KATA SAMBUTAN Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesempatan dan kesehatan sehingga kita dapat hadir dalam acara symphosium dan workshop nasional plexus brachialis. Sampai dengan saat ini, epidemiologi jumlah lesi pleksus brakhialis yang terjadi setiap tahun sulit untuk dipastikan karena belum adanya data yang akurat, namun dengan meningkatnya kasus kecelakaan lalu lintas dan peningkatan jumlah korban yang selamat dari kecelakaan kecepatan tinggi kendaraan bermotor, jumlah lesi pleksus brakhialis terus meningkat terutama di kota-kota besar. Kebanyakan pasien dengan lesi pleksus brakhialis adalah laki-laki berusia antara 15 dan 25 tahun. Berdasarkan data lesi plexus brakhialis yang dilakukan operasi pada Januari 2005 - Desember 2009 di RSU Dr.Soetomo – Surabaya, dengan follow up selama 2 bulan sampai 4 tahun. Untuk evaluasi nyeri dengan VAS, 14 kasus post operasi plexus brakhialis 8 kasus (58 %) tidak merasakan nyeri sama sekali dan 6 kasus (42 %) didapatkan nyeri yang ringan. Pada pasien cedera plexus brakhialis yang telah dilakukan operasi hampir semuanya dapat memperbaiki fungsi rangsang sensorik (100 %). Pada hasil pemeriksaan motorik dan kekuatan motorik post operasi plexus brakhialis didapatkan tujuh pasien dengan kekuatan motorik +3 atau lebih (pasien bisa melakukan abduksi lengan atas dan fleksi sendi elbow) dan tujuh pasien dengan kekuatan motorik kurang dari 3 (pasien dapat menggerakkan abduksi lengan atas kurang dari 300, hanya kontraksi otot atau tidak bisa menggerakkan sama sekali). i Lesi pleksus brakhialis dewasa dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme, termasuk luka penetrasi, jatuh, dan trauma kendaraan bermotor. Seringkali diagnosis tertunda atau diabaikan oleh praktisi oleh karena menunggu sampai terjadi pemulihan fungsi. Upaya diagnosis dan pengujian merupakan cara terbaik untuk memaksimalkan kembalinya fungsi. Perlu diingat bahwa otot akan mulai mengalami atrofi dan kehilangan “motor end plate”, setelah cedera proksimal terjadi. Dengan demikian, intervensi bedah dini adalah prediktor terbaik bagi tercapainya hasil yang baik. Cukup dipahami bahwa penatalaksanaan lesi pleksus masih jauh dari yang diharapkan, bukan hanya karena evaluasi tindakan yang memakan waktu bulanan bahkan tahunan yang menyebabkan teman sejawat sering melihat kasus ini sebelah mata, tekhnik operasi yang rumit dan memakan waktu tetapi juga outcome yang sulit diprediksi. Namun jika dipandang dari ekspektasi pasien, bergeraknya satu jari tangan yang sudah lama lunglai menjadi suatu mukzijat yang tidak dapat diuraikan dengan kata-kata. Karenanya, semangat dan keinginan berorientasi pada harapan pasien menjadi cetusan luar biasa bagi kita untuk mengadakan acara ini. Akhirnya semoga acara symphosium dan workshop nasional plexus brachialis ini dapat berjalan dengan baik dan bermanfaat bagi kita semua. Salam, Dr. Heri Suroto, dr, Sp.OT ii Daftar Isi 1. Pendahuluan................................................................ i 2. Mekanisme trauma & pathoanatomi........................... 2 3. Evaluasi pasien............................................................ 4 4. Penatalaksanaan lesi plexus brachialis........................ 7 5. Pemilihan pembedahan............................................... 11 6. Kesimpulan................................................................. 18 7. Daftar pustaka............................................................. 19 8. Teknik operasi............................................................. 23 a. Oberlin procedure b. Saha porcedure c. Steindler procedure d. C7 kontralateral procedure e. Free functioning muscle transfer 9. 10. Pleksopati brachialis (diagnostik dan tatalaksana non operatif) Peran rehabilitasi medik dalam penanganan pre dan paska operasi lesi pleksus brakhialis How to manage adult Brachial Plexus Injuries? Neurolysis, Nerve Grafting, Nerve Transfer or Tendon Transfer Heri Suroto, MD. PhD. I. PENDAHULUAN Jumlah lesi pleksus brakhialis yang terjadi setiap tahun sulit untuk dipastikan, namun dengan munculnya banyak kegiatan olahraga ekstrim dan olahraga motor, dan peningkatan jumlah korban yang selamat dari kecelakaan kecepatan tinggi kendaraan bermotor, jumlah lesi pleksus brakhialis terus meningkat di kotakota besar di seluruh dunia. Kebanyakan pasien dengan lesi pleksus brakhialis adalah laki-laki berusia antara 15 dan 25 tahun. Berdasarkan pengalaman hampir dua puluhan tahun bekerja dengan lebih dari 1000 pasien dengan lesi pleksus brakhialis, Narakas [1] menyatakan bahwa 70% dari lesi pleksus brakhialis terjadi kecelakaan kendaraan bermotor, 70% dari kejadian tersebut melibatkan sepeda motor atau sepeda. 70% dari korban kecelakaan sepeda motor tersebut didapati adanya cedera organ yang lain. Berdasarkan pengalaman penulis kasus lesi plexus brakhialis yang dilakukan operasi pada Januari 2005-Desember 2009 di RSU dr. Soetomo – Surabaya, dengan follow up selama 2 bulan sampai 4 tahun. Untuk evaluasi nyeri dengan VAS, 14 kasus post operasi plexus brakhialis 8 kasus (58 %) tidak merasakan nyeri sama sekali dan 6 kasus (42 %) didapatkan nyeri yang ringan. Pada pasien cedera plexus brakhialis yang telah dilakukan operasi hampir semuanya dapat memperbaiki fungsi rangsang sensorik (100 %). Pada hasil 1 pemeriksaan motorik dan kekuatan motorik post operasi plexus brakhialis didapatkan tujuh pasien dengan kekuatan motorik +3 atau lebih (pasien bisa melakukan abduksi lengan atas dan fleksi sendi elbow) dan tujuh pasien dengan kekuatan motorik kurang dari 3 (pasien dapat menggerakkan abduksi lengan atas kurang dari 300, hanya kontraksi otot atau tidak bisa menggerakkan sama sekali). Lesi pleksus brakhialis dewasa dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme, termasuk luka penetrasi, jatuh, dan trauma kendaraan bermotor. Seringkali diagnosis tertunda atau diabaikan oleh praktisi oleh karena menunggu sampai terjadi pemulihan fungsi . Upaya diagnosis dan pengujian merupakan cara terbaik untuk memaksimalkan kembalinya fungsi. Perlu diingat bahwa otot akan mulai mengalami atrofi dan kehilangan “motor end plate”, segera setelah cedera proksimal terjadi. Dengan demikian, intervensi bedah dini adalah prediktor terbaik bagi tercapainya hasil yang baik. II. MEKANISME TRAUMA DAN PATHOANATOMI Lesi pleksus brakhialis ini terutama disebabkan oleh trauma tertutup. Lesi saraf dalam kasus ini adalah akibat traksi dan kompresi, yang mana traksi merupakan 95% dari cedera tersebut. [3]. Akibat traksi, saraf dapat putus, avulsi pada tingkat tulang belakang, atau meregang namun tetap utuh. Berikut ini adalah lima tingkat kemungkinan di mana saraf dapat terluka: (1) Root, (2) Trunk , (3) Cord, (4) Saraf perifer. 2 Lesi tingkat Root lebih jauh ditentukan berdasarkan lokasinya terhadap postganglionic bila Dorsal lokasinya Root distal Ganglion dari (DRG). DRG, Lesi sementara preganglionik bila proksimal dari DRG. Pada lesi preganglionik, saraf mengalami avulsi dari medulla spinalis dan memisahkan serabut motorik dari badan sel motorik di cornu anterior. Sementara serabut sensorik dan badan sel sensorik masih terhubung dengan DRG, namun serabut efferent yang memasuki kolumna medulla spinalis terputus. Pada lesi postganglionik, sel saraf motorik dan sensorik terputus, sehingga terdapat abnormalitas baik pada aksi potensial motorik maupun sensory nerve action potential (SNAP) (lihat gambar 2.1). Penanganan lesi postganglionik dapat dilakukan dengan reparasi ataupun cangkok saraf, namun pada lesi preganglionik diperlukan prosedur neurotisasi. Gambar 2.1. Anatomi akar saraf Plexus Brakhialis dan tipe cedera. (Diambil dari the Mayo Foundation, Rochester, USA) 3 Lesi pleksus brakhialis terutama mengenai regio supraclavularis dibandingkan dengan retroclavicularis ataupun infraclavicularis. Root dan trunk lebih sering terkena dibandingkan dengan dengan devisi, cord ataupun cabang terminal. Lesi double level dapat saja terjadi. Pada regio supraclavucularis dapat terjadi cedera traksi manakala kepala dan leher bergerak menjauhi bahu dan mengakibatkan lesi root C5 dan C6 ataupun upper trunk. Lesi infraclavicular disebabkan cidera sekitar sendi bahu.Lesi ini dapat terjadi bersamaan dengan ruptur arteri Axillaris. Secara biomekanik terjadinya ruptur pada tingkat cord oleh karena terfiksasinya kedua ujung proksimal dan distal. 