analisis pengaruh dpk, sbdk dan suku bunga kredit

advertisement
ANALISIS PENGARUH DPK, SBDK DAN SUKU
BUNGA KREDIT TERHADAP KREDIT
KONSUMTIF DI INDONESIA
(Studi Kasus Bank Umum Di Indonesia Periode Oktober 2011
s/d Maret 2014)
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Rizka Amalia Ramadhani
105020100111070
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
Analisis Pengaruh DPK, SBDK dan Suku Bunga Kredit Terhadap Kredit
Konsumtif di Indonesia
(Studi Kasus Bank Umum di Indonesia Periode Oktober 2011 s/d Maret 2014)
Rizka Amalia Ramadhani
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Email: [email protected]
ABSTRAK
Kredit konsumtif merupakan kredit yang diberikan kepada nasabah untuk keperluan konsumsi.
Adanya kredit konsumtif diharapkan mampu meringankan beban dalam memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kredit konsumtif memiliki peran penting dalam
perekonomian Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh faktor-faktor seperti DPK, SBDK, dan suku bunga kredit terhadap kredit konsumtif
dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
dengan metode ECM. Hasil dari penelitian ini, yaitu DPK memiliki pengaruh positif signifikan
terhadap kredit konsumtif dalam jangka panjang namun tidak signifikan dalam jangka pendek.
Sedangkan SBDK dan suku bunga kredit memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap kredit
konsumtif dalam jangka pendek namun tidak signifikan dalam jangka panjang.
Kata kunci: Kredit Konsumtif, DPK, SBDK, Suku Bunga Kredit, ECM
A. PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi suatu negara bergantung pada perkembangan dan kontribusi dari
sektor perbankan. Pasal 1 Undang-Undang No. 10 tahun 1998 menyatakan bahwa bank merupakan
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak. Dari berbagai sumber dana yang berhasil dihimpun
oleh bank, kemudian bank akan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat sebagian
besar dalam bentuk kredit. Kegiatan pemberian kredit merupakan kegiatan utama dari suatu bank
karena kredit mempunyai peranan sebagai tulang punggung kegiatan perbankan. Kegiatan kredit
berperan penting dalam dunia usaha. Dunia usaha dan lembaga keuangan bank memiliki
keterkaitan yang sangat kuat karena memiliki hubungan investasi dan kredit yang tidak dapat
dilepaskan. Pihak bank akan menyalurkan kredit yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan terus
mengembangkan kompetensi yang lain di bidang kredit untuk menggalang pertumbuhan kredit
yang berkesinambungan.
Pertumbuhan kredit di Indonesia menunjukkan hasil yang positif selama tahun 2010 sampai 2012,
artinya pertumbuhan kredit mengalami peningkatan dan masih memberikan pengaruh baik
terhadap perekonomian yang masih dalam konteks fungsi intermediasi perbankan. Hal ini
menunjukkan peningkatan penyaluran kredit di tahun 2011 lebih tinggi dibandingkan penyaluran
kredit di tahun 2010. Namun, selama tahun 2012, penyaluran kredit relatif lebih rendah
dibandingkan tahun 2011 atau mengalami penurunan. Total penyaluran kredit perbankan pada
tahun 2012 mencapai 23,1% atau sebesar Rp 507,8 triliun sedangkan pada tahun 2011 penyaluran
kredit turun menjadi 24,6% atau sebesar Rp 434,3 triliun. Hal ini disebabkan karena adanya
penurunan kredit di sektor konsumsi serta penurunan likuiditas perbankan dan adanya proses
revitalisasi kredit yang juga memberikan pengaruh terhadap penurunan penyaluran kredit
perbankan pada tahun 2012 ini. Namun, pada awal tahun 2012, KK mengalami penurunan sebesar
4,1% dimana KK pada tahun 2011 sebesar 24,1% dan KK di tahun 2012 hanya sebesar 20%.
Penurunan KK ini disebabkan adanya kebijakan Loan To Value (LTV) dan Down Payment (DP)
yang mulai efektif sejak Juni 2012. LTV merupakan rasio antara nilai kredit yang diberikan oleh
bank terhadap nilai agunan pada saat awal pemberian kredit. Kebijakan ini dilakukan untuk
menekan aksi spekulasi KPR seperti kredit rumah, apartemen dan tanah. LTV ditetapkan maksimal
sebesar 80% untuk kredit rumah dan 70% untuk kredit apartemen dan tanah. Sedangkan DP
merupakan rasio antara nilai kredit yang diberikan oleh bank terhadap nilai kendaraan bermotor
pada saat awal pemberian kredit. DP ditetapkan sebesar 25% dari harga kendaraan bermotor.
Kebijakan LTV dan DP ini dilakukan untuk mengantisipasi dampak dari bubble atau
penggelembungan harga. Oleh karena itu kebijakan ini termasuk dalam kebijakan makro
prudential yang merupakan kebijakan untuk menstabilkan kondisi makro, khususnya pada
spekulasi properti dan kendaraan bermotor yang terlalu tinggi. (Laporan Perekonomian Indonesia
Bank Indonesia, 2012).
Kredit konsumsi memiliki kontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan PDB di Indonesia. Hal ini
membuktikan sebagian besar pendapatan negara diperoleh dari konsumsi masyarakat. Disisi lain,
pertumbuhan kredit konsumsi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah suku
bunga kredit. Suku bunga kredit merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan kredit
konsumsi. Tinggi rendahnya kredit konsumsi ditentukan oleh besar kecilnya suku bunga kredit.
