BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keamanan Pangan Undang - undang No.18 Tahun 2012 tentang pangan menyatakan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakann dalam proses penyiapan, pengolahan, dan pembuatan makanan dan minuman (Depkes RI, 2012). Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lainnya mencegah yang dapat membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi (Permenkes RI, 2012). Pangan yang aman serta bermutu dan bergizi tinggi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat kesehatan serta peningkatan kecerdasaan masyarakat (Saparinto dan Hidayati, 2006). Pangan tidak aman dapat menyebabkan penyakit yang disebut foodborne diasease, yaitu gejala penyakit yang timbul akibat mengonsumsi pangan yang mengandung bahan atau senyawa beracun atau organisme patogen (Baliwati, et.al. 2004). Sistem pangan yang ada saat ini meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan, pembinaan, atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi makanan dan peredarannya sampai siap dikonsumsi manusia. Salah satu aspek yang harus dipehatikan dalam hal ini adalah bahan-bahan yang ditambahkan terhadap bahan pangan, yang kemudian dikenal dengan bahan tambahan makanan (Syah, 2005). Universitas Sumatera Utara Sejalan dengan itu penelitian BPOM yang telah dilakukan di 18 provinsi pada Tahun 2008 diantaranya Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandar Lampung, Denpasar dan Padang terhadap 861 contoh makanan terbukti bahwa 39,95% (344 sampel) tidak memenuhi syarat keamanan pangan (BPOM, 2008). Hasil ini menunjukkan masalah keamanan pangan yang masih memerlukan penyelesaian adalah penggunaan bahan tambahan pangan yang banyak dilakukan pada industri pengolahan pangan, maupun dalam pembuatan berbagai pangan jajanan yang umumnya dilakukan oleh industri kecil atau industri rumah tangga (Cahyadi, 2009). Terkait dengan hal tersebut BPOM melakukan pemeriksaan terhadap 307 industri rumah tangga tidak terdaftar. Dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa 206 (67,10%) sarana menerapkan cara produksi yang baik untuk industri rumah tangga, 92 (29,97%) sarana belum menerapkan cara produksi yang baik dan 9 (2,93%) sarana tidak aktif berproduksi/tutup (BPOM, 2011). 2.2 Bahan Tambahan Makanan 2.2.1 Defenisi Bahan Tambahan Makanan Bahan tambahan pangan merupakan bahan yang di tambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Keberadaan bahan tambahan pangan sudah meluas dimasyarakat. Kebutuhan bahan tambahan pangan yang meluas tidak membuat masyarakat mengetahui penggunaan dan pemanfaatan bahan tambah pangan. Berdasarkan. Peraturan Mentri Kesehatan.Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/XI/1998 dan Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999 bahan tambahan makanan merupakan bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredient khas makanan, mempuyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan Universitas Sumatera Utara kedalam makanan untuk tujuan teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyediaan, perlakuan, pengepakan, pembungkusan, penyimpanan (Cahyadi, 2009). Bahan tambahan pangan dibagi menjadi dua kelompok yaitu bahan tambahan yang diizinkan dan bahan tambahan yang dilarang atau tidak diizinkan. Semakin berkembangnya zaman, peranan dan penggunaan bahan pangan semakin meluas. Banyaknya bahan pangan dalam bentuk murni dan tersedia secara komersial dengan harga yang relatif murah akan mendorong meningkatnya pemakaian tambahan pangan. Ditambah dengan bahan majunya teknologi produksi pangan sekarang ini penggunaan bahan tambahan pangan juga akan semakin meluas (Lestari, 2011). Pemakaian bahan tambahan pangan yang aman merupakan pertimbangan yang penting. Jumlah bahan tambahan pangan yang diizinkan untuk digunakan dalam pangan harus merupakan kebutuhan minimum dari pengaruh yang dikehendaki (Simatupang, 2009). Suatu bahan dikatakan bisa masuk dalam kategori bahan tambahan pangan jika memiliki syarat-syarat seperti bahan tambah pangan bersifat aman, digunakan sesuai dengan batas maksimum penggunaannya dan telah mendapatkan izin beredar dari instansi yang berwenang, misalnya zat pewarna yang sudah dilengkapi dengan sertifikat aman (Yuliarti, 2007). 2.2.2 Tujuan Penggunaan Bahan Tambah Makanan Tujuan penggunaan bahan tambah makanan adalah meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat pangan lebih mudah disajikan, mempermudah preparasi bahan makanan (Cahyadi, 2009). Selain itu tujuan penggunaan bahan tambahan pangan menurut Robert dalam bukunya Food Additives, untuk menjaga peningkatan kualitas pangan, meningkatan nilai nutrisi, memenuhi syarat sebagai Universitas Sumatera Utara fungsi pangan, pelengkap dalam proses pengolahan pangan dan meningkatkan kepercayaan konsumen (Lestari, 2011). Disamping tujuan penggunaannya, secara umum bahan tambahan makanan mempunyai berbagai fungsi seperti mempertahankan konsistensi produk makanan, memperbaiki nilai gizi, mempertahankan bahkan meningkatkan kandungan gizi yang kemungkinan hilang akibat pemrosesan, menjaga cita rasa dan sifat produk makanan secara keseluruhan, menjaga tingkat keasaman atau kebasaan makanan yang diinginkan dan memperkuat rasa atau memberikan warna tertentu yang dikehendaki (Dzalfa, 2007). Mengetahui tujuan penggunaan bahan tambahan pangan, akan mampu mengarahkan seseorang untuk menggunakan dan memposisikan bahan tambah pangan secara tepat, sehingga bahan pangan yang mampu memberi manfaat, tidak berubah menjadi bahan tambahan pangan yang merugikan (Lestari, 2011). Pada umumnya bahan tambahan pangan dibagi dua golongan besar yaitu bahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja dimaksud untuk mempertahankan kesegaran, cita rasa dan membantu pengolahan seperti