BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes Melitus adalah penyakit atau gangguan sejumlah metabolisme
tubuh yang dikarakterisasi
dengan meningkatnya kadar
glukosa serum
(hiperglikemi) yang disebabkan karena terjadinya gangguan pada sekresi insulin,
kerja insulin, maupun keduanya (WHO, 2009). Diperkirakan sekitar 21.257 juta
jiwa di Indonesia diprediksi mengidap penyakit diabetes melitus pada tahun 2030
(WHO, 2009). Gambaran patologik diabetes melitus sebagian besar dihubungkan
dengan salah satu efek utama akibat berkurangnya sejumlah insulin, sehingga
pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh berkurang. Antara lain adalah peningkatan
metabolisme lemak yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak abnormal
disertai endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah, sehingga timbul gejala
aterosklerosis serta berkurangnya protein dalam tubuh (Guyton & Hall, 2006).
Peranan insulin dalam proses metabolisme adalah mengubah gula menjadi energi
serta sintesis lemak. Keadaan jumlah insulin tubuh yang rendah inilah yang
mengakibatkan terjadinya kelebihan glukosa dalam darah, yang selajutnya
termasuk dalam DM tipe 1. Sedangkan DM tipe 2 disebabkan oleh kombinasi dari
resistensi insulin dan respon sekresi insulin yang tidak memadai (ADA, 2008).
Beberapa faktor resiko karena kebiasaan pola hidup yang tidak sehat dihubungkan
dengan empat kunci metabolisme, perubahan fisiologi, atau keduanya yaitu
1
2
peningkatan tekanan darah, peningkatan berat badan yang kemudian dapat
menyebabkan obesitas, hiperglikemia, dan hiperlipidemia.
DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat
dikontrol
dengan
melakukan
upaya-upaya
seperti
perencanaan
diet,
mempertahankan bobot badan normal, dan melakukan cukup olahraga. Obat
hanya perlu diberikan apabila setelah melakukan berbagai upaya tersebut tidak
berhasil mengendalikan kadar glukosa darah (Handoko & Suharto, 1995). Akhirakhir ini mulai berkembang obat-obat tradisional dengan berbagai manfaat yang
diberikan namun belum dapat dibuktikan secara ilmiah. Obat-obat tradisional
untuk mengkontrol kadar glukosa pun juga sudah mulai berkembang.
Masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan istilah obat tradisional,
terlebih lagi dengan meningkatnya isu-isu lingkungan menyebabkan obat
tradisional semakin diminati untuk pencegahan maupun pengobatan suatu
penyakit. Oleh karena itu diharapkan obat tradisional dapat dijadikan obat
alternatif dari bahan alam yang efektif dan aman.
Di Indonesia banyak tanaman obat yang beragam, jumlah kekayaan flora
wilayah nusantara yang dimiliki sekitar 30.000 spesies dan diantaranya 940
spesies dikategorikan sebagai tanaman obat (Rukmana, 1995). Salah satunya
adalah tanaman Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steens). Binahong dikenal
dengan nama Dheng San Chi di Cina, sedangkan di Eropa dikenal dengan nama
heartleaf madeiravine dan di Amerika dinamai madeira-vine (Backer & van de
Brink, 1963). Binahong adalah tanaman yang berasal dari Korea dan sudah
3
dikenal sebagai tanaman obat di negara asalnya semenjak ratusan tahun yang lalu.
Tanaman binahong di Korea dikenal dengan nama Boussingaultia gracilis Miers.
Binahong merupakan salah satu tanaman yang sering digunakan untuk
mengobati luka, karena berpotensi sebagai wound healing. Dari beberapa
penelitian yang telah dilakukan, dapat dibuktikan bahwa bagian-bagian tanaman
binahong memiliki khasiat yang berbeda. Ekstrak etanol daun binahong dapat
menurunkan kreatinin dan ureum dalam darah serta memperbaiki sel ginjal yang
rusak, selain itu memiliki efek antioksidan dan memiliki aktivitas hepatoprotektor
(Handayani dkk, 2009; Sopianti dkk, 2009; Sukandar dkk, 2011). Ekstrak etanol
binahong dapat menurunkan kolesterol pada tikus Wistar, sedangkan ekstrak
metanol daun binahong menunjukkan efek antiinflamasi (Nurlestari dkk, 2009).
