TASAWUF Rangkuman ceramah mingguan oleh: Bp. Achmad Chodjim http://www.geocities.com/sus_tuntang/hakikat_tasawuf.doc http://www.geocities.com/sus_tuntang/paradigma_dan_masa_depan_islam.rtf Bagian ke-1 Di atas tahun 80-an tasawuf atau sufisme menjadi nge-tren di dunia. Bahkan di Indonesia setelah tahun 90- an tasawuf banyak diminati orang. Seminar dan kursus-kursus tentang tasawuf diadakan di hotel-hotel atau di gedung-gedung mewah. Lebih-lebih dalam suasana krisis, tasawuf semakin dicari orang. Jika kita melihat di toko-toko buku, semakin hari semakin banyak buku tasawuf yang dipajang. Buku-buku tasawuf itu meliputi tulisan orang Indonesia, maupun terjemahan dari buku-buku tasawuf yang berbahasa asing, khususnya terjemahan dari bahasa Arab. Dan sekarang bisa kita jumpai buku-buku tasawuf yang ditulis pada masa 700 ? 1000 tahun yang lalu. Mengapa sekarang ini tasawuf semakin diminati orang? Manusia modern sebenarnya manusia yang mengalami alienasi (keterasingan) jiwa. Persaingan dalam berebut benda ternyata melelahkan pikiran. Ketegangan-ketegangan dalam hidup sering dialami. Dalam kehidupan modern, manusia sering terperangkap oleh kebahagian-kebahagian semu. Yaitu, kebahagiaan yang direkayasa, bukan kebahagiaan yang tumbuh dari dalam diri manusia itu sendiri. Dalam kehidupan modern manusia diiming-iming dengan status, posisi, sertifikat, merek, dan berbagai macam simbol. Akhirnya pikiran manusia melekat pada topeng-topeng ini. Jika sudah terjerat oleh topeng kehidupan, manusia merasa terjunjung dan tersanjung. Yang dalam keadaan tertentu menyebabkan lupa diri. Nah, untuk menghadapi problema-problema psikologis ini ada yang lari ke berbagai macam hiburan dari yang ringan hingga yang paling berat yaitu “narkoba”; dan ada pula yang mencari solusi damai dengan mengikuti kegiatan-kegiatan agama. Ternyata, ternyata....., yang dirasakan bersentuhan langsung dengan kesejukan hati adalah “tasawuf”. Itulah sebabnya tasawuf sekarang ini banyak diminati orang, baik oleh orang-orang Islam sendiri, maupun orang-orang non-muslim. Bahkan di Eropa maupun Amerika sekarang ini banyak orang non-muslim yang menjadi anggota jamaah tasawuf. Tentu saja hal ini bisa menimbulkan kecemburuan di kalangan umat Islam formalis, yaitu orang-orang Islam yang lebih berpegang teguh pada aturan lahiriah agama atau syariat. Menghadapi perkembangan yang pesat ini kalangan formalis merasa kehilangan pamor. Karena itu beberapa orang (tidak banyak) di kalangan formalis ini menulis buku yang isinya mengecam ajaran tasawuf, bahkan ada yang tega memfitnah bahwa ajaran tasawuf itu bid’ah dan menyesatkan manusia. Orang yang membid’ahkan tasawuf adalah orang-orang yang tidak memahami ajaran tasawuf, pada pokoknya mereka tidak memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Mereka menganggap tasawuf itu lahir dari kalangan luar Islam. Untuk membuktikan ini mereka cari-cari definisi kata tasawuf, yang katanya tidak ada di dalam Al Quran dan Al Hadis. Jadi, mereka lebih disibukkan mencari kulit daripada mencari isi atau substansi ajaran. Jika saja mereka sadar bahwa apa yang diajarkan oleh tasawuf itu budipekerti atau akhlak yang diajarkan oleh Rasul Allah, maka mereka pasti akan berhenti membid’ahkan para sufi. Mengapa? Karena apa yang dipraktikkan oleh Rasul dalam kesederhanaan hidupnya, apa yang diteladani oleh Abu Bakar dalam menyumbangkan hartanya, apa yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab dalam istana gubuknya, serta apa yang dilakukan oleh Ali bin Thalib dalam menegakkan keadilan, itulah yang disebut tasawuf! Landasan tasawuf adalah kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, melakukan zikir sebanyakbanyaknya, dan akhirnya menjadi hamba manifestasi Ilahi, yang dalam ajaran tasawuf Jawa disebut “manunggaling kawula klawan Gusti”, kesatuan hamba dan Tuhan. Marilah kita simak dalil-dalil Qurani dan Al-Hadis di bawah ini. 1. Surat Ali Imran/3:31, Qul in kuntum tuhibbuunallaaha fattabi-‘uunii yuhbibkumullaahu wa yaghfirlakum dzunuubakum wallaahu ghafuurun rahiim. Katakan, “Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan menutupi dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah,” 2. Surat Al Baqarah/2:115, Wa lil-laahi l-masyriqu wa l-maghribu fa ainamaa tuwalluu fatsamma wajhullaahi innallaaha waasi‘un ‘aliim. “Dan kepunyaan Allah Dunia Timur dan Barat itu. Karena itu, kemana saja kamu menghadap, di situlah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui.” 3. Surat Al Ahzab/33: 41 ? 43, Yaa ayyuha l-ladziina aamanu dz-kuru llaaha dzikran katsiira. Wa sabbihuuhu bukratan wa ashiila. Huwa l-ladzii yushallii ‘alaikum wa malaa-ikatuhuu li yukhrijakum mina zh-zhuluumati ila n-nuuri wa kaana bi l-mu’miniina rahiima. “Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pagi dan petang. Dia-lah yang melimpahkan rahmat kepadamu, begitu pula para malaikat-Nya, dengan maksud mengeluarkan kamu dari kegelapan menuju kehidupan yang bercahaya; dan Dia menyayangi orang-orang yang beriman.” 4. Surat Qaaf/50:16, Wa laqad khalaqna l-insaana wa na‘lamu maa tuwaswisu bihi nafsuhu wa nahnu aqrabu ilaihi min habli l-wariid. “Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh jiwanya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” Untuk bagian pertama ini, kita cukup mengupas dan mengulas enam ayat lebih dulu. Enam ayat inilah yang dijadikan landasan awal dalam hidup bertasawuf. Jika diumpamakan orang naik tangga, maka harus melalui tangga dasar yang kokoh. Dengan fondamen yang kokoh inilah para ahli tasawuf mengembangkan Agama Islam. Dan dari sejarah diketahui bahwa perintis Islam di seantero jagat adalah para sufi, orang-orang tasawuf. Mereka inilah yang memperkenalkan Islam dengan hikmat dan pelajaran yang baik. Baru kemudian diisi oleh kalangan formalis. Umumnya kalangan formalis menjumpai kegagalan dalam mengembangkan Agama Islam. Mengapa demikian? Karena oleh kalangan formalis, syariat Islam itu dikonfrontasikan dengan adat-istiadat atau budaya setempat. Sehingga mereka dijauhi oleh umat. Lihat saja bulan Ramadhan kemarin, demi khusyuknya pelaksanaan ibadah puasa, pihak-pihak yang merasa sangat formalis ini ribut menutup kafe, restoran, dan intinya meminta orang menghormati puasa. Lho, beragama itu seharusnya tidak untuk minta dihormati. Orang harus menjalankan agama dengan santun Sehingga agama itu bisa memikat hati orang yang melihatnya. Jika kita memahami landasan pada ayat pertama, maka harapan orang bertasawuf adalah ‘mahabbah’ atau jatuh cinta kepada Allah. Tentu saja untuk mencintai Allah Yang Maha Gaib itu, manusia harus mempunyai pedoman. Dan yang menjadi pedoman itu adalah “ittiba‘” atau mengikuti Rasul. Ketika Rasul hadir secara fisik di tengah-tengah umat, maka mengikuti Rasul berarti secara langsung mematuhi perintah dan larangannya secara aktual. Namun, setelah secara fisik beliau tidak ada di tengah-tengah umat, beberapa sahabat berusaha untuk mengajarkan Islam sebagaimana yang diteladankan oleh Rasul. Abu Bakar tampil sebagai seorang khalifah yang sederhana. Harta-bendanya didermakan untuk kepentingan umat. Dia tidak menyisakan kekayaan materi untuk dirinya. Ketika dia dibaiat sebagai khalifah, dengan sederhana dia mengucapkan, “Taatilah saya selama saya menaati Allah dan RasulNya. Dan bila tidak taat, maka tak ada keharusan bagi kalian untuk menaatiku.” Suatu pidato pengukuhan yang pendek, tetapi tegas. Mungkin setelah itu tak ada keberanian bagi seorang penguasa mengucapkan demikian. Bahkan kalimat yang pertamanya adalah, “Saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian, tetapi saya bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.” Juga suka mengganjal perutnya jika kelaparan, sebagaimana yang diteladankan Nabi. Dia lebih suka memilih demikian daripada makan makanan yang tidak tahu halal dan haramnya. Ijtihad mulai dilakukan oleh Umar. Umar menampilkan diri sebagai seorang khalifah yang amat sederhana. Administrasi militer dan pemerintahan ditegakkan. Penguasaan Al Quran lebih didorong, sedangkan catatan-catatan yang disebut Hadis Nabi dimusnahkan. Hal ini dia lakukan agar umat bersemangat dalam mempelajari Al Quran. Karena akhlak Rasul Allah s.a.w. adalah Al Quran itu sendiri (Al Hadis, sumber Aisyah). Meskipun sebagai kepala pemerintahan dia berhak mendapatkan istana gedung dan pengamanan dirinya, tetapi dia meilih tinggal di gubuk beratap rumbai. Meskipun malam banyak jaga untuk berzikir, siangnya tetap bersemengat dalam mengendalikan pemerintahan. Utsman diangkat sebagai khalifah yang ke tiga. Di zaman pemerintahannya berkecamuk berbagai fitnah dan hasudan. Kelembutan jiwanya tak diragukan lagi. Dia tetap tidak mau menggunakan tindak kekerasan dan kekuatan bersenjata dalam menghadapi fitnah. Seandainya harus terjadi pertumpahan darah, dia memilih darahnya sendiri yang harus tertumpah, dan bukan darah kaum muslimin. Ketika pemberontak mengepung rumahnya sambil menghunus pedang, sedangkan baginya terbuka untuk menumpasnya, dia tetap menolak untuk melakukan pembasmian itu dengan ucapan: “Saya tak mau menemui Allah sedang di pundak saya ada percikan darah dari seorang Muslim.” Khalifah Ali mewarisi pemerintahan yang penuh kekacauan. Namun dia hadapi semua itu dengan penuh ketenangan. Meskipun para pejabatnya menyediakan istana negara yang megah dan besar, dia menolaknya untuk menghuni di istana itu. Ini tidak berarti sekarang seorang presiden harus meninggalkan istana negara. Tetapi, hal ini menunjukkan bahwa seorang kepala negara harus memperhatikan keadaan warganya. Para khalifah adalah orang-orang yang lebih mementingkan umatnya daripada dirinya. Karena itu Ali pun lebih memilih cara-cara yang layak sesuai kondisi rakyat. Dia memberi petunjuk orang-orang yang melakukan kesalahan, dan memberi bantuan kepada yang lemah. Meskipun sebagai khalifah, suatu saat Ali tetap membawakan barang kebutuhan orangorang tua yang dia jumpai. Ketika sahabat-sahabat yang tahu hal ini hendak mengambil alih bawaan itu, Ali menolak sambil menyitir Al Quran: “Negeri Akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al Qashash/28:83) Ketika di Syam, Muawiyah menghasut masyarakat untuk mencaci maki dan mengutuk Ali, di Kufah khalifah mencegah rakyatnya untuk membalas mencaci maki Muawiyah, dan menimnta rakyatnya untuk berdoa: “Ya Allah, peliharalah darah kami dan darah mereka, persengketaan kami dengan mereka.” Nah, demikianlah para sahabat besar itu memberikan keteladanan hidup sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi. Semua bentuk akhlak yang mereka tampilkan itu sebagai wujud kecintaan mereka kepada Allah dengan cara mengikuti keteladanan Rasul Allah. Harapan mereka adalah ampunan atau perlindungan dari Allah, Tuhan semesta alam. Keteladanan-keteladanan yang mulia inilah yang diwarisi oleh mereka yang memilih jalan kesufian. Mereka tak mau bid’ah-membid’ahkan sesama umat. Mereka memberikan contoh yang bisa menentramkan hati orang yang sedang gundah. Jalaluddin Rumi mengajar mereka yang non-muslim dengan sepenuh hati, tanpa meminta mereka pindah agamanya. Mereka, para murid yang terdiri dari orang-orang Muslim dan non-muslim, diperlakukan sama baiknya. Ajaran “tidak ada paksaan dalam agama” (QS 2:255) dipraktikkan dengan benar. Betul-betul tidak ada paksaan! Jika ada orang yang tertarik dan pindah ke Islam, ya diterima dengan baik. Jika tetap teguh dengan agamanya ya tetap dipuji. Dengan cara ini, orangorang Turki yang semula hanya 20% penduduknya yang beragama Islam ketika Rumi pindah ke Turki, akhirnya dengan kesadarannya sendiri rakyat Turki banyak yang pindah ke Agama Islam. Sehingga di akhir hayatnya, ada 60% penduduk yang beragama Islam. Sejarah para wali di Jawa sebenarnya juga demikian. Islam diterima di Jawa dengan penetrasi damai. Walaupun tidak menutup mata bahwa ditingkat kekuasaan negara, para wali itu pun berebut pengaruh. Dan hal ini maklum, karena yang asli Jawa itu cuma Sunan Kalijaga. Namun, di hadapan umat mereka berusaha melakukan akulturasi yang menyejukkan rakyat. Mereka tetap mencoba memberikan langkah-langkah dalam kedamaian hidup di dunia ini. Kesederhanaan masjid-masjid yang di nusantara sebenarnya menunjukkan bahwa yang membawa ajaran Islam adalah mereka yang berperilaku hidup tasawuf. Adanya Islam “wetu telu” atau shalat di tiga waktu yaitu subuh, zuhur dan magrib, di Lombok ke timur dan di Talaud di Sulut menunjukkan yang memperkenalkan Islam itu para sufi. Para ahli tasawuf ini tak mau unjuk kesombongan. Jadi, secara gradual mereka menyemai Islam dengan cara damai. Hidup bertauhid seperti ayat nomor 2 di atas sangat ditekankan. Kemana saja manusia itu memalingkan dirinya, niscaya ia tetap menghadap Wajah Allah. Sekali lagi, menghadap Wajah Allah! Hal ini harus dipahami benar, mengapa tidak dinyatakan “menghadap Allah” saja, melainkan menghadap Wajah Allah. Karena, apa saja yang ada di penjuru mata angin, bukanlah Allah. Islam tidak mengajarkan pantheisme, bahwa Allah adalah keseluruhan alam ini. Islam mengajarkan bahwa semua ini ada karena dihadirkan oleh Allah. Dia Maha Meliputi segala sesuatu. Dengan demikian, kemana saja kita menghadapkan diri kita, di situlah kita melihat kehadiran Allah. Tanpa Dia tak akan ada wujud alam semesta ini. Wujud alam ini menunjukkan kehadiran-Nya. Karena itu kemana kita memandang, maka yang kita pandang adalah Wajah Allah. Dengan fundamen yang kokoh itu, layaklah sebagai hamba kita diseru untuk senantiasa berzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya, dan bertasbih dari pagi hingga petang. Dengan lain kata, berzikir kepada Allah yang mengiringi aktivitas kita sepanjang hari. Hal ini dimaksudkan agar nurani kita semakin tajam dalam hidup ini. Sehingga kita bisa keluar dari kegelapan hidup ini menuju daerah kehidupan yang terang, yang bercahaya, yang transparan. Jika hidup ini bisa kita jalani dengan Ajaran yang mulia ini niscaya kita tidak timbul saling curiga dalam kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berzikir untuk selalu ingat Yang dicintai, yaitu Allah. Bertasbih adalah tindakan untuk menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak terpuji. Tindakan untuk menjauhkan diri dari segala yang tidak patut dilakukan sebagai kekasih Allah. Jadi, bertasbih alias memahasucikan Tuhan, bukanlah cuma mengucap “subhaanallah”. Tetapi ia merupakan perbuatan yang nyata-nyata untuk menjauhkan segala sifat yang tidak patut diatributkan kepada Tuhan. “Subhaana rabbika ammaa yaashifuun,” Mahasuci Tuhan engkau dari apa yang mereka sifatkan. Semua perbuatan bajik itu ditunaikan oleh orang-orang yang mencintai Tuhan karena mereka sadar bahwa Kekasih mereka itu selalu mengawasi mereka. Mereka merasa hidup ini dalam pengawasan Tuhan. Para pencinta itu tak ingin ditinggalkan oleh Sang Kekasih. Mereka sadar bahwa kehadiran Sang Kekasih itu lebih dekat kepada jiwa-jiwa mereka daripada urat nadi leher mereka. Bisikan sekecil apa pun kepada jiwa mereka pasti diketahui. Ada prinsip transparansi dalam akuntansi kehidupan ini. Bagian ke-2 Pada bagian ke satu, telah dikutipkan surat Aali Imraan/3:31 yang terjemahannya sebagai berikut, “Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan menutupi dosadosa kamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah.” Dalam kehidupan ini banyak orang yang tidak bisa membedakan antara kata “mengikuti” dan “meniru”. Yang diperintahkan kepada umat manusia adalah “mengikuti” atau “ittiba‘”, bukan meniru. Hal ini jelas, karena manusia bukanlah hewan. Manusia adalah sebuah kepribadian yang bisa tumbuh dan berkembang. Manusia adalah kepribadian yang dapat tumbuh dewasa. Mula-mula manusia tumbuh menjadi “kanak-kanak” yang sifatnya hanya meniru. Ia berusaha meniru perilaku di lingkungannya. Dalam bahasa agama, ia dikatakan tumbuh secara “taqlid”. Mengapa peniruan oleh kanak-kanak ini disebut taqlid? Karena tahap pemikiran kanak-kanak belum berkembang dengan baik. Sedangkan meniru adalah tahap pertama dalam proses pendewasaan pribadinya. Kanak-kanak ingin melakukan apa saja yang dilihatnya. Ia belum bisa mengerti alasan mengapa perbuatan tertentu dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya. Seandainya kanak-kanak itu bisa berjanggut, maka ia akan memelihara janggutnya bila orang-orang di sekitarnya berjanggut. Contoh yang paling konkret dalam bertaklid adalah “merokok”. Perbuatan merokok yang dilakukan oleh para remaja adalah produk dari taklid. Akhirnya, perbuatan ini menjadi kebiasaan sampai dewasa dan tua, mungkin seumur hidupnya. Banyak sekali perbuatan agamis kita ini juga hasil dari taklid ketika kita masih kecil atau ketika kita bersentuhan pertama kali dengan ajaran-ajaran agama. Kalau toh sekarang ini kita mengaji Al-Quran dan Al-Hadis, lebih banyak ayat-ayat itu sebagai pembenaran atau “justifikasi” bagi kepercayaan atau perbuatan yang telah kita lakukan. Sebaliknya, kita ini jarang sekali yang menelaah Al Quran dan Al Hadis untuk melahirkan suatu produk yang berupa perbuatan etika (sopan-santun), estetika (keindahan), dan spiritual (semangat hidup) yang unggul. Semenjak mandegnya kemunculan tokohtokoh besar Islam 1.000 tahun yang lalu, praktis umat Islam hanya bertaklid kepada mereka. Perbedaan-perbedaan yang muncul dari sikap taklid ini tidak menghasilkan rahmat bagi umat Islam. Bahkan sering perbedaan ini menjadi bencana atau mala petaka bagi umat. Mengapa demikian? Karena perbedaan itu tidak tumbuh dari pencarian. Perbedaan yang tumbuh dari peniruan, akan melahirkan “claim-claim” kebenaran. Banyak orang yang beranggapan bahwa apa yang ditirunya (bukan diikutinya, sekali lagi bukan diikutinya) sebagai yang paling benar. Akhirnya, orang berebut benar sendiri. Orang lain yang tidak sepaham atau seperti apa yang ditirunya dianggap berada dalam jalan yang salah. Ia merasa telah berada di atas dalil yang benar; padahal dalil tadi hanyalah intepretasi atau paham mursyid, gurunya. Nah, tasawuf mengajak kita untuk beramal dengan arif. Tasawuf mengajak kita untuk mencari hikmah Allah. Tak ada kampus atau sekolahan di dunia ini yang memberikan pelajaran hikmah atau “wisdom”. Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, karena itu marilah kita cari, dan di mana pun ia berada harus kita temukan, dan kita ambil. Kitasusuri melalui jalur syariat, kita gunakan cara (tarekat) untuk menemukannya. Lalu kita pahami hakikatnya, dan lahirlah hikmah. Dengan hikmah yang diberikan kepada kita maka kita memperoleh kebajikan yang banyak. Akhirnya, dada kita terasa lapang. Dan, lapang dada adalah sarana untuk mendapatkan hikmah. Surat Al Baqarah/2:269, “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki. Dan barangsiapa yang menerima hikmah, sungguh ia telah diberi kebajikan yang banyak. Tak ada yang dapat memahami pelajaran kecuali kelompok albab.” Kata “khairan katsiira” pada ayat di atas sebenarnya tidak cukup diterjemahkan dengan “kebajikan yang banyak”. Makna “khair” yang lain adalah sesuatu yang sangat baik, rahmat, keistimewaan, keuntungan, dan kesejahteraan. Sehingga proses untuk mencapai status “Hamba-Tuhan” atau “Manunggaling kawula-Gusti” adalah proses pencarian hikmah. Dan seperti yang telah saya jelaskan pada pelajaran-pelajaran sebelumnya, kalimat “siapa yang dikehendaki-Nya” tidak berarti Tuhan berbuat sewenang-wenang. Arti yang sebenarnya kalimat tersebut adalah Dia menghendaki siapa yang menghendaki-Nya. Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad menjadi nabi, bukan karena mereka semata-mata dikehendaki menjadi nabi; tetapi mereka adalah orang-orang yang telah berjuang keras mencari-Nya. Kedua ayat tersebut, yaitu 3:31 dan 2:269 merupakan ayat yang saling melengkapi untuk memahami tasawuf. Pada 3:31 yang ditekankan adalah kecintaan atau “mahabbah” dari Allah kepada hambaNya yang sungguh-sungguh mencintai-Nya. Jika Allah mencintai hamba-Nya maka ditutupinya semua dosa hamba-Nya. Jika Allah menutupi segala dosa hamba-Nya tidak berarti dosa itu dihapus seperti kita menghapus papan tulis yang kotor, tetapi hamba tersebut menerima hikmah dari ssi-Nya. Dengan hikmah tersebut hamba dapat bertindak atau beramal yang mendatangkan keuntungan yang besar. Sehingga dosa atau kerugian yang ada itu tertutupi atau terlunasi. Jika ujung ayat 3:31 berbunyi “Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”, maka ujung ayat 2:269 adalah “Tak ada yang dapat memahami pelajaran atau ayat-ayat Tuhan, kecuali kaum albab. Kaum albab adalah mereka yang mampu menyatukan dada dan kepala, hati dan otak, atau perasaan dan nalarnya. Karena itu mereka layak menerima hikmah. Sedangkan pengampun dan penyayang adalah sifat asli Tuhan. Artinya, Tuhan senantiasa merespon hamba-Nya yang betul-betul memohon ampun dan kasih-sayang-Nya, yang dalam ayat di atas disebutkan sebagai “mencintai Tuhan” yang dibuktikan dengan cara berittiba‘ atau mengikuti Rasul s.a.w. Dalam QS 3:32 disebutkan bahwa mengikuti Rasul itu harus diwujudkan dengan tindakan menaati atau mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Namun, kebanyakan orang memiliki pengertian yang salah tentang kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah sering disamakan dengan Al Quran, sedangkan Rasul disamakan dengan Al Hadis. Allah Yang Maha Hidup dan Maha Besar itu dikecilkan menjadi sekadar sebuah Kitab Suci. Inilah kesalahan yang sangat fatal. Allah adalah Allah! Allah bukanlah Taurat, Zabur, Injil, atau Al Quran. Semua kitab suci hanyalah sebagian kecil dari kalam-Nya. Seandainya lautan itu dijadikan tinta dan pohon-pohon di muka bumi ini dijadikan pena, maka telah keringlah tinta itu sebelum habis kalam Tuhan. Kalam-Nya yang ditulis dalam kitab-kitab itu hanyalah miniatur dari kebenaran Ilahi. Karena kitab suci itu miniatur dari kalam-Nya maka diperlukan pemahaman pesan-pesan-Nya. Kalau hanya sekadar membaca kulitnya, selamanya tak akan pernah mengerti isi kitab suci tersebut. Surat Al Kahfi/18:109 menyebutkan, “Qul lau kaana l-bahru midaadal li kalimaati rabbii lanafida l-bahru qabla antanfada kalimaatu rabbii wa lau ji’naa bi mitslihii madadaa.” “Katakanlah, seandainya air laut itu sebagai tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya air laut itu kering sebelum kalimat-kalimat Tuhanku habis dituliskan; bahkan jika ditambahkan sebanyak itu.” Jadi, jelaslah bahwa kalam Allah itu tak terhingga. Karena kalam Allah itu seluas ilmu-Nya. Dan, keluasan Allah di banyak ayat dinyatakan dengan iringan kemahatahuan-Nya, yaitu “Innallaaha waasi-‘un ‘aliim”, sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui. Nah, belajar tasawuf sebenarnya mempelajari bagaimana caranya mencintai Allah dan mendekatkan diri ke maqam-Nya atau ke Hadirat-Nya. Dia adalah Dzat Yang Maha Hidup, sedangkan kitab suci memuat kalam-Nya. Dia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sedangkan kitab suci bersifat kontekstual yang ada di dalam ruang dan waktu. Dan, Al Quran sebagai salah satu kitab suci, ia berkaitan dengan bahasa dan budaya Arab, lebih tepatnya Arab Qureisy. Lalu bagaimana dengan Muhammad Rasul Allah? Rasul adalah manusia yang diutus untuk mengajarkan kalam Allah tersebut. Seperti yang dikatakan dalam firman-Nya dalam surat al Ghaasyiyah/88:21-22, “Fadzakkir innamaa anta mudzakkir, lasta ‘alaihim bi mushaithir”, Sampaikan ajaran (Tuhan) karena sesungguhnya engkau orang yang menyampaikan ajaran, dan engkau bukanlah orang yang ditugasi untuk menguasai mereka. Dan ayat senada ada pada QS 87:9, yaitu Nabi s.a.w. diperintah untuk menyampaikan ajaran, karena ajaran dari Tuhan itu bermanfaat bagi manusia. Kemudian, dimana letak Al Hadis dalam pengajaran kalam Ilahi kepada umat manusia? Jadi, di dalam mengajarkan kalimat-kalimat Tuhan kepada manusia, Nabi memberikan contoh-contoh yang pas bagi yang beliau ajar. Nabi memberikan contoh sesuai dengan daya tangkap dan tingkat kecerdasan orang-orang yang beliau ajar. Karena itu hadis-hadis itu sifatnya kasuistis. Al Hadis adalah produk atau jawaban bagi masalah yang dihadapi oleh umat pada waktu kehidupan Rasul di bumi. Sehingga Al Hadis harus ditempatkan sebagai referensi dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi. Masalah dalam kehidupan manusia terus berkembang karena adanya perubahan lingkungan hidup manusia. Untuk memberikan solusi yang islami, umat Islam harus merujuk kepada Nabi, bukan meniru Nabi. Beliau telah memberikan “uswatun hasanah” atau contohcontoh yang baik dalam memberikan solusi. Masalah yang paling pokok bagi manusia adalah masalah psikologis, masalah yang terkait dengan faktor kejiwaan. Dapat dikatakan 95% problem manusia adalah problem yang muncul dari jiwanya. Dan, agama-agama diturunkan kepada manusia adalah untuk memberikan jawaban bagi jiwa manusia agar manusia menjadi terarah hidupnya dan dapat menemukan jalan hidupnya. Oleh karena problema manusia itu problema jiwanya, dan daya tangkap dan kecerdasan manusia itu berbeda-beda, maka untuk hal-hal yang bersifat sangat abstrak atau batiniah, oleh Nabi, diajarkan pada orangorang tertentu saja. Dan sumber ajaran tasawuf kalau dirunut hingga akarnya akan dijumpai pada Abubakar dan Ali bin Abi thalib, dan penghulunya adalah Muhammad Rasulullah s.a.w. Dengan demikian mematuhi Allah dan Rasul-Nya tidak sama dengan meniru yang tersurat dalam Al Quran dan Al Hadis. Meniru yang tersurat akan melahirkan sikap spekulatif. Dan, akhirnya mengabsolutkan yang relatif. Hal demikian ini disinggung dalam QS 62:5, Tuhan membuat permisalan bagi orang-orang yang berkewajiban mempelajari isi Taurat, tetapi mereka tidak mau mempelajarinya untuk menemukan hikmah yang terkandung di dalamnya, maka mereka itu diumpamakan sebagai keledai yang mengangkut kitab-kitab yang tebal. Tentu saja kitab-kitab itu tidak bisa menjadi petunjuk bagi keledai. Kitab itu tak akan menjadi solusi bagi mereka. Bahkan kalau cuma dibawa secara fisik, cuma disentuh kulitnya, akan menjadi beban bagi dirinya. Hasil akhirnya adalah kezaliman. Dan Allah tidak memberi petunjuk kaum yang lalim, “Wallaahu laa yahdi l-qauma zh-zhaalimiin,” seperti pada ujung ayat tersebut. Umat manusia tidak diperintah untuk meniru Rasul atau bertaklid kepada beliau, maka itu Allah memerintah Rasul untuk menyeru kepada jalan Tuhan itu dengan menggunakan al-hikmah dan pengajaran yang baik. Jadi, umat diperintah oleh Allah untuk berittiba‘, mengikuti ajaran beliau. Dan beliau serta orang-orang yang menjadi ahli waris ajaran beliau diperintah untuk menyeru ke jalan Tuhan dengan menggunakan hikmah dan peng-ajaran yang baik. Ayat selengkapnya pada QS 16:125 sebagai berikut, “Ud-‘u ilaa sabiili rabbika bi l-hikmati wa l-mau-‘izhati l-hasanati wa jaadilhum bi l-latii hiya ahsanu inna rabbaka huwa a‘lamu bi man dhalla ‘an sabiilihi wa huwa a‘lamu bi l-muhtadiin.” “Serulah mereka itu kepada jalan Tuhan engkau dengan menggunakan hikmah dan mauizhah yang baik. Dan berargumenlah dengan cara yang sebaik-baiknya. Sesungguhnya Tuhan engkau lebih mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya dan orang-orang yang mendapat petunjuk.” Marilah kita rinci pengertian ayat tersebut. Kita pahami kandungannya. Pertama, Nabi?dan orang-orang yang menjadi ahli waris kenabian?diperintah untuk mengajak manusia ke jalan Tuhan. Coba perhatikan makna kata “ajakan”. Jelas bahwa ajakan tidak sama dengan paksaan. Jika kita melihat tingkah laku umat sekarang ini tampak sekali adanya paksaan untuk mempraktikkan agama. Sedangkan Al Quran sendiri menyebut bahwa “tidak ada paksaan dalam beragama”. Lihat kembali surat ke-88 di atas. Betul-betul kehidupan beragama itu sebagai ajakan. Di sini harus bisa kita bedakan dengan pelarangan untuk berbuat kriminal. Untuk mencegah timbulnya kriminalitas atau kezaliman dalam hidup bernegara ini, pemerintah yang berkewajiban menegakkan hukum dan keadilan. Sedangkan warga berkewajiban mematuhinya. Nah, di sini kita harus memahami mana ayat-ayat yang menunjukkan Muhammad sebagai Nabi, dan Muhammad sebagai Kepala Negara/Pemerintahan. Ke dua, diajak menuju jalan Tuhan. Lho, Tuhan punya jalan? Pengertian ayat itu adalah Tuhan telah menciptakan “sabiil” atau jalan bagi ciptaan dan ‘amr (kehendak)-Nya. Ciptaan adalah sesuatu yang menjadi ada melalui sebuah proses, sedangkan kehendak-Nya ada tanpa proses kejadian. Nah, proses kejadian dan kehendak itu mengikuti suatu jalan yang telah ditetapkan Tuhan berdasarkan ilmu-Nya. Dan, jalan yang telah ditentukan Tuhan itu banyak. Karena itu, kata “sabiil” mempunyai kata pluralnya yaitu “subul”. Jalan-jalan ini pada akhirnya menjadi satu di jalan yang besar yang disebut “shiraath”. Dengan demikian, ada satu shiraath yaitu “shiraath al-mustaqiim”. Dan petunjuk ke jalan yang lurus inilah yang kita minta dari Tuhan. Ke tiga, cara mengajak kepada jalan Tuhan itu pun harus menggunakan “hikmah” atau “wisdom”. Tidak ada sekolahan atau tempat belajar untuk memperoleh hikmah. Karena hikmah bukan materi atau sesuatu yang tampak. Hikmah sendiri berasal dari kata “hukum”, karena itu hikmah merupakan esensi kebenaran yang tampak. Diceritakan di dalam Al Quran, surat Al Baqarah/2:251, bahwa Daud sebelum diangkat menjadi Nabi, memperoleh hikmah dari Tuhan. Sehingga beliau mampu mengalahkan Jalud, yang jauh lebih kuat, hanya dengan ketapel. Nah, ide menggunakan ketapel untuk membunuh Jalud itu namanya hikmah. Karena hikmah itu sebuah esensi sebuah kebenaran yang tampak, maka ia tidak bisa didentifikasi layaknya sebuah produk. Sebab jika sekarang Anda bertempur dengan orang yang menggunakan bedil, lalu Anda menggunakan ketapel, ya Anda akan kalah dan kemungkinan besar mati. Ketapel ditangan Anda bukan lagi hikmah namanya. Karena itu hikmah harus digali dan dicari. Tetapi hikmah tak akan kita dapatkan bila kita berlaku lalim, karena Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang bertindak zalim, aniaya, yang merugikan. Ke empat, disamping menggunakan hikmah, orang harus kita ajak dengan menggunakan mau-izhah yang baik. Kata mau-izhah berasal dari “wa- ‘a-zha” yang artinya memberikan nasihat atau peringatan. Jadi, mau-izhah artinya pelajaran yang mengandung nasihat dan peringatan. Dan itu pun harus yang baik, yang tidak menyakitkan hati orang yang di ajak melalui jalan Tuhan. Lha, kalau mengajaknya itu bukan dengan cara yang baik, maka yang diajak akan ketakutan atau malah tidak percaya. Dengan hikmah ajakan itu akan tepat sasaran, dan dengan mau-izhah yang baik yang diajak akan masuk dengan puas. Ke lima, berargumen dengan cara yang sebaik-baiknya. Kadang kala yang diajak itu minta penjelasan dan bahkan membantah. Dalam keadaan demikian, ajakan itu harus disertai argumen atau bantahan yang sebaik-baiknya. Bukan hanya cara yang baik, tetapi yang lebih baik. Sehingga yang diajak tidak tersinggung hatinya. Ke enam, ajakan itu harus disertai kewaspadaan. Di ujung ayat tersebut dikatakan bahwa Tuhan lebih mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya. Meskipun dalam ayat itu dinyatakan “Tuhan lebih mengetahui”, namun dalam praktik, orang yang mengajak kepada jalan Tuhan itu yang harus waspada. Dengan kewaspadaan itu amalan untuk mengajak kepada jalan Tuhan tidak menjadi sia-sia, yaitu kehilangan waktu dan tenaga. Waspada artinya cermat, siapa yang diajaknya berdebat atau berargumentasi itu. Dengan demikian tidak timbul debat kusir. Ke tujuh, kewaspadaan itu harus diikuti dengan persuasi atau kesantunan. Jika sudah di-cermati bahwa orang yang diajak kepada jalan Tuhan itu sungguh-sunnguh orang yang mau mengikuti, maka selanjutnya adalah menyantuninya dengan memberikan binaan dan bimbingan. Dengan cara ini terbentuklah kehidupan umat yang harmonis, yang setara dalam pergaulan hidup, sama-sama berada di jalan Tuhan. Nah, belajar tasawuf sebenarnya belajar untuk dapat mencari dan memperoleh hikmah dalam kehidupan ini. Dengan memperoleh hikmah, kita tidak lagi beribadah untuk mencari surga atau karena takut neraka. Karena hikmah itu sendiri merupakan kebajikan, rahmat, keuntungan, “advantage” yang banyak. Sekian pelajaran hari ini, semoga bermanfaat bagi kita semua, dan kita lanjutkan bagian ke-3. Bagian ke-3 Telah dijelaskan bahwa ajaran tasawuf adalah untuk menggapai hikmah Ilahi, yang pada akhirnya mampu kembali kepada Allah. Dia adalah asal segala keberadaan, baik yang kasat mata maupun yang gaib. Alam semesta ini tumbuh dari wujud yang paling sederhana, yang disebut titik singularitas. Pada suatu masa yang sangat mampat, meledaklah titik singularitas itu. Ilmuwan fisika menamai ledakan ini dengan “big bang”, atau “ledakan besar”. Segala sesuatu ini memang berasal dari titik tunggal seperti yang diungkapkan pada QS 21 : 30, “Dan apakah orang-orang yang ingkar itu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya langit dan bumi itu dahulunya satu yang padu. Lalu Kami pisahkan keduanya. Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari “zat cair”. Maka apakah mereka tetap tidak beriman?” Di antara mufasir Al Quran ada yang mengatakan bahwa “samawat” adalah semua ruang, dan “ardh” adalah materi. Dengan demikian ayat tersebut di atas diterjemahkan menjadi “sesungguhnya ruang dan materi itu dahulunya sebagai wujud yang satu”. Lalu, apa hubungannya ayat ini dengan bahasan tasawuf kita? Ya, ayat ini sebenarnya mengi-ngatkan kita bahwa semua keberadaan ini berasal dari “SATU” wujud. Dari situlah adanya matahari, planet-planet, rembulan, dan semua bintang yang bermilyar-milyar banyaknya itu. Dan di planetlah tumbuh kehidupan, yang berevolusi dari kehidupan satu sel hingga menjadi makhluk milyaran sel yang sangat kompleks yang disebut manusia. Semua makhluk, kecuali manusia, menempuh kehidupannya sesuai dengan komando Tuhan semesta alam. Manusia dalam perjalanan sejarahnya akhirnya menemukan kebe-basan dirinya. Manusia tidak lagi tunduk kepada hukum alam, tetapi berusaha mengatasi alam. Karena itu pada akhirnya manusia dipilih menjadi “khalifatullah fil ardh”, yaitu wakil Tuhan di bumi. Jadi manusia itu bukan “penguasa bumi”, tetapi wakil-Nya di bumi. Sebagai “wakil” tentu manusia harus bisa bertemu dengan-Nya untuk mempertanggung-jawabkan amanat yang diembannya. Dan sudah menjadi “janji” Tuhan bahwa setiap orang pada akhirnya dapat menemui-Nya!! Perhatikan QS 84:6-9, “Hai manusia sesungguhnya engkau telah berusaha sungguh-sungguh menuju Tuhan engkau, dan engkau niscaya menemui-Nya. Dan orang yang menerima rekaman pada tangan kanannya, maka ia mendapatkan penilaian yang baik. Dan ia akan kembali kepada keluarganya dengan gembira.” Jadi, kapan seseorang bertemu dengan-Nya? Yaitu, ketika orang itu sudah bisa menyucikan dirinya, yang pada ayat tersebut dikatakan sebagai ‘menerima rekaman amalannya pada tangan kanannya’. Tentang ayat 9 yang menyatakan kembali kepada keluarganya dengan gembira, tidak kita bahas sekarang ini. Bertahap supaya kita tidak bingung! Yang jelas, untuk bisa bertemu dengan-Nya, kita harus sungguh-sungguh mencari-Nya. Agar kita bisa mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang kita emban, yaitu tugas untuk “hamemayu ayuning bawana”, menciptakan kebaikan dan keindahan di bumi ini. Sehingga pada QS 21:105 disebutkan oleh Tuhan bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Nya yang saleh, hamba yang berbuat kebajikan, yaitu sebagai lawan dari orang-orang yang membuat kerusakan di bumi. Hal inilah yang disinggung dalam surat al-Baqarah/2:11, “Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang kafir): ‘Jangan membuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang saleh.’” Jadi, kesalehan adalah lawan dari kekafiran. Mencintai-Nya, tentu diikuti dengan tindakan mencari-Nya. Omong kosong, orang yang mengatakan ‘mencintai’ Dia tanpa ada keinginan untuk bertemu dengan-Nya! Tapi bagaimana mencari-Nya, wong Dia itu tak tertangkap oleh indera kita. Dia memang Maha Besar, Allaahu Akbar, tetapi Dia juga Maha halus, wa huwa lathiif. Dikonfirmasi dalam surat al-An-‘aam/6:103, “Dia tidak dapat dicapai oleh indera, sedangkan Dia meliputi indera. Dia Maha Halus dan Maha Menyadari.” Karena Dia tidak tertangkap oleh indera itulah, Allah memerintahkan manusia untuk berittiba’ atau mengikuti Rasul-Rasul-Nya, yang untuk umat Islam berittiba’ kepada Nabi Muhammad s.a.w. Rasul adalah juga manusia seperti kita. Ia manusia yang makan, minum, dan bekerja layaknya manusia biasa. Sebagian besar dari rasul justru memilih kehidupan berkeluarga. Namun mereka itu manusia yang mempunyai kualitas lebih dari kebanyakan manusia. Yang jelas semua rasul/nabi tahan menderita. Semangat hidupnya tinggi. Makan, minum, dan tidurnya relatif sedikit. Mereka terpanggil untuk mewartakan jalan hidup yang benar. Mereka bahkan tidak hanya mewartakannya, tetapi membawa dan menggembalakan umat manusia. Tentu saja sifat jujur, tepercaya, cerdas, dan menyampaikan kebenaran itu adalah sifat mereka. Nah, di antara para rasul dan yang menjadi penghulu para nabi adalah Nabi Muhammad s.a.w. Muhammad memiliki keteladan yang baik bagi umat manusia yang mendambakan Allah dan Hari Akhir dan banyak berzikir kepada Allah (QS 33:21). Seperti yang telah dijelaskan di bagian ke-2, mengikuti keteladanan tidak sama dengan meniru. Meniru adalah proses pendewasaan tahap awal seorang anak manusia. Sedangkan mengikuti keteladanan, termuat usaha untuk mengerti apa yang diteladankan. Mengikuti juga tidak sama dengan “sekadar ikut” atau menyertai. Dalam tindakan mengikuti, terdapat proses menyempurnakan diri. Ada upaya untuk mengadopsi dan mengadaptasi. Mengapa demikian? Karena keteladanan dari seseorang tak lepas dari budayanya. Pakaian gamis tentu sangat cocok dengan budaya padang pasir. Namun kata “gamis” tersebut di negara Spanyol ketika dikuasai oleh Bani Umayyah, berubah menjadi kamisa dan akhirnya kemeja seperti yang kita kenal di Indonesia. Untuk mengikuti Nabi, manusia diperintah untuk mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Selama beliau di Mekah, wahyu yang memuat kalimat perintah “athii-‘uu” hanya ada di surat Thaahaa/20:90. Dan itu pun mengabarkan perintah Nabi Harun a.s. kepada umatnya. Sedangkan kalimat perintah “athii‘uuni”, patuhilah aku, hanya ada di surat asy-Syu-‘araa, yaitu surat ke-26 pada ayat 108, 110, 126, 131, 144, 150, 163, 179; dan surat ke-43 (az-Zukhruf) ayat 63, serta surat Nuh/71:3. Dan semua perintah “patuhilah aku” pada semua ayat tersebut adalah perintah nabi-nabi, seperti Nuh, Shaleh, Hud, Syuaib, Luth dan Isa, kepada umat beliau masing-masing. Perintah “patuh kepada Allah dan Rasul” baru muncul pada periode Nabi s.a.w. di Madinah Ada 13 ayat Madaniyah yang memerintahkan manusia untuk patuh kepada Allah dan Rasul, yaitu ayat 3:32,132, 4:59, 5:92, 8:1,20,46, 24:54,56,47:33, 58:13, 64:12,16. Jika ayat-ayat Makiyah menegaskan bahwa Rasul itu sebagai penyampai Ajaran Tuhan, maka ayat-ayat Madaniyah memberitahukan bahwa Rasul juga Pemimpin umat yang harus dipatuhi. Apa yang disampaikan di Mekah adalah Ajaran yang universal dari Islam, sedang yang di Madinah lebih spesifik sebagai solusi bagi kehidupan masyarakat Arab pada waktu itu. Hal itu jelas sekali bila kita memperhatikan hukum-hukum yang tertera pada 5:89-91, yang mendahului perintah ketaatan kepada Allah dan Rasul pada 5:92. Demikian pula jika kita memperhatikan perintah tentang kepatuhan kepada Rasul dalam surat alAnfaal (Rampasan Perang). Perintah itu sangat erat kaitannya dengan peperangan, agar pasukan tentara yang dipimpin Nabi tetap solid (bersatu), teguh dan tetap mengikat tali persaudaraan orangorang beriman. Pada intinya semua ayat tersebut, kecuali 64:12-16, menjelaskan kepatuhan umat kepada Rasul ketika beliau ada di tengah-tengah mereka. Nah, sejak 632 M secara fisik beliau sudah tidak hadir di tengah-tengah umat. Kehadiran beliau di tengah-tengah umat bersifat ruhaniyah. Dengan demikian, taat kepada Allah Yang Maha Gaib itu dan taat kepada Rasul dalam keadaan gaib, merupakan kepatuhan yang bersifat spiritual. Kepatuhan spiritual, yang di dalam bahasa tasawuf Jawa sebagai “Sembah Jiwa”, adalah jalan kepatuhan terakhir untuk memasuki tingkat kerohanian tertinggi, yaitu alam nubuwat atau “kenabian” seperti yang dinyatakan pada surat an-Nisa’/4:69. Yang di dalam ayat itu disebutkan bahwa orang-orang yang mendapat anugerah kenikmatan dari Tuhan adalah para shalihin, para syuhada’, para shiddiqin, dan para nabi. Yang dimaksud dengan para nabi, tidak berarti mereka yang menyatakan dan dinyatakan sebagai “nabi” dalam bahasa Arab, tetapi semua orang yang menjadi “ahli waris kenabian” yaitu mereka yang disebut ulama, baik dalam Al Quran maupun Al Hadis (al‘ulamaa-u waratsatu l-anbiyaa’, ulama itu ahli waris para nabi). Yang saya maksud dengan ulama di sini, bukan sebutan ulama yang ditempelkan pada orang tertentu. Tetapi orang-orang yang ada di barisan para nabi Allah. Ulama demikian inilah yang dikabarkan dalam surat ar-Ra’d (guruh)/13 : 7, “Wa yaquulu l-ladziina kafaruu laulaa unzila ‘alaihi aayatun min rabbihii innamaa anta mundzirun wa li kulli qaumin haaad.” Berkatalah orang-orang yang ingkar (kafir) itu, “Mengapa tidak diturunkan suatu mukjizat dari Tuhannya kepada Muhammad?” Engkau (Muhammad) sesungguhnya salah seorang yang memberi peringatan! Dan setiap kaum itu ada orang yang memberi petunjuk (Haad). Jadi, jelas bahwa orang yang senantiasa terpanggil untuk memberi peringatan dan petunjuk tentang jalan hidup yang benar dalam suatu kaum itu selalu ada. Dan Nabi adalah salah seorang Haad itu. Dengan demikian, Haad atau orang yang memberi petunjuk untuk berbuat dan bertindak benar kepada suatu kaum ada di barisan para nabi. Mereka adalah orang-orang yang menerima tongkat estafet kenabian. Mereka itulah para ahli waris nabi. Sehingga di dalam suatu Al hadis disebutkan bahwa para ulama di kalangan umat beliau bagaikan para nabi Bani Israel. Mereka tidak memerlukan sebutan nabi bagi diri mereka. Sebab Penghulu para nabi adalah Muhammad s.a.w. Lalu, apa hubungannya menjadi ulama dengan belajar tasawuf? Apakah belajar tasawuf itu untuk menjadi wali atau ulama? Tentu saja tidak! Kodrat dan irodat Tuhan dalam diri setiap manusia itu tidak sama. Kapasitas manusia untuk mengarungi hidup ini berbeda-beda. Kita lihat saja di sekolahan, untuk kelas yang sama tak ada orang yang kepandaiannya sama. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan atas yang lain. Meskipun di sekolah suatu nilai itu ada standarnya, tetapi sepuluh orang yang mendapat nilai matematika yang sama, tetap kepandaiannya tak ada yang sama. Tuhan Maha Mengetahui! Setiap orang mempunyai kodrat dan iradatnya sendiri. Kapasitas dan kapabilitas usaha manusia berbeda-beda. Penggolongan pada manusia juga karena adanya perbedaanperbedaan itu. Demikian pula penggolongan tentang kesalehan, seperti shalihin, syuhada’, shiddiqin, dan nabi, adalah karena adanya kapabilitas yang berbeda-beda. Nah, orang-orang yang memiliki perbedaan kapabilitas yang tidak berarti biasanya dimasukkan dalam satu golongan atau tingkatan, maqam, posisi, stasiun atau dengan sebutan lainnya. Dan Allah pun memerintahkan manusia untuk bertakwa sesuai dengan kesanggupan atau kapabilitasnya. Dalam surat at-Taghaabun/64:16 disebutkan, “Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu. Dengarlah dan patuhilah, serta belanjakan hartamu, itu yang lebih baik bagi jiwamu. Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran jiwanya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Jika demikian, untuk apa kita belajar tasawuf bila kodrat dan irodat dan kapabilitas manusia itu berbeda-beda? Di bagian depan telah disampaikan bahwa belajar tasawuf itu untuk menjadi hambahamba yang mencintai dan dicintai Tuhan. Dengan kata lain untuk bisa kembali dan bertemu denganNya. Dan jalan kembali untuk bertemu dengan Tuhan itu bisa kita peroleh bila kita menjadi manusia yang arif dalam hidup ini. Dan, orang yang arif itu adalah orang-orang yang memperoleh hikmah atau kesadaran. Seberapa besar hikmah yang diterima, itulah yang menempatkan orang-orang itu dalam tingkatan shalihin, syuhada’, shiddiqin, dan para nabi. Tentu saja hikmah yang diterima syuhada’ lebih besar daripada yang diterima shalihin, shiddiqin lebih besar dari syuhada’ dan hikmah terbesar yang diterima para nabi dan ahli warisnya. Shalihin adalah manusia standar yang diharapkan dalam Islam. Jika diterjemahkan secara sederhana adalah kelompok orang-orang yang saleh, yang berbuat kebajikan. Amal saleh dan iman merupakan paket yang tak terpisahkan. Amal saleh harus lahir dari iman seseorang, dan iman pun terbentuk karena kesalehan orang itu. Dalam pengertian yang sederhana, orang saleh adalah orang yang melakukan hal-hal yang bermanfaat, baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungannya. Syuhada’ adalah orang-orang yang menjadi saksi kebenaran. Orang-orang yang rela mengorbankan dirinya bagi orang lainnya. Karena itu orang yang gugur dalam membela kebenaran disebut orang yang “mati syahid”. Dengan kata lain, syuhada’ bukan cuma mereka yang mati syahid. Menurut Hadis yang diriwayatkan oleh Malik, Ahmad, Abu Daud, An Nasaa-i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, dan yang bersumber dari Sahabat Jabir dan Atik, ada tujuh macam orang yang mati syahid, yaitu orang yang terbunuh di jalan Allah, meninggal karena kolera, tenggelam, paru-paru, penyakit perut, reruntuhan, dan melahirkan. Mengapa orang yang meninggal karena berbagai penyakit atau kecelakaan disebut mati syahid? Hal ini harus dipahami bahwa standar masyarakat Islam adalah orang-orang saleh. Di tengah masyarakat yang saleh, orang yang dengan tabah menerima penyakit yang menimpanya dan mencoba berobat, lalu meninggal, maka mereka adalah syahid. Tabah dan berobat adalah bentuk kebajikan yang lebih tinggi dari sekadar amal saleh. Menurut Hadis, orang yang terserang penyakit menular yang memati-kan harus bersedia dikarantinakan agar tidak terjadi penularan. Ketabahan dan upaya ber-obat inilah yang membuat orang yang sakit itu menyelamatkan banyak orang. Karena itu orang yang terserang jenis-jenis penyakit itu (waktu itu hanya teridentifikasi kolera, paru-paru dan perut) dan meninggal disebut syahid. Juga masalah reruntuhan, hal ini menunjuk-kan kepada kita ada orang yang rela untuk melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya untuk kemaslahatan orang banyak. Kita lihat saja, ada orang yang rela bekerja sebagai “cleaning service” yang membersihkan dinding bangunan bertingkat tinggi, yang risiko kehilangan nyawanya sangat besar. Bayangkan jika setiap orang hanya menginginkan pekerjaan-pekerjaan yang aman-aman saja, apakah kita bisa hidup sejahtera? Orang yang meninggal karena kecelakaan, mungkin saja ia termasuk orang yang lalai. Mungkin saja, bukan pasti! Yang jelas ada orang-orang yang sudah berhati-hati dan mengikuti aturan yang benar, tetap tertimpa kecelakaan hingga meninggal. Terlalu banyak macam kecelakaan, walaupun dalam hadis disebutkan hanya dua yaitu karena reruntuhan dan tenggelam. Tetapi, intinya berbagai kecelakaan itu akan mendorong orang untuk memikirkan cara berbuat dan bertindak agar tidak terjadi kecelakaan. Dengan demikian meninggal karena kecelakaan juga mendorong lahirnya undangundang tentang kesela-matan dan cara-cara penyelamatannya. Dan, banyak orang yang selamat dari kecelakaan. Wajar, orang yang meninggal akibat kecelakaan mendapat status syahid. Orang yang juga tergolong mati syahid adalah orang yang mati akibat melahirkan. Ya, melahirkan adalah kesediaan untuk melakukan kodrat dari Tuhan. Yang menciptakan kodrat adalah Tuhan, dan yang menerima kodrat adalah wanita. Menurut ilmu ekonomi, besarnya keuntungan tergantung dengan besarnya risiko. Orang yang hanya mau menerima keuntungan kecil, risiko yang mungkin ditimbulkannya juga kecil. Kalau mau mendapat keuntungan yang besar, maka harus siap dengan risiko yang besar. Nah, kesyahidan adalah imbalan dari risiko kematian akibat melahirkan. Syuhada’ tidak hanya bagi mereka yang mati karena gugur di medan perang, terserang penyakit yang mematikan, kecelakaan maupun akibat melahirkan. Dari ketujuh macam orang yang mati syahid adalah orang yang meninggal “di jalan Allah”. Meninggal di jalan Allah mempunyai pengertian yang luas. Siapa saja yang konsisten berbakti kepada Tuhan hingga meninggalnya, adalah orang tergolong syuhada’. Wartawan yang menyam-paikan kebenaran yang seharusnya disampaikan kepada khalayak ramai, terus dijahati hingga meninggal, adalah syuhada’. Orang yang berani menasihati penguasa yang zalim, dan terbunuh, juga syuhada’. Dan banyak lagi yang tidak disebutkan di sini. Shiddiqin adalah orang-orang yang berbuat kebenaran, atau orang-orang yang ucapan dan tindakannya tulus sepenuh hatinya. Untuk memberikan gambaran tentang orang shiddiqin, saya ambilkan contoh Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. Cuma satu contoh yang bisa dikembangkan sendiri! Dari awal beliau menunjukkan ketulusan hidupnya. Beliau membebaskan budak ketika masih di awalawal perjuangan Islam. Rela tinggal di Gua Tsur bersama Rasul Allah ketika hijrah ke Madinah. Beliau berani tampil untuk dicaci-maki ketika membela Rasul Allah. Orang-orang yang berkarya besar untuk kesejahteraan manusia adalah mereka yang ada di kelompok shiddiqin. Para nabi adalah orang-orang yang menjadi rasul, pemberi petunjuk (Haad), dan siapa saja yang mengambil jalan para nabi atau ahli waris para nabi. Mereka bukan hanya mencintai dan menegakkan kebenaran, tetapi juga mengajarkan kemanusiaan dengan ke-teladanan dan ajaran. Di dalam Al Quran maupun Hadis, tidak ada pembedaan definisi antara nabi, rasul, dan haad. Sebutansebutan itu tergantung peran yang dilakukannya. Seperti ayah dan suami. Ia disebut ayah jika yang diperankan adalah ayah dari anak-anak hasil perkawinannya. Pada saat yang lain ia disebut sebagai suami jika peranan yang dimaksud sebagai pasangan sah dalam perkawinan. Begitu juga dengan kenabian. Dia disebut nabi bila perannya adalah orang yang menerima berita paripurna dari Tuhan. Dan dia disebut rasul bila dia mengemban misi penyelematan umat manusia. Nah, dengan bertasawuf orang dididik untuk bisa kembali kepada Tuhan, sesuai dengan kemampuannya, dan bertemu dengan-Nya di maqam masing-masing. Bila tidak mampu menemukanNya di stasiun shiddiqin, ya cukup bertemu di stasiun shalihin. Yang jelas, manusia harus bisa bertemu dengan-Nya. Karena itu digambarkan dalam Al Quran bahwa orang yang melihat Tuhan itu dengan wajah berseri-seri. Sehingga dilukiskan dalam berbagai penjelasan bahwa kenikmatan yang tertinggi adalah saat manusia menyaksikan Tuhannya. Dalam surat al-Qiyaamah/25:22-23 dinyatakan, “Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri (bercahaya), kepada Tuhan mereka itu memperhatikan.” Wajar bila kita bertemu Tuhan itu tampil dengan berseri-seri yang alami. Keberserian itu muncul dari dalam diri yang senantiasa mendabakan-Nya. Tidak dibuat-buat atau direkayasa. Seperti terpancarnya sinar dari sumber cahaya. Kita tidak perlu membayangkan jauh-jauh, cukup kita lihat orang yang bertemu dengan orang yang sangat dicintainya. Karena itu bertemu dengan yang dicintai itu merupakan kenikmatan yang luar biasa. Dan minimal orang harus bisa bertemu di tangga shalihin. Memang, semakin atas tangga tempat pertemuan hamba dan Tuhan, semakin nyata dan nikmat. Namun, manusia toh harus berjuang untuk mendaki ke tangga yang tertinggi. Di maqam itulah tabir antara hamba dan Tuhan sudah lenyap. Hilang segala keraguan dan mantab hati memandangnya! Bagian ke-4 Di bagian ke-3 diterangkan bahwa kita semua, alam semesta ini, dihadirkan oleh Tuhan dari “Satu Wujud”. Lalu, dipisahkan-Nya wujud yang satu itu menjadi triliunan entitas atau wujud. Dari wujud-wujud itu ada yang menjadi “sarana” kehidupan, seperti planet bumi; dan ada pula yang menjadi “wahana” kehidupan. Yang pertama adalah alat, lingkungan atau perlengkapan untuk mencapai tujuan, sedangkan yang belakangan adalah kendaraan untuk mencapai tujuan. Jadi, bumi adalah tempat kehidupan dan badan adalah kendaraan bagi sang hidup untuk kembali kepada Yang Maha Hidup. Nah, tubuh atau fisik kita sebenarnya hanyalah “kendaraan” atau “alat transpor” bagi “Diri Sejati” kita, “hidup” kita, atau “sukma” kita. Saya sengaja tidak menggunakan kata “aku” untuk menghindari kesalahpahaman dengan “ego” atau ananiyah, keakuan. Jadi, untuk selanjutnya diri sejati yang ada pada masing-masing diri kita, saya singkat dengan “DS”. Ya, dialah penunggang kereta yang bernama badan jasmani ini. Dialah yang disebut “sang hidup”. Baju yang digunakan DS ini namanya “nafs” atau jiwa. Dan, DS ini roh adanya. Karena itu, manusia yang hidup ini sebenarnya terdiri dari komponen yang bersifat fisik (corpus, badan), nafsani (animae, jiwa atau nyawa), dan rohani (spiri-tus, semangat atau roh). Fisik, jiwa dan roh adalah kelengkapan bagi DS untuk menjalani hidup ini. Jika jiwa putus hubungan dengan fisik, maka manusia disebut mati. Dari komponen badan, jiwa dan roh, maka jiwa adalah tali penghubungnya. Jiwa yang dalam bahasa Arabnya “nafs” berasal dari kata kerja “na-fusa” yang berarti menginginkan, berhasrat, atau bernapas. Artinya, jiwalah yang menyebabkan badan jasmani ini menjadi hidup. Dan jiwa pula yang membuat manusia bisa merasa duka dan suka. Bila jiwa ini putus hubungan dengan jasmani karena jasad tersebut tak dapat dioperasikan lagi maka matilah badan. Dengan kata lain, “jiwa mengalami mati”. Dalam cacah penduduk dikatakan bahwa di lingkungan itu tinggal sekian jiwa. Bila ada kecelakaan yang menyebabkan kematian dikatakan “kecelakaan itu menyebabkan terenggutnya sekian jiwa” atau “sekian jiwa melayang”. Jadi, peranan jiwa bagi DS sangat penting. Lalu, dimana fungsi roh bagi DS dalam kehidupan? Di dalam Al Quran Surat Al Israa’/17:85 dinyatakan, “Mereka bertanya kepada engkau tentang roh. Katakan, ‘Roh itu amar (kehendak) Tuhanku. Kamu tidaklah diberi ilmu (tentang roh) kecuali sedikit’.” Banyak orang yang menerjemahkan ayat tersebut dengan “roh itu urusan Tuhanku”. Dengan terjemahan tersebut, pintu pemahaman roh telah mereka tutup. Akibatnya, dunia ilmu pengetahuan kita semakin tertinggal. Roh berasal dari kata dasar Arab “ra-wa-ha”, artinya mengipasi, menyegarkan kembali, menghidupkan hati, atau membangkitkan semangat. Kata yang seakar kata dengan roh adalah “riyah” atau angin, “raahah” atau senang, nyaman, atau rekreasi, dan “rauhah” atau perjalanan. Kata “rawaah” berarti pergi atau keberangkatan. Minuman anggur dalam bahasa Arabnya adalah “raah”. Dan, istirahat dalam bahasa kita juga berasal dari akar kata yang sama dengan roh. Kata roh dalam Al Quran selalu dinyatakan dalam bentuk tunggal. Roh merupakan perlengkapan bagi DS untuk mengembangkan dirinya. Dengan rohnya manusia bisa meningkatkan dan membedakan dirinya dari dunia hewan. Dengan roh manusia dapat memberdayakan akalnya atau “alqalam” yang ada di dalam dirinya. Perlu diketahui bahwa dengan al-qalam Tuhan mengajari manusia dari apa-apa yang belum diketahuinya. Lihat kembali Surat al-‘Alaq/96: 4 ? 5. Nah, DS yang terampil mempergunakan al-qalam inilah yang dalam Tasawuf Jawa disebut “Guru Sejati” atau “Sukma Sejati”. Pada tahap inilah manusia bisa menorehkan keindahan dan kemajuan di bumi ini. Dengan GS-nya manusia mampu membuahkan “ilmu” yang tidak diajarkan oleh manusia sebelumnya. Dari manakah ilmu itu? Tentu saja langsung dari Tuhan. Inilah yang difirmankan dalam Surat alKahfi/18:65, “Kami telah memberikan rahmat kepadanya dan mengajarkan suatu ilmu dari sisi Kami.” Juga dinyatakan dalam Surat al-Baqarah/2: 282, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah mengajarmu. Dan Allah itu Maha Mengetahui segala sesuatu.” Dengan demikian, Allah mengajar DS dengan al-qalam sehingga DS menjadi GS bagi dirinya. Lho, apa hubungannya pemahaman GS dengan tasawuf? Apa tidak terlalu tinggi jika setiap orang harus bisa mengangkat derajat DS-nya menjadi GS? Bukankah derajat itu untuk sedikit orang di dunia ini? Bukankah secara umum manusia ini tergolong orang awam? Apa tidak mubazir belajar demikian ini? Mari kita ingat lagi ajaran yang telah diberikan pada bagian sebelumnya. Ajaran tasawuf membawa manusia untuk bisa mendapatkan hikmah dalam kehidupan ini. Telah dijelaskan bahwa hikmah itu tak ada kampus atau sekolahannya. Pengajar hikmah adalah Tuhan Yang Mahaesa! Tuhan mengajar manusia (DS-nya) dengan al-qalam. DS yang mendapat ilmu dari sisi Tuhan, akhirnya menjadi guru bagi dirinya. Guru yang ada di dalam diri manusia itulah sebenarnya guru yang waskita, yang betulbetul awas. Sehingga dia disebut sebagai “Guru Sejati”. Jika nurani manusia bekerja maka sesungguhnya yang bekerja adalah GS-nya. Menurut filsafat, pengetahuan yang sejati pun lahir dari dalam DS seseorang. Jika DS seseorang tertutup atau tak bekerja, maka orang itu tak akan mampu menghasilkan ilmu baru. Bila DS seseorang tak bekerja, maka maksimal ilmu yang didapat oleh orang tersebut adalah sebanyak yang diajarkan oleh gurunya. Iptek yang dihasilkan oleh orang yang terdidik adalah “inovasi”, bukan penemuan atau “invention”. Tanpa penemuan listrik, dunia ini tetap diterangi lampu minyak. Orang naik haji dari Indonesia masih tetap membutuhkan waktu 3 bulan perjalanan. Sedangkan sasaran pokok ajaran tasawuf adalah mengangkat posisi masyarakat ke tingkatan standar, yaitu masyarakat shalihin. Di dalam masyarakat shalihin, manusia-manusia di dalamnya saling menolong dalam kebaikan dan bukan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Difirmankan dalam surat al Ma-idah/5:2, “Dan janganlah kebencianmu terhadap seuatu kaum, karena mereka menghalangimu berkunjung ke Masjid al-Haram, menyebabkan kamu ber-buat melanggar batas (kemanusiaan). Dan tolongmenolonglah dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permu-suhan. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya pembalasan dari Allah amat keras.” Mari kita perhatikan ayat tersebut! Masjid al-Haram adalah pusat peribadatan orang-orang Islam. Sebelum Mekah ditaklukkan oleh Nabi, orang-orang Islam mendapat halangan dari orang-orang Qureisy untuk beribadah di Masjid al-Haram. Tentu saja hal ini membuat orang-orang Islam benci kepada orang-orang Qureisy Mekah. Namun, sikap benci atau kebencian harus dikendalikan. Kebencian itu tidak boleh menyebabkan perilaku yang melanggar batas kemanusiaan. Dalam istilah sekarang kebencian seseorang terhadap suatu kaum tidak boleh menyebabkan ia melanggar HAM. Nah, bagaimana se-seorang bisa mengenal HAM kalau tidak memahami suara nuraninya? Kita diperintahkan untuk saling menolong dalam kebajikan dan saling memelihara dalam kedamaian hidup. Kita dilarang untuk saling menolong dalam kejahatan dan per-musuhan. Bantu-membantu dalam kebajikan, tolong-menolong dalam memelihara per-damaian adalah suara nurani. Nurani adalah kerja DS. Bila DS kita kerangkeng dan kita tutup rapi, maka suara nurani itu tak terdengar lagi. Bila nurani telah hilang maka tak ada artinya syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Semua ibadah itu hanyalah kulit yang rapuh bila tidak terpancar dari hati yang tulus. Memang sekarang ini kita masih jauh dari kehidupan shalihin ini. Kita masih disi-bukkan oleh kepentingan diri-sendiri. Inilah sebenarnya yang merupakan wujud dari ego manusia! Manusia tidak mencoba meniti ke dalam dirinya. Tetapi, ia malah memperturut-kan dorongan egonya, hanya mau memenangkan kepentingannya. Roh yang fungsinya untuk menghidupkan hati, tersekat oleh ego manusia. Manusia yang mestinya mengetuk pintu hatinya, masuk menemuinya DS-nya, dan bertemu Allah; malah lari tunggang langgang seperti “dracula” yang takut cahaya matahari. Lari dari jalan yang benar akan menghadapi risiko yang berat. Inilah sistem kerja semesta! Karena itu dalam ujung ayat tersebut diperingatkan bahwa “pembalasan dari Allah itu amat keras”. Kita jangan sampai menganggap bahwa Allah itu pembalas. Allah bukanlah pembalas! Dia Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Allah yang menetapkan sistem pada ciptaan-Nya dan sekaligus memberinya petunjuk. Namun, jika ciptaan-Nya itu keluar sistem maka sungguh gawat risikonya. Bayangkan bila rembulan di atas kita itu lepas dari orbitnya, maka bumi ini bisa meledak. Karena itu manusia diperingatkan agar tetap men-jaga dirinya di jalan yang benar, jalan yang telah digariskan. Ada 69 kata perintah “ittaquu” atau lindungi atau jaga dirimu, dalam Al Quran. Cara untuk melindungi diri itu telah diinformasikan kepada DS. Sedangkan petanya adalah kitab-kitab suci. Jadi, orang yang membaca kitab suci sebenarnya adalah orang yang membuka peta perjalanan hidup. Sedangkan kehendak untuk melakukan perjalanan ada pada diri manusia itu sendiri. DS tidak muncul bila pikiran manusia keruh, hatinya kotor. Karena kebanyakan DS manusia itu tertutup oleh karat hati, maka manusia diajari untuk membersihkan diri dari bagian luarnya dulu kemudian semakin ke dalam. Nah, cara membersihkan diri dari bagian luar inilah yang dinamakan “syariat”. Setiap umat diberikan syariat, seperti dijelaskan pada 5:48, “Setiap umat di antaramu telah Kami beri syariat dan minhaaj.” Syariat adalah jalan yang dilalui dalam hidup ini. Agar tetap hidup, manusia harus makan. Tetapi makanan yang disyariatkan adalah yang halal lagi baik. Yang halal dan baik ini yang membedakan kehidupan lahiriah antara agama yang satu dengan yang lain. Untuk mempertahankan hidupnya, disamping harus makan, manusia juga harus minum. Minuman yang disyariatkan tentu saja yang halal dan baik. Dalam surat al-Baqarah/2:168 dinyatakan, “Wahai manusia makanlah apa-apa yang halal dan baik yang ada di bumi ini. Dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya ia musuhmu yang nyata.” Jika kita bicara tentang setan maka janganlah membayangkan yang aneh-aneh. Kata setan yang berasal dari kata Arab “syaa-tha” dan “sya-ya-tha” mempunyai arti sesuatu yang membakar, menghanguskan, atau yang menyebabkan hati menjadi keras atau tak berperasaan. Karena itu setan tidak bertempat di luar manusia. Rumah setan adalah manusia itu sendiri. Ia bertamasya di seluruh tubuh manusia melalui peredaran darah. Persinggahannya ada di dalam perasaan dan pikiran. Inilah yang disebut setan itu berasal dari “al-jinnah” dan “al-naas” yang ada pada QS 114:6. Perasaan dan pikiran manusia tumbuh seiring dengan pertumbuhan manusia dari bayi hingga dewasa. Manusia mengalami suka-duka dan kenikmatan melalui indera lahir dan batinnya. Seharusnya, manusia yang mengendalikan perasaan dan pikirannya. Tetapi, kenyataannya kebanyakan manusia dikendalikan oleh hati dan pikirannya. Bisikan hati dan pikiran ini bersembunyi di daerah dada manusia. Ia menjadi setan yang bersembunyi yang disebut khannaas. Nah, manusia yang hanya memenuhi seruan perasaan dan hatinya adalah manusia yang mengikuti langkah-langkah setan. Dan, setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. Maka musuh yang sebenarnya dari manusia adalah bisikan perasaan dan pikirannya sendiri! Manusia harus mampu mengendalikan perasaan dan pikirannya sendiri. Sehingga dengan demikian ia dapat memilih makanan dan minuman yang halal dan baik. Dengan kata lain, makanan dan minuman yang sehat bagi badan jasmaninya. Lha, bagaimana dengan kesehatan jiwanya? Sabar, sebentar. Syariat memang ditujukan untuk membangun pertumbuhan fisik yang sehat. Sesuai dengan ungkapan Arab, “Al ‘aqlu s-saliimu fi l-jismi s-saliim” atau “Akal yang sehat terletak di dalam jasmani yang sehat”. Dalam bahasa Itali dikatakan “Mens sana in corpore sano” atau “Pikiran yang sehat ada di dalam tubuh yang sehat”. Tentu saja hal ini jangan dipertentangkan dengan adanya kenyataan bahwa ada orang yang badannya tidak sehat tetapi pikirannya sehat. Kita harus melihat sehat dari segi kedokteran, yaitu keadaan yang mengintegrasikan antara impuls masukan dan impuls keluaran oleh saraf pusat. Atau, terintegrasikannya saraf sensorik dan motorik oleh saraf pusat. Nah, agar saraf sensorik yaitu saraf penerima yang berhubungan dengan indera dan saraf motorik yang berhubungan dengan aktivitas tanggapan bisa bekerja normal (seimbang) maka badan jasmani ini harus disehatkan lebih dahulu. Jadi, kalau gula itu rasanya manis maka saraf sensorik itu harus merasakan manis. Dan kalau ada dua makanan yang manis, maka kemanisannya dapat diperbandingkan. Ini tandanya sehat, alias normal. Salah satu upaya menjaga kesehatan jasmani adalah memilih makanan yang sehat (halal dan baik). Kesehatan jasmani juga dihasilkan melalui kebersihan badan dan lingkungan. Kulit jasmani ini dapat menjadi tempat berkembangbiaknya penyakit bila tidak dirawat atau dibersihkan. Dalam perkembangan evolusi jiwanya, manusia pada akhirnya sadar bahwa air adalah sarana untuk membersihkan badannya. Minimal setiap harinya manusia harus membersihkan bagian-bagian yang penting dari jasmaninya. Dengan demikian, pori-pori yang ada di seluruh permukaan kulit yang dibersihkan itu tidak tertutup oleh kotoran. Dalam istilah sekarang semua ventilasi di bagian-bagian pokok seperti bagian kepala, wajah, tangan dan kaki kita buka. Sehingga udara segar bisa masuk dengan leluasa, dan badan terasa segar. Dalam badan yang segar, perasaan dan pikiran terasa segar pula. Nah, konsep pembersihan bagian tertentu badan jasmani ini dalam syariat disebut “wudhu”. Kata ini dalam bahasa Indonesianya adalah memisahkan. Ya, wudhu adalah tindakan untuk memisahkan kotoran dari badan. Kesehatan jasmani dipenuhi dengan makanan dan minuman yang sehat, dan bagian luar jasmani yang dibersihkan dari berbagai macam kotoran. Disamping itu, badan akan menjadi sehat bila secara teratur digerak-gerakkan. Dengan gerakan yang teratur, peredaran darah dan hormon akan berjalan dengan normal. Bukan hanya peredaran darah dan hormon, peredaran udara dan zat-zat makanan dalam tubuh pun berjalan dengan baik. Bila metabolisme dalam tubuh ini tidak ada yang terganggu atau terhambat, maka badan jasmani ini akan bekerja dengan normal. Badan menjadi sehat! Syariat salat mewakili gerakan-gerakan tubuh. Makanan dan minuman harus dipilih yang sehat. Badan harus bersih dari najis atau kotoran. Kemudian, makanan pun harus dimakan secara teratur waktu dan banyaknya. Dalam Islam ada syariat yang mengatur waktu dan banyaknya makanan yang dikonsumsi dalam setiap tahunnya. Inilah yang dinamakan puasa! Zakat dalam pengertian sedekah, yaitu mengeluarkan sebagian kekayaan untuk orang lain yang perlu dibantu, juga merupakan syariat untuk membersihkan kehidupan lahiriah seseorang. Oleh karena itu, dalam tasawuf Jawa, pengamalan ibadah yang ragawi ini disebut “Sembah Raga”. Suatu pengabdian yang harus ditampilkan secara ragawi. Sembah raga merupakan tingkatan yang terendah dalam peribadatan. Tetapi, sembah raga adalah dasar untuk membersihkan dan menyehatkan kehidupan lahiriah seseorang. Karena itu syariat meliputi semua tindakan lahiriah manusia. Tentu saja yang termasuk dalam syariat adalah adalah semua tindakan yang bersifat etiket dan etika dalam kehidupan ini. Agar orang-orang yang beli bahan makanan di suatu toko tidak saling berebut, maka harus dilakukan antre. Ini pun syariat! Dalam surat 5:48 di atas disebutkan bahwa dijadikan syariat bagi setiap umat, dan juga minhaaj. Kata minhaaj atau manhaaj, yang bentuk pluralnya manaahij, artinya tata-cara atau prosedur. Jika akan mendirikan salat disyariatkan ‘berwudhu’ yaitu mengguna-kan air untuk membersihkan bagian-bagian tertentu, maka dengan minhaaj bagian-bagian yang dibersihkan itu dijelaskan secara detil termasuk yang membatalkannya. Begitu pula puasa yang disyariatkan artinya menahan diri dari makan, minum, dan bersanggama di siang hari, maka dengan minhaaj batas-batas itu diterangkan. Dalam surat al-Maidah/5 : 6 dijelaskan bahwa tujuan syariat itu, “Allah tidak ber-kehendak untuk menyulitkan kamu, tetapi Dia berkehendak untuk membersihkan kamu dan menyempurnakan kenikmatan yang diberikan kepadamu agar kamu menjadi orang yang bersyukur.” Dari ayat ini jelas sekali bahwa maksud ditetapkannya syariat itu untuk membersihkan kehidupan lahiriah atau ragawi pelakunya. Bahkan zakat yang dipungut pun dimaksudkan untuk membersihkan dan menyucikan harta-harta yang mereka peroleh. Dengan berzakat, secara lahiriah mereka digolongkan ke dalam orang-orang yang harus dilindungi kehidupannya, terlepas dari hatinya tidak rela atau malah menerima dengan ikhlas. Sama dengan orang yang terkena iuran untuk jaga malam. Yang diutamakan tentu kesediaan secara lahiriah untuk membayar iuran itu, meskipun yang bersangkutan mungkin saja kesal hatinya karena dipungut iuran. Namun, dalam hidup bermasyarakat kepentingan bersama jauh lebih penting daripada kepentingan kelompok atau pribadi. Lebih-lebih ketika agama Islam baru pada tahap awal perkembangannya. Sehingga solidaritas yang tampak secara lahiriah sangat penting. Kita lihat bahwa ajaran Islam ketika di Mekah bersifat panduan moral yang universal. Syariat belum diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Solidaritas umat belum terbentuk. Keperkasaan badan jasmani umat belum dibina dan dilatih. Tetapi, setelah umat Islam hijrah ke Madinah, dan tetap dikejar-kejar dan ditekan, maka solidaritas umat perlu digalang, kesatuan perlu dibina, dan keperkasaan perlu dibentuk. Karena itu setelah masuk Madinah, perlahan-lahan syariat diterapkan bagi umat Islam. Yang pertama kali diberlakukan adalah salat wajib, kemudian puasa Ramadhan pada tahun ke-2 Hijrah, salat Jumat pada tahun ke-5, haji pada tahun ke-8 dan disusul zakat. Jadi, jelas bahwa syariat adalah konsep untuk membangun kesehatan umat. Sedangkan dari tinjauan pribadi, syariat adalah ajaran yang bersifat “zikir”. “Fadzakkir, lasta alaihim bi mushaithir”, berilah ajaran mereka itu (Muhammad), dan engkau bukannya orang yang ditugaskan untuk menguasai mereka. Dengan syariat itu Islam berkembang dengan pesat. Hal ini disebabkan syariat Islam itu menunjang keteraturan dan ketertiban hidup. Dilihat dari aspek jasmani, salat adalah suatu bentuk olah raga yang walaupun sedikit waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakannya, tetapi aktivitasnya dilakukan cukup sering, minimal 5 kali sehari. Dan, dalam aspek sosialnya, salat mendidik orang untuk hidup bersama secara disiplin. Tentu saja yang tidak boleh dilupakan dalam salat adalah pelatihan meditasi atau zikir di dalamnya. Dan sebenarnya makna batin ini yang paling penting dari salat. Karena itu, salat yang tidak dijalankan dengan khusyuk dipandang tidak ada nilainya. Karena tanpa kekusyukan tak akan bisa terbentuk jiwa yang tenang. Di dalam surat al-Ankabut/29:45 disebutkan bahwa tujuan dari salat adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. Dan, nilai zikir dalam salat itu lebih besar dari bentuk peribadatan lainnya. Memang tidak mudah mempraktikkan zikir sambil bergerak. Karena gerakan itu sendiri mempengaruhi pikiran pelaksananya. Tetapi, bila sanggup menjalankan zikir dalam gerakan, maka efek positifnya akan tampak nyata. Tapi sayang, masyarakat agamis hanya terpaku pada kewajiban menjalankan salat secara lahiriahnya. Kita mandeg pada kesehatan lahiriah. Kita tidak mau mempromosikan salat untuk membangun kesehatan batiniah. Buktinya apa? Ya, dapat dikatakan tidak adanya guru salat yang mampu mengajar orang salat yang khusyuk. Padahal kekhusukan inilah yang dapat membuat orang mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Mengapa? Karena hatinya sudah tenang. Pikirannya tidak lagi ngaya. Akhirnya tercipta manusia yang mampu mengenda-likan perasaan dan pikirannya. Orang demikianlah yang tidak mempan dibisiki oleh khannas yang senantiasa berbisik di dalam dada. Tasawuf Jawa mengajarkan bahwa di tingkat syariat, syahadat baru merupakan ucapan “Asyhadu an laa ilaaha illa llaah wa asyhadu anna muhammadan rasuulu llah.” Ya, baru sampai pada ucapan “Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah.” Betul-betul baru sebagai tanda identitas kemusliman seseorang. Jadi, syahadat di tingkat syariat baru pada pernyataan bahwa seseorang itu masuk kedalam masyarakat atau agama Islam. Ucapan ini tentu saja terlepas dari apakah ‘syahadat’ itu lahir dari hati yang tulus atau karena kepentingan lain bagi si pengucap. Lalu, bagaimana dengan salatnya? Tentu saja masih sebatas mengisi daftar hadir sebagai orang muslim. Dalam istilah sekarang, salat yang dilaksanakan secara syariat itu masih sebatas untuk membebaskan diri dari kewajiban. Padahal sebenarnya, salat ditegakkan untuk berzikir! Puasa pada tingkat syariat juga sebatas mencegah makan-minum dan sanggama pada siang hari. Ya, masih formalitaslah namanya. Pelaku menunjukkan bahwa dirinya termasuk orang yang menjalankan ibadah puasa. Dan puasa semacam ini yang diwariskan dari generasi ke generasi. Seharusnya umat Islam harus mengajarkan puasa yang lebih tinggi kualitasnya, yaitu puasa yang efektif untuk mengendalikan makan dan minum selama hidupnya. Saya yakin, jika mutu puasa umat meningkat setiap tahun, maka tak ada lagi orang Islam yang terserang penyakit akibat makanan. Ringkasnya, semua bentuk syariat terkait erat dengan peribadatan ragawi. Tujuan pokok syariat adalah untuk membersihkan dan menyucikan kehidupan lahiriah manusia. Jadi, yang diharapkan adalah kesehatan individu dan masyarakat secara formal. Aspek formalitasnya lebih menonjol. Jika kita mandeg atau berhenti di tataran syariat, maka sulit sekali kita mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara lahir dan batin. Masih jauhlah kita dari terwujudnya masyarakat standar, yaitu masyarakat shalihin. Masyarakat yang orang-orangnya saling memberikan manfaat. Bagian ke-5 Bumi, rembulan dan planet-planet lain di tatasurya ini beredar dalam keseimbangan dan pada batasbatas orbit yang tepat. Begitu pula semua bintang di alam raya ini berjalan dalam keseimbangan. Ini tidak berarti tidak ada penyimpangan. Ada penyimpangan itu! Seperti jatuhnya meteor atau komet pada planet. Penyimpangan itu tidak menghancurkan tatasurya selama “mizan” atau keseimbangan alam itu tidak terlampaui. Kehidupan masyarakat manusia di bumi ini juga mengikuti hukum keseimbangan. Manusia harus menjaga keseimbangan itu. Itulah sebabnya di dalam Al Quran banyak peringatan untuk tidak merusak bumi ini. Merusak bumi (termasuk atmosfernya) adalah perbuatan merusak keseimbangan alam. Akhirnya, proses peretumbuhan dan perkemba-ngan manusia dalam perjalanan menuju Tuhannya yang mengalami kerusakan. Alam dibuat Tuhan untuk tidak mentolerir perbuatan yang merusak. Jika manusia telah rusak perilakunya, maka alam dengan segera memberi jawabannya yang berupa bencana dan mala petaka. Dalam surat al- A‘raf/7:55-56 manusia diperingatkan, 55. Ud-‘u rabbakum tadharru-‘an wa khunyatan innahu la yuhibbu l-mu‘tadin. 56. Wa la tufsidu fi l-ardhi ba‘da islahiha wa d-‘uhu khaufan wa thama-‘an inna rahmata llahi qaribun mina l-muhsinin. 55. Mohonlah kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan dengan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orangyang melanggar batas. 56. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diperbaikinya. Dan mohonlah kepadaNya dengan penuh kesadaran dan penuhharapan. Sesungguh-nya rahmat Allah itu dekat dengan orang-orang yang berbuat ‘ihsan’. Pada pelajaran sebelumnya telah dijelaskan bahwa “iman dan amal saleh” [imas] itu satu paket. Sering imas ini dinyatakan sebagai ‘kesalehan’ saja. Kesalehan diartikan dengan segenap tindakan yang memberikan manfaat bagi kehidupan. Kebalikannya adalah “fasad” atau kebusukan, kerusakan atau immoralitas. Nah, kebusukan atau kerusakan inilah yang sebenarnya disebut sebagai kekafiran. Kafir berasal dari kata “ka-fa-ra” yang artinya menutupi, menyembunyikan atau mengingkari kebenaran. Ketika Nabi Muhammad Saw di Mekah, kafir dalam pengertian menutupi atau mengingkari kebenaranlah yang menjadi sasaran dakwah beliau. Kaum kafir yang menjadi sasaran peringatan beliau adalah mereka yang melanggar batas seperti dalam ayat 55 di atas atau mereka yang melakukan kerusakan di bumi (ayat 56). Dan ayat tersebut memang diturun-kan di Mekah. Jadi, pada mulanya kekafiran itu tak ada kaitannya dengan agama lain. Ketika beliau masih di Mekah, beliau mengajarkan agama itu kepada kaum jahil yang hidup di kawasan Mekah dan sekitarnya. Berdasarkan sejarah, kaum jahil ini tidak mengerti batas-batas tatakrama kehidupan atau kemanusiaan. Padahal, jika manusia itu tidak mengerti batas kemanusiaannya, manusia akan mudah terjerumus ke dalam perbuatan nista atau zalim, aniaya. Konsekuensi perbuatan aniaya adalah perbuatan yang merusak kehidupan di bumi ini. Cobalah kita perhatikan ekploitasi sumber daya alam di bumi Indonesia ini. Hutan gundul, sampah menggunung, limbah beracun tak tertimbun adalah akibat adanya pelanggaran batas (keseimbangan). Buahnya adalah kerusakan lingkungan hidup. Dan, akibatnya bencana dan mala petaka datang silih berganti. Ketika beliau di Madinah, bangunan umat Islam yang baru berdiri ini mengalami gempuran dari pihak Kafir Qureisy dari Mekah. Nabi mampu menyatukan orang Arab Madinah dari klan Aus dan Khajrad yang senantiasa bertikai, yang digambarkan di dalam Al Quran sebagai orang-orang yang berada di tepi neraka. Di Madinah pada waktu itu hidup orang-orang non-Arab yang berkitab (Yahudi, dan Nasrani dari salah satu sekte agama Kristen). Bahkan orang Yahudi dapat dikatakan sudah mantap hidup di sana. Semula ajaran Islam ini disampaikan kepada suku-suku Arab yang tinggal di Madinah dan sekitarnya. Kemungkinan timbulnya konflik antara mereka dan orang-orang Islam telah dicermati oleh beliau. Dalam keadaan demikian ini tentu saja Nabi memberi peringatan kepada semua pihak yang hidup di Madinah, agar masing-masing pihak bisa menjaga hak-haknya dan saling melindungi tanpa memperhatikan agamanya. Ajaran ini dirangkum dalam “Piagam Madinah”. Orang-orang Yahudi yang semula dipandang tinggi statusnya oleh orang-orang Arab, dengan datangnya agama baru ini, mereka merasa kehilangan pengaruhnya. Hasutan-hasutan mulai dilancarkan. Konflik tak dapat dihindari lagi. Ajaran yang nuansa-nya universal ini harus diimplementasikan secara riil di Madinah. Kota yang menjadi basis perkembangan agama Islam ini tentu saja harus dijaga keamanan dan kedamaiannya agar ajaran Al Quran tetap bisa didakwahkan. Kelompok-kelompok agama lain yang sudah mapan ini diminta untuk tetap teguh memegang kebenaran kitabnya [dalam bahasa sekarang, tidak boleh plin-plan]. Ajakan untuk memelihara hak, menjaga batas, tak digubris lagi oleh mereka. Akhirnya, lahir kenyataan baru, yaitu orang-orang yang berkitab yang tidak bisa menerima kebenaran yang disampaikan oleh Nabi. Inilah yang disebut “orang-orang kafir dari golongan yang berkitab”. Jadi, pada mulanya kekafiran itu hanya terbatas bagi mereka yang melakukan kerusakan di bumi atau mereka yang mengingkari kebenaran. Selanjutnya kekafiran itu juga diatributkan bagi pemeluk agama lain yang tidak mau mengerti terhadap hak-hak yang dimiliki oleh umat Islam. Hal ini bisa dibaca pada surat al-Bayyinah/98:1-7. Kesimpulannya, orang kafir adalah orang yang mengingkari kebenaran dan melakukan kerusakan di bumi. Tak peduli agama apa dia. Kembali kepada ayat di atas. Manusia diperintah untuk memohon kepada Tuhan dengan cara merendahkan diri, suara yang lembut, penuh kesadaran dan penuh harapan. Inilah tatakrama dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Merendahkan diri artinya bersikap rendah hati, merasa tak punya apaapa. Karena pemilik yang sebenarnya dari semua ini adalah Allah. Kalau diumpamakan “gentong” maka kita harus merasa sebagai gentong yang kosong, yang siap diisi. Suara yang dibunyikan harus lembut! Cuma didengar oleh telinganya sendiri. Inilah prinsip zikir! Selanjutnya, permohonan itu harus dikerjakan dengan penuh kesadaran. Artinya, harus tumbuh dari hati dan pikiran yang jernih. Dan, terakhir ditopang oleh keyakinan yang kuat akan dikabulkannya permohonan itu. Ingat, rahmat Tuhan itu akan hinggap pada orang-orang yang berbuat ihsan. Suatu perbuatan yang tumbuh dari hati yang murni. Suatu perbuatan yang tidak distimulasi oleh keinginan yang melanggar batas. Perbuatan yang tidak dilandasi oleh dorongan untuk mengeksploitasi bumi. Hanya sebatas yang diperlukan! Hanya mengambil manfaat untuk kehidupan. Bukan untuk kemubaziran atau pemborosan dalam hidup ini. Memang hal ini tampak seperti bertentangan terhadap prinsip “pemasaran”. Tetapi sebenarnya kita ini diingatkan agar menjaga kesejahteraan alam ini demi anakcucu dan kemanusiaan kita. Apalah artinya kita sekarang hidup bergelimang harta, tetapi di masa depan kita menga-lami ketekoran hidup. Karena energi semesta sudah kita hutang sekarang ini, sehingga di masa depan kita tekor karena harus membayarnya. Di dalam surat al-Isra’/17:26-29 dinyatakan, 26. Berikan kepada sanak kerabat akan haknya. Juga kepada orang-orang miskin dan ibnu sabil. Dan janganlah menghambur-hamburkan harta secara boros. 27. Sesungguhnya para pemboros (mubazirin) adalah saudara setan, dan setan itu senantiasa mengingkari Tuhan. 28. Apabila kamu tidak bersedia untuk memberi mereka karena engkau mengharapkan mendapat rahmat dari Tuhan, maka katakanlah kepada mereka dengan ucapan yang lemah lembut. 29. Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu, dan jangan pula terlalu mengulurkannya sehingga kamu menjadi tercela dan menyesal. Di bab yang lalu telah diterangkan bahwa syariat itu untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan manusia lahir dan batin. Syariat atau sembah raga ini meliputi pelayanan di antara sesama dan pelatihan pribadi dalam berhubungan dengan Tuhan. Dengan kata lain, sembah raga itu ada yang berwujud pelayanan riil di antara sesama manusia, dan ada pula yang berupa pelatihan diri untuk penyatuan diri dengan Yang Mahaesa. Jangan salah paham lho! Dari segi aspek realitas, kita itu senantiasa bersama dan berada di dalam Tuhan. “Dan Dia senantiasa bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS 57:4). Nah, penyatuan diri adalah upaya untuk kembali kepada Tuhan, wa inna ilaihi raji-‘un. Dengan terciptanya masyarakat yang anggota-anggotanya saling melayani, maka terwujudlah azas manfaat. Syariat atau sembah raga untuk menuju masyarakat shalihin. Masyarakat yang di dalamnya merupakan wujud pluralitas sejati. Perbedaan agama, kepercayaan, dan etnis tidak menghalangi untuk bisa hidup saling melayani dalam mewujudkan masyarakat yang damai [QS 2:62, dan 5:69]. Semua pihak dituntut untuk mengutamakan kesalehan dan rendah hati! Karena itu jangan berisik, kalau bersuara bersuaralah yang lemah lembut. Kesadaran dalam berzikir [sembahyang] diterapkan dalam kehidupan sosial. Bila dalam berdoa kepada Tuhan harus dilandasi dengan harapan, begitu pula dalam kehidupan bersama. Kita harus punya keyakinan bahwa pelayanan yang tulus di antara sesama akan berbuah kesejahteraan dan kedamaian bersama. Duri-duri kecurigaan harus disingkirkan. Nah, untuk membentuk masyarakat shalihin, kita harus bisa menghormati hak-hak kerabat kita sendiri, orang-orang miskin dan ibnu sabil. Ini adalah syariat dasar yang dikumandangkan sejak di Mekah. Seruan ini di Madinah nantinya diwujudkan dalam bentuk “zakat” dalam pengertian sedekah. Seperti yang telah dibuktikan oleh sejarah, masalah ekonomi adalah hal yang menentukan sejarah manusia dan kemanusiaan. Tak ada agama yang tidak menempatkan dana atau sedekah sebagai syariat dasarnya. Islam yang diklaim sebagai agama terakhir pun menempatkannya sebagai salah satu sendi syariatnya. Sesuai dengan perkembangan agama, implementasi sedekah atau dana ini tergantung pada keadaan perekonomian manusia. Mula-mula sedekah itu berupa anjuran untuk memberikan sebagian harta kepada yang miskin. Kemudian berkembang menjadi kewajiban, dan yang disedekahkan pun ada takarannya, misalnya 10% dalam agama Kristen, 2,5% dalam agama Islam. Namun demikian, banyaknya harta yang harus dizakatkan tidak diatur di dalam Al Quran. Pihak penerima zakat yang dicantumkan di dalam Al Quran. Pada ayat-ayat di atas ditekankan sekali agar kita mampu memelihara harta benda yang dikaruniakan oleh Tuhan dengan sebaik-baiknya. Pemboros dan kikir sama-sama harus dijauhi. Karena keduanya adalah perbuatan setan. Keduanya merupakan produk hati yang gelap dan pikiran yang keruh. Kegelapan dan kekeruhan senantiasa menjauhkan kita dari Tuhan. Ya, setan itu selalu mengingkari kebenaran. Manusia harus pandai-pandai untuk mengambil jalan tengah. Boros hakekatnya menghambur-hamburkan energi yang disediakan Tuhan di alam ini. Kikir berarti menyembunyikan anugerah Tuhan yang diberi-kan kepada manusia, yang seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan hidupnya. Baik boros maupun kikir, keduanya adalah perbuatan tercela , yang pada akhirnya menyebabkan manusia hidup menyesal alias menderita. Apa yang diuraikan ini masih pada tahap sembah raga. Landasan untuk menempuh tingkatan hidup yang lebih tinggi. Kalau dalam bahasa tasawuf Timur Tengah, ada empat tahapan yang harus ditempuh manusia untuk bisa kembali kepada Tuhan Yang Mahaesa. Yaitu, dari syariat, tarekat, hakekat, hingga makrifat. Yang dalam bahasa tasawuf Jawa disebut sebagai sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Yang kesemuanya ini disebut sebagai catur sembah. Baik makrifat ataupun sembah rasa adalah tahapan manusia untuk dapat mengenal DS-nya. Dengan mengenal DS-nya manusia akan kenal dengan Tuhannya. Ingat bunyi Hadis, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu,” barangsiapa yang mengenal dirinya niscaya akan kenal dengan Tuhannya. Di tahap syariat, yang dinamakan orang miskin adalah orang yang kekurangan harta benda. Orang ini mempunyai pekerjaan tetapi tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Yang lebih rendah dari orang miskin adalah “fakir”, kaum papa. Orang yang betul-betul tidak mampu memenuhi keperluan hidupnya. Nah, di banyak ayat sering miskin dan fakir ini disebut “miskin” saja. Orang Indonesia biasa menyebutnya fakir-miskin. Agar tidak menimbulkan problema kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, mereka yang miskin ini harus ditanggulangi. Ketika struktur ekonomi masih sederhana, menyantuni mereka dengan zakat sedekah sudah cukup. Namun ketika struktur ekonomi menjadi semakin kompleks, pemecahannya tidak cukup dengan zakat sedekah. Artinya, kemiskinan tak akan bisa dipecahkan hanya di tahap syariat. Lalu harus dipecahkan dengan cara apa? Di sinilah kita dituntut untuk meningkatkan kualitas sembah atau ibadat kita. Kita tak boleh mandeg atau cuma berhenti di syariat. Kita harus memahami sumber kemiskinan yang lebih dalam. Kita tidak cukup hanya melihat kemiskinan dari segi tidak adanya pekerjaan, lemahnya ketrampilan, atau rendahnya pen-didikan. Kemiskinan harus dilihat dari sumbernya yang lebih dalam, yaitu kemiskinan budi pekerti atau akhlak. Ya, kemiskinan di tingkat ihsan atau jiwa. Jika di dalam umat ini ter-lalu banyak orang yang miskin jiwanya, maka jangan heran bila timbul kemiskinan lahiriah yang luar biasa. Jadi, perintah untuk tidak hidup boros atau kikir adalah untuk menanggu-langi terjadinya kemiskinan. Lho, apa hubungannya boros dan kikir dengan kemiskinan? Di atas telah dijelaskan bahwa boros itu menghambur-hamburkan energi. Energi itu dihamburkan untuk memenuhi kepentingan sendiri, atau buat kesenangan egonya. Akibatnya, di tempat atau kelompok lain akan timbul kekurangan. Muncul kemewahan pada kelompok tertentu, dan timbul kemiskinan pada banyak kelompok lain. Begitu pula kekikiran! Kekikiran menyebabkan terakumulasinya energi pada orang atau kelompok tertentu, tetapi tidak dimanfaatkan. Energi itu tidak didistribusikan, hanya ditimbun saja. Terjadilah kebuntuan aliran energi di tengah masyarakat. Yang tidak teraliri mengalami kemiskinan. Nah, ternyata sumber kemiskinan itu keborosan dan kekikiran. Sedangkan boros dan kikir itu timbul dari kemiskinan budi atau jiwa. Boros dan kikir itu setan, perbuatan yang menjauhkan diri dari kebenaran atau mengingkari Tuhan. Jadi, pemboros dan orang kikir adalah saudara setan. Orang tidak bertindak boros atau kikir bila keihsanan telah tumbuh di dalam jiwa orang tersebut. Ihsan adalah tahap yang lebih tinggi dari Islam dan Iman. Ihsan ada di wilayah sembah jiwa. Suatu wilayah di tahap akhir sebelum memasuki tahap sembah rasa. Bila di tahap syariat orang harus bisa menampilkan kesejahteraan ragawi, di tahap tarekat atau sembah cipta manusia harus bisa hidup dalam kedamaian hati. Kenikmatan yang diperoleh tidak lagi pada banyaknya harta benda. Kemudian masuk ke tahap sembah jiwa atau dunia ihsan, dunia ketulusan hati. Memasuki alam kesadaran untuk duduk bersimpuh di hadirat Ilahi. Kenikmatan yang diperoleh berupa kesempurnaan diri. Di tahap ini manusia mulai mampu menimbang hakikat yang terjadi. Mengapa sih bicara tentang syariat, keborosan dan kekikiran dihubungkan dengan energi? Di sinilah kita harus tahu! Bahwa hidup ini berkaitan dengan aliran energi. Badan kita ini sebenarnya hanyalah ibarat kabel yang dilalui energi. Sedangkan harta-benda, warna, cahaya dan lain-lainnya adalah bentuk-bentuk energi. Karena itu jangan heran bila secara alami manusia tertarik pada harta benda. Harta benda adalah bentuk energi yang paling kasar. Pintu masuknya ke dalam diri kita adalah indera jasmani. Kekurangan energi menimbulkan kelemahan atau penderitaan jasmani, seperti lapar, haus, sakit, dan derita jasmani lainnya. Bila energi ini kita peroleh, maka kita terpuaskan atau menjadi sehat. Bagaimana bila energi kita serap banyak-banyak sehingga melebihi kapasitas jasmani kita? Jasmani manusia memiliki daya tampung. Jika daya tampungnya terlampaui, maka akan terjadi penimbunan. Timbunan-timbunan ini akan menghambat atau menghalangi aliran energi di dalam tubuh. Akibatnya, timbul sakit pada jasmani. Agar tidak tertimbun, maka energi ini kita alirkan keluar. Misalnya, berupa banyak bergerak [pekerjaan fisik, olah raga, salat, dll], marah-marah, dan aktivitas seksual. Tentu saja penyaluran energi dengan marah-marah adalah perbuatan negatif. Nah, bila kelebihan energi ini bisa mengalir keluar dengan mulus, maka manusianya menjadi terpuaskan. Perlu diperhatikan, kelebihan energi bendawi (selama badan sehat) akan meningkat-kan aktivitas seksual. Dan ini memang jalur alami pada makhluk hidup. Hanya saja pada manusia bila kelebihan energi ini tidak dikontrol dengan baik, penyalurannya menjadi tidak seimbang, yaitu lebih banyak melalui aktivitas seksual. Akibatnya, aktivitas seksual yang secara alaminya suci, menjadi terkontaminasi sehingga menjadi aktivitas yang negatif. Nah, syariat sebenarnya mengatur masukkeluarnya energi bendawi secara sehat. Jadi, bila ada orang yang mudah marah, itu tandanya kelebihan energi bendawi atau terjadi penyumbatan energi di dalam tubuh. Secara individual boros berarti menyerap energi harta benda secara berlebih-lebihan, sehingga banyak pihak yang menderita kekurangan energi. Orang boros menyebabkan ketekoran energi pada pihak lain, dan membuat ketekoran energi pada dirinya di masa depannya. Karena itu orang yang boros akan mengalami penderitaan. Orang kikir banyak mengumpulkan energi. Karena tak disalurkan, dan cuma ditimbun, maka akan menim-bulkan sumbatan energi dalam hidupnya. Penyakit jasmani pun akan timbul. Akibatnya, orang yang kikir juga mengalami penderitaan. Ia akan menderita karena energi itu tidak dimanfaatkan dengan benar. Dan dalam masyarakat keborosan dan kekikiran akan menimbulkan kemiskinan. Yang pada akhirnya menimbulkan bencana dan malapetaka. Zakat sedekah adalah sarana untuk mencegah timbulnya keborosan dan keki-kiran harta benda. Memang ini merupakan langkah pertama untuk mengendalikan kemis-kinan dalam suatu negara. Hal ini diungkapkan dalam surat at-Taubah/9:103, Pungutlah zakat sedekah dari sebagian harta benda mereka. Dengan zakat itu engkau membersihkan dan menyucikan. Dan mohonkan rahmat bagi mereka. Sesungguhnya permohonanmu itu menentramkan jiwa mereka. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Jadi, dengan zakat itu kemungkinan terjadinya penyumbatan energi bendawi di dalam masyarakat dicegah. Masyarakat dibersihkan dari berbagai macam penyakit. Namun, bila serangan penyakit terlalu berat dan terlalu kompleks, zakat tak akan sanggup menyehatkannya. Harus ada upaya tarekatnya, atau sembah ciptanya. Mengenai pihak-pihak yang secara fisikal berhak menerima zakat sedekah akan dibahas pada materi tasawuf yang akan datang. Bagian ke-6 Semua ini ternyata diatur dalam keseimbangan. Ada batas-batas yang telah ditetap-kan oleh Tuhan, baik di alam raya ini maupun di dalam diri manusia. Di dalam surat Ar Rahman/55:7-9 dinyatakan, 7. Dan Dia tinggikan langit, lalu Dia tetapkan neraca. 8. Agar kamu tidak melampaui batas neraca itu. 9. Tegakkan neraca itu dengan adil, dan janganlah menguranginya. Wujud alam ini memang dualisme karena itu ada mizan, ada neraca alias ada ukuran pada setiap benda atau wujud ini. Batas-batas itu tetap harus dijaga. Batas-batas itu tidak boleh dilampaui. Dalam arti, tak boleh dilebihi maupun dikurangi sehingga batasnya ambruk. Kita bisa membayangkan, bila manusia yang menghuni bumi ini berlebihan pria atau wanitanya. Bukan kedamaian yang kita rasakan. Tetapi bencana! Boros maupun kikir [pada bagian ke-5] dilarang, karena keduanya melampaui batas. Energi yang diserap manusia, baik energi fisik maupun metafisik, haruslah yang sesuai dengan batas-batas neraca di dalam dirinya. Dihambur-hamburkan akan mendatangkan bencana. Bila cuma dideposit juga menimbulkan mala petaka. Siapa yang tahu batasnya? Apabila berkaitan dengan energi pada tubuh, tentu saja yang bersangkutan yang tahu. Tapi, bila berhubungan dengan lingkungan, yang tahu tentu saja para cerdik-pandai. Karena itu, mereka diharapkan tidak melakukan manipulasi. Pada tahap awal cara untuk mengenal batas-batas itu dengan syariat. Cara yang mudah yang bisa dikenali oleh setiap orang. Karena itu kata syariat dapat diartikan sebagai jalan umum, jalan yang bisa dilewati oleh siapa saja. Jadi, syariat bisa ditempuh tanpa perlu kepandaian secara khusus. Bila kita makan dan sudah terasa kenyang, ya kita hentikan. Dan bila sudah terasa lapar, kita sebaiknya makan. Inilah syariat! Karena itu dalam surat Al Maidah/5:6 disebutkan, “Ma yuridu llahu liyaj-‘ala ‘alaikum min harajin walakin yuridu liyuthahhirakum wa liyutimma ni ‘matahu ‘alaikum la-‘allakum tasykurun.” Allah tidak bermaksud menjadikan kesulitan bagimu, tetapi Dia berkehendak untuk membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu agar kamu menjadi orang-orang yang bersyukur. Ayat di atas memang berkenaan dengan wudhu. Yang bagi orang padang pasir waktu itu, enggan menggunakan air untuk kebersihan badannya. Jadi, syariat berwudhu jelas dimaksudkan untuk membuat bagian vital tubuh ini bersih (dan sehat tentunya), dan sebagai penyempurnaan kenikmatan dari Tuhan. Dengan badan dan pikiran terasa segar, manusia bisa menggunakan akalnya dengan jernih untuk memberikan nilai tambah dalam kehidupan ini, yang disebut juga bersyukur. Mengapa air yang digunakan sebagai sarana untuk membersihkan badan jasmani ini? Ya, air adalah bahan pelarut universal. Anda masih ingatkan dengan pernyataan surat Al Anbiya’/21:30. Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa “segala sesuatu yang hidup ini berasal dari al ma’ atau zat cair”. Memang kata ma’ itu berarti air. Namun dengan kata sandang “al”, air yang dimaksud bukanlah semata-mata air yang kita kenal sekarang ini yang berupa “H2O”. Maka al-ma’ bisa berarti zat cair atau cairan. Bahwa air menjadi wahana bagi berlangsungnya reaksi kimia bagi kehidupan adalah benar. Metabolisme dalam tubuh ini berlangsung dengan bantuan air. Karena itu air adalah alat untuk membersihkan dan menyucikan badan. Bila badan harus dibersihkan dan disucikan dari kotoran, maka pemilikan kita pun harus dibersihkan dan disucikan, seperti yang diutarakan pada bagian ke-5, yaitu pada surat At Taubah/9:103. Penyucian harta-benda ini adalah bagian dari upaya untuk menempatkan “yang punya, the have” dalam neraca kepemilikan. Agar tidak timbul atau terjadi kecemburuan sosial! Dengan kewajiban bersedekah/zakat bagi yang punya, maka ia telah dibersihkan dari kotoran sosial, dan batinnya disucikan dari keserakahan terhadap harta-benda. Dan pada zaman Nabi, mereka yang berzakat ini dengan sendirinya mendapat jaminan keamanan sosial. Kalau zaman sekarang, pembayar pajak di negara maju berhak mendapatkan perlindungan keamanan hidupnya. Ya, syariat di dalam agama memang bertujuan untuk memberikan jaminan keamanan dan ketentraman lahiriah. Syariat memang untuk membangun kehidupan bersama yang teratur dan harmonis. Jika kita perhatikan aturan sedekah ini, disamping ada pihak yang berkewajiban mengeluarkan sedekah, ada pula pihak-pihak yang berhak menerima sedekah tersebut. Surat At Taubah:60 yang diwahyukan pada 9 H, menjelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima sedekah. Yaitu, orang fakir, orang miskin, fungsionaris sedekah, mu-allafah, hamba sahaya, orang yang berhutang, orang yang ada di jalan Tuhan, dan orang yang ada dalam perjalanan. Orang fakir adalah orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap, pengangguran, atau orang-orang lemah. Miskin adalah orang yang mempunyai usaha tetapi hasilnya tidak cukup buat hidupnya. Termasuk juga dalam kategori miskin adalah orang-orang yang tidak punya kecakapan berusaha, sehingga tekor terus hidupnya. Kemudian, yang berhak menerima dan menyalurkan sedekah kepada yang betul-betul membutuhkan adalah para administratur sedekah itu. Menurut tafsiran Yusuf Ali, sedekah itu memang hanya bagi yang miskin dan betul-betul membutuhkan, dan para administratur atau orang-orang yang kerjanya mengurus sedekah itu seadil-adilnya. Lha, yang disebut orang fakirmiskin adalah 5 macam penerima yang disebutkan diatas, yaitu muallafah, hamba sahaya, orang hutang, para sabilillah, dan ibnu sabil. Jadi, Yusuf Ali tetap mengacu pada makna sedekah seperti yang diungkapkan pada ayat-ayat Makiyah, yaitu untuk mereka yang hidup dalam keadaan fakir-miskin. Bila di Mekah belum ada ‘amilin atau fungsionaris sedekah, maka di Madinah sedekah itu harus dipungut dan dimanajemeni dengan baik. Waktu itu yang tergolong manusia fakir-miskin adalah muallafah [orang yang membutuhkan bantuan dalam menegakkan kebenaran agama], hamba sahaya (tidak mampu memerdekakan dirinya bila tidak ditolong), orang yang hidupnya dalam kebangkrutan atau tergantung pada hutang, fi sabilil-Lah [mereka yang membangun kebajikan seperti pasukan keamanan dan ketertiban, membangun rumah-rumah ibadah, sekolah, rumah sakit dll], dan ibnu sabil [yaitu mereka yang menempuh perjalanan untuk kebajikan seperti mencari ilmu, spionase, peneliti dls]. Dengan demikian, sedekah atau zakat memang ditujukan untuk membebaskan manusia dari beban kehidupan yang berat, ketergantungan, dan kolonial. Inilah jiwa syariat Islam! Yaitu untuk membersihkan manusia dari beban kehidupannya. Tentu saja praktik operasional zakat pada waktu itu sesuai dengan keadaan kehidupan waktu itu. Sistem ekonomi waktu itu, ya, cuma pertanian dan perdagangan. Belum ada sistem kepegawaian, perburuhan, industri, dan jasa seperti sekarang ini. Juga belum dikenal perekonomian global seperti sekarang ini. Karena itu mereka yang masuk kategori penerima zakat pun sangat sederhana. Dan di zaman Nabi, pajak tidak diberlakukan! Sampai bagian ke-6 ini tasawuf kita ini masih membahas tahap syariat. Suatu tahap dini dalam menjalani kehidupan yang religius, hidup beragama. Suatu tahap awal untuk mengenal batas-batas perilaku manusia. Kata “syariat” pada mulanya mempunyai arti “jalan menuju sumber air”. Jelas bahwa syariat bukanlah bagian “yang ada” di dalam diri manusia. Syariat adalah aturan yang datangnya dari luar diri manusia! Ia adalah jalan ke sumber air. Fungsinya, dengan demikian, untuk menjadi rambu-rambu agar aktivitas “yang ada” di dalam diri manusia itu tidak melampaui batasbatas, tidak melanggar neraca atau keseimbangan yang telah ditetapkan Tuhan. Oleh karena syariat itu datangnya dari luar diri manusia, maka bentuk syariat itu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan zamannya. Dengan demikian, wajar bila tiap-tiap agama mempunyai bentuk syariatnya sendiri. Inilah yang ditegaskan dalam Surat Al-Maidah/5:48, “li kulli [ummatin] ja-‘alna minkum syir-‘atan wa minhajan.” Bagi setiap umat telah Kami jadikan syariat dan tata-caranya. Perhatikan bunyi ayat tersebut! Di situ dinyatakan bahwa “Kami telah menjadikan”, bukan Aku telah menciptakan. Dijadikan artinya dibuat dari sesuatu yang telah ada. Sedangkan “Kami” artinya Tuhan menyertakan sesuatu untuk menjadikan suatu syariat. Apa sesuatu itu? Semua keadaan yang meliputi kebangkitan suatu umat pada geografi dan kurun waktu tertentu. Karena itu, secara normatif syariat itu berkaitan dengan rambu perintah, halal [yang dibolehkan], dan haram [yang terlarang]. Makna syariat perlu diperjelas dalam pelajaran ini, agar kita tidak terjebak atau cuma macet di jalan. Apalah artinya kita sudah ada di jalan yang benar, tetapi terjebak dalam kemacetan di jalan tersebut? Sudah di jalan yang benar dalam menuju sumber air, tapi tidak sampai di sumber air, belum lagi mengambil airnya. Kemacetan akan mendorong orang untuk mengambil jalan pintas. Nah, begitulah gambaran orang yang menjalani formalitas beragama saat ini. Banyak orang yang terjebak dalam formalitas keagamaan. Agama tak lebih dari identitas belaka. Makanya, banyak orang yang tampak sangat agamis, tetapi budipekertinya tidak mencerminkan kehidupan agama yang benar. Pemahaman terhadap syariat perlu ditingkatkan. Banyak orang yang salah paham, dikiranya belajar tasawuf itu mendangkalkan syariat. Padahal jelas bahwa dengan hidup bertasawuf manusia semakin kenal dengan rambu-rambu kehidupan. Ia mampu memahami ayat-ayat itu dari dalam lubuk hatinya, baik ayat-ayat tentang hubungan manusia dengan sesamanya maupun lingkungannya. Ia tidak dikendalikan oleh rambu dan marka jalan. Tapi memang ia tahu batas-batas jalan yang dilaluinya. Syariat harus disertai “minhaj”, upaya untuk mencapai sumber air, yang dalam makna spiritual adalah cara untuk mencapai sumber air kehidupan, “al-ma-ul hayat”. Salat harus dibarengi dengan upaya untuk menciptakan kondisi zikir. Puasa harus dilakukan untuk membentuk manusia yang mampu mengendalikan diri. Zakat harus diwujudkan untuk membebaskan beban kehidupan manusia. Dan haji harus dijadikan sarana untuk membentuk manusia yang berwatak humanis dan sosial. Untuk menjadi manusia yang bebas dari kungkungan etnisitas, golongan, dan keagamaan. Menjadi manusia yang kenal dengan manusia lain, ta-‘arruf. Semua upaya itu sebenarnya langkah manusia ke dalam dirinya. Langkah menuju ke sumber kehidupannya yang sejati! Langkah untuk menembus “yang ada” di dalam diri manusia agar bisa bertemu dengan “Yang Maha Ada”. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “yang ada” pada diri manusia? “Yang ada” adalah sejumlah karakteristik atau sifat asal universal yang dimiliki manusia untuk eksistensi dirinya. Dengan kata lain, “yang ada” adalah semua yang dipandang sebagai realitas yang paling fundamental dalam diri manusia. Apa itu? Yang paling pokok dari “yang ada” adalah kehendak untuk hidup! Begitu dilahirkan, manusia berusaha mempertahankan hidupnya. Nah, wujud “yang ada” yang tampak pada waktu bayi adalah makan dan minum. Selama kesehatannya tidak terganggu manusia perlu makan dan minum. Dan, bila dibiarkan keinginan makan dan minum ini, tidak pernah dilatih atau dididik, maka ia akan tumbuh tak terbatas. Makan dan minum pada manusia berbeda dengan yang ada pada dunia hewan. Sejak lahir makanminum pada hewan telah terkontrol oleh dirinya secara otomatis. Hewan tidak perlu dilatih untuk membatasi makan-minumnya. Tetapi manusia perlu dilatih dan dididik untuk mengenal batas dalam makan-minum. Kalau tidak, manusia akan terdorong makan-minum tanpa batas. Perilaku manusia akan lebih buruk daripada hewan. Dan tentu saja, akan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Bukan hanya jumlahnya yang perlu dibatasi, tetapi juga macam makan-minumnya. Nah, dalam agama yang membatasi ini namanya “syariat”. Tentu saja batas-batas itu dipengaruhi oleh budaya, geografis dan zamannya. Karena itu di atas disebutkan bahwa “syariat” adalah bukan dari bagian “yang ada” pada diri manusia. Ia ada di luar diri manusia dan berfungsi untuk membatasi gerak “yang ada” agar tidak melampaui batas kehidupannya. Dalam hal makan-minum ini, marilah kita perhatikan beberapa ayat yang terkait. 7:31, “Hai manusia, pakailah perhiasanmu ketika kamu bersujud, makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang berlebih-lebihan.” 2:168, “Hai manusia, makanlah yang halal dan yang baik (thayyib) apa-apa yang terdapat di bumi. Dan, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu musuhmu yang nyata.” 2:172, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah apa-apa yang baik yang telah Kami sediakan bagimu. Dan bersyukurlah kepada Allah bila hanya kepada-Nya kamu beribadah.” 2:173, “Dia hanya mengharamkan kamu makan bangkai, darah, daging babi, dan daging yang dipersembahkan kepada selain Allah. Barangsiapa terpaksa bukan karena keinginan, dan tidak melampaui batas, maka tak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” 5:87, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah dihalalkan oleh Allah bagimu. Dan, jangan melampaui (melanggar) batas. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang melampaui batas.” 5:88, “Dan makanlah apa-apa yang halal dan yang baik yang telah diberikan oleh Tuhan kepadamu. Dan, bertakwalah kepada Allah yang kamu imani.” Ayat-ayat di atas cukup untuk dijadikan landasan untuk memahami syariat tentang makan-minum. Ayat pada surat ke-7 diwahyukan di Mekah, sedangkan ayat pada surat ke dua dan lima diturunkan di Madinah yaitu di awal hijrah dan di pertengahan ke dua masa setelah hijrah. Pertama-tama manusia dididik untuk makan-minum yang tidak melampaui batas. Tidak berlebihlebihan! Jadi, tekanan awalnya adalah mampu mengendalikan diri dalam makan dan minum. Karena berlebih-lebihan dalam makan dan minum akan menganggu atau bahkan merusak kesehatan lahir dan batin. Kemudian diseru untuk hanya makan yang halal dan yang baik (thayyib). Yang halal artinya yang dibenarkan menurut hukum, baik dari jenis makanannya maupun cara mendapatkannya. Sedangkan yang baik adalah yang tidak merusak kesehatan atau tidak jijik untuk dimakan. Ular, tikus, cacing, tidak termasuk yang dilarang memakannya. Namun, banyak orang yang jijik, atau muntah bila makan hewan-hewan tersebut. Bagi orang yang jijik terhadap hewan tersebut, maka daging hewan tersebut jelas tidak thayyib. Dalam tafsir Yusuf Ali, makanan yang thayyib adalah makanan yang bersih, sehat, bergizi, dan lezat. Dengan demikian, makanan yang thayyib adalah makanan yang halal dari segi zatnya. Sedangkan makanan yang halal, belum tentu baik dari segi substansinya. Karena kehalalan berkaitan dengan hukum yang berlaku. Minuman kopi pada abad ke-15 termasuk jenis makanan yang diharamkan [alias tidak halal] di dunia Islam. Namun, akhirnya dihalalkan, sampai hari ini! Tetapi, kalau seseorang memandang tidak thayyib, maka dia harus meninggalkannya. Meskipun sudah ada batas-batas, atau larangan, kalau toh terpaksa [bukan karena ingin menikmati kelezatannya], dan tidak melebihi batas yang diperlukan, boleh-boleh saja makan makanan yang diharamkan tadi! Inilah prinsip Islam! Suatu syariat ditetapkan bukan untuk mempersulit manusia, tetapi memberikan kemudahan. Daripada harus “trial and error”, coba-salah-coba lagi, yang bisa merugikan manusia, karena kasih-sayang-Nya manusia diberitahu mana-mana yang dilarang untuk memakannya. Perlu diketahui bahwa kelahiran agama Islam bukanlah terlepas dari sejarah. Sebelum ada agama Islam, telah ada dua agama besar, yaitu Yahudi dan Nasrani, yang telah mapan di luar Mekah maupun di Madinah dan sekitarnya. Khususnya agama Yahudi, para pemeluknya menganggap sebagai anak-anak Tuhan dan hidup beradab. Mereka memandang diri mereka bermartabat tinggi. Sedangkan orang-orang Arab mereka pandang lebih rendah martabatnya. Orang-orang Yahudi sangat jijik dan melarang umatnya makan bangkai [Imamat 17:15], darah [Imamat 7:26], dan daging babi [Imamat 11:7]. Dengan demikian, pengharaman terhadap makanan tertentu bukanlah aturan yang sama sekali baru. Melainkan aturan atau syariat itu sudah ada pada umat Yahudi, dan tetap dipertahankan di dalam agama Islam. Jadi, wajar bila syariat itu dipengaruhi oleh budaya, agama yang sudah ada, dan lingkungannya [geografis dan zaman]. Bila kita mau memahami syariat itu dengan pikiran yang jernih, ternyata syariat itu tidak diberikan oleh Tuhan dengan keharusan dipegangi secara kaku. Seperti yang dinyatakan dengan tegas pada 2:173, bagi mereka yang terpaksa [idh-thurra] bukan karena ingin menikmati kelezatannya [ghaira bagh] atau melebihi keperluannya [la-‘ad], maka tak ada dosa baginya. Hal ini diperkuat oleh surat 5:3. Dengan redaksi: “Barangsiapa terpaksa karena kelaparan, bukan cenderung melakukan dosa [melanggar hukum], maka sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” Jadi, bunyi ayat ini begitu pribadi! Mengapa? Karena ayat ini mendidik kejujuran seseorang dalam mengarungi hidup ini. Yang merasa lapar, yang merasa terpaksa, yang mengetahui jika perbuatannya itu untuk mempertahankan hidupnya, dan yang mengetahui berapa banyak makanan yang diperlukan agar ia tidak merasa lapar adalah orang yang bersangkutan. Orang lain tidak boleh menajiskan! Pada kedua ayat ditutup dengan pernyataan “Allah Yang Maha Pengampun dan Yang Maha Penyanyang”. Maha Pengampun berarti Maha Menutupi kekurangan atau kesalahan hamba-Nya. Sedangkan Maha Penyayang berarti Dia niscaya memberikan imbalan terhadap kebaikan hamba-Nya. Betul-betul suatu pernyataan yang sangat pribadi! Hanya Allah yang tahu betul apakah hamba-Nya telah berbuat karena kelemahannya atau berbuat demi kebajikan dirinya. Tasawuf memang mengajak manusia untuk kembali ke dalam dirinya. Kita dituntun untuk mengenal syariat dengan arif. Kita tempatkan syariat sebagai sarana atau jembatan menuju sumber air kehidupan yang ada di lubuk batin kita. Syariat dalam tasawuf adalah alat untuk menemukan “yang ada” di dalam diri manusia. Syariat bukanlah institusi untuk menghakimi dan menghukum manusia. Tetapi ia adalah sarana untuk menyempurnakan kenikmatan yang diberikan Tuhan kepada manusia, agar manusia mampu bersyukur. Agar manusia mampu memberikan nilai tambah terhadap anugerahNya. Dengan syariat diharapkan terwujudnya badan jasmani yang bersih, sehat, dan segar. Dengan raga yang bersih, sehat, dan segar diharapkan adanya batin manusia yang bersih dan sehat pula, hatinya tenang, pikirannya jernih, dan dorongan hawa nafsunya terkendali. Sehingga manusia dapat melanjutkan perjalanannya dalam menemukan air kehidupan, “tirta prawita” atau “al-maul hayat”. Dengan tasawuf manusia diingatkan agar tidak terpeleset menjadi hamba syariat. Manusia harus terus berusaha menjadi hamba Allah. Dan, salah satu wujud “yang ada” adalah kecenderungan untuk menghamba bagi manusia. Entah itu menghamba kepada benda, pikiran, kepercayaan, atau menghamba kepada Tuhan Pencipta Alam. Salah satu ayat diatas mengingatkan, bahwa dalam masalah perut, manusia dilarang mengikuti langkah-langkah setan. Masih ingatkan, bahwa setan sejati itu bersemayam di dalam diri manusia, dengan stasiunnya berupa perasaan dan pikiran [jinnah dan nas]. Jadi, jika manusia memperturutkan perasaan dan pikirannya, maka ia akan melanggar batas. Ia akan melampaui batas yang telah ditetapkan. Ingat, setiap ciptaan mempunyai batas-batas eksistensinya. Ada qadar [kadar] dan taqdir [berdasarkan ukuran yang pas bagi realitas itu sendiri]. Ada neraca di dalam suatu realitas! Bila batas-batas itu dilanggar, manusia tak akan bisa melanjutkan perjalanannya. Syariat dijadikan oleh Tuhan dalam wujud yang indah. Namun, berkali-kali dalam sejarah, manusia telah salah dalam menempatkan syariat. Syariat yang seharusnya dipakai sebagai alat atau wahana ke suatu tujuan, ternyata dijadikan tujuan itu sendiri! Padahal tujuan yang sejati adalah Tuhan. Bilamana syariat telah menjadi tujuan, maka yang tampak menonjol adalah formalisme keagamaan. Bukan ilmu yang dicari, tetapi ijazah! Segala sesuatu bila sudah jatuh ke dalam formalisme, maka tak akan ada lagi “kemerdekaan”. Yang ada hanyalah kolonial atau pemasungan kehidupan. Syariat tidak lagi sebagai alat, tetapi penjara! Inilah yang menyebabkan penampilan lahiriah umat Islam sekarang ini tampak sangat religius, tetapi sebenarnya telah kehilangan religiusitasnya. Nah, dengan memahami syariat secara proporsional, dengan melihatnya sebagaimana adanya, maka kita bisa melanjutkan perjalanan tasawuf kita. Kita tidak lagi terjebak di tengah kemacetan syariat, tetapi kita bisa berjalan secara wajar untuk kembali kepada Tuhan. Tasawuf berikutnya, yaitu yang ke-7, akan dibahas makna kembali kepada Tuhan. Insya Allah minggu depan. Wa billahit taufiq wal hidayah. Bagian ke-7 Kembali Kepada Allah Syariat adalah jalan menuju sumber air kehidupan. Ia adalah jalan umum, jalan yang ditempuh secara bersama-sama oleh suatu komunitas. Namun, semakin dekat dengan sumber air itu, jalannya semakin sempit. Jalan yang hanya cukup dilalui oleh dirinya. Jalan inilah yang disebut “tarekat” [thariqah]. Kalau digambarkan hubungan antara syariat dan tarekat, dapat diumpamakan seseorang yang mau nonton film di gedung bioskop. Ada syarat umum yang berlaku bagi yang ingin menonton. Pertama, umur yang akan menonton, yang dalam bahasa agama ia harus sudah akil-balig [sudah cukup umur dan berakal sehat]. Kedua, orang tersebut harus punya karcis atau undangan menonton. Bila yang akan menonton itu tidak diatur, maka mereka akan berebut beli karcisnya, atau berebut masuk gedung pertunjukannya. Nah, antre agar bisa beli karcis dan masuk satu per satu dapat diumpamakan sebagai tarekat. Dari syariat ke tarekat tidaklah terputus begitu saja. Kedua jalan ini bersam-bungan, dari jalan yang lebar kemudian menuju jalan yang lebih sempit. From the road of life to the path of life. Dari jalan di luar diri menuju jalan di dalam diri. Dari jalan raya masuk ke gang di mana rumah “DS” berada. Yaa, sebenarnya kita ini seperti orang-orang yang hendak pulang ke masing-masing rumahnya. Karena rumah itu ada di dalam RW yang sama, maka mula-mula kita berjalan di atas jalan raya yang sama, dan selanjutnya berpisah menuju gang-gang yang berbeda, akhirnya masuk ke rumahnya sendirisendiri. Di rumah itulah Allah menyambut manusia secara perorangan. Seperti yang dinyatakan dalam surat Maryam/19 : 93, 95, 93. In kullu man fi s-samawati wa l-ardhi illa ati r-rahmani ‘abda. 95. Wa kullu hum atihi yauma l-qiyamati farda. 93. Sungguh setiap diri, baik yang ada di langit maupun di bumi, akan datang kepada Yang Maha Pemurah sebagai seorang hamba. 95. Dan, setiap diri datang kepada-Nya pada hari kebangkitan sendirian. Jadi, meskipun di dalam syariat kita melakukan peribadatan yang sama, seperti shalat berjamaah, puasa Ramadhan, dan ibadah Haji, tetapi jalan kepada-Nya betul-betul kita tempuh sendirian. Syariatnya sama, tetapi tarekatnya berbeda. Karena tarekat itu harus pas dengan orang yang menempuhnya. Tarekat harus mengarah dengan tepat letak rumah yang dituju. Jika diumpamakan dengan orang yang akan menonton film, kita ada di antrean yang sama, tetapi uang yang kita gunakan untuk membayarnya atau nomor tempat duduknya berbeda sesuai dengan kenyamanan diri kita masing-masing. Yang dituntut dalam syariat adalah keseragaman, sedangkan yang dituntut dalam tarekat adalah keunikan. Kembali kepada perumpamaan di atas, setelah orang duduk dan menyaksikan filmnya, maka penghayatan terhadap film itu pun berbeda-beda tergantung pada latar belakang sang penonton, yaitu budaya, pengalaman, pengetahuan, dan kedalaman rasa yang dimilikinya. Begitu pula ketika kita kembali kepada Tuhan, setiap orang akan melihat filmnya sendiri. Penghayatan terhadap filmnya sendiri itu tergantung pada amaliah, kebersihan dan kesucian batin yang bersangkutan. Dan, pada saat dia menyadari filmnya, berarti dia sudah ada di tahap hakekat. Tahap bangkitnya ke-sadaran diri. Tahap “yaum al-qiyamah”! Bila dia sudah hidup di alam “qiyamah” maka dia sudah hidup di “maqam makrifat”. Dia senantiasa tercerahkan! Dia tidak hidup lagi tergantung pada orang lain, tidak terkolonisasi, hidup merdeka. Bahkan dia telah menjadi gantungan bagi orang-orang lainnya. Dengan demikian, tasawuf sebenarnya mendidik orang untuk hidup mandiri, hidup merdeka, hidup yang setara dengan orang lain. Hidup menjadi sufi sebenarnya adalah hidup yang sepenuhnya menggantungkan diri kepada Yang Ilahi. Yang dengan kata lain, disebut “hidup tawakal” atau “tawakkul”. Sebelum kita bisa hidup hanya dengan menggantungkan diri kepada Tuhan, berarti kita belum hidup dalam makrifat, meskipun secara teoritis kita sudah mempelajarinya. Tetapi belajar adalah cara untuk mencapainya! Jadi, tidak perlu pesimis bila hari ini kita masih dalam perjalanan untuk memperoleh “tirta prawitasari” atau sari dari air suci, esensi kehidupan. Orang yang mampu melihat hakikat dirinya disebut “insan kamil” alias manusia sempurna. Manusia yang merupakan wujud dari makrokosmos dan mikrokosmos. Dia adalah miniatur dari Yang Haq, wujud mini dari Tuhan Yang Mahaesa. Nah, perjalanan kita untuk menjadi miniatur-Nya adalah perjalanan kembali kepada-Nya. Orang yang sadar bahwa dirinya dalam hidup ini sesungguhnya kembali kepada Tuhan, adalah orang yang sadar bahwa dirinya menyongsong “yaum al-qiyamah”. Banyak orang yang mengira bahwa kebangkitan itu terjadi setelah hancur-leburnya bumi atau semesta alam. Lalu, timbullah ilusi dan khayalan tentang kiamat. Akhirnya, muncullah perilaku yang aneh-aneh. Terjebak di perjalanan! Formalisme! Kiamat sebenarnya merupakan bagian dari kesadaran kita. “Wa bi l-akhiratihum yuqinun,” dan mereka yakin terhadap kehadiran Hari Akhirat. Kapan adanya Hari Akhir atau kiamat itu? Sekarang ini, saat ini! Tergantung pada yang menyikapinya. Mari kita perhatikan ayat-ayat berikut ini. 42:17, Allah yang menurunkan Kitab dengan benar dan sebagai Neraca. Tahukah engkau bahwa mungkin saja kiamat itu dekat? 42:18, Orang-orang yang tidak beriman ingin “Saat Kiamat” itu disegerakan, dan orang-orang yang beriman justru waspada terhadapnya karena mereka mengetahui bahwa kiamat itu benar adanya. Ketahuilah bahwa orang-orang yang bertikai tentang “Saat Kiamat” adalah dalam kesesatan yang jauh. 16:77, Dan bagi Allah Yang Mahagaib di langit dan di bumi, peristiwa kiamat itu akan datang dalam sekejap penglihatan atau lebih cepat. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Pertama, kita harus tahu bahwa Tuhan telah menurunkan Kitab-Nya di dunia ini dengan benar. Artinya, ada Undang-Undang bagi kehidupan manusia. Kedua, dan Kitab itu pun berfungsi sebagai Neraca, yaitu penimbang moralitas manusia. Dengan neraca itu manusia harus menegakkan keadilan dalam hidup ini, “fairness”. Hidup yang tidak merugikan diri-sendiri dan orang lain. Cara hidup yang demikian ini timbul karena orang-orang beriman itu selalu waspada terhadap kehadiran kiamat pada dirinya. Orang beriman mengetahui bahwa kiamat benar adanya. Jadi yakin terhadap Hari Akhirat bukanlah percaya adanya Hari Akhirat, tetapi mengetahuinya. Karena tahu itulah dia tidak ingin melanggar neraca tersebut, tidak ingin mencuranginya. Inilah keadilan! Kecurangan akan menghalangi manusia dalam bertarekat. Perbuatan curang senantiasa mendatangkan neraka kepada pelakunya. Datangnya kiamat itu sekejap mata atau lebih cepat. Dan datangnya pun boleh jadi sudah dekat. Pernyataan surat 42:17 ini bukanlah sekadar kemungkinan, tetapi betul-betul kenyataan bagi yang mengetahuinya. Tuhan tidaklah membuat puisi, tapi memberikan informasi kepada manusia. Orang yang tidak beriman meminta kiamat itu disegerakan, karena mereka tidak mengetahuinya. Bagaimana dapat disegerakan, wong mereka itu tidak mengetahuinya? Bagaimana bisa diperbantahkan wong mereka itu tidak mengetahuinya. Berbantah atau bertikai masalah datangnya kiamat adalah mubazir, dan bahkan menyesatkan kita. Hari kiamat harus kita alami untuk bisa menemui-Nya. Bukankah cepat atau lambat kita pasti menemui-Nya. Lalu, bagaimana kalau kita tidak mau menemui-Nya? Sungguh malang orang yang tidak mau bertemu dengan sumber hidupnya. Bukankah kita berasal dari-Nya, dan kembali kepada-Nya? Nah, kita harus bisa kembali kepada-Nya dengan kesadaran dan bukan dengan terpaksa! Kita harus merdeka dalam menyongsong kehadiran-Nya. Sungguh rugi orang yang menolak untuk bertemu dengan-Nya. Karena menolak untuk bertemu dengan Tuhan, berarti dia memilih hidup dalam ilusi atau impian semata. Hidup di alam kebahagiaan semu! Seperti yang diungkapkan dalam surat 6:31, “Sungguh merugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah, sehingga apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka mengatakan: alangkah besarnya penyesalan kami karena kelalaian kami kepadanya.” Coba perhatikan ayat ini, di situ dijelaskan bahwa kiamat datang kepada mereka [yang mendustakan] dengan tiba-tiba. Begitu mereka tersingkap dengan tiba-tiba kesadarannya tentang hidup ini, maka yang ada adalah penyesalan. Yang dipikul adalah kesengsaraan. Hanya karena lalai tentang hadirnya kiamat yang datang tiba-tiba itu. Lain dengan orang beriman, dia selalu waspada. Orang-orang yang selalu hidup murung, menderita dan merasa terus-menerus dalam kesengsaraan [bahkan ada yang nekat bunuh diri karena tak kuat menanggung penderitaan hidup ini], adalah contoh orang-orang yang kedatangan kiamat. Bila kiamat tidak datang selama dia dalam hidup ini, maka kiamat pun akan datang setelah matinya. Hal ini diungkap dalam surat 50:22, “Sungguh engkau berada dalam kelalaian tentang [kematian] ini. Maka Kami singkapkan darimu apa yang menutupimu, dan penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” Dengan demikian, tidak ada gunanya melakukan rekayasa, tipudaya, atau “tricky” dalam hidup ini. Tobat. Langkah awal dalam tarekat adalah “tobat” atau adanya kemauan untuk kembali kepada-Nya. Bukan hanya mau ramai-ramai di jalan umum, tetapi adanya kemauan untuk menempuh sendirian kepada-Nya. Bukan hanya menuntut ada teman yang menyertai, tetapi berani melangkah sendirian. Nah, tahap ini disebut “decondi-tioning” atau “takhalli”. Berhenti mengikuti arus massa. Bukan melawan arus, tetapi menancapkan pendirian! Jadi, tobat di sini jangan diartikan dengan “meninggalkan kejahatan atau kecurangan” yang pernah kita lakukan. Kita tidak perlu berbuat curang untuk bisa bertobat. Tetapi kita sengaja untuk memilih cara yang benar, kepatuhan yang benar. Inilah makna tobat dalam tarekat! Tobat dalam tarekat berarti berketetapan untuk tidak mencuri, tidak berzina, tidak menipu, tidak membohongi orang, tidak menganiaya siapa pun, tidak merugikan orang lain, tidak menyakiti; atau dengan kata lain, menegasikan segala perbuatan dan tindakan yang buruk atau jahat. Dalam syariat tobat adalah meninggalkan dan tidak mengulangi perbuatan jahat yang telah diperbuat. Dalam tarekat tobat berarti memilih untuk tidak berbuat jahat. Memilih untuk berbuat lurus! Tidak berpedoman “tujuan menghalalkan segala cara”. Tujuan harus dicapai dengan cara yang benar dan baik [Jawa, bener lan pener]. Memang berat godaan bagi yang mengambil jalan lurus. Lebih-lebih bila kita sudah pernah menikmati “yang bengkok” itu. Bisikan untuk mencecap dan mencicipi kebengkokan itu datang bertubi-tubi. Bagaimana jalan keluarnya bila rayuan setan ini berhembus di dalam hati kita? Bila sugesti setan [bisikan jahat] datang bertubi-tubi ke dalam diri kita, maka kita harus segera berzikir, bersegera untuk eling [sadar] dan waspada. Kita harus bebaskan pikiran kita dari bisikan itu dan kita serahkan diri kita kepada-Nya. Kita harus yakin bahwa Allah mendengarkan dan memperhatikan seruan kita. Kita harus yakin bahwa Allah melindungi kita! Mengapa kita harus yakin? Karena kita telah memilih jalan yang lurus, dan Allah senantiasa di jalan lurus. Di bawah ini ada beberapa ayat yang menopang keyakinan untuk berbuat benar. 7:200, Jika setan mengganggu [mensugesti] engkau maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. 7:201, Sesungguhnya orang-orang yang menjaga diri, apabila mereka tertimpa gangguan setan, mereka berzikir kepada Allah, dan ketika itu pula mereka melihat gangguan itu. 42:13, Berat bagi orang-orang yang menyekutukan Tuhan untuk menem-puh jalan yang diinformasikan kepada mereka. Allah menarik orang yang menghendaki jalan-Nya, dan memberi petunjuk kepada jalan-Nya bagi siapa yang kembali [kepada-Nya]. Dengan berzikir kepada Allah, kita sebut nama-Nya dengan bahasa kita, bahasa yang kita pahami dan keluar dari hati yang tulus. Misalnya, “Ya Tuhan, Pelindung diriku, singkirkan gangguan setan itu dariku. Berilah aku kekuatan untuk menempuh jalan-Mu. Sesungguhnya Engkaulah pemilik kekuatan yang sebenarnya.” Ini hanyalah salah satu contoh saja dalam berdoa. Dalam berdoa tak ada keharusan dalam ucapan bahasa Arab. Doa yang baik adalah doa yang kita mengerti maksudnya dengan benar. Doa demikianlah yang ces pleng! Jangan ragu berdoa dalam bahasamu yang keluar dari dalam lubuk hatimu. Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui! Namun, bila kita tidak terdidik dalam berdoa dengan menggunakan bahasa kita sendiri, kita boleh menggunakan contoh-contoh doa dalam Al Quran atau Al Hadis. Bila kita menggunakan doa dalam bahasa yang bukan bahasa kita sendiri, maka kita harus belajar memahami makna dan maksudnya. Yang penting untuk diperhatikan, janganlah pikiran kita dibebani dengan doa-doa. Pikiran kita harus dibebaskan dari berbagai macam hal yang tidak diperlukan. Pikiran harus senantiasa dijaga tetap segar dan jernih. Dalam kejernihan pikiran kita bisa melihat gangguan setan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh ayat 42:13, bila pikiran kita tetap mendua maka beratlah jalan Ilahi yang hendak kita tempuh. Kita harus yakin bahwa jalan lurus [jalan positif] yang kita pilih dan ikuti itu adalah jalan yang benar dan tepat. Bila kita sungguh-sungguh menempuhnya niscaya Allah sendiri yang menarik kita ke tengah jalan itu. Allah menghendaki orang yang menghendaki jalan-Nya. Inilah maksud dari “Allahu yajtabi ilaihi man yasya-u” dalam ayat tersebut. Jadi, kata “man yasya-u” tidak berarti Allah yang aktif dan manusianya pasif. Tetapi interaktif antara “kawula” dan “Gusti”, hamba dengan Tuhan. Wara’. Kata “wara’” dapat diterjemahkan dengan “hati-hati” atau waspada. Manusia yang tetap menjaga dirinya di jalan yang benar, atau manusia bertakwa, adalah orang yang senantiasa sadar dan waspada. Dengan eling dan waspada itu dia bisa melihat gangguan setan. Bila kita bisa melihat bisikan setan, tentu kita dapat menghindarinya. Sebaliknya, jika cuma meraba-raba dalam kegelapan, ada kemungkinan terhanyut dalam bisikan itu. Dalam syariat wara’ berarti berhati-hati dalam memilih makanan, dan berhati-hati dalam berbuat dan bertindak. Sedangkan wara’ dalam tarekat artinya senantiasa sadar dan waspada. Baik tobat maupun wara’ adalah tahap “decondioning”, “takhalli”, atau usaha untuk mengosongkan diri kita dari segala dorongan untuk berbuat jahat. Pada tahap ini kita dituntut untuk selalu introspeksi maupun berani mengakui kesalahan yang kita perbuat. Memang sulit rasanya bagi orang dewasa yang sudah terkontaminasi atau tercemar kotoran dalam hidupnya, melakukan dekondisioning. Tetapi bagi yang telah berketetapan hati, langkah awal ini harus dilalui. Harus ada tekad yang bulat dan kuat. Dalam ayat 7:200 disebutkan, bila ada bisikan maka segeralah berlindung kepada-Nya. Lalu dalam 7:201 dijelaskan bahwa begitu terkena gangguan setan, maka harus segera berzikir, segera eling dan waspada! Dan dalam 42:13 disebutkan bahwa orang yang menghendaki jalan-Nya niscaya ditarik Allah ke dalamnya. Lihat kembali ayat surat Al-‘Ankabut/29:69, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh menempuh jalan Kami, niscaya Kami tunjuki mereka jalanjalan Kami.” Mengamalkan Zikir Dekondisioning harus dilatih! Bagaimana caranya? Seperti yang dijelaskan dalam ayat 7:201, dengan berzikir. Ada dua macam zikir, yaitu zikir dengan berbuat dan zikir dengan bertindak. Pertama, zikir dengan berbuat artinya zikir tanpa tindakan. Tindakannya hanya terjadi dalam diri orang yang melakukannya. Dalam zikir ini kita dilatih untuk mengawasi ucapan kita sendiri dalam keadaan heneng atau diam. Dalam zikir ini kita dilatih untuk mengawasi nafas kita sendiri. Zikir jenis inilah yang dilakukan ketika seseorang melakukan shalat atau sesudah shalat. Jika di dalam shalat, yang dilakukan adalah memperhatikan bacaan di dalamnya. Jika di luar shalat zikir ini dilakukan dengan duduk relaks, atau duduk yang nyaman, dan disertai ucapan kalimat thayyibat seperti subh?nallah [Mahasuci Allah], alhamdu lil-Lah [segala puji kepunyaan Allah], dan allahu akbar [Allah Mahabesar]. Untuk melatih kesadaran dan kewaspadaan kita terhadap kalimat thayyibat yang diucapkan, dibuatlah pencacahan terhadap kalimat tersebut. Misalnya dengan meng-ucapkan kalimat subhanallah dan alhamdulillah masing-masing 33x dan allahu akbar diucapkan 34x sehingga banyaknya pengucapan kalimat tersebut 100 kali. Dengan zikir ini kita dilatih untuk tetap sadar dan waspada. Pada tahap dekondisioning ini semua pikiran yang kotor dikuras. Jadi, cara mengurasnya bukan dengan jalan mengosongkan pikiran, tetapi dengan cara mengisinya dengan ucapan kalimat yang baik. Dan, pengucapannya pun sekadar didengar telinganya sendiri! Untuk pelatihan tahap dekondisioning ini para murid [orang yang berkehendak] bisa melatihnya di pagi hari setelah masuk shalat subuh. Latihannya harus dilakukan dengan teratur, cermat, berhatihati, tekun dan rajin. Misalnya, pelaksanaan zikir ini ditetapkan selama empat puluh hari, setiap pagi. Diusahakan dilatih dalam lingkungan yang hening, sepi. Atau, jika berbakat 10 hari sudah cukup. Kedua, zikir dengan bertindak. Artinya, ada aksi, ada tindakan! Begitu ada orang yang mengajak kolusi dalam pekerjaan kita, ketika itu pula kita ingat untuk berusaha menghindarinya. Bila desakan ke arah itu menguat, kita harus berani mengatakan kepadanya: tidak! Memang berat mengamalkan zikir dengan bertindak. Karena zikir ini dihadapkan pada kenyataan. Keadaan inilah yang mendorong guru tarekat mendirikan “jamaah tarekat” atau organisasi tarekat. Dengan organisasi, kesulitan anggotanya bisa diatasi. Jadi, kita jangan heran jika di dalam komunitas Islam hadir begitu banyak tarekat. Dalam agama Kristen hadir banyak “gereja” untuk gembalanya. Di Cina ada Zhuan Fa Lun atau gerakan meditasi “Fa Lun Qung”. Sehingga buruh-buruh pabrik yang tadinya biasa “ngutil” produksi pabrik tersebut, seperti handuk, sabun, sandal dll, setelah terlatih meditasi Fa Lun mereka sadar dan mengembalikan hasil ngutilnya. Bahkan manajer pabrik sadar dengan gerakan itu produktivitas pabrik meningkat. Tapi secara politis, Pemerintah Cina terancam oleh gerakan ini. Mulai saat ini marilah kita praktikkan tarekat ini, dengan zikir berbuat dan zikir bertindak. Jangan ada target dulu. Lebih baik kita merasa berlatih dulu Bagian ke-8 Antara Syareat dan Tarekat Telah dijelaskan di bagian sebelumnya bahwa yang dituju dalam syareat adalah kolektivitas atau kebersamaan. Sedangkan yang dituju dalam tarekat adalah keunikan. Meskipun demikian antara syareat dan tarekat tidak bertentangan. Justru yang dibangun adalah keseimbangan antara hidup secara kolektif dengan ekspresi individual. Karena kodrat dan iradat Tuhan terhadap makhluk tidak sama. Maka kebutuhan bersama dan kebutuhan pribadi harus dirajut bersama. Syareat berfungsi untuk mengikat suatu komunitas dalam jalan hidup bersama. Syahadat, shalat, puasa Ramadhan, zakat dan haji adalah jalan umum yang dilalui secara bersama-sama oleh komunitas yang beragama Islam. Unsur kebersamaan dalam kelompok lebih ditekankan. Formalitas lebih menonjol daripada tujuannya. Jika dium-pamakan anak sekolah, mengisi daftar hadir dan duduk di kelas lebih menonjol daripada keinginan untuk menjadi murid yang pandai dan trampil. Dalam shalat pun begitu, rasa untuk memenuhi kewajiban lebih menonjol daripada mencapai “tujuan” shalat. Bahkan kalau saya amati, saya katakan dengan jujur bahwa sebagian besar orang yang mela-kukan shalat tidak ingat [atau bahkan tidak tahu] akan tujuan shalatnya. Mereka hanya merasa “berdosa” bila tidak melakukannya. Dan, merasa telah bebas dari dosa jikalau telah menunaikannya. Tentu saja hal ini disebabkan oleh kebiasaan yang membelenggu pikiran. Sama dengan jenis-jenis kebiasaan yang lain. Dari segi syareat seseorang yang shalat dianggap sah bila ia telah bersih dari hadas [yang kecil dengan wudhu, dan yang besar dengan mandi], dan mencari tempat yang bersih untuk shalat, lalu dilakukan sesuai dengan syarat dan tertib rukunnya. Bereess! Upacara telah dikerjakan. Lho, kok dianggap upacara, itukan perintah Tuhan? Shalat hanyalah sebuah upacara jika yang dipenuhi formalitas lahiriahnya. Yang di-tuntut dalam kehidupan beragama tentu bukan sekadar upacaranya. Tetapi, tujuan dari shalat! Apa tujuan shalat? Apa tujuan puasa, zakat dan haji? Marilah kita periksa satu persatu. Pertama, Surat Thaha:14. 