ANALISA HUKUM ISLAM DAN KUHP TERHADAP PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN ANAK IDEOT (Studi Analisis Putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam Oleh : Muhammad Agus Setiawan NIM : 105043201333 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul ANALISA HUKUM ISLAM DAN KUHP TERHADAP PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN ANAK IDIOT (Studi Analisis Putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universtias Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada Kamis, 20 Mei 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (SSy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (Perbandingan Hukum). Jakarta, 20 Mei 2010 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 1955 0505198203 1012 PANITIA UJIAN 1. ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA NIP. 1957 0312 1985 1003 (…………….) 2. Sekretaris : Dr.H. Muhammad Taufiqi, M.Ag NIP. 19651119 199803 1002 (.…………….) 3. Pembimbing : Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM(….…………) NIP. 1955 0505198203 1012 4. Penguji I : Dr.H. Ahmad Mukri Aji, MA NIP. 1957 0312 1985 1003 (…………….) 5. Penguji II : Nahrowi, SH.MH NIP. 1973 0215 199903 1002 (…………….) ANALISA HUKUM ISLAM DAN KUHP TERHADAP PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN ANAK IDEOT (Studi Analisis Putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam Oleh : Muhammad Agus Setiawan NIM : 105043201333 Pembimbing Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 1955 0505198203 1012 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 KATA PENGANTAR Bismillahhirahmaanirrahiim, Segala puji bagi Allah SWT, shalawat serta salam bagi Rasulullah SAW beserta keluarganya yang suci atas terselesaikannya tulisan ini. Atas berkat rakhmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini yang bertujuan tidak lain untuk memenuhi syarat kelulusan yang dilaksanakan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Skripsi ini diberi judul : “ ANALISA HUKUM ISLAM DAN KUHP TENTANG PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK IDEOT (Studi Analisis Putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR)”. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Skripsi ini masih dan sangat jauh untuk disebut sempurna, mengingat akan keterbatasan penguasaan berbagai literatur dan waktu yang dipunyai oleh penulis. Meski demikian semoga Skripsi ini dapat menjadi bahan masukan dan acuan bagi Fakultas Syari’ah dan Hukum khususnya bagi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang menjadi almamater penulis. Dalam menyelesaikan tulisan ini, Penulis mendapatkan bantuan yang dibutuhkan dari berbagai pihak. Untuk itu, sudah selayaknya penulis memberikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu secara moril maupun materiil. i Selanjutnya penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga selaku pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan dan nasehat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. dan Pembantu Dekan I, II dan III yang telah membimbing dan memberikan ilmu kepada penulis. 2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA selaku Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengarahan serta waktu kepada penulis disela-sela kesibukan beliau. 3. Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang juga membimbing, meluangkan waktu dan mengarahkan segenap aktivitas yang berkenaan dengan jurusan. 4. Seluruh Dosen-dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta kepada karyawan dan Staf Perpustakaan yang telah memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi. ii 5. Yang sangat penulis cintai dan hormati kedua Orang Tuaku, Bapakku H. Jaya ibuku Hj. Rumsanah atas dukungan, dorongan morilnya dan semuanya yang tidak terhingga (tidak ada doa dan kasih sayang yang paling tulus dan besar selain doa dan kasih sayang orang tua). 6. Terima kasih tak kurang penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat seperjuangan Solah Al-Hasyimi, Ijul Al-Ghozali, Munir Al-Isnu, Arif van Holen dan Ipul As-Sukuti, Zulfikar Al-Misbah yang telah memberikan rasa persahabatan mendalam kepada penulis sehingga menjadi inspirasi dalam penulisan skripsi ini. Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini dan semoga Allah SWT membalas semua kebaikan Amien. Billahifisabilil haq, wassalammu’alaikum. Jakarta, 23 Maret 2010 Penulis iii DAFTAR ISI BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................1 B. Pembatasan Masalah .................................................................11 C. Perumusan Masalah …………………………………………..12 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………….12 E. Metode Penelitian …………………………………………….13 F. Review Studi Terdahulu ………………………………………17 G. Sistematika Penelitian … ……………………………………..18 BAB II :TINJAUAN UMUM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM MENGENAI TINDAK PIDANA PERKOSAAN A. Pengertian Pidana ………………………………………….…20 B. Tindak Pidana Perkosaan ……………………………………..34 C. Jenis-jenis Perkosaan …………………………………………36 D. Kejahatan Asusila bagi Anak di Bawah Umur ………………………..38 E. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak …………48 BAB III : ANALISA YURIDIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM No. 054 /PID /B/ 1997/PN. JAKBAR. A. Perkosaan Menurut Hukum Islam dan KUHP ..........................54 B. Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan ......................................59 C. Sanksi Hukuman Bagi Pelaku Perkosaan .................................69 D. Surat Dakwaan dan Putusan Hakim .........................................78 E. Analisis Hasil Penelitian ...........................................................82 BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan ...............................................................................93 B. Saran.......... ...............................................................................95 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................98 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara yang berdasarkan pada hukum, yang mana sistem yang dianut adalah sistem konstitusionalisme. Hal ini tertuang dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang mana berbunyi: ”Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtstaate)”. Dan “Pemerintahan Indonesia berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)”. Hal ini sudah dipertegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-3 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: ”Negara Indonesia adalah negara hukum”. Selain itu, tertegas pula dalam idealisme negara kita bahwa Pancasila adalah sebagai sistem hukum. Di mana ia merupakan sumber dari segala sumber hukum atau sumber hukum yang tertinggi di dalam sistem atau tata hukum Indonesia. Pada intinya, Pancasila bertujuan untuk mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan, serta kemampuan untuk mengayomi masyarakat, bangsa dan negara. Begitu jelas pernyataan-pernyataan itu tersebut dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga telah nyata juga adanya batasan-batasan mengenai bentuk dasar dan sistem Negara Indonesia.1 1 C.S.T, Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002, h. 59. 1 2 Adanya upaya pembentukan hukum di negara kita adalah merupakan bagian dari upaya pembangunan nasional. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa pembangunan adalah suatu proses yang di alami oleh masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Untuk dapat mencapai suatu sasaran yang diharapkan dari proses pembangunan, maka pada umumnya kegiatan pembangunan haruslah terencana, terpadu, dan terarah. Sejalan dengan hal itu, orang pun banyak berpendapat bahwa masa kini adalah hasil komulatif serta kesinambungan dari masa yang telah lalu dan upaya bersama suatu bangsa pada masa kini melalui suatu perubahan sosial dan budaya yang direncanakan demi pelaksanaan pembangunan. 2 Dalam kaitannya dengan pembangunan yang sedang dilaksanakan di Indonesia, maka di usahakan agar pembangunan tersebut mencakup aspek-aspek materiil dan spiritual dari kehidupan masyarakat, yang mana meliputi bidangbidang karya, cipta, dan rasa. Selain itu, pembangunan juga tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan bidang hukum yang merupakan salah satu sarana untuk menjaga keserasian, keutuhan serta pembaharuan masyarakat. Ketertiban dan integrasi melalui hukum merupakan unsur yang esensial bagi setiap bentuk kehidupan politik yang terorganisir, sebab negara merupakan salah satu lembaga yang memiliki fungsi utama untuk memenuhi cita-cita tersebut. Selain itu, adanya pembangunan nasional tidak bisa terlepas dari partisipasi masyarakat Indonesia seluruhnya. 2 Bambang Waluyo. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar grafika. 2000. hal. 1 3 Seiring dengan kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan (iptek), perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks. Perilaku yang demikian apabila ditinjau dari segi hukum, tentunya ada perilaku yang sesuai dengan norma dan ada yang dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran dari norma. Perilaku yang menyimpang dari norma biasanya akan menjadikan suatu permasalahan baru di bidang hukum dan merugikan masyarakat. 3 Perilaku yang tidak sesuai norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketentraman dan ketertiban terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Penyelewengan atas suatu norma yang berlaku biasanya oleh masyarakat umum dinilai sebagai suatu kejahatan dalam ruang lingkup hukum pidana dan kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan oleh negara. Kenyataan telah membuktikan bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi akan tetapi sulit diberantas secara tuntas. 4 Kejahatan yang dihadapi oleh manusia mengakibatkan masalah yang dihadapi oleh manusia menjadi datang silih berganti, sehingga dapatlah dikatakan bahwa hal tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk yang kehilangan arah dan tujuan di mana manusia mempunyai ambisi, keinginan dan tuntutan yang dibalut oleh nafsu. Akan tetapi, karena hasrat yang berlebihan gagal dikendalikan 3 4 Ibid. hal. 3 Ibid. hal. 4 4 dan di didik, maka mengakibatkan masalah yang dihadapinya semakin bertambah banyak dan beragam. Kejahatan yang terjadi dewasa ini bukan hanya menyangkut kejahatan terhadap nyawa dan harta benda saja, akan tetapi kejahatan terhadap kesusilaan juga semakin meningkat jumlahnya. Dalam hal kesusilaan, sering terjadi pada suatu krisis sosial di mana keadaan tersebut tak bisa lepas dari peranan kaidah sosial yang ada. Anak-anak dan kaum perempuan sangatlah rawan menjadi korban dari kejahatan. Berbagai penelitian dan pembahasan sudah cukup untuk mengaktualkan, merekontruksi, menginterprestasi dan memberdayakan hak-hak anak dan perempuan pada khususnya. Hak-hak anak dan wanita menjadi obyek pembahasan seiring dengan beragam persoalan sensitif yang melanda kaum anak dan perempuan tersebut. Dalam hal anak yang menjadi korban dari adanya tindak pidana yang terjadi maka dapatlah dipastikan bahwa dalam hal ini terjadi pelanggaran atas hak-hak anak, sehingga anak-anak menjadi kehilangan hak-hak yang seharusnya dinikmatinya. Masa anak-anak adalah masa di mana seorang anak mulai mengenal kehidupan, masa di mana terjadi proses pematangan fisik, kecerdasan, emosional, dan juga sosial. Masa ini juga merupakan masa di mana seorang anak akan melewatkan waktunya untuk bermain, belajar dan tumbuh berkembang dengan sehat. Selain itu, anak merupakan cikal bakal yang sangat berpotensi untuk di didik menjadi manusia dewasa yang berintelektual, handal, kreatif dan produktif. Sebab, anak merupakan generasi yang merupakan asset bagi pembangunan suatu bangsa. 5 Anak akan menjadi harapan penerus bagi kelangsungan suatu bangsa. Sebab, pada dasarnya nasib suatu bangsa sangat tergantung pada generasi penerusnya. Apabila generasi penerusnya baik, maka dapat dipastikan juga kehidupan suatu bangsa itu juga akan berlangsung baik. Namun sebaliknya jika generasi penerus itu rusak, maka rusaklah kehidupan bangsa itu. Begitu pentingnya generasi penerus bagi kelangsungan hidup berbangsa. Maka sudah sewajarnya jika seorang anak harus diberikan perhatian dan perlindungan khusus, terlebih lagi bagi anak yang mempunyai kekurangan atau yang biasa dikenal dengan istilah anak cacat (idiot) atau difabel. Menurut Pasal 7 angka (7) UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ”Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar”. Tentunya ada perlindungan/perlakuan yang sangatlah khusus bagi anak yang mempunyai kekurangan dan perbedaan dari anak normal. Sebab, mereka sangat berbeda dari anak-anak atau orang-orang pada umumnya. 5 Perlindungan pada anak dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, yakni melalui pemberian hak-hak terhadap anak yang dapat dikaitkan dalam hukum, seperti perlindungan atas kesejahteraan, pendidikan, perkembangan, jaminan masa depan yang cerah, dan perlindungan dari kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan serta perlindungan-perlindungan lain yang dapat memacu tumbuh berkembangnya anak secara wajar. 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 6 Di bidang kesusilaan, anak-anak dan kaum perempuan menjadi obyek pengebirian dan pelecehan dan hak-haknya sedang tidak berdaya menghadapi kebiadaban individual, kultural, dan struktural yang dibenarkan. Nilai kesusilaan yang seharusnya dijaga kesuciannya sedang dikoyak dan dinodai oleh naluri kebinatangan yang diberikan tempat untuk berlaku adidaya. Salah satu langkah antisipasi atas kejahatan tersebut dapat memfungsikan instrument hukum pidana secara efektif melalui penegakan hukum. Dan di upayakan bahwa perilaku yang dinilai telah melanggar hukum dapat ditanggulangi secara preventif dan represif. Sehingga dalam hal ini, melalui payung hukum hak-hak anak akan secara nyata dilindungi. Namun, perlu diingat juga bahwa penjatuhan pidana bukan sematamata sebagai jalan balas dendam atas perbuatan yang telah dilanggar, melainkan adalah suatu upaya pemberian bimbingan pada pelaku tindak pidana dan sebagai upaya pengayoman atas korban dari tindak pidana yang ada. Dan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan haruslah mempertimbangkan unsur-unsur obyektif yang tidak bersifat emosi semata. Seperti tujuan pemidanaan dalam Pasal 50 RUU KUHP Tahun 2000, yakni bahwa suatu pemidanaan dijatuhkan dengan tujuan: 6 1. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan penegakan norma hukum demi pengayoman negara dan masyarakat; 6 Pasal 50 Rancangan Undang-Undang KUHP Tahun 2000 7 2. Untuk memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan membimbing agar terpidana insyaf dan menjadikannya sebagai anggota masyarakat yang berbudi dan berguna; 3. Untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh terpidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; 4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Untuk sanksi pidana dalam kasus perkosaan, dalam KUHP sendiri telah diatur yang salah satunya terdapat dalam Pasal 285 yang berbunyi: 7 “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, di ancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Dan dalam Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: 8 “(1). Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)”. “(2). Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”. 7 Pasal 287 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 81 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam range ancaman maksimum dan minimum khusus itu dan mengurangi disparitas pidana.. 8 8 Dari bunyi pasal-pasal tersebut jelaslah tercantum sanksi pidana atas tindak pidana perkosaan pada anak di bawah umur yang cukup berat. Bahkan dalam Undang-undang Perlindungan Anak, ancaman pidananya lebih berat jika dibandingkan dengan ancaman pidana yang tercantum dalam KUHP. Sistem pengancaman pidananya juga menganut sistem ancaman minimum khusus dan maksimum khusus, sehingga diharapkan hakim dalam menjatuhkan putusan. Menurut Oemar Seno Adji, sebagai seorang hakim dalam memberikan putusan kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti pengaruh dari faktor agama, kebudayaan, pendidikan, nilai, norma dan sebagainya. Sehingga dapat dimungkinkan adanya perbedaan putusan atas kasus yang sama. Dan pada dasarnya hal tersebut lebih disebabkan oleh adanya perbedaan cara pandang sehingga mempengaruhi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan. 9 Cara penegakan hukum dan sanksi hukum dalam kenyataan sosial dan menghukum pelaku tindak pidana sebagai gejala sosial tidak lepas dari kenyataan masyarakat. Maka, penegakan hukum pidana merupakan salah satu pengendalian terhadap kejahatan yang untuk diberantas atau sekurang-kurangnya di jaga agar berada dalam batasan tertentu. 10 Di samping hal-hal tersebut yang mempengaruhi hakim dalam memberikan putusan adalah unsur pembuktian dikarenakan unsur vital yang dijadikan bahan pertimbangan hakim dalam menentukan berat atau ringannya pemidanaan. 9 Oemar Seno Adji. Hukum Hakim Pidana. Jakarta:Erlangga. 1984. hal. 12 Bambang Purnomo. Pertumbuhan Hukum Penyimpangan diluar Kodifikasi Hukum pidana. Jakarta:Bina aksara. 1994. hal. 52. 