Daun binahong diketahui mengandung triterpenoid, steroid, glikosida, dan
terbukti mengandung asam ursolat yang berkhasiat sebagai wound healing (Astuti
dkk, 2011; Yuliani, 2012).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang berhubungan
dengan penggunaan ekstrak binahong serta manfaatnya, menunjukkan bahwa
ekstrak etanol daun binahong dapat menurunkan kadar glukosa pada tikus yang
diinduksi sukrosa (Makalalag dkk, 2013). Selain itu ekstrak etanol daun binahong
juga dapat menurunkan kreatinin dan ureum dalam darah (Sukandar dkk, 2011).
Akan tetapi belum ada penelitian mengenai aktivitas sebagai antihiperglikemik
dari ekstrak etanol daun binahong pada tikus dengan resistensi insulin. Untuk
membuktikan secara ilmiah mengenai aktivitas antihiperglikemik dari ekstrak
daun binahong, maka perlu dilakukan penelitian secara in vivo. Penelitian ini
4
diharapkan dapat memberikan pembuktian mengenai aktivitas antihiperglikemik
pada DM tipe 2 dari daun binahong, sehingga dapat meningkatkan penggunaan
daun binahong sebagai obat diabetes alternatif bagi masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka timbul permasalahan sebagai
berikut:
1.
Apakah ekstrak etanolik daun binahong dapat menurunkan kadar glukosa
darah pada tikus diabetes resistensi insulin yang diinduksi per oral diet
tinggi lemak dan fruktosa?
2.
Berapa dosis ekstrak etanol daun binahong yang optimal memberikan
pengaruh terhadap kadar glukosa darah pada tikus diabetes resistensi insulin
yang diinduksi per oral diet tinggi lemak dan fruktosa?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dilakukannya penelitian ini untuk mengembangkan obat
tradisional di Indonesia sebagai obat alternatif untuk membantu pengobatan,
sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol daun binahong terhadap kadar
glukosa serum kadar tikus diabetes yang diinduksi per oral diet tinggi lemak
dan fruktosa.
2.
Untuk mengetahui dosis ekstrak etanolik daun binahong yang paling
optimal mempengaruhi kadar glukosa serum tikus diabetes yang diinduksi
per oral diet tinggi lemak dan fruktosa.
5
D. Manfaat Penelitian
Secara medis, telah banyak obat-obat antidiabetes yang beredar dipasaran
seperti: metformin, glibenklamid, glipizid, dan sulfonilurea. Karena pemakaian
jangka panjang, efek samping yang ditimbulkan obat-obat tersebut tidak dapat
diabaikan begitu saja dan biaya yang dihabiskan tidak sedikit. Sehingga
diperlukan penelitian yang mendukung obat alternatif dari bahan alam yang
efektif dan aman digunakan. Masyarakat Indonesia mulai memandang obat-obat
sintetik kurang aman dikonsumsi, sehingga banyak masyarakat Indonesia yang
mulai beralih menggunakan obat-obat tradisional yang diharapkan memiliki
aktivitas yang sama dengan efek samping minimal. Obat-obat tradisional yang
berasal dari bahan alam kini mulai berkembang dan banyak digunakan di
mayarakat luas.
Pentingnya penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan obat tradisional
antidiabetes dari bahan alam, yaitu daun binahong. Belum banyak diketahui
manfaat obat tradisional sebagai antidiabetes, sehingga dengan adanya penelitian
ini dimaksudkan dapat memberikan kontribusi dalam perkembangan obat
tradisional khususnya obat-obat antidiabetes.
