analisa hukum islam dan kuhp terhadap putusan

advertisement
ANALISA HUKUM ISLAM DAN KUHP TERHADAP PUTUSAN PERKARA
TINDAK PIDANA PERKOSAAN ANAK IDEOT
(Studi Analisis Putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh :
Muhammad Agus Setiawan
NIM : 105043201333
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ANALISA HUKUM ISLAM DAN KUHP TERHADAP
PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN ANAK IDIOT (Studi
Analisis Putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR) telah diujikan dalam Sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universtias Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada Kamis, 20 Mei 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (SSy) pada Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum (Perbandingan Hukum).
Jakarta, 20 Mei 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 1955 0505198203 1012
PANITIA UJIAN
1. ketua
: Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA
NIP. 1957 0312 1985 1003
(…………….)
2. Sekretaris
: Dr.H. Muhammad Taufiqi, M.Ag
NIP. 19651119 199803 1002
(.…………….)
3. Pembimbing
: Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM(….…………)
NIP. 1955 0505198203 1012
4. Penguji I
: Dr.H. Ahmad Mukri Aji, MA
NIP. 1957 0312 1985 1003
(…………….)
5. Penguji II
: Nahrowi, SH.MH
NIP. 1973 0215 199903 1002
(…………….)
ANALISA HUKUM ISLAM DAN KUHP TERHADAP PUTUSAN PERKARA
TINDAK PIDANA PERKOSAAN ANAK IDEOT
(Studi Analisis Putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh :
Muhammad Agus Setiawan
NIM : 105043201333
Pembimbing
Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 1955 0505198203 1012
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
KATA PENGANTAR
Bismillahhirahmaanirrahiim,
Segala puji bagi Allah SWT, shalawat serta salam bagi Rasulullah SAW
beserta keluarganya yang suci atas terselesaikannya tulisan ini. Atas berkat rakhmat
dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini yang bertujuan tidak
lain untuk memenuhi syarat kelulusan yang dilaksanakan Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Skripsi ini diberi judul :
“ ANALISA HUKUM ISLAM DAN KUHP TENTANG PUTUSAN PERKARA
TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK IDEOT (Studi Analisis
Putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR)”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Skripsi ini masih dan sangat jauh untuk
disebut sempurna, mengingat akan keterbatasan penguasaan berbagai literatur dan
waktu yang dipunyai oleh penulis. Meski demikian semoga Skripsi ini dapat menjadi
bahan masukan dan acuan bagi Fakultas Syari’ah dan Hukum khususnya bagi
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang menjadi almamater penulis.
Dalam menyelesaikan tulisan ini, Penulis mendapatkan bantuan yang
dibutuhkan dari berbagai pihak. Untuk itu, sudah selayaknya penulis memberikan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu secara moril
maupun materiil.
i
Selanjutnya
penulis
juga
menyampaikan
ucapan
terima
kasih
dan
penghargaan yang tulus kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta dan juga selaku pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan dan
nasehat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik. dan Pembantu Dekan I, II dan III yang telah membimbing dan
memberikan ilmu kepada penulis.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA selaku Ketua Jurusan
Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengarahan serta
waktu kepada penulis disela-sela kesibukan beliau.
3. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag selaku Sekretaris Jurusan
Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah yang juga membimbing, meluangkan waktu dan
mengarahkan segenap aktivitas yang berkenaan dengan jurusan.
4. Seluruh Dosen-dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta kepada karyawan dan Staf
Perpustakaan yang telah memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan
skripsi.
ii
5. Yang sangat penulis cintai dan hormati kedua Orang Tuaku, Bapakku H.
Jaya ibuku Hj. Rumsanah atas dukungan, dorongan morilnya dan
semuanya yang tidak terhingga (tidak ada doa dan kasih sayang yang
paling tulus dan besar selain doa dan kasih sayang orang tua).
6. Terima kasih tak kurang penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat
seperjuangan Solah Al-Hasyimi, Ijul Al-Ghozali, Munir Al-Isnu, Arif van
Holen dan Ipul As-Sukuti, Zulfikar Al-Misbah yang telah memberikan
rasa persahabatan mendalam kepada penulis sehingga menjadi inspirasi
dalam penulisan skripsi ini.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini dan semoga
Allah SWT membalas semua kebaikan Amien.
Billahifisabilil haq, wassalammu’alaikum.
Jakarta, 23 Maret 2010
Penulis
iii
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................1
B. Pembatasan Masalah .................................................................11
C. Perumusan Masalah …………………………………………..12
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………….12
E. Metode Penelitian …………………………………………….13
F. Review Studi Terdahulu ………………………………………17
G. Sistematika Penelitian … ……………………………………..18
BAB II :TINJAUAN UMUM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
MENGENAI TINDAK PIDANA PERKOSAAN
A. Pengertian Pidana ………………………………………….…20
B. Tindak Pidana Perkosaan ……………………………………..34
C. Jenis-jenis Perkosaan …………………………………………36
D. Kejahatan
Asusila
bagi
Anak
di
Bawah Umur
………………………..38
E. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak …………48
BAB III : ANALISA YURIDIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM
ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM No. 054 /PID /B/
1997/PN. JAKBAR.
A. Perkosaan Menurut Hukum Islam dan KUHP ..........................54
B. Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan ......................................59
C. Sanksi Hukuman Bagi Pelaku Perkosaan .................................69
D. Surat Dakwaan dan Putusan Hakim .........................................78
E. Analisis Hasil Penelitian ...........................................................82
BAB IV : PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................93
B. Saran.......... ...............................................................................95
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................98
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah salah satu negara yang berdasarkan pada hukum,
yang mana sistem yang dianut adalah sistem konstitusionalisme. Hal ini tertuang
dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang mana berbunyi: ”Negara
Indonesia berdasar atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka
(Machtstaate)”. Dan “Pemerintahan Indonesia berdasar atas sistem konstitusi
(hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)”. Hal
ini sudah dipertegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-3 Pasal
1 ayat (3) yang berbunyi: ”Negara Indonesia adalah negara hukum”. Selain itu,
tertegas pula dalam idealisme negara kita bahwa Pancasila adalah sebagai sistem
hukum. Di mana ia merupakan sumber dari segala sumber hukum atau sumber
hukum yang tertinggi di dalam sistem atau tata hukum Indonesia. Pada intinya,
Pancasila bertujuan untuk mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan,
serta kemampuan untuk mengayomi masyarakat, bangsa dan negara. Begitu jelas
pernyataan-pernyataan itu tersebut dalam penjelasan Undang-Undang Dasar
1945, sehingga telah nyata juga adanya batasan-batasan mengenai bentuk dasar
dan sistem Negara Indonesia.1
1
C.S.T, Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, 2002, h. 59.
1
2
Adanya upaya pembentukan hukum di negara kita adalah merupakan bagian
dari upaya pembangunan nasional. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa
pembangunan adalah suatu proses yang di alami oleh masyarakat menuju
kehidupan yang lebih baik. Untuk dapat mencapai suatu sasaran yang diharapkan
dari proses pembangunan, maka pada umumnya kegiatan pembangunan haruslah
terencana, terpadu, dan terarah. Sejalan dengan hal itu, orang pun banyak
berpendapat bahwa masa kini adalah hasil komulatif serta kesinambungan dari
masa yang telah lalu dan upaya bersama suatu bangsa pada masa kini melalui
suatu perubahan sosial dan budaya yang direncanakan demi pelaksanaan
pembangunan. 2
Dalam kaitannya dengan pembangunan yang sedang dilaksanakan di
Indonesia, maka di usahakan agar pembangunan tersebut mencakup aspek-aspek
materiil dan spiritual dari kehidupan masyarakat, yang mana meliputi bidangbidang karya, cipta, dan rasa. Selain itu, pembangunan juga tidak bisa dilepaskan
kaitannya dengan bidang hukum yang merupakan salah satu sarana untuk
menjaga keserasian, keutuhan serta pembaharuan masyarakat. Ketertiban dan
integrasi melalui hukum merupakan unsur yang esensial bagi setiap bentuk
kehidupan politik yang terorganisir, sebab negara merupakan salah satu lembaga
yang memiliki fungsi utama untuk memenuhi cita-cita tersebut. Selain itu, adanya
pembangunan nasional tidak bisa terlepas dari partisipasi masyarakat Indonesia
seluruhnya.
2
Bambang Waluyo. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar grafika. 2000. hal. 1
3
Seiring dengan kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (iptek), perilaku
manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks.
Perilaku yang demikian apabila ditinjau dari segi hukum, tentunya ada perilaku
yang sesuai dengan norma dan ada yang dapat dikategorikan sebagai bentuk
pelanggaran dari norma. Perilaku yang menyimpang dari norma biasanya akan
menjadikan suatu permasalahan baru di bidang hukum dan merugikan
masyarakat. 3 Perilaku yang tidak sesuai norma atau dapat disebut sebagai
penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan
terganggunya ketentraman dan ketertiban terhadap kehidupan manusia itu sendiri.
Penyelewengan atas suatu norma yang berlaku biasanya oleh masyarakat umum
dinilai sebagai suatu kejahatan dalam ruang lingkup hukum pidana dan kejahatan
dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh
setiap manusia, masyarakat, dan bahkan oleh negara. Kenyataan telah
membuktikan bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi akan tetapi
sulit diberantas secara tuntas. 4
Kejahatan yang dihadapi oleh manusia mengakibatkan masalah yang
dihadapi oleh manusia menjadi datang silih berganti, sehingga dapatlah dikatakan
bahwa hal tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk yang kehilangan arah
dan tujuan di mana manusia mempunyai ambisi, keinginan dan tuntutan yang
dibalut oleh nafsu. Akan tetapi, karena hasrat yang berlebihan gagal dikendalikan
3
4
Ibid. hal. 3
Ibid. hal. 4
4
dan di didik, maka mengakibatkan masalah yang dihadapinya semakin bertambah
banyak dan beragam. Kejahatan yang terjadi dewasa ini bukan hanya menyangkut
kejahatan terhadap nyawa dan harta benda saja, akan tetapi kejahatan terhadap
kesusilaan juga semakin meningkat jumlahnya. Dalam hal kesusilaan, sering
terjadi pada suatu krisis sosial di mana keadaan tersebut tak bisa lepas dari
peranan kaidah sosial yang ada.
Anak-anak dan kaum perempuan sangatlah rawan menjadi korban dari
kejahatan.
Berbagai
penelitian
dan
pembahasan
sudah
cukup
untuk
mengaktualkan, merekontruksi, menginterprestasi dan memberdayakan hak-hak
anak dan perempuan pada khususnya. Hak-hak anak dan wanita menjadi obyek
pembahasan seiring dengan beragam persoalan sensitif yang melanda kaum anak
dan perempuan tersebut. Dalam hal anak yang menjadi korban dari adanya tindak
pidana yang terjadi maka dapatlah dipastikan bahwa dalam hal ini terjadi
pelanggaran atas hak-hak anak, sehingga anak-anak menjadi kehilangan hak-hak
yang seharusnya dinikmatinya. Masa anak-anak adalah masa di mana seorang
anak mulai mengenal kehidupan, masa di mana terjadi proses pematangan fisik,
kecerdasan, emosional, dan juga sosial. Masa ini juga merupakan masa di mana
seorang anak akan melewatkan waktunya untuk bermain, belajar dan tumbuh
berkembang dengan sehat. Selain itu, anak merupakan cikal bakal yang sangat
berpotensi untuk di didik menjadi manusia dewasa yang berintelektual, handal,
kreatif dan produktif. Sebab, anak merupakan generasi yang merupakan asset
bagi pembangunan suatu bangsa.
5
Anak akan menjadi harapan penerus bagi kelangsungan suatu bangsa.
Sebab, pada dasarnya nasib suatu bangsa sangat tergantung pada generasi
penerusnya. Apabila generasi penerusnya baik, maka dapat dipastikan juga
kehidupan suatu bangsa itu juga akan berlangsung baik. Namun sebaliknya jika
generasi penerus itu rusak, maka rusaklah kehidupan bangsa itu. Begitu
pentingnya generasi penerus bagi kelangsungan hidup berbangsa. Maka sudah
sewajarnya jika seorang anak harus diberikan perhatian dan perlindungan khusus,
terlebih lagi bagi anak yang mempunyai kekurangan atau yang biasa dikenal
dengan istilah anak cacat (idiot) atau difabel. Menurut Pasal 7 angka (7) UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ”Anak yang
menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental
sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar”.
Tentunya ada perlindungan/perlakuan yang sangatlah khusus bagi anak yang
mempunyai kekurangan dan perbedaan dari anak normal. Sebab, mereka sangat
berbeda dari anak-anak atau orang-orang pada umumnya. 5
Perlindungan pada anak dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, yakni
melalui pemberian hak-hak terhadap anak yang dapat dikaitkan dalam hukum,
seperti perlindungan atas kesejahteraan, pendidikan, perkembangan, jaminan
masa depan yang cerah, dan perlindungan dari kekejaman, kekerasan, dan
penganiayaan serta perlindungan-perlindungan lain yang dapat memacu tumbuh
berkembangnya anak secara wajar.
5
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
6
Di bidang kesusilaan, anak-anak dan kaum perempuan menjadi obyek
pengebirian dan pelecehan dan hak-haknya sedang tidak berdaya menghadapi
kebiadaban individual, kultural, dan struktural yang dibenarkan. Nilai kesusilaan
yang seharusnya dijaga kesuciannya sedang dikoyak dan dinodai oleh naluri
kebinatangan yang diberikan tempat untuk berlaku adidaya. Salah satu langkah
antisipasi atas kejahatan tersebut dapat memfungsikan instrument hukum pidana
secara efektif melalui penegakan hukum. Dan di upayakan bahwa perilaku yang
dinilai telah melanggar hukum dapat ditanggulangi secara preventif dan represif.
Sehingga dalam hal ini, melalui payung hukum hak-hak anak akan secara nyata
dilindungi. Namun, perlu diingat juga bahwa penjatuhan pidana bukan sematamata sebagai jalan balas dendam atas perbuatan yang telah dilanggar, melainkan
adalah suatu upaya pemberian bimbingan pada pelaku tindak pidana dan sebagai
upaya pengayoman atas korban dari tindak pidana yang ada. Dan hakim dalam
menjatuhkan suatu putusan haruslah mempertimbangkan unsur-unsur obyektif
yang tidak bersifat emosi semata. Seperti tujuan pemidanaan dalam Pasal 50
RUU KUHP Tahun 2000, yakni bahwa suatu pemidanaan dijatuhkan dengan
tujuan: 6
1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan penegakan norma
hukum demi pengayoman negara dan masyarakat;
6
Pasal 50 Rancangan Undang-Undang KUHP Tahun 2000
7
2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan
membimbing agar terpidana insyaf dan menjadikannya sebagai anggota
masyarakat yang berbudi dan berguna;
3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh terpidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Untuk sanksi pidana dalam kasus
perkosaan, dalam KUHP sendiri telah diatur yang salah satunya terdapat
dalam Pasal 285 yang berbunyi: 7 “Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar
pernikahan, di ancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun”. Dan dalam Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: 8
“(1). Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah)”.
“(2). Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.
7
Pasal 287 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 81 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam range
ancaman maksimum dan minimum khusus itu dan mengurangi disparitas pidana..
8
8
Dari bunyi pasal-pasal tersebut jelaslah tercantum sanksi pidana atas tindak
pidana perkosaan pada anak di bawah umur yang cukup berat. Bahkan dalam
Undang-undang Perlindungan Anak, ancaman pidananya lebih berat jika
dibandingkan dengan ancaman pidana yang tercantum dalam KUHP. Sistem
pengancaman pidananya juga menganut sistem ancaman minimum khusus dan
maksimum khusus, sehingga diharapkan hakim dalam menjatuhkan putusan.
Menurut Oemar Seno Adji, sebagai seorang hakim dalam memberikan
putusan kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti pengaruh dari faktor
agama, kebudayaan, pendidikan, nilai, norma dan sebagainya. Sehingga dapat
dimungkinkan adanya perbedaan putusan atas kasus yang sama. Dan pada
dasarnya hal tersebut lebih disebabkan oleh adanya perbedaan cara pandang
sehingga mempengaruhi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan. 9 Cara
penegakan hukum dan sanksi hukum dalam kenyataan sosial dan menghukum
pelaku tindak pidana sebagai gejala sosial tidak lepas dari kenyataan masyarakat.
Maka, penegakan hukum pidana merupakan salah satu pengendalian terhadap
kejahatan yang untuk diberantas atau sekurang-kurangnya di jaga agar berada
dalam batasan tertentu. 10
Di samping hal-hal tersebut yang mempengaruhi hakim dalam memberikan
putusan adalah unsur pembuktian dikarenakan unsur vital yang dijadikan bahan
pertimbangan hakim dalam menentukan berat atau ringannya pemidanaan.
9
Oemar Seno Adji. Hukum Hakim Pidana. Jakarta:Erlangga. 1984. hal. 12
Bambang Purnomo. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan diluar Kodifikasi Hukum pidana.
Jakarta:Bina aksara. 1994. hal. 52.
10
9
Namun hal tersebut terkadang dirasa sangatlah sulit oleh hakim terutama dalam
tindak pidana perkosaan. Sebab seringkali wanita dan anak-anak yang menjadi
korban tindak pidana perkosaan mengalami trauma yang sangat hebat sehingga
tidak melaporkan kejadian yang baru dialaminya. Hal itu, juga menjadi faktor
penghambat dalam proses pemidanaan atas tindak pidana perkosaan yang mana
korban adalah seorang anak ataupun orang yang mempunyai keterbatasan pada
pengucapan atau yang sering disebut dengan tuna wicara. Selain itu dapat juga
dikarenakan adanya ketidaktahuan korban tindak pidana perkosaan itu sendiri atas
perilaku atau perbuatan pencabulan yang baru dialaminya. Dalam perkara tindak
pidana perkosaan terhadap anak, hakim mempunyai wewenang untuk
melaksanakan pengadilan dan wajib memahami akibat yang ditimbulkan terhadap
anak di bawah umur sebagai korban tindak pidana perkosaan karena pada
akhirnya suatu putusan hakim dapat memberi pengaruh dan akibat positif maupun
negatif baik itu bagi pelaku tindak pidana maupun bagi korban tindak pidana
pemerkosaan tersebut.
Batasan keadilan berdasarkan atas putusan hakim mengenai tindak pidana
perkosaan tentu sangatlah abstrak, baik itu bagi pelaku tindak pidana ataupun
bagi korban tindak pidana. Namun, dalam kehidupan masyarakat muncul persepsi
yang menyatakan bahwa apabila korban tindak pidana perkosaan adalah anakanak maka tentunya sanksi yang dijatuhkan oleh hakim lebih berat jika
dibandingkan korbannya adalah orang dewasa, serta akan lebih berat lagi jikalau
10
korban tersebut adalah seorang anak yang dikategorikan sebagai anak difabel atau
yang biasa disebut dengan anak cacat (idiot).
Seperti tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh seorang kakak ipar
terhadap adik iparnya yang berkebutuhan khusus yang ditangani oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Barat dengan perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR, dimana
seorang kakak ipar bernama Boy Santoso telah melakukan tindak pidana
perkosaan terhadap adik iparnya yakni Bem-Bem. Pelaku di kenakan pasal 289
KUHP (dakwaan lebih subsider), dan tidak mengabulkan dakwaan primer dan
subsider yakni pasal 285 dan 286 KUHP oleh hakim (Soeratno, SH) dan dihukum
selama selama 2 (dua) tahun, dan membebankan kepada terdakwa untuk
membayar ongkos perkara sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah).
