BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Gambar 2.1. Struktur aldehida

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aldehida
Aldehida merupakan suatu senyawa yang karbon karbonilnya ( karbon yang terikat pada
oksigen )selalu terikat dengan paling sedikit satu atom hidrogen.adapun rumus aldehida ialah
seperti gambar 2.1 berikut:
O
R
Gugus karbonil
C
H
Gambar 2.1. Struktur aldehida (Wilbraham, 1992)
Formaldehida (HCHO) merupakan aldehida paling sederhana ( Wilbraham,
1992 ). Aldehida mempunyai paling sedikit satu atom hidrogen pada gugus
karbonilnya. Sedangkan gugus lainnya boleh berupa atom hidrogen, gugus alkil
ataupun gugus aril ( Riswiyanto, 2009 ). Dalam sistem IUPAC, aldehida sederhana
diberi nama berdasarkan alkana induknya dengan akhiran – ana diubah menjadi – anal
(-an untuk senyawa jenuh dan –al untuk aldehida). Misalnya pada senyawa 3-metil
butanal seperti pada gambar 2.2 berikut ini
CH3
O
CH3CHCH2CH
Gambar 2.2. Struktur 3-metil butanal (Fessenden dan Fessenden, 2010)
Aldehida sederhana ini disebut dengan nama trivialnya. Sebagian besar nama
ini diturunkan dari nama trivial asam karboksilat yang bersangkutan dimana akhiran
asam –at atau –oat diubah menjadi –aldehida( Fessenden dan Fessenden, 2010
).Adanya gugus karbonil menyebabkan aldehida bersifat polar dan mempunyai gaya
intramolekul dan titik didih yang lebih besar daripada alkana yang bersesuaian. Atom
oksigen pada senyawa karbonil dapat membentuk ikatan hidrogen yang cukup kuat
dengan molekul air. Senyawa karbonil dengan berat molekul yang rendah dapat larut
dalam air, sedangkan aseton dan asetaldehida larut dalam air dalam segala
perbandingan ( Riswiyanto, 2009 ). Aldehida bereaksi dengan beberapa zat
Universitas Sumatera Utara
pengoksidasi yaitu pereaksi Tollens (Ag+ dalam larutan NH3), pereaksi Benedict (Cu2+
dalam larutan natrium sitrat) dan pereaksi Fehling (Cu 2+ dalam larutan kalium natrium
tartrat). Pereaksi ini mengoksidasi aldehida menjadi asam karboksilat dan ditandai
dengan perubahan warna. Aldehida akan mereduksi pereaksi Fehling dan Benedict
sedangkan ia sendiri akan teroksidasi dan ditandai dengan terbentuknya endapan
merah bata Cu2O (Sarker dan Lutfun, 2007).
Aldehida dapat dioksidasi dengan permanganatdan kromat, namun dapat juga
dioksidasi dengan zat pengoksidasi yang sangat lemah seperti Ag+ dan Cu2+. Reaksi
Tollens digunakan sebagai reagensia uji untuk aldehida dimana uji positif ditandai
dengan terbentuknya cermin perak pada dinding dan tabung reaksi. Tetapi dengan
meluasnya penggunaan spektroskopi, uji ini tidak dilakukan lagi untuk identifikasi
aldehida, namun terkadang cermin tersebut masih dibuat (Fessenden dan
Fessenden,1992).
Beberapa reaksi dari aldehida dengan beberapa senyawa antara lain:
1. Reaksi dengan air
Air dapat mengadisi suatu karbonil, untuk membentuk suatu 1, 1- iol, yang disebut
gem-diol atau hidrat. Reaksi itu reversibel dan biasanya kesetimbangan terletak
pada sisi karbonil. Adapun reaksi aldehida dengan air seperti dibawah ini:
O
R
C
H
H+
+ H2O
OH
R
C
H
OH
senyawa aldehida
suatu hidrat
(dua OH pada C)
2. Reaksi dengan alkohol
Produk adisi suatu molekul alkohol pada suatu aldehida disebut suatu hemiasetal.
