BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keamanan Pangan Undang

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keamanan Pangan
Undang - undang No.18 Tahun 2012 tentang pangan menyatakan bahwa pangan
adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk
pertanian, perkebunan,
kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air baik yang diolah maupun tidak diolah
yang diperuntukan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakann dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan pembuatan makanan dan minuman (Depkes RI, 2012).
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lainnya
mencegah
yang dapat
membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan
budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi (Permenkes RI, 2012).
Pangan yang aman serta bermutu dan bergizi tinggi sangat penting peranannya bagi
pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat kesehatan
serta peningkatan
kecerdasaan masyarakat (Saparinto dan Hidayati, 2006). Pangan tidak aman dapat
menyebabkan penyakit yang disebut foodborne diasease, yaitu gejala penyakit yang timbul
akibat mengonsumsi pangan yang mengandung bahan atau senyawa beracun atau organisme
patogen (Baliwati, et.al. 2004).
Sistem pangan yang ada saat ini meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan
pengaturan, pembinaan, atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi makanan
dan peredarannya sampai siap dikonsumsi manusia. Salah satu
aspek yang harus
dipehatikan dalam hal ini adalah bahan-bahan yang ditambahkan terhadap bahan pangan,
yang kemudian dikenal dengan bahan tambahan makanan (Syah, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Sejalan dengan itu penelitian BPOM yang telah dilakukan di 18 provinsi pada Tahun
2008 diantaranya Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandar Lampung, Denpasar dan Padang
terhadap 861 contoh makanan terbukti bahwa 39,95% (344 sampel) tidak memenuhi syarat
keamanan pangan (BPOM, 2008).
Hasil ini menunjukkan masalah keamanan pangan yang masih memerlukan
penyelesaian adalah penggunaan bahan tambahan pangan yang banyak dilakukan pada
industri pengolahan pangan, maupun dalam pembuatan berbagai pangan jajanan yang
umumnya dilakukan oleh industri kecil atau industri rumah tangga (Cahyadi, 2009).
Terkait dengan hal tersebut BPOM melakukan pemeriksaan terhadap 307 industri
rumah tangga tidak terdaftar. Dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa 206 (67,10%)
sarana menerapkan cara produksi yang baik untuk industri rumah tangga, 92 (29,97%)
sarana belum menerapkan cara produksi yang baik dan 9 (2,93%) sarana tidak aktif
berproduksi/tutup (BPOM, 2011).
2.2 Bahan Tambahan Makanan
2.2.1 Defenisi Bahan Tambahan Makanan
Bahan tambahan pangan merupakan bahan yang di tambahkan ke dalam pangan
untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Keberadaan bahan tambahan pangan sudah
meluas dimasyarakat. Kebutuhan bahan tambahan pangan yang meluas tidak membuat
masyarakat mengetahui penggunaan dan pemanfaatan bahan tambah pangan. Berdasarkan.
Peraturan Mentri Kesehatan.Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/XI/1998 dan
Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999 bahan tambahan makanan merupakan bahan yang
biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredient khas
makanan, mempuyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan
Universitas Sumatera Utara
kedalam makanan untuk tujuan teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyediaan,
perlakuan, pengepakan, pembungkusan, penyimpanan (Cahyadi, 2009). Bahan tambahan
pangan dibagi menjadi dua kelompok yaitu bahan tambahan yang diizinkan dan bahan
tambahan yang dilarang atau tidak diizinkan.
Semakin berkembangnya zaman, peranan dan penggunaan bahan pangan semakin
meluas. Banyaknya bahan pangan dalam
bentuk murni dan tersedia secara komersial
dengan harga yang relatif murah akan mendorong meningkatnya pemakaian
tambahan pangan. Ditambah dengan
bahan
majunya teknologi produksi pangan sekarang ini
penggunaan bahan tambahan pangan juga akan semakin meluas (Lestari, 2011). Pemakaian
bahan tambahan pangan yang aman merupakan pertimbangan yang penting. Jumlah bahan
tambahan pangan yang diizinkan untuk digunakan dalam pangan harus merupakan
kebutuhan minimum dari pengaruh yang dikehendaki (Simatupang, 2009).
Suatu bahan dikatakan bisa masuk dalam kategori bahan tambahan pangan jika
memiliki syarat-syarat seperti bahan tambah pangan bersifat aman, digunakan sesuai dengan
batas maksimum penggunaannya dan telah mendapatkan izin beredar dari instansi yang
berwenang, misalnya zat pewarna yang sudah dilengkapi dengan sertifikat aman (Yuliarti,
2007).
2.2.2 Tujuan Penggunaan Bahan Tambah Makanan
Tujuan
penggunaan
bahan
tambah
makanan
adalah
meningkatkan
atau
mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat pangan lebih mudah
disajikan, mempermudah preparasi bahan makanan (Cahyadi, 2009). Selain itu tujuan
penggunaan bahan tambahan pangan menurut Robert dalam bukunya Food Additives, untuk
menjaga peningkatan kualitas pangan, meningkatan nilai nutrisi, memenuhi syarat sebagai
Universitas Sumatera Utara
fungsi pangan, pelengkap dalam proses pengolahan pangan dan meningkatkan kepercayaan
konsumen (Lestari, 2011).
Disamping tujuan penggunaannya, secara umum bahan tambahan makanan
mempunyai berbagai fungsi seperti mempertahankan konsistensi produk makanan,
memperbaiki nilai gizi, mempertahankan bahkan meningkatkan kandungan gizi yang
kemungkinan hilang akibat pemrosesan, menjaga cita rasa dan sifat produk makanan secara
keseluruhan, menjaga tingkat keasaman atau kebasaan makanan yang diinginkan dan
memperkuat rasa atau memberikan warna tertentu yang dikehendaki (Dzalfa, 2007).
Mengetahui tujuan penggunaan bahan tambahan pangan, akan mampu mengarahkan
seseorang untuk menggunakan dan memposisikan bahan tambah pangan secara tepat,
sehingga bahan pangan yang mampu memberi manfaat, tidak berubah menjadi bahan
tambahan pangan yang merugikan (Lestari, 2011).
Pada umumnya bahan tambahan pangan dibagi dua golongan besar yaitu bahan
pangan yang ditambahkan dengan sengaja dimaksud untuk mempertahankan kesegaran, cita
rasa dan membantu pengolahan seperti pengawet, pewarna, pemanis dan bahan yang tidak
sengaja ditambahkan yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut
dan dapat berupa residu dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan
mentah seperti residu pestisida, antibiotik dan hidrokarbon polisklis (Cahyadi, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Zat Pemanis
Pemanis merupakan bahan tambahan makanan yang berfungsi untuk memberikan
rasa manis dan membantu mempertajam terhadap rasa manis tersebut, biasanya memiliki
nilai kalori yang lebih rendah dari gula biasa dan hampir tidak mempunyai nilai gizi
(Winarno, 1997). Zat pemanis juga merupakan senyawa kimia sering ditambahkan dan
digunakan untuk keperluan produk olahan pangan, industri untuk menciptakan rasa manis.
