BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pangan Instan dan Penyimpangan Mutunya Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, nomor HK.03.1.23.04.12.2205 (Anonimd, 2012) tentang pedoman pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga, mendefinisikan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan makanan dan minuman. Pangan instan merupakan pangan yang dengan cepat dapat segera dikonsumsi. Pangan instan dapat diartikan sebagai pangan yang secara cepat dapat diubah menjadi pangan yang siap dikonsumsi. Penyajiannya dapat dengan menambahkan air panas ataupun susu sesuai dengan selera. Pada dasarnya untuk membuat makanan instan dilakukan dengan menghilangkan kadar airnya sehingga mudah ditangani dan praktis dalam penyediaannya. Pamurlarsih (2006) menyatakan bahwa produk instan dapat dihasilkan dari hasil modifikasi pemasakan sehingga dapat diubah menjadi produk yang siap dikonsumsi dengan cepat, yaitu dengan cara merehidrasi menggunakan air panas selama beberapa saat. Ubi kayu memiliki kandungan energi, karbohidrat, fosfor dan vitamin yang cukup tinggi. Kandungan-kandungan dari ubi kayu inilah yang merupakan 7 8 sumber energi yang dibutuhkan oleh tubuh, yang dapat menjadi pelengkap atau pengganti konsumsi beras. Adapun kandungan gizi dalam ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 2.1 Tabel 2.1 Kandungan gizi ubi kayu per 100 g bahan Kandungan Jumlah Energi (Kal) 146,00 Protein (g) 1,20 Lemak (g) 0,30 Karbohidrat (g) 34,70 Kalsium (mg) 33,00 Fosfor (mg) 40,00 Zat besi (mg) 0,70 Vitamin A (SI) 0,00 Vitamin B1 (mg) 0,06 Vitamin C (mg) 30,00 Air (g) 62,50 Sumber: Anonime, 1981 Salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan adalah diversifikasi pangan. Tujuan dari diversifikasi pangan tidak hanya sebagai upaya mengurangi ketergantungan terhadap beras, namun juga sebagai upaya peningkatan perbaikan gizi. Pangan instan adalah hasil dari pengawetan yang dilakukan dengan mengurangi kadar air suatu bahan makanan. Mengeluarkan air dari dalam bahan pangan, baik sebagian maupun seluruhnya disebut dengan proses pengeringan (Priyanto, 1988). Pangan instan umumnya memiliki aw yang rendah, dimana kondisi ini membuat bakteri dan khamir tidak mampu untuk tumbuh, kecuali beberapa jenis kapang yang membutuhkan kadar air yang sangat rendah. Penyimpangan suatu produk pangan dari mutu awal disebut dengan deteriorasi, dimana hal ini akan terus menyimpang dari setelah proses produksi terjadi. Besarnya deteriorasi bergantung pada lama penyimpanan dan kondisi lingkungan penyimpanan produk. Faktor-faktor penyebab deteriorasi berasal dari 9 produk pangan itu sendiri maupun dari luar produk pangan yang kemudian memicu reaksi-reaksi kimia, enzimatis dan juga fisik. Produk pangan instan sensitif terhadap perubahan kadar air sekitarnya, oleh karena itu stabilitasnya ditentukan oleh kadar air dan aw bahan pangan itu sendiri. Deteriorasi yang dapat terjadi pada pangan instan adalah penyerapan air yang akan menyebabkan pangan kering menjadi kehilangan kerenyahan, menjadi lembab, kehilangan vitamin dan kehilangan aroma sehingga menyebabkan kerusakan dan tidak lagi disukai oleh konsumen (Robetson, 1993). Tingkat penurunan mutu dipengaruhi oleh lamanya penyimpanan, sedangkan laju penurunan mutu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan penyimpanan (Arpah, 1998). Labuza (1984) menyatakan makanan ringan kehilangan kerenyahannya pada aw 0,2-0,4 dan gula menjadi lengket pada aw 0,4. Aktivitas air terendah dimana bakteri pembusuk dapat tumbuh yaitu pada saat aw 0,90. Bakteri pembusuk S. aureus dapat dihambat secara anaerob pada aw 0,91, namun secara aerob pada aw 0,86. Sedangkan untuk pertumbuhan jamur dan ragi berada pada aw 0,61, dan untuk jamur mikotoksigenik pada aw 0,78. aw ini mampu mempengaruhi reaksi browning non-enzimatis, degradasi vitamin, reaksi enzimatis, oksidasi lipid, denaturasi protein dan juga retrogradasi pati. 2.2 Aktivitas Air Kandungan air dalam pangan menentukan kesegaran, acceptability, daya tahannya. Jumlah air bebas dalam pangan dapat dipergunakan oleh mikroorganisme yang dinyatakan dalam besaran aktivitas air (aw), dimana aktivitas ini menunjukkan 10 besarnya air bebas dalam sistem yang digunakan dalam reaksi biologis maupun kimia. Aktivitas air merupakan kunci utama mikroba untuk dapat tumbuh, memproduksi racun, melakukan reaksi enzimatis dan kegiatan lainnya. Diagram stabilitas pangan yang menunjukkan fungsi dari aw dapat dilihat pada Gambar 2.1 Gambar 2.1 Diagram stabilitas aw (Labuza, 1984) Pengaruh aw terhadap mutu produk pangan yang dikemas dijabarkan oleh Labuza (1982) sebagai berikut: 1. Pada selang aw sekitar 0,7-0,75 dan diatasnya mampu memberikan kesempatan terhadap mikroorganisme berbahaya untuk tumbuh dan membuat produk menjadi beracun. 2. Pada selang aw sekitar 0,6-0,7 mampu memberikan kesempatan pada jamur untuk tumbuh. 3. Pada selang aw 0,4-0,5 produk pasta yang terlalu kering akan mudah hancur dan rapuh selama dimasak karena goncangan mekanis yang disebabkan selama pendistribusian maupun penyimpanan. 11 4. Pada selang aw sekitar 0,35-0,4 mampu membuat makanan kering kehilangan kerenyahan. Aktivitas air merupakan potensi kimia dari air. Penggunaan kata relatif dimaksudkan untuk memudahkan penjelasan bahwa air bebas memiliki nilai aw sama dengan atau lebih besar dari satu, sedangkan untuk air terikat memiliki aw di bawah satu (Suyitno, 1995). Labuza (1980) mendefinisikan bahwa aw dapat dihitung dengan membandingkan tekanan uap air bahan pangan (P) dengan tekanan uap air murni (Po) pada kondisi yang sama atau didefinisikan sebagai kesetimbangan kelembaban relatif (ERH/Equilibrium Relative Humidity) dibagi dengan 100 seperti pada Persamaan (1). π ππ€ = ππ = πΈπ π» 100 (1) Dimana: P = Tekanan uap air bahan (mmHg) Po = Tekanan uap air bebas pada suhu tetap/sama (mmHg) ERH = Equilibrium Relative Humidity/ Kesetimbangan Kelembaban Relatif (%) 2.3 Kadar Air Kesetimbangan Bertambah atau berkurangnya kandungan air pada produk pangan bergantung pada RH lingkungannya. Kadar air kesetimbangan adalah kondisi dimana jumlah air dalam bahan pangan tersebut tidak mengalami naik atau turun lagi untuk bobotnya (Fellow, 1990). Sedangkan menurut Brooker dkk. (1992), kadar air kesetimbangan diartikan sebagai kadar air suatu produk pangan pada kondisi lingkungan tertentu dalam periode yang lama. Sorpsi air pada produk pangan berkemasan selama penyimpanan dapat terjadi secara adsorpsi maupun desorpsi. Adsorpsi terjadi saat RH lingkungan lebih 12 tinggi dibandingan dengan RH bahan pangan sehingga menyebabkan penyerapan air oleh bahan pangan. Sedangkan RH lingkungan yang lebih rendah dari RH bahan pangan dapat menyebabkan distribusi uap air dari bahan menuju lingkungan melalui desorpsi (Brooker dkk. 1992). Kondisi kesetimbangan didapatkan melalui penimbangan bobot sampel hingga konstan. Kondisi ini ditandai dengan selisih penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di atas 90% (Adawiyah, 2006). 