Adapun reaksi aldehida dengan alkohol dan membentuk suatu asetal dapat dilihat
seperti dibawah ini:
O
R
C
H
R OH
H+
OR'
R
C
OR'
H
R' OH
H+
OH
senyawa aldehida
R
C
H
suatu hemiasetal
OR'
suatu asetal
(OH dan OR' pada C)
(dua OR' pada C)
+ H2O
Universitas Sumatera Utara
3. Reaksi dengan hidrogen sianida
Hidrogen sianida dapat mengadisi ke gugus karbonil suatu aldehida menghasilkan
sianohidrin. Adapun reaksi aldehida dengan hidrogen sianida seperti pada gambar
dibawah ini:
O
R
C
H
H
+
CN-
HCN
R
C
H
CN
aldehida
sianohidrin
4. Reaksi dengan amonia dan amina primer
Amina adalah suatu nukleofilik yang dapat menyerang gugus karbonil dari suatu
aldehida dalam reaksi. Adapun reaksi antara aldehida dengan amonia dan amina
primer seperti gambar dibawah ini (Fessenden, 1999).
OH
O
R
C
H + H
aldehida
NH2
H+
R
C
H
NH2
H2O
RCH
NH
imina
(basa schiff suatu)
Gambar 2.3. Reaksi Aldehida dengan Beberapa Senyawa: air, alkohol, hidrogen
sianida, dan amonia (Fessenden dan Fessenden, 1999)
2.2.
Sinamaldehida
Sinamaldehida merupakan salah satu senyawa yang dikandung minyak sinamon dari
kulit manis. Yang diperoleh dengan cara mengisolasi minyak kayu manis. Kandungan
sinamaldehida pada kayu manis sekitar 74% ( Clark, 1991). Wen lin et al 2009,
menyebutkan bahwa aktivitas antioksidan pada minyak kayu manis adalah sekitar
91,4%. Sinamaldehid dari minyak kayu manis tidak hanya memiliki nilai fungsional
sebagai antioksidan, namun sinamaldehid juga berfungsi sebagai komponen
antimikroba (Rismundar,1995). Sinamaldehid dapat menghambat pertumbuhan fungi,
yeast dan bakteri yang terdapat pada makanan dengan tingkat kelembapan rendah
( Gupta et al, 2008 ).
Universitas Sumatera Utara
Berikut beberapa uraian tentang sifat fisika dan sifat kimia sinamaldehida
antara lain:
Rumus molekul
: C9H8 O
Rumus struktur
: 3 phenil 2-propenal
Massa molekul relative
: 132,15
Density (250C)
: 1,048 – 1,052
Larut baik dengan pelarut
: Alkohol, kloroform, eter
Titik didih pada tekanan 1 mmHg
: 76,10C (The merck index, 1976)
Secara sintesis sinamaldehid dihasilkan dari reaksi kondensasi aldol antara
benzaldehida dengan asetaldehida dilanjutkan dehidrasi secara spontan(cross aldol
condensation). Dalam suasana basa, hidrogen α diabstaksi oleh nukleofil sehingga
terjadi pusat nukleofil pada pusat atom C α pada aldehida yang segera menyerang
gugus karbonil dari benzaldehid menghasilkan alkohol yang segera mengalami
dehidrasi menghasilkan diena terkonjugasi menghasilkan sinamaldehid seperti pada
gambar 2.4 berikut ini:
O
C
OH
O
H
CH3
OH-
C
O
CH2
C
C
H
H
benzaldehida
asetaldehida
-H2O
O
CH
CH
C
H
Sinamaldehida
Gambar 2.4. Reaksi kondensasi aldol silang pada sintesa sinamaldehida
( Fessenden dan Fessenden, 1983)
Universitas Sumatera Utara
Sinamaldehida merupakan larutan berwarna dan berbau minyak serta memilki
titik didih 252oC. Dapat bereaksi dengan karbon yang memiliki ikatan rangkap dan
gugus CHO. Adapun reaksi-reaksi sinamaldehida dengan senyawa lain seperti gambar
2.5 berikut ini:
1. Reaksi dengan larutan bromide akan menghasilkan sinamaldehida dibromida.
Adapun reaksi sinamaldehida dengan larutan bromida seperti gambar dibawah ini:
O
C6H5
CH
CH
C
O
+
Br
Br
C6H5
H
CH
CH
Br
Br
C
H
2. Reaksi dengan oksidator kuat seperti KMnO4 akan memutus ikatan C=C menjadi
asam benzoat. Adapun reaksi sinamaldehida denga oksidator kuat seperti gambar
dibawah ini:
C6H5CH=CHCHO + 2 [O]
KMnO4
H+
C6H5COOH
Asam Benzoat
3. Jika direduksi dengan litium aluminium hidrate, LiAlH 4 akan membentuk sinamil
alkohol. Adapun reaksi reduksi sinamaldehida dengan litium aluminium hidrate
seperti gambar dibawah ini:
C6H5CH=CHCHO + 2 [H]
LiAlH4
C6H5CH=CHCH2OH
Gambar 2.5. Reaksi Sinamaldehida dengan Beberepa Senyawa: Larutan
Bromida, KmnO4, dan LiAlH4 (Bahl.A, 2004)
2.3.Etilendiamin
Etilendiamin (1,2- diamino etana) dibuat dari etilen diklorida dan amonia, sifatnya
adalah tidak berwarna, jernih, mempunyai bau amonia, densitasnya 0,898 g/cm -3 , titik
didihnya 116-117°C, sedikit larut dalam eter, tidak larut dalam benzena, bersifat
sangat basa sehingga mudah mengadsorbsi CO 2 dari udaramembentuk karbonat yang
tak mudah menguap. Etilendiamina digunakan sebagai pelarut untuk kasein, albumin
dan sulfur, juga digunakan sebagai emulsifier,penstabil lateks serta sebagai
penghambat/ inhibitor dalam larutan anti beku.
Universitas Sumatera Utara
Adapun struktur dari etilendiamin seperti gambar 2.6 berikut ini:
H2N
H
H
C
C
H
H
NH2
Gambar 2.6. Struktur Kimia Etilendiamin ( Anonimous,1976)
Etilendiamina merupakan poliamina primer yang larut dalam air dan sangat
higroskopis. Etilendiamina harus dilindungi dari kelembaban atmosfer dan CO 2
selama pemurniandan pemakaianya karena akan menyebabkan banyak kesalahan
dalam hasil yang diperoleh.Etilendiamina anhidrat dapat dimurnikan untuk
menghilangkan air dan CO2 dengan pengadukan amin tersebut dengan NaOH ataupun
KOH pelet selama beberapa jam, kemudian airnya didestilasi. Jumlah air dapat
dikurangi dengan menambahkan suatu bahan pengering berupa molekular sieves
maupun alumina.Air yang diperoleh dapat dipindahkan dengan destilasi azeotrop.
Etilendiamina dan air membentuk azeotrop yang negatif yang mempunyai titik didih
2°C diatas amin . Etilendiamina sebagai salah satu golongan kimia,merupakan
antihistamin tertua yang bermanfaat dengan efek samping depresan sistem saraf pusat
dan gastrointestinal yang kejadiannya relatif tinggi(Roberts, 1982).
2.4.Fenilhidrazin
Fenilhidrazin (C6 H8N2) mempunyai berat molekul 108, terdapat sebagai kristal
kuning hingga coklat pucat atau sebagai cairan berminyak kekuningan, dengan berat
jenis 1,1848 g/mL, titik beku 19,6 0C, titik didih 243,4 0C, dan tekanan uap 133 Pa
pada 720C. larut dalam air (rentang nilai 145-837 g/L pada 24 0C) dan dapat
bercampur dengan alkohol, eter, kloroform, benzene, dan aseton. Fenilhidrazin
diproduksi secara komersil dengan diazosiasi dari aniline yang diikuti reduksi
senyawa azo.Adapun struktur dari fenilhidrazi seperti gambar 2.7 berikut ini:
NH
NH2
Gambar 2.7. Struktur kimia Fenilhidrazin (The merck index, 1976)
Universitas Sumatera Utara
Fenilhidrazin digunakan secara luas terutama sebagai senyawa kimia
intermediet dalam farmakologi, agrokimia, dan kimia industri. Fenilhidrazin
menyerap dengan kuat sinar ultraviolet dalam rentang yang signifikan dilingkungan
kemungkinan akan berubah warna jika terkena cahaya matahari, lambat terjadi
penguraian warna dalam difusi siang hari tanpa adanya oksigen. Adanya oksigen
menyebabkan fenilhidrazin mengalami autoksidasi, reaksi dipercepat oleh cahaya dan
panas, substansi akan menjadi coklat kemerahan pada udara terbuka sebagai hasil dari
autoksidasi ini (WHO, 2000).
