BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epidemi HIV

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Epidemi
HIV/AIDS
merupakan
krisis
global
dan
tantangan
bagi
pembangunan dan kemajuan sosial. Banyak negara miskin yang sangat dipengaruhi
oleh epidemi ini ditinjau dari jumlah infeksi dan dampak yang ditimbulkannya
(Depnakertrans RI, 2005). Menurut perkiraan WHO dan UNAIDS, terdapat 35,3
juta orang yang hidup dengan HIV pada akhir tahun 2012 dan sekitar 2,3 juta orang
yang baru terinfeksi serta 1,6 juta orang meninggal karena AIDS (WHO, 2013).
Berdasarkan laporan dari Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (Ditjen PP dan PL) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia jumlah
kumulatif infeksi HIV sampai dengan Desember 2013 sebanyak 127.427 dan jumlah
kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Desember 2013 sebanyak 52.348
orang. Jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang sedang mendapatkan
pengobatan ARV sampai dengan bulan Desember 2013 sebanyak 39.418 orang
(Ditjen PP dan PL, 2014).
Penemuan obat antiretroviral pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi
dalam perawatan ODHA di negara maju, meskipun belum mampu menyembuhkan
penyakit dan mengurangi efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun
terapi ARV dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas, meningkatkan
1
2
kualitas hidup ODHA dan meningkatkan harapan hidup masyarakat, sehingga pada
saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan
tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menular (Ditjen PP dan PL RI, 2011).
Antiretroviral saat ini merupakan satu-satunya obat yang memberikan manfaat
besar dalam pengobatan ODHA. Antiretroviral terdiri dari kombinasi agen-agen yang
potensial dan mampu menekan replikasi untuk menunda timbulnya AIDS serta secara
signifikan meningkatkan harapan hidup survival (Anderson dkk., 2008). Terapi
kombinasi ARV dapat menekan replikasi HIV hingga di bawah tingkat yang tidak
dapat dideteksi oleh pemeriksaan yang peka, seperti dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR). Penekanan virus secara efektif ini mencegah timbulnya resistensi
virus terhadap obat dan memperlambat progresivitas penyakit, dengan demikian
tujuan terapi ARV adalah untuk menekan perkembangan virus secara maksimal
(Ditjen Binfar dan Alkes, 2006). Penggunaan terapi kombinasi ARV harus
dipertimbangkan pada semua pasien. Penggunaan monoterapi hendaknya dihindari
karena uji klinis telah menunjukkan bahwa efektivitas regimen menjadi lebih rendah,
selain itu penggunaan kombinasi ARV yang hanya terdiri dari dua nukleosida saja
hendaknya dihindari karena efektivitas penekanan virus menjadi tidak optimal
(Dumond dan Kashuba, 2009).
Pada saat akan memulai terapi antiretroviral, perlu dilakukan pemeriksaan
jumlah CD4 jika tersedia dan penentuan stadium klinis infeksi HIV, hal tersebut
bertujuan untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi
3
antiretroviral atau belum (Ditjen PP dan PL, 2011). Pengukuran CD4 dan plasma
viral load paling sedikit dilakukan sebanyak dua kali (Astari dkk, 2009).
Pemeriksaan jumlah CD4 adalah cara yang terpercaya dalam menilai status
imunitas seorang ODHA. Oleh karena itu, nilai CD4 dapat digunakan sebagai
pemantau respon terapi antiretroviral (Ditjen PP dan PL, 2007). Pemeriksaan viral
load HIV juga sering digunakan untuk menentukan efektivitas atau kegagalan terapi
antiretroviral (Astari dkk., 2009). Meskipun ARV telah terbukti dapat meningkatkan
kelangsungan hidup dan meminimalkan risiko perkembangan infeksi oportunistik,
tetapi ARV juga memiliki efek yang tidak diinginkan (adverse effect) dalam
penggunaannya (Dumond dan Kashuba, 2009). Pasien yang mengalami adverse
effect membutuhkan biaya pengobatan antiretroviral cukup tinggi, terutama jika
pasien mengalami kegagalan virologik pada lini pertama, sehingga diperlukan terapi
lini kedua yang harganya jauh lebih mahal (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006).
Kegiatan monitoring respon terapi secara periodik setelah memulai pemberian terapi
ARV perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kegagalan terapi tersebut. Oleh
karena itu, peneliti memandang perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui
seberapa besar respon terapi antiretroviral pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta sebagai salah rumah sakit yang melayani pasien HIV/AIDS
untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
4
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran pengobatan antiretroviral pasien HIV/AIDS di RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta?
2. Seberapa besarkah respon terapi antiretroviral pada pasien HIV/AIDS di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan penanda klinis dan imunologis?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gambaran pengobatan antiretroviral pada pasien HIV/AIDS di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
2. Mengkaji besarnya respon terapi antiretroviral pada pasien HIV/AIDS di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan penanda klinis dan imunologis.
D. Manfaat Penelitian
1. Menjadi bahan informasi mengenai respon terapi antiretroviral pada pasien
HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
2. Menjadi masukan dalam peningkatan pelayanan medik penggunaan
antiretroviral
untuk pengobatan HIV/AIDS dengan harapan dapat
mengurangi kegagalan dalam terapi pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.
3. Menjadi bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.
5
E. Tinjauan Pustaka
1. Penyakit HIV/AIDS
a. Definisi HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebar
melalui cairan tubuh yang menyerang sel-sel tertentu dari sistem imun
tubuh yaitu sel CD4 atau sel-T. Seiring waktu, HIV dapat menghancurkan
banyak sel tubuh sehingga tidak mampu melawan infeksi dan penyakit.
Virus HIV yang menyebabkan terjadinya Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS) (CDC, 2014).
Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah kumpulan beberapa
gejala penyakit defisiensi imunitas seluler yang disebabkan oleh virus
HIV yang merusak sel yang berfungsi untuk sistem kekebalan tubuh yaitu
sel CD4 (Lymphocyte Virus T-helper) (Astari dkk., 2009).
b. Epidemiologi HIV/AIDS
Penyakit
HIV/AIDS
sudah
menjadi
pandemik
yang
mengkhawatirkan masyarakat dunia, karena disamping belum ditemukann
obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga memiliki “window
period” dan fase asimptomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam
perjalanan
penyakitnya.
