perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kedudukan mahar dalam Syariat Islam dan Kompilasi Hukum Islam Islam sangat menentang diskriminasi laki-laki terhadap kaum wanita dan inilah keistimewaan syari’at Islam. Kedudukan kaum wanita pada zaman Jahiliyah sangat nista, sebagai budak yang sangat hina. Mereka diperjual belikan sebagaimana barang dagangan yang murah dan sama sekali tidak dihormati. Mereka berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan yang lain, tak ubahnya barang dagangan, dari satu ahli waris ke ahli waris lainnya. Pada masa itu apabila seorang laki-laki meninggal, maka sanak kerabatnya dapat mewarisi istrinya sebagaimana mereka mewarisi harta kekayaanya. Islam datang untuk menyelamatkan kaum wanita dari kedzaliman dan penindasan tersebut. Islam datang bukan hanya mengembalikan atau menempatkan mereka pada posisi yang terhormat, tetapi juga mengakui kemanusiaan mereka serta hak-hak yang mereka miliki, sebab pengakuan terhadap hak dan kemanusiaan tidak mereka terima pada sistem perundang-undangan buatan manusia (Ahmad Mudjab Mahalli, 2002: 145). Sebelum datang Islam, seluruh umat manusia memandang hina kaum wanita. Jangankan memuliakannya, menganggapnya sebagai manusia saja tidak. Orang-orang Yunani menganggap wanita sebagai sarana kesenangan saja. Orang-orang Romawi memberikan hak atas seorang ayah atau suami menjual anak perempuan atau istrinya. Orang Arab memberikan hak atas seorang anak untuk mewarisi istri ayahnya. Mereka tidak mendapat hak waris dan tidak berhak memiliki harta benda. Hal itu juga terjadi di Persia, Hidia dan negeri-negeri lainnya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kemudian cahaya Islam pun terbit menerangi kegelapan itu dengan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W, memerangi segala bentuk kezaliman dan menjamin setiap hak manusia tanpa terkecuali. Berikut firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisa ayat 19 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Departemen Agama RI, 1989: 119). Salah satu bentuk penghormatan atas wanita, Islam mewajibkan bagi laki-laki untuk membayar sejumlah mahar sebagai bentuk kesungguhan dan kecintaanya kepada calon istrinya. Hal tersebut didukung oleh Baden yang menyatakan : Brideprice (mehr) also predates Islam and is practised in many non-Muslim countries (e.g. in southern Africa). The payment of mehr is an integral part of the Muslim marriage contract. Islam improved the situation prevailing in pre-Islamic Arabia, by requiring the mehr to be paid to the woman rather than her family, although this does not always happen as noted above. In this way, mehr functions as a form of economic security for the woman. Often, part of the mehr is held back to be paid on divorce or death of the husband. (al-Faruqi, 1988.) In some countries, e.g. Mali and Yemen, the level of the mehr is controlled by legislation but this is of doubtful effectiveness, particularly in the case of Mali. (UNICEF, 1989; Wright, 1992.) Gruenbaum (1991) also notes informal community attempts to limit the level of brideprice, in central Sudan (Baden, 1992: 15). Terjemahan bebas: Mahar juga mendahului Islam dan dipraktekkan di banyak negara non-Muslim (misalnya di Afrika bagian selatan). Pembayaran mahar merupakan turunan dari akad nikah menurut Islam. Islam memperbaiki situasi yang berlaku di Arab pra-Islam, dimana ia memberlakukan mahar yang harus dibayar untuk wanita daripada keluarganya, meskipun ini tidak tidak selalu terjadi seperti disebutkan di atas. Dengan cara commit to user ini, fungsi mahar menjadi bentuk keamanan ekonomi bagi wanita. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Seringkali, bagian dari mahar diberlakukan kembali dan harus dibayar pada perceraian atau kematian suami. (al-Faruqi, 1988.) Di beberapa negara, misalnya Mali dan Yaman, tingkat mahar diatur oleh undang-undang tetapi ini adalah diragukan pelaksanaannya, terutama dalam kasus Mali (UNICEF, 1989; Wright, 1992.). Gruenbaum (1991) juga mencatat komunitas informal yang mencoba untuk membatasi tingkat mahar, di Sudan tengah. berbeda dengan pendapat Baden, Anderson mengemukakan pendapat yang lain, ia menyatakan: Marriage payments have tended to decline and eventually to disappear. The reasons why have not been well understood, though anthropologists have offered some conjectures. LambiriDimaki (1985) marks the advent of industrialization as the turning point in the history of dowry in Europe. Terjemahan bebas: Pembayaran mahar cenderung menurun dan akhirnya menghilang. Itu alasan yang belum dipahami dengan baik, meskipun antropolog telah mengajukan beberapa dugaan. Lambiri-Dimaki (1985) menandai munculnya industrialisasi sebagai titik balik dalam sejarah mas kawin di Eropa(Anderson, 2007: 168) Secara umum Mahar dalam Islam diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits. Konsep mahar yang tergambar dalam Al-Qur’an dan Hadits dapat dikatakan cukup jelas. Pada dasarnya Islam mengatur adanya mahar karena mahar merupakan syarat yang diwajibkan di dalam perkawinan. Kewajiban pembayaran mahar diperkuat dengan jumhur ulama bahwa mahar adalah wajib hukumnya dan tidak boleh ada kesepakatan untuk meniadakannya. Dalilnya adalah ada dalam Q.S An-Nisa ayat 4, 23 dan 24 dan diperkuat dengan Hadits Nabi Muhammad S.A.W, “Carilah maskawin walaupun dengan sebuah cincin besi (HR. Bukhari-Muslim dan ijma’ ulama) (Mardani, 2011: 73). Islam mewajibkan mahar bukan tanpa alasan, karena Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita. Rasulullah S.A.W, juga sering mengingatkan dengan sabda-sabdanya agar umat Islam menghargai dan memuliakan kaum wanita. Di to antara commit usersabdanya:“Aku wasiatkan kepada perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kalian untuk berbuat baik kepada para