10 9 Namun hal tersebut terkadang dirasa sangatlah sulit oleh hakim terutama dalam tindak pidana perkosaan. Sebab seringkali wanita dan anak-anak yang menjadi korban tindak pidana perkosaan mengalami trauma yang sangat hebat sehingga tidak melaporkan kejadian yang baru dialaminya. Hal itu, juga menjadi faktor penghambat dalam proses pemidanaan atas tindak pidana perkosaan yang mana korban adalah seorang anak ataupun orang yang mempunyai keterbatasan pada pengucapan atau yang sering disebut dengan tuna wicara. Selain itu dapat juga dikarenakan adanya ketidaktahuan korban tindak pidana perkosaan itu sendiri atas perilaku atau perbuatan pencabulan yang baru dialaminya. Dalam perkara tindak pidana perkosaan terhadap anak, hakim mempunyai wewenang untuk melaksanakan pengadilan dan wajib memahami akibat yang ditimbulkan terhadap anak di bawah umur sebagai korban tindak pidana perkosaan karena pada akhirnya suatu putusan hakim dapat memberi pengaruh dan akibat positif maupun negatif baik itu bagi pelaku tindak pidana maupun bagi korban tindak pidana pemerkosaan tersebut. Batasan keadilan berdasarkan atas putusan hakim mengenai tindak pidana perkosaan tentu sangatlah abstrak, baik itu bagi pelaku tindak pidana ataupun bagi korban tindak pidana. Namun, dalam kehidupan masyarakat muncul persepsi yang menyatakan bahwa apabila korban tindak pidana perkosaan adalah anakanak maka tentunya sanksi yang dijatuhkan oleh hakim lebih berat jika dibandingkan korbannya adalah orang dewasa, serta akan lebih berat lagi jikalau 10 korban tersebut adalah seorang anak yang dikategorikan sebagai anak difabel atau yang biasa disebut dengan anak cacat (idiot). Seperti tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh seorang kakak ipar terhadap adik iparnya yang berkebutuhan khusus yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR, dimana seorang kakak ipar bernama Boy Santoso telah melakukan tindak pidana perkosaan terhadap adik iparnya yakni Bem-Bem. Pelaku di kenakan pasal 289 KUHP (dakwaan lebih subsider), dan tidak mengabulkan dakwaan primer dan subsider yakni pasal 285 dan 286 KUHP oleh hakim (Soeratno, SH) dan dihukum selama selama 2 (dua) tahun, dan membebankan kepada terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah). Apabila dilihat, korban berusia di bawah 18 tahun, itu artinya berdasarkan UU No.23/2002 tentang perlindungan anak, para korban berhak mendapatkan perlindungan. Maka, tentunya putusan hakim atas kasus tersebut dianggap terdapat kejanggalan, karma putusan tersebut belum memandang penderitaan bagi korban yang telah terenggut masa depannya serta menimbulkan trauma yang mendalam sekaligus dampak sosiologis di masyarakat di mana korban tinggal. Dengan berdasar uraian di atas, maka penulis bermaksud ingin mendalaminya lebih dalam dan menuangkannya dalam sebuah penulisan yang berbentuk penulisan hukum dengan judul: 11 “ ANALISA HUKUM ISLAM DAN KUHP TENTANG PUTUSAN PERKARA TINDAK PIDANA PERKOSAAN TERHADAP ANAK IDIOT (Studi Analisis Putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR)”. B. Batasan Masalah Berdasarkan uraian yang terkait dengan segala masalah yang sedang diteliti diatas, maka untuk mendapatkan pembahasan yang efektif dan objektif, perlu diberikan pembatasan masalah, sebagai berikut : 1. Tinjauan Hukum Positif yakni menurut KUHP pasal 285, 286, 289, 294 tentang perkosaan dan pencabulan, Pasal 81 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Hukum Islam (Al-Qur’an, al-Hadits dan fiqh / pendapat Imam mazhab) mengenai sanksi terhadap pelaku tindak pidana perkosaan. 2. Analisis surat dakwaan dan putusan menurut Hukum Positif serta Hukum Islam terhadap putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR, tentang tindak pidana perkosaan terhadap anak idot. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi penyimpangan dalam pembahasan, dalam arti supaya tidak mengalami pembahasan yang mengakibatkan ketidakfokusan dan kesimpangsiuran. meluas sehingga 12 C. Perumusan Masalah Sebagaimana telah Penulis uraikan diatas, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang sekiranya dapat diangkat untuk dikaji secara lebih lanjut. Adapun rumusan masalah yang dimaksud adalah : 1. Perbuatan apa saja yang termasuk ke dalam kategori perkosaan dan bagaimana sanksi pidananya menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ?. 2. Bagaimana pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana perkosaan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR ?. 3. Bagaimana analisis Hukum Positif dan Hukum Islam terhadap perkara tindak pidana perkosaan anak idiot dalam perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKTBAR ?. D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui perbuatan apa saja yang termasuk ke dalam kategori perkosaan, dan bagaimana sanksi pidananya menurut Hukum Positif dan Hukum Islam. 2. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam memutuskan perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR. 3. Untuk mengetahui analisis Hukum Positif dan Hukum Islam terhadap perkara tindak pindak perkosaan dalam perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR. 13 Selanjutnya manfaat dari penulisan ini adalah : 1. Menambah perbendaharaan keilmuwan dalam bidang hukum khususnya kajian mengenai tindak perkosaan teoritis maupun praktis. 2. Memberikan kontribusi positif kepada masyarakat tentang pidana perkosaan serta memberikan gambaran yang objektif menganai sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana perkosaan. 3. Kepada yang mengkaji lebih lanjut tentang masalah ini, diharapkan skripsi ini dapat menjadi salah satu masukan yang berarti, dan sedikit banyak dapat membuka cakrawala berfikir yang ilmiah. E. Metode Penelitian. 1. Pendekatan penelitian Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif maksudnya adalah suatu pendekatan yang dilihat dari segi peraturan-peraturan hukum yang berlaku. 2. Jenis Penelitian. Pada prinsipnya, penelitian ini merupalan penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata bukan angka. Dan mengambil data baik secara tertulis untuk diuraikan, sehingga memperoleh gambaran serta pemahaman yang menyeluruh. 14 3. Teknik Pengumpulan Data a. Studi Pustaka Dalam penelitian kepustakaan ini penulis melakukan pengumpulan bahan-bahan sumber data sekunder, ialah sumber-sumber yang tidak terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini sumber data sekunder ialah sejumlah data yang diperoleh dari buku-buku literatur, artikel, dokumen, putusan hakim Pengadilan Negeri Sragen mengenai kasus yang terkait, serta berbagai macam perundang-undangan dan sumber-sumber lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. b. Penelitian Lapangan Dalam melakukan penelitian lapangan untuk mengumpulkan bahanbahan atau data-data dengan menggunakan data primer, ialah semua pihak yang terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti. Dan dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer ialah Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Barat. 4. Teknik Pengolahan Data Seluruh data yang penulis peroleh dari kepustakaan dan wawancara disusun dalam bentuk penyusunan data kemudian dilakukan reduksi atau pengolahan data dan seterusnya diambil kesimpulan, yang dilakukan saling menjalin dengan proses pengumpulan data. Apabila kesimpulan kurang akurat, maka perlu di adakan verifikasi kembali dan peneliti 15 kembali mengumpulkan data di lapangan. Model ini dinamakan dengan istilah Interactive Model Analisis. Untuk lebih jelasnya maka penulis akan menggambarkan model analisa interactive tersebut sebagai berikut : Dalam penelitian ini, penulis akan mencari, meneliti, dan mengkaji secara mendalam atas suatu putusan yang telah dijatuhkan oleh seorang hakim dalam tindak pidana perkosaan yang korbannya adalah anak, baik pada anak normal dan anak yang secara fisik atau psikis mengalami kekurangan dalam kemampuannya. Dengan Pengumpulan data Kesimpulan/verifikasi Reduksi data Penyajian data penggunaan data ini, maka akan diperoleh suatu gambaran yang lengkap dan menyeluruh terhadap keadaan yang nyata sesuai dengan penelitian yang dilakukan. 5. Teknik Analisis Data Metode analisis data dalam penulisan ini Penulis mengolah data dengan metode deskriptif-kualitatif dan komparatif, Menurut H.B Soetopo analisis kualitatif adalah: “Suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis, lisan juga perilaku yang nyata diteliti dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh”. 11 Kemudian putusan tersebut akan penulis komparasikan dengan melihat sisi persamaan dan perbedaannya hukum Islam dan hukum Positif agar terdapat kejelasan dalam mengambil kesimpulan di dalam sudut pandang keduanya. 11 H.B. Soetopo. Pengantar Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. 1988. hal. 34. 16 6. Data Penelitian Jenis-jenis data dalam penulisan skripsi ini adalah : a. Sumber data primer, Yang menjadi sumber data primer ialah semua pihak yang terkait secara langsung dengan permasalahan yang diteliti. Dan dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer ialah Panitera Muda Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang pernah mengikuti sidang dalam mengadili dan memutus kasus tindak pidana perkosaan pada anak idiot. b. Sumber data sekunder, yakni yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer misalnya: data-data yang di peroleh dari Undang-Undang, Hukum Islam, hasil karya-karya ilmiah dan datadata lain yang masih relevan dan dapat menunjang akan penelitian ini. c. Sumber hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus, ensiklopedia, dan bahan pelengkap lainnya. 7. Teknik Penulisan. Dalam penelitian ini, penulis sepenuhnya menggunakan bimbingan skripsi dengan berpedoman kepada ” Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”, sehingga tidak keluar dari peraturan yang ada. F. Review Studi terdahulu Adapun review Studi terdahulu yang berkaitan dengan skripsi ini adalah: 17 1. Judul: Tinjauan Hukum Positif dan hukum pidana Islam bagi kejahatan perkosaan akibat gangguan kejiwaan. Penulis : Bustomi/SJJS/2004. Dalam skripsi ini hanya memaparkan tentang pelaku kejahatan perkosaan karena gangguan kejiwaan dalam pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam. 2. Judul : Dampak pornografi terhadap tindak pidana perkosaan oleh anak dibawah umur dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif Penulis: Ahmad Zarkasih/PMH/2005. Dalam skripsi ini hanya memaparkan tentang pengertian tindak pidana perkosaan oleh anak dibawah umur menurut hukum Islam dan Hukum Positif. 3. Judul : Tinjauan Hukum Islam terhadap upaya perlindungan hukum bagi korban perkosaan dikaitkan dengan pasal 285 KUHP Penulis: Uswatun Hasanah/SJJS/2004. Dalam skripsi ini hanya membahas tentang perlindungan hukum terhadap korban perkosaan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif dan penerapan pasal 285 KUHP kaitannya dengan korban perkosaan. H. Sistematika Pembahasan 18 Setelah penulis selesai mengutarakan tentang metode penelitian beserta pengertiannya, berikut ini penulis menyajikan uraian tentang sistematika. Skripsi ini disusun dalam empat bab, yaitu : BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini di jelaskan tentang latar belakang, yang meliputi latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah. Dijelaskan pula tentang, tujuan penulisan, kegunaan penulisan, landasan fundamental, review studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika pembahasan. Melalui pendahuluan ini penulis menjelaskan tentang fenomena-fenomena yang hendak di teliti dengan menggunakan berbagai rujukan. BAB II : TINJAUAN UMUM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM MENGENAI TINDAK PIDANA PERKOSAAN Di dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai pengertian tindak pidan menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, pengertian tindak pidana perkosaan, jenis-jenis perkosaan, kejahatan asusila bagi anak dibawah umur, Undang-undang NO 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. BAB III : ANALISA YURIDIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM No. 054 /PID /B/ 1997/PN. JAKBAR. 19 Di dalam bab ini penulis akan membahas tentang Perkosaan Menurut Hukum Islam dan KUHP, Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan, Sanksi Hukuman Bagi Pelaku Perkosaan, Surat dakwaan dan Putusan Hakim, Duduk perkara, Dakwaan, Vonis Hakim dan Analisis Hasil Penelitian BAB IV : PENUTUP Bab ini merupakan bab penutup yang meliputi kesimpulan dan saran-saran yang sekiranya dapat diterapkan pelaksanaannnya. BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM MENGENAI TINDAK PIDANA PERKOSAAN A. Tindak Pidana Harkristuti Harkrisnowo tentang tindak pidana, merupakan suatu bentuk prilaku tindakan yang membawa konsekuensi sanksi hukuman pidana pada siapapun yang melakukannya. Oleh karena itu, tidak sulit difahami bahwa tindaktindak semacam ini layaknya dikaitkan dengan nilai-nilai mendasar yang dipercaya dan dianut oleh suatu kelompok masyarakat pada suatu tempat dan waktu tertentu. Tidak mengherankan bahwa perbedaan ruang tempat dan waktu juga akan memberikan perbedaan pada perumusan sejumlah tindak pidana. 1 Seperti yang terjadi antara hukum Positif dan hukum Islam, walaupun terdapat beberapa persamaan tetapi juga memiliki perbedaan yang mendasar mengenai sudut pandangannya tentang hukum pidana itu sendiri. Dibawah ini akan dijelaskan mengenai tindak pidana menurut : 1. Hukum Positif Istilah tindak pidana atau dalam bahasa Belanda, strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam strafwetboek atau Kitab Undangundang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam 1 Hakristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undangundang Hukum Pidana, dalam Pandangam Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia (Pelaung,Prospek, dan Tantanagn), (Jakarta : Pusaka Firdaus. 2001),h. 179. 20 21 bahasa asing, yaitu delic. 2 Delic menurut kamus hukum mengandung pengertian tindak pidana, perbuatan yang diancam dengan hukuman. 3 Menurut Dr. Hakristuti Hakrisnowo tindak pidana yakni suatu perilaku dikenakan ancaman pidana hanya apabila prilaku itu dipandang dapat mengancam keseimbangan dalam masyarakat. Dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang dipandang “tidak baik” atau “bahkan buruk” dalam masyarakat. Akan tetapi karena tingkat ancamannya kepada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana. 4 Sementara Simons, memberikan definisi mengenal tindak pidana yakni suatu perbuatan yang diancam pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan itu. 5 Unsur-unsur dalam tindak pidana, yakni : a. Subjek tindak pidana Dalam pandangan KUHP, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seseorang manusia sebagai oknum. Selain itu, suatu perkumpulan atau korporasi dapat juga menjadi subjek pidana. 6 2 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2003), h. 59. 3 Soebekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1972),h. 35. 4 Hakristuti Hakrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan, h. 180. 5 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Penerapan Syari’at Islam Konteks Modernitas), (Bandung : Asy-Syamil Prees & Grafika, 2001),h. 132. 6 Ibid,h. 134. 22 b. Perbuatan dari tindak pidana Unsur perbuatan dirumuskan dalam suatu tindak pidana formil, seperti pencurian (pasal 362 KUHP) perbuatannya dirumuskan sebagai “mengambil barang”. c. Hubungan sebab-akibat (causal vervand) Bahwa untuk tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu akibat tertentu dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan keharusan ada hubungan sebabakibat (causal vervand) antara perbuatan si pelaku dan kerugian kepentingan tertentu, terdapat dua teori mengenal sebab-akibat ini yakni : Pertama dari Von Buri (1869) yang disebut teori condition sine que non (teori syarat mutlak) yang mengatakan, suatu hal adalah sebab dari suatu akibat ini tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. Dengan demikian, teori ini mengenal banyak sebab dari suatu akibat. Kedua dari Von Bar (1870) yagn kemudian diteruskan oleh Van kriese yang disebut adequate veroorzaking (penyebaban yang bersifat dapat dikira-kirakan), dan yang mengajarkan bahwa suatu hal baru dapat dinamakan sebab dari suatu akibat apabila menurut 23 pengalaman manusia dapat dikira-kira bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat. 7 d. Sifat melawan hukum (Onrechtmatigheld) Sebenarnya dalam setiap tindak pidana ada unsur melawan hukum, namun tidak semua tindak pidana memuatnya dalam rumusan. Ada berbagai tindak pidana yang unsur melawan hukum disebutkan secara tegas, misalnya pasal 362 KUHP tentang pencurian, disebutkan bahwa pencurian adalah mengambil barang yang sebagaian atau sepenuhnya kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum. 8 e. Kesalahan Pelaku Tindak Pidana 9 Unsur kesalahan ini bisa berupa tanpa kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan tersebut dapat mengenai unsur perbuatan yang dilarang, akibat yang dilarang atau sifat melawan hukumnya. 