Untuk membuktikan secara ilmiah mengenai aktivitas antidiabetes dari
ekstrak daun binahong, maka perlu dilakukan penelitian secara in vivo. Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan pembuktian mengenai aktivitas antidiabetes
pada DM tipe 2 dari daun binahong, sehingga dapat meningkatkan penggunaan
daun binahong sebagai obat diabetes alternatif bagi masyarakat.
6
E. Tinjauan Pustaka
1.
Tinjauan Tanaman Binahong
Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steens) dikenal di Cina dengan nama
Dheng San Chi, di Eropa dinamai heartleaf madeiravine dan di Amerika Selatan
dikenal dengan nama madeira-vine. Tanaman ini memiliki nama lain
Boussingaultia gracilis Miers.,
Boussingaultia cordifolia., Boussingaultia
basselloides (Depkes RI, 2006).
Kedudukan tumbuhan Anredera cordifolia
(Ten.) Steens dan taksonominya menurut Backer dan van Den Brinck (1963)
adalah sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Caryophyllales
Suku
: Basellaceae
Marga
: Anredera
Jenis
: Anredera cordifolia (Ten.) Steens
Tanaman ini berupa tumbuhan menjalar, berumur panjang, bisa mencapai
panjang lebih dari 6 m. Batang lunak, silindris, saling membelit, berwarna merah,
bagian dalam solid, permukaan halus, kadang membentuk semacam umbi yang
melekat di ketiak daun dengan bentuk tak beraturan dan bertekstur kasar. Daun
tunggal, bertangkai sangat pendek, tersusun berseling, berwarna hijau, bentuk
jantung, panjang 5-10 cm, lebar 3-7 cm, helaian daun tipis lemas, ujung runcing,
pangkal berlekuk, tepi rata, permukaan licin, bisa dimakan. Bunga majemuk
berbentuk tandan, bertangkai panjang, muncul di ketiak daun, mahkota berwarna
krem keputih-putihan berjumlah lima helai tidak berlekatan, panjang helai
7
mahkota 0,5-1 cm, berbau harum. Buah dan biji jarang ditemukan. Akar
berbentuk rimpang, berdaging lunak (BPOM RI, 2008). Tanaman binahong
diketahui mengandung saponin, alkaloid, polifenol, flavonoid, dan monosakarida
(termasuk L-arabinosa, D-galaktosa, L-rhamnosa). Kandungan utama dari
tanaman binahong adalah saponin. Dan pada bagian daunnya mengandung
flavonoid, alkaloid, asam oleanolat, senyawa fenolat, dan juga saponin
(Rachmawati, 2008). Sedangkan umbinya mengandung alkaloid dan antrakuinon
(Depkes RI, 2006). Foto daun dari tanaman binahong dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Anredera cordifolia (Ten.) Steens
Bagian daun dari tanaman Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steens)
2. Glukosa, Fruktosa, dan Jalur Metabolisme Utama
Sumber-sumber glukosa darah antara lain berasal dari karbohidrat makanan,
senyawa yang mengalami glukoneogenesis, dan glikogen hati (melalui proses
glikogenolisis). Sumber glukosa berasal dari karbohidrat makanan terutama dalam
bentuk polimer heksosa berupa glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Sedangkan dari
8
senyawa yang mengalami glukoneogenesis terdiri dari senyawa yang bukan
karbohidrat yang dapat dikonversi menjadi glukosa, antara lain laktat, asam
amino, dan propionat. Proses glikogenolisis merupakan proses pemecahan
glikogen menjadi glukosa (Ganong, 1998).
Glikolisis merupakan jalur metabolisme utama bukan saja bagi glukosa
tetapi juga bagi monosakarida lainnya, seperti fruktosa dan galaktosa yang berasal
dari makanan. Makanan karbohidrat yang dapat dicerna menghasilkan glukosa,
galaktosa, dan fruktosa yang diangkut ke dalam liver melalui vena porta hepatik.
Galaktosa dan fruktosa dengan mudah diubah menjadi glukosa di hepar. Pada
jalur glikolisis, glukosa diubah menjadi piruvat melalui 10 tahapan reaksi.