pengawet, pewarna, pemanis dan bahan yang tidak sengaja ditambahkan yaitu bahan yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut dan dapat berupa residu dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah seperti residu pestisida, antibiotik dan hidrokarbon polisklis (Cahyadi, 2009). Universitas Sumatera Utara 2.3 Zat Pemanis Pemanis merupakan bahan tambahan makanan yang berfungsi untuk memberikan rasa manis dan membantu mempertajam terhadap rasa manis tersebut, biasanya memiliki nilai kalori yang lebih rendah dari gula biasa dan hampir tidak mempunyai nilai gizi (Winarno, 1997). Zat pemanis juga merupakan senyawa kimia sering ditambahkan dan digunakan untuk keperluan produk olahan pangan, industri untuk menciptakan rasa manis. Perkembangan industri pangan dan minuman akan kebutuhan pemanis dari tahun ke tahun semakin meningkat. Industri pangan lebih menggunakan pemanis sintesis karena selain harganya relatif murah, tingkat kemanisan pemanis sintesis jauh lebih tinggi dari pemanis alami. Dilihat dari data pemakaian selama 5 tahun ada peningkatan pemakaian pemanis buatan rata-rata sebesar 13,5% (Cahyadi, 2009). Biasanya zat pemanis memiliki nilai kalori yang lebih rendah dari gula pasir. Rasa manis sangat digemari banyak orang dari semua golongan usia, terutama anak-anak. Pemanis ini umumnya dicampurkan pada berbagai produk olahan, seperti kue, minuman ringan, selai, dan sirup (Yuliarti, 2007). Berdasarkan proses produksi bahan pemanis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu pemanis alami (Natural Sweetener) dan pemanis buatan atau sintesis (Artifical Sweetner). Pemanis alami biasanya berasal dari tanaman. Tanaman penghasil pemanis yang utama adalah tebu dan bit. Bahan pemanis yang dihasilkan oleh kedua tanaman tersebut dikenal sebagai gula alam atau sukrosa (Cahyadi, 2009). Gula tidak mengandung vitamin, tidak ada serat kasar, hanya sejumlah kecil mineral, akan tetap mengandung kalori 394 kkal dalam 100 gram bahan. Gula alami merupakan sumber kalori, sumber bahan yang bernilai sepertti vitamin dan mineral akan hilang selama proses pengolahan murni (Hernike, 2006). Universitas Sumatera Utara Beberapa pemanis alami yang sering digunakan adalah sukrosa, laktosa, maltsa, galaktosa, sorbitol, manitol, gliserol dan glisina. Pemanis sintetis merupakan bahan tambahan yang dapat menyebabkan rasa manis pada pangan, tetapi tidak memiliki nilai gizi. pemanis yang dihasilkan melalui reaksi kimia organik di dalam skala industri, diperoleh secara sintesis dan tidak menghasilkan kalori seperti halnya bahan pengganti gula. Menurut peraturan mentri kesehatan RI Nomor 208/Menkes/Per/IV/1985 di antara semua pemanis buatan hanya beberapa yang diizinkan penggunaannya seperti sakarin, siklamat dan aspartam dengan jumlah yang dibatasi dosis tertentu (Cahyadi, 2009). Meskipun sakarin dan siklamat tergolong dalam bahan pangan yang diizinkan pemerintah, namun kewaspadaan terhadap penggunaan jenis pemanis buatan tersebut perlu dilakukan. Mengingat tidak semua masyarakat mengerti tentang bahan tambah pangan, penggunaan serta pengolahannya (Lestari, 2011). Pemanis buatan pada awalnya diproduksi komersial untuk memenuhi ketersediaan produk makanan dan minuman bagi penderita diabetes mellitus yang harus mengontrol kalori makanannya. Dalam perkembangannya, pemanis buatan juga digunakan untuk meningkatkan rasa manis dan cita rasa produk - produk yang mengharuskan rasa manis dan di dalamnya sudah terkandung gula. Ketentuan terkait pemanis buatan dikeluarkan BPOM berupa SK Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor: HK.00.05.5.1.4547 tentang persyaratan penggunaan bahan tambahan pangan pemanis buatan dalam produk pangan (PIPIMM, 2015). Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1 Daftar Pemanis Buatan Berdasarkan Kategori Pangan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Jenis BTP Pemanis Buatan Alitam Asesulfam-K Aspartam Isomalt Laktitol Maltitol Manitol Neotam Sakarin Siklamat Silitol Sorbitol Sukralosa Nilai Kalori Kkal/g KJ/g 1,4 0 0,4 ≥2 2 2,1 1,6 0 0 0 2,4 2,6 0 5,85 0 1,67 ≥8,36 8,36 8,78 6,69 0 0 0 10,03 10,87 0 ADI (Acceptable Daily Intake) Mg/kg BB 0,34 15 50 termasuk GRAS termasuk GRAS termasuk GRAS termasuk GRAS 2 5 11 termasuk GRAS termasuk GRAS 15 Sumber : PIPIMM, 2015 Penggunaan pemanis buatan yang ditambahkan ke dalam pangan membuatnya sudah banyak di manfaatkan dalam makanan dan minuman. Pemanis buatan ditambahkan kedalam pangan mempunyai beberapa tujuan seperti (Cahyadi, 2009) : 1. Sebagai bahan pangan bagi penderita diabetes melitus karena tidak menimbulkan kelebihan gula darah. Pada penderita diabetes mellitus disarankan pemanis buatan untuk menghindari bahaya gula. 2. Memenuhi kebutuhan kalori rendah untuk penderita kegemukan. Untuk orang yang kurang aktif secara fisik disarankan untuk mengurangi masukan kalori per harinya. 3. Sebagai penyalut obat. Beberapa obat mempunyai rasa yang tidak menyenangkan, karena itu menutupi rasa yang tidak menyenangkan dari obat tersebut dibuatkan tablet yang bersalut selain itu karena umumnya bersifat higroskopis dan tidak menggumpal. 4. Menghindari kerusakan gigi. Pada pangan seperti permen lebih sering ditambahkan pemanis sintesis karena bahan permen ini mempunyai rasa manis yang lebih tinggi dari Universitas Sumatera Utara gula, pemakaian dalam jumlah sedikit sudah menimbulkan rasa manis yang dibutuhkan sehingga tidak merusak gigi. 5. Pada Industri pangan, baik itu makanan atau minuman termasuk industri rokok, pemanis sintesis digunakan untuk menekan biaya produksi, karena tingkat rasa manis lebih tinggi dan juga harganya lebih murah dibandingkan pemanis alami (Yuliarti, 2007). 