Melompat Lebih Tinggi

advertisement
gerai
3
Dilema
Kelas Menengah
EDISI 45 n DESEMBER 2013 n TAHUN 4 n NEWSLETTER BANK INDONESIA
6
Bermigrasi
Menuju
Negara Maju
10
Bonus demografi dan lonjakan
populasi kelas menengah
belum bemanfaat optimal bagi
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Respons
Kebijakan BI:
Memecah Karang
Struktural
Membawa Ekonomi Indonesia
Melompat
Lebih Tinggi
12
Susanto
M
emasuki 2014, perekonomian Indone­
sia akan berhadapan dengan tantangan
yang tidak sederhana. Pada satu sisi se­
dang terjadi pergeseran lanskap ekonomi
global. Bersamaan, dari dalam negeri ada
tantang­
an struktural, dengan gelagat pa­
ling kentara
berupa defisit neraca perdagangan pada 2013.
Angka impor melonjak melampaui ekspor dengan
beragam latar dan cerita. Bonus demografi dan lonjak­an
populasi kelas menengah di Indonesia belum bemanfaat
optimal bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Kelas
menengah justru menjadi salah satu pendorong mem­
bengkaknya impor, meng­ingat struktur industri di dalam
negeri belum sepenuhnya mampu memasok standar ke­
butuhan kelas ini.
Di sistem keuangan dan sistem pembayaran, tantang­
an struktural itu bernama pembenahan sistem pemba­yar­
an, menuju layanan yang meluas dan paripurna sekaligus
mendorong kemandirian infrastruktur. Keuangan inklusif
yang pada saatnya diharapkan dapat turut mengu­rangi
ketimpangan ekonomi, mau tidak mau juga butuh kesiap­
an infrastruktur dari sistem pembayaran.
Beralihnya pengaturan dan peng­awasan perbankan
dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan menjadi
satu lagi momentum penting menyambut 2014. Bukan
berarti Bank Indonesia pun lalu abai pada perbankan. u
Sistem
Pembayaran:
Menjadi
Tuan Rumah
di Negeri Sendiri
16
Pengawasan
Bank:
Setelah Beralih
ke OJK
DARI MEJA GUBERNUR
meja Redaksi
Dok BI
Tantangan Ekonomi
Indonesia pada 2014
Agus DW Martowardojo
Gubernur Bank Indonesia
P
erekonomian Indonesia pada 2014 akan
menghadapi tantangan yang ti­
dak
ringan, terutama terkait upaya pemu­lih­
an kinerja neraca pembayaran. Selain ber­asal
dari eksternal terkait siklus global, tantangan
perekonomian sesungguhnya ber­
asal dari
sisi internal yang bersifat struktural.
Berkurangnya stimulus moneter The Fed
yang nantinya berujung pada peningkat­an
suku bunga di Amerika Serikat, dapat me­
micu capital outflow. Risiko global itu se­ma­
kin me­ningkatkan kerentanan neraca pem­­
bayaran, mengingat permasalahan struk­tural
defisit neraca transaksi berjalan masih terjadi.
Pekerjaan ke depan adalah bagaimana
memperdalam pasar keuangan domestik,
agar lebih berdaya tahan terhadap gejolak
glo­bal. Diperlukan komitmen nasio­nal untuk
mempercepat proses pendalaman pasar do­
mestik, melibatkan Pemerintah, Bank Indo­
nesia, dan para pelaku pasar keuangan.
Inti dari tantangan struktural adalah
bagaimana kita berupaya memperkuat daya
saing dan produktivitas melalui berbagai ke­
bijakan struktural. Tujuannya, menyehatkan
postur neraca pembayaran, di tengah transisi
Indonesia untuk menjadi negara berpenda­
patan menengah atas.
Mempertimbangkan tantangan ekono­
mi tersebut, maka perekonomian nasional
pada 2014 diperkirakan masih dalam ta­
hap konsolidasi, terkait belum rampung­nya
proses koreksi ekonomi untuk memulihkan
defisit neraca transaksi berjalan. Impor yang
semakin terkendali sejalan dengan proses
koreksi ekonomi domestik diharap­kan men­
dukung perbaikan neraca transaksi berjalan.
Pertumbuhan ekonomi pada 2014
diperkirakan membaik dengan kisaran 5,86,2 persen. Prospek ini ditopang perbaikan
ekspor sejalan dengan membaiknya pere­
konomian global dan permintaan domestik.
Namun, arah prospek dapat berubah jika
proses pemulihan global kembali terhenti,
seperti pada 2013, sehingga defisit neraca
pembayaran menjadi berkelanjutan.
Dari sisi harga, inflasi pada 2014 di­
perkirakan akan kembali terkendali pada
ki­saran target 4,5 plus-minus 1 persen. In­
flasi bahan makanan dan administered price
diproyeksikan stabil lagi, ditopang harap­an
mem­baiknya pasokan dan distribusi pangan,
dengan asumsi tidak ada kebijakan kenaikan
harga barang atau jasa strategis.
Pertumbuhan kredit perbankan pada
2014 diperkirakan berada pada kisaran 15-17
persen, ditopang pertumbuhan dana pihak
ketiga pada kisaran yang sama. Menurut pe­
nilaian kami, pertumbuhan kredit tersebut
cukup konsisten dengan upaya menyeim­
bangkan kembali perekonomian.
Sesuai amanat Undang-Undang, Bank
Indonesia memiliki tujuan mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah. Sebelum­
nya, ini dijalankan dengan menetapkan dan
me­lak­sanakan kebijakan moneter, mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayar­
an, serta mengatur dan mengawasi bank.
Dengan beralihnya perizinan, pengatur­
an, dan pengawasan mikroprudensial bank
ke OJK, BI memfokuskan fungsi perbankan
pada kebijakan, pengaturan, dan penga­
wasan makroprudensial. Ini dilakukan untuk
mewujudkan sistem keuangan yang lebih
stabil dan berkualitas melalui prioritas peng­
awasan terhadap bank-bank dan lembaga
keuangan lain yang digolongkan sistemik.
Sejalan dengan pelaksanaan fungsi ba­
ru tersebut, dilakukan pula penajaman di
bi­
dang moneter untuk menjaga dan me­
­
me­
lihara kondisi makroekonomi yang se­
hat dan pertumbuhan ekonomi yang ber­
kesinambung­an. Untuk pengendalian inflasi,
Bank Indonesia akan mengoptimalkan peran
Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Koor­
dinasi dilakukan bersama segenap elemen
daerah, mulai dari pemerintah, pelaku pasar,
hingga media massa.
Di bidang sistem pembayaran BI pun
akan berperan lebih besar untuk mewujud­
kan kemandirian Indonesia dalam mem­
fasilitasi transaksi keuangan di masyarakat
hingga sampai ke pelosok negeri. u
redaksi
Penanggung Jawab
Difi A Johansyah
Pemimpin Redaksi
peter jacobs
2
Redaksi Pelaksana
Rizana Noor
DWI MUKTI WIBOWo
ERNAWATI JATININGRUM
Wahyu Indra Sukma
Surya Nanggala
Dahlia Dessianayanthi
lina ernawati
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
Alamat Redaksi
Departemen Komunikasi
Jl MH Thamrin No 2 - Jakarta Pusat
Contact Center BICARA:
(Kode Area) 500 131
e-mail: [email protected]
website: www.bi.go.id
twitter: @bank_indonesia
Redaksi
menerima
kiriman naskah
dan mengedit
naskah sebelum
dipublikasikan.
fokus
Dilema
Kelas
Menengah
Kian makmur seseorang, kebutuhannya makin banyak.
S
elama satu dekade terakhir, proporsi kelas menengah di
Indonesia melonjak lebih dari dua kali lipat. Bank Dunia
mencatat ada lonjakan rasio kelas menengah Indonesia dari
sekitar 20 persen jumlah penduduk pada 2000 menjadi 56,5
persen pada 2010. Kelas menengah menurut Bank Dunia
adalah warga dengan pen­dapatan per hari antara 2 sampai 20 dolar
AS. Dengan kriteria tersebut, jumlah mereka di Indonesia sekitar 134
juta berdasarkan data Sensus Penduduk 2010.
McKinsey Global Institute lebih suka menyebut kelas menengah
sebagai consuming class. Dalam definisinya, kelas menengah ada­
lah individu dengan pendapatan minimal 3.600 dolar AS per tahun.
Menggunakan defisini McKinsey Global Institute, kelas mene­ngah
Indonesia diperkirakan mencapai 45 juta orang. Dengan laju per­
tumbuhan ekonomi sekarang, jumlahnya pun akan menjadi 134 juta
orang dalam tempo kurang dari 20 tahun.
Memiliki pendapatan per kapita 3.850 dolar AS dan demografi
penduduk usia muda yang cukup besar, konsumsi kelas menengah
Indonesia cenderung lebih tinggi pula daripada negara lain yang ber­
struktur demografi menua. Konsumsi menyumbang 55 persen dari
pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia.
Pada praktik sehari-hari gambaran itu bisa dilihat setiap kali ada
penjualan perdana produk merek terkenal, antrean pun mengular.
Tak bisa disangkal, membesarnya kelas menengah berarti juga se­
makin beragam kebutuhan konsumsi.
Susanto
Kian makmur seseorang, kebutuhannya makin banyak. Sayang­
nya, peningkatan kebutuhan tersebut tak diimbangi kemampuan in­
dustri dalam negeri untuk memenuhinya. Sekalipun, struktur industri
ini juga yang sudah mendongkrak jumlah kelas menengah Indonesia.
Maka, impor adalah jalan pintas yang terjadi. Porsi impor untuk
barang berteknologi menengah dan tinggi, terus membesar seiring
bertambahnya jumlah kelas menengah di Indonesia sejak 2004.
Sebut saja angka penjualan telepon pintar di Indonesia yang
pada 2013 menembus angka lebih dari 14 juta unit. Nilainya lebih dari
3,33 miliar dolar AS, tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Struktur Ekonomi Indonesia
Pembangunan dan industri di Indonesia masih bertumpu pada
sumber daya alam yang melimpah di luar Jawa dan surplus tenaga
kerja di Jawa. Maka yang terbangun adalah antara industri padat kar­
ya atau industri berbasis sumber daya alam.
