Strategi Mengembangkan Instrumen Keuangan Syariah di Indonesia

advertisement
Sunarsip / 12/18/2007
Menangkap Peluang dari Booming Keuangan Syariah Global∗
Oleh Sunarsip
Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
Terdapat rasa sedih, ketika penulis menghadiri International Islamic Conference di
Swiss pada November 2006. Betapa tidak. Di tengah, pesatnya perkembangan keuangan
syariah di berbagai belahan dunia, posisi Indonesia nyaris tidak diperhitungkan oleh para
praktisi keuangan syariah global. Padahal, Indonesia adalah negara berpenduduk muslim
terbesar di dunia. Ironisnya, perhatian para praktisi keuangan syariah baik dari Timur
Tengah, Eropa, dan Amerika Serikat (AS) tersebut justru tertuju pada Singapura dan
Malaysia yang dianggap sebagai islamic financial hub selain Qatar, Dubai, dan Bahrain.
Kondisi ini memang tak lepas dari perkembangan keuangan syariah di Indonesia
yang pertumbuhannya berjalan lambat. Di bidang perbankan, pangsa asset perbankan
syariah baru mencapai 1,72% dari total asset perbankan di Indonesia (posisi September
2007). Padahal, akhir tahun 2008 pangsa asset perbankan syariah ditargetkan mencapai
5%. Sementara itu, belum institusi di Indonesia yang memanfaatkan instrumen keuangan
syariah, seperti obligasi syariah (sukuk) dalam aktivitas fund raising mereka. Berdasarkan
data terbaru Bapepam, hingga saat ini baru terdapat 20 efek syariah dengan jenis sukuk.
Booming Sukuk
Perkembangan keuangan syariah global yang sangat pesat ini terutama dipicu oleh
aktivitas investasi yang dilakukan oleh para investor dari negara-negara yang tergabung
dalam the Gulf Cooperation Countries (GCC), yaitu Bahrain, Oman, Qatar, Kuwait, Arab
Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) di berbagai negara.
Data-data dari Islamic International Finance Market (IIFM) menunjukkan dalam
periode 2000-2006, total sukuk yang diterbitkan di seluruh dunia telah mencapai lebih
dari US$50 miliar dengan rincian corporate sukuk sekitar US$44 miliar dan sovereign
sukuk US$6 miliar lebih (lihat grafik). Dari sekitar US$50 miliar sukuk tersebut, sekitar
US$19 miliar merupakan global sukuk, atau sukuk yang diperdagangkan di bursa global.
Terkait dengan pertumbuhan pasar sukuk tersebut, banyak lembaga rating
konvensional termasuk Standard & Poor’s (S&P) dan Fitch telah memulai merumuskan
berbagai ukuran dan metodologi yang digunakan untuk memeringkat sukuk. S&P,
misalnya, saat ini telah mendesain sebuah metodologi untuk memeringkat sukuk ijarah.
Perkembangan lainnya, Dow Jones telah mengumumkan membuat Sukuk Index untuk
memonitor perkembangan pasar ini. Peminat sukuk, kini juga semakin rasional. Ini
terlihat bahwa sekitar 48% dari total sovereign sukuk yang telah diterbitkan dipesan oleh
para investor konvensional yang meliputi 25% investor institusi, 11% fund manager, dan
13% dari bank sentral dan institusi pemerintah (Zamir Iqbal & Abbas Mirakhor, 2007).
Saat ini negara yang banyak disinggahi investor dari GGC justru dari Eropa. Di
Eropa, negara yang menjadi financial hub dari GCC adalah Inggris. Dipilihnya Inggris,
∗
Bisnis Indonesia, Selasa, 18 Desember 2007.
-1-
Sunarsip / 12/18/2007
tidak terlepas dari kebijakan otoritas Inggris yang sangat terbuka dengan masuknya danadana dari GCC. Setidaknya, ini terlihat dari pernyataan Gordon Brown (PM Inggris saat
ini) ketika memberikan sambutan pada Islamic Finance and Trade Conference, di
London pada 13 Juni 2006 dalam kapasitasnya sebagai Menteri Keuangan.
Total Penerbitan Sukuk Di Seluruh Dunia (US$ Juta)
50,532
24,091
11,829
336
780
819
2000
2001
2002
5,725
6,947
2003
2004
2005
2006
Total
Brown mengatakan Inggris berambisi menjadi pintu masuk (gateway) bagi
perdagangan dan keuangan syariah (Islamic finance and trade). Strateginya adalah
menjadikan Inggris sebagai pusat bagi transaksi keuangan syariah global. Saat ini
perbankan Inggris merupakan pioner perbankan syariah dan London sekarang memiliki
lebih banyak bank yang menyediakan layanan syariah dibandingkan pusat keuangan
Barat lainnya. Saat ini, sekitar 85% dari seluruh obligasi yang dikeluarkan GCC
berbentuk sukuk, dan London adalah memegang posisi penting sebagai pasar sukuk.
Inggris sendiri telah mengumumkan akan menyusun sebuah kerangka regulasi dan tax
reform baru dalam rangka mendukung penerbitan sukuk domestik.