Hal
tersebut
menyebabkan
perkembangannya seperti fenomena gunung es (Depkes RI, 2006).
pola
6
Kasus penderita AIDS di Indonesia yang pertama dilaporkan adalah
wisatawan asal Belanda yang mengunjungi Bali pada tahun 1987. Jumlah
ini terus meningkat dari tahun ke tahun dan sampai akhir September 1998
dilaporkan terdapat 764 kasus HIV/AIDS dari 23 provinsi di Indonesia
(Harahap dan Andayani, 2004). Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia memperkirakan Indonesia pada tahun 2014 akan mempunyai
hampir tiga kali jumlah ODHA dibandingkan pada tahun 2008 (dari
227.700 orang menjadi 813.720 orang), hal ini bisa terjadi bila tidak ada
upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang bermakna dalam kurun waktu
tersebut (KPA Nasional, 2010).
Kasus HIV/AIDS di Indonesia semakin meningkat. Sejak tahun
1999 di Indonesia telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada subpopulasi tertentu di beberapa provinsi yang memang mempunyai
prevalensi HIV cukup tinggi. Peningkatan ini terjadi pada kelompok orang
yang berperilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu para pekerja seks
komersial (PSK) dan pengguna narkoba suntik (penasun). Beberapa
provinsi di Indonesia seperti DKI Jakarta, Papua, Riau, Bali, Jawa Barat
dan Jawa Timur tergolong sebagai tingkat epidemi terkonsentrasi
(concentrated level of epidemic), apabila masalah ini tidak ditanggulangi
negara, kemungkinan besar epidemi akan bergerak menjadi epidemi yang
menyeluruh dan parah (generalized epidemic) (Ditjen Binfar dan Alkes,
2006).
7
Sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 sampai dengan
Desember
2013,
HIV/AIDS
tersebar
di
368
(72%)
dari
497
kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan data dari
Ditjen PP dan PL Kemenkes RI dilaporkan dari 1 Januari 2013 sampai
dengan 31 Desember 2013 jumlah kasus HIV sebanyak 29.037 kasus dan
AIDS sebanyak 5.608 kasus, sementara untuk Daerah Istimewa
Yogyakarta terdapat 185 kasus AIDS dan kasus HIV sebanyak 316 kasus
(KPA Yogya, 2014).
Berikut adalah data statistik HIV/AIDS yang ada di Indonesia dari
Ditjen PP dan PL Depkes RI yang dilaporkan sampai dengan Desember
2013.
35,000
29,037
30,000
25,000
21,591 21,031 21,511
20,000
15,000
10,362
10,000
5,003
5,000
9,793
7,195
859
6,048
3,531 4,462
4,995
5,986
6,867
7,286
8,610
5,608
0
s.d.
2005
2006
2007
2008
Jumlah Kasus HIV
2009
2010
2011
2012
2013
Jumlah Kasus AIDS
Gambar 1. Jumlah Kumulatif Kasus HIV/AIDS di Indonesia Berdasarkan Tahun
Pelaporan sampai Desember 2013 (Ditjen PP dan Pl, 2014)
8
Pada gambar 1 menunjukkan bahwa kasus HIV/AIDS dari tahun
ke tahun terus mengalami peningkatan. Triwulan Oktober sampai dengan
Desember 2013 jumlah infeksi HIV yang dilaporkan sebanyak 8.624
orang dan AIDS sebanyak 2.845 orang. Jumlah kumulatif infeksi HIV dari
tahun 1987 sampai dengan Desember 2013 sebanyak 127.427 dan AIDS
sebanyak 52.384 orang (Ditjen PP dan PL, 2014), sementara untuk
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta kasus HIV/AIDS sendiri dari tahun
ke tahun mengalami peningkatan, seperti pada gambar 2. Data ini
mendukung bahwa penderita HIV/AIDS mengalami peningkatan pada
tingkat nasional.
KASUS HIV/AIDS
Jumlah Penderita
350
300
250
200
150
100
50
0
199
3
AIDS 1
HIV
1
199
5
1
1
199
8
2
0
200
0
2
3
200
1
3
6
200
2
4
23
200
3
7
5
200
4
19
60
200
5
37
81
200
6
23
70
200
7
47
72
200
8
43
113
200
9
283
278
201
0
73
58
201
1
42
151
201
2
244
188
201
3
185
316
Gambar 2. Perkembangan Jumlah HIV/AIDS yang Terlaporkan di Provinsi
Yogyakarta dari Tahun 1993 sampai dengan Desember 2013 (KPA Yogya, 2014)
Penderita HIV/AIDS laki-laki di Yogyakarta sampai Desember
2013 sebanyak 869 pasien (55,7%) untuk HIV, dan AIDS sebanyak 690
9
penderita (44,3%), sedangkan penderita perempuan untuk HIV sebanyak
497 penderita (60,9%) dan AIDS sebanyak 319 penderita (39,1%), seperti
pada gambar 3. Data ini mendukung laporan dari Ditjen PP dan PL sampai
Desember 2013 jumlah pasien laki-laki sebanyak 55,1% dan perempuan
sebanyak 29,7%.
Jumlah Penderita
Jenis Kelamin
2000
1500
1000
500
0
Laki-Laki
Perempuan
Tidak Diketahui
HIV
869
497
60
AIDS
690
319
7
Jumlah
1559
816
67
Gambar 3. Distribusi Menurut Jenis Kelamin Kasus HIV/AIDS yang Terlaporkan
di Provinsi Yogyakarta dari tahun 1993 sampai dengan Desember 2013
(KPA Yogya, 2014)
Tabel I. Distribusi Pasien Menurut Faktor Risiko Kasus HIV/AIDS yang
Terlaporkan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari tahun 1993 sampai
dengan Desember 2013 (KPA Yogya, 2014)
Faktor Risiko
Biseksual
Heteroseksual
Homoseksual
Narkotik Suntik
Perinatal
Neonatal
Transfusi Darah
Needle Injury
Tidak Diketahui
Jumlah
AIDS
3
660
70
148
28
0
3
1
103
1016
HIV
25
657
164
108
40
1
14
0
417
1426
Jumlah
28
1317
234
256
68
1
17
1
520
2442
10
Pada tabel 1 bahwa faktor risiko yang terbesar adalah
heteroseksual (53,9%) dan narkoba suntik (10,5%). Data ini didukung
oleh laporan Ditjen PP dan PL sampai Desember 2013 faktor risiko
penularan tertinggi melalui heteroseksual sebanyak 62,5% dan penasun
sebanyak 16,1% dari 52.348 penderita HIV/AIDS.