Apabila dilihat, korban berusia di bawah 18 tahun, itu artinya berdasarkan
UU No.23/2002 tentang perlindungan anak, para korban berhak mendapatkan
perlindungan. Maka, tentunya putusan hakim atas kasus tersebut dianggap
terdapat kejanggalan, karma putusan tersebut belum memandang penderitaan bagi
korban yang telah terenggut masa depannya serta menimbulkan trauma yang
mendalam sekaligus dampak sosiologis di masyarakat di mana korban tinggal.
Dengan berdasar uraian di atas, maka penulis bermaksud ingin
mendalaminya lebih dalam dan menuangkannya dalam sebuah penulisan yang
berbentuk penulisan hukum dengan judul:
11
“ ANALISA HUKUM ISLAM DAN KUHP TENTANG PUTUSAN
PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK IDIOT
(Studi Analisis Putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR)”.
B. Batasan Masalah
Berdasarkan uraian yang terkait dengan segala masalah yang sedang diteliti
diatas, maka untuk mendapatkan pembahasan yang efektif dan objektif, perlu
diberikan pembatasan masalah, sebagai berikut :
1. Tinjauan Hukum Positif yakni menurut KUHP pasal 285, 286, 289, 294
tentang perkosaan dan pencabulan, Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak serta Hukum Islam (Al-Qur’an, al-Hadits dan fiqh /
pendapat Imam mazhab) mengenai sanksi terhadap pelaku tindak pidana
perkosaan.
2. Analisis surat dakwaan dan putusan menurut Hukum Positif serta Hukum
Islam terhadap putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR, tentang tindak
pidana perkosaan terhadap anak idot.
Hal ini dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembahasan, dalam
arti
supaya
tidak
mengalami
pembahasan
yang
mengakibatkan ketidakfokusan dan kesimpangsiuran.
meluas
sehingga
12
C. Perumusan Masalah
Sebagaimana telah Penulis uraikan diatas, maka dirumuskan beberapa
permasalahan yang sekiranya dapat diangkat untuk dikaji secara lebih lanjut.
Adapun rumusan masalah yang dimaksud adalah :
1. Perbuatan apa saja yang termasuk ke dalam kategori perkosaan dan
bagaimana sanksi pidananya menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ?.
2. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana
perkosaan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR ?.
3. Bagaimana analisis Hukum Positif dan Hukum Islam terhadap perkara tindak
pidana perkosaan anak idiot dalam perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKTBAR ?.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui perbuatan apa saja yang termasuk ke dalam kategori
perkosaan, dan bagaimana sanksi pidananya menurut Hukum Positif dan
Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat
dalam memutuskan perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR.
3. Untuk mengetahui analisis Hukum Positif dan Hukum Islam terhadap perkara
tindak pindak perkosaan dalam perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR.
13
Selanjutnya manfaat dari penulisan ini adalah :
1. Menambah perbendaharaan keilmuwan dalam bidang hukum khususnya
kajian mengenai tindak perkosaan teoritis maupun praktis.
2. Memberikan kontribusi positif kepada masyarakat tentang pidana perkosaan
serta memberikan gambaran yang objektif menganai sanksi pidana bagi
pelaku tindak pidana perkosaan.
3. Kepada yang mengkaji lebih lanjut tentang masalah ini, diharapkan skripsi ini
dapat menjadi salah satu masukan yang berarti, dan sedikit banyak dapat
membuka cakrawala berfikir yang ilmiah.
E. Metode Penelitian.
1. Pendekatan penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis normatif maksudnya adalah suatu pendekatan yang
dilihat dari segi peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
2. Jenis Penelitian.
Pada prinsipnya, penelitian ini merupalan penelitian yang kajiannya
dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur. Dengan
demikian, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bersifat
deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata bukan angka.
Dan mengambil data baik secara tertulis untuk diuraikan, sehingga
memperoleh gambaran serta pemahaman yang menyeluruh.
14
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Pustaka
Dalam penelitian kepustakaan ini penulis melakukan pengumpulan
bahan-bahan sumber data sekunder, ialah sumber-sumber yang tidak
terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti. Dalam
penelitian ini sumber data sekunder ialah sejumlah data yang diperoleh
dari buku-buku literatur, artikel, dokumen, putusan hakim Pengadilan
Negeri Sragen mengenai kasus yang terkait, serta berbagai macam
perundang-undangan dan sumber-sumber lain yang berhubungan
dengan masalah yang diteliti.
b. Penelitian Lapangan
Dalam melakukan penelitian lapangan untuk mengumpulkan bahanbahan atau data-data dengan menggunakan data primer, ialah semua
pihak yang terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti.
Dan dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer ialah
Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
4. Teknik Pengolahan Data
Seluruh data yang penulis peroleh dari kepustakaan dan wawancara
disusun dalam bentuk penyusunan data kemudian dilakukan reduksi atau
pengolahan data dan seterusnya diambil kesimpulan, yang dilakukan
saling menjalin dengan proses pengumpulan data. Apabila kesimpulan
kurang akurat, maka perlu di adakan verifikasi kembali dan peneliti
15
kembali mengumpulkan data di lapangan. Model ini dinamakan dengan
istilah Interactive Model Analisis. Untuk lebih jelasnya maka penulis akan
menggambarkan model analisa interactive tersebut sebagai berikut :
Dalam penelitian ini, penulis akan mencari, meneliti, dan mengkaji secara
mendalam atas suatu putusan yang telah dijatuhkan oleh seorang hakim
dalam tindak pidana perkosaan yang korbannya adalah anak, baik pada
anak normal dan anak yang secara fisik atau psikis mengalami kekurangan
dalam kemampuannya. Dengan Pengumpulan data Kesimpulan/verifikasi
Reduksi data Penyajian data penggunaan data ini, maka akan diperoleh
suatu gambaran yang lengkap dan menyeluruh terhadap keadaan yang
nyata sesuai dengan penelitian yang dilakukan.
5. Teknik Analisis Data
Metode analisis data dalam penulisan ini Penulis mengolah data
dengan metode deskriptif-kualitatif dan komparatif, Menurut H.B Soetopo
analisis kualitatif adalah:
“Suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis
yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis, lisan juga
perilaku yang nyata diteliti dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh”. 11
Kemudian putusan tersebut akan penulis komparasikan dengan melihat
sisi persamaan dan perbedaannya hukum Islam dan hukum Positif agar
terdapat kejelasan dalam mengambil kesimpulan di dalam sudut pandang
keduanya.
11
H.B. Soetopo. Pengantar Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. 1988. hal. 34.
16
6. Data Penelitian
Jenis-jenis data dalam penulisan skripsi ini adalah :
a. Sumber data primer, Yang menjadi sumber data primer ialah semua
pihak yang terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti.
Dan dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer ialah
Panitera Muda Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang pernah
mengikuti sidang dalam mengadili dan memutus kasus tindak pidana
perkosaan pada anak idiot.
b. Sumber data sekunder, yakni yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer misalnya: data-data yang di peroleh dari
Undang-Undang, Hukum Islam, hasil karya-karya ilmiah dan datadata lain yang masih relevan dan dapat menunjang akan penelitian ini.
c. Sumber hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
misalnya: kamus, ensiklopedia, dan bahan pelengkap lainnya.
7. Teknik Penulisan.
Dalam penelitian ini, penulis sepenuhnya menggunakan bimbingan
skripsi dengan berpedoman kepada ” Buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2007”, sehingga tidak keluar dari peraturan yang ada.
F. Review Studi terdahulu
Adapun review Studi terdahulu yang berkaitan dengan skripsi ini adalah:
17
1. Judul: Tinjauan Hukum Positif dan hukum pidana Islam bagi kejahatan
perkosaan akibat gangguan kejiwaan.
Penulis : Bustomi/SJJS/2004.
Dalam skripsi ini hanya memaparkan tentang pelaku kejahatan perkosaan
karena gangguan kejiwaan dalam pandangan Hukum Positif dan Hukum
Islam.
2. Judul
: Dampak pornografi terhadap tindak pidana perkosaan oleh anak
dibawah umur dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif
Penulis: Ahmad Zarkasih/PMH/2005.
Dalam skripsi ini
hanya memaparkan tentang pengertian tindak pidana
perkosaan oleh anak dibawah umur menurut hukum Islam dan Hukum Positif.
3. Judul : Tinjauan Hukum Islam terhadap upaya perlindungan hukum bagi
korban perkosaan dikaitkan dengan pasal 285 KUHP
Penulis: Uswatun Hasanah/SJJS/2004.
Dalam skripsi ini hanya membahas tentang perlindungan hukum terhadap
korban perkosaan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif dan penerapan
pasal 285 KUHP kaitannya dengan korban perkosaan.
H. Sistematika Pembahasan
18
Setelah penulis selesai mengutarakan tentang metode penelitian beserta
pengertiannya, berikut
ini penulis menyajikan uraian tentang sistematika.
Skripsi ini disusun dalam empat bab, yaitu :
BAB I
: PENDAHULUAN
Dalam bab ini di jelaskan tentang latar belakang, yang meliputi
latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah.
Dijelaskan pula tentang, tujuan penulisan, kegunaan penulisan,
landasan fundamental, review studi terdahulu, metode penelitian
serta sistematika pembahasan. Melalui pendahuluan ini penulis
menjelaskan tentang fenomena-fenomena yang hendak di teliti
dengan menggunakan berbagai rujukan.
BAB II : TINJAUAN UMUM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
MENGENAI TINDAK PIDANA PERKOSAAN
Di dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai pengertian
tindak pidan menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, pengertian
tindak pidana perkosaan, jenis-jenis perkosaan, kejahatan asusila
bagi anak dibawah umur, Undang-undang NO 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak.
BAB III : ANALISA YURIDIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM
ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM No. 054 /PID /B/
1997/PN. JAKBAR.
19
Di dalam bab ini penulis akan membahas tentang Perkosaan
Menurut Hukum Islam dan KUHP, Pembuktian Tindak Pidana
Perkosaan, Sanksi Hukuman Bagi Pelaku Perkosaan, Surat dakwaan
dan Putusan Hakim, Duduk perkara, Dakwaan, Vonis Hakim dan
Analisis Hasil Penelitian
BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bab penutup yang meliputi kesimpulan dan
saran-saran yang sekiranya dapat diterapkan pelaksanaannnya.
BAB II
TINJAUAN UMUM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
MENGENAI TINDAK PIDANA PERKOSAAN
A. Tindak Pidana
Harkristuti Harkrisnowo tentang tindak pidana, merupakan suatu bentuk
prilaku tindakan yang membawa konsekuensi sanksi hukuman pidana pada
siapapun yang melakukannya. Oleh karena itu, tidak sulit difahami bahwa tindaktindak semacam ini layaknya dikaitkan dengan nilai-nilai mendasar yang
dipercaya dan dianut oleh suatu kelompok masyarakat pada suatu tempat dan
waktu tertentu. Tidak mengherankan bahwa perbedaan ruang tempat dan waktu
juga akan memberikan perbedaan pada perumusan sejumlah tindak pidana. 1
Seperti yang terjadi antara hukum Positif dan hukum Islam, walaupun terdapat
beberapa persamaan tetapi juga memiliki perbedaan yang mendasar mengenai
sudut pandangannya tentang hukum pidana itu sendiri. Dibawah ini akan
dijelaskan mengenai tindak pidana menurut :
1. Hukum Positif
Istilah tindak pidana atau dalam bahasa Belanda, strafbaar feit, yang
sebenarnya merupakan istilah resmi dalam strafwetboek atau Kitab Undangundang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam
1
Hakristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undangundang Hukum Pidana, dalam Pandangam Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di
Indonesia (Pelaung,Prospek, dan Tantanagn), (Jakarta : Pusaka Firdaus. 2001),h. 179.
20
21
bahasa asing, yaitu delic. 2 Delic menurut kamus hukum mengandung
pengertian tindak pidana, perbuatan yang diancam dengan hukuman. 3
Menurut Dr. Hakristuti Hakrisnowo tindak pidana yakni suatu perilaku
dikenakan ancaman pidana hanya apabila prilaku itu dipandang dapat
mengancam keseimbangan dalam masyarakat. Dalam hal ini, mungkin ada
sejumlah perilaku yang dipandang “tidak baik” atau “bahkan buruk” dalam
masyarakat. Akan tetapi karena tingkat ancamannya kepada masyarakat
dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak dirumuskan
sebagai suatu tindak pidana. 4
Sementara Simons, memberikan definisi mengenal tindak pidana yakni
suatu perbuatan yang diancam pidana, melawan hukum, dilakukan dengan
kesalahan oleh orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan itu. 5
Unsur-unsur dalam tindak pidana, yakni :
a. Subjek tindak pidana
Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana
adalah seseorang manusia sebagai oknum. Selain itu, suatu
perkumpulan atau korporasi dapat juga menjadi subjek pidana. 6
2
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : PT. Refika
Aditama, 2003), h. 59.
3
Soebekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1972),h. 35.
4
Hakristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan, h. 180.
5
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Penerapan Syari’at Islam Konteks
Modernitas), (Bandung : Asy-Syamil Prees & Grafika, 2001),h. 132.
6
Ibid,h. 134.
22
b. Perbuatan dari tindak pidana
Unsur perbuatan dirumuskan dalam suatu tindak pidana formil,
seperti pencurian (pasal 362 KUHP) perbuatannya dirumuskan
sebagai “mengambil barang”.
c. Hubungan sebab-akibat (causal vervand)
Bahwa untuk tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu
akibat tertentu dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas
kepentingan orang lain, menandakan keharusan ada hubungan sebabakibat (causal vervand) antara perbuatan si pelaku dan kerugian
kepentingan tertentu, terdapat dua teori mengenal sebab-akibat ini
yakni :
Pertama dari Von Buri (1869) yang disebut teori condition sine que
non (teori syarat mutlak) yang mengatakan, suatu hal adalah sebab
dari suatu akibat ini tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Dengan
demikian, teori ini mengenal banyak sebab dari suatu akibat.
Kedua dari Von Bar (1870) yagn kemudian diteruskan oleh
Van kriese yang disebut adequate veroorzaking (penyebaban yang
bersifat dapat dikira-kirakan), dan yang mengajarkan bahwa suatu hal
baru dapat dinamakan sebab dari suatu akibat apabila menurut
23
pengalaman manusia dapat dikira-kira bahwa sebab itu akan diikuti
oleh akibat. 7
d. Sifat melawan hukum (Onrechtmatigheld)
Sebenarnya dalam setiap tindak pidana ada unsur melawan hukum,
namun tidak semua tindak pidana memuatnya dalam rumusan. Ada
berbagai tindak pidana yang unsur melawan hukum disebutkan secara
tegas, misalnya pasal 362 KUHP tentang pencurian, disebutkan bahwa
pencurian adalah mengambil barang yang sebagaian atau sepenuhnya
kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki secara melawan
hukum. 8
e. Kesalahan Pelaku Tindak Pidana 9
Unsur kesalahan ini bisa berupa tanpa kesengajaan atau kealpaan.
Kesengajaan tersebut dapat mengenai unsur perbuatan yang dilarang,
akibat yang dilarang atau sifat melawan hukumnya. 10
Selanjutnya, tindak pidana didalam KUHP dibagi kedalam dua jenis
yakni kejahatan (misdrijiven) dan pelanggran (overtredingen). Menurut
M.v.T pembagian atas dua jenis ini didasarkan atas perbuatan prinsipil.
Dikatan, bahwa kejahatan adalah “rectsdeliten”, yaitu perbuatanperbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-undang sebagai
7
Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,h. 61-62.
Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 134.
9
Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, h. 65.
10
Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 134.
8
24
perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah
“wetsdelikntern”, yaitu perbutan-perbuatan yang bersifat melawan
hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan
demikian.
Tindak pidana selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran,
dibedakan juga berdasarkan :
a. Cara Perumusannya
(1) Delik Formil, pada delik ini yang dirumuskan adalah tindakan
yang dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak
mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut.
(2) Delik Materil, yakni selain dari pada tindakan yang terlarang itu
dilakukan, masih harus ada akibatnya yang timbul karena
tindakan itu, baru telah dikatakan telah terjadi tindak pidana
tersebut sepenuhnya. 11
b. Cara Melakukan Tindak Pidana 12
(1) Delik Komisi, yakni delik yang terdiri dari melakukan sesuatu
(berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan
pidana.
11
E.Y. Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, (Jakarta : Storia Grafika, 2002),h. 237.
12
Ibid., h. 238.
25
(2) Delik Omisi, yakni delik yang terdiri dari tidak berbuat atau
melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat, misalnya delik yang
dirumuskan dalam pasal 164. mengetahui suatu permufakatan
jahat untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam pasal itu,
pada saat masih ada waktu untuk mencegah kejahatan, tidak
segera melaporkan kepada instansi yang berwajib atau orang yang
terkena.
(3) Delikta commisionis peromissionem, yakni delik-delik yang
umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan
dengan tidak berbuat, misalnya seseorang ibu yang membunuh
anaknya dengan jalan tidak memberi makan kepada anak itu. 13
c. Ada/tidaknya pengulangan atau kelanjutannya
(1) Delik Mandiri, adalah jika tindakan yang dilakukan itu hanya satu
kali saja, untuk mana petindak pidana.
(2) Delik Berlanjut, adalah tindakan yang sama berulang dilakukan,
dan merupakan atau dapat dianggap sebagai pelanjut dari tindakan
semula. 14
d. Berakhir atau Berkesinambungannya suatu Delik
(1) Delik Berakhir
(2) Delik Berkesinambungan
13
14
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia,h. 76.
Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,h. 238.
26
e. Keadaan Memberatkan dan meringankan 15
(1) Delik Biasa
(2) Delik diwalifisiar (diperberat), yaitu delik yang mempunyai
bentuk pokok yang disertai unsur memberatkan, misalnya pasal
363.
(3) Delik diprivisilir (diperingan), yaitu delik yang mempunyai
bentuk pokok yang disertai unsur meringankan, misalnya dalam
pasal 341 lebih ringan dari pada 342. 16
f. Bentuk Kesalahan Pelaku
(1) Delik Sengaja (Dolus), yakni suatu tindak pidana yang dilakukan
dengan sengaja, misalnya pembunuhan dengan berencana (pasal
338 KUHP).
(2) Delik Alpa (culpa), yakni tindak pidana yang tidak sengaja,
karena kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang. Contoh
pasal 359 KUHP. 17
g. Cara Penuntutan
(1) Delik Aduan, yakni suatu tindak pidana yang memerlukan
pengaduan orang lain, jadi sebelum ada pengaduan belum
merupakan delik. Contoh : penghinaan.
15
16
97.
17
Ibid., h. 238-239.
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta :Ghalia Indonesia, 1978),h.
J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta : PT Prenhalindo, 2001), h. 94.
27
(2) Delik Biasa (bukan delik aduan), yakni semua tindak pidana yang
penuntutannya tidak perlu menunggu adanya pengaduan dari
korban atau dari keluarganya, contoh : pembunuhan dan
penganiyaan. 18
2. Hukum Islam
Dalam hukum Islam ada dua istilah yang kerap digunakan untuk
tindak pidana ini, jinayah dan jarimah. Dapat dikatakan bahwa kata
“jinayah” yang digunakan para fuqaha adalah sama dengan istilah
“jarimah”. 19 mengacu kepada
hasil perbuatan seseorang. Biasanya,
pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Dikalangan
fuqaha, perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut
Syara’. Meskipun demikian para fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya
untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa seperti,
memukul, dan sebagainya. Selain itu terdapat fuqaha yang membatasi istilah
jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud
dan qishash tidak termasuk kepada perbuatan-perbuatan yang diancam
dengan ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah,
yaitu larangan-larangan Syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had
atau ta’zir. 20
18
Ibid., h. 94.
Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 132.
20
A.Zajuli, Fiqh JInayah (Upaya Menganggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta
: PT. Raja Grafindo, 2001),h. 1.