Meski 'derajat' perekonomian banyak orang Indonesia mening­
kat dengan pilihan industri tersebut, kebutuhan mereka yang 'status
sosial'-nya sudah naik tak terpenuhi oleh industri itu sendiri. Apalagi
impor juga menjadi pemasok sebagian besar bahan baku dan barang
modal industri domestik seperti besi baja, peralatan elektronik, teks­
til, dan plastik.
Karenanya, tak aneh ketika harga komoditas melemah setelah ne­
gara maju sebagai pasar utama mengalami kelesuan ekonomi, neraca
transaksi berjalan pun timpang. Impor tetap tinggi untuk memenuhi
kebutuhan di dalam negeri, sementara ekspor yang masih didominasi
komoditas berkurang karena susutnya permintaan.
Semakin rumit pula bila dipaksakan mendongkrak ekspor untuk
menambal defisit neraca. Sekali lagi, bahan baku industri domestik
masih banyak yang mengandalkan impor juga. Pada saat yang sama,
beragam kebutuhan kelas menengah pun tak bisa mendadak dihen­
tikan, walaupun pemenuhannya lagi-lagi dari impor.
Silang sengkarut situasi inilah yang membuat Indonesia acap kali
ter­guncang oleh dinamika perekonomian global. Pelahan defisit nera­
ca transaksi berjalan yang dipicu impor, merembet ke defisit neraca
pembayar­an, melemahkan nilai tukar rupiah, dan ujungnya ekonomi
melambat.
Di tengah situasi perekonomian global yang tak bisa lagi dipi­
sahkan dengan aliran modal, persoalan pun tak lagi tunggal. Kebijak­
an moneter semata menahan empasan gelombang geliat ekonomi
global, tak akan memadai. Pembenahan juga harus merambah ke
sistem pembayaran, pasar keuangan, dan yang terpenting tentu saja
struktural perekonomian. u
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
3
fokus
Agar Bisa
Naik Kelas...
Kebijakan awal menghadapi krisis ekonomi selalu ditujukan untuk membuat stabil pasar keuangan.
J
eroen Dijsselbloem yang menjabat
Pre­
siden Eurogroup, forum menteri
ke­uangan negara-negara Eropa Barat,
mengatakan kebijakan moneter tak
benar-benar bisa menolong Eropa
keluar dari krisis, tapi sekadar meringankan
tekanan terhadap perekonomian dan mena­
warkan potensi pertumbuhan.
Menteri Keuangan Belanda itu menekan­
kan urutan kebijakan yang perlu diambil da­
lam bauran kebijakan fiskal, moneter, dan re­
formasi struktural. ''Reformasi struktural yang
pertama, kebijakan fiskal dengan target yang
jelas untuk jangka menengah di urutan ke­
dua, dan kebijakan moneter yang mengako­
modasi masalah ekonomi dalam negeri ma­
sing-masing untuk jangka pendeknya.''
Kebijakan awal menghadapi krisis eko­
nomi selalu ditujukan untuk membuat stabil
pasar keuangan. Caranya bisa melalui penja­
minan tabungan, penyaluran likuiditas pada
lembaga keuangan, maupun penyesuaian
suku bunga acuan.
Namun, begitu pasar dan lembaga ke­
uangan sudah bisa berfungsi normal, lang­
kah-langkah penyelamatan harus dikurangi
por­sinya atau bahkan dihentikan. Inilah sifat
kebijakan siklikal yang memang berjangka
pendek.
Kebijakan stabilisasi fiskal seperti stimu­
Susanto
4
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
lus anggaran dan di kebijakan moneter se­
perti perubahan suku bunga maupun pasok­
an likuiditas, juga merupakan langkah yang
bertujuan untuk mengendalikan sisi permin­
taan dalam ekonomi.
Tantangan Struktural
Namun, kadang kala masalah perekono­
mian yang mengalami perlambatan ternyata
jauh lebih dalam dibandingkan sekadar kele­
bih­an atau kekurangan di sisi permintaan. Bi­
sa jadi, masalah terbesar justru ada pada sisi
penawaran.
Kebijakan stabilisasi ekonomi secara ma­
k­ro memang penting dalam jangka pendek.
Lebih mudah pula mengubah berbagai kom­
ponen yang mempengaruhi sisi permin­taan
dibandingkan membuat sumber daya eko­
nomi sebuah negara menjadi lebih produktif
alias memperbaiki sisi penawaran.
Masalah yang mendera perekonomian
In­­donesia sepanjang 2013 ini, seperti de­fisit
transaksi berjalan, defisit neraca pemba­
yaran, pelemahan nilai tukar rupiah, dan in­
flasi tinggi, yang berujung pada pelemahan
pertumbuhan ekonomi, jelas terlalu banyak
dan ukurannya terlalu besar untuk ditangani
semata de­ngan kebijakan moneter berjang­
ka pendek.
Gubernur Bank Indonesia Agus Marto­
wardojo menyebut Indonesia saat ini sedang
menghadapi tan­tangan struktural. Yaitu ke­
tika terjadi ke­tidakseimbangan antara struk­
tur permintaan agregat dan kapabilitas di
si­
si penawaran. Permasalahan struktural
ter­­­sebut meliputi ba­sis perekonomian yang
ku­­rang kokoh ka­re­na mengandalkan sumber
daya alam dan industri berteknologi rendah.
Di sektor riil, industri domestik belum
mampu memasok permintaan kelas mene­
ngah. Terjadi kesenjangan suplai domestik
fokus
Susanto
un­tuk produk teknologi menengah dan ting­
gi. Sementara di sisi ekonomi makro, pasar
keuangan belum cukup dalam untuk benarbenar dapat meredam fluktuasi nilai tukar
rupiah.
Karena itu, guna menjamin pertumbuh­
an ekonomi dalam jangka panjang, diperlu­
kan perubahan yang bersifat struktural yang
berjangka panjang pula. Targetnya, menja­
min pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Ini berarti, struktur ekspor tak lagi bisa
meng­andalkan bahan mentah atau bahan
baku dari sumber daya alam, namun harus
punya nilai tambah tinggi. Industri harus
mampu memproduksi barang antara dan
jasa yang selama ini masih diimpor.
Di sisi lain, pembiayaan neraca transaksi
berjalan yang selama ini defisit harus berasal
dari sumber yang lebih permanen selain eks­
por. Investasi harus dipastikan sebagai pen­
dorong tumbuh kembang sektor industri
yang maju dan berdaya saing global.
Melompat Lebih Tinggi
Tantangan semakin tampak nyata di
depan mata dengan rencana integrasi eko­
nomi kawasan melalui Masyarakat Ekonomi
ASEAN pada 2015. Daya saing basis industri
yang ada saat ini, low-tech labor intensive,
dapat menurun dibandingkan negara lain
di kawasan. Tahapan migrasi menuju ting­
kat pendapatan yang lebih tinggi seiring
penyesuai­an upah sektor formal, akan meng­
hadapi tan­tangan lebih banyak.
Kapabilitas industri suatu negara meru­
pakan salah satu faktor penting yang menen­
tukan kemampuan negara tersebut bermi­
grasi menjadi negara maju. Kemampuan
mem­produksi barang kompleks berteknolo­
gi menengah dan tinggi menjadi prasyarat
migrasi ke tingkat kesejahteraan yang lebih
tinggi itu. Faktor penentu lain antara lain
adalah kuantitas dan kualitas sumber daya
manusia, kualitas institusi, kecukupan fak­
Kapabilitas industri
suatu negara merupa­
kan salah satu faktor
penting yang menen­
tukan kemampuan ne­
gara tersebut bermigrasi
menjadi negara maju.
tor produksi komplementer, serta kapasitas
inovasi.
Tanpa reformasi struktural perekonomi­
an, Indonesia akan sulit mengelak dari 'je­
bakan' kelas menengah. Yaitu, punya banyak
penduduk dari kalangan kelas menengah
te­tapi tak juga melaju menjadi negara maju.
Dalam laporan terbarunya, Bank Dunia
mengatakan hanya 13 dari 101 negara yang
berstatus negara berpendapatan kelas me­
nengah pada 1960 berhasil mencapai taraf
negara berpenghasilan tinggi pada 2011.
Banyak negara terjerumus masuk ke dalam
middle income trap.
Ada dua penyebab negara berpendapat­
an kelas menengah gagal naik kelas menjadi
ne­gara berpenghasilan tinggi. Pertama, tak
cu­kup investasi sumber daya manusia untuk
me­ngerek pendapatan ke level lebih tinggi.
Kedua, gagal melakukan reformasi institu­
sional dan pemerintahan, untuk mendorong
tumbuhnya ekonomi masyarakat yang adap­
tif dan kreatif.
Dalam bahasa lebih sederhana, kedua
penyebab tersebut dapat dibaca sebagai
ren­dahnya penguasaan teknologi, keterting­
galan pembangunan infrastruktur, serta ma­
sih lemahnya aturan untuk mendukung bis­
nis yang terbuka dan transparan. u
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
5
Kualitas dan kecepatan implemen­
tasi kebijakan publik di suatu
negara merupakan indika­
tor penting dalam pergaulan
global, terkait ketatnya persaingan
menuju kesejahteraan.
S
ejak tahun 2004, pendapatan
per kapita masyarakat Indonesia
telah melewati ambang batas
negara miskin versi Bank Dunia,
yaitu melebihi 1.035 dolar AS.
Alhasil masyarakat Indonesia pun sudah
layak mendapat predikat masyarakat ke­
las menengah.
Kelas menengah ini kemudian men­
dorong porsi konsumsi di kisaran 55 per­
sen pendapatan domestik bruto. Namun,
be­
sarnya konsumsi ini belum mampu
meng­giring investasi melaju sama cepat
mendongkrak industri. Padahal, investasi
merupakan mesin utama pertumbuhan
ekonomi yang sehat.
Fakta saat ini, seiring meningkatnya
pertumbuhan ekonomi, ketergantungan
terhadap impor justru menjadi semakin
besar. Mulai dari bahan baku sampai de­
ngan barang jadi, mulai dari bongkahan
baja sampai dengan Tablet PC, ketergan­
tungan Indonesia semakin tinggi guna
memenuhi kebutuhan kelas menengah
yang semakin besar. Ibarat mobil, putaran
mesin yang laju tak diimbangi dengan
badan kendaraan yang kokoh.