2.3.1 Siklamat Siklamat pertama kali ditemukan oleh Michael Sveda pada tahun 1937. Siklamat ditambah kedalam makanan dan minuman sejak tahun 1950 (Cahyadi, 2008). Berbeda dengan sakarin yang memiliki rasa manis dengan meninggalkan rasa pahit, siklamat hanya berasa manis tanpa diikuti rasa pahit. Siklamat meiliki rumus C6H11NHSO3Na, umumnya dalam bentuk garam kalsium, kalium, dan natrium siklamat. Garam siklamat berbentuk kristal putih, tidak berbau, tidak berwarna, dan mudah larut dalam air dan etanol, intensitas kemanisannya ± 30 kali kemanisan sukrosa. Kombinasi penggunaan siklamat dengan sakarin bersifat sinergis, dan kompatibel dengan pencitarasa dan sebagai bahan pengawet (Indrie dan Qanytah, 2009). Sifat fisik siklamat tahan panas, sehingga sering digunakan dalam pangan yang diproses dalam suhu tinggi misalnya pangan dalam kaleng. (Yusuf dan Nisman, 2013).Siklamat memiliki nilai kalori 0 kkal/g atau setara dengan 0 kg/g dan ADI untuk siklamat sebesar 0mg/kg - 11mg/kg berat badan, batas maksimum penggunaan siklamat berdasarkan kategori pangan jelly, jam dan marmalade yaitu 1000 mg/kg (SNI 01.6993.2004). Universitas Sumatera Utara Dalam menghitung nilai ADI, maka digunakan standar berat badan sesuai dengan kelompok umur berdasarkan standar FAO – WHO dalam Handbook on Human Nutrition Requirements yaitu : - Berat badan standar anak-anak (0-9 tahun) adalah 17 kg - Berat badan standar remaja laki-laki (10-19 tahun) adalah 42 kg - Berat badan standar remaja putri (10-19 tahun) adalah 41 kg - Berat badan standar orang dewasa laki-laki (20-60 tahun) adalah 55 kg - Berat badan standar orang dewasa perempuan (20-60 tahun) adalah 47 kg (Sediaoetomo, 2008). Walaupun penggunaannya diperbolehkan dan telah dibatasi, pemakaian siklamat dilaporkan sering disalahgunakan dan penggunaannya melebihi batas yang diizinkan. Riset BPOM pada November - Desember 2002 sudah menunjukkan bahwa konsumsi siklamat sudah mencapai 240 % Accaptable Daily Intake (ADI) (BPOM, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan pada minuman berenergi yang dijual di Kota Medan menunjukkan dari 15 sampel yang diperiksa diperoleh 6 sampel yang menggunakan siklamat, dengan kadar terendah yaitu 1,77 g/kg dan kadar tertinggi yaitu 2,91 g/kg hampir mendekati kadar maksimum siklamat yaitu 3 g/kg menurut Permenkes No.722/Menkes/IX/88 (Sinamo,2004). Hasil penelitian sejenis juga dilakukan pada sirup produk lokal atau produk nasional di pasar tradisional Kota Medan, Kadar siklamat pada sirup adalah 129,8 mg/kg, sedangkan pada sirup siap saji adalah 18,8 mg/kg (Simatupang, 2009). Hasil penelitian kedua ini menunjukkan kadar penggunaaan masih jauh dibawah ambang batas yang digunakan yaitu 500mg/kg menurut SNI 01-6993-2004 tentang Persyaratan penggunaan zat pemanis. Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian lain juga dilakukan pada jamu gendong di Pasar Grobongan Semarang dari analisis yang didapat penjual menambahkan siklamat pada sebagian jamu yang dijual. Dari 23 jenis jamu positif mengandung siklamat dari total 32 jenis didapat 16 jamu melebihi ambang batas dan 7 jenis jamu dibawah ambang batas (Lestari, 2011). Hasil ini sejalan dengan dampak yang akan dirasakan terhadap kesehatan jika terus menerus di konsumsi. Penelitian sejenis juga dilakukan pada jamu gendong kunyit asam di Jakarta. Dilakukan analisis kuantitatif dengan metode kromatografi kertas dan kromatografi cair kerja tinggi (KCKT), dari hasil yang didapat dari 5 sampel yang diperiksa ternyata tidak mengandung pemanis sintesis sakarin dan aspartam tetapi seluruh sampel positif mengandung siklamat (Yusuf dan Nisman, 2013). Dari penelitian - penelitian yang telah dilakukan menunjukkan masih banyak penggunaan zat pemanis sintesis berupa siklamat dalam makanan dan minuman namun kadar yang digunakan masih dibawah kadar ambang batas yang telah di tetapkan yaitu sebesar 300 mg/kg menurut Permenkes RI No.722/Menkes/per/IX/88 sedangkan menurut WHO sendiri membatasi konsumsi siklamat yang aman (ADI) adalah 11mg/kg berat badan. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, penggunaannya hanya diperbolehkan untuk pasien diabetes ataupun orang yang membutuhkan makanan berkalori rendah. Tetapi pada kenyataannya penggunaan siklamat semakin meluas pada berbagai kalangan dan beragam produk. Hal ini dikarenakan harganya yang jauh lebih murah, menimbulkan rasa manis tanpa rasa pahit yang memiliki tingkat kemanisan 30 kali gula (Winarno dan Birowo, 1988 dalam Putra, 2011). Universitas Sumatera Utara 2.3.2 Dampak Siklamat Terhadap Kesehatan Sekalipun penggunaannya diizinkan dan aman dikonsumsi dalam kadar yang kecil, tetap saja dalam batas-batas tertentu akan menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Penggunaan siklamat ini ditunjukkan untuk penderita diabetes mellitus dan orang yang diet memang sangat membantu kesehatannya. Namun ketika siklamat di konsumsi oleh orang yang normal maka akan menyebabkan suatu masalah bagi kesehatannya. Penelitian lebih lama menunjukan siklamat dapat menyebabkan atropi, yaitu terjadinya pengecilan testikuler dan kerusakan kromosom, penelitian yang dilakukan oleh para ahli Academy Of Science pada tahun 1985 melaporkan bahwa siklamat maupun turunannya (sikloheksiamin) juga diduga sebagai tumor promoter (Cahyadi, 2009). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa pada penambahan 10% natrium siklamat dapat merangsang terjadinya tumor kandung kemih (Frank,1995 dalam Putra, 2011). Hasil penelitian pada manusia yakni pada 3 orang yang telah meminum siklamat dengan dosis 40-57 mg/kg berat badan secara teratur selama 18 bulan menyebabkan pertumbuhan tumor. Siklamat mengalami beberapa proses didalam tubuh manusia. Absorpsi atau penyerapan siklamat dalam tubuh tergolong lambat yaitu ± 6-8 jam. Siklamat tidak seluruhnya diserap melalui usus halus, sebagian keluar (ekskresi) bersama tinja kira-kira 1836%. Ini menunjukkan bahwa siklamat tidak diserap di usus (Sinamo, 2004). Konsumsi siklamat dalam dosis berlebih mengakibatkan kanker kandung kemih, selain itu akan menyebabkan tumor paru, hati dan limpa (Indrie et.al, 2011). Selain itu, siklamat memunculkan banyak gangguan kesehatan di antaranya tremor, migran, dan sakit Universitas Sumatera Utara kepala, kehilangan daya ingat, insomnia, iritasi, asma, hipertensi, sakit perut, alergi, impotensi dan gangguan seksual, kanker otak (Indriasri, 2009). 