2 mekanisme utama yang menyebabkan ruptur yaitu dislokasi anteromedial sendi gleno humeral dan traksi lengan atas pada posisi abduksi. N Suprascapularis, Axillaris dan Musculocutaneous rentan mengalami lesi oleh karena mereka melekat pada area glenohumeral, tepatnya pada scapular notch dan coracobrachialis. Sekitar 70% sampai 75% dari cedera pleksus brakhialis ditemukan di wilayah supraklavikula. Kira-kira 75% dari cedera ini melibatkan cedera seluruh pleksus (C5-T1), di samping itu, 20% hingga 25% dari cedera melibatkan kerusakan pada akar saraf dari C5 melalui C7 dan 2% sampai 35% dari cedera adalah cedera supraklavikula untuk C8 dan T1. Lesi panplexal biasanya melibatkan ruptur C5-C6 disertai avulsi akar C7-T1. Sisanya 25% dari cedera pleksus yang infraklavikularis. 4 III. EVALUASI PASIEN Pada kunjungan pertama riwayat trauma harus dirinci. Setiap pasien seharusnya dilakukan pemeriksaan fisik secara lengkap, baik komponen motorik maupun sensorik yang diinervasi oleh pleksus brakhialis. Setiap otot diperiksa kekuatannya dengan gradasi 0 – 5 menurut system “British Medical Research Council” (BMRC). Sensasi dermatom dicatat dan seandainya mungkin sensasi 2 titik pada jari-jari tangan. Ada atau tidak adanya tanda Tinel pada supraclavicular maupun infraclavicular, yang dapat digunakan sabagai indikator bahwa lesi pleksus brachialis itu distal dari foramen spinalis (postganglionik). Ruang gerak sendi pasif dan aktif pada bahu, siku, antebrachii dan pergelangan tangan diperiksa dan dicatat. Tanda khusus fisik seperti Horner’s sign atau nyeri hebat pada ekstremitas anaestetik, menunjukkan adanya deaferensiasi. Penemuan tersebut merupakan indicator bahwa lesi pleksus brakhialis adalah proksimal dari foramen spinalis (preganglionik) dan merupakan prognosis jelek untuk terjadinya pemulihan spontan. Pemeriksaan vascular dengan palpasi denyut arteri radialis dan ulnaris, dilakukan untuk mengetahui adanya lesi vascular yang menyertainya. Pemeriksaan radiografik terhadap tulang belakang leher, ekstremitas dan Shoulder, serta Thorax foto adalah penting dalam menyingkirkan kemungkinan patah tulang belakang, iga, clavicula, scapula dan tulang lainnya dari ekstremitas yang terkena. 5 Gambar 3.1. Sistem gradasi otot dan dermatome menurut British Medical Research Council (BMRC) 6 Thorax foto saat inspirasi dan ekspirasi, USG diafragma, atau Fluoroscopy akan memberikan informasi mengenai fungsi N Phrenicus, sementara itu dari Thorax foto juga bisa digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan Fraktur Costa dan Clavicula. Demikian pula perlu dilakukan X-ray Cervical untuk menyingkirkan kemungkinan fraktur procesus transversus Cervicalis. Arteriografi diindikasikan apabila didapatkan lesi vascular. Gambar 3.2. Lesi a Subclavia dan fraktur Clavicula yang menyertai lesi Pleksus Brakhialis. CT Meylografi dapat digunakan untuk menentukan letak lesi akar saraf, manakala terjadi avulsi akar saraf Cervical maka selaput dura akan sembuh disertai tumbuhnya pseudomeningocele. MRI Cervical dapat digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan avulsi akar saraf, neuroma paska trauma, serta inflamasi yang menyertainya. 7 Studi elektrodiagnosis adalah komponen integral untuk evaluasi baik sebelum, selama maupun sesudah operasi karena dapat menetukan lokasi lesi maupun derajat keparahan lesi. Lesi tertutup pada Pleksus Brakhialis dapat dilakukan pemeriksaan EMG dan NCV pada minggu ke 3 oleh karena degenerasi Wallerian terjadi pada masa tersebut. EMG menguji otot-otot baik pada saat istirahat maupun aktifitas. Perubahan denervasi (potensial fibrilasi) dapat dilihat pada otot-otot proksimal pada 10 – 14 hari paska trauma, sementara pada otot-otot distal 3 – 6 minggu paska trauma. Adanya motor unit aktif dengan upaya volunter dan fibrilasi kecil saat istirahat menunjukkan progonsis yang baik dibandingkan dengan ketiadaan motor unit disertai beberapa fibrilasi. EMG dapat membedakan lesi preganglionik dari postganglionik dengan pemeriksaan otot-otot yang dipersarafi oleh cabang motorik dari akar saraf yang proksimal seperti otot Paraspinal Cervical, Rhomboid dan Seratus Anterior. Pemeriksaan NCV dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan EMG. Pada lesi Pleksus Brakhialis amplitudo dari compound muscle action potential (CMAP) umumnya rendah. SNAP adalah penting dalam melokasi letak lesi, apakah preganglionik atau postganglionik. SNAP masih ada pada lesi proksimal dari DRG, karena badan sel saraf sensoris intak, sehingga pada pemeriksaan NCV akan menunjukkan bahwa SNAP nya normal namun tidak ada konduksi motoriknya. Hal ini menunjukkan lesi preganglionik. Ketiadaan SNAP menunjukkan lesi postganglionik atau kombinasi pre dan postganglionik. 8 IV. PENATALAKSANAAN LESI PLEKSUS BRAKHIALIS Beberapa faktor penting berfungsi sebagai panduan dalam menentukan pilihan penanganan untuk rekonstruksi pada lesi pleksus brakhialis yaitu (1)mekanisme, lamanya dan jenis trauma(preganglionik atau postganglionik), (2) cedera jaringan lunak, tulang maupun pembuluh darah yang menyertai, (3) prioritas penanganan. Mekanisme trauma Kapan saatnya intervensi, ditentukan oleh mekanisme trauma. Pada trauma terbuka tajam merupakan indikasi eksplorasi segera dan penyambungan primer pada pleksus brakhialis yang terputus. Pada trauma terbuka tumpul indikasi untuk eksplorasi disertai penandaan pada saraf yang mengalami laserasi. Setelah 3 – 4 minggu saraf tersebut akan semakin jelas batas demarkasinya, sehingga bisa ditentukan lokasi pencangkokan saraf yaitu pada saraf yang sehat. Pada luka tembak kecepatan rendah, yang mengakibatkan hanya neuropraxia maka cukup diobservasi saja. Pada luka tembak kecepatan tinggi merupakan indikasi dilakukannya eksplorasi. Lamanya waktu dari cedera Penentuan merupakan hal waktu yang yang optimal dokmatik karena untuk pembedahan parallel dengan ketergantuingan waktu pada perubahan yang terjadi dalam “motor end plate” yang irreversible. Oleh karena itu semakin lama target 9 otot mengalami denervasi maka akan semakin kecil kemungkinan keberhasilan reinervasi. Secara umum waktu yang optimal untuk intervensi bedah adalah sebelum 6 bulan, namun beberapa ahli bedah melakukan inovasi dari dogma ini dengan eksplorasi dan rekonstruksi bedah dini. Operasi dini tidak memungkinkan waktu yang cukup untuk reinervasi spontan, namun menunggu terlalu lama akan menyebabkan kegagalan yang tidak seharusnya terjadi dari motor end plate dan berakibat kegagalan reinervasi. Eksplorasi dan rekonstruksi dini antara 3 – 6 minggu diindikasikan manakala tidak terjadi reinervasi yang adekuat. Hasil pembedahan yang lambat yaitu antara 9 hingga 12 bulan atau bahkan lebih sdari 12 bulan adalah jelek, karena waktu yang diperlukan untuk regenerasi saraf