i KATA SAMBUTAN Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

advertisement
KATA SAMBUTAN
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesempatan dan kesehatan sehingga kita dapat hadir dalam
acara symphosium dan workshop nasional plexus brachialis.
Sampai dengan saat ini, epidemiologi jumlah lesi pleksus
brakhialis yang terjadi setiap tahun sulit untuk dipastikan karena belum
adanya data yang akurat, namun dengan meningkatnya kasus
kecelakaan lalu lintas dan peningkatan jumlah korban yang selamat dari
kecelakaan kecepatan tinggi kendaraan bermotor, jumlah lesi pleksus
brakhialis terus meningkat terutama di kota-kota besar. Kebanyakan
pasien dengan lesi pleksus brakhialis adalah laki-laki berusia antara 15
dan 25 tahun.
Berdasarkan data lesi plexus brakhialis yang dilakukan operasi
pada Januari 2005 - Desember 2009 di RSU Dr.Soetomo – Surabaya,
dengan follow up selama 2 bulan sampai 4 tahun. Untuk evaluasi nyeri
dengan VAS, 14 kasus post operasi plexus brakhialis 8 kasus (58 %)
tidak merasakan nyeri sama sekali dan 6 kasus (42 %) didapatkan nyeri
yang ringan. Pada pasien cedera plexus brakhialis yang telah dilakukan
operasi hampir semuanya dapat memperbaiki fungsi rangsang sensorik
(100 %).
Pada hasil pemeriksaan motorik dan kekuatan motorik post
operasi plexus brakhialis didapatkan tujuh pasien dengan kekuatan
motorik +3 atau lebih (pasien bisa melakukan abduksi lengan atas dan
fleksi sendi elbow) dan tujuh pasien dengan kekuatan motorik kurang
dari 3 (pasien dapat menggerakkan abduksi lengan atas kurang dari 300,
hanya kontraksi otot atau tidak bisa menggerakkan sama sekali).
i
Lesi pleksus brakhialis dewasa dapat disebabkan oleh berbagai
mekanisme, termasuk luka penetrasi, jatuh, dan trauma kendaraan
bermotor. Seringkali diagnosis tertunda atau diabaikan oleh praktisi oleh
karena menunggu sampai terjadi pemulihan fungsi. Upaya diagnosis
dan pengujian merupakan cara
terbaik untuk memaksimalkan
kembalinya fungsi. Perlu diingat bahwa otot akan mulai mengalami
atrofi dan kehilangan “motor end plate”, setelah cedera proksimal
terjadi. Dengan demikian, intervensi bedah dini adalah prediktor terbaik
bagi tercapainya hasil yang baik.
Cukup dipahami bahwa penatalaksanaan lesi pleksus masih jauh
dari yang diharapkan, bukan hanya karena evaluasi tindakan yang
memakan waktu bulanan bahkan tahunan yang menyebabkan teman
sejawat sering melihat kasus ini sebelah mata, tekhnik operasi yang
rumit dan memakan waktu tetapi juga outcome yang sulit diprediksi.
Namun jika dipandang dari ekspektasi pasien, bergeraknya satu jari
tangan yang sudah lama lunglai menjadi suatu mukzijat yang tidak dapat
diuraikan dengan kata-kata. Karenanya, semangat dan keinginan
berorientasi pada harapan pasien menjadi cetusan luar biasa bagi kita
untuk mengadakan acara ini.
Akhirnya semoga acara symphosium dan workshop nasional
plexus brachialis ini dapat berjalan dengan baik dan bermanfaat bagi
kita semua.
Salam,
Dr. Heri Suroto, dr, Sp.OT
ii
Daftar Isi
1.
Pendahuluan................................................................
i
2.
Mekanisme trauma & pathoanatomi...........................
2
3.
Evaluasi pasien............................................................
4
4.
Penatalaksanaan lesi plexus brachialis........................
7
5.
Pemilihan pembedahan...............................................
11
6.
Kesimpulan.................................................................
18
7.
Daftar pustaka.............................................................
19
8.
Teknik operasi.............................................................
23
a. Oberlin procedure
b. Saha porcedure
c. Steindler procedure
d. C7 kontralateral procedure
e. Free functioning muscle transfer
9.
10.
Pleksopati brachialis
(diagnostik dan tatalaksana non operatif)
Peran rehabilitasi medik dalam penanganan pre dan
paska operasi lesi pleksus brakhialis
How to manage adult Brachial Plexus Injuries?
Neurolysis, Nerve Grafting, Nerve Transfer or Tendon Transfer
Heri Suroto, MD. PhD.
I.
PENDAHULUAN
Jumlah lesi pleksus brakhialis yang terjadi setiap tahun sulit
untuk dipastikan, namun dengan munculnya banyak kegiatan
olahraga ekstrim dan olahraga motor, dan peningkatan jumlah
korban yang selamat dari kecelakaan kecepatan tinggi kendaraan
bermotor, jumlah lesi pleksus brakhialis terus meningkat di kotakota besar di seluruh dunia. Kebanyakan pasien dengan lesi pleksus
brakhialis adalah laki-laki berusia antara 15 dan 25 tahun.
Berdasarkan pengalaman hampir dua puluhan tahun bekerja dengan
lebih dari 1000 pasien dengan lesi pleksus brakhialis, Narakas [1]
menyatakan bahwa 70% dari lesi pleksus brakhialis
terjadi
kecelakaan kendaraan bermotor, 70% dari kejadian tersebut
melibatkan sepeda motor atau sepeda. 70% dari korban kecelakaan
sepeda motor tersebut didapati adanya cedera organ yang lain.
Berdasarkan pengalaman penulis kasus lesi plexus brakhialis
yang dilakukan operasi pada Januari 2005-Desember 2009 di RSU
dr. Soetomo – Surabaya, dengan follow up selama 2 bulan sampai 4
tahun. Untuk evaluasi nyeri dengan VAS, 14 kasus post operasi
plexus brakhialis 8 kasus (58 %) tidak merasakan nyeri sama sekali
dan 6 kasus (42 %) didapatkan nyeri yang ringan. Pada pasien cedera
plexus brakhialis yang telah dilakukan operasi hampir semuanya
dapat memperbaiki fungsi rangsang sensorik (100 %).
Pada hasil
1
pemeriksaan motorik dan kekuatan motorik post operasi plexus
brakhialis didapatkan tujuh pasien dengan kekuatan motorik +3 atau
lebih (pasien bisa melakukan abduksi lengan atas dan fleksi sendi
elbow) dan tujuh pasien dengan kekuatan motorik kurang dari 3
(pasien dapat menggerakkan abduksi lengan atas kurang dari 300,
hanya kontraksi otot atau tidak bisa menggerakkan sama sekali).
Lesi pleksus brakhialis dewasa dapat disebabkan oleh
berbagai mekanisme, termasuk luka penetrasi, jatuh, dan trauma
kendaraan bermotor. Seringkali diagnosis tertunda atau diabaikan
oleh praktisi oleh karena menunggu sampai terjadi pemulihan fungsi
. Upaya diagnosis dan pengujian merupakan cara terbaik untuk
memaksimalkan kembalinya fungsi. Perlu diingat bahwa otot akan
mulai mengalami atrofi dan kehilangan “motor end plate”, segera
setelah cedera proksimal terjadi. Dengan demikian, intervensi bedah
dini adalah prediktor terbaik bagi tercapainya hasil yang baik.
II.
MEKANISME TRAUMA DAN PATHOANATOMI
Lesi pleksus brakhialis ini terutama disebabkan oleh trauma
tertutup. Lesi saraf dalam kasus ini adalah akibat
traksi dan
kompresi, yang mana traksi merupakan 95% dari cedera tersebut.
[3]. Akibat traksi, saraf dapat putus, avulsi pada tingkat tulang
belakang, atau meregang namun tetap utuh. Berikut ini adalah lima
tingkat kemungkinan di mana saraf dapat terluka: (1) Root, (2)
Trunk , (3) Cord, (4) Saraf perifer.
2
Lesi tingkat Root lebih jauh ditentukan berdasarkan
lokasinya
terhadap
postganglionic
bila
Dorsal
lokasinya
Root
distal
Ganglion
dari
(DRG).
DRG,
Lesi
sementara
preganglionik bila proksimal dari DRG. Pada lesi preganglionik,
saraf mengalami avulsi dari medulla spinalis dan memisahkan
serabut motorik dari badan sel motorik di cornu anterior. Sementara
serabut sensorik dan badan sel sensorik masih terhubung dengan
DRG, namun serabut efferent yang memasuki kolumna medulla
spinalis terputus. Pada lesi postganglionik, sel saraf motorik dan
sensorik terputus, sehingga terdapat abnormalitas baik pada aksi
potensial motorik maupun sensory nerve action potential (SNAP)
(lihat gambar 2.1). Penanganan lesi postganglionik dapat dilakukan
dengan reparasi
ataupun cangkok saraf, namun pada lesi
preganglionik diperlukan prosedur neurotisasi.