Perkembangan industri pangan dan minuman akan kebutuhan pemanis dari tahun ke tahun
semakin meningkat. Industri pangan lebih menggunakan pemanis sintesis karena selain
harganya relatif murah, tingkat kemanisan pemanis sintesis jauh lebih tinggi dari pemanis
alami. Dilihat dari data pemakaian selama 5 tahun ada peningkatan pemakaian pemanis
buatan rata-rata sebesar 13,5% (Cahyadi, 2009).
Biasanya zat pemanis memiliki nilai kalori yang lebih rendah dari gula pasir. Rasa
manis sangat digemari banyak orang dari semua golongan usia, terutama anak-anak.
Pemanis ini umumnya dicampurkan pada berbagai produk olahan, seperti kue, minuman
ringan, selai, dan sirup (Yuliarti, 2007).
Berdasarkan proses produksi bahan pemanis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
pemanis alami (Natural Sweetener) dan pemanis buatan atau sintesis (Artifical Sweetner).
Pemanis alami biasanya berasal dari tanaman. Tanaman penghasil pemanis yang utama
adalah tebu dan bit. Bahan pemanis yang dihasilkan oleh kedua tanaman tersebut dikenal
sebagai gula alam atau sukrosa (Cahyadi, 2009). Gula tidak mengandung vitamin, tidak ada
serat kasar, hanya sejumlah kecil mineral, akan tetap mengandung kalori 394 kkal dalam
100 gram bahan. Gula alami merupakan sumber kalori, sumber bahan yang bernilai sepertti
vitamin dan mineral akan hilang selama proses pengolahan murni (Hernike, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa pemanis alami yang sering digunakan adalah sukrosa, laktosa, maltsa, galaktosa,
sorbitol, manitol, gliserol dan glisina.
Pemanis sintetis merupakan bahan tambahan yang dapat menyebabkan rasa manis
pada pangan, tetapi tidak memiliki nilai gizi. pemanis yang dihasilkan melalui reaksi kimia
organik di dalam skala industri, diperoleh secara sintesis dan tidak menghasilkan kalori
seperti halnya bahan pengganti gula.
Menurut peraturan mentri kesehatan RI Nomor 208/Menkes/Per/IV/1985 di antara
semua pemanis buatan hanya beberapa yang diizinkan penggunaannya seperti sakarin,
siklamat dan aspartam dengan jumlah yang dibatasi dosis tertentu (Cahyadi, 2009).
Meskipun sakarin dan siklamat tergolong dalam bahan pangan yang diizinkan pemerintah,
namun kewaspadaan terhadap penggunaan jenis pemanis buatan tersebut perlu dilakukan.
Mengingat tidak semua masyarakat mengerti tentang bahan tambah pangan, penggunaan
serta pengolahannya (Lestari, 2011).
Pemanis buatan pada awalnya diproduksi komersial untuk memenuhi ketersediaan
produk makanan dan minuman bagi penderita diabetes mellitus yang harus mengontrol
kalori makanannya. Dalam perkembangannya, pemanis buatan
juga digunakan untuk
meningkatkan rasa manis dan cita rasa produk - produk yang mengharuskan rasa manis dan
di dalamnya sudah terkandung gula. Ketentuan terkait pemanis buatan dikeluarkan BPOM
berupa SK Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor: HK.00.05.5.1.4547
tentang persyaratan penggunaan bahan tambahan pangan pemanis buatan dalam produk
pangan (PIPIMM, 2015).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Daftar Pemanis Buatan Berdasarkan Kategori Pangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Jenis BTP
Pemanis
Buatan
Alitam
Asesulfam-K
Aspartam
Isomalt
Laktitol
Maltitol
Manitol
Neotam
Sakarin
Siklamat
Silitol
Sorbitol
Sukralosa
Nilai Kalori
Kkal/g
KJ/g
1,4
0
0,4
≥2
2
2,1
1,6
0
0
0
2,4
2,6
0
5,85
0
1,67
≥8,36
8,36
8,78
6,69
0
0
0
10,03
10,87
0
ADI
(Acceptable Daily Intake)
Mg/kg BB
0,34
15
50
termasuk GRAS
termasuk GRAS
termasuk GRAS
termasuk GRAS
2
5
11
termasuk GRAS
termasuk GRAS
15
Sumber : PIPIMM, 2015
Penggunaan pemanis buatan yang ditambahkan ke dalam pangan membuatnya sudah
banyak di manfaatkan dalam makanan dan minuman. Pemanis buatan ditambahkan kedalam
pangan mempunyai beberapa tujuan seperti (Cahyadi, 2009) :
1. Sebagai bahan pangan bagi penderita diabetes melitus karena tidak menimbulkan
kelebihan gula darah. Pada penderita diabetes mellitus disarankan pemanis buatan untuk
menghindari bahaya gula.
2. Memenuhi kebutuhan kalori rendah untuk penderita kegemukan. Untuk orang yang
kurang aktif secara fisik disarankan untuk mengurangi masukan kalori per harinya.
3. Sebagai penyalut obat. Beberapa obat mempunyai rasa yang tidak menyenangkan,
karena itu menutupi rasa yang tidak menyenangkan dari obat tersebut dibuatkan tablet
yang bersalut selain itu karena umumnya bersifat higroskopis dan tidak menggumpal.
4. Menghindari kerusakan gigi. Pada pangan seperti permen lebih sering ditambahkan
pemanis sintesis karena bahan permen ini mempunyai rasa manis yang lebih tinggi dari
Universitas Sumatera Utara
gula, pemakaian dalam jumlah sedikit sudah menimbulkan rasa manis yang dibutuhkan
sehingga tidak merusak gigi.
5. Pada Industri pangan, baik itu makanan atau minuman termasuk industri rokok, pemanis
sintesis digunakan untuk menekan biaya produksi, karena tingkat rasa manis lebih tinggi
dan juga harganya lebih murah dibandingkan pemanis alami (Yuliarti, 2007).
2.3.1 Siklamat
Siklamat pertama kali ditemukan oleh Michael Sveda pada tahun 1937. Siklamat
ditambah kedalam makanan dan minuman sejak tahun 1950 (Cahyadi, 2008). Berbeda
dengan sakarin yang memiliki rasa manis dengan meninggalkan rasa pahit, siklamat hanya
berasa manis tanpa diikuti rasa pahit.
Siklamat meiliki rumus C6H11NHSO3Na, umumnya dalam bentuk garam kalsium,
kalium, dan natrium siklamat. Garam siklamat berbentuk kristal putih, tidak berbau, tidak
berwarna, dan mudah larut dalam air dan etanol, intensitas kemanisannya ± 30 kali
kemanisan sukrosa. Kombinasi penggunaan siklamat dengan sakarin bersifat sinergis, dan
kompatibel dengan pencitarasa dan sebagai bahan pengawet (Indrie dan Qanytah, 2009).