2.3.3 Sakarin Sakarin kali ditemukan secara tidak sengaja oleh Fahbelrg dan Ramsen pada tahun 1897, digunakan sebagai antiseptik dan pengawet, namun sejak tahun 1900 sakarin digunakan sebagai pemanis. Sakarin sebagai pemanis buatan biasanya dalam bentuk garam berupa kalsium, kalium dan natrium sakarin. Secara umum, garam sakarin berbentuk kristal putih, tidak berbau atau berbau aromatik lemah, dan mudah larut dalam air, serta berasa manis. Di samping memiliki rasa manis, sakarin juga mempunyai rasa pahit yang disebabkan oleh kemurnian yang rendah dari proses sintesis (Yusuf dan Nisman, 2013). Sakarin memiliki rumus kimia C14H8CaN2O6S2. Dengan kadar manis 300 sampai 500 kali tingkat sukrosa (PIPIMM, 2015). Sakarin memiliki nilai kalori 0 kkal/g atau setara dengan 0 kg/g dan ADI 5 mg/kg berat badan. Batas maksimum penggunaan sakarin berdasarkan kategori pangan jelly, jam dan marmalade yaitu 200 mg/kg (SNI 01.6993.2004). Sakarin ini larut dalam air mendidih, dalam etanol, ammonia dan dalam larutan alkali. Nama dagang sakarin adalah clucide, barantose, sacaharinose, saccharoi, saxin, sykose atau kermetesa. Kegunaan sakarin sebagai pengganti gula bagi penderita diabetes mellitus dan diet untuk penderita obesitas (Purba, 2006). Pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan melalui Mentri kesehatan RI No.208/Menkes/Per/IV/85 tentang pemanis buatan dan No.722/Menkes/Per/IX/88 tentang bahan tambahan pangan, bahwa pada pangan dan minuman olahan khusus yaitu berkalori Universitas Sumatera Utara rendah dan untuk penderita penyakit diabetes mellitus kadar maksimum sakarin yang diperbolehkan adalah 300 mg/kg. Penggunaan sakarin biasanya dicampur dengan bahan pemanis lain seperti siklamat atau aspartam. Hal ini dimaksudkan untuk menutupi rasa tidak enak dari sakarin dan memperkuat manisnya. Sebagai contoh, kombinasi sakarin dan siklamat dengan perbandingan 1:3 merupakan campuran yang paling baik sebagai pemanis yang menyerupai gula dalam minuman (Cahyadi, 2009). Sejak bulan Desember 2000, FDA (Food and Drug Administration) telah menghilangkan kewajiban pelabelan pada produk pangan yang mengandung sakarin, dan 100 negara telah mengijinkan penggunaannya. CAC (Codex Alimentarius Commission) mengatur maksimum penggunaan sakarin pada berbagai produk pangan berkisar antara 80 – 5.000 mg/kg produk. Saat ini, meskipun sakarin telah dinyatakan aman untuk dikonsumsi, namun di USA sendiri penggunaannya dalam produk pangan masih sangat dibatasi (Indrie dan Qanytah, 2009). Pada konsentrasi tinggi akan menimbulkan rasa pahit. Sakarin sering digunakan dengan alasan utama karena harganya murah, disamping nilai kalorinya rendah, serta tidak menimbulkan kanker. Biasanya bahan tambahan ini banyak dicampurkan pada berbagai macam minuman ringan (soft drink), selai, permen, tak terkecuali berbagai jenis jajan pasar dan berbagai macam produk kesehatan mulut seperti pasta gigi dan obat penyegar mulut (Yuliarti, 2007). Penelitian yang dilakukan pada permen karet yang beradar di Kota Medan Tahun 2010, dari analisis kualitatif menunjukkan bahwa seluruh permen karet mengandung sakarin dan analisis kuantitatif didapatkan kadar tertinggi pada sampel C 25,53 mg/kg dan D Universitas Sumatera Utara 24,24mg/kg. Berdasarkan hasil tersebut, ternyata masih di bawah ambang batas yang telah ditetapkan yaitu 300 mg/kg (Silalahi, 2010). Hasil penelitian dilakukan terhadap sirup produk lokal atau produk nasional di pasar tradisional Kota Medan, dari 12 sampel terdapat 1 sampel positif sakarin dengan menggunakan metode titrasi asam basa dan kadar sakarin yang didapat adalah 60,79 mg/kg dan pada sirup siap saji adalah 12,14 mg/kg (Simatupang, 2009). Penelitian sejenis juga dilakukan pada es krim yang ada di Kota Medan, setelah dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif terbukti dari 15 sampel terbukti seluruh sampel diketahui menggunakan pemanis yang diizinkan yaitu sakarin, tetapi kadar sakarin tersebut melebihi batas yang ditetapkan oleh Permenkes No.722/Menkes/IX/88 yaitu sebesar 300 mg/kg. Kadar sakarin tertinggi 8631 mg/kg dan kadar sakarin terendah 5754 mg/kg (Hernike , 2005). Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada sakarin menunjukkan penggunaan sakarin masih banyak digunakan sebagai BTM kedalam makanan maupun minuman yang dilakukan produsen untuk menekan biaya produksi dan mendapatkan keuntungan yang besar pula. Meskipun produsen makanan menggunakan zat pemanis yang diizinkan, masih terdapat juga penggunaan melebihi batas yang ditetapkan oleh Mentri Kesehatan dan Badan POM . 2.3.4 Dampak Sakarin Terhadap Kesehatan Di Indonesia pemberian sakarin yang dibenarkan ditambahkan dalam makanan atau minuman yang diizinkan oleh pemerintah yaitu 300 mg/kg. penambahan kadar sakarin yang berlebih menimbulkan rasa pahit gentir serta menyebabkan gangguan ginjal, kanker Universitas Sumatera Utara kandung kemih, pusing, mual, migran, diare, asma, hipertensi dan lain-lain (Sinulingga, 2011). Konsumsi sakarin dalam dosis yang berlebihan, dapat dermatologis bagi anak-anak yang alergi terhadap sulfamat menimbulkan dampak kemudian akan memacu timbulnya tumor yang besifat karsinogenik (Anonim, 2008). Sakarin dalam bentuk garam yaitu natrium sakarin tidak mengalami metabolisme sehingga sakarin dieksresikan melalui urine tanpa perubahan kimia. Bagaimanapun sakarin mampu keluar dari dalam tubuh dalam bentuk utuh tetap saja ada yang tertinggal didalam tubuh. Oleh karena itu sakarin tidak dapat di metabolisme oleh tubuh, semakin lama akan mengalami penumpukan dan menjadi sesuatu yang berbahaya bagi tubuh (Lestari, 2011). 