Suku bunga kredit dibentuk berdasarkan rata-rata harga pokok dana untuk kredit, biaya overhead
yang dikeluarkan bank dalam proses pemberian kredit dan premi resiko individual nasabah bank.
Hasil penjumlahan dari rata-rata harga pokok dana dan biaya overhead tanpa adanya premi resiko
individual inilah yang disebut dengan suku bunga dasar kredit (SBDK). SBDK merupakan suku
bunga murni dan paling rendah yang dikeluarkan oleh bank tanpa memperhitungkan resiko dan
laba. Oleh karena itu, didalam penelitian ini SBDK dijadikan salah satu variabel utama karena
penulis ingin mengetahui seberapa besar pengaruh SBDK yang merupakan suku bunga murni ini
terhadap pertumbuhan kredit konsumsi.
Saat ini permintaan akan kredit konsumsi relatif tinggi, terutama untuk jenis kredit perumahan dan
kendaraan bermotor. Kredit konsumsi memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk dapat
memiliki barang-barang yang diinginkan dengan cara mengangsur, terutama bagi masyarakat yang
berpenghasilan menengah. Sehingga banyak kasus perilaku konsumtif tidak didasarkan lagi pada
needed theory, dimana selalu mengutamakan kebutuhan pokok yang memang harus dipenuhi. Pada
kenyataannya, sekarang perilaku konsumtif hanya didasarkan pada rasa keinginan semata, dimana
gengsi yang menjadi pendorong utama perilaku konsumtif tersebut. Sehingga tidak mengejutkan
jika grafik investasi dan saving selalu bergerak turun dari waktu ke waktu. Selain itu, tidak heran
jika kredit konsumsi memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi karena
memang perilaku konsumtif masyarakat Indonesia tinggi.
Disisi lain, kredit konsumsi ini memiliki resiko yang cukup tinggi. Karena besarnya pangsa kredit
konsumsi dapat dikatakan sebagai kredit yang non produktif. Hal ini menyebabkan terjadinya
peningkatan Non Performing Loan (NPL) karena kredit yang disalurkan digunakan untuk
konsumsi secara langsung. Selain itu, peningkatan kredit konsumsi disaat krisis perlu diwaspadai
karena kemungkinan besar hal ini dapat terjadi ditengah-tengah penurunan daya beli akibat
tingginya kebutuhan masyarakat akan konsumsi.
Oleh karena itu peneliti mencoba membahas seberapa besar pengaruh dana pihak ketiga, suku
bunga dasar kredit, dan suku bunga kredit terhadap kredit konsumtif sehingga peneliti memberi
judul penelitian ini “Analisis Pengaruh Dana Pihak Ketiga, Suku Bunga Dasar Kredit, dan Suku
Bunga Kredit terhadap Kredit Konsumtif di Indonesia (Studi Kasus: Bank Umum di Indonesia
Periode Oktober 2011 – Agustus 2014)”.
B. KAJIAN PUSTAKA
Gambaran Umum Kredit Konsumtif
Kredit konsumsi menurut Laporan Bank Umum (LBU) adalah pemberian kredit untuk keperluan
konsumsi dengan cara membeli, menyewa atau dengan cara lain. Misalnya: Kredit Kendaraan
Bermotor (KKB), Kredit Multiguna, Kredit Pegawai dan Pensiunan, Kredit Pemilikan Rumah
(KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA). Menurut Kasmir (2008), kredit konsumtif
merupakan kredit yang diberikan kepada debitur untuk keperluan konsumsi seperti kredit profesi,
kredit perumahan, kredit kendaraan bermotor, pembelian alat-alat rumah tangga, dan lain
sebagainya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Wahmuji, 2008), kredit konsumtif adalah kredit untuk
pembelian barang yang langsung memenuhi kebutuhan hidup. Dapat dikatakan kredit konsumtif
merupakan kredit yang digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi. Dalam kredit ini tidak dapat
menghasilkan barang dan jasa, karena memang untuk digunakan atau dipakai oleh seseorang atau
badan usaha. Sebagai contoh kredit untuk perumahan kerdit dan mobil pribadi, kredit perabotan
rumah tangga dan kredit konsumtif lainnya.
Secara umum, fungsi kredit itu sendiri adalah menyalurkan dana yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Untuk itu fungsi kredit dalam kehidupan perekonomian adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
Kredit
dapat
meningkatkan
daya
guna
dari
modal
Artinya bahwa para pedagang kecil dapat menikmati kredit bank melalui lembaga keuangan
untuk memperluas dan mengembangkan usahanya serta memiliki kesempatan untuk berusaha.
Kredit
dapat
meningkatkan
daya
guna
suatu
barang
Artinya dengan bantuan kredit, para pedagang kecil dapat memproduksi bahan mentah
menjadi bahan jadi, sehingga meningkatkan daya guna dari bahan tersebut.
Kredit sebagai alat stabilitas ekonomi. Artinya, dalam menghadapi keadaan perekonomian
yang kurang sehat, kredit dapat digunakan sebagai alat stabilitas ekonomi misalnya dalam
usaha pengendalian inflasi, peningkatan ekspor serta pemenuhan kebutuhan pokok rakyat.
Kredit sebagai jembatan untuk meningkatkan pendapatan nasional. Artinya, bantuan kredit
digunakan para usahawan untuk memperbesar volume usaha produksinya. Peningkatan usaha
nantinya diharapkan akan meningkatkan profit. Bila keuntungan secara kumulatif
dikembangkan lagi dalam arti kata dikembalikan ke dalam struktur permodalan, maka
peningkatan akan berlangsung terus menerus dan akibatnya pendapatan terus meningkat.