20:14 Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, dan tidak ada Tuhan kecuali Aku. Beribadahlah kepadaKu dan dirikanlah shalat untuk berzikir kepada-Ku. 29:45 Telaahlah Al Kitab yang diwahyukan kepada engkau, dan dirikan shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan fahsya’ dan mungkar. Dan sesungguhnya berzikir kepada Allah itu lebih besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu (semua) kerjakan. Dari kedua ayat tersebut dapat diketahui dengan pasti tujuan shalat. Tujuan utama shalat adalah “berzikir” kepada Tuhan. Dan, efek berikutnya adalah terjauhkan dari perbuatan fahsya’ dan mungkar. Karena efek dari zikir itu menjauhkan pelakunya dari perbuatan fahsya’ dan mungkar, maka nilai zikir itu lebih besar dari ibadah lainnya. Apalagi zikir tersebut dilakukan dalam shalat. Fahsya’ adalah segala jenis perbuatan yang tidak normal, yang dibenci masyarakat, kekejaman, dan yang menjijikkan. Sedang perbuatan mungkar adalah perbuatan yang ditolak atau dilarang oleh masyarakat. Jadi, tujuan akhir shalat adalah mencegah perbuatan fahsya’ dan mungkar bagi penegaknya. Shalat bukan untuk membebaskan diri dari kewajiban. Masih ingatkan ayat tentang perintah puasa Ramadhan? Yaitu, Surat Al Baqarah ayat 183. Di situ jelas, bahwa tujuan puasa bukan untuk melatih diri supaya tahan lapar atau sakti, tetapi untuk menjadi orang yang bertakwa, yaitu orang yang senantiasa menjaga dirinya di jalan yang benar [life in the righteous way]. Sedekah atau zakat juga dimaksudkan untuk membersihkan dirinya dari kedengkian masyarakat di sekitar-nya, dan juga untuk membersihkan batin dari sifat loba dan kikir [QS 9:103, sedekah itu untuk “tuthahhiru” dan “tuzakki”]. Bahkan dengan haji, orang dididik dan dilatih untuk hidup damai (QS 2:191, 3:97), higienis (22:29), menjauhkan diri dari pertikaian, percabulan dan kelakuan jahat (2:197), dan hidup sosialis (22:28). Nah, sekarang marilah kita melihat fakta di sekeliling kita. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius. Secara lahiriah masjid, gereja dan tempat-tempat peribadatan lainnya dipenuhi orang. Dari segi lahiriah seolah-olah orang-orang yang memenuhi tempat ibadah ini adalah orang-orang yang saleh, atau orang-orang yang bertakwa. Kuota untuk jemaah haji pun cepat sekali dipenuhi. Namun demikian, negeri ini penuh koruptor, tukang kolusi, dan banyak penjahat kelas berdasi. Kebodohan tak kunjung usai. Kemiskinan malah beraksi sehingga kita merasa tak bisa melepaskan diri dari hutang internasional. Apa gerangan penyebabnya? Penyebabnya, kita lebih suka formalisme. Kita lebih senang mengandalkan “kepercayaan” daripada pengetahuan. Kita lebih suka kebenaran “visual” daripada kebenaran yang bersemi di dalam hati yang suci. Kita lebih mempercayai “dongengan” abad III Hijrah daripada mengkaji Al Quran dengan hati yang tenang dan pikiran yang jernih. Sekarang, marilah kita bandingkan dengan etika kehidupan bermasyarakat dari orang-orang Barat. Mereka dikenal sebagai masyarakat yang hidup individualistik. Hak pribadi betul-betul dinomorsatukan. Namun, di jalan mereka tidak melakukan saling serobot. Fasilitas-fasilitas milik umum (fasum) dijaga dan dihormati. Makna hidup itu untuk melayani orang lain mereka coba tegakkan. Mereka betul-betul berusaha menjaga “fairness” dalam bermasyarakat. Padahal, secara lahiriah mereka tampak tak bergairah menjalankan agama. Mengapa bisa demikian? Karena mereka telah melangkah ke tahap kehidupan tarekat. Lho, mereka kan tidak hidup beragama Islam sedangkan tarekat itu ajaran Islam? Tarekat adalah perjalanan spiritual kehidupan manusia. Ia ada di dalam setiap agama. Namanya saja yang berbeda! Sembah Kalbu Orang tak akan mengerti arti sebuah kekayaan bila ia tak pernah menghayati arti sebuah kemiskinan. Tidak perlu harus jatuh miskin dulu! Tetapi menghayati dalam batin kita bahwa sesungguhnya kita ini miskin. Wong ketika kita lahir tak ada yang membawa perhiasan. Orang tak akan mengerti makna kepandaian bagi kesejahteraan bila ia tak pernah menghayati makna kebodohan. Seandainya generasi Jepang sekarang tidak menghayati rasanya suatu bangsa yang dibom atom, tentu mereka akan tetap melakukan penindasan dan penghancuran negara-negara sekelilingnya yang dipandang lemah. Jika makna-makna yang negatif [seperti jahat, miskin, bodoh, dan lemah] itu telah hilang dari mereka, maka mereka pun akan mengalami hal yang sama seperti yang melanda negeri kita ini. Nah, tarekat adalah cara untuk melihat diri kita sendiri. Karena itu tarekat disebut sebagai meniti jalan ke dalam diri. Tanpa mengenal diri kita sendiri, niscaya kita tak akan pernah bisa mengerti orang lain. Malah orang lain kita paksa seperti diri kita! Kita nyinyir bila melihat orang lain tidak melakukan ibadah seperti yang kita lakukan. Kita memandang orang lain tidak mengikuti sunah Rasul, bila mereka tidak segolongan dengan kita. Bahkan orang lain yang sudah mendalami Al Quran dan Hadis, dipandang belum berilmu bila tidak belajar seperguruan dengan kita. Kepicikan timbul karena tak pernah mau melihat kepada dirinya sendiri. Pada bagian yang lalu telah dijelaskan bahwa tahap awal dalam tarekat adalah dekondisioning, atau “takhalli”, yaitu tahap pembersihan batin. Kepercayaan yang telah membelenggu, harus dirantas. Lho, bagaimana ini, hidup beragama kan harus ditopang dengan kepercayaan? Ha, jangan salah mengerti! Yang harus dirantas adalah keperca-yaan yang membelenggu. Kepercayaan semacam ini beretengger di dalam diri kita dari hasil meniru, yaa... meniru seperti anak kecil. Mungkin meniru dari lingkungannya, atau meniru dari teman yang mengajaknya. Lain halnya dengan pembersihan batin. Dengan tobat dan wara’ kita telah melangkah pada kehidupan yang bersih lahir dan batin. Dengan kondisi batin yang bersih, tumbuhlah kepercayaan asli yang tumbuh dari dalam. Bukan kepercayaan hasil meniru. Hal ini penting sekali untuk dipahami! Iman (kepercayaan) yang benar adalah yang tumbuh dari dalam hati. Bukan iman yang tumbuh karena diyakinkan oleh orang lain. Jadi, peran guru-guru agama, ustadz-ustadz, dan ulama adalah memberikan jalan bagi sang pengembara. Mereka menjadi pemandu jalan, pembawa obor bagi orang-orang yang ingin kembali kepada Ilahi. Tugas guru dan ulama bukanlah membuat mereka menjadi robot hidup. Guru dan ulama adalah orang yang menunjukkan jalan dan memberikan keteladanan. Mereka bukan untuk ditiru [to be imitated] tetapi untuk diikuti [to be followed]. Dengan pemahaman ini bukan orang lain yang mengantarkan kita ke tujuan hidup, tetapi kita sendiri yang berusaha ke sana. Mari kita perhatikan ayat berikut ini. 35:18 Sesungguhnya yang bisa engkau berikan ajaran [peringatan] adalah orang-orang yang awas kepada Tuhannya meskipun tanpa melihat-Nya, dan mereka mendirikan shalat. Barangsiapa menyucikan dirinya, sesungguhnya penyucian itu untuk dirinya sendiri. Dan Allah itu tempat kembali. Jadi, jelas sekali bahwa Rasul saja tugas mulianya adalah untuk menyampaikan ajaran keselamatan. Apalagi ustadz atau ulama! Fungsi Rasul bukan untuk menyelamat-kan tetapi memberikan petunjuk ke arah keselamatan. Karena itu yang bisa diberi ajaran adalah mereka yang awas terhadap kehadiran Tuhannya, tanpa melihat Wujud-Nya. Bila tidak awas, ya sulit untuk dapat menerima kebenaran ajaran beliau. Itulah sebabnya saya berkali-kali menekankan kata “mengikuti Rasul” dan “bukan meniru Rasul”. Mengikuti memerlukan keawasan, sedangkan meniru cuma mencontoh, atau dalam bahasa sekarang mencontek Rasul. Apa unggulnya mencontek? Dan dalam ayat itu diringi pula dengan kalimat “mendirikan shalat” dan bukan mengerjakan shalat. Memang sekarang ini jadi kabur antara “mendirikan” dan “mengerjakan”. Karena kepentingan guru-guru agama sebatas formalitas, yaitu mengerjakan. Mendirikan shalat berarti membangun shalat, suatu bangunan yang di dalamnya terletak zikir kepada Tuhan. Suatu syareat yang di dalamnya terkandung tarekat! Kemudian lanjutan ayat menyebutkan bahwa upaya penyucian diri itu sepenuhnya untuk dirinya sendiri. Jadi, betul-betul melewati lorong yang pas bagi dirinya sendiri. Kita masuk ke dalam sel hati yang terdalam. Di situlah Tuhan bersemayam. Bukankah di dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “Langit dan bumi tak dapat menampung-Ku, tetapi hati seorang mukmin mampu menjangkau-Ku.” Jadi, hati terdalam manusia adalah tempat bersemayam-Nya pada tahap tarekat. Sedangkan Ka’bah di Mekah merupakan Rumah Tuhan di tahap syareat. Dengan meniti ke dalam diri, berarti kita kembali kepada Allah, seperti penutup ayat tersebut. Nah, upaya untuk memasuki wilayah hati (kalbu) dalam pemahaman tasawuf Jawa disebut sebagai “Sembah Kalbu”. Bila dalam langkah tobat dan wara’ ada sam-bungan syareat dan tarekat, maka langkah berikutnya, sabar, adalah tindakan hati. Makin memasuki wilayah tarekat. Bersucinya tidak lagi dengan material yang dapat dilihat dengan mata, seperti air dan harta-benda, tetapi mampu mengendalikan hasrat hati yang selalu menggoda kehidupan ini. Sabar. Lebih dari lima puluh kata ‘sabar’ dalam berbagai bentuknya terdapat di dalam Al Quran. Dan kata ini tidak bermakna tunggal seperti kata ‘sabar’ dalam bahasa Indonesia. Jika kita lihat kamus Indonesia, kata sabar berarti tidak pemarah, tahan menderita, menerima saja, dan tidak tergopoh-gopoh dalam bekerja. Hal ini lain dengan yang diungkap dalam Al Quran. Kalau kita cermati QS 6:34, sabar mempunyai arti ‘tetap berjuang meskipun datang berbagai cobaan dan ancaman’. Jadi, di dalam “sabar” terkandung daya tahan terhadap berbagai macam cobaan, ancaman dan gangguan. Dalam sabar, juga termuat sikap tidak mudah lupa diri, seperti lekas bangga bila terlepas dari kesulitan. Sedangkan dalam QS 37:102 disebutkan bahwa Ismail bersedia untuk disembelih ayahnya. Dia katakan kepada ayahandanya, Ibrahim: hai bapakku kerjakan apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu dapati diriku termasuk orang-orang yang sabar. Dan salah satu fondamen Islam adalah saling berwasiat tentang hidup sabar. Jadi, kita tak perlu meringkas dan menyimpulkan kata sabar yang banyak di dalam Al Quran itu. Tetapi, yang jelas sabar merupakan tindakan hati. Dan, tindakan hati ini tidak terlihat oleh orang lain. Efek dari tidak sabar yang bisa dilihat oleh orang lain, seperti mudah emosional, gampang marah, mudah ketakutan, panik, tergesa-gesa, dan tak tahan menderita. Untuk bisa hidup sabar, kita harus senantisa introspeksi, awas, berhati-hati, cermat, tekun dan rajin. Dan, yang sangat penting bagi pijakan sabar adalah “hati yang tenang”. Mengapa hati yang tenang diperlukan untuk membangun kesabaran? Karena dengan hati yang tenang manusia bisa mengontrol perbuatan dan tindakannya. Dan, agar hati bisa menjadi tenang, kita harus berzikir [Jawa, semedi]. Kata semedi sendiri berasal dari kata Sanskerta “Samadhi” yaitu sam + Adhi yang terjemahannya dengan + Tuhan. Jadi, bersemedi artinya menyatukan diri dengan Tuhan. Tentu saja bukan persatuan fisik karena fisik alam semesta ini ada di dalam Tuhan. Tuhan meliputi segala sesuatu [wa kana llahu bi kulli syai-in muh?tha, 4:126]. Dan pada ayat 41:54 disebutkan sebagai berikut. Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka [orang-orang kafir] berada dalam keraguan tentang pertemuan mereka dengan Tuhan. Ingatlah bahwa sesung-guhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu. Pertama, Tuhan meliputi segala sesuatu. Dia adalah Cahaya di atas cahaya, seperti dinyatakan dalam Surat An Nur/24:35. Cahaya-Nya menembus segala sesuatu dari sesuatu yang paling kecil hingga yang paling besar. Dengan kata lain, Tuhan meliputi alam semesta. Karena itu di pangkal ayat yang sama Allah dinyatakan sebagai Cahaya [yang meliputi] langit dan bumi. Jadi, secara fisik makhluk dan Tuhan tidak dapat dipisahkan. Karena Dia juga disebut tidak di dalam atau di luar sesuatu. Dia meliputi yang lahir dan yang batin [QS 57:3]. Lalu apanya yang dikatakan bersatu dalam zikir itu? Iradatnya! Orang yang berzikir mempersatukan iradatnya dengan iradat Tuhannya. Diinformasikan dalam QS 2:152, “Berzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku berzikir kepdamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan jangan mengingkari-Ku.” Kedua, bila kita menyimak beberapa ayat sebelumnya, yaitu ayat 49 ? 51, di situ disebutkan bahwa orang-orang kafir itu senantiasa terombang-ambing oleh kegalauan pikirannya. Akibatnya jiwanya rapuh terhadap berbagai tekanan dalam hidupnya. Dan, sumber utama kegalauan pikiran itu adalah “ragu-ragu tentang pertemuan dengan Tuhan”. Padahal, zikir adalah landasan bagi pertemuan dengan Tuhan. Ujung ayat tentang zikir tersebut berbunyi “bersyukurlah kepada-Ku dan jangan mengingkari-Ku”. Artinya ciptakan nilai tambah dalam hidup ini karena Dia, bukan karena ego kita. Bila kita berbuat dan bekerja demi ego [mementingkan diri sendiri], kita akan mengalami distorsi dalam hidup ini. Karena itu ayat di atas ditutup dengan penguatan “jangan mengingkari Aku”. Seperti pada kesempatan lain, telah saya uraikan makna “zikir”. Namun, untuk mengingatkan kita semua saya sampaikan lagi pada kesempatan ini. Zikir berasal dari kata dza-ka-ra yang artinya mengingat atau menuangi. Jadi, orang yang berzikir berarti menuangi ke dalam jiwanya, pikirannya dan hatinya dengan sesuatu yang di-ingatnya. Berzikir kepada Allah berarti menuangi diri kita [lahir dan batin] dengan kata-kata yang baik tentang Allah, seperti menyebut nama-Nya, mengucapkan nama-nama baik-Nya, menyebut subhanallah, alhamdulillah, allahuakbar, la ilaha illallah dan lainlainnya. Dengan menyebut kata yang baik kita berusaha melakukan proses dekondisioning dengan cara menuangi kata “thayyibat”. Islam tidak mengajarkan pengosongan pikiran dengan metode konsentrasi atau berusaha melenyapkan segala keramaian pikiran. Tetapi, dengan cara mengisi pikiran dan hati dengan nama-Nya. Dalam perjalanannya sang pezikir akan semakin cerah. Bak gentong yang berisi air kotor, pezikir tidak menggulingkan gentong itu sehingga airnya tumpah dan gentong ditegakkan kembali. Cara demikian bisa memecahkan gentongnya jika gentongnya tidak kuat. Tetapi dengan cara menuangi dengan air yang bersih, lama-lama air yang kotor itu habis dengan sendirinya. Nah, itulah resp zikir! Dengan cara ini lama-lama hati menjadi tenang. Hati yang kerjanya berubahubah, bergerak kesana-kemari tak tentu tujuan ini, secara perlahan-lahan dimuati dengan nama-Nya. Pelan-pelan keberingasan hati menjadi reda dan akhirnya berhenti, dan muncullah ketenangan. Hal inilah yang ditegaskan dalam Surat Ar Ra’ad/13: 27 ? 29. :27 Orang-orang kafir [yang meningkari kebenaran] berkata: “Mengapa Tuhannya tidak menurunkan mukjizat kepadanya?” Katakanlah: “ Sesungguhnya Allah menyesatkan orang yang menghendaki kesesatan dan menunjuki orang-orang yang kembali kepada-Nya.” 28 Yaitu, orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram karena berzikir kepada Allah. Perhatikanlah, hanya dengan kepada Allah hati menjadi tentram. 29 Orang-orang yang beriman dan beramal saleh layak mendapatkan kebahagiaan dan tempat kembali yang baik. Pada ayat 27 kata “man yasya-u” biasa diatributkan kepada Tuhan sehingga artinya, “Tuhan menyesatkan kepada siapa yang Dia kehendaki”. Namun, terjemahan yang saya gunakan adalah “Tuhan menyesatkan orang yang menghendaki kesesatan”. Karena ujung ayat itu menegaskan : Tuhan menunjuki orang-orang yang kembali kepadaNya. Inilah sifat ‘Ar Rahim’ dari Tuhan. Siapa yang kembali kepada-Nya itu? Yaitu, orang-orang yang beriman [selalu awas, eling dan waspada] dan beramal saleh [melakukan tindakan yang berguna, baik bagi orang lain, lingkungan dan dirinya sendiri]. Jadi, kata kembali kepada Tuhan jangan ditunggu setelah mati. Kita sadari kehadiran kiamat, dan segera kembali kepada Tuhan Yang Mahaesa. Untuk bisa beriman dan beramal saleh, salah satu langkah yang harus ditempuh adalah “hidup sabar”. Itulah sebabnya di beberapa ayat disebutkan bahwa “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. Sabar yang dimaksud di sini adalah maqam, stasiun, atau tingkatan pencapaian spiritual. Bukan sabar dalam pengertian “sifat sabar” seperti ‘sabar, dong!’ atau yang sabar ya Pak.., Bu..., dan lainlain. Budaya antri, tidak saling menyerobot, menghargai hak orang lain, rela berjuang bersama dalam membangun bangsa, saling mengerti, hidup gotong royong adalah bukti tercapainya maqam kesabaran. Nah, untuk mencapai maqam kesabaran ini mari terus kita lakukan zikir lahir yang diterangkan di bagian yang lalu. Bagian ke-9 Antara Sabar dan Tahalli Ketika kita berjuang untuk hidup benar, lalu menetapkan pendirian untuk tetap memilih jalan yang benar [istiqamah], berarti kita telah melakukan dekondisioning [takhalli], yaitu membersihkan diri dari semua sifat yang tercela yang ada di dalam diri kita. Sifat tercela meliputi semua sifat yang mengotori jiwa [nafs] manusia, seperti lalim, bakhil, dusta, ma-lima, mengadu domba, dengki [iri hati], merusak, berlebih-lebihan dalam hidup, membunuh [diri sendiri maupun orang lain], menipu, sombong, merendahkan orang lain, mementingkan diri-sendiri, menjilat [cari muka], dan berbagai sifat negatif lainnya. Pada tasawuf bagian ke-8 kita telah sampai pada ajaran “sabar”. Kita telah masuk ke dalam wilayah “kondisioning” atau “tahalli”. Ketercelaan ditinggalkan, keterpujian diraih. Dengan sabar, kita mengkondisikan diri kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang terpuji. Tentu saja perbuatan terpuji lahir bila kita telah meninggalkan yang tercela. Yang termasuk sifat terpuji adalah semua sifa yang positif dan memberikan keuntungan baik bagi diri-sendiri maupun orang lain, seperti adil, kasih, sayang, lemah lembut, berani, tegas, bijak, menolong, membantu kebaikan, dapat dipercaya, memperbanyak persaudaraan, menyelamatkan jiwa, menutupi aib keluarga, saudara dan temantemannya, dan lain-lain. Setelah kita bongkar sifat-sifat tercela kita, kita cuci dengan zikir jahar [lahir], maka kita kondisikan batin kita dengan perbuatan-perbuatan terpuji. Mengkondisikan perbuatan terpuji harus dilandasi kesabaran [lihat kembali makna sabar pada bag. ke-8]. Ingat, sabar bukan ‘menerima kalah’. Tetapi, kita mempunyai daya tahan untuk berbuat atau bertindak. Marilah kita uraikan segala sifat terpuji tersebut. Adil. Kalau kita lihat di kamus Arab, kata ‘adil’ berarti memperlakukan setiap orang tanpa diskriminasi. Dalam ‘adil’ terkandung makna ‘jujur’ dan ‘fair’. Kata fair sendiri berarti “sesuai dengan aturan”. Terkandung dalam kata ‘adil’ adalah perlakuan yang proporsional. Contohnya begini, jika ada orangtua yang memperlakukan tiga orang anaknya [yang berumur 7, 5 dan 3 tahun], tentu orangtua tersebut harus memperlakukan mereka secara proporsional [sesuai dengan kebutuhannya]. Sikap adil ini akan bisa tumbuh pada diri kita bila kita sudah tidak mementingkan diri-sendiri dan pilih-kasih. Sifat tercela harus dihilangkan dulu. Lalu, dengan berpijak pada kesabaran kita menegakkan keadilan. Adil adalah sokoguru bagi ketakwaan. Ya, tanpa keadilan kita sukar untuk dapat menegakkan kebenaran. Untuk itu marilah kita simak QS 5:8 berikut ini. 5:8 Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum [golongan], mendorongmu untuk berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Perhatikan ayat tersebut sekali lagi. Keimanan ternyata menuntut upaya penegakan kebenaran. Keimanan dalam Islam ternyata bukan hanya sekedar kepercayaan. Iman itu harus didukung “pengetahuan” sehingga orang yang beriman itu bisa membedakan mana yang benar dan yang salah. Dengan kesabarannya orang tersebut berani menjadi saksi yang adil. Dalam kondisi yang semrawut di negara kita ini, banyak orang yang tidak berani menjadi saksi yang adil. Betapa beratnya menopang keadilan. Karena itu, untuk bisa bersikap adil manusia harus dikondisikan lebih dulu. Bahkan sekarang ini, di negara Indonesia, banyak orang yang bertindak liar tetapi tak ada yang mengadili. Apa akibatnya? Banyak manusia yang hidup ketakutan di republik ini. Adil adalah sikap hidup yang paling dekat kepada ketakwaan. Meskipun kita benci terhadap suatu kelompok [golongan] masyarakat, tapi kita harus adil. Kita harus ‘fair’, dan tidak main babat saja. Sekarang ini bisa kita lihat ada kelompok yang melakukan “sweeping” terhadap hak hidup orang lain tanpa berpijak pada hukum. Bahkan mereka berlindung di balik hukum. Na-‘udzu billahi min dzalik! Inilah pentingnya kita hidup berbudipekerti yang mulia. Kita wajib menghargai hak orang lain, dan tidak hanya mementingkan hak hidup kita sendiri. Berlaku adil! Kasih-sayang. Ar Rahman dan Ar Rahim adalah sifat Tuhan. Orang beriman harus berusaha menjadi rahmat bagi lingkungan hidupnya. Yang kuat ikut serta meng-angkat yang lemah. Yang kaya membantu yang miskin. Harus diciptakan hidup tolong-menolong dalam kebaikan. Yang kuat mengangkat yang lemah, tidak berarti yang lemah merongrong yang kuat. Yang miskin tidak boleh membebani yang kaya. Jikalau yang lemah dan yang miskin merongrong yang kuat dan yang kaya, ini berarti tidak terjadi kasih-sayang. Dalam kasih-sayang setiap orang saling memberi. Inilah manusia yang saling berwasiat kepada hidup sabar [untuk berbuat sabar] dan untuk hidup kasih-sayang. Hal ini dinyatakan dalam beberapa ayat berikut ini. 90:17 Kemudian mereka itu termasuk orang-orang yang beriman, yang saling berwasiat untuk hidup sabar dan saling berkasih-sayang. 5:2 Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu golongan, karena mereka pernah menghalangimu dari Masjid Al Haram, menyebabkan kamu bertindak melampaui batas terhadap mereka. Saling bertolonganlah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah amat keras siksanya. Kalau kita membaca QS 90:17 (Surat Al Balad), dan kita baca beberapa ayat sebelumnya, kita mengetahui bahwa hidup beriman yang ditopang perbuatan sabar dan kasih-sayang, termasuk dalam menapaki jalan yang mendaki. Artinya, berbuat sabar dan bertindak kasih-sayang adalah perbuatan dan tindakan yang berat. Jika kita masih mau menang sendiri, mau benar sendiri, maka jangan harap kita bisa menjadi manusia beriman yang sejati. Keimanan tanpa keadilan, kesabaran dan kasihsayang jelas-jelas iman gombal alias iman palsu. Yang perlu di-sweeping lebih dulu adalah rasa mau menang sendiri, egoisme, dan kebodohan yang ada di batin dan yang selalu menghantui pikiran. Batin dan pikiran harus di- ‘dekondisioning’ dari sifat tercela. Setelah batin dan pikiran bersih dari sifat tercela, baru bisa dikondisikan untuk menerima sifat terpuji. Memang hal ini tidak mudah dilakukan bila semata-mata diserahkan kepada masing-masing orang. Pengkondisian harus dibantu dengan institusi atau penegakan hukum. Manusia tidak boleh dibiarkan sekadar menjadi kerumunan massa, seperti menonton sepak bola, pertunjukan musik dan lain-lain. Yang timbul adalah rebutan. Akhirnya jatuh korban! Kekuasaan pun bila dijadikan rebutan, akhirnya juga timbul korban yang lebih dahsyat. Harus dikondisikan! Harus ada antre. Penonton harus sesuai dengan banyaknya bangku. Yang haji pun harus ditertibkan. Sehingga tidak terulang peristiwa Mina dan yang beberapa kali terjadi dalam melempar jumrah. Yang menjadi elite pun harus melalui proses, mengikuti prosedur, dan menaati aturan main. Pikiran yang mendorong ke arah egoisme, harus di-sweeping lebih dulu. Sehingga tidak terjadi manipulasi permainan. Harus sabar, jangan berebut mendahului. Sejak zaman dulu pesan moral ini sudah dihadirkan Tuhan. Hanya istilahnya saja yang berubah mengikuti perubahan zaman. Politik sudah ada dalam metafor pergulatan antara Adam, malaikat dan iblis. Yaitu, ketika malaikat protes terhadap Tuhan tentang kepemimpinan Adam di muka bumi ini [QS 2:30]. Malaikat protes, mengapa bukan dirinya yang menjadi khalifah di bumi. Mengapa manusia yang punya potensi untuk menumpahkan darah dan menimbulkan kerusakan, yang menjadi wakil-Nya. Iblis pun tak mau menerima kepemimpinan Adam. Iblis mau menang sendiri. Kalau dalam dunia politik, sabar berarti mampu menahan diri untuk tidak berbuat curang atau manipulasi. Proses, prosedur dan aturan main harus dipenuhi dengan lapang dada. Dalam pergaulan hidup, sabar berarti saling menahan diri untuk tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Dalam bekerja, sabar berarti memiliki dayatahan untuk menyelesaikan dengan baik dan benar pekerjaannya. Dalam diri pribadi, sabar berarti ulet dalam meniti tujuan; ada ketegasan untuk memilih, ada keberanian untuk melaksanakan, dan ulet dalam menyelesaikannya. Karena itu Tuhan memerintah manusia untuk saling berpesan untuk hidup sabar. Kasih-sayang berarti saling memberi. Bukan karena menerima, lalu memberi; yang dalam bahasa Inggrisnya “take and give”. Kalau ini masih ada curiga. Artinya, kita tidak bersedia memberi jika belum menerima lebih dulu. Seperti orang yang ingin mendapatkan tebusan sandera. Penyandera baru melepaskan sanderanya bila ia sudah menerima tebusan yang dituntutnya. Orang beragama bukanlah penyandera. Masing-masing diminta untuk memberi. Dari asas saling memberi ini lahirlah sikap saling menolong bagi orang-orang yang beriman. Lho, apa bisa saling menolong bila ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang kaya dan ada yang miskin. Tentu saja bisa! Dunia ini memang dicipta “dua warna”. Ada miskin, ada kaya. Ada lemah, ada kuat. Yang satu memiliki kelebihan dari yang lain. Kalau sama kuatnya, tak akan ada yang mau diperintah. Jika sama kayanya, tak akan ada yang mau menjadi buruh atau pegawainya. Agar roda kehidupan berputar, harus ada yang menjadi pasivis dan harus ada yang menjadi aktivis. Jika tak ada yang mau menjadi perempuan, maka tamatlah kehidupan manusia di bumi ini. Bagaimana jika perempuan semua [katakan teknik kloning sukses implementasinya]? Apa yang terjadi? Perbuatan saling menolong dan melindungi akan lenyap. Akhirnya, kehidupan manusia pun hancur! Ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang pandai dan ada yang bodoh. Hal ini dimaksudkan untuk saling memanfaatkan atau mempergunakan. Jika tak ada yang lemah [posisinya], maka tak ada yang mau menjadi buruh atau pegawai. Tak ada yang mau menjadi prajurit. Tak ada yang mau menjadi murid. Tak ada yang mau menjadi tukang batu, gembala, penjual kaki lima, sopir, dan tenaga kasar. Dinyatakan dalam QS 43:32sebagai berikut. 43:32 Apakah mereka [orang-orang kafir Qureisy itu] yang membagi-bagi rahmat Tuhan dikau? Kamilah yang mendistribusikan kehidupan di antara mereka dalam kehidupan di dunia ini. Kami meninggikan derajat sebagian orang atas sebagian yang lainnya, supaya yang satu bisa memerintah yang lain untuk membantunya. Namun demikian, rahmat Tuhan dikau lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan. Jadi, jelas bahwa perbedaan derajat itu dimaksudkan supaya manusia bisa bekerja sama dalam kehidupan di dunia ini. Perbedaan itu tidak dimaksudkan untuk menghisap, atau memperbudak yang lain. Yang kuat bukan untuk mengalahkan yang lemah. Yang kaya bukan untuk membuat yang miskin tergantung kepadanya. Semua dimaksudkan untuk dapat saling menolong, saling membantu. Perhatikan kembali QS 5:2 di atas. Semua manusia yang beriman [iman sejati, bukan hanya sebagai identitas] diperintah oleh Tuhan untuk saling menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Yang kaya menolong yang miskin dengan menciptakan lapangan kerja. Mereka meningkatkan ketrampilannya agar bisa hidup layak. Yang miskin menolong yang kaya dengan membantu mencapai target usahanya. Yang kuat menolong yang lemah dengan memberikan perlindungan dan kenyamanan hidup mereka. Sedangkan yang lemah menolong yang kuat dengan memberikan dukungan. Ya, sebenarnya setiap orang bisa memberikan apa yang ia punya kepada yang lain. Saling memberi. Akhirnya terciptalah kesejahteraan hidup bersama. Untuk menyemaikan kasih-sayang, orang-orang beriman diminta untuk tidak berbuat aniaya [berbuat melampaui batas] terhadap orang-orang yang pernah menyakiti. Islam tidak menanam benih balasdendam. Mungkin kita tetap menyimpan kebencian terhadap golongan yang pernah menyakiti kita. Namun kebencian ini tidak boleh mem-buat kita bertindak aniaya terhadap yang kita benci. Kita harus tetap bertindak adil, fair, terhadap mereka. Jika kita mau menelaah hadis-hadis Nabi, maka kita bisa ambil hikmahnya. Hikmah itu menyatakan: Orang yang kuat di antaramu bukannya yang mampu menaklukkan orang lain, tetapi orang yang mampu menahan diri untuk tidak melakukan balas dendam, meskipun kesempatan untuk itu ada. Orang yang kaya bukannya orang yang berlimpah harta benda, tetapi orang yang tidak merasa kurang bila memberi. Penutup ayat 5:2 di atas adalah “Allah amat keras siksanya!”. Perlu dipahami bahwa Allah itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dia bukanlah penyiksa. Tapi mengapa diperingatkan bahwa siksaNya amat keras? Perlu diketahui bahwa Allah mencipta alam ini dengan segala aturan mainnya. Dan orang yang menjaga dirinya di atas aturan permainan itu disebut “orang yang bertakwa”. Dapat diumpamakan dengan orang yang berada di jalan raya. Semua pihak harus mematuhi rambu dan marka yang ada di jalan itu. Jika keluar dari rambu dan marka akan terjadi kecelakaan. Begitu juga bila manusia tidak mau mematuhi aturan kehidupan di dunia ini. Ia bisa jatuh ke dalam jurang, atau tabrakan. Malapetaka di alam ini sangat dahsyat! Inilah yang diperingatkan oleh Tuhan, bahwa siksa-Nya sangat keras. Karena hakikat semuanya ini adalah milik Tuhan. Jika keluar dari ramburambu dan marka kehidupan, malapetaka yang datang pun sebenarnya berasal [dari aturan main] dari Tuhan. Gandengan kasih-sayang dan lemah lembut. Jika kasih-sayang berkaitan dengan sikap saling memberi. Maka lemah lembut lebih terkait dengan tata-cara penyajiannya atau sikapnya. Dalam memberi pun harus disertai dengan kesantunan. Bukan dengan cara yang kasar. Sebab pemberian pun jika dilakukan dengan cara yang kasar, tampak merendahkan yang diberi, akan membuat yang diberi enggan menerima. Orang yang dalam posisi lemah, tentu saja senang hatinya bila mendapat bantuan, pertolongan, atau pemberian dari yang kuat. Tetapi tatkala pertolongan itu diberikan dengan cara yang menyakitkan, dengan cara yang kasar, disertai dengan perkataan yang tidak enak didengar, dengan membangkitbangkit, maka orang yang diberi itu bisa bangkit penolakannya, atau kalau toh menerima, terasa sakit hatinya. Arti pemberian itu menjadi hilang. Dalam QS 2:263 disebutkan, “Perkataan yang baik dan pemberian maaf itu lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan perasaan si penerima. Sungguh Allah itu Maha Kaya dan Maha Penyantun.” Nah, kesantunan pun tak lepas dari kesabaran. Dan, kesabaran itu harus dikon-disikan dalam hidup ini. Jika untuk “dekondisioning” kita lakukan dengan zikir jahar. Maka untuk kondisioning [pengkondisian] kita lakukan dengan zikir kalbu. Membaca kalimat thayyibah setiap waktu subuh. Ada kedisiplinan bangun setiap subuh. Zikir cukup diucapkan di dalam hati! Bagian ke-10 Sabar dan Kecerdasan Seperti yang dijelaskan semula bahwa “sabar” yang kita tuju dalam tasawuf bukan sifat sabar tetapi maqam, tingkat atau stasiun sabar. Untuk masuk ke dalam maqam ini, kita sudah mendaki tiga tangga sebelumnya, yaitu tangga takwa dasar, tobat dan wara’. Tiga tangga sebelumnya untuk menghilangkan atau “dekondisioning” terhadap segala sifat yang tercela. Sedangkan maqam sabar ini untuk mengkondisikan kepada segala sifat yang terpuji, seperti keadilan, kasih-sayang dan kelembutan [diuraikan pada bagian ke-9]. Dan berikutnya untuk membangun kecerdasan. Sejak tahun 1990-an para pakar psikologi Barat mencoba menggali hubungan antara sabar dan kecerdasan. Akhirnya, ditemukanlah rumus kecerdasan baru, yang disebut ‘kecerdasan emosi’, yang dipelopori oleh Daniel Goleman, seorang doktor Psikologi dari Havard University yang bekerja pada The New York Time. Kecerdasan emosi [Emotional Intelligence] menentukan potensi seseorang untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan praktis yang didasarkan pada kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain. Artinya, meskipun seseorang telah memiliki IQ yang tinggi, tetapi bila kecerdasan emosinya rendah, dia tetap akan mengalami hambatan dalam pergaulan hidup [informal maupun formal (dalam bisnis, pekerjaan, dan politik)]. Kecerdasan otak bekerja pada bagian otak kiri, yang bersifat sadar, rasional dan logis [linear]. Jadi, kerjanya otak kiri ini matematis, berpikir seri. Tentu saja tidaklah keliru berpikir matematis. Fungsi otak kiri ini untuk mengerjakan segala tugas yang bersifat rasional dan jelas. Seperti komputer, ia diperintah untuk melakukan pekerjaan yang jelas, yang dikenal programnya. Ia sekadar memproses! Keunggulan dari penggunaan otak kiri adalah akurat, tepat, dan dapat dipercaya. Karena yang dapat dikerjakan oleh otak kiri adalah semua objek yang dapat diperbandingkan, dianalisis, dan dikalkulasi secara matematis. Ia selalu dalam keadaan on atau off. Kecerdasan emosi bekerja pada otak kanan. Ia membangkitkan potensi dan mengolah informasi bawah-sadar [subconscious], emosi dan intuisi. Berpikir dengan otak kanan bersifat asosiatif. Sebuah pemikiran yang mengaitkan antara emosi dan gejala tubuh, emosi dan lingkungannya. Dengan berpikir asosiatif memungkinkan kita mengenali pola-pola [wajah, suara, aroma, dan ketrampilan gerak]. Orang yang menyetir kendaraan harus memberdayakan kecerdasan emosinya. Dengan kecerdasan emosinya seseorang dapat mengubah transmisi, menginjak kopling, menambah gas, dan menginjak rem tanpa harus menggunakan pikiran rasional. Para CEO bekerja dengan menggunakan kecerdasan emosi. Para panglima perang bekerja dengan kecerdasan emosinya. Dan, dari hasil penelitian, sebagian besar orang yang yang IQ-nya tinggi tidak sukses dalam hidupnya. Kebanyakan mereka yang berhasil mengendalikan perusahaan besar adalah mereka yang EQ-nya lebih tinggi. Tentu saja mereka yang menjadi CEO perusahaan besar itu IQ-nya juga tinggi, tetapi EQ-nya yang lebih menonjol. Para pemimpin yang karismatik adalah mereka yang dikaruniai EQ yang tinggi. Lalu, apa hubungannya EQ dengan kesabaran? Ya, orang yang EQ-nya tinggi adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya, alias sabar. Juga sebaliknya! Orang yang sabar memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosinya. Jika IQ dan EQ diinteraksikan dan diintegrasikan, akan lahir kecerdasan yang lebih tinggi dari masing-masing kecerdasan yang ada, IQ saja atau EQ saja. Dalam Al Quran surat ke-103 [surat yang turun pada tahun pertama kenabian], merupakan landasan bagi pengintegrasian kecerdasan otak, emosi, dan spiritual [untuk kecerdasan spiritual akan dibahas pada kajian lebih lanjut]. Marilah kita simak surat yang pendek ini. 1. Demi waktu asar. 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. 3. Kecuali orang-orang yang beriman dan bertindak saleh, saling ber-wasiat untuk menempuh hidup yang hak [hidup di jalan yang benar] dan saling berwasiat untuk hidup sabar. Sejenak kita mengingat kembali kepada pelajaran tafsir surat ini yang telah saya berikan. Tuhan bersumpah dengan menggunakan waktu asar. Kata ‘ashara mempunyai arti memeras. Pada saat asar itulah, pada waktu itu, manusia berharap memperoleh nafkah hidupnya atau rezeki yang dikais sejak pagi. Namun demikian, manusia tetap disebut dalam kondisi berisiko [rugi]. Yang tidak dalam posisi rugi adalah mereka yang beriman dan beramal saleh. Iman dan amal saleh [imas] pada surat-surat berikutnya, dapat dikatakan, selalu bergandengan. Ini tidak berarti pada ayat-ayat berikutnya tidak diperlukan hidup yang hak dan hidup sabar. Kedua jenis tindakan ini bersifat implisit pada imas. Sebagai gantinya, dinyatakan secara eksplisit kata sabar dan Allah beserta orang-orang yang sabar [Inna l-Laha ma-‘a sh-shabir?n] di empat ayat [2:153, 249, 3:146, 8:46 dan66]. Jadi, tegas sekali bahwa Allah yang mem-‘back up’ orang-orang yang sabar. Itulah sebabnya sabar disebut sebagai maqam, posisi, spiritual. Seperti yang telah dijelaskan di bagian depan pelajaran tasawuf, bahwa iman itu bukan sekadar percaya. Banyak orang yang salah tafsir bahwa iman itu hanya sekadar percaya. Kalau sekadar percaya maka imannya orang dewasa sama dengan anak kecil [bahkan imannya anak balita]. Iman membutuhkan pengetahuan. Dan iman pada tingkat yang lebih tinggi membutuhkan pengalaman [ainul yaqin] dan selanjutnya meningkat pada iman sebagai realita hidup [haqqul yaqin]. Nah, pengetahuan harus ditimba dengan menggunakan rasio, menempuh hidup rasional, agar kita tidak melenceng dari objektivitas kehidupan. Untuk mempertebal keimanan di tingkat ilmu ini, manusia diseru untuk menggunakan ‘otaknya’ [afala ta‘qilun, la-‘allakum ta‘qilun]. Karena itu keliru berat bila iman tidak menggunakan logika sama sekali, kemudian dengan mudah disuruh percaya dan rela berbaiat. Amal saleh tidak cukup hanya dengan menggunakan kesadaran, rasio dan logika. Amal saleh memerlukan ketrampilan praktis agar bisa hidup produktif. Ketrampilan harus dilatih! Dan pelatihan memerlukan kedisiplinan dan kesabaran. Dalam berlatih dan bekerja, manusia harus mampu mengendalikan emosinya. Dengan emosi yang rendah [EQ-nya tinggi] seseorang dapat membangkitkan potensi dirinya. Kemampuan mengendalikan emosi dengan cantik, akan membuat seseorang mampu membangun komunikasi yang baik pula. Agar tidak terjebak kerugian, maka harus ada upaya ‘saling berwasiat’ untuk hidup yang benar. Pada tindakan ini, sebenarnya sudah melibatkan kecerdasan yang lainnya, yaitu kecerdasan spiritual [spiritual quotient]. Meskipun harus memberdayakan kecerdasan spiritual, tetapi semua tindakan tadi harus diikat dengan kesabaran. Dan di balik kesabaran itulah berdiri tegak kekuatan Allah. Dengan demikian, sabar merupakan landasan bagi peningkatan kecerdasan. Dan, kecerdasan adalah kemampuan untuk memahami, menalar, dan belajar beradaptasi terhadap situasi yang baru. Orang yang memiliki EQ tinggi [tingkat kesabarannya tinggi] akan dengan mudah mengatasi problema dalam kehidupan ini. Perlu diperhatikan kembali, berwasiat tidaklah sama dengan berpesan. Saling ber-wasiat tidak sama degan saling berpesan. Berwasiat berarti ada tindakan untuk memberikan wasiat. Dalam saling berwasiat ada rasa saling memiliki! Dalam hidup bersama setiap orang harus saling menjaga kebenaran dan kesabaran. Artinya jika kita berbuat benar, jujur, adil, maka orang lain pun harus demikian. Bukan yang satu antre dan yang lain menyerobot, yang satu jujur dan yang lain mereka yasa. Kalau yang satu jujur dan adil dan yang bohong dan aniaya, maka hal ini akan menyebabkan yang jujur dan adil tadi kehilangan kesabaran. Akhirnya, kacau-balau lagi. Karena itu kebenaran [kejujuran dan keadilan] dan kesabaran saling diwasiatkan. Imas lebih melibatkan kehidupan pribadi. Tetapi kebenaran dan kesabaran terkait dengan lingkungannya. Karena itu harus dijaga saling berwasiat untuk hidup benar dan hidup sabar. Dalam menegakkan kebenaran dan kesabaran, perilaku orang-orang lain di sekitar kita sangat mempengaruhi upaya kita. Karena itu, penegakan kebenaran dan kesabaran dilakukan secara bersama atau berjamaah. Coba bayangkan, jika kita ini sungguh-sungguh hidup sabar, disiplin dalam menahan emosi, tetapi orang-orang di sekeliling kita acuh-tak-acuh, tidak mempedulikan kita, bahkan malah menggoda dan mengganggu kehidupan kita. Apa jadinya? “Mahaththu l-khubr” Di bagian ke-9 telah dijelaskan bahwa sabar berarti memenuhi proses, prosedur dan aturan main yang benar. Namun, orang tidak akan sabar untuk memenuhi proses, prosedur dan aturan mainnya bila ia tidak memiliki pengetahuan [yang ditopang peng-alaman] tentang sesuatu yang akan dikerjakannya. Wilayah atau pos dari rencana atau desain tentang sesuatu ini disebut “mahathth al-khubr”. Seseorang mampu bersabar dalam sesuatu hal bila dia memahami ‘mahathth al-khubr’-nya. Misalnya, kita mau menonton musik jazz. Katakanlah pertunjukan musik itu dua jam. Kita tak akan sabar untuk menonton dan mendengarkan musik itu bila kita tak memahami desain musik itu. Mungkin sepuluh menit saja akan terasa lama, dan kita ingin meninggalkannya. Pertunjukan sepak bola tak akan menarik seseorang bila orang itu tidak mengerti desain, bangunan rancangan dari sepak bola tersebut. Dia pasti tak akan sabar jika disuruh menonton sepak bola. Jadi, kalau kita ingin sabar dalam berbuat atau bertindak [bekerja, bertugas, menonton, mendengar dll], kita harus memahami mahathth al-khubr-nya. Sehingga kita bisa mengikuti apa yang sedang terjadi, kita mampu meneruskan pekerjaan yang kita emban. Nah, karena itu, sebelum kita berbuat, bertindak, mengerjakan sesuatu, maka kita harus mengerti lebih dahulu ‘layout’, desain, rancangan atau “mahathth al-khubr”-nya sesuatu yang akan kita lakukan. Di dalam Surat Al Kahfi/18: 68, Khidir mempertanyakan kesanggupan Nabi Musa dalam menyertai perjalanan spiritual Khidir. “Wa kaifa tasbiru ‘ala ma lam tukhith bihi khubra” “Dan bagaimana engkau mampu bersabar terhadap apa yang tidak engkau ketahui [disertai pengalaman]?” Jadi, seorang Rasul Allah pun masih dipertanyakan kesabarannya dalam menuntut suatu ilmu bila dia tidak memahami layout dan rancangan sesuatu yang dituntutnya. Sifat dari manusia bahwa ia tak akan sabar terhadap sesuatu yang tidak dimengertinya. Karena itu sebelum memunaikan sesuatu, kita harus memahami rancang-bangunnya, layoutnya, atau mahath al-khubrinya. Landasan bagi pertolongan Dalam hidup ini seringkali terjadi keberadaan kita ini pada situasi yang lemah. Kita dalam posisi sebagai manusia kalahan. Sebagai manusia yang terekploitasi. Bila kita tidak dapat mengatasi situasi ini maka hal ini bisa menyebabkan kita ‘stres’. Tak perduli dengan jabatan kita. Kalau tekanan dari luar diri kita ini lebih kuat daripada energi yang kita punyai, maka kita dalam posisi tertekan. Bila kita tak mampu menahan tekanan itu, ya timbullah stres. Jadi, stres itu bisa timbul karena tekanan dari pekerjaan, atasan, tetangga, rumah tangga, hubungan bisnis, kelompok/golongan lain dan sebagainya. Manusia berusaha menjauhi konflik atau pertikaian, karena konflik bisa membebani kehidupan. Manusia berusaha hidup damai karena ia tidak ingin menumpuk permasalahan. Oleh karena manusia itu berhubungan dengan manusia lain, maka sering permasalahan itu tidak dapat dihindarkan. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, manusia berhubungan dengan sesamanya. Meskipun kita sudah berusaha menahan diri, mungkin saja orang lain tetap menekan kita. Kalau kita biarkan tekanan itu, boleh jadi semakin besar tekanannya. Lalu, apa yang harus diperbuat? Surat Al Baqarah/2: 150-155 memberikan latar belakang kehidupan bersama, satu kelompok menekan kelompok lainnya. Karena itu, orang-orang beriman diberi landasan untuk menempuh hidup ini seperti yang dinyatakan dalam 2:153, “Hai, orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan dengan cara sabar dan shalat [senantiasa berko-munikasi dengan Tuhan]. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Jadi, untuk menangkis tekanan dari luar itu, kita harus membangun kesabaran. Ingat, sabar tidak berarti tidak acuh terhadap tekanan. Tetapi, kita berusaha introspeksi dan mawas diri. Kita coba memperhatikan kejadian demi kejadian di sekitar kita. Sehingga akhirnya kita bisa memahami jaringan rancangan yang terjadi di sekeliling kita. Lalu, kita lewati jaringan itu tanpa harus terperangkap. Kita berkomunikasi dengan Tuhan. Akhirnya Tuhan sendiri yang mengajar kita, dan Tuhan sendiri yang memberi petunjuk kita [lihat QS 2:282]. Tak ada Mahaguru ahli di dunia ini kecuali Tuhan. Dan, pengajaran yang tepat hanya dari Dia sendiri datangnya. Lalu, di mana peran guru-guru atau ulama? Mereka adalah orang-orang yang membantu kita agar kita bisa memahami dasar-dasar praktik kehidupan. Mereka hanyalah memberikan arah kemana kita harus melangkah. Dengan sabar, akhirnya Tuhan sendiri yang menggandeng tangan dan menuntun kita. Dia sendiri yang memberikan jalan sehingga kita tahu kemana kita melanjutkan perjalanan dalam hidup ini. Inna l-Laha ma-‘a sh-shabirin, Tuhan beserta orang-orang yang sabar. Sabar adalah landasan bagi pertolongan dari Tuhan! Orang yang sabar tahan godaan Gebyarnya dunia ini telah menggoda manusia. Berapa banyak akhirnya manusia yang terperangkap godaan dalam menempuh perjalanan hidup ini. Jangankan individu, manusia secara kolektif pun sering tidak mampu menahan godaan. Manusia tidak lagi sabar untuk bisa menikmati gebyarnya dunia ini. Sehingga banyak manusia yang tidak memperhatikan lagi proses, prosedur dan aturan main dalam meraih kenikmatan dalam kehidupan ini. Jalan pintas yang membahayakan hidupnya pun dilaluinya. Marilah kita menengok perjalanan bangsa Indonesia ini. Mula-mula kita ingin bebas dari penjajahan. Lalu, kita berusaha mengisi kemerdekaan. Yang pertama kita isi dengan persatuan bangsa dan yang kedua kita isi dengan pembangunan ekonomi. Kita tidak sabar! Kita ingin cepat-cepat berhasil dalam pembangunan. Kita lupakan proses, prosedur dan aturan main yang benar untuk meraih kesuksesan. Kita hutang sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkan lagi perangkap hutang. Akhirnya, hutangnya sundul-langit. Bukan tinggal landas yang kita lalui, tapi ‘tinggal bundas’ [Jawa,ungkapan untuk menyatakan kepala yang tak rata lagi]. Elite bangsa ini tidak tahan menghadapi godaan dari negaranegara maju. Umpan yang berupa hutang dilahapnya. Kita tidak mau memahami ‘grand design’, rancangan raksasa sebuah hutang. Hutang, pinjaman, bantuan dan pemberian dari negara-negara maju adalah godaan bagi negaranegara berkembang, atau terbelakang. Memang hutang adalah sarana untuk membangun demi kemajuan. Tetapi hutang bukan syarat pokok, melainkan syarat untuk melancarkan pembangunan. Ya, hutang adalah syarat pelancar! Ia hanyalah pelumas bagi sebuah roda. Karena itu, kita tidak boleh menjadikannya bagian yang terpenting bagi pembangunan bangsa atau rumah tangga. Dengan sabar seseorang dapat menangkis godaan untuk menikmati sebuah umpan. Untuk masalah ini saya cuplikkan kisah tentara Thalut dalam perjalanannya untuk bertempur melawan tentara Jalut [QS 2:249]. Maka tatkala Thalut dan orang-orang beriman menyeberangi sungai itu, berkatalah orang-orang yang telah minum banyak air sungai itu: “Pada hari ini tak ada kemampuan kami untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka bertemu Allah, berkata: “Berapa banyak golongan yang sedikit dapat menga-lahkan golongan yang lebih besar dengan izin Allah?” Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Dalam kisah di atas, Thalut memimpin tentaranya untuk melawan tentara Jalut yang telah mengusir mereka dari negeri mereka. Dalam pasukan itu ikut serta Daud. Dalam strategi melawan Jalut, Thalut mengajak pasukannya menyeberangi sebuah sungai. Thalut wanti-wanti agar tidak minum banyak-banyak air sungai itu, kecuali sesaukan tangan saja [ya, sebagai tamba (semacam obat penenang) dalam perjalanan]. Bahkan Thalut mengancam tentaranya, yaitu tidak mau mengakui sebagai golongannya bagi yang banyak minur air sungai itu. Bagaimana kenyataannya? Banyak tentaranya yang tidak sabar, alias tidak tahan ketika kerongkongan terasa kering. Thalut mengizinkan minum, tetapi hanya sesaukan saja, tak lebih. Tapi, sebagian besar tentaranya tergoda untuk minum banyak-banyak. Hormon serotonin dan noradrenalinnya bertambah. Sehingga rasa puas menyelimuti seluruh tubuhnya. Ada rasa nikmat! Nah, tentara [apalagi orang biasa] yang telah merasa nikmat ini merasa tak sanggup lagi melawan tentara Jalut. Mereka merasa takut untuk melawan tentara Jalut yang lebih besar itu. Tentara Thalut keder! Tetapi, sebagian kecil tentara Thalut yang patuh [termasuk Daud] tetap bersemangat dalam menghadapi Jalut. Produksi hormon androgennya yang meningkat. Sehingga agresivitasnya meningkat. Karena tidak minum banyak, kecuali sesaukan yang hanya sebagai faktor sugesti, maka hormon adrenalin dan noradrenalinnya tidak ber-tambah, sehingga detak jantung pun tidak meningkat. Ya, mereka tenang menghadapi tentara Jalut. Mereka berkeyakinan [mensugesti diri] bahwa sering tentara yang sedikit mampu mengalahkan tentara yang banyak. Karena tidak merasa tergoda terhadap ke-nyamanan sementara itu, tentara-tentara Thalut tenang dalam bertaktik melawan Jalut. Bahkan Daud dengan katapelnya mampu membunuh Jalut. Nah, sikap tenang dan mampu menahan godaan sementara, adalah wujud sikap sabar. Bagian ke-11 Kesabaran adalah landasan hidup yang kondusif bagi tumbuhnya sifat adil, kasih-sayang, lembut. Kesabaran adalah wahana yang baik untuk membangkitkan kecerdasan. Kesabaran juga merupakan sarana untuk meminta pertolongan, atau cara untuk menolong diri-sendiri [self assistance]. Dan ia juga merupakan benteng yang tangguh untuk menahan berbagai macam godaan yang bisa merontokkan diri. Dalam hidup ini kita melihat orang yang lemah semangat. Orang yang lemah semangat adalah orang yang lemah daya juangnya. Orang itu tak mau lagi melanjutkan usahanya. Dia merasa tak akan bisa mendapatkan yang diinginkannya. Kadang kita juga mengetahui orang yang berlemah hati, mudah menyerah dalam menghadapi tantangan dalam hidup ini. Orang yang lemah hati tidak tabah dalam menghadapi tekanan hidup. Lemah semangat tidak ada hubungannya dengan lemah hati. Tetapi, keduanya bisa menyatu pada diri seseorang. Nah, sabar adalah oposisi dari kedua sifat tersebut. Jadi, orang yang memiliki kesabaran yang tinggi, adalah orang yang tidak lemah semangat dan tidak pula berlemah hati. Dengan kata lain, orang yang sabar adalah orang optimistik. Dia yakin apa yang sudah direncanakannya dengan matang itu akan diperoleh hasilnya. Orang yang sabar adalah orang yang telah menyiapkan pekerjaannya dengan baik. Prinsip manajemen, seperti perencanaan, pengorganisasian, aksi dan pengendalian dilakukan dengan baik. Tak ada alasan untuk lemah hati maupun lemah semangat. Usaha lahiriah ditopangnya dengan doa: Ya Tuhan, teguhkan hati kami dan jadikan kami sabar dalam menghadapinya. Ya, tapi itu kan mudah diomongkan! Lha, kenyataannya kan sulit dilakukan. Mari kita lihat lagi landasan untuk sampai di stasiun sabar. Bukankah kita telah melewati stasiun takwa dasar [berupaya meninggalkan perilaku hidup yang tak benar], stasiun tobat [kembali ke hal-hal yang benar], dan wara’ [sengaja memilih sesuatu yang benar]. Pada stasiun yang pertama itu, kita sudah berusaha meninggalkan hal-hal yang tak benar. Umumnya kita bisa lulus distasiun ini. Wujudnya, ya, kita mencari nafkah secara halal ini. Mungkin saja ada kesalahan dan keburukan yang kita lakukan, tapi itu bukan merupakan ‘cap’ bagi kehidupan kita umumnya! Pada umumnya, manusia itu berusaha menjaga keselamatan hidupnya. Mereka berada di landasan ketakwaan! Kemudian, sebagian dari manusia di stasiun pertama ini melanjutkan perjalanannya ke stasiun tobat. Satu langkah lebih jauh. Pada stasiun tobat, orang-orang berusaha hidup amar ma‘ruf nahi munkar. Hidup untuk memenuhi apa-apa yang dipandang baik di lingkungan hidupnya. Hidup menahan diri dari segala perbuatan yang ditolak masyarakat. Pada tahap ini subjektivitas masih ikut berperanan. Artinya, kemakrufan itu masih dipengaruhi oleh golongan atau kelompoknya. Di tahap ini kita belum mampu membebaskan diri dari tekanan atau belenggu kelompok. Nurani kita mengatakan bahwa ini sebetulnya tidak benar, tetapi kita tidak mampu keluar dari jeratnya. Kita mengetahui bahwa kolusi itu mungkar, tapi kita tidak mampu membebaskannya. Kita memang kembali ke jalan yang benar. Tetapi, kotoran masih juga tersangkut. Dalam bahasa syariat mereka sudah tidak mau berbuat kesalahan yang sama, tapi mungkin berbuat kesalahan yang lain. Yang ini sudah mampu dihindari, tapi yang itu masih berat. Inilah stasiun tobat! Sebagian orang yang ada distasiun tobat ini melanjutkan perjalanannya ke stasiun wara’. Di stasiun ini orang-orang betul-betul memilih sesuatu yang benar saja. Mereka melihat mana warna yang hitam, putih dan yang abu-abu. Mereka lalui yang warnanya putih saja. Yang hitam jelas ditinggalkan. Bahkan yang abu-abu pun ditinggalkannya. Memang berat perjalanan di tahap ini! Ini tidak berarti orang yang sudah berada pada maqam wara’ ini tidak punya kesalahan. Ya, kesalahan mungkin tetap terjadi, tetapi itu bukan karena pilihannya. Ia terpeleset! Nah, ketika orang sudah bisa memasuki stasiun sabar, maka ia berusaha meraih sifat-sifat yang terpuji. Di dalam batinnya tumbuh rasa keadilan, senantiasa ingin ‘fair’. Ia tak ingin mendominasi kehidupan orang lain. Ia berbagi kasih. Ia berusaha lembut dalam pergaulan. Jika dalam tangga sebelumnya orang bergulat dengan sikap untung-rugi, maka dalam tangga sabar ia harus optimis untung. Ia yakin dapat keberuntungan bila ia mampu menahan godaan. Ia yakin dapat meraih keberuntungan [bukan keun-tungan lho!], bila semuanya dipersiapkan dengan matang. Ia jalani proses, prosedur, dan aturan-aturannya dengan benar. Karena memahami proses, prosedur dan aturanatauran yang ada itu ia tak mengalami lemah semangat atau lemah hati. Kalau gagal, tidak berarti tamat perjuangannya. Sikap optimistik adalah bagian dari hidupnya. Siapakah mereka yang tidak patah semangat, tidak lemah hati dan tidak berbudi rendah itu? Kalau zaman dulu, mereka itu adalah orang-orang yang memahami ketuhan-an dan menyertai para nabi dalam perjuangannya. 3:146 Dan berapa banyak nabi yang bertempur, yang disertai banyak ‘ribbi’. Mereka tak berlemah hati terhadap apa yang mereka di jalan Allah, dan mereka pun tak lemah semangat mereka, dan tidak pula rendah budinya. Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. Jika kita mau membaca satu ayat sebelumnya, di situ kita membaca pernyataan Tuhan. Di situ dinyatakan, “Dan sesuatu yang berjiwa tak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan. Dan barangsiapa menghendaki ganjaran dunia, Kami memberikan kepadanya, dan yang menghendaki ganjaran akhirat niscaya Kami berikan kepadanya. Dan Kami akan mengganjar mereka yang bersyukur.” Untuk menopang keteguhan hati kita, agar kita dapat bersabar, kita harus meyakini bahwa semua yang bernyawa pasti mati. Semua yang bernyawa pasti mati! Ini landasan kita. Kita resapkan dulu ke dalam batin kita. Ternyata, makhluk yang bernafas itu mati dengan izin Tuhan. Masih ingat kan arti kata “izin Tuhan”. Kata ini tidak bermakna seperti ‘kita mengizinkan’. Kata izin yang kita pergunakan sebenarnya mengandung ‘sikap otoriter kita’ kepada yang kita izini. Izin Tuhan tidak bermakna demikian. Dalam izin Tuhan terkandung “kitaban mu-ajjala” yaitu hukum alam yang telah ditetapkan-Nya. Suatu hukum yang objektif dan rasional. Jadi, bila ada orang yang ditusuk pisau [dan energi yang disertakan pada pisau tusuk itu lebih besar daripada orang yang ditusuk] maka tertusuklah orang itu. Lho, kita kan menyaksikan di tv bahwa ada orang ditusuk pisau tidak mempan! Tidak mempan karena energi pada pisau itu lebih sedikit daripada yang ditusuk. Dalam aras objektif, semua itu hanya permainan energi. Tak perlu heran! Ayat 145 ini perlu diingat-ingat. Yang pertama, Allah menggantikan kata buat diri-Nya dengan ‘Kami’. Sebagaimana yang telah saya jelaskan, kata ‘Kami’ berarti Allah melibatkan atau menyertakan ciptaan-Nya untuk terwujudnya suatu kejadian. Karena itu, dalam menempuh kehidupan ini kita juga harus memperhatikan kehadiran objek-objek di sekitar kita. Karena objekobjek itu bisa menjadi sarana atau wahana bagi kita dalam merealisasikan tujuan kita. Dan apa gongnya ayat tersebut? Gongnya adalah “barangsiapa menghendaki ganjaran [dunia atau akhirat], Kami berikan kepada dia yang menghendaki.” Tegas sekali bahwa Tuhan tidak berbuat sewenangwenang. Setiap kali ada ayat “Tuhan menghendaki”, artinya kehendak-Nya itu diberikan kepada orang yang menghendaki. Karena itu, penutup ayat 145 adalah “Kami mengganjar orang-orang yang bersyukur”, yaitu orang yang telah memberikan nilai tambah. Dengan memperhatikan ayat 3:145 tersebut, kita mengetahui bahwa kesabaran itu merupakan usaha. Kesabaran bukan semata-mata diberikan sebagai takdir, taken for granted. Ada sejumlah energi yang didepositokan untuk mewujudkan kesabaran. Dan berikutnya orang yang telah mendepositokan energinya untuk kesabaran itu memperoleh pokok dan interesnya. Kloplah pemahaman “Allah beserta orang-orang yang sabar”. Inilah hukum Ilahi yang digelar di alam ini. Pada ayat 146 disebutkan bahwa banyak nabi yang bertempur yang disertai para “ribbi”. Kata ‘ribbi’ ini biasa diterjemahkan dengan ‘orang-orang yang menyembah Tuhan’. Tentu saja terjemahan demikian ini lemah. Terjemahan ini dapat diartikan, orang-orang yang bertempur melawan para nabi bukanlah orang yang menyembah Tuhan. Orang-orang yang bersama nabi pasti orang yang menyembah Tuhan. Nyatanya tidak demikian! Di era Nabi Saw, orang-orang kafir yang mengikat perjanjian damai bersama Nabi, bertempur bersama Nabi. Dan, sekarang ini pun bisa kita saksikan bahwa sangat banyak manusia penyembah Tuhan yang lemah hatinya. Jangankan untuk bertempur melawan musuh fisiknya, untuk menghadapi tekanan hidupnya sendiri saja tidak berdaya, sehingga hidup terombang-ambing. Lalu, apa arti kata ribbi? Ribbi adalah mereka yang memahami makna ketuhanan. Atau, ribbi adalah manusia yang saleh [tindakannya bermanfaat/berguna bagi diri dan lingkungannya]. Orang-orang demikianlah yang menyertai para nabi dalam pertempuran di zamanya. Karena mereka faham betul asas manfaat yang mereka lakukan, maka mereka itu tak gentar, tak lemah hati, tak lemah semangat dalam menghadapi pertem-puran. Para ribbi ini pun tidak berbudi rendah [lari dari pertempuran]. Para ribbi inilah yang di ayat 3:146 itu dinamakan orang-orang yang sabar. Bukan semua pengikut nabi yang menyertai dalam pertempuran disebut ribbi. Tetapi para nabi dalam pertempuran disertai banyak ribbi. Orang-orang ini tak gentar, tidak lemah hati, dan tidak pengecut dalam pertempuran. Sifat yang dimiliki para ribbi ini adalah sifat orang-orang yang sabar. Dan ayat ini turun setelah perang Uhud, di mana pada waktu itu pasukan Nabi mengalami kekalahan karena ada kelompok pasukan yang terpancing harta rampasan perang. Jadi, ayat ini memperkokoh perjuangan para ribbi pada perang-perang yang terjadi sesudahnya. Bila kita perhatikan ayat 3:148, maka orang-orang yang sabar ini juga disebut sebagai orang-orang yang berbuat kebajikan [muhsinin]. Dan di ayat ini dinyatakan bahwa Tuhan mencintai orang-orang muhsin ini. Dan, muhsin berasal dari kata yang sama dengan ‘ihsan’. Maka orang-orang muhsin adalah orang-orang yang senantiasa sadar terhadap dirinya, yang dalam bahasa hadis, adalah orang yang beribadah dan merasa ibadahnya itu senantiasa dalam pengawasan Tuhan. Jika ditarik suatu garis dari ayat 145 hingga 148, dapat disimpulkan bahwa orang yang sabar adalah orang yang bersyukur, dan karena itu dia juga disebut orang yang berbuat kebajikan. Jadi, jelas bahwa orang yang sabar bukan orang yang pasif. Bukan orang yang sekadar menerima suatu tekanan atau ketidakberdayaan. Seperti yang telah dijelaskan, bersyukur tidak berarti mengucapkan ‘terima kasih’ kepada Tuhan. Bersyukur merupakan suatu aktivitas kebajikan. Orang yang bersyukur adalah orang yang menciptakan nilai tambah dalam kehidupan di bumi ini. Apa yang dimaksud dengan nilai tambah [added value]? Bertambahnya kegunaan atas sesuatu! Bila semula besi hanya digunakan sebagai alat semacam pisau, linggis, dan cangkul, maka nilainya akan bertambah bila besi itu dijadikan seterika listrik, kerangka mobil dan sejenisnya. Nah, sebenarnya mereka yang menemukan mesin, motor, mobil, pesawat udara, komputer adalah orang-orang yang bersyukur. Dan penemuan itu terjadi berkat kesabaran mereka. Maka, marilah kita ingat QS 14:7, “La-in syakartum la-azidan nakum, wa la-in kafartum inna ‘adzabi lasyadid”, jika kamu bersyukur pasti Kami tambah kamu tetapi bila kamu kufur [menutupi kebenaran] maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih. Dengan membuat kipas-angin kita merasakan kenyamanannya, dan bila kita membuat AC maka lebih nyaman lagi. Tetapi bila kita tidak kreatif, tidak mau menciptakan kipas-angin atau AC, maka sungguh gerah rasanya. Menciptakan AC hanyalah salah satu bentuk syukur. Bersabar = patuh kepada Allah dan Rasul + tidak bertikai Pada Surat Al Anfal/8:46 ditegaskan bahwa orang yang sabar adalah orang yang patuh kepada Allah dan Rasul, dan tidak bertikai dengan teman seiring. Patuh kepada Allah dan rasul hendaknya tidak diturunkan ‘grade’-nya menjadi mematuhi Al Quran dan Hadis. Ingat Allah bukanlah Al Quran, begitu pula sebaliknya. Allah adalah Tuhan pencipta alam semesta. Sedangkan Al Quran adalah salah satu Kitab Suci-Nya. Patuh kepada Allah adalah mematuhi Al Haqq, Kebenaran. Kebenaran yang bisa kita saksikan di ufuk langit, di bumi, di kitab suci, dan pada diri kita sendiri. Kebenaran di ufuk langit atau di angkasa adalah kejadian awan, angin, hujan, kilat, petir, cahaya, dan purnama. Kita patuhi hukum-hukum-Nya sehingga kita selalu dalam lindungan-Nya. Begitu pula hukum-hukum yang ada di bumi dan diri kita. Segala hukum adalah kepunyaan-Nya. Karena itu mematuhi-Nya berarti mengikuti hukum-hukum-Nya [His Law] yang ditetapkan di alam raya ini. Allah jangan dijadikan sesembahan yang abstrak. Kalau Allah kita abstrakkan maka itu Allah produk pikiran kita sendiri. Allah Maha Halus [wa huwa lathif], maka kita dekati dengan kelembutan, yaitu perilaku yang lembut, penuh kasih. Dan kita latih batin kita dengan zikir kepadaNya. Sekarang ini sebagian besar orang-orang Islam mematuhi Allah hanya dengan sekadar mematuhi teks halal dan haram, dan itu yang didiskripsikan 1000 tahun yang lalu. Sehingga ‘narkoba’ yang sebenarnya lebih haram dari sekadar kecampuran daging babi atau minuman beralkohol, tumbuh merajalela di banyak negeri yang penduduknya mayoritas Islam. Hal ini terjadi karena mematuhi Tuhan hanya diwujudkan dengan ibadah mahdhah [ritual] dan mengikuti teks-teks halal haram. Dalam mematuhi Rasul pun menjadi abstrak. Secara fisikal Rasul sudah tidak hadir di tengah-tengah umat manusia sekarang ini [tentu saja semenjak th 632 M]. Mematuhi Rasul tidak berarti mematuhi Hadis. Kalau mematuhi beliau berarti mematuhi Hadis, lha bagaimana dengan generasi sebelum Hadis ditulis! Bukhari saja baru dilahirkan pada 196 H, artinya dia baru hadir di bumi ini setelah 186 tahun [seratus delapan puluh enam tahun] sepeninggal Rasul Saw. Lalu buat apa Hadis? Tentu saja digunakan sebagai alat atau referensi untuk memahami Al Quran. Lalu bagaimana caranya mematuhi Rasul itu? Ingat, mematuhi tidak sama dengan ‘meniru’. Mematuhi beliau tidak sama dengan meniru bentuk lahiriah beliau, seperti anak-anak meniru perilaku orang dewasa. Peniruan demikian adalah peniruan kuantitatif yaitu berapa banyak bentuk lahiriah yang kita tiru. Jika demikian, rendah betul kualitas umat. Perilaku anak kecil dan orang dewasa tidak ada bedanya, asal sudah bersorban, bergamis, berjanggut, rambut dibiarkan sampai bahu, makan selalu bersama-sama dalam satu tampah dan hanya pakai jari [bagaimana kalau makan bubur ya?] dan lain sebagainya. Mematuhi atau mengikuti Rasul adalah meneladani beliau. Kita teladani, bagaimana beliau bisa bersabar menghadapi tekanan lawan, bagaimana beliau mampu menegakkan keadilan, bagaimana cara beliau memecahkan suatu persoalan, bagaimana beliau bersifat lembut tapi tegas, bagaimana beliau bisa ramah tapi tak dilecehkan, bagaimana beliau menegakkan hukum dan lain-lain. Bagaimana bisa meneladani beliau? Tentu saja dengan pendidikan yang baik, dengan meningkatkan kecerdasan [IQ, EQ dan SQ], dan dengan pematangan diri. Dalam subtopik ini dinyatakan bahwa sabar merupakan gabungan kepatuhan kepada Allah dan Rasul, dan tidak bertikai. Tidak bertikai, tidak berebut kewenangan, tidak berebut kekuasaan, tidak mau menang-menangan adalah cara untuk membangun kesabaran. Pernyataan patuh kepada Allah dan Rasul belum cukup, bila kita masih bertikai. Pertikaian akan memporak-porandakan keutuhan kita. Akhirnya kita menjadi gentar dalam menghadapi tekanan hidup, dan lemah posisi kita. Di bawah ini saya kutipkan sebuah ayat QS 8:46. Ayat ini ada di dalam Surat Al Anfal, surat yang membahas rampasan perang. Sebagian ayat diturunkan setelah perang Badar, dan yang lain setelah perang Uhud [terjadi 1 tahun kemudian dari perang Badar]. 8:46 Wa athi-‘u l-laha wa rasulahu wa la tanaza-‘u fatafsyalu wa tadz-haba rihukum washbiru inna l-laha ma-‘a sh-shabirin. Dan, patuhilah Allah dan Rasul-Nya dan jangan berselisih [bertikai] agar kamu tidak lemah dan hilang kekuatanmu. Bersabarlah! Sesungguhnya Tuhan menyertai orang-orang yang sabar. Di dalam Al Quran perintah bersabar itu selalu didahului dengan kalimat berita atau perintah. Dengan demikian kita bisa memahami apa yang dimaksud dengan sabar. Misalnya, pada QS 3:146 pernyataan sabar didahului kalimat berita ‘mereka tak gentar, tak lemah semangat, tak berbudi rendah. Sedangkan pada ayat barusan, pernyataan sabar didahului kalimat perintah ‘taat kepada Allah dan Rasul, dan larangan berselisih’. Jelas, bahwa sabar adalah aksi, bersifat aktif. Sabar bukan pasifis atau bersifat pasif. Sabar adalah usaha, ada pengerahan tenaga. Sabar bukan diam, membiarkan sesuatu menimpa pada dirinya. Sabar bukan kalah, tetapi menang! Allah itu Maha Sabar! Sebagai penutup bahasan ‘sabar’ [yang akan datang tentang zuhud], saya ambilkan asma-ul husna yang ke-99, yaitu “ash-shabur”. Ya, Allah itu Maha Sabar! Meskipun Dia itu Maha Kuasa, tetapi untuk menciptakan bumi yang bisa kita tempati ini perlu waktu 4,5 milyar tahun. Ternyata penciptaan itu bukan bersifat “sim-salabim”. Tuhan sabar dalam menciptakan. Tuhan penuhi hukumhukum ciptaan. Tuhan menciptakan semua ini berlandaskan 5 prinsip [yang Dia tetapkan], yaitu matematika, fisika, kimia, biologi, dan evolusi. Dalam bahasa Al Quran dinyatakan “al-ladzi khalaqa fasawwa wa l-ladzi qaddara fahada wa lladzi akhraja l-mar’a faja-‘alahu ghutsa-an ahwa.” Dia yang menciptakan dan menyempurnakan [lahir sebagai orok dan tumbuh dan berkembang hingga dewasa], Dia menetapkan kadar [potensi, ukuran, dan hukum-hukum fisika dan kimia] pada ciptaan-Nya. Dia memberi petunjuk kepada ciptaan-Nya yang biologis [sehingga makhluk biologis bisa mempertahankan kehidupannya]. Lalu, Dia putuskan ikatan-ikatan kimia yang ada sehingga makhluk hidup menjadi layu [tua renta] dan akhirnya punah [ghutsa-an ahwa]. Dan dalam proses penciptaan di Surat ke-87, yaitu ayat 2 ?5 itu, tumbuhlah dari masyarakat primitif menuju masyarakat madani. Berlaku hukum evolusi di situ. Dari manusia yang politeis menjadi manusia yang monoteis. Demikianlah hukum evolusi bekerja. Jadi, pada akhirnya, orang yang sabar adalah orang yang bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan Tuhan. Demikian, pembahasan bab sabar yang telah saya uraikan dari bab ke-8 kajian tasawuf ini. Bagian ke-12 [Zuhud] Kata zuhud seolah sudah berkonotasi hidup anti-dunia. Hal ini terjadi karena pada masa penjajahan atau pergolakan, banyak ulama yang mengasingkan diri di daerah terpencil. Ulama-ulama ini hidup dengan para muridnya atau santrinya di daerah yang terpencil yang tidak terjangkau penjajah atau terimbas pergolakan. Mereka memang menarik diri dari kehidupan semacam itu. Zuhud berasal dari kata ‘za-ha-da’, artinya berpantang, meninggalkan, melepas-kan, menarik diri dari, atau meninggalkan kesenangan duniawi. Karena itu zuhud juga diterjemahkan sebagai ‘asketik’. Kata yang seakar kata dengan ‘zuhud’ ditemukan pada Surat Yusuf/12:20. Pada ayat ini disebutkan bahwa rombongan kafilah menjual Yusuf [sebagai budak] dengan harga yang murah. Kafilah itu dikatakan sebagai ‘zahidin’, yaitu orang-orang yang tidak tertarik kepada Yusuf. Karena tidak tertarik, maka Yusuf dijual murah. Jadi, zuhud adalah sikap tidak tertarik pada kehidupan dunia. Zuhud adalah sebuah maqam, terminal, stasiun atau posisi dalam tasawuf. Dari uraian di atas, jelas bahwa zuhud bukan anti dunia. Zuhud juga bukan menarik diri dari kehidupan dunia. Juga tidak berarti meninggalkan kesenangan duniawi. Seorang zahid, tetap membina rumah tangga. Orang yang zuhud juga bekerja keras! Hanya saja dunia ini tidak menarik, baginya. Lho, ada apa sampai tidak tertarik pada dunia? Karena mereka tahu akan hakikat dunia ini. Mereka menyadari apa sih makna dunia dalam hidup ini. Mereka tetap mengelola dunia ini sebaik-baiknya, karena manusia yang hidup ini adalah bagian dari dunia. Tetapi orang yang zuhud tidak dikendalikan oleh dunia. Justru dunia ini dikendalikan oleh orang zuhud. Kalau kita ingin tahu siapa tokoh zuhud di dunia ini, ya Nabi Muhammad Saw. Beliau bukan hanya mengajarkan agama tetapi juga menegakkan kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara dengan gigih. Beliau tegakkan sistem perekonomian yang adil. Sasarannya adalah “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”, suatu negara yang penuh kebajikan dan Tuhan melindunginya (QS 34:15). Umumnya ayat tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, “negeri yang baik dan Tuhan Maha Pengampun”. Sebenarnya suatu terjemahan yang kurang sambung. Karena kalimat yang depan menunjukkan keadaan negara sedang kalimat sambungannya merupakan sifat Tuhan. Hal ini disebabkan penterjemah kaku dengan arti kata “ghafur”, yang selama ini diartikan pengampun. Padahal kalau mau mengembalikan kata tersebut kepada bentuk akarnya ‘gha-fa-ra’, maka salah satu artinya adalah melindungi. Ayat tersebut ada di Surat Saba’, yang menceritakan kemakmuran kaum Saba’. Rezeki di negara tersebut berlimpah. Alam negeri itu dimanajemeni dengan baik, yang disebut negeri penuh kebajikan. Karena itu Tuhan memberikan perlindungan terhadap negeri yang penuh kebajikan. Namun, generasi berikutnya tidak melaksanakan manajemen dengan benar, sehingga malapetaka menimpa Saba’. Kisah ini diwahyukan kepada Nabi, agar beliau mengambil keteladanan kisah tersebut. Artinya. Jika ingin mempunyai negeri yang penuh kebajikan, maka keamanan dan kedamaian [bukan ‘pen-dekatan keamanan’, atau ‘security approach’ lho] harus menjadi prioritasnya. Karena itu, peperangan yang dilakukan oleh Nabi di Madinah, sasarannya adalah mempertahan-kan persatuan dan perdamaian yang telah digalang pada awal hijrah. Dengan demikian keterlibatan orang yang zuhud terhadap kehidupan dunia ini sangat tinggi. Tetapi orang yang zuhud tidak terpengaruh atau tidak tertarik oleh kenikmatan dunia. Dia tidak dikendalikan oleh dunia, bahkan dunia dikendalikan untuk menjadi pelayannya. Bukan cuma Nabi yang menjalani hidup zuhud, para sahabat besar juga mencontoh Nabi untuk menjalani kehidupan zuhud. Abu Bakar ketika di Mekah adalah orang yang sangat kaya. Demi penegakan kehidupan yang damai, Islam, beliau membebaskan perbudakan [yang terkenal adalah peristiwa pembebasan Bilal]. Ketika hijrah ke Madinah, beliau tinggalkan kekayaan yang berupa harta-benda. Umar pun orang yang kaya. Bahkan ketika menjadi khalifah pun beliau cukup berteduh di dalam rumah gubuk sebagai istananya. Tentu saja kehidupan zuhud tidak hanya dilakukan beberapa sahabat. Sebagian besar sahabat menjalani kezuhudan. Mereka mendalami makna kehidupan dunia. Dunia bukan untuk dimiliki tetapi digunakan sebagai sarana untuk melayani. Itulah yang sebenarnya diajarkan Rasul melalui Al Qurannya. Ada 9 kata ‘sakhkhara lakum’ dalam Al Quran. Kata ini biasa diterjemahkan “Allah menundukkan bagimu [matahari, bumi, bulan dsb]”. Sepintas terjemahan ini tidak tampak salah. Tetapi kalau kita memahami penciptaan manusia itu relatif yang terakhir kehadirannya dari semua ciptaan. Bagaimana mungkin matahari ditundukkan bagi manusia. Lha wong ketika matahari diciptakan itu makhluk hidup di bumi belum diciptakan, apalagi manusia. Salah satu arti dari ‘sakhkhara’ memang menundukkan atau menaklukkan. Tetapi, kata ‘sakhkhara’ juga punya arti ‘menjadikan dapat melayani’. Jadi, bumi, langit dan seisinya ini diciptakan Tuhan untuk dapat melayani/memenuhi keperluan dan keinginan manusia. Dalam bahasa bebasnya, semua ini diciptakan untuk menjadi prasarana dan sarana bagi kehidupan manusia. Di bawah ini saya ambilkan ayat di Surat Ibrahim yang mengandung kata ‘sakhkhara’. 14:32 Allahu l-ladzi khalaqa s-samawati wa l-ardha wa anzala mina sama-i ma-an fa akhraja bihi mina ts-tsamarati rizqan lakum wa sakhkhara lakumu l-fulka li tajriya fi l-bahri bi amrihi wa sakhkhara lakumu l-anhar. 14:33 Wa sakhkhara lakumu sy-syamsya wa l-qamara da-ibaini wa sakhkhara lakumu l-laila wa nnahar. 14:32 Allah yang menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu ditumbuhkan pohon buah-buahan sebagai rezeki bagi kamu. Dan Dia menjadikan kapal sebagai wahana bagimu di laut berdasarkan amar [ketetapan]-Nya. Dia juga menjadikan sungai-sungai itu sebagai pra-sarana dan sarana bagimu. 14:33 Dan Dia menjadikan matahari dan bulan yang terus-menerus beredar, dan siang dan malam, untuk menjadi prasarana dan sarana bagimu. Jadi, sebagian besar sahabat Nabi memahami apa arti dunia seisinya ini. Semua ini adalah prasarana dan sarana untuk memenuhi keperluan hidup manusia. Semua ini diperlukan manusia untuk melanjutkan perjalanan hidupnya. Kemana? Kembali kepada Tuhan, wa ilaihi raji-un. Yaitu, kembali ke orde atau tatanan hidup yang benar yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Hidup seperti apa itu? Ya, hidup yang saling mengasihi, saling menyayangi, saling menolong, saling melayani dalam situasi penuh kedamaian. Ya, Allah adalah As-Salam, Allahumma antas-salam, ya.. Allah sejatinya Engkaulah Kedamaian itu. Selain dunia ini sebagai prasarana dan sarana bagi manusia untuk melanjutkan perjalanan hidupnya, sifat dunia ini sementara. Nah, agar kita tidak terbelenggu oleh dunia, maka kita harus betul-betul menyadari kesementaraan dunia. Orang Barat maju karena tokoh-tokohnya [ilmuwan, politikus, pengusaha, dan elite bangsa] menghayati kesementaraan dunia ini. Lho, apa tidak terbalik? Tentu saja tidak! Justru orang-orang yang memperebutkan harta-benda dan kekuasaan itu terbelenggu oleh bawah sadarnya, bahwa dunia ini kenyataan satu-satunya. Mereka merasa bahwa hanya dunia [tegasnya bumi] ini realitas itu. Kalau mereka itu ditanya, apakah dunia ini akan berakhir dan ada realitas lain yang disebut akhirat? Dengan segera mereka menjawab, pasti! Ini bukan karena mereka sadar, tetapi ungkapan bawah-sadar mereka. Keadilan dan kejujuran di suatu negara bisa ditegakkan bila para tokohnya amat menyadari kesementaraan dunia ini. Mengapa cukup para tokohnya saja? Karena umat manusia itu pada umumnya bersifat “silent majority”, mayoritas diam. Mereka ini hanya berjalan mengikuti tatanan yang ada, tidak peduli apakah tatanan itu baik atau buruk. Bila dalam tatanan yang ada itu korupsi merajalela, maka mereka pun menerima kehidupan korupsi. Meskipun mereka tidak terlibat dalam korupsi. Meskipun mereka mengumpat atau mencela kehidupan korupsi. Tapi mereka secara tak berdaya menerima kehidupan korupsi. Mereka tak ingin campur tangan terhadap sesuatu yang mungkin malah memperparah kehidupannya. Apakah perlu banyak tokoh untuk menggerakkan kehidupan yang adil dan jujur itu? Tidak perlu! Yang penting muncul orang yang mempunyai kekuatan untuk menggerakkan roda keadilan dan kejujuran itu. Muncul orang yang mampu menggerak-kan roda kedamaian. Islam pun mula-mula muncul dari seorang Muhammad. Indonesia merdeka pun mula-mula digerakkan oleh seorang Soekarno. India pun merdeka dari seorang Gandhi. RRC muncul dari seorang Mao Tse Tung. Memang nanti dalam perjalanannya harus didukung banyak tokoh. Di atas disebutkan bahwa Barat maju karena kezuhudan tokoh-tokohnya. Zuhud macam apa yang mereka lakukan? Pernahkan Anda mendengar bagaimana para ilmuwan itu menghadapi siksaan para penguasa! Bagaimana Nietzsche memberontak kemapanan dunia korup dan eksploitasi manusia di Eropa pada abad XIX. Padahal kalau mau hidup enak, Nietzsche tidak perlu melawan kemapanan. Pada waktu itu, sarjana bisa memperoleh gaji yang besar. Soekarno pun setelah lulus dari ITB 1926 sebagai seorang insinyur, dengan mudah dapat mencari pekerjaan yang berpenghasilan sangat besar. Hatta yang lulus dan sebagai sarjana ekonomi tamatan Belanda [kuliah di Belanda], bisa bekerja di dunia internasional yang memberikan imbalan berlimpah. Tetapi mereka rela meninggalkan statusnya. Demi Indonesia merdeka, mereka rela dipenjara Belanda. Memang dalam perjalanannya seorang zahid bisa kandas bila lingkungan tidak berubah. Dengan kata lain, tidak banyak tokoh yang muncul untuk mendukungnya. Bahkan yang muncul itu di sekitar tokoh itu adalah orang-orang yang ‘vested interest’, yang meiliki cita-cita untuk kepentingannya sendiri atau golongannya. Kita lihat perjalanan Indonesia. Di dalam negeri, sebelum Indonesia merdeka, baik ketika menjadi mahasiswa maupun ketika sudah lulus, Soekarno konsisten untuk memperjuangkan Indonesia merdeka. Sebagai proklamator, tentu beliau mempunyai visi bagi Indonesia di masa depan. Wujud dari visi itu adalah ‘Pancasila’ yang sekaligus digunakan sebagai landasan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Tetapi nyatanya, setelah Indonesia dinyatakan merdeka, beberapa tokoh muncul dan mendekati beliau [dan Hatta]. Bukan untuk mendukung perjuangan beliau berdua, tetapi untuk membisikkan kepentingan sendiri. Beberapa tokoh Islam, malah menginginkan Indonesia yang berdasar Islam. Yang komunis ingin negara yang berhaluan komunisme. Yang nasionalis ingin negara berdasarkan nasionalisme. Jadi, visi negara Indonesia yang adil dan makmur berlandaskan Pancasila dikaburkan dikuburkan. Tokoh-tokoh yang muncul di sekeliling Soekarno-Hatta bukanlah para zahidin. Mereka adalah orangorang yang mementingkan golongannya sendiri. Mereka yang mengaku Islam bukan orang-orang yang memahami Islam dengan benar. Tetapi orang-orang yang mementingkan kekuasaan atas nama Islam. Mereka tidak menginginkan negara Pancasila yang islami. Kekuasaan, dan bukan kedamaian, yang diutamakan! Keuasaan, dan bukan keadilan dan kejujuran, yang diprioritaskan. Kekuasaan itu amat sangat duniawi, karena itu bukan ajaran zuhud, bukan ajaran Islam. Ingat, Nabi mengajarkan agama [nama agama Islam muncul di kemudian hari], untuk menegakkan moralitas manusia. Innama bu-‘itstu liutammima makarima l-akhlaq, saya dibangkitkan untuk menegakkan budipekerti yang mulia. Nabi diutus untuk membawa manusia ke dalam kehidupan yamg damai, jalan Tuhan. Serulah [manusia] ke jalan Tuhan engkau dengan hikmah [bijaksana] dan ajaran kebaikan, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik [QS 16:125]. Kurang lebih ada 10 kali ajakan ke jalan atau kampung yang penuh kedamaian. Dan, inilah cita-cita Islam. Untuk bisa sampai di tempat yang penuh kedamaian itu, dibutuhkan sikap zuhud. Suatu sikap yang bisa mengiringi perjuangan hidup yang berat. Suatu perjuangan yang tidak tergesa-gesa mereguk kenikmatan. Perjuangan berat untuk bisa sampai di ujung sana. Bukan di sini, sekarang ini! Untuk itu diperlukan hidup bersama yang adil [fair], jujur, dan saling menolong [bukan saling bertikai/berselisih]. Suatu sikap hidup yang tidak tergiur akan kenikmatan sementara. Jika kita masih tergiur oleh kenikmatan sementara, kita tak akan mampu menjadi ilmuwan yang ulung, peneliti yang tangguh, pemerintah yang adil, elite yang memen-tingkan rakyat, dan pengusaha yang dermawan. Tanpa zuhud, perusahaan hanya menjadi tempat pemerasan terhadap karyawan yang lemah. Tanpa zuhud, negara adalah wilayah eksploitasi kalangan elite terhadap masyarakat bawah. Kezaliman merajalela yang dibungkus agama. Kezaliman yang dibungkus agama, dikemas dengan ayat-ayat Tuhan inilah yang hendak dilenyapkan Islam. Karena itu Islam mengajarkan konsep ketakwaan, tobat, wara’, sabar, dan zuhud. Zuhud adalah sebuah maqam yang lebih tinggi dari sabar. Karena tanpa kesabaran seseorang tak akan mampu menjalani hidup zuhud. Tidak dapat menjadi seorang zahid. Zuhud adalah maqam. Jadi, sikap zuhud melekat pada berbagai macam profesi. Seorang peneliti yang zuhud, berarti orang yang sungguh-sungguh melaksanakan pekerjaan penelitian hingga bisa menguak rahasia alam. Hingga ia mampu membuat teknologi baru yang lebih unggul untuk kehidupan manusia di bumi ini. Seorang pengajar yang zuhud adalah orang yang sungguh-sungguh mendidik muridnya sehingga lahirlah para murid yang unggul. Tapi itu semua harus didukung oleh kalangan pemerintah yang zuhud pula. Mereka harus menyediakan prasarana dan sarana bagi kegiatan profesinya. Pemerintah yang zuhud harus didukung oleh pengusaha dan kalangan profesional yang zuhud pula. Yaitu, dengan membayar pajak yang proporsional menurut kekayaannya. Nah, pada intinya, kemakmuran dan keadilan suatu negara bisa dicapai bila sebagian besar tokoh di segenap profesi berlaku zuhud. Gambaran kehidupan dunia Untuk bisa memahami kehidupan dunia ini, Islam memberikan pelajaran yang berupa perumpamaan atau gambaran. Perumpamaan diberikan agar manusia tidak sulit dalam memahaminya. Kalau berupa teori-teori, perlu kecerdasan akal-pikiran untuk bisa mengertinya. Karena itu ada beberapa gambaran. Untuk bagian mengakhiri pelajaran sekarang ini, saya kutipkan satu ayat di Surat Yunus. 10:24 Sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia itu seperti air yang Kami turunkan dari langit. Lalu, air itu diserap oleh tumbuh-tumbuhan di bumi. Kemudian tumbuh-tumbuhan [yang mengandung air tadi] ada yang dimakan oleh manusia, dan ada yang dimakan ternak. Sampai suatu ketika bumi tertutupi kesuburan tumbuhannya dan terhiasi [ter-dekorasi], dan penduduknya mengira menguasinya, tibalah ketetapan Kami pada waktu malam atau siang. Maka Kami jadikan itu bagaikan ladang yang telah dituai hasilnya, seolah-olah pada waktu kemarin tak ada tanaman yang tumbuh di situ. Demikian Kami jelaskan ayat-ayat kepada kalangan yang berpikir. Suatu gambaran kehidupan yang bagus sekali. Hidup [urip], live, nafs, dalam kemunculannya di bumi ini digambarkan bagaikan ‘air’. Perhatikan diri kita, hidup kita merupakan sesekor sperma [setetes sperma] yang bergabung dengan sel telur di rahim ibu. Tetesan sperma itu ada yang terserap telur dalam rahim dan akhirnya tumbuh menjadi jabang bayi, dan ada yang tidak. Di ayat itu digambarkan air yang turun di bumi, dan ada yang diserap oleh tumbuhan. Dengan proses itu bumi menjadi subur. Diri kita pun tidak sendirian. Kita hidup bersama di suatu tempat. Dan kita menyangka bisa menguasai tempat itu selamanya. Kita lupa ada ‘ketetapan’ atau aturan main Tuhan yang telah digelar di alam semesta ini. Kita lupa bahwa tanaman itu bisa mati oleh berbagai sebab, seperti terkena banjir, angin topan, kekeringan, terserang hama-penyakit atau oleh sebab-sebab lainnya. Kita pun lupa bahwa ada ‘ketetapan’ bahwa jasmani kita ini bisa mati sewaktu-waktu oleh berbagai sebab. Kita biasanya merasa akan mati bila sudah tua! Karena itu kita merasa bisa menguasai kenikmatan hidup di dunia ini selamanya. Padahal, ketika suatu bencana berat datang tiba-tiba, dan bisa menyebabkan kematian, maka hilanglah kenyataan bahwa kita bisa menguasai kenikmatan harta-benda dunia itu. Dalam kondisi demikian, kekuasaan yang pernah kita miliki seolah-olah tidak pernah ada. Jangankan sudah mati, masih hidup saja ketika manusia sudah tua-renta, sudah tidak bisa lagi merasakan berbagai kenikmatan duniawi yang pernah dirasakannya. Hanya kenikmatan batin yang tetap melekat sampai mati. Orang yang bisa merasakan kenikmatan batin tidak pernah merasakan kekecewaan atau kesesedihan dalam hidup ini. Tidak kecewa atau sedih atas berkurangnya atau hilangnya kenikmatan lahiriyah. Dia telah zuhud! Tidak keluar air liur atas gebyarnya dunia. Selama ini banyak orang yang beranggapan bahwa zuhud adalah meninggalkan kehidupan dunia. Ini salah besar! Meninggalkan kehidupan dunia itu bukan zuhud, tapi kalah. Ia merasa tak mampu negatasi dunia. Makanya ia menarik diri dari kehidupan dunia ini. Kalau sekarang saja sudah kalah, bagaimana mungkin dapat mengatasi kehidupan akhirat yang memerlukan modal lebih besar. Bukan modal harta-benda, tetapi modal batin, modal metafisik. Dengan zuhud energi batin kita tidak terserap oleh dunia. Energi batin inilah yang menggerakkan pertumbuhan ‘zigot’ menjadi jabang bayi. Karena rahman dan rahim-Nya, bayi yang hidup di bumi ini bisa tumbuh dan berkembang dengan energi fisik, yaitu makan dan minum. Tetapi, energi fisik tidak dapat mendorong orang hidup bersemangat, orang hidup adil dan jujur, orang hidup damai. Energi fisik hanya membantu fisik untuk tetap hidup. Dan itu pun terbatas! Yaitu, tidak bisa mencegah ketuaan dan kematian. Bahkan terlalu banyak energi fisik menyebabkan kita malas. Energi fisik itu bagaikan air yang diturunkan dari langit. Ia bisa menyebabkan tumbuhnya kehidupan di bumi ini, tetapi tak mampu menahan kematian. Sebaliknya, orang yang mempunyai energi batin tinggi, hidupnya tetap berse-mangat. Ia tidak mandek pada dunia tampak. Tapi ia tetap mencari di balik dunia yang tampak ini. Ini bukan berkhayal. Karena tak ada waktu buat berkhayal. Tapi ia terus berjalan menuju cakrawala ‘dar as-salam’, tempat yang damai. Nah, semua usaha menapaki maqam-maqam dalam dunia tasawuf adalah upaya untuk menghimpun energi metafisik, untuk melanjutkan perjalanan hidup ini. Dan, makin tinggi maqam, makin besarlah bekal yang kita peroleh. Bagian ke-13 [Lanj. Zuhud] Di depan telah dijelaskan bahwa mayoritas manusia itu bersikap diam. Hanya jadi pak turut! Di Barat yang sudah maju pun begitu. Sampai-sampai mereka punya pepatah “diam itu emas”. Ada ‘tetapinya’ di sina. Di Barat hak untuk berbicara dan berpendapat telah diberikan. Pendidikan diselenggarakan dengan baik. Komunikasi politis dibuat. Sehingga ‘diam’ punya makna bebas dari keributan. Diam beginilah dituntut oleh orang yang berzuhud. Bukan diam karena tak berdaya! Jika sabar merupakan bentuk ketahanan terhadap sesuatu, maka zuhud merupakan sikap untuk berani menolak terhadap tekanan. Jadi, zuhud memang merupakan mata-rantai dari sabar. Untuk menghadapi sesuatu, kita harus mempunyai daya tahan dulu. Artinya, harus sabar! Tetapi tidak boleh berhenti di titik ini. Kalau kita berhenti, artinya kita tidak berdaya menghadapi tekanan lingkungan. Kita akhirnya terlindas, dan hanya sebagai permainan penindas. Rasul Saw memberi contoh kepada umat beliau. Pada awal perjuangan, beliau mengajak umat beliau untuk bersabar. Hal ini bisa dilihat pada surat-surat yang turun di awal kenabian beliau. 73:10 Dan bersabarlah [Muhammad] terhadap apa yang mereka katakan, dan jauhi [uhjur ] mereka dengan cara yang baik. 74:07 Dan untuk [memenuhi petunjuk] Tuhan engkau, bersabarlah! 