, nekrosis, apoptosis, autofagi.
4.
Perubahan struktur ventrikel kiri
Perubahan ini membuat jantung membesar, mengubah bentuk jantung menjadi lebih
sferis mengakibatkan ventrikel membutuhkan energi lebih banyak, sehingga terjadi
peningkatan dilatasi ventrikel kiri, penurunan cardiac output, dan peningkatan
hemodynamic overloading.
Patogenesis Gagal Jantung Kongestif
−
Gangguan katup jantung aliran darah jantung terganggu gangguan pengisisan
darah ventrikel gangguan kontraksi ventrikel gagal jantung.
−
Hipertensi penyempitan pembuluh darah jantung aliran darah ke jantung
berkurang hipoksia miokard ischemia miokard gangguan kontraksi ventrikel gagal
jantung.
−
Kelemahan miokard kontraksi ventrikel melemah gagal jantung
−
Sindrom Koroner Akut( SKA) arteriosklerosis arteri koronaria hipoksia
miokard ischemia miokard gangguan kontraksi ventikel gagal jantung.
−
CPC hipertensi pulmonal aliran darah balik ke ventrikel kanan ventrikel kanan
bekerja lebih keras hipertrofi.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gagal jantung kanan (decompensatio dextra) antara lain: JVP
meningkat, batas jantung kanan melebar (terdapat RVH dan pulsasi epigastrium),
pembesaran hati (hepatomegali), pembesaran limpa (splenomegali), cairan di rongga
perut (ascites), bengkak (oedem) pada tungkai.
Sedangkan manifestasi klinis gagal jantung kiri (decompensatio sinistra) antara lain:
sesak nafas (dispneu, orthopneu, paroxismal nocturnal dispneu), batas jantung kiri
melebar (terdapat LVH), nafas cheyne stokes, kebiruan (cyanosis), Right Bundle Branch
(RBB), dan suara S3 (gallop).
Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis gagal jantung dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
EKG, foto thorax, ekokardigrafi-doppler dan kateterisasi.
Klasifikasi fungsional dari The New York Heart Association (NYHA), umum dipakai untuk
menyatakan hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan fisik:
Klas I: tidak timbul gejala pada aktivitas sehari-hari, gejala akan timbul pada aktivitas
yang lebih berat dari aktivitas sehari-hari.
Klas II: gejala timbul pada aktivitas sehari-hari.
Klas III: gejala timbul pada aktivitas lebih ringan dari aktivitas sehari-hari.
Klas IV: gejala timbul pada saat istirahat.
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk menegakkan diagnosis gagal jantung
kongestif.
Kriteria mayor:
1.
Paroxismal Nocturnal Dispneu
2.
distensi vena leher
3.
ronkhi paru
4.
kardiomegali
5.
edema paru akut
6.
gallop S3
7.
peninggian tekanan vena jugularis
8.
refluks hepatojugular
Kriteria minor:
1.
edema ekstremitas
2.
batuk malam hari
3.
dispneu de effort
4.
hepatomegali
5.
efusi pleura
6.
takikardi
7.
penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal
Kriteria mayor atau minor
Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi
Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 1 kriteria minor
harus ada pada saat yang bersamaan.
Penyakit jantung koroner merupakan etiologi gagal jantung akut pada 60-70% pasien,
terutama pada usia lanjut. Contoh klasik gagal jantung akut adalah robekan daun
katup secara tiba-tiba akibat endokarditis, trauma atau infark miocard luas. Curah
jantung yang menurun tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah disertai
edema perifer.
Penatalaksanaan
Pada tahap simptomatik dimana sindrom gagal jantung sudah terlihat jelas seperti
cepat capek, sesak napas, kardiomegali, peningkatan JVP, ascites, hepatomegali dan
edema sudah jelas, maka diagnosis gagal jantung mudah dibuat. Tetapi bila sindrom
tersebut belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel kiri, maka keluhan
fatig dan keluhan diatas yang hilang timbul tidak khas, sehingga harus ditopang oleh
pemeriksaan foto rongen, ekokardiografi dan pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide.
