TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP MASYARAKAT MUSLIM

advertisement
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP MASYARAKAT MUSLIM
YANG MENJALANKAN PERKAWINAN ADAT
(Studi Perjanjian dan Pelaksanaan Perkawinan Adat
di Desa Tanjung Sangalang Kec. Kahayan Tengah Kab. Pulang Pisau)
Norwili1 dan Rizkya Maulida2
Dosen dan Alumni Fakultas Syariah IAIN Palangka Raya
ABSTRAK
Masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang dalam melaksanakan perkawinan adat sudah
dikenal sejak zaman nenek moyang. Hal ini merupakan budaya yang dianggap mutlak untuk
dilaksanakan karena bukan hanya untuk menjaga kelestarian adat istiadat tapi juga merupakan
suatu pencegahan terjadinya perceraian. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa perkawinan adat
tidak ada hubungannya dengan agama, karena semua warga dayak apapun agamanya melalui
proses kawin adat baru kawin agama. Jadi agama tidak ada hubungan dengan adat. Dalam hal ini,
penulis menyimpulkan bahwa terkecuali muslim yang melaksanakan nikah baru kawin adat.
Selanjutnya dari hasil analisis menunjukkan bahwa adat istiadat masyarakat muslim desa Tanjung
Sangalang sesuai dengan teori resepsi dan mereka juga belum memahami syariat islam dengan
benar. Hal ini sesuai dengan adanya pelaksanaan perjanjian perkawinan yang tidak sesuai dengan
syariat islam. Padahal dalam teori penerimaan otoritas hukum bahwa seorang muslim harus taat
dalam menjalankan syariat. Walaupun, pada kenyataannya bahwa tujuan mereka melaksanakan
perjanjian adat agar tidak terjadinya perceraian, karena semua agama tidak menginginkan adanya
perceraian.
ABSTRACT
Muslim community in the village of Tanjung Sangalang implement customary marriage
has been known since the time of the ancestors. This is a culture that is considered essential to be
implemented because it is not just to preserve customs, but also a prevention of divorce. From the
result showed that traditional marriage has nothing to do with religion, because all the Dayak
people of any religion through the process of breeding a new indigenous religious marriage. So
religion has nothing to do with customs. In this case, the authors conclude that unless Muslims
who carry out the new marriage marriage customs. Further analysis of the results showed that the
customs of Muslim society Sangalang Tanjung village in accordance with the theory of reception
and they also do not understand the Islamic Shari'a correctly. This is in accordance with the
implementation of the marriage covenant is not in accordance with Islamic Shari'a. Though in
theory acceptance of the authority of law that a Muslim must be faithful in carrying out the
Shari'a. Although, the fact that they carry out the purpose of the agreement is not customary for
the divorce, because all religions do not justify the divorce.
1
2
Dosen Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya.
Alumni Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Palangka Raya.
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan wilayah yang terdiri dari berbagai suku, dan setiap suku memiliki
keistimewaan atau kekhasan tersendiri, misalnya perkawinan. Adapun suku yang terdapat di
Kalimantan Tengah yaitu suku Dayak, memiliki adat istiadat dalam perkawinan. Tidak sedikit
hukum perkawinan adat di berbagai masyarakat daerah terutama suku Dayak seringkali dianggap
ruwet dan sulit. Masyarakat suku Dayak yang telah memeluk agama Islam, hingga kini
mereka tetap mempertahankan dan menyelenggarakan perkawinan sesuai dengan adat yang
berlaku. Meskipun dalam teori dan pelaksanaan perkawinan tersebut ada beberapa hal yang
bertentangan dengan syariat Islam, yang dalam hukum adat merupakan suatu kewajaran,
karena terjadi suatu konversi internal, untuk mempertahankan adat tapi juga tidak melanggar
syari’at. Masyarakat muslim di Desa Tanjung Sangalang
mengakumulasikan dua hal
tersebut. Karena seorang yang beradat tidak akan sempurna tanpa agama begitu juga
sebaliknya.
Pada pelaksanaannya, perkawinan adat di Desa Tanjung Sangalang memiliki sedikit
kesamaan dengan pernikahan dalam Islam yang mewajibkan memberikan mahar untuk calon
mempelai wanita sebagai tanda kasih sayang dan tanda penghormatan yang harus diberikan
secara ikhlas. Sesuai isi dalam perjanjian perkawinan adat yang tertulis dan biasanya
perjanjian disaksikan oleh Mantir Adat, tokoh agama yang menjadi saksi seperti tokoh
agama Islam, Kristen dan juga Kaharingan serta seluruh kerabat mempelai. Walaupun dalam
hukum Islam tidak ditetapkan jumlah mahar, tetapi didasarkan pada kemampuan masingmasing orang berdasarkan pada keadaan dan tradisi keluarga. 3 Dalam syariat Islam mahar
haruslah berbentuk dan bermanfaat, tanpa melihat jumlahnya. Hal seperti inilah yang
terdapat dalam perjanjian perkawinan adat Dayak Ngaju.
Perjanjian perkawinan dalam hukum Islam biasa disebut shigat taklik talak yang
apabila terjadi pelanggaran mengakibatkan salah satu dari keduanya ada yang tidak ridha
maka terjadilah talak satu setelah melalui proses dan ketetapan hukum dari Hakim dan
diucapkan oleh mempelai pria setelah Ijab Qabul. Sedangkan dalam hukum adat, perjanjian
perkawinan dilaksanakan secara tertulis dan dihadiri oleh Mandat (Mantir Adat Dayak/Tetua
3
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Islam, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010, h. 301.
Adat) dan saksi-saksi terkait dalam perjanjian tersebut. Mantir adat atau Tetua adat dalam
suku Dayak Ngaju merupakan tokoh masyarakat yang disegani oleh masyarakat sekitar
karena memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam suatu masyarakat, selain memimpin suatu
suku juga merupakan tokoh masyarakat yang biasa menyelesaikan segala permasalahan yang
terjadi di dalam masyarakat, misalnya dari perkelahian hingga dalam masalah
peminangan/memanggul termasuk perjanjian perkawinan yang hingga saat ini masih
dipertahankan.