Gambar 2.1. Anatomi akar saraf Plexus Brakhialis dan tipe cedera.
(Diambil dari the Mayo Foundation, Rochester, USA)
3
Lesi
pleksus
brakhialis
terutama
mengenai
regio
supraclavularis dibandingkan dengan retroclavicularis ataupun
infraclavicularis. Root dan trunk lebih sering terkena dibandingkan
dengan dengan devisi, cord ataupun cabang terminal. Lesi double
level dapat saja terjadi. Pada regio supraclavucularis dapat terjadi
cedera traksi manakala kepala dan leher bergerak menjauhi bahu dan
mengakibatkan lesi root C5 dan C6 ataupun upper trunk. Lesi
infraclavicular disebabkan cidera sekitar sendi bahu.Lesi ini dapat
terjadi bersamaan dengan ruptur arteri Axillaris. Secara biomekanik
terjadinya ruptur pada tingkat cord oleh karena terfiksasinya kedua
ujung proksimal dan distal. 2 mekanisme utama yang menyebabkan
ruptur yaitu dislokasi anteromedial sendi gleno humeral dan traksi
lengan atas pada posisi abduksi. N Suprascapularis, Axillaris dan
Musculocutaneous rentan mengalami lesi
oleh karena mereka
melekat pada area glenohumeral, tepatnya pada scapular notch dan
coracobrachialis. Sekitar 70% sampai 75% dari cedera pleksus
brakhialis ditemukan di wilayah supraklavikula. Kira-kira 75% dari
cedera ini melibatkan cedera seluruh pleksus (C5-T1), di samping
itu, 20% hingga 25% dari cedera melibatkan kerusakan pada akar
saraf dari C5 melalui C7 dan 2% sampai 35% dari cedera adalah
cedera supraklavikula untuk C8 dan T1. Lesi panplexal biasanya
melibatkan ruptur C5-C6 disertai avulsi akar C7-T1. Sisanya 25%
dari cedera pleksus yang infraklavikularis.
4
III.
EVALUASI PASIEN
Pada kunjungan pertama riwayat trauma harus dirinci. Setiap
pasien seharusnya dilakukan pemeriksaan fisik secara lengkap, baik
komponen motorik maupun sensorik yang diinervasi oleh pleksus
brakhialis. Setiap otot diperiksa kekuatannya dengan gradasi 0 – 5
menurut system “British Medical Research Council” (BMRC).
Sensasi dermatom dicatat dan seandainya mungkin sensasi 2 titik
pada jari-jari tangan. Ada atau tidak adanya tanda Tinel pada
supraclavicular maupun infraclavicular, yang dapat digunakan
sabagai indikator bahwa lesi pleksus brachialis itu distal dari
foramen spinalis (postganglionik). Ruang gerak sendi pasif dan aktif
pada bahu, siku, antebrachii dan pergelangan tangan diperiksa dan
dicatat. Tanda khusus fisik seperti Horner’s sign atau nyeri hebat
pada ekstremitas anaestetik, menunjukkan adanya deaferensiasi.
Penemuan tersebut merupakan indicator bahwa lesi pleksus
brakhialis adalah proksimal dari foramen spinalis (preganglionik)
dan merupakan prognosis jelek untuk terjadinya pemulihan spontan.
Pemeriksaan vascular dengan palpasi denyut arteri radialis dan
ulnaris, dilakukan untuk mengetahui adanya lesi vascular yang
menyertainya.
Pemeriksaan radiografik terhadap tulang belakang leher,
ekstremitas dan Shoulder, serta Thorax foto adalah penting dalam
menyingkirkan kemungkinan patah tulang belakang, iga, clavicula,
scapula dan tulang lainnya dari ekstremitas yang terkena.
5
Gambar 3.1. Sistem gradasi otot dan dermatome menurut British Medical Research
Council (BMRC)
6
Thorax foto saat inspirasi dan ekspirasi, USG diafragma,
atau Fluoroscopy akan memberikan informasi mengenai fungsi N
Phrenicus, sementara itu dari Thorax foto juga bisa digunakan untuk
menyingkirkan kemungkinan Fraktur Costa dan Clavicula. Demikian
pula
perlu dilakukan
X-ray Cervical
untuk menyingkirkan
kemungkinan fraktur procesus transversus Cervicalis.
Arteriografi
diindikasikan apabila didapatkan lesi vascular.
Gambar 3.2. Lesi a Subclavia dan fraktur Clavicula yang menyertai lesi Pleksus
Brakhialis.
CT Meylografi dapat digunakan untuk menentukan letak lesi akar
saraf, manakala terjadi avulsi akar saraf Cervical maka selaput dura
akan sembuh disertai tumbuhnya pseudomeningocele. MRI Cervical
dapat digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan avulsi akar saraf,
neuroma paska trauma, serta inflamasi yang menyertainya.
7
Studi elektrodiagnosis adalah komponen integral untuk evaluasi baik
sebelum, selama maupun sesudah operasi karena dapat menetukan
lokasi lesi maupun derajat keparahan lesi. Lesi tertutup pada Pleksus
Brakhialis dapat dilakukan pemeriksaan EMG dan NCV pada
minggu ke 3 oleh karena degenerasi Wallerian terjadi pada masa
tersebut. EMG menguji otot-otot baik pada saat istirahat maupun
aktifitas. Perubahan denervasi (potensial fibrilasi) dapat dilihat pada
otot-otot proksimal pada 10 – 14 hari paska trauma, sementara pada
otot-otot distal 3 – 6 minggu paska trauma. Adanya motor unit aktif
dengan upaya volunter dan fibrilasi kecil saat istirahat menunjukkan
progonsis yang baik dibandingkan dengan ketiadaan motor unit
disertai
beberapa
fibrilasi.
EMG
dapat
membedakan
lesi
preganglionik dari postganglionik dengan pemeriksaan otot-otot
yang dipersarafi oleh cabang motorik dari akar saraf yang proksimal
seperti otot Paraspinal Cervical, Rhomboid dan Seratus Anterior.
Pemeriksaan NCV dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan EMG.
Pada lesi Pleksus Brakhialis amplitudo dari compound muscle action
potential (CMAP) umumnya rendah. SNAP adalah penting dalam
melokasi letak lesi, apakah preganglionik atau postganglionik. SNAP
masih ada pada lesi proksimal dari DRG, karena badan sel saraf
sensoris intak, sehingga pada pemeriksaan NCV akan menunjukkan
bahwa SNAP nya normal namun tidak ada konduksi motoriknya. Hal
ini menunjukkan lesi preganglionik. Ketiadaan SNAP menunjukkan
lesi postganglionik atau kombinasi pre dan postganglionik.
8
IV. PENATALAKSANAAN LESI PLEKSUS BRAKHIALIS
Beberapa faktor penting berfungsi sebagai panduan dalam
menentukan pilihan penanganan untuk rekonstruksi pada lesi pleksus
brakhialis
yaitu
(1)mekanisme,
lamanya
dan
jenis
trauma(preganglionik atau postganglionik), (2) cedera jaringan
lunak, tulang maupun pembuluh darah yang menyertai, (3) prioritas
penanganan.
Mekanisme trauma
Kapan saatnya intervensi, ditentukan oleh mekanisme
trauma. Pada trauma terbuka tajam merupakan indikasi eksplorasi
segera dan penyambungan primer pada pleksus brakhialis yang
terputus. Pada trauma terbuka tumpul indikasi untuk eksplorasi
disertai penandaan pada saraf yang mengalami laserasi. Setelah 3 – 4
minggu saraf tersebut akan semakin jelas batas demarkasinya,
sehingga bisa ditentukan lokasi pencangkokan saraf yaitu pada saraf
yang sehat.
Pada
luka
tembak kecepatan rendah, yang
mengakibatkan hanya neuropraxia maka cukup diobservasi saja.
Pada luka tembak kecepatan tinggi merupakan indikasi dilakukannya
eksplorasi.
Lamanya waktu dari cedera
Penentuan
merupakan
hal
waktu
yang
yang
optimal
dokmatik
karena
untuk
pembedahan
parallel
dengan
ketergantuingan waktu pada perubahan yang terjadi dalam “motor
end plate” yang irreversible. Oleh karena itu semakin lama target
9
otot mengalami denervasi maka akan semakin kecil kemungkinan
keberhasilan reinervasi. Secara umum waktu yang optimal untuk
intervensi bedah adalah sebelum 6 bulan, namun beberapa ahli bedah
melakukan inovasi dari dogma ini dengan eksplorasi dan
rekonstruksi bedah dini. Operasi dini tidak memungkinkan waktu
yang cukup untuk reinervasi spontan, namun menunggu terlalu lama
akan menyebabkan kegagalan yang tidak seharusnya terjadi dari
motor end plate dan berakibat kegagalan reinervasi. Eksplorasi dan
rekonstruksi dini antara 3 – 6 minggu diindikasikan manakala tidak
terjadi reinervasi yang adekuat. Hasil pembedahan yang lambat yaitu
antara 9 hingga 12 bulan atau bahkan lebih sdari 12 bulan adalah
jelek, karena waktu yang diperlukan untuk regenerasi saraf hingga
oto target lebih lama dibandingkan dengandaya tahan “motor end
plate” setelah denervasi. Kasus cedera
pleksus brakhialis yang
datang terlambat, mengalami perubahan “irrreversible” pada sel otot
sehingga kecil kemungkinan terjadi pemulihan fungsi motorik. Pada
kasus ini direkomendasikan untuk transfer mikrovaskular otot
normal dengan transfer saraf motorik ekstrapleksal.