2.5.Basa Schiff
Suatu senyawa yang mengandung gugus azomethin (-CH=N-) dinamakan sebagai
basa Schiff. Senyawa ini biasanya dibentuk oleh reaksi kondensasi antara suatu
senyawa amina primer dengan suatu senyawa karbonil (Bell et al, 1963). Amina
primer dapat menjadi inhibitor lebih efektif apabila panjang rantainya bertambah,
namun kebalikan bagi merkaptan alifatik primer dan beberapa aldehida justru
efisiensinya menurun apabila panjang rantai bertambah (Widharto, 2004). Basa Schiff
dalam penggunaannya sangat efektif sebagai inhibitor korosi yang dimana memiliki
kemampuan secara spontan membentuk suatu lapisan untuk melindungi suatu bahan
atau material tersebut dari ramah lingkungan (Li et al, 1999). Selain sebagai anti
korosi, basa Schiff juga memiliki kegunaan lain. Ligan basa Schiff yang mengandung
atom pendonor (seperti N,O,S dan lainnya) menunjukkan aktivitas biologi yang baru
sebagai anti jamur, antiviral, anti kanker, antimikroba, dan sebagai agen antibakteri
(Gwaram , 2012).
Contoh reaksi pembentukan Basa Schiff yaitu pembuatanN-(1,1-dimetil etil)2-metil propilimina seperti pada gambar 2.8 berikut ini:
CH3
H
CH
H3C
C
O
CH3
CH3
+ H2N
C
CH3
CH3
CH
H3C
N
C
H
CH3 +
C
CH3
H2O
Air
CH3
2-metil-propanal
1,1-dimetil-etilamin
N-(1,1-dimetil etil)-2-metil propilimina
Gambar 2.8. Reaksi pembentukan N-(1,1-dimetil etil)-2-metil propilimina
(Vogel, 1989).
Universitas Sumatera Utara
Basa Schiff pertama kali dikenalkan oleh bernema Hugo Schiff pada tahun
1864 dimana dengan melakukan kondensasi amina primer dengan senyawa karbonil
(Cimerman et al, 2000). Pada umumnya basa Schiff dari turunan aldehida disebut
dengan aldimina dan turunan keton disebut dengan ketimina (Robert, 1982).
Senyawa yang mengandung gugus NH2 seperti amina primer dapat
direaksikan dengan aldehida atau keton, akan tetapi hasil adisinya tidak stabil dan
mengalami eliminasi air. Salah satu dari reaksi basa Schiff tersebut yaitu reaksi antara
kondensasi aniline dengan benzaldehida menghasilkan benzilideneaniline seperti pada
gambar 2.9 berikut ini:
H
H
NH2 + O = C
Aniline
Benzaldehida
+ H2O
N=C
Benzilideneaniline
Gambar 2.9. Reaksi Pembentukan Benzilideneaniline (Bahl.A, 2004)
Senyawa kompleks dapat dibentuk dari basa Schiff dengan logam-logam
seperti kobalt, nikel, dan tembaga yang sudah diketahui sebagai pembawa oksigen
(Calvin et al, 1946). Meskipun belum ada senyawa logam tersebut yang telah diuji
untuk aktivitas anti tumor tetapi dari beberapa senyawa tersebut kemungkinan
memiliki kemampuan sebagai pembawa oksigen. Metode yang diterapkan untuk
sintesis basa Schiff dari senyawa logam berdasarkan besarnya nilai dari senyawa
tersebut dan dasar struktur yang sama tetapi dengan perbedaan kelarutan dalam air dan
pelaut-pelarut lain merupakan faktor penting dalam penjelasan penggunaan obatobatan. Banyak aldehida bereaksi dengan berbagi jenis dari amina untuk
menghasilkan imin yang sering diubah menjadi basa Schiff seperti pada gambar 2.10
reaksi sintesis basa schiff dengan turunan logam kobalt.
Universitas Sumatera Utara
O H
O H
CHO + RNH
2
CH
NR
+ H2 O
2+
Co
R
HC
O
N
Co
O
N
+ 2 H+
CH
R
Gambar 2.10.Reaksi sintesis basa schiff dengan turunan logam kobalt
(Ernest.M.et al, 1964)
Basa Schiff memiliki kestabilan yang rendah yang menyebabkan basa Schiff
mudah mengalami hidrolisis asam dan telah digunakan sebagai proteksi terhadap
gugus amina. Turunan basa Schiff dapat diperoleh dari reaksi filmkitosan dengan
aldeid alifatik, bukan saja yang linier asetaldehida ke dekanal juga yangbercabang dan
aldehida aromatik.