Usia
Jumlah Penderita
3000
2500
2000
1500
1000
500
0
AIDS
HIV
Jumlah
<1
thn
1-4
thn
5-14
thn
9
15
24
18
38
56
14
16
30
1519
thn
11
23
34
2029
thn
305
546
851
3039
thn
368
410
778
4049
thn
159
206
365
5059
thn
76
65
141
>60
thn
TI
11
20
31
45 1016
87 1426
132 2442
Total
Gambar 4. Distribusi Menurut Usia Kasus HIV/AIDS yang Terlaporkan di
Provinsi Yogyakarta dari Tahun 1993 sampai dengan Desember 2013 (KPA
Yogya, 2014). Keterangan: TI = Tidak Diketahui
Gambar 4 menunjukkan sebanyak 851 penderita (34,8%) berada
dalam rentang usia 20-29 tahun dan 778 penderita (31,9%) berada dalam
rentang usia 30-39 tahun. Kebanyakan penderita merupakan usia produktif
yaitu antara 20 sampai 39 tahun. Data ini tidak berbeda jauh dengan apa
yang dilaporkan oleh Ditjen PP dan PL sampai Desember 2013 bahwa
kelompok umur tertinggi pada umur 20-29 tahun sebanyak 34,2% dan
11
diikuti umur 30-39 tahun sebanyak 29%, diikuti usia 40-49 tahun
sebanyak 10,8%, 15-19 tahun sebanyak 3,3%, dan 50-59 tahun sebanyak
3,3%.
c. Etiologi HIV/AIDS
Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika
Serikat pada tahun 1981. Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montaigner
dan
kawan-kawan
di
Prancis
pada
tahun
1983
dengan
nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika
Serikat pada tahun 1984 mengisolasi HTL-III (Human T Lymphotropic
Virus) yang juga adalah penyebab AIDS (Siregar, 2004). Pada penelitian
lebih lanjut kedua virus ini sama, sehingga atas kesepakatan International
Committee on Taxonomy of Viruses tahun 1986 WHO memberikan nama
resmi HIV (Ramadhan, 2012).
Human immunodeficiency virus termasuk dalam genus retrovirus
dan tergolong ke dalam famili lentivirus. Infeksi dari famili ini khas
ditandai dengan sifat latennya yang lama, masa inkubasi yang lama,
replikasi virus yang persisten dan keterlibatan dari susunan saraf pusat
(SSP). Ciri khas untuk jenis retrovirus yaitu dikelilingi oleh membran
lipid, mempunyai kemampuan variasi genetik yang tinggi, mempunyai
12
cara yang unik untuk replikasi serta dapat menginfeksi seluruh jenis
vertebrata (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006).
Secara morfologis HIV terdiri atas dua bagian besar yaitu bagian
inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris
tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Bagian terselubung
terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120) (Siregar, 2004).
Gambar 5. Struktur HIV (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006)
Glikoprotein 120 yaitu glikoprotein yang merupakan bagian dari
envelop yang tertutup oleh molekul gula untuk melindungi dari
pengenalan antibodi, yang berfungsi mengenali secara spesifik reseptor
dari permukaan sel target dan secara tidak langsung berhubungan dengan
membran virus lewat membran glikoprotein. Glikoprotein 41 merupakan
transmembran glikoprotein yang berfungsi melakukan trans membran
virus, mempercepat fusion (peleburan) dari host dan membran virus, dan
13
membawa HIV masuk ke sel host (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006).
Struktur HIV dapat di lihat pada gambar 5.
d. Patogenesis HIV/AIDS
HIV secara spesifik mempengaruhi sistem imun, yaitu sel CD4 atau
sel-T. HIV akan terus menyerang sel-sel tubuh yang tidak dapat melawan
infeksi dan penyakit yang menyebabkan AIDS (CDC, 2014). Sel-sel CD4
dan monosit/makrofag memiliki fungsi penting dalam sistem kekebalan
tubuh. Sistem kekebalan tubuh yang lemah inilah yang memungkinkan
perkembangan infeksi dan kanker sampai menyebabkan penderita
meninggal (Douglas dan Pinsky, 2009).
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limfosit Thelper yang mengandung marker CD4 (sel-T). Limfosit-T merupakan
pusat dan sel utama yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam
menginduksi fungsi-fungsi imunologik (Siregar, 2004). HIV akan
mengikat sel-sel tertentu dari sistem imun termasuk monosit, makrofag
dan sel T-limfosit (CD4, sel-T) (Dumond dan Kashuba, 2009).
Partikel-partikel virus HIV akan memulai proses infeksi yang
biasanya terdapat di dalam darah, sperma atau cairan tubuh lainnya. Cara
menular yang paling umum adalah transmisi seksual melalui mukosa
genital, apabila virus ditularkan pada host yang belum terinfeksi, maka
akan terjadi viremia transien dengan kadar yang tinggi, virus menyebar
14
luas dalam tubuh host. Sel yang terinfeksi untuk pertama kalinya
tergantung pada bagian mana yang terlebih dahulu dikenai virus, bisa CD4
dan monosit di dalam darah atau CD4 dan makrofag pada jaringan
mukosa (Suhaimi dkk, 2003).
Virus hanya dapat bereplikasi dengan menggunakan atau
memanfaatkan sel host-nya. Siklus replikasi dari awal virus masuk ke sel
tubuh sampai menyebar ke organ tubuh yang lain melalui 7 tahapan, yaitu
(Ditjen Binfar dan Alkes, 2006) :
1) Sel-sel target mengenali dan mengikat HIV.
a)
HIV berfusi (melebur) dan memasuki sel target.
b)
Gp 41 membran HIV merupakan mediator proses fusi.
c)
RNA virus masuk ke dalam sitoplasma.
d)
Proses dimulai saat Gp 120 HIV berinteraksi dengan CD4 dan
ko-reseptor.
2) RNA HIV mengalami transkripsi terbalik menjadi DNA dengan
bantuan enzim reverse transcriptase.
3) Penetrasi HIV DNA ke dalam membran inti sel target.
4) Integrasi DNA virus ke dalam genom sel target dengan bantuan enzim
integrase.
5) Ekspresi gen-gen virus.
6) Pembentukan partikel-partikel virus pada membran plasma dengan
bantuan enzim protease.
