tinjauan pustaka

advertisement
9
TINJAUAN PUSTAKA
Anestesi
Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes
(1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti
tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah berarti ketiadaan
rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan
hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestetikum dilakukan untuk
mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya
kesadaran.
Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan
pembedahan. Anestetikum yang diberikan pada hewan akan membuat hewan tidak
peka terhadap rasa nyeri sehingga hewan menjadi tenang, dengan demikian tindakan
diagnostik, terapeutik, atau pembedahan dapat dilaksanakan lebih aman dan lancar
(Tranquilli et al. 2007; Miller 2010).
Perjalanan waktu sepanjang sejarah menunjukkan bahwa anestesi pada hewan
digunakan untuk menghilangkan rasa dan sensasi terhadap suatu rangsangan yang
merugikan (nyeri), menginduksi relaksasi otot, dan terutama untuk membantu
melakukan diagnosis atau proses pembedahan yang aman. Alasan lain penggunaan
anestesi pada hewan adalah untuk melakukan pengendalian hewan (restraint),
keperluan penelitian biomedis, pengamanan pemindahan (transportasi) hewan liar,
pemotongan hewan yang humanis, dan untuk melakukan ruda paksa (euthanasia).
Secara umum tujuan pemberian anestetikum pada hewan adalah mengurangi atau
menghilangkan rasa nyeri dengan meminimalkan kerusakan organ tubuh dan
membuat hewan tidak terlalu banyak bergerak. Semua tujuan anestesi dapat dicapai
dengan pemberian obat anestetikum secara tunggal maupun dalam bentuk balanced
anesthesia, yaitu mengkombinasikan beberapa agen anestetikum maupun dengan
agen preanestetikum (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007).
10
Preanestesi
Preanestesi adalah pemberian zat kimia sebelum tindakan anestesi umum
dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus,
mengurangi dosis anestetikum, mengurangi atau menghilangkan efek samping
anestetikum, dan mengurangi nyeri selama operasi maupun pasca operasi (Debuf
1991;
McKelvey
dan
Hollingshead
2003).
Pemilihan
preanestetikum
dipertimbangkan sesuai dengan spesies, status fisik pasien, derajat pengendalian,
jenis operasi, dan kesulitan dalam pemberian anestetikum (Booth dan Branson 1995).
Preanestetikum yang paling umum digunakan pada hewan adalah atropine,
acepromazin, xylazine, diazepam, midazolam, dan opioid atau narkotik. Atropine
digunakan untuk mengurangi salivasi, peristaltik dan mengurangi bradikardia akibat
anestesi. Acepromazin digunakan sebagai penenang atau tranquilizer. Xylazine,
medetomidin, diazepam, dan midazolam digunakan sebagai agen sedatif dan
merelaksasi otot. Opioid atau narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit, seperti
disajikan pada Gambar 1.
Preanestesi
Antikolinergik :
Atropine,
Scopolamine,
Aminopentamid,
Glikopirolat.
Pelemas otot
(Muscle
paralyzer):
Xylazine,
Diazepam,
Midazolam,
Medetomidin,
Lorazepam,
Curare.
Agen
Dissosiatif :
Penciklidine,
Ketamine,
Tiletamine.
Narkotik :
Morpin,
Apomorpin,
Meperidin,
Oksimorpin,
Etorpin,
Nalorpin.
Tranquilizer :
Promazin,
Acepromazin,
Chlorpromazin,
Xylazine,
Diazepam,
Midazolam,
Lorazepam,
Madetomidin.
Gambar 1. Klasifikasi agen preanestesi yang digunakan pada anestesi umum
(Sumber: Warren 1983; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Klasifikasi Anestesi
Keadaan teranestesi dapat dihasilkan secara kimia dengan obat-obatan dan
secara fisik melalui penekanan sensori pada syaraf. Obat-obatan anestetika umumnya
diklasifikasikan berdasarkan rute penggunaannya, yaitu: 1). Topikal misalnya melalui
11
kutaneus atau membrana mukosa; 2). Injeksi seperti intravena, subkutan,
intramuskular, dan intraperitoneal; 3). Gastrointestinal secara oral atau rektal; dan 4).
Respirasi atau inhalasi melalui saluran nafas (Tranquilli et al. 2007).
Anestetetikum juga dapat diklasifikasikan berdasarkan daerah atau luasan
pada tubuh yang dipengaruhinya, yaitu : 1). Anestesi lokal, terbatas pada tempat
penggunaan dengan pemberian secara topikal, spray, salep atau tetes, dan infiltrasi.
2). Anestesi regional, mempengaruhi pada daerah atau regio tertentu dengan
pemberian secara perineural, epidural, dan intratekal atau subaraknoid. 3). Anestesi
umum, mempengaruhi seluruh sistem tubuh secara umum dengan pemberian secara
injeksi, inhalasi, atau gabungan (balanced anaesthesia) (Adams 2001; McKelvey dan
Hollingshead 2003).
Anestesi Lokal
Anestetikum lokal adalah suatu bahan kimia yang mampu menghambat
konduksi syaraf
perifer tanpa menimbulkan kerusakan permanen pada syaraf
tersebut. Mekanisme kerja anestetikum lokal dengan cara menghambat (blok) saluran
ion sodium (Na) pada syaraf
perifer, konduksi atau aksi potensial pada syaraf
terhambat sehingga respon nyeri secara lokal hilang. Anestetikum lokal mencegah
proses depolarisasi membran syaraf secara lokal melalui penghambatan saluran ion
Na, sehingga membran akson tidak dapat bereaksi dengan neurotransmitter
acetilkolin dan membran akan tetap dalam keadaan semipermiabel serta tidak terjadi
perubahan potensial. Keadaan tersebut menyebabkan aliran inpuls yang melewati
syaraf berhenti, sehingga semua rangsangan tidak sampai ke SSP. Sifat hambatan
syaraf umumnya bersifat lokal, selektif, dan tergantung pada dosis atau jumlah obat
yang diberikan (Tranquilli et al. 2007; Miller 2010).
Sifat sifat yang harus dimiliki oleh obat anestetikum lokal adalah poten,
artinya efektif dalam dosis rendah, daya penetrasinya baik, mula kerjanya cepat, masa
kerjanya lama, toksisitas sistemik rendah, tidak mengiritasi jaringan, pengaruhnya
reversibel, dan mudah dikeluarkan dari tubuh (Adams 2001; Tranquilli et al. 2007).
12
Penggunaan anestetikum lokal bisa dilakukan dengan meneteskan pada
permukaan daerah yang akan dianestesi (surface aflication), dengan melakukan
injeksi secara sub-kutan pada daerah yang akan dianestesi (subdermal, intradermal),
serta dengan melakukan pemblokiran pada daerah tertentu (field block anestesi).
Anestetikum yang sering digunakan sebagai anestetikum lokal adalah procaine HCI
2% - 4%, Lidocaine 0,5 - 2%, Lidocaine 4%, Tetracaine, bupivacaine 0,25% atau
0,5%, Dibucain, Pehacaine, Lidonest, dan Chlor buthanol dengan dosis pemberian
secukupnya (Quantum statis, QS). Lidocaine dan bupivacaine dapat diencerkan
dengan larutan salin (bukan air) untuk menurunkan konsentrasinya. Bupivacaine
mempunyai onset lebih lambat (20 menit) dan durasi lebih panjang (6 jam)
dibandingkan lidocaine (onset lebih cepat dan durasi 1-2 jam) (Adams 2001; Sudisma
2006; Tranquilli et al. 2007).
Anestesi Regional
Anestesi regional adalah tindakan menghilangnya nyeri yang dilakukan
dengan cara menyuntikkan anestetikum lokal pada lokasi syaraf yang menginervasi
regio atau daerah tertentu sehingga menyebabkan hambatan konduksi inpuls yang
reversibel. Anestetikum regional dapat menghilangkan rasa nyeri pada suatu daerah
atau regio tertentu secera reversibel tanpa disertai hilangnya kesadaran. Mekanisme
kerja dan jenis anestetikum yang digunakan sama dengan anestetikum lokal, tetapi
daerah atau luasan pada tubuh yang dipengaruhi adalah daerah atau regio tertentu.
Anestesi regional dibedakan berdasarkan rute pemberiannya, yaitu secara epidural,
spinal atau intrathekal atau subaraknoid, dan blok pleksus brakhialis (Adams 2001;
McKelvey dan Hollingshead 2003).
Anestesi epidural dihasilkan dengan cara menginjeksikan anestetikum lokal
diantara duramater dan periosteum dari canalis spinalis (epidural space).
Anestetikum tidak langsung mengenai medula spinalis, sehingga efek anestesi terjadi
setelah 15-20 menit pemberian. Anestesi epidural menghambat sensasi dan kontrol
motorik daerah abdominal, pelvis, ekor, dan kaki belakang. Anestesi ini biasanya
digunakan untuk laparotomi, amputasi ekor, urethrostomi, pembedahan cesar,
13
pembedahan daerah pelvis, dan amputasi daeran kaki belakang. Pada hewan kecil
dilakukan antara tulang lumbar terakhir dan tulang sakral 1. Sedangkan pada hewan
besar dilakukan antara tulang coccigia 1 dan 2. Anestetikum yang digunakan sama
dengan anestetikum lokal, seperti lidocaine 2%, bupivacain 0,5%, ropivacain 0,75%
atau mepivacaine 2% dengan dosis pemberian 1ml/5kg BB. Lidocain menghasilkan
durasi sekitar 1-2 jam dan bupivacain sekitar 6 jam (McKelvey dan Hollingshead
2003).
Spinal atau intrathekal atau subaraknoid anestesi sama dengan anestesi
epidural tetapi dilakukan melalui duramater dan subaraknoid dimana jarum
menembus duramater dan subaraknoid sehingga anestetikum masuk ke dalam dan
langsung mengenai syaraf spinal, menghasilkan anestesi yang segera dan lebih
cepat. Anestesi ini mengakibatkan resiko berontak dan rasa sakit yang memerlukan
kesembuhan lebih lama. Anestetikum yang digunakan sama dengan anestetikum
lokal. Sedangkan blok pleksus brakhialis adalah anestesi regional dengan cara
menyuntikkan anestetikum lokal di daerah perjalanan fleksus brakhialis yang
menginervasi daerah kaki depan (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003;
Sudisma 2006; Tranquilli et al. 2007).
Anestesi Umum
Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan
hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan
sistem
syaraf
pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan
sensori pada syaraf.
Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan sistem
syaraf pusat (SSP) secara reversibel (Adams 2001). Anestesi umum merupakan
kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui
penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan
hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya
respon terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility),
serta hilangnya kesadaran (unconsciousness) (McKelvey dan Hollingshead 2003).
14
Mekanisme kerja anestesi umum pada tingkat seluler belum diketahui secara
pasti, tetapi dapat dihipotetiskan mempengaruhi sistem
otak karena hilangnya
kesadaran, mempengaruhi batang otak karena hilangnya kemampuan bergerak, dan
mempengaruhi kortek serebral karena terjadi perubahan listrik pada otak. Anestesi
umum akan melewati beberapa tahapan dan tahapan tersebut tergantung pada dosis
yang digunakan. Tahapan teranestesi umum secara ideal dimulai dari keadaan terjaga
atau sadar kemudian terjadi kelemahan dan mengantuk (sedasi), hilangnya respon
nyeri (analgesia), tidak bergerak dan relaksasi (immobility),
tidak sadar
(unconsciousness), koma, dan kematian atau dosis berlebih (Tranquilli et al. 2007;
Miller 2010).
Anestesi umum yang baik dan ideal harus memenuhi kriteria : tiga komponen
anestesi atau trias anestesi (sedasi, analgesi, dan relaksasi), penekanan refleks,
ketidaksadaran,
aman untuk sistem
vital (sirkulasi dan respirasi), mudah
diaplikasikan dan ekonomis. Dengan demikian, tujuan utama dilakukan anestesi
umum adalah upaya untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan
penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk dilakukan tindakan dan prosedur
diagnostik
atau
pembedahan
tanpa
menimbulkan
gangguan
hemodinamik,
respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam (Wolfensohn dan Lloyd 2000;
Adams 2001; Tranquilli et al. 2007; Miller 2010).
Agen anestesi umum dapat digunakan melalui injeksi, inhalasi, atau melalui
gabungan secara injeksi dan inhalasi.
Anestetikum dapat digabungkan atau
dikombinasikan antara beberapa anestetikum atau dengan zat lain sebagai
preanestetikum dalam sebuah teknik yang disebut balanced anesthesia untuk
mendapatkan efek anestesi yang diinginkan dengan efek samping minimal.
Anestetika umum inhalasi yang sering digunakan pada hewan adalah halotan,
isofluran, sevofluran, desfluran, dietil eter, nitrous oksida dan xenon. Anestetika
umum yang diberikan secara injeksi meliputi barbiturat (tiopental, metoheksital, dan
pentobarbital),
cyclohexamin (ketamine, tiletamin), etomidat, dan propofol
(McKelvey dan Hollingshead 2003; Garcia et al. 2010).
15
Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu metode anestesi umum yang
dilakukan dengan cara memberikan agen anestesi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat anestesi langsung ke udara inspirasi. Mekanisme
kerja anestesi umum inhalasi sangat rumit dan sampai saat ini masih merupakan
misteri, karena pemberian anestetikum inhalasi melalui pernapasan menuju organ
sasaran yang jauh adalah suatu hal yang unik. Hiperventilasi akan menaikkan ambilan
anestetikum dalam alveolus dan hipoventilasi akan menurunkan ambilan alveolus.
Kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang penting dalam
menentukan induksi dan pemulihan anestesi inhalasi. Induksi dan pemulihan akan
berlangsung cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada zat yang larut. Kadar
alveolus minimal atau minimum alveolar cencentration (MAC) adalah kadar minimal
zat anestesi dalam alveolus pada tekanan satu atmosfir yang diperlukan untuk
mencegah gerakan pada 50% pasien yang dilakukan rangsangan insisi standar.
Immobilisasi tercapai pada 95% pasien apabila kadar anestetikum dinaikkan di atas
30% nilai MAC. Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial anestetikum dalam alveoli
sama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja anestetikum (Latief et al.
2007; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Anestetika umum inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk
membantu pembedahan adalah N 2 O. Kemudian menyusul, eter, kloroform, etil
klorida, halotan, metoksifluran, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan xenon.
Anestetika umum inhalasi yang umum digunakan saat ini adalah N 2 O, halotan,
enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan xenon. Obat obat anestesi yang lain
ditinggalkan, karena efek sampingnya yang tidak dikehendaki. Misalnya, eter mudah
terbakar dan meledak, menyebabkan sekresi bronkus berlebihan, mual dan muntah,
kerusakan hati, dan baunya yang sangat merangsang. Kloroform menyebabkan
aritmia dan kerusakan hati. Metoksifluran menyebabkan kerusakan hati, toksik
terhadap ginjal, dan mudah terbakar (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead
2003; Tranquilli et al. 2007).
Nitrous oxide (N 2 O) atau dinitrogen monoksida adalah anestesi inhalasi yang
diperoleh dengan cara memanaskan amonium nitrat (NH 4 NO 3 ) sampai 240oC. Gas
16
ini bersifat anestetikum lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga jarang digunakan
secara tunggal.
Anestetikum yang sering dikombinasikan dengan N 2 O adalah
halotan. Pada akhir anestesi setelah N 2 O dihentikan, akan cepat keluar mengisi
alveoli, sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadi hipoksia difusi. Mengatasi
hipoksia difusi, biasanya diberikan 100% oksigen selama 5 – 10 menit. Potensi N 2 O
digunakan pada hewan tidak baik, karena mempunyai MAC yang tinggi. MAC N 2 O
pada manusia mendekati 100%, tetapi pada anjing hampir 200% dan kucing
mendekati 250% (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Halotan sering digunakan sebagai induksi anestesi dikombinasikan dengan
N 2 O, karena halotan adalah analgesik lemah tetapi sifat anestesinya kuat sehingga
kombinasi keduanya sangat ideal. Pemeliharaan anestesi dengan halotan biasanya
digunakan dosis 1-2% pada napas spontan atau dosis 0,5-1% pada napas terkendali,
dan dapat disesuaikan dengan respon klinis pasien. Nilai MAC halotan adalah
moderat, potensinya berada diantara metoksifluran dan isofluran, yaitu 0,3 – 0,75%.
Halotan mempunyai tekanan uap yang tinggi, sehingga memerlukan ketelitian
penggunaan vaporizer yang lebih tinggi. Penggunaan vaporizer yang memiliki tingkat
ketelitian kurang, dapat menyebabkan konsentrasi halotan mencapai 30%, padahal
konsentrasi normal halotan yang diperlukan untuk anestesi adalah 1-2%, sehingga
penggunaan
halotan
memerlukan
vaporizer
khusus.
Halotan
menyebabkan
vasodilatasi cerebral, meningkatkan aliran darah pada otak yang sulit dikendalikan.
Kelebihan dosis halotan menyebabkan depresi napas, menurunkan tonus simpatik,
terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, dan depresi
miokardium. Halotan dimetabolisme 20% di hati secara oksidatif menjadi komponen
bromin, klorin, dan asam trikloro asetat. Halotan menyebabkan gangguan hati dan
pasca pemberian sering menyebabkan pasien meninggal (Latief et al. 2007;
McKelvey dan Hollingshead 2003).
Desfluran adalah halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya mirip
dengan isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan anestetikum
lainnya, sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus. Potensi desfluran sangat
rendah (MAC 6,0%), bersifat simpatomimetik, menyebabkan takikardia dan
17
hipertensi. Pengaruh depresi nafasnya sama dengan isofluran dan merangsang jalan
napas atas sehingga tidak dapat digunakan sebagai induksi anestesi.
Isofluran merupakan halogenasi eter dan secara kimia sangat mirip dengan
metoksifluran dan sevofluran. Rentang keamanan isofluran lebih lebar dibandingkan
halotan dan metoksifluran, sehingga sangat umum digunakan pada hewan terutama
anjing dan kuda walaupun dengan harga yang lebih mahal. Penggunaaan isofluran
pada dosis anestesi atau subanestesi menurunkan metabolisme otak terhadap oksigen,
tetapi akan meningkatkan aliran darah di otak dan tekanan intrakranial, sehingga
menjadi pilihan pada pembedahan otak. Pengaruh terhadap jantung dan curah jantung
(cardiac output) sangat minimal, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan
kelainan jantung. Potensi isofluran lebih kecil dibandingkan halotan karena
mempunyai nilai MAC lebih tinggi dibandingkan halotan. Pemeliharaan anestesi
dengan isofluran biasanya digunakan konsentrasi 1,5 – 2,5 % isofluran dalam oksigen
(Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Anestesi umum injeksi merupakan metode anestesi umum yang dilakukan
dengan cara menyuntikkan agen anestesi langsung melalui muskulus atau pembuluh
darah vena. Anestesi injeksi biasanya digunakan untuk induksi pada hewan kecil
maupun pada hewan besar dan dapat juga digunakan untuk pemeliharaan anestesi.
Anestetika injeksi yang baik memiliki sifat-sifat tidak mengiritasi jaringan, tidak
menimbulkan rasa nyeri pada saat diinjeksikan, cepat diabsorsi, waktu induksi,
durasi, dan masa pulih dari anestesi berjalan mulus, tidak ada tremor otot, memiliki
indeks terapeutik tinggi, tidak bersifat toksik, mempunyai pengaruh minimal terhadap
organ tubuh terutama saluran pernapasan dan kardiovaskular, cepat dimetabolisme,
tidak bersifat akumulatif, dapat dikombinasikan dengan obat lain seperti relaksan
otot, analgesik, dan sudah diketahui antidotanya. Beberapa anestetika injeksi yang
sering digunakan pada hewan adalah golongan barbiturat seperti thiopental sodium,
methoheksital, dan pentobarbital. Golongan lainnya yang juga sering digunakan pada
hewan adalah golongan cycloheksamin (ketamine dan tiletamin), etomidat, dan
propofol. (Brander et all. 1991; McKelvey dan Hollingshead 2003).
18
Semua golongan barbiturat untuk keperluan anestesi berada dalam bentuk
garam sodium dan dilarutkan dalam air menjadi larutan 2,5 atau 5%. Tiga klas
golongan barbiturat yang digunakan pada hewan adalah ultrashort-acting
barbiturates (metoheksital), short-acting barbiturates (tiopental), dan intermediateacting
barbiturates
(pentobarbital).
Sedangkan
long-acting
barbiturates
(penobarbital) biasanya digunakan untuk sedatip dan antikonvulsi, bukan untuk
anestesi. Barbiturat menimbulkan sedasi, hipnosis, dan depresi pernafasan tergantung
dosis dan kecepatan pemberian serta pengaruh analgesia yang ditimbulkan sedikit.
Efek utama golongan barbiturat adalah depresi pusat pernafasan, depresi pusat
vasomotor, dan miokardium sehingga menurunkan curah jantung dan tekanan darah.
Etomidat berbentuk kristal putih, dapat larut dalam air, etanol, dan propilin
glikol. Etomidat adalah sedatif hipnotik imidazol yang biasanya digunakan sebagai
induksi anestesi pada anjing dan kucing. Kombinasi anestetikum dengan etomidat
menghasilkan relaksasi otot yang baik tetapi tidak menghasilkan analgesia dan
durasinya sangat singkat seperti propofol, karena metabolisme etomidat sangat cepat.
Etomidat mempunyai pengaruh yang minimal terhadap fungsi kardiovaskuler seperti
denyut jantung, curah jantung, dan tekanan darah. Etomidat dapat diberikan secara
infusi dengan kecepatan dosis 50 -150 µ/kg/menit.
Ketamine adalah anestetikum umum injeksi golongan nonbarbiturat, termasuk
golongan phenilsycloheksamin. Ketamine mempunyai efek analgesia yang sangat
kuat akan tetapi efek sedasi dan hipnotiknya kurang (tidur ringan). Ketamine
meningkatkan tekanan darah sistol maupun diastol kira kira 20- 25%, karena adanya
aktivitas syaraf simpatik meningkat dan depresi baroreseptor. Pemberian anestetikum
ketamine secara tunggal dosis 10-15 mg/kg berat badan secara intra muskular pada
anjing menimbulkan kekejangan otot dan hipersalivasi serta durasi kerja anestesi
yang sangat pendek. Mengatasi kerugian penggunaan anestetikum ketamine secara
tunggal, ketamine sering dikombinasikan dengan obat lain sebagai preanestesi.
Propofol
adalah
anestesi
umum
injeksi turunan
alkil
penol
(2,6-
diisopropylphenol), mempunyai pH netral, dan dapat diberikan dalam bentuk emulsi
minyak dalam air. Walaupun propofol memperlihatkan warna putih seperti susu,
19
sangat aman diberikan secara intravena dan dapat diberikan secara berulang-ulang
atau sebagai alternatif dapat diberikan secara infusi terus-menerus. Propofol
mempunyai efek analgesia yang sangat ringan akan tetapi efek sedasi dan
hipnotiknya sangat kuat. Efek samping penggunaaan propofol adalah hipotensi,
apnea, dan rasa sakit pada tempat suntikan. Efek samping utama yang sangat
dihindari dari propofol adalah penekanan sistem respirasi. Efek samping tersebut
sangat berkaitan dengan dosis dan kecepatan penyuntikannya, keuntungan
penggunaan propofol akan diperoleh dengan cara mengkombinasikan dengan agen
anestetikum lain untuk menurunkan dosis dan meminimalkan pengaruh buruk yang
ditimbulkan (Stawicki 2007).
Tahapan Anestesi Umum
Tahapan anestesi sangat penting untuk diketahui terutama dalam
menentukan tahapan terbaik untuk melakukan pembedahan, memelihara tahapan
tersebut sampai batas waktu tertentu, dan mencegah terjadinya kelebihan dosis
anestetikum. Tahapan anestesi dapat dibagi dalam beberapa langkah, yaitu:
preanestesi, induksi, pemeliharaan, dan pemulihan (McKelvey dan Hollingshead
2003).
Tahap preanestesi merupakan tahapan yang dilakukan segera sebelum
dilakukan anestesi, dimana data tentang pasien dikumpulkan, pasien dipuasakan,
serta dilakukan pemberian preanestetikum. Induksi adalah proses dimana hewan akan
melewati tahap sadar yang normal atau conscious menuju tahap tidak sadar atau
unconscious. Agen induksi dapat diberikan secara injeksi atau inhalasi. Apabila agen
induksi diberikan secara injeksi maka akan diikuti dengan intubasi endotracheal tube
untuk pemberian anestetikum inhalasi atau gas menggunakan mesin anestesi. Waktu
minimum periode induksi biasanya 10 menit apabila diberikan secara intramuskular
(IM) dan sekitar 20 menit apabila diberikan secara subkutan (SC). Tahap induksi
ditandai dengan gerakan tidak terkoordinasi, gelisah dan diikuti dengan relaksasi
yang cepat serta kehilangan kesadaran.
Idealnya, keadaan gelisah dan tidak tenang
dihindarkan pada tahap induksi, karena menyebabkan terjadinya aritmia jantung.
20
Preanestesi dan induksi anestesi dapat diberikan secara bersamaan, seperti pemberian
acepromazin, atropine, dan ketamine dicampur dalam satu alat suntik dan diberikan
secara intravena (IV) pada anjing. (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003;
Tranquilli et al. 2007).
Selanjutnya hewan akan memasuki tahap pemeliharaan status teranestesi.
Pada tahap pemeliharaan ini, status teranestesi akan terjaga selama masa tertentu dan
pada tahap inilah pembedahan atau prosedur medis dapat dilakukan.
Tahap
pemeliharaan dapat dilihat dari tanda-tanda hilangnya rasa sakit atau analgesia,
relaksasi otot rangka, berhenti bergerak, dilanjutkan dengan
hilangnya refleks
palpebral, spingter ani longgar, serta respirasi dan kardiovaskuler tertekan secara
ringan. Begitu mulai memasuki tahap pemeliharaan, respirasi kembali teratur dan
gerakan tanpa sengaja anggota tubuh berhenti. Bola mata akan bergerak menuju
ventral, pupil mengalami konstriksi, dan respon pupil sangat ringan. Refleks menelan
sangat tertekan sehingga endotracheal tube sangat mudah dimasukkan, refleks
palpebral mulai hilang, dan kesadaran mulai hilang. Anestesi semakin dalam
sehingga sangat nyata menekan sirkulasi dan respirasi. Pada anjing dan kucing,
kecepatan respirasi kurang dari 12 kali per menit dan respirasi semakin dangkal.