10 Selanjutnya, tindak pidana didalam KUHP dibagi kedalam dua jenis yakni kejahatan (misdrijiven) dan pelanggran (overtredingen). Menurut M.v.T pembagian atas dua jenis ini didasarkan atas perbuatan prinsipil. Dikatan, bahwa kejahatan adalah “rectsdeliten”, yaitu perbuatanperbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam Undang-undang sebagai 7 Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,h. 61-62. Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 134. 9 Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, h. 65. 10 Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 134. 8 24 perbuatan pidana telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Pelanggaran sebaliknya adalah “wetsdelikntern”, yaitu perbutan-perbuatan yang bersifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. Tindak pidana selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, dibedakan juga berdasarkan : a. Cara Perumusannya (1) Delik Formil, pada delik ini yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut. (2) Delik Materil, yakni selain dari pada tindakan yang terlarang itu dilakukan, masih harus ada akibatnya yang timbul karena tindakan itu, baru telah dikatakan telah terjadi tindak pidana tersebut sepenuhnya. 11 b. Cara Melakukan Tindak Pidana 12 (1) Delik Komisi, yakni delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana. 11 E.Y. Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta : Storia Grafika, 2002),h. 237. 12 Ibid., h. 238. 25 (2) Delik Omisi, yakni delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat, misalnya delik yang dirumuskan dalam pasal 164. mengetahui suatu permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam pasal itu, pada saat masih ada waktu untuk mencegah kejahatan, tidak segera melaporkan kepada instansi yang berwajib atau orang yang terkena. (3) Delikta commisionis peromissionem, yakni delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya seseorang ibu yang membunuh anaknya dengan jalan tidak memberi makan kepada anak itu. 13 c. Ada/tidaknya pengulangan atau kelanjutannya (1) Delik Mandiri, adalah jika tindakan yang dilakukan itu hanya satu kali saja, untuk mana petindak pidana. (2) Delik Berlanjut, adalah tindakan yang sama berulang dilakukan, dan merupakan atau dapat dianggap sebagai pelanjut dari tindakan semula. 14 d. Berakhir atau Berkesinambungannya suatu Delik (1) Delik Berakhir (2) Delik Berkesinambungan 13 14 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia,h. 76. Kanter dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,h. 238. 26 e. Keadaan Memberatkan dan meringankan 15 (1) Delik Biasa (2) Delik diwalifisiar (diperberat), yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur memberatkan, misalnya pasal 363. (3) Delik diprivisilir (diperingan), yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur meringankan, misalnya dalam pasal 341 lebih ringan dari pada 342. 16 f. Bentuk Kesalahan Pelaku (1) Delik Sengaja (Dolus), yakni suatu tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja, misalnya pembunuhan dengan berencana (pasal 338 KUHP). (2) Delik Alpa (culpa), yakni tindak pidana yang tidak sengaja, karena kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang. Contoh pasal 359 KUHP. 17 g. Cara Penuntutan (1) Delik Aduan, yakni suatu tindak pidana yang memerlukan pengaduan orang lain, jadi sebelum ada pengaduan belum merupakan delik. Contoh : penghinaan. 15 16 97. 17 Ibid., h. 238-239. Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta :Ghalia Indonesia, 1978),h. J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta : PT Prenhalindo, 2001), h. 94. 27 (2) Delik Biasa (bukan delik aduan), yakni semua tindak pidana yang penuntutannya tidak perlu menunggu adanya pengaduan dari korban atau dari keluarganya, contoh : pembunuhan dan penganiyaan. 18 2. Hukum Islam Dalam hukum Islam ada dua istilah yang kerap digunakan untuk tindak pidana ini, jinayah dan jarimah. Dapat dikatakan bahwa kata “jinayah” yang digunakan para fuqaha adalah sama dengan istilah “jarimah”. 19 mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Dikalangan fuqaha, perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut Syara’. Meskipun demikian para fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa seperti, memukul, dan sebagainya. Selain itu terdapat fuqaha yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash tidak termasuk kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan Syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir. 20 18 Ibid., h. 94. Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 132. 20 A.Zajuli, Fiqh JInayah (Upaya Menganggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2001),h. 1. 19 28 Jarimah didefinisikan oleh Imam al-Mawardi sebagai segala larangan Syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir. 21 Ada pula golongan fuqaha yang membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada jarimah hudud atau qishash saja. Dengan mengenyampingkan perbedaan pemakian kata-kata jarimah dikalangan fuqaha sama dengan kata-kata jarimah. 22 Para fuqaha mengartikan zina yaitu melakukan hubungan seksual dalam arti memasukan zakar (kelamin pria) kedalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan karena subhat tetapi atas dasar syahwat. Dasar hukum dari jarimah zina yakni : ☺ ☺ ☺ ⌧ ⌧ ☺ 21 Ibid.,h.11. Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 2005),h.3. 22 29 Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan), hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang beriman”. (Q.S : An-Nurr /24 :2) ⌧ ⌧ Artinya : “dan janganlah kamu mendekatii zina; sesungguhnyaq zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S al-isra 17 :32) Jarimah memiliki dua unsur yaitu : a. Unsur Umum Yakni unsur-unsur yang terdapat pada setiap jenis jarimah. 23 Yang termasuk dalam unsur umum ini yaitu : 1) Al-Rukn al-Syar’iy (unsur hukum), yakni adanya nash yang melarang perbutan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbutan-perrbuatan diatas. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur formal”. 2) Al-Rukn al-Madi (unsur materil), yakni adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. 23 Dzajuli, Fiqh Jinayah., h. 12. 30 3) Al-Rukn al-Adabiy (unsur budaya), yakni adanya pelaku kejahatan (orang yang dapat menerima taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukalaf , sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan). 24 b. Unsur Khusus Yakni unsur yang terdapat pada suatu jarimah namun tidak terdapat pada jarimah lainnya. Contoh : mengambil harta orang lain secara diamdiam dari tempatnya dalam jarimah pencurian, atau menghilangkan nyawa manusia oleh manusia lainnya dalam jarimah pembunuhan. 25 Jarimah dapat berbeda penggolongannya, menurut perbedaan cara meninjaunya yakni dilihat dari : a. segi berat ringannya hukuman 1) Jarimah hudud, ialah jarimah yang diancamkan hukuman hudud, yakni hukuman yang telah ditentukan jenis dan jumlahnya serta menjadi hak Allah SWT. 26 Yang termasuk kedalam jarimah hudud yaitu : zina, qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), meminum minuman keras, mencuri, merampok, murtad, pencurian dan pemberontak. 24 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,h. 1-3 Ibid.,h. 12. 26 Maksud hak Allah ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (individu) atau masyarakat, ibid. 25 31 2) Jarimah qishash atau diyat, ialah perbutan yang diancam hukuman qishash atau diyat. Keduanya merupakan hak individu 27 yang kadar jumlahnya telah ditentukan, yakni tidak memiliki batasan minimal atau maksimal. Yang termasuk kedalam jarimah qishash dan diyat yakni : pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena ketidaksengajaan, penganiyaan sengaja, dan penganiyaan tidak sengaja. 3) Jarimah ta’zir, 28 ialah jarimah yang diancam dengan satu atau beberapa hukuman ta’zir. Jenis jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya, sedang pada jarimah hudud atau qishash dan diyat sudah ditentukan. Yang termasuk jarimah ta’zir yakni : riba, suap, pencabulan, illegal loggin, human trafficking dan sebagainya. b. Niat si pembuat/pelaku jarimah 1) Jarimah sengaja, si pembuat/pelaku dengan sengaja melakukan perbutannya, sedang ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang (salah). 2) Jarimah tidak sengaja. Sipembuat/pelaku tidak sengaja melakukan perbutan yang dilarang, akan tetapi perbuatan tersebut sebagai akibat kekeliruannya, kekeliruan ada dua macam, yakni : 27 Maksud hak individu adalah seorang boleh membatalkan hukumannya tesebut dengan memaafkan si pelaku jika ia menghendaki. Ibid.,h. 100. 28 Ibid.,h. 100. 32 a) Pembuat (pelaku) dengan sengaja melakukan perbuatan jarimah tetapi jarimah ini sama sekali tidak diniatkannya. b) Pembuat (pelaku) tidak sengaja berbuat dan jarimah yang terjadi tidak diniatkannya sama sekali. 29 c. Segi mengerjakannya 1) Jarimah ijabiyyah/positif terjadi karena mengerjakan sesuatu perbuatan yang dilarang, seperti mencuri, zina, pembunuhan, memukul dan sebagainya. Jarimah ijabiyyah ini disebut juga delicta commisionis. 2) Jarimah salabiyyah/negative terjadi karena tidak mengerjakan sesuatu perbutan yang diperintahkan. Seperti mengeluarkan zakat. Disebut juga delicta omnisionis. 3) Jarimah commisionis per ommisionem commisa, contohnya yakni petugas LP sengaja tidak memberikan makan kepada narapidana yang selanjutnya menyebabkan kematian pada narapidana tersebut. 30 d. Segi waktu terungkapnya jarimah 1) Jarimah yang tertangkap basah, yakni jarimah yang terungkap pada saat jarimah itu dilakukan atau beberapa saat setelah jarimah tersebut dilakukan. 29 30 Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 11-12. Ibid.,h 12-14. 33 2) Jarimah yang tidak tertangkap basah, yaitu jarimah yang tidak tertangkap pada saat jarimah tersebut dilakukan atau terungkapnya pelaku jarimah itu dalam waktu yang lama. 31 e. Segi cara melakukan jarimah 1) Jarimah tunggal (al-Jarimah al-Basitah) yakni jarimah yang dilakukan dengan satu perbuatan, seperti pencurian, meminum minuman keras, baik tindak pidana ini terjadi seketika (tindak pidana temporal atau jarimah muaqqatah) maupun yang dilakukan dengan cara terus menerus (jarimah mustamirah). Jarimah hudud, qishash dan diyat termasuk kedalam kategori jarimah tunggal. 2) Jarimah berangkai, yakni jarimah yang dilakukan berulangulang (berangkai). Jarimah itu sendiri tidak termasuk dalam kategori jarimah, tetapi berulang-ulangnya jarimah tersebut yang menjadikannya sebagai jarimah. Bentuk jarimah ini banyak terdapat dalam jarimah ta’zir. Dimana petunjuknya diperoleh dari nash yang mengharamkan perbutan tersebut. 32 f. Orang yang menjadi korban 1) Jarimah masyarakat/haq Allah/ hak jama’ah, ialah suatu jarimah di mana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk 31 32 Abdul Qadir Audah, al-Tasyri al-Jinai al-Islami.,h. 84. Ibid.,h. 110. 34 menjaga kepentingan masyarakat. Baik jarimah tersebut mengenal perorangan atau mengenal ketentuan masyarakat dan keamanannya. 2) Jarimah perseorangan / hak al-afrad, ialah suatu jarimah dimana hukuman terhadapanya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan perseorangan, meskipun sebenarnya apa yang menyinggung perseorangan juga berarti menyinggung masyarakat. 33 B. Tindak Pidana Perkosaan Perkosaan pada dasarnya adalah bentuk kekerasan primitive yang kita tahu dapat terjadi pada siapa pun. Gejala perkosaan merupakan salah satu tantangan sosial yang harus dipikirkan secara serius, dari dahulu hingga sekarang perkosaan bukan hanya kekerasan seks semata tetapi selalu merupakan suatu bentuk perilaku yang dipengaruhi oleh sistem kekuasaan tertentu. 34 Kasus perkosaan sepintas lalu tidak lebih istimewa dari kasus-kasus kekerasan lainnya, atau kalaupun jadi istimewa biasanya perkosaan dengan korban perempuan dibawah umur atau perkosaan diakhiri dengan pembunuhan. 33 Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 14. Eko Prasetyo & Supraman Marzuki (ed), Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta : PKBI-DIY, 1997), Cet, ke 1, h.9. 34 35 Istilah perkosaan dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah paksaan kekerasan. 35 Dalam kamus umum bahasa Indonesia perkosaan berasal dari kata “perkosa” yang artinya gagah, kuat, perkasa, kekerasan. 36 Kemudian dalam kamus lengkap bahasa Indonesia modern dijelaskan “perkosa” dengan arti gagah, kuat, paksa, kekerasan, maka apabila mendapat awalan “me” menjadi memperkosa, maka diartikan dengan mendudukan dengan kekerasan, menggagahi, memaksa dengan kekerasan. 37 Jadi, perkosa dapat diartikan dengan kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan. Berbicara masalah kejahatan dengan kekerasan ini, maka perkosaan dapat terjadi bilamana seseorang laki-laki secara paksa atau dengan cara kekerasan berupaya untuk menyetubuhi dalam arti ingin mengadakan hubungan kelamin dengan seorang wanita dimana pihak wanita tidak bersedia melayani nafsu seknya. Untuk selanjutnya dibawah ini akan diuraikan beberapa pendapat ahli dalam mendefinisikan tentang perkosaan agar dapat dengan jelas memperoleh gambaran yang dimaksud. Bismar Siregar, mengatatkan bahwa perkosaan adalah perbuatan secara paksa ingin memenuhi nafsu kebinatangannya. 38 35 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta :Balai Pustaka, 1990), Cet, ke 3,h.673. 36 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976), h.741. 37 Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta : Pustaka Amini, tth),h.307. 38 Bismar Siregar, “Tanggung Jawab Hakim Melindungi Korban Perkosaan, Makalah Seminar Nasional Tentang:Aspek-aspek Perlindungan Hukum Korban Perkosaan, (Surabaya : Universitas Sebelas Maret, 1999),h. 10. 36 Menurut Koesparmono Irsan perkosaan adalah perbuatan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh. 39 Soetadyo Wegnjosubroto mengatakan perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan hukum yang berlaku adalah melanggar. C. Jenis-jenis perkosaan Setelah menjelaskan pengertian dari tindak pidana perkosaan, ada baiknya pada bagian ini penulis akan menguraikan jenis perkosaan, sebagaimana menurut krominolog Mulyana W. Kusuma menyebutkan jenis perkosaan berikut ini : 1. Sadistic Rape, pada tipe ini seksualitas dan agresif berpadu dalam bentuk yang merusak, pelaku perkosaan telah nampak menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksnya, melainkan melalui serangan yang mengerikan atas alat kelamin dan tubuh korban. 2. Angea Rape, penganiyaan seksual yang bercirikan seksualitas menjadi sarana untuk menyatakan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang tertahan. Di sini tubuh korban seakan-akan merupak obyek terhadap siapa pelaku yang memproyeksikan pemecahan atas prustasi-prustasi, kelemahan, kesulitan dan kekecewaan hidupnya. 39 Koesparno Ihsan, Kekerasan-kekerasan Sebagai Tindak Kriminal, Makalah Seminar Sehari Tentang : Tindak Pidana Kekerasan Dalam Masyarakat, (Jakarta, 1990),h.4. 37 3. Dononation Rape, suatu perkosaan yang terjadi ketika pelaku mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superiorotas terhadap korban. Tujuannya adalah penakluk seksual, pelaku menyakiti korban, namun tetap memiliki keinginan berhubungan seksual. 4. Seduktive Rape, perkosaan yang terjadi pada situasi-situasi yang merangsang, yang tercipta oleh kedua belah pihak. Pada mulanya korban memutuskan bahwa keintiman personal harus dibatasi tidak sampai sejauh kesenggamaan. Pelaku pada mulanya mempunyai keyakinan membutuhkan paksaan, oleh karena itu tak mempunyai rasa bersalah yang menyangkut seks. 5. Victim Precipitatied, perkosaan yang terjadi (berlangsung) dengan menempatkan korban sebagai pencetusnya. 6. Exploitation Rape, perkosaan yang menunjukan bahwa pada setiap kesempatan melakukan hubungan seksual yang diperoleh oleh laki-laki dengan mengambil keuntungan yang berlawanan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomis dan social. Victim Precipitation Rape merupakan jenis perkosaan yang mendapat perhatian serius belakangan ini. Keterlibatan, peranan, andil dan pengaruh korban yang secara langsung maupun tidak langsung sebagai “pencetus” timbulnya perkosaan menjadi pembicaraan yang serius mengenai factor penyebab terjadinya perkosaan. “Victim Precipitation” menjadi catatan mengenai jenis perkosaan yang melibatkan dua komponen, yang 38 menempatkan perempuan sebagai pihak yang dianggap turut bersalah dalam melahirkan kejahatan kesusilaan. Sedangkan “Sadistic rape” menjadi salah satu jenis kejahatan yang juga mendapat sorotan sehubungan dengan tidak sedikitnya kasus perkosaan yang dilakukan secara sadis. Adanya perbedaan pengertian atau persepsi tentang jenis perkosaan mempunyai pengaruh terhadap informasi yang berkaitan dengan perkosaan. Di satu sisi masyarakat menganggap suatu perbuatan sebagai perkosaan dan karena itu melaporkannya kepada polisi. Di sisi lain polisi belum memandang perbuatan berikut sebagai tindak pidana perkosaan, karena perbuatan yang dilaporkan tidak sesuai dengan perumusan pasal 285 KUHP. Yang perlu mendapatkan perhatian ialah persepsi masyarakat yang cenderung menyatakan kejahatan kesusilaan yang bukan perkosaan sebagai tindak pidana perkosaan. Secara yuridis harus ada unsur-unsur yang wajib dipenuhi sesuai dengan ketentuan pasala 285 KUHP, agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan. D. Kejahatan Asusila bagi Anak di Bawah Umur 1. Pengertian Anak, Konsep dan Batasan Anak di Bawah Umur a. Pengertian Anak Kelahiran anak (bayi) karena perkawinan sedikit banyaknya menyebabkan hal-hal tertentu dalam berbagai kehidupan bernegara dan 39 bermasyarakat. Secara hukum kelahiran tersebut mempunyai/menimbulkan akibat hukum. Dalam lapangan hukum perdata akibat hukum ini berpokok kepada anak dan kewajiban seperti : kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak dan penyangkalan sahnya anak, perwalian, pendewasaan, dan pengangkatan anak. Anak dalam masyarakat yang bagaimanapun bentuk dan coraknya, merupakan pembawa bahagia. Tidak heran bila dalam upacara pernikahan pengantar dua insan ke gelanggan rumah tangga di antar petuah serta doa restu, orang tua-tua selalu berpesan, semoga kedua mempelai diberkati keturunan bukan satu, bukan dua, tetapi banyak. Pasal 91 (4) KUHP memberikan penjelasan tentang anak adalah orang yang ada dibawah kekuasaan yang sama dengan kekuasaan orang tuanya. 