hingga oto target lebih lama dibandingkan dengandaya tahan “motor end plate” setelah denervasi. Kasus cedera pleksus brakhialis yang datang terlambat, mengalami perubahan “irrreversible” pada sel otot sehingga kecil kemungkinan terjadi pemulihan fungsi motorik. Pada kasus ini direkomendasikan untuk transfer mikrovaskular otot normal dengan transfer saraf motorik ekstrapleksal. Jenis cedera pleksus brakhialis Kontinuitas akar saraf dengan medula spinalis adalah penentu penting dalam penanganan cedera pleksus brakhialis. Cedera preganglionik berarti akar saraf yang menghubungkan saraf perifer dengan sistem saraf pusat terputus. Sehingga tidak ada lagi akar saraf yang dapat digunakan sebagai sumber saraf untuk rekonstruksi dan diperlukan metode alternatif untuk rekonstruksi. Cedera 10 postganglionik berarti koneksi akar saraf perifer ke sistem saraf pusat masih utuh dan akar saraf dapat digunakan sebaga sumber akson. Jika cedere preganglionik maka pilihan rekonstruksinya adalah transfer saraf, otot, tendon maupun arthrodesis. Transfer saraf adalah transfer dari bagian saraf yang fungsional ke saraf yang mengalami lesi. Transfer saraf dapat mengembalikan fungsi pada lesi preganglionik sebagaimana pada lesi postganglionik manakala waktu datangnya pasien terlambat atau akson yang viabel terbatas. Donor saraf ekstra pleksal untuk transfer saraf meliputi: N Accesorius spinalis, N Intercostal, N Phrenicus dan akar saraf C7 kontra lateral. Donor saraf intra pleksal meliputi fasikulus motorik N Ulnaris ( Transfer Oberlin), N Medianus, cabang Triceps dari N Radialis, terutama pada kasus lesi sebagian Pleksus Brakhialis( Avulsi C5, C6). Terdapat beberapa pilihan untuk resipien atau target saraf tergantung pada tujuan pemulihan. Pilihan untuk transfer meliputi fleksi siku, stabilitas bahu, ekstensi-fleksi pergelangan tangan, fleksiekstensi jari-jari tangan dan sensibilitas. Jumlah dan tipe fasikulus saraf donor seharusnya sesuai dengan saraf resipien. Transfer saraf dapat juga digunakan untuk innervasi “Free Functioning Muscle Transfer (FFMT). Pada lesi postganglionik dilakukan cangkok saraf interposisi dengan menggunakan N Suralis. Akar saraf dengan akson yang sehat dicangkokkan ke target saraf tertentu dibawahnya. Cangkok saraf interposisi yang sering dilakukan adalah akar C5 ke N Suprascapularis atau N Axillaris (untuk abduksi bahu), C6 ke N Musculocutaneous (untuk fleksi siku) dan C7 ke Triceps atau N 11 Radialis (untuk ekstensi siku dan pergelangan tangan). Pada beberapa lesi postganglionik transfer saraf dapat lebih baik dibandingkan cangkok saraf. Hal ini karena jarak tempuh yang lebih dekat untuk terjadinya reinervasi ke target otot. Prioritas Penanganan Jika tidak didapatkan tanda-tanda pemulihan spontan dan masih dalam kurun waktu 6 bulan, maka rencana rekonstruksi sudah harus diformulasikan. Pada lesi pleksus brakhialis total, fleksi siku adalah merupakan fungsi yang paling penting, yang harus dicapai. Prioritas selanjutnya adalah abduksi bahu, rotasi eksternal dan stabilitas bahu, sensibilitas tangan, ekstensi dan fleksi pergelangan tangan dan tangan, dan akhirnya adalah fungsi intrinsik tangan. Penyederhanaan dari fungsi ekstremitas atas dengan arthrodesis selektif pada sendi glenohumeral atau scapulothoracic akan memungkinkan penggunaan sumber saraf untuk fungsi yang lebih penting. Walau pemulihan fungsi motorik adalah prioritas pada rekonstruksi pleksus brakhialis namun restorasi sensasi protektif juga merupakan hal yang penting untuk fungsi prehensif, prevensi cedera dan bahkan modulasi pathogenesis pada jalur deaferensiasi nyeri. Masing-masing elemen ini dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. 12 V. PILIHAN PEMBEDAHAN Penanganan lesi pleksus brakhialis dianggap sebuah usaha yang sia-sia oleh beberapa pakar dibidang saraf perifer pada masa 40 -50 tahun lalu. Namun kemajuan dalam pengetahuan akan fisiologi saraf perifer dan dala tehnik pembedahan telah memberikan hasil yang baik. Pilihan pembedahan modern meliputi cangkok saraf pada akar saraf yang sehat, transfer saraf, free functioning muscle transfer, tendon transfer dan kombinasidari tehnik-tehnik tersebut. REKONSTRUKSI FLEKSI SIKU Terdapat beberapa pilihan untuk mendapatkan fungsi fleksi siku, dan pilihan pembedahannya tergantung pada ketersediaannya sumber saraf, target otot untuk rekonstruksi, dan cedera lain yang menyertai. Transfer saraf untuk fleksi siku dapat dilakukan dengan menggunakan N Intercostal, atau N Accesorius spinalis cangkok saraf interposisi. Target asraf dapat disertai melalui N Musculocutaneous ataupun langsung ke cabang motoric ke biceps. N Musculocutaneous meliputi baik serabut motorik untuk biceps brachii dan brachialis, maupun serabut sensorik ke cabang N Cutaneous Antebrachii Lateral. N Intercostal dapat ditransfer ke N Musculocutaneous, namun beberapa akson motoric akan terhilang pada jalur sensorik. Sebagai alternative, cabang motoric ke biceps yang diidentifikasi pada permukaan dalam, dapat dipisahkan dari serabut antebrachii lateral dengan diseksi interfascicular. Selanjutnya N Intercostal ditransfer langsung ke cabang motorik biceps untuk memungkinkan reinervasi langsung. 13 Gambar 4.1. Neurotisasi untuk fleksi siku dilakukan dengan menggunakan Intercostal (A) N maupun N Accesorius Spinialis (B). (Diambil dari the Mayo Foundation, Rochester, USA) Literatur melaporkan bahwa 65% - 72% pasien dapat mencapai pemulihan biceps motoric 3 (M3) atau lebih, dengan transfer N Intercostal ke N Musculocutaneous (Songchroen 2005, Merrel 2001). Sementara itu transfer N Accesorius Spinalis ke N Musculocutaneous, restorasi fleksi siku dicapai 77% pasien dengan lebih besar atau sama dengan M3 dan 29% pasien M4. Pada kejadian avulsi trunkus superior (C5 – C6), fleksi siku dapat dilakukan transfer dari fasikulus yang intak pada N Ulnais dan N Medianus langsung ke cabang motorik biseps atau brakhialis. 14 Gambar 4.2. Fasikulus motorik (ke Fleksor Carpi Ulnaris) N Ulnaris dapat digunakan dan ditransfer ke cabang motorik biceps tanpa terjadi berkurangnya fungsi motorik maupun sensorik donor. (Diambil dari the Mayo Foundation, Rochester, USA) Oberlin (1994) mendeskripsikan pemilihan fasikulus N Ulnaris yang ke fleksor carpi ulnaris dan ditransferkan ke cabang motoric biceps tanpa terjadi berkurangnya fungsi motorik maupun sensorik donor. Hasil tehnik ini menunjukkan 85% berkekuatan M3 atau bahkan lebih. Hasil terbaru bahkan menunjukkan 94% berkekuatan M4 atau lebih. Mackinnon(2005) melaporkan kekuatan fleksi siku M4 atau lebih pada 6 pasien yang dilakukan transfer langsung fasikulus motoric dari N Ulnaris dan N Medianus ke biceps dan brachialis. Reinervasi terjadi 5,5 bulan setelah operasi. Manakala waktu dari cedera ke operasi lebih dari 9 – 12 bulan, maka direkomendasikan free functioning muscle transfer untuk restorasi fungsi fleksi siku. Gracillis adalah otot yang umumnya ditransfer karena mempunyai beberapa kelebihan, yaitu 15 pedikel neurovascular di sisi proksimal (yang memungkinkan renervasi lebih cepat) dan mempunyai tendo yang panjang (yang berpotensi baik untuk restorasi fleksi siku maupun ekstensi pergelangan tangan serta fleksi jari-jari tangan). Free functioning muscle transfer dapat diinervasi oleh 2 N Intercostal atau N Accesorius Spinalis. Gracillis dilekatkan ke Clavicula pada sisi proksimal dan tendon nya dijahitkan ke tendon biceps. 