Denyut jantung sangan rendah dan pulsus sangat menurun karena terjadi penurunan
seluruh tekanan darah. Nilai CRT akan meningkat menjadi 2 atau 3 detik. Semua
refleks tertekan secara total dan terjadi relaksasi otot secara sempurna serta refleks
rahang bawah sangat kendor. Apabila anestesi dilanjutkan lebih dalam, pasien akan
menunjukkan respirasi dan kardiovaskuler lebih tertekan dan pada keadaan dosis
anestetikum berlebih akan menyebabkan respirasi dan jantung berhenti. Dengan
demikian, pada tahap pemeliharaan sangat diperlukan pemantauan dan pengawasan
status teranestesi terhadap sistim kardiovaskuler dan respirasi (McKelvey dan
Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007 ).
Ketika tahap pemeliharaan berakhir, hewan memasuki tahap pemulihan yang
menunjukkan konsentrasi anestetikum di dalam otak mulai menurun. Metode atau
mekanisme bagaimana anestetikum dikeluarkan dari otak dan sistem sirkulasi adalah
bervariasi tergantung pada anestetikum yang digunakan. Sebagian besar anestetikum
21
injeksi dikeluarkan dari darah melalui hati dan dimetabolisme oleh enzim di hati dan
metabolitnya dikeluarkan melalui sistem urinari. Pada hewan kucing, ketamine tidak
mengalami metabolisme dan dikeluarkan langsung tanpa perubahan melalui ginjal.
Kadar anestetikum golongan tiobarbiturat di dalam otak dapat dengan cepat menurun
karena dengan cepat disebarkan ke jaringan terutama otot dan lemak, sehingga hewan
akan sadar dan terbangun dengan cepat mendahului ekskresi anestetikum dari dalam
tubuh hewan. Anestetikum golongan inhalasi akan dikeluarkan dari tubuh pasien
melalui sistem
respirasi, molekul anestetikum akan keluar dari otak memasuki
peredaran darah, alveoli paru-paru, dan akhirnya dikeluarkan melalui nafas. Tanda
tanda adanya aktivitas refleks, ketegangan otot, sensitivitas terhadap nyeri pada
periode pemulihan dinyatakan sebagai kesadaran kembali (McKelvey dan
Hollingshead 2003).
Durasi atau lama waktu kerja anestetikum dan kualitas anestesi dapat dilihat
dari pengamatan perubahan fisiologis selama stadium teranestesi. Dikenal dua waktu
induksi pada durasi anestesi. Waktu induksi 1 adalah waktu antara anestetikum
diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak dapat berdiri. Waktu induksi 2 adalah
waktu antara anestetikum diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak ada refleks pedal
atau hewan sudah tidak merasakan sakit (stadium operasi). Durasi adalah waktu
ketika hewan memasuki stadium operasi sampai hewan sadar kembali dan merasakan
sakit jika daerah disekitar bantalan jari ditekan. Waktu siuman atau recovery adalah
waktu antara ketika hewan memiliki kemampuan merasakan nyeri bila syaraf
disekitar jari kaki ditekan atau mengeluarkan suara sampai hewan memiliki
kemampuan untuk duduk sternal, berdiri atau jalan (Moens dan Fargetton 1990;
Verstegen dan Petcho 1993; McKelvey dan Hollingshead 2003).
McKelvey dan Hollingshead (2003) dan Tranquilli et al. (2007) menyatakan
bahwa untuk memonitor anestesi dilakukan pengamatan tahap-tahap anestesi umum.
Kualitas status teranestesi dapat dilihat dari perubahan fisiologis sebagai tanda
kedalaman anestesi, seperti disajikan pada Tabel 1.
22
Tabel 1 Tahapan dan indikasi status teranestesi oleh anestetikum umum
Fase/Tahapan
I
Indikator
II
III
Plane 1
III
Plane 2
III
Plane 3
III
Plane 4
IV
Tingkah
laku
Tidak
terkontrol
Eksitasi:
kuat,
bersuara,
anggora
gerak,
mengunyah
ternganga.
Teranestesi
Teranestesi
Teranestesi
Teranestesi
Hampir
mati
Respirasi
Normal,
cepat 2030x/mnt
Tidak
teratur,
tertahan
atau hiperventilasi
Teratur:
12-20x/mnt
Teratur,
dangkal:
12-16x/mnt
Dangkal:
<12x/mnt
Putus-putus
(ada
berhenti)
Apnea
(berhenti)
Fungsi
Kardiovaskuler
Tetap
denyut
jantung
meningkat
Pulse kuat,
denyut
jantung
>90x/mnt
denyut
jantung
>90x/mnt
Denyut
jantung
60-90/mnt,
CRT
meningkat,
Pulse
lemah
Denyut
jantung
<60x/mnt,
CRT lama,
membran
pucat.
Kollap
Respon
bedah/
insisi
Kuat
Kuat
Ada respon
dengan
gerakan
Denyut
jantung dan
respirasi
meningkat
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Kedalaman
anestesi
Tidak
teranestesi
Tidak
teranestesi
Dangkal
Sedang
Dalam
Over dosis
Mati
Posisi Bola
mata
Tengah
Tengah,
tidak tetap
Sering rotasi
di ventral
Tengah
Normal
Mungkin
berdilatasi
Ditengah,
rotasi di
ventral
Dilatasi
sedang
Tengah
Ukuran
Pupil
Tengah,
rotasi, tidak
tetap
Normal
Dilatasi
lebar
Dilatasi
lebar
Respon
Pupil
(+)
(+)
(+)
Lambat
Sangat
lambat, (-).
(-)
(-)
Kejangan
Otot
Baik
Baik
Baik
Relaksasi
Sangat
menurun
Lembek
Lembek
Refleks
Ada
Ada,
mungkin
berlebih
Ringan,
hilang
Ada (patella,
telinga,
palpebral,
kornea),
yang lain
hilang
Semua
minimal,
hilang
Tidak ada
Tidak ada
Dilatasi
ringan
Stadiun 1 atau stadium analgesi adalah stadium awal anestesi yang terjadi
segera setelah dilakukan anestesi secara inhalasi atau injeksi. Hewan pada stadium ini
masih sadar tetapi kehilangan orientasi dan menurunnya sensitifitas terhadap rasa
23
nyeri. Respirasi dan denyut jantung masih normal atau meningkat, dan semua refleks
masih ada;
Stadium 2 atau stadium delirium atau eksitasi adalah stadium yang
dimulai dari hilangnya kesadaran. Semua refleks masih ada dan bisa muncul
berlebihan. Hewan masih dapat mengunyah, menelan, dan mulut umumnya
menganga. Kondisi pupil yang dilatasi tetapi akan berkontriksi apabila ada
rangsangan sinar. Stadium ini berjalan cepat dan bahkan akan terlewati apabila
diberikan preanestesi yang baik. Stadium 2 akan berakhir apabila hewan
menunjukkan tanda relaksasi otot, respirasi menurun, dan terjadi penurunan refleks;
Stadium 3 atau stadium pembedahan adalah stadium melakukan tindakan bedah dan
dibagi menjadi empat plane, yaitu plane 1 atau anestesi ringan, plane 2 atau anestesi
pembedahan, plane 3 atau anestesi dalam, dan plane 4 atau paralisa; dan Stadium 4
atau stadium terminal (stadium kelebihan dosis).
Sejarah dan Mekanisme Kerja Anestesi Umum
Anestetikum pertama kali ditemukan adalah eter oleh William Thomas Green
Morton pada tahun 1846. Morton memperagakan penggunaan dietil eter untuk
menghilangkan kesadaran dan rasa nyeri pada pasien yang sedang ditangani untuk
pembedahan tumor rahang di Massachusetts General Hospital Boston pada tanggal
16 Oktober 1846 dan berhasil tanpa memperlihatkan gejala kesakitan. Dengan
ditemukannya eter sebagai anestetikum tahun 1846, pembedahan dapat dilakukan
tanpa siksaan dan bebas rasa nyeri sehingga mendorong berkembangnya ilmu bedah
dengan pesat. Kemudian muncul teori mekanisme kerja anestesi oleh Vonbibra dan
Harles tahun 1847 yang menjelaskan bahwa anestetikum bekerja karena larut pada
lipid di otak. Dikemudian hari dipertanyakan kembali oleh karena tidak semua bahan
yang larut pada lemak dapat digunakan sebagai anestetikum. Selanjutnya oleh Hans
Meyer pada tahun 1899 dan Charles Overton tahun 1901 memperkenalkan teori
“Meyer-Overton”. Teori ini menyatakan bahwa potensi anestesi berhubungan dengan
kelarutan bahan anestetikum pada lemak. Anestetikum akan larut pada lipid dan
merusak struktur lipid membran syaraf . Dengan demikian, makin mudah suatu bahan
anestetikum larut dalam lemak, makin kuat daya anestesinya. Namun hal ini hanya
24
berlaku untuk anestetikum inhalasi cair atau volatil sedangkan pada anestetikum
parenteral seperti pentotal pernyataan di atas tidak berlaku. Hipotesis Vonbibra dan
Harles tahun 1847 dan Meyer-Overton tahun 1901 dimentahkan dengan munculnya
hipotesis protein membran yang mempengaruhi ion, bahwa membran sel syaraf
mengandung protein dan anestetikum akan terikat pada protein, selanjutnya akan
mempengaruhi saluran ion. (Mashour 2006; Pretto 2002; Miller 2010).
Dalam perkembangan selanjutnya, pemahaman teori saluran ion yang
dipengaruhi oleh neurostransmiter dan reseptor kini diterima sebagai teori mekanisme
kerja anestesi umum. Anestetikum akan bekerja mempengaruhi dua jenis reseptor
yaitu : 1. Reseptor γ amino butiric acid (GABA) terutama reseptor GABA A yang
merupakan reseptor inhibitori, dan 2. Reseptor Glutamat yang merupakan reseptor
eksitatori kususnya pada sub tipe N-methyl D-aspartat (NMDA) (Rudolph dan
Antkowiak 2004; Cameron 2006; Garcia et al. 2010 ) .
Gamma-amino butiric acid merupakan neurotransmiter inhibitori utama di
otak, disintesis dari glutamat dengan bantuan enzim glutamic acid decarboxylase
(GAD), didegradasi oleh GABA-transaminase. Sekali dilepaskan, GABA berdifusi
menyeberangi celah sinap untuk berinteraksi dengan reseptornya sehingga
menimbulkan aksi penghambatan fungsi SSP. Neurotransmiter GABA lepas dari
ujung syaraf gabanergik, berikatan dengan reseptornya, membuka saluran ion Cl,
ion Cl masuk ke dalam sel, terjadi hiperpolarisasi sel syaraf , terjadi efek
penghambatan transmisi syaraf , dan depresi SSP. Reseptor GABA sebagi tempat
terikatnya GABA terdiri dari dua jenis, yaitu ionotropik (GABA A ) dan metabotropik
(GABA B ). Reseptor GABA A terletak di postsinaptik dan cukup penting karena
merupakan tempat aksi obat-obat benzodiazepin dan golongan barbiturat. Reseptor
GABA A terdiri dari lima subtipe (pentamer) 2α, 2ß, dan 1γ, masing masing subtipe
mempunyai N-terminal binding site, terdiri dari 450 asam amino, dan mempunyai 4transmembran (TM) saluran ion. Sampai saat ini telah diketahui ada 19 reseptor
subunit GABA A , yaitu
lebih dari 85% konsentrasinya dalam bentuk kombinasi
α1ß2γ2, α2ß3γ2, dan α3ß1 -3γ2. Reseptor GABA A adalah reseptor komfleks yang
memiliki beberapa tempat aksi obat, seperti benzodiazepin (BZ), GABA, barbiturat,
25
dan neurosteroid (Gambar 2) (Rudolph dan Antkowiak 2004; Cameron 2006; Garcia
et al. 2010; Miller 2010) .
Reseptor GABAA Komfleks
di luar
sel
di dalam sel
BZ = Bezodiazepin
ETOH = Etanol (alkohol)
GABA = γ amino butiric acid
Gambar 2. Reseptor GABA A terdiri dari lima subtipe (pentamer) 2α, 2ß, dan 1γ, m asing
masing subtipe mempunyai N-terminal binding site, terdiri dari 450 asam amino, 4transmembran (TM) sebagai saluran ion dan tempat terikatnya anestetika (Sumber:
Cameron J Weir 2006; Miller 2010) .
Glutamat merupakan asam amino yang termasuk neurotransmiter eksitatori
dan berperan penting dalam fungsi sistem syaraf pusat. Reseptor glutamat yang
teridentifikasi secara farmakologi terdiri dari subtipe reseptor N-methyl D-aspartat
(NMDA),
5-hydroxy
tryptamine
(5HT),
dan
amino
hydroxy
methyl
isoxazolepropionate (AMPA). Aktivasi reseptor NMDA akan meningkatkan Ca+ dan
Na+ intrasel dan memicu aksi potensial. Terikatnya neurostransmiter glutamat pada
reseptor NMDA, menyebabkan aliran ion Ca+ dan NA+ ke dalam sel, ion Ca+
intracellular akan meningkat, terjadi depolarisasi, menyebabkan eksitatori,
memicu konvulsi (Gambar 3) (Cameron 2006; Garcia et al. 2010).
dan
26
Skema subtipe reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA)
ekstraseluler
Sitoplasma
Gambar 3. Skema reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA) komfleks
(Sumber: Uwe Rudolph dan Bernd Antkowiak 2004; Miller 2010) .
