Kontruktivisme dan Teori Kritis A. Pengertian Kontruktivisme Kontruktivisme adalah suatu filasafat pengetahuan yang memeiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari kontruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia mengkontruksi pengetahuan mereka melelui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Menurut faham kontruktivisme pengetahuan di bina secara aktif oleh seseorang yang berfikir, seseorang tidak akan menyerap suatu pengetahun dengan pasif. Konstruktivisme merupakan satu diantara faham yang menyatakan bahwa positivisme dan postpositivisme merupakan paham yang salah dalam mengungkapkan realitas dunia. Karena itu, perangkat berfikir kedua paham tersebut harus ditinggalkan dan diganti dengan paham yang bersifat konstruktif. Paradigma ini, muncul melalui proses yang cukup lama setelah sekian generasi ilmuwan berpegang teguh pada paradigma positivisme. Konstruktivisme muncul setelah sejumlah ilmuwan menolak tiga prinsip dasar positifime :[1] 1. Ilmu merupakan upaya mengungkap realitas, 2. Hubungan antara subjek dan objek penelitian harus dapat dijelaskan, 3. Hasil temuan memungkinkan untuk digunakan proses generalisasi pada waktu dan tempat yang berbeda. Pada awal perkembangannya, paradigma ini mengembangkan sejumlah indikator sebagai pijakan dalam melaksanakan penelitian dan pengembangan ilmu. Beberapa indikator itu antara lain:[2] 1. Penggunaan metode kualitatif dalam proses pengumpulan data dan kegiatan analisis data, 2. Mencari relevansi indikator kualitas untuk mencari data- data lapangan, 3. teori- teori yang dikembangkan harus bersifat natural atau apa adanya dalam pengamatan dan menghindarkan diri dengan kegiatan penelitian yang telah diatur dan bersifat serta berorientasi laboratorium, 4. Pola- pola yang diteliti dan berisi kategori- kategori jawaban menjadi unit analisis dari variable- variable penelitian yang kaku dan steril, 5. Penelitian lebih bersifat partisipatif daripada mengontrol sumber- sumber informasi, dll. Teori belajar kontruktivisme ini bertitik tolak dari teori pembelajaran behaviorisme yang di dukung oleh B.F Skinner yang mementingkan perubahan tingka laku pada pelajar atau murid. Pembelajaran di anggap berlaku apabila terdapat perubahan tingkah laku pada pelajar atau murid, contohnya dari tidak tahu menjadi tahu. Dalam wawasan ini, sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempatkan diri sebagaimana di perlukan oleh siswa dalam memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh, atau model bagi siswanya, dan pada suatu saat lain guru membangun rasa ingin tahu dan keinnginan anak untuk mempelajari suatu yang baru, dan pada saat tertentu seorang guru membiarkan anak mengekslporasikan dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memeberikan semangat dan arahan saja. Jadi kontruktivisme di definisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna apa yang di pelajari. beda dengan aliran behavioristik yang memehami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih belajar sebagai kegiatan manusia untuk membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Kontruktivisme sebenarnya bukan merupan suatu gagasan yang baru, upaya yang di lalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Suatu teori muncul berdasarkan data yang ada, bukan dibuat sebelumnya, dalam bentuk hipotesis bagaimana dalam penelitian kuantitatif. Untuk itu pengumpulan data, dilakukan dengan metode hermeneutik dan dialektik yang difokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Metode pertama dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat dari orang perorang, sedangkan metode kedua mencoba untuk membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang perorang yang diperoleh melalui metode pertama untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama. Dengan demikian, hasil akhir dari suatu kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat reflektif, subjektif dan spesifik mengenai hal- hal tertentu. Dengan ditemukannya paradigma konstruktivisme ini, dapat memberikan alternatif paradigma dalam mencari kebenaran tentang realitas sosial, sekaligus menandai terjadinya pergeseran model rasionalitas untuk mencari dan menentukan aturan- aturan ke model rasionalitas praktis yang menekankan peranan contoh dan interpretasi mental. Konstruktivisme dapat melihat warna dan corak yang berbeda dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya disiplin ilmu- ilmu sosial yang memerlukan intensitas interaksi antara penelitian dan objek yang dicermati, sehingga akan berpengaruh pada nilai- nilai yang dianut, etika, akumulasi pengetahuan, model pengetahuan dan diskusi ilmiah. Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang mempunyai anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi manusia itu sendiri. Manusia mengkonstruksikan pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan struktur, kategori, objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Pengetahuan dianggap benar jika pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang tengah dihadapi Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat di transfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpresentasikan sendiri oleh orang tersebut. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, tetapi merupkan suatu proses yang akan berkembang terus-menerus. Proses itulah yang merupakan keaktifan dan kesungguhan seseorang, hal tersebut sangat berperan dalam mengejar ilmu Saat ini, salah satu teori belajar yang banyak dipakai dalam proses pembelajaran adalah konstruktivisme. Di antara berbagai variasinya, terdapat dua jenis konstruktivisme yang paling menonjol yaitu konstruktivisme sosial (social constructivism) yang sering dikatakan sebagai kelanjutan dari hasil kerja Vygotsky serta konstruktivisme kognitif (cognitive constructivism) yang dipercaya berakar pada hasil kerja Piaget. Asal-usul konstruktivisme menurut Von Glasersfeld, yaitu pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun sebenarnya gagasan pokok konstruktivisme sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, dia adalah epistemology dari Italia. Dia adalah cikal bakal konstruktivisme.[3] B. Pengertian dan Tokoh-tokoh Teori Kritis Kritik merupakan suatu konsep kunci untuk memahami teori kritis, serta kritis juga merupakan suatu program bagi mazhab Frankfurt untuk merumuskan suatu teori yang bersifat emansipatoris atas kebudayaan dan masyarakat modern. Kata kritik sebenarnya sudah dipakai sejak masa Renaissance (1350-1600). Pada masa itu, masyarakat Eropa membangkitkan kembali kebudayaan Yunani dan Romawi, karena banyaknya inspirasi rasional yang dapat ditimba darinya. Pada masa ini kecenderungan berpikir mulai mengusir kegelapan dogmatis abad pertengahan (6001400) yang dikuasai cara berpikir gaya gereja, dimana faktor iman dan kepatuhan kepada otoritas gereja mendapat porsi besar. Pada masa Renaissance para sarjana dan seniman menyibukkan diri dengan teks sastra dari zaman Yunani-Romawi, termasuk kitab suci. mereka juga mencoba memberi penjelasan serta penilaian atas teks itu untuk menyerang atau mempertahankan ajaran iman tertentu. Pada masa Aufklarung muncullah para filsuf yang dipandang oleh mazhab Frankfurt sebagai filsuf-filsuf kritis yaitu Kant, Hegel dan Marx. Jika teori kritis menggunakan kata kritik, maka hal itu dikaitkan langsung pada keempat pemikir itu. Dengan demikian, kritik itu lebih dipahami dalam arti Kantian, Hegelian Marxian dan Freudian.[4] a. Kritik dalam Arti Kantian Menurut teori kritis Immanuel Kant disebut sebagai seorang pemikir kritis karena ia mempertanyakan the conditions of possibility dari pengetahuan kita sendiri. Kant mengarahkan diri pada rasio kita sendiri untuk menjadi alat dalam menyelidiki perkara metafisis. Kant menyelidiki kemampuan dan batas rasio dengan tujuan untuk menunjukkan sejauh mana klaim rasio kita dapat dianggap benar. sedangkan Jalan yang ditempuh oleh kant disebut dengan kritisisme. Dengan mempertanyakan syarat kemungkinan pengetahuan, Kant menguji sahih tidaknya bentuk pengetahuan. Di sini Kant dengan epistimologinya mau menunjukkan bahwa rasio dapat kritis terhadap kemampuan sendiri dan dapat menjadi pengadilan itu terhadap hasil refleksinya sendiri, yaitu ilmu pengetahuan dan metafisika. Jadi, kritik dalam arti Kantian adalah kegiatan menguji sahih tidaknya klaim pengetahuan dengan tanpa prasangka yang dilakukan oleh rasio belaka. b. Kritik dalam Arti Hegelian Menurut teori kritis, Hegel mengembangkan konsep kritik dengan cara yang berbeda dengan Kant, dan bahkan ia juga mengkritik epistimologi Kant. Kritik Kant bersifat transendental dan dengan cara itu ia ingin meletakkan rasio kritis itu di atas suatu dasar yang pasti dan tak tergoyahkan. Dalam pandangan Hegel, rasio bersifat kritis tidak dengan cara transendental dan historis, seakan-akan rasio sudah sempurna pada dirinya sendiri. Rasio dapat dikatakan kritis jika menyadari asal-usul pembentukannya sendiri. Serta rasio bukanlah kesadaran lengkap yang bebas dari rintangan-rintangan dalam sejarah umat