Pesatnya perkembangan teknologi in­
formasi, semakin murahnya ongkos trans­
portasi dan kolaborasi rantai nilai global,
kemudian menjadi risiko yang dapat me­
ngurangi daya tarik bagi investor untuk
membangun pabrik barang kebutuhan
kelas menengah tersebut di Indonesia.
Sektor ekstraktif berdaya saing tinggi se­
perti batu bara, timah, dan kelapa sawit,
yang merupakan sumber daya alam di
luar Pulau Jawa, masih belum menghasil­
kan produk bernilai tambah yang berarti.
Sementara itu, Pulau Jawa sebagai
pusat industrialisasi dan urbanisasi, masih
cenderung menyerap tenaga kerja berke­
terampilan rendah. Barang yang dihasil­
6
D Aulia
fokus
Bermigrasi Menuju
Negara Maju
Harry Satriyo Hendharto
Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter
kan pun cenderung berteknologi rendah.
Sebut saja sektor unggulan padat karya
tekstil dan furnitur di Jawa Tengah, alas
kaki di Jawa Barat, dan industri kertas di
Jawa Timur.
Industri manufaktur padat modal
dan teknologi yang ada di Jawa juga ter­
lihat belum cukup mampu memenuhi
permintaan kelas menengah, apalagi
memasok barang modal canggih untuk
mendukung sektor ekstraktif di luar Pu­
lau Jawa dalam memberikan nilai tambah
sumber daya alam.
Kondisi industrial di Indonesia, pada
satu sisi patut disyukuri tetapi pada sisi
lain harus diwaspadai pula. Disyukuri ka­
rena bagaimanapun juga struktur indus­
tri tersebut pernah membuat perekono­
mian Indonesia kuat di era setelah krisis
Asia dan berhasil mengangkat Indonesia
menjadi negara berpendapatan mene­
ngah. Sebaliknya, harus diwaspadai bila
kita tidak ingin terjebak di dalam kelas
pendapatan menengah (middle income
trap) dan berkeinginan naik tingkat lebih
jauh ke level negara maju.
Transformasi
Indonesia saat ini menempati pering­
kat 38 dari 148 negara, berdasarkan indi­
kator daya saing yang dikeluarkan World
Economic Forum pada 2013. Terjadi pe­
ningkatan daya saing setelah pada 2012
berada pada posisi 50.
Namun bila dicermati, banyak aspek
yang masih harus digarisbawahi terkait
implementasi kebijakan struktural bagi
kesinambungan migrasi Indonesia me­
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
nuju negara maju. Apalagi, saat ini kuali­
tas dan kecepatan implementasi kebijak­
an publik di suatu negara merupakan
indikator penting dalam pergaulan glo­
bal, terkait ketatnya persaingan menuju
kesejahteraan.
Prasyarat dasar bagi perekonomian
yang efisien seperti institusi, ketersedia­
an infrastruktur fisik dan digital, kesehat­
an, serta pendidikan dasar masih belum
sepenuhnya terpenuhi. Defisit ini me­
nyebabkan pelemahan daya saing dan
biaya tinggi bagi aktivitas perekonomian.
Belum lagi, masih lemahnya kualitas
pendidikan tinggi, usangnya kemampuan
industri, lambatnya perkembangan pasar
keuangan, serta penyerapan teknologi
yang masih rendah, menjadi semacam
achilles heel bagi aktivitas ekonomi yang
lebih bergairah dan produktif.
Di tengah besarnya pasar domestik
sebagai potensi konsumsi yang sangat
menjanjikan, deretan persoalan tersebut
tentunya akan membuat pertumbuhan
ekonomi tertahan. Peningkatan kapasitas
dan kapabilitas di sisi penawaran meru­
pakan kunci peningkatan kesejahteraan
yang berkesinambungan.
Pembenahan atas beragam titik
lemah tersebut diharapkan dapat men­
jadi daya dorong baru bagi perekonomi­
an Indonesia ke depan. Bonus demografi
yang sedang dinikmati Indonesia pada
hari ini juga akan dapat dioptimalkan
mendorong proses industrialisasi yang
dibutuhkan Indonesia dalam bermigrasi
menuju negara maju.
Lebih dari itu, investasi dari swasta
domestik maupun asing harus dikelola
pula dan diarahkan sehingga relevan
dengan isu besar industri di Indonesia.
Investasi harus menghadirkan “hilirisasi”
industri berbasis sumber daya alam di
luar Pulau Jawa, memberinya nilai tam­
bah daripada sekadar ekstraktif seperti
sekarang.
Sebaliknya di Pulau Jawa, investasi
harus melakukan “hulunisasi” industri. In­
vestasi musti membawa industri bertek­
nologi menengah tinggi di wilayah ini un­
tuk tak lagi tergantung pada bahan baku
dan bahan antara yang didatangkan dari
impor. u
P
residen Brasil terpilih Fernando
Hen­rique Cardoso, membawa do­
kumen berisi program prioritas,
ketika berbicara di depan senat
pada Desember 1994. Dokumen itu
adalah cetak biru reformasi ekonomi Brasil.
Daftar program prioritas tersebut mulai dari
sistem moneter untuk memerangi inflasi dua
digit, kebijakan penghematan fiskal, sampai
masalah hukum perburuhan, sistem peradil­
an, dan sektor politik.
Brasil punya cukup modal untuk men­
jalankan Real Plan 1984. Saat itu, harga ko­
moditas pertanian dan pertambangan se­
dang melejit untuk jangka panjang karena
peningkatan permintaan dari Cina. Rendah­
nya suku bunga di negara ma­ju juga mem­
buat aliran modal asing mem­banjiri Brasil,
menambah pundi-pundi cadangan devisa.
Kebijakan perdagangan dan industri Bra­
sil yang ramah terhadap ekspor, juga telah
men­
dorong perekonomian Brasil tumbuh
pesat. Reformasi di sektor moneter pun su­
dah mengerek turun inflasi ke satu digit, ter­
jadi surplus fiskal, dan utang terestrukturisasi.
Lalu kenapa dua dekade sesudahnya,
reformasi ekonomi Brasil masih bisa goncang
juga? Nilai tukar real anjlok, defisit neraca
transaksi berjalan membesar, dan perekono­
mian melambat. Cetak biru Cardoso seolah
tak berbekas. Cadangan devisa yang besar
dan berkurangnya utang luar negeri telah
membantu Brasil menahan tekanan krisis
dari luar. Namun, kemampuannya memeli­
hara pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa
inflasi tinggi, masih dipertanyakan.
Ternyata, ki­
nerja perekonomian Brasil
selama dua dekade terakhir lebih banyak di­
tunjang kebijakan ekonomi makro dan sek­
tor finansial, serta didukung situasi eks­ternal.
Kinerja itu belum merupakan hasil reformasi
struktural yang menyeluruh dan berkesinam­
bungan. Reformasi di Brasil belum rampung.
Meksiko
Tak paripurnanya reformasi struktural
per­ekonomian juga dialami banyak negara
berkembang lain. Meksiko, misalnya. Pada
awal 1980-an, negara ini pun berhadapan
dengan ketidakstabilan ekonomi makro.
Inflasi tinggi, defisit fiskal, krisis neraca
pembayaran, dan beban utang luar negeri
yang membengkak membuat Meksiko me­
mutuskan mengubah strategi pembangun­
an ekonominya. Perekonomian yang sebe­
Jalan Panjang
Reformasi Struktural
Susanto
Cile menempuh jalan
panjang untuk me­
letakkan fondasi bagi
kestabilan per­tum­
buh­an ekonomi.
lumnya kental dengan warna campur tangan
negara, menjadi lebih berorientasi pasar.
Meksiko menggelar agenda privatisasi
yang ambisius, reformasi dana pensiun, libe­
ralisasi perdagangan, dan tak lupa deregu­
lasi ekonomi. Hasilnya? Terhitung sejak 1981
sampai kini ekonomi Meksiko hanya tumbuh
dengan laju rata-rata 0,5 persen per tahun.
Tak hanya sangat rendah untuk ukuran
negara berkembang, pertumbuhan ekonomi
Meksiko juga tak dibagi rata ke seluruh pen­
duduk. Tak ada penjelasan sederhana untuk
kegagal­an reformasi struktural perekonomian
Mek­si­ko. Sebagian berpendapat kegagalan itu
ka­­rena reformasi dilakukan parsial, implemen­
tasi tak sesuai teori, dan sebagian lain berpen­
dapat urutan reformasinya kurang tepat.
Kisah Sukses Cile
Sebaliknya, ada contoh sukses dari refor­
masi struktural yang dijalankan menyeluruh.
Cile adalah salah satunya.
Pada 1970-an, Cile dikenal sebagai ne­
gara yang melaksanakan kebijakan substitusi
impor. Kebijakan ini membuat birokrasi Cile
gemuk, ada dominasi campur tangan negara
di sektor finansial, distorsi harga, inflasi ting­
gi, serta terjadi beragam pembatasan dan ta­­
rif yang yang cenderung menurunkan daya
saing ekonomi secara keseluruhan. Cile pun
dikucilkan di ka­langan internasional.
Untuk membuat perekonomian lebih
ter­buka dan demokratis, Cile melakukan re­
for­
masi ekonomi tiga fase. Periodisasinya
ada­lah 1973-1984, 1985-1989, dan setelah
era 1990-an.
Fase awal reformasi Cile dilakukan de­
ngan penghapusan beragam pembatasan
dan pengurangan tarif perdagangan secara
drastis. Tarif 100 persen diturunkan menjadi
10 persen, meskipun kemudian dinaikkan
menjadi 35 persen.
Reformasi fase ini berhadapan dengan
inflasi tinggi dan ketidakstabilan makroeko­
nomi, dan liberalisasi prematur pasar ke­uang­
an. Penggunaan nilai tukar sebagai pa­tokan
pengendali inflasi ternyata mengurangi daya
saing ekspor. Kebijakan pengupah­
an dan
perburuhan yang kaku juga menjadi ken­
dala lain. Dampaknya, terjadi ledakan angka
peng­angguran.