Jenis cedera pleksus brakhialis
Kontinuitas akar saraf dengan medula spinalis adalah
penentu penting dalam penanganan cedera pleksus brakhialis. Cedera
preganglionik berarti akar saraf yang menghubungkan saraf perifer
dengan sistem saraf pusat terputus. Sehingga tidak ada lagi akar saraf
yang dapat digunakan sebagai sumber saraf untuk rekonstruksi dan
diperlukan
metode
alternatif
untuk
rekonstruksi.
Cedera
10
postganglionik berarti koneksi akar saraf perifer ke sistem saraf pusat
masih utuh dan akar saraf dapat digunakan sebaga sumber akson.
Jika cedere preganglionik maka pilihan rekonstruksinya adalah
transfer saraf, otot, tendon maupun arthrodesis. Transfer saraf adalah
transfer dari bagian saraf yang fungsional ke saraf yang mengalami
lesi. Transfer saraf dapat mengembalikan fungsi pada lesi
preganglionik sebagaimana pada lesi postganglionik manakala waktu
datangnya pasien terlambat atau akson yang viabel terbatas. Donor
saraf ekstra pleksal untuk transfer saraf meliputi: N Accesorius
spinalis, N Intercostal, N Phrenicus dan akar saraf C7 kontra lateral.
Donor saraf intra pleksal meliputi fasikulus motorik N Ulnaris (
Transfer Oberlin), N Medianus, cabang Triceps dari N Radialis,
terutama pada kasus lesi sebagian Pleksus Brakhialis( Avulsi C5,
C6). Terdapat beberapa pilihan untuk resipien atau target saraf
tergantung pada tujuan pemulihan. Pilihan untuk transfer meliputi
fleksi siku, stabilitas bahu, ekstensi-fleksi pergelangan tangan, fleksiekstensi jari-jari tangan dan sensibilitas. Jumlah dan tipe fasikulus
saraf donor seharusnya sesuai dengan saraf resipien. Transfer saraf
dapat juga digunakan untuk innervasi “Free Functioning Muscle
Transfer (FFMT).
Pada lesi postganglionik dilakukan cangkok saraf interposisi
dengan menggunakan N Suralis. Akar saraf dengan akson yang sehat
dicangkokkan ke target saraf tertentu dibawahnya. Cangkok saraf
interposisi
yang
sering dilakukan
adalah
akar
C5
ke
N
Suprascapularis atau N Axillaris (untuk abduksi bahu), C6 ke N
Musculocutaneous (untuk fleksi siku) dan C7 ke Triceps atau N
11
Radialis (untuk ekstensi siku dan pergelangan tangan). Pada
beberapa lesi postganglionik transfer saraf dapat lebih baik
dibandingkan cangkok saraf. Hal ini karena jarak tempuh yang lebih
dekat untuk terjadinya reinervasi ke target otot.
Prioritas Penanganan
Jika tidak didapatkan tanda-tanda pemulihan spontan dan
masih dalam kurun waktu 6 bulan, maka rencana rekonstruksi sudah
harus diformulasikan. Pada lesi pleksus brakhialis total, fleksi siku
adalah merupakan fungsi yang paling penting, yang harus dicapai.
Prioritas selanjutnya adalah abduksi bahu, rotasi eksternal dan
stabilitas bahu, sensibilitas tangan, ekstensi dan fleksi pergelangan
tangan dan tangan, dan akhirnya adalah fungsi intrinsik tangan.
Penyederhanaan dari fungsi ekstremitas atas dengan arthrodesis
selektif pada sendi glenohumeral atau scapulothoracic akan
memungkinkan penggunaan sumber saraf untuk fungsi yang lebih
penting.
Walau pemulihan fungsi motorik adalah prioritas pada
rekonstruksi pleksus brakhialis namun restorasi sensasi protektif juga
merupakan hal yang penting untuk fungsi prehensif, prevensi cedera
dan bahkan modulasi pathogenesis pada jalur deaferensiasi nyeri.
Masing-masing elemen ini dapat meningkatkan kualitas hidup
pasien.
12
V. PILIHAN PEMBEDAHAN
Penanganan lesi pleksus brakhialis dianggap sebuah usaha
yang sia-sia oleh beberapa pakar dibidang saraf perifer pada masa 40
-50 tahun lalu. Namun kemajuan dalam pengetahuan akan fisiologi
saraf perifer dan dala tehnik pembedahan telah memberikan hasil
yang baik. Pilihan pembedahan modern meliputi cangkok saraf pada
akar saraf yang sehat, transfer saraf, free functioning muscle transfer,
tendon transfer dan kombinasidari tehnik-tehnik tersebut.
REKONSTRUKSI FLEKSI SIKU
Terdapat beberapa pilihan untuk mendapatkan fungsi fleksi
siku, dan pilihan pembedahannya tergantung pada ketersediaannya
sumber saraf, target otot untuk rekonstruksi, dan cedera lain yang
menyertai. Transfer saraf untuk fleksi siku dapat dilakukan dengan
menggunakan N Intercostal, atau N Accesorius spinalis
cangkok
saraf
interposisi.
Target
asraf
dapat
disertai
melalui
N
Musculocutaneous ataupun langsung ke cabang motoric ke biceps. N
Musculocutaneous meliputi baik serabut motorik untuk biceps
brachii dan brachialis, maupun serabut sensorik ke cabang N
Cutaneous Antebrachii Lateral. N Intercostal dapat ditransfer ke N
Musculocutaneous, namun beberapa akson motoric akan terhilang
pada jalur sensorik. Sebagai alternative, cabang motoric ke biceps
yang diidentifikasi pada permukaan dalam, dapat dipisahkan dari
serabut antebrachii lateral dengan diseksi interfascicular. Selanjutnya
N Intercostal ditransfer langsung ke cabang motorik biceps untuk
memungkinkan reinervasi langsung.
13
Gambar 4.1. Neurotisasi untuk fleksi siku dilakukan dengan menggunakan
Intercostal (A)
N
maupun N Accesorius Spinialis (B). (Diambil dari the Mayo
Foundation, Rochester, USA)
Literatur melaporkan bahwa 65% - 72% pasien dapat mencapai
pemulihan biceps motoric 3 (M3) atau lebih, dengan transfer N
Intercostal ke N Musculocutaneous (Songchroen 2005, Merrel 2001).
Sementara
itu
transfer
N
Accesorius
Spinalis
ke
N
Musculocutaneous, restorasi fleksi siku dicapai 77% pasien dengan
lebih besar atau sama dengan M3 dan 29% pasien M4.
Pada kejadian avulsi trunkus superior (C5 – C6), fleksi siku
dapat dilakukan transfer dari fasikulus yang intak pada N Ulnais dan
N Medianus langsung ke cabang motorik biseps atau brakhialis.
14
Gambar 4.2. Fasikulus motorik (ke Fleksor Carpi Ulnaris) N Ulnaris dapat
digunakan dan ditransfer ke cabang motorik biceps tanpa terjadi berkurangnya
fungsi motorik maupun sensorik donor. (Diambil dari the Mayo Foundation,
Rochester, USA)
Oberlin (1994) mendeskripsikan pemilihan fasikulus N Ulnaris yang
ke fleksor carpi ulnaris dan ditransferkan ke cabang motoric biceps
tanpa terjadi berkurangnya fungsi motorik maupun sensorik donor.
Hasil tehnik ini menunjukkan 85% berkekuatan M3 atau bahkan
lebih. Hasil terbaru bahkan menunjukkan 94% berkekuatan M4 atau
lebih. Mackinnon(2005) melaporkan kekuatan fleksi siku M4 atau
lebih pada 6 pasien yang dilakukan transfer langsung fasikulus
motoric dari N Ulnaris dan N Medianus ke biceps dan brachialis.
Reinervasi terjadi 5,5 bulan setelah operasi.