40 Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 41 Sedangkan dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1979 pasal 1 ayat 2 dijelaskan tentang pengertian anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum pernah kawin. Batasan 21 tahun ini ditetapkan oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha sosial, tahap 40 Agung Wahyono, SH dan Ny Siti Rahayu, SH. Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia. (Cet. I; Sinar Grafika : Jakarta, 1993), h. 20 Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen Sosial RI. Undang– Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. (Cet. I; Jakarta : UNICEF, 2003), h. 13. Lihat juga Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. (Cet. I; Bandung : Citra Umbara, 2003), h. 4. 40 kematangan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia 21 tahun. 42 Sedangkan pengertian anak menurut pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup umur, dengan belum cukup umur dimaksudkan adalah mereka yang melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun. 43 Dalam Konvensi Hak Anak menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun, sedangkan dalam KUHP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 17 tahun. 44 Dari beberapa pengertian anak di atas dapat di bedakan beberapa pengertian tentang anak, yaitu (1) Anak kandung; (2) Anak terlantar, (3) Anak yang menyandang cacat, (4) Anak yang memiliki keunggulan, dan (5) Anak angkat, serta (6) Anak asuh. Dimaksud dengan anak kandung adalah anak yang dilahirkan dari dalam rahim seorang ibu; sedangkan anak terlantar adalah anak yang tidak terpelihara kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spritual, maupun sosial; anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar; anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan bakat istimewa; anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari 42 Agung Wahyono, SH dan Ny Siti Rahayu, SH. op. cit. h. 19. Ibid, h. 20 44 Bibik Nurudduja. Hukum Jual Beli Gadis di Bawah Umur. t.th. 43 41 lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan; anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya anak secara wajar. 45 b. Konsep dan Batasan anak dibawah umur Berbicara mengenai konsep dan batasan anak di bawah umur, penulis bertolak pada KUHP dan konvensi Hak-Hak Anak (KHA), dimana dalam KUHP tersebut memberikan batasan anak di bawah umur adalah lima belas tahun, sedangkan dalam KHA memberikan batasan anak di bawah umur adalah delapan belas tahun. secara fakta psikologi anak usia 17 tahun masih labil sehingga batasan umur dalam KHA dirasa lebih tepat. Sedangkan dalam hukum Islam batasan anak di bawah umur terdapat perbedaan penentuan. Menurut hukum Islam batasan itu tidak berdasarkan hitungan usia, tetapi sejak ada tanda-tanda perubahan badania baik bagi di anak laki-laki, demikian pula bagi anak perempuan. Sedangkan dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis, ditetapkan batasan umur 16 tahun atau 18 tahun ataupun usia tertentu yang menurut 45 Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI dan Departemen Sosial RI, Ibid, h. 14. 42 perhitungan pada usia itulah si anak bukan lagi tergolong anak di bawah umur, tetapi sudah dewasa. 46 Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak disebutkan bahwa anak sampai batas usia sebelum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin masih tergolong anak di bawah umur. sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan memberikan batasan usia anak di bawah kekuasaan orang tua atau dibawah perwalian sebelum mencapai 18 tahun masih tergolong anak di bawah umur. dalam Undang-Undang pemilu yang dikatakan anak di bawah umur adalah belum mencapai usia 17 tahun, sedangkan dalam konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak memberikan batasan anak di bawah umur adalah di bawah umur 18 tahun. 2. Kewajiban dan Tanggung Jawab Anak Sebelum penulis menjelaskan tentang kewajiban seorang anak terlebih dahulu akan di jelaskan tentang pengertian kewajiban itu sendiri. Kewajiban adalah segala yang harus kita penuhi sebelum kita menuntut hak. seorang anak selain memiliki kewajiban, juga memiliki tanggung jawab baik itu terhadap dirinya, keluarganya, masyarakat, bangsa dan negaranya. Dalam Undang-Undang perlindungan anak pasal 19 dijelaskan tentang kewajiban seorang anak, yaitu : (1) Menghormati orang tua, wali, dan guru; 46 Bibik Nurudduja.t. t.th. 43 (2) Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; (3) mencintai tanah air, bangsa dan negara; (4) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; (5) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. 47 Sedangkan tanggung jawab seorang anak adalah tanggung jawab terhadap dirinya sendiri seperti memelihara diri dari segala gangguan yang mungkin membahayakan keselamatannya. Tanggung jawab terhadap kedua orang tuanya seperti menghormati dan menghargai kedua orang tuanya, guru, keluarga, masyarakat. Sedangkan tanggung jawab terhadap bangsa, negara dan agamanya adalah menghargai para pahlawan yang telah gugur dalam mempertahankan bangsa dan negara Indonesia, sedangkan tanggung jawab untuk agamanya adalah seorang anak harus betul-betul mempelajari ajaran agama agar supaya mereka dapat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Tanggung jawab lain seorang anak terhadap agamanya dalam bentuk melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, berakhlak dan beretika baik 3. Kategori Kejahatan Asusila terhadap Anak di bawah Umur Bentuk-bentuk kejahatan dan kekerasan yang dialami oleh anak-anak dilakukan dengan fokus di empat arena dimana anak-anak banyak menghabiskan waktunya yakni di rumah, sekolah, tempat kerja dan tempat 47 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. (Cet. I; Bandung : Citra Umbara, 2003), h. 11. 44 umum. Dari hasil penelitian oleh Lembaga Perlindunga Anak (LPA) di kota Makassar menemukan bahwa jenis-jenis kekerasan yang dialami oleh anakanak dibedakan menjadi tiga, yakni kekerasan mental (mental abuse), kekerasan fisik (physical abuse), dan kekerasan seksual (sexual abuse). Jenis kekerasan fisik atau physical abuse adalah jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak, disusul kemudian dengan kekerasan mental dan kekerasan seksual, tetapi yang menjadi pokok pembahasan penulis adalah kekerasan seksual terhadap anak-anak. Berbagai macam bentuk kekerasan dan kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak di bawah umur merupakan sebuah fenomena sosial yang tidak terwujud begitu saja atau berdiri sendiri dalam suatu masyarakat. Fenomena sosial-budaya semacam ini merupakan bentuk kekerasan dan bentuk kejahatan terhadap anak yang muncul dalam suatu masyarakat tertentu yang memiliki unsur-unsur pendukung bagi keberadaan gejala kekerasan dan kejahatan tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang terjadi pada anak-anak dan si pelaku banyak tergantung pada kontek atau setting tempat yang memungkinkan terjadinya tindak kekerasan dan kejahatan terhadap anakanak di bawah umur. Tindak kekerasan dan kejahatan yang dimaksud adalah setiap perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau tubuh/fisik menjadi tindak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini biasanya berupa kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau 45 kemarahan. Keadaan fisik tidak nyaman bisa berupa lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya. Jenis-jenis kejahatan/kekerasan yang terjadi pada anak di bawah umur dapat dibedakan kedalam tiga kategori yaitu kekerasan/kejahatan mental (mental abuse), kejahatan atau kekerasan fisik (physical abuse) dan kekerasan atau kejahatan seksual (sexual abuse). Tetapi yang menjadi bahan kajian utama penulis adalah kekerasan seksual (sexual abuse). Setiap jenis kekerasan terdiri dari berbagai macam bentuk kekerasan dan kejahatan, dan bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan yang pernah dialami oleh para korban berbeda-bedasa seperti perlakuan tidak senonoh, perayuan, pencolekan, pemaksaan onani, oral seks, anal seks dan pemerkosaan adalah bentuk kekerasan dan kejahatan yang sering dialami oleh anak-anak di bawah umur. Rumah dan sekolah adalah merupakan tempat bagi anak-anak paling banyak melewati waktunya sehari-hari. Di tempat-tempat inilah anak-anak semestinya tidak memperoleh tindak kekerasan khususnya tindak kekerasan asusilah. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Hal ini tampaknya tidak terlepas dari kenyataan lain bahwa rumah dan sekolah adalah tempat anak-anak memperoleh pendidikan dan dibentuk serta disiapkan untuk menjadi warga masyarakat yang dapat diterima oleh masyarakatnya, dan di situlah mereka mengalami proses pendisiplinan, yang kadang-kadang berubah menjadi tindak kekerasan yang tidak pada tempatnya. 46 Dalam soal kekerasan seksual seorang anak seringkali mengalaminya di dalam rumah, sekolah, tempat umum. Di dalam lingkungan keluarga atau rumah seringkali terjadi bentuk kekeran seksual terhadap anak di bawah umur sebab hal ini memungkinkan para pelaku tindak kekerasan terhadap anak merasa lebih leluasa melampiaskan hawa napsunya seperti melakukan pemerkosaan, pencabulan, dan mencolekan serta pemelukan secara paksa seperti yang banyak diberitakan lewat siaran-siatan TV di Indonesia, seorang ayah melakukan pemerkosaan terhadap anak kandungnya sendiri, seorang kakek memperkosa cucunya, dan bahkan seorang pamam tega melakukan pemerkosaan terhadap keponakannya. Sedangkan dalam lingkungan selokah bentuk kekerasan yang dialami oleh anak di bawah umur adalah berupa kekerasan mental, kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Kekerasan mental yang dialami oleh seorang anak kebanyakan adalah pemberian hukuman oleh guru akibat melanggar aturan di sekolah. Sedangkan kekerasan fisik sering terjadi akibat dianggap telah melanggar aturan dan tidak bersedia memenuhi perintah. Ada juga kekerasan fisik yang disebabkan oleh tindakan iseng dan juga akibat tindakan kriminalitas. Di samping itu ada beberapa asumsi penting yang terkandung dalam perspektif semacam ini. Asumsi pertama, adalah bahwa berbagai macam bentuk kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak merupakan sebuah fenomena sosial yang tidak terwujud begitu saja atau 47 berdiri sendiri dalam suatu kekosongan. Sebaliknya, sebagaimana fenomena sosial budaya, berbagai macam bentuk kekerasan terhadap anak muncul dalam suatu konteks sosial-budaya tertentu yang memiliki unsur-unsur pendukung bagi keberadaan gejala kekerasan tersebut. Asumsi kedua, bentukbentuk kekerasan yang terjadi pada anak-anak dan pelakunya sedikit banyak tergantung pada konteks atau setting tempat terhadinya kekerasan itu sendiri. Oleh karena itu, bukan hanya ciri dan sifat pelaku kekerasan yang perlu kita ketahui, tetapi juga tempat terjadinya kekerasan itu sendiri. Tanpa pengetahuan tentang setting ini, penanganan berbagai bentuk kekerasan terhadap anak-anak tidak akan mencapai hasil yang optimal. Asumsi ketiga, setiap individu pada dasarnya telah pernah menjadi korban dari satu atau lebih bentuk kekerasan, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, makhluk yang selalu berada dalam berbagai interaksi dan relasi dengan individu-individu yang lain, dan dibesarkan dalam suatu kelompok atau golongan sosial tertentu, dengan pola budaya tertentu pula. Dalam proses sosialisasi di tengah-tengah individu lain inilah, manusia bekerjasama, tetapi sekaligus juga bersaing dengan yang lain untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Persaingan akan menghasilkan pihak yang menang dan kalah, dan di sini bisa terjadi berbagai bentuk tindak kekerasan dari satu individu terhadap individu lain yang lebih lemah. Setiap individu pada dasarnya telah mengalami situasi semacam ini, sehingga setiap orang pada dasarnya telah pernah menjadi korban tindak kekerasan tertentu. 48 Tindak kekerasan di sini diartikan sebagai setiap perilaku yang dapat menyebabkan keadaan perasaan atau tubuh (fisik) menjadi tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman ini bisa berupa: kekhawatiran, ketakutan, kesedihan, ketersinggungan, kejengkelan, atau kemarahan, sedangkan keadaan fisik tidak nyaman bisa berupa: lecet, luka, memar, patah tulang, dan sebagainya. Ringkasnya hal-hal yang di anggap secara fisik menyakitkan atau tidak enak. Berkenaan dengan soal kekerasan/kejahatan, dan sebagaimana yang penulis telah uraikan dalam bab sebelumnya mengenai metode pengumpulan data yang di gunakan yakni metode kualitatif, maka aspek kualitatif dari fenomena ini menjadi lebih penting untuk diketahui dari pada aspek kuantitatifnya, karena kekerasan ini punya akibat terhadap kualitas kehidupan manusia itu sendiri. Bukanlah satu kasus seorang anak yang diperkosa ayahnya sampai mati sudah cukup menjadi alasan untuk melakukan tindakan pencegahan agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi pada anak yang lain? Masihkah kita harus menunggu hingga korban seperti itu mencapai sekian persen dari jumlah penduduk? Tentu jawabanya tidak. Menunda langkah pencegahan atas tindakan yang tidak manusiawi hanya karena soal kuantitas merupakan langkah yang sangat berlawanan dengan hakekat kemanusiaan itu sendiri. E. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 49 Permasahan kehidupan anak sangatlah kompleks dan rumit, situasi penuh ancaman dari kehidupan, serta berbagai bentuk depresi sosio-ekonomi, kultural dan psikologikal, semua faktor tersebut sangat mempengaruhi perkembangan pola perilaku dan kematangan mental emosional seorang anak. Sampai saat ini khususnya anak korban asusila, penangannya belum menjadi prioritas utama dalam pembangunan. Hal ini dengan masih banyaknya pemberitaan di media massa mengenai pelangaran-pelangaran terhadap hak-hak anak tersebut. Bahkan seringkali masalah-masalah sosial menjadi urusan kedua setelah masalah-masalah ekonomi. Dalam menghadapi problema sosial, kiprah pemerintah seringkali cenderung terlambat penanganannya. Pentingnya pemberian perlindungan hukum bagi anak, baru disadari pemerintah pada sekitar tahun 1997 dengan lahirnya Surat Keputusan Menteri Sosial RI No: 81/huk/1997 tentang Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak. Namun dengan persiapan yang sangat lama tersebut, menjadikan kebijakan yang diambil terkesan sangat lambat dan terlalu birokratis. Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia, merupakan potensi dari penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki ciri dan sifat khusus memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembngan fisik, mental sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Kejahatan terhadap kesusilaan pada umumnya menimbulkan kekhawatiran /kecemasan khususnya orang tua terhadap anak wanita karena selain dapat mengacam keselamatan anak-anak wanita (misalnya: perkosaan, 50 perbuatan cabul) dapat pula mempengaruhi proses pertumbuhan ke arah kedewasaan seksual lebih dini. Perihal tindak asusila terhadap anak ini telah diatur dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlingdungan Anak. Secara eksplisit Pasal 81 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Kemudian dalam ayat (2) ditegaskan bahwa seseorang yang melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan juga dikenakan ketentuan sebagaimana ayat (1). 48 Di pilihnya tindak pidana asusila terhadap anak sebagai obyek dalam penulisan ini karena kejahatan kesusilaan bukan saja ‘melecehkan’ norma-norma kesusilaan yang erat hubungannya dengan ajaran agama tetapi juga, karena kejahatan terhadap kesusilaan akan mengakibatkan penderitaan kejiwaan yang berkepanjangan pada si korban. Sehingga kejahatan dibidang kesusilaan ini selalu memperoleh perhatian yang besar dari masyarakat. Sementara bagi wanita yang dibawah umur secara garis besar trauma pasca-perkosaan dapat menimbulkan pengaruh antara lain: untuk usia di atas 6 tahun, yang paling umum adalah terjadi kegelisahan, mimpi buruk, dan perilaku seksual menyimpang. Pada usia 7-12 tahun, akibat yang di timbul adalah ketakutan, menjadi agresif, neurotik berupa 48 Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 81. 