BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epidemi HIV/AIDS merupakan krisis global dan tantangan bagi pembangunan dan kemajuan sosial. Banyak negara miskin yang sangat dipengaruhi oleh epidemi ini ditinjau dari jumlah infeksi dan dampak yang ditimbulkannya (Depnakertrans RI, 2005). Menurut perkiraan WHO dan UNAIDS, terdapat 35,3 juta orang yang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2012 dan sekitar 2,3 juta orang yang baru terinfeksi serta 1,6 juta orang meninggal karena AIDS (WHO, 2013). Berdasarkan laporan dari Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia jumlah kumulatif infeksi HIV sampai dengan Desember 2013 sebanyak 127.427 dan jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Desember 2013 sebanyak 52.348 orang. Jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sampai dengan bulan Desember 2013 sebanyak 39.418 orang (Ditjen PP dan PL, 2014). Penemuan obat antiretroviral pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi dalam perawatan ODHA di negara maju, meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan mengurangi efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun terapi ARV dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas, meningkatkan 1 2 kualitas hidup ODHA dan meningkatkan harapan hidup masyarakat, sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menular (Ditjen PP dan PL RI, 2011). Antiretroviral saat ini merupakan satu-satunya obat yang memberikan manfaat besar dalam pengobatan ODHA. Antiretroviral terdiri dari kombinasi agen-agen yang potensial dan mampu menekan replikasi untuk menunda timbulnya AIDS serta secara signifikan meningkatkan harapan hidup survival (Anderson dkk., 2008). Terapi kombinasi ARV dapat menekan replikasi HIV hingga di bawah tingkat yang tidak dapat dideteksi oleh pemeriksaan yang peka, seperti dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Penekanan virus secara efektif ini mencegah timbulnya resistensi virus terhadap obat dan memperlambat progresivitas penyakit, dengan demikian tujuan terapi ARV adalah untuk menekan perkembangan virus secara maksimal (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). Penggunaan terapi kombinasi ARV harus dipertimbangkan pada semua pasien. Penggunaan monoterapi hendaknya dihindari karena uji klinis telah menunjukkan bahwa efektivitas regimen menjadi lebih rendah, selain itu penggunaan kombinasi ARV yang hanya terdiri dari dua nukleosida saja hendaknya dihindari karena efektivitas penekanan virus menjadi tidak optimal (Dumond dan Kashuba, 2009). Pada saat akan memulai terapi antiretroviral, perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 jika tersedia dan penentuan stadium klinis infeksi HIV, hal tersebut bertujuan untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi 3 antiretroviral atau belum (Ditjen PP dan PL, 2011). Pengukuran CD4 dan plasma viral load paling sedikit dilakukan sebanyak dua kali (Astari dkk, 2009). Pemeriksaan jumlah CD4 adalah cara yang terpercaya dalam menilai status imunitas seorang ODHA. Oleh karena itu, nilai CD4 dapat digunakan sebagai pemantau respon terapi antiretroviral (Ditjen PP dan PL, 2007). Pemeriksaan viral load HIV juga sering digunakan untuk menentukan efektivitas atau kegagalan terapi antiretroviral (Astari dkk., 2009). Meskipun ARV telah terbukti dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan meminimalkan risiko perkembangan infeksi oportunistik, tetapi ARV juga memiliki efek yang tidak diinginkan (adverse effect) dalam penggunaannya (Dumond dan Kashuba, 2009). Pasien yang mengalami adverse effect membutuhkan biaya pengobatan antiretroviral cukup tinggi, terutama jika pasien mengalami kegagalan virologik pada lini pertama, sehingga diperlukan terapi lini kedua yang harganya jauh lebih mahal (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). Kegiatan monitoring respon terapi secara periodik setelah memulai pemberian terapi ARV perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kegagalan terapi tersebut. Oleh karena itu, peneliti memandang perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui seberapa besar respon terapi antiretroviral pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebagai salah rumah sakit yang melayani pasien HIV/AIDS untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. 4 B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana gambaran pengobatan antiretroviral pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? 2. Seberapa besarkah respon terapi antiretroviral pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan penanda klinis dan imunologis? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gambaran pengobatan antiretroviral pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Mengkaji besarnya respon terapi antiretroviral pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan penanda klinis dan imunologis. D. Manfaat Penelitian 1. Menjadi bahan informasi mengenai respon terapi antiretroviral pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Menjadi masukan dalam peningkatan pelayanan medik penggunaan antiretroviral untuk pengobatan HIV/AIDS dengan harapan dapat mengurangi kegagalan dalam terapi pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 3. Menjadi bahan referensi bagi penelitian selanjutnya. 