Menurut data yang penulis peroleh, masyarakat di Desa Tanjung Sangalang memeluk
agama yang berlainan yaitu yang beragama Islam 30%, Kristen 40%, dan Kaharingan 30%,
semuanya ini tetap mempertahankan adat istiadat turun temurun melaksanakan perjanjian serta
perkawinan adat.4 Dengan adanya perjanjian yang dibuat dan disepakati sejak awal ini,
diharapkan dalam menjalani perkawinan pasangan suami istri dapat mencegah dan mengatasi
setiap permasalahan yang akan dan mungkin bisa terjadi dalam perkawinan sehingga tujuan
perkawinan untuk mencari kebahagiaan bisa tercapai.
B. Masyarakat Muslim Desa Tanjung Sangalang Kec. Kahayan Tengah Kab. Pulang
Pisau Dalam Mempertahankan dan Menjalankan Aturan Perkawinan Adat
Perkawinan adalah ikatan baik untuk pria dan wanita yang belum cukup dewasa
maupun yang sudah dewasa dan mampu untuk mandiri dan harus dicampuri oleh orangtua
keluarga dan kerabat kedua belah pihak. Perkawinan yang dilakukan sendiri tanpa campur
tangan orangtua dan kerabat kedua belah pihak menurut pandangan masyarakat adat adalah
perkawinan yang bertentangan dengan hukum adat. Sedangkan perkawinan yang didasarkan
pada hukum agama semata-mata adalah tanggung jawab dari yang bersangkutan. 5
Masyarakat Desa Tanjung Sangalang terdiri dari agama yang berlainan yaitu yang
beragama Islam 35,1% , Kristen Protestan 44,68 %, Katolik 0,26% dan Hindu Kaharingan
19,94%. Semuanya tetap mempertahankan adat istiadat turun temurun. Hingga saat ini
mereka tetap mempertahankan adat istiadat dalam melaksanakan perjanjian serta perkawinan
adat oleh masyarakat yang ada di Desa Tanjung Sangalang Kec. Kahayan Tengah Kab.
Pulang Pisau.6
4
Wawancara dengan Abdul Wahab sekaligus ketua RT 1, di Desa Tanjung Sangalang, 5 Oktober 2010.
Ibid., h. 23.
6
Wawancara dengan Abdul Wahab sekaligus ketua RT 1, di Desa Tanjung Sangalang, 5 Oktober 2010.
5
Dalam kehidupan masyarakat desa Tanjung Sangalang pelaksanaan perjanjian
perkawinan adat merupakan salah satu dari jenis budaya yang dianggap penting bagi
masyarakat setempat. Anggapan ini relevan dengan kepercayaan mereka bahwa apabila
seorang laki-laki dan perempuan telah bersepakat untuk melakukan perkawinan berarti
mereka telah berjanji satu sama lain akan taat pada peraturan hukum yang berlaku, mengenai
hak dan kewajiban masing-masing selama perkawinan tersebut berlangsung. Jika
melepaskan diri dari perkawinan, haruslah melalui proses tertentu karena telah terikat dengan
peraturan hukum yang berlaku mengenai hal tersebut.
Pelaksanaan perjanjian perkawinan adat merupakan sesuatu yang dianggap mutlak
bagi masyarakat setempat karena bukan hanya untuk menjaga kelestarian adat istiadat tapi
juga merupakan suatu pencegahan terjadinya perceraian yang membawa dampak bagi
perkembangan masyarakat. Adanya sangsi atau jipen membuat pelaksanaan perjanjian
tersebut menjadi kuat dihadapan hukum. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh beberapa
informan yaitu HMA, AW dan DS.
‘Adah, yang secara umum, sebagaimana yang telah kita lihat diterima oleh Nabi, dapat
dihubungkan dengan term hadits dan sunnah (tradisi Nabi) dan dapat pula dalam prakteknya
mempunyai otoritas yang sama dengan sunnah Nabi tersebut. Hal ini diperkuat dengan
prinsip umum yang diterima oleh para ahli hukum Islam bahwa apapun yang dikatakan,
diperbuat, atau disetujui oleh Nabi akan membentuk apa yang dikenal dengan sebutan
Sunnah, sumber hukum kedua setelah Alquran. Jadi, ‘Adah yang ada pada masa Nabi dapat
dipandang sebagai suatu sumber untuk memformulasikan hukum-hukum.
Peran adat sebagai sumber hukum yang valid, tidak begitu saja luntur dengan wafatnya
Nabi Muhammad. Sebagai penerus Nabi, empat khalifah yang melanjutkan kebijaksanaan
untuk mempertahankan berbagai adat yang dapat diterima oleh Islam. Di bawah
pemerintahan Umar bin Khattab, khulafa ar-Rasyidun yang kedua, penaklukan Islam telah
menyebar ke berbagai daerah baru, sehingga memperluas dunia Islam dan membawa orangorang Islam kepada kontak dengan bentuk-bentuk hukum adat yang baru. Dalam rangka
untuk mengaplikasikan hukum Islam di daerah dengan berbagai macam bentuk adat yang
berbeda-beda dan tua telah lama ada, maka para sahabat mengukur hal-hal baru yang mereka
temui dengan ukuran keinginan publik.7
7
Ratno Lukito. Op. Cit. h.10-11.
Jadi setelah melihat semua hasil data, penulis mengambil langkah pengabsahan dari
berbagai sumber yaitu hasil wawancara dan menyimpulkan bahwa masyarakat muslim desa
Tanjung Sangalang tampaknya berlaku hukum adat sesuai dengan teori resepsi yang
diperkenalkan oleh Christian Snouck Hurgronye yang menyebutkan bahwa rakyat pribumi
pada dasarnya berlaku hukum adat, hukum Islam tidak otomatis berlaku dalam masyarakat
muslim, tetapi terlebih dulu mendapat penerimaan dari masyarakat yang meyakininya.