Manakala waktu dari cedera ke operasi lebih dari 9 – 12
bulan, maka direkomendasikan free functioning muscle transfer
untuk restorasi fungsi fleksi siku. Gracillis adalah otot yang
umumnya ditransfer karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu
15
pedikel neurovascular di sisi proksimal (yang memungkinkan
renervasi lebih cepat) dan mempunyai tendo yang panjang (yang
berpotensi baik untuk restorasi fleksi siku maupun ekstensi
pergelangan tangan serta fleksi jari-jari tangan). Free functioning
muscle transfer dapat diinervasi oleh 2 N Intercostal atau N
Accesorius Spinalis. Gracillis dilekatkan ke Clavicula pada sisi
proksimal dan tendon nya dijahitkan ke tendon biceps. 79% dari
gracillis free functioning muscle transfer ini mencapai kekuatan
fleksi siku minimal M4 (Bishop 2005).
Pada lesi parsial pleksus brakhialis, fleksi siku dapat
direkonstruksi dengan transfer otot yang masih berinervasi seperti
otot pectoralis mayor, triceps dan latissimus dorsi. Pilihan lainnya
adalah pemindahan ke proksimal dari origo kelompok otot fleksor
dan pronator (juga dikenal sebagai Steindler Flexorplasty) (Steindler
1918). Hasil dari transfer otot local untuk fleksi siku secara langsung
berkaitan dengan kekuatan otot donor preoperative, yang biasanya
juga terganggu pada lesi pleksus brakhialis.
Gambar 4.3. Free gracilis muscle
transfer, yang diinervasi oleh N.
Intercostal, digunakan untuk restorasi
fleksi siku. (Diambil dari the Mayo
Foundation, Rochester, USA)
16
STABILITAS BAHU
Transfer saraf untuk abduksi dan rotasi eksternal bahu dapat
dilakukan dengan transfer bagian distal N Accesorius Spinalis ke N
Suprascapularis.
Kedekatan
N
Accesorius
Spinalis
ke
N
Suprascapularis memungkinkankoaptasi langsung tanpa cangkok
saraf interposisi. Merrel (2001) menunjukkan bahwa transfer saraf
akan lebih efektif bila dilakukan tanpa cangkok saraf. Songchroen
(2005) mendeskripsikan pemulihan motoric 80% (M>3), yaitu
abduksi bahu 600 dan fleksi bahu 450 pada 577 pasien dengan transfer
N Accesorius Spinalis ke N Suprascapularis. Pada pasien dengan lesi
trunkus superior (avulsi C5,6) abduksi bahu dapat direstorasi dengan
tambahan transfer saraf seperti yang dipopulerkan Leechavengvongs
(2003) yaitu cabang triceps dari N Radialis ditransfer ke N Axillaris.
Leechavengvongs melaporkan hasil yang baik pada 5 dari 7 pasien,
dengan rata-rata abduksi bahu 1240 dalam 28 bulan. Oberlin (2009)
mendeskripsikan
penjahitan
langsung
N
Intercostal
ke
N
Suprascapularis, dan meninggalkan N Accesorius Spinalis untuk
dicadangkan guna tindakan sekunder bila diperlukan.
N Phrenicus adalah saraf yang tepat untuk ditransfer pada
rekonstruksi abduksi bahu. Keamanan pada transfer N Phrenicus
unilateral telah dibuktikan di literature (Gu, 1989, Luedemann,
2002). Transfer N Phrenicus dikontra indikasikan pada bayi dan
pasien dengan gangguan paru, sehingga pemeriksaan fungsi
diaphragm dan fungsi paru harus dilakukan sebelum operasi. Pilihan
untuk mencapai stabilitas bahu selain transfer saraf dan tendon
17
adalah arthrodesis glenohumeral. Walaupun prosedur ini akan
menurunkan ruang gerak sendi bahu, tetapi akan memberikan
kestabilan guna rekonstruksi selanjutnya yaitu fungsi siku dan
prehensif tangan.
FUNGSI TANGAN
Fungsi tangan memerlukan restorasi baik menggenggam
maupun melepas. Fungsi otot intrinsik dan pergerakan pergelangan
tangan dan jari-jari tidak akan bisa dicapai dengan transfer saraf.
Sehingga memerlukan gracilis free functioning muscle transfer baik
tunggal maupun ganda.
Doi, et al (2000) mendeskripsikan gracilis transfer ganda
guna memberikan stabilitas bahu dan kombinasi fungsi fleksi dan
ekstensi siku, sensibilitas tangan, dan fungsi menggenggam dan
melepas pada tangan. Prosedur transfer otot yang pertama adalah otot
gracilis diinervasi oleh N Accesorius Spinalis dan anastomosis arteri
Thoracoacromial untuk mendapatkan fleksi siku dan jari-jari tangan
atau ekstensi pergelangan tangan. Disisi proksimal otot gracilis
dilekatkan
ke
Clavicula
dan
melalui
permukaan
bawah
brachioradialis menuju sisi radial pergelangan tangan dan ekstensor
jari-jari. Transfer kedua otot gracilis diinervasi oleh N Intercostal dan
anastomosis dengan arteri Thoracodorsalis untuk mendapatkan
fungsi fleksi jari-jari tangan. Cabang sensoris dari N Intercostal
ditransfer ke N Medianus untuk sensibilitas tangan. Sisi proksimal
otot gracilis dilekatkan ke tulang iga kedua, berjalan secara subkutan
18
sepanjang sisi medial lengan atas dan dijahitkan ke tendon fleksor
jari-jari tangan.
Shin, et al (2010) melakukan modifikasi dengan transfer otot
gracilis tunggal untuk restorasi fleksi siku dan fleksi jari-jari. Sisi
proksimal otot gracilis dilekatkan ke Clavicula, otot di arahkan ke
lengan bawah melewati lacertus fibrosus, yang sekaligus bertindak
sebagai pulley. Anastomosis vascular dilakukan secara end - to - end
dengan arteri dan vena Thoracoacromial. Inervasi dilakukan dengan
menjahitkan ke 2 cabang motoric N Intercostal. Sisi distal tendon
gracilis dijahitkan ke tendon FDP dan FPL sebagai satu kesatuan
untuk restorasi gerakan menjepit kunci dan menggenggam.
Selanjutnya tendon gracilis dianyamkan ke tendon FDP dan FPL
yang telah disiapkan. Cangkok gracilis ini diregangkan supaya
dimungkinkan jari-jari tangan termasuk ibu jari menutup manakala
siku ekstensi. Cabang sensoris N Intercostal ditransfer ke lateral
cord yang menuju N Medianus untuk memberikan sensasi protektif
pada lengan dan 2 cabang motoric N Intercostal ditransfer ke cabang
motoric biceps. Akhirnya N Accesorius Spinalis ditransfer ke cabang
triceps melalui cangkok saraf interposisi. Pergelangan tangan
distabilisasi dengan arthrodesis, untuk memperkuat genggaman dan
fungsi tangan. Arthrodesis dapat dilakukan pada waktu bersamaan
dengan transfer otot gracilis atau dapat juga dilakukan pada tahap
berikutnya. Hasil yang didapat adalah stabilitas sendi bagian
proksimal dan keseimbangan pada sendi bahu, siku, dan pergelangan
tangan, suatu hal yang sangat penting dalam pencapaian fungsi
prehensil.
19
VI. KESIMPULAN
Lesi pleksus brakhialis adalah cedera yang mengakibatkan
kelumpuhan dan hal ini sulit untuk ditangani. Pendekatan
multidisipliner sangat diperlukan untuk menentukan diagnosis,
melakukan investigasi yang diperlukan, dan mengembangkan
rencana rekonstruksi yang tepat. Dengan kemajuan tehnik operasi
mikro, berbagai pilihan dapat digunakan untuk menangani pasien ini
yaitu: reparasi saraf langsung, cangkok saraf, transfer saraf, transfer
tendon, dan free functioning muscle transfer. Tujuan utama adalah
meningkatkan
fungsi
lengan
dan
tangan
pasien
dengan
merekonstruksi fleksi siku, stabilitas bahu, fungsi menggenggam dan
sensibilitas tangan. Sterling Bunnell mengatakan “to someone who
has nothing, a little is a lot”. Dalam penanganan lesi pleksus
brakhialis kita sekarang mempunyai kemampuan untuk mencapai
“something” pada seseorang yang dimulai dengan “nothing”.
20
DAFTAR PUSTAKA
1.
Narakas A. The treatment of brachial plexus injuries. Int Orthop
1985;9:29–36.
2.
Seddon HJ. Three types of nerve injury. Brain 1943; 66:238–88.
3.
Songcharoen P, Shin AY. Brachial plexus injury: acute
diagnosis and treatment. In: Berger RA, Weis APC, editors.
Hand surgery. Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins;
2004. p. 1005–25.
4.
Mackinnon SE. Nerve grafts. In: Goldwyn RM, Cohen MN,
editors. The unfavorable result in plastic surgery. Philadelphia:
Lippincott, Williams & Wilkins; 2001. p. 134–60.
5.