Selanjutnya, piruvat diubah menjadi asetil-KoA dan memasuki siklus asam sitrat
yang dirangkai dengan rantai transport elektron dan fosforilasi oksidatif
menghasilkan energi kimia dalam bentuk ATP. Pemeliharaan tingkat kestabilan
kadar glukosa darah adalah salah satu dari mekanisme homeostasis yang diatur
dengan paling baik dari semuanya. Pemeliharaan tingkat kestabilan kadar glukosa
melibatkan hati, jaringan ekstrahepatik, dan beberapa hormon. Sel-sel hepar
permeabel terhadap glukosa yang diperantarai oleh transporter GLUT 2,
sedangkan sel jaringan ekstrahepatik relatif impermeabel dan pengangkutan
glukosa kedalam sel diperantarai oleh glukosa transporter (GLUT 4) yang
distimulasi oleh insulin (Saputera, 2008; Bender & Mayes, 2006). Transporter
glukosa mayor beserta jaringan lokasi dan fungsinya dapat dilihat pada tabel I.
9
Tabel I. Transporter Glukosa Mayor (Bender & Mayes, 2006)
GLUT 1
GLUT 2
GLUT 3
GLUT 4
GLUT 5
SGLT 1
Jaringan Lokasi
Fungsi
Transporter Terfasilitasi 2 Arah
Otak, Ginjal, Usus besar, Plasenta,
Pengambilan glukosa
Eritrosit
Hepar, Sel β prankeas, Usus kecil,
Pengambilan dan pelepasan glukosa
Ginjal
Otak, Ginjal, Plasenta
Pengambilan glukosa
Jaringan Lokasi
Fungsi
Pengambilan glukosa yang di
Jantung dan otot polos, jaringan adiposa
stimulasi oleh insulin
Usus kecil
Absorbsi glukosa
Transporter sodium-dependent Satu Arah
Pengambilan glukosa terhadap
Usus kecil, Ginjal
gradien konsentrasi
Fruktosa, sebelum memasuki jalur glikolisis diubah terlebih dahulu menjadi
dihidroksiaseton fosfat, gliseraldehid 3-fosfat, atau fruktosa 6-fosfat melalui jalur
reaksi yang berbeda. Pada jalur pertama, fruktosa difosforilasi menjadi fruktosa 1fosfat oleh enzim fruktokinase, yang selanjutnya dipecah menjadi gliseraldehid
dan dihidroksiaseton fosfat oleh enzim aldolase B. Enzim aldolase B merupakan
enzim yang terdapat di hati yang juga berfungsi memecah fruktosa 1,6-bisfosfat
menjadi gliseraldehid 3-fosfat dan dihidroksiaseton fosfat dalam jalur glikolisis.
Dihidroksiaseton fosfat merupakan intermediet glikolitik, sedangkan gliseraldehid
sebelum memasuki jalur glikolisis, difosforilasi oleh enzim triokinase menjadi
gliseraldehid 3-fosfat. Kedua bentuk trio fosfat, dihidroksiaseton fosfat dan
gliseraldehid 3-fosfat, dapat terdegradasi dalam glikolisis atau dapat menjadi
substrat untuk aldolase dan meningkatkan proses glukoneogenesis, dimana hal
10
tersebut pada umumnya terjadi dalam metabolisme fruktosa di liver. Pada jalur
kedua, di jaringan ekstrahepatik, enzim heksokinase mengkatalisis fosforilasi gula
rantai 6, termasuk fruktosa. Fruktosa difosforilasi menjadi fruktosa 6-fosfat yang
merupakan intermediet glikolitik pada glikolisis (Bender & Mayes, 2006).
Metabolisme fruktosa secara lengkap dapat dilihat pada gambar 2.