Aldimin kitosan disebut juga sebagai basa Schiff kitosan. Aldimin kitosan
merupakan aldehida dengan kitosan, dimana aldehida akan terikat pada gugus asam
yang akan membentuk suatu gugus imina (C=N) yang merupakan ciri khas
terbentuknya aldimin. Salah satu contoh pembentukan basa schiff dari kitosan seperti
pada gambar 2.11 berikut ini:
O
CH2OH
O
O
+ n
HO
NH2
CH2OH
CH3COOH
O
O
+ n H2O
HO
O
N
n
Kitosan
CH
O
CH
n
Basa Schiff Kitosan (Aldimin kitosan)
Gambar 2.11. Reaksi pembentukan Basa Schiff dari kitosan(Zoubi,2011)
Universitas Sumatera Utara
Spektrum absorpsi dalam daerah-daerah ultra violet dan tampak umumnya
terdiri dari satu atau beberapa pita absorpsi yang lebar. Semua molekul dapat
menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis, oleh karena mereka mengandung
elektronbaik yang dipakai bersama maupun tidak yang dapat dieksitasi ketingkat
energi yang paling tinggi. Panjang gelombang pada waktu absorpsi terjadi tergantung
pada bagaimana erat elektron terikat didalam molekul.
Elektron dalam ikatan rangkap dua atau tiga cukup mudah terekstasi ke orbital
phi lebih tinggi. Suatu transisi ditandai dengan
* apabila satu phi elektron
dinaikkan dari orbital phi bonding ke orbital phi anti-bonding. Absorpsi energi dalam
transisi demikian biasanya lebih kuat daripada transisi -*. Dalam molekul
terkonjugasi (yaitu mengandung sederatan ikatan rangkap berselang-seling) absorpsi
tergeser ke panjang gelombang lebih panjang. Pergeseran ke panjang gelombang yang
lebih panjang mencerminkan kenyataan bahwa elektron dalam suatu sistem
berkonjugasi adalah kurang erat terikat daripada dalam satu ikatan yang tidak
berkonjugasi. Telah diketahui bahwa transisi -* dalam molekul-molekul yang
mengandung gugus tak jenuh adalah sama dengan tidak mengindahkan atom-atom
yang menyusun ikatan rangkapnya. Dalam sintesa basa Schiff dengan terbentuknya
ikatan imina (C=N) akan terjadi pergeseran panjang gelombang seperti yang telah
dilakukan Azzouz and R.T.Ali (2010) dimana terjadi pertambahan panjang gelombang
dari 247 nm menjadi 327 nm untuk basa schiff.
Spektrum inframerah menunjukkan nilai informasi mengenai gugus fungsi
yang terikat pada logam. Spekta inframerah dapat direkam dari sampel berupa cairan,
padatan, atau gas. Untuk merekam spektra, sampel ditempatkan pada sel sesuai
dengan ruang spektrofotometer. Spectrum inframerah untuk basa Schiff dapat
ditunjukkan pada ilustrasinya mengikuti panjang gelombang berikut.
Kekuatan
intensitas yang kuat ke lemah bertugas untuk ikatan rangkap karbon dan nitrogen C=N
dengan frekuensi stretching antara 1689-1471 cm-1 , intensitas suatu ikatan kuat dan
sedang tergantung dari gugus karbonil didalam basa Schiff yang mempunyai frekuensi
antara 1735-1750 cm-1 dan uluran C-H streching pada pita gelombang antara 28003000 cm-1 serta dukungan luas daerah stretching dengan range panjang gelombang
antara 3385-3355 cm-1(Silverstein, 1984).
Universitas Sumatera Utara
2.6. Logam Seng
Seng (Zink) adalah logam yang cukup mudah ditempah dan diliat pada suhu 110150oC. Seng melebur pada suhu 410 oC dan mendidih pada suhu 906 oC. Logamnnya
murni, melarut lambat sekali dalam asam dan alkali (Vogel, 1985). Seng digunakan
sebagai pelapis besi untuk mencegah terjadinya proses korosi. Proses pelapisan besi
dikenal dengan proses galvanisasi dan dilakukan berdasarkan sifat elektokimia proses
yang bersangkutan. Pelapisan ini mempunyai keuntungan bahwa logam seng akan
teroksidasi terlebih dahulu sekalipun lapisan seng sudah terkoyak, sehingga besinya
nampak keluar. Hal ini sebagai konsekuensi dari nilai potensial reduksi seng yang
negatif
daripada
besi,
sehingga
seng
bertindak
sebagai
anoda
yang
terkorbankan.(Sugiyarto dan Suyanti, 2008)
Proteksi terhadap logam besi juga berhubungan dengan efek anode dimana
seng membentuk lapisan pada logam besi. Penggunaan lainnya pada seng termasuk
pelapisan pada logam kuningan dan sebagai anoda pada bagian asam kering (Mahan,
1987).Seng jika dipanaskan dalam gas klorin secara perlahan-lahan akan
menghasilakan ZnCl2 . Sumber utama logam seng adalah bijih seng sulfide. ZnS,
namun cara memperoleh logam ini tidaklah mudah dimana menggunakan
pemanggangan pada suhu 800 oC kemudian mereduksi oksidasinya dengan kokas
berlebih pada suhu 1400 oC.