19
28
Jarimah didefinisikan oleh Imam al-Mawardi sebagai segala larangan
Syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang atau meninggalkan hal-hal yang
diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir. 21 Ada pula
golongan fuqaha yang membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada
jarimah hudud atau qishash saja. Dengan mengenyampingkan perbedaan
pemakian kata-kata jarimah dikalangan fuqaha sama dengan kata-kata
jarimah. 22
Para fuqaha mengartikan zina yaitu melakukan hubungan seksual
dalam arti memasukan zakar (kelamin pria) kedalam vagina wanita yang
dinyatakan haram, bukan karena subhat tetapi atas dasar syahwat.
Dasar hukum dari jarimah zina yakni :
☺
☺
☺
⌧
⌧
☺
21
Ibid.,h.11.
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang,
2005),h.3.
22
29
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan), hukuman mereka disaksikan
oleh sekumpulan orang-orang beriman”. (Q.S : An-Nurr /24 :2)
⌧
⌧
Artinya : “dan janganlah kamu mendekatii zina; sesungguhnyaq zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.
(Q.S al-isra 17 :32)
Jarimah memiliki dua unsur yaitu :
a. Unsur Umum
Yakni unsur-unsur yang terdapat pada setiap jenis jarimah. 23 Yang
termasuk dalam unsur umum ini yaitu :
1) Al-Rukn al-Syar’iy (unsur hukum), yakni adanya nash yang
melarang perbutan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman
hukuman atas perbutan-perrbuatan diatas. Unsur ini dikenal
dengan istilah “unsur formal”.
2) Al-Rukn al-Madi (unsur materil), yakni adanya unsur perbuatan
yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan yang
dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan.
23
Dzajuli, Fiqh Jinayah., h. 12.
30
3) Al-Rukn al-Adabiy (unsur budaya), yakni adanya pelaku kejahatan
(orang yang dapat menerima taklif, artinya pelaku kejahatan tadi
adalah mukalaf , sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan
yang mereka lakukan). 24
b. Unsur Khusus
Yakni unsur yang terdapat pada suatu jarimah namun tidak terdapat
pada jarimah lainnya. Contoh : mengambil harta orang lain secara diamdiam dari tempatnya dalam jarimah pencurian, atau menghilangkan nyawa
manusia oleh manusia lainnya dalam jarimah pembunuhan. 25
Jarimah dapat berbeda penggolongannya, menurut perbedaan cara
meninjaunya yakni dilihat dari :
a. segi berat ringannya hukuman
1) Jarimah hudud, ialah jarimah yang diancamkan hukuman hudud,
yakni hukuman yang telah ditentukan jenis dan jumlahnya serta
menjadi hak Allah SWT. 26 Yang termasuk kedalam jarimah hudud
yaitu : zina, qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), meminum
minuman keras, mencuri, merampok, murtad, pencurian dan
pemberontak.
24
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,h. 1-3
Ibid.,h. 12.
26
Maksud hak Allah ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh
perseorangan (individu) atau masyarakat, ibid.
25
31
2) Jarimah qishash atau diyat, ialah perbutan yang diancam hukuman
qishash atau diyat. Keduanya merupakan hak individu 27 yang
kadar jumlahnya telah ditentukan, yakni tidak memiliki batasan
minimal atau maksimal. Yang termasuk kedalam jarimah qishash
dan diyat yakni : pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja,
pembunuhan karena ketidaksengajaan, penganiyaan sengaja, dan
penganiyaan tidak sengaja.
3) Jarimah ta’zir, 28 ialah jarimah yang diancam dengan satu atau
beberapa hukuman ta’zir. Jenis jarimah ta’zir tidak ditentukan
banyaknya, sedang pada jarimah hudud atau qishash dan diyat
sudah ditentukan. Yang termasuk jarimah ta’zir yakni : riba, suap,
pencabulan, illegal loggin, human trafficking dan sebagainya.
b. Niat si pembuat/pelaku jarimah
1) Jarimah sengaja, si pembuat/pelaku dengan sengaja melakukan
perbutannya, sedang ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang
(salah).
2) Jarimah tidak sengaja. Sipembuat/pelaku tidak sengaja melakukan
perbutan yang dilarang, akan tetapi perbuatan tersebut sebagai
akibat kekeliruannya, kekeliruan ada dua macam, yakni :
27
Maksud hak individu adalah seorang boleh membatalkan hukumannya tesebut
dengan memaafkan si pelaku jika ia menghendaki. Ibid.,h. 100.
28
Ibid.,h. 100.
32
a) Pembuat (pelaku) dengan sengaja melakukan perbuatan
jarimah tetapi jarimah ini sama sekali tidak diniatkannya.
b) Pembuat (pelaku) tidak sengaja berbuat dan jarimah yang
terjadi tidak diniatkannya sama sekali. 29
c. Segi mengerjakannya
1) Jarimah ijabiyyah/positif terjadi karena mengerjakan sesuatu
perbuatan yang dilarang, seperti mencuri, zina, pembunuhan,
memukul dan sebagainya. Jarimah ijabiyyah ini disebut juga
delicta commisionis.
2) Jarimah salabiyyah/negative terjadi karena tidak mengerjakan
sesuatu perbutan yang diperintahkan. Seperti mengeluarkan
zakat. Disebut juga delicta omnisionis.
3) Jarimah commisionis per ommisionem commisa, contohnya
yakni petugas LP sengaja tidak memberikan makan kepada
narapidana yang selanjutnya menyebabkan kematian pada
narapidana tersebut. 30
d. Segi waktu terungkapnya jarimah
1) Jarimah yang tertangkap basah, yakni jarimah yang terungkap
pada saat jarimah itu dilakukan atau beberapa saat setelah
jarimah tersebut dilakukan.
29
30
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 11-12.
Ibid.,h 12-14.
33
2) Jarimah yang tidak tertangkap basah, yaitu jarimah yang tidak
tertangkap pada saat jarimah tersebut dilakukan atau
terungkapnya pelaku jarimah itu dalam waktu yang lama. 31
e. Segi cara melakukan jarimah
1) Jarimah tunggal (al-Jarimah al-Basitah) yakni jarimah yang
dilakukan dengan satu perbuatan, seperti pencurian, meminum
minuman keras, baik tindak pidana ini terjadi seketika (tindak
pidana temporal atau jarimah muaqqatah) maupun yang
dilakukan dengan cara terus menerus (jarimah mustamirah).
Jarimah hudud, qishash dan diyat termasuk kedalam kategori
jarimah tunggal.
2) Jarimah berangkai, yakni jarimah yang dilakukan berulangulang (berangkai). Jarimah itu sendiri tidak termasuk dalam
kategori jarimah, tetapi berulang-ulangnya jarimah tersebut
yang menjadikannya sebagai jarimah. Bentuk jarimah ini
banyak terdapat dalam jarimah ta’zir. Dimana petunjuknya
diperoleh dari nash yang mengharamkan perbutan tersebut. 32
f. Orang yang menjadi korban
1) Jarimah masyarakat/haq Allah/ hak jama’ah, ialah suatu
jarimah di mana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk
31
32
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jinai al-Islami.,h. 84.
Ibid.,h. 110.
34
menjaga kepentingan masyarakat. Baik jarimah tersebut
mengenal perorangan atau mengenal ketentuan masyarakat dan
keamanannya.
2) Jarimah perseorangan / hak al-afrad, ialah suatu jarimah
dimana hukuman terhadapanya dijatuhkan untuk melindungi
kepentingan perseorangan, meskipun sebenarnya apa yang
menyinggung
perseorangan
juga
berarti
menyinggung
masyarakat. 33
B. Tindak Pidana Perkosaan
Perkosaan pada dasarnya adalah bentuk kekerasan primitive yang kita tahu
dapat terjadi pada siapa pun. Gejala perkosaan merupakan salah satu tantangan
sosial yang harus dipikirkan secara serius, dari dahulu hingga sekarang perkosaan
bukan hanya kekerasan seks semata tetapi selalu merupakan suatu bentuk
perilaku yang dipengaruhi oleh sistem kekuasaan tertentu. 34
Kasus perkosaan sepintas lalu tidak lebih istimewa dari kasus-kasus
kekerasan lainnya, atau kalaupun jadi istimewa biasanya perkosaan dengan
korban perempuan dibawah umur atau perkosaan diakhiri dengan pembunuhan.
33
Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 14.
Eko Prasetyo & Supraman Marzuki (ed), Perempuan Dalam Wacana Perkosaan,
(Yogyakarta : PKBI-DIY, 1997), Cet, ke 1, h.9.
34
35
Istilah perkosaan dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah paksaan
kekerasan. 35 Dalam kamus umum bahasa Indonesia perkosaan berasal dari kata
“perkosa” yang artinya gagah, kuat, perkasa, kekerasan. 36 Kemudian dalam
kamus lengkap bahasa Indonesia modern dijelaskan “perkosa” dengan arti gagah,
kuat, paksa, kekerasan, maka apabila mendapat awalan “me” menjadi
memperkosa,
maka
diartikan
dengan
mendudukan
dengan
kekerasan,
menggagahi, memaksa dengan kekerasan. 37 Jadi, perkosa dapat diartikan dengan
kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan.
Berbicara masalah kejahatan dengan kekerasan ini, maka perkosaan dapat
terjadi bilamana seseorang laki-laki secara paksa atau dengan cara kekerasan
berupaya untuk menyetubuhi dalam arti ingin mengadakan hubungan kelamin
dengan seorang wanita dimana pihak wanita tidak bersedia melayani nafsu
seknya.
Untuk selanjutnya dibawah ini akan diuraikan beberapa pendapat ahli
dalam mendefinisikan tentang perkosaan agar dapat dengan jelas memperoleh
gambaran yang dimaksud. Bismar Siregar, mengatatkan bahwa perkosaan adalah
perbuatan secara paksa ingin memenuhi nafsu kebinatangannya. 38
35
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta
:Balai Pustaka, 1990), Cet, ke 3,h.673.
36
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976),
h.741.
37
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta : Pustaka Amini,
tth),h.307.
38
Bismar Siregar, “Tanggung Jawab Hakim Melindungi Korban Perkosaan, Makalah
Seminar Nasional Tentang:Aspek-aspek Perlindungan Hukum Korban Perkosaan, (Surabaya :
Universitas Sebelas Maret, 1999),h. 10.
36
Menurut Koesparmono Irsan perkosaan adalah perbuatan dengan kekerasan
atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk
bersetubuh. 39 Soetadyo Wegnjosubroto mengatakan perkosaan adalah suatu
usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan dengan cara yang menurut moral dan hukum yang berlaku adalah
melanggar.
C. Jenis-jenis perkosaan
Setelah menjelaskan pengertian dari tindak pidana perkosaan, ada baiknya
pada bagian ini penulis akan menguraikan jenis perkosaan, sebagaimana menurut
krominolog Mulyana W. Kusuma menyebutkan jenis perkosaan berikut ini :
1. Sadistic Rape, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk
yang merusak, pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan
erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan
yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban.
2.
Angea Rape, penganiyaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi
sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah
yang tertahan. Di sini tubuh korban seakan-akan merupak obyek terhadap
siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi,
kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya.
39
Koesparno Ihsan, Kekerasan-kekerasan Sebagai Tindak Kriminal, Makalah Seminar Sehari
Tentang : Tindak Pidana Kekerasan Dalam Masyarakat, (Jakarta, 1990),h.4.
37
3. Dononation Rape, suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba
untuk gigih atas kekuasaan dan superiorotas terhadap korban. Tujuannya
adalah penakluk seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki
keinginan berhubungan seksual.
4. Seduktive Rape, perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang
merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban
memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh
kesenggamaan.
Pelaku
pada
mulanya
mempunyai
keyakinan
membutuhkan paksaan, oleh karena itu tak mempunyai rasa bersalah yang
menyangkut seks.
5. Victim Precipitatied, perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan
menempatkan korban sebagai pencetusnya.
6. Exploitation Rape, perkosaan yang menunjukan bahwa pada setiap
kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki
dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi
perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan social.
Victim Precipitation Rape merupakan jenis perkosaan yang mendapat
perhatian serius belakangan ini. Keterlibatan, peranan, andil dan pengaruh
korban yang secara langsung maupun tidak langsung sebagai “pencetus”
timbulnya perkosaan menjadi pembicaraan yang serius mengenai factor
penyebab terjadinya perkosaan. “Victim Precipitation” menjadi catatan
mengenai
jenis
perkosaan
yang
melibatkan
dua
komponen,
yang
38
menempatkan perempuan sebagai pihak yang dianggap turut bersalah dalam
melahirkan kejahatan kesusilaan.
Sedangkan “Sadistic rape” menjadi salah satu jenis kejahatan yang
juga mendapat sorotan sehubungan dengan tidak sedikitnya kasus perkosaan
yang dilakukan secara sadis.
Adanya perbedaan pengertian atau persepsi tentang jenis perkosaan
mempunyai pengaruh terhadap informasi yang berkaitan dengan perkosaan.
Di satu sisi masyarakat menganggap suatu perbuatan sebagai perkosaan dan
karena itu melaporkannya kepada polisi. Di sisi lain polisi belum memandang
perbuatan berikut sebagai tindak pidana perkosaan, karena perbuatan yang
dilaporkan tidak sesuai dengan perumusan pasal 285 KUHP.
Yang perlu mendapatkan perhatian ialah persepsi masyarakat yang
cenderung menyatakan kejahatan kesusilaan yang bukan perkosaan sebagai
tindak pidana perkosaan. Secara yuridis harus ada unsur-unsur yang wajib
dipenuhi sesuai dengan ketentuan pasala 285 KUHP, agar suatu perbuatan
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan.
D. Kejahatan Asusila bagi Anak di Bawah Umur
1. Pengertian Anak, Konsep dan Batasan Anak di Bawah Umur
a. Pengertian Anak
Kelahiran anak (bayi) karena perkawinan sedikit banyaknya
menyebabkan hal-hal tertentu dalam berbagai kehidupan bernegara dan
39
bermasyarakat. Secara hukum kelahiran tersebut mempunyai/menimbulkan
akibat hukum. Dalam lapangan hukum perdata akibat hukum ini berpokok
kepada anak dan kewajiban seperti : kekuasaan orang tua, pengakuan
sahnya anak dan penyangkalan sahnya anak, perwalian, pendewasaan, dan
pengangkatan anak.
Anak dalam masyarakat yang bagaimanapun bentuk dan coraknya,
merupakan pembawa bahagia. Tidak heran bila dalam upacara pernikahan
pengantar dua insan ke gelanggan rumah tangga di antar petuah serta doa
restu, orang tua-tua selalu berpesan, semoga kedua mempelai diberkati
keturunan bukan satu, bukan dua, tetapi banyak. Pasal 91 (4) KUHP
memberikan penjelasan tentang anak adalah orang yang ada dibawah
kekuasaan yang sama dengan kekuasaan orang tuanya. 40
Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 Tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 41
Sedangkan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1979 pasal 1 ayat 2
dijelaskan tentang pengertian anak adalah seorang yang belum mencapai
usia 21 tahun atau belum pernah kawin. Batasan 21 tahun ini ditetapkan
oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha sosial, tahap
40
Agung Wahyono, SH dan Ny Siti Rahayu, SH. Tinjauan Tentang Peradilan Anak
di Indonesia. (Cet. I; Sinar Grafika : Jakarta, 1993), h. 20
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen Sosial RI. Undang–
Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. (Cet. I;
Jakarta : UNICEF, 2003), h. 13. Lihat juga Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak. (Cet. I; Bandung : Citra Umbara, 2003), h. 4.
40
kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang
anak dicapai pada usia 21 tahun. 42 Sedangkan pengertian anak menurut
pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup umur, dengan belum cukup
umur dimaksudkan adalah mereka yang melakukan perbuatan sebelum
umur 16 tahun. 43 Dalam Konvensi Hak Anak menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18
tahun, sedangkan dalam KUHP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 17 tahun. 44
Dari beberapa pengertian anak di atas dapat di bedakan beberapa
pengertian tentang anak, yaitu (1) Anak kandung; (2) Anak terlantar, (3)
Anak yang menyandang cacat, (4) Anak yang memiliki keunggulan, dan (5)
Anak angkat, serta (6) Anak asuh.
Dimaksud dengan anak kandung adalah anak yang dilahirkan dari
dalam rahim seorang ibu; sedangkan anak terlantar adalah anak yang tidak
terpelihara kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spritual, maupun
sosial; anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami
hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan
perkembangannya secara wajar; anak yang memiliki keunggulan adalah
anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan
bakat istimewa; anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
42
Agung Wahyono, SH dan Ny Siti Rahayu, SH. op. cit. h. 19.
Ibid, h. 20
44
Bibik Nurudduja. Hukum Jual Beli Gadis di Bawah Umur. t.th.
43
41
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan; anak asuh adalah anak
yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan,
pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya
atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya
anak secara wajar. 45
b. Konsep dan Batasan anak dibawah umur
Berbicara mengenai konsep dan batasan anak di bawah umur, penulis
bertolak pada KUHP dan konvensi Hak-Hak Anak (KHA), dimana dalam
KUHP tersebut memberikan batasan anak di bawah umur adalah lima belas
tahun, sedangkan dalam KHA memberikan batasan anak di bawah umur
adalah delapan belas tahun. secara fakta psikologi anak usia 17 tahun masih
labil sehingga batasan umur dalam KHA dirasa lebih tepat.
Sedangkan dalam hukum Islam batasan anak di bawah umur terdapat
perbedaan penentuan. Menurut hukum Islam batasan itu tidak berdasarkan
hitungan usia, tetapi sejak ada tanda-tanda perubahan badania baik bagi di
anak laki-laki, demikian pula bagi anak perempuan. Sedangkan dalam
masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, ditetapkan batasan
umur 16 tahun atau 18 tahun ataupun usia tertentu yang menurut
45
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen Sosial RI, Ibid, h. 14.
42
perhitungan pada usia itulah si anak bukan lagi tergolong anak di bawah
umur, tetapi sudah dewasa. 46
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan
anak disebutkan bahwa anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21
tahun dan belum pernah kawin masih tergolong anak di bawah umur.
sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan memberikan batasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua
atau dibawah perwalian sebelum mencapai 18 tahun masih tergolong anak
di bawah umur. dalam Undang-Undang pemilu yang dikatakan anak di
bawah umur adalah belum mencapai usia 17 tahun, sedangkan dalam
konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak memberikan batasan anak di bawah
umur adalah di bawah umur 18 tahun.
2. Kewajiban dan Tanggung Jawab Anak
Sebelum penulis menjelaskan tentang kewajiban seorang anak terlebih
dahulu akan di jelaskan tentang pengertian kewajiban itu sendiri. Kewajiban
adalah segala yang harus kita penuhi sebelum kita menuntut hak. seorang
anak selain memiliki kewajiban, juga memiliki tanggung jawab baik itu
terhadap dirinya, keluarganya, masyarakat, bangsa dan negaranya. Dalam
Undang-Undang perlindungan anak pasal 19 dijelaskan tentang kewajiban
seorang anak, yaitu :
(1) Menghormati orang tua, wali, dan guru;
46
Bibik Nurudduja.t. t.th.