wanita” (HR Muslim: 3729), dan “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling baik terhadap istriku” (HR Tirmidzi, dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam “ash-shahihah”: 285). Untuk itulah, sebelum membahas masalah mahar secara rinci, maka menurut penulis alangkah baiknya jika mengetahui terlebih dahulu kedudukan mahar itu sendiri. Kedudukan mahar dalam syariat islam baik dalam Al-qur’an maupun hadits. Kewajiban membayar mahar dalam AlQur’an terdapat pada surat An-Nisa ayat 4 yang artinya “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (QS. An Nisa’: 4). Sedangkan dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda , “Carilah maskawin walaupun dengan sebuah cincin besi (HR. Bukhari-Muslim dan ijma’ ulama). Meskipun kedudukan mahar atau mas kawin itu sangat penting dalam sebuah pernikahan, namun umumnya para ulama berpendapat bahwa kedudukan mahar bukan sebagai rukun dalam sebuah pernikahan. Bahkan mereka umumnya juga sepakat bahwa kedudukannya juga bukan sebagai syarat sah pernikahan. Artinya, sebuah akad nikah tetap sah meskipun tanpa adanya mahar. Mahar hanyalah salah satu hukum dari hukum-hukum pernikahan. Kalau pun maharnya ada tetapi tidak sempat disebutkan dalam akad nikah, tentu hukumnya juga sah. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 236 yang artinya, “Tidak ada seuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menutur kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orangorang yang berbuat kebajikan (Departemen Agama RI, 1989: 58). Pertimbangan kenapa mahar tidak termasuk rukun nikah adalah karena tujuan asasi dari commit sebuahtopernikahan bukanlah suatu jual-beli. user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Tujuan pernikahan itu adalah melakukan ikatan pernikahan dan juga istimta'. Sehingga mahar hanya salah satu kewajiban suami, sebagaimana juga nafkah, yang tidak perlu disebutkan pada saat akad. Perkawinan menurut peraturan perundang-undangan merupakan ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita. Hal ini berarti bahwa perkawinan sama halnya dengan perikatan (verbintenis). Rifyal Ka’bah menyebut perkawinan merupakan suatu kontrak. Hal ini ditegaskan dalam artikelnya yang berjudul “Permasalahan Perkawinan”, beliau menulis bahwa “perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela yang bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk menjadi suami isteri”. Dalam hal ini perkawinan selalu dipandang sebagai unit keluarga yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dan pembentukan peradaban. Lebih lanjut Rifyal Ka’bah menegaskan bahwa “perkawinan disebut juga pernikahan, dari kata nikah yang berarti akad Lebih lanjut Rifyal Ka’bah menegaskan, bahwa “perkawinan disebut juga pernikahan, dari kata nikah yang berarti ‘aqad (kontrak), tetapi kemudian berarti jima’ (persetubuhan). Di Indonesia kontrak atau perjanjian disebut akad nikah (perjanjian pernikahan atau perkawinan). Sebagai perjanjian atau kontrak, maka pihak-pihak terikat dengan perjanjian atau kontrak, berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia lahir bathin dengan melahirkan anak cucu yang meneruskan cita-cita mereka (Rifyal Ka’bah, 2006 : 13). Selanjutnya menurut pandangan hukum agama pada umumnya seperti yang dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma, perkawinan diartikan sebagai berikut: “Perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing” (Hilman Hadikusuma, 2003 : 10). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pengertian perkawinan menurut agama Islam adalah akad (perikatan) antara wali wanita calon isteri dengan pria calon suaminya.Akad nikah itu harus diucapkan oleh wali si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan diterima (kabul) oleh si calon suami yang dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak demikian maka perkawinan tidak sah, karena bertentangan dengan hadist Nabi Muhammad S.A.W. yang diriwayatkan oleh Ahmad yang menyatakan: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”. Hal senada juga diriwayatkan oleh Daruquthni dari Aisyah, Rasulullah S.A.W. bersabda: “Tidak sah perkawinan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”. Pasal 26 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ditegaskan, sebagai berikut: “Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri”. Dengan demikian, apabila terjadi perkawinan yang dilakukanoleh wali nikah yang tidak sah dan tidak adanya dua orang saksi, maka perkawinan tersebut dapat dimintakan pembatalannya. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, kemudian ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya (Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Berdasarkan ketentuan ini tersimpul suatu penegasan bahwa adanya wali nikah dan hadirnya dua orang saksi dalam perkawinan merupakan perintah undang-undang, pelanggaran to user terhadap ketentuan tersebutcommit berakibat perkawinannya tidak sah. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Mengenai adanya wali nikah ini juga diwajibkan oleh Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan, bahwa “wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untukmenikahkannya”. Sedangkan mengenai diwajibkan hadirnya dua orang saksi telah ditegaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu dalam Pasal 24 yang memuat: (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Dengan demikian, perkawinan menurut agama Islam adalah perikatan antara wali perempuan (calon isteri) dengan calon suami perempuan itu, bukan perikatan antara seorang pria dengan seorang wanita saja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Selanjutnya dalam suatu perkawinan menurut agama Islam, calon suami diwajibkan memberikan sesuatu kepada calon isterinya, baik berupa uang, barang (harta benda) ataupun jasa, yang diserahkan pada waktu ijab dan kabul dilangsungkan. Pemberian ini dinamakan mahar (mas kawin). Allah S.W.T. berfirman dalam Surat Al-Ahzab : 50, yang artinya sebagai berikut: “Hai Nabi, sesungguhnya kami telah halalkan bagimu isteriisterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang (Departemen Agama RI, 1989; 675-676). Menurut ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits, para ulama sepakat bahwa pemberian mahar merupakan sesuatu yang commit to user wajib dan syarat sah perkawinan, tetapi bukan rukun perkawinan, karena perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mahar tidak harus ada pada saat ijab-kabul berlangsung. Kewajiban pemberian mahar dari suami kepada isteri melahirkan pelbagai interpretasi dari mufassir dan fukaha, karena sejumlah nas tentang mahar, baik AlQur’an maupun Hadits, memiliki variasi teks yang berbeda sehingga menimbulkan perbedaan dalam memahami nas yang ada. Di antaranya mengenai jumlah maksimal dan minimal mahar serta status mahar. Pemberian mahar dalam perkawinan tidak dapat dipisahkan dari tradisi perkawinan pinang dalam masyarakat Arab pra-Islam. Pada masa itu, seorang laki-laki yang ingin meminang seorang perempuan harus melalui seorang laki-laki yang menjadi wali atau anak perempuannya sendiri, dan laki-laki yang bersangkutan memberikan mahar kepada wali, kemudian menikahinya. Kenyataan ini berimplikasi pada status kepemilikan mahar yang dianggap sebagaimilik wali, bukan milik isteri (perempuan yang akan dinikahi). Kaitannya dengan jumlah mahar, Al-Qur’an menggunakan istilah yang sangat fleksibel, yaitu ma’ruf. Kata ma’ruf dapat diartikan “sepantasnya”, “sewajarnya” atau “semampunya”. Dalam haditsnya, Nabi Muhammad S.A.W. juga menyebutkan nilai mahar dengan jumlah yang terkadang sangat murah dan terkadang kedengarannya cukup mahal. Maka dalam hal ini harus dapat dipahami secara jelas dan bijaksana sehingga masalah mahar tidak akan menghalangi terlaksananya perkawinan. Pada masa sekarang ini, pelbagai negara Muslim yang melakukan reformasi dalam hukum keluarga telah memasukkan mahar sebagai salah satu obyek masalah yang harus diberikan aturan secara rinci, sehingga apabila di kemudian terjadi problema dalam rumah tangga dan memiliki keterkaitan dengan mahar maka hal ini dapat diselesaikan oleh hakim.Menurut al-Syirazi, salah seorang ulama Mazhab al-Syafi’i, dengan tegas menyebutkan bahwa akad nikah sebagai ’aqd mu’awadhah yang dipahami sebagai akad tukar menukar antara suami isteri. Karena itu, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dengan akad nikah suami dan isteri berhak melakukan tukar menukar dan bukan dalam pengertian berhak untuk memiliki. Sehingga pemahaman yang diambil adalah suami yang telah memberikan mahar kepada isteri bukan berarti telah memiliki isterinya sebagaimana kepemilikannya terhadap suatu barang. Adapun kadar mahar yang wajib berdasarkan Q.S. an-Nisa’ ayat 20 adalah sesuatu yang mempunyai nilai atau berharga. Hanya saja disunatkan tidak melebihi dari mahar yang pernah diberikan suami kepada isteri-isterinya dan mahar anak perempuannya, yakni maksimal 500 dirham. Mahar dapat juga hanyasepotong besi, bahkan dapat juga berupa upah (jasa). Menurut pendapat Ibn Qudâmah dari Mazhab Hanbali, kewajiban pertama dari suami terhadap isteri adalah pemberian mahar. Menurutnya, mahar dengan kadar kepantasan merupakan sesuatu yang wajib dalam perkawinan, tetapi tidak harus ada ketika pelaksanaan akad. Kewajiban suami membayar mahar kalau suami sudah menyentuh isterinya. Sebaliknya, suami belum wajib membayar kalau belum menyentuh isterinya. Dasar hukum mengenai hal itu adalah Hadis Nabi yang menyuruh suami membayar mahar kepada isterinya kalau sudah menyentuh. Dengan demikian, kewajiban membayar mahar bukan pada waktu akad, tetapi setelah terjadi sentuhan/hubungan suami istri (wath’). Perceraian yang terjadi karena fasakh dan terjadi sebelum menyentuh/dukhul tidak mengakibatkan wajibnya suami membayar mahar. Namun apabila terjadi perceraian karena talak dan sebelum dukhul, maka mahar wajib dibayar setengah. Disamping itu, ditegaskan juga oleh Ibn Qudamah bahwa isteri berhak menolak hubungan dengan suami dengan alasan karena suami belum membayar mahar. Imam Malik dalam Kitab al-Muwaththa’ menuliskan beberapa to user Hadits yang berhubungancommit dengan mahar, di antaranya adalah tentang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan dan telah menyentuhnya, meskipun perempuan tersebut mengidap penyakit, maka pembayaran mahar harus dilakukan kepada perempuan tersebut. Selain itu, Imam Malik berpendapat bahwa kalau terjadi perceraian sebelum suami menyentuh isterinya, dan isterinya tersebut masih berstatus gadis, maka ia berhak mendapat setengah dari mahar yang diperjanjikan. Pandangan ini, menurut Imam Malik, sejalan dengan ketentuan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 237 ditambah dengan sejumlah riwayat yang secara prinsip menegaskan bahwa kalau suami sudah menyentuh isterinya menjadikannya wajib membayar mahar. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mahar adalah kewajiban tambahan dalam akad nikah dan statusnya sama dengan nafkah. Namun mahar tidak harus ada pada saat akad nikah dengan pengertianbahwa tanpa mahar, akad nikah adalah sah. Dasar hukum kewajiban membayar mahar adalah berdasarkan Q.s. an-Nisa’[4]: 24 (Qodariah Barkah, 2014: 279280). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id B. Sinkronisasi mahar antara Syariat Islam dengan Kompilasi Hukum Islam Dari apa yang telah dijelaskan sebelumnya, maka jika keduanya diselaraskan maka dapat diketahui adanya persamaan antara konsep Mahar menurut Syariat Islam dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut penulis sudah seharusnya jika Syariat Islam selaras dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ibarat kedudukan Undang-Undang Dasar dengan Undang-Undang, peraturan vertikal maupun horizontal harus selaras, tanpa adanya tumpang tindih satu sama lain. Bagaimanapun juga Syariat Islam merupakan aturan dasar yang paling fundamental sehingga jika ada aturan baru yang berlaku seperti Undang-Undang maka aturan tersebut bukan untuk menentang atau menyalahi apa yang sudah diatur dalam Syariat Islam, sebaliknya aturan tersebut harus mendukung kebenaran dari Syariat Islam yang telah ditetapkan. Hal ini merupakan tugas bagi setiap ulama maupun pembentuk aturan yang berpedoman pada Syariat Islam agar lebih fleksibel dalam membuat suatu aturan sesuai dengan perkembangan zaman tanpa menyalahi isi yang terkandung dalam Syariat Islam itu sendiri. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya : ”Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. Hal ini menjadi tugas para ulama atau para pembaharu hukum Islam agar membuat aturan yang sesuai dengan perkembangan zaman tetapi harus sesuai dengan Syariat Islam tanpa mengurangi dan menambahkan makna dari Syariat Islam itu sendiri. Terkadang pandangan manusia mengenai Syariat Islam berbeda-beda satu sama lain, ada yang menganggap hal tersebut tidak adil, tidak mengikuti perkembangan zaman, tidak masuk akal dan sebagainya. Namun eksistensi commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dari Syariat Islam tersebut tetap harus dipertahankan karena hanya dengan begitulah kesempurnaan dan kemurnian dari Syariat Islam dapat terjaga. Walaupun kedudukan mahar dalam Syariat Islam dan Kompilasi Hukum Islam menemukan keselarasan, untuk menghindari mahar yang tidak dibayarkan, alangkah baiknya jika dilakukan pembaharuan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Karena sejak ditetapkakannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tahun 1991 sampai sekarang kurang lebih 15 tahun lamanya tidak ada pembaharuan sama sekali. Pembaharuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) perlu dilakukan pada masa sekarang ini karena mengingat perkembangan zaman yang begitu pesat serta pemikiran-pemikiran manusia yang mulai berkembang. Menurut Suparman Utsman dalam bukunya, meskipun Kompilasi `Hukum Islam (KHI) telah dijadikan pedoman oleh para hakim di lingkungan peradilan agama untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hukum Islam bagi umat Islam di Indonesia, bukan berarti Kompilasi Hukum Islam (KHI) sudah sempurna dan tidak membutuhkan penyempurnaan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) layaknya fiqh yang sangat mungkin berubah karena berbagai pertimbangan kebutuhan baik tempat ataupun waktu. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) masih banyak kekurangan yang memerlukan penyempurnaan, bahkan Yahya Harahap salah seorang pakar hukum Indonesia yang terlibat langsung dalam perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut mengemukakan: Jangan mimpi seolah-olah Kompilasi Hukum Islam (KHI) sudah final dan sempurna. Jangan tergoda oleh bayang-bayang kepalsuan untuk menganggap Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai karya sejarah yang monumental dan agung. Keliru sekali impian dan khayalan yang seperti itu, yang benar, terima dan sadarilah Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan. commit to user Pengkaji perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id danperumusnya adalah manusia biasa dengan segala sifat ‘epemiral’ yangmelekat pada diri mereka. Oleh karena yang membuatnya terdiri dari manusia-manusia yang bersifat epemiral, sudah pasti Kompilasi Hukum Islam (KHI) banyak sekali mengandung kelemahan dan ketidaksempurnaan. Saya sendiri sebagai salah seorang yang ikut langsung terlibat dalam panitia Kompilasi Hukum Islam (KHI) mulai dari langkah pertama sampai akhir pembicaraan, tetap berpendapat dan menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam (KHI) baru merupakan langkah awal, Kompilasi Hukum Islam (KHI) belum final dan belum sempurna. Paling-paling dia merupakan warisan generasi sekarang untuk ditinggalkan dan disempurnakan dalam bentuk formil dan substansi materiilnya oleh angkatan selanjutnya. Kompilasi Hukum Islam (KHI) baru merupakanusaha awal dari penertiban segala macam kekacauan dan ketidakpastian, ikhtilaf yang tak berujung pangkal dalam sejarah Peradilan Agama masa silam (Suparman Usman, 2001: 151). Namun patut disayangkan, dalam bagian penjelasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), disebutkan bahwa yang menjadi dasar materi Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah Pancasila, UUD 1945, UU No. 14 Tahun 1970, UU No. 14 Tahun 1985, UU No.1 Tahun 1974 dan PP No. 28 Tahun 1989. Meski dalam penjelasan Kompilasi Hukum Islam yang menjadi Dasar materi bukan Al-Qur’an dan Sunnah. Namun tidak mengurangi kesakralan Kompilasi Hukum Islam (KHI), karena mereka mungkin sudah tahu meskipun secara formal menjadi dasar materi Kompilasi Hukum Islam (KHI) berupa sederetan peraturan perundangundangan, namun secara empirisnistoris yang menjadi dasar Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah kitab-kitab kuning (fiqh) yang mu’tabar. Maka disini antara Hukum Islam dan Negara mempunyai mempunyai peran masing-masing. Negara sebagai pengayom etnis, ras, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id golongan, bahkan agama. Dalam membuat kebijakan juga harus memberi rasa aman dan nyaman bagi semua elemen tersebut. Sedangkan Hukum Islam yang wajib dilaksanakan oleh semu umat Islam, agar tetap eksis dan mendapat tempat secara nasional harus mampu menyesuaikan diri tanpa kehilangan roh syari’atnya meski harus melalui proses reduksionis oleh negara (Narulloh Ali Munif 2014: 214-215). Berikut usaha-usaha yang ditempuh untuk menyusun Kompilasi Hukum Islam: a. Pengkajian kitab-kitab Fiqih, b. Wawancara dengan para ulama, c. Yurisprudensi Pengadilan Agama, d. Studi perbandingan hukum dengan negara lain, e. Lokakarya/seminar materi hukum untuk Pengadilan Agama. Yang menjadi bidang garapan usaha ini ialah bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan, wakaf, hibah, sadaqah (sedekah), baitul mal, dan lain-lain yang menjadi kompetensi Pengadilan Agama secara teknis, langkah-langkah yang ditempuh pada pointers a,b,c,d, dan e tersebut adalah sebagai berikut. a. Pengkajian Kitab-Kitab Fiqh Ada 38 buah kitab fiqhyang dikaji oleh tujuh IAIN yang ditunjuk untuk mengkaji dan diminta pendapatnya, beserta argumentasi dan dalil-dalil hukumnya. Adapun rincian pelaksanaan pengkajian oleh masing-masing IAIN adalah sebagai berikut. 