manusia dan alam, melainkan merupakan suatu proses menjadi semakin sadar di dalam rintangan-rintangan tersebut. Dengan demikian, kritik dalam arti Helegian merupakan refleksi diri atas rintangan, tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri dari rasio dalam sejarah. Dengan kata lain, kritik juga berarti proses menjadi sadar atas asal usul sesuatu. Bagi Hegel kesadaran timbul melalui rintangan dengan cara mengatasi atau mengingkari rintangan, sehingga Hegel menyebut kritik sebagai negasi atau dialektika. c. Kritik dalam Arti Marxian Menurut teori kritis, jika Hegel mengembangkan konsep kritik dalam konteks filsafat idealismenya, sedangkan Marx mengembangkan konsep ini dalam rangka materialismenya. Menurut Marx, kritik dalam filsafat Hegel itu masih kabur dan membingungkan karena Hegel memahami sejarah secara abstrak. Dalam pandangan Marx, apa yang terjadi dalam masyarakat dan sejarah adalah orang yang bekerja dengan alat untuk bekerja untuk mengolah alam. Menurut Marx, sejarah tak lain dari sejarah perkembangan tenaga produksi dan hubungan produksi, atau sejarah ekonomi, proses produksi dalam masyarakat. Dalam pandangan Marx, kontradiksi dalam masyarakat itu mencerminkan pertentangan kepentingan antara kaum kapitalis dan kelas buruh atau kaum proletariat. Kelas kapitalis ingin melestarikan kekuasaannya, sementara kaum proletariat ingin membebaskan diri dari penindasan dengan cara menghapus hak milik pribadi atas alat pribadi. Setelah revolusi terjadi sistem ekonomi masyarakat berubah dan bersamaan, bentuk kesadaran sosial juga berubah sebab perubahan pada basis ekonomi mau tak mau menentukan parubahan pada superstruktur kesadaran. Kritis dalam konteks materialisme menurut marx berarti praxis revolusioner yang dilakukan oleh kaum proletariat atau perjuangan kelas. sedangkan Kritik juga berarti mengemansipasikan diri dari penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan kekuasaan di masyarakat. Akan tetapi teori Marx membuka kesadaran akan adanya mekanisme objektif hubungan penindasan dan menunjukkan pula cara pemecahannya. Kritik dalam Marxian dapat berarti teori dengan tujuan emansipatoris, yaitu dengan menyingkapkan kenyataan sejarah dan sejarah lewat analisisnya. d. Kritik dalam Arti Freudian Freud memberikan pengertian lebih lengkap terhadap konsep kritik meskipun ia sendiri tidak secara eksplisit menyebutkan konsep ini. Teori kritis berupaya mengintegrasikan konsep teori kritis dari freud mngenai gangguan psikis dan naluri ke dalam kritik ideologi marx. Dengan cara inilah suatu kritik yang bersifat kemasyarakatan mendapat pendasaran psikologisnya. Suatu represi, ketertindasan psikis, penipuan diri, gambaran-gambaran palsu yang terbentuk pada generasi pertama teori kritis diterapkan ke dalam kenyataan sosial, khususnya pada ideologi dan hubungan kekuasaan. Apa yang terjadi pada taraf individual diterapkan pada taraf sosial. Dalam arti Freudian, kritik adalah refleksi, baik dari pihak individu maupun masyarakat atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan ketidakbebasan internal, sehingga dengan cara refleksi masyarakat dan individu dapat membebaskan diri dari kekuatan asing yang dapat mengacaukan kesadarannya. Keempat arti kritik itulah yang dimaksud oleh para pendiri teori kritis jika mereka menganalisis kenyataan ideologi dari masyarakat zaman kita. Para pendiri teori kritis menyebutkan bahwa teori kritis sebagai kritik ideologi, karena mereka memusatkan diri pada kenyataan ideologis dari masyarakat yang menurut mereka berkaitan langsung dengan kenyataan material masyarakat. Generasi pertama teori kritis mencoba membangun kritik ideologi menjadi dua bagian, yaitu: a. Mereka ingin melontarkan kritik terhadap saintisme atau positivisme sebagai ideologi ilmu pengetahuan modern. Karena itulah mereka membangun teori dengan maksud praktis. b. Mereka ingin menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan modern yang dilatarbelakangi oleh saintisme atau positivisme telah menghasilkan masyarakat yang irasional dan ideologis. [5] [1] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2004), h. 34. [2] Filsafat Ilmu.Jerome R. Ravert diterjemahkanoleh saut pasaribu,judul aslinya The Philosophy of Science.pusaka pelajar yogya, 2009. Hal. 128 [3] Markus “Filsafat Konstruktivisme”, diakses pada 18 April 2012 dari http://cor-amorem.blogspot.com/2010/01/filsafat-konstruktivisme.html [4] F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Hubermas,(Yogyakarta: Kanisius, 1991), : 51-52. [5] Ibid, : 52-59.