70:05 Maka bersabarlah [Muhammad] dengan kesabaran yang indah! Mohon diperhatikan ayat-ayat tersebut. Ada indikasi bahwa pada saatnya sabar harus ditingkatkan ke dalam bentuk ‘hijrah’, yaitu mampu mengatasi atau menjauhi tekanan hidup ini. Hijrah bukan untuk melarikan diri dari persoalan. Tetapi hijrah untuk menemukan jalan keluar, untuk mengatasi persoalan. Hijrah sebagai solusi. Hijrah demikian ini yang menjadi landasan berzuhud! Hijrah sebagai kelanjutan dari sabar, harus dilakukan dengan cara yang baik, dengan dilandasi kesabaran yang indah. Kesabaran yang tidak menimbulkan kecurigaan musuh. Kesabaran yang strategis! Dalam bahasa manajemen, di tengah bangunan kesabaran itu ada strategi dan taktik untuk berzuhud. Dan zuhud ini meliputi tindakan berhijrah, berjihad dan beriman. Dan berhijrah ini pun tidak bisa dilakukan sekali jadi. Harus ada upaya ‘proaktif’ dan aktif. Rasul pun melakukan tindakan taktis, dengan memerintahkan umat beliau hijrah [pertama] ke Ethiopia. Kemudian beliau proaktif mencari daerah baru untuk berhijarah. Misalnya, beliau menjajaki dakwah ke Thaif. Meskipun di Thaif beliau mendapatkan sambutan yang tidak mengenakkan. Beliau diusir dan dilempari batu hingga beliau luka-luka. Dalam kehidupan sekarang ini pun, kita harus membangun kesabaran yang indah. Kita harus bangun kesabaran yang strategis dan taktis! Dalam memecahkan sesuatu kita tidak bisa terburu-buru. Mengapa? Karena kita bukan hanya menghadapi orang yang menindas dan memusuhi kita. Kita juga menghadapi kelompok manusia yang sehaluan dengan kita, tetapi tindakannya merugikan kita. Dua hari yang lalu saya membaca suatu buletin ‘Dakwah Islam’ yang dikeluarkan oleh sebuah yayasan Islam. Tulisan dalam buletin itu jelas-jelas sangat merugikan buruh-buruh Islam. Penulis di buletin itu punya anggapan bahwa ‘kewajiban’ majikan/pengusaha hanya [sekali lagi, hanya] membayar buruh tepat pada waktunya’. Berbagai bentuk keuntungan, benefit, bonus, dan berbagai bentuk tunjangan kesejahteraan bukan kewajiban majikan/pengusaha. Penulis rupanya tidak mengerti perubahan “sistem berusaha, atau berekonomi”, sehingga berbagai bentuk kesejahteraan itu dikatakan sebagai “kewajiban negara”. Coba bayangkan saudara-saudara! Di tengah-tengah globalisasi, ketika manusia [sekali lagi, manusia] berusaha menemukan makna hidupnya. Manusia berusaha hidup sejahtera dalam kesetaraan martabat. Manusia berusaha mendapatkan hak-haknya dengan cara yang benar [sesuai dengan bangunan ekonomi masyarakatnya], ada da’i yang menulis bahwa perjuangan buruh salah alamat. Ia tulis “kewajiban majikan” atau pengusaha hanya sebatas membayar upah [sesuai yang disepakati] tepat pada waktunya. Penulis samakan kualitas pengusaha sekarang sama dengan pengusahapengusaha di era Nabi Muhammad. Penulis samakan sistem dan bentuk perekonomian sekarang ini sama dengan sistem perekonomian di era Nabi Saw. Penulis lupa bahwa sistem perekonomian pada zaman Nabi adalah pertanian dan perdagangan. Dan sistem pertanian pun masih subsisten, lebih banyak untuk kebutuhan sendiri. Sedangkan perekonomian sekarang ini ada di era industri dan informasi. Celakanya, penulis itu menggunakan hadis yang hanya sesuai dengan masa itu. Islam mengajarkan ‘sabar’ dan ‘zuhud’. Kesabaran yang indah! Bukan asal demo atau melakukan perusakan. Di tengah kesabaran itu harus dibangun strategi dan taktik untuk mendapatkan kemenangan, yang dalam bahasa sekarang disebut “win-win solution”. Sistem yang menang! Bukan pihak tertentu yang menang. Karena itu disebut ‘sama-sama menang’. Dan untuk sama-sama menang, kesabaran harus ditingkatkan ke tahap zuhud. Zuhud yang bersifat ‘jihadiyah’, perjuangan, ‘struggle’ untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Yaitu, hidup yang lebih baik di dalam negara, masyarakat, dan dalam institusi, ‘baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur’. Zuhud sebagai suatu tahapan pencapaian rohani, meliputi tindakan yang berlandaskan pada keimanan yang teguh, berhijrah, dan ber-jihad. Surat Makiyah yang memuat pernyataan tentang hijrah adalah surat ke-16, yaitu surat An Nahl. Pada ayat ini diinformasikan bahwa mereka yang berhijrah di jalan Tuhan [fi l-Lah] setelah mereka mengalami tekanan [kezaliman] akan mendapatkan kehidupan yang baik. Sesungguhnya informasi ini sesuai dengan pernyataan di ayat lain, yaitu “inna ma-‘a l-‘usri yusra”. Sesungguhnya di balik kesukaran itu terdapat kemudahan! Di balik kesukaran pasti terdapat kemudahan, bila disertai tindakan yang proaktif dan aktif. Tetapi kesukaran akan semakin sukar jikalau dibiarkan, atau dihadapi dengan pasif. Tahap awal dalam zuhud adalah mempunyai iman yang teguh! Ingat, iman tidak sama dengan percaya. Meskipun dalam keimanan ada unsur kepercayaan. Iman harus dilandasi oleh pengetahuan. Dan ini merupakan tingkatan keimanan yang paling rendah. Keimanan yang lebih tinggi harus dilandasi oleh pengalaman. Jadi, bukan iman karena cuma tahu, tetapi karena mengalaminya. Dan, yang tertinggi adalah iman karena makrifat, karena memahami hakikat sesuatu yang dialaminya itu. Iman demikian juga dikenal sebagai “haqqu l-yaqin”. Tak ada lagi selaput keraguan. Kebenarannya sudah tersingkap. Zuhud yang demikian ini tentu saja jauh dari upaya mencari pujian atau kekuasaan, meskipun mungkin saja keduanya didapat. Makin kokoh keimanan seseorang, makin bersihlah motivasi hijrahnya. Di samping kesabaran yang indah, hijrah pun harus dilakukan dengan baik. Sabar ke hijrah merupakan sambungan. Ada 3 macam hijrah, yaitu hijrah fisik, nafsani, dan rohani [spiritual]. Nah, orang yang hijrah secara fisik harus rela meninggalkan harta-benda yang dimilikinya. Hijrah fisik diperlukan bila tidak ada lagi tempat untuk mewujudkan kehidupan yang manusiawi. Hijrah fisik diperlukan bila usaha untuk mengembangkan martabat kemanusiaan sudah tidak ada lagi di tempat itu. Berikutnya adalah hijrah nafsani, menjauhkan jiwa dari jeratan hawa nafsu. Fisik tetap tinggal di suatu tempat, tetapi jiwa tak terpengaruh oleh tarikan-tarikan kehidupan sekelilingnya. Di tengahtengah orang ber-KKN, tak ikut terjerat KKN. Dia mampu berdiri tegar di tengah lingkungan yang busuk tanpa ikut menjadi busuk. Dan jenis hijrah yang lainnya adalah hijrah spiritual. Dia bukan hanya tak terpengaruh oleh tarikan lingkungannya, tetapi justru mempengaruhi lingkungannya. Dia berjuang untuk menghilangkan kebusukan yang terjadi di sekitarnya. Dia membangun kehidupan di atas puing-puing kebobrokan. Semua ini bisa dilakukan bila si zahid sudah tidak lagi tergiur oleh gebyarnya dunia. Jika memang secara fisik diperlukan, dia lakukan hijrah fisik. Bila ancaman dan gangguan fisik tidak ada, ia mampu bertahan hidup tanpa terpengaruh lingkungannya. Dan bilamana ia mampu, dilakukannya perombakan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik. Tindakan berikutnya dalam zuhud adalah ‘jihad’. Kata jihad bukan berarti perang! Perang adalah bagian dari jihad, bila sudah tak ada cara lain untuk mempertahankan kehidupan ini. Dengan demikian, orang yang berjihad bukanlah orang yang dari semula sengaja memerangi orang lain. Perang adalah salah satu taktik dalam berjihad! Pertama, dilakukan untuk membela diri. Kedua, perang diperlukan untuk menjaga keamanan wilayah [teritorial]. Ketiga, perang diperlukan untuk melenyapkan musuh. Seorang zahid tidak boleh mencari atau menciptakan musuh. Tetapi seorang zahid harus berani memerangi musuh. Musuh itu apa? Ya apa atau siapa saja yang menyerang, menganiaya atau menghancurkan kehidupan kita. Di bawah ini saya kutipkan beberapa ayat yang terkait dengan rangkaian tindakan dalam zuhud. 16:110 Dan sesungguhnya Tuhan engkau melindungi dan menyayangi orang-orang yang berhijrah setelah mendapatkan fitnah, kemudian mereka itu berjihad dan bersabar. 02:218 Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah; mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Melindungi [Pengampun] dan Maha Penyayang. 08:072 Sesungguhnya orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, dan orang-orang yang memberikan tempat perlindungan dan pertolongan; mereka itu tolong menolong di antara sesamanya. 08:074 Dan orang-orang yang beriman, berhijrah, berjihad di jalan Allah; dan orang-orang yang memberikan tempat perlindungan dan pertolongan; maka mereka itulah orang-orang beriman yang sebenarnya. Mereka memperoleh ‘maghfirah’ dan rezeki yang mulia. 09:020 Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka; di sisi Allah derajat mereka itu lebih agung, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keme-nangan dalam hidup ini. Nah, marilah kita perhatikan ayat-ayat yang terkait dengan hijrah dan jihad di atas. Pertama, yang perlu dipahami adalah kalimat ‘di jalan Allah’. Suatu tindakan disebut berada di jalan Allah, bila tidak ada motivasi duniawi atau mendahulukan atau mengutamakan kepentingan diri-sendiri atau kelompok. Dalam bahasa sekulernya, yang diutamakan adalah kepentingan ‘kemanusiaan’. Jadi, tindakan di jalan Allah adalah tindakan yang bebas dari ambisi, dan berbagai macam keuntungan duniawi. Kedua, beriman harus disertai dengan tindakan, aksi! Beriman tidak cukup hanya dengan kata-kata. Karena itu zuhud bukanlah tindakan pasif. Tak ada contohnya dalam Al Quran bahwa zuhud itu merupakan “no action”, tak ada tindakan. Tidak tertarik terhadap kehidupan dunia, tidak berarti putus asa karena tidak menguasai dunia. Dalam Islam orang yang menolak terhadap kehidupan dunia, bukanlah orang yang tidak berbuat apa-apa, dan mengasingkan diri dari keramaian. Zuhud dalam Al Quran adalah aktivitas untuk menegakkan kemanusiaan, membangun dan memperbaiki dunia, dan tidak terjebak atau terbelenggu dengan hasil usahanya. Untuk itu zuhud harus dilandasi dengan keimanan yang kokoh. Ketiga, bila dilihat pembangunan kemanusiaan tidak bisa dilakukan di suatu daerah, dan bahkan ancaman dan gangguan menyelimutinya, maka daerah itu harus dijauhi [untuk sementara], dan dicari daerah lain yang memungkinkan untuk mengem-bangkan misi dan visi kemanusian, yang mencakup martabat dan kesejahteraannya. Jadi, bukan membiarkan kemerosotan dan kebobrokan terjadi. Jika kerusakan dibiarkan terjadi, dan yang terpenting ia bisa hidup tak diganggu, itu bukan zuhud namanya. Tetapi orang yang tak berdaya! Hidup harus punya makna. Hidup bukan sekadar bisa makan, berpakaian, dan bertempat tinggal. Manusia hidup untuk mengekspresikan dan mengapresiasikan kemanusiaannya. Karena itu, jika keadaan sudah tidak memungkinkan untuk mewujudkan kemanusiaan, maka kita harus hijrah. Keempat, hijrah ternyata bukan hanya mencari tempat perlindungan yang baru. Hijrah juga bukan hanya meminta pertolongan untuk keselamatan jiwa-raganya. Hijrah ternyata merupakan suatu strategi. Karena itu, hijrah harus dilanjutkan ketahap ‘jihad’. Yaitu, jihad dengan menggunakan harta dan jiwa. Kalimat ‘harta dan jiwa’ ini konsisten di dalam Al Quran. Tidak ada yang terbalik menjadi ‘jiwa dan harta’. Mengapa? Karena yang diajarkan adalah perjuangan, bukan mencari kematian atau bunuh diri. Harta benda yang didapat, digunakan untuk perjuangan kemanusiaan. Tentu saja bentuk dan sistem kehidupan sekarang ini tidak sama dengan di zaman Rasul Saw. Kita sekarang ini hidup di negara yang ‘berdaulat’. Batas-batas daulat suatu negara di era globalisasi ini sudah jelas, meskipun di beberapa negara masih ada sengketa perbatasan. Hak-hak asasi manusia diserukan di mana-mana, walaupun pada beberapa negara HAM masih merupakan pergulatan. Dalam sistem ‘nation-state’, negara kebangsaan, hijrah secara fisik, meninggalkan tempat tinggal lama menuju ke tempat tinggal yang baru untuk membangun kemanusiaan sudah kecil kemungkinannya. Di era informasi ini, hubungan antar negara semakin rumit. Aktivitas kemanusiaan murni bisa dituduh sebagai kegiatan politik dan subversi. Karena itu strategi jihad harus ditempatkan dalam hijrah pemikiran. Kita tidak perlu lagi mencari suaka. Yang kita perlukan adalah berpikir benar untuk bisa menegakkan kemanusiaan. Jihad dengan harta dan jiwa harus ditumbuhkembangkan dalam pemikiran yang benar. Harta bukan sekadar untuk dibagi-bagikan, tetapi digunakan untuk membantu meningkatkan pendidikan [kualitas dan kuantitas]. Jiwa bukan untuk diserahkan kepada pedang atau peluru, tetapi untuk mencari solusi, untuk mencari alternatif-alternatif dalam menegakkan martabat manusia. Di zaman dulu perang fisik bisa menyelesaikan masalah. Tetapi di zaman sekarang, perang hanyalah untuk melampiaskan hawa nafsu [karena buntu dalam mencari jalan keluar] dan menghasilkan tragedi kemanusian, hanya balas-membalas dalam dendam. Sekarang ini perang fisik hanya jalan terakhir, bila sudah tidak memungkinkan lagi menggunakan berbagai cara damai. Dan jangan lupa, cita-cita yang agung adalah menciptakan perdamaian dan kedamaian dalam hidup ini. Damai adalah salam, selamat, dan sejahtera. Setiap individu hidup di dalam kesetaraan [hukum, sosial, ekonomi, dan keamanan]. Itulah sebabnya orang yang zuhud [beriman, berhijrah, dan berjihad] disebut sebagai orang yang mendapat perlindungan, rezeki, dan kemenangan. Dan tentunya, mereka yang memberikan tempat tinggal dan pertolongan, adalah juga orang-orang zuhud, orang-orang beriman, yang sebenarnya. Bagian ke-14 (lanj. Zuhud) Untuk memulai pelajaran yang ke-14 ini, saya mengajak saudara-saudara untuk mengingat lagi tahapan yang dilalui oleh sufi dalam perjalanan hidupnya. Ada tiga tahap yang dilaluinya yaitu takhalli [deconditioning], meninggalkan perilaku yang tidak terpuji, tahalli [conditioning; reconditioning] yaitu membiasakan diri untuk melakukan tindakan yang terpuji, dan tajalli [unconditioning; no mind action] yaitu berbuat dan bertindak yang bebas dari kepentingan pribadi [kelompok]. Pada posisi “sabar” kita mengisi hidup kita dengan perbuatan dan tindakan bajik, kita kendalikan emosi kita, dan motivasi hidup kita kita arahkan ke jalan yang benar, jalan yang dibentangkan oleh Tuhan semesta alam. Jika jalan ini yang kita titi, maka kita disebut berjalan menuju Allah. Dan bila kita sudah hidup dijalan-Nya maka kita disebut berada di jalan Allah, fi sabili l-lah. Inilah tahap ‘tajalli’! Zuhud adalah usaha memasuki tahap tajalli. Di dalamnya kita melalui subterminal iman [yang kokoh], hijrah, dan jihad. Di bagian ke-13 yang lalu, saya utarakan bahwa pada era globalisasi ini kita harus melakukan hijrah pemikiran kembali. Disamping kita harus melakukan ‘jihad’ pemikiran yang disebut ‘ijtihad’. Kita tidak boleh terjebak dalam peperangan dan pertempuran fisik. Tetapi kita harus berani melangkah ke dunia yang penuh ‘trick’ atau jebakan ini. Karena di dunia macam inilah kita hidup sekarang ini! Lho, bukankah kita ini ingin hidup damai? Betul, betul sekali! Manusia, pada umumnya, menginginkan kedamaian hidup. Yang terselip di dalam hati yang paling dalam adalah menuju ‘sorga’ yang penuh kedamaian. Dan Tuhanlah kedamaian itu! Di dalam salah satu doa [dari sebuah Hadis] yang biasa dibaca setelah sembahyang adalah “Allahumma anta s-salam” [Ya Tuhan, Engkau-lah kedamaian itu]. Lalu, doa itu dilanjutkan dengan kalimat “dan kedamaian itu datangnya dari Engkau, dan kepada Engkau kembalinya kedamaian itu!” Sebagai seorang hamba, kita diajari Nabi untuk melanjutkan doa itu dengan kalimat “Fa hayyina rabbana bi s-salam”, ya Tuhan hidupkanlah kami penuh dengan kedamaian.” Yang kita tuju adalah kedamaian. Tetapi, damai yang ada di bumi ini seperti damai yang ada di dalam hati. Jika di dalam hati damai itu terselip di dalamnya, bahkan di bagian dalam hati; maka di atas bumi ini ‘damai’ juga terselip di tengah-tengah keributan dan kebusukan dunia. Karena itu, kedamaian harus dicari! Kedamaian tidak datang dengan sendirinya. Orang-orang Romawi memiliki semboyan, yang bahasa Indonesianya “Bila kalian ingin hidup damai, bersiap-siaplah untuk perang”. Tentu saja berperang secara fisik. Pada zaman dulu, berperang secara fisik memang jalan satu-satunya untuk memperoleh kedamaian. Sebab, menang perang adalah keadaan yang menjamin kesejahteraan warganya. Pada zaman dulu, orang malu kalau ingin hidup sejahtera dengan cara menyengsarakan rakyat atau bangsanya sendiri. Ini tidak berarti, untuk memperoleh kedamaian kita harus berperang untuk menaklukkan negara lain. Pada zaman sekarang ini kita harus hijrah dan jihad di lapangan pemikiran, ‘ijtihad’. Ijtihad pun tidak hanya terbatas pada dunia fikih atau agama. Kita harus berijtihad untuk menemukan solusi bagi kedamaian dan kesejahteraan hidup. Sekarang ini kita sering dihadapkan pada pengertian yang salah tentang ‘damai’. Kata damai dikaburkan maknanya menjadi ‘aman’. Padahal aman hanyalah salah satu keadaan yang ada di dalam kata ‘damai’. Keadaan yang aman, artinya tidak ada gangguan atau kekerasan [fisik]. Kalau damai yang ini, berarti cukup dengan tunduk atau takluk pada kekuatan di luar dirinya. Damai yang sejati adalah wujud dari keseimbangan, keselarasan dan keserasian, yang disebut hidup harmoni. Di tengah kedamaian yang sejati inilah terletak kemerdekaan. Damai yang demikian ini yang dilukiskan dalam kamus “Oxford Advanced Learner’s Dictionary” sebagai keadaan yang bebas dari peperangan dan kekerasan, suasananya tenang, dan penuh dengan keharmonisan dan persahabatan. Nah, ternyata damai harus diperjuangkan. Ingin hidup damai tak ubahnya kita ini mencari intan di tumpukan sampah. Di sinilah harus ada hijrah dan jihad [ijtihad] dalam pemikiran. Ketika Nabi Muhammad Saw [p.b.u.h, peace be unto him] menyebarkan risalah keislaman, beliau sebenarnya membangun paradigma berpikir yang baru. Beliau tinggalkan cara-cara berpikir jahiliah dan beliau bangun cara-cara berpikir yang islami. Ada puluhan, bahkan ratusan, ayat Al Quran yang menyeru manusia untuk ‘berpikir’. Perintah berpikir ini disampaikan dalam berbagai bentuk, misalnya tafakkaru, tadzakkaru, nazhara, ta‘qilun, dan lain-lain. Satu abad setelah tersebarnya agama Islam, kalangan mu‘tazilah melanjutkan pembaharuan pemikiran. Para ulama mereka tidak mandek pada kata-kata yang ada di dalam Al Quran. Mereka mempelajari metode-metode berpikir filosof Yunani. Mereka melakukan penalaran dan logika yang islami. Mereka mulai merintis logika-empiris. Hasilnya, Daulat Abbasiyah di Bagdad dan Daulat Umayyah di Spanyol mengalami kemakmuran yang berlimpah-limpah. Sayang, masyarakat Islam pada zaman itu [dan sampai sekarang] tidak kondusif untuk pembaharuan pemikiran. Pada abad XIII (pada tahun 1258 M) Daulat Abbasiyah diporakporandakan oleh Kerajaan Mongol yang sangat terkenal dengan pemerintahannya di atas kuda. Di Spanyol pun digilas pada akhir abad XV (1492 M). Dan sejak abad XIII itu pembaharuan pemikiran di dunia Islam ditutup, yang dikenal dengan “penutupan pintu ijtihad”. Sekarang, saya melalui pengajaran tasawuf ini mengajak kembali saudara-saudara untuk menghidupkan hijrah dan jihad dalam pemikiran. Lho, bagaimana dengan orang-orang yang masih rendah tingkat pemikirannya, apa dapat diajak untuk melakukan pembaharuan pemikiran? Tentu saja jangan dibayangkan semua orang bisa berpikir dalam [deep thinking]. Waktu periode Rasul pun tidak semua orang diperintah untuk melakukan perang fisik. Hal ini dijelaskan pada Surat Taubah/9:122. Ada yang ditolak untuk ikut bertempur karena orang tersebut menanggung kehidupan ibunya yang janda. Ada yang ditolak karena dianggap belum cukup umur. Yang perempuan pada waktu itu ditugasi dalam urusan logistik dan palang-merah. Dalam hal jihad pemikiran pun harus ada yang di barisan depan [good thinker] sebagai pembuat konsep, pembuat rencana, dan pengatur strategi. Ada menyebarkan dan memasarkan gagasan. Ada yang menerap-kannya. Dan ada pula yang mendukungnya. Ketahanan masyarakat akan kuat bila masyarakat mempunyai keahlian yang heterogen. Namun semua harus bisa diorganisasi dan dikerahkan untuk membangun jihad pemikiran. Ulama spiritual, ulama sains, ulama teknologi, ulama birokrat, petani, pedagang, industrialis, dan buruh harus merapatkan barisan dalam membangun jihad pemikiran. Untuk apa jihad pemikiran ini? Untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Lho, kok tidak untuk membangun masyarakat Islam yang adil dan makmur? Sebuah masyarakat itu dapat diibaratkan sebuah rumahtangga. Rumah-tangga yang bertanggung jawab adalah rumah-tangga yang berupaya membangun kesejahteraan para anggotanya, tanpa merugikan rumah-tangga lainnya. Rumah-tangga yang satu mungkin saja berbeda agama dengan tetangganya. Tetapi mereka hidup dalam komunitas yang sama yaitu satu RT/RW. Kita adalah masyarakat Indonesia. Masyarakat yang dari awalnya plural [dalam agama, kepercayaan, dan etnis]. Masing-masing adalah anak ibu pertiwi! Perbedaan tidaklah memisahkan persatuan Indonesia. Dan, jika kita mau jujur bertanya siapakah kita bangsa Indonesia ini? Jawabannya adalah kita dahulu etnis-etnis yang menghuni kepulauan Nusantara dengan agama pribumi masing-masing. Semenjak abad I masuklah agama dari luar [dalam bahasa rakyatnya, agama impor] yaitu Hindu, Buddha, Islam, Kristen/Katholik, dan Kong Huchu. Sebagai sebuah kenyataan, saya sekarang adalah orang Islam. Ajaran Islam saya sampaikan dengan menggunakan pendekatan ‘tasawuf’. Karena tasawuflah yang bisa menembus lintas agama dan menjaga pluralitas. Kalau kita hobi membaca Hadis, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa praktik Rasul dalam menyebarkan agama Islam pun dengan cara tasawuf. Ayat pertama yang saya gunakan untuk mengisi bagian yang ke-14 ini adalah Surat Al Baqarah/2:208. Mari sama-sama memperhatikan bunyi ayat tersebut seperti saya kutipkan di bawah ini. 2:208 Ya ayyuha l-ladzina amanu d-khulu fi s-silmi kaffah wa la tattabi-‘u khuthuwati sy-syaithani innahu lakum ‘aduwwun mubin. 2:208 Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu semua ke dalam kehidupan yang damai, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuhmu yang nyata. Cukup satu ayat dulu! Dan, mari kita kupas pelan-pelan ayat ini. Ayat ini turun di Madinah setelah perjanjian Hudaibiyah [th 6H]. Pada bulan Dzul Qa’dah (bulan ke-11) Nabi mengajak kabilahkabilah yang bukan Islam untuk bersama-sama menuju Mekah untuk berziarah dan memuliakannya. Sejak sebelum kedatangan Islam, orang-orang Arab biasa memuliakan Ka’bah. Mereka biasa lomba berpidato dan menggantungkan puisi mereka di Ka’bah. Dengan mengajak orang-orang Arab nonmuslim menziarahi dan memuliakan Baitul Haram, maka keragu-raguan orang Arab terhadap orangorang muslim hilang. Dan, dari awal jalur perdamaian lebih dipilih ketimbang peperangan. Prinsip hidup berdampingan dan damai ditekankan sekali dalam Piagam Madinah. Tata-cara damai inilah yang menyebabkan Islam cepat sekali tersebar di Madinah. Untuk memelihara keharmonisan hidup masyarakat Madinah, seruan untuk hidup beragama dinyatakan dengan panggilan yang indah “ayyuhal ladzina amanu”, wahai orang-orang yang beriman. Dengan panggilan ini orang-orang non-muslim tidaklah tersinggung dalam kehidupan mereka. Khalifah-khalifah setelah Rasul Saw juga memakai gelar “amirul mu’minin”, amirnya orang-orang beriman. Sekarang ini tokoh-tokoh agama juga memanggil pengikutnya dengan sebutan “orang-orang beriman”. Ini memang panggilan yang manis. Madinah harus berjaga dan mempertahankan diri dari serangan musuh. Persatuan sangat dibutuhkan! Terhadap orang-orang yang menjunjung tinggi Piagam Madinah ini, mereka dipanggil dengan panggilan orang-orang yang beriman. Mereka semua diseru untuk masuk dalam perdamaian. Dalam surat Al-Anfal/8:61 dinyatakan dengan tegas, ”Dan jika mereka condong kepada perdamaian [salm] maka hendaklah kamu condong pula kepadanya [perdamaian], dan bertawakallah kepada Allah.” Berikutnya adalah larangan untuk mengikuti langkah-langkah setan. Masih ingatkan makna ‘mengikuti’ bukan ‘meniru’ lho! Setan tak pernah muncul dihadapan kita. Jadi tak ada perbuatannya yang bisa ditiru. Setan berarti merenggangkan atau menjauhkan [dari perbuatan bajik]. Semua perbuatan buruk mendapat julukan perbuatan atau langkah setan. Pertikaian, fitnah, menghasut, adu-domba, hina-menghina, dan perbuatan sejenisnya disebut langkah-langkah setan. Karena itu harus ditinggalkan! Semua itu lahir dari pikiran dan emosi kita. Pikiran dan emosi yang lepas kendali. Hal ini sungguh membahayakan kehidupan, memporak-porandakan kedamaian. Karena itu, setan disebut sebagai ‘musuh yang nyata’. Kita harus memberdayakan pikiran dan emosi kita untuk menciptakan perdamaian dalam kehidupan ini. Bila ada penawaran hidup damai, maka kita harus condong pada perdamaian. Kita tak boleh berprasangka buruk kepada orang-orang yang mengajak hidup damai. Karena itu kebersediaan hidup damai harus disertai dengan sikap tawakal kepada Tuhan. Dan menyeru kepada kehidupan damai harus terus-menerus digiatkan. Ya, mencari kedamaian hidup itu bagaikan mencari intan di tengah onggokan sampah. Bau sampah itu menyengat sehingga mengganggu kita dalam menemukan intan di dalamnya. Sama seperti menyeru hidup damai, bau jejak setan ada di mana-mana. Tapi kita tak boleh putus asa! “Jangan merasa lemah dalam menyeru kepada perdamaian [salm] karena kedudukanmu [yang menyeru damai] itu lebih tinggi. Allah beserta kamu! Dan Allah tidak menghilangkan amalanmu.” (QS 47:35) Jadi, bukan hanya condong kepada perdamaian, tetapi memprakarsai perdamaian! Dan, damai yang diserukan dalam Al Quran ini bukan ‘damai’ seperti yang dilakukan pelanggar lalu lintas dengan polisi penangkapnya. Kalau yang ini bukan damai namanya tetapi transaksi untuk membebaskan diri dari jeratan hukum. Ini masalah penegakan hukum. Dan saya tak hendak berkomentar dalam hal ini. Damai yang dituju dalam Al Quran adalah keadaan yang aman dan tentram, dan dalam posisi keseimbangan. Tidak terjadi adu kekuatan dan saling menekan di dalam perdamaian. Damai bukanlah aman! Tetapi keamanan terjamin dalam perdamaian. Peserta kajian tasawuf yang terhormat! Dalam tulisan ini kadang kata perdamaian yang saya gunakan, lain kali saya memakai kata ‘kedamaian’. Yang saya maksud sama, yaitu keadaan damai. Keduanya merupakan terjemahan dari ‘salm’ atau ‘silm’. Bila yang dimaksud adalah cara-cara atau proses dalam kegiatan untuk berdamai, maka kata ‘perdamaian’ yang saya pergunakan. Tetapi jika yang dimaksud suasananya yang damai maka kata ‘kedamaian’ yang ditampilkan. Silm saya terjemahkan perdamaian dalam ayat di atas. Karena pada ayat itu kita diperintahkan untuk menciptakan keadaan hidup yang damai. Ada proses, ada aktivitas untuk mencapai hidup damai. Dalam menyerukan perdamaian kita tidak boleh merasa lemah. Bukankah lemah itu timbul dari pikiran? Lemah adalah jejak setan, langkah setan. “Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena setan itu musuhmu yang nyata,” bunyi QS 2:208. Nah, sebagai konsekuensi bagi orang yang ingin hidup beragama yang benar, kita harus aktif dalam menyerukan perdamaian. Menyerukan perdamaian tidak sama dengan menebar slogan dan ucapan “mari menempuh hidup damai” atau “mari berdamai” atau “damai itu indah”. Kalau yang ini sih sekadar ungkapan hati, atau tipu daya. Menyerukan perdamaian berarti berusaha keras, memprakarsai hidup damai. Karena itu kita dilarang ‘merasa lemah’ dalam menyerukan perdamaian. Harus ada ijtihad alias jihad pemikiran. Artinya kita harus memeras otak [bukan memeras keringat karena kita tidak melakukan perang fisik] untuk mencari langkah-langkah yang bisa mengantarkan umat manusia menuju hidup damai. Inilah makna perdamaian! “Orang-orang yang hidup di negara maju [tentu saja ada yang malas] bekerja keras, bekerja dengan cermat, berusaha memenuhi komitmen dalam masyarakat, membuat perjanjian yang melindungi dan menguntungkan semua pihak, menegakkan hukum [bukan cuma penegak hukumnya], dan semua aktivitas untuk menyongsong hari depan yang baik adalah wujud untuk menyerukan perdamaian.” Orang yang menyerukan perdamaian tidak boleh merasa lemah. Karena penyeru perdamaian itu lebih tinggi kualitasnya. Baik kualitas mental, moral, kecerdasan akal, emosional dan spiritualnya. Yang jelas bukan kualitas fisiknya yang lebih unggul. Kualitas fisik diperlukan, tetapi bukan hal yang terlalu penting. Kekuatan fisik adalah kekuatan pendukung, bukan kekuatan utama. Orang yang cerdas dan cerdik tidak merasa lemah dalam perjuangan hidupnya. Dalam jihad fisik jelas lemah, tetapi dalam jihad pemikiran dia tidak lemah. Di ayat 47:35 itu disebutkan bahwa Tuhan beserta orang-orang yang menyerukan perdamaian. Apa maksudnya Tuhan menyertai orang-orang yang menyerukan “hidup damai” atau “perdamaian” itu? Menyeru itu lahir dari kehendak orang yang menyeru. Tuhan adalah sumber iradah. Maka iradah atau kehendak Tuhanlah yang menyertai orang-orang yang mnyerukan perdamaian. Dan, Tuhan pun tidak menghilangkan daya dari amalan orang-orang yang menyerukan perdamaian. Karena itu, orang yang berniat menyerukan perdamaian tidak boleh merasa lemah. Suatu hari pada tahun lalu, saya berpolemik tentang arti ajakan perdamaian yang ada pada ayat 2:208 tersebut. Pada umumnya [sekali lagi umumnya] terjemahan ayat tersebut adalah seruan menjadi orang Islam yang secara total, sempurna. Inilah “main stream”, arus utama dalam pemikiran Islam yang ada. Tetapi saya menolaknya! Saya katakan bahwa ayat itu merupakan seruan untuk memasuki ‘perdamaian’. Kebanyakan ulama, ayat itu hanya diambil sepotong saja. Mereka tidak mau melihat kaitan ayat itu dengan beberapa ayat sebelum dan sesudahnya. Akibatnya, ayat itu menjadi hanya ditujukan kepada orang Islam [yang waktu itu tentunya ada di Madinah]. Kata “orang-orang yang beriman” di situ menjadi sempit artinya. Kata ini disamakan artinya dengan kata “mukmin” yang ada di dalam Al Quran. Padahal dalam arti luas, kata tersebut bisa bermakna ‘mereka yang menerima deklarasi Madinah yang terdiri dari berbagai suku dan pemeluk agama’. Kata “kaffah” disebutkan lima kali dalam Al Quran, dan merujuk pada makna ‘kuantitatif’, jumlah, bukan merujuk pada makna ‘kualitatif’ seperti dalam kata berislam secara totalitas. Lalu, saya tanyakan ‘apa yang dimaksud dengan menjalankan Islam secara menyeluruh/sempurna’, berapa persen Islam yang harus dikerjakan karena perintah itu turun sebelum Islam sendiri selesai sebagai ajaran yang sempurna [dalam arti kata wahyu belum turun seluruhnya]. Dan kalau kita melihat berbagai ragam ajaran Islam yang ada sekarang, Islam yang bagaimana yang disebut Islam totalitas itu. Tentu saja jawaban dalam polemik itu menjadi berputar-putar seperti debat kusir atau main kayu dalam permainan sepak bola. Ya jelas, dalam pemikiran Muhammadiyah Islam totalitasnya tidak sama dengan yang ada pada NU. Meskipun orang NU menjalankan Islam yang paling sempurna pun, bagi orang MD, bagi orang LDII, bagi orang Wahabi, atau lainnya, tetap dipandang ‘belum menjalankan Islam yang kafah atau menyeluruh’. Begitu pula sebaliknya, orang-orang lain itu pun belum totalitas menurut NU. Karena itu saya memilih ‘kafah’ dalam arti kuntitatif, yaitu semua orang. Terjemahannya menjadi “Wahai orang-orang yang beriman [yang menerima Piagam Madinah] kamu semua (all of you) masuklah dalam perdamaian atau kehidupan yang damai. Dan memang, 4 kata kafah yang berada di luar ayat 2:208 ini diterjemahkan ‘semua ?orang- manusia’. Misalnya yang ada di 34:28, “Dan Kami tidak mengutus engkau kecuali menjadi pemberi kabar gembira dan peringatan bagi semua (kafah) manusia.” Dengan demikian jelas sekali bahwa perdamaian atau kedamaian hidup adalah prinsip dibangkitkannya agama Islam. Kalau bukan ini, apa bedanya agama Islam dengan ajaran jahiliah yang mengutamakan keunggulan suku dan sikap mau menang sendiri? Rasul Saw dengan tegas mengatakan: “Sesungguhnya aku ini dibangkitkan untuk mengutamakan budi pekerti yang mulia.” Demikian penjelasan ‘zuhud’ lanjutan pada kajian kita hari ini. Kita sambung zuhud di bagian pelajaran yang akan datang. Wa billahi t-taufiq wa l-hidayah. Semoga Tuhan melimpahkan taufik dan petunjuk-Nya kepada kita. Amin. Bagian ke-15 [Lanj. Zuhud] Waktu yang lalu telah dijelaskan bahwa jihad harus ditingkatkan menjadi ‘ijtihad’, jihad pemikiran. Dan yang menjadi dasar bagi berlangsungnya ijtihad adalah kedamaian dalam hidup ini. Tanpa kedamaian manusia tidak akan mampu berpikir. Tanpa keadaan damai tak ada kreativitas dalam diri manusia. Tanpa kreativitas manusia akan mencari kedamaian itu dari luar dirinya. Dan jika kedamaian itu harus diperoleh dari luar maka sesungguhnya yang bersangkutan sudah seperti kecanduan narkoba! Yang diperolehnya kedamaian semu! Kekayaan dihabiskan untuk membeli sebuah kedamaian, tetapi yang didapat hanya sesuatu yang semu. Jihad pemikiran itu menarik garis yang tegas antara dunia manusia dari dunia binatang. Manusia harus berpikir untuk menemukan solusi dalam hidupnya. Manusia harus berpikir untuk bisa hidup bersama secara damai. Binatang hidup damai dengan binatang lainnya dengan mengandalkan kekuatan [fisik]. Ia taklukkan binatang-binatang lainnya, baru merasa hidup damai. Lalu, jika manusia tanpa menggunakan pikirannya dalam hidup ini, apa bedanya dengan binatang? Dengan berpikir manusia bisa mengetahui apakah yang dimakan atau diminum itu membahayakan tubuhnya atau tidak. Dengan berpikir manusia dapat memahami bahwa judi dan mabuk-mabukan itu tidak sehat bagi kehidupannya. Dengan berpikir manusia dapat mengerti apakah langkah yang diambilnya itu membahayakan atau bermanfaat bagi dirinya. Dengan berpikir pula manusia bisa mengerti manusia lainnya! Apabila manusia sudah dapat mengerti manusia lainnya, maka di situlah demokrasi dapat ditegakkan. Di situlah keadilan di antara manusia bisa diwujudkan. Ketika Muhammad Saw dibangkitkan sebagai seorang nabi, beliau pun diperintah oleh Tuhan untuk menyampaikan berita bahwa dirinya adalah manusia biasa. Mari kita perhatikan ayat berikut. 6: 50 Katakan, “Saya tidak mengatakan kepadamu bahwa saya mempunyai perbendaharaan Allah. Saya juga tidak mengetahui yang gaib! Dan saya juga tidak mengatakan kepadamu bahwa saya ini malaikat. Saya tidak mengikuti, kecuali apa yang diwahyukan kepada saya.” Katakan, “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?” Apakah kamu tidak berpikir (tatafakkarun)? Ayat ini memberi tahu kita bahwa manusia tidak boleh mengkultuskan manusia lainnya. Manusia harus diterima dan dihormati sebagai manusia. Manusia tidak boleh dipandang sebagai malaikat, apalagi Tuhan. Bahwa manusia yang satu punya kelebihan atas yang lainnya adalah benar! Dan itu tidak perlu diingkari. Suatu kelompok atau masyarakat mengangkat mereka yang memiliki kelebihan dari kebanyakan anggotanya adalah hal yang wajar, dan perlu. Tetapi, manusia tidak boleh didewakan, dipertuhan, atau sejenisnya. Rusaknya tatanan pergaulan masyarakat itu karena adanya pengkultusan terhadap orang-orang tertentu. Demokrasi tidak akan terwujud di suatu masyarakat bila masih ada manusia di masyarakat yang bersangkutan didewakan. Karena dasar dari demokrasi adalah egaliter [persamaan] dan kebebasan [liberti]. Keduanya hanya ada dalam perdamaian sejati! Untuk dapat mencapai perdamaian sejati manusia harus terus berpikir. Dan berpikir itu adalah bagian dari amalan manusia. Lalu, apa sih yang disebut ‘berpikir’ itu? Bukankah banyak orang mengatakan bahwa untuk menjalankan agama tidak perlu menggunakan pikiran? Katanya, banyak hal dalam agama yang tidak masuk akal. Atau, ada yang mendramatisasi bahwa akal ini tidak masuk ke dalam wilayah agama! Manusia punya otak. Binatang [bertulang belakang] pun punya! Tetapi binatang tidak dapat berpikir. Otak pada binatang hanya sebagai markas koordinasi syarafnya. Sedangkan otak pada manusia juga merupakan alat untuk berpikir. Otak dan pikiran adalah dua hal yang berbeda! Pikiran lebih besar daripada otak, bahkan lebih besar daripada tubuh manusia itu sendiri. Manusia menggunakan pikirannya untuk memahami berbagai tanda dan gejala di alam ini. Dan proses penggunaan pikiran itu ada di otak. Karena itu, jika kita serius berpikir [dan tidak memperhatikan kondisi kesehatan dan kemampuan otak] kepala kita bisa terasa pening atau pusing. Otak adalah bagian dari organ dalam fisik kita, seperti jantung, hati, ginjal dan lain-lain. Berapa berat beban yang dapat dipikul oleh otak, tidaklah sama antara orang yang satu dengan yang lainnya. Tetapi setiap otak punya batas kekuatan. Ingat, segala sesuatu dicipta oleh Tuhan dengan kadar atau ukuran tertentu. Perintah berpikir justru untuk mengangkat manusia dari lembah kebinatangannya. Karena itu, agama tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan alam pikiran manusia. Ketika pikiran manusia belum berkembang, naluri atau ‘insting’ pada manusia yang berfungsi. Dan, naluri ini masih berfungsi pada dunia kanak-kanak dan tentu saja pada dunia binatang. Jadi, kalau kita tidak memberdayakan pikiran kita untuk berpikir, maka tak ubahnya kita ini sebagai kanak-kanak atau kasarnya tak ada bedanya dengan binatang. Lho, apa bedanya antara pikiran dan berpikir? Kalau kita mau membuka dan menyimak kamus, kita akan mengerti bahwa salah satu makna dari ‘pikiran’ adalah akal. Dan seringkali diucapkan secara bergandengan menjadi ‘akal pikiran’. Baik akal maupun pikiran dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata Arab ‘aql’ dan ‘fikr’. Akal adalah kata benda Arab yang berasal dari kata kerja aqala yang berarti mengikat. Sedangkan fikr berasal dari kata fakara yang berarti merenungkan, merefleksikan, mempertimbangkan, memperhatikan, dan menduga. Jadi, dengan pikirannya manusia dapat memahami makna di balik yang kasat mata. Dengan pikirannya manusia dapat memahami gejala alam. Tetapi dengan pikirannya pula manusia dapat terjebak sejarah. Kita tak perlu terjebak dalam definisi ‘apa itu akal [pikiran]’. Tetapi kita tahu bahwa dengan akalnya manusia dapat mengingat objek-objek diterima panca indra. Dengan akalnya manusia dapat mengetahui sesuatu yang tidak dapat dimengerti hewan. Dengan akalnya manusia dapat memahami hubungan antar objek yang diamatinya dan menyimpulkannya. Dan bukan sekedar menyimpulkan seperti komputer. Kesimpulan manusia bisa menembus dunia yang abstrak. Manusia bisa menghasilkan pendapat atau ‘ide’, yang tentu saja dibangun dari objek-objek yang diingatnya. Akal pikiran juga bisa membangkitkan imajinasi. Yang dari sini timbullah seni [tari, pahat, sastra, musik, rupa, olah raga, perang, kepemimpinan dll], dan penciptaan teknologi. Tetapi dengan pikirannya pula manusia dapat ‘berprasangka’. Dengan berprasangka, sebenarnya manusia telah menipu dirinya. Karena ia telah memastikan sesuatu yang tidak diketahui-nya. Tentu saja kebanyakan prasangka itu meleset dari kenyataannya. Kerja pikiran itu bagaikan sebuah bola. Begitu digelindingkan bola itu ingin terus menggelinding. Baru berhenti jika menabrak tanjakan atau karena bergesekan dengan bidang yang dilewatinya. Pikiran juga begitu! Mula-mula bayi dilahirkan tidak dapat berpikir. Lalu, orang-orang di sekelilingnya mendorongnya, entah sengaja atau tidak, untuk berpikir. Nah, begitu pikiran bekerja sulit pikiran itu berhenti. Bahkan tatkala kita beristirahat pun pikiran tetap bekerja, yang menghasilkan ‘lamunan’. Ketika tidur pun pikiran bekerja, dan menghasilkan mimpi. Pikiran yang bekerja tanpa perintah ini bisa menganggu ketenangan manusianya. Sehingga ada orang yang tidak tenang hidupnya, selalu gelisah, disebut terlalu banyak pikiran. Bila semula pikiran dipahami sebagai ‘akal’, bila ia menjadi beban manusia pikiran telah menjadi negatif bagi kehidupan manusia. Berpikir, bermenung, berefleksi, berimajinasi, mempertimbangkan, menduga, dan memperhatikan adalah fungsi pikiran. Sedangkan berprasangka dan melamun bukanlah fungsi pikiran. Orang melamun karena pikirannya bekerja di luar kendali kehendaknya. Orang berprasangka karena perasaannya bekerja tanpa ditunjang dengan bukti. Bila kita diam atau sembahyang, dan kita tak pernah mendiamkan pikiran, maka pikiran itu akan berkelana ke mana-mana. Pikiran yang bekerja tanpa arah ini dapat mendorong orang untuk curiga, buruk sangka, iri, dengki, dendam, fanatisme, dan berbagai perbuatan negatif lainnya. Baik perasaan maupun pikiran yang bekerja tanpa kendali akan menjadi “setan”. Karena itu setan tidak pernah ada rupanya! Setan (Inggeris, satan) hanyalah atribut bagi perbuatan atau tindakan yang menjauhkan diri dari kebenaran. Agar tidak terperangkap setan, manusia harus berpikir. Berpikir adalah tindakan untuk menghubungkan berbagai objek untuk menemukan solusi atau jawaban bagi suatu masalah. Berpikir adalah usaha untuk memahami makna yang terkandung dalam suatu objek. Dan pada akhirnya, berpikir adalah upaya untuk menemukan kebenaran. Tanpa berpikir manusia tak akan menemukan jalan hidupnya! Tanpa berpikir agama menjadi tak berarti bagi kesejahteraan hidup manusia. Tanpa berpikir manusia akan tetap primitif dan tak akan menemukan kemanusiaannya. Jadi, wajar jika agama [Islam] memerintahkan manusia berpikir. Di atas telah dijelaskan bahwa pikiran itu bagaikan bola yang menggelinding. Bila menggelindingnya tanpa arah, tentu tak akan mengena sasarannya. Karena itu, berpikir harus dilatih. Harus ada pelatihan untuk kegiatan berpikir. Tanpa ada pelatihan pikiran akan melompat-lompat tak tentu arah. Imajinasi akan tumbuh menjadi takhyul. Dugaan akan tumbuh menjadi kecurigaan dan prasangka. Refleksi dan perhatian akan berwujud kecemburuan dan kedengkian. Manusia memang harus dilatih berpikir sebelum dapat dan terampil dalam berpikir. Dan ternyata berpikir itu sendiri bertingkat-tingkat. Dari tingkat berpikir yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Yang pertama adalah usaha untuk merekam atau mengingat objek-objek yang diketahuinya. Dengan kata lain, mengingat atau menghafal asma’ atau nama-nama benda [objek]. Pada tingkat ini kita baru pada tahap mengetahui nama, ciri dan fungsi dari suatu objek. Pelajaran di sekolah dari SD hingga SLTA adalah untuk memenuhi fungsi pikiran yang paling dasar tersebut. Karena itu, tekanannya pada hafalan! Mari kita perhatikan ayat berikut ini. 16: 10 Dia-lah yang menurunkan air dari langit untukmu. Sebagian untuk minumanmu, dan sebagian lainnya untuk kehidupan tumbuhan. Pada tumbuhan itu kamu gembalakan ternak. 16:11 Dengan air itu Dia tumbuhkan bagimu tanaman zaitun, kurma, anggur, dan berbagai macam buah-buahan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah ayat bagi orang-orang yang berpikir. Pada tahap dini ini manusia diajar untuk mengerti bahwa air hujan itu diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Manusia belum dituntut untuk memahami proses hujan itu sendiri. Manusia diberi tahu bahwa air hujan yang jatuh di bumi ini sebagian dijadikan minuman oleh manusia, sebagian lain diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Dan dari tanaman yang tumbuh itu, ada yang bisa dipakai untuk menggembalakan ternak. Ayat berikutnya menjelaskan bahwa dari air hujan tersebut Tuhan menumbuhkan berbagai buah-buahan. Dengan cara ini pikiran didorong dan dirangsang untuk bekerja secara sistematik. Otak kiri diaktifkan lebih dulu! Yang dibangun pada tahap dini ini adalah objektivitas. Manusia diajar untuk dapat melihat sesuatu apa adanya. Bahasa dasar yang berkembang pada manusia pada tahap ini adalah bahasa notasi. Sifatnya masih konkret! Yang disebut hanyalah yang dapat ditangkap oleh indra dalam ruang manusia berada. Cara ini didahulukan agar manusia tidak terjebak dalam alam takhyul. Pelajaran matematika pada tahap dasar adalah untuk melatih ketrampilan berpikir. Tahap kedua adalah berzikir! Tahap ini adalah menyalakan fungsi otak kanan yang sangat berperanan dalam mengendalikan emosi. Dengan didahului oleh pelatihan pikiran, maka manusia tidak terjebak dalam khayalan yang tanpa arah. Selanjutnya berzikir berfungsi untuk mengendalikan pikiran dan perasaan. Pikiran tidak berkeliaran lagi. Perasaan menjadi kalem, tenang, tidak agresif. Berzikir mendorong manusia untuk dapat menerima bahwa di alam ini hanya ada satu realitas puncak, hanya ada satu kebenaran. Berzikir itu melatih pikiran kita bekerja yang terarah dan terfokus. Sifat menerima dalam berzikir membuat perasaan tumbuh dengan tenang. Pengertian berzikir sudah diberikan pada awal pelajaran tasawuf. Agar tidak lupa, saya ulang di pelajaran ini. Kata zikir berasal dari kata ‘dzakara’ artinya mengingat, menghafal, atau menuangi. Tadi telah disebutkan bahwa berzikir mendorong untuk bisa menerima satu realitas puncak. Karena itu, dalam berzikir yang disebut-sebut adalah Sang Realitas Tertinggi itu, yaitu Tuhan. Atau, kalimat-kalimat yang diyakini berasal dari Tuhan. Dengan berzikir pikiran dan perasaan senantiasa dituangi atau diisi dengan asma Tuhan atau kata-kata suci. Rekaman-rekaman pikiran yang tidak bermanfaat secara perlahan-lahan dibuang, dan digantikan dengan kekuatan kata-kata suci. Hasil akhirnya adalah hati [tempat tumbuh dan berkembangnya perasaan] menjadi tenang, atau terpuaskan. Inilah yang disebut dalam Surat Al-Ra’d/13: 27 ? 28. 