43
(2) Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
(3) mencintai tanah air, bangsa dan negara;
(4) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya;
(5) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. 47
Sedangkan tanggung jawab seorang anak adalah tanggung jawab
terhadap dirinya sendiri seperti memelihara diri dari segala gangguan yang
mungkin membahayakan keselamatannya. Tanggung jawab terhadap kedua
orang tuanya seperti menghormati dan menghargai kedua orang tuanya, guru,
keluarga, masyarakat. Sedangkan tanggung jawab terhadap bangsa, negara
dan agamanya adalah menghargai para pahlawan yang telah gugur dalam
mempertahankan bangsa dan negara Indonesia, sedangkan tanggung jawab
untuk agamanya adalah seorang anak harus betul-betul mempelajari ajaran
agama agar supaya mereka dapat memahami dan mengamalkan ajaran
agamanya. Tanggung jawab lain seorang anak terhadap agamanya dalam
bentuk melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, berakhlak dan
beretika baik
3. Kategori Kejahatan Asusila terhadap Anak di bawah Umur
Bentuk-bentuk kejahatan dan kekerasan yang dialami oleh anak-anak
dilakukan dengan fokus di empat arena dimana anak-anak banyak
menghabiskan waktunya yakni di rumah, sekolah, tempat kerja dan tempat
47
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. (Cet. I;
Bandung : Citra Umbara, 2003), h. 11.
44
umum. Dari hasil penelitian oleh Lembaga Perlindunga Anak (LPA) di kota
Makassar menemukan bahwa jenis-jenis kekerasan yang dialami oleh anakanak dibedakan menjadi tiga, yakni kekerasan mental (mental abuse),
kekerasan fisik (physical abuse), dan kekerasan seksual (sexual abuse). Jenis
kekerasan fisik atau physical abuse adalah jenis kekerasan yang paling banyak
dialami oleh anak-anak, disusul kemudian dengan kekerasan mental dan
kekerasan seksual, tetapi yang menjadi pokok pembahasan penulis adalah
kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Berbagai macam bentuk kekerasan dan kejahatan yang dilakukan oleh
orang dewasa terhadap anak-anak di bawah umur merupakan sebuah
fenomena sosial yang tidak terwujud begitu saja atau berdiri sendiri dalam
suatu masyarakat. Fenomena sosial-budaya semacam ini merupakan bentuk
kekerasan dan bentuk kejahatan terhadap anak yang muncul dalam suatu
masyarakat tertentu yang memiliki unsur-unsur pendukung bagi keberadaan
gejala kekerasan dan kejahatan tersebut.
Bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang terjadi pada anak-anak
dan si pelaku banyak tergantung pada kontek atau setting tempat yang
memungkinkan terjadinya tindak kekerasan dan kejahatan terhadap anakanak di bawah umur. Tindak kekerasan dan kejahatan yang dimaksud adalah
setiap perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau tubuh/fisik
menjadi tindak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini biasanya berupa
kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau
45
kemarahan. Keadaan fisik tidak nyaman bisa berupa lecet, luka, memar, patah
tulang, dan sebagainya.
Jenis-jenis kejahatan/kekerasan yang terjadi pada anak di bawah umur
dapat dibedakan kedalam tiga kategori yaitu kekerasan/kejahatan mental
(mental abuse), kejahatan atau kekerasan fisik (physical abuse) dan kekerasan
atau kejahatan seksual (sexual abuse). Tetapi yang menjadi bahan kajian
utama penulis adalah kekerasan seksual (sexual abuse).
Setiap jenis kekerasan terdiri dari berbagai macam bentuk kekerasan
dan kejahatan, dan bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang pernah
dialami oleh para korban berbeda-bedasa seperti perlakuan tidak senonoh,
perayuan, pencolekan, pemaksaan onani, oral seks, anal seks dan
pemerkosaan adalah bentuk kekerasan dan kejahatan yang sering dialami oleh
anak-anak di bawah umur. Rumah dan sekolah adalah merupakan tempat bagi
anak-anak paling banyak melewati waktunya sehari-hari. Di tempat-tempat
inilah anak-anak semestinya tidak memperoleh tindak kekerasan khususnya
tindak kekerasan asusilah. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Hal ini
tampaknya tidak terlepas dari kenyataan lain bahwa rumah dan sekolah adalah
tempat anak-anak memperoleh pendidikan dan dibentuk serta disiapkan untuk
menjadi warga masyarakat yang dapat diterima oleh masyarakatnya, dan di
situlah mereka mengalami proses pendisiplinan, yang kadang-kadang berubah
menjadi tindak kekerasan yang tidak pada tempatnya.
46
Dalam soal kekerasan seksual seorang anak seringkali mengalaminya
di dalam rumah, sekolah, tempat umum. Di dalam lingkungan keluarga atau
rumah seringkali terjadi bentuk kekeran seksual terhadap anak di bawah umur
sebab hal ini memungkinkan para pelaku tindak kekerasan terhadap anak
merasa lebih leluasa melampiaskan hawa napsunya seperti melakukan
pemerkosaan, pencabulan, dan mencolekan serta pemelukan secara paksa
seperti yang banyak diberitakan lewat siaran-siatan TV di Indonesia, seorang
ayah melakukan pemerkosaan terhadap anak kandungnya sendiri, seorang
kakek memperkosa cucunya, dan bahkan seorang pamam tega melakukan
pemerkosaan terhadap keponakannya.
Sedangkan dalam lingkungan selokah bentuk kekerasan yang dialami
oleh anak di bawah umur adalah berupa kekerasan mental, kekerasan fisik dan
kekerasan seksual. Kekerasan mental yang dialami oleh seorang anak
kebanyakan adalah pemberian hukuman oleh guru akibat melanggar aturan di
sekolah. Sedangkan kekerasan fisik sering terjadi akibat dianggap telah
melanggar aturan dan tidak bersedia memenuhi perintah. Ada juga kekerasan
fisik yang disebabkan oleh tindakan iseng dan juga akibat tindakan
kriminalitas.
Di samping itu ada beberapa asumsi penting yang terkandung dalam
perspektif semacam ini. Asumsi pertama, adalah bahwa berbagai macam
bentuk kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak
merupakan sebuah fenomena sosial yang tidak terwujud begitu saja atau
47
berdiri sendiri dalam suatu kekosongan. Sebaliknya, sebagaimana fenomena
sosial budaya, berbagai macam bentuk kekerasan terhadap anak muncul
dalam suatu konteks sosial-budaya tertentu yang memiliki unsur-unsur
pendukung bagi keberadaan gejala kekerasan tersebut. Asumsi kedua, bentukbentuk kekerasan yang terjadi pada anak-anak dan pelakunya sedikit banyak
tergantung pada konteks atau setting tempat terhadinya kekerasan itu sendiri.
Oleh karena itu, bukan hanya ciri dan sifat pelaku kekerasan yang perlu kita
ketahui, tetapi juga tempat terjadinya kekerasan itu sendiri. Tanpa
pengetahuan tentang setting ini, penanganan berbagai bentuk kekerasan
terhadap anak-anak tidak akan mencapai hasil yang optimal. Asumsi ketiga,
setiap individu pada dasarnya telah pernah menjadi korban dari satu atau lebih
bentuk kekerasan, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial,
makhluk yang selalu berada dalam berbagai interaksi dan relasi dengan
individu-individu yang lain, dan dibesarkan dalam suatu kelompok atau
golongan sosial tertentu, dengan pola budaya tertentu pula. Dalam proses
sosialisasi di tengah-tengah individu lain inilah, manusia bekerjasama, tetapi
sekaligus juga bersaing dengan yang lain untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Persaingan akan menghasilkan pihak yang menang dan kalah, dan di
sini bisa terjadi berbagai bentuk tindak kekerasan dari satu individu terhadap
individu lain yang lebih lemah. Setiap individu pada dasarnya telah
mengalami situasi semacam ini, sehingga setiap orang pada dasarnya telah
pernah menjadi korban tindak kekerasan tertentu.
48
Tindak kekerasan di sini diartikan sebagai setiap perilaku yang dapat
menyebabkan keadaan perasaan atau tubuh (fisik) menjadi tidak nyaman.
Perasaan tidak nyaman ini bisa berupa: kekhawatiran, ketakutan, kesedihan,
ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan, sedangkan keadaan fisik tidak
nyaman bisa berupa: lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya.
Ringkasnya hal-hal yang di anggap secara fisik menyakitkan atau tidak enak.
Berkenaan dengan soal kekerasan/kejahatan, dan sebagaimana yang
penulis telah uraikan dalam bab sebelumnya mengenai metode pengumpulan
data yang di gunakan yakni metode kualitatif, maka aspek kualitatif dari
fenomena ini menjadi lebih penting untuk diketahui dari pada aspek
kuantitatifnya, karena kekerasan ini punya akibat terhadap kualitas kehidupan
manusia itu sendiri. Bukanlah satu kasus seorang anak yang diperkosa
ayahnya sampai mati sudah cukup menjadi alasan untuk melakukan tindakan
pencegahan agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi pada anak yang lain?
Masihkah kita harus menunggu hingga korban seperti itu mencapai sekian
persen dari jumlah penduduk? Tentu jawabanya tidak. Menunda langkah
pencegahan atas tindakan yang tidak manusiawi hanya karena soal kuantitas
merupakan langkah yang sangat berlawanan dengan hakekat kemanusiaan itu
sendiri.
E. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
49
Permasahan kehidupan anak sangatlah kompleks dan rumit, situasi penuh
ancaman dari kehidupan, serta berbagai bentuk depresi sosio-ekonomi, kultural
dan psikologikal, semua faktor tersebut sangat mempengaruhi perkembangan
pola perilaku dan kematangan mental emosional seorang anak. Sampai saat ini
khususnya anak korban asusila, penangannya belum menjadi prioritas utama
dalam pembangunan. Hal ini dengan masih banyaknya pemberitaan di media
massa mengenai pelangaran-pelangaran terhadap hak-hak anak tersebut. Bahkan
seringkali masalah-masalah sosial menjadi urusan kedua setelah masalah-masalah
ekonomi. Dalam menghadapi problema sosial, kiprah pemerintah seringkali
cenderung terlambat penanganannya.
Pentingnya pemberian perlindungan hukum bagi anak, baru disadari
pemerintah pada sekitar tahun 1997 dengan lahirnya Surat Keputusan Menteri
Sosial RI No: 81/huk/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak.
Namun dengan persiapan yang sangat lama tersebut, menjadikan kebijakan yang
diambil terkesan sangat lambat dan terlalu birokratis. Anak adalah bagian dari
generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dari
penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki ciri dan sifat khusus
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan
dan perkembngan fisik, mental sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.
Kejahatan
terhadap
kesusilaan
pada
umumnya
menimbulkan
kekhawatiran /kecemasan khususnya orang tua terhadap anak wanita karena
selain dapat mengacam keselamatan anak-anak wanita (misalnya: perkosaan,
50
perbuatan cabul) dapat pula mempengaruhi proses pertumbuhan ke arah
kedewasaan seksual lebih dini.
Perihal tindak asusila terhadap anak ini telah diatur dalam Pasal 81 ayat
(1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlingdungan Anak. Secara eksplisit
Pasal 81 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, maka dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Kemudian dalam ayat (2) ditegaskan
bahwa seseorang yang melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan persetubuhan juga dikenakan ketentuan
sebagaimana ayat (1). 48
Di pilihnya tindak pidana asusila terhadap anak sebagai obyek dalam
penulisan ini karena kejahatan kesusilaan bukan saja ‘melecehkan’ norma-norma
kesusilaan yang erat hubungannya dengan ajaran agama tetapi juga, karena
kejahatan terhadap kesusilaan akan mengakibatkan penderitaan kejiwaan yang
berkepanjangan pada si korban. Sehingga kejahatan dibidang kesusilaan ini selalu
memperoleh perhatian yang besar dari masyarakat. Sementara bagi wanita yang
dibawah umur secara garis besar trauma pasca-perkosaan dapat menimbulkan
pengaruh antara lain: untuk usia di atas 6 tahun, yang paling umum adalah terjadi
kegelisahan, mimpi buruk, dan perilaku seksual menyimpang. Pada usia 7-12
tahun, akibat yang di timbul adalah ketakutan, menjadi agresif, neurotik berupa
48
Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 81.
51
main boneka, mastrubasi berlebihan, meminta orang lain melakukan rangsangan
seksual dan memasukkan benda ke genital ataupun anal. Bisa juga menimbulkan
gangguan mental atau mengalami keluhan-keluhan fisik. Sikap seksualnya juga
bisa menjadi begitu bebas, berkecenderungan senggama dengan siapa saja
(promiscuity). Perkosaan pada anak memang amat berakibat pada masa depan
sang anak. Kewaspadaan akan pergaulan orang dewasa di sekitar anak, tidak
memandang masih paman, atau kakek dan sebagai adalah amat diperlukan.
Simaklah angka yang disodorkan oleh Komisi Nasional Perlindungan
Anak. Dua tahun lalu, kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ada 500 kasus,
pada 2005 jumlahnya naik 40 persen, mencapai sekitar 700 kasus. Sebanyak 68
persen kekerasan dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Kejadian yang tidak
dilaporkan diperkirakan jauh lebih banyak. Sebetulnya sudah cukup lengkap
aturan hukum yang melindungi anak-anak. Selain memiliki Undang-Undang No.
4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan mempuyai Undang-Undang No. 23/2002
tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang terakhir, anak-anak berusia di
bawah 18 tahun mendapat perlindungan dari berbagai bentuk eksplotasi dan
kekerasan. Jagankan penganiaya anak sendiri, orang yang menelantarkan anak
orang lain sehingga menjadi sakit atau menderita pun bisa di penjara lima tahun.
Hanya prakteknya tidak gampang memperkarakan orang tua yang melakukan
kekerasan fisik terhadap anaknya. Anak yang jadi korban penganiayaan atau
52
kekerasan seksual biasanya belum mampu atau tidak berani melapor ke polisi.
Akibatnya banyak kasus yang baru terungkap setelah anak tewas. 49
Perlakuan salah terhadap anak, dibagi menjadi dua golongan besar: berasal
dari dalam keluarga dan berasal dari luar lingkungan keluarga.
1. Dalam Keluarga, Berupa :
a. Penganiayaan fisik, berupa cacat fisik sebagai akibat hukuman badan di
luar batas, kekejaman atau pemberian racun.
b. Kelalaian,
merupakan
perbuatan
yang
tidak
disegaja
akibat
ketidaktahuan atau akibatan kesulitan ekonomi, meliputi: pemeliharaan
yang kurang memadai, yang dapat mengakibatkan gagal tumbuh
(failure to thrive), anak merasa kehilngan kasih sayang, ganguan
kejiwaan, keterlambatan perkembangan; pengawasan yang kurang,
dapat menyebabkan anak mengalami resiko terjadinya trauma fisik dan
jiwa; kelalaian dalam mendapatkan pengobatan, misalnya tidak
mendapat imunisasi; dan kelalaian dalam pendididikan meliputi
kegagalan dalam mendidik anak untuk mampu beriteraksi dengan
lingkungannya, gagal menyekolahkannya atau menyuruh anak mencari
nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
c. Penganiayaan emosional. Berupa kecaman dengan kata-kata yang
merendahkan anak, atau tidak mengakui anak. Sering pula berlanjut
pada
49
melalaikan
anak,
http://campus-student.blogspot.com.
mengisolasinya
dari
lingkungan,
atau
53
menyalahkan anak secara terus menerus. Biasanya diiringi pula dengan
penganiayaan dalam bentuk lain.
d. Penganiayaan seksual. Berupa melakukan aktivitas seksual dihadapkan
ataupun pada anak baik dengan bujukan maupun rayuan.
e. Sindrom munchusen. Merupakan permintaan pengobatan terhadap
penyakit yang di buat-buat dan pemberian keterangan palsu baik untuk
mencari keuntungan maupun berupa tindakan neurotik.
2. Di Luar Keluarga, Berasal dari: satu institusi atau lembaga tempat kerja, di
jalan dan bisa juga dari medan perang.
Dari uraian tersebut di atas penyusun bermaksud mengakaji UU No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kemudian mencoba dengan kaca
mata Islam, apakah sesuai dengan hukum Islam atau tidak. Hal ini dirasa
sangat perlu karena menyangkut kelangsungan hidup manusia terutama anak.
BAB III
ANALISA YURIDIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PUTUSAN HAKIM No. 054 /PID /B/ 1997/PN. JAKBAR.
A. Perkosaan Menurut Hukum Islam dan KUHP
1. Perspektif Hukum Positif
Mengenai apa sesungguhnya perkosaan itu, dalam beberapa pengertian
patut dikemukakan disini. Ada yang mendefinisikan perkosaan sebagai
“perkosaan seksual” yaitu tindakan seseorang yang memaksa orang lain untuk
melakukan hubungan seksual, sedangkan korban perkosaan adalah orang
yang telah dipaksa untuk melakukan hubungan seksual. Melihat arti
perkosaan dari dua kamus diatas terlihat bahwa perkosaan diartikan dengan
sangat luas, bahkan juga tidak dinyatakan batasan siapa pelakunya, siapa
korbannya
dan
dilakukan
dengan
cara
bagaimana,
tidak
menutup
kemungkinan jika korbannya adalah pria, atau seorang isteri, tetapi yang jelas
perbuatan itu dilakukan dengan paksaan dan dengan kekerasaan, bukan
dengan bujukan. 1
Sementara itu menurut perumusan yang berlaku dalam KUH Pidana
pasal 285, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH mengenai arti dari perkosaan
1
Pusat Komunikasi Kesehatan Prespektif Gender, Mengapa Anda Peduli Dengan
Korban Perkosaan, (Jakarta, 1995),h.2.
54
55
ia melihat terlebih dahulu istilah “Verkrachting”, 2 menurutnya terjemahan
dalam bahasa Indonesia “verkrachting” adalah perkosaan, tapi terjemahan ini
meskipun hanya mengenai nama suatu tindak pidana, tidak tepat karena bagi
orang Belanda “verkrachting” ini berarti “perkosaan untuk bersetubuh”.
Sedang dalam bahasa Indonesia kata perksoaan sama sekali belum
menunjukan sama sekali pengertian perkosaan untuk bersetubuh. Maka
menurut pendapat Wirjono, sebaiknya kualifikasi tindak pidana dari pasal 285
KUHP tersebut harus “perkosaan untuk bersetubuh”. 3
Dalam KUHP merumuskan kejahatan perkosaan pada pasal 285 yang
berbunyi adalah “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum
karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas
tahun”. 4
Dari peraturan ini dapat ditarik beberapa pengertian sebagai berikut :
a. Korban kejahatan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek)
sedangkan ada juga seorang laki-laki yang diperkosa wanita.
2
Verkrachting diambil dari bahasa Belanda terjemahan dalam bahasa Indonesia
adalah berupa tindakan pemaksaan terhadap seorang wanita untuk melakukan hubungan seks
diluar perkawinan atau perkosaan.
3
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung :
eresco, 1986),h. 117.
4
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Jakarta : PT Bumi
Aksara, 2001), Cet.ke 2,h. 105.
56
b. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini
berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan
tindakan perlakuan korban.
c. Persetubuhan diluar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai
dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap
wanita tertentu. 5
Jadi jelas kejahatan perkosaan adalah suatu tindakan dengan kekerasan
atau ancaman serta pemaksaan kepada seorang wanita untuk melakukan
persetubuhan di luar perkawinan.
2. Perspektif Hukum Islam
Dalam konteks hukum pidana Islam ternyata istilah perkosaan sulit
dicari padanya namun dapat dikatakan sebagai zina dengan paksaan. Maka
penulis akan mencoba terlebih dahulu memaparkan definisi paksaan sebagai
pengantar kearah rumusan yang tepat tentang pengertian perkosaan dalam
Islam.