51 main boneka, mastrubasi berlebihan, meminta orang lain melakukan rangsangan seksual dan memasukkan benda ke genital ataupun anal. Bisa juga menimbulkan gangguan mental atau mengalami keluhan-keluhan fisik. Sikap seksualnya juga bisa menjadi begitu bebas, berkecenderungan senggama dengan siapa saja (promiscuity). Perkosaan pada anak memang amat berakibat pada masa depan sang anak. Kewaspadaan akan pergaulan orang dewasa di sekitar anak, tidak memandang masih paman, atau kakek dan sebagai adalah amat diperlukan. Simaklah angka yang disodorkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak. Dua tahun lalu, kekerasan terhadap anak yang dilaporkan ada 500 kasus, pada 2005 jumlahnya naik 40 persen, mencapai sekitar 700 kasus. Sebanyak 68 persen kekerasan dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Kejadian yang tidak dilaporkan diperkirakan jauh lebih banyak. Sebetulnya sudah cukup lengkap aturan hukum yang melindungi anak-anak. Selain memiliki Undang-Undang No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan mempuyai Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang terakhir, anak-anak berusia di bawah 18 tahun mendapat perlindungan dari berbagai bentuk eksplotasi dan kekerasan. Jagankan penganiaya anak sendiri, orang yang menelantarkan anak orang lain sehingga menjadi sakit atau menderita pun bisa di penjara lima tahun. Hanya prakteknya tidak gampang memperkarakan orang tua yang melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya. Anak yang jadi korban penganiayaan atau 52 kekerasan seksual biasanya belum mampu atau tidak berani melapor ke polisi. Akibatnya banyak kasus yang baru terungkap setelah anak tewas. 49 Perlakuan salah terhadap anak, dibagi menjadi dua golongan besar: berasal dari dalam keluarga dan berasal dari luar lingkungan keluarga. 1. Dalam Keluarga, Berupa : a. Penganiayaan fisik, berupa cacat fisik sebagai akibat hukuman badan di luar batas, kekejaman atau pemberian racun. b. Kelalaian, merupakan perbuatan yang tidak disegaja akibat ketidaktahuan atau akibatan kesulitan ekonomi, meliputi: pemeliharaan yang kurang memadai, yang dapat mengakibatkan gagal tumbuh (failure to thrive), anak merasa kehilngan kasih sayang, ganguan kejiwaan, keterlambatan perkembangan; pengawasan yang kurang, dapat menyebabkan anak mengalami resiko terjadinya trauma fisik dan jiwa; kelalaian dalam mendapatkan pengobatan, misalnya tidak mendapat imunisasi; dan kelalaian dalam pendididikan meliputi kegagalan dalam mendidik anak untuk mampu beriteraksi dengan lingkungannya, gagal menyekolahkannya atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah. c. Penganiayaan emosional. Berupa kecaman dengan kata-kata yang merendahkan anak, atau tidak mengakui anak. Sering pula berlanjut pada 49 melalaikan anak, http://campus-student.blogspot.com. mengisolasinya dari lingkungan, atau 53 menyalahkan anak secara terus menerus. Biasanya diiringi pula dengan penganiayaan dalam bentuk lain. d. Penganiayaan seksual. Berupa melakukan aktivitas seksual dihadapkan ataupun pada anak baik dengan bujukan maupun rayuan. e. Sindrom munchusen. Merupakan permintaan pengobatan terhadap penyakit yang di buat-buat dan pemberian keterangan palsu baik untuk mencari keuntungan maupun berupa tindakan neurotik. 2. Di Luar Keluarga, Berasal dari: satu institusi atau lembaga tempat kerja, di jalan dan bisa juga dari medan perang. Dari uraian tersebut di atas penyusun bermaksud mengakaji UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kemudian mencoba dengan kaca mata Islam, apakah sesuai dengan hukum Islam atau tidak. Hal ini dirasa sangat perlu karena menyangkut kelangsungan hidup manusia terutama anak. BAB III ANALISA YURIDIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM No. 054 /PID /B/ 1997/PN. JAKBAR. A. Perkosaan Menurut Hukum Islam dan KUHP 1. Perspektif Hukum Positif Mengenai apa sesungguhnya perkosaan itu, dalam beberapa pengertian patut dikemukakan disini. Ada yang mendefinisikan perkosaan sebagai “perkosaan seksual” yaitu tindakan seseorang yang memaksa orang lain untuk melakukan hubungan seksual, sedangkan korban perkosaan adalah orang yang telah dipaksa untuk melakukan hubungan seksual. Melihat arti perkosaan dari dua kamus diatas terlihat bahwa perkosaan diartikan dengan sangat luas, bahkan juga tidak dinyatakan batasan siapa pelakunya, siapa korbannya dan dilakukan dengan cara bagaimana, tidak menutup kemungkinan jika korbannya adalah pria, atau seorang isteri, tetapi yang jelas perbuatan itu dilakukan dengan paksaan dan dengan kekerasaan, bukan dengan bujukan. 1 Sementara itu menurut perumusan yang berlaku dalam KUH Pidana pasal 285, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH mengenai arti dari perkosaan 1 Pusat Komunikasi Kesehatan Prespektif Gender, Mengapa Anda Peduli Dengan Korban Perkosaan, (Jakarta, 1995),h.2. 54 55 ia melihat terlebih dahulu istilah “Verkrachting”, 2 menurutnya terjemahan dalam bahasa Indonesia “verkrachting” adalah perkosaan, tapi terjemahan ini meskipun hanya mengenai nama suatu tindak pidana, tidak tepat karena bagi orang Belanda “verkrachting” ini berarti “perkosaan untuk bersetubuh”. Sedang dalam bahasa Indonesia kata perksoaan sama sekali belum menunjukan sama sekali pengertian perkosaan untuk bersetubuh. Maka menurut pendapat Wirjono, sebaiknya kualifikasi tindak pidana dari pasal 285 KUHP tersebut harus “perkosaan untuk bersetubuh”. 3 Dalam KUHP merumuskan kejahatan perkosaan pada pasal 285 yang berbunyi adalah “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”. 4 Dari peraturan ini dapat ditarik beberapa pengertian sebagai berikut : a. Korban kejahatan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek) sedangkan ada juga seorang laki-laki yang diperkosa wanita. 2 Verkrachting diambil dari bahasa Belanda terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah berupa tindakan pemaksaan terhadap seorang wanita untuk melakukan hubungan seks diluar perkawinan atau perkosaan. 3 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung : eresco, 1986),h. 117. 4 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2001), Cet.ke 2,h. 105. 56 b. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan perlakuan korban. c. Persetubuhan diluar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap wanita tertentu. 5 Jadi jelas kejahatan perkosaan adalah suatu tindakan dengan kekerasan atau ancaman serta pemaksaan kepada seorang wanita untuk melakukan persetubuhan di luar perkawinan. 2. Perspektif Hukum Islam Dalam konteks hukum pidana Islam ternyata istilah perkosaan sulit dicari padanya namun dapat dikatakan sebagai zina dengan paksaan. Maka penulis akan mencoba terlebih dahulu memaparkan definisi paksaan sebagai pengantar kearah rumusan yang tepat tentang pengertian perkosaan dalam Islam. Kata paksaan dalah bahasa arab dikenal sebutan dengan al-ikrah ()اﻹآﺮاﻩ asal pengambilan kata tersebut adalah ف َو ِ ﻀ ّﻢ ِاﻟ َﻜﺎ َ ل آﺮْ ًهﺎ ِﺑ ُ ﺐ ُﻳﻘﺎ ٍ ب ﺗ َﻌ ٍ ﺧﻮْذ ٌ ِﻣﻦْ ِآ َﺮا َه ِﺘ ِﻪ أآْ َﺮ ُه ُﻪ ِﻣﻦْ َﺑﺎ ُ اﻹآ َﺮا ُﻩ َﻣﺄ 6 5 ﺣ ﱠﺒ ِﺘ ِﻪ َ ﺿ ﱡﺪ ِ ﺤﺎ ً ْﻓﺘ Arif Gosita, Relevansi viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan, (Jakarta : Ind Hill-Co, 1997), Cet-1,h. 12-13. 6 Muhammad Bin Abi Bakar Al-Razi, Mukhtar Al-Shihah, (Mesir : Isa Al-Babi AlHalabi),h.567. 57 Artinya : al-ikrah ( اﻹآﺮاﻩ = paksaan) berasal dari kata آﺮﻩ = آﺮهﺎ yang mendapat tambahan hamzah sehingga menjadi أآﺮﻩ =اآﺮاهﺎyang berarti membenci sesuatu. Dalam perbuatan ikrah (paksaan) terkandung sikap ketidaksenangan dan ketikrelaan pada diri orang yang dipaksa dalam melakukan perbuatan, sebagaimana uraian berikut : 7 ﻋ ِّﻨﻰ ﻗﺎ َم ِﺑﺎﻟﻤْﻜ ُﺮوْ ِﻩ ُﻳﻨﺎﻓﻲ َ َواﻟﻜﺮْ ُﻩ.ﻞ اﻣْﺮٌ َآﺮْ ُه ُﻪ ِﻋ ِ ﻞ اﻟ َﻔﺎ ُﺣ َ اﻹآ َﺮا ُﻩ ِﻓﻰ اﻟﻠﻐَ ِﺔ ُه َﻮ Artinya : “ikarah menurut bahasa adalah memaksa orang untuk melakukan sesuatu perbuatan yang tidak disenanginya, sedangkan kata alkurhu berarti sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang dipaksa tanpa adanya rasa senang dan rela”. Kata ikrah ( ) إآﺮاﻩditemukan dalam al-qur’an pada beberapa ayat dengan arti paksaan, seperti pada ayat-ayat sebagai berikut : ☺ ☺ ☺ 7 H),h.125. Musfir Garm Allah Al-Damini, Al-Jinayat Baina Al-Fiqh, (Ryad : Dar Thaibah, 1402 58 Artinya : “………… dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian …….dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah maha pengampuan lagi maha penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu) ). (Q.S : An-Nurr /24:33). Adapun pengertian al-ikrah secara terminologi adalah : ﻰ َ ﻋﻠ َ ﻋﺎ ﻓ ُﻴﻘ ﱢﺪ ُم ً ْﺷﺮ َ ْن َﻃْﺒ ًﻌﺎ او ُ ﺴﺎ َ ْﻹﻧ ِ ﻰ َﻣﺎ َﻳﻜْ َﺮ ُﻩ ا َ ﻋﻠ َ ﻹﺟْ َﺒﺎ ُر ِ اﻹآْ َﺮا ُﻩ ُه َﻮاْﻹﻟ َﺰا ُم َوا 9 ﺿ ﱞﺮ َ ﺿﺎ َو ِﻟ َﺮﻓْ ِﻊ ُه َﻮ َ ﺿﺎ َواﻟ ﱢﺮ َ ﻋ َﺪ ِم اﻟ ﱢﺮ َ Artinya :Al-ikrah berarti memaksa seorang untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak disenanginya baik menurut tabiat kemanusian ataupun menurut petimbangan Syara’, sehingga orang tersebut melakukannya tanpa didasari kerelaan demi menghindari dari suatu yang berakibat lebih berbahaya lagi. Dari definisi diatas tampak sekali unsur ketidakrelaan pada diri orang yang dipaksa itu, dalam berbagai definisi ikrah (paksaan) yang penulis tampilkan diatas dapat terlihat dengan jelas bahwa dalam perbuatan paksaan paling tidak terdapat empat unsur yang dominan yaitu : 1. Orang yang melakukan pemaksaan 2. Orang yang dipaksa melakukan perbuatan yang dikehendaki si pemerkosa 8 9 Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim,h.515. Ali Bin Muhammad Syarif Al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat, (Beirut),h. 34. 59 3. Ancaman yang diberikan oleh sipemaksa kepda orang yang dipaksa 4. Ucapan atau perbuatan yang dipaksakan dan dilarang oleh Syara’ Memperhatikan keempat unsur sebagai syarat mutlak dapat terjadinya sesuatu peristiwa pemaksaan ini, maka masing-masing unsur diatas harus pula memenuhi syarat. Pertama sipemaksa hendaknya orang yang mempunyai kekuatan untuk memaksakan kehendaknya, kedua orang yang dipaksa betul-betul tidak rela dan tidak ikhlas melakukan perbuatan yang dipaksakannya itu, namun ia tidak mampu melawan kehendak sipemaksa. Ketiga intimidasi dengan ancaman yang dapat membahayakan keselamatan nyawa atau terpisahnya anggota badan orang yang dipaksa atau bahkan bentuk-bentuk siksaan yang lebih ringan dari itu seperti dengan cara mengikat atau mengurung. Keempat perbuatan atau ucapan yang dipaksakan itu termasuk perbuatan yang dilarang oleh Syara’. Dalam hal ini yang penulis maksudkan adalah perbuatan yang dikatagorikan sebagai jarimah hudud. Maka dengan terpenuhinya empat unsur paksaan yang telah dipaparkan di atas, mengakibatkan orang lain dengan terpaksa menyerahkan kehormaannya tanpa mampu mengelak. Jenis paksaan ini semacam ini dalam bahasa Indonesia mempunyai istilah khusus yakni perkosaan seksual. Dengan demikian perkosaan seksual dalam bahasa arab adalah al-ikraaha fi zina paksaan untuk melakukan perbuatan zina. 60 B. Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan Dalam pedoman pelaksanaan KUHP diaktakan bahwa “tujuan dari hukum acara untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran mataeril….”. Dengan berpegang pada tujuan tersebut (menemukan kebenaran materil), maka akan timbul suatu hal yang amat penting tetapi sekaligus sukar, yaitu bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran materil itu. 10 Menurut Panitera Muda Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Barat11 “Sistem pembuktian dalam mengungkapkan kasus perkosaan di muka sidang pengadilan sama dengan yang lainnya yaitu adanya bukti-bukti, saksi atau barang bukti (material) dan resume (kumpulan hasil) dari para dokter yang menangani masalah ini dan Visum Et Refertum yang dibuat oleh dokter kehakiman atau dokter puskesmas”. Menemukan kebenaran materil itu tidaklah mudah, karena peristiwa atau kejadian yang sebenarnya tejadi pada masa lalu atau berselang. Makin lama waktu berselang akan makin sulit bagi hakim untuk menemukan kebenaran materil dan menjatuhkan keputusan suatu keputusan. Dalam perihal pembuktian ini merupakan bagian yang terpenting dari tiap-tiap proses pidana, karena hal ini tergantung apakah terdakwa akan dinyatakan bersalah atau tidak. 10 11 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, h. 108. Wawancara pribadi dengan Tarmuji, Panitera Muda Hukum PN Jak-Bar, 6 Januari 2010 61 Dalam kitab Undang-undang hukum acara pidana maupun HIR terdapat persamaan dalam cara menggunakan alat bukti yakni sistem negatif menurut Undang-undang yang termuat dalam pasal 183 KUHAP dan pasal 294 ayat (1) HIR. 12 Menurut Wirjono Prodjodikoro, mengenai sistem yang dianut oleh hukum acara pidana Indonesia adalah bahwa sistem pembuktian secara negatif tetap dipertahankan karena terdapat dua alasan : 1. Selayaknya hakim harus mempunyai keyakinan terhadap kesalahan terdakwa dalam menjatuhkan hukuman pidana dan jangan terpaksa memidana seseorang tanpa keyakinannya. 2. Bermanfaat sekali jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun kayakinannya, agar ada ukuran-ukuran tertentu yang harus diturutinya dalam melakukan peradilan. Di samping memudahkan adanya kesatuan dalam peradilan dan kepastian hukum dalam masyarakat. Adapun yang terkandung dalam pasal 183 KUHAP ialah : 1. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah 2. Dengan dasar alat bukti yang sah, hakim yakin bahwa : a. tindak pidana telah terjadi dan ; b. terdakwa telah bersalah 12 Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1989), Cet.ke-1,h. 13. 62 Sedangkan alat-alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP ialah : 1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat 4. Petunjuk 5. Keterangan terdakwa Jika dibandingkan dengan alat bukti dalam HIR, maka ada penambahan alat bukti baru, yaitu keterangan ahli. Selain dari pada itu ada perubahan alat bukti yang dengan sendirinya maknanya menjadi lain yaitu “pengakuan terdakwa” menjadi “keterangan terdakwa”. 13 Dengan demikian maka dalam proses penyidikan tindak pidana, penyidikan harus dapat menemukan sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah sebagaimana yang tersebut diatas. Hal tersebut juga didukung dengan adanya barang bukti lainnya yang dapat memberikan keyakinan kepada hakim atau terjadinya tindak pidana tersebut. Dalam penyelidikan tindak pidana kesusilaan dan pelecehan seksual masalah pembuktian untuk memenuhi unsur-unsur terhadap perbuatan yang dituduhkan ini merupakan pekerjaan yang cukup rumit. Hal ini dikarenakan tidak adanya saksi yang mengetahui secara langsung atas perbuatan yang 13 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta : Arikha Media Cipta, 1993),h.306. 63 dilakukan, serta tidak ada barang bukti yang mendukung atas perbuatan tersebut. Pada umumnya, tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh dilakukan pelaku tidak disaksikan orang lain kecuali perempuan yang menjadi korban dan laki-laki sebagai pelaku. Jadi hanya perempuan inilah yang dapat memberikan keterangan atau kesaksian. Tetapi apa yang diucapkan perempuan itu belum tentu benar dan dapat dipercaya, atas berdasarkan keterangna perempuan itu saja terdakwa tidak dapat putus bersalah,kecuali jika terdapat alat bukti lain yang memperkuatnya. Akan halnya keterangan terdakwa yang berupa pengakuan seluruhnya, pada umumnya tidak akan diberikan secara logis karena akan merugikan dirinya sendiri. Dalam kasus perkosaan ini penyidik dapat dibantu oleh tenaga ahli diantaranya adalah dokter forensic. Tenaga ahli inilah yang akan membuat keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti dalam pembuktian tindak pidana kesusilaan. Keterangan ahli menurut pasal 186 KUHAP ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Namun demikian keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu laporan (Visum Et Repertum) dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. 64 Dalam kasus perkosaan ini terdaat apa yang disebut dengan “saksi diam”. “saksi diam” ini merupak obyek pemeriksaan kriminalsitik. Peranan dan fungsi “saksi diam” dalam delik perkosaan sangat besar peranannya. Dalam hal “saksi diam” berupa tubuh manusia yang hidup maupun yang sudah mati, maka dokter forensic dimintakan bantuannya dalam menerjemahkan “saksi diam” tersebut. Yang dilakukan “penerjemah dalam membantu perkara tindak pidana perkosaan untuk membuktikannya adalah adanya persetubuhan dan adanya kekerasan. 14 1. Pembuktian Adanya Persetubuhan Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa persetubuhan telah terjadi apabila penis telah melewati batas depan vagina, tetapi kejadian demikian dalam hal ini sanagt sulit dibuktikan dengan ilmu kedokteran forensic karena bekas-bekasnya sangat tidak jelas. a. Yang belum pernah bersetubuh (masih gadis) Untuk memastikan adanya persetubuhan bagi yang masih gadis, robek selaput dara bisa dipastikan adanya persetubuhan. Namun tidak semua perempuan yang telah bersetubuh selaput daranya pecah, karena keelastisan selaput darah itu sendiri. Selain itu penetrasi penis harus disertai ejakuasi, karena ejakuasi inilah yang akan diperiksa dan merupan tanda pasti adanya persetubuhan. 15 14 Handoko Tjonroputranto, Pokok-pokok Ilmu Kedokteran Forensik, jilid I,h. 1-5 Abdul Mun’im Idris, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, (Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1989),h. 172. 15 65 b. Yang sudah bersetubuh Pada umumnya, disini tidak dipersoalkan lagi mengenai robeknya selaput darah, akan tetapi lebih diperhatikan adanya ejakuasi dalam liang vagina dimana hasil pemeriksaan terdapat dua kemungkinan yaitu : 1. Tidak ditemukan adanya spermatozoa, hal ini dimungkinkan oleh dua sebab ialah : • Memang tidak ada persetubuhan • Ada persetubuhan tetapi si pelaku mandul atau si pelaku mencegahnya dengan koitus interuptus atau kondom. 