Sifat fisik siklamat tahan panas, sehingga sering digunakan dalam pangan yang
diproses dalam suhu tinggi misalnya pangan dalam kaleng. (Yusuf dan Nisman,
2013).Siklamat memiliki nilai kalori 0 kkal/g atau setara dengan 0 kg/g dan ADI untuk
siklamat sebesar 0mg/kg - 11mg/kg berat badan, batas maksimum penggunaan siklamat
berdasarkan kategori pangan jelly, jam dan marmalade yaitu
1000
mg/kg
(SNI
01.6993.2004).
Universitas Sumatera Utara
Dalam menghitung nilai ADI, maka digunakan standar berat badan sesuai dengan
kelompok umur berdasarkan standar FAO – WHO dalam Handbook on Human Nutrition
Requirements yaitu :
-
Berat badan standar anak-anak (0-9 tahun) adalah 17 kg
-
Berat badan standar remaja laki-laki (10-19 tahun) adalah 42 kg
-
Berat badan standar remaja putri (10-19 tahun) adalah 41 kg
-
Berat badan standar orang dewasa laki-laki (20-60 tahun) adalah 55 kg
-
Berat badan standar orang dewasa perempuan (20-60 tahun) adalah 47 kg
(Sediaoetomo, 2008).
Walaupun penggunaannya diperbolehkan dan telah dibatasi, pemakaian siklamat
dilaporkan sering disalahgunakan dan penggunaannya melebihi batas yang diizinkan. Riset
BPOM pada November - Desember 2002 sudah menunjukkan bahwa konsumsi siklamat
sudah mencapai 240 % Accaptable Daily Intake (ADI)
(BPOM, 2004).
Hasil penelitian yang dilakukan pada minuman berenergi yang dijual di Kota Medan
menunjukkan dari 15 sampel yang diperiksa diperoleh 6 sampel yang menggunakan
siklamat, dengan kadar terendah yaitu 1,77 g/kg dan kadar tertinggi yaitu 2,91 g/kg hampir
mendekati
kadar
maksimum
siklamat
yaitu
3
g/kg
menurut
Permenkes
No.722/Menkes/IX/88 (Sinamo,2004). Hasil penelitian sejenis juga dilakukan pada sirup
produk lokal atau produk nasional di pasar tradisional Kota Medan, Kadar siklamat pada
sirup adalah 129,8 mg/kg, sedangkan pada sirup siap saji adalah 18,8 mg/kg (Simatupang,
2009). Hasil penelitian kedua ini menunjukkan kadar penggunaaan masih jauh dibawah
ambang batas yang digunakan yaitu 500mg/kg menurut SNI 01-6993-2004 tentang
Persyaratan penggunaan zat pemanis.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian lain juga dilakukan pada jamu gendong di Pasar Grobongan
Semarang dari analisis yang didapat penjual menambahkan siklamat pada sebagian jamu
yang dijual. Dari 23 jenis jamu positif mengandung siklamat dari total 32 jenis didapat 16
jamu melebihi ambang batas dan 7 jenis jamu dibawah ambang batas (Lestari, 2011). Hasil
ini sejalan dengan dampak yang akan dirasakan terhadap kesehatan jika terus menerus di
konsumsi. Penelitian sejenis juga dilakukan pada jamu gendong kunyit asam di Jakarta.
Dilakukan analisis kuantitatif dengan metode kromatografi kertas dan kromatografi cair
kerja tinggi (KCKT), dari hasil yang didapat dari 5 sampel yang diperiksa ternyata tidak
mengandung pemanis sintesis sakarin dan aspartam tetapi seluruh sampel positif
mengandung siklamat (Yusuf dan Nisman, 2013).
Dari penelitian - penelitian yang telah dilakukan menunjukkan masih banyak
penggunaan zat pemanis sintesis berupa siklamat dalam makanan dan minuman namun
kadar yang digunakan masih dibawah kadar ambang batas yang telah di tetapkan yaitu
sebesar 300 mg/kg menurut Permenkes RI No.722/Menkes/per/IX/88 sedangkan menurut
WHO sendiri membatasi konsumsi siklamat yang aman (ADI) adalah 11mg/kg berat badan.
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, penggunaannya hanya diperbolehkan
untuk pasien diabetes ataupun orang yang membutuhkan makanan berkalori rendah. Tetapi
pada kenyataannya penggunaan siklamat semakin meluas pada berbagai kalangan dan
beragam produk. Hal ini dikarenakan harganya yang jauh lebih murah, menimbulkan rasa
manis tanpa rasa pahit yang memiliki tingkat kemanisan 30 kali gula (Winarno dan Birowo,
1988 dalam Putra, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Dampak Siklamat Terhadap Kesehatan
Sekalipun penggunaannya diizinkan dan aman dikonsumsi dalam kadar yang kecil,
tetap saja dalam batas-batas tertentu akan menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
Penggunaan siklamat ini ditunjukkan untuk penderita diabetes mellitus dan orang yang diet
memang sangat membantu kesehatannya. Namun ketika siklamat di konsumsi oleh orang
yang normal maka akan menyebabkan suatu masalah bagi kesehatannya.
Penelitian
lebih lama menunjukan siklamat dapat menyebabkan atropi, yaitu
terjadinya pengecilan testikuler dan kerusakan kromosom, penelitian yang dilakukan oleh
para ahli Academy Of Science pada tahun 1985 melaporkan bahwa siklamat maupun
turunannya (sikloheksiamin) juga diduga sebagai tumor promoter (Cahyadi, 2009). Dari
beberapa penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa pada penambahan 10%
natrium siklamat dapat merangsang terjadinya tumor kandung kemih (Frank,1995 dalam
Putra, 2011).
Hasil penelitian pada manusia yakni pada 3 orang yang telah meminum siklamat
dengan dosis 40-57 mg/kg berat badan secara teratur selama 18 bulan menyebabkan
pertumbuhan tumor. Siklamat mengalami beberapa proses didalam tubuh manusia. Absorpsi
atau penyerapan siklamat dalam tubuh tergolong lambat yaitu ± 6-8 jam. Siklamat tidak
seluruhnya diserap melalui usus halus, sebagian keluar (ekskresi) bersama tinja kira-kira 1836%. Ini menunjukkan bahwa siklamat tidak diserap di usus (Sinamo, 2004).
Konsumsi siklamat dalam dosis berlebih mengakibatkan kanker kandung kemih,
selain itu akan menyebabkan tumor paru, hati dan limpa (Indrie et.al, 2011). Selain itu,
siklamat memunculkan banyak gangguan kesehatan di antaranya tremor, migran, dan sakit
Universitas Sumatera Utara
kepala, kehilangan daya ingat, insomnia, iritasi, asma, hipertensi, sakit perut, alergi,
impotensi dan gangguan seksual, kanker otak (Indriasri, 2009).