Reseptor GABA dan Glutamat adalah reseptor yang sebagaian besar terletak
pada otak khususnya di hipotalamus yang merupakan target kerja anestetikum, yaitu
di daerah tuberomammilary nucleous (TMN). Anestetikum
terkonsentrasi untuk meningkatkan aktivitas reseptor GABA A
umum akan
(Cameron 2006;
Mashour 2006; Pretto 2002; Miller 2010). Konsentrasi rendah isofluran, enfluran,
halotan, dan propofol mempengaruhi GABA dan induksi Cl-, pada dosis tinggi akan
secara langsung mempengaruhi reseptor GABA A menjadi terbuka (Henschel et al.
2008).
Secara seluler, anestetika bekerja pada sel neuron melalui interaksi dengan
kanal ion. Membran protein akan diaktivasi oleh rangsangan kimia atau karena
adanya perubahan sebagai sinyal pada membran sel. Dengan adanya sinyal, terjadi
aktivasi membran protein, kanal ion akan mempengaruhi elektrik neuron, terjadi
perpindahan ion pada permukaan membran sel sehingga terjadi perubahan kondisi di
dalam sel yang sangat negatif atau sangat positif. Kondisi di dalam sel yang sangat
negatif menyebabkan hiperpolarisasi sel
sehingga terjadi inhibitori, sedangkan
kondisi yang sangat positif menyebabkan depolarisasi sel sehingga terjadi kondisi
27
eksitatori. Pada umumnya, anestesi umum bekerja dengan cara memperkuat (+)
sinyal inhibitori atau menghambat (-) sinyal eksitatori. Secara klinis, anestetikum
mempengaruhi fungsi kanal ion lebih dari satu pada sistem syaraf dan hal ini
berdampak pada aktivitas neuron dengan drajat berbeda dan daerah berbeda, seperti
disajikan pada Gambar 4 (Cameron 2006; Garcia et al. 2010).
Anestesi Umum
Inhibitori
Eksitatori
Gambar 4 Anestesi umum bekerja dengan cara mempengaruhi aktivitas transmitter-gate ion
channel dengan cara meningkatkan (+) sinyal inhibitori dan/atau menghambat (-)
sinyal eksitatori neurotransmiter. GABA= γ amino butiric acid, NMDA= Nmethyl D-aspartat, 5HT3 = 5-hydroxy tryptamine, AMPA = amino hydroxy
methyl isoxazolepropionate. (sumber: Cameron J Weir 2006).
Anestetika umum yang sering digunakan saat ini sebagai induksi dan
pemeliharaan anestesi ada lima jenis anestetika inhalasi dan lima jenis anestetika
injeksi intravena. Anestetika inhalasi yaitu N 2 O, isofluran, sevofluran, desfluran, dan
xenon. Anestetika intravena yaitu propofol, etomidat, ketamine, metoheksital, dan
tiopental. Ketamine, N 2 O, dan xenon bekerja dengan cara menghambat reseptor
glutamat dengan pengaruh yang sangat kuat menghambat reseptor subtipe NMDA
dan berpengaruh sangat lemah pada reseptor lain seperti reseptor GABA A . Anestetika
sisanya bekerja pada reseptor GABA A dengan pengaruh utama meningkatkan fungsi
reseptor GABA A dan berpengaruh juga pada kanal ion lainnya seperti reseptor glisin,
28
reseptor nikotin, reseptor 5HT3, reseptor glutamat, dan pompa ion kalium. Reseptor
GABA A adalah reseptor inhibitori neurotransmiter yang sebagian besar terletak di
SSP (Garcia et al. 2010). Dengan demikian anestetikum secara umum bertindak
sebagai sinyal yang akan merangsang reseptor GABA A , menyebabkan hiperpolarisasi
(inhibitori), mengganggu proses fisiologi dan menimbulkan perubahan klinis seperti
hipnosis, depresi refleks spinal, dan amnesia (Cameron 2006; Garcia et al. 2010).
Anestetika umum injeksi, selain ketamine, bekerja meningkatkan pengaruh
reseptor GABA A pada otak khususnya subtipe ß3 menyebabkan kehilangan
kesadaran dan subtipe ß2 (50% pada SSP) menyebabkan sedasi. Sedangkan
anestetikum ketamine, anestetika gas, N 2 O, Xenon dan sejenisnya bekerja sedikit
atau lemah pada reseptor GABA A atau Glisin, tetapi sangat kuat menghambat pada
reseptor glutamat subtipe NMDA sehingga akan menutup aliran Ca2+ dan membuka
saluran ion K yang menyebabkan terjadinya analgesik kuat (Miller 2010).
Reseptor GABA A adalah reseptor yang ditemukan di SSP dan reseptor inilah
merupakan target anestesi. Anestetika umum meningkatkan kerja GABA dan
menginduksi saluran ion Cl. Pada dosis tinggi, anestetika dapat langsung
mengaktivasi reseptor GABA A , tanpa GABA. Sedangkan anestetika apolar seperti
xenon atau cyclopropan mempunyai pengaruh yang sedikit atau tidak berpengaruh
pada reseptor GABA A . Pengaruh fungsional anestetika pada reseptor GABA A sangat
tergantung pada komposisi reseptor subunitnya, yaitu subunit α, β, atau subunit γ
(Franks 2008; Miller 2010).
Franks (2008) dan Miller (2010) menerangkan bahwa anestetikum volatil
bekerja pada reseptor GABA A
subunit α pada transmembran (TM)2 dan TM3
bagian protein Ser270 (αS270). Propofol sebagai anestetikum intravena bekerja pada
reseptor GABA A subunit ß TM2 dan TM3 bagian N265 (ßN265). Sedangkan
anestetika isofluran dan halotan mempunyai ikatan anestetik pada TM1, TM2, TM3,
dan TM4 bagian M159 yang sangat mempengaruhi tranduksi sinyal. Sedangkan
isofluran dan xenon lebih banyak menghambat reseptor melalui kompetisi dengan
glisin ( Gambar 5).
29
Mascia et al. (2000) menyebutkan bahwa alkohol dan anestetika
mempengaruhi reseptor glisin dan reseptor GABA A melalui asam amino pada TM2
dan TM3 dari α subunit, yaitu pada reseptor glisin pada S267, A288, dan Ser270
sedangkan pada reseptor GABA A subunit β pada S270, A291, Asn 265, dan Met286.
Propofol mirip dengan propanethiol bekerja pada reseptor Glisin TM2 α1 (S267C),
pada reseptor GABA A TM2 α2 (S270C)ß1, pada TM3 α1 (A288C),
pada TM3 α2
(A291C)ß1, pada TM2 β2 (Tyr445). Asam amino pada TM2 adalah tempat terikatnya
anestetika dan alkohol (Gambar 5) (Mascia et al. 2000; Franks 2008; Miller 2010).
Gambar 5. Anestetika volatil (isofluran) bekerja pada reseptor GABA A subunit α
dan anestetika intravena (propofol) bekerja pada reseptor GABA A subunit β.
(Sumber : Miller 2010).
Tinjauan Anestetikum Umum
Ketamine HCl
Ketamine HCl adalah anestetikum golongan phencyclidine (PCP) dengan
rumus 2-(0-chlorophenyl)-2-(methylamino)-cyclohexanone hydrochloride, golongan
nonbarbiturat, dan termasuk dissosiatif anestesi, yaitu pada dosis rendah sebagai
preanestesi dan pada dosis lebih tinggi sebagai anestesi umum.
Ketamine HCl
merupakan larutan tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan mempunyai tingkat
keamanan lebar (Gambar 6) (Sulistia 1987; Adams 2001).
30
Gambar 6 Struktur kimia ketamine HCl
Ketamine HCl mempunyai sifat menghilangkan rasa sakit yang kuat serta
reaksi anestesinya tidak menyebabkan ngantuk (Pathak et al.1982; Kul et al. 2001).
Ketamine menghasilkan pengaruh anestesi melalui mekanisme yang bekerja pada
reseptor N methyl D aspartate (NMDA). Ketamine diklasifikasikan sebagai antagonis
reseptor NMDA, pada daerah tempat kerja PCP. Afinitas ketamine sangat tinggi pada
reseptor NMDA, sehingga menghasilkan pengaruh analgesik yang sangat kuat
(Stawicki 2007). Sebagai antagonis NMDA, ketamine menghambat refleks nosiseptik
spinal, yaitu menghambat konduksi rasa nyeri ke talamus dan daerah kortek.
Penghambatan reseptor NMDA dengan dosis ketamine yang rendah akan
menghasilkan pengaruh analgesik yang baik (Intelisano et al. 2008). Ketamine juga
menyebabkan gangguan fungsi pada beberapa tempat di otak seperti pada talamus
dan kortek serebral menjadi tertekan. Ketamine juga memperpanjang kerja GABA
(gamma amino butyric acid), suatu neurotransmiter penghambat di otak dengan cara
menghambat pengikatannya di ujung syaraf (Cullen 1997). Reseptor GABA dapat
merubah permiabilitas ion Cl- dan dapat menyebabkan pelepasan norepineprin pada
syaraf simpatik (Adams 2001; Rudolph dan Antkoeiak 2004). Pengaruh klinis yang
ditimbulkan ketamine sangat bervariasi seperti : analgesia, anestesi, halusinasi,
neurotoksisitas, hipertensi arterial, dan bronkodilatasi. Ketamine juga menimbulkan
agitasi (kehilangan orientasi, gelisah, dan menangis) yang sering disebut penomena
emergence delirium (Stawicki 2007).
Adams (2001) menyebutkan bahwa aktivitas ketamine dapat secara langsung
menstimulasi pusat adrenergik dan secara tidak langsung menghambat pengambilan
(uptake) catecholamine terutama norepineprin. Ketamine dapat mengubah aktivitas
31
listrik jantung dengan memperpanjang interval PR dan QT, tetapi tidak
mempengaruhi bentuk gelombang EKG. Ketamine juga dapat menghambat efferen
vagal (vagolitik) melalui aktivitas pada syaraf
pusat.
Terhadap sistem
kardiovaskuler, ketamine menyebabkan peningkatan tekanan darah, peningkatan
denyut jantung, peningkatan cardiac output, peningkatan tekanan vena (Cullen 1997),
peningkatan tekanan arteri, temperatur tubuh, dan peningkatan tekanan intraokuler
(Haskin 1989).
Pemberian anestetikum ketamine secara tunggal dosis 10-15 mg/kg berat badan
secara intra muskular pada anjing menimbulkan kekejangan otot dan hipersalivasi
serta durasi kerja anestesi yang sangat pendek. Mengatasi kerugian penggunaan
anestetikum ketamine secara tunggal, ketamine sering dikombinasikan dengan obat
lain sebagai preanestesi, misalnya sedatif tranquuilizer golongan penotiazin seperti
acepromazin atau clorpromazin, sedatif hipnotik golongan α2-adrenoceptor seperti
xylazine,
dan golongan benzodiazepin seperti diazepam atau
midazolam yang
diberikan secara IM atau IV (Bishop 1996). Penggunaan kombinasi xylazine 2
mg/kgBB lima menit kemudian diikuti dengan ketamine 20 mg/kgBB, menyebabkan
menurunnya denyut jantung, tekanan darah arteri dan respirasi (Kul et al. 2001).
Waktu anestesi yang dihasilkan oleh kombinasi anestesi xylazine (2 mg/kgBB) dan
ketamine (15 mg/kgBB) dalam satu spuit secara intamuskular pada anjing lokal
sekitar 45 menit (Sudisma et al. 2001). Pemberian xylazine secara tunggal pada
anjing akan menyebabkan muntah dan penurunan denyut jantung beberapa menit
setelah pemberian xylazine (Bishop 1996).
Propofol
Propofol dapat digunakan secara tunggal pada prosedur anestesi yang singkat
atau untuk induksi sebelum intubasi dan anestesi inhalasi. Propofol mempunyai pH
netral dan dapat diberikan dalam bentuk emulsi minyak dalam air dengan konsentrasi
10 mg/ml. Walaupun propofol memperlihatkan warna putih seperti susu, sangat aman
diberikan
secara
intravena.
Propofol
adalah
turunan
alkil
penol
diisopropylphenol), seperti pada Gambar 7 (McKelvey dan Hollingshead 2003).
(2,6-
32
2,6-diisopropylphenol (C 12 H 18 O)
Gambar 7 Struktur kimia propofol
Propofol termasuk agen anestetikum intravena short acting hypnotic. Propofol
menghasilkan pengaruh anestesi melalui mekanisme yang bekerja pada reseptor
GABA A (Intelisano et al. 2008). Propofol memperbesar pengaruh GABA yang
mempunyai fungsi menghambat aksi (inhibitory) sistem syaraf pusat, meningkatkan
konduksi Cl- yang menyebabkan hiperpolarisasi sehingga tingkat rangsangan sel
(excitability) menurunkan, menyebabkan sedasi dan relaksasi (Mihic dan Harris
1997; Intelisano et al. 2008).
Propofol mempunyai molekul mirip alkohol, molekulnya akan bekerja dan
berikatan pada reseptor GABA A pada membran sel syaraf pada otak khususnya
reseptor GABA A subtipe ß3 pada transmembran (TM)2 dan TM3 bagian N265
(ßN265) sehingga menyebabkan kehilangan kesadaran dan pada reseptor GABA A
subtipe ß2 (50% pada SSP) akan menyebabkan sedasi. Subtipe ß3 yang terdapat pada
reseptor GABA A merespon propofol dan etomidat sehingga terjadi depresi
respiratoris (Henschel et al. 2008). Propofol menghasilkan pengaruh menghilangkan
kesadaran dan pelemas otot yang baik, menyebabkan hipotensi arterial, bardikardi,
depresi respirasi terutama apabila diberikan secara cepat dengan dosis yang tinggi
(Franks 2008; Miler 2010; Stawicki 2007). Propofol menyebabkan vasodilatasi pada
vena dan arteri serta berakibat langsung penurunan tekanan darah dan menyebabkan
relaksasi pembuluh darah (Karsli et al. 1999). Penelitian pada manusia, propofol
menyebabkan rendahnya tekanan darah sistol (SAP) dan tekanan darah rata-rata
(MAP) tanpa menimbulkan pengaruh pada denyut jantung (Belo et al. 1994 dalam
Mohamadnia et al. 2008).