Fase kedua reformasi perdagangan dila­
kukan dengan lebih pragmatis. Cile menu­
runkan kembali tarif perdagangan dari 35
per­
sen ke 15 persen, melakukan devalu­
asi mata uang demi memacu ekspor, pasar
tenaga kerja dibuat lebih fleksibel, dan priva­
tisasi kecuali untuk perusahaan tambang ne­
gara CODELCO. Hasilnya, pemulihan ekono­
mi terjadi dan Cile mengalami pertumbuhan
ekonomi tinggi di akhir dekade 1980-an.
Sesudahnya, fase reformasi di Cile hanya
menguatkan orientasi pasar dan perda­
gangan unilateral secara gradual. Di antara­
nya dengan kembali menurunkan tarif perda­
gangan dari 15 persen di 1990-an menjadi 6
persen pada 2003. Perjanjian bebas (FTA) Cile
diperluas tak hanya dengan kawasan Ameri­
ka Latin, tapi juga dengan Eropa, Amerika,
dan Asia, melengkapi reformasi struktural ini.
Cile menempuh jalan panjang untuk
me­letakkan fondasi bagi kestabilan pertum­
buhan ekonomi. Hari ini, perekonomian Cile
relatif stabil di antara negara-negara berkem­
bang lain yang sekarang bergoncang. u
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
fokus
Ki­nerja perekonomian Brasil
belum merupakan hasil reformasi
struktural yang menyeluruh dan
berkesinambungan.
7
D Aulia
Dahlia Dessianayanthi
Departemen Komunikasi
Reposisi diperlukan Bank Indonesia
untuk dapat berperan mewujudkan
keseimbangan perekonomian, men­
cakup masalah nilai tukar, pertumbuhan
ekonomi, dan stabilitas perekonomian.
Dok BI
liputan
DI BALIK
nilai tukar
“K
enapa ya (nilai tukar) dolar
masih tinggi padahal BI
rate sudah terus-terusan
naik?” Pertanyaan itu mun­
cul dalam acara pelatihan
wartawan ekonomi, di Bandung, Jawa Barat,
pada 7 Desember 2013.
Tak hanya wartawan tersebut yang ber­
tanya-tanya. Banyak kalangan juga menyata­
kan keheranan serupa. Obrolan tentang hal
ini bisa ditemui di warung kopi hingga disku­
si di forum formal ekonomi. Kebijakan Bank
Indonesia menaikkan suku bunga acuan (BI
rate) sebesar 175 basis poin sejak Juni 2013
seolah tak berdampak pada perbaikan nilai
tukar rupiah.
Nilai tukar rupiah masih berada dalam
tekanan dolar AS dengan kurs Jakarta In­
terbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada 7
Desember 2013 hampir menyentuh Rp 12
ribu per dollar AS. Dolar AS merupakan mata
uang yang terpopuler dan terbanyak diper­
dagangkan di dunia, selain euro Eropa, franc
Swiss, poundsterling Inggris, dan yen Jepang.
Deretan mata uang tersebut jamak dise­
but sebagai hard currency. Nilainya yang
cenderung stabil, likuid, dan pergerakan­
nya di sisi penawaran maupun permintaan
sangat mempengaruhi mata uang negara
berkembang, termasuk Indonesia.
“Saat ini rupiah masih dalam tekanan di
tengah ketidakpastian rencana tapering Bank
Sentral Amerika, dan defisit neraca transaksi
berjalan” ujar Kepala Departemen Komuni­
kasi Bank Indonesia, Difi A Johansyah, saat
membuka pelatihan. Tapering adalah pengu­
rangan stimulus berupa pembelian obligasi
negara yang selama ini diguyurkan The Fed
8
untuk membantu perekonomian Amerika.
Stimulus itu membuat banyak negara
berkembang terlena saat kebanjiran valas
dan mendadak panik begitu mendengar ren­
cana tapering. Investor pun bersiap menarik
valasnya keluar dari negara berkembang, ka­
rena tapering juga bermakna kondisi ekono­
mi Amerika sudah mulai pulih.
Pada saat yang sama, defisit neraca tran­
saksi berjalan menjadi persoalan pula di In­
donesia. Nilai impor melampaui ekspor. Arti­
nya, kewajiban membayar valas lebih besar
dibandingkan penerimaan valas. Ketika ke­
butuhan impor dan pembayaran utang luar
negeri tetap tinggi sementara pasokan valas
berkurang seiring rencana tapering, maka
nilai tukar rupiah pun bakal tergerus.
BI Rate dan Rupiah
Bank Indonesia punya seperangkat ins­
trumen moneter. Suku bunga acuan, BI rate,
merupakan salah satunya. Penggunaan ins­
trumen ini berdasarkan beragam pertimban­
gan dan tujuan. Kali ini, tiga kenaikan BI rate
dari Juni sampai November 2013 terkait den­
gan upaya meredam fluktuasi kurs rupiah.
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
Lantas, kenapa rupiah tetap saja berfluk­
tuasi dengan posisi tertekan dolar AS? Difi
menjelaskan bank sentral sejatinya secara
teori tidak bisa dan tidak berkewajiban me­
ngontrol nilai tukar, merujuk rezim nilai tukar
mengambang yang digunakan termasuk
oleh Indonesia.
Sebagai contoh, Difi bertutur yen Jepang
juga pernah punya nilai tukar sangat kuat
terhadap dolar AS. Saat itu, Bank of Japan
ber­
upaya melakukan intervensi. Namun
yang terjadi, di pasar keuangan yen tetap
saja lebih kuat dibandingkan dolar AS.
Karenanya, meski kenaikan BI rate ber­
tujuan meredam fluktuasi nilai tukar rupiah,
tetapi tidak dimaksudkan sebagai obat bagi
permasalahan kurs ini. Hanya meredam alias
meminimalkan dampak. Menurut Difi, per­
soalan nilai tukar tak lagi semata terkait ban­
yak atau sedikitnya permintaan valas.
Kepala Grup Riset Ekonomi Bank Indone­
sia, Solikin M Juhro, menjelaskan sentimen
pasar juga menentukan nilai tukar suatu
mata uang. Sentimen pasar adalah kondisi
atau kejadian yang mempengaruhi persepsi
yang memicu minat jual atau beli pelaku
monetaria
S
elama 2013, banyak penyebutan
nama neraca bermunculan di media
massa. Di antaranya adalah neraca
pembayaran Indonesia, neraca tran­
saksi berjalan, dan neraca perdagang­
an. Apakah itu semua?
Neraca pembayaran (balance of payment) adalah ikhtisar yang meringkas transak­
si-transaksi di antara penduduk suatu negara
dengan penduduk negara lain selama jangka
pasar. Wujudnya dapat berupa indikator
ekonomi dan pasar keuangan, pernyataan
tokoh kunci pasar keuangan, bahkan kondisi
geo-politik suatu negara atau kawasan.
Solikin mengatakan sentimen pasar su­
lit diprediksi dan diukur pengaruhnya. Dia
memberikan contoh, mata uang shekel Isra­el
mengalami pelemahan harian tertinggi se­
panjang sejarah ketika terjadi Black September pada 11 September 2001. Saat itu, tutur
Solikin, pasar menilai Israel rawan secara
geopolitik terkait peristiwa tersebut.
Ekonom dari Universitas Indonesia, Lana
Soelistianingsih, menyebutkan setidaknya
ada empat faktor utama yang dapat mem­
waktu tertentu (biasanya satu tahun). Neraca
pembayaran mencakup pembelian dan pen­
jualan barang dan jasa, hibah dari individu
dan pemerintah asing, dan transaksi finansial.
Umum­nya neraca pembayaran terbagi atas ne­
raca transaksi berjalan, neraca lalu lintas modal
dan finansial, dan item-item finansial lain.
Neraca transaksi berjalan (current account) merupakan neraca yang merangkum
transaksi ekspor dan impor (barang maupun
pengaruhi nilai tukar. Keempat faktor itu ada­
lah tingkat inflasi, suku bunga, pertumbuhan
ekonomi, dan ekspektasi.
Secara teori, tutur Lana, nilai tukar dolar
AS pada hari ini sudah terlalu mahal. Namun,
para pemegang valas ternyata tetap saja tak
mau melepaskan mata uang itu ke pasar.
Menurut Lana, saat ini yang bisa dilakukan
untuk memulihkan nilai tukar rupiah adalah
mendorong ekspektasi pasar.
Ekspektasi penguatan rupiah, kata Lana,
dapat didorong dengan pemunculan data
perekonomian yang kuat. Data ekonomi
yang membaik akan memberikan sinyal pe­
nurunan kebutuhan valas. Dia berpendapat
jasa), pendapatan investasi, pembayaran ci­
cilan dan pokok utang luar negeri, serta saldo
kirim­an dan transfer uang dari dan ke luar ne­
geri. Hasil dari perhitungan komponen ini akan
menciptakan saldo dari neraca transaksi berja­
lan.
Neraca perdagangan (balance of trade)
adalah ikhtisar yang menunjukkan selisih anta­
ra nilai transaksi ekspor dan impor suatu negara
dalam jangka waktu tertentu. u
monetaria
Sekilas Mengenal Neraca..
bahwa ekspektasi ini juga terkait erat dengan
kredibilitas bank sentral dan pemerintah, di­
ukur dari efektivitas, konsistensi, dan fokus
dari kebijakan yang dibuat.
Bank Indonesia, kata Lana, sudah mela­
kukan banyak hal dengan proses penyesuai­
an yang tak sebentar. “Jangan sampai para
pengambil kebijakan tak sabar dan akhirnya
mengambil kebijakan yang tak perlu.”
Tantangan ke depan terkait nilai tukar
adalah pembenahan struktural, seiring upaya
Bank Indonesia dan pemerintah mengawal
pergerakan nilai tukar. Jadi, nilai tukar rupiah
bukan semata berapa poin perubahan BI rate
hari ini. u
Dok BI
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
9
Respons Kebijakan BI
ruang baca
Memecah Karang Struktural
10
M
engayuh biduk raksasa bukan perkara gampang.