15
7) Virus-virus yang infeksius dilepas dari sel, yang disebut virion.
e. Transmisi HIV/AIDS
Virus HIV mengalir pada cairan darah tertentu, air mani, preseminal fluids, cairan rektal, cairan vagina dan ASI dari penderita yang
terinfeksi HIV. Penularan terjadi jika virus HIV kontak dengan cairan
membran mukosa atau jaringan yang rusak atau bisa langsung disuntikkan
ke dalam aliran darah melalui jarum suntik. Membran mukosa dapat
ditemukan pada rektum, vagina, permukaan penis dan mulut (CDC, 2014).
Biasanya HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual tanpa
kondom baik melalui vagina atau anal dengan seseorang positif HIV, oral
seks tanpa kondom dengan seseorang positif HIV (amfAR, 2014). Risiko
penularan dari seks oral lebih rendah tetapi tetap ada (Spritia, 2009).
Human Immunodeficiency Virus dapat ditularkan melalui darah
yang terinfeksi langsung ke dalam aliran darah secara intravena atau
subkutan melalui injeksi (Douglas dan Pinsky, 2009). Penularan juga bisa
melalui berbagi jarum suntik atau peralatan lainnya yang tidak steril untuk
menggunakan obat-obatan secara injeksi dengan seseorang positif HIV
juga berisiko menularkan HIV, transfusi darah, blood product, atau
transplantasi organ/jaringan berisiko tertular HIV (CDC, 2014), tetapi
risiko infeksi melalui transfusi seharusnya rendah karena sebelum
melakukan transfusi dilakukan screening terlebih dahulu (Spritia, 2009).
16
Bagi petugas kesehatan juga bisa terkena risiko karena jarum atau benda
tajam lainnya yang terkontaminasi dari HIV (CDC, 2014).
Lahir dari ibu yang terinfeksi HIV juga dapat ditularkan dari ibu ke
anak pada saat masa kehamilan, kelahiran, atau menyusui (CDC, 2014).
Penularan dari ibu yang positif HIV ke anak mempunyai risiko penularan
sebesar 50% (Siregar, 2004). Faktor-faktor yang memungkinkan
penularan vertikal berkepanjangan, pecah ketuban, korioamninitis, infeksi
genital selama kehamilan, kelahiran prematur, vaginal delivery, kelahiran
dengan berat kurang dari 2.500 gram, menggunakan narkoba selama
kehamilan, viral load ibu yang tinggi (Anderson dkk, 2008). Wanita yang
sedang hamil atau yang akan hamil jarang melakukan tes HIV/AIDS,
namun di Amerika Serikat penularan dari ibu ke bayi telah turun menjadi
hanya beberapa kasus setiap tahunnya karena sudah mulai rutin untuk
melakukan tes HIV/AIDS dan jika positif akan mendapatkan obat untuk
menekan virus HIV selama masa kehamilan, serta mendapat konseling
untuk tidak menyusui (amfAR, 2014).
Perkembangan HIV dapat ditandai dengan dua hal yaitu (Ditjen
Binfar dan Alkes, 2006) :
1) Jumlah CD4
Kecepatan penurunan CD4 baik jumlah absolut maupun
persentase CD4 telah terbukti sebagai petunjuk perkembangan
penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun secara bertahap selama
17
perjalanan penyakit. Kecepatan penurunannya dari waktu ke waktu
rata-rata
100
sel/tahun.
Jumlah
CD4
lebih
menggambarkan
progresivitas AIDS dibandingkan dengan tingkat viral load, meskipun
nilai prediktif dari viral load akan meningkat seiring dengan lama
infeksi.
2) Viral Load
Kecepatan peningkatan viral load dapat dipakai untuk
memperkirakan perkembangan infeksi HIV. Viral load bukan
merupakan jumlah absolut virus. Viral load meningkat secara bertahap
dari waktu ke waktu. Pada tiga tahun pertama setelah terjadinya
serokonversi (infeksi primer), viral load berubah seolah hanya pada
pasien yang berkembang ke arah AIDS pada masa tersebut. Setelah
masa tersebut, perubahan viral load dapat dideteksi, baik akselerasinya
maupun jumlah absolutnya, baru keduanya dapat dipakai sebagai
penanda progresivitas penyakit.
f. Diagnosis HIV/AIDS
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan
panduan nasional yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan 3
strategi dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi
singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau
dengan Enzyme Linked Sorbent Assay (ELISA), untuk pemeriksaan
18
pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%),
sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes
dengan spesifisitas tinggi (>99%) (Ditjen PP dan PL, 2011).
Metode yang paling umum digunakan adalah ELISA yang mampu
mendeteksi antibodi terhadap HIV. ELISA sangat sensitif (99%) dan
sangat spesifik (>99%) (Anderson dkk, 2008). Metode umum lain yang
digunakan adalah Western Blot. Serum pasien ditempatkan di dalam plate
dilapisi dengan antigen HIV, setelah dicuci antibodi pasien ditambahkan
dan substrat ditambahkan. Jika antibodi HIV yang muncul maka terjadi
perubahan warna, lalu dianalisis dengan spektrofotometer. Tes ELISA
perlu diulang (reactive ELISA), jika kedua tes menunjukkan hasil positif
dilanjutkan tes konfirmasi dengan tes Westren Blot untuk menetapkan
diagnosis akhir HIV. Jika keduanya menunjukkan negatif palsu dikenal
secara klinis sebagai infeksi HIV akut. Hal ini terjadi karena sekalinya
terinfeksi
memerlukan
waktu
satu
sampai
dua
bulan
untuk
mengembangkan antibodi, disebut dengan “periode jendela” (Dumond dan
Kashuba, 2009). Untuk mendiagnosis HIV pada pasien window period
dapat dilakukan dengan pemeriksaan antigen p24 maupun PCR (Ditjen
Binfar dan Alkes, 2006).