Songcharoen P, Wongtrakul S, Spinner RJ. Brachial plexus
injuries in the adult. Nerve transfers: the Siriraj Hospital
experience. Hand Clin 2005;21:83– 89.
6.
Merrell GA, Barrie KA, Katz DL, Wolfe SW. Results of nerve
transfer techniques for restoration of shoulder and elbow
function in the context of a meta-analysis of the English
literature. J Hand Surg 2001;26A:303–314.
7.
Oberlin C, Béal D, Leechavengvongs S, Salon A, Dauge MC,
Sarcy JJ. Nerve transfer to biceps muscle using a part of ulnar
nerve for C5-C6 avulsion of the brachial plexus: anatomical
study and report of four cases. J Hand Surg 1994;19A:232–237.
8.
Mackinnon SE, Novak CB, Myckatyn TM, Tung TH. Results of
reinnervation of the biceps and brachialis muscles with a double
fascicular
transfer
for
elbow
flexion.
J
Hand
Surg
2005;30A:978–985.
21
9.
Bishop AT. Functioning free-muscle transfer for brachial plexus
injury. Hand Clin 2005;21:91–102.
10. Steindler A. A muscle plasty for the relief of flail elbow in
infantile paralysis. Interstate Med J 1918;35:235–241.
11. Leechavengvongs
S,
Witoonchart
K,
Uerpairojkit
C,
Thuvasethakul P. Nerve transfer to deltoid muscle using the
nerve to the biceps muscle after avulsions of upper roots of the
brachial plexus. J Hand Surg 2003;28A:633–638.
12. Oberlin C, Durand S, Belheyar M, Shafi M, David E,
Asfazadourian H. Nerve transfers in brachial plexus palsies.
Chir Main 2009;28:1–9.
13. Gu YD, Wu MM, Zhen YL, Zhao JA, Zhang GM, Chen DS, et
al.
Phrenic
nerve
transfer
for
brachial
plexus
motor
neurotization. Microsurgery 1989;10:287–289.
14. Luedemann W, Hamm M, Blömer U, Samii M, Tatagiba M.
Brachial plexus neurotization with donor phrenic nerves and its
effect on pulmonary function. J Neurosurg 2002;96:523–526.
15. Doi K, Muramatsu K, Hattori Y, Otsuka K, Tan SH, Nanda V,
et al. Restoration of prehension with the double free muscle
technique following compete avulsion of the brachial plexus.
Indications and long-term results. J Bone Joint Surg
2000;82A:652–666.
22
Oberlin Procedure
Approach :
A longitudinal medial skin incision in the proximal upper arm
Anatomy & identification :
The branch of the musculocutaneous nerve supplying the biceps
muscle after it traverses the coracobrachialis muscle is identified.
Use electrodiagnostic to distinguish the motor fascicles from the
sensory fascicles because the fascicles of the ulnar nerve at the
upper arm are mixed and all fascicles contain both motor and
sensory nerve fibers.
Dissection and Transfer :
The ulnar nerve is dissected intraepineurially and the single
posteromedial fascicle, which mostly innervates the flexor carpi
ulnaris muscle, equal to the size of branch to the biceps, is selected
and transected just proximal to the distal interfascicular
connection of the fascicle under magnification of an operating
microscope
Suturing :
The motor branch of the biceps is sutured without tension to a single or two
fascicles of the ulnar nerve in epineural fashion using 10-0 nylon suture.
C7 Kontralateral Procedure
Approach :
Supraclavicular & infraclavicular
indentify C7 nerve kontralateral
Note : because of the high cross
innervation by the contralateral C6 and
C8 roots, the uninjured contralateral C7
(partial or whole) can be transferred to
the injured limb to provide axons to the
injured median nerve
Technical surgery :
SAHA PROCEDURE
(Transfer Of The Trapezius For Flail Shoulder)
Introduction
Saha (1967) gave details of his experience with transfer of
the trapezius, using a
modification of the technique
originally described by Bateman (1954). However, the
absence of clear indications for the operation and expecting
too much from this
transfer alone has led to its
infrequent use
Surgical technique
Patients are positioned on the operating table with a 450
foot-down tilt and full lateral decubitus using a bean bag for
support. The shoulder, the neck, and the
free
1. A
transverse
skin
incision
begins above the clavicle over
the insertion of the trapezius,
crosses the lateral
and
continues
clavicle,
round
the
acromion and along the spine
of
the
scapula.
extension
over
the
A
vertical
is made laterally
mid-deltoid.
The
whole arm are
deltoid origin is then cut from the lateral third of the
clavicle, the acromion, and the lateral half of the spine
of the scapula.
2. A Gigli wire saw is used to
transect
the
acromion,
lateral
root
and
of
the
then
the
clavicle, so as to
separate the lateral 1 cm of
the
clavicle
with
the
acromion.
3. The remaining insertions of the trapezius are elevated
from the clavicle and the scapular spine to 2 cm from
the vertebral border of the scapula.
4. Careful dissection is needed
to
define
the
interval
between the trapezius and
the supraspinatus. Special
attention
is
needed
to
preserve the neurovascular
bundle
accessory
of
the
nerve
spinal
and
transverse cervical artery,
which courses from deep to superficial through the
trapezius.
5. The partly detached deltoid
is
split
expose
longitudinally
the
to
proximal
humerus. which is scored
with an osteotome. The arm
is then abducted to 900, and
the
acromioclavicular
fragment with its trapezius
insertion is fixed to the humerus with two 4.5 mm
cortical lag screws, ensuring firm bone-to-bone
bone contact .
6. The wound is thoroughly irrigated with saline solution,
and the deltoid is sutured on top of the new trapezius
insertion
7. The skin is closed in two layers over suction drains, a
bulky dressing applied and the patient immobilised in a
soft abduction support.
Postoperative management
Drains are removed on the second or third day. The soft
abduction support is worn for six weeks or until union is
seen between the acromion fragment and the humerus. The
arm is then allowed to adduct progressively and a vigorous
vig
physical
therapy
programme
is
started.
As
strength
improves, more resisted muscle strengthening exercises are
added.
STEINDLER'S PROCEDURE
(FLEXOR-PRONATOR MUSCLE TRANSFER)
INTRODUCTION
The procedure that has been used classically to
restore flexor function to the elbow paralyzed by any
injury is the flexorplasty described by Arthur Steindler
in 1918. The flexor-pronator muscles arising from the
medial epicondyle are transposed to a more proximal
point on the humerus, increasing their moment arm
for elbow flexion, sufficient to permit active control.
Although most patients can flex their elbows through a
useful range against gravity, it is rare for them to be
able to lift more than 2 kg after such a transfer;
nevertheless it is a useful operation
INDICATIONS
• Failed or neglected cases of upper type brachial
plexus palsy greater than 6 months
• Normal or subnormal power of forearm flexorpronator muscles & good shoulder control
PREOPERATIVE EVALUATION
Good strength of forearm flexor-pronator muscles : As
with all potential candidates for tendon transfer, the
preoperative
evaluation
of
the
strength
of
the
proposed donor muscle is critical to the success of the
Steindler flexorplasty or any of its variations. Because
the muscles originating from the medial epicondyle of
the humerus (the pronator teres, flexor carpi radialis,
palmaris
longus,
flexor
carpi
ulnaris,
and
flexor
digitorum superficialis) will now serve to flex the elbow
in addition to their usual functions, they must have
normal or near-normal power to achieve a meaningful
result.
PEARL
Reliable recovery of elbow flexion : Patients who
already have weak elbow flexion or who can achieve
flexion by the so-called Steindler effect preoperatively
are most likely to have satisfactory results from
surgery. The Steindler effect makes use of contraction
of those muscles in a supplementary movement as
follows: the patient may achieve elbow flexion by
flexing the wrist and fingers and pronating the
forearm, usually while the arm is flexed forward in the
horizontal plane to eliminate the effect of gravity.
Because this is precisely the muscular activity that is
enhanced by moving the origins more proximally, it
may be used to identify those patients whose muscles
are adequate for transfer. Although one may proceed
in the absence of a demonstrable Steindler effect, the
postoperative result is likely to be barely functional.
TECHNICAL POINTS
• Longitudinal curved
skin incision from the
distal one third of
upper arm to the
proximal one third of
forearm
• Exploration of ulnar
nerve
• Identification of the
median nerve, brachial
artery, and veins
• Release of the
proximal portion of
forearm flexor and
pronator muscles
• Subperiosteal dissection
and shaving the
anterior cortex of
humerus
• Osteotomy of the
medial epicondyle of
humerus
• Longitudinal split of brachialis muscle
• Drill hole on the humerus to accept the screws
• Transfixation of the fragment of medial epicondyle
with forearm muscles to the humerus with a screw
• Additional suture of the fragment to the humerus
with suture-anchor kits
• Skin closure
POSTOPERATIVE CARE
• Immobilization of the elbow in 100 degrees of
flexion for 6 weeks
• Passive
flexion
of
elbow,
wrist,
and
finger
3
weeks
immediately after operation
• Active
flexion
of
wrist
and
finger
of
elbow
at
postoperatively
• Passive
extension
7
weeks
postoperatively
PITFALL
Flexion contracture of the elbow
COMPLICATIONS
Most patients with the Steindler's procedure tend to
have a residual flexion contracture of the elbow from
30 to 60 degrees of flexion.