16 2.Ditemukan spermatozoa 2. Pembuktian Adanya Kekerasan Pada umumnya, pembuktian adanya kekerasan pada tubuh korban sulit ditemukan oleh dokter, adapun lokasi yang sering ditemukan adalah bagian muka (daerah mulut dan bibir), leher, buah dada dan bagian dalam paha dan sekitar alat kelamin serta pergelangan tangan. 17 Akan tetapi tidak terdapat luka (akibat kekerasan) pada tubuh perempuan tidaklah mutlak ia tidak mengalami perkosaan, karena bisa saja perempuan diancam dengan kekerasan, pingsan atau tidak berdaya. 16 17 Ibid., h. 172-173 Ibid., h. 175 66 Maka permberian seperti obat bius atau obat tidur serta pengaruh alkohol dan lain sebagainya dikatagorikan sebagai tanda adanya kekerasan. Selain alat bukti yang telah diuraikan diatas, maka barang bukti dalam tindak pidana kesusilaan merupakan faktor yang harus diperhatikan oleh penyidik. Akan tetapi dalam tindak pidana kesusilaan penyidik sering kali mengalami kesulitan dalam menemukan atau memperolah barang-barang bukti, karena pada umunya cepat hilang atau mudah dihilangkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Selama ini dalam praktek pembuktian vide pasal 285 KUHP, alat bukti yang menentukan dalam kasus tindak pidana perkosaan adalah keterangan ahli (Visum Et Repertum) dari seorang dokter ahli yang ditunjuk menurut undang-undang. Selain harus adanya keyakinan hakim, maka dengan mengacu kepada pasal 389 naskah tersebut, alat bukti yang sangat menentukan adalah keterangan saksi korban mengenai semua ikhwal yang mendukung bahwa selama terjadinya tindak perkosaan itu, keterangan saksi korban ini harus dapat dibuktikan oleh jaksa penuntut umum didepan muka sidang pengadilan. Sedangkan pembuktian tindak pidana perkosaan menurut hukum Islam dapat dimasukkan kedalam kategori zina yaitu hubungan seksual diluar nikah. Dalam menghukum pelaku pekosaan dapat merujuk pada dalil tentang hukuman zina. Karena kejahatan perkosaan secara tekstual tidak terdapat hukumannya dalam al-qur’an dan hadits dengan mengacu 67 kepada hukuman zina. Para ulama fiqh berijtihad untuk menemukan hukum perkosaan, tetapi tampaknya ada beberapa ganjalan dalam menggunakan hukum zina untuk menghukumi perbuatan perkosaan. Karena zina dilakukan suka sama suka, sedangkan dalam perkosaan terdapat unsur pemaksaan terhadap korban. Hal ini berimplikasi bukan hanya pada pembuktian, tetapi pemberian hukuman bagi pelaku perkosaan. Dalam fiqh jinayat, syarat dijatuhi sebuah hukuman (had zina) tergantung pada sejumlah empat orang saksi laki-laki. Pendapat ini berlaku bagi pendapat mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Bila korban mengajukan gugatan tanpa didasari ke empat saksi tersebut, ia bisa dihukum atas dasar menuduh seorang berzina tanpa bukti yang jelas. Menurut Ibnu Hazam bahwa kesaksian yang kurang sempurna misalnya, jumlahnya kurang dari empat atau ada saksi perempuan maka tidak dapat menggugurkan gugatan atau membalikkan saksi menjadi tertuduh karena melemparkan tuduhan tanpa bukti yang kuat. Selain kebolehan perempuan menjadi saksi yang dibutuhkan adalah kesaksian bahwa pebuatan itu benar-benar dilakukan walaupun tidak disaksikan oleh empat orang saksi. Syarat pembuktian zina, masih sulit diterapkan untuk menghukumi kejahatan perkosaan. Karena pada kenyataanya, perkosaan merupakan tindak kejahatan yang dilakukan secara tertutup untuk menghindari 68 kesaksian orang lain. Di dalam buku-buku fiqh klasik masalah perkosaan tidak dibahas secara memadai. Biasanya hanya dikatakan bahwa orang yang diperkosa bukanlah zina dan oleh karena itu tidak dapat dihukum sebagai zina. Tetapi pembuktian dan hukuman terhadap pelaku tesebut cendrung tidak dibahas. Menurut Masikun, tentang pembuktian zina untuk dijadikan landasan bagi pembuktian perkosaan adalah bahwa seorang hakim harus mendapatkan empat orang saksi. Sebagaimana dalam firman Allah SWT : ⌧ ☺ ⌧ 18 Artinya :”Dan (terhadap) para perempuan yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberikan persaksian, maka kurunglah mereka (perempuan-perempuan itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya”. (QS. An-Nisa/4 :15) 18 Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim,h.108. 69 Selain mendengarkan kesaksian empat orang saksi, seorang hakim juga harus mendengarkan pengakuan pelaku yang diulang sampai empat kali sebagaimana yang dilakukan terhadap pengakuan Maiz bin Malik. 19 Bukti lainnya adalah adanya tanda kehamilan atau bukti keadaan mengandung dari korban perkosaan. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits riwayat Imam Muslim dan Imam Husa’in yang mengatakan bahwa praktek Nabi Muhammad menerima adanya zina pada Ma’rufah al-Ghomidiyah karena ada bukti kehamilan pada dirinya. Sedangkan menurut jumhur ulama kehamilan diluar nikah tidak bisa digunakan sebagai alat bukti zina, alasan mereka bahwa alat bukti untuk zina adalah pengakuan dan persaksian tidak ada bukti lainnya. Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hakim sebelum memutuskan perkara perkosaan harus membenarkan bukti kebenaran perkosaan tersebut yaitu empat orang saksi atau pengakuan pelaku empat kali ucapan atau bukti keadaan mengandung dari korban perkosaan. 20 Dengan demikian pembuktian terhadap tindak pidana perkosaan hampir sama dengan pembuktian perzinahan. Walaupun pada prakteknya keberadaan empat orang saksi pada dunia modern yang serba canggih pada saat ini, salah satunya bisa berupa hasil foto kejadian atau rekaman video dan 19 Al-Imam Al-Kahlani, Subulus Salam, (Beirut : Dar-Furats al-Arabiy, 1960), juz IV,h. 8. 20 Ibid., h. 11 70 lain-lain. Mengingat hal-hal diatas seorang hakim perlu meminta tenaga ahli dibidang tersebut untuk menjelaskan kesaksian dari kejadian tersebut. C. Sanksi Hukuman Bagi Pelaku Perkosaan 1. Menurut Hukum Islam Sanksi hukuman perkosaan hanya dilimpahkan kepada pelaku perkosaan saja ini sesuai dengan firman Allah : ☺ ☺ ☺ ⌧ ⌦ ⌧ ⌧ Artinya : …... :”Barang siapa dalam keadaan terpaksa, sedang ia tidak menginginkannya dan tidak melampui batas, maka ia tidak ada dosa baginya”…. (Q.S Al-Baqarah / 2:173). Berdasarkan dalil yang telah disebutkan terhadap orang yang diperkosa tidak dibebankan sanksi hukuman kepadanya, hukuman hanya dijatuhkan pada sipemerkosa saja yang telah melakukan perkosaan. Sanksi hukuman bagi pezina dapat dapat dibebankan menjadi dua macam, yaitu hukuman rajam dan hukuman dera dengan ditambah hukuman pengasingan. a. Sanksi Rajam 21 Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim,h.35. 71 Hukuman rajam bagi orang yang memperkosa, dalam bentuk lemparan batu sampai orang yang memperkosa tersebut mati, pelemparan batu dimaksudkan agar terpidana dapat merasakan kesakitan sedikit demi sedikit dan juga berlangsung penyiksaan lebih lama. Hukuman rajam ini hanya diberikan kepada orang yang muhsan. Dari Sayyidina Umar Bin Khattab r.a : ل ُ ْﺳﻮ ُ ﻰ ِﻣﻨْ َﺒ ٍﺮ َر َ ﻋﻠ َ ٌﺟِﺎﻟﺲ َ َو ُه َﻮ،ب ُ ﻄﺎ َﺨ َ ﻦ اﻟ ُ ْﻋ َﻤ ُﺮ ﺑ ُ ل َ ﻗﺎ: ل ُ ْس َﻳ ُﻘﻮ ِ ﻋ َﺒﺎ َ ﻦ ِ ْﻦ اﺑ ِﻋ َ .ﻖ ﺳﻠ َﻢ ﺑﺎﻟﺤَ ﱢ َ ﻋﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﻰا ﺻﻠ ﱠ َ ﺤ ﱠﻤ َﺪ َ ﺚ ُﻣ َ ﷲ ﻗﺪْ َﺑ َﻌ َ نا إ ﱠ.ﺳﻠ َﻢ َ ﻋﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﻰا َ ﺻﻠ َ ﷲ ُ ا ﻏﻴْ َﻨﺎ َهﺎ َ َﻗ َﺮَأﻧَﺎ َهﺎ َو َو.ﺟ َﻢ َ ﻋﻠﻴْ ِﻪ َا َﻳﺔ اﻟ ﱠﺮ َ ل َ ن ِﻣ ﱠﻤﺎ َاﻧْ َﺰ َ ﻓﻜﺎ.ب َ ﻋﻠﻴْ ِﻪ اﻟ ِﻜﺘﺎ َ ل َ َوأﻧْ َﺰ ل َ انْ َﻃﺎ،ﺸﻰ َ ْ َﻓﺄﺧ.ﺟﻤْ َﻨﺎ َﺑﻌْ َﺪ ُﻩ َ ﺳﻠ َﻢ َو َر َ ﻋﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﻰا َ ﺻﻠ َ ل ُ ْﺳﻮ ُ ﺟ َﻢ َر َ َﻓ َﺮ.ﻋﻘَﻠ َﻨﺎ َهﺎ َ َو ك ِ ْﻀﻠ ﱡﻮا ِﺑﺘﺮ ِ َﻓ َﻴ.ﷲ ِ با ِ ﺟ َﻢ ِﻓﻰ ِآ َﺘﺎ َ ﺠ ُﺪ اﻟ ﱠﺮ ِ َﻣﺎ َﻧ: ﻻ ً ل ﻗﺎ ِء َ ْ َانْ َﻳ ُﻘﻮ،ٌﺑﺎﻟﻨﱠِﺎس َز َﻣﺎن ﻦ َ ِﻣ،ﻦ َﺼ َ ْﻰ َﻣﻦْ َز ِﻧﻰ ِاذا أﺣ َ ﻋﻠ َ ﻖ ﺣﱞ َ ﷲ ِ با ِ ﺟ َﻢ ِﻓﻰ ِآﺘﺎ َ ن اﻟ ﱠﺮ َوا ﱠ.ﷲ ُ ﻀ ُﻪ اﻧْ َﺰَﻟ َﻬﺎ ا َ ﻓ َﻴ (ف )رواﻩ اﻟﻤﺴﻠﻢ ُ ﻞ َاوْ اﻹﻋْ ِﺘ َﺮا ُ ْﺤﺒ َ ن اﻟ َ َاوْ َآﺎ،ﺖ اﻟ َﺒ ﱢﻴ َﻨﺔ ِ ِا َذا ﻗﺎ َﻣ،ﺴﺎ ِء َ ل َو اﻟ ﱢﻨ ِ ﺟﺎ َ اﻟ ﱢﺮ Artinya : “ Dari Ibnu Abbas r.a. berkata : telah Umar Ibn Khattab r.a sedang ia duduk di mimbar Rasulullah SAW, sesungguhnya yang benar dan diturunkan kepadanya (Muhammad) ialah kitab Al-Qur’an maka sebagian yang diturunkannya itu adalah ayat rajam yang ayat itu telah kami baca, kami pahami dan kami pikirkan maka saya khawatir bila zaman telah lama atas manusia, kemudian ada yang berkata dengan kata-katanya : kami tidak dapatkan ayat rajam didalam kitab Allah SWT mereka tersesatlah lantaran meninggalkan suatu kewajiban yang telah Allah turunkan, dan sesungguhnya rajam dalam kitab Allah itu memang benar dijatuhkan atas seseorang yang berzina apabila ia muhsan. Baik ia laki-laki ataupun perempuan yaitu apabila telah kuat 72 keterangannya atau andai kata perempuan kelihatan bunting atau oleh sebab adanya pengakuan”. (H.R. Muslim). 22 Dari keterangan Umar Ibnu Khattab dibuktikan dengan hadits berikut bahwa pezina yang muhsan dihukum rajam. ﺳﻠ َﻢ َو ُه َﻮ ِﻓﻰ َ ﻋﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﻰا َ ﺻﻠ َ ﷲ ُ لا ُ ْﺳﻮ ُ ﺟﻞٌ َر ُ ﻰ َر َ َأﺗ: ل َ ﻋﻦْ َا ِﺑﻰ ُه َﺮﻳْ َﺮ َة َﻗﺎ َ ﻋﻠﻴْ ِﻪ َ ْﻰ َر َدد ﺣﺘ ﱠ َ ﻋﻨْ ُﻪ َ ض َ ﺖ َﻓﺄﻋْ َﺮ ُ ْﷲ َا ﱢﻧﻰ َز َﻧﻴ ُ لا ُ ْﺳﻮ ُ ﻳَﺎ َر: ل َ ﺠ ِﺪ َﻓ َﻨﺎ َدا ُﻩ َﻓ َﻘﺎ ِ ْاﻟ َﻤﺴ ﺳﻠ َﻢ َ ﻋﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﻰا َ ﺻﻠ َ ﻋﺎ ُﻩ اﻟ ﱠﻨ ِﺒﻰ َ ت َد ٍ ﺷ َﻬﺎ َد َ ﺴ ِﻪ ارْ َﺑ ُﻊ ِ ْﻰ َﻧﻔ َ ﻋﻠ َ ﺷ َﻬ َﺪ َ ت َﻓﻠ ﱠﻤﺎ ٍ ارْ َﺑ ُﻊ َﻣ ﱠﺮا ﺳﻠ َﻢ َ ﻋﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﻰا َ ﺻﻠ َ ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒﻰ َ ل َﻧ َﻌﻢْ ﻓﻘﺎ َ ﺖ ﻗﺎ َ ْﺼﻨ َ ْﻻ َﻓ َﻬﻞْ اﺣ َ :ل َ ﺟ ُﻨﻮْنٌ ﻗﺎ ُ ﻚ َ ل ا َﺑ َ ﻓﻘﺎ: (ﺟ ُﻤﻮْ ُﻩ )رواﻩ اﻟﻤﺴﻠﻢ َ ِْاذهْ َﺒ ُﻮا َﻓﺎر Artinya : “Dari Abi Hurairah r.a. mengabarkan seorang laki-laki telah datang menghadap Rasulullah SAW, didalam masjid seraya berkata ya Rasulullah sesungguhnya aku telah baerzina, mendengar pengakuan itu Rasulullah kemudian berpaling, sehingga orang tersebut mengulangi pengakuan sampai 4 kali, kemudian Nabi SAW, mengambil sumpahnya setelah baersumpah 4 kali, kemudian beliau berkata “: apakah kamu gila ? jawabnya : tidak! Apakah anda sudah beristeri? Tanya Rasulullah SAW, ia menjawab : benar, lalu menyuruh para sahabat bawalah ia pergi dan rajamlah ia” (H.R. Bukhari). 23 Jadi hukum yang diberikan kepada pemerkosa yang sudah beristeri itu dihukum dengan hukuman rajam sampai si pelaku menemui ajalnya. b. Hukuman Dera / Jilid 22 Abi al-Husein Muslim Bin al-Hajaj al-Qusyairi al-Nay Sabury, Shahih Muslim, (Dar Al-Ihya, al-Kutub Al-Arabiyah, 1918), juz III, h. 1317. 23 Muhammad Bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut :Dar Wa Mathabi alSyu’ab, tth), jilid III, h. 117. 73 hukuman jilid ini adalah hukuman cambukan sampai seratus kali, pada pelaksanaan sanksi hukuman ini sama sekali tidak mempunyai motif pembunuhan. Namun dalam pembunuhan ini tidak menutup kemungkinan bahwa orang yang dihukum sebelum mencapai bilangan 100 pelaku bisa saja mati terlebih dahulu. Hukum ini dijelaskan dalam firman Allah SWT : ☺ ☺ ☺ ⌧ 24 ⌧ ☺ Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, dera lah tiaptiap dari keduanya seratus kali dera …. “(Q.S An-Nurr/24 : 2) Hukuman dera ini berlaku bagi pemerkosa yang belum menikah atau beristeri (ghaira muhsan) si pelaku pemerkosa karena perbuatannya harus dijatuhi hukuman jilid 100 kali cambukan. c. Hukuman Pengasingan (Internir) Hukuman pengasingan ini adalah si pelaku pemerkosa dibuang kesuatu tempat selama satu tahun lamanya. Hukuman ini adalah hukuman tambahan 24 Mahmud Yunus, Tafsir Qur’an Karim,h.504. 74 dari hukuman dera terhadap pelaku yang ghaira muhsan, ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW : َﻳﺄ ُﻣ ُﺮ ِﻓﻴْ َﻤﻦْ َز ِﻧﻰ: ﺳﻠ َﻢ َ ﻋﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﻰا َ ﺻﻠ َ ﺖ اﻟ ﱠﻨ ِﺒﻰ ُ ْﺳ ِﻤﻌ َ :ل َ ﻖ ﻗﺎ َ ﺨِﺎﻟ َ ن اﻟ ﻋﻦْ َزﻳْ ٍﺪ ا ﱠ َ 25 ( )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى.ﻋﺎ ٍم َ ﺐ ٍ ْﺼﻦْ ِﻣﺎﺋﺔ ﺗﻐْ ِﺮﻳ ِ َْﻟﻢْ ُﻳﺤ Artinya : “Dari zaid bin khalliq berkata : bahwa saya telah mendengar dari Nabi saw, beliau memerintahkan dalam perkara orang yang berzina tidak muhsin agar diberi sanksi hukuman seratus kali dera dan pengasingan satu tahun”. (H.R. Bukhari. Dalam sanksi hukuman tambahan ini (hukuman pengasingan) para fuqaha berbeda pendapat, yaitu : 26 1. Menurut Imam Malik : dalam hukuman pengasingan (buang) hukuman dikenakan kepada laki-laki saja, sedang perempuan tidak ditimpahkan hukuman tersebut atasnya. 2. Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal : menyetujui hukuman pengasingan Salama satu tahun sebagai hukuman tambahan terhadap hukuman dera. 3. Imam Abu Hanifah : terhadap hukuman pengasingan sebagai hukuman tambahan setelah pertimbangan hakim atau kebijaksanaannya yang menangani perkara. 4. Sedang pendapat kebanyakan para ulama sebagaimana pendapat imam Ahmad, yang juga diantaranya : imam Syafi’i, Al-Qurtubi, Atho, Thowus 25 Fauzan al-Anshari, Hukuman Bagi Pezina dan Penuduhnya, (Jakarta : Khairul Bayan, 2002),h.21. 26 Asyahari’ Abd Ghafar, Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil, (Jakarta : Grafindo Utama, 1987),h. 28-29. 75 dan para khulafa Rasyidin mengatakan perlunya diberikan hukuman dera dan pengasingan bagi para pelaku yang tidak muhsan. Melihat dari penjelasan diatas yang diberikan oleh fuqaha, maka pada dasarnya seluruh ulama menyetujui hukuman pengasingan bagi pelaku lakilaki, selama satu tahun sebagai hukuman tambahan dari hukuman dera terhadap seorang pelaku yang ghairu muhsan dalam hukuman yang akan dijatuhkan kepada para pelaku harus terlebih dahulu diselidiki dan benarbenar dapat dibuktikan bahwa pelaku telah benar melakukan kejahatan dosa besar ini, maka dalam hal ini dibutuhkan beberapa bukti agar hukuman dapat diterapkan atau dijatuhkan terhadap pelaku. 2. Menurut Hukum Positif Tindak pidana perkosaan atau “verkrachting” itu oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam pasal 285 KUHP, yang rumusan aslinya di dalam bahasa Belanda berbunyi sebagai berikut : “Hij die door geweld of bedreiging met geweld eene vrouw dwingt met hem buiten echt vleeselijke gemeenschap tehebbeb, world, als schuldig aan verkachting, gesraf met gevangesisstraf van ten hoogste twaalf jaren”. Artinya : “Barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan memaksa seseorang wanita mengadakan hubungan kelamin diluar perkawinan dengan dirinya, karena bersalah 76 melakukan perkosaan dipidana dengan pidana penjara selamalamanya dua belas tahun”. 27 Sementara rumusan tindak pidana perkosaan dalam pasal 285 KUHP berbunyi : “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Diancaman hukuman dalam pasal ini ialah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya untuk bersetubuh dengan dia. Pembuat undang-undang ternyata menganggap tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa untuk bersetubuh, bukanlah semata-mata karena paksaan seorang perempuan terhadap laki-laki dipandang tidak mungkin, akan tetapi justru karena perbuatan bagi laki-laki dipandang tidak mengakibatkan suatu yang buruk atau yang merugikan. Bukanlah seorang perempuan ada bahaya untuk melahirkan anak akibat perbuatan tersebut. Seorang perempuan yang dipaksa demikian rupa, sehingga akhirnya tidak dapat melawan lagi dan terpaksa mau melakukan persetubuhan itu, masuk pula dalam pasal ini. “Persetubuhan” harus benar-benar dilakukan. Apabila tidak, mungkin dapat dikenakan pasal 27 P.A Flamintang, Delik-delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, (Bandung : Manjar Maju, 1990), h. 108. 77 289 tentang “perbuatan cabul”. Sedangkan yang dimaksud kekerasan adalah membuat orang pingsan atau tidak berdaya lagi (pasal 289 KUHP). Menurut M. Sudrajat Bassar, S.H., istilahnya “verkrachting” yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai perkosaan dipandang kurang tepat. Dalam bahasa Indonesia kata “perkosaan” saja sama sekali belum menunjukan pada pengertian “perkosaan untuk bersetubuh” sedangkan diantara orang Belanda istilah “verkrachting” berarti “perkosaan untuk bersetubuh”. Dengan demikian menurut beliau sebaiknya kualifikasi tindak pidana dari pasal 285 KUHP ini harus disebut “perkosaan untuk bersetubuh”. Tindak pidana ini mirip dengan tindak pidana yang diatur dalam pasal 289 KUHP, yang dirumuskan : “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorng melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun”. Tindak pidana ini disebut dengan “penyerangan kesusilaan dengan perbuatan” atau “perkosaan untuk cabul”. Kedua tindak pidana tersebut terdapat perbedaan, yaitu : a. “Perkosaan untuk bersetubuh” yang diatur dalam pasal 285 KUHP hanya dapat dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita, sedangkan “perkosaan untuk cabul” yang terdapat dalam pasal 289 KUHP juga dapat dilakukan oleh seorang wanita terhadap pria”. 78 b. “Perkosaan untuk bersetubuh” hanya dapat dilakukan di luar perkawinan, sehingga seorang suami boleh saja memperkosa isterinya untuk bersetubuh, sedangkan “perkosaan untuk cabul” juga dapat dilakukan didalam perkawinan, sehingga tidak boleh seorang suami memaksa isterinya untuk cabul, atau seorang isteri memaksa suaminya untuk cabul”. Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam pasal 285 KUHP itu hanya mempunyai unsur-unsur objektif, yaitu : 1) Barang siapa; 2) Dengan kekerasan atau; 3) Dengan ancaman dengan memakai kekerasan; 4) Memaksa; 5) Seorang wanita; 6) Mengadakan hubungan kelamin diluar perkawinan; 7) Dengan dirinya; Walapun didalam rumusannya, undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya “kesengajaan” pada diri pelaku, akan tetapi dengan dicantumkannya unsur “memaksa” dalam pasal 285 KUHP, kiranya jelas bahwa tindak pidana perkosaan itu harus dilakukan dengan sengaja. Dengan demikian unsur kesengajaan tersebut harus dapat dibuktikan. 79 Untuk membuktikan adanya unsur kesengajaan seorang terdakwa melakukan tindak pidana perkosaan, maka penuntut umum maupun hakim harus dapat membuktikan tentang : a) Adanya ‘kehendak’ atau ‘maksud’ terdakwa memakai kekerasan; b) Adanya ‘kehendak’ atau ‘maksud’ terdakwa untuk mengancam akan memakai kekerasan; c) Adanya ‘kehendak’ atau ‘maksud’ terdakwa untuk memaksa; d) Adanya ‘pengetahuan’ pada terdakwa bahwa yang dipaksa itu adalah seorang wanita yang bukan isterinya; e) Adanya ‘pengetahuan’ pada terdakwa bahwa yang dipaksakan untuk dilakukan oleh wanita tersebut ialah untuk mengadakan hubungan kelamin dengan dirinya diluar perkawinan. Sehingga dengan adanya pembuktian akan tersebut diatas jaksa penuntut umum maupun hakim dapat memproses perkara perkosaan dan pelaku perkosaan dapat dihukum sesuai dengan KUHP. D. Surat dakwaan dan Putusan Hakim Setelah penulis memaparkan tinjauan umum hukum positif dan hukum Islam mengenai tindak pidana perksoaan, serta tindak pidana perkosaan sebagai bentuk kekerasan. Selanjutnya pada bab ini ini penulis akan melakukan analisis 80 terhadap putusan perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR tentang tindak pidana perkosaan terhadap anak ideot. 1. Duduk perkara Duduk perkara yang sebutkan berikut ini adalah salinan dari putusan perkara tersebut. penulis salin sesuai dengan apa adanya, dengan maksud agar posisi kasus tersebut tidak ada penambahan atau pengurangan, kutipan kasus tersebut adalah sebagai berikut : Bahwa terdakwa Boy Santoso pada hari Rabu tanggal 12 Februari 1997 di Jalan Tangki Wood No. 18 RT. 007/02 keluarahan Tangki Tamansari Jakarta Barat atau setidak-tidaknya di suatu lain yang masih dalam wilayah hukum pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dengan sengaja melakukan persetubuhan diluar perkawinan dengan seorang perempuan yang diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya yaitu terhadap saksi Lusi alias Bembem adalah seorang perempuan ideot atau tingkat kecerdasan otak atau Aqiu nya dibawah ukuran normal, dilakukan dengan cara : Terdakwa menarik tangan saksi Lusi yang saat itu sedang menuju keluar pintu karena dipanggil terdakwa, diajak masuk kedalam kamar kosong dan gelap, didalam kamar tersebut penuh dengan birahi terdakwa mencium bibir saksi Lusi beberapa kali, sambil tubuh saksi Lusi dipeluk-peluk, oleh karena saksi Lusi berteriak maka dengan sekuat tenaga mulut saksi Lusi disekap menggunakan tangan terdakwa, sehingga tidak dapat melakukan 81 perlawanan. Kemudian terdakwa langsung menelentangkan saksi Lusi diatas kardus, sambil melepaskan celana dalam saksi Lusi, selanjutnya terdakwa dengan secara paksa memasukan batang kemaluannya yang sudah tegang kedalam lubang kemaluan saksi Lusi, oleh karena saksi merasa kesakitan lalu berteriak sekuatnya “ Au………… Au……….., dan teriakan itu didengar oleh orang lain, namun terdakwa tetap menekan terus batang kemaluannya kedalam kemaluan saksi Lusi dan digesek-gesekan beberapa kali hingga batang kemaluan terdakwa mengeluarkan air mani kedalam kemaluan saksi Lusi. Sedangkan patut diketahui bahwa perempuan yang disetubuhi menderita sakit ediot, dalam arti tingkat kecerdasan otak dan aqiu nya dibawah ukuran normal, sehingga dapat dipandang sebagai orang yang tidak berdaya melakukan perlawanan, yang mana terdakwa harus dapat menduga bahwa saksi Lusi tidak dapat mengetahui mana yang harus diperbuat dan mana yang tidak bagi dirinya, karena baik secara fisik maupun physchis lemah atau tidak berdaya disini bukan karena perbuatan terdakwa, namun terdakwa tetap melaksanakan niatnya menyetubuhi saksi Lusi hanya untuk menyalurkan nafsu birahinya.. 28 2. Dakwaan Dalam surat dakwaan yang dibuat oleh JPU disebutkan bahwa : Nama lengkap Tempat Lahir Umur/Tgl lahir 28 : Boy Santoso : Kalimantan Barat : 36 tahun Dokumen Pengadilan Negeri Jakarta Barat, putusan 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR 82 Jenis Kelamin Kebangsaan Tempat Tinggal : laki-laki : Indonesia : Jalan Tangki Wood No. 18 RT. 007/02 keluarahan Tangki Tamansari Jakarta Barat Agama : KONG HU CU Pekerjaan : Tidak Bekerja Bahwa terdakwa Boy Santoso, didakwa dengan dakwaan : Primer : Terdakwa didakwa pasal 285 KUHP dengan ancaman pidana penjara 12 (dua belas) tahun jika perbuatan itu dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia dihukum karena memperkosa. Subsidier : Terdakwa didakwa pasal 286 KUHP dengan ancaman pidana 9 (sembilan) tahun jika dalam melakukan perbuatan tersebut terdakwa mengetahui wanita dalam keadaan pingsan atau berada dalam keadaan tidak berdaya . Lebih subsidier Terdakwa didakwa pasal 289 KUHP dengan ancaman pidana 9 (sembilan) tahun jika dalam melakukan perbuatan tersebut terdakwa melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya pebatan cabul Lebih subsidier lagi Terdakwa didakwa pasal 294 (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun jika dalam melakukan perbuatan tersebut terdakwa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak dibawah pengawasannya yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikanya atau penjagaannya diserahkan kepadanya. 83 3. Vonis Hakim Vonis hakim dalam putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR. Setelah membaca surat-surat perkara, mendengar keterangan saksi-saksi dan terdakwa, menimbang dan seabagainya, majekis hakaim memutuskan bahwa terdakwa Boy Santoso, telah terbukti secara sahd an meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perkosaan dan menghukum oleh karena itu terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, dan membebankan kepada tedakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah). E. Analisis Hasil Penelitian 1. Analisis Hukum Positif Hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara yang dapat diketahui dari alat-alat bukti yang ada di persidangan. Meskipun demikian, hakim bukanlah malaikat yang bebas dari berbagai kekhilafan atau bahkan justru kesalahan sehingga terkadang putusan tersebut belum memuaskan. Sebagaimana putusan yang dijatuhkan oleh Ketua Majelis Soeratno SH, hakim anggota H.A Pardede SH, dan Ny. Vitalien Mahyani SH, setelah membaca surat-surat perkara, mendengar keterangan saksi dan terdakwa, menimbang dan sebagainya memutuskan bahwa terdakwa Boy Santoso, telah terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbuatan 84 cabul, dan menghukum oleh karena itu terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, dan membebankan kepada terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah). Dalam putusan ini terdapat kejanggalan yakni dalam hal ini Ketua Majelis memvonis terdakwa dengan pasal 289 KUHP (dakwaan lebih subsider), dan tidak mengabulkan dakwaan primer dan subsider yakni pasal 285 dan 286 KUHP. Adapun alasan-alasan yang menyebabkan putusan tersebut terdapat kejanggalan adalah : Petama, dari kerangan saksi-saksi, keterangan-keterangan ahli dan petunjuk-petunjuk yang saling bersesuaian dipersidangan pasal 285 dan 286 terbukti, dimana salah satu unsur dalam pasal 285 dan 286 yakni unsur bersetubuh adalah terbukti, karena berdasarkan keterangan saksi korban bahwa batang kemaluan terdakwa yang sudah tegang dipaksakan masuk kedalam lubang kemaluan saksi, hingga akhirnya saksi korban menjerit sekuatnya “AU…..AU… karena merasakan sakitnya. Dari sini dapat diketahui bahwa terdakwa telah benar-benar memasukan batang kemaluannya dan melakukan persetubuhan. Sebagaimana yang terdapat dalam pada pasal 183 KUHP bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabia sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tinak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah 85 melakukannya.” Jadi dalam hal ini pasal 285 dan 286 terbukti karena terdapat dua ala bukti yakni keterangan saksi dan petunjuk. Kedua, dalam hal penjelasan tentang keadaan-keadaan yang memberatkan hukuman bagi terdakwa, Ketua Majelis tidak melakukananya dengan maksimal. Ketua majelis hanya menyebutkan tiga point, yakni : terdakwa kurang bermoral, seharusnya melindungi korban karena ia anak idiot dan adik iparnya, kurang bertanggung jawab terhadap keluarga. Seharusnya dalam pemberatan hukuman Ketua Majelis mempertimbangkan yakni : akibat dari perbuatan yang dilakukan terdakwa menimbulkan trauma dan rasa takut pada diri saksi korban, perbuatan terdakwa juga menimbulkan keresahan pada diri keluarga dan orang tua saksi korban. Terlebih lagi mengingat saksi korban adalah anak idiot, yang patut dilindungi dari kejahatan apapun, termasuk kejahatan seksual, yang memiliki dampak psikis yang lebih fatal bagi saksi korban. Menurut pendapat R. Sugandhi menunjuk pada suatu perkosaan yang terjadi secara tuntas, artinya pihak pelaku (laki-laki pemerkosa) telah selesai melakukan perbuatannya hingga selesai (mengeluarkan air mani). Jika hal ini tidak sampai terjadi, maka secara eksplisit apa yang dilakukan laki-laki itu belum patut untuk dikataegorikan sebagai perkosaan. Pendapat seperti ini belum tentu sama dan disepakati oleh para ahli-ahli lainnya. Ada ahli yang berpendapat, bahwa perkosaan tidak selalu harus mengeluarkan air mani (sperma). Cukup dengan pemaksaan persetubuhan 86 (sampai alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin perempuan), maka hal itu sudah disebut sebagai perkosaan. Akan tetapi apabila pelaku tidak berhasil memasukkan penisnya kedalam vagina korban, karena korbannya telah memberikan perlawanan atau telah meronta-ronta maka pelaku dapat dipersalahkan telah melakukan suatu ‘percobaan perkosaan’. Dan dapat dijatuhi hukum penjara selama delapan tahun yakni sesuai dengan pidana pokok terberat yang diancamkan dalam pasal 285 KUHP dikurangi dengan sepertiganya. Bila kita bandingkan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh Majelis Hakim dengan tuntutan dari jaksa penuntut umum terhadap para terdakwa dapat perbedaan yang mendalam. Pidana yang dijatuhkan majelis hakim jauh sekali dari tuntutan jaksa penuntut umum, dengan putusan majelis hakim itu tersirat adanya perlindungan yang berlebihan terhadap pelaku perkosaan, Karena pidana yang dijatuhkan belum sebanding dengan penderitaan yang harus ditanggung oleh korban. Mungkinkah dalam waktu yang relatif singkat korban dapat menghilangkan trauma yang dialaminya serta akibat-akibat lain yang dideritanya. Akan terasa kurang adil bila pihak perkosaan menebus kesalahan dari perbuatan yang dilakukannya hanya dalam waktu yang relatif singkat. Menurut beberapa ahli Sosiologi maupun Psikologi mengatakan bahwa pidana terhadap para pelaku tindak pidana perkosaan di Indonesia masih 87 cukup rendah. Hal ini akan lebih dirasakan oleh korban perkosaan yang harus menanggung segala penderitaan akibat kejadian tersebut. Disamping itu, bila dilihat dari sudut kepentingan masyarakat banyak, perbuatan tindak pidana perkosaan merupakan perbuatan yang tidak bermoral bahkan dapat dikatakan biadab. Perbuatan tersebut dapat menimbulkan keresahan bagi masyarakat umum khususnya perempuan. Jika hal-hal tersebut benar-benar diperhatikan dan dipertimbangkan, maka pidana penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa pada kasus-kasus diatas belum dapat dikatakan adil (dilihat dari pihak korban). Untuk menghilangkan cap dari masyarakat awam tentang pemidanaan di Indonesia terhadap tindak pidana perkosaan yang dirasakan terlalu ringan dan sama sekali belum memperhatikan kepentingan korban. Maka wajarlah kiranya hanya suara-suara yang berpendapat agar pidana terhadap para pelaku perkosaan diperberat dan diberikannya hak kepada korban untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya, baik kerugian fisik maupun kerugian psikis. Apabila dikaitkan dengan kondisi saat ini, sejumlah perbuatan harus dilakukan untuk menyelaraskan KUHP dengan berbagai perkembangan yang telah ada, kalau perlu mencontoh apa yang ada diluar negeri. Tentunya dengan menyesuaikan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat Indonesia. Akhirnya penulis berpendapat, ada beberapa hal pokok yang berkaitan dengan sanksi pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana perkosaan yang dirasakan oleh korban perkosaan sebagai suatu ketidak adilan, 88 karena sanksi pidana itu terlalu ringan dan sama sekali tidak memperhatikan kepentingan korban perkosaan. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut : 1. Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya jarang sekali menuntut dengan ancaman pidana maksimal, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 285 KUHP yaitu dua belas tahun pidana. 2. Majelis Hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa pelaku tindak pidana perkosaan, hukuman yang diajtuhkan sering kali ringan dari sanksi pidana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum. 3. Perbedaan dengan ancaman hukuman maksimal terhadap pelaku perkosaan dalam pasal 285 KUHP dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, maupun dengan vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap pelaku perkosaan sangatlah sulit. 4. Pasal 285 KUHP hanya baru memperhatikan panghukuman terhadap pelaku perkosaan, sama sekali belum memperhatikan kepentingan korban perkosaan. 5. Penjatuhan pidana penjara oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana perkosaan, merupakan puncak pelayanan oleh Negara terhadap korban perkosaan. 6. Dalam proses peradilan terhadap pelaku tindak pidana perkosaan korban sangat tertekan, karena dalam setiap peristiwa perkosaan yang menimpa dirinya dan hal ini sudah dimulai dari tingkat penyidikan di kepolisian dan pengadilan. 89 2. Analisis Hukum Islam Dalam konteks hukum pidana Islam ternyata istilah perkosaan sulit dicari padanya namun dapat dikatakan sebagai zina dengan paksaan, jika dilihat dari hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Boy Santoso merupakan hukum pidana yang dapat dikenakan had. Tindak pidana perkosaan termasuk kedalam salah satu kategori jarimah hudud. Dimana jarimah tersebut adalah hak Allah secara mutlak. Sanksi hukuman perkosaasn selain dihukum seperti pelaku zina ditambah dengan hukuman ta’zir sebagai hukuman atas pemaksaan, kekerasan atau ancaman yang dilakukan untuk memperlancar perkosaan. Apabila kasus perkosaan itu betul-betul memenuhi syarat dan dapat dibuktikan kebenarannya sebagaimana dalam ketentuan yang telah ditetapkan, maka pelaku tindak pidana perkosaan Boy Santoso dapat dijatuhi sanksisanksi dengan ketentuan sebagai berikut : a. Sanksi Rajam Hukuman rajam bagi orang yang memperkosa, dalam bentuk lemparan batu sampai orang yang memperkosa tersebut mati, pelemparan batu dimaksudkan agar terpidana dapat merasakan kesakitan sedikit demi sedikit dan juga berlangsung penyiksaan lebih lama. Hukuman rajam ini hanya diberikan kepada orang yang muhsan. b. Hukuman dera dan pengasingan (isolasi) 90 Hukuman dera adalah hukuman cambukan sampai seratus kali, pada pelaksanaan sanksi hukuman ini sama sekali tidak mempunyai motif pembunuhan. Namun dalam hukuman ini tidak menutup kemungkianan bahwa orang yang dihukum sebelum mencapai bilangan 100, pelaku bisa saja meninggal terlebih dahulu. Hukuman dera ini berlaku bagi pemerkosa yang belum menikah atau beristri si pelaku pemerkosa karena perbuatannya harus dijatuhi hukuman jilid 100 kali cambukan. Dalam sanksi hukuman tambahan ini (hukuman pengasingan) para puqaha berbeda pendapat yaitu : 1. Menurut Imam Malik, dalam hukuman pengasingan, hukuman dikenakan kepada laki-laki saja, sedang perempuan tidak dikenakan hukuman tersebut atasnya. 2. Menurut Imam Ahmad bi Hanbali, menyetujui hukuman pengasingan (selama satu tahun) sebagai hukuman tambahan terhadap hukuman dera. 3. Menurut Imam Abu Hanifah, berpendapat bahwa hukuman pengasingan sebagai hukuman tambahan setelah pertimbanagn hakim atau kebijaksanaannya yang menangani perkara. 4. pendapat kebanyakan para ulama sebagaimana pendapat Imam Ahmad, yang juga diantaranya Imam Syafi’i, mengatakan bahwa perlunya diberikan hukuman dera dan pengasingan bagi para pelaku yang tidak muhsan. 91 Menurut Satria Effendi dalam hal hukuman berpendapat bahwa hukuman perkosaan pun berbeda dengan perzinahan. Jika sanksi zina adalah had (dera atau rajam), sedangkan perkosaan sanksinya asalah had disertai dengan hukuman tambahan (ta’zir) yang ditentukan majlis hakim. Seorang pelaku perkosaan dihukumi dengan hukuman had, hukuman ini disamakan dengan hukuman orang yang melakukan zina, akan tetapi bagi orang yang dipaksa untuk melakukan perbuatan tidak dikenakan had. Keunggulan hukum Islam dari KUHP itu terletak dalam hal jenis hukuman yang berlaku cukup maksimal (memberatkan) bagi pelaku. Pelaku diancam dengan sanksi hukuman yang tidak ringan bila mana kejahatan yang dilakukan pelaku termasuk jenis kejahatan yang di murkai Allah SWT seperti penganiyaan, perzinahan, murtad dan pembunuhan. Menurut penulis, semakin berat hukuman semakin kecil kemungkinan orang melakukan suatu tindakan kejahatan. Hukum pidana Islam yang berat ini jika ditinjau dari segi psikolog modern adalah suatu hukuman yang memililki fungsi penjeraan, baik pada sipelaku kejahatan maupun pada orang yang berniat untuk melakukan tindak kejahatan. Hukuman potong tangan untuk mereka yang mencuri selain fungsi sebagai fungsi sebagai penjeraan juga memiliki fungsi perlindungan bagi masyrakat. Mereka yang sudah dipotong tangannya tentu akan lebih sulit untuk melakukan tindak kejahatan dimasa-masa yang akan datang. 