Kata paksaan dalah bahasa arab dikenal sebutan dengan al-ikrah (‫)اﻹآﺮاﻩ‬
asal pengambilan kata tersebut adalah
‫ف َو‬
ِ ‫ﻀ ّﻢ ِاﻟ َﻜﺎ‬
َ ‫ل آﺮْ ًهﺎ ِﺑ‬
ُ ‫ﺐ ُﻳﻘﺎ‬
ٍ ‫ب ﺗ َﻌ‬
ٍ ‫ﺧﻮْذ ٌ ِﻣﻦْ ِآ َﺮا َه ِﺘ ِﻪ أآْ َﺮ ُه ُﻪ ِﻣﻦْ َﺑﺎ‬
ُ ‫اﻹآ َﺮا ُﻩ َﻣﺄ‬
6
5
‫ﺣ ﱠﺒ ِﺘ ِﻪ‬
َ ‫ﺿ ﱡﺪ‬
ِ ‫ﺤﺎ‬
ً ْ‫ﻓﺘ‬
Arif Gosita, Relevansi viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban
Perkosaan, (Jakarta : Ind Hill-Co, 1997), Cet-1,h. 12-13.
6
Muhammad Bin Abi Bakar Al-Razi, Mukhtar Al-Shihah, (Mesir : Isa Al-Babi AlHalabi),h.567.
57
Artinya : al-ikrah (
‫اﻹآﺮاﻩ‬
= paksaan) berasal dari kata ‫آﺮﻩ = آﺮهﺎ‬
yang
mendapat tambahan hamzah sehingga menjadi ‫ أآﺮﻩ =اآﺮاهﺎ‬yang berarti
membenci sesuatu.
Dalam perbuatan ikrah (paksaan) terkandung sikap ketidaksenangan
dan ketikrelaan pada diri orang yang dipaksa dalam melakukan perbuatan,
sebagaimana uraian berikut :
7
‫ﻋ ِّﻨﻰ ﻗﺎ َم ِﺑﺎﻟﻤْﻜ ُﺮوْ ِﻩ ُﻳﻨﺎﻓﻲ‬
َ ‫ َواﻟﻜﺮْ ُﻩ‬.‫ﻞ اﻣْﺮٌ َآﺮْ ُه ُﻪ‬
ِ‫ﻋ‬
ِ ‫ﻞ اﻟ َﻔﺎ‬
ُ‫ﺣ‬
َ ‫اﻹآ َﺮا ُﻩ ِﻓﻰ اﻟﻠﻐَ ِﺔ ُه َﻮ‬
Artinya : “ikarah menurut bahasa adalah memaksa orang untuk melakukan
sesuatu perbuatan yang tidak disenanginya, sedangkan kata alkurhu berarti sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang
dipaksa tanpa adanya rasa senang dan rela”.
Kata ikrah ( ‫ ) إآﺮاﻩ‬ditemukan dalam al-qur’an pada beberapa ayat
dengan arti paksaan, seperti pada ayat-ayat sebagai berikut :
☺
☺
☺
7
H),h.125.
Musfir Garm Allah Al-Damini, Al-Jinayat Baina Al-Fiqh, (Ryad : Dar Thaibah, 1402
58
Artinya : “………… dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu
melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan
kesucian …….dan barang siapa yang memaksa mereka, maka
sesungguhnya Allah maha pengampuan lagi maha penyayang
(kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu) ). (Q.S : An-Nurr
/24:33).
Adapun pengertian al-ikrah secara terminologi adalah :
‫ﻰ‬
َ ‫ﻋﻠ‬
َ ‫ﻋﺎ ﻓ ُﻴﻘ ﱢﺪ ُم‬
ً ْ‫ﺷﺮ‬
َ ْ‫ن َﻃْﺒ ًﻌﺎ او‬
ُ ‫ﺴﺎ‬
َ ْ‫ﻹﻧ‬
ِ ‫ﻰ َﻣﺎ َﻳﻜْ َﺮ ُﻩ ا‬
َ ‫ﻋﻠ‬
َ ‫ﻹﺟْ َﺒﺎ ُر‬
ِ ‫اﻹآْ َﺮا ُﻩ ُه َﻮاْﻹﻟ َﺰا ُم َوا‬
9
‫ﺿ ﱞﺮ‬
َ ‫ﺿﺎ َو ِﻟ َﺮﻓْ ِﻊ ُه َﻮ‬
َ ‫ﺿﺎ َواﻟ ﱢﺮ‬
َ ‫ﻋ َﺪ ِم اﻟ ﱢﺮ‬
َ
Artinya :Al-ikrah berarti memaksa seorang untuk melakukan suatu perbuatan
yang tidak disenanginya baik menurut tabiat kemanusian ataupun
menurut petimbangan Syara’, sehingga orang tersebut
melakukannya tanpa didasari kerelaan demi menghindari dari
suatu yang berakibat lebih berbahaya lagi.
Dari definisi diatas tampak sekali unsur ketidakrelaan pada diri orang
yang dipaksa itu, dalam berbagai definisi ikrah (paksaan) yang penulis
tampilkan diatas dapat terlihat dengan jelas bahwa dalam perbuatan paksaan
paling tidak terdapat empat unsur yang dominan yaitu :
1. Orang yang melakukan pemaksaan
2. Orang yang dipaksa melakukan perbuatan yang dikehendaki si
pemerkosa
8
9
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim,h.515.
Ali Bin Muhammad Syarif Al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat, (Beirut),h. 34.
59
3. Ancaman yang diberikan oleh sipemaksa kepda orang yang
dipaksa
4.
Ucapan atau perbuatan yang dipaksakan dan dilarang oleh Syara’
Memperhatikan keempat unsur sebagai syarat mutlak dapat terjadinya
sesuatu peristiwa pemaksaan ini, maka masing-masing unsur diatas harus
pula memenuhi syarat. Pertama sipemaksa hendaknya orang yang
mempunyai kekuatan untuk memaksakan kehendaknya, kedua orang yang
dipaksa betul-betul tidak rela dan tidak ikhlas melakukan perbuatan yang
dipaksakannya itu, namun ia tidak mampu melawan kehendak sipemaksa.
Ketiga intimidasi dengan ancaman yang dapat membahayakan keselamatan
nyawa atau terpisahnya anggota badan orang yang dipaksa atau bahkan
bentuk-bentuk siksaan yang lebih ringan dari itu seperti dengan cara
mengikat atau mengurung. Keempat perbuatan atau ucapan yang
dipaksakan itu termasuk perbuatan yang dilarang oleh Syara’. Dalam hal ini
yang penulis maksudkan adalah perbuatan yang dikatagorikan sebagai
jarimah hudud.
Maka dengan terpenuhinya empat unsur paksaan yang telah
dipaparkan di atas, mengakibatkan orang lain dengan terpaksa menyerahkan
kehormaannya tanpa mampu mengelak. Jenis paksaan ini semacam ini
dalam bahasa Indonesia mempunyai istilah khusus yakni perkosaan seksual.
Dengan demikian perkosaan seksual dalam bahasa arab adalah al-ikraaha fi
zina paksaan untuk melakukan perbuatan zina.
60
B. Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan
Dalam pedoman pelaksanaan KUHP diaktakan bahwa “tujuan dari hukum
acara untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran mataeril….”. Dengan berpegang pada tujuan tersebut (menemukan
kebenaran materil), maka akan timbul suatu hal yang amat penting tetapi
sekaligus sukar, yaitu bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran materil
itu. 10
Menurut Panitera Muda Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Barat11
“Sistem pembuktian dalam mengungkapkan kasus perkosaan di muka
sidang pengadilan sama dengan yang lainnya yaitu adanya bukti-bukti,
saksi atau barang bukti (material) dan resume (kumpulan hasil) dari para
dokter yang menangani masalah ini dan Visum Et Refertum yang dibuat
oleh dokter kehakiman atau dokter puskesmas”.
Menemukan kebenaran materil itu tidaklah mudah, karena peristiwa atau
kejadian yang sebenarnya tejadi pada masa lalu atau berselang. Makin lama
waktu berselang akan makin sulit bagi hakim untuk menemukan kebenaran
materil dan menjatuhkan keputusan suatu keputusan. Dalam perihal pembuktian
ini merupakan bagian yang terpenting dari tiap-tiap proses pidana, karena hal ini
tergantung apakah terdakwa akan dinyatakan bersalah atau tidak.
10
11
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, h. 108.
Wawancara pribadi dengan Tarmuji, Panitera Muda Hukum PN Jak-Bar, 6 Januari 2010
61
Dalam kitab Undang-undang hukum acara pidana maupun HIR terdapat
persamaan dalam cara menggunakan alat bukti yakni sistem negatif menurut
Undang-undang yang termuat dalam pasal 183 KUHAP dan pasal 294 ayat (1)
HIR. 12
Menurut Wirjono Prodjodikoro, mengenai sistem yang dianut oleh hukum
acara pidana Indonesia adalah bahwa sistem pembuktian secara negatif tetap
dipertahankan karena terdapat dua alasan :
1. Selayaknya hakim harus mempunyai keyakinan terhadap kesalahan
terdakwa dalam menjatuhkan hukuman pidana dan jangan terpaksa
memidana seseorang tanpa keyakinannya.
2. Bermanfaat sekali jika ada aturan yang mengikat hakim dalam
menyusun kayakinannya, agar ada ukuran-ukuran tertentu yang harus
diturutinya dalam melakukan peradilan. Di samping memudahkan
adanya kesatuan dalam peradilan dan kepastian hukum dalam
masyarakat.
Adapun yang terkandung dalam pasal 183 KUHAP ialah :
1. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah
2. Dengan dasar alat bukti yang sah, hakim yakin bahwa :
a. tindak pidana telah terjadi dan ;
b. terdakwa telah bersalah
12
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1989), Cet.ke-1,h. 13.
62
Sedangkan alat-alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP ialah :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Jika dibandingkan dengan alat bukti dalam HIR, maka ada penambahan
alat bukti baru, yaitu keterangan ahli. Selain dari pada itu ada perubahan alat
bukti yang dengan sendirinya maknanya menjadi lain yaitu “pengakuan
terdakwa” menjadi “keterangan terdakwa”. 13
Dengan demikian maka dalam proses penyidikan tindak pidana,
penyidikan harus dapat menemukan sekurang-kurangnya terdapat dua alat
bukti yang sah sebagaimana yang tersebut diatas. Hal tersebut juga didukung
dengan adanya barang bukti lainnya yang dapat memberikan keyakinan
kepada hakim atau terjadinya tindak pidana tersebut.
Dalam penyelidikan tindak pidana kesusilaan dan pelecehan seksual
masalah pembuktian untuk memenuhi unsur-unsur terhadap perbuatan yang
dituduhkan ini merupakan pekerjaan yang cukup rumit. Hal ini dikarenakan
tidak adanya saksi yang mengetahui secara langsung atas perbuatan yang
13
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta : Arikha Media Cipta,
1993),h.306.
63
dilakukan, serta tidak ada barang bukti yang mendukung atas perbuatan
tersebut.
Pada umumnya, tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh dilakukan
pelaku tidak disaksikan orang lain kecuali perempuan yang menjadi korban
dan laki-laki sebagai pelaku. Jadi hanya perempuan inilah yang dapat
memberikan
keterangan atau kesaksian. Tetapi apa yang diucapkan
perempuan itu belum tentu benar dan dapat dipercaya, atas berdasarkan
keterangna perempuan itu saja terdakwa tidak dapat putus bersalah,kecuali
jika terdapat alat bukti lain yang memperkuatnya. Akan halnya keterangan
terdakwa yang berupa pengakuan seluruhnya, pada umumnya tidak akan
diberikan secara logis karena akan merugikan dirinya sendiri.
Dalam kasus perkosaan ini penyidik dapat dibantu oleh tenaga ahli
diantaranya adalah dokter forensic. Tenaga ahli inilah yang akan membuat
keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti dalam pembuktian tindak pidana
kesusilaan.
Keterangan ahli menurut pasal 186 KUHAP ialah apa yang seorang
ahli nyatakan di sidang pengadilan. Namun demikian keterangan ahli dapat
juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum
yang dituangkan dalam suatu laporan (Visum Et Repertum) dan dibuat dengan
mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
64
Dalam kasus perkosaan ini terdaat apa yang disebut dengan “saksi
diam”. “saksi diam” ini merupak obyek pemeriksaan kriminalsitik. Peranan
dan fungsi “saksi diam” dalam delik perkosaan sangat besar peranannya.
Dalam hal “saksi diam” berupa tubuh manusia yang hidup maupun
yang sudah mati, maka dokter forensic dimintakan bantuannya dalam
menerjemahkan “saksi diam” tersebut. Yang dilakukan “penerjemah dalam
membantu perkara tindak pidana perkosaan untuk membuktikannya adalah
adanya persetubuhan dan adanya kekerasan. 14
1. Pembuktian Adanya Persetubuhan
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa persetubuhan telah
terjadi apabila penis telah melewati batas depan vagina, tetapi kejadian
demikian dalam hal ini sanagt sulit dibuktikan dengan ilmu kedokteran
forensic karena bekas-bekasnya sangat tidak jelas.
a. Yang belum pernah bersetubuh (masih gadis)
Untuk memastikan adanya persetubuhan bagi yang masih gadis, robek
selaput dara bisa dipastikan adanya persetubuhan. Namun tidak semua
perempuan yang telah bersetubuh selaput daranya pecah, karena
keelastisan selaput darah itu sendiri. Selain itu penetrasi penis harus
disertai ejakuasi, karena ejakuasi inilah yang akan diperiksa dan
merupan tanda pasti adanya persetubuhan. 15
14
Handoko Tjonroputranto, Pokok-pokok Ilmu Kedokteran Forensik, jilid I,h. 1-5
Abdul Mun’im Idris, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, (Jakarta : Bina Rupa
Aksara, 1989),h. 172.
15
65
b. Yang sudah bersetubuh
Pada umumnya, disini tidak dipersoalkan lagi mengenai robeknya
selaput darah, akan tetapi lebih diperhatikan adanya ejakuasi dalam
liang vagina dimana hasil pemeriksaan terdapat dua kemungkinan
yaitu :
1. Tidak ditemukan adanya spermatozoa, hal ini dimungkinkan
oleh dua sebab ialah :
•
Memang tidak ada persetubuhan
•
Ada persetubuhan tetapi si pelaku mandul atau si pelaku
mencegahnya dengan koitus interuptus atau kondom. 16
2.Ditemukan spermatozoa
2. Pembuktian Adanya Kekerasan
Pada umumnya, pembuktian adanya kekerasan pada tubuh korban
sulit ditemukan oleh dokter, adapun lokasi yang sering ditemukan adalah
bagian muka (daerah mulut dan bibir), leher, buah dada dan bagian dalam
paha dan sekitar alat kelamin serta pergelangan tangan. 17
Akan tetapi tidak terdapat luka (akibat kekerasan) pada tubuh
perempuan tidaklah mutlak ia tidak mengalami perkosaan, karena bisa
saja perempuan diancam dengan kekerasan, pingsan atau tidak berdaya.
16
17
Ibid., h. 172-173
Ibid., h. 175
66
Maka permberian seperti obat bius atau obat tidur serta pengaruh alkohol
dan lain sebagainya dikatagorikan sebagai tanda adanya kekerasan.
Selain alat bukti yang telah diuraikan diatas, maka barang bukti dalam
tindak pidana kesusilaan merupakan faktor yang harus diperhatikan oleh
penyidik. Akan tetapi dalam tindak pidana kesusilaan penyidik sering kali
mengalami kesulitan dalam menemukan atau memperolah barang-barang
bukti, karena pada umunya cepat hilang atau mudah dihilangkan baik
secara sengaja maupun tidak sengaja.
Selama ini dalam praktek pembuktian vide pasal 285 KUHP, alat
bukti yang menentukan dalam kasus tindak pidana perkosaan adalah
keterangan ahli (Visum Et Repertum) dari seorang dokter ahli yang
ditunjuk menurut undang-undang. Selain harus adanya keyakinan hakim,
maka dengan mengacu kepada pasal 389 naskah tersebut, alat bukti yang
sangat menentukan adalah keterangan saksi korban mengenai semua
ikhwal yang mendukung bahwa selama terjadinya tindak perkosaan itu,
keterangan saksi korban ini harus dapat dibuktikan oleh jaksa penuntut
umum didepan muka sidang pengadilan.
Sedangkan pembuktian tindak pidana perkosaan menurut hukum
Islam dapat dimasukkan kedalam kategori zina yaitu hubungan seksual
diluar nikah. Dalam menghukum pelaku pekosaan dapat merujuk pada
dalil tentang hukuman zina. Karena kejahatan perkosaan secara tekstual
tidak terdapat hukumannya dalam al-qur’an dan hadits dengan mengacu
67
kepada hukuman zina. Para ulama fiqh berijtihad untuk menemukan
hukum perkosaan, tetapi tampaknya ada beberapa ganjalan dalam
menggunakan hukum zina untuk menghukumi perbuatan perkosaan.
Karena zina dilakukan suka sama suka, sedangkan dalam perkosaan
terdapat unsur pemaksaan terhadap korban. Hal ini berimplikasi bukan
hanya pada pembuktian, tetapi pemberian hukuman bagi pelaku
perkosaan.
Dalam fiqh jinayat, syarat dijatuhi sebuah hukuman (had zina)
tergantung pada sejumlah empat orang saksi laki-laki. Pendapat ini
berlaku bagi pendapat mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Bila
korban mengajukan gugatan tanpa didasari ke empat saksi tersebut, ia
bisa dihukum atas dasar menuduh seorang berzina tanpa bukti yang jelas.
Menurut Ibnu Hazam bahwa kesaksian yang kurang sempurna misalnya,
jumlahnya kurang dari empat atau ada saksi perempuan maka tidak dapat
menggugurkan gugatan atau membalikkan saksi menjadi tertuduh karena
melemparkan tuduhan tanpa bukti yang kuat. Selain kebolehan
perempuan menjadi saksi yang dibutuhkan adalah kesaksian bahwa
pebuatan itu benar-benar dilakukan walaupun tidak disaksikan oleh empat
orang saksi.
Syarat pembuktian zina, masih sulit diterapkan untuk menghukumi
kejahatan perkosaan. Karena pada kenyataanya, perkosaan merupakan
tindak kejahatan yang dilakukan secara tertutup untuk menghindari
68
kesaksian orang lain. Di dalam buku-buku fiqh klasik masalah perkosaan
tidak dibahas secara memadai. Biasanya hanya dikatakan bahwa orang
yang diperkosa bukanlah zina dan oleh karena itu tidak dapat dihukum
sebagai zina. Tetapi pembuktian dan hukuman terhadap pelaku tesebut
cendrung tidak dibahas.
Menurut Masikun, tentang pembuktian zina untuk dijadikan landasan
bagi pembuktian perkosaan adalah bahwa seorang hakim harus mendapatkan
empat orang saksi. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :
⌧
☺
⌧
18
Artinya :”Dan (terhadap) para perempuan yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberikan
persaksian, maka kurunglah mereka (perempuan-perempuan itu)
dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah
memberi jalan yang lain kepadanya”. (QS. An-Nisa/4 :15)
18
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim,h.108.
69
Selain mendengarkan kesaksian empat orang saksi, seorang hakim
juga harus mendengarkan pengakuan pelaku yang diulang sampai empat kali
sebagaimana yang dilakukan terhadap pengakuan Maiz bin Malik. 19
Bukti lainnya adalah adanya tanda kehamilan atau bukti keadaan
mengandung dari korban perkosaan. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits
riwayat Imam Muslim dan Imam Husa’in yang mengatakan bahwa praktek
Nabi Muhammad menerima adanya zina pada Ma’rufah al-Ghomidiyah
karena ada bukti kehamilan pada dirinya. Sedangkan menurut jumhur ulama
kehamilan diluar nikah tidak bisa digunakan sebagai alat bukti zina, alasan
mereka bahwa alat bukti untuk zina adalah pengakuan dan persaksian tidak
ada bukti lainnya.