2.4 Isotermis Sorpsi Air untuk Produk Pangan Sorpsi air bahan pangan adalah proses molekul berkombinasi secara progresif dan reversible dengan bagian solid pangan melalui sorpsi kimia, adsorpsi fisik dan juga kondensasi multilayer (Heldman dan Lund, 1992). Isotermis sorpsi air menggambarkan hubungan antara aw dan kadar air pangan pada suhu konstan yang ditunjukkan melalui kurva ISA. Dalam bidang ilmu dan teknologi pangan, pengetahuan tentang penyerapan air selama penyimpanan penting untuk desain kemasan, stabilitas, penghitungan perubahan kadar air yang mungkin terjadi selama penyimpanan, desain proses pengeringan pangan dan menduga masa kadaluarsa. Isotermis sorpsi air produk pangan menunjukkan hubungan antara aw dengan kadar air produk pangan yang berada pada kondisi suhu dan RH tertentu (Chukwu dan Ajisegiri, 2005). Terdapat tiga fraksi air terikat yaitu air terikat 13 primer, air terikat sekunder dan air terikat tersier yang dapat dilihat pada Gambar 2.2 Gambar 2.2 Kurva isotermis sorpsi air produk pangan secara umum (Shimoni dkk. 2002) Oleh Shimoni dkk (2002) kurva ISA dapat dibagi menjadi tiga daerah. Air terikat primer (daerah A) yang mewakili air yang terikat kuat dengan enthalpi penguapan lebih tinggi dari air murni. Air ini terikat pada gugus hidrofilik yang bermuatan dan polar dari komponen pangan (protein dan polisakarida), termasuk air monolayer dan air yang terikat dengan ikatan hidrogen dan hidrofobik. Air terikat sekunder (daerah B) menyatakan bahwa air kurang terikat, dimana air ini tersedia sebagai pelarut untuk solut dengan berat molekul yang rendah. Air pada daerah ini merupakan transisi kelanjutan dari air terikat ke air bebas. Sedangkan air terikat tersier (daerah C) menyatakan bahwa air tidak terikat atau air bebas, yang 14 biasanya terdapat pada celah, ruang kecil (void), kapiler dan tidak terikat pada bahan pangan. Pada kondisi ini, laju kerusakan bahan pangan terjadi dengan cepat. Kurva yang dihasilkan melalui grafik penyerapan uap air oleh produk pangan dari udara dan grafik pelepasan uap air oleh produk pangan ke udara tidak pernah berhimpit apabila disatukan (Gambar 2.2). Fenomena ini disebut dengan fenomena histeresis, dimana fenomena ini menunjukkan perbedaan nilai kadar air kesetimbangan yang didapatkan dalam proses penyerapan air oleh produk pangan dari udara dan pelepasan uap air dari produk pangan ke udara. Besarnya himpitan yang terjadi ini berbeda antara satu produk pangan dengan produk pangan lainnya, berdasarkan dari sifat alami produk pangan, perubahan fisik yang terjadi selama distribusi air, suhu, kemampuan desorpsi dan adsorpsi tingkatan air oleh bahan pangan (Fennema, 1985). Winarno (1994) menyatakan bahwa tiap jenis produk pangan memiliki sifat yang khas. Hubungan antara aw dengan keadaan sifat fisik air dalam pangan dapat juga dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Hubungan antara aw dengan keadaan sifat fisik air dalam produk pangan aw 0,00-0,35 0,35-0,60 0,60-1,00 Keadaan air dalam pangan Adsorpsi pada lapisan tunggal (monolayer) Adsorpsi pada lapisan tambahan (multilayer) Air terkondensasi pada