19
g. Stadium Klinis HIV/AIDS
Penilaian stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan
setiap kali kunjungan untuk penentuan terapi ARV dengan lebih tepat
waktu. Jika dilihat dari gejala yang terjadi, pembagian stadium klinis
HIV/AIDS dapat dilihat pada tabel II (Ditjen PP dan PL, 2011) :
Tabel II. Stadium Klinis Infeksi HIV untuk Dewasa dan Remaja (Ditjen PP dan
PL, 2011)
Stadium 1 Asimptomatik
1) Tidak ada gejala
2) Tidak ada Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
1) Penurunan berat badan bersifat sedang yang tidak diketahui penyebabnya
(lebih dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
2) Infeksi saluran pernafasan yang berulang (sinusitis, otitis media, faringitis)
3) Herpes zoster
4) Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
5) Ulkus mulut berulang
6) Ruam kulit berupa papel yang gatal (Papular pruritic eruption)
7) Dermatitis seboroik
8) Infeksi jamur pada kuku
Stadium 3 Sakit sedang
1) Penurunan berat badan bersifat berat yang tak diketahui penyebabnya (lebih
dari 10% dari perkiraan berat badan atau berat badan sebelumnya)
2) Diare yang tidak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan
3) Demam menetap yang tak diketahui penyebabnya selama lebih dari 1 bulan
4) Kandidosis pada mulut yang menetap
5) Oral hairy leukoplakia
6) Tuberkulosis paru
7) Infeksi bakterial yang berat (contoh : pneumonia, empiema, meningitis,
piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteraemia, penyakit inflamasi panggul
yang berat)
8) Stomatitis nekrotikans ulserative akut, gingivitis atau periodontitis
9) Anemia yang tak diketahui penyebabnya (Hb <8 g%), netropenia (<0,5 x
109/l), dan/atau trombositopeni kronis (<50 x 109/l)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
1) Sindroma wasting HIV
2) Pneumonia Pneumocystis jiroveci
3) Pneumoni bakterial yang berat berulang
4) Infeksi herpes simpleks kronis ( orolabial, genital, atau anorektal selama lebih
dari satu bulan atau visceral dibagian manapun).
5) Kandidiasis esophageal (kandidiasis trkea, bronkus, paru)
6) Tuberkulosis ekstra paru
7) Sarkoma Kaposi
8) Retinitis Cytomegalovirus (retinitis atau infeksi organ lain, tidak termasuk hati,
20
Lanjutan Tabel II
Stadium 4 Sakit Berat (AIDS)
limpa dan kelenjar getah bening)
9) Tokoplasmosis di sistem saraf pusat
10) Encefalopati HIV
11) Pneumonia Kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis
12) Infeksi mycobacteria non tuberculosis yang menyebar
13) Lekoensefalopati mutlifokal progresif (PML)
14) Cyrptosporidiosis kronis
15) Isosporiasis kronis
16) Mikosis meluas (histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)
17) Septikemi yang berulang (termasuk Salmonella non-tifoid)
18) Limfoma (serebral atau B-cell dan non-Hodgkin)(Gangguan fungsi neurologis
dan tidak sebab lain sering kali membaik dengan terapi ARV)
19) Karsinoma serviks invasif
20) Leismaniasis atipik meluas
21) Neuropati atau kardiomiopati terkait HIV yang simtomati
2. Terapi Antiretroviral
Sebelum memulai pengobatan dengan ARV diperlukan pemahaman
tentang prinsip ARV, manfaat ARV, pengetahuan dasar penggunaan ARV,
dan kapan memulai ARV pada ODHA.
a. Prinsip Terapi Antiretroviral
Tujuan pengobatan ARV adalah sebagai berikut (Ditjen Binfar dan
Alkes, 2006) :
1) Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat.
2) Memulihkan
dan
memelihara
fungsi
imunologis
(stabilisasi/peningkatan sel CD4).
3) Menurunkan komplikasi akibat HIV.
4) Memperbaiki kualitas hidup ODHA.
5) Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus.
21
6) Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan
HIV.
b. Pengetahuan Dasar Penggunaan Antiretroviral
Antiretroviral sampai saat ini merupakan satu-satunya obat yang
memberikan manfaat besar dalam pengobatan ODHA, namun penggunaan
ARV menuntut adherence dan kesinambungan berobat yang melibatkan
peran pasien, dokter atau petugas kesehatan, pendamping dan ketersediaan
obat. Beberapa hal khusus yang harus diperhatikan dalam penggunaan
antiretroviral sebagai berikut (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006) :
1) Replikasi HIV sangat cepat dan terus menerus sejak awal infeksi
sedikitnya terbentuk sepuluh milyar virus setiap hari, namun karena
waktu paruh (half life) virus bebas (virion) sangat singkat, maka
sebagian besar virus akan mati. Walau ada replikasi yang cepat,
sebagian besar pasien merasa tetap sehat tanpa ARV selama kekebalan
tubuhnya masih berfungsi dengan baik.
2) Replikasi yang terus-menerus mengakibatkan kerusakan sistem
kekebalan tubuh semakin berat, sehingga semakin rentan terhadap
infeksi oportunistik (IO), kanker, penyakit saraf, kehilangan berat
badan secara nyata (wasting) dan berakhir dengan kematian.
22
3) Viral load menunjukkan tingginya replikasi HIV sehingga penurunan
CD4
menunjukkan
kerusakan
sistem
kekebalan
tubuh
yang
disebabkan oleh HIV.
4) Nilai viral load menggambarkan progresivitas penyakit dan risiko
kematian. Pemeriksaan secara berkala jumlah CD4 dan viral load (jika
memungkinkan) dapat menentukan progresivitas penyakit dan
mengetahui syarat yang tepat untuk memulai atau mengubah regimen
ARV.
5) Tingkat progresivitas penyakit pada ODHA dapat berbeda-beda.
Keputusan pengobatan harus berdasarkan pertimbangan individual
dengan memperhatikan gejala klinik, hitung limfosit total dan bila
memungkinkan jumlah CD4.
6) Terapi kombinasi ARV dapat menekan replikasi HIV hingga di bawah
tingkat yang tidak dapat dideteksi oleh pemeriksaan yang peka, seperti
PCR. Penekanan virus secara efektif ini mencegah timbulnya virus
yang resisten terhadap obat dan memperlambat progresivitas penyakit.
Jadi tujuan terapi adalah menekan perkembangan virus secara
maksimal.
7) Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV secara terus menerus
adalah memulai pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif.
Semua obat yang dipakai harus dimulai pada saat yang bersamaan
pada pasien yang baru. Pada pasien yang tidak pernah diterapi, tidak
23
boleh menggunakan obat yang memiliki resistensi silang dengan obat
yang pernah dipakai.
8) Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal yang
tepat.
9) Prinsip pemberian ARV diperlakukan sama pada anak maupun
dewasa, walaupun pengobatan pada anak perlu perhatian khusus.
10) Walaupun viral load tidak terdeteksi, ODHA yang mendapat ARV
harus tetap dianggap menular. Mereka harus dikonseling agar
menghindari seks yang tidak aman, atau penggunaan NAPZA suntik
yang dapat menularkan HIV atau patogen menular lain.
11) Menghindari timbulnya resistensi, ARV harus dipakai terus menerus
dengan kepatuhan (adherence) yang sangat tinggi, walaupun sering
dijumpai efek samping ringan.