33
Efek samping propofol berhubungan dengan dosis penggunaan dan keuntungan
penggunaan propofol akan diperoleh dengan cara mengkombinasikan dengan agen
anestetikum lain untuk menurunkan dosis dan meminimalkan pengaruh buruk yang
ditimbulkan (Dzikiti et al. 2007). Efek samping penggunaaan propofol adalah
hipotensi, apnea, dan rasa sakit pada tempat suntikan (Stawicki 2007).
Propofol dapat dilarutkan dalam larutan salin (garam) atau dektrosa 5% dalam
air untuk digunakan pada anjing. Larutan tersebut lebih akurat dan dapat melindungi
efek samping terhadap respirasi dan kardiovaskular. Propofol tidak dianjurkan untuk
dilarutkan dalam konsentrasi yang kurang dari 0,2% (2mg/ml), karena tidak dapat
bercampur dengan pelarut atau agen lain. Tidak seperti cycloheksamin dan barbiturat,
propofol dapat diberikan secara berulang-ulang dan injeksi dapat diulang setiap 3-5
menit atau sesuai dengan kebutuhan yang disesuaikan dengan status pasien atau
sebagai alternatif dapat diberikan secara infus terus-menerus. Periode pemulihan
anestesi dengan propofol sangat cepat dan berjalan dengan lembut, walaupun
diberikan secara berulang-ulang. Pemulihan anestesi dengan propofol pada anjing
sekitar 20 menit (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Dosis propofol yang dibutuhkan pasien dan durasi anestesinya tergantung dari
preanestetikum yang digunakan. Apabila digunakan dosis 6 mg/kg IV, onset
anestesinya kurang dari 60 detik dan durasinya sekitar 5-10 menit. Dosis propofol
yang kecil (0,2-0,4 mg/kg/menit) dapat diberikan pada pasien secara infusi terusmenerus dengan pompa injeksi atau tetes IV. Propofol dapat digunakan pada anjing
dengan dosis pemberian 4mg/kg secara intravena (Bishop 1996). Penggunaan
propofol pada hewan kecil sebagai induksi digunakan dosis 3-8mg/kg secara
intravena, sedangkan sebagai pemeliharaan anestesi digunakan dosis 0,5-1mg/kg
diulang setiap 3-5 menit atau dapat diberikan secara infusi intravena 0,30,5mg/kg/menit. Metode total intraveous anesthesia (TIVA) menggunakan propofol
digunakan secara luas pada pasien manusia yang ditangani diluar ruang operasi.
Propofol yang digunakan pada manusia mempunyai waktu pemulihan yang singkat,
kadang lebih cepat dari isofluran dan menyebabkan muntah dan mabuk pasca operasi.
34
Penggunaan propofol dengan metode TIVA juga dipercaya sebagai anestesi alternatif
untuk hewan kesayangan terutama anjing (Tsai et al. 2007).
Induksi anestesi pada anjing dengan propofol (4mg/kg) dan ketamine (2mg/kg)
secara intravena dalam satu spuit dilanjutkan dengan infusi intravena dengan propofol
(0,5mg/kg/menit) dan ketamine (0,2mg/kg/menit), menghasilkan anestesi dengan
hemodinamik yang stabil (Intelisano et al. 2008).
Anestesi pada anjing dengan
kombinasi propofol (4mg/kg) dan ketamine (4mg/kg) secara intravena menghasilkan
anestesi yang aman dan dapat digunakan sebagai alternatif anestesi untuk prosedur
pembedahan yang panjang (Muhammad et al. 2009). Kombinasi propofol dengan
preanestetikum mempunyai rentang keamanan yang lebar pada anjing. Eksitasi dan
tremor otot jarang terjadi, oleh karena itu diperlukan preanestetikum seperti
acepromazin(0,1mg/kg IV), pentobarbital (2mg/kg), atau diazepam (0,3-0,5mg/kg
IV). Propofol sangat aman diberikan pada hewan dengan gangguan hati dan ginjal,
karena metabolisme propofol sangat cepat. Satu kekurangan propofol adalah
kelemahan untuk disimpan, karena mengandung minyak kedelai, lesithin, dan gliserol
sehingga akan mendukung pertumbuhan bakteri. Ampul dan botol harus disimpan
dengan aseptik dan tidak dianjurkan untuk digunakan setelah dibuka selama 12 jam
(McKelvey dan Hollingshead 2003; Tsai et al. 2007; BBraun 2009).
Xylazine
Xylazine adalah salah satu golongan alpha 2 -adrenoceptor stimulant atau alpha2 adrenergic receptor agonist. Alpha-2 agonist seperti xylazine dan medetomidin
adalah preanestetikum yang sering digunakan pada anjing dan kucing untuk
menghasilkan sedasi, analgesi, dan pelemas otot. Golongan alpha-2 agonist yang lain
seperti romifidin sering digunakan pada kuda, tetapi tidak direkomendasikan untuk
anjing dan kucing (Lemke 2004). Xylazine HCl mempunyai rumus kimia 2(2,6dimethylphenylamino)-4H-5,6-dihydro 1,3-thiazine hydrochloride, seperti disajikan
pada Gambar 8. (Booth et al. 1977; Brander et al. 1991; Bishop 1996).
35
N-(2,6-dimethylphenyl)-5,6-dihydro-4H-1,3-thiazin-2-amine (C 12 H 16 N 2 S)
Gambar 8 Struktur kimia xylazine HCl
Xylazine bekerja melalui mekanisme yang menghambat tonus simpatik
karena
xylazine
mengaktivasi reseptor postsinap
α2 -adrenoseptor sehingga
menyebabkan medriasis, relaksasi otot, penurunan denyut jantung, penurunan
peristaltik, relaksasi saluran cerna, dan sedasi. Aktivitas xylazine pada susunan syaraf
pusat adalah melalui aktivasi atau stimulasi reseptor α 2 -adrenoseptor, menyebabkan
penurunan pelepasan simpatis, mengurangi pengeluaran norepineprin dan dopamin.
Reseptor α 2 -adrenoseptor adalah reseptor yang mengatur penyimpanan dan atau
pelepasan dopamin dan norepineprin. Xylazine menyebabkan relaksasi otot melalui
penghambatan transmisi impuls intraneural pada susunan syaraf pusat dan dapat
menyebabkan muntah. Xylazine juga dapat menekan termoregulator (Adams 2001).
Xylazine menghasilkan sedasi dan hipnotis yang dalam dan lama, dengan dosis
yang ditingkatkan mengakibatkan sedasi yang lebih dalam dan lama serta durasi
panjang (Hall and Clarke 1983).
Xylazine diinjeksikan secara intramuskular
menyebabkan iritasi kecil pada daerah suntikan, tetapi tidak menyakitkan dan akan
hilang dalam waktu 24 –48 jam (Hall and Clarke 1983; Brander et al. 1991).
Xylazine menyebabkan tertekannya sistem syaraf pusat, bermula dari sedasi,
kemudian dengan dosis yang lebih tinggi menyebabkan hypnosis, tidak sadar dan
akhirnya keadaan teranestesi (Hall dan Clarke 1983). Pada sistem
pernafasan,
xylazine menekan pusat pernafasan. Xylazine juga menyebabkan relaksasi otot yang
bagus melalui imbibisi transmisi intraneural impuls pada SSP. Penggunaan xylazine
pada anjing menghasilkan efek samping merangsang muntah tetapi dapat
mengosongkan lambung pada anjing diberi makan sebelum dianestesi.
36
Xylazine biasa digunakan pada kucing, anjing dan kuda sebagai agen sedatif
untuk keperluan pembedahan minor dan untuk menguasai hewan atau handling.
Penggunaaan xylazine dengan dosis yang lebih tinggi bukan saja untuk sedasi dan
analgesi, tetapi juga menghasilkan immobilisasi. Xylazine bisa digunakan sendiri
atau dikombinasikan dengan obat lain seperti benzodiazepin atau opioid untuk
menghasilkan sedasi. Xylazine juga dapat dikombinasikan dengan anestesi injeksi
seperti ketamine, tiopental, dan propofol atau anestesi inhalasi seperti halotan dan
isofluran untuk menghasilkan anestesi yang lebih baik (Lemke 2004). Xylazine
biasanya digunakan sebagai preanestesi, tetapi pada anjing akan menyebabkan
muntah sehingga bersifat kontra-indikasi untuk hewan yang menderita obstruksi
gastro-intestinal. Waktu induksi dari suatu agen anestesi bisa dikurangi sampai 5075% dengan pemberian preanestesi xylazine untuk menghindari overdosis (Bishop
1996).
Sebagai preanestesi pada kuda, xylazine dapat diikuti dengan tiopenton,
metoheksiton atau ketamine. Dengan anestetikum ketamine, penggunaan xylazine
adalah dosis 1,1 mg/kg berat badan secara intra muskular dan diikuti dengan
ketamine 2,2 mg/kg berat badan. Pada anjing, xylazine bisa digunakan secara subkutan atau intra muskular dengan dosis 1-3 mg/kg berat badan (Bishop 1996).
Xylazine dapat digunakan sebagai preanestetikum pada anjing dengan dosis 0,252mg/kg secara intramuskular dan dosis 0,2-0,5mg/kg secara intravena (McKelvey
dan Hollingshead 2003).
Midazolam
Midazolam adalah golongan short-acting benzodiazepin (Gambar 9) umumnya
digunakan pada manusia tetapi dapat digunakan pada anjing, kucing, babi, burung,
dan kuda. Midazolam stabil dalam larutan, sehingga dapat dikombinasikan dengan
ketamine atau ketamine-larutan salin untuk pemberian secara infus, diabsorbsi
dengan baik dan tidak mengiritasi jaringan bila diaplikasikan secara intramuskular
(Lumb dan Jones 1996).
37
Gambar 9 Struktur kimia midazolam
Midazolam merupakan golongan Imidazobenzodiazepin yang larut dalam air,
menghasilkan efek hipnotik, relaksasi otot dan lebih potensial daripada golongan
benzodiazepine lain seperti diazepam (Plumb 1991; Luna et al. 1992). Golongan
benzodiazepin memperkuat kerja GABA yang merupakan neurotransmiter inhibitori
utama pada otak, mampu menekan reflekss-refleks polisinaps dan berpengaruh
terhadap medulla spinalis (Brander et al. 1991). Midazolam bekerja pada reseptor
benzodiazepin dengan cara meningkatkan pengikatan GABA pada reseptor GABA A ,
sehingga menimbulkan penghambatan SSP (Stawicki 2007).
Midazolam dimetabolisme di hati. Produk metabolit utama midazolam adalah
hidroksimidazolam
yang
diekresikan
melalui
hati
sebanyak
40-50%,
α-
hydroxymidazolam yang terbentuk akan segera terikat dengan asam glukoronat (tidak
aktif) dan 50-70% dosis midazolam yang diberikan kemudian dieliminasi melalui
ginjal. Waktu paruh eliminasi midazolam pada manusia 1,5-3 jam (Anonim 2002).
Midazolam mempunyai waktu paruh singkat dan aktivitas farmakologi yang rendah.
Waktu paruh midazolam dalam serum dan durasi midazolam pada manusia lebih
pendek dibandingkan penggunaan diazepam. Waktu paruh eliminasi midazolam pada
manusia lebih kurang 2 jam sedangkan diazepam mencapai 30 jam (Plumb 1991).
Midazolam diabsorbsi cepat dengan kesempurnaan absorbsi 91% pasca
injeksi intramuskular dan rentang bioavailabilitas 31-72% pada pemberian per-oral.
Onset pasca injeksi midazolam secara intravena sangat cepat karena midazolam
termasuk zat lipofilik tinggi. Reflekss akan berkurang pada 30-97 detik post
pemberian midazolam pada manusia. Obat ini memiliki ikatan kuat dengan protein
(94-97%) dan secara cepat menembus blood brain barrier (Plumb 1991). Menurut
38
Anonim (2002), ketersediaan hayati midazolam post injeksi intramuskular lebih dari
90% dan konsentrasi plasma maksimum pada manusia dicapai dalam 30 menit. Ikatan
protein plasma midazolam adalah 96-98%. Selain menembus blood brain barrier,
midazolam juga mampu menembus plasenta dan memasuki sirkulasi janin.
Midazolam dapat digunakan secara sendiri sebagai tranquilizer atau
dikombinasikan dengan anestetikum umum untuk mencegah hipertonus otot dan
meningkatkan sedasi. Pada anjing, midazolam diinjeksikan intramuskular atau
intravena, walau pemberian intravena lebih sering digunakan untuk induksi anestesi
(Lumb dan Jones 1996). Midazolam digunakan sebagai preanestesi untuk mengurangi
kegelisahan sebelum prosedur pembedahan, sebagai sedatif, hipnotik, dan
menimbulkan amnesia (Stawicki 2007). Midazolam dapat mencegah hipertonus otot,
meningkatkan efek sedasi, menghasilkan efek hipnotik, dan lebih potensial
dibandingkan diazepam (Lumb dan Jones 1996; Muir et al. 2000).