celah, ruang kecil, kapiler yang tidak terikat dengan bahan pangan Sumber: Floros dan Gnanasekharan (1993) Pangan hasil pertanian bersifat higroskopis, yaitu mampu menyerap air dari udara sekelilingnya yang dapat ditunjukkan oleh kurva ISA. 15 2.5 Model Persamaan Isotermis Sorpsi Air Labuza (1984) mengklasifikasikan tiga tipe kurva ISA. Kurva ISA tipe I menggambarkan kemampuan produk yang menyerap sedikit uap air sehingga kemampuan bahan mengikat air hanya pada permukaan bahan saja. Penyerapan air yang terjadi pada tipe ini mencapai selang aw 0,7-0,8. Produk yang berbentuk kristal, seperti gula murni mengikuti kurva ISA tipe I. Kurva ISA tipe II, seperti pada produk pangan kering menggambarkan kemampuan produk menyerap air pada selang aw 0,2-0.4 dan 0,6-0,7. Penyerapan yang terjadi pada bahan pangan ini dipengaruhi oleh efek fisika-kimia yang menyebabkan terdapat dua lengkungan yang terlihat sigmoid (berbentuk huruf S). Sedangkan pada tipe III kemampuan bahan dalam menyerap uap air cukup besar, sehingga pada perubahan nilai aw yang kecil perubahan kadar air yang terjadi akan sangat besar (Labuza, 1984). Produk pangan kering, seperti buah yang dikeringkan maupun produk olahan seperti wafer, biasanya mengikuti kurva ISA tipe II dan III. Tipe-tipe kurva ISA dapat dilihat pada Gambar 2.3. Gambar 2.3 Tipe-tipe kurva isotermis sorpsi Air (Labuza, 1984) 16 Pembuatan kurva ISA bertujuan mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi, sehingga model-model persamaan yang sederhana dan lebih sedikit jumlah parameternya akan lebih cocok digunakan (Labuza, 1982). Metode kuadrat terkecil ini dapat memilih suatu regresi terbaik diantara semua kemungkinan garis lurus yang dapat dibuat pada suatu diagram pencar (Walpole, 1995). Model persamaan ISA menjelaskan hubungan antara aw dan kadar air produk pangan berdasarkan parameter-parameter yang berpengaruh terhadap kondisi produk dan memiliki parameter kurang dari atau sama dengan tiga dan mampu digunakan dalam RH yang luas agar mampu mewakili ketiga daerah pada sorpsi isotermis (Labuza, 1968). Hal ini harus diuji, karena model persamaan sorpsi isotermis suatu produk pangan satu dengan yang lainnya tidaklah sama. Kendala yang dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang mampu menjelaskan ISA pada kesemua selang aw dan dapat diaplikasikan pada berbagai jenis produk pangan menurut Chirife dan Iglesias (1978) adalah: a. Perubahan aw pada produk pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang masing-masing telah mendominasi dalam selang aw yang berbeda. b. Kemampuan higroskopis yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara komponen-komponen produk pangan yang diinduksi oleh perlakuan awalnya digambarkan dalam sorpsi isotermis. c. Dengan menyerapanya uap air dari udara ke produk pangan menyebabkan perubahan fisik, kimia dan biokimia. Terdapat banyak model atau persamaan ISA yang telah dikemukakan oleh para ahli. Tidak ada satupun model yang benar-benar tepat, namun beberapa model 17 mampu menggambarkan kondisi bahan pangan dengan baik. Dalam penelitian ini, digunakan tujuh buah model pendekatan yaitu Brunauer-Emmet-Teller (BET), Oswin, Halsey, Henderson, Caurie, Chen Clayton dan Guggenheim-Anderson-de Boer (GAB). Ketujuh model pendekatan ini dapat dilihat pada uraian berikut: 2.5.1 Model Brunauer-Emmet-Teller Model BET merupakan model yang