(Sinungan, 1989:9)
Pengaruh Dana Pihak Ketiga Terhadap Kredit Konsumtif
Dana-dana yang dihimpun dari masyarakat (dana pihak ketiga) merupakan sumber dana yang
paling diandalkan oleh bank (Dendawijaya, 2003). Terutama dalam hal penyaluran kredit
konsumsi. Sehingga besarnya penyaluran kredit konsumsi dengan dana pihak ketiga memiliki
hubungan positif, dimana semakin besar jumlah dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh
bank, maka akan meningkatkan kemampuan serta peranan bank dalam menyalurkan dana kredit
konsumsi tersebut. Disisi lain, suku bunga mempunyai pengaruh besar terhadap tinggi rendahnya
dana pihak ketiga. Semakin tinggi suku bunga maka dana pihak ketiga di bank akan banyak, begitu
pula sebaliknya apabila suku bunga rendah maka dana pihak ketiga di bank pun sedikit.
Pengaruh Suku Bunga Dasar Kredit dan Suku Bunga Kredit Terhadap Kredit Konsumtif
Suku bunga dasar kredit pada dasarnya merupakan suku bunga terendah yang digunakan sebagai
dasar bagi bank dalam penentuan suku bunga kredit dan terdiri atas tiga komponen, yakni rata-rata
harga pokok dana untuk kredit, biaya overhead yang dikeluarkan bank dalam proses pemberian
kredit, serta margin keuntungan yang ditetapkan bank untuk aktivitas perkreditan namun belum
memperhitungkan komponen premi risiko individual nasabah bank. SBDK belum
memperhitungkan komponen premi resiko yang besarnya tergantung dari penilaian bank terhadap
resiko masing-masing debitur. Dengan demikian, besarnya suku bunga kredit yang dikenakan
kepada debitur belum tentu sama dengan SBDK. Suku bunga yang dibebankan pada debitur
(lending rate) adalah penjumlahan dari SBDK ditambah dengan premi risiko. Adapun premi risiko
merupakan penilaian bank terhadap prospek pelunasan kredit oleh calon debitur yang antara lain
mempertimbangkan kondisi keuangan debitur, jangka waktu kredit dan prospek usaha yang
dibiayai.
Boediono (2001:75) mengatakan bahwa tingkat bunga adalah sebagai harga dari penggunaan uang
untuk jangka waktu tertentu. Berikut ini adalah beberapa teori mengenai tingkat suku bunga,
antara lain:
a. Teori Klasik, bunga harga dari penggunaan loanable fund. terjemahan langsung dari istilah
tersebut adalah dana yang tersedia untuk dipinjamkan. Dalam satu periode, ada anggota
masyarakaat yang menerima pendapatan apa yang mereka perlukan untuk kebutuhan
komsumsinya salama periode tersebut, mereka ini merupakan kelompok penabung, jumlah
seluruh simpanan mereka membentuk suplai atau penawaran akan loanable fund. Apa bila
tingkat suku bunga naik, maka penawaran (tabungan) akan naik dan permintaan akan dana
investasi akan turun.
b. Teori Keynessian, dalam teori Keynes tingkat suku bunga ditentukan oleh penawaran atau
permintaan uang. Menurut teori ini ada 3 motif (transaksi, berjaga-jaga dan spekulasi) yang
menjadi sumber timbunya permintaan akan uang yang di beri nama liquide preference, yaitu
bahwa permintaan uang menurut teori Keynes berlandaskan konsep bahwa orang pada
umumnya menginginkan tetap liquide untuk memenuhi 3 motif tersebut
c. Sintesis Klasik dan Keynessian, perbedaan yang nampak mendasar antara jawaban klasik dan
Keynesian mengenai mengapa ada bunga yaitu pada klasik menekankan bahwa bunga timbul
karena adanya uang yang produktif artinya dengan adanya dana di tangan seseorang
pengusaha bisa menambah alat produksinya yang bisa menghasilkan keuntungan yang lebih
tinggi sedangkan menurut Keynesian, uang bisa produktif dengan berspekulasi di pasar modal
dengan kemungkinan memperoleh keuntungan.
Gambar 1
Pengaruh Suku Bunga dan Kuantitas Kredit Terhadap Penawaran Kredit
S2
Suku
Bunga
Kredit
i2
E2
S0
E0
i0
S1
i1
E1
D
Sumber: Agung et al (2001)
Q2
Q0
Q1
Kuantitas
Kredit
Dari gambar 2.1 dapat dilihat bahwa keseimbangan terjadi pada E0 yang berasal dari pertemuan
antara kurva permintaan D dan kurva penawaran kredit (S0). Kurva penawaran kredit (S0)
berslope positif karena berdasarkan teori, semakin tinggi suku bunga, semakin banyak dana yang
ingin dipinjamkan oleh kreditur. Sebaliknya, kurva permintaan kredit berslope negatif karena
berdasarkan teori, semakin rendah suku bunga, maka semakin banyak dana yang ingin dipinjam
oleh debitur. Apabila kurva S0 bergeser ke kanan menjadi S1, maka keseimbangan akan menjadi
E1. Hal ini menunjukkan bahwa penawaran kredit mengalami penurunan ketika suku bunga turun
dari i0 menjadi i1 dan kuantitas kredit bertambah dari Q0 menjadi Q1. Sebaliknya, jika kurva
penawaran kredit bergeser ke kiri menjadi S2, maka keseimbangan menjadi E2. Artinya,
penawaran kredit mengalami kenaikan ketika suku bunga naik dari i0 menjadi i2 dan kuantitas
kredit turun dari Q0 menjadi Q2.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh DPK, SBDK dan suku bunga kredit terhadap kredit
komsumtif dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuaantitatif deskriptif dengan menggunakan metode komparatif dan kuantitatif, yaitu
membandingkan suatu permasalahan dan menganalisis data dan hal-hal yang berhubungan dengan
angka-angka atau rumus-rumus perhitungan yang digunakan untuk menganalisis masalah yang
sedang diteliti.