Midazolam diindikasikan untuk sedasi preoperasi, amnesia, penanganan
seizures atau status epilepsi, sedasi dan amnesia untuk endoskopi, dan
dikombinasikan dengan agen anestesi lain sebagai anestesi umum (Stawicki 2007).
Efek samping penggunaan midazolam adalah hipotensi, bradikardi, depresi respirasi,
kerusakan fungsi motor, dan koma. Overdosis midazolam dapat ditangani dengan
pemberian flumazenil (Stawicki 2007).
Midazolam lebih baik dibandingkan dengan diazepam. Midazolam bersifat
stabil di dalam larutan sehingga dapat dikombinasikan dengan ketamine atau
ketamine-larutan saline untuk pemberian secara infus (Plumb 1991; Jacobson dan
Hartsfield 1993). Midazolam diabsorbsi dengan baik dan tidak mengiritasi jaringan
bila diaplikasikan intramuskular dan pengaruhnya akan muncul setelah tiga menit
penyuntikan (Lumb dan Jones 1996). Dosis midazolam yang dianjurkan pada anjing
100-200 microgram/kgBB intravena, intramuskular atau subkutan (Lumb dan Jones
1996; Bishop 1996). Midazolam digunakan sebagai preanestesi pada anjing dengan
dosis 0,1-0,2mg/kg (maksimal 10mg) secara intramuskular maupun intravena
(McKelvey dan Hollingshead 2003). Midazolam juga sering digunakan pada kucing
dan dikombinasikan dengan ketamine (0,2mg/kg midazolam dan 10mg/kg ketamine
39
IM). Penggunaan midazolam untuk preoperasi berkisar 0,066-0,22 mg/kgBB
intramuskular atau intravena (Plumb 1991; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Atropine
Atropine adalah prototipe agen menghambat muskarinik atau antimuskarinik
dan merupakan ekstrak alkaloid dari tumbuhan belladona yang termasuk famili
potato (Adams 2001). Atropine dan derivat alamiahnya adalah ester alkaloid
ammonium tersier asam tropat (Katzung 1992).
Secara kimia, molekul atropine
terdiri dari dua komponen yang berikatan melalui ikatan ester. Komponen pertama
adalah tropine yang merupakan sebuah basa organik dan komponen kedua adalah
asam tropat (Gambar 10).
Gambar 10 Struktur kimia atropine
Atropine merupakan antimuskarinik, digunakan untuk mengurangi salivasi
dan sekresi bronkial dan melindungi serta mencegah kejadian aritmia disebabkan
prosedur atau sifat obat-obat anestesi. Sebagai preanestesi, atropine diindikasikan
pada anjing untuk mencegah sejumlah saliva yang dapat menghalangi jalan nafas.
Atropine dan hyoscin tidak direkombinasikan untuk preanestesi pada kuda karena
dapat menyebabkan eksitasi dan medriasis. Atropine mencegah efek samping
muskarinik dari antikolinesterase, yang digunakan untuk mengembalikan pengaruh
non-depolarisasi obat-obat neuromuskular blok. Atropine adalah obat yang paling
umum untuk digunakan sebagai antimuskarinik untuk pengobatan bradikardia.
Penggunaan atropine pada anjing adalah 30–100 mikrograms/Kg BB (Bishop 1996).
Dosis atropine sulfas sebagai preanestetikum 0,02-0,04 mg/kgBB intramuskular atau
subkutan (Plumb 1991). Atropine biasa digunakan sebagai preanestetik pada anjing
dengan dosis 0,02-0,04mg/kg secara subkutan, intramuskular, maupun secara
40
intravena (McKelvey dan Hollingshead 2003). Pemakaian atropine sulfas dosis tinggi
berakibat peningkatan frekuensi jantung dan tonus vagal perifer dan sentral. Kejadian
disarithmia jantung dan takhikardi pada pemberian atropine sulfas pernah dilaporkan
pada anjing (Lumb dan Jones 1996).
Perubahan Aspek Fisiologi dalam Anestesi
Pengamatan aspek fisiologi untuk pengawasan suatu anestesi dapat dikatakan
sempurna apabila seluruh perubahan aspek fisiologi dapat diamati, tetapi perubahan
aspek fisiologi pada sistem kardiovaskuler, respirasi dan suhu tubuh merupakan
parameter yang terpenting diamati selama periode anestesi (Adams 2001, Flecknell,
1987). Kunci efektifitas anestesi dan tingkat keamanan selama periode anestesi
adalah dilakukannya pengawasan dan pemantauan (monitoring) anestesi yang baik.
Pemeriksaan cepat dan seksama selama periode anestesi dilakukan terhadap
kedalaman anestesi, kardiovaskuler dan respirasi, oksigenasi, dan variabel yang lain,
seperti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perubahan fisiologi yang diperiksa selama periode anestesi
• Respirasi : kecepatan, kedalaman, dan sifat (gerak kantong reservoir dan gerakan dada).
• Warna membrana mukosa dan capillary refill time (CRT).
• Denyut jantung
• Pulsus : kecepatan dan kekuatan
• Ketegangan rahang, posisi bola mata, dan aktivitas refleks palpebral.
• Oksigenasi (kecepatan aliran dan tekanan)
• Temperatur tubuh pasien
Sumber: McKelvey dan Hollingshead 2003
Tanda-tanda vital dan refleks harus diperiksa selama hewan teranestesi. Tanda
vital menunjukkan variabel yang mengindikasikan mekanisme respon keseimbangan
(homeostasis) hewan terhadap anestesi, seperti denyut jantung, kecepatan respirasi,
capillary refill time (CRT), dan temperatur. Tanda vital bagi pasien menandakan
kemampuan pasien untuk mempertahankan fungsi respirasi dan sirkulasi selama
teranestesi. Tanda vital dapat diamati dengan indera (sentuhan, pendengaran, atau
41
penglihatan) atau menggunakan alat seperti mesin EKG atau oximeter. Tanda vital
yang harus diperiksa selama teranestesi adalah denyut dan ritme jantung, pulsus,
CRT, warna membrana mukosa, kehilangan darah, kecepatan dan kedalaman
respirasi, dan temperatur. Tanda vital lain yang juga diperiksa adalah oksigenasi,
CO 2 , EKG, dan tekanan darah. Sedangkan refleks adalah reaksi tidak sengaja dari
hewan terhadap rangsangan seperti ditusuk atau dipukul. Refleks memberikan
informasi terhadap kedalaman anestesi tetapi tidak berhubungan dengan keamanan
anestesi atau mekanisme homeostasis pasien (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Sistem Kardiovaskeler
Sistem kardiovaskuler adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari
jantung, pembuluh darah dan darah. Fungsi utama sistem kardiovaskuler adalah
sebagai sistem
sirkulasi atau alat transport.
Sirkulasi darah akan mengangkut
substansi penting untuk kesehatan dan kehidupan, seperti oksigen (O 2 ) dan nutrisi
yang diperlukan oleh setiap sel dalam tubuh. Darah juga membawa karbondioksida
(CO 2 ) dan hasil sisa metabolisme tubuh dari tiap-tiap sel dan mengirimnya ke paruparu, hati, atau ginjal sebagai tempat untuk pengeluaran (Cunningham 2002). Jantung
berfungsi sebagai pompa yang melakukan tekanan terhadap darah untuk
menimbulkan tekanan yang diperlukan agar darah dapat mengalir ke jaringan.
Pembuluh darah berfungsi sebagai saluran untuk mengarahkan dan mendistribusikan
darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan mengembalikan ke jantung (Sherwood
2001, Cunningham 2002).
Denyut jantung adalah hitungan berapa kali jantung berdenyut dalam satu
menit. Pengamatan frekuensi denyut jantung dapat menggambarkan kualitas fungsi
kardiovaskuler yang bertugas mengangkut O 2 dan nutrien ke seluruh jaringan tubuh,
membawa
limbah
metabolisme
dan
mempertahankan
homeostasis
seluler.
Pengamatan frekuensi denyut jantung dapat dihitung secara auskultasi dengan
mempergunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung di rongga dada
sebelah kiri, atau dapat pula dengan merasakan pulsus hewan pada pembuluh darah
arteri femoralis atau brachialis. Selain itu, pengukuran frekuensi denyut jantung
42
dapat juga dilakukan dengan elektrokardiogram (EKG) (Cunningham 2002, Nelson
2003).
Denyut jantung minimal yang masih aman pada anjing teranestesi adalah 60
kali/menit. Denyut jantung yang lebih rendah menandakan kedalaman anestesi yang
berlebihan atau ada gangguan. Denyut jantung yang umum pada hewan yang
teranestesi adalah 60-120 kali per menit (anjing sehat 60-180x/menit). Penurunan
denyut jantung pada kondisi teranestesi adalah normal, akibat adanya pengaruh
sebagian besar anestetikum yang dapat menekan denyut jantung dan fungsi
miokardiak. Hanya beberapa atestetika yang dapat meningkatkan denyut jantung
seperti atropine, ketamine, dan tiletamin (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Selama
dalam
keadaan
teranestesi,
jantung
dapat
diamati
dengan
elektrokardiograf untuk melihat gambaran elektrokardiogram. Elektrokardiogram
(EKG) adalah suatu rekaman keadaan yang menggambarkan konduksi listrik jantung.
Rekaman konduksi listrik jantung sangat umum digunakan secara klinis untuk
mendiagnosa disfungsi listrik jantung. Depolarisasi atrial, depolarisasi ventrikel, dan
repolarisasi ventrikel akan menyebabkan depleksi voltase yang khas dalam bentuk
gelombang pada elektrokardiogram. Alat elektrokardiograf dapat digunakan untuk
melihat gambaran elektrokardiogram dan denyut jantung (Cunningham 2002).
Jantung dibentuk oleh tiga jenis sel yang menyebabkan terjadinya eksitasi,
yaitu sel pacemaker sebagai sumber bioelektrik jantung dan secara dominan berada di
nodus SA (Sino-Atrial node), sel konduksi sebagai kawat penghubung arus
bioelektrik seperti nodus AV (Atrio-Ventricular node), berkas his atau serabut
purkinje, dan sel otot jantung (miokardium) yang berfungsi untuk kontraksi
(Cunningham 2002).
Jantung berdepolarisasi apabila terdapat dua buah kesatuan yang secara
fungsional terisolasi, yaitu atrium kanan dan kiri serta ventrikel kanan dan kiri yang
dijembatani oleh nodus AV. Jalur gelombang depolarisasi dimulai dari nodus SA
pada atrium kanan, kemudian menyeberangi atrium dari nodus SA ke atrium kiri.
Dinding atrium relatif tipis sehingga depolarisasi berjalan terus melalui endokardium
dan epikardium. Kecepatan depolarisasi ini dipengaruhi oleh rangsangan otonom,
43
suhu dan ukuran serabut miokardium. Gelombang depolarisasi menyebabkan atrium
berkontraksi dan darah akan mengalir ke ventrikel. Kemudian gelombang
depolarisasi mengalir melalui berkas his dan serabut purkinje yang menyebabkan
dinding ventrikel berkontraksi dan darah dapat dialirkan keluar ventrikel (Sherwood
2001, Karim dan Kebo 2002).
Gelombang EKG ditandai dengan satu seri defleksi atau gelombang, dengan
perjanjian bahwa suatu potensial positif menghasilkan defleksi ke atas dan suatu
potensial negatif menghasilkan defleksi ke bawah. Gelomgang P, menunjukkan
depolarisasi atrium atau kontraksi atrium. Gelombang untuk repolarisasi atrium tidak
terlihat pada EKG, karena tertutup oleh gelombang Q, R, dan S. Gelombang Q, R,
dan gelombang S, bersama-sama merupakan komplek QRS. Komplek QRS
menunjukkan depolarisasi ventrikel atau kontraksi ventrikel. Ketetapan pada komplek
QRS adalah setiap awal defleksi negatif ditunjukkan oleh Q, setiap defleksi positif
(dengan atau tanpa didahului oleh Q) ditunjukkan oleh R, dan setiap defleksi negatif
yang mengikuti R, ditunjukkan oleh S. Gelombang T menunjukkan repolarisasi
ventrikel. Walaupun depolarisasi dan repolarisasi adalah proses yang bertolak
belakang, gelombang T dan gelombang R biasanya menunjuk kearah yang sama,
yang menunjukkan bahwa penyebab aktivasi dan penurunan mengambil jalur yang
berbeda melalui miokardium. Interval PR atau PQ adalah waktu yang berlalu antara
permulaan eksitasi atrium dan permulaan eksitasi ventrikel atau penjumlahan dari
waktu depolarisasi atrium dan waktu perlambatan simpul AV. Interval QT bervariasi
dengan denyut jantung, segmen ini menunjukkan waktu yang diperlukan untuk
depolarisasi dan repolarisasi ventrikel atau jarak antara permulaan gelombang Q
sampai akhir gelombang T, sedangkan durasi QRS adalah waktu yang diperlukan
untuk depolarisasi atau kontraksi ventrikel, seperti disajikan pada Gambar 11
(Sherwood 2001; Karim dan Kebo 2002; Gay dan Rothenburger 2000).
44
1= Durasi P
2= Interval PR
3= Durasi QRS
4= Interval QT
Gambar 11 Diagram gambaran gelombang elektrokardiogram (EKG).