12) Pemberian ARV harus dipersiapkan secara baik dan matang dan harus
digunakan seumur hidup.
13) Disamping ARV, maka infeksi oportunistik harus pula mendapat
perhatian dan harus diobati.
c. Indikasi Terapi Antireroviral
Pada awal akan memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan
pemeriksaan jumlah CD4 bila tersedia dan penentuan stadium klinis
infeksi HIV, hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita
24
sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum. Panduan indikasi
memulai terapi ARV pada ODHA dapat dilihat pada tabel III.
Tabel III. Saat Memulai Terapi pada ODHA Dewasa (Ditjen PP dan PL, 2011)
Target Populasi
Stadium Klinis
Jumlah sel CD4
Rekomendasi
ODHA dewasa
Stadium klinis 1
> 350 sel/mm3
Belum
mulai
dan 2
terapi.
Monitor
gejala klinis dan
jumlah sel CD4
setiap 6-12 bulan
ODHA dewasa
Stadium klinis 1
< 350 sel/mm3
Mulai terapi
dan 2
Stadium klinis 3 Berapapun jumlah
Mulai terapi
dan 4
sel CD4
Pasien dengan ko- Apapun Stadium Berapapun jumlah
Mulai terapi
infeksi TB
klinis
sel CD4
Pasien dengan ko- Apapun Stadium Berapapun jumlah
Mulai terapi
infeksi HepatitisB klinis
sel CD4
Kronik aktif
Ibu Hamil
Apapun Stadium Berapapun jumlah
Mulai terapi
klinis
sel CD4
Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada
ODHA dewasa (Ditjen PP dan PL, 2011) :
1) Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Apabila tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai
terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis.
2) Tersedia pemeriksaan CD4
Apabila tersedia pemeriksaan CD4, maka rekomendasi
memulai terapi ARV adalah :
a) Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350
sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.
25
b) Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu
hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
d. Penggolongan dan Mekanisme Kerja Obat Antiretroviral
Obat-obat antiretroviral dibagi menjadi beberapa golongan
berdasarkan mekanisme kerjanya. Di Indonesia dikenal tiga golongan
utama antiretroviral yaitu (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006) :
1) Penghambat masuknya virus; enfuvirtid
Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit Gp 41 selubung
glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat.
Satu-satunya obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid.
2) Penghambat reverse transcriptase enzyme
a) Nucleoside Reverse Transcription Inhibitor (NRTI)
NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3
gugus fosfat dan selanjutnya berkompetisi dengan natural
nukleotida menghambat reverse transcription (RT) sehingga
perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI
juga menghentikan pemanjangan DNA.
(1)
analog thymin : zidovudin (ZDV/AZT)dan stavudin
(d4T)
(2)
analog cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)
(3)
analog adenin : didanosine (ddI)
26
(4) analog guanin : abacavir(ABC)
(5)
analog
nukleotida
analog
adenosin
monofosfat:
tenofovir
b)
Non-nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler
tetapi berikatan langsung dengan reseptor pada RT dan tidak
berkompetisi dengan nukleotida natural. Aktivitas antiviral
terhadap HIV-2 tidak kuat. Contohnya nevirapine (NVP) dan
efavirenz (EFV)
3) Penghambat enzim protease (PI) ; ritonavir (RTV)
Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim
protease
yang
mengkatalisa
pembentukan
protein
yang
dibutuhkan untuk proses akhir pematangan virus. Akibatnya
virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi
sel lain. PI adalah ARV yang potensial. Contohnya saquinavir
(SQV), indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV).
e. Regimen Lini Pertama Obat Antiretroviral
Penggunaan obat dikatakan rasional jika pasien menerima obat
sesuai dengan kebutuhannya untuk periode waktu yang cukup dengan
harga yang sesuai untuknya dan masyarakat (Ditjen Binfar dan Alkes,
27
2006).
Pemerintah
pengobatan
ARV
menetapkan
berdasarkan
panduan
yang
5
yaitu
aspek
digunakan
dalam
efektivitas,
efek
samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan dan harga obat. Prinsip
dalam pemberian ARV yang akan diresepkan oleh dokter kepada pasien
adalah (Ditjen PP dan PL, 2011) :
1) Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan
berada dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin
efektivitas penggunaan obat.
2) Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan
mendekatkan akses pelayanan ARV.
3) Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan
manajemen logistik yang baik.
Anjuran pemilihan ARV lini pertama dapat dilihat pada tabel IV.
Panduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah :
2NRTI + 1 NNRTI
Tabel IV. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama (Ditjen PP dan PL, 2011)
(Zidovudine + Lamivudine +
ATAU
AZT + 3TC + NVP
Nevirapine)
(Zidovudine + Lamivudine +
ATAU
AZT + 3TC + EFV
Efavirenz)
(Tenofovir + Lamivudine (atau
ATAU
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
Emtricitabine) + Nevirapine)
(Tenofovir + Lamivudine (atau
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
Emtricitabine) + Efavirenz)
28
Prinsip pemilihan obat ARV yang dianjurkan adalah (Ditjen PP
dan PL, 2011) :
1) Pilih lamivudin (3TC) /emtricitabine (FTC) ditambah,
2) Dua golongan dari Nucleoside reverse transciptase inhibitor (NRTI),
zidovudin (AZT).
Berikut adalah paduan lini pertama yang perlu diperhatikan untuk
penderita HIV/AIDS yang belum pernah mendapat terapi ARV :
Tabel V. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang
belum pernah mendapat terapi ARV (treatment-naïve) (Ditjen PP dan PL,2011)
Populasi Target
Pilihan yang
Catatan
direkomendasikan
Dewasa dan anak
AZT atau TDF + 3TC (atau
FTC) + EFV atau NVP
Perempuan hamil
AZT + 3TC + EFV atau
NVP
Ko-infeksi HIV/TB
AZT atau TDF + 3TC
(FTC) + EFV
Ko-infeksi HIV/Hepatitis B
kronik aktif
TDF + 3TC (FTC) + EFV
atau NVP
Merupakan pilihan paduan
yang sesuai untuk sebagian
besar pasien.Gunakan FDC
jika tersedia
Tidak boleh menggunakan
EFV
pada
trimester
pertama.
TDF
bisa
merupakan pilihan
Mulai terapi ARV segera
setelah terapi TB dapat
ditoleransi
(antara
2
minggu hingga 8 minggu).