Berdasarkan hasil wawancara dari semua informan yang didapat oleh penulis yang
mengatakan bahwa “perkawinan adat tidak ada hubungannya dengan agama, karena semua
warga dayak apapun agamanya melalui proses kawin adat baru kawin agama. Jadi agama
tidak ada hubungan dengan adat”. Dalam hal ini, penulis menyimpulkan bahwa terkecuali
muslim yang melaksanakan nikah baru kawin adat.
C. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Isi Surat Perjanjian Perkawinan Adat
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri sebelum
atau pada saat perkawinan yang dilangsungkan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap
harta benda mereka. 8 Perjanjian perkawinan sebagai suatu perjanjian mengenai harta benda
suami istri dimungkinkan untuk dibuat dan diadakan sepanjang tidak menyimpang dari asas
atau pola yang ditetapkan oleh Undang-undang..9
Pada umumnya suatu perjanjian kawin dibuat dengan alasan:
1) Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada
salah satu pihak daripada pihak lain.
2) Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan yang cukup
besar.
3) Masing-masing mempunyai usaha sendiri, sehingga andaikata salah
satu jatuh atau bangkrut, yang lain tidak tersangkut.
4) Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masingmasing pihak bertanggungjawab untuk melunasinya sendiri. 10
Ada dua hal yang penting mengenai perjanjian perkawinan. Pertama, perjanjian
perkawinan bukan merupakan kemestian. Tanpa ada perjanjian pun, perkawinan tetap dapat
dilaksanakan. Perjanjian hanya sebuah lembaga yang dipersiapkan bila ada pihak-pihak yang
8
Titik Triwulan. Op. Cit. h. 128.
Zulvanovriyendi, “Akibat Hukum Pendaftaran Perjanjian Perkawinan Terhadap Pihak Ketiga”,
Tesis Magister, Semarang: Universitas Dipenegoro, 2008, h. 15, t.d ( online 26 oktober 2010).
10
Titik Triwulan. Op. Cit. h. 129.
9
merasa perlu untuk membuat perjanjian untuk menghindarkan terjadinya perselisihan
dibelakang hari, misalnya pemisahan antara harta pribadi dan harta bersama.
Kedua, berkenaan dengan isi perjanjian, kendati pada dasarnya dibebaskan tetapi tidak
boleh bertentangan dengan aturan syariat. Menurut Sayyid Sabiq” Orang-orang Islam itu
terikat kepada syarat-syarat yang dibuat mereka, kecuali syarat untuk menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal. 11
Pada Pasal 45 Kompilasi disebutkan kedua calon mempelai dapat
mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1) Ta’lik talak, dan
2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. 12
Penulis memferifikasi atau menyimpulkan dari data yang didapat bahwa pada isi surat
perjanjian kawin adat di Desa Tanjung Sangalang terdiri dari 5 pasal. Dalam pasal pertama
berisi kesanggupan kedua belah pihak suami istri untuk setia sehidup semati dan tidak akan
bercerai sampai mati. Dan pasal kedua berisi sangsi yang akan diterima apabila melanggar
atau tidak mematuhi isi perjanjian. Pasal ini menyebutkan apabila salah satu pihak melanggar
isi perjanjian maka akan membayar denda kepada pihak lain. Pasal ketiga berisi ketentuan
status harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung dan pihak-pihak yang berhak
untuk harta tersebut apabila salah satu dari kedua belah pihak ada yang meninggal dunia dan
suami istri tidak mempunyai anak. Maka segala harta milik mereka akan dibagi dua,
sebagian untuk suami/istri dan untuk ahli waris suami/istri. Pasal keempat berisi ketentuan
status harta yang dimiliki apabila salah satu dari kedua belah pihak ada yang meninggal
dunia dan memiliki anak, maka segala harta milik mereka akan menjadi hak milik anak dan
ahli waris tidak berhak menerima.Dan pasal kelima berisi ketentuan apabila salah satu dari
kedua belah pihak masih hidup dan mengadakan pernikahan dengan laki-laki/perempuan lain
maka segala harta milik kami berdua jatuh kepada anak. Apabila terjadi pelanggaran dalam
salah satu pasal tersebut maka akan dikenai singer atau jipen.
Dalam Pasal 139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditentukan bahwa :
“Dengan janji-janji kawin, calon suami-istri berhak mengadakan
penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan persatuan harta, dengan
syarat :
1) Tidak menyalahi kesusilaan
11
12
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op. Cit. h. 138
Abdurrahman. Op. Cit h. 72.
2) Tidak melanggar ketertiban umum
3) Mengindahkan peraturan-peraturan atau tidak melanggar
hukum yang berlaku”. 13
ketentuan
Perjanjian perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan diatur dalam Bab V dan hanya terdiri satu pasal saja yaitu Pasal 29 sebagai
berikut :
“Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut”.
Pasal tersebut sebenarnya tidak terlalu jelas maksud dari perjanjian perkawinan
tersebut. Menurut Martiman Prodjohamidjojo, perjanjian dalam Pasal 29 ini jauh lebih
sempit, karena hanya meliputi “verbintenissen” yang bersumber pada persetujuan saja
(overenkomsten), dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum, jadi tidak meliputi
“verbintenissen uit de wet allen” (perikatan yang bersumber pada undang-undang) dikatakan
lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam undang-undang ini tidak termasuk di
dalamnya ta’lik talak sebagaimana yang termuat dalam surat nikah. 14
Ta’lik talak berarti penggantungan talak. Menurut pengertian hukum Indonesia adalah
semacam ikrar, yang dengan ikrar tersebut suami menggantungkan terjadinya suatu talak atas
istrinya apabila ternyata dikemudian hari melanggar salah satu atau semua yang telah
diikrarkannya. Ta’lik talak dalam Undang-undang Indonesia merupakan ikrar suami terhadap
istri yang dinyatakan setelah terjadinya akad nikah. Ta’lik talak menurut kitab-kitab fikih
diucapkan oleh suami apabila ia menghendakinya, sedangkan menurut Undang-undang
Indonesia diucapkan oleh suami berdasarkan kehendak dari istri atau anjuran dari P3NTR
atau Pegawai Pencatat Nikah.