Glikogen
Heksokinase
D-Glukosa
Glukosa 6-fosfat
Fosfoheksoisomerase
D-Sorbitol
Glukosa 6-fosfatase
Heksokinase
Fruktosa 6-fosfat
Fruktosa 1,6bisfosfatase
D-Fruktosa
Fosfofruktokinase
Fruktokinase
Fruktosa 1,6-bisfosfat
Fruktosa 1-fosfat
Aldolase B
Dihidroksiaseton Fosfat
Aldolase A
Aldolase B
Fosfoheksoisomerase
Asam Lemak
Teresterifikasi
Gliseraldehid 3-fosfat
Triokinase
D-Gliseraldehid
2-fosfogliserat
Piruvat
Sintesis Asam Lemak
Gambar 2. Metabolisme Fruktosa (Bender & Mayes, 2006)
Pengaruh fruktosa terhadap otak menimbulkan efek adiksi dan resistensi
leptin sehingga konsumsi fruktosa jangka panjang meningkatkan asupan kalori
11
akibat hilangnya signal “kenyang” di otak sehingga menyebabkan kelebihan berat
badan dan obesitas (Shapiro dkk, 2008). Pengaruh fruktosa terhadap hepar
memicu DNL (de Novo Lipogenesis) dengan meningkatkan pembentukan
trigleserida dan VLDL (Very Low Density Lipoprotein) sehingga terjadi
penimbunan lemak dalam hepar serta pembentukan asam urat akibat penggunaan
ATP berlebihan pada saat fosforilasi fruktosa yang memicu resistensi insulin
(Sleder dkk, 1980). Pengaturan utama metabolisme glukosa pada glikolisis
terletak pada konversi glukosa-6-fosfat menjadi fruktosa 1,6-bisfosfat yang
dikontrol oleh enzim fosfofruktokinase, sedangkan pada metabolisme fruktosa
dapat melewati tahap tersebut dan kemudian memasuki jalur glikolisis. Oleh
karena itu, fruktosa dapat menghasilkan glikogen, glukosa, laktat, dan piruvat
secara tidak terkontrol. Selain itu juga menghasilkan baik gliserol maupun
molekul asil gliserol yang merupakan substrat lipogenik. Kelebihan energi yang
dihasilkan karena metabolisme fruktosa dan kedua substrat utama tersebut
(gliserol maupun molekul asil gliserol) yang akan meningkatkan produksi
trigliserida yang berlebihan (Basciano dkk, 2005). Pengaruh fruktosa terhadap
berbagai organ tersebut memicu timbulnya berbagai gejala sindrom metabolik
antara lain resistensi insulin, peningkatan tekanan darah, obesitas sentral,
dislipidemia, perlemakan hati, stres oksidatif, dan diabetes mellitus tipe 2
(Shapiro dkk, 2008).
12
3.
Insulin
Insulin adalah sebuah hormon polipeptida yang mengatur metabolisme
karbohidrat. Insulin merupakan peptida kecil (protein) yang mengandung 51 asam
amino sintesis. Protein tersebut terdiri dari dua rantai, rantai α dan rantai β yang
dihubungkan oleh jembatan disulfida diantara residu sistein. Sintesis insulin
dimulai dalam bentuk rantai tunggal polipeptida yang disebut preproinsulin
(prekusor hormon insulin) pada retikulum endoplasma sel β Langerhans pankreas.
Preproinsulin dipecah oleh enzim peptidase menjadi proinsulin, kemudian
disimpan dalam gelembung-gelembung (secretory vesicles) dalam sel tersebut
untuk selanjutnya dilepaskan. Proinsulin diurai lagi di dalam badan golgi oleh
enzim spesifik protease menjadi insulin dan peptida-C untuk disekresikan secara
bersamaan melalui membran sel. Proinsulin mempunyai pengaruh hipoglikemik
ringan sedangkan peptida-C belum diketahui fungsinya, sejauh ini peptida-C
digunakan sebagai indikator endogen produksi insulin (Thomas & Thomas, 2003).