Meskipun ombak demi ombak bergulung yang da­
tang selama ini bisa dihindari dengan goncangan
minimal, Bank Indonesia (BI) ibarat biduk itu tak boleh
lengah. Tantangan perekonomian tak hanya datang
dari ombak yang berpola siklikal tetapi juga berupa karang struktural.
Apalagi, saat ini sedang terjadi pergeseran lanskap global. Pengu­
rangan stimulus (tapering) dari The Fed, bukan lagi isu melainkan fak­
ta di depan mata. Ada risiko arah aliran modal portofolio berbalik arah
dari negara berkembang ke negara maju.
sional ‘seakan-akan’ berganti menjadi stabilitas nilai tukar.
Tak dipungkiri bahwa stabilisasi nilai tukar harus dilakukan untuk
stabilitas sistem keuangan dan menjaga pencapaian inflasi. Namun,
efektifitas kebijakan juga butuh konsistensi dan kejelasan operasi
moneter dalam kerangka kebijakan yang dikomunikasikan. Jangan
sampai BI justru dinilai ibarat berlayar tanpa kompas.
Reformasi Kerangka Operasional
Karang pengganggu pelayaran ini harus dipecah. Senjata yang
di­pakai mesti tepat pula. BI rate harus dipakai secara konsisten untuk
me­ngendalikan inflasi sesuai target, menopang penurunan defisit
neraca transaksi berjalan ke arah yang berkelanjutan, dan menjaga
Karang Pasar Keuangan
Karang struktural pertama adalah pembenahan pasar keuangan. stabilitas sistem keuangan.
Lalu, kebijakan nilai tukar pun mutlak diarahkan untuk memberi
Fragmentasi ekses likuiditas rupiah di sektor perbankan serta pasar
ruang lebih bagi rupiah bergerak sesuai dengan nilai fundamen­
keuangan yang belum dalam dan likuid, tercakup di dalamnya.
Saat ini, ekses likuiditas rupiah hanya tersebar di beberapa bank talnya. Pemahaman terhadap mikro­struktur perlu diperdalam, untuk
besar. Pelaku pasar cenderung memegang sendiri ekses likuiditas ru­ lebih memahami arus pasokan dan permintaan di pasar valas, seba­
piah atau menempatkannya di bank sentral untuk jangka pendek. Tak gai pendekatan agar strategi pe­ngelolaan nilai tukar lebih efektif.
Paradigma baru pengelolaan nilai tukar ini bisa disebut sebagai
terjadi transaksi antar-pelaku pasar. Instrumen pasar menjadi tak pu­
erasional. Reformasi itu akan membarengi
nya kesempat­an dan ruang untuk berkembang. Pelaku pasar di luar reformasi kerangka op­
kerangka kebijakan utama BI, mencakup kebijakan makroprudensial,
perbankan juga tak punya motivasi menerbitkan surat utang.
sistem pembayaran, serta kebijakan pendukung kerja
Sementara itu, utang di pasar tunai mudah dilaku­
Dok
sama internasional dan ekonomi daerah.
kan ketika pelaku pasar sedang tak memiliki likuiditas
Arah kebijakan moneter diperkuat dengan strate­
lancar, tetapi dengan anomali dalam pembentukan har­
gi operasi moneter untuk memecah karang ekses li­
ganya. Berutang di pasar dengan jaminan (collateralized
kuiditas. Penyerapan ekses likuiditas struktural akan
market), yaitu melalui pasar repo surat berharga, justru
tetap dijalankan berbasis target dan terukur sesuai
lebih mahal dibandingkan di pasar tunai yang tanpa
kemampuan industri keuangan.
jaminan (uncollateralized market). Ada stigma bahwa
Saat likuiditas di pasar keuangan tidak lagi berle­
masuk ke pasar repo berarti jatah berutang di pasar tu­
bih, operasi moneter BI akan mengambil alih kontrol
nai sudah habis.
penyediaan likuiditas yang dibutuhkan pasar dalam
Lagu yang sama juga bergema di pasar valuta a­sing.
manajemen hari­an. Pada tahap ini akan dijalankan
Bedanya, pasar rupiah berhadapan dengan kelebihan
perpanjangan tenor penyerapan operasi pasar ter­
likuiditas sementara pasar valuta asing kekurangan li­
buka, seperti penerbitan SBI tenor 1 tahun atau le­bih,
kuiditas alias mengalami ekses demand valas.
Fitria Irmi Triswati
dan Medium Term Notes (MTN).
Permintaan valas terutama adalah untuk kebutuh­ Departemen
Pengelolaan Moneter
Untuk melanjutkan pendalaman pasar keuangan,
an pembayaran impor dan utang luar negeri, dengan
BI memperkuat pengembangan pasar uang rupiah
pasokan didominasi intervensi bank sentral. Pemegang
valas, seperti eksportir, masih enggan melepas devisanya untuk me­ dan valas. Mi­salnya, dengan memfasilitasi ‘mini’ Master Repo Agreement (MRA) bagi beberapa bank percontohan, menuju implementasi
menuhi kebutuhan valas itu.
Karenanya, aliran dana asing kerap dirindukan untuk menambah lebih besar yakni General MRA (GMRA) - Indonesia Annex.
Dilakukan pula pengaturan unsur-unsur pasar uang , seperti pe­
suplai di pasar domestik walau kehadirannya sering menggoyang
nilai tukar ketika berbarengan keluar. Pasar valas dengan volume sa­ nyempurnaan ketentuan Commercial Paper (CP), transaksi repo antarngat tipis dan minim transaksi lindung nilai (hedging) membuat nilai bank, dan bahkan mendiskusikan code of conduct transaksi antarpelaku pasar. Semuanya dibarengi dengan sosialisasi dan edukasi
tukar mudah tertekan ketika permintaan valas melonjak.
kepada pelaku pasar.
Senjata struktural lainnya, juga ditempuh. Antara lain penguatan
Karang Kebijakan Moneter
Tantangan kedua bagi biduk BI, adalah pelaksanaan kebijakan second line of defense, serta kebijakan makroprudensial yang diarah­
moneter yang berbeda dengan kerangka operasional. Ini lebih ber­ kan pada pengelolaan risiko sistemik, termasuk risiko kredit, resiko
likuiditas, risiko pasar, dan penguatan struktur permodalan.
sifat struktural lagi.
Ini pun rasanya masih belum cukup. Reformasi struktural di sektor
Pergerakan suku bunga pasar uang antar-bank over-night (PUAB
ON) sebagai sasaran operasional, menjauh dari suku bunga acuan BI riil yang menjadi wilayah pemerintah sangat diharapkan untuk bisa
rate dan malah menggunakan suku bunga deposit facility (DF rate) berjalan pararel dengan kayuhan kebijakan BI.
Karang tidak bisa diukur dari permukaan. Butuh menyelam lebih
sebagai rujukan.
Kerangka operasional pengelolaan nilai tukar juga dituntut un­ da­lam untuk tahu betul karakter persoalan yang menghadang. Agar,
tuk dilihat kembali perannya dalam keseluruhan kerangka kebijakan pe­nyiapan dan pemilihan senjata untuk memecahnya juga lebih aku­
moneter. Selama ini, setiap kali tekanan kurs datang, sasaran opera­ rat. u
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
pemenang kuis
Nama Pemenang Kuis Gerai Info
Bank Indonesia Edisi Oktober 2013.
gerai canda
Djalu’13
1. Marnis Ramli
Cempaka Putih Jakarta
Tel: 08131490xxxx
2. Sidi Mastur
Depok
Tel: 0217521xxx
3. Yogi Ashari
Depok
Tel: 081692xxxx
Tarif Olah Data..
“Berapa biaya yang diperlukan untuk
mengolah data dengan kondisi sedemikian
rupa, dengan hasil maksimal, dibutuhkan
segera, dan tak tertutup kemungkinan ko­
reksi berkali-kali?” tanya calon doktor itu.
Dengan bahasa lugas, konsultan terse­
but menjawab, “Dengan tuntutan itu, kami
batasi koreksi maksimal tiga kali, tarifnya Rp
50 juta.”
Meski tahu kebutuhan datanya mende­
sak dan pengolahannya tak sederhana, si
calon doktor mencoba menawar, dengan
dalih tarif konsultan lain. “Kalau pakai kon­
sultan yang itu, tarifnya hanya Rp 30 juta.
Bisa kurang tidak tarif Anda?”
“Kenapa Anda tak pakai konsultan
yang itu?” jawab si konsultan. Calon doktor
itu pun menjawab, “Di sana sedang penuh.”
Pikir si calon doktor dia sudah memberikan
jawaban cerdas dan memenangkan per­
cakapan. “Oh, begitu. Informasi saja, Pak. Di
sini kalau pekerjaan sedang penuh, tarifnya
Rp 100 ribu saja,” jawab konsultan itu tanpa
berubah nada bicara. u
Djalu’13
S
eorang calon doktor ekonomi tak sem­
pat mengolah data yang menjadi ba­
gian penting disertasinya. Kesibukan
dan rutinitas kerja sudah menghabiskan
banyak waktunya. Data mentah itu pun dia
dapatkan dengan membayar mahasiswa se­
jurusan untuk mengumpulkan data lapang­
an.
Tak kehilangan cara, bermodal telepon,
dia menghubungi seorang konsultan olah
data, berdasarkan rekomendasi seorang te­
man. Percakapan telepon pun terjadi.
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
11
Sistem Pembayaran
perspektif
A
njungan tunai mandiri atau
auto­
matic teller machine alias
ATM, sekarang sudah menjadi
barang keseharian bagi peng­
guna layanan perbankan. De­
mikian pula electronic data capture (EDC),
alat baca kartu pembayaran seperti kartu
debet atau kartu kredit
Sayang, sebagian besar infrastruktur
pen­
dukung sistem pembayaran itu ter­
nyata masih tergantung pada asing. Setiap
tahun, 4 juta dolar AS mengalir ke pundipundi asing hanya untuk biaya transaksi,
baru dari biaya transaksi memakai kartu
pembayaran.