D. Analisis Isi Surat Perjanjian Kawin Adat Desa Tanjung Sangalang Kec. Kahayan
Tengah Kab. Pulang Pisau
Ikatan perkawinan menimbulkan akibat hukum terhadap diri masing-masing suami
isteri, maupun akibat berupa hubungan hukum diantara suami dan isteri yang berupa hak dan
kewajiban. Apabila dalam perkawinan dilahirkan seorang anak, maka anak tersebut
mempunyai kedudukan sebagai anak yang sah. Selain itu, juga berakibat hukum pada harta
13
14
Kitab Undang-undang Hukum Perdata BAB VII, Pasal 139 Tentang Perjanjian Perkawinan.
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op. Cit. h.137.
kekayaan yang masing-masing dimiliki oleh suami dan isteri. Pengaturan tentang harta
kekayaan perkawinan berbeda antara satu sistem hukum dengan sistem hukum yang lainnya.
Menurut hukum Islam harta benda suami isteri terpisah. Masing-masing suami isteri
mempunyai harta benda sendiri-sendiri. Hukum harta kekayaan perkawinan adat Jawa
Tengah dan Jawa Timur menentukan, harta bawaan (barang gawan) suami atau isteri menjadi
milik masing-masing suami atau isteri yang membawa, sedangkan harta yang diperoleh
secara bersama selama perkawinan (harta gono gini) menjadi harta bersama (milik bersama).
Pada salah satu pasal perjanjian kawin adat disebutkan bahwa apabila salah satu dari
kedua belah pihak ada yang meninggal dunia dan memiliki anak, maka segala harta milik
mereka akan menjadi hak milik anak dan ahli waris tidak berhak menerima. Menurut adat
istiadat Desa Tanjung Sangalang apabila seorang manusia meninggal dunia, maka diatur
dikalangan suku Dayak ada ahli waris, pewaris dan warisan. Sedangkan ahli warisnya adalah
anak, cucu, anak angkat, anak kandung, saudara seibu sebapak, ibu atau bapak atau istri yang
berhak mutlak. Dan yang berhak menerima warisan utama yaitu sang anak kandung, anak
angkat, saudara/saudara, ibu/bapak. Dalam dekade akhir ini, surat kawin selalu disebutkan
bila yang bersangkutan meninggal dunia untuk siapa warisan diberikan. 15
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa
semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Dari pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan
berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga
para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang. Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian
kepada pihak ketiga.16
Menurut Henry Lee A Weng didalam disertasinya menyatakan perjanjian perkawinan
bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan, melainkan juga meliputi
15
16
Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun, Palangka Raya: 1979, h. 264.
Http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/perjanjian.pdf, (online 26 oktober 2010).
syarat-syarat atau keinginan-keinginan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak
sepanjang tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.17 Pelanggaran
terhadap perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri untuk meminta pembatalan nikah
atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama. 18
Sebagaimana yang dimuat dalam Undang-undang Perkawinan, ta’lik talak tidak
termasuk ke dalam perjanjian. Alasannya adalah perjanjian yang termasuk di dalam pasal
yang telah disebut, menyangkut pernyataan kehendak dari kedua belah pihak dalam
perjanjian itu, sedangkan ta’lik talak hanya kehendak sepihak yang diucapkan oleh suami
setelah akad nikah. Ta’lik talak sebenarnya satu bentuk perlindungan terhadap hak-hak
wanita yang dijunjung tinggi oleh Islam.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 45 menyatakan bahwa ta’lik talak juga
merupakan perjanjian perkawinan. Jadi tampaknya ada pertentangan antara antar penjelasan
pasal 29 Undang-undang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam. Mengingat isi ta’lik
talak yang memuat perjanjian dan isinya tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama
maka tegaslah bahwa ta’lik talak tersebut masuk dalam kategori perjanjian perkawinan.
Walaupun ta’lik talak telah dituliskan dalam surat nikah namun bukan sebuah
kewajiban untuk diucapkan, akan tetapi sekali ta’lik talak telah diucapkan maka ta’lik talak
tersebut tidak dapat dicabut kembali. Apabila perjanjian yang telah disepakati bersama antara
suami dan istri, tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka pihak lain berhak mengajukan
persoalannya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Dalam hal pelanggaran
dilakukan suami misalnya, istri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan
perceraian dalam gugatannya. Demikian juga sebaliknya, jika istri yang melanggar perjanjian
di luar ta’lik talak, suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.19
Pasal
35 ayat (2) UUP yang berbunyi “….sepanjang para pihak tidak menentukan lain”
mengandung makna para pihak (suami isteri) dapat membuat perjanjian kawin yang isinya
menentukan menyimpang dari ketentuan tentang harta kekayaan perkawinan menurut
Undang-undang Perkawinan.
Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang kekayaan perkawinan
memberi kebebasan yang seluas-luasnya kepada calon suami isteri untuk menentukan
17
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op. Cit. h.138.
Mohd. Idris Ramulyo. Op. Cit. h. 81.
19
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan. Op. Cit. h.138-141.