92 Dalam pelaksanaan hukuman atas pelaku perkosaan harus dipegang prinsip keadilan tanpa ada unsur pemberian keringanan atau pemberatan, sehingga ada unsur mendidik pada terhukum dengan hukuman maksimum penjara seumur hidup atau unsur menyadarkan lingkungan masyarakat yang tahu dan menyaksikan pelaksanaan hukuman mati, tanpa melupakan adanya kesempatan bertaubat bagi si terhukum sebelum hukuman dilaksanakan. Sebagaimana pada tindak pidana yang lain, hukuman yang diberikan pada sipelaku kejahatan harus memperhatikan nilai pendidikan bagi pelaku perkosaan sehingga ia sadar akan kesalahannya. Sehingga apabila pelaku perkosaan dijatuhi hukuman mati, maka dalam hukuman mati taersebut alat yang digunakan dalam eksekusi itu harus mengandung etis ketuhanan, kemanusian dan keadilan. Dan apabila dijatuhkan hukuman penjara unsur manusiawi tetap harus diperhatikan. Unsur manusiawi ini dalam arti tidak menimbulkan depresi moral yang berkepanjangan sehingga apabila sipelaku bebas, maka dia akan dapat menjadi pribadi yang utuh tanpa beban psikis. Selain menentukan bentuk hukuman bagi pelaku perkosaan serta dampak hukuman itu bagi pelaku dan masyarakat pada umunya, hukum Islam pun tidak mengabaikan perasaan korban. Karena seberat apapun hukuman bagi pelaku perkosaan korban tetaplah menderita dan tersisih, agar korban tidak semakin menderita maka hak-hak korban harus diperhatikan. Oleh karena itu dalam hukum Islam juga mengatur tentang ganti rugi yang diberikan pelaku 93 terhadap korban dan apabila korban (perempuan) tersebut hamil maka anaknya dapat dinisabkan kepada pelakunya. Dari sini jelas bahwa hukum Islam lebih luas dalam membahas masalah perkosaan ini. Segala jenis dan bentuk hukuman apapun dapat dibenarkan selama mampu mewujudkan tujuan dari pensyari’atan hukum pidana Islam. Atas dasar ini maka perumusan hukum yang sejalan dengan kondisi masa kini dapat dibenarkan pula. Sedangkan hukuman yang diterapkan dalam al-qur’an dan hadits hanya dipandang sebagai batas maksimal yang perlu diterapkan manakala bentuk hukuman lain tidak dapat mewujudkan tujuan hukum tersebut, sehingga ada dua aspek hukum yang dapat dituntut korban yaitu selain korban dapat memidanakan pelaku dan juga dapat memperdatakananya. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penafsiran dan analisis putusan perkara No. 054/PID/B/1997/PN. JKT-BAR mengenai tindak pidana perkosaan anak ideot, maka penulis dapat mengambil kesimpulan, sebagai berikut : 1. Perbuatan yang termasuk dalam kategori perkosaan yakni perbutan berupa perbuatan yang melanggar kesusilaan, yaitu bersatunya alat kelamin laki-laki (penis) dengan alat kelamin perempuan (vagina) dan cukup dengan pemaksaan pesetubuhan (sampai alat kelamin laki-laki msuk kedalam alat kelamin perempuan), maka hal tersebut dianggap sebagai perkosaan. Dengan demikian, bahwa tidak ada pidana perkosaan untuk bersetubuh apabila penis hanya menyentuh bibir luar vagina (vulva). Didalam pasal 285 KUHP pelaku tindak pidana perkosan diancam dengan pidana 12 (dua belas) tahun penjara. Dan dalam hukum Islam perkosaan merupakan perbuatan zina dengan paksaan yang dapat dikenakan sanksi had karena perbutan tersebut merupakan hak Allah, sedangkan perempuan tidak dapat dikenakan had karena adanya paksaan tersebut, serta ditambah dengan hukuman ta’zir sebagai hukuman atas pemaksaan, kekerasan atau ancaman yang dilakukan unutuk memperlancar perkosaan. 93 94 2. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam memutuskan perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR dalam hal penjelasan tentang keadaan-keadaan yang memberatkan hukuman bagi terdakwa, Ketua Majelis tidak melakukananya dengan maksimal. Ketua majelis hanya menyebutkan tiga point, yakni : terdakwa kurang bermoral, seharusnya melindungi korban karena ia anak idiot dan adik iparnya, kurang bertanggung jawab terhadap keluarga. Seharusnya dalam pemberatan hukuman Ketua Majelis mempertimbangkan yakni : akibat dari perbuatan yang dilakukan terdakwa menimbulkan trauma dan rasa takut pada diri saksi korban, perbuatan terdakwa juga menimbulkan keresahan pada diri keluarga dan orang tua saksi korban. Terlebih lagi mengingat saksi korban adalah anak idiot, yang patut dilindungi dari kejahatan apapun, termasuk kejahatan seksual, yang memiliki dampak psikis yang lebih fatal bagi saksi korban. 3. Analisis hukum positif terhadap putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKTBAR tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Boy Santoso terhadap adik iparnya yakni Lusi alias Bem-bem dirasakan terdapat kejanggalan yakni : a) Dalam hal pasal yang divonis oleh hakim terhadap terdakwa b) Kuantitas hukuman c) Hal-hal yang memberatkan terdakwa 95 Seharusnya hakim dalam memvonis perkara tersebut menggunakan pasal 285 KUHP, hal ini dikarenakan semua unsur telah terpenuhi. Sedangkan menurut Hukum Islam hukuman dikenakan kepada pelaku saja yakni hukuman hudud dan hukuman ta’zir sebagai hukuman tambahan. Jadi pada dasarnya terdapat perbedaan yang signifikan antara Hukum Positif dan Hukum Islam mengeanai hukuman terhadap kasus terdakwa Boy Santoso. B. Saran Berdasarkan hal-hal yang penulis tulis dalam skripsi ini dan analisis putusan perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR, mengenai tindak pidana perkosaan terhadap anak idiot, maka penulis mencoba mnyampaikan beberapa saran terhadap pihak-pihak terkait, yaitu : 1. Bagi hakim pada umumnya dan bagi hakim PN Jakarta barat yang telah memutus perkara terdakwa Boy Santoso, khususnya menyadari akan tanggung jawab yang besar yang diemban seorang hakik di sini penulis memaklumi bahwa seorang hakim pun juga seorang manusia yang tidak luput dari salah dan khilaf, tetapi alangkah baiknya jika dalam memutus suatu perkara hal tersebut tidak dijadikan alasan maupun tameng karena mengingat lingkup hukum pidana yang menyangkut mengenai suatu perbuatan yang melangar peraturan yang tentu saja merugikan korban, baik itu segi materil maupun non materil, sehingga perlu dilakukannya penegakkan hukum yang adil bagi pelaku. Dengan menerapkan hukum seadil-adilnya dan memberikan 96 sanksi yang tegas, yang sesuai dengan perbuatan pelaku tindak pidana perkosaan, sehingga sanksi yang diberikan tersebu tmenimbulkan benar-benar efek jera (represif) bagi pelaku dan dapat membuat takut bagi orang yang belum melakuikan atindak pidan tersebut (preventif) mengingat dampak dari perbuatan perkosaan menimbulkan trauima yang besar terhadap korban khususnya anak yang mengalami gangguan jiwa. 2. Bagi jaksa penuntut umum pada umumnya dan bagi jaksa penuntut umum yang mendakwa Boy Santoso khususnya, lebih teliti dan jeli dalam membuat surat dakwaan merupakan suatu langkah yang bijak mengingat kedudukan jaksa dala pengadilan adalahs sebagai pihak yang melakukan penuntutan terhadap terdakwadan dalam hal ini memperjuangkan hak korban. 3. Bagi akademis hukum, yakni memberikan solusi yang jelas dan spesifik mengenai pengertian tindak pidana perkosaan, mengingat banyak masyarakat yang masih awam mengenai pembatasan tindak pidana perkosaan itu sendiri, sehibngga seringkali terjadi perbuatan yang bukan perkosaan dilaporkan kepanyidik/polisi yang akhirnya ditolak karma perbutan tersebut belum termsuk perkosaan. Hal ini menunjukan bahwa masih awamnya masyarakat kita tentang hukum. 4. bagi orang tua, yakni : a. Menegakkan prinsip perlindungan anak sebagaimana yang talah diamanatkan konvensi hak-hak anak dan perlindungan anak 97 b. Tidak lagi boleh menyerahkan anak-anaknya begitiu saja kepada orang lain, karena mereka telah percaya. Tetapi h arus ditelesuri dahulu apakah orang yang dipercaya itu benar-benar bisa menjada amanat. c. Bagi orang tua korban atau keluarganya yakni memberikan support terhadap anak-anaknya, bahwa keadaan yang mereka alami bukan berarti hidup mereka berakhir, msih banyak hal-hal indah yang mereka raih. Dan terus memberikan motivasi, sehingga mereka dapat memulihkan kepercayaan diri mereka dan dapat tumbuh seperti layaknya anak normal lainnya. DAFTAR PUSTAKA Abd Ghafar, Asyahari’ Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil, Jakarta : Grafindo Utama, 1987 Al-Bukhari, Muhammad Bin Ismail, Shahih Bukhari, Mathabi al-Syu’ab, tth Beirut :Dar Wa Arif, Gosita, Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan, Jakarta : Ind Hill-Co, 1997 Andi, Hamzah. Hukum Acara Pidana di Indonesia, Jakarta : Arikha Media Cipta, 1993 Ahmad, Hanafi. Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 2005 Al-Razi, Muhammad Bin Abi Bakar, Mukhtar Al-Shihah, Mesir : Isa Al-Babi Al-Halabi Al-Imam, Al-Kahlani Subulus Salam, Beirut : Dar-Furats al-Arabiy, 1960 A. Zajuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2001 Bismar, Siregar. “Tanggung Jawab Hakim Melindungi Korban Perkosaan, Makalah Seminar Nasional Tentang:Aspek-Aspek Perlindungan Hukum Korban Perkosaan, Surabaya : Universitas Sebelas Maret, 1999 Bambang, Poernomo. Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta :Ghalia Indonesia, 1978 -------- Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Diluar Kodefiksi Hukum Perdata, Jakarta : Bina Aksara, 1998 C.S.T, Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta :Balai Pustaka, 1990 Daliyo, J.B. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : PT Prenhalindo, 2001 98 99 Flamintang, S.H., Drs P.A Delik-Delik Khusus Tindak Pidana Melanggar Norma-norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Bandung : Manjar Maju, 1990 Handoko, Tjonroputranto, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Forensik, Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, Jakarta : PT Raja Grapindo Persada, 2000 Hakristuti, Hakrisnowo. Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam Pandangam Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia (Pelaung,Prospek, dan Tantangan), Jakarta : Pusaka Firdaus. 2001 Idris, Abdul Mun’im, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1989 Koesparno, Ihsan. Kekerasan-Kekerasan Sebagai Tindak Kriminal, Makalah Seminar Sehari Tentang : Tindak Pidana Kekerasan Dalam Masyarakat, Jakarta, 1990 Kanter d E.Y. dan S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta : Storia Grafika, 2002 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta : PT Bumi Aksara, 2001 Muhammad, Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern Jakarta : Pustaka Amini Musfir Garm, Allah Al-Damini, Al-Jinayat Baina Al-Fiqh, Ryad : Dar Thaibah, 1402 H Muslim Bin al-Hajaj al-Qusyairi al-Nay Sabury, Abi al-Husein Shahih Muslim, Dar Al-Ihya, al-Kutub Al-Arabiyah, 1918 Martiman, Prodjohamidjojo. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988 Prasetyo, Eko & Supraman Marzuki (ed), Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, Yogyakarta : PKBI-DIY, 1997 Pusat Komunikasi Kesehatan Prespektif Gender, Mengapa Anda Peduli Dengan Korban Perkosaan, Jakarta, 1995 100 Soebekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1972 Syarif Al-Jurjani, Muhammad Bin Abi Bakar, Kitab Al-Ta’rifat, Beirut Topo, Santoso. Menggagas Hukum Pidana Islam, (Penerapan Syari’at Islam Konteks Modernitas), Bandung : Asy-Syamil Prees & Grafika, 2001 Wirjono, Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung : PT. Refika Aditama, 2003 ------- Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung : eresco, 1986 WJS. Poerwadarminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1976 Sumber dari Perundang-undangan dan sejenisnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pasal 285, 286, 289, 294 tentang tindak pidana perkosaan dan pencabulan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR Sumber dari wawancara Wawancara pribadi dengan Tarmuji, Panitera Muda Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Barat, 6 Januari 2010 HASIL WAWANCARA Nara sumber : Tarmuzi. SH Jabatan : Panitera Muda Hukum Pewawancara : Muhammad Agus Setiawan Hari/tanggal : 24 Februari 2010 Waktu : 10.00 - 11.30 Soal : Perbuatan apa sajakah yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perkosaan ? Jawab Perkosaan yang terjadi secara tuntas, artinya pihak pelaku (laki-laki pemerkosa) telah selesai melakukan perbuatannya hingga selesai (mengeluarkan air mani). Jika hal ini tidak sampai terjadi, maka secara eksplisit apa yang dilakukan laki-laki itu belum patut untuk dikataegorikan sebagai perkosaan. Namun ada ahli yang berpendapat, bahwa perkosaan tidak selalu harus mengeluarkan air mani (sperma). Cukup dengan pemaksaan persetubuhan (sampai alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin perempuan), maka hal itu sudah disebut sebagai perkosaan. Akan tetapi apabila pelaku tidak berhasil memasukkan penisnya kedalam vagina korban, karena korbannya telah memberikan perlawanan atau telah meronta-ronta maka pelaku dapat dipersalahkan telah melakukan suatu ‘percobaan perkosaan’. Dan dapat dijatuhi hukum penjara selama delapan tahun yakni sesuai dengan pidana pokok terberat yang diancamkan dalam pasal 285 KUHP dikurangi dengan sepertiganya. Soal : Bagaimana proses pembuktian perksoaan ? Jawab Sistem pembuktian dalam mengungkapkan kasus perkosaan di muka sidang pengadilan sama dengan yang lainnya yaitu adanya bukti-bukti, saksi atau barang bukti (material) dan resume (kumpulan hasil) dari para dokter yang menangani masalah ini dan Visum Et Refertum yang dibuat oleh dokter kehakiman atau dokter puskesmas. Dalam pedoman pelaksanaan KUHP diaktakan bahwa “tujuan dari hukum acara untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran mataeril….”. Dengan berpegang pada tujuan tersebut (menemukan kebenaran materil), maka akan timbul suatu hal yang amat penting tetapi sekaligus sukar, yaitu bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran materil itu. Sesuai dengan yang terkandung dalam pasal 183 KUHAP Sekurang-kurangya ada dua alat bukti yang sah Dengan dasar alat bukti yang sah, hakim yakin bahwa : Tindak pidana telah terjadi dan Terdakwa telah bersalah Sedangkan alat-alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP ialah : Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan terdakwa Soal : Mengapa tindak pidana terhadap para pelaku perkosaan masih dirasa cukup rendah ? Jawab Masalah perkosaan ini merupakan masalah social dan yuridis yang sangat rumit, kiranya perlu diadakan pengkajian dan penelitian lebih lanjut dan mendalam mengenai cara bagaimana mengatasi masalahi ni. Karena secara formil hukum positif di Indonesia telah menetapkan hukuman maksimal yang cukup berat yaitu hukuman penjara 12 tahun. Akan tetapi pada kenyataannya hakim menjatuhkan hukuman terlalau ringan, sehingga pelaku perkosaan tidak akan jera dan mungkin akan mengulangi perbuatan yang keji itu. Apabila mereka bertahun-tahun dalam penjara tidak sempat dalam memenuhi kebutuhan seksualnya atau menjalankan kehidupan yang kurang normal. Ringannya hukuman tersebut bisa juga disebabkan karena kurangnya alat-alat bukti yang dapat menunjukan kepada perbuatan perkosaan tersebut, dari sinilah timbul keengganan para korban perkosaan untuk mengadukan kejahatan tersebut, karena korban tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kerugian yang dideritanya, baik kerugian moril maupum materil. Perlindungan khusus bagi korban yang berwujud pemberian ganti rugi msih belum terlaksana dengan semestinya. Soal : Bagaimana upaya hukum yang dilakukan dalam melindungi korban perkosaan ? Jawab Dalam pasal 285 KUHP tersirat bahwa puncak penanganan terhadap korban perksoaan adalah saat pelaku dijatuhi hukuman pidana, sedangkan penjatuhan hukuman dalam kasus perksoaan bukanlah satu-satunya tujuan akhir dari proses penegakkan hukum, masih tersisa tujuan utama dan sangat penting ialah mengembalikan kondisi kehidupan korban perkosaan ke dalam posisi semula, antara lain menumbuhkan kepercayaan kepada diri sendiri termasuk dalam hal ini adalah pemberian ganti rugi berupa kompensasi (dari pemerintah) atau restitusi (dari pelaku perkosaan). Penuntutan ganti rugi sebagaimana diatur dalam pasal 136 KUH-Per dan pasal 98 KUHP pada intinya pasal tersebut menyatakan bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum yang menimbulkan kerugian kepada orang lain wajib mengganti kerugian tersebut. Soal : Apa upaya (tindakan) pemerintah dan masyarakat dalam rangka mencegah tindak pidana perksoaan ? Jawab Adapun upaya dalam rangka mencegah dan menanggulangi terjadinya kejahatan seksual adalah dengan penerapan dan pelaksanaan peraturan, seperti penjatuhan sanksi hukuman dengan pasti dan tepat, perlu digalakkan penyuluhan hukum kepada masyarakat agar masyarakat mengerti kewajiban dan hak-haknya dalam hukum baik hukum Positif maupun hukum Islam, memperbaiki mental masyarakat agar lebih dewasa dan arif dalam menyikapi korban perkosaan.