79% dari gracillis free functioning muscle transfer ini mencapai kekuatan fleksi siku minimal M4 (Bishop 2005). Pada lesi parsial pleksus brakhialis, fleksi siku dapat direkonstruksi dengan transfer otot yang masih berinervasi seperti otot pectoralis mayor, triceps dan latissimus dorsi. Pilihan lainnya adalah pemindahan ke proksimal dari origo kelompok otot fleksor dan pronator (juga dikenal sebagai Steindler Flexorplasty) (Steindler 1918). Hasil dari transfer otot local untuk fleksi siku secara langsung berkaitan dengan kekuatan otot donor preoperative, yang biasanya juga terganggu pada lesi pleksus brakhialis. Gambar 4.3. Free gracilis muscle transfer, yang diinervasi oleh N. Intercostal, digunakan untuk restorasi fleksi siku. (Diambil dari the Mayo Foundation, Rochester, USA) 16 STABILITAS BAHU Transfer saraf untuk abduksi dan rotasi eksternal bahu dapat dilakukan dengan transfer bagian distal N Accesorius Spinalis ke N Suprascapularis. Kedekatan N Accesorius Spinalis ke N Suprascapularis memungkinkankoaptasi langsung tanpa cangkok saraf interposisi. Merrel (2001) menunjukkan bahwa transfer saraf akan lebih efektif bila dilakukan tanpa cangkok saraf. Songchroen (2005) mendeskripsikan pemulihan motoric 80% (M>3), yaitu abduksi bahu 600 dan fleksi bahu 450 pada 577 pasien dengan transfer N Accesorius Spinalis ke N Suprascapularis. Pada pasien dengan lesi trunkus superior (avulsi C5,6) abduksi bahu dapat direstorasi dengan tambahan transfer saraf seperti yang dipopulerkan Leechavengvongs (2003) yaitu cabang triceps dari N Radialis ditransfer ke N Axillaris. Leechavengvongs melaporkan hasil yang baik pada 5 dari 7 pasien, dengan rata-rata abduksi bahu 1240 dalam 28 bulan. Oberlin (2009) mendeskripsikan penjahitan langsung N Intercostal ke N Suprascapularis, dan meninggalkan N Accesorius Spinalis untuk dicadangkan guna tindakan sekunder bila diperlukan. N Phrenicus adalah saraf yang tepat untuk ditransfer pada rekonstruksi abduksi bahu. Keamanan pada transfer N Phrenicus unilateral telah dibuktikan di literature (Gu, 1989, Luedemann, 2002). Transfer N Phrenicus dikontra indikasikan pada bayi dan pasien dengan gangguan paru, sehingga pemeriksaan fungsi diaphragm dan fungsi paru harus dilakukan sebelum operasi. Pilihan untuk mencapai stabilitas bahu selain transfer saraf dan tendon 17 adalah arthrodesis glenohumeral. Walaupun prosedur ini akan menurunkan ruang gerak sendi bahu, tetapi akan memberikan kestabilan guna rekonstruksi selanjutnya yaitu fungsi siku dan prehensif tangan. FUNGSI TANGAN Fungsi tangan memerlukan restorasi baik menggenggam maupun melepas. Fungsi otot intrinsik dan pergerakan pergelangan tangan dan jari-jari tidak akan bisa dicapai dengan transfer saraf. Sehingga memerlukan gracilis free functioning muscle transfer baik tunggal maupun ganda. Doi, et al (2000) mendeskripsikan gracilis transfer ganda guna memberikan stabilitas bahu dan kombinasi fungsi fleksi dan ekstensi siku, sensibilitas tangan, dan fungsi menggenggam dan melepas pada tangan. Prosedur transfer otot yang pertama adalah otot gracilis diinervasi oleh N Accesorius Spinalis dan anastomosis arteri Thoracoacromial untuk mendapatkan fleksi siku dan jari-jari tangan atau ekstensi pergelangan tangan. Disisi proksimal otot gracilis dilekatkan ke Clavicula dan melalui permukaan bawah brachioradialis menuju sisi radial pergelangan tangan dan ekstensor jari-jari. Transfer kedua otot gracilis diinervasi oleh N Intercostal dan anastomosis dengan arteri Thoracodorsalis untuk mendapatkan fungsi fleksi jari-jari tangan. Cabang sensoris dari N Intercostal ditransfer ke N Medianus untuk sensibilitas tangan. Sisi proksimal otot gracilis dilekatkan ke tulang iga kedua, berjalan secara subkutan 18 sepanjang sisi medial lengan atas dan dijahitkan ke tendon fleksor jari-jari tangan. Shin, et al (2010) melakukan modifikasi dengan transfer otot gracilis tunggal untuk restorasi fleksi siku dan fleksi jari-jari. Sisi proksimal otot gracilis dilekatkan ke Clavicula, otot di arahkan ke lengan bawah melewati lacertus fibrosus, yang sekaligus bertindak sebagai pulley. Anastomosis vascular dilakukan secara end - to - end dengan arteri dan vena Thoracoacromial. Inervasi dilakukan dengan menjahitkan ke 2 cabang motoric N Intercostal. Sisi distal tendon gracilis dijahitkan ke tendon FDP dan FPL sebagai satu kesatuan untuk restorasi gerakan menjepit kunci dan menggenggam. Selanjutnya tendon gracilis dianyamkan ke tendon FDP dan FPL yang telah disiapkan. Cangkok gracilis ini diregangkan supaya dimungkinkan jari-jari tangan termasuk ibu jari menutup manakala siku ekstensi. Cabang sensoris N Intercostal ditransfer ke lateral cord yang menuju N Medianus untuk memberikan sensasi protektif pada lengan dan 2 cabang motoric N Intercostal ditransfer ke cabang motoric biceps. Akhirnya N Accesorius Spinalis ditransfer ke cabang triceps melalui cangkok saraf interposisi. Pergelangan tangan distabilisasi dengan arthrodesis, untuk memperkuat genggaman dan fungsi tangan. Arthrodesis dapat dilakukan pada waktu bersamaan dengan transfer otot gracilis atau dapat juga dilakukan pada tahap berikutnya. Hasil yang didapat adalah stabilitas sendi bagian proksimal dan keseimbangan pada sendi bahu, siku, dan pergelangan tangan, suatu hal yang sangat penting dalam pencapaian fungsi prehensil. 19 VI. KESIMPULAN Lesi pleksus brakhialis adalah cedera yang mengakibatkan kelumpuhan dan hal ini sulit untuk ditangani. Pendekatan multidisipliner sangat diperlukan untuk menentukan diagnosis, melakukan investigasi yang diperlukan, dan mengembangkan rencana rekonstruksi yang tepat. Dengan kemajuan tehnik operasi mikro, berbagai pilihan dapat digunakan untuk menangani pasien ini yaitu: reparasi saraf langsung, cangkok saraf, transfer saraf, transfer tendon, dan free functioning muscle transfer. Tujuan utama adalah meningkatkan fungsi lengan dan tangan pasien dengan merekonstruksi fleksi siku, stabilitas bahu, fungsi menggenggam dan sensibilitas tangan. Sterling Bunnell mengatakan “to someone who has nothing, a little is a lot”. Dalam penanganan lesi pleksus brakhialis kita sekarang mempunyai kemampuan untuk mencapai “something” pada seseorang yang dimulai dengan “nothing”. 20 DAFTAR PUSTAKA 1. Narakas A. The treatment of brachial plexus injuries. Int Orthop 1985;9:29–36. 2. Seddon HJ. Three types of nerve injury. Brain 1943; 66:238–88. 3. Songcharoen P, Shin AY. Brachial plexus injury: acute diagnosis and treatment. In: Berger RA, Weis APC, editors. Hand surgery. Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins; 2004. p. 1005–25. 4. Mackinnon SE. Nerve grafts. In: Goldwyn RM, Cohen MN, editors. The unfavorable result in plastic surgery. Philadelphia: Lippincott, Williams & Wilkins; 2001. p. 134–60. 5. Songcharoen P, Wongtrakul S, Spinner RJ. Brachial plexus injuries in the adult. Nerve transfers: the Siriraj Hospital experience. Hand Clin 2005;21:83– 89. 6. Merrell GA, Barrie KA, Katz DL, Wolfe SW. Results of nerve transfer techniques for restoration of shoulder and elbow function in the context of a meta-analysis of the English literature. J Hand Surg 2001;26A:303–314. 7. Oberlin C, Béal D, Leechavengvongs S, Salon A, Dauge MC, Sarcy JJ. Nerve transfer to biceps muscle using a part of ulnar nerve for C5-C6 avulsion of the brachial plexus: anatomical study and report of four cases. J Hand Surg 1994;19A:232–237. 8. Mackinnon SE, Novak CB, Myckatyn TM, Tung TH. Results of reinnervation of the biceps and brachialis muscles with a double fascicular transfer for elbow flexion. J Hand Surg 2005;30A:978–985. 21 9. Bishop AT. Functioning free-muscle transfer for brachial plexus injury. Hand Clin 2005;21:91–102. 