Andai saja infrastruktur sistem pemba­
yaran bisa digarap sendiri oleh pelaku di
da­lam negeri, potensi penghematan bah­
kan dapat mencapai 15 juta dolar AS per
tahun. Angka itu mencakup biaya yang bisa
dikurangi dari pencadangan dana untuk
penyelesaian akhir (settlement) transaksi.
Infrastruktur dan Akses
Sistem pembayaran sejatinya adalah
urat nadi perekonomian karena merupa­
kan saluran perpindahan dana. Prasyarat
sistem ini adalah kepastian keamanan, ope­
rasional yang efisien, mulus dipakai, dapat
digunakan secara luas, dan semestinya me­
ngedepankan kepentingan nasional.
Sistem pembayaran yang optimal dapat
mendukung stabilitas perekonomian me­
­
lalui sistem keuangan. Mewujudkan mim­pi
ini tidaklah mudah dan butuh waktu berta­
hun-tahun. Ibarat membangun rumah, per­
tama yang seharusnya dipastikan ada ada­lah
bangunan rumah itu sendiri, baru ke­mudian
perabot dan hiasannya. Infrastruktur sistem
pembayaran ibarat rumah itu.
Bila ingin 'rumah' tersebut menjadi
mi­lik sendiri dengan kualitas yang tak ber­
kurang, standardisasi harus dilakukan. Ini
ter­
kait masalah penggunaan teknologi,
mo­del bisnis, dan mekanisme penyeleng­
garaan sistem pembayaran yang beragam
di antara para pelaku pasar. Jangan sampai,
layanan, keamanan, dan harga terus saja
beragam. Bila yang terjadi justru demikian,
sistem pembayaran akan berkembang ke
arah yang tak sehat.
Sistem pembayaran berhadapan pula
dengan masalah keterbatasan akses la­
yanan yang saat ini lebih banyak dinikmati
oleh masyarakat perkotaan, belum men­
12
Dok
Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Susiati Dewi W
Departemen Kebijakan
dan Pengawasan Sistem Pembayaran
jangkau semua lapisan masyarakat. Fasilitas
infrastruktur dan layanan masih terbatas di
kota kecil dan pedesaan.
Bila pada masa mendatang terjadi
pe­
ningkatan taraf hidup dan kebutuhan
transaksi non-tunai meluas sampai ke pe­
desaan, keterbatasan akses akan menjadi
ken­
dala tersendiri bagi industri. Saat ini
saja, transaksi sistem pembayaran sudah
tumbuh rata-rata 15 persen per tahun, ter­
masuk transaksi masyarakat di pedesaan.
Per­
tumbuhan itu terutama dari layanan
transfer dana, pengiriman uang, serta pem­
bayaran tagihan rutin seperti telepon dan
pembelian pulsa telepon selular.
Gerbang Pembayaran Nasional
Sebagai otoritas yang mengatur, me­
ngem­bangkan, mengawasi, dan memberi­
kan izin penyelenggaraan sistem pemba­
yaran, Bank Indonesia menilai ada tiga
tan­
tangan masalah struktural terkait sis­
tem pembayaran. Yaitu, belum dapat ber­
saingnya industri domestik di sistem pem­
bayaran dengan pemain asing, inefisiensi
penyelenggaraan layanan, dan masih ter­
batasnya jaringan layanan.
Strategi mengatasi tantangan tersebut
juga harus membuat sistem pembayaran
yang mampu mendukung stabilitas sistem
keuangan. Di dalamnya tercakup penyedia­
an infrastruktur yang mendukung perluas­
an akses partisipasi ekonomi masyarakat.
Sekarang, sedang berlangsung proses
pembangunan gerbang pembayaran na­
sional (GPN) yang direncanakan memakai
empat tahap pada kurun 2014 sampai 2017.
GPN diharapkan mengawali terwujud­nya
cita-cita kemandirian industri sistem pem­
bayaran nasional. Di dalamnya tertuang
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
rencana penyelenggaraan jaringan kartu
debet dan kartu kredit yang dikelola indus­
tri nasional.
Targetnya, pada 2014 sudah akan ter­
wujud mekanisme pertukaran (switching)
domestik untuk melayani transaksi sistem
pembayaran. Berikutnya adalah pengem­
bangan jaringan pembayaran domestik.
Menyusul sesudahnya, penyediaan 'peng­
hubung' (hub) untuk integrasi sistem pem­
bayaran nasional, dan terakhir adalah ope­
rasionalisasi penuh GPN.
Saat GPN beroperasi penuh, penghe­
matan 15 juta dolar AS menurut nilai saat
ini dapat terjadi. Setidaknya, kualitas layan­
an dapat ditingkatkan dengan harga yang
tak berubah untuk jangka waktu lebih lama.
Standardisasi dan Perluasan Akses
Membangun standardisasi industri
ada­
lah niscaya. Namun kompetisi sehat
pun tetap harus mengemuka. Standar
tek­nis dan lembaga sertifikasi juga tak se­
harusnya dicemari rente ekonomi.
Setiap pelaku industri idealnya punya
pe­ran setara dalam pengelolaan standardi­
sasi itu, dengan Bank Indonesia sebagai
pengatur kebijakan harga atas layanan
sis­
tem pembayaran kepada masyarakat.
Efisiensi seharusnya otomatis terjadi.
Bila sistem pembayaran telah terstan­
dardisasi, cita-cita masyarakat yang tak lagi
banyak bertransaksi tunai dapat terealisasi
pula. Bukan mustahil, beragam program
dalam anggaran rutin pemerintah suatu ke­
tika cukup dikirim melalui jalur non-tunai,
setelah GPN beroperasi. Misalnya, program
bantuan sosial.
Perluasan akses layanan finansial
(keuangan inklusif) akan ikut terdorong,
melalui pemanfaatan inovasi dan teknologi
in­for­masi, penyebaran agen layanan, serta
edukasi dan penguatan perlindungan kon­
sumen. Pada akhirnya layanan sistem pem­
bayaran akan menembus hingga kota kecil
dan pedesaan.
Peluang perluasan akses akan sangat ter­­
buka ketika infrastruktur sistem pembayar­an
sudah dikelola anak negeri sendiri, de­­­­ngan
standardisasi dan efisiensi yang di­­hasilkan.
Manfaat lebih luas dari keberadaan sistem
pembayaran akan sampai ke sektor lain
perekonomian melalui akses itu. Sudah milik
sendiri, bermutu, dan mendorong perluasan
akses layanan keuangan. u
Keuangan Inklusif
Merangkul Lebih Luas
Karenanya, dengan latar di atas, ada
dua alasan da­
ri keharusan merangkul
masyarakat yang le­bih luas masuk ke dalam
sistem keuang­an. Pertama, peningkatan
simpanan ma­sya­rakat sekalipun kecil dapat
menjadi al­ternatif sumber DPK baru yang
lebih stabil bagi perbankan. Risiko likuiditas
Primitiva Febriarti
Departemen Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM
lebih dapat dikurangi. Pembiayaan kepada
sektor mikro dan kecil bermanfaat pula un­
tuk mitigasi risiko kredit.
Kedua, masyarakat miskin masih men­
jadi bagian besar di piramida penduduk.
Menghubungkan the bottom of the pyramid
ke dalam sistem keuangan akan membuka
akses yang lebih luas ke sektor keuang­an
formal, sehingga dampaknya po­sitif bagi
kelompok tersebut, ekonomi, perbankan
da­lam konteks mikro dan stabilitas sistem
keuangan. Sekaligus, mem­bantu mening­
katkan efisiensi perekonomian.
Dalam perkembangannya, upaya per­
luasan akses keuangan melalu­i la­­yan­an
pembayaran dan keuangan ke ke­lompok
the bottom of the pyramid juga memanfaat­
kan teknologi berbasis mobile atau web dan
unit ekonomi lokal sebagai jaringan agen.
Terobosan ini dikenal sebagai kanal layanan
keuangan digital (Digital Financial Services
atau DFS). Baur­an tersebut diyakini mampu
menjangkau lapisan the bottom of the pyramid dengan nyaman dan aman untuk ber­
transaksi keuangan.
Namun, pembukaan akses itu harus
didukung responsible finance yang men­
cakup dua aspek utama, yaitu edukasi dan
perlindungan konsumen. Edukasi teru­
tama terkait pengelolaan keuangan yang
benar secara sederhana dan cara bertran­
saksi yang aman. Sementara perlindungan
konsumen dibutuhkan untuk menjaga
ke­­percayaan, menjamin kelancaran, serta
tidak hilangnya hak-hak masyarakat karena
pemanfaatan teknologi dan penggunaan
pihak ketiga oleh bank.
Dengan berbagai argumentasi terse­
but, Bank Indonesia konsisten berupaya
meningkat­kan akses keuangan masyarakat
melalui sejumlah langkah. Mulai dari pro­
gram ta­bung­an murah, DFS dengan du­
kung­an sis­tem pembayaran, hingga pe­nye­
diaan sistem informasi harga komoditas dan
pengembangan nomor identitas keuangan
(financial identity number atau FIN).
Untuk mencapai tujuan per­
lu­
asan
akses layanan keuangan alias ke­
uang­
an
inklusif ini, dukungan terhadap UMKM ju­
ga mu­­tlak dilakukan. Keberpihakan pada
UMKM tak hanya memperkuat sektor riil
ter­kait stabilitas harga, tetapi juga penting
ba­gi stabilitas keuangan. Intermediasi pun
akan tumbuh lebih seimbang, ketika sis­
tem keuangan dapat lebih luas merangkul
UMKM.
Ada lima strategi ditempuh untuk
keuangan inklusif. Pertama, penguatan
edukasi keuangan sebagai upaya meng­
ubah perilaku pengelolaan keuangan, teru­
tama bagi mereka yang berpenghasilan
rendah. Kedua, peningkat­an akses keuang­
an melalui DFS. Ketiga, perlindungan
kon­­
sumen untuk memastikan terjaganya
hak-hak masyarakat ketika memanfaatkan
ak­ses keuangan dan sistem pembayaran.
Keempat, pengurang­an infor­masi asimetris
melalui penyediaan data profil keuangan
masyarakat unbanked dan data informasi
komoditas. Kelima, pengaturan dalam ke­
rangka stabilitas sistem keuangan untuk
men­dukung efektivitasnya, termasuk reko­
mendasi kebijakan kepada otoritas terkait.