1) IAIN Arraniri Banda Aceh: (a) Al-Bajuri (b) Fath al-Mu’in (c) Syarqawi ‘ala al-Tahrir (d) Mugni al-Muhtaj (e) Nihayah al-Muhtaj (f) Al-Syarqawy commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta: (a) I’anat al-Talibin (b) Tuhfah (c) Targi al-Musytaq (d) Bulghah al-Salik (e) Syamsuri fi al-Faraid (f) Al-Mudawanah 3) IAIN Antasari Banjarmasin: (a) Qalyubi / Mahalli (b) Fat al-Wahab dan Syarahnya (c) Bidayah al-Mujtahid (d) Al-Umm (e) Bughyah al-Mustarsyidin (f) Al-‘Aqidah wa al-Syari’ah 4) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: (a) Al-Muhalla (b) Al-Wajiz (c) Fath Al-Qadir (d) Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-‘araba’ah (e) Fiqh al-Sunnah 5) IAIN Sunan Ampel Surabaya: (a) Kasyf al-Gina (b) Majmu’at Fatawa al-Kubra li Ibn Taimiyah (c) Qawanin al-Syari’ah li al-Sayyid ‘Usman Ibn Yahya (d) Al-Mugni (e) Al-Hidayah Syarh al-Bidayah 6) IAIN Alauddin Ujungpandang: (a) Qawanin al-Syari’ah li al-Sayyid Sadaqah Dahlan (b) Nawan al-Jalil (c) Syarah Ibn ‘Abidin commit to user (d) Al-Muwatta’ perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (e) Hasyiyah al-Dasuqi 7) IAIN Imam Bonjol Padang: (a) Badai’ al-Sanai’ (b) Tabyin al-Haqaiq (c) Al-Fatawa al-Hindiyah (d) Fath al-Qadir (e) Al-Nihayah Selain dari pengkajian kitab-kitab tersebut untuk kepentingan perbendaraan khazanah hukum kontemporer, diacu juga hasil-hasil fatwa yang berkembang di Indonesia, baik oleh lembaga fatwa seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), maupun oleh lembaga keagamaan seperti Nahdatul Ulama (NU), Majlis Tarjih Muhammadiyah, dan lain-lain. b. Wawancara Wawancara dilakukan dengan para ulama di seluruh Indonesia yang diambil dari 10 Wilayah, yaitu Banda Aceh, Medan, Palembang, Padang, Jawa Tengah, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Ujung Pandang, Mataram, dan Banjarmasin. Seleksi dilakukan Panitia Pusat bekerjasama dengan Ketua Pengadilan Tinggi Agama setempat, dengan berdasar: (1) Semua unsur organisasi Islam yang ada diikutsertakan sebagai komponen, (2) tokoh ulama yang berpengaruh di luar unsur organisasi yang ada dan diutamakan ulama yang mengasuh lembaga pesantren. Teknik pelaksanaan wawancara ditempuh dengan cara mempersiapkan pertanyaan yang disusun secara sistematis. Pertimbangan penyusunan pertanyaan didasarkan pada pengamatan dan pengamalan praktis tanpa melupakan perkembangan dan perubahan nilai yang sedang tumbuh dalam kesadaran hukum commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id masyarakat. Pertanyaan sengaja dibuat indeksikal. Di sini pewawancara terlibat aktif. Menurut Hasan Basri, Ketua Umum MUI pada waktu itu, dari wawancara ini diharapkan hasilnya yang kelak akan menjadi bahan penyusunan Kompilasi bersifat aspiratif dan tidak ada unsur menghimpun dan mengumpulkan fiqh yang hidup ditengah-tengah masyarakat yang selama ini telah banyak diamalkan oleh umat Islam dengan meninggalkan pendapat yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman. c. Yurisprudensi Jalur penelitian yurisprudensi dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Terhadap Putusan Pengadilan Agama yang telah dihimpun dalam 15 buku, yaitu: 1. Himpunan putusan PA/PTA 3 buku, terbit tahun 1976/1977, 1977/1978, 1978/1979, dan 1980/1981. 2. Himpunan fatwa 3 buku, terbit tahun 1978/1979, 1979/1980, dan 1980/1981. 3. Yurisprudensi PA 5 buku, terbit tahun 1977/1978, 1978/1979, 1979/1890, 1981/1982, 1982/1983, dan 1983/1984. 4. Law Report 4 buku, terbit tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982, dan 1983/1984. d. Studi Perbandingan Jalur ini dilaksanakan dengan mengunjungi negara-negara Muslim. Antara lain Mesir, Turki,, dan pakistan. Studi banding tersebut di Timur Tengah berlangsung tanggal 28 Oktober – 4 Nopember 1986 oleh H. Masrani Basran, S.H. dan H. Muchtar commit to user Zarkasyi, S.H. meliputi (1) Sistem Peradilan, (2) Masuknya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id syari’ah law dalam hukum nasional, dan (3) Sumber hukum dan hukum materiil, terutama al-ahwal al-syakhsiyah. e. Seminar dan Lokakarya Jalur ini tidak saja diadakan oleh panitia resmi Proyek Penyusunan kompilasi, tetapi sebelum pada akhirnya disepakati Kompilasi, beberapa organisasi Islam mengadakan seminar. Diantaranya Majlis Tarjih Muhammadiyah tanggal 8-9 April 1986 di Kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dihadiri Menteri Agama dan Ketua MUI, Hasan Basri. Nahdatul Ulama Jawa Timur mengadakan bahsul masail tiga kali di pondok pesantren Tambak Beras, Lumajang, dan Sidoarjo. Puncak dari kegiatan perumusan Kompilasi adalah diadakannya Lokakarya Nasional yang bertujuan menyempurnakan kerja tim. Selain itu, secara metodologis lokakarya nasional dimaksud sebagai majlis/forum untuk menggalang konsensus / ijma’ ulama, ahli-ahli hukum, baik Hukum Islam maupun hukum umum di Indonesia. Lokakarya berlangsung lima hari, yaitu pada tanggal 2-6 Pebruari 1988 di hotel Kartika Candra, diikuti 124 peserta dari seluruh Indonesia. Dalam lokakarya ditunjuk tiga komisi, I membidangi Hukum