Diuretik oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombak gagal jantung sampai
edema atau acites hilang. ACE inhibitor atau Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) dosis
kecil dapat dimulai setelah euvolemik sampai dosis optimal.
Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah diuretik dan ACE
inhibitor tersebut diberikan.
Digitalis diberikan bila ada aritmia supraventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau
ketiga obat diatas belum memberikan hasil yang memuaskan. intoksikasi digitalis sangat
mudah terjadi bila fungsi ginjal menurun (ureum/kreatinin meningkat) atau kadar kalium
rendah (<3,5 meq/L).
Aldosteron antagonis dipakai untuk memperkuat efek diuretik atau pada pasien
dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan
mortalitas dengan pemberian jenis obat ini.
Pemakaian alat bantu Cardiac Resychronization Theraphy (CRP) maupun
pembedahan, pemasangan ICD (Intra Cardiac Defibrillator) sebagai alat mencegah
mati mendadak pada gagal jantung akibat iskemia maupun noniskemia dapat
memperbaiki status fungsional dan kualitas hidup, namun mahal.
Diagnosis Banding
Beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan gagal jantung antara lain:
1.
CAD (angina atau MI)
2.
Hipertensi kronis
3.
Idiopathic dilated cardiomyopathy
4.
Valvular heart disease (misalnya, mitral regurgitation, aortic stenosis)
5.
Cardiomyopathy lainnya (misalnya, sarcoidosis)
6.
Arrhythmia (misalnya, atrial fibrillation)
7.
Anemia
8.
Overload volume cairan yang disebabkan oleh kondisi noncardiac
9.
Penyakit thyroid (hypothyroidism atau hyperthyroidism)
Tinjauan (Pencitraan) Radiologis
a.
Echocardiography (ECG)
Echocardiography merupakan pemeriksaan yang lebih disukai (preferred examination).
Doppler echocardiography dua-dimensi dapat digunakan untuk menentukan
penampilan LV sistolik dan diastolik, cardiac output (ejection fraction), serta tekanan
pengisian ventrikel dan arteri pulmoner (pulmonary artery and ventricular filling
pressures). Echocardiography juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyakit
valvular yang penting secara klinis.
b.
Radiography
Pada kasus-kasus kardiogenik, radiograph dapat menunjukkan cardiomegaly,
pulmonary venous hypertension, dan pleural effusions. Pulmonary venous hypertension
(PVH) dapat dibagi menjadi 3 tingkatan (grade).
Pada grade I PVH, pemeriksaan upright menunjukkan redistribusi aliran darah ke bagian
nondependent dari paru-paru dan lobus atas.
Pada grade II PVH, ada bukti interstitial edema dengan ill-defined vessels dan
peribronchial cuffing, juga penebalan septum interlobular.
Pada grade III PVH, terdapat pengisian airspace lobus-bawah dan perihilar, dengan ciri
utama (ke-khas-an) konsolidasi (misalnya, confluent opacities, air bronchogram dan
ketidakmampuan untuk melihat pembuluh darah pulmo di daerah yang tidak normal).
Edema airspace cenderung menuju ke (to spare) perifer di pulmo bagian atas dan
tengah.
Pada kasus-kasus noncardiogenic, kardiomegali dan efusi pleura biasanya tidak ada.
Mungkin ada edema interstitial namun lebih sering consolidative. Tidak ada
cephalization aliran yang dicatat, meskipun kemungkinan ada perubahan (shift) aliran
darah ke area yang kurang/sedikit affected. Edema yang terjadi bersifat difus dan tidak
menuju ke perifer pulmo bagian atas atau tengah.
Pada kasus-kasus yang lebih luas, infark miokard akut, dan infark katub mitral membantu
apparatus memproduksi pola atipikal edem pulmoner yang menyerupai edema
noncardiogenic pada pasien yang pada kenyataannya memiliki edema cardiogenic.
Pada kasus-kasus yang secara klinis membingungkan atau menyulitkan, suatu
multidetector-row gated CT scanning dapat memberikan analisis yang baik sekali untuk
jantung dan menampakkan sifat dasar/alamiah dari edema pulmoner.