Gunakan NVP atau triple
NRTI bila EFV tidak dapat
digunakan
Pertimbangkan
pemeriksaan
HBsAg
terutama
bila
TDF
merupakan paduan lini
pertama.
Diperlukan
penggunaan 2 ARV yang
memiliki aktivitas antiHBV
Keterangan:
ARV: antiretroviral
FDC: Fixed-dose Combination (kombinasi obat antiretroviral dengan dosis yang yang
telah ditetapkan).
HBsAg: Hepatitis B Surface Antigen (antigen permukaan virus hepatitis B), merupakan
penanda awal infeksi Hepatitis B
29
f. Penggantian Regimen
Pada kasus gagal terapi, tindakan yang direkomendasikan adalah
mengganti lini pertama dengan lini kedua. Kriteria gagal terapi adalah
menggunakan 3 kriteria, yaitu kriteria klinis, imunologis dan virologis.
Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4 dan viral load maka diagnosis
kegagalan terapi ditentukan dengan gejala klinis. Sebaliknya jika
mempunyai pemeriksaan CD4 dan viral load, maka diagnosis kegagalan
terapi ditegakkan dengan pemeriksaan CD4 dan/atau viral load setelah
pada pemeriksaan fisik menunjukkan gejala klinis yang mengarah pada
kegagalan terapi.
Kriteria kegagalan terapi menurut WHO (Ditjen PP dan PL, 2011) :
1) Kegagalan Klinis
Munculnya infeksi oportunistik dari stadium 4 minimal 6 bulan
terapi ARV. Beberapa penyakit yang termasuk dalam stadium 3 (TB
paru, infeksi bakteri berat) dapat menunjukkan kegagalan terapi.
2) Kegagalan Imunologis
Definisi dari kegagalan imunologis adalah gagal mencapai
dan mempertahankan jumlah CD4 yang cukup, walaupun telah terjadi
penurunan/penekanan jumlah virus. Jumlah CD4 juga dapat digunakan
dalam menentukkan kegagalan terapi.
30
3) Kegagalan Virulogis
Viral load merupakan indikator yang paling sensitif dalam
menentukkan adanya kegagalan terapi. Disebut gagal virulogis jika
viral load lebih dari 5.000 copies/ml dan viral load menjadi terdeteksi
lagi setelah sebelumnya tidak terdeteksi. Kadar viral load yang pasti
belum bisa sebagai batasan untuk mengganti panduan ARV. Jika viral
load >5.000 copies/ml diketahui berhubungan dengan progresi gejala
klinis yang nyata atau turunnya jumlah CD4.
Obat ARV golongan PI tidak dianjurkan untuk terapi lini
pertama, hanya digunakan untuk lini kedua. Penggunaan pada lini
pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami intoleransi terhadap
golongan NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine) (Ditjen PP dan PL,
2011).
Rekomendasi panduan lini kedua (Ditjen PP dan PL, 2011) :
2 NRTI + boosted-PI
Boosted PI adalah satu obat dari golongan Protease inhibitor
yang sudah ditambahi (booster) dengan Ritonavir sehingga obat
tersebut ditulis dengan kode …/r (misal LVP/r = Lopinavir/ritonavir).
Penambahan (booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk
mengurangi dosis dari obat PI-nya karena tanpa ritonavir maka dosis
yang diperlukan akan semakin tinggi. Pilihan terapi ARV lini kedua
dapat dilihat pada tabel VI (Ditjen PP dan PL, 2011).
31
Tabel VI. Pilihan terapi lini kedua (Ditjen PP dan PL, 2011)
Populasi target dan ARV Pilihan
Paduan
ARV
pengganti
yang digunakan
direkomendasikan
Dewasa
(termasuk Bila menggunakan AZT TDF+3TC
perempuan hamil)
sebagai lini pertama
FTC+LVP/r
Bila menggunakan TDF
sebagai lini pertama
yang
atau
AZT+3TC+LVP/r
Ko-infeksi TB/HIV
Mengingat
rifampisin
tidak dapat digunakan
bersama dengan LVP/r
paduan
OAT
tanpa
rifampisin. Jika rifampisin
perlu diberikan maka
pilihan
lain
adalah
menggunakan
LVP/r
dengan
dosis
800mg/200mg dua kali
sehari. Perlu evaluasi
fungsi hati ketat jika
menggunakan rifampisin
dan dosis ganda LVP/r.
Ko-infeksi HIV/HIV
AZT+TDF+3TC
(FTC)+LVP/r
(TDF+(3TC+ atau FTC))
tetap digunakan meski
sudah gagal di lini
pertama
karena
pertimbangan efek antiHBV
dan
untuk
mengurangi risiko “flare”
3. Pemantauan Terapi Antiretroviral
Untuk mendapatkan keberhasilan terapi diperlukan monitoring yang
dilakukan oleh pihak yang berwenang atau pihak yang berhubungan dengan
ODHA lainnya. Upaya monitoring terdiri atas (Nursalam dan Kurniawati,
2007) :
1) Monitoring berkala. Monitoring ini terbagi menjadi tiga jenis yaitu :
32
1) Monitoring kepatuhan (adherence) yang harus didiskusikan pada
setiap kunjungan.
2) Monitoring efek samping ARV, yang terdiri atas pertanyaan langsung,
pemeriksaan klinis dan tes laboratorium
3) Monitoring keberhasilan ARV. Monitoring ini berupa indikator klinis,
misalnya berat badan yang meningkat, jumlah CD4 dan viral load.
Tabel VII. Pemantauan Klinis dan Laboratoris yang dianjurkan selama Pemberian
Paduan ARV Lini Pertama (Ditjen PP & PL, 2011)
Jika
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Setiap
diperlukan
Evaluasi
ke 2
ke 4
ke 8
ke 12
ke 24
6 bulan (tergantung
gejala)
Klinis
Evaluasi






Klinis
Berat Badan






Penggunaan






obat lain
Cek
Kepatuhan






(adherence)
Laboratorium
Tes antibodi
HIV [a]
CD4


HB [b]




Tes
Kehamilan

[c][d]
VDLR/RPR

SGPT






Kreatinin [e]


Viral load

(RNA) [f]
Keterangan :
[a] Hasil tes HIV(+) yang tercatat (meskipun sudah lama) sudah cukup untuk dasar memulai
terapi ARV. Bila tidak ada dokumen tertulis, dianjurkan untuk dilakukan tes HIV sebelum
memulai terapi ARV.