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian adalah program Eviews v6. Model yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan model ekonometrika dengan spesifikasi model sebagai berikut:
KK = f (DPK, SBDK, SBK)
Dimana:
KK
= Kredit Konsumtif
DPK
= Dana Pihak Ketiga
SBDK = Suku Bunga Dasar Kredit
SBK
= Suku Bunga Kredit
Oleh karena adanya peranan waktu yang membuat pengaruh dari variabel-variabel independen
terhadap variabel dependen berbeda, maka penelitian ini juga menganalisis pengaruh pada kedua
periode waktu tersebut. Dengan demikian, analisis yang dilakukan meliputi analisis kointegrasi
dan Error Correction Model (ECM).
Analisis kointegrasi dilakukan untuk mengetahui adanya keseimbangan yang dicapai dalam jangka
panjang, sedangkan ECM untuk mengoreksi ketidakseimbangan dalam jangka pendek (yang
mungkin terjadi) menuju keseimbangan jangka panjang. Oleh karena analisis ini menggunakan
data runtut waktu, maka uji stasioneritas data harus dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan
bahwa data time series tersebut bersifat stasioner. Apabila data yang nonstasioner tetap
digunakan, maka akan menghasilkan analisis regresi yang lancung. Selain itu, uji stasioneritas juga
mutlak dilakukan untuk memenuhi asumsi dalam analisis selanjutnya, yaitu kointegrasi dan ECM.
Setelah data dipastikan stasioner, baik itu stasioner pada level atau menguji derajat integrasinya,
uji selanjutnya adalah uji kointegrasi. Uji kointegrasi ini akan memastikan apakah model regresi
tersebut terkointegrasi atau tidak. Model yang terkointegrasi akan menunjukan bahwa model
tersebut dalam kondisi keseimbangan dalam jangka panjang.
Setelah uji kointegrasi dilakukan, analisis selanjutnya adalah dengan mengembangkan model
regresi ECM. Analisis ini dilakukan untuk mengoreksi ketidakseimbangan dalam jangka pendek
menuju jangka panjang. Untuk mempermudah dan mengurangi kesalahan secara manual,
pengolahan data dalam analisis ini menggunakan alat bantu software pengolah data Eviews v6
Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan dalam interval waktu secara kontinu
(time series) yang dimulai dari periode Oktober 2011 – Maret 2014. Data diperoleh dari statistik
perbankan Indonesia.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi.Teknik analisis
data meliputi uji stasioneritas data, uji asumsi klasik, uji parsial (uji t-statistik), uji simultan (uji fstatistik), uji R², uji kointegrasi, ECM.
D. HASIL ANALISIS
Uji Normalitas
Uji normalitas Jarque-Bera adalah sebuah uji untuk melihat apakah galat model dari persamaan
regresi yang terbentuk mengikuti sebaran normal atau tidak. Hipotesis yang berlaku untuk uji ini
yaitu :
H0: Galat pada model regresi mengikuti sebaran normal
H1: Galat pada model regresi mengikuti tidak sebaran normal
Hipotesis yang diharapkan adalah menerima hipotesis H0 yaitu galat pada model regresi mengikuti
sebaran normal. Hipotesis H0 diterima apabila nilai signifikansi untuk setiap variabel lebih besar
dari alpha 5%.
Tabel 1 Hasil Pengujian Jarque-Bera
Variabel
Galat Model (e)
Sumber: Data diolah, 2014.
Signifikansi
0,966
Keterangan
Normal
Uji Heterokedastisitas
Pengertian dari asumsi ini adalah bahwa ragam (variance) dari variabel pengganggu adalah sama.
Pengujian heterokedastisitas menggunakan nilai Harvey. Hipotesis pada asumsi ini yaitu :
H0 : Tidak terdapat heterokedastisitas pada variabel bebas
H1 : Terdapat heterokedastisitas pada variabel bebas
Pada regresi linier berganda, yang diharapkan adalah menerima hipotesis H0 yaitu tidak terdapat
heterokedastisitas pada variabel bebas. Hipotesis H0 diterima apabila nilai signifikansi uji Harvey
> dari alpha 5%. Berikut adalah hasil pengujian homoskedastisitas menggunakan Harvey.
Tabel 2 Hasil Pengujian Harvey
Variabel
Galat Model (e)
Sumber: Data diolah, 2014.
Signifikansi
0,1782
Keterangan
Normal
Uji Multikolinieritas
Pengujian multikolinieritas menggunakan nilai Variance Inflation Factor (VIF). Hipotesis pada
asumsi ini yaitu :
H0 : Tidak terdapat multikolinieritas pada variabel bebas
H1 : Terdapat multikolinieritas pada variabel bebas
Pada regresi linier berganda, yang diharapkan adalah menolak hipotesis H0 yaitu tidak terdapat
hubungan linier antar variabel bebas. Hipotesis H0 diterima apabila nilai korelasi < 0,8 begitu pula
sebaliknya, apabila nilai korelasi ebih besar dari 0,8, maka hipotesis H0 ditolak.
Tabel 3 Hasil Pengujian Multikolinieritas
DPK
DPK
1.000000
SBDK
0.470594
SBK
-0.522788
Sumber: Data diolah, 2014.