5 E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit HIV/AIDS a. Definisi HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebar melalui cairan tubuh yang menyerang sel-sel tertentu dari sistem imun tubuh yaitu sel CD4 atau sel-T. Seiring waktu, HIV dapat menghancurkan banyak sel tubuh sehingga tidak mampu melawan infeksi dan penyakit. Virus HIV yang menyebabkan terjadinya Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) (CDC, 2014). Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah kumpulan beberapa gejala penyakit defisiensi imunitas seluler yang disebabkan oleh virus HIV yang merusak sel yang berfungsi untuk sistem kekebalan tubuh yaitu sel CD4 (Lymphocyte Virus T-helper) (Astari dkk., 2009). b. Epidemiologi HIV/AIDS Penyakit HIV/AIDS sudah menjadi pandemik yang mengkhawatirkan masyarakat dunia, karena disamping belum ditemukann obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga memiliki “window period” dan fase asimptomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam perjalanan penyakitnya. Hal tersebut menyebabkan perkembangannya seperti fenomena gunung es (Depkes RI, 2006). pola 6 Kasus penderita AIDS di Indonesia yang pertama dilaporkan adalah wisatawan asal Belanda yang mengunjungi Bali pada tahun 1987. Jumlah ini terus meningkat dari tahun ke tahun dan sampai akhir September 1998 dilaporkan terdapat 764 kasus HIV/AIDS dari 23 provinsi di Indonesia (Harahap dan Andayani, 2004). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memperkirakan Indonesia pada tahun 2014 akan mempunyai hampir tiga kali jumlah ODHA dibandingkan pada tahun 2008 (dari 227.700 orang menjadi 813.720 orang), hal ini bisa terjadi bila tidak ada upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang bermakna dalam kurun waktu tersebut (KPA Nasional, 2010). Kasus HIV/AIDS di Indonesia semakin meningkat. Sejak tahun 1999 di Indonesia telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada subpopulasi tertentu di beberapa provinsi yang memang mempunyai prevalensi HIV cukup tinggi. Peningkatan ini terjadi pada kelompok orang yang berperilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu para pekerja seks komersial (PSK) dan pengguna narkoba suntik (penasun). Beberapa provinsi di Indonesia seperti DKI Jakarta, Papua, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur tergolong sebagai tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic), apabila masalah ini tidak ditanggulangi negara, kemungkinan besar epidemi akan bergerak menjadi epidemi yang menyeluruh dan parah (generalized epidemic) (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). 7 Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan Desember 2013, HIV/AIDS tersebar di 368 (72%) dari 497 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan data dari Ditjen PP dan PL Kemenkes RI dilaporkan dari 1 Januari 2013 sampai dengan 31 Desember 2013 jumlah kasus HIV sebanyak 29.037 kasus dan AIDS sebanyak 5.608 kasus, sementara untuk Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat 185 kasus AIDS dan kasus HIV sebanyak 316 kasus (KPA Yogya, 2014). Berikut adalah data statistik HIV/AIDS yang ada di Indonesia dari Ditjen PP dan PL Depkes RI yang dilaporkan sampai dengan Desember 2013. 35,000 29,037 30,000 25,000 21,591 21,031 21,511 20,000 15,000 10,362 10,000 5,003 5,000 9,793 7,195 859 6,048 3,531 4,462 4,995 5,986 6,867 7,286 8,610 5,608 0 s.d. 2005 2006 2007 2008 Jumlah Kasus HIV 2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah Kasus AIDS Gambar 1. Jumlah Kumulatif Kasus HIV/AIDS di Indonesia Berdasarkan Tahun Pelaporan sampai Desember 2013 (Ditjen PP dan Pl, 2014) 8 Pada gambar 1 menunjukkan bahwa kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Triwulan Oktober sampai dengan Desember 2013 jumlah infeksi HIV yang dilaporkan sebanyak 8.624 orang dan AIDS sebanyak 2.845 orang. Jumlah kumulatif infeksi HIV dari tahun 1987 sampai dengan Desember 2013 sebanyak 127.427 dan AIDS sebanyak 52.384 orang (Ditjen PP dan PL, 2014), sementara untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta kasus HIV/AIDS sendiri dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, seperti pada gambar 2. Data ini mendukung bahwa penderita HIV/AIDS mengalami peningkatan pada tingkat nasional. KASUS HIV/AIDS Jumlah Penderita 350 300 250 200 150 100 50 0 199 3 AIDS 1 HIV 1 199 5 1 1 199 8 2 0 200 0 2 3 200 1 3 6 200 2 4 23 200 3 7 5 200 4 19 60 200 5 37 81 200 6 23 70 200 7 47 72 200 8 43 113 200 9 283 278 201 0 73 58 201 1 42 151 201 2 244 188 201 3 185 316 Gambar 2. Perkembangan Jumlah HIV/AIDS yang Terlaporkan di Provinsi Yogyakarta dari Tahun 1993 sampai dengan Desember 2013 (KPA Yogya, 2014) Penderita HIV/AIDS laki-laki di Yogyakarta sampai Desember 2013 sebanyak 869 pasien (55,7%) untuk HIV, dan AIDS sebanyak 690 9 penderita (44,3%), sedangkan penderita perempuan untuk HIV sebanyak 497 penderita (60,9%) dan AIDS sebanyak 319 penderita (39,1%), seperti pada gambar 3. Data ini mendukung laporan dari Ditjen PP dan PL sampai Desember 2013 jumlah pasien laki-laki sebanyak 55,1% dan perempuan sebanyak 29,7%. Jumlah Penderita Jenis Kelamin 2000 1500 1000 500 0 Laki-Laki Perempuan Tidak Diketahui HIV 869 497 60 AIDS 690 319 7 Jumlah 1559 816 67 Gambar 3. Distribusi Menurut Jenis Kelamin Kasus HIV/AIDS yang Terlaporkan di Provinsi Yogyakarta dari tahun 1993 sampai dengan Desember 2013 (KPA Yogya, 2014) Tabel I. Distribusi Pasien Menurut Faktor Risiko Kasus HIV/AIDS yang Terlaporkan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun 1993 sampai dengan Desember 2013 (KPA Yogya, 2014) Faktor Risiko Biseksual Heteroseksual Homoseksual