Ada beberapa tahapan dalam proses sekresi insulin, setelah adanya
rangsangan oleh molekul glukosa. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati
membran sel. Glucose transporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta
merupakan “kendaraan” pengangkut glukosa dari dalam darah melewati membran
ke dalam sel. Molekul glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi di
dalam sel kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk
dibutuhkan untuk proses pengaktifkan penutupan kanal K+ pada membran sel.
Penutupan ini berakibat pada terhambatnya pengeluaran ion K+ dari dalam sel
yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti oleh
13
tahap pembukaan kanal Ca2+. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion
Ca2+ sehingga menyebabkan peningkatan kadar ion Ca2+ intrasel. Suasana ini
dibutuhkan dalam proses sekresi insulin (Manaf, 2006).
Insulin memiliki lima efek utama dalam homeostasis sumber energi, yaitu
(1) mengurangi terjadinya glikogenolisis dengan
menghambat
glikogen
fosforilase; (2) meningkatkan penyimpanan glukosa hepar dalam bentuk glikogen
dengan
menstimulasi
sintesis
glikogen;
(3)
menghambat
terjadinya
glukoneogenesis; (4) menghambat terjadinya lipolisis dengan menghambat
aktivitas hormon-sensitif lipase, dengan demikian dapat mengurangi kadar asam
lemak bebas dan gliserol dalam plasma; (5) meningkatkan transport aktif asam
amino ke dalam sel untuk penggabungan menjadi protein, dengan demikian
menghasilkan kesetimbangan nitrogen (Thomas & Thomas, 2003).
4.
Resistensi Insulin
Insulin memiliki tiga target utama, yaitu jaringan otot rangka, jaringan
adiposa, dan hepar. Resistensi insulin tidak hanya diekspresikan dalam sel-sel
jaringan ini, tetapi ketiga target inilah tempat dimana glukosa akhirnya disimpan
karena tidak ada jaringan lain untuk menyimpan glukosa. Sebanyak 75% dari
glukosa postprandial disimpan dalam jaringan otot rangka, oleh karena itu otot
rangka merupakan target utama dari insulin. Peningkatan asam lemak bebas
menurunkan pengambilan glukosa yang distimulasi oleh insulin, padahal
mengurangi jumlah lipid dalam plasma dapat meningkatkan aktivitas insulin pada
sel otot rangka, adiposit, dan hepar. Meningkatnya asam lemak bebas pada
14
plasma, dapat menghilangkan aktivasi insulin dari IRS-1 terkait dengan aktivitas
PI3-kinase dalam otot rangka, dimana IRS-1 paling banyak ditemukan. Lipid
terkait resistensi insulin telah terbukti dapat berhubungan dengan kerusakan
translokasi GLUT 4 (Saini, 2010).
Jaringan adiposa berfungsi sebagai organ endokrin yang memproduksi
adipokin, seperti leptin dan adinopektin, yang mengatur homeostasis lipid dan
glukosa. Keduanya mempengaruhi metabolisme energi pada jaringan lain seperti
hepar dan otot, serta perilaku yang berkaitan dengan makan melalui efek pada
jalur neuroendokrin. Pada tahap molekuler, TNF-α meningkatkan serin fosforilasi
dari IRS-1 dan menurunkan regulasi ekspresi dari GLUT 4, sehingga memberikan
kontribusi pada resistensi insulin. Adinopektin memiliki efek insulin sensitizing,
yang berfungsi meningkatkan penghambatan produksi glukosa hepatik sekaligus
penyerapan glukosa dan pemanfaatan lemak dan otot. Ekspresi adinopektin ini
berkurang pada manusia dan mencit yang mengalami obesitas. Produksi
adinopektin distimulasi oleh PPARγ (Peroxisome Proliferator-Actived ReceptorGamma) (Saini, 2010).
5.