18
pengaturan tentang harta kekayaan mereka.20 Jika dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Pasal 147 dengan jelas disebutkan Perjanjian Kawin harus dibuat dengan akta
Notaris sebelum pernikahan berlangsung dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara
demikian. Pendapat lain yang melakukan penelitian tentang Perjanjian Perkawinan, jarang
sekali terjadi atau dilakukan oleh penduduk golongan Indonesia asli, ini dikarenakan masih
kuatnya hubungan kekerabatan antara calon suami istri disamping pengaruh hukum adat
yang masih kuat dan bersifat tenggang rasa, sehingga merasa riskan membicarakan masalah
harta kekayaan. Seperti terlihat dalam hukum adat dengan adanya adat kebiasaan bahwa
budel warisan, terutama yang merupakan milik bersama (gono-gini, harta pencarian) tetap
untuk membiayai keperluan hidup sehari-hari dari suami atau istri yang masih hidup pada
waktu pihak yang lain meninggal dunia.21
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa mereka yang mengikatkan diri dalam
perjanjian perkawinan tersebut akan memperoleh jaminan selama perkawinan berlangsung
maupun sesudahnya sehingga untuk memutuskan perkawinan berarti pula melanggar
perjanjian, maka merupakan hal yang sangat jarang terjadi mengingat akibat-akibat hukum
yang akan ditanggung atau resiko bila salah satu pihak ingkar terhadap perjanjian
perkawinan tersebut, biasanya ada sanksi yang diberlakukan terhadap pihak yang melanggar
perjanjian perkawinan tersebut.
Persamaannya antara hukum BW dan hukum Islam adalah dilakukan secara tertulis,
sedangkan perbedaannya terletak pada keabsahan perjanjian perkawinan tersebut, kalau
menurut BW harus dilaksanakan dihadapan notaris sedangkan menurut hukum Islam cukup
dihadapan Pegawai Pencatat Nikah. Kemudian berlaku mengikat terhadap pihak ketiga jika
sudah didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri tempat dimana perkawinan
dilangsungkan demikian menurut BW, sedangkan menurut hukum Islam berlaku mengikat
terhadap pihak ketiga sepanjang termuat dalam klausula atau diperjanjikan dalam perjanjian
perkawinan tersebut.
Penulis menguji data untuk menunjukkan kebenaran data yang diperoleh yaitu isi surat
perjanjian kawin, dan menyimpulkan bahwa perjanjian perkawinan adat yang dilaksanakan
masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang bersifat mengikat karena merupakan suatu
20
Aan Supriyanto. Op. Cit. h. 60-61 ( online 26 0ktober 2010).
File:///C:\Documents and Settings\acer\My Documents\ Makalah BuRahmi\Perjanjian Perkawinan
Hukum Barat dan Hukum Indonesia. Doc.
21
kesepakatan kedua belah pihak. Hal ini terjadi karena selain merupakan adat istiadat juga
sebagai pedoman masa depan agar dikemudian hari tidak terjadinya perceraian. Dan apabila
terjadi suatu pelanggaran dalam salah satu pasal, maka akan dikenakan sangsi sesuai dengan
isi perjanjian.
E. TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP MASYARAKAT MUSLIM YANG
MENJALANKAN PERKAWINAN ADAT DI DESA TANJUNG SANGALANG KEC.
KAHAYAN TENGAH KAB. PULANG PISAU
Dalam hukum Islam, tradisi atau kebiasaan ini disebut dengan Urf yang dapat
dijadikan suatu dalil, didukung dengan salah satu dalil kaidah hukum Islam.
‫ََ ْال َعادَة ُ ُمحْ َك َمة‬
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.”22
Kaidah ini menerangkan bahwa suatu tradisi atau adat kebiasaan di suatu daerah dapat
dijadikan suatu hukum, berarti membolehkan suatu tradisi selama dalam hukumnya tidak ada
dalil syara yang melarang tradisi tersebut, baik dari dalil Alquran maupun Sunnah. Memang
ada beberapa ulama yang menyatakan segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah adalah bid’ah. Namun karena tradisi tersebut sudah turun-temurun dilakukan,
mustahil untuk tidak dilakukan oleh masyarakat tersebut pada umumnya. Menurut Abdul
Karim Zaidan, menjelaskan bahwa syarat-syarat berlakunya suatu tradisi atau kebiasaan
suatu masyarakat dapat dijadikan suatu hukum adalah:
1. Tidak ada perbedaan dalam mengamalkannya atau pada umumnya dilakukan oleh
manusia yang dinyatakan dalam kaidah fiqhiyyah yang lain, yaitu sesuatu dianggap
tradisi, apabila sudah berlaku atau seringkali dilakukan orang-orang.
2. Tradisi menjadi perbandingan untuk mencapai sesuatu yang kita ingin ketahui hukumnya
melalui kebiasaan yang ada sebelumnya. Tidak dianggap adat maupun tradisi apabila
sesuatu yang dimaksud telah terjadi.
3. Tradisi atau kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan nash atau dalil Alquran maupun
Sunnah termasuk syarat yang ditetapkan antara dua orang atau lebih yang melaksanakan
akad.23
22
h. 140.
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999,
Urf merupakan sumber hukum yang diambil oleh mazhab Hanafy dan Maliky, yang
berada diluar lingkup nash. Urf (tradisi) adalah bentuk muamalah (hubungan kepentingan)
yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah berlangsung ajeg (konstan) di tengah
masyarakat.24
Dalam Alquran surah Al- A’raf ayat 199 Allah berfirman:
.25
َ‫ع ِن ْال َجا ِهلِين‬
ْ ‫ف َوأَع ِْر‬
ِ ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوأْ ُم ْر ِب ْالعُ ْر‬
َ ‫ض‬
Artinya:“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.26
Kata al urfi dalam ayat tersebut, umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh para
ulama Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan
masyarakat. Berdasarkan hal itu, maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk
mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga menjadi tradisi dalam suatu
masyarakat.27 Karena merupakan perintah, maka urf dianggap syara’ sebagai dalil hukum.
Mereka juga beralasan dengan Hadist Nabi :
‫س ًنا فَ ُه َو ِعنَدَ هللاِ َح َسن‬
َ ‫فَ َما َرآهُ ْال ُم ْس ِل ُم ْونَ َح‬
“Sesuatu yang dianggap baik oleh umat Islam, termasuk suatu hal yang baik pula
menurut Allah”.