2.4 Zat Pewarna Menurut International Food Information Council Foundation/IFICF (2004), pewarna pangan adalah zat yang digunakan untuk memberikan atau meningkatkan warna pada produk pangan, sehingga menciptakan image tertentu dan produk lebih menarik. Produk pangan dengan nilai gizi yang sangat tinggi sekalipun akan sia-sia apabila tidak memiliki sisi yang menarik untuk dikonsumsi (Wijaya, 2009). Warna merupakan daya tarik terbesar untuk menikmati makanan setelah aroma, pewarna dalam pangan meningkatkan penerimaan konsumen terhadap mutu produk. Oleh karena itu produsen berlomba menawarkan aneka produknya dengan tampilan yang menarik dan warna-warni (Dixit, et.al,1995 dalam Sumarlin, 2010). Pewarna makanan banyak digunakan untuk berbagai jenis makanan, terutama berbagai jenis produk jajan pasar serta berbagai makanan olahan yang dibuat oleh industri Universitas Sumatera Utara kecil atau industri rumah tangga meskipun pewarna buatan juga ditemukan pada berbagai yang dibuat oleh industri besar. Hampir setiap makanan olahan ditambahkan pewarna sintesis mulai dari jajanan anak, tahu, kerupuk, terasi, cemilan bahkan buah dingin terutama mangga (Yuliarti, 2007). Zat pewarna sering kali menimbulkan masalah kesehatan dikarenakan penyalahgunaan pemakaian zat warna pada makanan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit digunakan untuk mewarnai bahan makanan. Munculnya penyalahgunaan ini dikarenakan ketidaktahuan masyarakat. (Cahyadi, 2006). Jenis zat pewarna yang sering ditemukan dalam beberapa produk pangan diantaranya adalah Sunset Yellow dan Tartazine. Tartazine dan Sunset Yellow secara komersial digunakan sebagai zat aditif makanan, dalam pengobatan dan kosmetik yang sangat mengguntungkan karena dapat dengan mudah dicampurkan untuk mendapatkan warna yang ideal dan juga biaya yang rendah dibandingkan dengan pewarna alami (Sumarlin, 2010). Sejalan dengan itu hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumarlin pada kerupuk pati terbukti mengandung zat pewarna yang dilarang yaitu Rhodamin B dengan konsentrasi 2,1892 ppm. Sampel mengandung zat pewarna campuran seperi es limun botol/ orange (Amaranth, Tartazine dan FCF/Sunset Yellow) dan sampel permen merah (Ponceau 4R, kuning FCF). Namun sebagian besar berupa pewarna tunggal. Pewarna sintetik yang ada dalam sampel permen kuning sebesar 22,642 ppm dan 9,0119 ppm pada mie basah. Penggunaan zat pewarna hendaknya dibatasi karena meskipun relatif aman, penggunaanya membahayakan kesehatan konsumen. Beberapa jenis pewarna yang harus dibatasi penggunaannya di antaranya amaranth, allurah merah, citrus merah, caramel, erithrosin, Universitas Sumatera Utara indigotine, karbon hitam, ponceau SX, fest green FCF, chocineal dan kurkumin (Sumarlin, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Depok pada zat warna sintetik yang dilarang untuk makanan yang beredar di pasaran. Dari analisis sampel zat warna dilakukan dengan reaksi warna, kromatografi kertas, kromatografi kertas-densinmetri dari 31 sampel diperoleh hanya 8 sampel yang terdaftar di Depkes, memiliki keterangan lengkap pada kemasan. Selain itu, terdapat 10 sampel mengandung zat warna sintetik yang dilarang untuk makanan seperti Merah K4, Rhodamin b, Scarlet GN, Methanil Yellow, Chocolate Brown FB dan Orange G (Azizahwati, et.al, 2007). 2.4.1 Pembagian Zat Pewarna Pewarna adalah bahan tambahan pangan berupa pewarna alami dan sintesis, yang ketika ditambahkan pada pangan mampu memberi atau memperbaiki warna. Pembagian bahan pewarna yang diizinkan dalam makanan dan minuman diklasifikasikan menjadi dua yaitu : 1. Bahan pewarna alami (Natural food colour) Awalnya, makanan diwarnai dengan zat warna alami yang diperoleh dari tumbuhan, hewan, atau mineral, akan tetapi proses untuk memperoleh zat warna alami adalah mahal. Beberapa pewarna alami yang berasal dari tanaman dan hewan, diantaranya adalah klorofil, mioglobin dan hemoglobin, anthosianin, flavonoid, tannin, betalain dan xanthon serta karotenoid (Cahyadi, 2009). Pada umumnya pewarna alami rentan terhadap pH, sinar matahari, dan suhu tinggi. Pewarna alami sebaiknya disimpan pada suhu 4-8oC untuk Universitas Sumatera Utara meminimumkan pertumbuhan mikroba dan degradasi pigmen. Pewarna alami berbentuk bubuk pada umumnya higroskopis (Wijaya, 2009). Pewarna pangan alami adalah diekstrasi dan diisolasi dari tanaman dan hewan yang berbeda yang tidak memberikan efek membahayakan sehingga dapat digunakan dalam pangan. Pewarna ini memiliki kestabilan yang rendah, kurang cerah dan tidak merata, namun sangat murah (Vries, 1996 dalam Sumarlin, 2010). 