Narkotik Suntik Perinatal Neonatal Transfusi Darah Needle Injury Tidak Diketahui Jumlah AIDS 3 660 70 148 28 0 3 1 103 1016 HIV 25 657 164 108 40 1 14 0 417 1426 Jumlah 28 1317 234 256 68 1 17 1 520 2442 10 Pada tabel 1 bahwa faktor risiko yang terbesar adalah heteroseksual (53,9%) dan narkoba suntik (10,5%). Data ini didukung oleh laporan Ditjen PP dan PL sampai Desember 2013 faktor risiko penularan tertinggi melalui heteroseksual sebanyak 62,5% dan penasun sebanyak 16,1% dari 52.348 penderita HIV/AIDS. Usia Jumlah Penderita 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 AIDS HIV Jumlah <1 thn 1-4 thn 5-14 thn 9 15 24 18 38 56 14 16 30 1519 thn 11 23 34 2029 thn 305 546 851 3039 thn 368 410 778 4049 thn 159 206 365 5059 thn 76 65 141 >60 thn TI 11 20 31 45 1016 87 1426 132 2442 Total Gambar 4. Distribusi Menurut Usia Kasus HIV/AIDS yang Terlaporkan di Provinsi Yogyakarta dari Tahun 1993 sampai dengan Desember 2013 (KPA Yogya, 2014). Keterangan: TI = Tidak Diketahui Gambar 4 menunjukkan sebanyak 851 penderita (34,8%) berada dalam rentang usia 20-29 tahun dan 778 penderita (31,9%) berada dalam rentang usia 30-39 tahun. Kebanyakan penderita merupakan usia produktif yaitu antara 20 sampai 39 tahun. Data ini tidak berbeda jauh dengan apa yang dilaporkan oleh Ditjen PP dan PL sampai Desember 2013 bahwa kelompok umur tertinggi pada umur 20-29 tahun sebanyak 34,2% dan 11 diikuti umur 30-39 tahun sebanyak 29%, diikuti usia 40-49 tahun sebanyak 10,8%, 15-19 tahun sebanyak 3,3%, dan 50-59 tahun sebanyak 3,3%. c. Etiologi HIV/AIDS Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981. Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montaigner dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi HTL-III (Human T Lymphotropic Virus) yang juga adalah penyebab AIDS (Siregar, 2004). Pada penelitian lebih lanjut kedua virus ini sama, sehingga atas kesepakatan International Committee on Taxonomy of Viruses tahun 1986 WHO memberikan nama resmi HIV (Ramadhan, 2012). Human immunodeficiency virus termasuk dalam genus retrovirus dan tergolong ke dalam famili lentivirus. Infeksi dari famili ini khas ditandai dengan sifat latennya yang lama, masa inkubasi yang lama, replikasi virus yang persisten dan keterlibatan dari susunan saraf pusat (SSP). Ciri khas untuk jenis retrovirus yaitu dikelilingi oleh membran lipid, mempunyai kemampuan variasi genetik yang tinggi, mempunyai 12 cara yang unik untuk replikasi serta dapat menginfeksi seluruh jenis vertebrata (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). Secara morfologis HIV terdiri atas dua bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Bagian terselubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120) (Siregar, 2004). Gambar 5. Struktur HIV (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006) Glikoprotein 120 yaitu glikoprotein yang merupakan bagian dari envelop yang tertutup oleh molekul gula untuk melindungi dari pengenalan antibodi, yang berfungsi mengenali secara spesifik reseptor dari permukaan sel target dan secara tidak langsung berhubungan dengan membran virus lewat membran glikoprotein. Glikoprotein 41 merupakan transmembran glikoprotein yang berfungsi melakukan trans membran virus, mempercepat fusion (peleburan) dari host dan membran virus, dan 13 membawa HIV masuk ke sel host (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). Struktur HIV dapat di lihat pada gambar 5. d. Patogenesis HIV/AIDS HIV secara spesifik mempengaruhi sistem imun, yaitu sel CD4 atau sel-T. HIV akan terus menyerang sel-sel tubuh yang tidak dapat melawan infeksi dan penyakit yang menyebabkan AIDS (CDC, 2014). Sel-sel CD4 dan monosit/makrofag memiliki fungsi penting dalam sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh yang lemah inilah yang memungkinkan perkembangan infeksi dan kanker sampai menyebabkan penderita meninggal (Douglas dan Pinsky, 2009). Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limfosit Thelper yang mengandung marker CD4 (sel-T). Limfosit-T merupakan pusat dan sel utama yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi imunologik (Siregar, 2004). HIV akan mengikat sel-sel tertentu dari sistem imun termasuk monosit, makrofag dan sel T-limfosit (CD4, sel-T) (Dumond dan Kashuba, 2009). Partikel-partikel virus HIV akan memulai proses infeksi yang biasanya terdapat di dalam darah, sperma atau cairan tubuh lainnya. Cara menular yang paling umum adalah transmisi seksual melalui mukosa genital, apabila virus ditularkan pada host yang belum terinfeksi, maka akan terjadi viremia transien dengan kadar yang tinggi, virus menyebar 14 luas dalam tubuh host. Sel yang terinfeksi untuk pertama kalinya tergantung pada bagian mana yang terlebih dahulu dikenai virus, bisa CD4 dan monosit di dalam darah atau CD4 dan makrofag pada jaringan mukosa (Suhaimi dkk, 2003). Virus hanya dapat bereplikasi dengan menggunakan atau memanfaatkan sel host-nya. Siklus replikasi dari awal virus masuk ke sel tubuh sampai menyebar ke organ tubuh yang lain melalui 7 tahapan, yaitu (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006) : 1) Sel-sel target mengenali dan mengikat HIV. a) HIV berfusi (melebur) dan memasuki sel target. b) Gp 41 membran HIV merupakan mediator proses fusi. c) RNA virus masuk ke dalam sitoplasma. d) Proses dimulai saat Gp 120 HIV berinteraksi dengan CD4 dan ko-reseptor. 2) RNA HIV mengalami transkripsi terbalik menjadi DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase. 3) Penetrasi HIV DNA ke dalam membran inti sel target. 