Hadist ini mengandung arti, bahwa hal yang dipandang baik bagi orang-orang Islam berarti hal
itu juga baik di sisi Allah yang didalamnya termasuk urf yang baik. 28 Para ulama menyatakan bahwa
urf merupakan salah satu sumber dalam istinbath hukum, manetapkan bahwa ia bisa menjadi dalil
sekiranya tidak ditemukan nash dari Kitab (alquran) dan Sunnah (hadits). Apabila urf bertentangan
dengan Kitab atau Sunnah maka urf tersebut ditolak (mardud). Sebab dengan diterimanya urf tersebut
berarti mengesampingkan nash-nash yang pasti (qath’iy), mengikuti hawa nafsu dan membatalkan
syariat.karena kehadiran syariat bukan dimaksudkan untuk melegitimasi berlakunya mafasid
23
Abdul Karim Zaidan, al Wajiz fi Syarhi al Qawaid al Fiqhiyyah fi Asy Syari’ah al Islamiyyah,
diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida dengan judul al Wajiz 100 Kaidah Fiqih dalam kehidupan seharihari, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, cet. I, h. 134-135.
24
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007, h. 416
25
Al-A’raf [7] : 199.
26
Departemen Agama Republik Indonesia. Op. Cit. h. 255.
27
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, h. 155-156.
28
Muchlis Usman. Op. Cit. h. 141.
(berbagai kerusakan dan kejahatan. Segala kegiatan yang menuju kearah tumbuh dan berkembangnya
kemafsadatan harus segera diberantas, bukan malah dilegitimasi. 29
Berdasarkan uraian diatas, urf terbagi menjadi dua yaitu :
1. Adat kebiasaan yang benar, yaitu suatu hal baik yang menjadi kebiasaan suatu
masyarakat, namun tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak pula sebaliknya.
2. Adat kebiasaan yang fasid (tidak benar), yaitu suatu yang menjadi adat kebiasaan yang
sampai menghalalkan yang diharamkan Allah. 30
Dalam bidang hukum keluarga, Nabi mempertahankan beberapa praktek hukum yang
telah lama diketahui oleh masyarakat Arab sebelum Islam dan hanya mengganti beberapa hal
yang tampaknya tidak konsisten dengan prinsip-prinsip alasan hukum yang masuk akal dan
landasan moral yang masuk akal dan baik. Karena peraturan-peraturan yang diderivasikan
dari nilai adat pra-Islam yang berhubungan dengan masalah perkawinan dan pengaturan
hubungan gender, sehingga Islam berusaha untuk menyesuaikan aturan-aturan tersebut
dengan karakter manusia. Berangkat dari alasan ini, maka Rasul menghapuskan beberapa
praktek hukum yang telah secara luas diamalkan sejak dahulu kala oleh bangsa Arab seperti
praktek poliandri, hubungan seksual yang tidak sah, pembunuhan terhadap bayi perempuan,
adopsi,
perceraian
yang
berulang-ulang
dan
lain
sebagainya.
Nabi
juga
tetap
mempertahankan atau memodifikasi praktek-praktek hukum lain seperti poligami,
pembayaran mahar, atau pemberitahuan (iqrar) dalam perkawinan.31
Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen,
H.A.R. Gibb, dalam bukunya The Modern Ternds of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto
bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas
hukum Islam kepada dirinya. Berdasarkan teori ini, secara sosilogis orang yang memeluk
Islam akan menerima otoritas hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam.
Namun ketaatan ini akan berbeda satu dengan lainnya dan sangat bergantung pada tingkat
ketakwaan masing-masing. 32 Teori ini menggambarkan pula bahwa di dalam masyarakat
Islam ada hukum Islam yang ditaati oleh orang-orang Islam. Orang-orang Islam menaati
hukum Islam karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, kalau mereka
29
30
Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, h. 418.
Satria Effendi, Op. Cit, h. 154-155.
31
Ratno Lukito, Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta: INIS, 1998, h. 8-9.
32
Dilema penerapan hukum Islam di Indonesia oleh Rullyasrul83’s blog-mozilla firefox
telah menerima Islam sebagai agamanya, maka mereka akan menerima otoritas hukum Islam
terhadap dirinya. Bagi orang Islam, hukum Islam adalah kehendak dan tatanan Allah dan
tradisi rasul.
Sebuah fakta yang terjadi pada masyarakat yang telah menerima Islam, orang Islam
akan terus menjalankan syariat berdasarkan akidah yang dianutnya. Akan sangat sulit
memisahkan masyarakat Islam dengan syariatnya yang menjadi tuntutan hukum dan moral
dalam kehidupannya. Pada masyarakat Indonesia yang keislamannya dianut oleh fanatisme
ajaran atau ketokohannya, akan selalu mempertahankan syariat dan akidahnya sampai mati.33
Ungkapan teoritis ini dapat berfungsi sebagai jembatan antara ajaran Islam, tentang penataan
hukum yang bersumber pada Alquran dan Sunnah, dengan teori-teori penataan hukum bagi
masyarakat Islam di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurut Gibb bahwa
hukum Islam telah memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk serta
membina ketertiban sosial umat Islam dalam seluruh aspek kehidupannya, karena ia
mempunyai landasan keagamaan yang kuat. Masyarakat Islam juga dikenal keanekaragaman
paham hukum Islam lainnya seperti berkembangnya toleransi perbedaan paham hukum dan
praktik hukum karena perbedaan-perbedaan yang ada, tetapi etika hukumnya sama. Hal ini
terjadi karena umat Islam menaati Allah dan rasul-Nya serta menjunjung tinggi para ulama
yang mengembangkan hukum Islam sesuai tuntutan zaman dan perbedaan situasi dan kondisi
masyarakat.
Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegang dan ditaati oleh mayoritas penduduk
dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup di dalam masyarakat, merupakan sebagian
dari ajaran dan keyakinan Islam dan ada dalam kehidupan nasional serta merupakan bahan dalam
pembinaan dan pengembangannya. Berdasarkan sumber ajarannya, realitas kehidupan hukum
masyarakat, sejarah pertumbuhannya, dan perkembangan hukum di Indonesia, yang menyangkut
teori berlakunya hukum Islam di Indonesia, terlihat beberapa teori yang sudah mantap dan dalam
pertumbuhan. Berdasarkan sumber ajaran Islam, tingkatan kehidupan seorang Muslim dikaitkan
dengan sikap dan ketaatannya kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Berlakunya hukum Islam di Indonesia untuk sebagian besar adalah tergantung pada
umat Islam yang menjadi pendukung utamanya. Umat dalam artian sebuah komunitas
33
70-73.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2010, h.
penganut suatu agama yang dituntut melaksanakan kewajiban ajaran agamanya. Padahal
secara teoritik orang selalu mengaitkan berlakunya hukum dengan kekuasaan terutama sekali
kekuasaan Negara. Indonesia bukanlah sebuah negara Islam tetapi sebuah Negara Nasional
yang memberi tempat pada umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam tetapi juga pada
umat-umat penganut agama lain. Akan tetapi, secara formal negara juga tidak menutup mata
dari pelaksanaan hukum Islam sehingga di samping punya landasan dogmatik pada ajaran
agama, keberadaan hukum Islam juga didukung umatnya dan untuk sebagian mempunyai
landasan formal dari kekuasaan negara Republik Indonesia.
Secara faktual umat Islam Indonesia bukan hanya sekedar merupakan kelompok mayoritas
di Indonesia tetapi juga merupakan kelompok terbesar dari kelompok dari umat Islam di dunia.
Hukum Islam sebagai hukum yang dibuat dan berlaku terutama dari umat tersebut adalah
merupakan hukum dengan subjek yang besar. Sehingga betapapun dalam kondisi demikian,
hukum Islam menempati posisi yang strategis bukan saja bagi umat Islam Indonesia tetapi bagi
dunia Islam pada umumnya dan sekaligus juga menempati posisi yang strategis dalam sistem
hukum Indonesia. Akan tetapi, arti penting yang demikian akan sangat tergantung pada posisi
dan kedudukan umat Islam untuk siapa hukum itu berlaku. Ia akan mempunyai nilai yang lebih
penting bilamana umat Islam tersebut memperlakukan dan melaksanakan ketentuannya dengan
sebaik-baiknya, sedangkan kalau ia bersikap sebaliknya dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap kedudukan hukum Islam itu sendiri.
Dalam pertumbuhan masyarakat modern yang berhubungan dengan norma-norma
pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat bertentangan dengan hukum Islam, oleh
karena itu bagi orang Islam Indonesia, norma-norma adat yang bertentangan dengan
Pancasila dan hukum Islam mestinya tidak dapat diberlakukan.34 Kemudian dalam Undangundang Dasar 1945 ditegaskan pula bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama
dan kepercayaannya itu. Landasan kontitusional ini adalah merupakan jaminan formal dari
setiap muslim dan umat Islam di Indonesia untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum
Islam dalam hidup dan kehidupannya ditengah-tengah masyarakat dan bangsa Indonesia
serta dalam kehidupan bernegara. 35
34
35
Dilema penerapan hukum Islam di Indonesia oleh Rullyasrul83’s blog-mozilla firefox
Abdurrahman, Op. Cit. h. 1-3.
Jadi, setelah melihat semua hasil data yang diperoleh yaitu dengan metode wawancara,
observasi dan dokumentasi, agar dapat menghasilkan data yang valid penulis menguji dan
menyimpulkan bahwa masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang tampaknya kurang
memahami hukum Islam dengan baik. Karena dilihat dengan adanya adat kebiasaan (urf)
yang dipertahankan oleh masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang yang diantaranya
adalah perjanjian perkawinan. Adapun salah satu urf yang baik adalah pembayaran jalan adat
dan semua pasal perjanjian perkawinan adat kecuali pasal keempat.adapun urf yang fasid
diantaranya adalah dalam pembayaran jalan adat diharuskan untuk membayar rapin tuak
(minuman keras) dan salah satu pasal perjanjian perkawinan yaitu pasal 4 yang isinya
bertentangan dengan syariat Islam yaitu berisi ketentuan status harta yang dimiliki apabila
salah satu dari kedua belah pihak ada yang meninggal dunia dan memiliki anak, maka segala
harta milik mereka akan menjadi hak milik anak dan ahli waris tidak berhak menerima.
Dalam hukum Islam terdapat ketentuan mengenai warisan yang bisa disebut mawaris. Hal
inilah yang bertentangan dengan teori penerimaan otoritas hukum Islam yang menyebutkan
bahwa orang Islam jika menerima agama Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas
hukum Islam kepada dirinya dan taat dalam menjalankan syariat Islam.
F. PENUTUP
Latar belakang masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang dalam mempertahankan
dan menjalankan aturan perkawinan adat bahwa adanya pelaksanaan perjanjian perkawinan
adat berasal dari agama Hindu Kaharingan, yang akhirnya dapat diterima oleh semua
masyarakat desa Tanjung Sangalang. Perkawinan adat tidak ada hubungannya dengan agama
atau keyakinan. Perjanjian ini adalah untuk menjaga kelestarian adat istiadat dan agar tidak
terjadinya perceraian. Karena semua agama melarang adanya perceraian dalam suatu
perkawinan. Dalam hal ini penulis sependapat dengan adanya teori yang mengatakan bahwa
hukum Islam tidak otomatis berlaku dalam masyarakat muslim, tetapi terlebih dulu mendapat
penerimaan dari masyarakat yang meyakininya. Jadi, hukum Islam berlaku bagi orang Islam,
apabila sudah dapat dierima (diresepsi) oleh dan telah menjadi hukum adat.