Adapun khusus untuk pengembangan
UMKM, prinsip yang dipakai pada dasarnya
sama dengan strategi keuangan inklusif.
Namun, strategi untuk UMKM di­leng­kapi
dengan upaya pe­ningkatan kapasitas dan
infra­struktur pendukung guna mengurangi
asimetric information. Bentuk dukungan in­
frastruktur itu mulai dari layanan sertifikasi
tanah, asuransi pertanian, pemeringkatan
UMKM, pendirian lembaga penjamin kredit
daerah, hingga informasi mengenai UMKM
di situs BI. Selain meminimalkan informasi
asimetris, langkah ini sekaligus mendorong
penyaluran pembiayaan dan membantu
pe­ningkatan efisiensi perekonomian.
Sinergi program keuangan inklusif dan
UMKM akan sangat membantu pening­
katan akses keuangan secara terintegrasi
dan menyeluruh. Mengingat peningkatan
keuangan inklusif adalah program jangka
panjang dan menyentuh wilayah berbagai
instansi, baik pemerintah maupun otoritas
lain, maka kesamaan visi dan misi diper­
lukan. Bahkan, perlu ada pula perubahan
para­digma. Koordinasi dan kemitraan an­
tar-lembaga merupakan prasyarat mu­tlak.
Di internal BI, peran Kantor Perwakilan BI
pun akan sangat vital sebagai ujung tom­
bak di daerah, termasuk untuk berkoordi­
nasi de­ngan instansi setempat. u
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
perspektif
M
Mewujudkan stabilitas tak
bisa dilakukan tanpa pengu­
atan aspek struktural. Tak
ter­kecuali di sistem keuang­
an. Bila pertumbuhan eko­
no­
mi inklusif dan berkelanjutan disa­
sar,
maka sejumlah masalah struktural di sistem
keuangan pun harus segera dibenah­i.
Berdasarkan fakta di lapangan, pen­
duduk Indonesia yang melek keuangan
masih rendah. Menurut survei Bank Dunia
pada 2011, baru 19,6 persen penduduk de­
wasa memiliki rekening bank. Hal yang
sama juga diinformasikan Lembaga De­
mografi Fakultas Ekonomi Universitas In­
donesia, bahwa hanya 35,31 persen pen­
duduk dewasa yang sudah terlayani bank
pada 2012. Per Desember 2012 kontribusi
tabung­an masyarakat terhadap perekono­
mi­an baru 39,13 persen, sementara kredit
perbankan menyumbang 32,85 persen.
Menariknya, pertumbuhan tinggi eko­
no­mi Indonesia ternyata belum sesuai eks­­
pek­tasi. Meski pendapatan domestik bru­to
(PDB) meningkat dari Rp 1.681 triliun pada
kuartal empat 2010 menjadi Rp 2.096 tri­li­
un pada kuartal empat 2012, dan ada pe­­
nu­
runan tingkat kemiskinan, namun ke­
­
tim­­­­pangan melebar. Indeks Gini yang pa­da
2010 tercatat 0,37, pada 2012 naik ja­di 0,41.
­
Artinya, pertumbuhan ekonomi ku­
rang
menyen­tuh masyarakat lapisan bawah.
Di sistem keuangan, pembiayaan per­
bankan yang tersalur ke usaha mikro kecil
dan menengah (UMKM) baru 19 persen dari
total kredit perbankan. Bahkan, porsi pem­
biayaan untuk sektor mikro dan kecil relatif
kecil, masing-masing tercatat hanya 21,8
persen dan 30,3 persen dari total kucuran
kredit UMKM per November 2013 .
Padahal, UMKM menyerap 97,16 per­
sen tenaga kerja menurut data Kemente­
rian Koperasi dan UKM pada 2012, dan me­
nyumbang 56 persen PDB. Krisis 1997-1998
menunjukkan pula bahwa UMKM adalah
sektor yang paling tahan menghadapi ba­
dai besar perekonomian yang menghan­
tam Indonesia dan Asia pada waktu itu.
Dok
Dari, Untuk, dan Oleh Semua
13
UMKM
Tranformasi
Menyongsong MEA 2015
peristiwa & humaniora
Dok BI
S
ektor Usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM) punya andil besar terhadap
perekonomian Indonesia. Sektor ini
menyumbang 56 persen Penda­
patan Domestik Bruto (PDB) pada
2012, me­nye­rap lebih dari 97 persen tenaga
kerja, dan menjadi komponen terbesar dari
unit usaha di Indonesia.
Namun, capaian ini belum cukup, apalagi
untuk menyongsong Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) 2015. Di satu sisi, MEA membu­
ka peluang besar bagi UMKM karena produkproduk dalam negeri akan mendapat pasar
di kawasan ASEAN. Pada 2012, kawasan ini
berpopulasi 617,78 juta dengan PDB sebesar
2,1 triliun dolar AS.
Pada sisi lain, MEA 2015 juga mengha­
dirkan tantangan lain untuk Indonesia, se­
lain target pasar. Pengembangan wirausaha
diperlukan untuk menghasilkan produk ber­
nilai tambah dan berdaya saing yang punya
kemampuan menembus pasar global. Men­
jadi pemain andal yang diperhitungan men­
jadi sebuah keharusan. Untuk itu, potensi
UMKM harus lebih diangkat dan diperkaya
dengan sentuhan kewirausahaan.
Gubernur Bank Indonesia Agus Marto­
wardojo, saat membuka Global Entrepreneurship Week (GEW) 2013 di Bank Indonesia Ja­
karta, pada 20 November 2013, menekankan
pentingnya transformasi ekonomi. Ha­
nya
bertahan, kata dia, tidak akan cukup di te­
ngah situsi global yang dinamis saat ini.
Menurut Agus, peran wirausaha yang
an­dal dibutuhkan agar Indonesia memiliki
industri yang mandiri, mampu memenuhi
ke­­butuhan masyarakat kelas menengah, se­
kaligus mampu bersaing di pasar global. Ia
pun yakin apabila kondisi tersebut tercapai
maka Indonesia akan memiliki postur neraca
transaksi berjalan yang lebih sustainable.
“Ekonomi kita juga perlu terus bertrans­
formasi karena tingkat persaingan global
semakin meningkat, sementara masih ter­
dapat beberapa kelemahan struktural yang
perlu terus dibenahi untuk memperkuat
daya saing dunia usaha kita,” papar Agus.
Karena­
nya, harus ada dukungan penuh
dari semua kalangan untuk meningkatkan
pengembang­an UMKM dan kewirausahaan.
Sebagai bentuk dukungan BI bagi sektor
produktif dan UMKM, pada pe­ngujung 2012
sudah diterbitkan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian
Kredit atau Pembiayaan dan Bantuan Teknis
Dalam Rangka Pengembangan Usa­ha Mikro,
Kecil, dan Menengah. Ketentuan ini mewa­
jibkan bank umum menyalurkan 20 persen
kredit/pembiayaan kepada UMKM yang se­
cara bertahap mulai berlaku pada 2015.
Bank Indonesia juga memberikan bera­
gam bantuan teknis berupa penelitian, pe­
latihan, penyediaan informasi, serta fasilitasi
kepada UMKM, perbankan, lembaga pem­
biyaan UMKM, serta lembaga penyedia jasa.
Melalui Peraturan BI Nomor 14/26/PBI/2012
tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor
Berdasarkan Modal Inti Bank, Bank Indonesia
mewajibkan pula bank menyalurkan 55-70
persen kredit/pembiayaannya ke sektor usa­
ha produktif, sesuai dengan modal inti bank
yang bersangkutan. u
Penghargaan untuk Responden, Pelapor, dan Mitra Survei di Jatim
K
antor Perwakilan Bank Indonesia Wila­
yah IV Jawa Timur memberikan peng­
hargaan kepada 15 perusahaan atas
kontribusi mereka membantu BI melakukan
survei untuk menilai kondisi perekonomian
Jawa Timur. Penghargaan diserahkan pada 9
Desember 2013.
“Para penerima penghargaan adalah
per­usahaan yang menjadi responden survei,
perusahaan pelapor data, dan perusahaan
yang menjadi mitra informasi,” kata Kepala
Kantor Perwakilan BI Wilayah IV Jatim, Dwi
Pranoto. Kriteria dari penghargaan yang baru
pertama kali digelar kantor perwakilan ini
ada­lah kualitas informasi yang diberikan, ke­
tepatan waktu pelaporan, kelengkapan, dan
14
akurasi data.
Hingga saat ini, tingkat partisipasi res­
ponden di Jawa Timur dinilai sangat baik dan
positif. Pranoto mengatakan kualitas data
dalam laporan juga sudah semakin lengkap,
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
Dok BI
akurat, dan dapat diandalkan. Kelengkap­an
cakupan data, kata dia, membe­rikan ruang
yang lebih luas bagi Bank Indonesia untuk
melakukan analisa dan merumuskan kebijak­
an. u
K
elompok Tani Ternak (KTT) Bina
Ter­nak Desa Kendalrejo, anggo­ta
Klaster Ayam Petelur Kabupa­
ten
Pemalang binaan Kantor Per­
wa­
kilan Bank Indonesia Tegal, menja­
di jua­ra pertama lomba Kelompok Peternak
Ayam Lokal Tingkat Nasional 2013. Lomba
ini di­gelar Kementerian Pertanian. Atas pres­
ta­si itu, KTT Bina Ternak Desa Kendalrejo
menerima penghargaan Adhikarya Pangan
Nusantara 2013.
Wakil Presiden Boediono menyerahkan
langsung penghargaan tersebut kepada
per­­wakilan KTT Bina Ternak Desa Kendalrejo,
di Istana Wakil Presiden, pada 29 November
2013. Wakil Presiden mengapresiasi para pe­
nerima penghargaan yang telah menunjuk­
kan konsistensi dan dan keberhasilan me­
ningkatkan kemandirian ketahanan pangan
di daerah masing-masing.
Penilaian lomba berlangsung pada 17
Juli 2013. Tim penilai berasal dari Direktorat
Jendral Peternakan, Himpunan Peternak
Ung­gas Lokal Indonesia, dan Institut Perta­
nian Bogor. Mereka mendatangi KTT Bina
Ternak Desa Kendalrejo, Kecamatan Petaruk­
an, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah.