2.3.3 Sakarin
Sakarin kali ditemukan secara tidak sengaja oleh Fahbelrg dan Ramsen pada tahun
1897, digunakan sebagai antiseptik dan pengawet, namun sejak tahun 1900
sakarin
digunakan sebagai pemanis. Sakarin sebagai pemanis buatan biasanya dalam bentuk garam
berupa kalsium, kalium dan natrium sakarin. Secara umum, garam sakarin berbentuk kristal
putih, tidak berbau atau berbau aromatik lemah, dan mudah larut dalam air, serta berasa
manis. Di samping memiliki rasa manis, sakarin juga mempunyai
rasa pahit yang
disebabkan oleh kemurnian yang rendah dari proses sintesis (Yusuf dan Nisman, 2013).
Sakarin memiliki rumus kimia C14H8CaN2O6S2. Dengan kadar manis 300 sampai
500 kali tingkat sukrosa (PIPIMM, 2015). Sakarin memiliki nilai kalori 0 kkal/g atau setara
dengan 0 kg/g dan ADI 5 mg/kg berat badan. Batas maksimum
penggunaan sakarin
berdasarkan kategori pangan jelly, jam dan marmalade yaitu
200 mg/kg
(SNI
01.6993.2004).
Sakarin ini larut dalam air mendidih, dalam etanol, ammonia dan dalam larutan
alkali. Nama dagang sakarin adalah clucide, barantose, sacaharinose, saccharoi, saxin,
sykose atau kermetesa. Kegunaan sakarin sebagai pengganti gula bagi penderita diabetes
mellitus dan diet untuk penderita obesitas (Purba, 2006).
Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan melalui Mentri kesehatan RI
No.208/Menkes/Per/IV/85 tentang pemanis buatan dan No.722/Menkes/Per/IX/88 tentang
bahan tambahan pangan, bahwa pada pangan dan minuman olahan khusus yaitu berkalori
Universitas Sumatera Utara
rendah dan untuk penderita penyakit diabetes mellitus kadar maksimum sakarin yang
diperbolehkan adalah 300 mg/kg.
Penggunaan sakarin biasanya dicampur dengan bahan pemanis lain seperti siklamat
atau aspartam. Hal ini dimaksudkan untuk menutupi rasa tidak enak dari sakarin dan
memperkuat manisnya. Sebagai contoh, kombinasi sakarin dan siklamat dengan
perbandingan 1:3 merupakan campuran yang paling baik sebagai pemanis yang menyerupai
gula dalam minuman (Cahyadi, 2009).
Sejak bulan Desember 2000, FDA (Food and Drug Administration) telah
menghilangkan kewajiban pelabelan pada produk pangan yang mengandung sakarin, dan
100 negara telah mengijinkan penggunaannya. CAC (Codex Alimentarius Commission)
mengatur maksimum penggunaan sakarin pada berbagai produk pangan berkisar antara 80 –
5.000 mg/kg produk. Saat ini, meskipun sakarin telah dinyatakan aman untuk dikonsumsi,
namun di USA sendiri penggunaannya dalam produk pangan masih sangat dibatasi (Indrie
dan Qanytah, 2009).
Pada konsentrasi tinggi akan menimbulkan rasa pahit. Sakarin sering digunakan
dengan alasan utama karena harganya murah, disamping nilai kalorinya rendah, serta tidak
menimbulkan kanker. Biasanya bahan tambahan ini banyak dicampurkan pada berbagai
macam minuman ringan (soft drink), selai, permen, tak terkecuali berbagai jenis jajan pasar
dan berbagai macam produk kesehatan mulut seperti pasta gigi dan obat penyegar mulut
(Yuliarti, 2007).
Penelitian yang dilakukan pada permen karet yang beradar di Kota Medan Tahun
2010, dari analisis kualitatif menunjukkan bahwa seluruh permen karet mengandung sakarin
dan analisis kuantitatif didapatkan kadar tertinggi pada sampel C 25,53 mg/kg dan D
Universitas Sumatera Utara
24,24mg/kg. Berdasarkan hasil tersebut, ternyata masih di bawah ambang batas yang telah
ditetapkan yaitu 300 mg/kg (Silalahi, 2010).
Hasil penelitian dilakukan terhadap sirup produk lokal atau produk nasional di pasar
tradisional Kota Medan, dari 12 sampel terdapat 1 sampel positif sakarin dengan
menggunakan metode titrasi asam basa dan kadar sakarin yang didapat adalah 60,79 mg/kg
dan pada sirup siap saji adalah 12,14 mg/kg (Simatupang, 2009).
Penelitian sejenis juga dilakukan pada es krim yang ada di Kota Medan, setelah
dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif terbukti dari 15 sampel terbukti seluruh sampel
diketahui menggunakan pemanis yang diizinkan yaitu sakarin, tetapi kadar sakarin tersebut
melebihi batas yang ditetapkan oleh Permenkes No.722/Menkes/IX/88 yaitu sebesar 300
mg/kg. Kadar sakarin tertinggi
8631 mg/kg dan kadar sakarin terendah 5754 mg/kg
(Hernike , 2005).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada sakarin
menunjukkan penggunaan sakarin masih banyak digunakan sebagai BTM kedalam makanan
maupun minuman yang dilakukan produsen untuk menekan biaya produksi dan
mendapatkan keuntungan yang besar pula. Meskipun produsen makanan menggunakan zat
pemanis yang diizinkan, masih terdapat juga penggunaan melebihi batas yang ditetapkan
oleh Mentri Kesehatan dan Badan POM .
2.3.4 Dampak Sakarin Terhadap Kesehatan
Di Indonesia pemberian sakarin yang dibenarkan ditambahkan dalam makanan atau
minuman yang diizinkan oleh pemerintah yaitu 300 mg/kg. penambahan kadar sakarin yang
berlebih menimbulkan rasa pahit gentir serta menyebabkan gangguan ginjal, kanker
Universitas Sumatera Utara
kandung kemih, pusing, mual, migran, diare, asma, hipertensi dan lain-lain (Sinulingga,
2011).
Konsumsi sakarin dalam dosis yang berlebihan, dapat
dermatologis bagi anak-anak yang alergi terhadap sulfamat
menimbulkan dampak
kemudian akan memacu
timbulnya tumor yang besifat karsinogenik (Anonim, 2008).
Sakarin dalam bentuk garam yaitu natrium sakarin tidak mengalami metabolisme
sehingga sakarin dieksresikan melalui urine tanpa perubahan kimia. Bagaimanapun sakarin
mampu keluar dari dalam tubuh dalam bentuk utuh tetap saja ada yang tertinggal didalam
tubuh. Oleh karena itu sakarin tidak dapat di metabolisme oleh tubuh, semakin lama akan
mengalami penumpukan dan menjadi sesuatu yang berbahaya bagi tubuh (Lestari, 2011).