Reaksi pembuatan Zink murni seperti gambar 2.11 berikut ini:
ZnS(s) + 3O2
2ZnO(s) + 2SO2(g)
ZnO(s) + C(s)
Zn(l)
+ CO(g)
Gambar 2.12. Gambar reaksi pembentukan zink murni(Atkins, 1989)
Secara komersial serbuk seng memiliki kemurnian 90% dan penambahan asam
untuk menghilangkan oksida dipermukaan yang mengurangi keaktifannya. Seng ini
diaktifkan dengan pengadukan dengan asam klorida selama 2 menit, disaring dan
dicuci dengan air dan diikuti dengan aseton (Vogel, 1989).
Universitas Sumatera Utara
2.7.Korosi
Korosi merupakan penurunan kualitas yang disebabkan oleh reaksi kimia bahan logam
dengan unsur-unsur lain yang terdapat di alam (Fajar, 2013). Terkorosinya suatu
logam dalam lingkungan elektrolit (air) adalah proses elektrokimia. Proses ini terjadi
bila ada reaksi setengah sel yang melepaskan elektron dan reaksi setengah yang
menerima elektron tersebut. Kedua reaksi ini akan terus berlangsung sampai terjadi
kesetimbangan dinamis dimana jumlahh elektron yang dilepas sama dengan jumlah
olektron yang diterima (Siti, 2008).
Adapun syarat-syarat proses ini dapat terjadi :
a) Anoda
Anoda biasanya terkorosi dengan melepaskan elektron-elektron dari atomatom logam netral untuk membentuk ion-ion yang bersangkutan. Ion-ion ini mungkin
tetap tinggal dalam larutan atau bereaksi membentuk hasil korosi yang tidak larut.
b) Katoda
Katoda biasanya tidak mengalami korosi, walaupun mungkin menderita
kerusakan dalam kondisi-kondisi tertentu. Reaksi yang terjadi pada katoda berupa
reaksi reduksi.
c) Elektrolit
Elektrolit adalah larutan yang mempunyai sifat menghantarkan listrik.
Elektrolit dapat berupa larutan asam, basa dan larutan garam. Larutan elektrolit
mempunyai peranan penting dalam korosi logam karena larutan ini dapat menjadikan
kontak listrik antara anoda dan katoda.
d) Anoda dan Katoda harus terhubung secara elektris
Antara anoda dan katoda harus ada hubungan listrik agar arus dalam sel korosi
dapat mengalir. Hubungan secara fisik tidak diperlukan jika anoda dan katoda
merupakan bagian dari logam yang sama (Uhlig, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa jenis korosi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yaitu: korosi
seragam, korosi galvanik, korosi erosi, korosi celah, korosi sumuran, korosi batas
retak pengaruh lingkungan butir, korosi batas butir, dealloying, hydrogen damage
(Jones, 1991). Umumnya problem korosi disebabkan oleh air, tetapi ada beberapa
faktor selain air yang mempengaruhi laju korosi, diantaranya:
1. Faktor Gas Terlarut.
 Oksigen (O2), adanya oksigen yang terlarut akan menyebabkan korosi pada metal
seperti laju korosi pada mild stell alloys akan bertambah dengan meningkatnya
kandungan oksigen. Reaksi korosi secara umum pada besi karena adanya kelarutan
oksigen adalah seperti gambar 2.12 berikut ini:
Reaksi anoda :
Fe
Fe2+ + 2e
Reaksi katoda : O2 + 2H2O + 4e
4OH-
Gambar 2.13. Reaksi korosi pada besi(Fajar, 2013)
 Karbondioksida (CO2), jika karbondioksida dilarutkan dalam air maka akan
terbentuk asam karbonat (H2CO3) yang dapat menurunkan pH air dan meningkatkan
korosifitas, biasanya bentuk korosinya berupa pitting.