4) Integrasi DNA virus ke dalam genom sel target dengan bantuan enzim integrase. 5) Ekspresi gen-gen virus. 6) Pembentukan partikel-partikel virus pada membran plasma dengan bantuan enzim protease. 15 7) Virus-virus yang infeksius dilepas dari sel, yang disebut virion. e. Transmisi HIV/AIDS Virus HIV mengalir pada cairan darah tertentu, air mani, preseminal fluids, cairan rektal, cairan vagina dan ASI dari penderita yang terinfeksi HIV. Penularan terjadi jika virus HIV kontak dengan cairan membran mukosa atau jaringan yang rusak atau bisa langsung disuntikkan ke dalam aliran darah melalui jarum suntik. Membran mukosa dapat ditemukan pada rektum, vagina, permukaan penis dan mulut (CDC, 2014). Biasanya HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom baik melalui vagina atau anal dengan seseorang positif HIV, oral seks tanpa kondom dengan seseorang positif HIV (amfAR, 2014). Risiko penularan dari seks oral lebih rendah tetapi tetap ada (Spritia, 2009). Human Immunodeficiency Virus dapat ditularkan melalui darah yang terinfeksi langsung ke dalam aliran darah secara intravena atau subkutan melalui injeksi (Douglas dan Pinsky, 2009). Penularan juga bisa melalui berbagi jarum suntik atau peralatan lainnya yang tidak steril untuk menggunakan obat-obatan secara injeksi dengan seseorang positif HIV juga berisiko menularkan HIV, transfusi darah, blood product, atau transplantasi organ/jaringan berisiko tertular HIV (CDC, 2014), tetapi risiko infeksi melalui transfusi seharusnya rendah karena sebelum melakukan transfusi dilakukan screening terlebih dahulu (Spritia, 2009). 16 Bagi petugas kesehatan juga bisa terkena risiko karena jarum atau benda tajam lainnya yang terkontaminasi dari HIV (CDC, 2014). Lahir dari ibu yang terinfeksi HIV juga dapat ditularkan dari ibu ke anak pada saat masa kehamilan, kelahiran, atau menyusui (CDC, 2014). Penularan dari ibu yang positif HIV ke anak mempunyai risiko penularan sebesar 50% (Siregar, 2004). Faktor-faktor yang memungkinkan penularan vertikal berkepanjangan, pecah ketuban, korioamninitis, infeksi genital selama kehamilan, kelahiran prematur, vaginal delivery, kelahiran dengan berat kurang dari 2.500 gram, menggunakan narkoba selama kehamilan, viral load ibu yang tinggi (Anderson dkk, 2008). Wanita yang sedang hamil atau yang akan hamil jarang melakukan tes HIV/AIDS, namun di Amerika Serikat penularan dari ibu ke bayi telah turun menjadi hanya beberapa kasus setiap tahunnya karena sudah mulai rutin untuk melakukan tes HIV/AIDS dan jika positif akan mendapatkan obat untuk menekan virus HIV selama masa kehamilan, serta mendapat konseling untuk tidak menyusui (amfAR, 2014). Perkembangan HIV dapat ditandai dengan dua hal yaitu (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006) : 1) Jumlah CD4 Kecepatan penurunan CD4 baik jumlah absolut maupun persentase CD4 telah terbukti sebagai petunjuk perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara bertahap selama 17 perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun. Jumlah CD4 lebih menggambarkan progresivitas AIDS dibandingkan dengan tingkat viral load, meskipun nilai prediktif dari viral load akan meningkat seiring dengan lama infeksi. 2) Viral Load Kecepatan peningkatan viral load dapat dipakai untuk memperkirakan perkembangan infeksi HIV. Viral load bukan merupakan jumlah absolut virus. Viral load meningkat secara bertahap dari waktu ke waktu. Pada tiga tahun pertama setelah terjadinya serokonversi (infeksi primer), viral load berubah seolah hanya pada pasien yang berkembang ke arah AIDS pada masa tersebut. Setelah masa tersebut, perubahan viral load dapat dideteksi, baik akselerasinya maupun jumlah absolutnya, baru keduanya dapat dipakai sebagai penanda progresivitas penyakit. f. Diagnosis HIV/AIDS Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan 3 strategi dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan Enzyme Linked Sorbent Assay (ELISA), untuk pemeriksaan 18 pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%) (Ditjen PP dan PL, 2011). Metode yang paling umum digunakan adalah ELISA yang mampu mendeteksi antibodi terhadap HIV. ELISA sangat sensitif (99%) dan sangat spesifik (>99%) (Anderson dkk, 2008). Metode umum lain yang digunakan adalah Western Blot. Serum pasien ditempatkan di dalam plate dilapisi dengan antigen HIV, setelah dicuci antibodi pasien ditambahkan dan substrat ditambahkan. Jika antibodi HIV yang muncul maka terjadi perubahan warna, lalu dianalisis dengan spektrofotometer. Tes ELISA perlu diulang (reactive ELISA), jika kedua tes menunjukkan hasil positif dilanjutkan tes konfirmasi dengan tes Westren Blot untuk menetapkan diagnosis akhir HIV. Jika keduanya menunjukkan negatif palsu dikenal secara klinis sebagai infeksi HIV akut. Hal ini terjadi karena sekalinya terinfeksi memerlukan waktu satu sampai dua bulan untuk mengembangkan antibodi, disebut dengan “periode jendela” (Dumond dan Kashuba, 2009). Untuk mendiagnosis HIV pada pasien window period dapat dilakukan dengan pemeriksaan antigen p24 maupun PCR (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). 