berlaku pada selang aw 0,05-0,6. Model ini biasa digunakan untuk menentukan kondisi kadar air optimum suatu bahan pangan untuk stabilitas penyimpanan. Bentuk persamaan model BET dapat dilihat pada Persamaan (2). me =(1−π ππ πΆ ππ€ (2) π€ )(1+(πΆ−1)ππ€ ) Dimana: me = Kadar air (g H2O/g padatan) mo = kadar air monolayer (g H2O/g padatan) 2.5.2 C aw = Tetapan energi adsorpsi = Aktivitas air Model Oswin Model yang dikemukakan oleh Oswin (1946) dapat berlaku pada produk pangan mulai dari RH 0 sampai dengan 85% yang sesuai dengan kurva sorpsi isotermis berbentuk huruf S atau sigmoid. Model Oswin dapat ditulis sebagaimana Persamaan (3). a me = P1 [(1−aw )] P2 w Dimana: me = Kadar air (g H2O/g padatan) P1 dan P2 = Konstanta aw = Aktivitas air (3) 19 2.5.3 Model Halsey Model Halsey (1948) mampu mendeskripsikan jenis kurva ISA I, II maupun III dengan baik pada berbagai jenis produk pangan kering. Persamaan ini menggambarkan kondensasi lapisan multilayer pada selang aw yang luas. Model Hasley dapat dilihat pada Persamaan (4). aw = exp( - P1 / me P2 ) (4) Dimana: aw = Aktivitas air P1 dan P2 = Konstanta me = Kadar air (g H2O/g padatan) 2.5.4 Model Henderson Model Henderson dinyatakan secara empiris mampu menggambarkan kondisi bahan pangan pada suhu ruang. Model Henderson dapat dilihat pada Persamaan (5). 1 − aw = exp(K x me x n) (5) Dimana: aw = Aktivitas air K dan n = Konstanta me = Kadar air (g H2O/g padatan) 2.5.5 Model Caurie Model Caurie mampu menggambarkan kondisi bahan pangan pada selang aw 0,0-0,85. Persamaan (6) merupakan bentuk model Caurie. ln me = ln P1 - (P2 x aw ) Dimana: me = Kadar air (g H2O/g padatan) P1 dan P2 = Konstanta aw = Aktivitas air (6) 20 2.5.6 Model Chen-Clayton Model Chen-Clayton mampu menggambarkan kondisi bahan pangan pada semua rentang aw. Model Chen-Clayton dapat dilihat pada Persamaan (7). P aw = exp[− exp(P 1x m )] 2 (7) e Dimana: aw = Aktivitas air P1 dan P2 = Konstanta me = Kadar air (g H2O/g padatan) 2.5.7 Model Guggenheim-Anderson-de Boer Model GAB merupakan model yang mampu menggambarkan kondisi bahan pangan yang cukup luas, mulai pada selang aw 0-0,9. Telah banyak produk pangan yang cocok dianalisis menggunakan persamaan ini, baik untuk buah, sayuran dan daging. Model GAB dapat dilihat pada Persamaan (8). me = (1−K x a mo x C x K x aw w )(1−K x aw +C x K x aw ) (8) Dimana: me = Kadar air (g H2O/g padatan) mo = kadar air monolayer (g H2O/g padatan) C = Tetapan energi adsorpsi K = Konstanta energi lapisan multilayer aw = Aktivitas air 2.6 Kemasan Produk pangan kering memiliki sifat sangat sensitif terhadap perubahan kadar air, yang dapat menyebabkan perubahan mutu seperti timbul jamur dan bakteri, kehilangan kerenyahan, dan kehilangan nilai gizi. Dalam mempertahankan mutu dan bentuk produk, maka dilakukan perlindungan menggunakan kemasan. 21 Perubahan kadar air dalam produk yang dikemas akan berpengaruh terhadap produk pangan di dalamnya. Buckle dkk. (1987) menyatakan, kemasan pangan harus mampu memenuhi persyaratan sebagai wadah penyimpanan, yaitu mampu mempertahankan mutu produk agar tetap bersih, baik dari kotoran, pencemaran, kerusakan fisik dan juga perpindahan gas serta uap air. Ketika tidak terjadi kesetimbangan antara RH produk pangan berkemasan dengan RH lingkungan, maka akan terjadi perubahan kadar air produk pangan. Produk pangan kering harus dilindungi dari distribusi