2.4 Zat Pewarna
Menurut International Food Information Council Foundation/IFICF (2004),
pewarna pangan adalah zat yang digunakan untuk memberikan atau meningkatkan warna
pada produk pangan, sehingga menciptakan image tertentu dan produk lebih menarik.
Produk pangan dengan nilai gizi yang sangat tinggi sekalipun akan sia-sia apabila tidak
memiliki sisi yang menarik untuk dikonsumsi (Wijaya, 2009).
Warna merupakan daya tarik terbesar untuk menikmati makanan setelah aroma,
pewarna dalam pangan meningkatkan penerimaan konsumen terhadap mutu produk. Oleh
karena itu produsen berlomba menawarkan aneka produknya
dengan tampilan yang
menarik dan warna-warni (Dixit, et.al,1995 dalam Sumarlin, 2010).
Pewarna makanan banyak digunakan untuk berbagai jenis makanan, terutama
berbagai jenis produk jajan pasar serta berbagai makanan olahan yang dibuat oleh industri
Universitas Sumatera Utara
kecil atau industri rumah tangga meskipun pewarna buatan juga ditemukan pada berbagai
yang dibuat oleh industri besar. Hampir setiap makanan olahan ditambahkan pewarna
sintesis mulai dari jajanan anak, tahu, kerupuk, terasi, cemilan bahkan buah dingin terutama
mangga (Yuliarti, 2007).
Zat
pewarna
sering
kali
menimbulkan
masalah
kesehatan
dikarenakan
penyalahgunaan pemakaian zat warna pada makanan, misalnya zat pewarna untuk tekstil
dan kulit digunakan untuk mewarnai bahan makanan. Munculnya penyalahgunaan
ini
dikarenakan ketidaktahuan masyarakat. (Cahyadi, 2006).
Jenis zat
pewarna yang sering
ditemukan dalam beberapa produk pangan
diantaranya adalah Sunset Yellow dan Tartazine. Tartazine dan Sunset Yellow secara
komersial digunakan sebagai zat aditif makanan, dalam pengobatan dan kosmetik yang
sangat mengguntungkan karena dapat dengan mudah dicampurkan untuk mendapatkan
warna yang ideal dan juga biaya yang rendah dibandingkan dengan pewarna alami
(Sumarlin, 2010).
Sejalan dengan itu hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumarlin pada kerupuk pati
terbukti mengandung zat pewarna yang dilarang yaitu Rhodamin B dengan konsentrasi
2,1892 ppm. Sampel mengandung zat pewarna campuran seperi es limun botol/ orange
(Amaranth, Tartazine dan FCF/Sunset Yellow) dan sampel permen merah (Ponceau 4R,
kuning FCF). Namun sebagian besar berupa pewarna tunggal. Pewarna sintetik yang ada
dalam sampel permen kuning sebesar 22,642 ppm dan 9,0119 ppm pada mie basah.
Penggunaan zat pewarna hendaknya dibatasi karena meskipun relatif aman, penggunaanya
membahayakan kesehatan konsumen. Beberapa jenis pewarna yang harus dibatasi
penggunaannya di antaranya amaranth, allurah merah, citrus merah, caramel, erithrosin,
Universitas Sumatera Utara
indigotine, karbon hitam, ponceau SX, fest green FCF, chocineal dan kurkumin (Sumarlin,
2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Depok pada zat warna sintetik yang
dilarang untuk makanan yang beredar di pasaran. Dari analisis sampel zat warna dilakukan
dengan reaksi warna, kromatografi kertas, kromatografi kertas-densinmetri dari 31 sampel
diperoleh hanya 8 sampel yang terdaftar di Depkes, memiliki keterangan lengkap pada
kemasan. Selain itu, terdapat 10 sampel mengandung zat warna sintetik yang dilarang untuk
makanan seperti Merah K4, Rhodamin b, Scarlet GN, Methanil Yellow, Chocolate Brown
FB dan Orange G (Azizahwati, et.al, 2007).
2.4.1 Pembagian Zat Pewarna
Pewarna adalah bahan tambahan pangan berupa pewarna alami dan sintesis, yang
ketika ditambahkan pada pangan mampu memberi atau memperbaiki warna. Pembagian
bahan pewarna yang diizinkan dalam makanan dan minuman diklasifikasikan menjadi dua
yaitu :
1. Bahan pewarna alami (Natural food colour)
Awalnya, makanan diwarnai dengan zat warna alami yang diperoleh dari tumbuhan,
hewan, atau mineral, akan tetapi proses untuk memperoleh zat warna alami adalah mahal.
Beberapa pewarna alami yang berasal dari tanaman dan hewan, diantaranya adalah klorofil,
mioglobin dan hemoglobin, anthosianin, flavonoid, tannin, betalain dan xanthon serta
karotenoid (Cahyadi, 2009). Pada umumnya pewarna alami rentan terhadap pH, sinar
matahari, dan suhu tinggi. Pewarna alami sebaiknya disimpan pada suhu 4-8oC untuk
Universitas Sumatera Utara
meminimumkan pertumbuhan mikroba dan degradasi pigmen. Pewarna alami berbentuk
bubuk pada umumnya higroskopis (Wijaya, 2009).
Pewarna pangan alami adalah diekstrasi dan diisolasi dari tanaman dan hewan yang
berbeda yang tidak memberikan efek membahayakan sehingga dapat digunakan dalam
pangan. Pewarna ini memiliki kestabilan yang rendah, kurang cerah dan tidak merata,
namun sangat murah (Vries, 1996 dalam Sumarlin, 2010).
2. Pewarna Sintesis (Synthetic food colour)
Pengunaan zat warna sintetik pun semakin meluas. Keunggulan-keunggulan. zat
warna sintetik adalah lebih stabil dan lebih tahan terhadap berbagai kondisi lingkungan.
Daya mewarnainya lebih kuat dan memiliki rentang warna yang lebih luas. Selain itu, zat
warna sintetik lebih murah dan lebih mudah untuk digunakan (deMan,1980).
Sejak pertama kali dibuat pada tahun 1856 hingga saat ini, telah banyak zat warna
sintetik yang diciptakan. Akan tetapi, ternyata banyak pula zat warna sintetik itu memiliki
sifat toksik. Dalam suatu penelitian, diperoleh zat warna azo (Amaranth, Allura Red, dan
New Coccine) terbukti bersifat genotoksik. Selain itu, zat warna Red No.3 juga terbukti
dapat merangsang terjadinya kanker payudara secara in vitro (Tsuda et.al, 2006 dalam
Azizahwati, 2007). Maka dari itu penggunaan zat pewarna sintetik harus diatur secara tegas.