SBDK
0.470594
1.000000
0.344101
SBK
-0.522788
0.344101
1.000000
Uji Autokorelasi
Asumsi non autokorelasi adalah sebuah pengujian untuk mengetahui apakah dalam model regresi
yang digunakan terbebas dari masalah autokorelasi yaitu gangguan yang berasal dari waktu.
Asumsi ini digunakan karena data yang digunakan pada penelitian ini dilakukan berulang terhadap
waktu. Pengujian asumsi ini menggunakan statistik uji Breush-Godfrey. Hipotesis untuk asumsi ini
yaitu:
H0: Model tidak terdapat autokorelasi
H1: Model terdapat autokorelasi
Hipotesis yang diharapkan dalam model regresi ini yaitu menerima hipotesis H0 yaitu model tidak
terdapat autokorelasi. Hipotesis H0 diterima apabila nilai signifikansi uji Breush-Godfrey lebih
besar dari alpha 5%. Berikut adalah hasil pengujian non autokorelasi.
Tabel 4 Hasil Pengujian Non Autokorelasi
Variabel
Galat Model (e)
Sumber: Data diolah, 2014
Signifikansi
0,1833
Keterangan
Tidak terdapat
autokorelasi
Uji Stasioneritas Data
Pengujian stasioeritas data dilakukan untuk mencapai kondisi yang stasioner pada variabel yang
diamati, baik variabel bebas maupun variabel terikat. Pengujian tersebut menggunakan uji
Augmented Dickey-Fuller, di mana pada uji tersebut batas maksimalnya adalah pada 2 kali
diferensial. Apabila salah satu variabel mempunyai tingkat stasioner yang lebih tinggi, maka
seluruh variabel yang diamati tersebut harus meenggunakan derajat integrasi variabel tersebut.
Hipotesis untuk pengujian ini yaitu :
H0 : Variabel yang diamati memiliki data tidak stasioner
H1 : Variabel yang diamati memiliki data stasioner
Variabel yang diamati memiliki data tidak stasioner atau menerima hipotesis H0 yaitu apabila nilai
signifikansi uji ADF pada tingkat tertentu lebih besar dari alpha 5%. Apabila kondisi ini tejadi
maka perlu dilakukan pengujian ulang dengan meningkatkan derajat integrasi hingga maksimal
hingga mendapatkan kondisi data stasioner yaitu apabila nilai signifikansi lebih kecil dari alpha
5%.
Tabel 5 Hasil Pengujian Stasioneritas Data (Tingkat Derajat Level)
Variabel
Signifikansi
Keterangan
DPK
0,0300 Stasioner
SBDK
0,2189 Tidak Stasioner
SBK
0,8963 Tidak Stasioner
KK
0,9409 Tidak Stasioner
Sumber: Data diolah, 2014.
Hasil diatas menunjukkan pada tingkat derajat level dari 4 variabel terdapat 3 variabel yang tidak
stasioner yaitu variabel KK, SBDK, dan SBK. Sehingga diperlukan pengujian lebih lanjut ke
tingkat 1st difference agar semua variabel stasioner.
Tabel 6 Hasil Pengujian Stasioneritas Data (Tingkat 1st Difference)
Variabel
Signifikansi
Keterangan
DPK
0,0001 Stasioner
SBDK
0,0000 Stasioner
SBK
0,0001 Stasioner
KK
0,0052 Stasioner
Sumber: Data diolah, 2014.
Uji Kointegrasi Engle-Granger
Pengujian Engle-Granger dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kointegrasi
antara variabel bebas terhadap variabel terikat melalui pengujian residual dari persamaan yang
didapatkan. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan uji Engle-Granger. Secara ekonomi,
variabel yang terkointegrasi adalah kondisi dimana terdapat hubungan jangka panjang antara
variabel tersebut.
Tabel 7 Hasil Pendugaan Engle-Granger:
Variabel
Koefisien
t-statistik
Probabilitas
DPK
0.195859
22.89604
0.0000
SBDK
18129.19
0.887756
0.3828
SBK
-20696.93
-0.772001
0.4471
C
-103159.8
-0.347854
0.7308
Sumber: Data diolah, 2014.
Setelah diperoleh hasil pendugaan, maka selanjutnya dilakukan pengujian kointegrasi melalui nilai
residual yang telah diperoleh.
Tabel 8 Hasil Pengujian Kointegrasi:
Variabel
Signifikansi
Residual
Sumber: Data diolah, 2014.
0,0000
Keterangan
Terdapat Kointegrasi
Model Empirik Error Correction Model (ECM)
Tabel 9 Hasil Pendugaan Parameter Model ECM
Variabel
Koefisien
t-Statistic
Prob
D(DPK)
0.040787
1.655133
0.1128
DPK(-1)
0.008206
1.256267
0.2228
D(SBDK)
-27998.01
-1.887000
0.0731
SBDK(-1)
-33486.20
-2.327208
0.0300
D(SBK)
30726.21
2.097123
0.0483
SBK(-1)
17842.65
0.997543
0.3299
RESIDUAL
-0.889977
-0.743995
0.4651
C
-10485.29
-0.055522
0.9562
Sumber: Data diolah, 2014.
Persamaan ECM yang terbentuk:
ΔKK = -10485.29 + 0.040787 ΔDPK + 0.008206 DPKt-1 - 27998.01 ΔSBDK - 33486.20 SBDKt-1
+ 30726.21 ΔSBK + 17842.65 SBKt-1 - 0.889977 ECTt-1
Interpretasi ECTt-1 :
Sebesar 89% ketidaksesuaian antara KK aktual dengan yang diharapkan akan dieliminasi atau
dihilangkan dalam satu periode.