Menurut Bashore TM, Granger CB, Hranitzky P, Patel MR (2009), ECG dapat
mengindikasikan suatu aritmia sekunder yang mendasari, infark miokard, atau
perubahan nonspesifik yang sering termasuk voltage rendah, defek konduksi
intraventrikuler, LVH, dan perubahan repolarisasi nonspesifik. Radiograf dada
menyediakan informasi tentang ukuran dan bentuk dari cardiac silhouette.
Cardiomegaly merupakan penemuan penting dan sebagai tanda prognostik yang
lemah (poor). Bukti hipertensi vena pulmoner termasuk dilatasi relatif upper lobe veins,
edema perivaskuler (haziness of vessel outlines), edema interstitial, cairan alveolar. Pada
gagal jantung akut, penemuan ini berkorelasi cukup baik dengan tekanan vena
pulmoner.
Bagaimanapun juga, pasien dengan gagal jantung kronis dapat menunjukkan
vaskularisasi pulmo yang normal (normal pulmonary vasculature) meskipun tekanan
meningkat dengan jelas. Efusi pleura umum terjadi dan cenderung bilateral atau
mengenai sisi kanan (right sided).
Penemuan (Findings)
Dua prinsip utama radiografi dada (chest radiograph) bermanfaat untuk evaluasi
pasien dengan CHF (congestive heart failure), yaitu:
(1) Ukuran dan bentuk dari cardiac silhouette.
(2) Edema di dasar paru-paru (lung bases).
Ukuran dan bentuk cardiac silhouette menyediakan informasi penting mengenai
ketepatan sifat alami/dasar dari penyebab yang mendasari penyakit jantung.
Baik CTR (cardiothoracic ratio) maupun volume jantung, seperti tampak pada plain film,
relatif spesifik namun merupakan indikator yang insensitive untuk peningkatan LV enddiastolic volume.
Ada korelasi kebalikan yang lemah (weak inverse) antara CTR dan LV ejection fraction
(LVEF) pada pasien dengan gagal jantung. Hubungannya tidak bermanfaat secara
klinis pada pasien individu.
Pada keadaan tekanan vena dan kapiler pulmoner normal, basal paru perfused lebih
baik daripada apeksnya saat pasien pada posisi erect, dan pembuluh darah mensuplai
lobus bawah lebih luas secara signifikan dibandingkan dengan suplai lobus atas.
Dengan peningkatan tekanan kapiler pulmoner dan atrium kiri, berkembanglah edema
perivaskuler dan interstitial; edema paling jelas di basal paru karena tekanan hidrostatik
lebih besar disana.
Saat tekanan pengisian paru-paru (pulmonary capillary pressure) sedikit meninggi (13-17
mm Hg), resultant compression dari pembuluh darah pulmoner di lobus bawah
menyebabkan persamaan (equalization) dalam ukuran pembuluh darah tersebut di
apeks dan basis (pada awal grade I PVH).
Saat peningkatan tekanan lebih besar (18-23 mm Hg), redistribusi vaskuler pulmoner
yang aktual menuju bagian nondependent pulmo memang terjadi (yakni, dengan “the
patient in an upright patient”, ada konstriksi lebih lanjut pembuluh darah yang menuju
ke lobus bawah, dan dilatasi pembuluh darah yang menuju ke lobus atas).
Saat tekanan pengisian paru-paru (pulmonary capillary pressure) melebihi 20-25 mm Hg,
terjadi interstitial pulmonary edema (grade II PVH). Dengan grade II PVH, ada bukti
interstitial edema, dengan ill-defined vessels dan peribronchial cuffing, juga penebalan
septum interlobular. Penebalan septum interlobular ini sering disebut sebagai Kerley B
lines. Penumpulan awal sudut costophrenic lateral dan posterior dapat terjadi.
Penumpulan tersebut mengindikasikan adanya cairan pleura (pleural fluid).
Saat tekanan pengisian paru-paru (pulmonary capillary pressure) melebihi 25 mm Hg,
images menunjukkan efusi pleura yang luas dan grade III PVH, dengan consolidative
alveolar edema di distribusi lobus bawah dan perihilar.