19 g. Stadium Klinis HIV/AIDS Penilaian stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat waktu. Jika dilihat dari gejala yang terjadi, pembagian stadium klinis HIV/AIDS dapat dilihat pada tabel II (Ditjen PP dan PL, 2011) : Tabel II. Stadium Klinis Infeksi HIV untuk Dewasa dan Remaja (Ditjen PP dan PL, 2011) Stadium 1 Asimptomatik 1) Tidak ada gejala 2) Tidak ada Generalisata Persisten Stadium 2 Sakit ringan 1) Penurunan berat badan bersifat sedang yang tidak diketahui penyebabnya (lebih dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya) 2) Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, otitis media, faringitis) 3) Herpes zoster 4) Luka di sekitar bibir (keilitis angularis) 5) Ulkus mulut berulang 6) Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption) 7) Dermatitis seboroik 8) Infeksi jamur pada kuku Stadium 3 Sakit sedang 1) Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (lebih dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya) 2) Diare yang tidak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan 3) Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan 4) Kandidosis pada mulut yang menetap 5) Oral hairy leukoplakia 6) Tuberkulosis paru 7) Infeksi bakterial yang berat (contoh : pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi panggul yang berat) 8) Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis 9) Anemia yang tak diketahui penyebabnya (Hb <8 g%), netropenia (<0,5 x 109/l), dan/atau trombositopeni kronis (<50 x 109/l) Stadium 4 Sakit berat (AIDS) 1) Sindroma wasting HIV 2) Pneumonia Pneumocystis jiroveci 3) Pneumoni bakterial yang berat berulang 4) Infeksi herpes simpleks kronis ( orolabial, genital, atau anorektal selama lebih dari satu bulan atau visceral dibagian manapun). 5) Kandidiasis esophageal (kandidiasis trkea, bronkus, paru) 6) Tuberkulosis ekstra paru 7) Sarkoma Kaposi 8) Retinitis Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, 20 Lanjutan Tabel II Stadium 4 Sakit Berat (AIDS) limpa dan kelenjar getah bening) 9) Tokoplasmosis di sistem saraf pusat 10) Encefalopati HIV 11) Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis 12) Infeksi mycobacteria non tuberculosis yang menyebar 13) Lekoensefalopati mutlifokal progresif (PML) 14) Cyrptosporidiosis kronis 15) Isosporiasis kronis 16) Mikosis meluas (histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis) 17) Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid) 18) Limfoma (serebral atau B-cell dan non-Hodgkin)(Gangguan fungsi neurologis dan tidak sebab lain sering kali membaik dengan terapi ARV) 19) Karsinoma serviks invasif 20) Leismaniasis atipik meluas 21) Neuropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomati 2. Terapi Antiretroviral Sebelum memulai pengobatan dengan ARV diperlukan pemahaman tentang prinsip ARV, manfaat ARV, pengetahuan dasar penggunaan ARV, dan kapan memulai ARV pada ODHA. a. Prinsip Terapi Antiretroviral Tujuan pengobatan ARV adalah sebagai berikut (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006) : 1) Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat. 2) Memulihkan dan memelihara fungsi imunologis (stabilisasi/peningkatan sel CD4). 3) Menurunkan komplikasi akibat HIV. 4) Memperbaiki kualitas hidup ODHA. 5) Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus. 21 6) Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV. b. Pengetahuan Dasar Penggunaan Antiretroviral Antiretroviral sampai saat ini merupakan satu-satunya obat yang memberikan manfaat besar dalam pengobatan ODHA, namun penggunaan ARV menuntut adherence dan kesinambungan berobat yang melibatkan peran pasien, dokter atau petugas kesehatan, pendamping dan ketersediaan obat. Beberapa hal khusus yang harus diperhatikan dalam penggunaan antiretroviral sebagai berikut (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006) : 1) Replikasi HIV sangat cepat dan terus menerus sejak awal infeksi sedikitnya terbentuk sepuluh milyar virus setiap hari, namun karena waktu paruh (half life) virus bebas (virion) sangat singkat, maka sebagian besar virus akan mati. Walau ada replikasi yang cepat, sebagian besar pasien merasa tetap sehat tanpa ARV selama kekebalan tubuhnya masih berfungsi dengan baik. 2) Replikasi yang terus-menerus mengakibatkan kerusakan sistem kekebalan tubuh semakin berat, sehingga semakin rentan terhadap infeksi oportunistik (IO), kanker, penyakit saraf, kehilangan berat badan secara nyata (wasting) dan berakhir dengan kematian. 22 3) Viral load menunjukkan tingginya replikasi HIV sehingga penurunan CD4 menunjukkan kerusakan sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. 4) Nilai viral load menggambarkan progresivitas penyakit dan risiko kematian. Pemeriksaan secara berkala jumlah CD4 dan viral load (jika memungkinkan) dapat menentukan progresivitas penyakit dan mengetahui syarat yang tepat untuk memulai atau mengubah regimen ARV. 5) Tingkat progresivitas penyakit pada ODHA dapat berbeda-beda. Keputusan pengobatan harus berdasarkan pertimbangan individual dengan memperhatikan gejala klinik, hitung limfosit total dan bila memungkinkan jumlah CD4. 6) Terapi kombinasi ARV dapat menekan replikasi HIV hingga di bawah tingkat yang tidak dapat dideteksi oleh pemeriksaan yang peka, seperti PCR. Penekanan virus secara efektif ini mencegah timbulnya virus yang resisten terhadap obat dan memperlambat progresivitas penyakit. Jadi tujuan terapi adalah menekan perkembangan virus secara maksimal. 7) Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV secara terus menerus adalah memulai pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus dimulai pada saat yang bersamaan pada pasien yang baru. Pada pasien yang tidak pernah diterapi, tidak 23 boleh menggunakan obat yang memiliki resistensi silang dengan obat yang pernah dipakai. 8) Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal yang tepat. 9) Prinsip pemberian ARV diperlakukan sama pada anak maupun dewasa, walaupun pengobatan pada anak perlu perhatian khusus. 10) Walaupun viral load tidak terdeteksi, ODHA yang mendapat ARV harus tetap dianggap menular. Mereka harus dikonseling agar menghindari seks yang tidak aman, atau penggunaan NAPZA suntik yang dapat menularkan HIV atau patogen menular lain. 11) Menghindari timbulnya resistensi, ARV harus dipakai terus menerus dengan kepatuhan (adherence) yang sangat tinggi, walaupun sering dijumpai efek samping ringan. 12) Pemberian ARV harus dipersiapkan secara baik dan matang dan harus digunakan seumur hidup. 13) Disamping ARV, maka infeksi oportunistik harus pula mendapat perhatian dan harus diobati. c. Indikasi Terapi Antireroviral Pada awal akan memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 bila tersedia dan penentuan stadium klinis infeksi HIV, hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita 24 sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum. Panduan indikasi memulai terapi ARV pada ODHA dapat dilihat pada tabel III. Tabel III. Saat Memulai Terapi pada ODHA Dewasa (Ditjen PP dan PL, 2011) Target Populasi Stadium Klinis Jumlah sel CD4 Rekomendasi ODHA dewasa Stadium klinis 1 > 350 sel/mm3 Belum mulai dan 2 terapi. Monitor gejala klinis dan jumlah sel CD4 setiap 6-12 bulan ODHA dewasa Stadium klinis 1 < 350 sel/mm3 Mulai terapi dan 2 Stadium klinis 3 Berapapun jumlah Mulai terapi dan 4 sel CD4 Pasien dengan ko- Apapun Stadium Berapapun jumlah Mulai terapi infeksi TB klinis sel CD4 Pasien dengan ko- Apapun Stadium Berapapun jumlah Mulai terapi infeksi HepatitisB klinis sel CD4 Kronik aktif Ibu Hamil Apapun Stadium Berapapun jumlah Mulai terapi klinis sel CD4 Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa (Ditjen PP dan PL, 2011) : 1) Tidak tersedia pemeriksaan CD4 Apabila tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis. 2) Tersedia pemeriksaan CD4 Apabila tersedia pemeriksaan CD4, maka rekomendasi memulai terapi ARV adalah : a) Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. 25 b) Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4. d. Penggolongan dan Mekanisme Kerja Obat Antiretroviral Obat-obat antiretroviral dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan mekanisme kerjanya. Di Indonesia dikenal tiga golongan utama antiretroviral yaitu (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006) : 1) Penghambat masuknya virus; enfuvirtid Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit Gp 41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid. 2) Penghambat reverse transcriptase enzyme a) Nucleoside Reverse Transcription Inhibitor (NRTI) NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus fosfat dan selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat reverse transcription (RT) sehingga perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan DNA. (1) analog thymin : zidovudin (ZDV/AZT)dan stavudin (d4T) (2) analog cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC) (3) analog adenin : didanosine (ddI) 26 (4) analog guanin : abacavir(ABC) (5) analog nukleotida analog adenosin monofosfat: tenofovir b) Non-nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan nukleotida natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat. Contohnya nevirapine (NVP) dan efavirenz (EFV) 3) Penghambat enzim protease (PI) ; ritonavir (RTV) Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel lain. PI adalah ARV yang potensial. Contohnya saquinavir (SQV), indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV). e. Regimen Lini Pertama Obat Antiretroviral Penggunaan obat dikatakan rasional jika pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhannya untuk periode waktu yang cukup dengan harga yang sesuai untuknya dan masyarakat (Ditjen Binfar dan Alkes, 27 2006). Pemerintah pengobatan ARV menetapkan berdasarkan panduan yang 5 yaitu aspek digunakan dalam efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan dan harga obat. Prinsip dalam pemberian ARV yang akan diresepkan oleh dokter kepada pasien adalah (Ditjen PP dan PL, 2011) : 1) Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat. 2) Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses pelayanan ARV. 3) Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen logistik yang baik. Anjuran pemilihan ARV lini pertama dapat dilihat pada tabel IV. Panduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah : 2NRTI + 1 NNRTI Tabel IV. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama (Ditjen PP dan PL, 2011) (Zidovudine + Lamivudine + ATAU AZT + 3TC + NVP Nevirapine) (Zidovudine + Lamivudine + ATAU AZT + 3TC + EFV Efavirenz) (Tenofovir + Lamivudine (atau ATAU TDF + 3TC (atau FTC) + NVP Emtricitabine) + Nevirapine) (Tenofovir + Lamivudine (atau TDF + 3TC (atau FTC) + NVP Emtricitabine) + Efavirenz) 28 Prinsip pemilihan obat ARV yang dianjurkan adalah (Ditjen PP dan PL, 2011) : 1) Pilih lamivudin (3TC) /emtricitabine (FTC) ditambah, 2) Dua golongan dari Nucleoside reverse transciptase inhibitor (NRTI), zidovudin (AZT). Berikut adalah paduan lini pertama yang perlu diperhatikan untuk penderita HIV/AIDS yang belum pernah mendapat terapi ARV : Tabel V. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum pernah mendapat terapi ARV (treatment-naïve) (Ditjen PP dan PL,2011) Populasi Target Pilihan yang Catatan direkomendasikan Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC (atau FTC) + EFV atau NVP Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau NVP Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC (FTC) + EFV Ko-infeksi HIV/Hepatitis B kronik aktif TDF + 3TC (FTC) + EFV atau NVP Merupakan pilihan paduan yang sesuai untuk sebagian besar pasien.Gunakan FDC jika tersedia Tidak boleh menggunakan EFV pada trimester pertama. TDF bisa merupakan pilihan Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 8 minggu). Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak dapat digunakan Pertimbangkan pemeriksaan HBsAg terutama bila TDF merupakan paduan lini pertama. Diperlukan penggunaan 2 ARV yang memiliki aktivitas antiHBV Keterangan: ARV: antiretroviral FDC: Fixed-dose Combination (kombinasi obat antiretroviral dengan dosis yang yang telah ditetapkan). HBsAg: Hepatitis B Surface Antigen (antigen permukaan virus hepatitis B), merupakan penanda awal infeksi Hepatitis B 29 f. Penggantian Regimen Pada kasus gagal terapi, tindakan yang direkomendasikan adalah mengganti lini pertama dengan lini kedua. Kriteria gagal terapi adalah menggunakan 3 kriteria, yaitu kriteria klinis, imunologis dan virologis. Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4 dan viral load maka diagnosis kegagalan terapi ditentukan dengan gejala klinis. Sebaliknya jika mempunyai pemeriksaan CD4 dan viral load, maka diagnosis kegagalan terapi ditegakkan dengan pemeriksaan CD4 dan/atau viral load setelah pada pemeriksaan fisik menunjukkan gejala klinis yang mengarah pada kegagalan terapi. Kriteria kegagalan terapi menurut WHO (Ditjen PP dan PL, 2011) : 1) Kegagalan Klinis Munculnya infeksi oportunistik dari stadium 4 minimal 6 bulan terapi ARV. Beberapa penyakit yang termasuk dalam stadium 3 (TB paru, infeksi bakteri berat) dapat menunjukkan kegagalan terapi. 2) Kegagalan Imunologis Definisi dari kegagalan imunologis adalah gagal mencapai dan mempertahankan jumlah CD4 yang cukup, walaupun telah terjadi penurunan/penekanan jumlah virus. Jumlah CD4 juga dapat digunakan dalam menentukkan kegagalan terapi. 30 3) Kegagalan Virulogis Viral load merupakan indikator yang paling sensitif dalam menentukkan adanya kegagalan terapi. Disebut gagal virulogis jika viral load lebih dari 5.000 copies/ml dan viral load menjadi terdeteksi lagi setelah sebelumnya tidak terdeteksi. Kadar viral load yang pasti belum bisa sebagai batasan untuk mengganti panduan ARV. Jika viral load >5.000 copies/ml diketahui berhubungan dengan progresi gejala klinis yang nyata atau turunnya jumlah CD4. Obat ARV golongan PI tidak dianjurkan untuk terapi lini pertama, hanya digunakan untuk lini kedua. Penggunaan pada lini pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami intoleransi terhadap golongan NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine) (Ditjen PP dan PL, 2011). Rekomendasi panduan lini kedua (Ditjen PP dan PL, 2011) : 2 NRTI + boosted-PI Boosted PI adalah satu obat dari golongan Protease inhibitor yang sudah ditambahi (booster) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut ditulis dengan kode …/r (misal LVP/r = Lopinavir/ritonavir). Penambahan (booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk mengurangi dosis dari obat PI-nya karena tanpa ritonavir maka dosis yang diperlukan akan semakin tinggi. Pilihan terapi ARV lini kedua dapat dilihat pada tabel VI (Ditjen PP dan PL, 2011). 31 Tabel VI. Pilihan terapi lini kedua (Ditjen PP dan PL, 2011) Populasi target dan ARV Pilihan Paduan ARV pengganti yang digunakan direkomendasikan Dewasa (termasuk Bila menggunakan AZT TDF+3TC perempuan hamil) sebagai lini pertama FTC+LVP/r Bila menggunakan TDF sebagai lini pertama yang atau AZT+3TC+LVP/r Ko-infeksi TB/HIV Mengingat rifampisin tidak dapat digunakan bersama dengan LVP/r paduan OAT tanpa rifampisin. Jika rifampisin perlu diberikan maka pilihan lain adalah menggunakan LVP/r dengan dosis 800mg/200mg dua kali sehari. Perlu evaluasi fungsi hati ketat jika menggunakan rifampisin dan dosis ganda LVP/r. Ko-infeksi HIV/HIV AZT+TDF+3TC (FTC)+LVP/r (TDF+(3TC+ atau FTC)) tetap digunakan meski sudah gagal di lini pertama karena pertimbangan efek antiHBV dan untuk mengurangi risiko “flare” 3. Pemantauan Terapi Antiretroviral Untuk mendapatkan keberhasilan terapi diperlukan monitoring yang dilakukan oleh pihak yang berwenang atau pihak yang berhubungan dengan ODHA lainnya. Upaya monitoring terdiri atas (Nursalam dan Kurniawati, 2007) : 1) Monitoring berkala. Monitoring ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu : 32 1) Monitoring kepatuhan (adherence) yang harus didiskusikan pada setiap kunjungan. 