E. PEMBAHASAN
Sebagai lembaga intermediasi, pertumbuhan dana pihak ketiga, suku bunga dasar kredit, suku
bunga kredit dan inflasi akan mempengaruhi pertumbuhan kredit konsumtif yang akan diberikan.
Berdasarkan hasil penelitian keempat variabel tersebut mempunyai pengaruh terhadap
pertumbuhan kredit konsumtif. Namun, dari hasil pengujian koreksi error terdapat ketidaksesuaian
antara jangka panjang dan jangka pendek. Artinya, perubahan yang terjadi dalam pertumbuhan
kredit konsumtif jangka pendek tidak berpengaruh terhadap perubahan yang terjadi pada
pertumbuhan kredit konsumtif jangka panjang. Hal ini ditunjukkan dari nilai hasil pengujian
koreksi error yang menunjukkan angka lebih dari 80% yaitu sebesar 89%.
Pengaruh DPK Terhadap Kredit Konsumtif dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Hasil pendugaan jangka pendek variabel DPK terhadap kredit konsumtif mempunyai signifikan
positif. Hal ini ditunjukkan oleh nilai probabilitas yang kurang dari alpha 0,05 yaitu 0,040. Ketika
nilai DPK konstan mempunyai dampak kenaikan terhadap kredit konsumtif sebesar Rp 31.345,39
Miliar. Sedangkan apabila DPK mengalami kenaikan sebesar 1% maka kredit konsumtif akan ikut
naik sebesar Rp 51.618.000. Artinya, ketika bank mendapatkan DPK lebih besar maka bank dapat
menawarkan kredit konsumtif terhadap nasabah lebih banyak pula. Hal ini disebabkan DPK
merupakan sumber utama atau modal bank dalam penyaluran kredit konsumtif. Hasil penelitian
Haryati (2009) pun mengatakan bahwa DPK mempunyai pengaruh positif signifikan terhadap
kredit yang artinya semakin tinggi DPK maka kredit semakin meningkat.
Tabel 10 Hasil Pendugaan Model Jangka Pendek DPK
Variabel
Koefisien
t-Statistic
Prob
D(DPK)
0.051618
3.169941
0.0040
DPK(-1)
-0.001796
-0.827986
0.4155
RESIDUAL
0.294421
2.778043
0.0102
C
31345.39
1.498605
0.1465
Sumber: Data diolah, 2014.
ΔKK =31345,39 + 0.051618ΔDPK
Sedangkan berdasarkan hasil pendugaan jangka panjang, variabel DPK tidak memiliki pengaruh
terhadap KK karena dalam penyaluran KK akan lebih menguntungkan ketika disalurkan dalam
jangka waktu yang pendek. Semakin banyak DPK yang dikumpulkan dalam waktu dekat maka
semakin banyak pula KK yang dapat disalurkan dan keuntungan yang didapat juga semakin besar.
Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai probabilitas yang lebih dari alpha yaitu 0,2960.
Tabel 11 Hasil Pendugaan Model Jangka Panjang DPK
Variabel
Koefisien
DPK(-1)
C
t-Statistic
Prob
-0.002642
-1.065654
0.2960
44189.63
1.890413
0.0695
Sumber: Data diolah, 2014.
ΔKK = 44189.63 - 0.002642DPKt-1
Hasil pendugaan DPK dalam jangka pendek dan jangka panjang mempunyai hasil yang berbeda,
dimana dalam jangka pendek DPK signifikan terhadap KK, sedangkan dalam jangka panjang DPK
tidak signifikan terhadap KK. Artinya, hanya dalam jangka pendek DPK berpengaruh terhadap
KK. Hal ini disebabkan karena apabila semakin banyak DPK yang diperoleh pada jangka pendek
maka akan memberikan dukungan lebih besar dalam penyaluran kredit konsumtif, sehingga bank
mendapatkan banyak modal yang bisa disalurkan. Disisi lain, saat ini minat nasabah terhadap
kredit konsumtif cukup besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya grafik data kredit konsumtif
yang terus mengalami kenaikan dalam kurun waktu yang cukup dekat.
Pengaruh SBDK Terhadap Kredit Konsumtif dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Hasil pendugaan jangka pendek, variabel SBDK tidak memiliki pengaruh terhadap kredit
konsumtif karena perubahan SBDK terjadi pada kurun waktu yang cukup lama. Hal ini
ditunjukkan oleh besarnya nilai probabilitas yang lebih dari alpha yaitu 0,8842.
Tabel 12 Hasil Pendugaan Model Jangka Pendek SBDK
Variabel
Koefisien
t-Statistic
Prob
D(SBDK)
1357.818
0.147100
0.8842
SBDK(-1)
-0.198235
-3.327108
0.0027
RESIDUAL
0.195344
1.869812
0.0733
C
187707.1
3.711959
0.0010
Sumber: Data diolah, 2014.
ΔKK = 187707.1 + 1357.818ΔSBDK
Sedangkan berdasarkan hasil pendugaan jangka panjang variabel SBDK menunjukkan adanya
pengaruh signifikan negatif terhadap kredit konsumtif. Hal ini ditunjukkan dari besarnya nilai
probabilitas yang lebih kecil daripada alpha 0,05 yaitu 0,032. Ketika SBDK bernilai konstan akan
memberikan dampak kenaikan sebesar 18,18% terhadap kredit konsumtif. Tetapi sebaliknya,
apabila SBDK mengalami kenaikan sebesar 1% mengakibatkan penurunan terhadap kredit
konsumtif sebesar 19,16%. Ketika suku bunga tinggi, pihak bank akan menawarkan kredit
konsumtif lebih sedikit dibandingkan pada saat suku bunga rendah, karena minat nasabah untuk
melakukan kredit konsumtif akan rendah pada saat suku bunga tinggi.