Dengan adanya peninggian tekanan vena sistemik, vena azygos, brachiocephalic
veins, dan superior vena cava dapat melebar.
Pada pasien dengan gagal ventrikel kiri kronis, tekanan kapiler pulmoner yang lebih
tinggi dapat diakomodasi dengan tanda-tanda klinis dan radiologis, karena enhanced
lymphatic drainage.
Penelitian pada 22 pasien dengan gagal jantung tingkat lanjut yang ditunjuk untuk
evaluasi cardiac transplant dan yang memiliki pengukuran pulmonary capillary wedge
pressure 25 mm Hg atau lebih, 68%-nya tidak memiliki kongesti pulmoner (atau jika ada,
minimal), seperti ditunjukkan pada radiografi dada.
Intinya, penemuan CHF yang khas pada plain radiograph adalah cardiomegaly; grade
I, II, atau III PVH; dan peningkatan central systemic venous volume, dengan pelebaran
(enlargement) vena mediastinum (termasuk azygous vein) dan efusi pleura.
Derajat Kepercayaan
Derajat kepercayaan (degree of confidence) plain radiograph rendah. Lemahnya
korelasi negative antara CTR dan fraksi ejeksi tidak menentukan keakuratan fungsi sistolik
saat tidak adanya bukti radiografis PVH atau efusi pleura pada pasien dengan gagal
jantung. Untuk alasan inilah, radiograf dada mungkin tidak bermanfaat untuk
menentukan tipe disfungsi ventrikel kiri. Selama fase pengobatan CHF, penemuan
radiograf dada seringkali bertolak belakang dengan perbaikan klinis.
False Positives/Negatives
Penemuan false-negative sering ditemukan.
Electrocardiography
Pada kasus-kasus cardiogenic, ECG dapat menunjukkan bukti adanya MI atau iskemia.
Pada kasus-kasus noncardiogenic, ECG biasanya normal.
Keterbatasan Teknik
Meskipun echocardiography sederhana dan noninvasive, ternyata tidak cukup pada 810% kasus. Sebagai tambahan, hasilnya sulit diinterpretasikan/ diterjemahkan pada
pasien dengan penyakit paru-paru (lung disease).
Referensi dan Bacaan Lebih lanjut
1. Arif Mansjoer dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, edisi 3, jilid I, 1999,
hal : 434 – 437.
2. A. Guntur H., Bed Side Teaching IPD, Sebelas Maret University Press, 2006, hal : 97 – 98.
3. Bashore TM, Granger CB, Hranitzky P, Patel MR. Heart Disease. In: 2009 Current Medical
Diagnosis & Treatment. McGrawHill Lange. USA. 2009;10:351.
4. Cowie MR, Dar O. The Epidemiology and Diagnosis of Heart Failure. In: Fuster V, Walsh
RA, O’Rourke RA, Poole-Wilson P. Hurst’s The Heart. 12th Ed. Vol.1. 2008. China: McGraw
Hill. pp:713-723.
5. Fathoni, Mochammad. 2007. Heart Failure Pathophysiologi and Management. Dalam
: CatKul IPD Jantung. Surakarta : Forrinsik 04 FKUNS.
6. Laksono S. Patofisiologi Payah Jantung Kronik. Cermin Dunia Kedokteran (CDK)
169/Vol.36 No.3/Mei-Juni 2009. Hlm.172-175.
7. Mann DL. Pathophysiology of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP.
Braunwald»s Heart Disease A Textbook of Cardiovascular Medicine. 8th ed. 2008.
Philadelphia: Saunders Elsevier. pp:541-560.
8. MM Panggabean, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV, jilid 3, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, 2006, hal : 1513 – 1514.
9. Sugeng dan Sitompul. 2003. Gagal Jantung. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.
10. Sutton: A Textbook of Radiology and Imaging.
11. http://emedicine.medscape.com/article/163062-print
12. http://radiology.casereports.net/index.php/rcr/article/viewFile/71/254/1470
13. http://en.wikipedia.org
Ucapan Terimakasih
Download