2. Faktor Temperatur
Penambahan temperatur umumnya menambah laju korosi walaupun kenyataannya
kelarutan oksigen berkurang dengan meningkatnya temperatur. Apabila metal pada
temperatur yang tidak uniform, maka akan besar kemungkinan terbentuk korosi.
3. Faktor pH
pH netral adalah 7, sedangkan pH< 7 bersifat asam dan korosif, sedangkan untuk pH
> 7 bersifat basa juga korosif. Tetapi untuk besi, laju korosi rendah pada pH antara 7
sampai 13. Laju korosi akan meningkat pada pH < 7 dan pada pH > 13.
Universitas Sumatera Utara
4. Faktor Bakteri Pereduksi atau Sulfat
Reducing Bacteria (SRB) Adanya bakteri pereduksi sulfat akan mereduksi ion sulfat
menjadi gas H2S, yang mana jika gas tersebut kontak dengan besi akan menyebabkan
terjadinya korosi.
5. Faktor Padatan Terlarut
 Klorida (Cl-), klorida menyerang lapisan mild steel dan lapisan stainless steel.
Padatan ini menyebabkan terjadinya pitting, crevice corrosion, dan juga
menyebabkan pecahnya alooys.
 Karbonat (CO32-), kalsium karbonat sering digunakan sebagai pengontrol korosi
dimana film karbonat
diendapkan sebagai lapisan pelindung permukaan metal, tetapi dalam produksi
minyak hal ini cenderung menimbulkan masalah scale.
 Sulfat (SO4 2-), ion sulafat ini biasanya terdapat dalam minyak. Dalam air, ion sulfat
juga ditemukan dalam konsentrasi yang cukup tinggi dan bersifat kontaminan, dan
oleh bakteri SRB sulfat diubah menjadi sulfide yang korosif (Fajar, 2013)
2.8. Dampak Korosi
Korosi yang terjadi pada logam tidak dapat dihindari, tetapi hanya dapat dicegah dan
dikendalikan sehingga struktur atau komponen mempunyai masa pakai yang lebih
lama. Setiap komponen atau strukturmengalami tiga tahapan utama yaitu
perancangan, pembuatan dan pemakaian. Ketidakberhasilan salah satu aspek seperti
korosi menyebabkan komponen akan mengalami kegagalan. Kerugian yang akan
dialami dengan adanya korosi meliputi finansial dan safety, diantaranya :
1. Penurunan kekuatan material
2. Penipisan
3. Downtime dari equipment
4. Retak & Pitting
5. Kebocoran fluida
6. Embrittlement
6. Penurunan sifat permukaan material
7. Penurunan nilai / hasil produksi dan
8. Modification (Fajar, 2013).
Universitas Sumatera Utara
2.9.Inhibitor korosi
Inhibitor korosi adalah senyawa kimia yang dapat mencegah atau memperlambat
proses korosi. Sejauh ini, penggunaan inhibitor merupakan salah satu cara yang paling
efektif untuk mencegah korosi, Karena biayanya relative murah dan prosesnya yang
sederhana (Indocor, 2011). Basa Schiff dapat bertindak sebagai inhibitor korosi karena
memiliki pasangan elektron bebas, dimana pasangan electron bebas ini akan
mendonorkan electron elektronnya pada permukaan logam tersebut. Ini menyebabkan
molekul air dan ion agresif seperti Cl menjauh dari permukaan logam (Umoren et al,
2011).
Beberapa cara kerja dapat dibedakan melaui gambar berikut:
H
N
C
H
a.
H
N
C
H
L ogam
b.
c.
C
H
N
N
Fe
Fe
N
N
C
H
Fe
Fe
Fe
C
H
Logam
C
H
Fe
L ogam
Gambar 2.14. Beberapa Cara Kerja Inhibitor pada Logam
a. Adanya protonasi atom nitrogen dari gugus -HC=N- akan menyebabkan molekul
inhibitor bermuatan positif. Permukaan logam bermuatan negatif dalam larutan
asam sulfat. Pada saat ini akan terjadinya interaksi antara molekul inhibitor yang
bermuatan positif dengan permukaan logam yang bermuatan negatif.
b. Elektron bebas pada atom nitrogen akan berinteraksi dengan permukaan logam
c. Orientasi datar dari seluruh molekul dengan adanya ketertarikan dari permukaan
logam yang menyebabkan interaksi elektron pi dari cincin aromatik seperti gugus
-CH=N- dengan permukaan logam
Universitas Sumatera Utara
Dimana inhibitor korosi bekerja dengan cara membentuk lapisan pelindung pada
permukaan logam (Halimatuddahliana, 2003). Secara umum terdapat beberapa jenis
inhibitor, yaitu
1.