10. Steindler A. A muscle plasty for the relief of flail elbow in infantile paralysis. Interstate Med J 1918;35:235–241. 11. Leechavengvongs S, Witoonchart K, Uerpairojkit C, Thuvasethakul P. Nerve transfer to deltoid muscle using the nerve to the biceps muscle after avulsions of upper roots of the brachial plexus. J Hand Surg 2003;28A:633–638. 12. Oberlin C, Durand S, Belheyar M, Shafi M, David E, Asfazadourian H. Nerve transfers in brachial plexus palsies. Chir Main 2009;28:1–9. 13. Gu YD, Wu MM, Zhen YL, Zhao JA, Zhang GM, Chen DS, et al. Phrenic nerve transfer for brachial plexus motor neurotization. Microsurgery 1989;10:287–289. 14. Luedemann W, Hamm M, Blömer U, Samii M, Tatagiba M. Brachial plexus neurotization with donor phrenic nerves and its effect on pulmonary function. J Neurosurg 2002;96:523–526. 15. Doi K, Muramatsu K, Hattori Y, Otsuka K, Tan SH, Nanda V, et al. Restoration of prehension with the double free muscle technique following compete avulsion of the brachial plexus. Indications and long-term results. J Bone Joint Surg 2000;82A:652–666. 22 Oberlin Procedure Approach : A longitudinal medial skin incision in the proximal upper arm Anatomy & identification : The branch of the musculocutaneous nerve supplying the biceps muscle after it traverses the coracobrachialis muscle is identified. Use electrodiagnostic to distinguish the motor fascicles from the sensory fascicles because the fascicles of the ulnar nerve at the upper arm are mixed and all fascicles contain both motor and sensory nerve fibers. Dissection and Transfer : The ulnar nerve is dissected intraepineurially and the single posteromedial fascicle, which mostly innervates the flexor carpi ulnaris muscle, equal to the size of branch to the biceps, is selected and transected just proximal to the distal interfascicular connection of the fascicle under magnification of an operating microscope Suturing : The motor branch of the biceps is sutured without tension to a single or two fascicles of the ulnar nerve in epineural fashion using 10-0 nylon suture. C7 Kontralateral Procedure Approach : Supraclavicular & infraclavicular indentify C7 nerve kontralateral Note : because of the high cross innervation by the contralateral C6 and C8 roots, the uninjured contralateral C7 (partial or whole) can be transferred to the injured limb to provide axons to the injured median nerve Technical surgery : SAHA PROCEDURE (Transfer Of The Trapezius For Flail Shoulder) Introduction Saha (1967) gave details of his experience with transfer of the trapezius, using a modification of the technique originally described by Bateman (1954). However, the absence of clear indications for the operation and expecting too much from this transfer alone has led to its infrequent use Surgical technique Patients are positioned on the operating table with a 450 foot-down tilt and full lateral decubitus using a bean bag for support. The shoulder, the neck, and the free 1. A transverse skin incision begins above the clavicle over the insertion of the trapezius, crosses the lateral and continues clavicle, round the acromion and along the spine of the scapula. extension over the A vertical is made laterally mid-deltoid. The whole arm are deltoid origin is then cut from the lateral third of the clavicle, the acromion, and the lateral half of the spine of the scapula. 2. A Gigli wire saw is used to transect the acromion, lateral root and of the then the clavicle, so as to separate the lateral 1 cm of the clavicle with the acromion. 3. The remaining insertions of the trapezius are elevated from the clavicle and the scapular spine to 2 cm from the vertebral border of the scapula. 4. Careful dissection is needed to define the interval between the trapezius and the supraspinatus. Special attention is needed to preserve the neurovascular bundle accessory of the nerve spinal and transverse cervical artery, which courses from deep to superficial through the trapezius. 5. The partly detached deltoid is split expose longitudinally the to proximal humerus. which is scored with an osteotome. The arm is then abducted to 900, and the acromioclavicular fragment with its trapezius insertion is fixed to the humerus with two 4.5 mm cortical lag screws, ensuring firm bone-to-bone bone contact . 6. The wound is thoroughly irrigated with saline solution, and the deltoid is sutured on top of the new trapezius insertion 7. The skin is closed in two layers over suction drains, a bulky dressing applied and the patient immobilised in a soft abduction support. Postoperative management Drains are removed on the second or third day. The soft abduction support is worn for six weeks or until union is seen between the acromion fragment and the humerus. The arm is then allowed to adduct progressively and a vigorous vig physical therapy programme is started. As strength improves, more resisted muscle strengthening exercises are added. STEINDLER'S PROCEDURE (FLEXOR-PRONATOR MUSCLE TRANSFER) INTRODUCTION The procedure that has been used classically to restore flexor function to the elbow paralyzed by any injury is the flexorplasty described by Arthur Steindler in 1918. The flexor-pronator muscles arising from the medial epicondyle are transposed to a more proximal point on the humerus, increasing their moment arm for elbow flexion, sufficient to permit active control. Although most patients can flex their elbows through a useful range against gravity, it is rare for them to be able to lift more than 2 kg after such a transfer; nevertheless it is a useful operation INDICATIONS • Failed or neglected cases of upper type brachial plexus palsy greater than 6 months • Normal or subnormal power of forearm flexorpronator muscles & good shoulder control PREOPERATIVE EVALUATION Good strength of forearm flexor-pronator muscles : As with all potential candidates for tendon transfer, the preoperative evaluation of the strength of the proposed donor muscle is critical to the success of the Steindler flexorplasty or any of its variations. Because the muscles originating from the medial epicondyle of the humerus (the pronator teres, flexor carpi radialis, palmaris longus, flexor carpi ulnaris, and flexor digitorum superficialis) will now serve to flex the elbow in addition to their usual functions, they must have normal or near-normal power to achieve a meaningful result. PEARL Reliable recovery of elbow flexion : Patients who already have weak elbow flexion or who can achieve flexion by the so-called Steindler effect preoperatively are most likely to have satisfactory results from surgery. The Steindler effect makes use of contraction of those muscles in a supplementary movement as follows: the patient may achieve elbow flexion by flexing the wrist and fingers and pronating the forearm, usually while the arm is flexed forward in the horizontal plane to eliminate the effect of gravity. Because this is precisely the muscular activity that is enhanced by moving the origins more proximally, it may be used to identify those patients whose muscles are adequate for transfer. Although one may proceed in the absence of a demonstrable Steindler effect, the postoperative result is likely to be barely functional. TECHNICAL POINTS • Longitudinal curved skin incision from the distal one third of upper arm to the proximal one third of forearm • Exploration of ulnar nerve • Identification of the median nerve, brachial artery, and veins • Release of the proximal portion of forearm flexor and pronator muscles • Subperiosteal dissection and shaving the anterior cortex