EXPECTED OUTCOME
Recent articles have noted that Steindler's procedure
can achieve more than 120 degrees of elbow flexion in
more than two thirds of patient.
Free Functioning Muscle Transfer
(Gracillis Muscle Transfer)
Introduction :
Free-functioning muscles transferred for a specific purpose should have
the strength and excursion comparable to the paralyzed muscles they
are replacing.
A variety of free-functioning muscles can be transferred, including :
• The latissimus dorsi (thoracodorsal nerve)
• The rectus femoris (femoral nerve)
• The gracilis (anterior division of the obturator nerve)
Why using gracilis free finctioning muscle transfer?
• Proximally based neurovascular pedicle (which allows earlier
reinnervation)
• Its long tendon length (which has the potential to restore
elbow flexion, wrist extension, or finger flexion).
Approach :
•
Medial insicion
•
Identification
•
The free-functioning
muscle transfers can be
powered by either 2
intercostal motor nerves
or the spinal accessory
nerve.
•
Proximally, the gracilis is
secured to the clavicle;
distally, the gracilis
tendon is woven into the
biceps tendon
PLEKSOPATI BRACHIALIS.
DIAGNOSTIK DAN TATALAKSANA NON-OPERATIF.
Mudjiani Basuki
Dept./ SMF IP Saraf, RSU Dr. Sutomo/ FK UNAIR, Surabaya
Pendahuluan
Pleksus brakialis (PB) adalah sistim saraf perifer yang memberi
inervasi pada ektremitas superior. Pleksus brakialis memiliki struktur
yang sangat kompleks, letaknya yang cukup superficial dan berada
diantara 2 organ yang sangat mobile ( leher dan lengan). Hal ini
membuat pleksus brakialis sangat mudah mengalami trauma. Oleh
karena itu penting sekali para klinisi mengenal kelainan mengenai lesi
PB secara menyeluruh. Makalah ini akan membahas secara singkat
mengenai anatomi, klasifikasi dan gejala, beserta tatalaksananya.
Anatomi
PB adalah struktur berbentuk segitiga, memanjang dari medulla
spinalis servikal menuju aksila. PB tersusun dari jaringan saraf dan
jaringan ikat dengan perbandingan 1:2. Jaringan saraf yang membentuk
PB terdiri dari :
•
5 akar saraf ( C5 –T1)
•
3 trunkus ( upper, medial dan lower)
•
6 divisi (3 divis anterior dan 3 divisi posterior)
•
3 korda (cords) (lateral, medial dan posterior)
•
Beberapa terminal saraf perifer. (n. medianus, n.ulnaris,
n.radialis)
Beberapa saraf terminal muncul sebelum PB antara lain :
•
N. thorakalis longus (C5-C7)
•
Saraf yang memberi inervasi diafragma dan N. skapularis
dorsalis untuk m. levator scapula dan m.rhomboideus (C5)
•
Saraf motorik yang memberi inervasi otot-otot leher a.l
m.scalenus dan m. cervikalis longus (C5, C6)
Trunkus PB terletak di sisi posterior tulang belakang C5-T1, dorsal
dari klavikula dan m.sternocleidomastoideus. Terdisi dari trunkus
superior (C5-C6), trugkus medius (C&) dan trungkus inferior (C8-T1).
Trunkus superior memberikan cabang saraf terminal n. supraskapularis.
Beberapa anomali dapat terjadi pada trunkus PB a.l berupa penyatuan
akar saraf C5-C6 dan C8-T1. Letak trunkus inferior berdekatan dengan
A. subklavia dan apeks paru-paru.
Setiap trunkus akan membagi diri menjadi divisi anterior dan
posterior, dan selanjutnya akan membentuk korda lateral, medial dan
posterior. Korda PB terbentuk mulai dari tepi bawah m.pektoralis minor
sampai dengan proksimal aksila.
•
Korda lateral dibentuk oleh gabungan antara divisi anterior trunkus
superior
dan
medial,
yang
selanjutnya
akan
menjadi
n.
muskulokutaneus dan n.medianus.
•
Korda medial dibentuk oleh divisi post divisi anterior trunkus
medial dan berakhir pada n.ulnaris.
•
Korda posterior dibentuk oleh divisi posterior trunkus superior,
medial dan inferior dan selanjutnya akan member cabang
n.subscapular dan n.thorakodorsalis sebelum berakhir menjadi
n.radialis dan aksilaris
Klasifikasi lesi PB
Plexopati Brachialis sering diklasifikasikan menjadi lesi
supraklavikula,
retroklavikula
dan
lesi
infraklavikula.
Lesi
supraklavikula paling sering terjadi, terutama akan mengenai bagian
akar saraf dan trunkus. Penderita dengan lesi supraklavikula biasanya
mempunyai prognosa baik oleh karena berupa lesi demyelinasi dengan
blok konduksi, letaknya yang ekstra foramina dan dekat dengan otot
yang disarafi.
Diagnosis lesi PB.
Diagnosis lesi PB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis,
pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan elektrodiagnostik. Pada
pemeriksaan klinis tujuan utamanya adalah mendapatkan data mengenai
lokasi yang lebih spesifik dan tingkat keparahannya. Pemeriksaan
radiologis akan banyak membantu mencari
Sedangkan
pemeriksaan
elektrodiagnostik
penyebab lesinya.
memberikan
informasi menentukan lokasi, diagnosis
secara fungsionil dan prognosisnya.
Penatalaksanaan.
Terapi lesi PB tergantung dari :
1. Type lesi : neuropraksia, aksonometsis, neuronometsis
2. Lokasi lesi : supraklavikula, infraklavikula
3. Penyebab lesi: radiasi, keganasan, trauma terbuka/ tertutup
banyak
Penatalaksanaan non operasi pada lesi saraf tepi bertujuan untuk
merangsang pertumbuhan akson yang mengalami cedera. Pada lesi
aksonometsis dan neuronometsis, proses regenerasi yang terjadi berjalan
lambat dan tidak lengkap. Pada manusia, proses regenerasi rata-rata: 12 mm/ 24 jam.
Keberhasilan proses regenerasi saraf tepi tergantung dari
kemampuan regenerasi akson yang cepat dan integritas sel Schwann
yang berada disekitarnya. Dalam hal ini Sel Schwaan berperan sebagai
penuntun proses regenerasi aksonal.
Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa obat
yang sifatnya neurotropik dapat membantu mempercepat proses
regenerasi aksonal, a.l:
•
Golongan immunosuppressant FK 506 meningkatkan proses
regenarasi saraf tepi pada hewan coba tikus.
Rapamycin dan
cyclosporine, analog FK506 nonimmunosuppressive terbukti secara
invivo dan invitro sebagai obat yang memicu pertumbuhan akson.
•
Melakukan implant protein Prosaporin diantara ujung distal dan
proksimal dari saraf tepi yang terpotong
•
Insulin-like growth factor. Pada beberapa penelitian terbukti
mempunya efek neurotropik pada saraf motorik
•
Topical GM1 ganglioside membantu perbaikan diameter akson .
•
Rangsangan elektrik
•
Pemberian oksigen hiperbarik
Prognosis.
Prognosis kasus pleksopati brakhialis tergantung dari lokasi dan tingkat
keparahannya. Lesi murni demielinasi akan membaik oleh proses
remyelinasi dalam waktu 2-8 minggu. Apabila terjadi degenerasi
aksonal, proses penyembuhan akan berjalan lebih lama.
Kepustakaan.
1. Ferrante MA. Brachial Plexopathies: classification, causes, and
consequences. Muscle Nerve 2004;30:547-568
2. Gutierrez A, England JD. Peripheral Nerve Injury. In: Katirji B
et all Ed. Neuromuscular disorders in clinical practice.
Butterworth-Heinemann, 2002
3. Spinner RJ, Kline DG. Surgery for peripheral nerve and
brachial plexus injuries or other nerve lesions. Muscle Nerve
2000;23:680-695
4. Wilbourn AJ, Ferrante MA. Plexopathy. In: Pourman R Ed.
Neuromuscular Disease. Expert clinicians Views.ButterworthHeinemann, 2001
PERAN REHABILITASI MEDIK DALAM PENANGANAN PRE
DAN PASKA OPERASI LESI PLEKSUS BRAKHIALIS
I Lukitra Wardhani, Patricia MKA, Qorib MS
REHABILITASI MEDIK
Tim Rehabilitasi Medik sebagai salah satu anggota tim lesi
pleksus brakhialis berperan mulai saat terjadinya trauma hingga proses
penyembuhan setelah operasi , yang seringkali berlangsung bertahuntahun. Tujuan program rehabilitasi medik adalah memulihkan kembali
kualitas hidup penderita lesi pleksus brakhialis beserta keluarganya
Program rehabilitasi medik lesi pleksus brakhialis diberikan
secara simultan seiring dengan program dari disiplin ilmu lain , terbagi
dalam beberapa fase :
- Fase pre-operasi
- Fase paska operasi
Program harus dimulai segera setelah trauma. Perhatian
dibutuhkan untuk tetap mempertahankan gerakan dengan tujuan
meminimalkan timbulnya kontraktur dan untuk menstimuli aktivitas
otot yang potensial sembuh.