Inhibitor Anodik
Inhibitor Anodik adalah inhibitor yang menurunkan laju reaksi di aniodik dengan
cara meningkatkan polarisasi anoda melalui reaksi dengan ion-ion logam untuk
menghasilkan selaput-selaput pasif tipis berupa lapisan-lapisan garam yang
kemudian menyelimuti permukaan logam.
2. Inhibitor Kationik
Inhibitor Kationik adalah inhibitor yang berpengaruh terhadap reaksi di katoda.
Pembentukan hydrogen di katoda akan dikendalikan melalui peningkatan
polarisasi sistem. Garam-garam logam seperti arsen, bismuth, dan antimon
ditambahkan untuk membentuk selaput tipis hidrogen yang teradsorpsi pada
permukaan katoda.
3. Inhibitor Adsorpsi
Inhibitor Adsorpsi adalah inhibitor dimana molekul-molekul organik rantai
panjang dengan rantai samping teradsorpsi dan terdesorpsi dari permukaan logam.
Molekul-molekul berukuran besar ini dapat membatasi difusi O 2 ke permukaan
logam atau menangksp ion-ion logam pada permukaan serta memantapkan
lapisan ganda dan mereduksi laju pelarutan.
4. Inhibitor Amina
Inhibitor Amina adalah inhibitor dari suatu senyawa organik yang mengandung
nitrogen trivalen yang terikat pada suatu atom karbon atau lebih seperti RNH2,
R2NH, dan R3N. amina dapat digolongkan dalam tiga jenis yaitu amina primer,
amina sekunder, dan amina tersier. Penggolongan ini berdasarkan banyaknya
subsituen alkil pada aril yang terikat pada atom nitrogen (Ulmann, 1985).
Efisiensi amina organik sebagai unsur penghambat pengkaratan meningkat
apabila terdapat ion halogen. Ion halogen dapat bertindak menghambat
pengkaratan hingga tingkat tertentu pada larutan asam dimana ion iodide (I-)
merupakan unsure penghambat yang paling efektif, kemudian disusul oleh
bromide (Br-) dan klorida (Cl-). Ion fluoride tidak memiliki sifat penghambatan
pengkaratan yang berarti (Widharto, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.10. Teknik Penentuan Efisiensi Inhibitor
Ada beberapa cara untuk menguji atau mengevaluasi efisinsi suatu inhibitor adalah
dengan teknik kehilangan berat, teknik gasometrik, teknik elektrokimia, spektroskopi
impedansi, dan pengukuraan polarisasi.
1. Teknik kehilangan berat
Untuk pengukuran kehilangan berat, persentasi efisiensi inhibitor dapat
dihitung dengan variasi konsentrasi inhibitor menggunakan rumus berikut ini:
EI(%) =
W0-W1
x 100%
W0
Dimana:
EI
= efisiensi inhibitor
Wo
= berat kehilangan tanpa inhibitor
W1
= berat kehilangan menggunakan inhibitor
2. Teknik gasometri
Untuk penetuan efisiensi inhibitor dengan teknik ini didasarkan pada volume
gas hidrogen yang dibebaskan, dimana dihitung dengan cara berikut ini:
EI(%) =
Vb-V1
Vb
x100%
Dimana :
Vb
= volume gas yang bertambah didalam tidak adanya inhibitor
V1
= volume gas yang bertambah dengan adanya inhibitor
3. Teknik elektrokimia
Pengukuran efisiensi inhibitor dengan teknik ini menggunakan suatu anoda
dan katoda pada permukaan logam dimana pengaruh inhibitor akan mereduksi
arus.
Universitas Sumatera Utara
4. Spektroskopi Impedansi elektrokimia
Pada teknik ini dilakukan dengan bantuan komputer dengan mengukur
perpindahan muatan resistansi pada logam dimana efisiensi inhibitor dapat
dihitung dengan persamaan berikut ini:
EI(%) =
Rt(inh)-Rt(blank)
Rt(inh)
x 100%
Dimana :
Rt(inh)
= perpindahan muatan resistansi dengan adanya inhibitor
Rt(blank)
= perpindahan muatan resistansi tanpa adanya inhibitor
(Chitra et al, 2010)
Universitas Sumatera Utara
Download