Diabetes Melitus
Diabetes Melitus adalah penyakit atau gangguan sejumlah metabolisme
tubuh yang dikarakterisasi
dengan meningkatnya kadar
glukosa serum
(hiperglikemi) yang disebabkan karena terjadinya gangguan pada sekresi insulin,
kerja insulin, maupun keduanya (WHO, 2009). Diabetes Melitus (DM) kronis
dihubungkan dengan jangka waktu yang lebih panjang serta terjadinya kerusakan,
15
disfungsi, dan kegagalan sejumlah organ lainnya terutama mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah. Pasien DM memiliki resiko lebih besar terjadinya
aterosklerosis, stroke dan sejumlah gangguan pembuluh darah di otak, serta
peripheral arterial disease. Hipertesi dan kelainan metabolisme lemak juga
ditemukan pada sejumlah pengidap DM.
Sejumlah kasus diabetes menunjukkan bahwa diabetes melitus dapat
dibedakan menjadi 2 kategori besar, yaitu kategori pertama DM tipe 1 (InsulinDependent Diabetes Mellitus/IDDM) dan DM tipe 2 (Non Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus/NIDDM). Pada DM tipe 1 disebabkan karena adanya kelainan
pada sel β pankreas sehingga tidak dapat memproduksi insulin, defisiensi absolut
insulin, sedangkan DM tipe 2 disebabkan oleh kombinasi dari resistensi insulin
dan respon sekresi insulin yang tidak memadai (ADA, 2008). Seseorang yang
mengalami kerusakan sel β pankreas membutuhkan injeksi insulin. Dengan cara
menginjeksikan insulin menggunakan injektor manual melewati jaringan subkutan
atau menggunakan pompa insulin yang menginfuskan insulin secara kontinyu
kedalam tubuh.
DM tipe 1 ini umumnya berkembang sejak masa kanak-kanak atau remaja.
Keparahan dari kelainan metabolisme ini dapat bersifat progresif, regresif, atau
tetap dalam
keadaan
tertentu. Dengan
demikian,
tingkat hiperglikemi
menggambarkan keparahan dari proses metabolisme yang mendasari (WHO,
2009). Jika terjadi gangguan terapi insulin tersebut maka dapat menyebabkan
diabetes ketoasidosis atau kematian, yang disebabkan karena kekurangan atau
ketiadaan insulin dan hasil dari kelebihan penggunaan asam lemak yang secara
16
berangsur-angsur membentuk formasi badan keton yang toksik. Diabetik
ketoasidosis adalah hasil akhir dari defisiensi insulin pada DM tipe 1 yang tidak
terkontrol (Thomas & Thomas, 2003).
Diabetes Mellitus tipe 2 lebih dikarakteristikkan dengan resistensi jaringan
terhadap insulin dan dikombinasikan dengan rendahnya sekresi insulin. DM tipe 2
/ NIDDM terjadi karena proses penuaan pada pasien sehingga terjadi penyusutan
sel-sel β pankreas secara progresif. Sel β pankreas yang telah menyusut tersebut
umumnya masih aktif tetapi sekresi insulinnya berkurang atau tak memiliki
potensi seperti pada individu normal. Penyusutan sel β pankreas dan resistensi
insulin mengakibatkan kadar glukosa darah meningkat (Tjay & Rahardja, 2002).
Faktor lingkungan yang berkaitan dengan faktor genetik meningkatkan
risiko DM tipe 2 dengan mempengaruhi aksi insulin maupun sekresi insulin.
Kurangnya aktivitas fisik, obesitas, dan pengaruh makanan diketahui sebagai
faktor yang meningkatkan resiko terjadinya resisten insulin. Obesitas merupakan
faktor yang paling berpengaruh pada kejadian DM tipe 2 (Guyton & Hall, 2006).
Belum dapat dipastikan secara jelas hubungan antara obesitas dengan resistensi
insulin, namun pada penelitian terdahulu didapatkan hasil bahwa pada pasien
obesitas memiliki lebih sedikit reseptor insulin terutama pada otot rangka, hepar
dan jaringan adiposa. Namun sebagian besar resistensi insulin disebabkan karena
abnormalitas dari proses signaling yang menghubungkan aktivasi reseptor dengan
efek seluler. Gangguan signaling erat hubungannya dengan efek toksik dari
akumulasi lipid di jaringan seperti otot skelet atau rangka dan hati pada kelebihan
berat badan (Guyton & Hall, 2006).