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hakim
sebelum memutuskan perkara perkosaan harus membenarkan bukti kebenaran
perkosaan tersebut yaitu empat orang saksi atau pengakuan pelaku empat kali
ucapan atau bukti keadaan mengandung dari korban perkosaan. 20
Dengan demikian pembuktian terhadap tindak pidana perkosaan
hampir sama dengan pembuktian perzinahan. Walaupun pada prakteknya
keberadaan empat orang saksi pada dunia modern yang serba canggih pada
saat ini, salah satunya bisa berupa hasil foto kejadian atau rekaman video dan
19
Al-Imam Al-Kahlani, Subulus Salam, (Beirut : Dar-Furats al-Arabiy, 1960), juz
IV,h. 8.
20
Ibid., h. 11
70
lain-lain. Mengingat hal-hal diatas seorang hakim perlu meminta tenaga ahli
dibidang tersebut untuk menjelaskan kesaksian dari kejadian tersebut.
C. Sanksi Hukuman Bagi Pelaku Perkosaan
1. Menurut Hukum Islam
Sanksi hukuman perkosaan hanya dilimpahkan kepada pelaku
perkosaan saja ini sesuai dengan firman Allah :
☺
☺
☺
⌧
⌦
⌧
⌧
Artinya : …... :”Barang siapa dalam keadaan terpaksa, sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak melampui batas, maka ia tidak ada
dosa baginya”…. (Q.S Al-Baqarah / 2:173).
Berdasarkan dalil yang telah disebutkan terhadap orang yang
diperkosa tidak dibebankan sanksi hukuman kepadanya, hukuman hanya
dijatuhkan pada sipemerkosa saja yang telah melakukan perkosaan. Sanksi
hukuman bagi pezina dapat dapat dibebankan menjadi dua macam, yaitu
hukuman rajam dan hukuman dera dengan ditambah hukuman pengasingan.
a. Sanksi Rajam
21
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim,h.35.
71
Hukuman rajam bagi orang yang memperkosa, dalam bentuk lemparan
batu sampai orang yang memperkosa tersebut mati, pelemparan batu
dimaksudkan agar terpidana dapat merasakan kesakitan sedikit demi sedikit
dan juga berlangsung penyiksaan lebih lama. Hukuman rajam ini hanya
diberikan kepada orang yang muhsan.
Dari Sayyidina Umar Bin Khattab r.a :
‫ل‬
ُ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ﻰ ِﻣﻨْ َﺒ ٍﺮ َر‬
َ ‫ﻋﻠ‬
َ ٌ‫ﺟِﺎﻟﺲ‬
َ ‫ َو ُه َﻮ‬،‫ب‬
ُ ‫ﻄﺎ‬
َ‫ﺨ‬
َ ‫ﻦ اﻟ‬
ُ ْ‫ﻋ َﻤ ُﺮ ﺑ‬
ُ ‫ل‬
َ ‫ ﻗﺎ‬: ‫ل‬
ُ ْ‫س َﻳ ُﻘﻮ‬
ِ ‫ﻋ َﺒﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﻦ اﺑ‬
ِ‫ﻋ‬
َ
.‫ﻖ‬
‫ﺳﻠ َﻢ ﺑﺎﻟﺤَ ﱢ‬
َ ‫ﻋﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰا‬
‫ﺻﻠ ﱠ‬
َ ‫ﺤ ﱠﻤ َﺪ‬
َ ‫ﺚ ُﻣ‬
َ ‫ﷲ ﻗﺪْ َﺑ َﻌ‬
َ ‫نا‬
‫ إ ﱠ‬.‫ﺳﻠ َﻢ‬
َ ‫ﻋﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰا‬
َ ‫ﺻﻠ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ا‬
‫ﻏﻴْ َﻨﺎ َهﺎ‬
َ ‫ َﻗ َﺮَأﻧَﺎ َهﺎ َو َو‬.‫ﺟ َﻢ‬
َ ‫ﻋﻠﻴْ ِﻪ َا َﻳﺔ اﻟ ﱠﺮ‬
َ ‫ل‬
َ ‫ن ِﻣ ﱠﻤﺎ َاﻧْ َﺰ‬
َ ‫ ﻓﻜﺎ‬.‫ب‬
َ ‫ﻋﻠﻴْ ِﻪ اﻟ ِﻜﺘﺎ‬
َ ‫ل‬
َ ‫َوأﻧْ َﺰ‬
‫ل‬
َ ‫ انْ َﻃﺎ‬،‫ﺸﻰ‬
َ ْ‫ َﻓﺄﺧ‬.‫ﺟﻤْ َﻨﺎ َﺑﻌْ َﺪ ُﻩ‬
َ ‫ﺳﻠ َﻢ َو َر‬
َ ‫ﻋﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰا‬
َ ‫ﺻﻠ‬
َ ‫ل‬
ُ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ﺟ َﻢ َر‬
َ ‫ َﻓ َﺮ‬.‫ﻋﻘَﻠ َﻨﺎ َهﺎ‬
َ ‫َو‬
‫ك‬
ِ ْ‫ﻀﻠ ﱡﻮا ِﺑﺘﺮ‬
ِ ‫ َﻓ َﻴ‬.‫ﷲ‬
ِ ‫با‬
ِ ‫ﺟ َﻢ ِﻓﻰ ِآ َﺘﺎ‬
َ ‫ﺠ ُﺪ اﻟ ﱠﺮ‬
ِ ‫ َﻣﺎ َﻧ‬: ‫ﻻ‬
ً ‫ل ﻗﺎ ِء‬
َ ْ‫ َانْ َﻳ ُﻘﻮ‬،ٌ‫ﺑﺎﻟﻨﱠِﺎس َز َﻣﺎن‬
‫ﻦ‬
َ ‫ ِﻣ‬،‫ﻦ‬
َ‫ﺼ‬
َ ْ‫ﻰ َﻣﻦْ َز ِﻧﻰ ِاذا أﺣ‬
َ ‫ﻋﻠ‬
َ ‫ﻖ‬
‫ﺣﱞ‬
َ ‫ﷲ‬
ِ ‫با‬
ِ ‫ﺟ َﻢ ِﻓﻰ ِآﺘﺎ‬
َ ‫ن اﻟ ﱠﺮ‬
‫ َوا ﱠ‬.‫ﷲ‬
ُ ‫ﻀ ُﻪ اﻧْ َﺰَﻟ َﻬﺎ ا‬
َ ‫ﻓ َﻴ‬
(‫ف )رواﻩ اﻟﻤﺴﻠﻢ‬
ُ ‫ﻞ َاوْ اﻹﻋْ ِﺘ َﺮا‬
ُ ْ‫ﺤﺒ‬
َ ‫ن اﻟ‬
َ ‫ َاوْ َآﺎ‬،‫ﺖ اﻟ َﺒ ﱢﻴ َﻨﺔ‬
ِ ‫ ِا َذا ﻗﺎ َﻣ‬،‫ﺴﺎ ِء‬
َ ‫ل َو اﻟ ﱢﻨ‬
ِ ‫ﺟﺎ‬
َ ‫اﻟ ﱢﺮ‬
Artinya : “ Dari Ibnu Abbas r.a. berkata : telah Umar Ibn Khattab r.a sedang
ia duduk di mimbar Rasulullah SAW, sesungguhnya yang benar dan
diturunkan kepadanya (Muhammad) ialah kitab Al-Qur’an maka
sebagian yang diturunkannya itu adalah ayat rajam yang ayat itu
telah kami baca, kami pahami dan kami pikirkan maka saya
khawatir bila zaman telah lama atas manusia, kemudian ada yang
berkata dengan kata-katanya : kami tidak dapatkan ayat rajam
didalam kitab Allah SWT mereka tersesatlah lantaran
meninggalkan suatu kewajiban yang telah Allah turunkan, dan
sesungguhnya rajam dalam kitab Allah itu memang benar
dijatuhkan atas seseorang yang berzina apabila ia muhsan. Baik ia
laki-laki ataupun perempuan yaitu apabila telah kuat
72
keterangannya atau andai kata perempuan kelihatan bunting atau
oleh sebab adanya pengakuan”. (H.R. Muslim). 22
Dari keterangan Umar Ibnu Khattab dibuktikan dengan hadits berikut
bahwa pezina yang muhsan dihukum rajam.
‫ﺳﻠ َﻢ َو ُه َﻮ ِﻓﻰ‬
َ ‫ﻋﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰا‬
َ ‫ﺻﻠ‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫لا‬
ُ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ﺟﻞٌ َر‬
ُ ‫ﻰ َر‬
َ ‫ َأﺗ‬: ‫ل‬
َ ‫ﻋﻦْ َا ِﺑﻰ ُه َﺮﻳْ َﺮ َة َﻗﺎ‬
َ
‫ﻋﻠﻴْ ِﻪ‬
َ ْ‫ﻰ َر َدد‬
‫ﺣﺘ ﱠ‬
َ ‫ﻋﻨْ ُﻪ‬
َ ‫ض‬
َ ‫ﺖ َﻓﺄﻋْ َﺮ‬
ُ ْ‫ﷲ َا ﱢﻧﻰ َز َﻧﻴ‬
ُ ‫لا‬
ُ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ ﻳَﺎ َر‬: ‫ل‬
َ ‫ﺠ ِﺪ َﻓ َﻨﺎ َدا ُﻩ َﻓ َﻘﺎ‬
ِ ْ‫اﻟ َﻤﺴ‬
‫ﺳﻠ َﻢ‬
َ ‫ﻋﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰا‬
َ ‫ﺻﻠ‬
َ ‫ﻋﺎ ُﻩ اﻟ ﱠﻨ ِﺒﻰ‬
َ ‫ت َد‬
ٍ ‫ﺷ َﻬﺎ َد‬
َ ‫ﺴ ِﻪ ارْ َﺑ ُﻊ‬
ِ ْ‫ﻰ َﻧﻔ‬
َ ‫ﻋﻠ‬
َ ‫ﺷ َﻬ َﺪ‬
َ ‫ت َﻓﻠ ﱠﻤﺎ‬
ٍ ‫ارْ َﺑ ُﻊ َﻣ ﱠﺮا‬
‫ﺳﻠ َﻢ‬
َ ‫ﻋﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰا‬
َ ‫ﺻﻠ‬
َ ‫ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒﻰ‬
َ ‫ل َﻧ َﻌﻢْ ﻓﻘﺎ‬
َ ‫ﺖ ﻗﺎ‬
َ ْ‫ﺼﻨ‬
َ ْ‫ﻻ َﻓ َﻬﻞْ اﺣ‬
َ :‫ل‬
َ ‫ﺟ ُﻨﻮْنٌ ﻗﺎ‬
ُ ‫ﻚ‬
َ ‫ل ا َﺑ‬
َ ‫ﻓﻘﺎ‬:
(‫ﺟ ُﻤﻮْ ُﻩ )رواﻩ اﻟﻤﺴﻠﻢ‬
َ ْ‫ِاذهْ َﺒ ُﻮا َﻓﺎر‬
Artinya : “Dari Abi Hurairah r.a. mengabarkan seorang laki-laki telah
datang menghadap Rasulullah SAW, didalam masjid seraya berkata
ya Rasulullah sesungguhnya aku telah baerzina, mendengar
pengakuan itu Rasulullah kemudian berpaling, sehingga orang
tersebut mengulangi pengakuan sampai 4 kali, kemudian Nabi
SAW, mengambil sumpahnya setelah baersumpah 4 kali, kemudian
beliau berkata “: apakah kamu gila ? jawabnya : tidak! Apakah
anda sudah beristeri? Tanya Rasulullah SAW, ia menjawab : benar,
lalu menyuruh para sahabat bawalah ia pergi dan rajamlah ia”
(H.R. Bukhari). 23
Jadi hukum yang diberikan kepada pemerkosa yang sudah beristeri itu
dihukum dengan hukuman rajam sampai si pelaku menemui ajalnya.
b. Hukuman Dera / Jilid
22
Abi al-Husein Muslim Bin al-Hajaj al-Qusyairi al-Nay Sabury, Shahih Muslim,
(Dar Al-Ihya, al-Kutub Al-Arabiyah, 1918), juz III, h. 1317.
23
Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut :Dar Wa Mathabi alSyu’ab, tth), jilid III, h. 117.
73
hukuman jilid ini adalah hukuman cambukan sampai seratus kali, pada
pelaksanaan sanksi hukuman ini sama sekali tidak mempunyai motif
pembunuhan. Namun dalam pembunuhan ini tidak menutup kemungkinan
bahwa orang yang dihukum sebelum mencapai bilangan 100 pelaku bisa saja
mati terlebih dahulu. Hukum ini dijelaskan dalam firman Allah SWT :
☺
☺
☺
⌧
24
⌧
☺
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, dera lah tiaptiap dari keduanya seratus kali dera …. “(Q.S An-Nurr/24 : 2)
Hukuman dera ini berlaku bagi pemerkosa yang belum menikah atau
beristeri (ghaira muhsan) si pelaku pemerkosa karena perbuatannya harus
dijatuhi hukuman jilid 100 kali cambukan.
c. Hukuman Pengasingan (Internir)
Hukuman pengasingan ini adalah si pelaku pemerkosa dibuang kesuatu
tempat selama satu tahun lamanya. Hukuman ini adalah hukuman tambahan
24
Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim,h.504.
74
dari hukuman dera terhadap pelaku yang ghaira muhsan, ini berdasarkan
hadits Rasulullah SAW :
‫ َﻳﺄ ُﻣ ُﺮ ِﻓﻴْ َﻤﻦْ َز ِﻧﻰ‬: ‫ﺳﻠ َﻢ‬
َ ‫ﻋﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰا‬
َ ‫ﺻﻠ‬
َ ‫ﺖ اﻟ ﱠﻨ ِﺒﻰ‬
ُ ْ‫ﺳ ِﻤﻌ‬
َ :‫ل‬
َ ‫ﻖ ﻗﺎ‬
َ ‫ﺨِﺎﻟ‬
َ ‫ن اﻟ‬
‫ﻋﻦْ َزﻳْ ٍﺪ ا ﱠ‬
َ
25
(‫ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى‬.‫ﻋﺎ ٍم‬
َ ‫ﺐ‬
ٍ ْ‫ﺼﻦْ ِﻣﺎﺋﺔ ﺗﻐْ ِﺮﻳ‬
ِ ْ‫َﻟﻢْ ُﻳﺤ‬
Artinya : “Dari zaid bin khalliq berkata : bahwa saya telah mendengar dari
Nabi saw, beliau memerintahkan dalam perkara orang yang berzina
tidak muhsin agar diberi sanksi hukuman seratus kali dera dan
pengasingan satu tahun”. (H.R. Bukhari.
Dalam sanksi hukuman tambahan ini (hukuman pengasingan) para
fuqaha berbeda pendapat, yaitu : 26
1. Menurut Imam Malik : dalam hukuman pengasingan (buang) hukuman
dikenakan kepada laki-laki saja, sedang perempuan tidak ditimpahkan
hukuman tersebut atasnya.
2. Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal : menyetujui hukuman pengasingan
Salama satu tahun sebagai hukuman tambahan terhadap hukuman dera.
3. Imam Abu Hanifah : terhadap hukuman pengasingan sebagai hukuman
tambahan setelah pertimbangan hakim atau kebijaksanaannya yang
menangani perkara.
4. Sedang pendapat kebanyakan para ulama sebagaimana pendapat imam
Ahmad, yang juga diantaranya : imam Syafi’i, Al-Qurtubi, Atho, Thowus
25
Fauzan al-Anshari, Hukuman Bagi Pezina dan Penuduhnya, (Jakarta : Khairul
Bayan, 2002),h.21.
26
Asyahari’ Abd Ghafar, Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah
Hamil, (Jakarta : Grafindo Utama, 1987),h. 28-29.
75
dan para khulafa Rasyidin mengatakan perlunya diberikan hukuman dera
dan pengasingan bagi para pelaku yang tidak muhsan.
Melihat dari penjelasan diatas yang diberikan oleh fuqaha, maka pada
dasarnya seluruh ulama menyetujui hukuman pengasingan bagi pelaku lakilaki, selama satu tahun sebagai hukuman tambahan dari hukuman dera
terhadap seorang pelaku yang ghairu muhsan dalam hukuman yang akan
dijatuhkan kepada para pelaku harus terlebih dahulu diselidiki dan benarbenar dapat dibuktikan bahwa pelaku telah benar melakukan kejahatan dosa
besar ini, maka dalam hal ini dibutuhkan beberapa bukti agar hukuman dapat
diterapkan atau dijatuhkan terhadap pelaku.
2. Menurut Hukum Positif
Tindak pidana perkosaan atau “verkrachting” itu oleh pembentuk
undang-undang telah diatur dalam pasal 285 KUHP, yang rumusan aslinya di
dalam bahasa Belanda berbunyi sebagai berikut :
“Hij die door geweld of bedreiging met geweld eene vrouw dwingt met
hem buiten echt vleeselijke gemeenschap tehebbeb, world, als schuldig
aan verkachting, gesraf met gevangesisstraf van ten hoogste twaalf
jaren”.
Artinya :
“Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman akan
memakai kekerasan memaksa seseorang wanita mengadakan
hubungan kelamin diluar perkawinan dengan dirinya, karena bersalah
76
melakukan perkosaan dipidana dengan pidana penjara selamalamanya dua belas tahun”. 27
Sementara rumusan tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP
berbunyi :
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum
karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
belas tahun”.
Diancaman hukuman dalam pasal ini ialah dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya untuk
bersetubuh dengan dia. Pembuat undang-undang ternyata menganggap tidak
perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk
bersetubuh, bukanlah semata-mata karena paksaan seorang perempuan
terhadap laki-laki dipandang tidak mungkin, akan tetapi justru karena
perbuatan bagi laki-laki dipandang tidak mengakibatkan suatu yang buruk
atau yang merugikan. Bukanlah seorang perempuan ada bahaya untuk
melahirkan anak akibat perbuatan tersebut. Seorang perempuan yang dipaksa
demikian rupa, sehingga akhirnya tidak dapat melawan lagi dan terpaksa mau
melakukan persetubuhan itu, masuk pula dalam pasal ini. “Persetubuhan”
harus benar-benar dilakukan. Apabila tidak, mungkin dapat dikenakan pasal
27
P.A Flamintang, Delik-delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-norma
Kesusilaan dan Norma Kepatutan, (Bandung : Manjar Maju, 1990), h. 108.
77
289 tentang “perbuatan cabul”. Sedangkan yang dimaksud kekerasan adalah
membuat orang pingsan atau tidak berdaya lagi (pasal 289 KUHP).
Menurut M. Sudrajat Bassar, S.H., istilahnya “verkrachting” yang
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai perkosaan dipandang kurang
tepat. Dalam bahasa Indonesia kata “perkosaan” saja sama sekali belum
menunjukan pada pengertian “perkosaan untuk bersetubuh” sedangkan
diantara orang Belanda istilah “verkrachting” berarti “perkosaan untuk
bersetubuh”. Dengan demikian menurut beliau sebaiknya kualifikasi tindak
pidana dari pasal 285 KUHP ini harus disebut “perkosaan untuk bersetubuh”.
Tindak pidana ini mirip dengan tindak pidana yang diatur dalam pasal
289 KUHP, yang dirumuskan :
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorng melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya
perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”.
Tindak pidana ini disebut dengan “penyerangan kesusilaan dengan
perbuatan” atau “perkosaan untuk cabul”. Kedua tindak pidana tersebut
terdapat perbedaan, yaitu :
a. “Perkosaan untuk bersetubuh” yang diatur dalam pasal 285 KUHP
hanya dapat dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita,
sedangkan “perkosaan untuk cabul” yang terdapat dalam pasal 289
KUHP juga dapat dilakukan oleh seorang wanita terhadap pria”.