Selain EKG, tekanan darah juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan
pada sistem kardiovaskuler. Tekanan darah arteri sangat dipengaruhi oleh cardiac
output dan tahanan total perifer, denyut jantung, serta stroke volume. Peningkatan
stroke volume atau cardiac output akan meningkatkan tekanan darah. Peningkatan
tahanan perifer juga akan mempengaruhi peningkatan tekanan darah. Jadi penurunan
denyut jantung, stroke volume atau tahanan perifer secara sendiri-sendiri atau
dikombinasikan akan menurunkan tekanan darah arteri (Muir et al. 2000;
Cunningham 2002 ). Nilai normal denyut jantung, elektrokardiogram, dan tekanan
darah arteri pada anjing disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kriteria elektrokardiogram (EKG) dan tekanan darah normal pada anjing
Parameter
Denyut Jantung (denyut per menit)
Gelombang P (maximum)(detik dan mv)
Interval PQ(detik)
Interval QRS(detik)
Gelombang R(mv)
Segmen ST(mv)
Gelombang T (maximum)
Interval QT(detik)
Tekanan sistol/diastol (rata-rata)( mmHg)
Kisaran Normal pada Anjing
70 – 160
0,04 dan 0,4
0,06 – 0,13
0,04 – 0,05
3
0,2
1/3 R
0,15 – 0,25
100/65(90)-160/100(100)
Sumber : Nelson 2003
Denyut jantung, gambaran elektrokardiogram dan tekanan darah arteri adalah
parameter penting pada sistem kardiovaskuler yang harus diperhatikan sebelum dan
45
selama melakukan tindakan anestesi maupun pembedahan (Muir et al. 2000;
Cunningham 2002 ).
Capillary Refill Time (CRT)
Capillary refill time (CRT) adalah kecepatan kembalinya warna membrana
mukosa setelah dilakukan penekanan yang lembut dengan jari. Capillary refill time
menandakan adanya aliran darah pada jaringan. Penekanan pada membrana mukosa
akan menekan pembuluh darah kapiler dan menghambat aliran darah di daerah
tersebut, apabila penekanan dilepaskan kapiler akan terisi kembali oleh darah dengan
cepat dan warnanya akan kembali, menandakan bahwa jantung masih mampu untuk
menghasilkan tekanan darah yang cukup (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Nilai CRT yang lama (lebih dari 2 detik) menandakan pengisian jaringan oleh
darah tidak optimal dan aliran darah ke jaringan menurun. Hal ini menandakan terjadi
penurunan tekanan darah akibat pemberian obat, hipotermia, gangguan jantung,
anestesi yang dalam, atau karena terjadi shock (Cunningham 2002; McKelvey dan
Hollingshead 2003).
Warna Membrana Mukosa
Lokasi yang paling mudah dilakukan untuk pemeriksaan warna membrana
mukosa adalah daerah gusi. Hewan yang mempunyai gusi berpigmen, di daerah lain
dapat
dilakukan pemeriksaan seperti lidah, konjungtiva bawah, atau daerah
prepusium dan vulva. Warna membrana mukosa yang pucat menandakan kejadian
kehilangan darah atau anemia atau karena aliran darah yang lemah akibat hewan
terlalu lama dianestesi. Warna membrana mukosa yang ungu atau biru adalah kondisi
yang disebut sianosis, sebagai tanda berhentinya aliran darah atau kekurangan
oksigen pada jaringan. Sianosis pada hewan selama dianestesi menandakan terjadi
gangguan respirasi atau terjadi obstruksi saluran respirasi bagian atas dan hewan
harus segera diselamatkan (Cunningham 2002; McKelvey dan Hollingshead 2003).
46
Tekanan Darah
Tekanan darah dapat diukur secara kasar melalui palpasi pulsus, tetapi untuk
mendapatkan tekanan darah yang akurat harus dilakukan dengan alat pengukur
tekanan darah. Beberapa istilah yang digunakan untuk menentukan tekanan darah
adalah tekanan darah sistol (systolic arterial pressure, SAP), tekanan darah diastol
(diastolic arterial pressure, DAP), dan tekanan darah rata-rata (mean arterial
pressure, MAP). Systolic arterial pressure adalah tekanan darah tertinggi yang
dihasilkan karena kontraksi ventrikel yang memompa darah ke aorta dan arteri besar.
Diastolic arterial pressure adalah tekanan darah terendah yang merupakan tekanan
sisa pada saat jantung berada pada tahap istirahat atau relaksasi sebelum kontraksi
berikutnya. Mean arterial pressure adalah tekanan rata-rata siklus jantung dan
merupakan tekanan darah yang paling penting yang berhubungan dengan anestesi,
karena merupakan indikator paling baik untuk mengetahui aliran darah pada organ
dalam. Mean arterial pressure dapat diketahui secara langsung pada alat ukur atau
dengan menghitung menggunakan rumus sebagai berikut :
(SAP – DAP)
MAP = DAP +
3
Nilai normal SAP pada anjing adalah sekitar 120 mmHg (90-160 mmHg) dan
nilai normal DAP adalah 80 mmHg (50-90 mmHg) sehingga dapat dikatakan bahwa
nilai normal SAP/DAP adalah 120/80. Sedangkan nilai MAP normal adalah 90-100
mmHg, pada hewan yang teranestesi adalah 70-90 mmHg (Cunningham 2002;
Nelson 2003; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Gambaran Darah
Pengamatan laboratoris yang diperlukan sebelum dan selama tindakan
anestesi adalah penghitungan sel darah lengkap (CBC, complete blood cell count).
Penghitungan sel darah lengkap terdiri dari penentuan PCV (packed cell volume), Hb
(hemoglobin), TPP (total plasma protein), dan evaluasi blood smear untuk sel darah
47
putih (WBC, white blood cell), sel darah merah (RBC, red blood cell), dan platelet.
Pengamatan tersebut bertujuan untuk melihat status hidrasi dan status hematologi
volume sel darah merah yang bersirkulasi. Dengan diketahui status hidrasi maka shok
dan anemia karena kehilangan banyak darah dapat dicegah sedini mungkin pada saat
operasi (Dodman et al. 1984; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Informasi yang diperoleh dari pemeriksaan PCV dan Hb menandakan
kemampuan darah untuk mengirim oksigen ke jaringan. Nilai PCV yang berada
diatas normal menandakan jumlah relatif sel darah merah meningkat yang terjadi
pada keadaan kehilangan cairan dan menyebabkan terjadinya dehidrasi. Tingginya
nilai PCV sangat penting diperhatikan, karena berhubungan dengan hemokonsentrasi
dan meningkatnya kekentalan darah, yang menyebabkan penurunan curah jantung.
Apabila nilai PCV rendah, menandakan terjadinya anemia yang disebabkan oleh
kehilangan darah, hemolisis, atau gangguan produksi sel darah merah, akhirnya akan
menyebabkan penurunan kapasitas penyediaan oksigen ke jaringan. Nilai PCV di
bawah 25% pada anjing menandakan bahwa oksigenasi pada jaringan tidak cukup,
terutama untuk jantung dan anestesi harus ditunda sampai terjadi perbaikan anemia.
Nilai TPP juga sangat penting seperti nilai PCV, karena peningkatan nilai TPP sama
dengan peningkatan nilai PCV yang menandakan adanya dehidrasi. Penurunan nilai
TPP menandakan terjadinya hipoproteinemia yang diakibatkan oleh gangguan ginjal,
hati, atau gastrointestinal. Sedangkan jumlah sel darah putih menandakan ada
tidaknya infeksi atau tingkat stres yang terjadi pada hewan. Kondisi terinfeksi dan
stres akan meningkatkan resiko anestesi. Tabel 4. menunjukkan nilai normal
gambaran darah anjing (Dodman et al. 1984; McKelvey dan Hollingshead 2003).
48
Tabel 4. Kriteria normal pemeriksaan darah pada anjing
(Sumber : Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003; Foster 2009)
Kisaran Referensi
Parameter
untuk Anjing
Denyut Jantung (denyut per menit)
70-160
Hb (g/dl)
14-18
PCV (%)
35-54
Red Blood Cell Count (x106/µl)
5.6-8.7
White Blood Cell Count (/µl)
6,000-17,000
Neutrophils(/µl)
3,000-12,000
Lymphocytes(/µl)
530-4,800
Monocytes(/µl)
100-1800
Eosinophils(/µl)
0-1,900
Basophils(/µl)
<100
Platelets(/µl)
145-440
TPP (g/dl)
5,7-7,8
PaO 2 (mmHg)
91-97
PaCO2 (mmHg)
30-43
Arterial pH
7,36-7,46
Sistem Respirasi
Respirasi merupakan faktor penting dalam ventilasi pulmonum, sehingga
udara alveoler diperbaharui oleh udara atmosfir. Terdapat dua mekanisme penting
dalam satu kali respirasi yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah udara atmosfir
masuk ke dalam saluran paru-paru dan ekspirasi adalah keluarnya udara alveoler dari
paru-paru dan saluran pernapasan (Lumb dan Jones 1984; Cunningham 2002). Nilai
normal gas respirasi dan gas di dalam darah anjing disajikan dalam Tabel 5.
49
Tabel 5. Tekanan gas respirasi dan gas darah normal pada anjing (mmHg)
(Sumber : Muir 2000; Nelson 2003; McKelvey dan Hollingshead 2003)
Gas
O2
CO 2
N2
Kelembaban air
Total
End Tidal CO 2
atsmosfer
(inspirasi)
alveolar
arteri
Vena
160
0,2
595
4,8
760
102
40
570
48
760
100
40
572
48
760
40
45
572
48
705
(CO 2 alveolar – [5 s/d 10])
35-46 mmHg (anjing)
Frekuensi Respirasi
15 (10 – 30) kali/menit (anjing)
Respirasi pada hewan akan mengambil udara atau gas inspirasi dalam jumlah
yang sama dengan yang dikeluarkan ekspirasi. Volume udara atau gas yang masuk
dan keluar saluran respirasi disebut volume tidal, sedangkan jumlah inspirasi atau
ekspirasi yang dilakukan setiap menitnya disebut frekuensi respirasi per menit
(respiratory rate). Volume tidal dan frekuensi respirasi akan menghasilkan volume
respirasi per menit (menute volume). Kedalaman respirasi akan mempengaruhi
ukuran volume tidal. Respirasi yang lebih dangkal akan menurunkan volume tidal
dan sebaliknya (Muir et al. 2000).
Pengamatan terhadap frekuensi respirasi dapat dilakukan dengan melekatkan
sebuah monitor pada katub ekhalasi pada sirkuit anestesi per inhalasi yang dapat
berdesis pada setiap kali ekhalasi. Metode lain yang dapat digunakan untuk
mengamati frekuensi respirasi adalah dengan memasukkan sebuah thermistor probe
ke dalam saluran pernapasan. Pengamatan frekuensi respirasi juga dapat dilakukan
dengan cara visual dengan memperhatikan gerakan inspirasi dan ekspirasi pada
tulang iga di bagian dada (Moens dan Fargetton 1990; Cunningham 2002; Nelson
2003).
Dalam keadaan normal, O 2 diangkut ke dalam alveoli paru-paru dan CO 2
diangkut dari alveoli paru-paru, sehingga komposisi udara di dalam alveoli paru-paru
dapat dipertahankan dalam konsentrasi yang konstan. Pertukaran gas di paru-paru
terjadi dengan melewati membran alveoli dan membran kapiler, yang tebalnya kira-
50
kira tidak lebih dari satu mikron, sehingga dapat berlangsung dengan cepat. Keadaan
udara di dalam pembuluh kapiler paru-paru dan di dalam alveoli paru-paru mendekati
seimbang, sehingga tekanan gas CO 2 dan O 2 di dalam darah relatif sama dengan
tekanan CO 2 dan O 2 di dalam alveoli paru-paru (Cunningham 2002).
Suhu Rektal
Suhu rektal adalah variabel fisiologis yang paling sederhana dan mudah untuk
diamati selama anestesi. Suhu rektal adalah parameter paling sederhana untuk diamati
perubahannya dengan menggunakan alat fisiograf. Panas dalam tubuh berasal dari
hasil metabolisme di dalam tubuh dan dari luar tubuh. Pada saat energi makanan
dicerna, panas akan dihasilklan dari keseluruhan tahap proses metabolisme di dalam
tubuh. Energi yang terdapat didalam makanan dirubah dalam bentuk panas, yang
disebarkan ke lingkungan dan dipancarkan keseluruh permukaan.
Hewan akan melawan panas dari lingkungan bila suhu disekitarnya lebih
besar dari suhu tubuh dan bila terpapar oleh radiasi panas. Hal yang sama juga terjadi
jika hewan terpapar sinar matahari langsung atau berada dekat dengan benda padat
yang lebih hangat dari pada suhu tubuhnya. Panas tubuh akan hilang menuju
lingkungan sekitar melalui pemancaran dari permukaan tubuh menuju objek yang
lebih dingin. Pemancaran panas terjadi melalui pergerakan udara atau air yang
menjadi lebih hangat oleh tubuh, melalui penguapan sekresi respirasi, keringat atau
saliva dan melalui penghantaran pada permukaan yang lebih dingin karena tubuh
hewan bersentuhan. Panas juga hilang melalui urin dan feses. Banyak sumber panas
dari metabolisme dalam tubuh, seperti hati, jantung, dan otot berada jauh dari kulit
sebagai tempat pelepasan atau kehilangan panas, sehingga diperlukan pemindahan
panas. Jaringan tubuh adalah penghantar panas yang tidak baik, sehingga panas
dipindahkan terutama oleh pergerakan di dalam sirkulasi. Jantung dan pembuluh
darah akan memegang peranan yang sangat penting untuk pemindahan panas di
dalam tubuh (Cunningham 2002).