Di kawasan Asia, Malaysia telah menjadi yang terdepan dalam pengembangan
keuangan syariahnya. Hal ini dapat dilihat dari sistem perbankannya yang telah lama dan
maju dalam mengadopsi sistem dual banking. Dari sisi penggunaan instrumen keuangan,
pemerintah dan swasta Malaysia juga aktif menggunakan sukuk dalam aktivitas fund
raising mereka. Pada tahun 2002, pemerintah Malaysia telah menerbitkan global sukuk
sebesar US$600 juta. Pada tahun 2005, kalangan swasta di Malaysia setidaknya telah
menerbitkan dan mengumumkan penerbitan sukuk sekitar US$4.545 juta. Sedangkan di
tahun 2006, diketahui bahwa Rantau Abang Capital Sukuk telah menerbitkan sukuk
senilai US$2.726 juta pada bulan Maret 2006.
Sementara itu, berdasarkan keterangan dari Deputi Menteri Keuangan Malaysia
Datuk Awang Adek Hussin diperoleh keterangan bahwa Malaysia saat ini mengendalikan
sekitar 70% dari total sukuk yang diterbitkan pasar global (global sukuk) (Bisnis
Indonesia, 20 Agustus 2007). Sedangkan berdasarkan data dari Islamic Financial
-2-
Sunarsip / 12/18/2007
Information Service (IIFS) dari “top 20” investment bank yang menjadi underwriter bagi
penerbitan sukuk di berbagai negara pada tahun 2005, peringkat 1, 3, 4, 5, dan 6 dipegang
oleh investment bank yang bermukim di Malaysia.
Strategi bagi Indonesia
Perkembangan penggunaan instrumen keuangan syariah begitu pesat
pertumbuhannya tersebut, semestinya ini menjadi pemicu bagi pelaku ekonomi
(pemerintah dan swasta) di Indonesia untuk menangkapnya sebagai peluang dalam
rangka meningkatkan investasi.
Di tahun 2008, pemerintah telah mentargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8%.
Pertumbuhan 6,8% terutama diharapkan didukung oleh pertumbuhan investasi sebesar
15,53%. Target pertumbuhan investasi ini cukup berat, terlebih setelah melihat kinerja
perekonomian hingga kuartal ketiga 2007 dimana laju investasi hanya 8,8%. Dengan
demikian, perluasan instrumen investasi untuk mendorong kegiatan investasi, dengan
pemanfaatan instrumen keuangan syariah, menjadi sangat relevan untuk didorong
pertumbuhannya. Bagaimana caranya?
Pertama, saat ini, baru pihak swasta yang telah memanfaatkan instrumen keuangan
syariah sebagai sarana fund raising. Itu pun volumenya masih sangat kecil. Sementara
itu, karena tidak adanya regulasi yang menaunginya, hingga kini pemerintah RI belum
pernah menerbitkan sukuk sebagai instrumen pembiayaan APBN. Padahal, keterlibatan
pemerintah dalam mendorong perkembangan instrumen keuangan syariah sangat
strategis. Setidaknya, untuk menunjukkan di mata investor asing bahwa pemerintah RI
mendukung penggunaan instrumen keuangan syariah dalam sistem keuangannya.
Oleh karena itu, pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN) yang saat ini berhenti di DPR perlu dipercepat agar kita tidak
ketinggalan momentum investasi di tahun 2008. Di tahun ini, sesungguhnya telah ada
rencana untuk menerbitkan sukuk untuk membiayai APBN dengan asumsi RUU SBSN
ini dapat disahkan pada tahun ini juga. Namun, akibat mandeknya pembahasan RUU ini,
kini target untuk menerbitkan sukuk pada tahun 2007 akhirnya kandas.
Kedua, perlunya infrastruktur investasi yang comfortable bagi masuknya investor
asing yang hendak berinvestasi dalam instrumen keuangan syariah. Pemerintah,
misalnya, berencana akan membentuk Indonesia Infrastructure Fund (IIF) dalam rangka
memudahkan mencari sumber dana bagi pembiayaan infrastruktur. Momentum ini perlu
dipikirkan untuk sekaligus membentuk Indonesia Islamic Infrastructure Fund (IIIF).
Tujuannya sama, namun tentunya target market-nya yang berbeda, yaitu bagi investor
yang menginginkan instrumen investasi syariah terutama dari GCC.
Penulis melihat bahwa kedua langkah ini penting untuk diwujudkan dalam rangka
mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari sumber dana berbasis syariah di pasar
global bagi kepentingan perekonomian nasional. Faktanya, investor yang menginginkan
investasi dengan instrumen keuangan syariah jumlahnya cukup besar. Data dari
McKinsey menunjukkan 20%-30% investor dari GCC memilih produk keuangan yang
sesuai syariah, 50%-60% memilih kombinasi syariah dan konvensional, sedangkan
sisanya 10-30% bersifat indifferent.
-3-
Sunarsip / 12/18/2007
Sementara itu, meski GCC tetap menjadi sasaran investasi asing (terutama dari
Asdan Eropa) karena faktor minyak, GCC tetap memburu bagi penempatan surplusnya
akibat windfall profit (diperkirakan sekitar US$2-3 triliun) untuk diinvestasikan di luar
negeri, terutama di kawasan Asia melalui kebijakan “Going East” seperti yang
diperlihatkan oleh para pemimpin negara-negara GCC.
Oleh karenanya, agar kita tidak ketinggalan kereta lagi dengan negara-negara Asia
lainnya, sudah saatnya kita bertindak cepat mempersiapkan diri mengambil peluang
ini.***
-4-
Download