78
b. “Perkosaan untuk bersetubuh” hanya dapat dilakukan di luar
perkawinan, sehingga seorang suami boleh saja memperkosa
isterinya untuk bersetubuh, sedangkan “perkosaan untuk cabul”
juga dapat dilakukan didalam perkawinan, sehingga tidak boleh
seorang suami memaksa isterinya untuk cabul, atau seorang isteri
memaksa suaminya untuk cabul”.
Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam pasal 285 KUHP itu
hanya mempunyai unsur-unsur objektif, yaitu :
1) Barang siapa;
2) Dengan kekerasan atau;
3) Dengan ancaman dengan memakai kekerasan;
4) Memaksa;
5) Seorang wanita;
6) Mengadakan hubungan kelamin diluar perkawinan;
7) Dengan dirinya;
Walapun didalam rumusannya, undang-undang tidak mensyaratkan
keharusan adanya “kesengajaan” pada diri pelaku, akan tetapi dengan
dicantumkannya unsur “memaksa” dalam pasal 285 KUHP, kiranya jelas
bahwa tindak pidana perkosaan itu harus dilakukan dengan sengaja. Dengan
demikian unsur kesengajaan tersebut harus dapat dibuktikan.
79
Untuk membuktikan adanya unsur kesengajaan seorang terdakwa
melakukan tindak pidana perkosaan, maka penuntut umum maupun hakim
harus dapat membuktikan tentang :
a) Adanya ‘kehendak’ atau ‘maksud’ terdakwa memakai kekerasan;
b) Adanya ‘kehendak’ atau ‘maksud’ terdakwa untuk mengancam akan
memakai kekerasan;
c) Adanya ‘kehendak’ atau ‘maksud’ terdakwa untuk memaksa;
d) Adanya ‘pengetahuan’ pada terdakwa bahwa yang dipaksa itu adalah
seorang wanita yang bukan isterinya;
e) Adanya ‘pengetahuan’ pada terdakwa bahwa yang dipaksakan untuk
dilakukan oleh wanita tersebut ialah untuk mengadakan hubungan
kelamin dengan dirinya diluar perkawinan.
Sehingga dengan adanya pembuktian akan tersebut diatas jaksa
penuntut umum maupun hakim dapat memproses perkara perkosaan dan
pelaku perkosaan dapat dihukum sesuai dengan KUHP.
D. Surat dakwaan dan Putusan Hakim
Setelah penulis memaparkan tinjauan umum hukum positif dan hukum
Islam mengenai tindak pidana perksoaan, serta tindak pidana perkosaan sebagai
bentuk kekerasan. Selanjutnya pada bab ini ini penulis akan melakukan analisis
80
terhadap putusan perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR tentang tindak
pidana perkosaan terhadap anak ideot.
1. Duduk perkara
Duduk perkara yang sebutkan berikut ini adalah salinan dari putusan
perkara tersebut. penulis salin sesuai dengan apa adanya, dengan maksud agar
posisi kasus tersebut tidak ada penambahan atau pengurangan, kutipan kasus
tersebut adalah sebagai berikut :
Bahwa terdakwa Boy Santoso pada hari Rabu tanggal 12 Februari
1997 di Jalan Tangki Wood No. 18 RT. 007/02 keluarahan Tangki Tamansari
Jakarta Barat atau setidak-tidaknya di suatu lain yang masih dalam wilayah
hukum pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dengan sengaja melakukan
persetubuhan diluar perkawinan dengan seorang perempuan yang diketahui
bahwa perempuan tersebut berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya
yaitu terhadap saksi Lusi alias Bembem adalah seorang perempuan ideot atau
tingkat kecerdasan otak atau Aqiu nya dibawah ukuran normal, dilakukan
dengan cara :
Terdakwa menarik tangan saksi Lusi yang saat itu sedang menuju
keluar pintu karena dipanggil terdakwa, diajak masuk kedalam kamar kosong
dan gelap, didalam kamar tersebut penuh dengan birahi terdakwa mencium
bibir saksi Lusi beberapa kali, sambil tubuh saksi Lusi dipeluk-peluk, oleh
karena saksi Lusi berteriak maka dengan sekuat tenaga mulut saksi Lusi
disekap menggunakan tangan terdakwa, sehingga tidak dapat melakukan
81
perlawanan. Kemudian terdakwa langsung menelentangkan saksi Lusi diatas
kardus, sambil melepaskan celana dalam saksi Lusi, selanjutnya terdakwa
dengan secara paksa memasukan batang kemaluannya yang sudah tegang
kedalam lubang kemaluan saksi Lusi, oleh karena saksi merasa kesakitan lalu
berteriak sekuatnya “ Au………… Au……….., dan teriakan itu didengar oleh
orang lain, namun terdakwa tetap menekan terus batang kemaluannya
kedalam kemaluan saksi Lusi dan digesek-gesekan beberapa kali hingga
batang kemaluan terdakwa mengeluarkan air mani kedalam kemaluan saksi
Lusi. Sedangkan patut diketahui bahwa perempuan yang disetubuhi menderita
sakit ediot, dalam arti tingkat kecerdasan otak dan aqiu nya dibawah ukuran
normal, sehingga dapat dipandang sebagai orang yang tidak berdaya
melakukan perlawanan, yang mana terdakwa harus dapat menduga bahwa
saksi Lusi tidak dapat mengetahui mana yang harus diperbuat dan mana yang
tidak bagi dirinya, karena baik secara fisik maupun physchis lemah atau tidak
berdaya disini bukan karena perbuatan terdakwa, namun terdakwa tetap
melaksanakan niatnya menyetubuhi saksi Lusi hanya untuk menyalurkan
nafsu birahinya.. 28
2. Dakwaan
Dalam surat dakwaan yang dibuat oleh JPU disebutkan bahwa :
Nama lengkap
Tempat Lahir
Umur/Tgl lahir
28
: Boy Santoso
: Kalimantan Barat
: 36 tahun
Dokumen Pengadilan Negeri Jakarta Barat, putusan 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR
82
Jenis Kelamin
Kebangsaan
Tempat Tinggal
: laki-laki
: Indonesia
: Jalan Tangki Wood No. 18 RT. 007/02 keluarahan
Tangki Tamansari Jakarta Barat
Agama
: KONG HU CU
Pekerjaan
: Tidak Bekerja
Bahwa terdakwa Boy Santoso, didakwa dengan dakwaan :
Primer :
Terdakwa didakwa pasal 285 KUHP dengan ancaman pidana
penjara 12 (dua belas) tahun jika perbuatan itu dilakukan dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang
bukan isterinya bersetubuh dengan dia dihukum karena
memperkosa.
Subsidier :
Terdakwa didakwa pasal 286 KUHP dengan ancaman pidana 9
(sembilan) tahun jika dalam melakukan perbuatan tersebut terdakwa
mengetahui wanita dalam keadaan pingsan atau berada dalam
keadaan tidak berdaya .
Lebih subsidier
Terdakwa didakwa pasal 289 KUHP dengan ancaman pidana 9
(sembilan) tahun jika dalam melakukan perbuatan tersebut terdakwa
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang
untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya pebatan cabul
Lebih subsidier lagi
Terdakwa didakwa pasal 294 (1) KUHP dengan ancaman pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun jika dalam melakukan perbuatan
tersebut terdakwa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak
tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum
cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur yang
pemeliharaannya, pendidikanya atau penjagaannya diserahkan
kepadanya.
83
3. Vonis Hakim
Vonis hakim dalam putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR.
Setelah membaca surat-surat perkara, mendengar keterangan saksi-saksi dan
terdakwa, menimbang dan seabagainya, majekis hakaim memutuskan bahwa
terdakwa Boy Santoso, telah terbukti secara sahd an meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana perkosaan dan menghukum oleh karena itu terdakwa
tersebut dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, dan membebankan
kepada tedakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 500,- (lima
ratus rupiah).
E. Analisis Hasil Penelitian
1. Analisis Hukum Positif
Hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan fakta atau peristiwa
sebagai duduk perkara yang dapat diketahui dari alat-alat bukti yang ada di
persidangan. Meskipun demikian, hakim bukanlah malaikat yang bebas dari
berbagai kekhilafan atau bahkan justru kesalahan sehingga terkadang putusan
tersebut belum memuaskan.
Sebagaimana putusan yang dijatuhkan oleh Ketua Majelis Soeratno SH,
hakim anggota H.A Pardede SH, dan Ny. Vitalien Mahyani SH, setelah
membaca surat-surat perkara, mendengar keterangan saksi dan terdakwa,
menimbang dan sebagainya memutuskan bahwa terdakwa Boy Santoso, telah
terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbuatan
84
cabul, dan menghukum oleh karena itu terdakwa tersebut dengan pidana
penjara selama 2 (dua) tahun, dan membebankan kepada terdakwa untuk
membayar ongkos perkara sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah).
Dalam putusan ini terdapat kejanggalan yakni dalam hal ini Ketua Majelis
memvonis terdakwa dengan pasal 289 KUHP (dakwaan lebih subsider), dan
tidak mengabulkan dakwaan primer dan subsider yakni pasal 285 dan 286
KUHP. Adapun alasan-alasan yang menyebabkan putusan tersebut terdapat
kejanggalan adalah :
Petama, dari kerangan saksi-saksi, keterangan-keterangan ahli dan
petunjuk-petunjuk yang saling bersesuaian dipersidangan pasal 285 dan 286
terbukti, dimana salah satu unsur dalam pasal 285 dan 286 yakni unsur
bersetubuh adalah terbukti, karena berdasarkan keterangan saksi korban
bahwa batang kemaluan terdakwa yang sudah tegang dipaksakan masuk
kedalam lubang kemaluan saksi, hingga akhirnya saksi korban menjerit
sekuatnya “AU…..AU… karena merasakan sakitnya. Dari sini dapat diketahui
bahwa terdakwa telah benar-benar memasukan batang kemaluannya dan
melakukan persetubuhan.
Sebagaimana yang terdapat dalam pada pasal 183 KUHP bahwa : “Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabia sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tinak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
85
melakukannya.” Jadi dalam hal ini pasal 285 dan 286 terbukti karena terdapat
dua ala bukti yakni keterangan saksi dan petunjuk.
Kedua, dalam hal penjelasan tentang keadaan-keadaan yang
memberatkan hukuman bagi terdakwa, Ketua Majelis tidak melakukananya
dengan maksimal. Ketua majelis hanya menyebutkan tiga point, yakni :
terdakwa kurang bermoral, seharusnya melindungi korban karena ia anak idiot
dan adik iparnya, kurang bertanggung jawab terhadap keluarga. Seharusnya
dalam pemberatan hukuman Ketua Majelis mempertimbangkan yakni : akibat
dari perbuatan yang dilakukan terdakwa menimbulkan trauma dan rasa takut
pada diri saksi korban, perbuatan terdakwa juga menimbulkan keresahan pada
diri keluarga dan orang tua saksi korban. Terlebih lagi mengingat saksi korban
adalah anak idiot, yang patut dilindungi dari kejahatan apapun, termasuk
kejahatan seksual, yang memiliki dampak psikis yang lebih fatal bagi saksi
korban.
Menurut pendapat R. Sugandhi menunjuk pada suatu perkosaan yang
terjadi secara tuntas, artinya pihak pelaku (laki-laki pemerkosa) telah selesai
melakukan perbuatannya hingga selesai (mengeluarkan air mani). Jika hal ini
tidak sampai terjadi, maka secara eksplisit apa yang dilakukan laki-laki itu
belum patut untuk dikataegorikan sebagai perkosaan.
Pendapat seperti ini belum tentu sama dan disepakati oleh para ahli-ahli
lainnya. Ada ahli yang berpendapat, bahwa perkosaan tidak selalu harus
mengeluarkan air mani (sperma). Cukup dengan pemaksaan persetubuhan
86
(sampai alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin perempuan), maka
hal itu sudah disebut sebagai perkosaan.
Akan tetapi apabila pelaku tidak berhasil memasukkan penisnya kedalam
vagina korban, karena korbannya telah memberikan perlawanan atau telah
meronta-ronta maka pelaku dapat dipersalahkan telah melakukan suatu
‘percobaan perkosaan’. Dan dapat dijatuhi hukum penjara selama delapan
tahun yakni sesuai dengan pidana pokok terberat yang diancamkan dalam
pasal 285 KUHP dikurangi dengan sepertiganya.
Bila kita bandingkan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh Majelis
Hakim dengan tuntutan dari jaksa penuntut umum terhadap para terdakwa
dapat perbedaan yang mendalam. Pidana yang dijatuhkan majelis hakim jauh
sekali dari tuntutan jaksa penuntut umum, dengan putusan majelis hakim itu
tersirat adanya perlindungan yang berlebihan terhadap pelaku perkosaan,
Karena pidana yang dijatuhkan belum sebanding dengan penderitaan yang
harus ditanggung oleh korban. Mungkinkah dalam waktu yang relatif singkat
korban dapat menghilangkan trauma yang dialaminya serta akibat-akibat lain
yang dideritanya. Akan terasa kurang adil bila pihak perkosaan menebus
kesalahan dari perbuatan yang dilakukannya hanya dalam waktu yang relatif
singkat.
Menurut beberapa ahli Sosiologi maupun Psikologi mengatakan bahwa
pidana terhadap para pelaku tindak pidana perkosaan di Indonesia masih
87
cukup rendah. Hal ini akan lebih dirasakan oleh korban perkosaan yang harus
menanggung segala penderitaan akibat kejadian tersebut.
Disamping itu, bila dilihat dari sudut kepentingan masyarakat banyak,
perbuatan tindak pidana perkosaan merupakan perbuatan yang tidak bermoral
bahkan dapat dikatakan biadab. Perbuatan tersebut dapat menimbulkan
keresahan bagi masyarakat umum khususnya perempuan. Jika hal-hal tersebut
benar-benar diperhatikan dan dipertimbangkan, maka pidana penjara yang
dijatuhkan kepada terdakwa pada kasus-kasus diatas belum dapat dikatakan
adil (dilihat dari pihak korban). Untuk menghilangkan cap dari masyarakat
awam tentang pemidanaan di Indonesia terhadap tindak pidana perkosaan
yang dirasakan terlalu ringan dan sama sekali belum memperhatikan
kepentingan korban. Maka wajarlah kiranya hanya suara-suara yang
berpendapat agar pidana terhadap para pelaku perkosaan diperberat dan
diberikannya hak kepada korban untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang
dideritanya, baik kerugian fisik maupun kerugian psikis.
Apabila dikaitkan dengan kondisi saat ini, sejumlah perbuatan harus
dilakukan untuk menyelaraskan KUHP dengan berbagai perkembangan yang
telah ada, kalau perlu mencontoh apa yang ada diluar negeri. Tentunya dengan
menyesuaikan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat Indonesia.
Akhirnya penulis berpendapat, ada beberapa hal pokok yang berkaitan
dengan sanksi pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana
perkosaan yang dirasakan oleh korban perkosaan sebagai suatu ketidak adilan,
88
karena sanksi pidana itu terlalu ringan dan sama sekali tidak memperhatikan
kepentingan korban perkosaan. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :
1. Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya jarang sekali menuntut
dengan ancaman pidana maksimal, sebagaimana yang tercantum
dalam pasal 285 KUHP yaitu dua belas tahun pidana.
2. Majelis Hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa pelaku
tindak pidana perkosaan, hukuman yang diajtuhkan sering kali ringan
dari sanksi pidana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum.
3. Perbedaan dengan ancaman hukuman maksimal terhadap pelaku
perkosaan dalam pasal 285 KUHP dengan tuntutan Jaksa Penuntut
Umum, maupun dengan vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim
terhadap pelaku perkosaan sangatlah sulit.
4. Pasal 285 KUHP hanya baru memperhatikan panghukuman terhadap
pelaku perkosaan, sama sekali belum memperhatikan kepentingan
korban perkosaan.
5. Penjatuhan pidana penjara oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana
perkosaan, merupakan puncak pelayanan oleh Negara terhadap
korban perkosaan.
6. Dalam proses peradilan terhadap pelaku tindak pidana perkosaan
korban sangat tertekan, karena dalam setiap peristiwa perkosaan yang
menimpa dirinya dan hal ini sudah dimulai dari tingkat penyidikan di
kepolisian dan pengadilan.
89
2. Analisis Hukum Islam
Dalam konteks hukum pidana Islam ternyata istilah perkosaan sulit dicari
padanya namun dapat dikatakan sebagai zina dengan paksaan, jika dilihat dari
hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Boy
Santoso merupakan hukum pidana yang dapat dikenakan had. Tindak pidana
perkosaan termasuk kedalam salah satu kategori jarimah hudud. Dimana
jarimah tersebut adalah hak Allah secara mutlak. Sanksi hukuman perkosaasn
selain dihukum seperti pelaku zina ditambah dengan hukuman ta’zir sebagai
hukuman atas pemaksaan, kekerasan atau ancaman yang dilakukan untuk
memperlancar perkosaan.
Apabila kasus perkosaan itu betul-betul memenuhi syarat dan dapat
dibuktikan kebenarannya sebagaimana dalam ketentuan yang telah ditetapkan,
maka pelaku tindak pidana perkosaan Boy Santoso dapat dijatuhi sanksisanksi dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Sanksi Rajam
Hukuman rajam bagi orang yang memperkosa, dalam bentuk lemparan
batu sampai orang yang memperkosa tersebut mati, pelemparan batu
dimaksudkan agar terpidana dapat merasakan kesakitan sedikit demi
sedikit dan juga berlangsung penyiksaan lebih lama. Hukuman rajam
ini hanya diberikan kepada orang yang muhsan.
b. Hukuman dera dan pengasingan (isolasi)
90
Hukuman dera adalah hukuman cambukan sampai seratus kali, pada
pelaksanaan sanksi hukuman ini sama sekali tidak mempunyai motif
pembunuhan.
Namun
dalam
hukuman
ini
tidak
menutup
kemungkianan bahwa orang yang dihukum sebelum mencapai
bilangan 100, pelaku bisa saja meninggal terlebih dahulu. Hukuman
dera ini berlaku bagi pemerkosa yang belum menikah atau beristri si
pelaku pemerkosa karena perbuatannya harus dijatuhi hukuman jilid
100 kali cambukan.
Dalam sanksi hukuman tambahan ini (hukuman pengasingan) para
puqaha berbeda pendapat yaitu :
1. Menurut Imam Malik, dalam hukuman pengasingan, hukuman dikenakan
kepada laki-laki saja, sedang perempuan tidak dikenakan hukuman
tersebut atasnya.
2. Menurut Imam Ahmad bi Hanbali, menyetujui hukuman pengasingan
(selama satu tahun) sebagai hukuman tambahan terhadap hukuman dera.
3. Menurut Imam Abu Hanifah, berpendapat bahwa hukuman pengasingan
sebagai
hukuman
tambahan
setelah
pertimbanagn
hakim
atau
kebijaksanaannya yang menangani perkara.
4. pendapat kebanyakan para ulama sebagaimana pendapat Imam Ahmad,
yang juga diantaranya Imam Syafi’i, mengatakan bahwa perlunya
diberikan hukuman dera dan pengasingan bagi para pelaku yang tidak
muhsan.
91
Menurut Satria Effendi dalam hal hukuman berpendapat bahwa hukuman
perkosaan pun berbeda dengan perzinahan. Jika sanksi zina adalah had (dera
atau rajam), sedangkan perkosaan sanksinya asalah had disertai dengan
hukuman tambahan (ta’zir) yang ditentukan majlis hakim. Seorang pelaku
perkosaan dihukumi dengan hukuman had, hukuman ini disamakan dengan
hukuman orang yang melakukan zina, akan tetapi bagi orang yang dipaksa
untuk melakukan perbuatan tidak dikenakan had.