Isi surat perjanjian perkawinan adat terdapat 5 (lima) pasal. Pasal pertama berisi
kesanggupan kedua belah pihak suami istri untuk setia sehidup semati, pasal kedua berisi
sangsi yang akan diterima apabila melanggar perjanjian, pasal ketiga berisi status harta yang
diperoleh apabila keduanya tidak memiliki anak, pasal keempat berisi status harta yang
diperoleh apabila keduanya memiliki anak dan pasal kelima berisi status harta yang
diperoleh apabila salah satu dari kedua belah pihak masih hidup maka segala harta akan
diberikan kepada anak. Semuanya ini bersifat mengikat bagi kedua belah pihak dan harus
dipatuhi, karena apabila terjadi pelanggaran maka akan mendapat sangsi atau jipen sesuai
dengan ketentuan adat yang berlaku.
Tinjauan hukum Islam terhadap masyarakat muslim yang menjalankan perkawinan
adat di Desa Tanjung Sangalang bahwa kenyataan yang terdapat pada masyarakat muslim
tidak sepenuhnya mentaati syariat Islam. Masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang
tampaknya kurang memahami hukum Islam dengan baik. Karena dilihat dengan adanya adat
kebiasaan (urf) yang dipertahankan oleh masyarakat muslim desa Tanjung Sangalang yang
diantaranya adalah perjanjian perkawinan. Adapun salah satu urf yang baik adalah
pembayaran jalan adat dan semua pasal perjanjian perkawinan adat kecuali pasal keempat.
Adapun urf yang fasid diantaranya adalah dalam pembayaran jalan adat diharuskan untuk
membayar rapin tuak (minuman keras) dan salah satu pasal perjanjian perkawinan yaitu
pasal 4 yang isinya bertentangan dengan syariat Islam yaitu berisi ketentuan status harta yang
dimiliki apabila salah satu dari kedua belah pihak ada yang meninggal dunia dan memiliki
anak, maka segala harta milik mereka akan menjadi hak milik anak dan ahli waris tidak
berhak menerima. Dalam hukum Islam terdapat ketentuan mengenai warisan yang bisa
disebut mawaris. Hal inilah yang bertentangan dengan teori penerimaan otoritas hukum
Islam yang menyebutkan bahwa orang Islam jika menerima agama Islam sebagai agamanya,
ia akan menerima otoritas hukum Islam kepada dirinya dan taat dalam menjalankan syariat
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2010.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (edisi revisi v), Jakarta:
Rineka Cipta, 1997.
Artmanda W, Frista. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Artikel “Janji”, Jombang:Lintas Media.
Departemen Agama Republik Indonesia, Al qur’an dan Terjemahnya Juz 1- Juz 30, Surabaya:
CV Jaya Sakti. 1995.
Djatnika, Rachmat dkk. Hukum Islam di Indonesia (Perkembangan dan Pembentukan),
Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, cet ke-2, 1994.
Departemen Agama Republik Indonesia, Bahan penyuluhan hukum, Jakarta, 2004.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Hadikusumah, Hilman. Hukum Perkawinan Adat, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1995.
Hadikusumah, Hilman. Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat, Bandung:PT. Citra Aditya Bhakti,
1980.
Isnandar, Fiqh HAM dalam Perkawinan, CV Fauzan Inti Kreasi, 2004.
Lukito, Ratno. Pergumulan antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta: INIS, 1998.
Miru, Ahmadi dan Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456
BW), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Mukhtar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987.
Moleong, Lexy. J.Metodologi Penelitian Kualitatif, Surabaya: Angkasa, 2001.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 Sampai KHI, Jakarta: Prenada
Media, 2004.
Pelu, Ibnu Elmi A.S. Gagasan, Tatanan dan Penerapan Ekonomi Syariah dalam Perspektif
Politik Hukum, Malang:SETARA PRESS, 2008.
Qodir, Abdul. Metodologi Riset Kualitatif Panduan Dasar Melakukan Penelitian Ilmiah,
Palangka Raya: t.np., 1999.
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-undang No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002.
Riwut, Tjilik. Kalimantan Membangun, Palangka Raya: 1979.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah Jilid 11, Bandung: PT Al Ma’arif.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2009
Shihab, M. Quraisy. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an jilid 3, Jakarta:
Lentera Hati, 2002
Shomad, Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Islam, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010.
Tency, Mulida H.Syaiful dan Ibnu Elmi, Kekerasan Seksual dan Perceraian, Malang: Intimedia,
2009.
Triwulan, Titik. Pengantar Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006.
Usman, Muchlis. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1999.
Zaidan, Abdul Karim. al Wajiz fi Syarhi al Qawaid al Fiqhiyyah fi Asy Syari’ah al Islamiyyah,
diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida dengan judul al Wajiz 100 Kaidah Fiqih dalam
kehidupan sehari-hari, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, cet. I.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007.
Aan Supriyanto, “Pengurusan dan Pertanggungjawaban Terhadap Harta Kekayaan Akibat
Adanya Perjanjian Perkawinan”, Tesis Magister, Semarang: Universitas Diponegoro,
2008.
Hatpiadi, “Perjanjian Dalam Perkawinan Suku Dayak Islam di Desa Jabiren Kecamatan
Kahayan Hilir Kabupaten Kapuas“, Skripsi, Banjarmasin: IAIN Antasari, 1984,
I.A. Sadnyini, “Poligami Dan Kesengsaraan Perempuan”. Tesis. (online 26 oktober 2010)
Zulvanovriyendi, “Akibat Hukum Pendaftaran Perjanjian Perkawian Terhadap Pihak Ketiga”,
Tesis Magister, Semarang: Universitas Dipenegoro,2008 t.d ( online 26 oktober 2010)
Y. Nathan Ilun, Mengenal Hukum Adat dan Perbandingan Nilai Barang Adat dan Corak
Kesusteraan Purba Peninggalan Sejarah Warisan Dayak Ngaju Kalimantan Tengah,
1987
Download