Dinegara maju, suatu zat warna sintesis harus melalui berbagai prosedur pengujian sebelum
dapat digunakan sebagai pewarna pangan. Zat pewarna yang
diizinkan penggunaanya
dalam pangan disebut certified colour. (Yuliarti, 2007).
Pedagang makanan menggunakan pewarna tekstil untuk mewarnai makanan karena
pewarna tekstil mempunyai harga yang murah. Zat pewarna untuk kain ini dibuat tidak
mudah terurai (luntur). Sehingga ketika digunakan pada makanan, zat warna ini akan
Universitas Sumatera Utara
melekat kuat di dalam jaringan tubuh terutama pada ginjal dan juga bersifat karsinogenik
(Dzalfa, 2007).
Di Indonesia, zat warna makanan termasuk dalam Bahan Tambahan Pangan yang
diatur melalui UU RI No.7 tahun 1996 tentang Pangan pada bab II, bagian kedua, pasal 10.
Dalam UU tersebut, dinyatakan bahwa dalam makanan yang dibuat untuk diedarkan,
dilarang untuk ditambah dengan bahan apapun yang dinyatakan dilarang atau melampaui
batas ambang maksimal yang ditetapkan. Selain itu, dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI
No.239/Menkes/Per/V/85 terdapat 34 jenis zat warna yang dinyatakan sebagai bahan
berbahaya dan dilarang penggunaannya pada makanan (Utami, 2005).
Hasil penelitian terhadap 40 sampel jajanan terdiri dari 20 sampel makanan jajanan
dan 20 sampel minuman jajanan yang ada disekolah dasar Jakarta dengan alat hot plate and
stritter dengan menggunakan serat woll. Makanan jajan diperiksa dibagi menjadi lima
kategori yaitu ketegori bumbu, saus, produk daging olahan, produk olahan tepung dan
produk bubur. Sedangkan minuman jajanan diperiksa dibagi tiga kategori yaitu kategori
sirup, minuman es, air gula bubur. Hasil penelitian menunjukkan dari 20 sampel makanan
yang diperiksa, 9 sampel positif mengandung zat pewarna sintesis yang dilarang. Sedangkan
20 sampel minuman yang diperiksa, 17 positif mengandung zat pewarna sintesis yang
dilarang Permenkes No.722/Menkes/Per/IX/88. Zat pewarna sintesis itu adalah Sunset
yellow, Amaranth dan Eritrosin (Syarifah, 2014).
Hasil penelitian juga dilakukan Trestiati Tahun 2003 pada jajanan siswa SD di
Bandung diperoleh data bahwa Rhodamin B pada berbagai jenis kerupuk, jelly, aromanis
dan minuman dalam kadar yang cukup tinggi antara 7.841-3226,55 ppm. Sehingga
perkiraan asupan yang diterima anak SD kelas 4 sebesar 0,455 mg/kg-hari, perkiraan asupan
Universitas Sumatera Utara
yang diterima anak SD kelas 5 sebesar 0,379 mg/kg-hari dan kelas 6 sebesar 0,402 mg/kghari (Sumarlin, 2010).
Hasil pnelitian pada permen yang bermerek dan tidak bermerek di Kota Medan,
pemeriksaan dari 7 lollipop bermerek terdapat 1 permen mengandung Ponceau 3R dan 7
lollipop tidak bermerek terdapat 1 permen mengandung Ponceau 3R, Kadar dari 7 sampel
lolipop bermerek mengandung zat pewarna yang melebihi batas yaitu, A 450 mg/kg, S 441
mg/kg dan F 451 mg/kg (Mariana, et.al, 2012). Bila dibandingkan dengan Permenkes RI
No.722/ Menkes/ Per/ 1988, jenis dan kadar zat pewarna buatan pada permen lolipop masih
ada yang tidak dizinkan dan tidak memenuhi syarat kesehatan.
Penelitian sejenis juga dilakukan pada sirup yang tidak bermerek di Kota Semarang.
Identifikasi dengan metode kromatografi kertas dan gravimetri. Dari 13 sampel yang
diperiksa secara kualitatif ada 11 sampel (84,6%) menggunakan zat pewarna yang diizinkan
yaitu sunset yellow, tartazine, fast green dan ponceau 4R. sedangkan ada 2 sampel
menggunakan zat pewarna dilarang yaitu Ponceau 3R dan rhodamin B,dengan kadar 0,19
mg/kg dan 0,20 mg/kg (Judika, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian diatas bahwa terlihat masih banyak pemanis sintetis
yang beredar dan digunakan sebagai pemanis dalam berbagai produk makanan dan
minuman, meskipun diizinkan namun masih juga terdapat penggunaan kadar yang melebihi
batas dan penggunaan jenis pewarna sintetis yang dilarang. ini merupakan contoh beberapa
kasus penggunaan zat pewarna yang belum diawasi secara penuh oleh Badan POM.
2.4.2 Dampak Zat Warna Terhadap Kesehatan
Pemberian pewarna makanan dapat berpengaruh terhadap kesehatan. Misalnya,
penggunaan tartrazine secara berlebihan menyebabkan alergi, asma, dan hiperaktif pada
Universitas Sumatera Utara
anak. Penggunaan erythrosine secara berlebihan menyebabkan reaksi
alergi pada
pernafasan, hiperaktif pada anak, tumor tiroid pada tikus dan efek kurang baik pada otak
dan perilaku. Penggunaan fast green FCF secara berlebihan menyebabkan reaksi alergi dan
produksi tumor. Sementara, penggunaan sunset yellow secara berlebihan menyebabkan
radang selaput lendir pada hidung, sakit
pinggang, muntah-muntah, dan gangguan
pencernaan (Saparinto dan Hidayati, 2006).
Sedangkan menurut lembaga pembinaan dan perlindungan konsumen (LP2K),
penggunaan zat pewarna pada makanan secara tidak bertanggung jawab akan
mengakibatkan kemunduran kerja otak, sehingga anak–anak menjadi malas, sering pusing
dan menurunnya konsentrasi belajar (Sastrawijaya, 2000). Mengingat zat pewarna yang
ditambahkan kedalam makanan bersifat kumulatif didalam tubuh, jika jumlahnya semakin
banyak terdapat didalam tubuh akan berpotensial menimbulkan kanker.
Absorbsi zat pewarna di dalam tubuh diawali dari dalam saluran pencernaan dan
sebagian dapat mengalami metabolisme oleh mikro organisme dalam usus. Dari saluran
pencernaan dibawa langsung kehati melalui vena portal atau melalui sistem limpatik ke vena
superior. Di hati senyawa dimetabolisme dan atau dikonjugasi, kemudian di transportasikan
ke ginjal untuk diekskresikan atau dikeluarkan bersama urine (Noviana, 2005).
2.5
Zat Pengawet
Bahan pangan yang berkualitas tinggi sekalipun akan mengalami kerusakan,
untunglah kemajuan ilmu dan teknologi mengenalkan masyarakat dengan zat pengawet.