2) Monitoring efek samping ARV, yang terdiri atas pertanyaan langsung, pemeriksaan klinis dan tes laboratorium 3) Monitoring keberhasilan ARV. Monitoring ini berupa indikator klinis, misalnya berat badan yang meningkat, jumlah CD4 dan viral load. Tabel VII. Pemantauan Klinis dan Laboratoris yang dianjurkan selama Pemberian Paduan ARV Lini Pertama (Ditjen PP & PL, 2011) Jika Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Setiap diperlukan Evaluasi ke 2 ke 4 ke 8 ke 12 ke 24 6 bulan (tergantung gejala) Klinis Evaluasi Klinis Berat Badan Penggunaan obat lain Cek Kepatuhan (adherence) Laboratorium Tes antibodi HIV [a] CD4 HB [b] Tes Kehamilan [c][d] VDLR/RPR SGPT Kreatinin [e] Viral load (RNA) [f] Keterangan : [a] Hasil tes HIV(+) yang tercatat (meskipun sudah lama) sudah cukup untuk dasar memulai terapi ARV. Bila tidak ada dokumen tertulis, dianjurkan untuk dilakukan tes HIV sebelum memulai terapi ARV. 33 [b] Bagi pasien yang mendapat AZT : perlu diperiksa kadar hemoglobin sebelum terapi AZT dan pada minggu ke 4, 8 dan 12.Bila diperlukan (misal ada tanda dan gejala anemia atau ada obat lain yang bisa menyebabkan anemia). [c] Lakukan tes kehamilan sebelum memberikan EFV pada ODHA perempuan usia subur. Bila hasil tes positif dan kehamilan pada trimester pertama maka jangan diberi EFV. [d] Bila hasil tes kehamilan positif pada perempuan yang sudah terlanjur mendapatkan EFV maka segera ganti dengan paduan yang tidak mengandung EFV. [e] Pasien yang mendapat TDF, perlu pemeriksaan kreatinin serum pada awal dan setiap 3 bulan pada tahun pertama kemudian jika stabil dapat dilakukan setiap 6 bulan. [f] Pengukuran viral load (HIV RNA) tidak dianjurkan sebagai dasar pengambilan keputusan untuk memulai terapi ARV atau sebagai alat pemantau respon pengobatan pada saat tersebut. Dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis dini adanya kegagalan terapi atau menilai adanya ketidaksesuaian antara hasil CD4 dan keadaan klinis dari pasien yang diduga mengalami kegagalan terapi ARV. 2) Monitoring Klinis Monitoring klinis dilakukan agar didapatkan riwayat penyakit yang jelas dan dilakukan pemeriksaan klinis yang teratur. Berikut adalah kegiatan yang dilakukan setiap kali dilakukan pemeriksaan klinis ; 1) Follow up pertama setelah satu atau dua minggu. Lebih awal jika terjadi efek samping. 2) Kunjungan bulanan sesudahnya atau lebih jika diperlukan. 4. Respon Terapi Antiretroviral Pengobatan ARV terbukti mempunyai peran yang bermakna dalam pencegahan penularan HIV, karena obat ARV memiliki mekanisme kerja mencegah replikasi virus yang secara bertahap menurunkan jumlah virus dalam darah (Ditjen PP dan PL, 2011). Jika ingin mendapatkan keberhasilan terapi ARV harus diikuti dengan monitoring terapi. Monitoring terapi dilakukan secara periodik setelah mulai pemberian terapi ARV. Monitoring 34 terapi yang dilakukan meliputi monitoring kepatuhan, efek samping dan keberhasilan terapi (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). Monitoring keberhasilan terapi dilakukan untuk melihat apakah regimen obat antiretroviral yang diberikan memberikan respon pada penekanan jumlah virus dan dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh. Jika regimen yang dipilih tidak memberikan respon pada penekanan jumlah virus perlu dipertimbangkan untuk mengganti dengan regimen lain (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). Terapi dengan regimen yang efektif akan menghasilkan 3 kali lipat dan 10 kali lipat penurunan jumlah viral load dalam minggu ke 4 dan 8 (Dumond dan Kashuba, 2009). 5. Penanda Perkembangan Penyakit HIV/AIDS a. Penanda Klinis Petanda klinis bisa dijadikan sebagai perkembangan penyakit AIDS antara lain kandidiasis oral, demam yang terus menerus, diare tanpa sebab dan penurunan berat badan. Petanda klinis lainnya yaitu hairy leucoplakia dan herpes zoster (Carey, 1998). b. Penanda Laboratoris Penanda laboratorium dari perkembangan penyakit dapat berupa penanda immunologis dan virulogis. Penanda laboratorium seharusnya 35 tidak satu-satunya digunakan dalam pengambilan keputusan klinis, demikian juga tidak menggunakan hasil single test. 1) Penanda Imunologis a) Jumlah limfosit CD4 Reseptor CD4 pada limfosit CD4 adalah salah satu target utama invasi dari HIV. Tingkat sel CD4 yang menurun disebabkan karena kerusakan sel oleh virus. Jumlah CD4 biasanya diukur dengan penurunan CD4 (sel/mm3). Jumlah CD4 bisa tergantung pada variasi diurnal, pengaruh infeksi dan perbedaan laboratorium. Persentase dari sel CD4 pada total limfosit terkadang digunakan. CD4 juga berkurang jika perkembangan penyakit semakin berkembang. Nilai CD4 juga menggambarkan perkembangan penyakit (Carey, 1998). b) Rasio CD4:CD8 Pada infeksi HIV, nilai CD4 turun, jumlah sel CD8 meningkat yang menyebabkan penurunan rasio karena penyakit yang berkembang. c) Serum β2 mikroglobin Protein ini banyak terdapat pada permukaan sel termasuk sel limfosit T dan B. Peningkatan konsentrasi serum 36 akan diproduksi sebagai pengaktifan sistem imun. Meningkat pada infeksi HIV dan meningakat pula karena perkembangan penyakit. Pada level kurang dari 3 mg/L mempunyai risiko progresi yang rendah (Carey, 1998). d) Serum neopterin Neopterin diproduksi oleh monosit dan makrofag dan juga merupakan ukuran aktifasi imun. Jumlahnya akan meningkat pada infeksi HIV dan dipengaruhi oleh infeksi penyerta (Carey, 1998). e) Lain-lain Reseptor imunoglobulin A (IgA) dan interleukin-2 meningkat sebagai hasil stimulasi dari sistem imun, namun, kedua ini jarang digunakan karena memiliki hasil yang kurang prediktif (Carey, 1998). c. Penanda Virologis 1) Serum HIV p24 Antigen Serum ini dulu digunakan sebagai korelasi dengan viral load. Pasien dengan p24 antigen postif lebih mungkin mengalami 37 perkembangan infeksi dibandingkan dengan yang negatif, namun sudah tidak digunakan karena tidak prediktif (Carey, 1998). 2) Plasma RNA HIV dengan PCR Mengukur jumlah RNA HIV fragmen sehingga bisa menunjukkan besarnya replikasi virus. Unit satuan pengukuran RNA adalah copies/ ml plasma (Carey, 1998). F. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien HIV/AIDS, gambaran regimen terapi antiretroviral dan seberapa besar respon terapi berdasarkan penanda klinis dan imunologis pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.