uap air, melalui kemasan dengan permeabilitas yang rendah. Halim (1998) mendefinisikan permeabilitas sebagai banyaknya komponen yang ditransfer per unit luas, Syarief, dkk (1989) menyatakan umumnya pangan yang memiliki ERH rendah dan bersifat hidrofilik harus dikemas menggunakan kemasan dengan permeabilitas air yang rendah untuk mencegah pangan berkadar gula tinggi merekat, atau tepung yang menjadi basah sehingga dapat bersifat free flowing/mawur. Sifat terpenting bahan kemasan terdiri dari bentuk, luas permukaan, dan permeabilitas gas dan uap air. Permeabilitas uap air dan gas mempengaruhi distribusi jumlah gas dan uap air dalam menjaga produk menjadi lebih tahan lama. Jenis kemasan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari kemasan plastik low density polyethylene (LDPE), plastik polypropylene (PP) dan retort pouch. Plastik banyak digunakan sebagai kemasan karena harganya yang murah dan mudah di dapat. Plastik polyethylene (PE) adalah plastik yang lunak, transparan dan fleksibel yang memiliki kekuatan benturan dan sobekan yang baik. Plastik PE banyak digunakan untuk laminasi terutama untuk bagian luar karena mampu 22 meningkatkan daya tahan kemasan terhadap kikisan dan sobekan (Syarief, dkk. 1989). Plastik PE, secara garis besar terbagi menjadi dua jenis, yaitu plastik LDPE dan high density polyethylene (HDPE). Plastik LDPE memiliki daya proteksi yang baik terhadap uap air yang biasa digunakan untuk mengemas produk pangan, sedangkan plastik HDPE banyak digunakan sebagai botol susu, galon dan lain-lain (Koswara, 2006). Plastik PP bersifat ringan dan mudah dibentuk. Jenis plastik film ini memiliki kekuatan yang lebih besar dari jenis plastik film PE, tidak mudah sobek, tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap asam yang kuat, basa dan minyak. Namun demikian jenis plastik film ini kaku, tidak bisa digunakan untuk kemasan beku karena rapuh pada suhu -30°C dan memiliki permeabilitas uap air yang rendah sehingga tidak baik untuk pangan yang peka terhadap oksigen (Syarief, dkk. 1989). Alumunium foil bersifat tipis, dengan ketebalan kurang dari 0,15 mm. Tingkatan kekerasan alumunium foil bernilai 0 dengan arti sangat lunak hingga bilangan H-n, yang berarti semakin keras. Semakin tebal aluminium foil, semakin tinggi sifat permeabilitas uap airnya (t.t). Penyebutan aluminium foil adalah al-foil, alu-foil, tinfoil, silver-foil dan alufo. Pada pengemasan produk pangan, terutama pangan kering, biasa digunakan kemasan retort pouch yang berbahan alumunium foil. Retort pouch adalah kemasan yang mampu berdiri sendiri dan membentuk struktur tegap dan memiliki kemampuan daya simpan yang tinggi, tidak mudah sobek tertusuk dan resisten terhadap penetrasi lemak, minyak dan komponen makanan lainnya. 23 Permeabilias uap air kemasan diartikan banyaknya uap air yang mampu melewati suatu kemasan dalam kecepatan perpindahan uap air (WVTR/Water Vapour Transmission Rate) pada kondisi atmosfer tertentu yang dinyatakan dalam g (H2O/hari/m2). Berat uap air yang mampu melewati suatu kemasan per hari pada beda tekanan parsial air sebesar 1 mmHg dinyatakan sebagai konstanta permeabilitas uap air kemasan (k/x). Persamaan (9) oleh Supriyadi (1999) digunakan untuk menghitung permeabilitas uap air kemasan. k x W/Ρ² = A.P out (9) Dimana: k/x = Permeabilitas uap air kemasan (g H2/hari.m2.mHg) W/Ρ² = Slope/Kemiringan (g