of humerus • Osteotomy of the medial epicondyle of humerus • Longitudinal split of brachialis muscle • Drill hole on the humerus to accept the screws • Transfixation of the fragment of medial epicondyle with forearm muscles to the humerus with a screw • Additional suture of the fragment to the humerus with suture-anchor kits • Skin closure POSTOPERATIVE CARE • Immobilization of the elbow in 100 degrees of flexion for 6 weeks • Passive flexion of elbow, wrist, and finger 3 weeks immediately after operation • Active flexion of wrist and finger of elbow at postoperatively • Passive extension 7 weeks postoperatively PITFALL Flexion contracture of the elbow COMPLICATIONS Most patients with the Steindler's procedure tend to have a residual flexion contracture of the elbow from 30 to 60 degrees of flexion. EXPECTED OUTCOME Recent articles have noted that Steindler's procedure can achieve more than 120 degrees of elbow flexion in more than two thirds of patient. Free Functioning Muscle Transfer (Gracillis Muscle Transfer) Introduction : Free-functioning muscles transferred for a specific purpose should have the strength and excursion comparable to the paralyzed muscles they are replacing. A variety of free-functioning muscles can be transferred, including : • The latissimus dorsi (thoracodorsal nerve) • The rectus femoris (femoral nerve) • The gracilis (anterior division of the obturator nerve) Why using gracilis free finctioning muscle transfer? • Proximally based neurovascular pedicle (which allows earlier reinnervation) • Its long tendon length (which has the potential to restore elbow flexion, wrist extension, or finger flexion). Approach : • Medial insicion • Identification • The free-functioning muscle transfers can be powered by either 2 intercostal motor nerves or the spinal accessory nerve. • Proximally, the gracilis is secured to the clavicle; distally, the gracilis tendon is woven into the biceps tendon PLEKSOPATI BRACHIALIS. DIAGNOSTIK DAN TATALAKSANA NON-OPERATIF. Mudjiani Basuki Dept./ SMF IP Saraf, RSU Dr. Sutomo/ FK UNAIR, Surabaya Pendahuluan Pleksus brakialis (PB) adalah sistim saraf perifer yang memberi inervasi pada ektremitas superior. Pleksus brakialis memiliki struktur yang sangat kompleks, letaknya yang cukup superficial dan berada diantara 2 organ yang sangat mobile ( leher dan lengan). Hal ini membuat pleksus brakialis sangat mudah mengalami trauma. Oleh karena itu penting sekali para klinisi mengenal kelainan mengenai lesi PB secara menyeluruh. Makalah ini akan membahas secara singkat mengenai anatomi, klasifikasi dan gejala, beserta tatalaksananya. Anatomi PB adalah struktur berbentuk segitiga, memanjang dari medulla spinalis servikal menuju aksila. PB tersusun dari jaringan saraf dan jaringan ikat dengan perbandingan 1:2. Jaringan saraf yang membentuk PB terdiri dari : • 5 akar saraf ( C5 –T1) • 3 trunkus ( upper, medial dan lower) • 6 divisi (3 divis anterior dan 3 divisi posterior) • 3 korda (cords) (lateral, medial dan posterior) • Beberapa terminal saraf perifer. (n. medianus, n.ulnaris, n.radialis) Beberapa saraf terminal muncul sebelum PB antara lain : • N. thorakalis longus (C5-C7) • Saraf yang memberi inervasi diafragma dan N. skapularis dorsalis untuk m. levator scapula dan m.rhomboideus (C5) • Saraf motorik yang memberi inervasi otot-otot leher a.l m.scalenus dan m. cervikalis longus (C5, C6) Trunkus PB terletak di sisi posterior tulang belakang C5-T1, dorsal dari klavikula dan m.sternocleidomastoideus. Terdisi dari trunkus superior (C5-C6), trugkus medius (C&) dan trungkus inferior (C8-T1). Trunkus superior memberikan cabang saraf terminal n. supraskapularis. Beberapa anomali dapat terjadi pada trunkus PB a.l berupa penyatuan akar saraf C5-C6 dan C8-T1. Letak trunkus inferior berdekatan dengan A. subklavia dan apeks paru-paru. Setiap trunkus akan membagi diri menjadi divisi anterior dan posterior, dan selanjutnya akan membentuk korda lateral, medial dan posterior. Korda PB terbentuk mulai dari tepi bawah m.pektoralis minor sampai dengan proksimal aksila. • Korda lateral dibentuk oleh gabungan antara divisi anterior trunkus superior dan medial, yang selanjutnya akan menjadi n. muskulokutaneus dan n.medianus. • Korda medial dibentuk oleh divisi post divisi anterior trunkus medial dan berakhir pada n.ulnaris. • Korda posterior dibentuk oleh divisi posterior trunkus superior, medial dan inferior dan selanjutnya akan member cabang n.subscapular dan n.thorakodorsalis sebelum berakhir menjadi n.radialis dan aksilaris Klasifikasi lesi PB Plexopati Brachialis sering diklasifikasikan menjadi lesi supraklavikula, retroklavikula dan lesi infraklavikula. Lesi supraklavikula paling sering terjadi, terutama akan mengenai bagian akar saraf dan trunkus. Penderita dengan lesi supraklavikula biasanya mempunyai prognosa baik oleh karena berupa lesi demyelinasi dengan blok konduksi, letaknya yang ekstra foramina dan dekat dengan otot yang disarafi. Diagnosis lesi PB. Diagnosis lesi PB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan elektrodiagnostik. Pada pemeriksaan klinis tujuan utamanya adalah mendapatkan data mengenai lokasi yang lebih spesifik dan tingkat keparahannya. Pemeriksaan radiologis akan banyak membantu mencari Sedangkan pemeriksaan elektrodiagnostik penyebab lesinya. memberikan informasi menentukan lokasi, diagnosis secara fungsionil dan prognosisnya. Penatalaksanaan. Terapi lesi PB tergantung dari : 1. Type lesi : neuropraksia, aksonometsis, neuronometsis 2. Lokasi lesi : supraklavikula, infraklavikula 3. Penyebab lesi: radiasi, keganasan, trauma terbuka/ tertutup banyak Penatalaksanaan non operasi pada lesi saraf tepi bertujuan untuk merangsang pertumbuhan akson yang mengalami cedera. Pada lesi aksonometsis dan neuronometsis, proses regenerasi yang terjadi berjalan lambat dan tidak lengkap. Pada manusia, proses regenerasi rata-rata: 12 mm/ 24 jam. Keberhasilan proses regenerasi saraf tepi tergantung dari kemampuan regenerasi akson yang cepat dan integritas sel Schwann yang berada disekitarnya. Dalam hal ini Sel Schwaan berperan sebagai penuntun proses regenerasi aksonal. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa obat yang sifatnya neurotropik dapat membantu mempercepat proses regenerasi aksonal, a.l: • Golongan immunosuppressant FK 506 meningkatkan proses regenarasi saraf tepi pada hewan coba tikus. Rapamycin dan cyclosporine, analog FK506 nonimmunosuppressive terbukti secara invivo dan invitro sebagai obat yang memicu pertumbuhan akson. • Melakukan implant protein Prosaporin diantara ujung distal dan proksimal dari saraf tepi yang terpotong • Insulin-like growth factor. Pada beberapa penelitian terbukti mempunya efek neurotropik pada saraf motorik • Topical GM1 ganglioside membantu perbaikan diameter akson . • Rangsangan elektrik • Pemberian oksigen hiperbarik Prognosis. Prognosis kasus pleksopati brakhialis tergantung dari lokasi dan tingkat keparahannya. Lesi murni demielinasi akan membaik oleh proses remyelinasi dalam waktu 2-8 minggu. Apabila terjadi degenerasi aksonal, proses penyembuhan akan berjalan lebih lama. Kepustakaan. 