Pengawet merupakan salah satu bentuk bahan tambahan makanan, penambahan pengawet
dimaksud untuk menghambat ataupun menghentikan
aktivitas mikroorganisme seperti
bakteri, kapang, dan khamir sehingga produk dapat disimpan lebih lama. Selain itu untuk
Universitas Sumatera Utara
lebih meningkatkan cita rasa, memperbaiki
warna, tekstur, sebagai bahan penstabil,
pencegah lengket maupun memperkaya vitamin dan mineral (Yuliarti, 2007).
Pengawet makanan termasuk dalam kelompok zat tambahan makanan yang bersifat
inert secara farmakologik atau efektif dalam jumlah kecil dan tidak toksis. Pengawet
penggunaannya sangat luas, hampir seluruh industri menggunakannya termasuk industri
makanan, kosmetik dan farmasi. Industri yang sudah memiliki ISO 9001 tentunya telah
menajemen produksi yang baik sehingga banyak yang sudah mengurangi jumlah
penggunaan pengawet atau tidak menggunakan pengawet lagi misalnya pada produk susu,
teh dalam botol (Hermita, 2010).
Apabila pemakaian zat pengawet dan dosisnya tidak diatur dan diawasi,
kemungkinan besar akan merugikan manusia baik bersifat langsung misalnya keracunan
ataupun bersifat tidak langsung misalnya zat pengawet yang
digunakan
bersifat
karsinogenik (Cahyadi, 2006).
Pengawet yang banyak dijual dipasaran yang digunakan di berbagai makanan pada
umumnya natrium benzoat. Benzoat ini banyak terdapat pada makanan dan minuman agar
tahan lama, seperti : sari buah, jelly, saos, minuman ringan, selai, kecap dan lain-lain
(Cahyadi, 2009).
Benzoat yang digunakan dalam makanan akan lebih efektif bila makanan itu asam,
sehingga sebagai pengawet banyak digunakan dalam sari buah-buahan, jeli, sirup dan
makanan lainnya yang mempunyai pH rendah (2,5-4,0) (Patong, 2013). Asam benzoat dan
natrium benzoat juga biasanya dimanfaatkan untuk mengawetkan jus buah, sirup apel,
makanan yang mudah rusak, minuman berkarbonasi, produk tepung yang dimasak, salad
saus, salad margarin, saus tomat, buah, selai, dan jeli (Delavar et.al, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Natrium benzoat adalah garam sodium dari asam benzoat dan ada dalam bentuk garam
ketika dilarutkan dalam air. Rumus kimianya yaitu C6H5COONa, natrium benzoat berwarna
putih, granula tanpa bau, bubuk Kristal atau serpihan dan lebih larut dalam air dibandingkan
asam benzoat terurai menjadi lebih efektif dalam bentuk asam benzoate yang tidak
terdisosiasi. Natrium benzoat lebih sering digunakan karena natrium benzoat 200 kali lebih
larut dalam air dibandingkan asam benzoat yang tidak larut dalam air (Anonim, 2008).
Natrium benzoat telah terbukti menyebabkan pH sel menjadi rendah sehingga
merusak organ sel mikroba, di beberapa Negara telah dilarang penggunaannya karena
adanya kemungkinan bahwa natrium benzoat juga bersifat karsinogenik begitu juga
mengonsumsinya dapat memicu pertumbuhan sel kanker. Batas maksimum penggunnan
natrium benzoat sebesar 600 mg/kg bahan (Pratama et.al, 2015).
Selain itu, jenis pengawet
yang sering digunakan pada makanan adalah asam
benzoat. Benzoat dalam bentuk garamnya umum digunakan karena lebih muda larut
dibanding asamnya. Menurut persyaratan SNI 01-0222-1995 batas maksimum penggunaan
natrium benzoat adalah 1 g/kg atau 1000 mg/kg berat bahan. Penambahan
pengawet
memiliki resiko bagi kesehatan tubuh, jika terakumulasi secara terus menerus dan dalam
waktu yang lama (Afrianti, 2008).
Penelitian yang telah dilakukan pada saos tomat di pasaran Kota Blitar, analisis
pengawet natrium benzoat dengan metode spektrofotometri UV. Hasil yang didapat adalah
kadar rata-rata natrium benzoat adalah 2,44 g/kg. kadar ini tidak sesuai dengan persyaratan
SNI 01-0222-1995 yaitu batas penggunaan pengawet natrium benzoat sebesar 1 g/kg (Sella,
2013).
Universitas Sumatera Utara
Sejalan dengan itu, penelitian juga dilakukan di Denpasar pada saos tomat bermerek
dan tidak bermerek, pemeriksaan dengan metode titrasi asam basa. Hasil pemeriksaan yang
didapat secara kuantitatif adalah kadar yang ditemukan berkisar antara 600,12 mg/kg dan
1271,86 mg/kg. Saus tomat yang bermerek mengadung benzoat lebih rendah dari batas
maksimum
kadar
benzoat
yang
diperbolehkan
sesuai
Permenkes
RI
No.722/Menkes/Per/IX/88 yaitu 1000 mg/kg. Sementara itu, sekitar 33% saos tomat yang
tidak bermerek mengandung benzoate dengan kadar yang melebihi batas penggunaan yang
diperbolehkan (Siaka, 2009).
Hasil penelitian juga dilakukan melihat kadar natrium benzoat pada susu kedelai
Tahun 2015, dengan metode ekstrasi cair dan menggunakan instrumen spektrofometri UVVis pada panjang gelombang 276 nm. Hasil kualitatif menunjukkan seluruh sampel
mengandung natrium benzoate. Kadar tertinggi di dapat dari sampel A yaitu 611,67 mg/kg,
sampel B yaitu 589,91 mg/kg dan sampel C yaitu 605,78 mg/kg. ketiga kadar pengawet
natrium benzoat dalam sampel A,B,C melebihi batas sesuai dengan peraturan Kepala
BPOM Nomor 36 Tahun 2013 tentang batas maksimum penggunaan untuk produk susu
yaitu 600 mg/kg (Rustian et.al, 2015).
Dari hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan zat pengawet
pada makanan dan minuman masih banyak ditemukan walaupun menggunakan zat
pengawet yang diizinkan tetap perlu diperhatikan karena zat pengawet dalam batas tertentu
bersifat kumulatif didalam tubuh .
Universitas Sumatera Utara
2.5.1 Dampak Zat Pengawet Terhadap Kesehatan
Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan makanan tertentu, tetapi
tidak efektif untuk makanan lainnya, karena mempunyai sifat yang berbeda - beda. Pada saat
ini masih banyak ditemukan penggunaan bahan pengawet yang dilarang namun digunakan
untuk dalam makanan dan berbahaya bagi kesehatan, misalnya formalin dan boraks.
Bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing
yang masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi. Apabila pemakaian jenis pengawet
dan dosisnya tidak diatur maka menimbulkan kerugian bagi masyarakat, misalnya,
keracunan atau terakumulasinya pengawet dalam organ tubuh dan bersifat karsinogenik.
Pada penderita asma dan orang yang menderita urticaria sangat sensitif terhadap asam
benzoat, jika dikonsumsi dalam jumlah besar akan mengiritasi lambung (Cahyadi, 2009).
Seringkali masyarakat salah pengertian mengenai pengawet untuk makanan yang
seolah-olah aman digunakan selama tidak menyebabkan keracunan atau kematian (toksisitas
akut), tetapi sebenarnya kerusakan organ tubuh manusia dalam jangka panjang (toksisitas
kronik). Bahaya ini dapat terjadi karena produk makanan tersebut setiap hari dimakan,
berbeda dengan obat - obatan per oral yang digunakan hanya kalau sakit (Hardman, et.al,
1996 dalam Harmita, 2010).
Senyawa kimia yang saat ini banyak terdapat pada tahu, ikan, ikan asin, mie basah
adalah formalin. Efek formalin pada makanan dapat dilihat pada konsistensi menjadi keras
atau kenyal pada produknya, tentunya hal ini juga terjadi juga jika formalin bebas masuk
kedalam organ tubuh dan bereaksi dengan protein tubuh, maka membrane sel, tulang rawan
akan mengeras, enzim dan hormon tidak berfungsi (Harmita, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.6 Selai
Selai buah merupakan hasil dari teknologi pengolahan buah. Salah satu produk
pangan semi basah yang cukup dikenal dan disukai masyarakat. Food and Drug
Administration (FDA) mendefinisikan selai sebagai produk olahan buah-buahan, baik
berupa buah segar, buah beku, buah kaleng maupun campuran ketiganya, pemanfaatan buah
menjadi produk selai dapat mendatangkan keuntungan yang cukup. Selai yang dihasilkan
juga dapat disimpan dalam waktu relatif lama (Fachruddin, 1997). Menurut SNI 01-37461995 selai adalah produk makanan semi basah, yang dibuat dari pengolahan bubur
buah-buahan, gula dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan.
Selai atau jam adalah makanan setengah padat yang dibuat dari buah- buahan dan
gula pasir dengan kandungan total padatan minimal 65 persen. Komposisi bahan mentahnya
ialah 45 bagian buah dan 55 bagian gula. Syarat selai yang baik ialah transparan, mudah
dioleskan dan mempunyai aroma dan rasa buah asli.
Pada prinsipnya, hampir semua jenis buah dapat dibuat selai, terutama buah yang
mengandung pektin. Pektin ialah senyawa karbohidrat yang berguna untuk membentuk gel
(bentuk seperti bubur sangat kental) jika bereaksi dengan gula dan asam. Untuk
mendapatkan sumber pektin digunakan buah yang tua tapi belum masak, sedangkan untuk
mendapatkan cita rasa (aroma dan rasa buah) dipakai buah yang sudah masak. karena
dikehendaki dua-duanya (pektin dan cita rasa), maka untuk membuat selai yang baik
digunakan campuran buah yang sudah tua (tapi belum masak) dan buah yang sudah masak
dengan perbandingan yang sama (Koswara, 2009).
Pembentukan gel
pada selai dipengaruhi oleh konsentrasi pektin, pH, dan
konsentrasi gula. Penambahan gula akan mempengaruhi keseimbangan pektin. Gula biasa
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk mengawetkan makanan karena gula bersifat higrokopis atau menyerap air
sehingga sel-sel akan dehidrasi dan akhirnya mati (Sutomo, 2012).
Selai terdiri atas beberapa jenis. Selai yang didalamnya masih ditemukan potongan
buah disebut preserve atau conserves. Selai yang terbuat dari sari buah dan kulit buah citrus
disebut marmalaide. Selai biasanya dikonsumsi bersama roti tawar, sebagai isi kue kering
seperti nastar dan pemanis minuman seperti youghurt dan es krim (Saptoningsih dan
Jatnika, 2012).
2.6.1 Bahan dan Alat yang digunakan
Bahan yang digunakan untuk pembuatan selai yaitu buah-buahan segar, gula,
pektin, asam sitrat (dapat diganti dengan jeruk nipis atau sejenisnya), natrium benzoate.
Sedangkan alat yang digunakan adalah kompor, panci stainlestel, kain saringan, parutan
atau blender, pisau, baskom, pengaduk dari kayu, wajan dan
wadah untuk selai
(Saptoningsih dan Jatnika, 2012).
2.6.2 Proses Pembuatan Selai
1. Kupas kulit buah sampai bersih dan buang bijinya jika ada lalu dicuci
2. Kemudian potong buah menjadi bagian- bagian yang lebih kecil. Setelah itu blender atau
parut buah sampai menjadi bubur buah.
3. Siapkan wajan, kemudian masak bubur buah dengan api yang sedang lalu tambahkan gula
pasir dan pectin. Aduk hingga merata menggunakan sendok dari kayu selama 10 menit.
4. Lakukan pemanasan terus-menerus sambil diaduk perlahan,kemudian tambahkan asam
sitrat atau air jeruk nipis. Aduk hingga mendidih, lalu masukkan natrium benzoat dan aduk
kembali hingga campuran menjadi gel. Buang busa yang timbul dari proses pemasakan.
Universitas Sumatera Utara
5. Setelah bubur buah tadi menjadi gel atau selai, diamkan beberapa saat. Setelah itu selai
siap untuk dimasukkan kedalam botol atau wadah lainnya hingga ketinggian 1 cm dibawah
tutup. Tutup rapat botol atau wadah lainnya dengan penutup yang sebelumnya telah
distrerilisasi.
6. Beri label pada kemasan dan selai buah siap didistribusikan (Saptoningsih dan Jatnika,
2012).
Adapun hal yang harus diperhatikan dalam membuat selai buah adalah aturla api
kompor, gunakan api yang sedang. Jangan gunakan api yang terlalu besar karena akan
menghasilkan suhu yang tinggi sehingga selai menjadi terlalu keras dan kental, sebaiknya
selai dimasak pada suhu 100 oC. Aduk selai secara terus-menurus, tetapi jangan terlalu
cepat karena akan merusak tekstur selai yang akan dihasilkan. Proses pembuatan selai harus
singkat agar organoleptik (aroma, rasa, warna) tidak berubah.
2.7
Kerangka Konsep Penelitian
Pemeriksaan
Selai Buah
1.Strawberry
2.Blueberry
Zat Pemanis :
Memenuhi
syarat/tidak
memenuhi syarat
Ada
(Sakarin danSiklamat)
Zat Pewarna :
Tidak ada
(Amaranth,Indigotin
dan Tartazine,)
Permenkes RI
No.33 Tahun 2012
Bahan Tambahan
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Download