H2O/hari) A = Luas kemasan (m2) Pout = Tekanan uap air pada suhu ruang penyimpanan x RH (mmHg) 2.7 Pendugaan Masa kadaluarsa Anonime (1974) mendefinisikan masa kadaluarsa sebagai periode antara produksi dan pembelian secara retail, dimana kondisi produk masih memuaskan dalam segi nilai gizi, bau, tekstur dan kenampakannya. Masa kadaluarsa juga diartikan sebagai waktu yang diperlukan oleh suatu produk pangan dalam kondisi penyimpanan untuk mencapai tingkatan degradasi mutu tertentu (Floros dan Gnanasekharan, 1993). Produk dikatakan tidak layak konsumsi, setelah melewati tingkatan degradasi tertentu yang disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi baik secara kimia, fisika maupun mikrobiologis. 24 Masa kadaluarsa dipengaruhi oleh sifat produk pangan kemasan yang digunakan dan juga kondisi lingkungan. Masa kadaluarsa merupakan parameter ketahanan produk bersangkutan selama penyimpanan yang menunjukkan selang waktu produk masih dapat diterima dan dikonsumsi, maka dari itu masa kadaluarsa dapat diduga melalui laju penurunan mutu. Melalui analisis secara kuantitatif, pengukuran laju deteriorasi dilakukan berdasarkan analisis penyerapan uap air dari lingkungan ke dalam sampel. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, ditentukan melalui Accelerated Storage Shelf-Life Testing (ASLT) dengan pendekatan kadar air kritis, dimana perubahan konsentrasi uap air menjadi parameter pengukuran dengan menyimpan sampel pada kondisi penyimpanan yang diatur diluar kondisi normal sehingga lebih cepat mengalami deteriorasi dan masa kadaluarsa dapat ditentukan. Labuza (1982) mengemukakan, bahwa dalam menduga masa kadaluarsa suatu produk pangan kering yang dikemas, diperlukan data-data sebagai berikut: 1. Kurva ISA 2. Permeabilitas kemasan (k.x) 3. Luas permukaan kemasan (A) dengan berat produk (Basis kering) (Ws) (A/Ws = m2/g padatan) 4. Sifat terpenting bahan kemasan terdiri dari bentuk, luas permukaan, dan permeabilitas gas dan uap air. Permeabilitas uap air dan gas mempengaruhi distribusi jumlah gas dan uap air dalam menjaga produk menjadi lebih tahan lama. Jenis kemasan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari plastik PE plastik PP dan retort pouch. 25 Labuza menyatakan perubahan kandungan air suatu produk pangan dapat dihitung menggunakan Persamaan (10): dw dt = k x (Pout − Pin )A (10) Dimana: dw/dt = Jumlah air yang bertambah atau berkurang per hari (g) k/x = Permeabilitas Uap Air kemasan (g H2O/hari.m2/mmHg) A = Luas Permukaan kemasan (m2) Pout = Tekanan uap air di luar kemasan (mmHg) Pin = Tekanan uap air di dalam kemasan (mmHg) Dengan mengetahui pola sorpsi air dan menentukan kurva ISA, maka dapat ditentukan masa kadaluarsanya menggunakan asumsi bahwa perubahan kadar air produk pangan mempengaruhi mutu produk pangan. Berdasarkan laju perubahan kadar air, masa kadaluarsa dapat ditentukan menggunakan pendekatan kadar air kritis, oleh Labuza (1982) pada Persamaan (11). t= me −mi ) me −mc k A Po x ( )x ( ) x Ws b ln ( Dimana: t = Masa kadaluarsa produk (hari) me = Kadar air kesetimbangan produk (g H2O/g padatan) mi = Kadar air awal produk (g H2O/g padatan) mc = Kadar air kritis produk k/x = Konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) A = Luas penampang kemasan (m2) Ws = Berat kering produk dalam kemasan (g) Po = Tekanan uap jenuh (mmHg) b = Kemiringan kurva ISA/slope (11)