2. Pewarna Sintesis (Synthetic food colour) Pengunaan zat warna sintetik pun semakin meluas. Keunggulan-keunggulan. zat warna sintetik adalah lebih stabil dan lebih tahan terhadap berbagai kondisi lingkungan. Daya mewarnainya lebih kuat dan memiliki rentang warna yang lebih luas. Selain itu, zat warna sintetik lebih murah dan lebih mudah untuk digunakan (deMan,1980). Sejak pertama kali dibuat pada tahun 1856 hingga saat ini, telah banyak zat warna sintetik yang diciptakan. Akan tetapi, ternyata banyak pula zat warna sintetik itu memiliki sifat toksik. Dalam suatu penelitian, diperoleh zat warna azo (Amaranth, Allura Red, dan New Coccine) terbukti bersifat genotoksik. Selain itu, zat warna Red No.3 juga terbukti dapat merangsang terjadinya kanker payudara secara in vitro (Tsuda et.al, 2006 dalam Azizahwati, 2007). Maka dari itu penggunaan zat pewarna sintetik harus diatur secara tegas. Dinegara maju, suatu zat warna sintesis harus melalui berbagai prosedur pengujian sebelum dapat digunakan sebagai pewarna pangan. Zat pewarna yang diizinkan penggunaanya dalam pangan disebut certified colour. (Yuliarti, 2007). Pedagang makanan menggunakan pewarna tekstil untuk mewarnai makanan karena pewarna tekstil mempunyai harga yang murah. Zat pewarna untuk kain ini dibuat tidak mudah terurai (luntur). Sehingga ketika digunakan pada makanan, zat warna ini akan Universitas Sumatera Utara melekat kuat di dalam jaringan tubuh terutama pada ginjal dan juga bersifat karsinogenik (Dzalfa, 2007). Di Indonesia, zat warna makanan termasuk dalam Bahan Tambahan Pangan yang diatur melalui UU RI No.7 tahun 1996 tentang Pangan pada bab II, bagian kedua, pasal 10. Dalam UU tersebut, dinyatakan bahwa dalam makanan yang dibuat untuk diedarkan, dilarang untuk ditambah dengan bahan apapun yang dinyatakan dilarang atau melampaui batas ambang maksimal yang ditetapkan. Selain itu, dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.239/Menkes/Per/V/85 terdapat 34 jenis zat warna yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dan dilarang penggunaannya pada makanan (Utami, 2005). Hasil penelitian terhadap 40 sampel jajanan terdiri dari 20 sampel makanan jajanan dan 20 sampel minuman jajanan yang ada disekolah dasar Jakarta dengan alat hot plate and stritter dengan menggunakan serat woll. Makanan jajan diperiksa dibagi menjadi lima kategori yaitu ketegori bumbu, saus, produk daging olahan, produk olahan tepung dan produk bubur. Sedangkan minuman jajanan diperiksa dibagi tiga kategori yaitu kategori sirup, minuman es, air gula bubur. Hasil penelitian menunjukkan dari 20 sampel makanan yang diperiksa, 9 sampel positif mengandung zat pewarna sintesis yang dilarang. Sedangkan 20 sampel minuman yang diperiksa, 17 positif mengandung zat pewarna sintesis yang dilarang Permenkes No.722/Menkes/Per/IX/88. Zat pewarna sintesis itu adalah Sunset yellow, Amaranth dan Eritrosin (Syarifah, 2014). Hasil penelitian juga dilakukan Trestiati Tahun 2003 pada jajanan siswa SD di Bandung diperoleh data bahwa Rhodamin B pada berbagai jenis kerupuk, jelly, aromanis dan minuman dalam kadar yang cukup tinggi antara 7.841-3226,55 ppm. Sehingga perkiraan asupan yang diterima anak SD kelas 4 sebesar 0,455 mg/kg-hari, perkiraan asupan Universitas Sumatera Utara yang diterima anak SD kelas 5 sebesar 0,379 mg/kg-hari dan kelas 6 sebesar 0,402 mg/kghari (Sumarlin, 2010). Hasil pnelitian pada permen yang bermerek dan tidak bermerek di Kota Medan, pemeriksaan dari 7 lollipop bermerek terdapat 1 permen mengandung Ponceau 3R dan 7 lollipop tidak bermerek terdapat 1 permen mengandung Ponceau 3R, Kadar dari 7 sampel lolipop bermerek mengandung zat pewarna yang melebihi batas yaitu, A 450 mg/kg, S 441 mg/kg dan F 451 mg/kg (Mariana, et.al, 2012). Bila dibandingkan dengan Permenkes RI No.722/ Menkes/ Per/ 1988, jenis dan kadar zat pewarna buatan pada permen lolipop masih ada yang tidak dizinkan dan tidak memenuhi syarat kesehatan. Penelitian sejenis juga dilakukan pada sirup yang tidak bermerek di Kota Semarang. Identifikasi dengan metode kromatografi kertas dan gravimetri. Dari 13 sampel yang diperiksa secara kualitatif ada 11 sampel (84,6%) menggunakan zat pewarna yang diizinkan yaitu sunset yellow, tartazine, fast green dan ponceau 4R. sedangkan ada 2 sampel menggunakan zat pewarna dilarang yaitu Ponceau 3R dan rhodamin B,dengan kadar 0,19 mg/kg dan 0,20 mg/kg (Judika, 2011). Berdasarkan hasil penelitian diatas bahwa terlihat masih banyak pemanis sintetis yang beredar dan digunakan sebagai pemanis dalam berbagai produk makanan dan minuman, meskipun diizinkan namun masih juga terdapat penggunaan kadar yang melebihi batas dan penggunaan jenis pewarna sintetis yang dilarang. ini merupakan contoh beberapa kasus penggunaan zat pewarna yang belum diawasi secara penuh oleh Badan POM. 2.4.2 Dampak Zat Warna Terhadap Kesehatan Pemberian pewarna makanan dapat berpengaruh terhadap kesehatan. Misalnya, penggunaan tartrazine secara berlebihan menyebabkan alergi, asma, dan hiperaktif pada Universitas Sumatera Utara anak. Penggunaan erythrosine secara berlebihan menyebabkan reaksi alergi pada pernafasan, hiperaktif pada anak, tumor tiroid pada tikus dan efek kurang baik pada otak dan perilaku. Penggunaan fast green FCF secara berlebihan menyebabkan reaksi alergi dan produksi tumor. Sementara, penggunaan sunset yellow secara berlebihan menyebabkan radang selaput lendir pada hidung, sakit pinggang, muntah-muntah, dan gangguan pencernaan (Saparinto dan Hidayati, 2006). Sedangkan menurut lembaga pembinaan dan perlindungan konsumen (LP2K), penggunaan zat pewarna pada makanan secara tidak bertanggung jawab akan mengakibatkan kemunduran kerja otak, sehingga anak–anak menjadi malas, sering pusing dan menurunnya konsentrasi belajar (Sastrawijaya, 2000). Mengingat zat pewarna yang ditambahkan kedalam makanan bersifat kumulatif didalam tubuh, jika jumlahnya semakin banyak terdapat didalam tubuh akan berpotensial menimbulkan kanker. Absorbsi zat pewarna di dalam tubuh diawali dari dalam saluran pencernaan dan sebagian dapat mengalami metabolisme oleh mikro organisme dalam usus. Dari saluran pencernaan dibawa langsung kehati melalui vena portal atau melalui sistem limpatik ke vena superior. Di hati senyawa dimetabolisme dan atau dikonjugasi, kemudian di transportasikan ke ginjal untuk diekskresikan atau dikeluarkan bersama urine (Noviana, 2005). 