Tabel 13 Hasil Pendugaan Model Jangka Panjang SBDK
Variabel
Koefisien
SBDK(-1)
C
t-Statistic
Prob
-0.191639
-3.233380
0.0032
0.181861
3.616658
0.0012
Sumber: Data diolah, 2014.
ΔKK = 0.181861 – 0.191639SBDKt-1
Dalam hal ini SBDK berperan seperti harga pokok suatu produk, dimana yang berperan sebagai
produknya adalah kredit konsumtif. Harga pokok suatu produk tidak dapat diubah-ubah
seenaknya. Biasanya harga pokok dapat berubah dalam jangka waktu yang cukup lama sesuai
dengan kondisi perekonomian yang ada. Sama halnya dengan SBDK, ketika SBDK diubah-ubah
pada jangka waktu yang cukup dekat bisa memberikan dampak buruk terhadap kredit konsumtif
karena berhubungan langsung dengan minat nasabah terhadap kredit konsumtif itu sendiri.
Pengaruh SBK Terhadap Kredit Konsumtif dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Hasil pendugaan jangka pendek, variabel SBK tidak memiliki pengaruh terhadap kredit konsumtif
karena perubahan SBK biasanya terjadi pada jangka waktu yang cukup lama. Hal ini ditunjukkan
oleh besarnya nilai probabilitas yang lebih dari alpha yaitu 0,1108.
Tabel 14 Hasil Pendugaan Model Jangka Pendek SBK
Variabel
Koefisien
t-Statistic
Prob
D(SBK)
22981.17
1.653128
0.1108
SBK(-1)
-0.510072
-0.609470
0.0477
RESIDUAL
0.126881
1.105875
0.2793
C
86441.84
0.791109
0.0436
Sumber: Data diolah, 2014.
ΔKK = 86441.84 + 22981.17ΔSBK
Sedangkan berdasarkan hasil pendugaan jangka panjang variabel SBK menunjukkan adanya
pengaruh signifikan negatif terhadap kredit konsumtif. Hal ini ditunjukkan dari besarnya nilai
probabilitas yang lebih kecil daripada alpha 0,05 yaitu 0,0137. Ketika SBK bernilai konstan akan
memberikan dampak kenaikan sebesar 17,72% terhadap kredit konsumtif. Tetapi sebaliknya,
apabila SBDK mengalami kenaikan sebesar 1% mengakibatkan penurunan terhadap kredit
konsumtif sebesar 12,08%. Ketika suku bunga tinggi, pihak bank akan menawarkan kredit
konsumtif lebih sedikit dibandingkan pada saat suku bunga rendah, karena minat nasabah untuk
melakukan kredit konsumtif akan rendah pada saat suku bunga tinggi.
Tabel 15 Hasil Pendugaan Model Jangka Panjang SBK
Variable
Koefisien
SBK(-1)
C
t-Statistic
Prob
-0.120776
-1.530580
0.0137
0.177166
1.718313
0.0172
Sumber: Data diolah, 2014.
ΔKK = 0.177166 - 0.120776SBKt-1
Seperti halnya SBDK, SBK juga berperan sebagai harga. Namun, disini SBK merupakan harga
jual dari kredit konsumtif. Harga jual biasanya dapat berubah dalam jangka waktu yang cukup
lama menyesuaikan dengan kondisi perekonomian yang ada. Begitu pula dengan SBK, ketika SBK
diubah-ubah pada jangka waktu yang cukup dekat bisa memberikan dampak buruk terhadap kredit
konsumtif karena berhubungan langsung dengan minat nasabah terhadap kredit konsumtif.
Hasil pendugaan SBDK dan SBK terhadap KK sama-sama signifikan dalam jangka panjang.
Namun, SBDK memiliki pengaruh yang lebih besar daripada SBK. Hal ini disebabkan karena
SBDK merupakan harga pokok yang merupakan harga dasar pembentuk SBK. Oleh karena itu,
SBDK berpengaruh lebih banyak terhadap KK.
F. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan penelitian, dihasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Besar kecilnya pertumbuhan kredit konsumtif dipengaruhi oleh variabel DPK, SBDK,
dan SBK. Dari hasil pembahasan, yang memiliki pengaruh paling besar terhadap kredit
konsumtif adalah DPK dan SBDK. Hal ini mengindikasikan bahwa fungsi intermediasi
perbankan nasional telah berjalan dengan baik, karena DPK yang merupakan sumber
pendanaan utama dalam kegiatan kredit konsumtif dapat disalurkan dengan baik.
2. DPK mempunyai pengaruh positif terhadap kredit konsumtif dalam jangka pendek namun
tidak berpengaruh dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan karena DPK dapat dikatakan
berperan sebagai modal usaha dimana dalam jangka pendek lebih memberikan dampak
langsung terhadap produktivitasnya karena semakin cepat dana yang diperoleh maka
kredit konsumtif yang disalurkan akan semakin banyak dan memberikan keuntungan
lebih besar.
3. SBDK dan SBK mempunyai pengaruh negatif terhadap kredit konsumtif dalam jangka
panjang namun tidak berpengaruh dalam jangka pendek. Hal ini disebabkan karena
SBDK dan SBK berperan sebagai harga dari kredit konsumtif. Dimana suatu harga tidak
dapat berubah-ubah secara cepat dengan jangka waktu yang singkat.