33
[b] Bagi pasien yang mendapat AZT : perlu diperiksa kadar hemoglobin sebelum terapi AZT
dan pada minggu ke 4, 8 dan 12.Bila diperlukan (misal ada tanda dan gejala anemia atau ada
obat lain yang bisa menyebabkan anemia).
[c] Lakukan tes kehamilan sebelum memberikan EFV pada ODHA perempuan usia subur. Bila
hasil tes positif dan kehamilan pada trimester pertama maka jangan diberi EFV.
[d] Bila hasil tes kehamilan positif pada perempuan yang sudah terlanjur mendapatkan EFV
maka segera ganti dengan paduan yang tidak mengandung EFV.
[e] Pasien yang mendapat TDF, perlu pemeriksaan kreatinin serum pada awal dan setiap 3
bulan pada tahun pertama kemudian jika stabil dapat dilakukan setiap 6 bulan.
[f] Pengukuran viral load (HIV RNA) tidak dianjurkan sebagai dasar pengambilan keputusan
untuk memulai terapi ARV atau sebagai alat pemantau respon pengobatan pada saat tersebut.
Dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis dini adanya kegagalan terapi atau menilai adanya
ketidaksesuaian antara hasil CD4 dan keadaan klinis dari pasien yang diduga mengalami
kegagalan terapi ARV.
2) Monitoring Klinis
Monitoring klinis dilakukan agar didapatkan riwayat penyakit
yang jelas dan dilakukan pemeriksaan klinis yang teratur. Berikut adalah
kegiatan yang dilakukan setiap kali dilakukan pemeriksaan klinis ;
1) Follow up pertama setelah satu atau dua minggu. Lebih awal jika
terjadi efek samping.
2) Kunjungan bulanan sesudahnya atau lebih jika diperlukan.
4. Respon Terapi Antiretroviral
Pengobatan ARV terbukti mempunyai peran yang bermakna dalam
pencegahan penularan HIV, karena obat ARV memiliki mekanisme kerja
mencegah replikasi virus yang secara bertahap menurunkan jumlah virus
dalam darah (Ditjen PP dan PL, 2011). Jika ingin mendapatkan keberhasilan
terapi ARV harus diikuti dengan monitoring terapi. Monitoring terapi
dilakukan secara periodik setelah mulai pemberian terapi ARV. Monitoring
34
terapi yang dilakukan meliputi monitoring kepatuhan, efek samping dan
keberhasilan terapi (Ditjen Binfar dan Alkes, 2006).
Monitoring keberhasilan terapi dilakukan untuk melihat apakah
regimen obat antiretroviral yang diberikan memberikan respon pada
penekanan jumlah virus dan dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh. Jika
regimen yang dipilih tidak memberikan respon pada penekanan jumlah virus
perlu dipertimbangkan untuk mengganti dengan regimen lain (Ditjen Binfar
dan Alkes, 2006). Terapi dengan regimen yang efektif akan menghasilkan 3
kali lipat dan 10 kali lipat penurunan jumlah viral load dalam minggu ke 4
dan 8 (Dumond dan Kashuba, 2009).
5. Penanda Perkembangan Penyakit HIV/AIDS
a. Penanda Klinis
Petanda klinis bisa dijadikan sebagai perkembangan penyakit AIDS
antara lain kandidiasis oral, demam yang terus menerus, diare tanpa sebab
dan penurunan berat badan. Petanda klinis lainnya yaitu hairy leucoplakia
dan herpes zoster (Carey, 1998).
b. Penanda Laboratoris
Penanda laboratorium dari perkembangan penyakit dapat berupa
penanda immunologis dan virulogis. Penanda laboratorium seharusnya
35
tidak satu-satunya digunakan dalam pengambilan keputusan klinis,
demikian juga tidak menggunakan hasil single test.
1) Penanda Imunologis
a) Jumlah limfosit CD4
Reseptor CD4 pada limfosit CD4 adalah salah satu target
utama invasi dari HIV. Tingkat sel CD4 yang menurun
disebabkan karena kerusakan sel oleh virus. Jumlah CD4 biasanya
diukur dengan penurunan CD4 (sel/mm3). Jumlah CD4 bisa
tergantung pada variasi diurnal, pengaruh infeksi dan perbedaan
laboratorium. Persentase dari sel CD4 pada total limfosit
terkadang digunakan. CD4 juga berkurang jika perkembangan
penyakit semakin berkembang. Nilai CD4 juga menggambarkan
perkembangan penyakit (Carey, 1998).
b) Rasio CD4:CD8
Pada infeksi HIV, nilai CD4 turun, jumlah sel CD8
meningkat yang menyebabkan penurunan rasio karena
penyakit yang berkembang.
c) Serum β2 mikroglobin
Protein ini banyak terdapat pada permukaan sel
termasuk sel limfosit T dan B. Peningkatan konsentrasi serum
36
akan diproduksi sebagai pengaktifan sistem imun. Meningkat
pada infeksi HIV dan meningakat pula karena perkembangan
penyakit. Pada level kurang dari 3 mg/L mempunyai risiko
progresi yang rendah (Carey, 1998).
d) Serum neopterin
Neopterin diproduksi oleh monosit dan makrofag dan
juga merupakan ukuran aktifasi imun. Jumlahnya akan
meningkat pada infeksi HIV dan dipengaruhi oleh infeksi
penyerta (Carey, 1998).
e) Lain-lain
Reseptor imunoglobulin A (IgA) dan interleukin-2
meningkat sebagai hasil stimulasi dari sistem imun, namun,
kedua ini jarang digunakan karena memiliki hasil yang kurang
prediktif (Carey, 1998).
c. Penanda Virologis
1) Serum HIV p24 Antigen
Serum ini dulu digunakan sebagai korelasi dengan viral
load. Pasien dengan p24 antigen postif lebih mungkin mengalami
37
perkembangan infeksi dibandingkan dengan yang negatif, namun
sudah tidak digunakan karena tidak prediktif (Carey, 1998).
2) Plasma RNA HIV dengan PCR
Mengukur jumlah RNA HIV fragmen sehingga bisa
menunjukkan besarnya replikasi virus. Unit satuan pengukuran
RNA adalah copies/ ml plasma (Carey, 1998).
F. Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien
HIV/AIDS, gambaran regimen terapi antiretroviral dan seberapa besar respon
terapi berdasarkan penanda klinis dan imunologis pada pasien HIV/AIDS di RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta.
Download