2.5 Zat Pengawet Bahan pangan yang berkualitas tinggi sekalipun akan mengalami kerusakan, untunglah kemajuan ilmu dan teknologi mengenalkan masyarakat dengan zat pengawet. Pengawet merupakan salah satu bentuk bahan tambahan makanan, penambahan pengawet dimaksud untuk menghambat ataupun menghentikan aktivitas mikroorganisme seperti bakteri, kapang, dan khamir sehingga produk dapat disimpan lebih lama. Selain itu untuk Universitas Sumatera Utara lebih meningkatkan cita rasa, memperbaiki warna, tekstur, sebagai bahan penstabil, pencegah lengket maupun memperkaya vitamin dan mineral (Yuliarti, 2007). Pengawet makanan termasuk dalam kelompok zat tambahan makanan yang bersifat inert secara farmakologik atau efektif dalam jumlah kecil dan tidak toksis. Pengawet penggunaannya sangat luas, hampir seluruh industri menggunakannya termasuk industri makanan, kosmetik dan farmasi. Industri yang sudah memiliki ISO 9001 tentunya telah menajemen produksi yang baik sehingga banyak yang sudah mengurangi jumlah penggunaan pengawet atau tidak menggunakan pengawet lagi misalnya pada produk susu, teh dalam botol (Hermita, 2010). Apabila pemakaian zat pengawet dan dosisnya tidak diatur dan diawasi, kemungkinan besar akan merugikan manusia baik bersifat langsung misalnya keracunan ataupun bersifat tidak langsung misalnya zat pengawet yang digunakan bersifat karsinogenik (Cahyadi, 2006). Pengawet yang banyak dijual dipasaran yang digunakan di berbagai makanan pada umumnya natrium benzoat. Benzoat ini banyak terdapat pada makanan dan minuman agar tahan lama, seperti : sari buah, jelly, saos, minuman ringan, selai, kecap dan lain-lain (Cahyadi, 2009). Benzoat yang digunakan dalam makanan akan lebih efektif bila makanan itu asam, sehingga sebagai pengawet banyak digunakan dalam sari buah-buahan, jeli, sirup dan makanan lainnya yang mempunyai pH rendah (2,5-4,0) (Patong, 2013). Asam benzoat dan natrium benzoat juga biasanya dimanfaatkan untuk mengawetkan jus buah, sirup apel, makanan yang mudah rusak, minuman berkarbonasi, produk tepung yang dimasak, salad saus, salad margarin, saus tomat, buah, selai, dan jeli (Delavar et.al, 2012). Universitas Sumatera Utara Natrium benzoat adalah garam sodium dari asam benzoat dan ada dalam bentuk garam ketika dilarutkan dalam air. Rumus kimianya yaitu C6H5COONa, natrium benzoat berwarna putih, granula tanpa bau, bubuk Kristal atau serpihan dan lebih larut dalam air dibandingkan asam benzoat terurai menjadi lebih efektif dalam bentuk asam benzoate yang tidak terdisosiasi. Natrium benzoat lebih sering digunakan karena natrium benzoat 200 kali lebih larut dalam air dibandingkan asam benzoat yang tidak larut dalam air (Anonim, 2008). Natrium benzoat telah terbukti menyebabkan pH sel menjadi rendah sehingga merusak organ sel mikroba, di beberapa Negara telah dilarang penggunaannya karena adanya kemungkinan bahwa natrium benzoat juga bersifat karsinogenik begitu juga mengonsumsinya dapat memicu pertumbuhan sel kanker. Batas maksimum penggunnan natrium benzoat sebesar 600 mg/kg bahan (Pratama et.al, 2015). Selain itu, jenis pengawet yang sering digunakan pada makanan adalah asam benzoat. Benzoat dalam bentuk garamnya umum digunakan karena lebih muda larut dibanding asamnya. Menurut persyaratan SNI 01-0222-1995 batas maksimum penggunaan natrium benzoat adalah 1 g/kg atau 1000 mg/kg berat bahan. Penambahan pengawet memiliki resiko bagi kesehatan tubuh, jika terakumulasi secara terus menerus dan dalam waktu yang lama (Afrianti, 2008). Penelitian yang telah dilakukan pada saos tomat di pasaran Kota Blitar, analisis pengawet natrium benzoat dengan metode spektrofotometri UV. Hasil yang didapat adalah kadar rata-rata natrium benzoat adalah 2,44 g/kg. kadar ini tidak sesuai dengan persyaratan SNI 01-0222-1995 yaitu batas penggunaan pengawet natrium benzoat sebesar 1 g/kg (Sella, 2013). Universitas Sumatera Utara Sejalan dengan itu, penelitian juga dilakukan di Denpasar pada saos tomat bermerek dan tidak bermerek, pemeriksaan dengan metode titrasi asam basa. Hasil pemeriksaan yang didapat secara kuantitatif adalah kadar yang ditemukan berkisar antara 600,12 mg/kg dan 1271,86 mg/kg. Saus tomat yang bermerek mengadung benzoat lebih rendah dari batas maksimum kadar benzoat yang diperbolehkan sesuai Permenkes RI No.722/Menkes/Per/IX/88 yaitu 1000 mg/kg. Sementara itu, sekitar 33% saos tomat yang tidak bermerek mengandung benzoate dengan kadar yang melebihi batas penggunaan yang diperbolehkan (Siaka, 2009). Hasil penelitian juga dilakukan melihat kadar natrium benzoat pada susu kedelai Tahun 2015, dengan metode ekstrasi cair dan menggunakan instrumen spektrofometri UVVis pada panjang gelombang 276 nm. Hasil kualitatif menunjukkan seluruh sampel mengandung natrium benzoate. Kadar tertinggi di dapat dari sampel A yaitu 611,67 mg/kg, sampel B yaitu 589,91 mg/kg dan sampel C yaitu 605,78 mg/kg. ketiga kadar pengawet natrium benzoat dalam sampel A,B,C melebihi batas sesuai dengan peraturan Kepala BPOM Nomor 36 Tahun 2013 tentang batas maksimum penggunaan untuk produk susu yaitu 600 mg/kg (Rustian et.al, 2015). Dari hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan zat pengawet pada makanan dan minuman masih banyak ditemukan walaupun menggunakan zat pengawet yang diizinkan tetap perlu diperhatikan karena zat pengawet dalam batas tertentu bersifat kumulatif didalam tubuh . Universitas Sumatera Utara 2.5.1 Dampak Zat Pengawet Terhadap Kesehatan Suatu bahan pengawet mungkin efektif untuk mengawetkan makanan tertentu, tetapi tidak efektif untuk makanan lainnya, karena mempunyai sifat yang berbeda - beda. Pada saat ini masih banyak ditemukan penggunaan bahan pengawet yang dilarang namun digunakan untuk dalam makanan dan berbahaya bagi kesehatan, misalnya formalin dan boraks. Bahan pengawet pada dasarnya adalah senyawa kimia yang merupakan bahan asing yang masuk bersama bahan pangan yang dikonsumsi. Apabila pemakaian jenis pengawet dan dosisnya tidak diatur