Perkawinan, ketuanya M. Yahya Harahap dan sekretarisnya H. Mafruddin Kosasih. Komisi II membidangi Hukum Warisan diketuai H.A. Wasit Aulawi, MA. Komisi III membidangi Hukum perwakafan, ketuanya H. Masrani Basran. (Sahal Mahfudh 2001: 89-93). Kompilasi Hukum Islam (KHI), menurut Amir Syarifuddin adalahpuncak pemikiran fiqh Indonesia. karena proses perumusan kompilasi yang panjang dan puncak perumusan kompilasi ini commit to user adalah diadakannya lokakarya nasional yang diikuti oleh ulama- perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ulama fiqh dari organisasi-organisasi Islam, ulama fiqh dari perguruan tinggi, masyarakat umum, dan diperkirakan semua lapisan ulama ikut dalam pembahasan, sehingga menurut beliau patut dikatakan lokakarya tersebut merupakan konsensus (ijma’) ulama Indonesia (Ahmad Rofiq, 2001: 77). Menurut Ahmad Rofiq karena merupakan sebuah ijma’, maka sudah sepatutnya hasil dari ijma’ tersebut dijadikan pedoman bagi kaum muslimin Indonesia dalam menyelesaikan persoalan hukum yang secara materiil diatur dalam kompilasi tersebut, karena apabila mengacu pada Al-Quran surat An-Nisaa’ ayat 59 yang artinya: “Wahai orang orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah rasulnya, dan ulil amri di antara kamu”, Abu al Hasan al Mawardy juga menambahkan bahwa kesimpulan dari ayat tersebut adalah wajib bagi kita mentaati (keputusan) pemerintah, yaitu para pemimpin yang memerintah kita. Sepanjang yang menjadi keputusan pemerintah itu membawa manfaat dan nilai-nilai positif (Ahmad Rofiq, 2001: 78). Berikut merupakan macam-macam mahar: Mahar menurut Kompilasi Hukum Islam adalah: pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam (Pasal 1 huruf d). Dasar hukum kewajiban mahar adalah Q.S An-Nisa’: 4 yang artinya: berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian juga mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. Macam barang yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dijadikan mahar, wujud dari sesuatu yang dapat dijadikan mahar dapat berupa: 1. Barang berharga, baik berupa barang bergerak maupun tetap; 2. Pekerjaan yang dilakukan oleh suami untuk istri; 3. Manfaat yang dapat dinilai dengan uang Menurut Hanafi, mahar tidak boleh usaha dan urusan bermanfaat untuk dijadikan mahar, karena hadits yang menetapkan sekurang-kurangnya mahar ialah 10 dirham, meskipun hadits itu dlaif, tetapi ada hadits lain tang menguatkannya. Namun berdasarkan hadits itu berikut ini tampak bahwa usaha dan urusan yang bermanfaat boleh dijadikan mahar. Berkata Nabi Muhammad S.A.W. kepada seorang laki-laki yang tidak mempunyai sesuatu untuk maskawin, katanya: “Adakah engkau menghafal sesuatu dari Qur’an?” Jawab laki-laki: “Ada surat itu, surat itu”, berapa surat yang disebutkan namanya. Berkata Nabi SAW.: Aku kawinkan engkau kepada perempuan ini dengan maskawin berapa ayat dari Al-Qur’an yang engkau hafal. (HR. Bukhari-Muslim). Jenis-jenis mahar, para ahli Hukum Islam membagi mahar dalam dua jenis, yakni: a. Mahar yang disebutkan (mahr al-musamma) b. Mahar Mitsil (mahr al-mithl) Mahar yang disebutkan adalah mahar yang ditetapkan sebelum akad nikah, yang disebutkan ketika akan perkawinan. tomahar user yang patut atau layak atau yang Mahar mitsil adalahcommit sesuatu perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id berpadan dengan kedudukan si istri, jadi jumlahnya tidak ditetapkan. Menurut Sayid Sabiq, mahar mitsil adalah mahar yang seharusnya diberikan kepada perempuan, sama dengan perempuan lain, dalam hal umurnya, kecantikannya, hartanya, akalnya, agamanya, kegadisannya, kejandaanya serta negeri yang sama ketika akad nikah dilangsungkan. Tujuan dan hikmah mahar, merupakan jalan yang menjadikan istri berhati senang dan ridha menerima kekuasaan saminya kepada dirinya. 1. Untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan cinta mencintai. 2. Sebagai usaha memerhatikan dan menghargai kedudukan wanita, yaitu memberikan hak untuk memegang urusannya. Hukum Islam tidak menetapkan jumlah mahar, tetapi didasarkan kepada kemampuan masing-masing orang atau berdasarkan pada keadaan dan tradisi keluarga. Dengan ketentuan bahwa jumlah mahar merupakan kesepakatan kedua belah pihak yang akan melakukan akad nikah. Dalam syariat Islam hanya ditetapkan bahwa maskawin harus berbentuk dan bermanfaat, tanpa melihat jumlahnya. Walau tidak ada batas minimal dan maksimal namun hendaknya berdasarkan kesanggupan dan kemampuan suami. Islam tidak menyukai mahar yang berlebihan, sebagaimana sabda Nabi SAW. “Sesungguhnya perkawinan yang besar berkahnya adalah yang paling murah maharnya”. Dan sabdanya pula: “Perempuan yang baik adalah yang murah maharnya, memudahkan dalam urusan perkawinannya dan baik akhlaknya. Sedangkan perempuan yang celaka yaitu maharnya mahal, sulit perkawinannya dan buruk akhlaknya.” Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dirumuskan masalah mahar sebagai berikut: commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id a. Pasal 30: Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. b. Pasal 31: Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Sesudah perkawinan suami dapat mengurangi atau menambah jumlah mahar yang telah ditetapkan atas persetujuan istri. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa’: 24 yang artinya, ...Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawin bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan maharnya itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana (Departemen Agama RI, 1989: 121). Para imam mazhab mempunyai beberapa pendapat berhubungan dengan adanya mahar tambahan: Abu Hanifah: memberikan mahar tambahan sesudah berlangsung akad nikah adalah boleh, jika suami mencampuri istrinya atau mati lebih dahulu. Malik: mahar tambahan boleh asalkan sudah saling bercampur, maka ia berhak menerima separuh dari mahar musama dan separuh mahar tambahan. Jika suami mati sebelum bercampur atau belum menerima penyerahan istrinya, maka gugurlah mahar tambahan dan tinggal mahar musamanya. Syaffi: mahar tambahan merupakan hibah perangsang. Mahar tambahan boleh diterima jika perempuan telah dipegangnya, jika belum maka hukumnya batal. Ahmad: hukum mahar tambahan sama dengan mahar musama. Pembayaran mahar itu wajib atas laki-laki, tetapi tidak menjadi rukun nikah, juga to apabila commit user tidak disebutkan pada saat akad perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id nikah, nikahnya juga sah. Kewajiban memberikan mahar ini berdasarkan pada firman Allah dalam Surat an-Nisa’ 4 yang artinya: Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian juga mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya (Departemen Agama RI 1989, 115). Pasal 34 Kompilasi Hukum Islam merumuskan hal ini: 1. Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan. 2. Kelalaian menyebutkan jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitupula dengan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan. Suami diwajibkan memberi mahar kepada istrinya bukan kepada ayah istrinya. Mahar ini wajib diberikan kepada istri sebagaimana dinyatakan sendiri oleh kata mahar ini. Mahar yang telah disebut dalam akad nikah menjadi milik si istri dan dikuasai peuh olehnya, oleh karena itu si istri berhak membelanjakannya, menyedekahkannya, dan sebagainya, dengan tidak perlu minta izin kepada wali atau suaminya. Hal ini telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 34. Pasal 34: 1. Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 2. Apabila telah ditetapkan jumlah maharnya, suami wajib membayar atau menyerahkan sebesar yang telah ditetapkan itu. Pelaksanaan pembayaran mahar bisa dengan kontan, utang atau utang sebagian. Dalam Pasal 33 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia diatur sebagai berikut: Pasal 33: Penyerahan mahar mahar dilakukan dengan tunai dan apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria. Sunnah menyerahkan mahar secara kontan sebagian, sebagaimana dalam Hadis Nabi. Ibnu Abas meriwayatkan bahwa Nabi SAW., melarang Ali mengumpuli fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Lalu menjawabnya: “saya tidak mempunyai apa-apa” Maka sabdanya: “Dimanakah baju besi “Hutaniyah”mu?.” Lalu dibrikanlah itu kepada Fatimah. (HR. Abu Daud, Nasa’I dan Hakim dan disahkan olehnya). Hadits ini menunjukkan larangan dimaksudkan sebagai suatu tindakan yang lebih baik, yang secara hukum dipandang sunah memberikan sebagian mahar kepada istrinya terlebih dahulu. Mahar yang telah dijanjikan wajib dibayarkan seluruhnya bila berada dalam suatu keadaan berikut: 1. Kalau benar-benar telah dicampuri, berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa’ 20-21. 2. Bila seorang suami meninggal dunia sebelum berkumpul commit to user ijma’. istrinya, hal ini berdasar perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Apabila si suami meninggal sebelum berkumpul (bersetubuh) dengan istrinya, maka si istri berhak menerima seluruh maskawin, mahar dan warisan sesuai dengan faraid. Demikian pula ahli waris si istri berhak untuk menerima maskawin yang seharusnya diterima oleh si istri apabila si istri meninggal dunia sebelum dicampuri oleh si suami, menurut ijma’ ulama. Jika suami mati sebelum atau setelah sempat mencampuri istrinya, maka istri berhak menerima mahar mitsil dan warisan. Demikian pendapat Abu Hanifah, Ahmad Dawud, dan fatwa Syafii yang terkuat dengan berdasarkan pada ketentuan Hadis Nabi berikut: Dari Alqama, katanya: “Seorang perempuan teah kawin dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu mati sebelum ia campur dengan istrinya itu, dan maharnya pun belum ditentukan banyaknya. “Kata Alqama. “Mereka mengadukan hal tersebut kepada Abdullah, maka Abdullah berpendapat, perempuan itu berhak mengambil mahar mitsil sepenuhnya, dan ia berhak mendapatkan pusaka dan wajib beridah, maka ketika itu Ma’qil bin Sinan Al Asyja’I menyaksikan bahwa sesungguhnya Nabi SAW. telah memutuskan terhadap Barwa Binti Wasyiq seperti keputusan yang telah dilakukan oleh Abdullah tadi (Riwayat 5 orang ahli hadits dan disahihkan oleh Tarmidzi). Menurut Maliki, jika mati sebelum bersetubuh, maka tiada menerima mahar, hanya menerima pusaka. Al Hamdani berpendapat bahwa mahar mitsil dibayar apabila istri sudah dicampuri atau istri yang sudah dicapuri itu mati, atau jika istri belum dicampuri, namun suaminya sudah mati maka si istri berhak atas mahar mitsil dan pusaka. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pasal 35 masalah ini diatur sebagai berikut: 1. Suami yang menalak istrinya qabla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. 2. Apabila suami meninggal dunia qabla al dukhul seluruh mahar yang ditetapkan hak penu istrinya. 3. Apabila perceraian terjadi qabla al dukhul tetapi besar maharnya belum ditentukan, maka suami wajib membayar mahar mitsil. Berkaitan dengan pembayaran mahar, terdapat beragam pendapat. Syafii, Malik dan Dawud berpendapat bahwa suami tidak wajib memberikan mahar seluruhnya, kecuali telah diawali dengan persetubuhan sesungguhnya. Dan jika masih menyendiri dalam arti benar, maka haknya wajib membayar setengahnya, berdasarkan QS. Al-Baqarah ayat 237 yang artinya: Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan (Departemen Agama RI, 1989: 58). Jika jumlah maharnya belum ditentukan dan belum pernah dicampuri, maka istri hanya berhak mendapat pesangon menurut keadaan suaminya. Pesangon ini sebagai ganti rugi dari apa yang diberikan oleh bekas istrinya, hal ini berdasarkan pada firman Allah dalam surat al-Baqarah 236 yang artinya: Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu commit to user meceraikan istri-strimu sebelum kamu bercampur dengan mereka perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dan sebelum kamu menetukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan (Departemen Agama RI 1989: 58). Kewajiban membayar mahar menjadi gugur jika terjadi perceraian sebelum terjadi persetubuhan yang datangnya dari pihak istri. Hak pesangonnya gugur karena istri telah menolak suami sebelum suaminya menerima sesuatu daripadanya. Juga kewajiban memberikan mahar gugur, jika istri yang belum dicampuri melepaskan maharnya atau menghabiskan kepadanya, karena dalam hal ini perempuan (si istri) itu sendiri yang menggugurkannya. Nikah tafwidl, yakni nikah yang jumlah maharnya terserah nanti sesudah kawin, menurut kebanyaka ulama, nikah semacam itu dibolehkan, dengan berdasarkan pada firman Allah pada surat al-Baqarah 236 diatas. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah S.A.W melarang nikah syighar. Dan nikah syighar itu ialah seorang mengawinkan anak perempuannya dengan anak laki-laki dengan syarat laki-laki itu mengawinkan dia dengan anak perempuannya, dengan tiada menggunakan mahar (mas kawin) (H.R Bukhari dan Muslim). Larangan nikah syighar ini adalah untuk memelihara hak perempuan terhadap mahar. Urusan mahar ini bukan semacam tukar-menukar barang dagangan antar bapak, antara sebagian dengan sebagian yang lain. (Abdul Halim Abu Syuqqah, 1998: 84). Perkawinan yang tanpa mahar, maka terdapat dua pendapat yakni: 1. Perkawinan batal sebagaimana ketentuan dalam Hadits Nabi: “Setiap syarat diluar ketentuan hukum Allah adalah commit to user batal” sedangkan syarat tanpa mahar menyalahi hukum perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Allah sebagaimana dalam surat an-Nisa’ ayat 4. Jadi syaratnya batal, dan nikah itu dipandang tidak sah selama tidak membetulkan yang batal itu. Demikian pendapat Malikiyah dan Ibnu Hazm. 2. Boleh karena mahar tidak termasuk dalam rukun dan sahnya perkawinan, demikian pedapat Hanafiyah. Pernikahan fasid, apabila telah bersetubuh suami dengan istrinya padahal pernikahan fasid, maka suami wajib membayar mahar mitsil, bukan maskawin yang disebutkan dalam akad nikah berdasarkan pada Hadits Nabi: Perempuan yang berkawin dengan tiada izin walinya, maka perkawinan itu batal (tidak sah). Kalau laki-laki telah bersetubuh dengan perempuan itu, maka perempuan berhak mendapat maskawin lantaran setubuhnya itu(HR. Ibnu Hibban). Jika setelah menerima penyerahan mahar istri memberikan mahar seluruhnya atau sebagian kepada suaminya, maka si suami boleh menerimanya, sebagaimana telah disebutkan dalam surat anNisa ayat 4 tersebut diatas. Namun jika pemberian itu dilandasi rasa takut, malu atau terkecoh maka tidak halal menerimanya. Kodifikasi hukum keluarga Yordania, Lebanon, Siria, Yaman Utara dengan jelas dan lengkap mengatur soal mahar. Kalau suami menceraikan istrinya dan maharnya masih terhutang, maka maharnya harus dibayarkan dahulu sebelum perceraian itu berlaku efektif. Apabila suami yang berutang mahar itu mati, maka mahar diambil dari harta warisannya terlebih dahulu sebelum dibagi waris. Di negara-negara Arab di Afrika Utara dan Timur Tengah, juga negara non-Arab seperti Pakistan, mahar mendapat perhatian yang baik karena selain jumlahnya yang besar juga merupakan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id jaminan bagi kehidupan wanita itu kalau nanti ia diceraikan suaminya. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak diatur masalah mahar. Sedangkan dalam KHI mahar diatur dalam Pasal 30-38 KHI. Menurut Yahya Harahap pengaturan mahar dalam KHI bertujuan: a. Menerbitkan masalah mahar; b. Menetapkan kepastian bahwa bukan rukun nikah; c. Menetapkan etis mahar atas asas keserhanaan dan kemudahan, bukan didasarkan atas prinsip ekonomi status dan gengsi; d. Menyeragamkan konsepsi yuridis dan etik mahar agar terbina ketertiban dan persepsi yang sama di kalangan masyarakat dan aparat penegak hukum. Jadi mahar merupakan sesuatu yang diserahkan oleh calon suami kepada calon istri dalam rangka akad perkawinan antara keduanya, sebagai lambang kecintaan calon suami terhadap calon istri serta kesediaan calon istri untuk menjadi istrinya. Bentuk dari mahar adalah: 1. Barang; 2. Uang; 3. Jasa berdasarkan pada hadits Nabi. Dengan demikian, maka jasa atau usaha yang bermanfaat dapat dijadikan mahar walau tidak berujud nyata. Pembayaran mahar itu wajib atas laki-laki tetapi tidak menjadi rukun nikah, juga apabila commit user nikah tidak apa (lihat pasal 34 tidak disebutkan pada saatto aqad perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KHI). Kewajiban membayar mahar ini berdasarkan pada QS AnNisa’ ayat 4. Dalam hukum Islam terdapat ketetapan tentang jumlah mahar, asalkan merupakan kesepakatan kedua belah pihak dan tentunya berdasarkan atas kemampuan si suami. Nabi tidak menyukai adanya mahar yang berlebihan. Salah satu usaha Islam ialah memerhatikan dan menghargai kedududukan wanita, yaitu memberikannya hak untuk memegang urusannya. Di zaman jahiliyah hak wanita itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dapat semena-mena dapat menggunakan hartanya, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya dan menggunakannya. Lalu islam datang menghilangkan belenggu itu, kepadanya hak mahar dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya bukan kepada ayahnya. Mahar yang telah dibayarkan suami kepada istrinya menjadi hak milik istrinya, oleh karena itu si istri berhak membelanjakannya, menghibahkan dan sebagainya tanpa harus izin dari suami atau walinya. Pembayaran mahar dapat dilakukan dengan (Shomad, 2010 : 299-309): 1. Tunai; 2. Setengah tunai; 3. Utang. Mahar wajib diterimakan pada istrinya dan menjadi hak adalah untuk memperkukuh ikatan dan menimbulkan rasa sayang antara suami dan istri. commit to user