Rehabilitasi penderita yang diduga mengalami trauma pleksus
brakhialis ,sangat diperlukan guna mempertahankan dan meningkatkan
rentang gerak sendi,memperlambat proses atropi otot dan memprogram
re-edukasi otot yang telah direkonstruksi dan verifikasi reinervasi.
Intervensi yang secara umum dilakukan pada penderita lesi pleksus
brachialis meliputi 8 :
1.
Pemakaian sling atau splint
2.
Latihan luas gerak sendi pasif
3.
Massage untuk mengontrol udem dan jaringan parut
4.
Stimulasi elektris (ES)
5.
Re-edukasi neuromukular, meliputi stimulasi elektris dan
biofeedback
6.
Latihan rentang gerak sendi secara aktif assistive, termasuk
penggunaan
posisi dengan pengaruh gravitasi minimal,
powder boards, dan skate board
7.
Latihan rentang gerak sendi secara aktif
8.
Penguatan otot
9.
Re-edukasi sensorik
FASE PRE OPERASI
Fase preoperasi , dimulai saat datang konsul ke bagian
rehabilitasi medik baik masih dalam fase trauma akut, subakut, maupun
kronis.
Pada cidera suatu saraf, digunakan ortesa untuk mengatasi
kelemahan otot yang diinervasinya,terutama bila direncanakan tindakan
bedah,hasil intervensi akan tergantung pada gerakan sendi yang masih
ada
Program rehabilitasi medik bertujuan untuk :
-
Evaluasi awal
-
Mencegah atropi otot dan myoneural junction
-
Mencegah kontraktur sendi-sendi anggota gerak atas
-
Mempertahankan fungsi semaksimal mungkin
-
Memodifikasi aktivitas sehari-hari sesuai kondisi pasien
-
Mencegah kerusakan pleksus brakhialis lebih lanjut
-
Mengurangi nyeri
-
Menyiapkan kondisi pasien untuk operasi
Pada evaluasi awal, penderita akan dilakukan pemeriksaan
dalam bentuk anamnesa
dan pemeriksaan fisik, juga pemeriksaan
dengan menggunakan peralatan.
Seringkali lesi pleksus ini disertai dengan trauma lain seperti,
patah tulang, kerusakan sendi dan sebagainya. Pada fase akut, lengan
penderita akan dipasang splint, guna meniadakan gerakan yang dapat
makin merusak pleksus,misalnya pada penderita lesi pleksus brakhialis
upper trunk atau komplit, memerlukan penyangga untuk mencegah atau
meminimalkan subluksasi glenohumeral ke inferior akibat kelemahan
otot deltoid, supraspinatus, dan infraspinatus. Sling universal, sling
envelop, atau hemisling merupakan alat yang bias digunakan untuk
keperluan tersebut. Sangat perlu untuk mempertahankan keutuhan
kapsul sendi guna memperbaiki gerakan glenohumeral saat fungsi otot
otot bahu pulih. Sling juga bermanfaat untuk memberi rasa aman pada
penderita, karena mengurangi rasa tidak nyaman, mencegah posisi yang
tidak terkontrol karena gerakan anggota gerak yang mengalami paralisa.
Sling harus diatur sedemikian rupa, sehingga kaput humerus berada
pada posisi normal atau sedikit elevasi terhadap glenoid.
Pada penderita dengan insisi pada area leher dan bahu sebelah
atas,
maka sling universal yang menyilang daerah tersebut akan
menimbulkan
rasa
tidak
nyaman
sehingga
memerlukan
modifikasi.Beberapa penderita dengan kondisi tersebut lebih memilih
taping bahu.. Penderita dengan kelemahan otot pergelangan tangan,
butuh splint untuk mempertahankan pergelangan tangan pada posisi
ekstensi 100
hingga 200 yang
digunakan sepanjang waktu untuk
menimbulkan resting posture pada posisi ekstensi yang dapat
bermanfaat saat melakukan gerakan fleksi jari tangan.
Pada fase awal setelah trauma,latihan rentang gerak sendi secara
pasif dilakukan untuk mempertahankan mobilitas sendi anggota gerak
atas. Hendaknya tetap memperhatikan tentang kemungkinan adanya
intervensi pembedahan yang akan dilakukan dikemudian hari. Meskipun
pada lesi yang komplit, fungsi gerakan jari harus dipertahankan secara
agresif. Fungsi grasp tangan adalah tujuan dari pembedahan. Penderita
diajarkan untuk melakukan latihan luas gerak sendi sendiri untuk
mencapai hasil terbaik 8.
Pada fase sub-akut, perlahan-lahan seluruh lengan akan dilatih
secara pelan dan bertahap sesuai toleransi pasien.
Beberapa ahli merekomendasikan pemberian stimulasi elektris/ES untuk
otot tertentu sebelum dilakukan neurotisasi,tendon transfer atau freemuscle transfer
Bila ada,penanganan keluhan rasa nyeri, selain menggunakan obatobatan, juga menggunakan alat-alat terapi fisik (modalitas)
Terapis okupasi bertugas
memberikan latihan pada tangan
penderita dan latihan untuk memodifikasi kegiatan sehari-hari dan
pekerjaan penderita selama sakit.
Selama fase ini , setiap bulan akan dievaluasi terus untuk
memonitor
adanya proses penyembuhan spontan. Evaluasi juga
ditujukan untuk memonitor rencana
latihan yang berikutnya untuk
mempersiapkan otot dan sendi, termasuk juga aspek psikologi pasien
dalam menghadapi operasi.
TINDAKAN OPERASI
Neurolisis, nerve repair, nerve graft, nerve transfer, functioning
free-muscle transfer, dan pedicle muscle transfer merupakan prosedur
pembedahan utama pada kasus rekonstruksi lesi pleksus brachialis. Dari
itu semua, nerve transfer dan neurotisasi adalah yang berkembang
dalam kepentingan
dan popularitasnya.
Prosedur
ini
terutama
diindikasikan untuk lesi avulsi akar saraf dengan saraf spinalis beserta
rootletsnya
teravulsi
dari
medulla
spinalis.
Transfer
saraf
memungkinkan untuk terjadi reinervasi pada segmen distal dari pleksus
brachialis 6.
Golden period untuk avulse dengan denervasi adalah 5 bulan
setelah terjadi jejas. Satu atau lebih nerve transfer sering digunakan
untuk shoulder, elbow, atau fungsi tangan. Nerve transfer atau
neurotisasi meliputi tiga kategori utama yaitu : neurotisasi extrapleksal,
neurotisasi intrapleksal, dan end-to-side neuroraphy 6.
Saat ini, saraf yang digunakan sebagai donor pada neurotisasi
extrapleksal adalah : N. Accessory spinalis, N. Phrenicus, N.
Intercostalis, pleksus cervicalis, saraf cervical 7 dari kontralateral, dan
N. Hypoglossus. Saraf yang digunakan sebagai donor pada neurotisasi
intrapleksal adalah N. Ulnar atau fascicle dari N. Medianus, N. Long
thoracic, N. Pectoralis medial, cabang N. Tricep, dan akhir akhir ini
menggunakan akar saraf C7 ipsilateral 7.
Gambar 2. Metode neurotisasi (diambil dari Songcharoen P,2005)
FASE PASKA OPERASI
Rehabilitasi paska operasi adalah usaha tim yang terkoordinasi
erat antara ahli bedah
dan tim rehabilitasi medik. Segera sesudah
operasi biasanya diprogram immobilisasi untuk memberi kesempatan
agar jaringan lunak sembuh dan udem lenyap. Idealnya, anastomosis
mikrovaskular bebas dari regangan sehingga memungkinkan gerakan
pasif ke segala arah, bila hal ini tidak dapat dicapai, maka diperlukan
guideline terapi yang jelas yang harus dikomunikasikan kepada seluruh
tim yang menangani.
Sehubungan dengan jenis operasi perbaikan yang berbeda maka
program rehabilitasi medik pada fase ini dibagi menjadi :
-
Paska operasi neurolisis, nerve-tranfer, neurotization
-
Paska tendon transfer
Pada fase paska operasi ini, lengan tidak diperkenankan untuk
digerakkan, sehingga penggunaan splint sudah dilakukan segera setelah
operasi, untuk tidak mengganggu hasil operasi.