maka menimbulkan kerugian bagi masyarakat, misalnya, keracunan atau terakumulasinya pengawet dalam organ tubuh dan bersifat karsinogenik. Pada penderita asma dan orang yang menderita urticaria sangat sensitif terhadap asam benzoat, jika dikonsumsi dalam jumlah besar akan mengiritasi lambung (Cahyadi, 2009). Seringkali masyarakat salah pengertian mengenai pengawet untuk makanan yang seolah-olah aman digunakan selama tidak menyebabkan keracunan atau kematian (toksisitas akut), tetapi sebenarnya kerusakan organ tubuh manusia dalam jangka panjang (toksisitas kronik). Bahaya ini dapat terjadi karena produk makanan tersebut setiap hari dimakan, berbeda dengan obat - obatan per oral yang digunakan hanya kalau sakit (Hardman, et.al, 1996 dalam Harmita, 2010). Senyawa kimia yang saat ini banyak terdapat pada tahu, ikan, ikan asin, mie basah adalah formalin. Efek formalin pada makanan dapat dilihat pada konsistensi menjadi keras atau kenyal pada produknya, tentunya hal ini juga terjadi juga jika formalin bebas masuk kedalam organ tubuh dan bereaksi dengan protein tubuh, maka membrane sel, tulang rawan akan mengeras, enzim dan hormon tidak berfungsi (Harmita, 2010). Universitas Sumatera Utara 2.6 Selai Selai buah merupakan hasil dari teknologi pengolahan buah. Salah satu produk pangan semi basah yang cukup dikenal dan disukai masyarakat. Food and Drug Administration (FDA) mendefinisikan selai sebagai produk olahan buah-buahan, baik berupa buah segar, buah beku, buah kaleng maupun campuran ketiganya, pemanfaatan buah menjadi produk selai dapat mendatangkan keuntungan yang cukup. Selai yang dihasilkan juga dapat disimpan dalam waktu relatif lama (Fachruddin, 1997). Menurut SNI 01-37461995 selai adalah produk makanan semi basah, yang dibuat dari pengolahan bubur buah-buahan, gula dengan atau tanpa penambahan makanan yang diizinkan. Selai atau jam adalah makanan setengah padat yang dibuat dari buah- buahan dan gula pasir dengan kandungan total padatan minimal 65 persen. Komposisi bahan mentahnya ialah 45 bagian buah dan 55 bagian gula. Syarat selai yang baik ialah transparan, mudah dioleskan dan mempunyai aroma dan rasa buah asli. Pada prinsipnya, hampir semua jenis buah dapat dibuat selai, terutama buah yang mengandung pektin. Pektin ialah senyawa karbohidrat yang berguna untuk membentuk gel (bentuk seperti bubur sangat kental) jika bereaksi dengan gula dan asam. Untuk mendapatkan sumber pektin digunakan buah yang tua tapi belum masak, sedangkan untuk mendapatkan cita rasa (aroma dan rasa buah) dipakai buah yang sudah masak. karena dikehendaki dua-duanya (pektin dan cita rasa), maka untuk membuat selai yang baik digunakan campuran buah yang sudah tua (tapi belum masak) dan buah yang sudah masak dengan perbandingan yang sama (Koswara, 2009). Pembentukan gel pada selai dipengaruhi oleh konsentrasi pektin, pH, dan konsentrasi gula. Penambahan gula akan mempengaruhi keseimbangan pektin. Gula biasa Universitas Sumatera Utara digunakan untuk mengawetkan makanan karena gula bersifat higrokopis atau menyerap air sehingga sel-sel akan dehidrasi dan akhirnya mati (Sutomo, 2012). Selai terdiri atas beberapa jenis. Selai yang didalamnya masih ditemukan potongan buah disebut preserve atau conserves. Selai yang terbuat dari sari buah dan kulit buah citrus disebut marmalaide. Selai biasanya dikonsumsi bersama roti tawar, sebagai isi kue kering seperti nastar dan pemanis minuman seperti youghurt dan es krim (Saptoningsih dan Jatnika, 2012). 2.6.1 Bahan dan Alat yang digunakan Bahan yang digunakan untuk pembuatan selai yaitu buah-buahan segar, gula, pektin, asam sitrat (dapat diganti dengan jeruk nipis atau sejenisnya), natrium benzoate. Sedangkan alat yang digunakan adalah kompor, panci stainlestel, kain saringan, parutan atau blender, pisau, baskom, pengaduk dari kayu, wajan dan wadah untuk selai (Saptoningsih dan Jatnika, 2012). 2.6.2 Proses Pembuatan Selai 1. Kupas kulit buah sampai bersih dan buang bijinya jika ada lalu dicuci 2. Kemudian potong buah menjadi bagian- bagian yang lebih kecil. Setelah itu blender atau parut buah sampai menjadi bubur buah. 3. Siapkan wajan, kemudian masak bubur buah dengan api yang sedang lalu tambahkan gula pasir dan pectin. Aduk hingga merata menggunakan sendok dari kayu selama 10 menit. 4. Lakukan pemanasan terus-menerus sambil diaduk perlahan,kemudian tambahkan asam sitrat atau air jeruk nipis. Aduk hingga mendidih, lalu masukkan natrium benzoat dan aduk kembali hingga campuran menjadi gel. Buang busa yang timbul dari proses pemasakan. Universitas Sumatera Utara 5. Setelah bubur buah tadi menjadi gel atau selai, diamkan beberapa saat. Setelah itu selai siap untuk dimasukkan kedalam botol atau wadah lainnya hingga ketinggian 1 cm dibawah tutup. Tutup rapat botol atau wadah lainnya dengan penutup yang sebelumnya telah distrerilisasi. 6. Beri label pada kemasan dan selai buah siap didistribusikan (Saptoningsih dan Jatnika, 2012). Adapun hal yang harus diperhatikan dalam membuat selai buah adalah aturla api kompor, gunakan api yang sedang. Jangan gunakan api yang terlalu besar karena akan menghasilkan suhu yang tinggi sehingga selai menjadi terlalu keras dan kental, sebaiknya selai dimasak pada suhu 100 oC. Aduk selai secara terus-menurus, tetapi jangan terlalu cepat karena akan merusak tekstur selai yang akan dihasilkan. Proses pembuatan selai harus singkat agar organoleptik (aroma, rasa, warna) tidak berubah. 2.7 Kerangka Konsep Penelitian Pemeriksaan Selai Buah 1.Strawberry 2.Blueberry Zat Pemanis : Memenuhi syarat/tidak memenuhi syarat Ada (Sakarin danSiklamat) Zat Pewarna : Tidak ada (Amaranth,Indigotin dan Tartazine,) Permenkes RI No.33 Tahun 2012 Bahan Tambahan Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Universitas Sumatera Utara