17
6.
Metformin
Metformin merupakan zat antidiabetik oral golongan biguanid untuk
penderita diabetes mellitus tanpa ketergantungan terhadap insulin. Metformin
tidak terikat oleh protein plasma, tidak dimetabolisme, dan di ekskresi oleh ginjal
sebagai senyawa aktif. Mekanisme kerja metformin yang diketahui yaitu (1)
stimulasi glikolisis secara langsung dalam jaringan dengan peningkatan eliminasi
glukosa dari darah; (2) penurunan glukoneogenesis hati; (3) melambatkan
absorbsi glukosa dari saluran cerna dengan peningkatan perubahan glukosa
menjadi laktat oleh enterosit; dan (4) penurunan kadar glukagon plasma.
Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan
glukosa darah dan juga menghambat absorbsi glukosa di usus sesudah
mengkonsumsi makanan, sehingga menurunkan kadar glukosa post-prandial dan
tidak menurunkan kadar glukosa setelah puasa satu malam (Katzung, 2009).
Metformin pada pemakaian tunggal dapat menurunkan glukosa darah
sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun.
Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada pemakaian
sulfonilurea, oleh karena itu baik digunakan pada pasien obesitas karena dapat
membantu menurunkan berat badan juga. Selain berpengaruh terhadap penurunan
glukosa darah, metformin juga berpengaruh pada komponen lain resistensi
insulin, yaitu lipid, tekanan darah, dan juga pada plasminogen activator inhibitor
(PAI-1) (Novrial dkk, 2012).
18
Karena
kemampuannya
mengurangi
resistensi
insulin,
mencegah
penambahan berat badan, dan memperbaiki profil lipid maka metformin
digunakan sebagai monoterapi pada awal pengobatan pasien diabetes mellitus
yang kelebihan berat badan dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat
sebagai obat pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak memberikan hasil,
dapat dilakukan kombinasi dengan obat lainnya, seperti dengan sulfonilurea,
repaglinid, penghambatan alfa oksidase, dan glitazone. Efek samping metformin
antara lain, distress abdomen berupa nyeri perut, mual, muntah (Katzung, 2009).
F. Landasan Teori
Daun binahong berkhasiat sebagai antidiabetes dan analgesik serta
penghalus kulit.
Kandungan daun binahong adalah alkaloid, saponin dan
polifenol. Berdasar penelitian sebelumnya tanaman binahong dalam bentuk
ekstrak etanol daun tersebut memiliki aktivitas untuk menurunkan kadar glukosa
darah pada tikus yang diinduksi sukrosa. Diduga kandungan yang memiliki
khasiat tersebut adalah saponin. Selain itu, manfaat daun binahong dalam ekstrak
metanol dapat sebagai antidiabetes pada mencit yang diinduksi aloksan. Sebagai
pembanding digunakan metformin, yaitu dengan alasan bahwa obat jenis ini
paling sering digunakan untuk mengatasi diabetes mellitus tipe 2 resisten insulin.
Hal tersebut karena kemampuan metformin yang dapat meningkatkan kepekaan
reseptor insulin. Dosis yang menunjukkan secara signifikan dapat menurunkan
kadar glukosa dan menunjukkan perbaikan pada sel β pankreas pada mencit
diabetes mellitus yang diinduksi aloksan adalah pada dosis 50 mg/kgBB dan 200
19
mg/kgBB. Dengan demikian binahong dalam ekstrak etanol dapat diteliti untuk
dikembangkan sebagai antidiabetes pada tikus resisten insulin.
G. Hipotesis
Ekstrak etanol daun binahong memiliki efek antidiabetes pada hewan uji
tikus jantan Wistar resistensi insulin yang diinduksi lemak babi 15% dan fruktosa.
Download