4. SBDK mempunyai pengaruh lebih besar terhadap pertumbuhan kredit konsumtif daripada
SBK karena SBDK merupakan suku bunga dasar pembentuk SBK itu sendiri atau bisa
dikatakan SBDK merupakan harga pokok suatu produk apabila diibaratkan dalam
kegiatan produksi.
Saran
1.
2.
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka saran yang dapat di ajukan adalah:
DPK mempunyai pengaruh positif dan relatif cukup besar terhadap kredit konsumtif,
sehingga bank diharapkan bisa meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga
masyarakat memiliki kepercayaan untuk menempatkan dananya ataupun
mempertahankan simpanannya di bank.
Untuk menstabilkan kredit konsumtif, pihak bank disarankan untuk bisa lebih
memberikan inovasi terbaru dalam memberikan dan/atau menyalurkan kredit konsumtif
agar masyarakat tertarik untuk melakukan kredit konsumtif.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, J. 2001. Credit Crunch di Indonesia setelah Krisis (Fakta, Penyebab dan Implikasi
Kebijakan). Jakarta: Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia.
Astiko dan Sunardi. 1996. Manajemen Perkreditan. Yogyakarta: Andi Offset.
Baitulloh, Hendrik. 2010. Analisis Pengaruh Aplikasi Kredit, Tingkat Suku Bunga dan Tingkat
Inflasi Terhadap Pertumbuhan Kredit Kepimilikan Rumah (KPR) di Bank Danamon
Indonesia, Tbk. Cabang Kuningan. Jakarta: FE Universitas Gunadarma.
Badan Pusat Statistik Indonesia. 2014. Data penggunaan produk domestik bruto tahun 2012
http://www.bps.go.id/int/index.php/site/search?cari=data+PDB+2012&Submit=Cari
diakses 31 Oktober 2014.
Bank Indonesia. 2012. Laporan Perekonomian Indonesia 2012. Jakarta: Bank Indonesia.
Bank
Indonesia
2014.
Data
dana
pihak
ketiga
http://www.bi.go.id/id/statistik/seki/terkini/moneter/Contents/Default.aspx diakses 29
Oktober 2014.
Bank Indonesia 2014. Data inflasi http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/data/Default.aspx diakses
29 Oktober 2014.
Bank
Indonesia
2014.
Data
kredit
konsumsi
http://www.bi.go.id/id/statistik/seki/terkini/moneter/Contents/Default.aspx diakses 29
Oktober 2014.
Bank Indonesia 2014. Data suku bunga dasar kredit http://www.bi.go.id/id/perbankan/sukubunga-dasar/Default.aspx diakses 29 Oktober 2014.
Bank
Indonesia
2014.
Data
suku
bunga
kredit
http://www.bi.go.id/id/statistik/seki/terkini/moneter/Contents/Default.aspx diakses 29
Oktober 2014.
Boediono. 2001. Ekonomi Moneter. Edisi Ketiga. Yogyakarta: BFE.
Dendawijaya, Lukman. 2003. Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Gujarati, Damodar. 2003. Ekonometrika Dasar. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga
Haryati, Sri. 2009. Pertumbuhan Kredit Perbankan di Indonesia: Intermediasi dan Pengaruh
Variabel Makro Ekonomi. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Vol. 13, No. 2 Mei 2009,
hal. 299 – 310.
Hartanto, Danny Prasetyo. 2014. Modul Ekonometrika 2 Eviews 6. Malang: Arena Statistics.
Kasmir. 2003. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kasmir. 2004. Bank & Lembaga Keuangan Lainnya. Cetakan Kedelapan. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Kasmir. 2008. Bank & Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kuncoro, Mudrajad. 2001. Metode Kuantitatif. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP
YKPN.
Nasir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia.
Pratista, I Made dan Yuda Wahyu Meiranto. 2010. Pengaruh Faktor Internal Bank Terhadap
Jumlah Kredit yang Disalurkan (Studi empiris pada bank yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia). Jurnal Akuntansi & Auditing Volume 7/No. 1/November 2010 : 94 – 110.
Ridwan dan I Barlian. 2003. Manajemen Keuangan 2. Edisi Keempat. Jakarta: Literata Lintas
Media.
Setiowaty, Puji. 2011. Analisis Kontribusi Kredit Konsumtif Pegawai Negeri Sipil Politeknik
Negeri Samarinda Terhadap Pendapatan Bankaltim Samarinda. JURNAL EKSIS Vol. 7
No. 2, Agustus 2011: 1267 – 2000.
Sinungan, Muchdarsyah. 1989. Dasar-Dasar dan Teknik Managemen Kredit. Jakarta: Bina Aksara.
Sitompul, Kristian Natanael. 2011. Pengaruh Pertumbuhan DPK, CAR, ROA dan Tingkat Suku
Bunga SBI Terhadap Pertumbuhan Kredit Pada Bank-Bank Pemerintah 2004-2009.
Semarang: Universitas Diponegoro.
Subagyo dan Sri Fatmawati. 2006. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Yogyakarta: STIE
YKPN.
Sugiyono. 2003. Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Alfabeta.
Sulaiman, Wahid. 2004. Analisis Regresi Menggunakan SPSS, Contoh Kasus dan Pemecahannya.
Yogyakarta: Andi.
Sun’an, Muammil dan David Kaluge. 2007. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penyaluran
Kredit Investasi Di Indonesia. Jurnal Keuangan Dan Perbankan, XI, No.2 Mei 2007.
Suparmoko, M. 1991. Pengantar Ekonomika Makro. Yogyakarta: BPFE.
Undang-Undang Pokok Perbankan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992.
Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 1 Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Wahmuji. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Definisi Kredit Konsumtif. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Download