Imobilisasi ini
berlangsung selama 1 minggu untuk paska neurolisis, dan 3 minggu
untuk nerve transfer dan nerve graft
Setelah operasi perlu beberapa waktu sebelum mulai terapi
untuk penyembuhan saraf dan otot yang telah ditransferi. Penderita
diimobilisasi untuk menunggu penyembuhan terjadi pada jaringan yang
terkena pada proses pembedahan. Seorang penderita dengan gangguan
shoulder girdle paling sering dilakukan immobilisai selama 3 minggu
atau lebih, dan cast atau splint digunakan untuk melindungi saraf bagian
distal atau hubungan tendon selama 3 hingga 6 minggu. Tergantung
pada lesi dan operasi rekonstruksinya, latihan luas gerak sendi secara
pasif diindikasikan secepat mungkin sesuai dengan persetujuan dari tim
bedah,dengan tujuan untuk mempertahankan luas gerak sendi
semaksimal mungkin sebatas tanpa tahanan . Gerakan tangan dan
pergelangan tangan diperbolehkan dilakukan segera setelah pembedahan
kecuali bila telah dilakukan fungsionalisasi free-muscle atau tendon
transfer.Latihan rentang gerak sendi bahu mungkin dibatasi secara
permanen pada batas tertentu untuk mengamankan N. Intercostalis yang
telah ditransfer ke lengan atas. Generalisasi tindakan tak biisa
dilakukan,karena tindakan rekonstruksi sangat bervariasi. 8. Latihan luas
gerak sendi secara pasif dilakukan 4 hingga 6 kali perhari dan tiap sesi
latihan diulangi tiap 10 hingga 20 atau lebih . Tergantung pada lesi yang
ada, beberapa sendi mungkin akan dibiarkan mengalami kontraktur
untuk memaksimalkan fungsi. Hal ini mungkin dibutuhkan pada lesi
pleksus brachialis total. Kontraktur pergelangan tangan dengan posisi
ekstensi mungkin dilakukan untuk menghasilkan kemampuan grasp
yang lebih baik setelah dilakukan free- muscle transfer untuk ekstensor
wrist dan jari jari. Pengendalian edema dan tatalaksana jaringan parut
merupakan bagian dari rencana perawatan. Massage pada skar
dilakukan untuk menjaga agar skar tetap mobile.
Stimulasi listrik dimulai pada 3 hingga 6 minggu setelah operasi.
Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan jaringan saraf sembuh dan
tidak rentan rupture. Pada kondisi seperti ini yang terjadi adalah proses
reinervasi sehingga otot tidak memberikan respon terhadap arus yang
dihasilkan neuromuscular stimulator. Pada keadaan seperti ini
diperlukan stimulasi arus galvanic (direct-curent) apabila tersedia alat
yang dapat diatur pulse durasinya, maka gunakan durasi yang lebih
panjang dari chronaxie otot. Apabila otot sudah mengalami reinnervasi
maka chronaxie diturunkan secara perlahan 8.
Pasien dan keluarganya harus dipersiapkan pada keadaan,bahwa
proses penyembuhan memerlukan memerlukan waktu lama dan banyak
biaya ,termasuk menjalani terapi secara teratur , yang akan dievaluasi
tiap 3-4 bulan selama 2-5 tahun setelah operasi untuk memonitor
kesembuhan sepenuhnya.
BIOFEEDBACK
Biofeedback adalah suatu teknik terapi yang menggunakan
bermacam monitor pendengaran dan penglihatan untuk melatih pasien
mengontrol fungsi yang tak normal secara sadar.
Biofeedback berfungsi sebagai alat diagnostik sekaligus terapi.
Pada awalnya, dengan biofeedback ditentukan dulu,apakah ada
kontraksi otot yang mungkin tak tampak secara visual,namun termonitor
dengan alat ini, apabila kontraksi otot secara aktif telah terlihat, maka
biofeedback dapat digunakan untuk membantu penderita untuk
menyadari kontraksi otot tersebut dan meningkatkan kemampuannya
untuk melakukan firing otot tersebut.
Pada tahap lanjutan proses re-edukasi, biofeedback digunakan
juga dalam bentuk monitoring secara visual dan palpasi terhadap otot
yang telah ditransfer atau reneurotisasi. Tangan penderita pada sisi yang
sehat atau cermin juga dapat digunakan untuk memonitor kualitas
kontraksi ketika pengendalian motorik telah pulih. Tehnik re-edukasi
yang lain dapat digunakan apabila alat biofeedback tidak ada. Beberapa
tehnik yang mungkin digunakan termasuk penggunaan re-edukasi
neuromuscular dan stimulasi listrik neuromuscular. Tujuan stimulasi
listrik neuromuscular adalah untuk memberikan visualisasi dan sensasi
kontraksi. Amplitude dari arus yang diberikan besar pada permulaan.
Hal ini bertujuan untuk memberikan sensasi otot yang sedng
berkontraksi. Amplitude perlahan akan diturunkan apabila penderita
mampu melanjutkan kontraksi secara volunter. Apabila penderita telah
melewati kekuatan kontraksi volunter, maka kekuatan stimulasi
diturunkan 8.
TERAPI OKUPASI
Terapi okupasi diberikan untuk mempersiapkan penderita
melakukan kembali aktifitas sehari-harinya secara mandiri dan untuk
kembali ke profesinya/area kerja , termasuk alih profesi/kerja bila
kondisi yang ada tak memungkinkan kembali ke pekerjaannya.
KESIMPULAN
Kasus
lesi
pleksus
brakhialis
merupakan
bencana
bagi
penyandangnya, karena sering menyebabkan disabilitas fisik yang berat,
tekanan psikologis dan masalah sosio-ekonomi.
Tim Rehabilitasi Medik sebagai salah satu anggota tim lesi
pleksus brakhialis berperan mulai saat terjadinya trauma hingga proses
penyembuhan setelah operasi , yang seringkali berlangsung bertahuntahun, baik dari segi penegakan diagnose mulai anamnesa,pemeriksaan
fisik hingga EMG dan Biofeedback maupun dalam proses terapi pre dan
paska operasi.
Tujuan program rehabilitasi medik adalah memulihkan kembali
kualitas hidup penderita lesi pleksus brakhialis beserta keluarganya,
yang diberikan secara simultan seiring dengan program dari disiplin
ilmu lain
Daftar Pustaka
1. Moran SL, Steinmann SP, Shin AY. Adult Brachial Plexus
Injuries : Mechanism, Patterns of Injury, and Physical
Diagnosis. Hand clinic .2005.21:13-24
2. Narakas A. The Treatment of Brachial Plexus Injuries. Int
Orthop. 1985 : 9: 29-36
3. Shin AY, Spinner RJ. Clinically Relevant Surgical Anatomy
and Exposure of the Brachial Plexus. Hand clinic. 2005: 21: 111
4. Amrami KK, Port JD. Imaging the Brachial Plexus. Hand
clinic.2005. 21:25-37
5. Harper CM. Preoperative and Intraoperative Electrophysiologic
assessment of Brachial Plexus Injuries. Hand clinic.2005. 21:
39-46
6. Chuang DCC. Nerve Transfers in Adult Brachial Plexus Injuries
: My Methods. Hand clinic.2005. 21 :71-82
7. Songcharoen P, Wongtrakul S. Spinner RJ. Brachial Plexus
Injuries in The Adult. Nerve Transfer : The Siriraj Hospital
Experience.hand clinic.2005. 21:83-89
8. Kinlaw D. Pre-/Postoperative Therapy for Adult Plexus Injury.
Hand clinic. 2005.21 : 103-108
9. Kang,
Lana
MD. Traumatic
Brachial
Plexus
Injuries.
Rehabilitation of the Hand and Upper Extrimity. 6:749-759
10. Bednar, John M MD. Common Nerve Injuries About the
Shoulder. Rehabilitation of the Hand and Upper Extrimity. 6:
760-767
11. Ratner, Joshua A MD. Tendon Transfer for Upper Extrimity
Peripheral Nerve Injuries. Rehabilitation of the Hand and Upper
Extrimity. 6: 771-779
12. Duff, Susan V EdD, PT, OTR/L,CHT. Terapist’s Management
of Tendon Transfer. Rehabilitation of the Hand and Upper
Extrimity. 6: 781-791
13. Ashworth, Sarah OTR/L. Brachial Plexus Palsy Reconstruction
: Tendon Transfers, Osteotomies, Capsular Release, and
Arthrodesis. Rehabilitation of the Hand and Upper Extrimity. 6:
792-812
14. Tung, Thomas H MD. Nerve Transfer. Rehabilitation of the
Hand and Upper Extrimity. 6: 813-822
15. Hay, David MD, et al.Vascular Disorders of the Upper
Extrimity. Rehabilitation of the Hand and Upper Extrimity. 6:
825-844
Download