Bapak itu kelihatan tergeragap. Sejenak tereenung, diam, lalu menjawab : IILho itu kan urusan saya! Anda kalau menjadijurijangan terlau idealis, bla, bla, bla ... " IIJangan begitu, pak. Ini penting Iho. Dalam sebuah pertandingan, lomba, kompetisi, kalah-menang itu hal yang wajar. Atau jangan-jangan bapak yang tidak siap mental ketika anak Anda tidak menang. Sementara sebagai juri, saya mewajibkan diri punya visi yangjelas." Saya berusaha keras ngomong hal itu dengan tersenyum karena dialog terasa begitu panas. Akhirnya saya juga segera tinggalkan bapak-ibu itu untuk menghindari situasi perbineangan yang emosional, kurang sehat, dan berpotensi tidak produktif. *** PENGALAMAN serupa ternyata dialami oleh teman-teman seniman atau pekerja seni rupa di banyak kawasan. Tidak hanya di Yogyakarta, namun juga di kota-kota lain. Seorang pekerja seni di Padang, Sumatera Barat-yang berlatar pendidikan formal seni rupa dan telah bergelut dengan dunia seni rupa bertahun-tahun-bahkan hampir beradu fisik dengan seorang tentara yang anaknya ikut lomba lukis anak dan tidak menang. Sang teman, pekerja seni itu, berusaha membela independensi dan keputusannya sebagai juri sesuai dengan otoritas keilmuan dan pengalamannya, bukan tunduk pada praktik kuasa di luar soal yang tidak relevan dengan seni (rupa anak). Banyak sahabat yang telah bertahun-tahun IIberdarah-darah" dalam dunia seni rupa dan berkesempatan menjadi juri lomba lukis, baik di Balikpapan, Makassar, Medan, Surabaya, Jakarta, dan berbagai kota lain, mengalami hal yang kurang lebih sama. Ada IIkonflik" yang dipieu oleh hasil sebuah penjurian. Realitas ini memuneulkan pertanyaan mendasar: adakah hal yang tidak beres dalam praktik penyelenggaraan lomba lukis anak di Indonesia? lomba lukis telah ditempatkan sebagai ajang pembuktian bagi keberhasilan orang tua yang telah memasukan anak-anaknya ke sanggar seni rupa. Kalau kalah, IIApa gunanya masuk sanggar? Gagal dong," begitu kira-kira asumsi yang mulai berselimut di pikiran sebagian orang tua. Dan tentu saja sikap orang tua yang mulai menanamkan IImentalmau-menang-saja", bukan mental siap kalah pada anak-anaknya yang membawa virus patologis yang negatif bagi anak-anak untuk menikmati masa kanak-kanaknya ketika mengel uti dunia seni rupa. Sikap lIindustrial" pada sebagian orang tua itu juga bisa dilihat ketika pada suatu hari Minggu, seorang anak bisa diikutkan pada 2 bahkan 3 lomba lukis sekaligus oleh orang tuanya. Pengalaman ini terjadi di beberapa kota. Ini, saya kira, sudah tidak logis bagi pengembangan mental dan kreativitas seorang anak. Masih bertalian erat dengan dua hal tersebut, poin ketiga, peran dan sepak terjangjuri lomba lukis menemui persoalan ketika otoritas dan independensinya terganggu karena hanya menjadi sekrup keeil dalam ritus industrial yang tanpa visi humanis. Pad~ satu sisi, juri yang sebenarnya memiliki kemampuan dan otoritas di bidangnya tak jarang seperti dipaksa untuk menjadi legitimator bagi kepentingan lomba yang industrial tersebut. Pada sisi lain, terkadang peran juri ditempatkan sebagai IIpelengkap penderita" saja, sehingga tak perlu ada kualifikasi yang memadai untuk posisi tersebut. Maka, bisa saja-misalnya-seorang wartawan desk kriminal tiba-tiba menjadi seorang juri lomba lukis anak hanya karena ada tuntutan representasi pelengkap dari institusi pers. Atau seorang manajer sebuah hypermarket yang kurang paham dunia seni rupa atau psikologi anak IIdipaksa" menjadi juri hanya karena mewakili lembaga sponsor dari perhelatan lomba lukis tersebut. Kehadiran juri-juri seperti inilah-karena keterbatasannya-yang berpotensi menutup ruang eksplorasi dan peluang bermainmain bagi kreativitas anak-anak yang sedang membuneah. *** Dugaan-dugaan ketidakberesan ini mengemuka dari beberapa kemungkinan dan gejala. Hal yang terasa, pertama, penyelenggaraan perlombaan lukis anak sudah mulai berpola lIindustrial". Dalam pola ini, perhelatan seperti dibuat sebagai mesin yang target utamanya adalah meraup keuntungan finansial sebesar-besarnya bagi penyelenggara, atau bahkan sponsor, dengan meninggalkan visi dan misi yang humanis yang menyentuh kepentingan dan kebutuhan dunia anak-anak. Kompensasi finansial yang diberikan sebagai hadiah untuk para juara hingga jutaan rupiah seeara pelahan telah mengonstruksi eara pandang publik tentang kehadiran dan target dalam keikutsertaan seorang anak dalam sebuah lomba lukis. KILASAN fakta dan pengalaman ihwal dunia lomba lukis anak itu kiranya bisa memberi bekal perenungan bersama . Ini, salah satunya, untuk mengembalikan porsi mendasar pada dunia anak-anak, yakni bermain. Bermain (play) merupakan istilah yang digunakan seeara bebas sehingga arti utamanya mungkin hilang. Namun lB. Brooks dan D.M. Elliot dalam Human Development (1971) memberi penjelasan eukup jernih bahwa bermain merupakan kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Bermain dilakukan seeara suka rela dan tak ada paksaan atau tekanan dari luar atau dari sebuah kewajiban . Dugaan seperti atas, lambat laun bersambut dengan hal kedua, yakni peran sebagian orang tua yang telah bergeser perspektif pandangnya terhadap lomba lukis. Sebuah Masih menurut Brooks dan Elliot, bermain beda dengan bekerja. Bekerja merupakan kegiatan menuju suatu akhir yang dilakukan relatif tanpa harus menimbulkan rasa kesenangan individu, melainkan lebih disebabkan oleh keinginan individu tersebut