Pusat pengaturan seluruh informasi dari berbagai reseptor terjadi di anterior
hipotalamus. Informasi yang berasal dari reseptor temperatur pusat lebih besar
51
pengaruhnya dari pada informasi yang berasal dari reseptor kulit dan visceral,
sehingga peningkatan temperatur pusat 0,5oC menyebabkan tujuh kali lipat
peningkatan pada peredaran darah di kulit, penurunan temperatur pusat menyebabkan
vasokonstriksi dan menggigil. Pengaruh reseptor pusat adalah duapuluh kali lipat
lebih besar dari pada pengaruh reseptor perifer (Cunningham 2002; Nelson 2003).
Salah satu penyebab hilangnya panas tubuh pada hewan selama teranestesi
adalah penempatan hewan diatas meja operasi stainles steel dan ruangan operasi yang
menggunakan pendingin ruangan atau air-conditioning dengan pengaturan suhu yang
sangat rendah. Periode anestesi lama lebih dari 30 menit juga dapat menyebabkan
penurunan suhu tubuh (Warren 1983; Muir et al. 2000). Abnormalitas termoregulasi
yang menyebabkan penurunan suhu tubuh selama hewan teranestesi disebabkan oleh
kehilangan panas akibat produksi yang menurun, penekanan pada susunan syaraf
pusat, terjadi vasodilatasi, penurunan produksi panas oleh aktivitas otot, penyuntikan
cairan dengan suhu rendah, dan kapasitas tubuh yang terbuka terhadap kontak
lingkungan (Muir et al. 2000). Perubahan suhu pada hewan yang teranestesi masih
diperkenankan apabila masih berada pada batas-batas nilai normal. Suhu normal pada
anjing adalah 37,5-39,2oC (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Anjing
Anjing (Canis familiaris) telah didomestikasi selama ribuan tahun. Banyak
jenis (breeds) anjing yang telah dikenal. Jenis anjing yang umum digunakan untuk
kepentingan penelitian laboratorium adalah anjing jenis Beagle. Anjing Beagle sering
digunakan sebagai model untuk penyakit pada manusia, karena mempunyai anatomi
dan fisiologi yang mirip dengan manusia, ukuran tubuhnya baik dan ideal (berat
badan rata-rata 10-15kg), mempunyai watak atau sifat yang baik dan bersahabat
sehingga sangat cocok untuk penelitian yang memerlukan pengamatan sangat dekat.
Anjing Beagle adalah jenis anjing yang pintar, mudah menerima perintah, penurut,
serta cepat beradaptasi dengan lingkungan, manusia maupun sesama anjing
(Wolfensohn dan Lloyd 2000).
52
Anjing adalah hewan yang sangat suka berkelompok dalam suatu kawanan.
Anjing dapat dipelihara dalam sebuah kelompok atau berpasangan tetapi dengan
pemberian makanan yang cukup. Anjing sangat perlu bersosialisasi dengan manusia
atau anjing lain terutama pada saat umur masih muda 6 – 8 minggu, tetapi pada umur
14 minggu akan sulit untuk didekati. Sosial kontak bagi anjing sangat penting dan
harus dipertahankan untuk membuat anjing tetap bersifat bersahabat. Anjing dengan
sosialisasi baik akan lebih mudah ditangani (handle), tidak mudah stres, dan akan
mudah dapat memberikan prosedur perlakuan pada anjing. Anjing tergolong binatang
yang pintar dan mudah belajar sehingga sangat baik digunakan sebagai hewan
laboratorium. Anjing jantan umumnya lebih agresif dibandingkan betina, tetapi hal
ini tergantung pada jenis anjing. Anjing jenis Beagle lebih tenang, lebih penurut, dan
menerima perintah tambahan dengan lebih baik. Anjing mempunyai metode
komunikasi yang banyak dengan manusia atau sesama anjing, dan indera
penciumannya sangat penting. Anjing jantan akan memberi marka daerah kekuasaan
dengan urinasi (Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Anjing sangat adaptif dengan lingkungan, dapat menyesuaikan dengan suhu
lingkungan 15-24oC, dan pada suhu yang lebih rendah dapat beradaptasi apabila
dalam kelompok. Anak anjing baru lahir perlu beradaptasi pada suhu 30-32oC, pada
umur 5 hari dapat beradaptasi pada suhu 26-28oC, dan pada umur 4 minggu dengan
suhu 24oC sudah cukup. Anjing sangat baik beradaptasi terhadap makanan dan sangat
jarang terjadi defisiensi. Anjing Beagle berat 13 kg memerlukan pakan sekitar 0,8kg
atau 0,25kg pakan kering per hari, air minum lebih kurang 1 liter per hari (7080ml/kg/hari). Dewasa kelamin pada anjing jantan dicapai pada umur 7-8 bulan dan
pada betina umur 8-14 bulan. Anjing dapat dikawinkan setelah umur 1-2 tahun dan
anjing betina dapat dikawinkan setelah hari ke 6-12 birahi, kehamilan biasanya
berkisar 59-68 hari atau rata-rata 63 hari. Jumlah anak yang dilahirkan rata-rata 1-12
ekor, dengan berat lahir rata-rata 250 gram. Masa hidup anjing jenis Beagle adalah 12
tahun, seperti disajikan pada Tabel 6. (Wolfensohn dan Lloyd 2000).
53
Tabel 6. Data fisiologi anjing
(Sumber : Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003)
Parameter
Kisaran
nilai
Referensi
Parameter
Kisaran
nilai
Referensi
Berat badan dewasa (kg)
10-15
Data Hematologi :
Pakan (g/kg)
18
RBC (x106/mm3)
5,5-8,5
Air minum (ml)
1200
PCV (%)
37-55
Harapan hidup (th)
12
Hb (g/dl)
Data biologi :
o
12-18
3
3
Suhu rektal ( C)
37,9-39,9
WBC (x10 /mm )
6-17
Tekanan darah sistol (mmHg)
95-136
Neutrofil (%)
60-70
Tekanan darah diastol (mmHg)
43-66
Eosinofil (%)
2-10
Tekanan darah rata-rata (mmHg)
100 (<50)+
Basofil (%
-
Volume darah (ml/kg)
76-107
Limfosit (%)
12-30
Respirasi (x/min)
22 (<4)+
Monosit (%)
3-10
Volume tidal (ml)
251-432
Platelet (x103/mm3)
200-900
Denyut jantung (x/min)
70-160
(<40, >175)+
Data Reproduksi :
Data kimia :
Protein serum (g/dl)
6-7,5
Pubertas (bln)
6-9
Albumin (g/dl)
3-4
Dewasa kelamin jantan (bln)
7-8
Globulin (g/dl)
2,4-3,7
Dewasa kelamin betina (bln)
8-14
Glukosa (g/dl)
54-99
Umur dikawinkan (th)
1-2
Blood Urea Nitrogen (mmol/l)
3,-7,5
Bunting (hr)
59-68(63)
Kreatinin (µmol/l)
<120
Jumlah anak
1-12(4-6)
Total billirubin (µmol/l)
<5
Berat lahir (gr)
250
Kolesterol (mmol/l)
4-7
Keterangan : += kritis
54
Klasifikasi Status Pasien
Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi telah ditetapkan oleh
American Society of Anesthesiologist (ASA), seperti disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi
(Sumber : Lumb dan Jones 1996; Muir et at. 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003)
Katagori
Kondisi fisik
Contoh kondisi klinik
Klas I
Resiko minimal
Hewan normal (sehat klinis)
Tidak ada penyakit
Overiohisterektomi, kastrasi, operasi
declawing, radiografi, hipdisplasia.
Klas II
Resiko ringan,
ada penyakit ringan
Hewan dengan gangguan atau
penyakit sistem ik ringan, ada
kemampuan kompensatoar, tidak
ada gejala klinis penyakit.
Hewan neonatal atau geriatrik,
obesitas, tumor kulit, hernia tanpa
komplikasi, criptorchid, fraktura tanpa
shok, diabetes ringan, penyakit
jantung dengan kompensatoar, infeksi
lokal, infestasi cacing jantung ringan.
Klas III
Resiko sedang,
ada penyakit yang
pasti
Hewan dengan gangguan atau
penyakit sistem ik sedang,
terdapat gejala klinis ringan.
Anemia, anoreksia, dehidrasi sedang,
penyakit ginjal ringan, murmur ringan
jantung atau penyakit jantung, demam,
hipovolemia sedang.
Kelas IV
Resiko tinggi,
Sangat berbahaya
karena penyakit
Hewan dengan penyakit sistem ik
berat tetapi dapat menjalani
pengobatan atau gangguan alami
yang berat
Dehidrasi berat, shok, uremia,
toksemia, demam tinggi, anemia,
penyakit jantung tidak terkompensasi,
diabetes, gangguan ginjal dan
pulmonum, serta kekurusan.
Klas V
Resiko sangat berat
atau parah
Pasien parah hampir mati, dengan
atau tanpa operasi tidak ada
harapan hidup dalam 24 jam.
Penyakit jantung, ginjal, hati, paruparu, atau endokrin yang lanjut; Shok
berat dengan disertai dehidrasi berat,
luka kepala yang parah, trauma berat,
emboli pulmonum, dan tumor maligan
stadium akhir.
Evaluasi status pasien dan penentuan status pasien harus dilakukan sebelum
dilakukan anestesi dan pembedahan. Evaluasi meliputi pemeriksaan fisik, sejarah
pasien, dan hasil pemeriksaan tes laboratorium diagnosis. Secara umum, pasien
dengan klasifikasi klas I dan klas II sangat aman untuk dilakukan anestesi dengan
55
protokol dan teknik yang standar (Lumb dan Jones 1996; Muir et at. 2000; McKelvey
dan Hollingshead 2003).
Pada penelitian ini, hewan coba yang digunakan adalah anjing domestik
dengan kriteria memenuhi data fisiologis Tabel 6 dan klasifikasi status pasien Tabel
7.
Pemantauan Anestesi
Pemberian anestetikum yang kurang atau tidak mencukupi menyebabkan
pasien akan tetap merasakan nyeri, masih dalam keadaan sadar, masih adanya refleks
dan masih ada pergerakan. Apabila dosis anestetikum yang diberikan dalam keadaan
cukup atau berlebihan, mengancam terjadinya kematian. Guna mencegah dua
kejadian yang ekstrim tersebut, harus dilakukan pemantauan yang baik selama
teranestesi. Pemantauan dilakukan terhadap fungsi respirasi, fungsi sirkulasi, dan
temperatur tubuh serta tetap mempertahankan kedalaman anestesi (McKelvey dan
Hollingshead 2003).
Kedalaman anestesi tidak dapat diberikan batasan yang tegas seperti terjaga,
tertidur, maupun meninggal. Tetapi secara umum berdasarkan pengalaman, dapat
digambarkan bahwa anestesi mempunyai empat tahap (4 stages) dimana tahap 3
(tahap anestesi untuk pembedahan) dibagi dalam 4 plane. Sedangkan pada binatang
mempunyai banyak spesies, biasanya digunakan balanced anesthetic dengan
kombinasi beberapa obat sehingga tahap-tahap anestesi tidak menjadi jelas. Anestesi
pada hewan memerlukan pengawasan yang lebih sering dan lebih teliti untuk
mengetahui tercapainya kedalaman anestesi, sehingga kedalaman anestesi tetap dapat
diawasi serta dipertahankan, dan tidak berpengaruh buruk terhadap sistem vital.
Lebih dari satu tanda harus digunakan untuk mengetahui kedalaman anestesi, karena
kedalaman anestesi tidak dapat ditentukan hanya dari satu tanda saja.
Selama
teranestesi harus tetap terjaga penyediaan oksigen yang cukup ke jaringan dan
terbuangnya karbondioksida hasil respirasi. Jumlah oksigen yang cukup menuju
jaringan sangat tergantung pada beberapa faktor seperti cardiac output, nilai saturasi
aoksigen, dan Hb (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007).
56
Pada kondisi teranestesi, sistem fisiologi hewan akan mengalami penurunan
terutama cardiac output dan penurunan efisiensi paru-paru (saturasi arteri), sehingga
akan menyebabkan penurunan ketersediaaan O 2 ke jaringan dan ditambah dengan
kondisi sakit dapat menyebabkan hipoksia serta kematian. Penggunaaan anestesi
harus tetap mempertahankan kedalaman anestesi tetapi tetap juga menjaga agar tidak
terjadi gangguan pada sistem kardiovaskuler dan respirasinya. Dua hal tersebut dapat
dijaga hanya dengan memperhatikan refleks dan mengawasi tanda-tanda vital hewan.
Refleks pedal, menjepit ekor dan telinga dapat digunakan untuk melihat bahwa
anestesi sudah dalam dan anestesi tahap pembedahan sudah tercapai, tetapi tidak
dapat digunakan untuk memantau bahwa anestesi terlalu dalam dan sudah
membahayakan. Pada keadaan tahap anestesi yang terlalu dalam, hewan dapat dalam
keadaan bahaya terhadap gagalnya respirasi dan kardiovaskuler. Tanda-tanda vital
pada aktivitas kardiovaskuler dan respirasi
yang menunjukkan kegagalan atau
bahaya harus diamati dengan baik seperti mata terbuka, nafas sangat lambat dan
dangkal, nafas sangat dalam, warna membrana mukosa membiru, dan tekanan darah
yang sangat menurun (Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan Hollingshead
2003).
Download