Empat aspek menjadi poin utama peni­
laian, mencakup administrasi dan organisa­
si, usaha hulu, usaha budidaya, dan usaha
hilir. KTT Bina Ternak Desa Kendalrejo dinilai
memiliki keunggulan dalam hal diversifikasi
produk dan pemasaran. Selain telur ome­
ga-3, golden yolks, dan probiotik, KTT Bina
Ternak Desa Kendalrejo juga menghasil­
kan produk turunan seperti chicken nugget,
keripik ceker, abon, dan bakso.
Dari sisi fasilitas, kelompok tani ini juga
telah memiliki kandang terpadu dengan ka­
pasitas 1.000 ekor ayam dalam satu kawasan.
Seluruh siklus usaha ternak ayam dapat di­
laksanakan di kandang terpadu tersebut,
mu­
lai dari penetasan, pemeliharaan anak
ayam, pemeliharaan ayam dewasa, sampai
ayam tidak produktif lagi.
Dalam hal pemasaran, kelompok tani
binaan Kantor Perwakilan Bank Indone­
sia Tegal ini telah menjangkau toko dan
swa­
layan besar di Pemalang seperti Basa
Toserba, Yogya Swalayan, dan Swalayan Pe­
malang Permai. Produk mereka juga dijual di
koperasi dan sekolah-sekolah di Pemalang.
Keunggulan lain KTT Bina Ternak Desa
Ken­
dalrejo adalah kemampuannya meng­
akses pembiayaan dari lembaga perbankan
berupa kredit umum atau kredit bersub­
sidi, yang menandakan usaha ternak ayam
tersebut layak dibiayai dan dipercaya oleh
perbankan.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Tegal,
Bandoe Widiarto, mengatakan kantornya
ber­sama bersama Dinas Pertanian dan Ke­
hutanan Kabupaten Pemalang akan terus
meng­
awal perkembangan klaster ayam
petelur. “Kami telah melaksanakan pelatih­
an mengenai manajemen administrasi dan
keuangan pada 3 sampai 4 Desember 2013.
Harapannya pelatihan tersebut dapat se­
makin memajukan kelompok-kelompok da­
lam klaster,” ujarnya. u
B
ank Indonesia memberikan
peng­
hargaan kepada bank
dan lembaga bukan bank yang
men­jadi pelapor terbaik Lalu Lintas
Devisa (LLD) dan Devisa Hasil Ekspor
(DHE). Penghargaan diserahkan De­
puti Gubernur Bank Indonesia Perry
Warjiyo ke­pada 24 pelapor LLD dan
DHE.
Penyerahan penghargaan pe­
lapor terbaik itu dilakukan dalam
Temu Akhir Tahun Pelapor LLD dan
DHE 2013, pada 4 Desember 2013.
Perry mengatakan, kon­tribusi pen­
catatan statistik LLD dan DHE yang
lengkap, dapat dipercaya, akurat,
dan tepat waktu merupakan amuni­
si yang diperlukan dalam perumus­
an kebijakan di bidang moneter,
makroprudensial, perbankan, dan
sistem keuangan.
“Dengan pelaporan yang efek­
tif maka hal ini diharapkan dapat
berkontribusi besar pada stabilitas
makroekonomi, sehingga pelaku
bis­nis yang di antaranya termasuk
pe­
lapor LLD dan DHE juga akan
dapat menjalankan roda bisnisnya
dengan lebih baik,” ujar Perry.
Perry berharap para pelapor
men­jaga kualitas, kuantitas, keleng­
kapan, akurasi, dan ketepatan waktu
laporan LLD dan DHE. Hingga Sep­
tember 2013, Bank Indonesia men­
catat 120 pelapor LLD Bank, 2.514
pelapor LLD LBB, dan 2.131 LLDULN. Sedangkan 11.700 eksportir
tercatat menjadi pelapor DHE. u
peristiwa & humaniora
Dok BI
BI Beri Penghargaan
Pelapor Terbaik
LLD dan DHE
D Aulia
Peternak Pemalang Raih
Penghargaan APN 2013
EDISI 45 u desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
15
Setelah Beralih ke OJK
T
onggak
sejarah
telah
dipancang­kan.
Pengaturan
dan peng­­­awasan individual
bank (mikroprudensial) ber­
alih dari Bank Indonesia (BI)
ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 31
Desember 2013.
Pengalihan ini membuat BI tidak lagi
mengatur dan mengawasi kegiatan ope­
rasional dan kinerja dari setiap bank. BI
le­bih fokus pada pengaturan dan peng­
awasan terhadap sistem keuangan (ma­
kroprudensial) serta pada bank-bank dan
lembaga keuangan tertentu yang diang­
gap memiliki peran penting atau signifi­
kan dalam sistem keuangan.
Pengalihan pengaturan dan peng­
awasan mikroprudensial bank ke OJK
tidak kemudian serta-merta memutus
hubung­
an BI de­
ngan bank. UU OJK
mem­
be­
rikan ama­
nat kepada BI untuk
mela­kukan peng­aturan dan pengawasan
secara makroprudensial.
BI pun tetap dapat melakukan peme­
riksaan kepada bank jika dirasa perlu.
Ha­
nya, pemeriksaan itu tak lagi untuk
membe­
rikan penilaian atas kesehatan
bank yang sudah menjadi menjadi kewe­
nangan OJK.
Pengaturan dan Pengawasan
Makroprudensial
Pengaturan dan pengawasan oleh BI
lebih bertujuan menjaga dan memeliha­
ra stabilitas sistem keuangan. Prinsipnya,
me­
mitigasi risiko di sistem keuangan
yang dapat mengancam integritas dan
stabilitas sistem keuangan. Risiko-risiko
itu mencakup risiko kredit, risiko likuidi­
tas, risiko pasar, dan ketahanan permo­
dalan bank.
Semua risiko tersebut bersifat sis­
temik. Pengawasan dilakukan mela­
lui mekanisme pemantauan (surveillance)
terhadap in­di­kator tertentu di pasar ke­
uangan dan lembaga keuangan yang di­
anggap bisa merepresentasikan kondisi
sistem keuang­an. Karena sistem keuang­
an sekarang masih didominasi industri
per­bankan, maka pemantauan terhadap
lembaga keuangan pun diprioritaskan
pa­da indikator-indikator terkait industri
16
perbankan.
Misalnya terkait risiko kredit. BI akan
mencermati indikator-in­dikator tertentu
seperti keselarasan antara pertumbuhan
kredit dengan pertumbuhan ekonomi
nasional. Dicermati pula kerentanan di
sektor-sektor ekonomi tertentu yang
memperoleh pembiayaan (kredit) cukup
besar dari perbankan.
D Aulia
ekspose
Pengawasan Bank
apabila pembiayaan yang diberikan bank
bukan untuk tujuan produktif.
Untuk memitigasi risiko kredit di atas,
ada dua hal yang akan dilakukan BI seba­
gai otoritas makroprudensial. Pertama,
me­ngeluarkan regulasi untuk membatasi
dan menurunkan risiko kredit. Seperti,
kebijakan loan to value ratio untuk sek­
tor properti dan down payment di sektor
otomotif. Juga, kebijakan yang mengait­
kan giro wajib minimum dengan loan to
deposit ratio.
Kedua, melakukan tindakan peng­
awasan (supervisory actions) untuk meng­
arahkan pembiayaan bank agar tidak
ter­konsentrasi pada sektor ekonomi ter­
tentu dan memprioritaskan pembiaya­
an pada sektor-sektor ekonomi yang
produktif yang membantu kinerja pere­
konomian nasional.
Koordinasi
Jika pertumbuhan kredit secara rela­
tif terlihat lebih tinggi dibandingkan de­
ngan pertumbuhan ekonomi nasional,
ri­siko kredit di sistem keuangan akan me­
ningkat. Karena, kemampuan perekono­
mian untuk menyerap dan mendayagu­
nakan pembia­yaan perbankan terbatas.
Bila kredit melaju lebih kencang
dibandingkan pertumbuh­
an ekonomi,
terdapat potensi ketidakseimbangan di
sektor riil. Pelunasan kredit dari bank da­
pat meleset dari harapan. Sistem keuang­
an pun bisa terganggu. Karenanya, BI per­
lu mengambil tindakan makroprudensial
untuk mengatasi hal tersebut.
Demikian pula halnya jika pembia­
ya­
an bank pada sektor-sektor tertentu
tumbuh jauh melebihi rata-rata pertum­
buhan kredit secara keseluruhan (agre­
gat). Peningkatan risiko kredit akan ter­
jadi untuk sektor-sektor tersebut, terlebih
desemBER 2013 u TAHUN 4 u NEWSLETTER BANK INDONESIA
EDISI 45 u desember
Pada 18 Oktober 2013, BI dan OJK
me­nandatangani Surat Ke­pu­tusan Ber­
sama. Inti isinya, memastikan peng­alihan
fungsi pengaturan dan pengawasan mi­
kroprudensial berjalan de­ngan baik, serta
fungsi, tugas, dan wewenang ma­
singmasing lembaga dapat dilaksanakan
dengan efektif.
Surat Keputusan Bersama tersebut
akan memayungi koordinasi makro-mi­
kroprudensial. Kesepakatan itu pun akan
di­perkuat untuk meyakinkan pengalihan
pengaturan dan peng­awasan mikropru­
densial bank ke OJK tidak menimbulkan
pe­­ningkatan regulatory cost, mampu
men­cegah regulatory arbitrage, serta da­
pat meningkatkan kualitas manajemen
krisis nasional.
Jadi, walaupun pengaturan dan
peng­awasan mikroprudensial bank ber­
alih ke OJK, tidak perlu ada kekhawatiran
bahwa pengawasan industri keuangan
akan menjadi terganggu. Fungsi peng­
aturan dan pengawasan yang saling me­
lengkapi antara BI dan OJK justru akan
mendukung upaya pemeliharaan sta­
bilitas sistem keuangan, sekaligus mem­
berikan ruang yang lebih kondusif bagi
pengembangan industri perbankan ke
depan. u
Download