Keunggulan hukum Islam dari KUHP itu terletak dalam hal jenis
hukuman yang berlaku cukup maksimal (memberatkan) bagi pelaku. Pelaku
diancam dengan sanksi hukuman yang tidak ringan bila mana kejahatan yang
dilakukan pelaku termasuk jenis kejahatan yang di murkai Allah SWT seperti
penganiyaan, perzinahan, murtad dan pembunuhan.
Menurut penulis, semakin berat hukuman semakin kecil kemungkinan
orang melakukan suatu tindakan kejahatan. Hukum pidana Islam yang berat
ini jika ditinjau dari segi psikolog modern adalah suatu hukuman yang
memililki fungsi penjeraan, baik pada sipelaku kejahatan maupun pada orang
yang berniat untuk melakukan tindak kejahatan. Hukuman potong tangan
untuk mereka yang mencuri selain fungsi sebagai fungsi sebagai penjeraan
juga memiliki fungsi perlindungan bagi masyrakat. Mereka yang sudah
dipotong tangannya tentu akan lebih sulit untuk melakukan tindak kejahatan
dimasa-masa yang akan datang.
92
Dalam pelaksanaan hukuman atas pelaku perkosaan harus dipegang
prinsip keadilan tanpa ada unsur pemberian keringanan atau pemberatan,
sehingga ada unsur mendidik pada terhukum dengan hukuman maksimum
penjara seumur hidup atau unsur menyadarkan lingkungan masyarakat yang
tahu dan menyaksikan pelaksanaan hukuman mati, tanpa melupakan adanya
kesempatan bertaubat bagi si terhukum sebelum hukuman dilaksanakan.
Sebagaimana pada tindak pidana yang lain, hukuman yang diberikan pada
sipelaku kejahatan harus memperhatikan nilai pendidikan bagi pelaku
perkosaan sehingga ia sadar akan kesalahannya. Sehingga apabila pelaku
perkosaan dijatuhi hukuman mati, maka dalam hukuman mati taersebut alat
yang digunakan dalam eksekusi itu harus mengandung etis ketuhanan,
kemanusian dan keadilan. Dan apabila dijatuhkan hukuman penjara unsur
manusiawi tetap harus diperhatikan. Unsur manusiawi ini dalam arti tidak
menimbulkan depresi moral yang berkepanjangan sehingga apabila sipelaku
bebas, maka dia akan dapat menjadi pribadi yang utuh tanpa beban psikis.
Selain menentukan bentuk hukuman bagi pelaku perkosaan serta dampak
hukuman itu bagi pelaku dan masyarakat pada umunya, hukum Islam pun
tidak mengabaikan perasaan korban. Karena seberat apapun hukuman bagi
pelaku perkosaan korban tetaplah menderita dan tersisih, agar korban tidak
semakin menderita maka hak-hak korban harus diperhatikan. Oleh karena itu
dalam hukum Islam juga mengatur tentang ganti rugi yang diberikan pelaku
93
terhadap korban dan apabila korban (perempuan) tersebut hamil maka
anaknya dapat dinisabkan kepada pelakunya.
Dari sini jelas bahwa hukum Islam lebih luas dalam membahas masalah
perkosaan ini. Segala jenis dan bentuk hukuman apapun dapat dibenarkan
selama mampu mewujudkan tujuan dari pensyari’atan hukum pidana Islam.
Atas dasar ini maka perumusan hukum yang sejalan dengan kondisi masa kini
dapat dibenarkan pula. Sedangkan hukuman yang diterapkan dalam al-qur’an
dan hadits hanya dipandang sebagai batas maksimal yang perlu diterapkan
manakala bentuk hukuman lain tidak dapat mewujudkan tujuan hukum
tersebut, sehingga ada dua aspek hukum yang dapat dituntut korban yaitu
selain korban dapat memidanakan pelaku dan juga dapat memperdatakananya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
penafsiran
dan
analisis
putusan
perkara
No.
054/PID/B/1997/PN. JKT-BAR mengenai tindak pidana perkosaan anak ideot,
maka penulis dapat mengambil kesimpulan, sebagai berikut :
1. Perbuatan yang termasuk dalam kategori perkosaan yakni perbutan
berupa perbuatan yang melanggar kesusilaan, yaitu bersatunya alat
kelamin laki-laki (penis) dengan alat kelamin perempuan (vagina) dan
cukup dengan pemaksaan pesetubuhan (sampai alat kelamin laki-laki
msuk kedalam alat kelamin perempuan), maka hal tersebut dianggap
sebagai perkosaan. Dengan demikian, bahwa tidak ada pidana
perkosaan untuk bersetubuh apabila penis hanya menyentuh bibir luar
vagina (vulva). Didalam pasal 285 KUHP pelaku tindak pidana
perkosan diancam dengan pidana 12 (dua belas) tahun penjara. Dan
dalam hukum Islam perkosaan merupakan perbuatan zina dengan
paksaan yang dapat dikenakan sanksi had karena perbutan tersebut
merupakan hak Allah, sedangkan perempuan tidak dapat dikenakan had
karena adanya paksaan tersebut, serta ditambah dengan hukuman ta’zir
sebagai hukuman atas pemaksaan, kekerasan atau ancaman yang
dilakukan unutuk memperlancar perkosaan.
93
94
2. Pertimbangan
Hakim
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Barat
dalam
memutuskan perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR dalam hal
penjelasan tentang keadaan-keadaan yang memberatkan hukuman bagi
terdakwa, Ketua Majelis tidak melakukananya dengan maksimal. Ketua
majelis hanya menyebutkan tiga point, yakni : terdakwa kurang
bermoral, seharusnya melindungi korban karena ia anak idiot dan adik
iparnya, kurang bertanggung jawab terhadap keluarga. Seharusnya
dalam pemberatan hukuman Ketua Majelis mempertimbangkan yakni :
akibat dari perbuatan yang dilakukan terdakwa menimbulkan trauma
dan rasa takut pada diri saksi korban, perbuatan terdakwa juga
menimbulkan keresahan pada diri keluarga dan orang tua saksi korban.
Terlebih lagi mengingat saksi korban adalah anak idiot, yang patut
dilindungi dari kejahatan apapun, termasuk kejahatan seksual, yang
memiliki dampak psikis yang lebih fatal bagi saksi korban.
3. Analisis hukum positif terhadap putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKTBAR tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Boy Santoso
terhadap adik iparnya yakni Lusi alias Bem-bem dirasakan terdapat
kejanggalan yakni :
a) Dalam hal pasal yang divonis oleh hakim terhadap terdakwa
b) Kuantitas hukuman
c) Hal-hal yang memberatkan terdakwa
95
Seharusnya hakim dalam memvonis perkara tersebut menggunakan
pasal 285 KUHP, hal ini dikarenakan semua unsur telah terpenuhi.
Sedangkan menurut Hukum Islam hukuman dikenakan kepada pelaku
saja yakni hukuman hudud dan hukuman ta’zir sebagai hukuman
tambahan. Jadi pada dasarnya terdapat perbedaan yang signifikan antara
Hukum Positif dan Hukum Islam mengeanai hukuman terhadap kasus
terdakwa Boy Santoso.
B. Saran
Berdasarkan hal-hal yang penulis tulis dalam skripsi ini dan analisis putusan
perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR, mengenai tindak pidana perkosaan
terhadap anak idiot, maka penulis mencoba mnyampaikan beberapa saran
terhadap pihak-pihak terkait, yaitu :
1. Bagi hakim pada umumnya dan bagi hakim PN Jakarta barat yang telah
memutus perkara terdakwa Boy Santoso, khususnya menyadari akan
tanggung jawab yang besar yang diemban seorang hakik di sini penulis
memaklumi bahwa seorang hakim pun juga seorang manusia yang tidak luput
dari salah dan khilaf, tetapi alangkah baiknya jika dalam memutus suatu
perkara hal tersebut tidak dijadikan alasan maupun tameng karena mengingat
lingkup hukum pidana yang menyangkut mengenai suatu perbuatan yang
melangar peraturan yang tentu saja merugikan korban, baik itu segi materil
maupun non materil, sehingga perlu dilakukannya penegakkan hukum yang
adil bagi pelaku. Dengan menerapkan hukum seadil-adilnya dan memberikan
96
sanksi yang tegas, yang sesuai dengan perbuatan pelaku tindak pidana
perkosaan, sehingga sanksi yang diberikan tersebu tmenimbulkan benar-benar
efek jera (represif) bagi pelaku dan dapat membuat takut bagi orang yang
belum melakuikan atindak pidan tersebut (preventif) mengingat dampak dari
perbuatan perkosaan menimbulkan trauima yang besar terhadap korban
khususnya anak yang mengalami gangguan jiwa.
2. Bagi jaksa penuntut umum pada umumnya dan bagi jaksa penuntut umum
yang mendakwa Boy Santoso khususnya, lebih teliti dan jeli dalam membuat
surat dakwaan merupakan suatu langkah yang bijak mengingat kedudukan
jaksa dala pengadilan adalahs sebagai pihak yang melakukan penuntutan
terhadap terdakwadan dalam hal ini memperjuangkan hak korban.
3. Bagi akademis hukum, yakni memberikan solusi yang jelas dan spesifik
mengenai pengertian tindak pidana perkosaan, mengingat banyak masyarakat
yang masih awam mengenai pembatasan tindak pidana perkosaan itu sendiri,
sehibngga seringkali terjadi perbuatan yang bukan perkosaan dilaporkan
kepanyidik/polisi yang akhirnya ditolak karma perbutan tersebut belum
termsuk perkosaan. Hal ini menunjukan bahwa masih awamnya masyarakat
kita tentang hukum.
4. bagi orang tua, yakni :
a. Menegakkan prinsip perlindungan anak sebagaimana yang talah
diamanatkan konvensi hak-hak anak dan perlindungan anak
97
b. Tidak lagi boleh menyerahkan anak-anaknya begitiu saja kepada orang
lain, karena mereka telah percaya. Tetapi h arus ditelesuri dahulu apakah
orang yang dipercaya itu benar-benar bisa menjada amanat.
c. Bagi orang tua korban atau keluarganya yakni memberikan support
terhadap anak-anaknya, bahwa keadaan yang mereka alami bukan berarti
hidup mereka berakhir, msih banyak hal-hal indah yang mereka raih. Dan
terus memberikan motivasi, sehingga mereka dapat memulihkan
kepercayaan diri mereka dan dapat tumbuh seperti layaknya anak normal
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Ghafar, Asyahari’ Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan
Sesudah Hamil, Jakarta : Grafindo Utama, 1987
Al-Bukhari, Muhammad Bin Ismail, Shahih Bukhari,
Mathabi al-Syu’ab, tth
Beirut :Dar Wa
Arif, Gosita, Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para
Korban Perkosaan, Jakarta : Ind Hill-Co, 1997
Andi, Hamzah. Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta : Arikha Media
Cipta, 1993
Ahmad, Hanafi. Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang,
2005
Al-Razi, Muhammad Bin Abi Bakar, Mukhtar Al-Shihah, Mesir : Isa Al-Babi
Al-Halabi
Al-Imam, Al-Kahlani Subulus Salam, Beirut : Dar-Furats al-Arabiy, 1960
A. Zajuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam),
Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2001
Bismar, Siregar. “Tanggung Jawab Hakim Melindungi Korban Perkosaan,
Makalah Seminar Nasional Tentang:Aspek-Aspek Perlindungan
Hukum Korban Perkosaan, Surabaya : Universitas Sebelas Maret,
1999
Bambang, Poernomo. Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta :Ghalia
Indonesia, 1978
-------- Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Diluar Kodefiksi Hukum
Perdata, Jakarta : Bina Aksara, 1998
C.S.T, Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Indonesia, Jakarta :
Balai Pustaka, 2002
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta :Balai Pustaka, 1990
Daliyo, J.B. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : PT Prenhalindo, 2001
98
99
Flamintang, S.H., Drs P.A Delik-Delik Khusus Tindak Pidana Melanggar
Norma-norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Bandung : Manjar
Maju, 1990
Handoko, Tjonroputranto, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Forensik,
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, Jakarta : PT Raja Grapindo
Persada, 2000
Hakristuti, Hakrisnowo. Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, dalam Pandangam Muhammad
Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia (Pelaung,Prospek, dan
Tantangan), Jakarta : Pusaka Firdaus. 2001
Idris, Abdul Mun’im, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta : Bina
Rupa Aksara, 1989
Koesparno, Ihsan. Kekerasan-Kekerasan Sebagai Tindak Kriminal, Makalah
Seminar Sehari Tentang : Tindak Pidana Kekerasan Dalam
Masyarakat, Jakarta, 1990
Kanter d E.Y. dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Jakarta : Storia Grafika, 2002
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta : PT
Bumi Aksara, 2001
Muhammad, Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern Jakarta :
Pustaka Amini
Musfir Garm, Allah Al-Damini, Al-Jinayat Baina Al-Fiqh, Ryad : Dar
Thaibah, 1402 H
Muslim Bin al-Hajaj al-Qusyairi al-Nay Sabury, Abi al-Husein Shahih
Muslim, Dar Al-Ihya, al-Kutub Al-Arabiyah, 1918
Martiman, Prodjohamidjojo. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1988
Prasetyo, Eko & Supraman Marzuki (ed), Perempuan Dalam Wacana
Perkosaan, Yogyakarta : PKBI-DIY, 1997
Pusat Komunikasi Kesehatan Prespektif Gender, Mengapa Anda Peduli
Dengan Korban Perkosaan, Jakarta, 1995
100
Soebekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1972
Syarif Al-Jurjani, Muhammad Bin Abi Bakar, Kitab Al-Ta’rifat, Beirut
Topo, Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam, (Penerapan Syari’at Islam
Konteks Modernitas), Bandung : Asy-Syamil Prees & Grafika, 2001
Wirjono, Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung : PT.
Refika Aditama, 2003
------- Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung : eresco, 1986
WJS. Poerwadarminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, 1976
Sumber dari Perundang-undangan dan sejenisnya
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pasal 285, 286, 289, 294 tentang
tindak pidana perkosaan dan pencabulan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR
Sumber dari wawancara
Wawancara pribadi dengan Tarmuji, Panitera Muda Hukum Pengadilan
Negeri Jakarta Barat, 6 Januari 2010
HASIL WAWANCARA
Nara sumber
: Tarmuzi. SH
Jabatan
: Panitera Muda Hukum
Pewawancara
: Muhammad Agus Setiawan
Hari/tanggal
: 24 Februari 2010
Waktu
: 10.00 - 11.30
Soal :
Perbuatan apa sajakah yang dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana perkosaan ?
Jawab
Perkosaan yang terjadi secara tuntas, artinya pihak pelaku (laki-laki
pemerkosa)
telah
selesai
melakukan
perbuatannya
hingga
selesai
(mengeluarkan air mani). Jika hal ini tidak sampai terjadi, maka secara
eksplisit apa yang dilakukan laki-laki itu belum patut untuk dikataegorikan
sebagai perkosaan. Namun ada ahli yang berpendapat, bahwa perkosaan
tidak selalu harus mengeluarkan air mani (sperma). Cukup dengan
pemaksaan persetubuhan (sampai alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat
kelamin perempuan), maka hal itu sudah disebut sebagai perkosaan. Akan
tetapi apabila pelaku tidak berhasil memasukkan penisnya kedalam vagina
korban, karena korbannya telah memberikan perlawanan atau telah
meronta-ronta maka pelaku dapat dipersalahkan telah melakukan suatu
‘percobaan perkosaan’. Dan dapat dijatuhi hukum penjara selama delapan
tahun yakni sesuai dengan pidana pokok terberat yang diancamkan dalam
pasal 285 KUHP dikurangi dengan sepertiganya.
Soal : Bagaimana proses pembuktian perksoaan ?
Jawab Sistem pembuktian dalam mengungkapkan kasus perkosaan di muka sidang
pengadilan sama dengan yang lainnya yaitu adanya bukti-bukti, saksi atau
barang bukti (material) dan resume (kumpulan hasil) dari para dokter yang
menangani masalah ini dan Visum Et Refertum yang dibuat oleh dokter
kehakiman atau dokter puskesmas. Dalam pedoman pelaksanaan KUHP
diaktakan bahwa “tujuan dari hukum acara untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran mataeril….”. Dengan berpegang
pada tujuan tersebut (menemukan kebenaran materil), maka akan timbul suatu
hal yang amat penting tetapi sekaligus sukar, yaitu bagaimana hakim dapat
menetapkan kebenaran materil itu.
Sesuai dengan yang terkandung dalam pasal 183 KUHAP Sekurang-kurangya
ada dua alat bukti yang sah Dengan dasar alat bukti yang sah, hakim yakin
bahwa : Tindak pidana telah terjadi dan Terdakwa telah bersalah Sedangkan
alat-alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP ialah : Keterangan saksi,
Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan terdakwa
Soal : Mengapa tindak pidana terhadap para pelaku perkosaan masih dirasa
cukup rendah ?
Jawab Masalah perkosaan ini merupakan masalah social dan yuridis yang sangat
rumit, kiranya perlu diadakan pengkajian dan penelitian lebih lanjut dan
mendalam mengenai cara bagaimana mengatasi masalahi ni. Karena secara
formil hukum positif di Indonesia telah menetapkan hukuman maksimal yang
cukup berat yaitu hukuman penjara 12 tahun. Akan tetapi pada kenyataannya
hakim menjatuhkan hukuman terlalau ringan, sehingga pelaku perkosaan tidak
akan jera dan mungkin akan mengulangi perbuatan yang keji itu. Apabila
mereka bertahun-tahun dalam penjara tidak sempat dalam memenuhi
kebutuhan seksualnya atau menjalankan kehidupan yang kurang normal.
Ringannya hukuman tersebut bisa juga disebabkan karena kurangnya alat-alat
bukti yang dapat menunjukan kepada perbuatan perkosaan tersebut, dari
sinilah timbul keengganan para korban perkosaan untuk mengadukan
kejahatan tersebut, karena korban tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali
kerugian
yang
dideritanya,
baik
kerugian
moril
maupum
materil.
Perlindungan khusus bagi korban yang berwujud pemberian ganti rugi msih
belum terlaksana dengan semestinya.
Soal : Bagaimana upaya hukum yang dilakukan dalam melindungi korban
perkosaan ?
Jawab Dalam pasal 285 KUHP tersirat bahwa puncak penanganan terhadap korban
perksoaan adalah saat pelaku dijatuhi hukuman pidana, sedangkan penjatuhan
hukuman dalam kasus perksoaan bukanlah satu-satunya tujuan akhir dari
proses penegakkan hukum, masih tersisa tujuan utama dan sangat penting
ialah mengembalikan kondisi kehidupan korban perkosaan ke dalam posisi
semula, antara lain menumbuhkan kepercayaan kepada diri sendiri termasuk
dalam hal ini adalah pemberian ganti rugi berupa kompensasi (dari
pemerintah) atau restitusi (dari pelaku perkosaan). Penuntutan ganti rugi
sebagaimana diatur dalam pasal 136 KUH-Per dan pasal 98 KUHP pada
intinya pasal tersebut menyatakan bahwa setiap perbuatan yang melanggar
hukum yang menimbulkan kerugian kepada orang lain wajib mengganti
kerugian tersebut.
Soal : Apa upaya (tindakan) pemerintah dan masyarakat dalam rangka
mencegah tindak pidana perksoaan ?
Jawab Adapun upaya dalam rangka mencegah dan menanggulangi terjadinya
kejahatan seksual adalah dengan penerapan dan pelaksanaan peraturan,
seperti penjatuhan sanksi hukuman dengan pasti dan tepat, perlu digalakkan
penyuluhan hukum kepada masyarakat agar masyarakat mengerti kewajiban
dan hak-haknya dalam hukum baik hukum Positif maupun hukum Islam,
memperbaiki mental masyarakat agar lebih dewasa dan arif dalam menyikapi
korban perkosaan.
Download