1. Ferrante MA. Brachial Plexopathies: classification, causes, and consequences. Muscle Nerve 2004;30:547-568 2. Gutierrez A, England JD. Peripheral Nerve Injury. In: Katirji B et all Ed. Neuromuscular disorders in clinical practice. Butterworth-Heinemann, 2002 3. Spinner RJ, Kline DG. Surgery for peripheral nerve and brachial plexus injuries or other nerve lesions. Muscle Nerve 2000;23:680-695 4. Wilbourn AJ, Ferrante MA. Plexopathy. In: Pourman R Ed. Neuromuscular Disease. Expert clinicians Views.ButterworthHeinemann, 2001 PERAN REHABILITASI MEDIK DALAM PENANGANAN PRE DAN PASKA OPERASI LESI PLEKSUS BRAKHIALIS I Lukitra Wardhani, Patricia MKA, Qorib MS REHABILITASI MEDIK Tim Rehabilitasi Medik sebagai salah satu anggota tim lesi pleksus brakhialis berperan mulai saat terjadinya trauma hingga proses penyembuhan setelah operasi , yang seringkali berlangsung bertahuntahun. Tujuan program rehabilitasi medik adalah memulihkan kembali kualitas hidup penderita lesi pleksus brakhialis beserta keluarganya Program rehabilitasi medik lesi pleksus brakhialis diberikan secara simultan seiring dengan program dari disiplin ilmu lain , terbagi dalam beberapa fase : - Fase pre-operasi - Fase paska operasi Program harus dimulai segera setelah trauma. Perhatian dibutuhkan untuk tetap mempertahankan gerakan dengan tujuan meminimalkan timbulnya kontraktur dan untuk menstimuli aktivitas otot yang potensial sembuh. Rehabilitasi penderita yang diduga mengalami trauma pleksus brakhialis ,sangat diperlukan guna mempertahankan dan meningkatkan rentang gerak sendi,memperlambat proses atropi otot dan memprogram re-edukasi otot yang telah direkonstruksi dan verifikasi reinervasi. Intervensi yang secara umum dilakukan pada penderita lesi pleksus brachialis meliputi 8 : 1. Pemakaian sling atau splint 2. Latihan luas gerak sendi pasif 3. Massage untuk mengontrol udem dan jaringan parut 4. Stimulasi elektris (ES) 5. Re-edukasi neuromukular, meliputi stimulasi elektris dan biofeedback 6. Latihan rentang gerak sendi secara aktif assistive, termasuk penggunaan posisi dengan pengaruh gravitasi minimal, powder boards, dan skate board 7. Latihan rentang gerak sendi secara aktif 8. Penguatan otot 9. Re-edukasi sensorik FASE PRE OPERASI Fase preoperasi , dimulai saat datang konsul ke bagian rehabilitasi medik baik masih dalam fase trauma akut, subakut, maupun kronis. Pada cidera suatu saraf, digunakan ortesa untuk mengatasi kelemahan otot yang diinervasinya,terutama bila direncanakan tindakan bedah,hasil intervensi akan tergantung pada gerakan sendi yang masih ada Program rehabilitasi medik bertujuan untuk : - Evaluasi awal - Mencegah atropi otot dan myoneural junction - Mencegah kontraktur sendi-sendi anggota gerak atas - Mempertahankan fungsi semaksimal mungkin - Memodifikasi aktivitas sehari-hari sesuai kondisi pasien - Mencegah kerusakan pleksus brakhialis lebih lanjut - Mengurangi nyeri - Menyiapkan kondisi pasien untuk operasi Pada evaluasi awal, penderita akan dilakukan pemeriksaan dalam bentuk anamnesa dan pemeriksaan fisik, juga pemeriksaan dengan menggunakan peralatan. Seringkali lesi pleksus ini disertai dengan trauma lain seperti, patah tulang, kerusakan sendi dan sebagainya. Pada fase akut, lengan penderita akan dipasang splint, guna meniadakan gerakan yang dapat makin merusak pleksus,misalnya pada penderita lesi pleksus brakhialis upper trunk atau komplit, memerlukan penyangga untuk mencegah atau meminimalkan subluksasi glenohumeral ke inferior akibat kelemahan otot deltoid, supraspinatus, dan infraspinatus. Sling universal, sling envelop, atau hemisling merupakan alat yang bias digunakan untuk keperluan tersebut. Sangat perlu untuk mempertahankan keutuhan kapsul sendi guna memperbaiki gerakan glenohumeral saat fungsi otot otot bahu pulih. Sling juga bermanfaat untuk memberi rasa aman pada penderita, karena mengurangi rasa tidak nyaman, mencegah posisi yang tidak terkontrol karena gerakan anggota gerak yang mengalami paralisa. Sling harus diatur sedemikian rupa, sehingga kaput humerus berada pada posisi normal atau sedikit elevasi terhadap glenoid. Pada penderita dengan insisi pada area leher dan bahu sebelah atas, maka sling universal yang menyilang daerah tersebut akan menimbulkan rasa tidak nyaman sehingga memerlukan modifikasi.Beberapa penderita dengan kondisi tersebut lebih memilih taping bahu.. Penderita dengan kelemahan otot pergelangan tangan, butuh splint untuk mempertahankan pergelangan tangan pada posisi ekstensi 100 hingga 200 yang digunakan sepanjang waktu untuk menimbulkan resting posture pada posisi ekstensi yang dapat bermanfaat saat melakukan gerakan fleksi jari tangan. Pada fase awal setelah trauma,latihan rentang gerak sendi secara pasif dilakukan untuk mempertahankan mobilitas sendi anggota gerak atas. Hendaknya tetap memperhatikan tentang kemungkinan adanya intervensi pembedahan yang akan dilakukan dikemudian hari. Meskipun pada lesi yang komplit, fungsi gerakan jari harus dipertahankan secara agresif. Fungsi grasp tangan adalah tujuan dari pembedahan. Penderita diajarkan untuk melakukan latihan luas gerak sendi sendiri untuk mencapai hasil terbaik 8. Pada fase sub-akut, perlahan-lahan seluruh lengan akan dilatih secara pelan dan bertahap sesuai toleransi pasien. Beberapa ahli merekomendasikan pemberian stimulasi elektris/ES untuk otot tertentu sebelum dilakukan neurotisasi,tendon transfer atau freemuscle transfer Bila ada,penanganan keluhan rasa nyeri, selain menggunakan obatobatan, juga menggunakan alat-alat terapi fisik (modalitas) Terapis okupasi bertugas memberikan latihan pada tangan penderita dan latihan untuk memodifikasi kegiatan sehari-hari dan pekerjaan penderita selama sakit. Selama fase ini , setiap bulan akan dievaluasi terus untuk memonitor adanya proses penyembuhan spontan. Evaluasi juga ditujukan untuk memonitor rencana latihan yang berikutnya untuk mempersiapkan otot dan sendi, termasuk juga aspek psikologi pasien dalam menghadapi operasi. TINDAKAN OPERASI Neurolisis, nerve repair, nerve graft, nerve transfer, functioning free-muscle transfer, dan pedicle muscle transfer merupakan prosedur pembedahan utama pada kasus rekonstruksi lesi pleksus brachialis. Dari itu semua, nerve transfer dan neurotisasi adalah yang berkembang dalam kepentingan dan popularitasnya. Prosedur ini terutama diindikasikan untuk lesi avulsi akar saraf dengan saraf spinalis beserta rootletsnya teravulsi dari medulla spinalis. Transfer saraf memungkinkan untuk terjadi reinervasi pada segmen distal dari pleksus brachialis 6. Golden period untuk avulse dengan denervasi adalah 5 bulan setelah terjadi jejas. Satu atau lebih nerve transfer sering digunakan untuk shoulder, elbow, atau fungsi tangan. Nerve transfer atau neurotisasi meliputi tiga kategori utama yaitu : neurotisasi extrapleksal, neurotisasi intrapleksal, dan end-to-side neuroraphy 6. Saat ini, saraf yang digunakan sebagai donor pada neurotisasi extrapleksal adalah : N. Accessory spinalis, N. Phrenicus, N. Intercostalis, pleksus cervicalis, saraf cervical 7 dari kontralateral, dan N. Hypoglossus. Saraf yang digunakan sebagai donor pada neurotisasi intrapleksal adalah N. Ulnar atau fascicle dari N. Medianus, N. Long thoracic, N. Pectoralis medial, cabang N. Tricep, dan akhir akhir ini menggunakan akar saraf C7 ipsilateral 7. Gambar 2. Metode neurotisasi (diambil dari Songcharoen P,2005) FASE PASKA OPERASI Rehabilitasi paska operasi adalah usaha tim yang terkoordinasi erat antara ahli bedah dan tim rehabilitasi medik. Segera sesudah operasi biasanya diprogram immobilisasi untuk memberi kesempatan agar jaringan lunak sembuh dan udem lenyap. Idealnya, anastomosis mikrovaskular bebas dari regangan sehingga memungkinkan gerakan pasif ke segala arah, bila hal ini tidak dapat dicapai, maka diperlukan guideline terapi yang jelas yang harus dikomunikasikan kepada seluruh tim yang menangani. Sehubungan dengan jenis operasi perbaikan yang berbeda maka program rehabilitasi medik pada fase ini dibagi menjadi : - Paska operasi neurolisis, nerve-tranfer, neurotization - Paska tendon transfer Pada fase paska operasi ini, lengan tidak diperkenankan untuk digerakkan, sehingga penggunaan splint sudah dilakukan segera setelah operasi, untuk tidak mengganggu hasil operasi. Imobilisasi ini berlangsung selama 1 minggu untuk paska neurolisis, dan 3 minggu untuk nerve transfer dan nerve graft Setelah operasi perlu beberapa waktu sebelum mulai terapi untuk penyembuhan saraf dan otot yang telah ditransferi. Penderita diimobilisasi untuk menunggu penyembuhan terjadi pada jaringan yang terkena pada proses pembedahan. Seorang penderita dengan gangguan shoulder girdle paling sering dilakukan immobilisai selama 3 minggu atau lebih, dan cast atau splint digunakan untuk melindungi saraf bagian distal atau hubungan tendon selama 3 hingga 6 minggu. Tergantung pada lesi dan operasi rekonstruksinya, latihan luas gerak sendi secara pasif diindikasikan secepat mungkin sesuai dengan persetujuan dari tim bedah,dengan tujuan untuk mempertahankan luas gerak sendi semaksimal mungkin sebatas tanpa tahanan . Gerakan tangan dan pergelangan tangan diperbolehkan dilakukan segera setelah pembedahan kecuali bila telah dilakukan fungsionalisasi free-muscle atau tendon transfer.Latihan rentang gerak sendi bahu mungkin dibatasi secara permanen pada batas tertentu untuk mengamankan N. Intercostalis yang telah ditransfer ke lengan atas. Generalisasi tindakan tak biisa dilakukan,karena tindakan rekonstruksi sangat bervariasi. 8. Latihan luas gerak sendi secara pasif dilakukan 4 hingga 6 kali perhari dan tiap sesi latihan diulangi tiap 10 hingga 20 atau lebih . Tergantung pada lesi yang ada, beberapa sendi mungkin akan dibiarkan mengalami kontraktur untuk memaksimalkan fungsi. Hal ini mungkin dibutuhkan pada lesi pleksus brachialis total. Kontraktur pergelangan tangan dengan posisi ekstensi mungkin dilakukan untuk menghasilkan kemampuan grasp yang lebih baik setelah dilakukan free- muscle transfer untuk ekstensor wrist dan jari jari. Pengendalian edema dan tatalaksana jaringan parut merupakan bagian dari rencana perawatan. Massage pada skar dilakukan untuk menjaga agar skar tetap mobile. Stimulasi listrik dimulai pada 3 hingga 6 minggu setelah operasi. Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan jaringan saraf sembuh dan tidak rentan rupture. Pada kondisi seperti ini yang terjadi adalah proses reinervasi sehingga otot tidak memberikan respon terhadap arus yang dihasilkan neuromuscular stimulator. Pada keadaan seperti ini diperlukan stimulasi arus galvanic (direct-curent) apabila tersedia alat yang dapat diatur pulse durasinya, maka gunakan durasi yang lebih panjang dari chronaxie otot. Apabila otot sudah mengalami reinnervasi maka chronaxie diturunkan secara perlahan 8. Pasien dan keluarganya harus dipersiapkan pada keadaan,bahwa proses penyembuhan memerlukan memerlukan waktu lama dan banyak biaya ,termasuk menjalani terapi secara teratur , yang akan dievaluasi tiap 3-4 bulan selama 2-5 tahun setelah operasi untuk memonitor kesembuhan sepenuhnya. BIOFEEDBACK Biofeedback adalah suatu teknik terapi yang menggunakan bermacam monitor pendengaran dan penglihatan untuk melatih pasien mengontrol fungsi yang tak normal secara sadar. Biofeedback berfungsi sebagai alat diagnostik sekaligus terapi. Pada awalnya, dengan biofeedback ditentukan dulu,apakah ada kontraksi otot yang mungkin tak tampak secara visual,namun termonitor dengan alat ini, apabila kontraksi otot secara aktif telah terlihat, maka biofeedback dapat digunakan untuk membantu penderita untuk menyadari kontraksi otot tersebut dan meningkatkan kemampuannya untuk melakukan firing otot tersebut. Pada tahap lanjutan proses re-edukasi, biofeedback digunakan juga dalam bentuk monitoring secara visual dan palpasi terhadap otot yang telah ditransfer atau reneurotisasi. Tangan penderita pada sisi yang sehat atau cermin juga dapat digunakan untuk memonitor kualitas kontraksi ketika pengendalian motorik telah pulih. Tehnik re-edukasi yang lain dapat digunakan apabila alat biofeedback tidak ada. Beberapa tehnik yang mungkin digunakan termasuk penggunaan re-edukasi neuromuscular dan stimulasi listrik neuromuscular. Tujuan stimulasi listrik neuromuscular adalah untuk memberikan visualisasi dan sensasi kontraksi. Amplitude dari arus yang diberikan besar pada permulaan. Hal ini bertujuan untuk memberikan sensasi otot yang sedng berkontraksi. Amplitude perlahan akan diturunkan apabila penderita mampu melanjutkan kontraksi secara volunter. Apabila penderita telah melewati kekuatan kontraksi volunter, maka kekuatan stimulasi diturunkan 8. TERAPI OKUPASI Terapi okupasi diberikan untuk mempersiapkan penderita melakukan kembali aktifitas sehari-harinya secara mandiri dan untuk kembali ke profesinya/area kerja , termasuk alih profesi/kerja bila kondisi yang ada tak memungkinkan kembali ke pekerjaannya. KESIMPULAN Kasus lesi pleksus brakhialis merupakan bencana bagi penyandangnya, karena sering menyebabkan disabilitas fisik yang berat, tekanan psikologis dan masalah sosio-ekonomi. Tim Rehabilitasi Medik sebagai salah satu anggota tim lesi pleksus brakhialis berperan mulai saat terjadinya trauma hingga proses penyembuhan setelah operasi , yang seringkali berlangsung bertahuntahun, baik dari segi penegakan diagnose mulai anamnesa,pemeriksaan fisik hingga EMG dan Biofeedback maupun dalam proses terapi pre dan paska operasi. Tujuan program rehabilitasi medik adalah memulihkan kembali kualitas hidup penderita lesi pleksus brakhialis beserta keluarganya, yang diberikan secara simultan seiring dengan program dari disiplin ilmu lain Daftar Pustaka 1. Moran SL, Steinmann SP, Shin AY. Adult Brachial Plexus Injuries : Mechanism, Patterns of Injury, and Physical Diagnosis. Hand clinic .2005.21:13-24 2. Narakas A. The Treatment of Brachial Plexus Injuries. Int Orthop. 1985 : 9: 29-36 3. Shin AY, Spinner RJ. Clinically Relevant Surgical Anatomy and Exposure of the Brachial Plexus. Hand clinic. 2005: 21: 111 4. Amrami KK, Port JD. Imaging the Brachial Plexus. Hand clinic.2005. 21:25-37 5. Harper CM. Preoperative and Intraoperative Electrophysiologic assessment of Brachial Plexus Injuries. Hand clinic.2005. 21: 39-46 6. Chuang DCC. Nerve Transfers in Adult Brachial Plexus Injuries : My Methods. Hand clinic.2005. 21 :71-82 7. Songcharoen P, Wongtrakul S. Spinner RJ. Brachial Plexus Injuries in The Adult. Nerve Transfer : The Siriraj Hospital Experience.hand clinic.2005. 21:83-89 8. Kinlaw D. Pre-/Postoperative Therapy for Adult Plexus Injury. Hand clinic. 2005.21 : 103-108 9. Kang, Lana MD. Traumatic Brachial Plexus Injuries. Rehabilitation of the Hand and Upper Extrimity. 6:749-759 10. Bednar, John M MD. Common Nerve Injuries About the Shoulder. Rehabilitation of the Hand and Upper Extrimity. 6: 760-767 11. Ratner, Joshua A MD. Tendon Transfer for Upper Extrimity Peripheral Nerve Injuries. Rehabilitation of the Hand and Upper Extrimity. 6: 771-779 12. Duff, Susan V EdD, PT, OTR/L,CHT. Terapist’s Management of Tendon Transfer. Rehabilitation of the Hand and Upper Extrimity. 6: 781-791 13. Ashworth, Sarah OTR/L. Brachial Plexus Palsy Reconstruction : Tendon Transfers, Osteotomies, Capsular Release, and Arthrodesis. Rehabilitation of the Hand and Upper Extrimity. 6: 792-812 14. Tung, Thomas H MD. Nerve Transfer. Rehabilitation of the Hand and Upper Extrimity. 6: 813-822 15. Hay, David MD, et al.Vascular Disorders of the Upper Extrimity. Rehabilitation of the Hand and Upper Extrimity. 6: 825-844