13: 27 Orang-orang kafir (orang yang ingkar) berkata: “Mengapa tidak diturun-kan kepadanya [Muhammad] mukjizat dari Tuhannya?” Katakan: “Allah niscaya menyesatkan orang yang menghendaki [kesesatan], dan Dia menunjukkan [jalan] kepada-Nya orang yang kembali, 13: 28 yaitu orang-orang yang beriman. Dan hati mereka menjadi tenang dengan berzikir kepada Allah. Perhatikan, hanya dengan berzikir Allah hati menjadi tenteram. Dua ayat di atas menunjukkan adanya dikotomi pada manusia. Yang satu disebut sebagai ‘orang kafir’ dan yang lain dinamakan ‘orang beriman’. Ayat di atas tergolong sebagai ayat yang diturunkan kepada Nabi di Madinah, dalam masa transisi hijrah ke Madinah. Dikotomi kafir dan iman menjadi fokus. Karena hijrah merupakan jalan bagi pembentukan komunitas baru, yaitu masyarakat madani. Pada tahap awal perkembangan Islam di Madinah ini, yang dimaksud ‘orang kafir’ yaitu orang-orang Qureisy yang mengingkari kenabian Muhammad. Jadi, bukan seperti anggapan kita sekarang ini, bahwa orang kafir adalah para non-muslim. Orang-orang kafir adalah orang-orang yang mengetahui siapa sebenarnya Muhammad itu, tetapi mereka mengingkari kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Mereka mengingkari kenabian Muhammad karena mereka beranggapan bahwa seorang nabi itu harus mampu menunjukkan mukjizat bendawi. Mereka berasumsi bahwa nabi itu tidak sama dengan manusia umumnya [lihat ayat di halaman depan]. Nabi haruslah manusia super dan penuh magis. Mereka tidak bisa menerima bahwa nabi itu juga makan, minum, berumah tangga, dan bekerja seperti manusia lainnya. Inilah pandangan yang tidak berdasar! Mereka tidak memikirkan kebenaran yang disampaikan kepada mereka. Tapi bagaimana bisa berpikir bila hatinya tidak damai? Pada tahap awal orang masih bisa berpikir dalam keadaan apa pun. Tentu saja yang bisa dilakukan adalah berpikir pada tingkat yang paling rendah. Orang yang terus gelisah, resah, gundah, merasa takut, bingung dan sejenisnya tak mampu berpikir lebih tinggi. Karena itu harus dilandasi dengan ‘zikir’. Dalam istilah sekarang, ‘berpikir dengan tenang’ atau kepala dingin. Untuk itu gejolak batin harus diredakan! Dengan hati yang tenteram, jalan ke depan akan terbuka lebar. Jalan menuju ke kebenaran tampak semakin jelas. Dan, orang yang berjuang untuk kembali kepada kebenaran itulah sebenarnya yang disebut “orang beriman” dalam ayat tersebut. Jadi, orang beriman bukanlah orang yang mengaku ‘beragama tertentu’. Jadi, iman bukanlah percaya pada “katanya”. Orang beriman adalah orang yang dapat menyaksikan kebenaran itu sendiri. Ingatlah kembali penjelasan tentang ‘ilmu l-yaqin, ‘ainu l-yaqin dan haqqu l-yaqin yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Tuhan pasti menunjukkan jalan yang benar bagi orang-orang yang mau kembali kepada-Nya. Where there is a will there is a way, begitulah pepatah orang Inggeris. Di mana ada kemauan di situ ada jalan. Kemauan harus ditopang dengan langkah-langkah yang benar untuk mencapainya. Kemauan harus didukung dengan batin yang tenang. Dengan cara demikian pintu ke kebenaran semakin terbuka. Tapi sayang, kebanyakan manusia [khususnya orang Islam] mandek sampai pada tahap zikir. Baru pada kelas dua sudah ‘drop out’, berhenti meningkatkan diri. Kebanyakan manusia sudah puas dengan berpikir kelas SD dan SLTP. Setelah tercapai hati yang tenang, tidak tahu lagi kemana akan melangkah. Atau, tidak mau lagi untuk melanjutkan perjalanan spiritualnya. Ayat 13:28 ini sudah dijadikan pamungkas dalam hidup. Dan ini bisa kita dengarkan dalam mimbar subuh di radio-radio, dan dapat kita lihat dalam mimbar agama di tv-tv setiap hari. Demikianlah uraian zuhud tentang berpikir kali ini. Penjelasan ‘berpikir tahap lanjutan akan diberikan, insya Allah, pada bagian ke-16. Dan untuk tip pada pelajaran kali ini, mari kita berzikir dengan cermat dan waspada. Pertama, duduklah yang relaks dengan punggung tegak lurus. Kedua, pejamkan mata secara ringan [asal tertutup], dan katupkan mulut. Ketiga, tariklah napas pelan-pelan dengan mengucapkan [dalam hati] kalimat suci “la ilaha illa l-lah” [tiada tuhan selain Allah]. Tahan sebentar napas Anda, kemudian hembuskan perlahan-lahan sampai habis dengan disertai pengucapan [dalam hati] kalimat suci itu lagi. Lakukan selama lima menit saja untuk melatih zikir ini. Bagian ke-16 Lanj. Zuhud] Zuhud adalah tahap tajalli. Manusia dicipta untuk bisa mengekspresikan dan mengaktualisasikan sebagai manusia yang berkemanusiaan. Tetapi sejarah manusia tidak linear, tidak berjalan mengikuti garis lurus. Sejarah manusia berjalan melompat-lompat, sehingga ada yang tetap di tempat dan ada yang maju. Ada pula yang berjalan lambat sekali! Bahkan kebanyakan manusia ini terseret arus. Namanya saja terseret; jangan dikata bisa ada di depan. Islam yang dibangun oleh Nabi sebagai kehidupan yang beretika sosial dan individual dengan semangat demokrasi modern, akhirnya menjadi agama yang penuh kejumudan, kekakuan, kebekuan, atau kebodohan. Takhyul lama [pra-Islam] dibuang, tetapi didatangkan takhyul baru berlimpahlimpah masuk ke dalam umat Islam. Takhyul baru ini malah dibungkus dengan hadis-hadis atau ayatayat Al Quran. Dengan takhyul baru ini sebagian besar umat menjadi terbelenggu. Lebih-lebih takhyul ini diajarkan dan diwariskan dengan bingkai dogmatik. Agama yang penuh pencerahan ini akhirnya menjadi agama primitif yang penuh momok. Bahkan di dalam tasawuf pun tak lepas dari takhyul-takhyul baru. Namun, saya tetap menggunakan tasawuf sebagai sarana untuk membangun umat, karena warna takhyul itu tampak jelas dalam dunia tasawuf daripada dalam dunia komunitas islam lainnya. Mengapa demikian? Karena tasawuf ada di titik pusat lingkaran agama. Takhyul perlu dikupas dalam pembahasan zuhud ini. Karena di dalam zuhud ada hijrah dan jihad pemikiran. Dalam hijrah pemikiran, kita tinggalkan pola-pola pikiran lama yang membelenggu langkah kemajuan manusia. Jika hijrah pemikiran berarti mematahkan belenggunya, maka dalam jihad pemikiran kita cari jalan baru ke depan, jalan yang lempang, jalan yang bisa dilalui hingga samai di maqam Ilahi. Takhyul adalah keyakinan kosong! Takhyul adalah kepercayaan kepada yang tidak ada [bukan gaib lho!]. Believe to unreal thing! Pada mulanya semua agama tauhid didirikan di atas landasan yang nyata, yang riil, on the real thing. Kemudian dalam perjalanannya, komunitas agama itu menjumpai kejadian dan peristiwa yang ada di luar paradigma agama itu. Maka pengikutnya mulai menerima takhyul dari luar atau malah mengembangkan takhyul itu sendiri dalam agamanya. Contoh konkret, “meniti suatu jembatan” seperti rambut dibelah tujuh [tajamnya] adalah kepercayaan yang sudah ada di persia beberapa abad sebelum masehi. Tak urung, kepercayaan ini merembet ke dalam agama Islam, dan dibingkai dengan hadis-hadis, dan disahihkan pula. Baru satu contoh! Kalau kita rajin membaca ajaran-ajaran “mithras, mani, mitologi Yunani, saman dan pengetahuan kuno di wilayah India ribuan tahun sebelum masehi”, wah banyak yang masuk menjadi bagian-bagian hadis. Takhyul ini pun menjadi bagian dari pendidikan agama Islam. Bagaimana kita telah dididik takut sama “momok” sejak kecil. Bagaimana kita dididik untuk dapat mengakui seseorang sebagai ‘wali’ tanpa dididik untuk memahami apa yang dimaksud ‘wali’ dalam Al Quran. Bagaimana ‘jamaahjamaah’ tertentu dalam Islam melakukan indoktrinasi atau pembaiatan yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad itu sendiri. Orang-orang direkrut masuk jamaah dan diwajibkan meyakini bahwa pimpinan jamaah-nya orang mursyid, sudah dibaiat dari guru ke guru hingga Nabi Muhammad Saw. Lalu, anggota jamaahnya disebut ‘telah beriman’, sedangkan yang di luar kelompok [out-group]-nya disebut ‘kafir’. Lhah, ajaran yang seperti ini membuat orang-orang Islam mandek, alias jumud. Bagaimana tidak jumud? Wong jamaah-jamaah tadi mengajarkan yang tidak benar. Misalnya, keadaan sekarang ini disebut zaman ‘jahiliah’ sehingga pencarian dana dengan jalan yang haram dibenarkan. Ada yang menerima ‘rezeki haram’ dihalalkan asal tidak digunakan untuk makan. Katanya, kalau dimakan harus berasal dari yang betul-betul halal, sedangkan yang untuk kebutuhan duniawi boleh menggunakan uang haram hasil korupsi, komisi, suap dll. Ini sih, bukan jihad pemikiran tetapi mundur! Islam tidak membuat dikotomi dunia dan akhirat. Islam mengingatkan, janganlah kita ini terlalu kuat keduniaannya tetapi lupa akhiratnya. Terjerat kepentingan sesaat tetapi lupa kebutuhan jangka panjang. Terjebak kehidupan sekarang, tetapi lupa masa depan! Hal-hal semacam inilah yang diingatkan dalam Al Quran tentang pemahaman dunia dan akhirat. Jadi, bukan dikotomi yang konkret dengan yang abstrak. Nah, marilah meniti kembali ke jalan yang benar, ke pemikiran yang benar! Yang pertama, kita tinggalkan takhyul. Yang kedua, mari berpikir berlandaskan hal-hal yang nyata dulu. Yang ketiga, kita landasi dengan emosi yang kokoh ?dengan berzikir? agar kita tidak terombang-ambing dalam kehidupan ini. Agar kita bisa hidup tenang dalam menghadapi badai dalam kehidupan ini. Agar kita tidak kebablasan sehingga tercipta takhyul yang baru. Nah, dari ketiga tahap jihad pemikiran ini, yang dua sudah dibabar dalam pelajaran yang lalu. Sedangkan meninggalkan takhyul pada pelajaran yang lalu tertinggal. Mari kita simak ayat-ayat tentang ketakhayulan ini. 10:36 Dan kebanyakan mereka mengikuti ‘zhan’ [prasangka] saja. Sesungguhnya prasangka itu tidak dapat mengantarkan kepada kebenaran sedikit pun. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentang perbuatan mereka. 53:28 Dan mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu [malaikat]. Sesungguhnya mereka itu hanya mengikuti prasangka. Padahal, prasangka [zhan] itu tidak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran. 6:116 Dan jika menuruti sebagian besar orang di bumi, niscaya mereka menyesatkan engkau [Muhammad] dari jalan Allah. Mereka hanyalah memperturutkan prasangka dan tak lain yang mereka perbuat adalah kebohongan semata. 6:148 Orang-orang yang menyekutukan Tuhan berkata: “Jika Allah meng-hendaki niscaya kami dan nenek moyang kami tidak menyekutukan Tuhan, dan kami tidak mengharamkan sesuatu pun. Demikianlah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan para utusan Tuhan hingga mereka tertimpa azab Kami. Katakan: “Apakah kamu mempunyai pengetahuan [tentang tauhid] lalu kamu keluarkan hal itu untuk kami. Kamu hanya mengikuti prasangka dan dusta!” Nah, mari kita telaah dengan jernih ayat-ayat tersebut! Yang pertama ditegaskan bahwa sebagian besar manusia itu hanya menuruti prasangka atau ‘zhan’. Kata zhan menunjukkan suatu klaim tanpa bukti. Ayat 6:148 lebih jelas lagi kata zhan dipasangkan dengan kebohongan atau dusta. Bohong berarti tidak mengungkapkan yang sebenarnya! Bohong juga berarti menyembunyikan kebenaran. Ayat pertama menyebutkan bahwa prasangka itu tidak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran. Bagaimana bisa sampai kepada kebenaran bila landasannya adalah hal yang tidak benar atau tidak nyata. Di zaman mitologi kebenaran memang belum menjadi tolok ukur, yang penting tujuannya benar. Dan, hal ini diwariskan dari nenek-moyang kepada generasi ke generasi berikutnya. Tetapi setelah pemikiran berkembang, tujuan yang benar harus dilandasi oleh hal-hal yang benar! Kalau manusia ingin bisa terbang ke angkasa, ya jangan bermimpi punya sayap. Nanti menjadi takhyul. Manusia harus berpikir bagaimana membuat wahana yang bisa terbang, dengan mempelajari objektivitas pada burung. Manusia juga tidak perlu membangun energi bagi dirinya untuk bisa terbang seperti di dalam cerita atau dalam film-film. Apakah hal itu tidak bisa diusahakan? Tentu saja bisa! Praktik debus, melompati rumah, merayap di dinding, bisa dilatih dengan olah batin yang dalam. Tetapi energi yang seharusnya digunakan untuk membekali dirinya dalam perjalanan hidup ini hanyalah dibuang untuk pertunjukan atau ‘show’. Manusia harus belajar pada hal-hal yang nyata yang telah digelar Tuhan di alam ini. Bukan berpijak pada mitos dan ‘fancy’ atau takhyul. Dulu boleh, ketika manusia berada di tahap dinamisme, yaitu ketika alam pikiran manusia belum berkembang. Bumi terus berputar, dan mengelilingi matahari. Populasi manusia telah ratusan kali banyaknya bila dibandingkan dengan ketika agama-agama besar muncul. Macam dan jenis rangsangan yang mempengaruhi hidup manusia semakin banyak dan semakin berbeda. Persoalan yang dihadapi manusia semakin kompleks. Ketika saya di SD belum ada teve di kampung saya, sehingga sehabis maghrib anak-anak SD bisa belajar dengan nyaman [meskipun pakai lampu minyak, bukan listrik]. Dalam alam yang demikian, momok, hantu, sundel bolong [kuntil anak], jurig, wewe gombel, gendruwo, takhyul, dan berbagai cerita tentang makhluk jadian berkembang pesat. Sebenarnya takhyul harus sudah dibuang di tahap takhalli, tahap pengosongan dari berbagai sifat tercela. Tetapi, membebaskan diri dari belenggu takhyul tidak semudah meninggalkan perilaku yang tercela. Contoh yang paling konkret, 1400 tahun yang lalu, Nabi membebaskan takhyul masyarakat Arab yang berupa 360 patung berhala di sekitar Ka’bah. Tetapi sampai hari ini pun tak terhitung banyaknya orang yang menjadikan Ka’bah sebagai pengganti patung berhala. Mengapa bisa terjadi demikian? Karena pikiran tauhid belum tumbuh baik di kalangan umat. Membebaskan takhyul memerlukan peningkatan kesadaran. Sadar itu memahami relasi atau hubungan antara objek dengan subjeknya. Mampu mengidentifikasi objek-objek yang ada di sekitar dirinya. Agar tidak terjadi ketakhyulan, kita harus melihat objek secara konkret dulu, sesuatu yang riil yang diketahui melalui pengalaman secara langsung. Ini adalah tataran terendah dalam berpikir. Dari pengalaman ini, dapat ditarik suatu kesimpulan, dan lahirlah pengetahuan dan teori. Pengetahuan dibentuk dari kata “pe+ke+tahu+an” --> pe + ketahuan. Ketahuan adalah hal-hal yang diketahui [dipersepsi oleh indera]. Karena itu tingkat keimanan atau keyakinan yang paling rendah adalah keyakinan berdasarkan pengetahuan [ilmu] dan disebut ‘ilmu l-yaqin. Sedangkan bagi yang mengalaminya sendiri berada di tahap ‘ainu l-yaqin. Lha, kalau kita sudah memahami, mengerti apa yang kita alami itu, namanya haqqu l-yaqin. Begitulah tahapan keyakinan dalam Islam. Jadi, bukan keyakinan yang hanya didasarkan pada kepercayaan semata-mata. Kebanyakan manusia yang hidup di bumi ini hidup berdasarkan prasangka. Ini sangat berbahaya! Kebanyakan orang hidup berdasarkan prasangka ras, etnis, agama, dan golongan. Ras atau etnis A merasa lebih unggul daripada ras/etnis lainnya. Orang yang beragama A menganggap dirinya yang masuk surga, dan orang yang beragama lain disebut masih kafir dan masuk neraka. Semua ini hasil prasangka, bukan karena telah mengetahui sendiri. Orang yang hidupnya terbelenggu prasangka mudah disulut atau diprovokasi. Karena itu prasangka dikatakan dalam kitab suci sebagai hal yang tak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan bahwa banyak manusia Indonesia yang hidupnya di atas altar prasangka. Agar tidak terjerumus ke dalam prasangka, maka kitab-kitab suci itu harus ditelaah, dipelajari, dan bukan dibaca untuk mendapatkan pahala. Kerdil betul pikiran kita, bila kita percaya membaca satu huruf sudah berpahala. Ayat 6:116 menyebutkan bahwa sebagian besar manusia itu mengikuti prasangka atau zhan. Lho, ayat ini ngawur atau sesuai fakta? Berdasarkan penemuan-penemuan, hanya 4 ? 5 % otak manusia digunakan. Dan, orang jenius hanya menggunakan 5 ? 6 persen saja dari kapasitas otaknya. Hanya sekitar 5% dari populasi manusia yang menggunakan pikirannya dalam kehidupan sehari-hari. Lha, yang 95% bagaimana? Hidup hanya memenuhi rutinitas pekerjaan. Artinya, tanpa mikir lagi! Coba kita perhatikan hidup kita sendiri! Dalam sehari kita hidup selama dua-puluh empat jam atau 1.440 menit. Jika 5% dari hidup ini kita gunakan untuk berpikir, artinya tujuh-puluh dua menit atau 1,2 jam dalam sehari kita berpikir! Apa iya? Ternyata sebagian besar waktu dalam hidup ini kita gunakan sebagai pengganti mesin. Kita kerja mengikuti prosedur yang sudah ada, tanpa mikir lagi. Jadi, wajar bila ada ungkapan ?yang menurut sebagian ulama, bukan ungkapan tetapi hadis?berpikir satu jam nilainya lebih besar dari sembahyang 1000 rakaat [dalam teks lainnya disebut beribadah enam-puluh tahun]. Wajar juga, jika kemauan sebagian besar manusia ini dituruti, hidup bisa tersesat. Bagaimana tidak tersesat, wong kebanyakan pandangan itu hasil prasangka! Hanya warisan dari generasi ke generasi. Hal ini khususnya terjadi di masa ‘iptek’ belum berkembang, atau di masyarakat yang sedang berkembang. Di masyarakat yang sedang berkembang, banyak hal yang direkayasa. Artinya sesuatu dibuat bukan berdasarkan hal-hal yang konkret. Sesuatu dibuat hanya berdasar akal-akalan pikiran. Partai dan organisasi dibuat bukan berlandaskan kenyataan dan untuk kesejahteraan anggotanya. Tetapi, untuk memenuhi kepentingan pribadi pengurus atau panitianya. Demi ambisi jajaran pimpinannya. Lalu bagaimana mungkin bisa mencapai keberhasilan, wong pendiriannya hasil prasangka dan rekayasa. Nah, sudah waktunya kita memberdayakan pikiran kita. Kita tingkatkan kapasitas penggunaan otak kita! Bukan 4-5 % tetapi 5-6%. Jika semula pikiran kita gunakan untuk mengingat asma, atau namanama objek dengan segala ciri dan fungsinya; maka kita tingkatkan penggunaan pikiran ini untuk memperhatikan relasi-relasi di antara objek-objek yang ada. Kita gunakan pikiran untuk memahami kaitan objek dengan ruang dan waktu. Di sini kisah dan sejarah manusia menjadi perlu! Kita lakukan studi perbandingan [komparatif]. Akhirnya kita bisa memperoleh sebuah kesimpulan yang sangat berguna bagi kesejahteraan manusia. Inilah tahap ‘penalaran’, tahapan berpikir lebih lanjut, setelah kita terlatih dalam berzikir! Marilah kita perhatikan 4 ayat dalam Surat Al Ghasyiyah [Kejadian yang dahsyat] yaitu ayat 17 s/d 20 berikut ini. 88:17 Apakah mereka itu tidak menggunakan nalar mereka bagaimana unta itu diciptakan? 88:18 Dan bagaimana langit ditinggikan? 88:19 Dan bagaimana gunung-gunung ditegakkan? 88:20 Dan bagaimana bumi dibentangkan? Kata ‘nazhara’ tidak cukup diartikan memperhatikan. Ia mengandung makna penyelidikan, pendataan dan pengamatan terhadap suatu objek. Dalam penalaran ini objek kita kupas dan kita bedah. Kita bukan cuma melihat. Tetapi kita lakukan langkah-langkah untuk mendapatkan informasi tentang objek yang kita perhatikan. Kita tidak lagi percaya bahwa hewan diciptakan berdasarkan “sim sala bim”. Kalau ciptaan itu bersifat “sim sala bim”, perintah tersebut di atas tak pernah ada! Jika semula ada kepercayaan bahwa bumi itu datar, maka manusia diperintahkan untuk mempelajarinya, apakah betul kepercayaan itu. Manusia harus mempelajari bagaimana bumi ini kok bisa dihuni, bagaimana riwayatnya, dan lain-lain. Untuk apa itu semua? Ya, untuk kesejahteraan manusia itu sendiri! Mengapa tidak Tuhan saja yang membuat kitab ilmu pengetahuan itu lalu diserahkan kepada manusia? Bukankah Tuhan itu Maha Kuasa? Bukankah dengan adanya kitab suci ‘IPTEK’, manusia tinggal mengikuti instruksi dan proses yang dibabar di dalamnya, dan tidak perlu berprasangka? Nah, kita mulai menaiki tangga untuk mengenal Tuhan, siapa sesungguhnya Dia. Kita akhirnya mengerti mengapa perjalanan hidup ini berujung kepada pernyataan “kembali kepada Allah”. Tetapi untuk dapat kembali ke Dia, kita harus berpikir! Perhatikan kembali ayat 6:148 di atas. Allah menolak pernyataan orang-orang musyrik “Jika Allah menghendaki niscaya kami dan nenek-moyang kami tidak menyekutukan Tuhan”. Pernyataan ini disebut tidak berdasarkan pengetahuan! Ini hanyalah pernyataan yang diwarisi dari nenek-moyang yang belum berkembang alam pikirannya. Ini adalah pernyataan yang berdiri di atas prasangka, sesuatu yang tanpa bukti nyata. Sebenarnya pernyataan ini pun ditujukan kepada kita yang tidak musyrik, jika kita masih bersikap seperti orang musyrik, kita berkutat pada masalah “kehendakmenghendaki”. Sehingga banyak di kalangan umat ini yang meyakini bahwa “sesat atau mendapat petunjuk” itu atas kehendak Tuhan. Dan itulah yang dari awal kajian ini saya tegaskan bahwa Allah memberi petunjuk kepada atau menyesatkan manusia yang menghendakinya [petunjuk atau kesesatan]. Dan, ternyata petunjuk itu harus diperoleh memalui usaha yang dilandasi pemikiran yang benar, yang berdiri di atas fakta-fakta dan bukti nyata. Karena itu sejak awal perkembangan agama Islam, Tuhan memerintah manusia untuk berpikir dengan memperhatikan penciptaan unta, penegakan langit, gunung, dan pembentangan bumi. Untuk menutup pelajaran tasawuf hari ini, perlu saya mengingatkan kembali bahwa “Tuhan bukanlah manusia yang maha pandai atau maha kuasa”. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Penciptaan alam ini merupakan ‘tajalli’ atau manifestasi Tuhan dalam ruang dan waktu. Jika ‘ruh’-Nya ditiupkan kepada manusia, itu dimaksudkan agar ruh itu bisa kembali kepadaNya melalui rentangan waktu yang panjang. Untuk itu manusia dilengkapi dengan ‘al-qalam’, suatu alat untuk mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Tuhan bertajalli dan manusia pun akhirnya harus bertajalli. Di situlah kedua tajalli bertemu, manusia telah bertemu dengan Tuhannya. Hal inilah yang di dalam ajaran tasawuf disebut “wihdatu l-wujud” atau dalam khazanah ajaran Jawa disebut “Manung-galing kawula klawan Gusti”, bersatunya hamba dengan Tuhan. “Inna li l-lahi wa inna ilaihi raji-‘un”, sesungguhnya kita ini berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Nah, dalam bingkai ruang dan waktu ini manusia telah dibekali daya dan kekuatan untuk kembali kepada-Nya, yaitu dengan kehendak untuk kembali, bukan menunggu kehendak Tuhan. Kita bukanlah orang musyrik, jadi tak ada ruang untuk “jika Tuhan menghendaki diriku” [demi kepentinganku]. Bag. Ke-17 [Lanj. Zuhud] “La ilaha illa l-lah”, tidak ada tuhan selain Allah. Inilah konsep pokok yang diajarkan oleh Muhammad Saw. Yang pertama adalah negasi, yaitu ‘tidak ada tuhan’, tidak ada yang menjadi tujuan akhir. Negasi ini penting sekali dalam perjalanan hidup ini. Tanpa negasi, manusia akan terbelenggu oleh berbagai ilah, atau tuhan-tuhan yang sudah menjadi kepercayaan masyarakat. Selanjutnya, harus dilakukan ‘peneguhan’ atau konfirmasi, bahwa tujuan manusia adalah Allah. Tidak mungkin hidup tanpa tujuan! Dan satu-satunya tujuan adalah “Yang Maha Benar”, yaitu Allah. Yang Maha Benar tentunya cuma satu. Dia-lah Allah atau Tuhan [tuhan dengan ‘T’ besar dalam ejaan bahasa Indonesia]. Dalam berpikir pun harus didahului oleh ‘negasi’, agar kita dapat menemukan yang benar. Yaitu, kita harus berpikir yang bebas dari takhyul. Bila hidup kita masih terbelenggu takhyul maka kita tak akan dapat menemukan kebenaran. Nah, dari tahapan berpikir, pada pelajaran zuhud yang terakhir, kita sudah sampai ditangga ‘penalaran’. Dan setiap kali kita menapaki tangga ini harus berpegangan pada ‘zikir kepada Allah’ atau dzikru l-lah. Jadi, berpikir dan berzikir itu seperti ‘tangga’. Anak tangganya adalah berpikir, dan ibu tangganya yang menjadi pegangan ketika menaiki anak tangga adalah berzikir. Ini penting sekali diperhatikan! Sebab, setiap kali kita menggunakan pikiran, bisikan takhyul itu datang. Lho, dari mana takhyul itu datang jika kita berpegang teguh pada asas pikiran? Tentu saja dari dorongan emosi kita, dari batin kita, yang disebut “hawa” dalam bahasa Arab, dan diindonesiakan menjadi ‘hawa nafsu’. Hawa nafsu adalah dorongan batin yang sangat kuat untuk bertindak tanpa dilandasi pikiran. Sedangkan ‘nafsu’ adalah dorongan untuk meredakan ketegangan dalam diri. Hal ini penting untuk diketahui agar kita bisa memahami arti masing-masing. HS [sexual intercourse] adalah nafsu. Tetapi jika tindakan HS itu tanpa dilandasi kebenaran [just do it], maka tindakan HS tersebut berarti hanya untuk memenuhi hawa nafsu. Salah satu makna ‘hawa’ adalah jatuh. Maka orang yang memenuhi hawa nafsunya berarti mendorong jatuh dirinya. Banyak orang yang berbuat dengan memperturutkan hawa nafsunya. Dan hal ini di dalam Al Quran disebut perbuatan syirik atau musyrik [orangnya]. Nah, mari kita perhatikan ayat-ayat yang berkaitan dengan hawa nafsu [baik ayat utuh maupun hanya bagian ayat yang dikutip]. 4:135 Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi syuhada’-nya meskipun terhadap dirimu sendiri, ibu-bapakmu, atau kerabatmu; baik ia kaya atau miskin. Allah lebih [mempunyai hak] atas mereka. Maka janganlah mengikuti hawa nafsu sehingga kamu berlaku tidak adil. 38:26 “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan engkau khalifah di bumi. Maka berikan keputusan yang benar di antara manusia, dan jangan engkau mengikuti hawa nafsu; karena hawa nafsu itu menyesatkan engkau dari jalan Allah. Barangsiapa yang menyimpang dari jalan Allah niscaya akan tertimpa azab yang keras. Mereka sesungguhnya telah melupakan hari perhitungan.” 7:175 Dan bacakan kepada mereka tentang orang-orang yang telah Kami berikan kepadanya ayatayat Kami. Lalu, mereka menarik diri dari [ayat] itu. Kemudian, setan mengikutinya sehingga ia tersesat. 7:176 Dan bila Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan dia dengan [ayat] itu. Tetapi, dia ingin menetap di bumi, dan memperturutkan hawa nafsunya. Perumpamaannya bagaikan anjing, engkau halau atau biar-kan, tetap menjulurkan lidahnya. Inilah perumpamaan orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sampaikan kisah ini untuk mendorong mereka mau berpikir. 18:28 ... Dan jangan engkau mengikuti orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari berzikir kepada Kami, dan dia [cuma] mengikuti hawa nafsunya, dan selalu melampaui batas dalam urusannya. 18:29 Kemudian katakan, “Kebenaran itu dari Tuhanmu! Barangssiapa yang menghendaki keimanan maka hendaklah dia beriman, dan barangsiapa yang menghendaki kekafiran maka hendaklah dia kafir. .... 28:50 ... Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak mem-berikan petunjuk kepada orang-orang zalim. 25:43 Tahukah engkau orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Akah engkau [Muhammad] sebagai pelindungnya? 45:23 Adakah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkan sesat berdasarkan ilmu? Dan Dia menutup pendengaran dan hatinya, dan menjadikan sebuah tutup bagi penglihatan [abshar]-nya. Selain Allah, siapakah yang menunjuki-nya? Mengapa kamu tidak bertazakur? Nah, ada sembilan ayat tentang peranan hawa nafsu yang akan dikupas dan diulas dalam pelajaran hari ini. Pertama, orang-orang beriman diperintah Tuhan untuk menegakkan keadilan. Adil, baik terhadap ibu-bapak maupun kerabat! Perhatikan kaitan antara keimanan dan keadilan. Itulah sebabnya dari awal pelajaran ini ditegaskan bahwa keimanan bukanlah semata-mata ‘kepercayaan’. Orang beriman harus berusaha hidup adil, termasuk kepada orangtua dan kerabatnya. Adil dalam kehidupan nyata yang disebut sebagai syuhada’ Allah. Sengaja kata syuhada’ tidak saya terjemahkan. Karena syuhada’ adalah orang yang menyaksikan dan disaksikan Allah. Menyaksikan Allah berarti menyaksikan kebenaran itu sendiri. Disaksikan oleh Allah berarti disaksikan oleh Yang Maha Benar, karena itu adil terhadap siapa pun [yang kita cintai dan kita benci]. Inilah salah satu unsur pokok orang yang beriman! Kedua, keadilan dipertentangkan dengan hawa nafsu. Orang yang mengikuti hawa nafsunya akan bertindak atau berbuat tidak adil. Mengapa demikian? Karena adil itu bersifat ‘fair’, bersikap seimbang dan proporsional terhadap semua orang. Adil itu tidak berat sebelah! Adil tidak berpihak kepada seseorang karena hubungan kekerabatan atau kekayaannya. Dan untuk dapat berlaku adil manusia harus mampu menimbang dengan benar. Untuk itu diperlukan pikiran! Sering kita mendengarkan kalimat “kita harus menggunakan akal sehat” atau “menurut akal sehat” dan lain sebagainya. Kalau kita perhatikan kalimat tersebut, ada pengertian bahwa ada ‘akal yang tidak sehat’. Yang benar adalah akal selalu sehat. Akal adalah representasi Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan adalah Akal Yang Maha Agung! Karena itu Tuhan bersifat Maha Mengetahui. Orang yang bodoh, orang yang tidak mampu menimbang sesuatu dengan benar, tidak berarti akalnya tidak sehat atau sakit. Ia adalah orang yang tidak mampu menggunakan akalnya. Karena itu orang harus dilatih menggunakan akalnya. Ia harus diajari bagaimana mengasah pikirannya. Pikiran yang diasah dengan benar akan menjadi tajam, mudah tanggap terhadap sesuatu. Lalu, pikiran yang tajam itu harus digunakan dengan benar, sehingga bisa memberikan solusi yang tepat dalam kehidupan ini. Ketiga, berdasarkan ayat 38:26 suatu keputusan yang benar adalah keputusan yang tidak timbul dari hawa nafsu. Artinya, keputusan akan benar bila dilandasi dengan pemikiran yang benar. Hawa nafsu akan menyesatkan manusia dari jalan yang benar, yaitu jalan Allah. Hawa nafsu adalah tindakan tanpa pikiran. Yang penting keinginan terpenuhi tanpa peduli cara dan akibatnya. Karena itu hawa nafsu menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Ia membawa manusia ke jalan yang salah! Nah, setelah memahami ketiga uraian di atas, sampailah kita pada kesimpulan bahwa prasangka, takhyul, hawa nafsu, dan setan, sesungguhnya adalah wajah-wajah dari ‘thaghut’, yaitu sikap yang melampaui batas! Semuanya adalah sisi-sisi dari thaghut yang sama. Mengikuti hawa nafsu juga disebut sebagai ‘mengikuti setan’. Dan pada ayat 38:26 tersebut dikatakan bahwa orang yang mengikuti hawa nafsu adalah orang yang melupakan hari perhitungan, melupakan konsekuensi perbuatannya. Orang itu lupa bahwa setiap perbuatan itu ada akibatnya! Dikiranya suatu perbuatan itu tak ada bekas-nya dalam perjalanan hidup ini. Kembali kepada langkah-langkah dalam berpikir. Pertama, harus kita tinggalkan prasangka [syak]. Kedua, harus kita bebaskan dari takhyul. Lalu, kita bingkai dengan sabar dan zikir. Agar proses melihat, mendengar, dan mengingat itu bekerja dengan jernih. Sebab kegugupan, keraguan, dan ilusi akan mempengaruhi persepsi kita pada kenyataan yang kita indrawi itu. Ketiga, kita lakukan penalaran, reasoning. Jangan emosi, atau hanya mengikuti hawa nafsu. Penalaran adalah upaya memahami sebab-akibat pada objek yang menjadi perhatian kita. Kita perhatikan relasi antara objek- objek yang ada di sekitar kita ini. Kemudian, penalaran itu kita bingkai dengan tazakur, yaitu perenungan dan penjernihan pikiran. Lho, apa bisa orang awam diajak berpikir? Tentu saja bisa! Yang penting setiap orang harus dirangsang dan didorong untuk menggunakan pikirannya sesuai dengan kapasitas otaknya atau kapabilitasnya. Seseorang tak perlu dibebani melebihi takaran kemampuannya. Dan, yang paling pokok adalah umat harus dibebaskan dari belenggu prasangka, takhyul, dan hawa nafsu. Inilah modal dasar umat untuk berpikir! Dengan bebas dari ‘pth’ umat bisa dituntun untuk melihat kebenaran. Dengan modal dasar itu umat bisa dibawa maju, tidak jumud [mandek]. Dengan cara berpikir yang benar, kesadaran bisa ditingkatkan. Perlu diperhatikan kembali bahwa tingginya pengetahuan yang dicapai seseorang tak ada kaitannya dengan kesadaran. Karena pengetahuan didapat dari luar, sedangkan kesadaran diperoleh dari dalam diri seseorang itu sendiri. Kesadaran berkaitan dengan keimanan. Sedangkan pengetahuan adalah tahap awal bagi keimanan. Jadi, setinggi-tingginya pengetahuan tidaklah sama dengan ‘ain atau telah mengalami sendiri. Tetapi pengetahuan yang tinggi disertai pengalaman mengantarkan seseorang naik ke tahap ‘haqq al-yaqin’. Apa artinya “pengetahuan yang tinggi + pengalaman” => keyakinan yang haq? Saya tak perlu membuat definisinya. Tetapi Anda bisa memahami bagaimana sekiranya anak kecil mengalami sesuatu tanpa pengetahuan atau orang yang berpengetahuan tanpa pengalaman. Anak kecil tidak mengerti apa yang dialaminya. Berpengetahuan tanpa pengalaman berarti tak ada penghayatan kebenaran. Kita memiliki pengetahuan tentang rasa daging, tetapi tanpa mengecapnya, bagaimana kita mengetahui kebenaran rasa daging itu sendiri? Kita memiliki pengetahuan tentang khusyu’, tetapi kita tidak pernah mengalami khusyu’, bagaimana kita bisa mengerti kebenaran khusyu’? Sekarang marilah kita perhatikan ayat 7:175-176. Apa saja yang ada yang bisa kita tangkap dengan indera adalah ayat-ayat Tuhan. Ayat-ayat yang kasat mata adalah pijakan bagi ayat-ayat kitabiyah. Tanpa mengerti ayat-ayat kauniyah [kasat mata] sulit untuk dapat mengerti kandungan ayat-ayat kitabiyah. Jika kita tidak menghayati arti sebuah kemiskinan atau kekalahan, bagaimana kita bisa menegakkan keadilan? Bila kita tidak mengerti hukum Tuhan yang digelar di alam ini bagaimana kita bisa memutuskan kebenaran? Jika kita tidak mengerti makna sebuah perjanjian, bagaimana kita dapat menghormati kerja sama? Memahami ayat-ayat Tuhan, baik yang kauniyah maupun yang kitabiyah, adalah tangga untuk dapat kembali kepada Tuhan. Jika seseorang memperturutkan hawa nafsu, tak peduli terhadap lingkungannya, maka setanlah yang mengikuti tingkah lakunya. Dan selanjutnya, setanlah yang ada di depan menuntunnya. Jika setan yang menuntun, ya akan keluar dari jalur yang benar. Apabila seseorang memalingkan diri dari kebenarn, maka setanlah yang mengikutinya. Lalu setannya siapa? Ya dirinya sendiri yang terjebak ‘pth’ dalam hidup ini. Jadi, jangan cari-cari bentuknya setan! Lalu, ayat 176 menyebutkan bahwa Tuhan menghendaki derajat yang tinggi bagi hamba-Nya yang tidak mau melekat [menetap] di bumi! Untuk dapat memahami arti “melekat (menetap) di bumi” memerlukan penalaran dan perenungan. Apa artinya “tetapi ia ingin menetap di atau cenderung kepada bumi”, wa lakinnahu akhlada ila l-ardhi? Tanpa menggunakan pikiran, kita tak bisa memahami ayat ini. Yang jelas, Tuhan tidak meninggikan derajat atau kedudukan orang yang cenderung kepada bumi atau dunia. Tentu ini pun bukan bermakna harfiah, dalam arti naik pangkat, menjadi kaya materi dan lain-lain. Tetapi ini bermakna batiniah, seperti jiwanya tercerahkan, dirinya terbebas dari jeratan materi atau kesementaraan. Kalimat ingin menetap di bumi atau cenderung kepada dunia disambung dengan mengikuti hawa nafsu, artinya lebih memilih kehidupan sementara, atau kehidupan jangka pendek, ketimbang kehidupan jangka panjang atau kehidupan di masa depan! Orang yang lebih mementingkan kehidupan dunia atau jangka pendek in bagaikan anjing, dihalau atau dibiarkan lidahnya tetap terjulur. Artinya, diberi pelajaran atau tidak, sama saja. Pelajaran atau peringatan tak akan mengubah sikap hidupnya. Ayat ini merupakan rangkaian ayat yang menuturkan kehidupan komunitas Yahudi. Pada zaman Musa ada seorang hamba yang menguasai pengetahuan keagamaan [lahir-batin]. Ia adalah Baal Am bin Baura, dan paham betul tentang kebenaran hidup ini. Tetapi ia iri kepada Musa, ia merasa tersingkir dengan datangnya Nabi Musa. Sehingga ia bersama dengan para pengikutnya berusaha menyingkirkan Musa. Mengapa tindakan itu dia lakukan? Karena Baal Am [atas desakan pengikutnya] lebih memilih kehidupan jangka pendeknya daripada jangka panjangnya. Ia tinggalkan kebenaran, dan ia ikuti hawa nafsunya. Sehingga malanglah nasibnya. Ia tidak lagi menjadi orang yang tercerahkan, tetapi justru konfrontasi dengan Nabi Musa. Ayat itu ditutup dengan kalimat “ceritakan kisah itu agar mereka berpikir”. Jelaslah sudah suatu kisah, hikayat, sejarah, disampaikan kepada generasi berikut-nya itu bukan hanya untuk dipercaya, tapi dipikirkan pesan-pesan dan kandungannya agar manusia bisa melangkah dengan benar ke masa depannya. Apa mutiara hikmah yang ada di dalam suatu kisah atau sejarah, atau bahkan legenda, itulah yang harus ditimba. Jadi, dengan berpikir kita tidak hanya terpaku pada fakta. Tetapi kita lebih melihat makna yang terkandung, sehingga kisah, sejarah, mitos, legenda itu dapat digunakan sebagai tongkat untuk menyongsong hari depan kehidupan manusia. Dengan berpikir manusia dapat mencari makna dan realita di balik fakta-fakta dan data. Kita bisa memahami kebenaran yang terselubung oleh bentuk objek-objek yang tercerap oleh indera. Jika berpikir itu menjadi fungsi pokok manusia, lalau dimana letaknya intuisi dan wahyu bagi manusia? Lalu, apa artinya kita harus meningkatkan di ke tingkat kesadaran "zero mind" atau "Nomind"? Ingat, 'to mind' tidak sama dengan 'to think' apa lagi dengan 'to contemplate' [merenungkan]. Pada pelajaran kali ini tidak dibahas dulu perihal wahyu atau intuisi. Tetapi perlu diberikan gambaran agar konsep 'berpikir' menjadi jelas. Para nabi bukanlah orang-orang yang bodoh. Bahkan mereka adalah manusia-manusia yang sungguh-sungguh merenungkan [berpikir mendalam] kebenaran di alam ini. Mereka merenung agar bisa menemukan solusi dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Dan solusi itu untuk kesejahteraan manusia, baik sebagai individu maupun komunitas. Sekarang mari kita lanjutkan ulasan ayat 18:28-29. Kita diperingatkan untuk tidak mengikuti orangorang yang melalaikan hatinya untuk berzikir. Dengan kata lain, kita jangan termasuk orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu. Bagaimana kita bisa menjadi tenang dan berpikir jernih jika yang kita ikuti itu orang-orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai pimpinannya. Orang-orang yang mengedepankan hawa nafsu mereka itu lebih mementingkan pribadi dan golongan mereka. Bukan kebenaran yang menjadi perhatian atau kepedulian mereka, tetapi 'kepentingan'. Karena itu orang demikian disebut 'selalu melampaui batas' dalam urusannya. Orang demikian memang sudah tidak kenal dan tahu lagi batas-batas yang harus dipatuhi. Nah, kalau hidup tanpa batas, kemana lagi perginya kalau tidak semakin melenceng. Kebenaran sudah pasti datangnya dari Tuhan. Wong semua ini diciptakan berdasar-kan kebenaran, dan bukan kebatilan. Tentu saja yang mengetahui hakikat sesuatu adalah Tuhan, karena Dia-lah pencipta segala sesuatu. Tetapi, di bumi ini, cuma manusia yang dianugerahi "al-qalam", atau akal. Dengan al qalam manusia dapat mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Dengan berbagai kelengkapan yang diberikan Tuhan, manusia diberi kebebasan untuk menjadi manusia beriman atau kafir. Jadi, manusia tidak dicetak untuk menjadi beriman atau kafir. Karena itu manusia diberi amanat dan dituntut tanggungjawab dan akuntabilitasnya. Tak ada pengertian 'jabariyah' atau paksaan Tuhan dalam agama. Karena itu, hidup beragama pun tidak dipaksakan. Dalam ayat 28:50 ditegaskan bahwa orang yang mengikuti hawa nafsunya tidak akan mendapat petunjuk dari Tuhan. Orang yang menuruti hawa nafsu disebut juga sebagai 'orang zalim', orang yang menganiaya. Dan, petunjuk Tuhan tak akan datang pada si zalim. Celakanya jika si zalim ini menjadi 'penggede', pejabat tinggi, elite, atau mala'. Petunjuk Tuhan tak akan sampai pada mereka. Akibatnya, rakyat bawahan akan menjadi sengsara. Tetapi, percayalah, jika di tengah suatu komunitas masih ada orang-orang yang 'berzikir dan berpikir' suatu saat pasti ada orang yang menjadi juru ingat! Di tengah deru kezaliman masyarakat industri di Eropa abad ke-19, muncullah Nietzsche [meskipun kita dididik keliru dalam melihat dia]. Di tengah kezaliman komunisme Soviet, muncullah Gorbachov yang mendengungkan 'glasnost' dan 'perestroika'. Tentu saja, tidak cukup hanya munculnya sang juru ingat. Tetapi perlu ada tindakan! Dan tindakan itu harus bisa diterapkan berdasarkan 'POAC', perencanaan, pengorganisasian, pengaktualisasian, dan pengawasan yang benar. Penegakan moral dan keadilan tidak cukup hanya dengan modal niat. Harus disertai kemauan, kehendak, dan kepiawaian. Karena kebenaran tidaklah berjalan dengan sendirinya. Puncak dari mengikuti hawa nafsu adalah menjadikannya tuhan. Yaitu, menjadikan hawa nafsu itu sebagai tuhan yang disembah dan dipatuhi! Inilah syirik yang tidak tampak rupanya, tetapi lebih dahsyat dari berhala. Kalau berhala berupa patung, hanya orang bodoh yang memuja. Tetapi berhala 'hawa nafsu', orang yang berpengetahuan 'sundul langit' [setinggi langit] pun bisa menjadi pengikutnya. Jika orang memperturutkan hawa nafsu, maka Allah membiarkannya tersesat. Pendengaran dan hatinya dibiarkan tertutup karat. Nasihat, petunjuk, petuah tak mempan lagi. Bahkan penglihatannya pun ada tutupan. Sehingga jerit derita masyarakat tidak tampak lagi. Semuanya bagaikan angin lalu. Dianggap seperti kentut, bau sebentar dan hilang. Mau cari petunjuk dari siapa lagi, kalau tidak kembali kepada Allah? Agar pemikiran kita tidak masuk ke jurang setan, maka kita harus "berpikir+berzikir". Manakala kita membuang pemikiran, maka kita tinggal tunggu bencananya! Kajian kita kali ini merupakan bagian terakhir dari zuhud, dan bagian ke-18 adalah "topik ridha". Semoga kita bisa berzuhud di tengah kehidupan modern dan tanpa batas ini, tanpa harus mengasingkan diri di gua-gua. Wa billahi t-taufiq wa l-hidayah. Bagian ke-18 (Ridha) Hari ini kita masuk ke dalam pembahasan “ridha”. Kata ridha sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “rela”. Yang artinya berbuat atau bertindak dengan suka hati tanpa pamrih. Rela juga berarti dengan kemauan sendiri dan tanpa paksaan. Nah, ‘ridha’ sebenarnya memiliki makna yang lebih dalam daripada ‘rela’. Dengan kata lain, rela hanyalah bagian dari ‘ridha’. Walaupun dalam kamus bahasa Indonesia, kata ridha disamakan dengan rela. Ridha [yang di dalam kamus ditulis juga ‘ridlo’] adalah suatu maqam, posisi, atau tingkatan dalam perjalanan spiritual (tasawuf). Mengapa oleh pakar atau ahli tasawuf ‘ridha’ tidak ditempatkan pada tangga pertama? Jika ridha menjadi tangga pertama, maka ia akan berkonotasi ‘tindakan yang dilakukan karena kekalahan’. Ridha bukan lagi sebagai perjuangan untuk mendaki dalam perjalanan spiritual, tetapi berserah diri karena suatu paksaan. Karena itu, orang yang ridha bukan orang yang berserah diri karena kekalahan, tetapi orang yang menang dan berserah diri. Konteks ridha tidak dapat dipisahkan dengan ‘kecintaan kepada Allah’. Pada awal pelajaran tasawuf telah saya sampaikan makna dan perwujudan cinta, yang bersandar pada ayat 3:31, “Katakan [Muhammad] kepada mereka, ‘jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah (beritibaklah) kepadaku, niscaya Allah mencintai kalian dan menutupi dosa-dosa kalian. Sesungguhnya Allah itu Maha Pelindung dan Maha Penyayang.’” Sudah saya jelaskan pula bahwa ‘mengikuti’ tidak sama dengan meniru atau taklid. Mengikuti berarti memperhatikan keteladanan yang ditampilkan oleh Rasul saw lalu diterapkan dalam kehidupan sehari. Bukan karena Rasul berjenggot dan bergamis, terus kita pun ikut berjenggot dan bergamis. Kalau itu, anak kecil pun dapat mengikutinya, tak perlu memahami ayat-ayat Al Quran. Padahal banyak ayat di dalam Al Quran yang memerintahkan kita untuk memperhatikan dan memahami ayat-ayat-Nya yang ada di dalam kitab-kitab-Nya maupun yang kauniyah, yang digelar oleh Tuhan di alam raya ini. Jadi, mengikuti Rasul tidak identik dengan meniru beliau. Mengikuti keteladannya harus disertai dengan aktif berfikir dan berzikir. Orang Islam harus pandai menimbang bagaimana mengimplementasikan ajaran Islam dalam situasi dan kondisi yang ada sekarang berdasarkan teladan dari beliau. Sehingga orang yang mengikuti keteladanan beliau betulbetul hidup dalam ‘naungan’ Ilahi. Dalam pandangan ahli makrifat, ridha adalah buah dari mahabbah, cinta, yang paling mulia. Apa sebabnya? Karena pecinta [orang yang sudah jatuh cinta] harus selalu merelakan apa yang diperbuat oleh kekasihnya. Dan ketahuilah, yang dicinta itu adalah Dia Yang Maha Agung, yang melindungi para pecintanya. Saya tidak menggunakan kata “pencinta”, tetapi “pecinta”. Pencinta adalah orang yang mencintai pada saat tertentu. Sedangkan ‘pecinta’ adalah orang yang betul-betul mencintai tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Jadi, yang mendapat perlindungan dari Allah adalah para ‘pecinta-Nya’ dan bukan ‘pencinta-Nya’. Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan: “Man lam yardha bi qadha-i wa lam yashbir ‘ala bala-i falyaltamis rabban siwaya.” [Barangsiapa tidak rela terhadap ketetapan-Ku, niscaya dia tidak akan sabar terhadap ujian dariKu. Jika sudah begitu, biarlah dia mencari Tuhan selain Aku.] Nah, ridha ternyata terkait dengan kerelaan untuk menerima “qadha” atau ketetapan Tuhan. Ketetapan yang mana? Bukankah Tuhan itu Maha adil? Tuhan jelas Maha Adil. Tetapi keadilan Tuhan tidak sewenang-wenang, atau bersifat zalim. Hal ini sudah kita pelajari pada bagian yang lalu. Jadi, ketetapan yang harus kita terima dengan rela hati adalah ketetapan yang sudah kita setujui sebelum kita lahir. Contohnya seperti apa ketetapan yang kita setujui sebelum kelahiran kita? Ya, kita dikandung oleh ibu yang melahirkan kita. Itu pilihan kita! Meskipun kita tidak mampu mengingatnya. Sehingga ada orang yang protes, ‘salahnya siapa mau melahirkanku, kan bukan aku yang minta dilahirkan’. Protes itu benar bagi orang-orang yang hanya mampu memahami kulit sebuah objek. Tetapi protes itu salah bagi mereka yang mampu memahami makna yang terkandung dalam suatu objek. Bagi anak kecil, suatu benda hanya dikenal kulitnya atau bentuk luarnya. Dia tidak mengerti bahwa suatu benda itu mengandung energi potensial dan energi kinetik jika bergerak. Seperti yang telah saya uraikan, seseorang tidak akan sabar terhadap sesuatu jika dia tidak mengerti rancangan atau program yang terkandung dalam sesuatu yang sedang dihadapinya itu. Sama halnya dengan kehidupan kita ini. Bila kita tidak memahami bahwa dahulu sebelum kita lahir ini sudah teken kontrak dengan Tuhan, kita pun tak akan rela dengan ketetapan yang ada. Dan akhirnya, kita pun tak akan sabar terhadap berbagai hal yang menimpa kita. Karena itu, disindir oleh Tuhan, “jika begitu yaa biar-lah dia mencari Tuhan selain Aku”. Setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini, sebenarnya sudah teken kontrak sebelumnya. Yaitu, di ‘alam nafs’ atau ‘alam jiwa’. Dalam kalimat Al Quran hal ini dinyatakan cukup sederhana, hanya dengan kalimat “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Di alam nyata, meskipun berupa alam nafsani, ya betul-betul suatu kerelaan untuk menempuh kehidupan di dunia ini dengan segenap pertanggungjawabannya. Namun hal ini tidak bisa saya ceritakan di tulisan ini. Mengapa sulit? Karena yang diceritakan ini sebuah kenyataan yang hanya bisa dialami. Untuk memudahkan, saya berikan gambaran tentang keyakinan. Yang kita terapkan pada hal yang nyata. Telah kita ketahui bahwa ada tiga tingkatan keyakinan, yaitu, ilmu l-yaqin, ‘ainu l-yaqin, dan haqqu l-yaqin. Banyak orang yang secara teoritis hafal tahapan ini. Tetapi, bila diminta untuk menunjukkan perbedaannya dalam kehidupan sehari-hari, dia mengalami kesulitan. Hal ini terjadi, karena dia tidak memahami apa yang dimaksud dengan tahap ilmu, ‘ain, dan haq. Terutama, biasanya kesulitan membedakan antara yang ‘ain dengan yang haq. Nah, sekarang saya beri contohnya dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pengetahuan yang ada kita tahu adanya minuman kopi. Tetapi, berdasarkan pengetahuan semata-mata, kita dapat salah dalam memastikan suatu minuman itu kopi atau bukan. Nah, setelah kita meminumnya, kita bertambah yakin bahwa yang diminumnya itu kopi atau bukan. Pengalaman minum kopi ini disebut ‘ainul-yaqin. Hanya pernah minum kopi, dan tidak pernah menghayati dalam meminumnya, kita tidak akan mengetahui jenis kopi apa yang diminum itu. Kita pun tidak mengetahui kopi tersebut berasal dari daerah mana. Seseorang yang sudah dapat membedakan ini jenis robusta, atau arabika, dari Indonesia atau dari Afrika, maka dia disebut sudah ada di tahap haqqul-yaqin. Hidup juga melalui tahapan demikian. Ketika kita mengetahui ayat-ayat Tuhan hanya karena diajar oleh orang lain, maka keyakinan kita baru pada tahap ‘ilmul-yaqin. Setelah kita merasakan pahit getirnya hidup ini, maka kita masuk ke tahap ‘ainul-yaqin. Nah, apabila kita sudah sanggup mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada diri kita, kita bisa merasakan hal-hal yang terjadi pada diri kita, maka kita sebenarnya ada di tahap haqqul-yaqin. Masing-masing mempunyai jangkauan atau kedalaman tertertentu. Misalnya, ada orang yang tahu sedikit ilmu. Tetapi, ada pula orang yang tahu banyak ilmu. Selama belum merasakan atau mempraktikkan sendiri, kedua orang itu ada pada tahap yang sama, yaitu ilmul-yaqin. Al-Quran memberitahu kita bahwa kita telah teken kontrak dengan Tuhan. Hal ini dikemukakan pada Surat Al-A’raf/7:172 dan Surat Rum/30:30. 7:172 Dan ketika Tuhan dikau menjadikan lahirnya keturunan bani Adam, dari zuhur mereka, dan membuat persaksian atas diri mereka sendiri: “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab: “Ya, kami menyaksikan Engkau.” Kita semua bersaksi. [Persaksian itu dibuat] agar pada Hari Kiamat kalian tak berkata: “Sesungguhnya kami telah lalai tentang hal ini.” 7:173 Atau, kalian tak berkata: “Sesungguhnya orangtua-orangtua kami dulu juga menyekutukan Engkau. Sedangkan kami ini hanya mereka. Apakah Engkau membinasakan kami lantaran perbuatan [orangtua-orangtua kami] yang batil itu?” 30:30 Maka hadapkan wajah engkau kepada landasan yang benar. Allah telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah. Tak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah landasan yang benar! Tetapi sebagian besar manusia tidak mengetahui. 30:31 [Hakikatnya] manusia kembali kepada-Nya. Karena itu, bertakwalah kepada-Nya, dan tegakkan salat dan jangan menjadi orang-orang musyrik. 30:40 Allah adalah Yang telah menciptakan kalian. Kemudian memberi kalian rezeki. Kemudian membuatmu mati. Kemudian membuatmu hidup lagi. Adakah sekutu kalian yang dapat berbuat sesuatu yang demikian ini? Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan. Ayat pertama memberitahu kita bahwa sebelum manusia lahir, jiwa-jiwa mereka telah mengadakan persaksian dengan Tuhan. Kapan itu? Ketika jiwa-jiwa itu bangkit dari [jalur tulang] punggung. Dalam agama-agama India atau Cina, jalur tempat bangkit jiwa ini dikenal sebagai jalur “qi”, chi. Jalur ini memanjang dari tulang ekor hingga ubun-ubun. Bagi mereka yang menguasai pusat-pusat energi yang disebut “chakra”, maka tulang punggung [tulang belakang] adalah letak titikpusattitikpusat chakra. Dari jalur itulah tumbuhnya kehidupan. Al-Quran hanya memberitahukan globalnya saja. Dan kitalah yang harus berusaha menyelaminya, sehingga kita mengerti peranan dari tulang punggung tersebut dalam kehidupan ini. Tuhan membuat persaksian atas diri mereka, atas nafs-nafs mereka. Dengan kata lain, Tuhan membuat nafs manusia bersaksi atas dirinya ketika sudah bangkit dari tulang punggung kedua orangtua mereka, yaitu ketika embrio terbentuk. Nafs-nafs itu bersaksi, mengakui adanya Satu Kekuatan, yaitu Allah. Nafs-nafs itu bersaksi atas ketetapan yang harus mereka penuhi ketika sudah lahir sebagai manusia. Dan, kita semua, nafs-nafs dan Tuhan bersaksi atas ikrar tersebut. Untuk apa? Agar manusia tak melakukan pengingkaran terhadap kesaksian itu pada Hari Kebangkitan. Kalau Anda mencermati ayat berikutnya, tahulah Anda bahwa yang dimaksudkan dengan kata “Hari Kebangkitan” adalah saat bangkitnya kita di alam kematian. Ingatlah kembali Hadis Nabi, “Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan tidur, dan ketika mati sesungguhnya dia bangun.” Mari kita simak lagi Surat Qaf/50:22, “Sesungguhnya engkau telah melalaikan hal [kematian] ini. Kini Kami membuka tabir yang menutupi engkau, maka pada hari ini penglihatan engkau menjadi tajam.” Ketika mati pandangan manusia menjadi tajam. Persaksian yang telah dibuat pada saat jiwa memasuki embrio tampak kembali. Manusia melihat dirinya sebagai pemain sandiwara dalam kehidupan ini. Jadi, manusia tak bisa mengelak lagi. Manusia tidak bisa menyandarkan perbuatannya pada orangtuanya. Dan ayat 7:173 menunjukkan dengan jelas bahwa peristiwa kebangkitan itu pada saat kematian. Perhatikan kalimat akhirnya, “apakah Engkau membinasakan kami lantaran perbuatan orangtua yang batil?” Kalau peristiwa ini terjadi setelah kiamat semesta, tentu saja ucapan ini menjadi berantai dari orang berdosa ke orangtua berdosa ke orangtuanya orangtua berdosa dan seterusnya tak ada akhir. Hal ini memang sulit sekali untuk diterangkan jika kita masih ada di tahap ‘ilmul-yaqin. Ayat 30:30 mempertegas proses kehidupan manusia. Manusia diperintah untuk melihat landasan yang benar dalam kehidupan ini. Yaitu, landasan bagi penciptaan dirinya yang disebut ‘fitrah’. Ada kekeliruan dalam mengartikan ‘fitrah’. Seringkali fitrah diartikan “suci”. Fitrah diartikan sebagai kehidupan tanpa noda. Jika manusia semua lahir suci, tanpa noda, maka hasil yang diperoleh dari suatu pengaruh kehidupan yang sama, seharusnya sama. Misalnya, kalau ada seratus bayi, dididik dalam ruang yang sama dan cara yang sama, seharusnya hasilnya pun sama. Ini namanya suci! Jika hasilnya tidak sama berarti kualitas asalnya tidak sama. Wong perlakuannya sama kok hasilnya berbeda. Berarti bibitnya tidak sama kualitasnya. Lalu apa fitrah itu? Fitrah berasal dari kata “fa-tha-ra”, yang artinya membuat sesuatu terjadi. Contohnya demikian, ada tepung terigu, gula, telor, air, soda, lalu kita campur dan kita lakukan adukan dan setelah dioven terbentuklah “roti”. Dengan bahan yang sama tetapi dengan komposisi kandungan yang berbeda, terjadilah roti yang berbeda. Nah, fitrah adalah sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh komposisi bahan tadi. Dan bahan untuk penciptaan manusia tidak berubah. Yaitu, fisiknya terdiri dari tanah, air, udara, api dan cahaya. Kemudian dimasukkan nafs dan ruh kedalamnya. Nafs yang tekor energi metafisiknya [akibat hutang sebelumnya] bersaksi untuk memilih lahir di tengah-tengah keluarga miskin. Ingat, Tuhan tidak pernah menzalimi hamba-Nya! Dan, hal ini sudah saya jelaskan pada bagian sebelumnya. Agar Anda tidak lupa, maka saya tampilkan kembali beberapa ayat yang jelas-jelas menyatakan bahwa Allah tidak menzalimi manusia. 1) Sesungguhnya Tuhan tidak berbuat zalim terhadap manusia sedikit pun, tetapi manusialah yang berbuat zalim terhadap dirinya [QS 10:44]. 2) Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seorang pun meskipun sebesar debu, dan jika ada kebaikan sebesar debu niscaya Dia melipatganda-kan dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya [QS 4:40]. 3) Dan Tuhan engkau tidak menganiaya seorang juapun [QS 18:49]. Jadi, jelas sekali yang menyebabkan seseorang itu lahir dalam kehidupan yang penuh kesusahan itu berasal dari dirinya sendiri. Justru Tuhan dengan kasih-Nya melipatgandakan kebaikan yang dilakukan oleh manusia. Tuhan tak pernah korup terhadap kebaikan manusia. Lho, kalau kita pernah berbuat sebelum ini, mengapa kita tidak ingat? Justru manusia tidak ingat itu Tuhan memberi kabar tentang hal ini di 7:172-173. Dan tentu saja, meyakini kebenaran ayat tersebut baru pada tahap ‘ilmul-yaqin. Wong baru tahu karena membaca sendiri ayatnya atau diberi tahu orang lain. Dan, penutup ayat itu pun menyebutkan bahwa “sebagian besar manusia tidak mengetahui [tentang landasan penciptaan yang benar itu]”. Kalau masih pada tahap ‘ilmul-yaqin’, manusia sulit untuk bisa memasuki maqam ridha. Kita sering mendengar orang yang mengatakan “semuanya ini takdir Tuhan”. Kaya atau miskin, selamat atau tertimpa musibah, semuanya merupakan takdir Tuhan. Manusia lupa bahwa Tuhan tidak berbuat zalim sedikit pun terhadap manusia. Ucapan tersebut lahir dari kekalahan manusia dalam menghadapi tantangan hidupnya. Akhirnya, Tuhan menjadi kambing hitam dalam kenestapaan hidup manusia. Manusia lupa bahwa Tuhan telah membuat semua organnya berfungsi dengan baik ketika dilahirkan. Manusia lupa bahwa lahir sebagai orang Indonesia, Cina, India, Arab, atau Barat, itu adalah pilihan hidupnya. Manusia lupa bahwa sambil menjalani peran hidupnya yang sudah dipersaksikan itu, seharusnya dia menyiapkan masa depannya, akhiratnya. Baik itu untuk dinikmati dalam kehidupan sekarang ini, maupun kehidupan nanti.!! Nah, kita jangan mudah mengklaim bahwa apa yang terjadi pada kita adalah takdir Tuhan. Padahal itu semua adalah our destiny, takdir kita sendiri. Tuhan justru memfasilitasi kehidupan manusia, supaya ia dapat hidup sejahtera. Itulah sebabnya, disebutkan bahwa “kebaikan sebesar debu [zarah]” akan dilipatgandakan nilainya, dan mendapat pahala yang besar. Dan, sistem inilah yang disebut fitrah itu! Jadi, Tuhan tidak merugikan manusia walaupun sebesar debu. Tetapi, bila ada kebaikan, nilainya dilipatgandakan 10 kali lipat hingga 700 kali, tergantung kualitas perbuatannya. Perhatikanlah ayat 30:31, dinyatakan dengan tegas bahwa hakikatnya manusia itu kembali kepada Allah, kembali kepada jalan Allah, jalan yang benar. Inilah jalan yang ditempuh manusia dari zaman ketika manusia belum bisa disebut manusia hingga jadi manusia Homo sapiens sapiens. Dan agar dapat kembali kepada-Nya manusia diperintah untuk selalu bertakwa, selalu memelihara dirinya di jalan yang benar. Manusia harus menegakkan salat, selalu berhubungan dengan Tuhan Yang Mahaesa, dan tidak menjadi manusia musyrik, manusia yang mementingkan egonya. Ingat, mengabdi kepada berhala?berupa apapun?adalah akibat manusia mementingkan egonya. Apa yang disebut ‘ibadah’ pun bisa menjadi berhala bila itu lahir dari dorongan hawa nafsu untuk dirinya sendiri, dan memutuskan hubungannya dengan lingkungannya [biotik dan abiotik, baik yang hidup maupun lingkungan bukan-hidup]. Manusia harus ingat siklus hidupnya! Ada kehidupan, ada kematian, dan kembali hidup lagi. Dengan adanya sistem rezeki yang dibuat Tuhan, manusia terfasilitasi untuk menempuh proses hidup dan mati hingga menemukan jalan Tuhan. Dengan proses hidup dan mati itu manusia mampu menapaki keyakinannya dari tingkatan ilmu hingga yang haq, hingga yang hakikat dalam hidup ini. Jika kita belum bisa menapaki keyakinan hingga puncaknya maka kita masih mungkin mengalami hidup dalam kejiwaan yang terbelah. Di satu sisi, kita yakin akan adanya kehidupan di masa depan. Di sisi lain, kita berbuat zalim. Padahal Tuhan tidak akan mau menunjuki orang-orang yang berbuat kezaliman. Bahkan, jika kita melihat keadaan bangsa kita yang mudah diprovokasi, mudah terseret ke dalam krisis, gampang ikutan dalam beraksi negatif; menunjukkan kurangnya orang-orang kuat yang berada di maqam ridha. Padahal adanya elite-elite di maqam ini kita dambakan sekali, sehingga mereka betul-betul tanpa pamrih membangun negeri ini. Demikianlah pelajaran awal mengenai ridha. Semoga pelajaran ini memotivasi diri kita untuk meningkatkan posisi spiritual kita. Bi l-lahi t-taufiq wa l-hidayah. Bagian ke-19 [lanj. Ridha] Ridha adalah buah dari pohon mahabbah, pohon cinta. Artinya, ridha tak akan ada bila tidak didahului oleh rasa cinta. Orang yang mencintai kekasihnya, ia akan rela melakukan dan memenuhi apa yang diminta oleh sang kekasih. Tetapi, ridha bukanlah hasil dari cinta buta. Ia adalah hasil dari suatu prestasi spiritual! Orang yang ridha telah menapaki jalan objektif rasional. Ia tidak berangkat dari tataran subjektif, semata-mata terhanyut oleh perasaannya. Ya, menapaki kehidupan tasawuf memang harus sehat pikirannya. Tak ada dualisme dalam menapaki tasawuf. Jangan dibuat dikotomi antara kehidupan dunia dan tasawuf. Kita sekarang ini memang hidup di dunia. Dengan semua komponen intelegensi [IQ, EQ dan SQ] kita menapaki kehidupan yang objektif dan rasional. Keyakinan yang kita bangun pun berasal dari keyakinan yang objektif rasional, yaitu diawali dengan keyakinan berdasarkan ilmu, ilmu l-yaqin. Lalu, ditingkatkan ke ‘ainu l-yaqin, dan selanjutnya ke haqqu l-yaqin. Jadi, pendekatan yang dilakukan dalam kehidupan beragama, khususnya tasawuf, harus dimulai dari tahu dulu, dan bukan yakin dulu! Memang, sudah menjadi pendapat umum bahwa dalam kehidupan beragama orang harus yakin dulu. Inilah pendapat yang salah kaprah! Bahkan ada yang menganalogkan dengan naik kapal atau pesawat terbang; yang penting yakin selamat dulu, dan bukan cari tahu kapal atau pesawat itu akan selamat atau tidak. Ini adalah analog yang sama sekali tidak benar. Sadar atau tidak, sebenarnya calon penumpang itu sudah menyimpul-kan bahwa kapal yang akan ditumpanginya itu aman. Darimana kesimpulan itu datang? Tentu saja dari keberadaan kapal yang akan ditumpanginya itu. Coba Anda pikirkan, bagamaina sekiranya lebih banyak pesawat yang jatuh daripada yang selamat hingga di tujuan. Tentu lebih banyak orang yang takut naik pesawat daripada yang berani. Hal ini lain dengan hidup beragama. Hampir semua orang tidak tahu [dengan pasti] apa yang sesungguhnya terjadi di balik kematian. Nah, hidup ini ternyata menyongsong suatu misteri. Orang hidup ini [hampir semuanya] antri memasuki dunia yang tidak diketahuinya, dunia yang masih gelap! Jika orang beragama itu yakin akan masuk surga [menurut keyakinan agamanya], terus terang itu hasil dari keyakinan buta. Lho, hidup beragama kan mengikuti nabi dan rasul [yang membawa agama], bagaimana mungkin dikatakan mengikuti keyakinan buta? Nah, nah, di sini yang perlu diluruskan! Ketika nabi, rasul atau utusan Tuhan itu masih hidup, maka benarlah pernyataan “mengikuti nabi”. Tetapi setelah nabi atau rasulnya tidak lagi di tengah-tengah umatnya, maka pemeluk suatu agama sebenarnya mengikuti “katanya”. Agar tidak masuk dalam kategori “katanya”, maka kita dituntut untuk mempelajari ajaran yang dibawa nabi itu secara objektif rasional. Untuk menjadi pengikut seorang nabi, tidak cukup hanya yakin, tetapi harus menelaah, merenungkan, dan mencoba memahami makna yang terkandung di dalam ayat-ayat kitab sucinya. Dan, ini baru tahap ilmu l-yaqin, suatu keyakinan berdasarkan pengetahuan. Pengetahuan agama yang diperolehnya itu digunakan sebagai landasan beramal. Baik amalan itu untuk dirinya dan keluarganya, maupun untuk orang lain. Tentu saja amalan itu harus bermanfaat kepada lingkungan hidupnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Amalan yang demikianlah yang disebut “amal saleh”. Kebiasaan beramal saleh ini akan membawa manusia kepada tahap ‘ainu l-yaqin. Ditopang dengan sikap sabar dan zuhud, insya Allah kita bisa memasuki dunia yang terang, bukan dunia yang gelap lagi. Dunia yang dimasuki ini tidak misteri lagi, sudah terbuka selubungnya. Keyakinan pada tahap ini adalah haqqu l-yaqin. Ketika seseorang sudah mencapai keyakinan yang haq, maka runtuhlah tembok penyekat diri dan Tuhannya. Iri dan dengki telah terkelupas dari hatinya. Baku hantam karena berebut kebenaran tidak ada lagi. Bukan karena dibuat-buat, tetapi memang sudah kasyaf. Hakikat objek-objek di sekeliling kita telah tersingkap! Pohon cinta, atau sajaratul mahabbah, tumbuh dengan suburnya. Dari pohon cinta inilah lahir “ridha”! Orang rela untuk memenuhi permintaan Sang Kekasih, karena dia yakin dengan haq bahwa Kekasihnya itu tidak membawa ke alam derita atau alam neraka. Sebaliknya, jika kita masih berebut kebenaran, berebut “agamaku” yang benar dan bukan “agamamu” yang benar, berarti kita masih di tahap keyakinan buta. Wujud dari keyakinan buta adalah menganggap praktik keagamaannya yang paling benar. Orang semacam ini, paling tinggi masih berada di tahap keyakinan berdasarkan ilmu atau katanya. Pada tahap ini agama tidak dijadikan pegangan hidup, tetapi hanya sebagai identitas. Pada tahap ini orang menjalankan salat, puasa, zakat dan haji hanya untuk membangun identitas diri. Yang dalam bahasa sehari-hari disebut menjalankan kewajiban agama. Dengan telah memenuhi kewajibannya itu, biasanya dia yakin akan masuk surga. Karena dia telah merasa menjadi kekasih Tuhan! Dan terus terang, di milis-milis agama sekarang ini, kita masih berkutat pada klaim-klaim kebenaran agama. Kita tak mempedulikan lagi apakah praktik keagamaan kita ini sudah bisa mengantarkan ke tingkat haqqu l-yaqin atau belum. Marilah kita menelaah dua butir ayat di bawah ini, agar kita tidak mudah saling klaim terhadap kebenaran agama. 2:94 Katakanlah [Muhammad], “Jika tempat tinggal di akhirat, di sisi Allah itu, khusus buat kalian dan bukan buat orang lain, maka carilah kematian bila kalian orang yang benar.” 62:6 Katakanlah: “Hai orang-orang Yahudi, jika kamu mengira bahwa kamu kekasih Allah, dan bukan orang lain, maka carilah kematian bila kamu adalah orang-orang yang benar.” Kedua ayat tersebut ditujukan kepada orang-orang Yahudi yang tinggal di Jazirah Arab, di Madinah khususnya. Dan, ini tidak berarti hanya buat orang Yahudi. Ayat ini hakikatnya ditujukan kepada seluruh manusia yang bersikap seperti Yahudi tersebut. Nabi diperintah Tuhan untuk menyampaikan bantahan kepada mereka. Pada waktu itu, orang-orang Yahudi mengklaim bahwa merekalah manusia-manusia yang benar, yang menjadi kekasih Allah. Sehingga mereka mengklaim sebagai manusia yang paling layak menghuni surga. Bagaimana dengan orang lain? Mereka menganggap orang lain itu berada di jalan yang salah, dan bukan kekasih Tuhan. Bantahan apa yang perlu disampaikan oleh Nabi Muhammad? Bantahannya: jika memang hidupnya benar di dunia ini, ya cari saja kematian. Buat apa hidup di dunia yang penuh derita ini jika sudah pasti masuk surga di akhirat nanti. Kan lebih baik buru-buru ke sana, buat apa menunggu ajal menjemput? Tapi nyatanya mereka tidak berani mati segera. Mengapa tidak berani mati? Ya, karena kebenaran yang diakui itu hanya sebatas “katanya”. Coba kalau kita tahu bahwa kalau kita mati pasti masuk surga, wah kita mungkin tak perlu nunggu hari esok untuk mati. Coba kalau kita tahu dengan pasti ada juru selamat bagi kita yang menyelamatkan kita di balik kematian, tentu kita lomba cepat-cepatan untuk dapat mati. Makanya, dalam kehidupan beragama ini kita dididik dan dilatih untuk dapat meningkatkan kemampuan spiritual kita. Untuk apa? Agar kita bisa lolos dari kegelapan di dunia yang akan datang. Ibadah tidak lagi dilakukan untuk membangun identitas. Justru ibadah dilakukan untuk berlatih, riyadhah, untuk meningkatkan kecerdasan kita [IQ, EQ dan SQ]. Untuk apa kecerdasan perlu ditingkatkan? Ya, untuk memecahkan persoalan hidup, baik hidup di dunia sekarang ini maupun dalam kehidupan nanti! Kita tidak boleh spekulasi. Ingat, spekulasi itu ‘gambling’, judi, jauh dari kebenaran. Tanpa berbekal kecerdasan kita tak akan mampu menjawab teka-teki kehidupan ini. Dalam kehidupan tasawuf, kita tidak dididik untuk menghafal teori “wajib, sunat, haram, makruh dan mubah”. Salat dilakukan bukan untuk membebaskan dari kewajiban dan juga bukan untuk membebaskan diri dari dosa. Salat dilakukan seperti yang dinyata-kan dalam Surat Thaha/20:14, “Dirikanlah salat untuk berzikir kepada-Ku”. Jadi, jelas sekali bahwa salat itu merupakan pelatihan diri untuk berzikir kepada Tuhan. Kembali pada pelajaran sebelumnya, berzikir itu untuk meningkatkan?baik kualitas maupun kuantitas?energi kita. Dan, salah satu bentuk energi adalah kecerdasan. Juga ditegaskan dalam Surat Al-Ankabut/29:45, “...dan dirikanlah salat, sesungguhnya salat itu mencegah perbuatan keji dan munkar. Sungguh berzikir kepada Allah itu paling besar nilainya. Dan Allah mengetahui apa saja yang kamu lakukan.” Jadi, jelaslah bahwa sasaran salat: pertama, untuk berzikir kepada Tuhan; kedua, untuk mencegah perbuatan keji dan munkar. Artinya apa? Salat kita efektif bila ada buahnya! Karena itu, dalam hidup bertasawuf, bukan pencerahan yang kita harapkan, tetapi kemampuan kita untuk “bertindak yang mencerahkan”. Ya, tindakan yang membuat kita cerah dalam hidup ini, dan juga orang lain menjadi cerah karena perbuatan dan tindakan kita. Kalau tak ada lagi kekejian dan kemungkaran yang kita lakukan, tentu saja sisi positifnya yang akan muncul, yaitu amal saleh dan syukur. Di atas telah disebutkan bahwa kecerdasan diperlukan dalam hidup sekarang ini dan nanti, dunia dan akhirat. Dengan kecerdasannya manusia mampu mempelajari dan memahami realita alam raya ini. Dengan kecerdasannya manusia dapat memahami cara-cara dunia ini bekerja, mekanisme alam ini bekerja. Jika kita tidak dapat memahami di alam sekarang ini, maka jangan berharap bisa memahami cara kerjanya alam di hari nanti. Marilah kita simak ayat-ayat berikut ini. 17:72 Wa man kana fi hadzihi a‘ma fa huwa fi l-akhirati a‘ma wa adhallu sabila. [Barangsiapa buta batinnya di dunia ini, niscaya di akhirat lebih buta lagi, dan bahkan jalan yang ditempuhnya lebih sesat] 30:07 Mereka itu hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan dunia ini, tetapi mereka lalai tentang kehidupan akhirat. Manusia terdiri dari unsur lahiri dan batini. Pancaindra adalah komponen lahiri bagi manusia untuk menangkap kesan-kesan objek di sekitarnya. Tetapi, apa yang dapat ditangkap oleh pancaindra tak akan mempunyai arti apa-apa bila tidak dipahami oleh komponen batini [hati, pikiran, dan lubuk hati] manusia. Bagi anak kecil yang umurnya di bawah dua tahun, tak akan mengerti bahayanya menyeberangi jalan raya, meskipun dia tahu di jalan banyak mobil lalu-lalang. Orang yang tidak memahami akibat berbuat keji dan munkar, seperti berbuat zalim, menyakiti orang lain, membuat orang lain hidup menderita, akan seenaknya bertindak dalam kehidupan ini. Jika sekarang orang itu sudah buta batinnya, maka di alam akhirat akan lebih buta lagi. Jika sekarang sudah bertindak bodoh dalam kehidupan ini, maka di akhirat akan lebih bodoh lagi jadinya. Ia tidak tahu lagi jalan mana yang harus ditempuh. Salat, haji, puasa dan zakat tak ada artinya bila kekejian dan kemunkaran menjadi kebiasaannya. Dunia dan akhirat adalah garis kontinum. Dunia dan akhirat bukan dua hal yang terpisah. Tak ada dikotomi, yang ini buat kehidupan di dunia dan yang ini buat yang di akhirat. Dikotomi ini yang membuat orang hidup dengan kepribadian terbelah. Di satu sisi rajin ke rumah ibadah, tetapi di sisi lain turut berkiprah dalam kemunkaran. Lalu ditimbang sendiri bahwa ibadahnya lebih banyak daripada kemunkarannya. Ini namanya spekulasi! Bukan tahu, tapi cuma prasangka. Coba kita perhatikan kehidupan umat Islam di dunia sekarang ini. Kemiskinan merajalela di manamana, tetapi orang pergi haji semakin tahun menyebabkan Padang Arafah semakin tak mampu menampung. Jurang antara si kaya dan si miskin di dunia Islam semakin lebar. Kebekuan atau kejumudan dalam berpikir melanda umat Islam. Anarkisme banyak terjadi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Negara-negara Islam hanya menjadi objek konsumerisme negara-negara maju. Mengapa hal ini terjadi? Karena umat Islam lalai tentang kehidupan akhiratnya! Umat Islam lalai terhadap masa depannya. Umat Islam hanya terpaku pada kehidupan formal lahiriah. Syariat agama hanya dipahami secara mentah. Umat telah kehilangan pijakan. Kehidupan akhirat dipisahkan dari kehidupan dunia. Kehidupan batiniah dipisahkan dari kehidupan lahiriah. Seakan-akan dunia dan akhirat merupakan dua jalan yang berbeda. Dunia fisik dan dunia spiritual dipandang terpisah. Masing-masing didekati dengan cara yang berbeda. Akhirnya lahirlah sosok-sosok dengan kepribadian yang terbelah. Dan, runtuhnya peradaban Islam disebabkan oleh dikotomi-dikotomi. Seolah-olah ada ilmu akhirat yang sifatnya ‘fardhu ain’, dan ada ilmu dunia yang sifatnya ‘fardhu kifayah’. Sehingga jika ada orang yang belajar ilmu listrik atau pertanian dipandang remeh bila dibandingkan belajar Al Quran dan Hadis. Sungguh berbahaya cara pandang demikian! Jika kita masih terjebak dikotomi dunia dan akhirat, maka jangan harap kita bisa meraih maqam ridha. Bukankah kita ini adalah khalifah di bumi? Bagaimana mungkin kita cuma menghargai ilmuilmu untuk hidup di bumi ini sebagai kewajiban kifayah, atau kewajiban yang bisa ditinggalkan bila sudah ada seseorang yang mengerjakannya? Lha bagaimana kalau orang yang mengerjakan itu bodoh? Apa tidak babak-belur kehidupan umat? Sedangkan ilmu-ilmu agama dihargai sebagai fardhu ain, yaitu yang harus dilakukan oleh setiap orang. Seolah-olah dengan belajar ilmu agama terus kita bisa masuk surga! Dan dengan gampangnya ilmu-ilmu kealaman dinyatakan bukan ilmu agama. Inilah dikotomi! Jika kita mau menyimak Surat At-Taubah/9:122, maka tahulah kita bahwa orang-orang mukmin diseru untuk memperdalam pengetahuan agama. Tetapi ternyata yang dimaksud dengan pengetahuan agama pada masa itu berbeda dengan yang dipahami sekarang ini. Pengetahuan agama, ketika Al Quran masih diturunkan kepada Nabi, dimaksudkan untuk menjaga diri dalam kehidupan ini. Sekali lagi, untuk menjaga diri! Menjaga diri di mana? Di bumi ini untuk memenuhi peranannya sebagai khalifah, wakil Tuhan di bumi ini. Manusia harus memperdalam ilmu sesuai dengan bakatnya. Kemudian diintegrasi-kan dalam kehidupan agamanya. Sehingga kehidupan masyarakat terjaga! Inilah pesan ayat tersebut. Karena itu ketika perang berkecamuk hebat, setiap golongan masyarakat [firqah] diperintah untuk mengirimkan serombongan warganya guna menuntut ilmu agama. Ilmu yang bisa difungsikan untuk menjaga kehidupan masyarakat. Memang jenis ilmu pada waktu itu sangat terbatas, cuma berupa ketrampilan menunggang kuda, memanah, berenang, dan menyulam [bagi perempuan]. Sedangkan ilmu humaniora baru berupa pemahaman hukum-hukum agama untuk kehidupan bersama. Nah, Al Quran sebenarnya adalah pelita. Ia pelita bagi orang yang mencari ilmu. Sejak awal pelajaran tasawuf ini telah saya jelaskan bahwa Al Quran adalah peta bagi perjalanan hidup. Ia merupakan lampu dalam perjalanan hidup. Peta atau lampu tak ada gunanya jika kita tidak membacanya dengan seksama. Meskipun petanya jelas, lampunya terang, tetap tidak ada gunanya jika kita sendiri tidak mau menempuh per-jalanan. Lihatlah kembali dalil “inna li l-lahi wa inna ilaihi raji-‘un”, sesungguhnya kita ini berasal dari [atau, kepunyaan] Allah, dan sesungguhnya kita ini kembali kepada-Nya. Lha, kalau kita tidak mau ambil pusing dengan khitah kita dulu, kita tidak mau melakukan perjalanan, ya apa kita bisa sampai yang dituju? Lalu, apa hubungannya kita mencari ilmu dengan ridha? Ilmu adalah cahaya bagi kita untuk berbuat atau bertindak. Ilmu adalah petunjuk pelaksanaan [juklak] bagi kita untuk bekerja yang benar dalam hidup ini. Supaya kita tidak bekerja secara ngawur atau sembarangan. Jika kita ngawur dalam menjalankan pekerjaan, tidak akan membuahkan hasil [seperti yang diharapkan]. Atau, kalau toh ada hasilnya, amat jauh dari memadai. Karena itu kita mencari ilmu! Dan, itu harus terintegrasikan dalam kehidupan beragama seperti yang dipesankan pada ayat 9:122. Dengan demikian, ilmu merupakan cahaya bagi kita dalam menjalani kehidupan bertasawuf yang benar. Dengan ilmu itu kita dapat bersabar, berzuhud yang didalamnya terkandung iman, hijrah dan jihad. Bila yang kita lakukan itu benar maka kita akan sampai pada puncak keyakinan yaitu haqqu lyaqin. Tak ada lagi keraguan! Tidak syak lagi terhadap permintaan Sang Kekasih. Kita rela, ridha. Pada saat kita ridha itu cahaya kesadaran memancar di dalam diri kita. Ya, kita menjadi sadar bahwa kita sebenarnya berdiri dan bergerak di hadapan Ilahi. Untuk itu, marilah kita simak ayat penutup pelajaran hari ini. Yaitu Surat Fathir, ayat 27 ? 28. Ayat ini biasanya dipenggal ujungnya, sehingga berbunyi “yang paling takut di antara hamba-Nya adalah ulama”. Kenyataannya sangat banyak ulama yang tidak takut, alias tidak menyadari Tuhannya. Bagaimana bisa disebut takut, bila mereka tetap berkolaborasi dengan kekuasaan demi kesejahteraan hidup mereka sendiri? 35:27 Apakah engkau tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu dengan air itu Kami tumbuhkan buah-buahan yang beraneka macam warnanya. Dan, di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka warna. Dan, ada yang sangat hitam. 35:28 Demikian pula yang terjadi pada manusia, hewan melata, dan binatang ternak, beraneka macam warna dan bentuknya. Sesungguhnya yang betul-betul sadar [takut] terhadap Allah di antara hamba-Nya adalah para orang yang berilmu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Melindungi. Perhatikan ayat-ayat tersebut dengan seksama. Manusia dituntut untuk memahami tanda-tanda dan gejala-gejala di alam. Untuk apa? Agar kita mengetahui dengan pasti bagaimana alam itu bekerja. Sehingga kita tidak ngawur dalam bertindak. Sehingga kecintaan kita pada Sang Kekasih berbuah ridha. Nah, ujung ayat itu memberi tahu bagi pencari ilmu, pencari kebenaran, bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang yang sadar terhadap keberadaan Allah. Yang sadar terhadap Allah itu bukan para “ulama” yang kita kenal sekarang ini. Yang dimaksud ayat ini bukan “ulama” sebagai jabatan, tetapi orang-orang yang dikaruniai ilmu oleh Tuhan. Bagian ke-20, [lanj. Ridha] Sampai pada pelajaran ke-20 ini kita perlu ambil jeda dulu. Kita perlu menyadari bahwa setiap pelajaran yang telah diberikan tidak boleh dipisah-pisahkan. Pelajaran tasawuf seperti anak tangga, tangga yang bawah merupakan landasan bagi tangga yang lebih atas. Karena itu pelajaran pertama harus dibaca lagi dan dicermati, sehingga kita dapat mengamalkan tasawuf dengan arif. Pada bagian ke-19 ditegaskan bahwa orang-orang beriman harus mencari ilmu, hingga diperoleh keyakinan yang benar, haqqu l-yaqin. Yang disebut ilmu, bukanlah sebatas apa yang kita pelajari dari kitab-kitab suci dan hadis. Ingat, kitab suci adalah pelita, bukan obyek yang kita amati. Ia cuma petunjuk! Yang dengan petunjuk itu kita dapat melangkah untuk memahami semua obyek. Nah, selanjutnya yang kita pelajari itu adalah gejala-gejala, sifat-sifat dan ciri-ciri alam. Baik alam itu ada di luar maupun di dalam diri kita! Dengan cara demikian kita bisa berjalan di atas jalan yang benar. Jika kita sudah berjalan di atas jalan yang benar, maka kita akan sampai pada tujuan yang benar. Tujuan yang benar, itulah Allah! Inna li l-lahi wa inna ilaihi raji-‘un, “sesungguhnya kita ini berasal [kepunyaan] Allah dan sesungguhnya kita kembali kepada-Nya”. Jadi, jelas sekali bahwa cepat atau lambat kita pasti kembali kepada-Nya. Dan kembali kepada-Nya tidak berarti kembali kepada “sosok” di suatu tempat. Yang membutuhkan tempat itu bukan Allah. Ia cuma makhluk seperti kita, meskipun mungkin jauh lebih hebat daripada manusia. Dalam kalangan sufi, kalimat tauhid “la ilaha illa l-lah”, tiada tuhan keculai Allah diuraikan menjadi 3 ungkapan kalimat thayyibah. Pertama, “la maujuda illa l-lah”, eksistensi yang sebenarnya adalah Allah. Jadi, kenyataan yang sebenarnya adalah Allah. Lalu, kita, makhluk hidup lainnya dan benda-benda yang ada ini apa? Bukankah kita ini sebuah ‘kenyataan’? Semua wujud di alam ini adalah manifestasi dari kenyataan dan bukan kenyataan itu sendiri. Segala sesuatu ini hanya ‘nyata’ sesaat, kemudian berubah menjadi ‘kenyataan’ yang lain. Meskipun Anda mengenali wajah saya saat ini, tetapi sebenarnya wajah saya terus berubah. Hanya saja perubahan saya ini tak terdeteksi dalam waktu yang relatif pendek. Walaupun Anda tidak mampu mendeteksi perubahan wujud saya, tetapi 10 tahun kemudian Anda akan mengenali adanya gurat-gurat ketuaan di wajah saya. Jadi, apa yang nyata saat ini sebenarnya sesaat lagi telah berubah, tidak lagi persis sama dengan sesaat yang lalu. Karena itu, tiada yang maujud, tiada yang betul-betul eksis di alam ini, kecuali Tuhan. Orang Buddha menggambarkan alam ini seperti pikiran. Ia selalu datang dan pergi! Ia tak kekal. Artinya, tak punya wujud yang kekal. Nah, menapaki jalan tasawuf sebenarnya melangkah ke depan untuk menemukan yang Maha Kekal, yang benar-benar Maujud. Kedua, “la ma’buda illa l-lah”, tak ada yang patut diibadahi [diabdi] kecuali Allah. Jadi, hidup yang sebenarnya itu cuma untuk mengabdi kepada Tuhan. Karena itu, di Al Fatihah dinyatakan dengan tegas ‘hanya kepada Engkau kami mengabdi’. Dan, ayat ini dirangkai dengan ‘dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan’. Lho, kenyataannya kita ini saling menolong, jadi tidak benar dong jika hanya kepada Tuhan kita minta pertolongan? Petunjuk yang kita peroleh dari Al Fatihah adalah “kami” dan bukan “aku”. Jadi, pengabdian kepada Allah itu ada dalam bentuk komunitas, dan bukan sendirian. Islam mengajarkan bahwa pengabdian itu bersifat ‘jamaah’ bukan perorangan. Lalu, apa yang dimaksud dengan pengabdian kepada Allah? Ingat, makna mengabdi adalah melayani. Mengabdi kepada Allah berarti melayani Allah. Jangan diartikan secara harfiah! Karena hakikatnya Allah tidak membutuhkan apa-apa [termasuk pelayanan] dari hamba-hamba-Nya. Yang memerlukan pelayanan, ya kita-kita ini! Nah, agar kita bisa saling melayani, maka kita harus mengerti aturan dan mekanisme yang telah dibangun oleh Allah. Aturan dan mekanisme itu telah ditetapkan-Nya di alam raya ini. Bukan aturan yang dihasilkan oleh hawa nafsu atau kepentingan seseorang/sekelompok orang! Untuk itu marilah kita baca ayat-ayat di bawah ini. 28:88 Dan jangan memohon [menyeru] ilah-ilah selain Allah. Tak ada ilah selain Dia. Segala sesuatu bersifat binasa [fana] kecuali Wajah-Nya. Hukum itu kepunyaan-Nya, dan kepada-Nya kamu semua dikembalikan. 55:26 Dan segala sesuatu yang ada di bumi bersifat fana. 27 Dan Yang Kekal adalah Wajah Tuhan engkau. Tuhan yang memiliki keperkasaan dan kemuliaan. 29 Semua yang ada di langit dan di bumi memerlukan-Nya. Setiap saat Dia ada dalam urusan [kesibukan]. 28:83 Itulah negeri akhirat! Kami menyediakan negeri akhirat itu bagi orang-orang yang tidak berkehendak untuk menyombongkan diri [arogan], dan tidak pula menghendaki kerusakan di bumi. Dan akibat yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa. 10:101 Katakanlah: “Perhatikanlah apa-apa yang ada di langit dan di bumi. Dan ayat-ayat serta peringatan itu tidak berguna bagi orang-orang yang tidak beriman.” Perhatikan ayat-ayat tersebut dengan seksama! Pada 28:88 diinformasikan bahwa hukum [law] itu kepunyaan-Nya. Dia yang menciptakan dan Dia pula yang menetapkan aturan dan kadarnya. Dan ternyata segala sesuatu itu bersifat fana, tidak tetap [kekal], tetapi terus berubah dan akhirnya lenyap. Semua sel yang membangun tubuh kita pada waktu bayi, sudah lenyap. Tak satu pun sel kita pada waktu bayi yang masih hidup sekarang ini. Apa yang kekal di alam ini? Wajah-Nya! Mengapa tidak dinyatakan saja “yang kekal Diri-Nya”? Karena Wujud Allah itu Maha Abstrak! Tak ada yang serupa dengan-Nya. Dia tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Semua yang tampak eksis ini sebenarnya manifestasi-Nya. Apa yang eksis ini adalah wujud dari Cipta-Nya, atau Amar (Kehendak)-Nya [QS 7:54]. Hanya Tuhan yang mempunyai kemampuan untuk mencipta dan beramar. Semua wujud yang dicipta melalui suatu proses kejadian. Sedangkan semua eksistensi yang mewujud karena amar-Nya, tanpa melalui proses. Malaikat dan ruh adalah contoh amar-Nya. Namun, toh, semua itu fana. Semua ada hanya untuk menunjukkan “keberadaan-Nya”. Karena itu yang kekal adalah Wajah-Nya! Karena itu Eksistensi sejati hanyalah Dia. Dan pelayanan di antara sesama makhluk seharusnya hanya karena Dia. Setiap saat Dia sibuk melayani hamba-hamba-Nya. Jantung kita bekerja karena pelayanan-Nya. Kita merasa mempunyai jantung itu, tetapi kita tak pernah merasa merawatnya. Paru-paru kita bekerja di luar kontrol kita. Malah Dia yang bekerja untuk kita ini. Karena itu, kita harus berusaha menjadi hamba yang “ridha”. Dengan kata lain, kita harus ridha menjadi hamba, atau abdi-Nya! Ungkapan tasawuf ini tentu saja jangan dipertentangkan dengan lagu “padamu negeri kami mengabdi”. Karena kata-kata dalam lagu itu sifatnya emosional, membangkitkan emosi penyanyinya, bukan hakiki. Jadi, kita harus dewasa dalam menimbangnya. Jangan karena “hanya kepada Tuhan kita mengabdi”, lantas kita memandang syirik lagu tersebut. Nah, ternyata untuk mencapai keridhaan-Nya kita tidak boleh bertingkah laku arogan, dan tidak boleh pula membuat kerusakan di bumi ini. Kita harus perhatikan dengan seksama gejala-gejala dan peringatan yang ada di langit dan di bumi. Untuk apa? Untuk memahami rahasia dan hukumhukum-Nya. Agar kita bisa berjalan sesuai dengan hukum-Nya. Agar kita bisa kembali kepada-Nya! Tetapi sekarang lihatlah lingkungan hidup kita. Bagaimana hutan kita bisa menjadi gundul. Sungaisungai menjadi dangkal. Asap menebal dan merusak atmosfer. Di Timur Tengah perebutan tanah melibatkan emosi keagamaan. Kelaparan menyebabkan pertikaian antar suku. Semua ini menunjukkan bahwa sedikit sekali [dapat diabaikan] orang yang ridha menjadi hamba Tuhan. Seharusnya kalau kita tahu bahwa kita ini sama-sama hamba Tuhan, sama-sama manusia maka kita tidak perlu saling menguasai. Akibat saling menguasai adalah kerusakan. Ketiga, “la maqshuda illa l-lah”, tujuan itu hanyalah Allah. Jadi, tujuan, aim at, intended, intensional bagi orang-orang mukmin adalah Allah. Yang lain-lain itu adalah jembatan menuju Allah. Orang berbuat bajik kepada orang lain, tolong-menolong dalam kebajikan, berkasih-sayang sesama manusia, memberikan perlindungan kepada mereka yang lemah, bertutur kata yang arif, dll, semuanya itu adalah jalan-jalan menuju Allah. Karena tujuan akhir itu hanya kepada Allah maka kita dilarang menjadi ilah selain-Nya. Apa artinya ini? Ya, kita jangan menghakimi keimanan seseorang atau kita jangan memaksakan kehendak dan pendapat kita. Dalam tasawuf ada kalimat thayyibah yang senantiasa dilakukan oleh orang-orang yang berzikir. Kalimat ini dibaca ketika memulai zikir. Bunyinya demikian: “Ya ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi”, Wahai Tuhanku, Engkaulah yang menjadi tujuanku, dan keridhaan Engkau yang aku cari. Yang dicari adalah Allah. Tetapi Allah bukanlah obyek! Dia adalah subyek yang meliputi segala sesuatu, omni present. Ya, Dia memang hadir di mana-mana. Tetapi kita tak menyadari kehadiranNya. Karena itu kita harus melatih diri untuk mencari-Nya. Untuk apa? Bukankah berbuat baik [beramal saleh] sudah cukup? Mari kita tengok lagi landasan hidup ini. Apa itu? Paduan iman dan amal saleh [imas]! Dengan kata lain, iman dan amal saleh tak dapat dipisahkan. Ia merupakan satu paket. Perbuatan boleh jadi baik, tetapi motif yang melandasinya buruk. Orang Jawa memberikan contoh tentang perbuatan bajik tapi motifnya buruk, yaitu “tulung menthung”. Kelihatannya dia menolong seseorang, tetapi tujuannya untuk menjatuhkan orang yang ditolongnya itu. Seperti orang yang meminjami uang kepada seseorang, tetapi bunganya membuat orang itu semakin miskin. Begitu pula iman yang tidak pernah diwujudkan dalam bentuk amal saleh, bukan iman namanya. Itu cuma kepercayaan! Iman tidak sama dengan kepercayaan. Kata “iman” memiliki unsur yang sama dengan “aman” dan “amin”. Yang diharapkan dari keimnan adalah rasa aman di dalam diri. Dan puncak dari keimanan adalah menemukan Allah! Buah dari haqqu l-yaqin adalah ma’rifatullah, mengenal Allah. Karena itu, pernyataan sufi adalah “Engkau tujuanku, dan keridhaan [kerelaan]-Mu yang aku cari”. Jadi, tujuan hidup itu sejalan dengan “inna li l-lahi wa inna ilaihi raji-‘un”. Pada bagian sebelumnya telah diterangkan bahwa kata ‘ridha’ yang biasa juga diterjemahkan menjadi ‘rela’, juga mempunyai arti pasrah atau berserah-diri. Ridha menjadi hamba Tuhan, berarti rela untuk melayani-Nya. Yang juga berarti ‘berserah diri’ kepada-Nya. Anda tentunya kenal dengan istilah “islam, iman, dan ihsan”. Secara mudahnya, ihsan adalah perbuatan yang lahir dari sikap merasa terus-menerus diawasi oleh Tuhan. Singkatnya, ihsan adalah perbuatan yang lahir dari kewaspadaan. Jika kita telah mampu melakukan ‘waskat’ [pengawasan melekat], maka kita memilih hidup ridha. Dan jiwa orang yang bersikap ridha ini disebut juga ‘jiwa muthma-innah’. Nah, di sini kita bertemu dengan ayat QS 89:27-30. 89:27 Hai jiwa yang damai, 28 kembalilah kepada Tuhan dikau dengan ridha dan diridhai. 29 Masuklah ke dalam hamba-hamba-Ku, 30 Dan masuklah ke dalam taman-Ku. Inilah panggilan terhadap jiwa yang sudah damai, tenang. Ini bukan panggilan sesudah kiamat nanti. Tetapi sekarang! Pencarian Tuhan bukan setelah kita mati. Tetapi sekarang ini, ketika hayat masih dikandung badan. Ingat, Al Quran adalah pelita bagi orang yang hidup di dunia ini. Ia bukan petunjuk untuk hidup di akhirat nanti. Ia benar-benar petunjuk untuk manusia yang hidup di dunia ini, dan implikasinya di alam yang akan datang. Karena itu, jangan menunggu di sapa atau dipanggil Tuhan nanti setelah mati. Kita harus temukan Tuhan sekarang, di dunia ini. Anta maqshudi wa ridhaka mathlubi! Di awal pelajaran ini telah dijelaskan bahwa “dengan berzikir hati menjadi damai”. Bilamana hati kita telah damai, maka panggilan Tuhan itu akan terdengar semakin nyaring. Panggilan untuk kembali kepada-Nya dengan rela, dan akhirnya pun Tuhan merelai. Tuhan rela agar yang dipanggil itu masuk ke dalam komunitas hamba-hamba-Nya [jamaah pelayan-Nya]. Lalu, jiwa dituntun-Nya memasuki taman-Nya! Taman yang penuh kedamaian dan kekekalan. Nabi Isa as datang ke bumi bukan untuk dilayani, tetapi dia datang untuk melayani. Muhammad saw datang dengan memproklamirkan diri bahwa dia adalah hamba-Nya, ‘abduhu. Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh, Muhammad hamba dan pesuruh-Nya. Baik Isa maupun Muhammad tidak segan untuk memproklamirkan dirinya sebagai hamba, abdi, atau pelayan! Sekarang ini malahan kita tidak mau menjadi abdi. Kita malah berebut menjadi majikan ‘agama’. Kita ingin agama kita paksakan untuk diterima oleh orang lain. Jadi, kita bukan datang untuk melayani orang sehingga orang pada tertarik kepada agama kita. Tetapi orang kita paksa untuk menerima syariat yang kita tawarkan. Kita lupa bahwa “la ik-raha fi d-din”, tidak ada paksaan dalam agama [QS 2:256]. Agama memang bukan untuk dipaksakan. Agama adalah nasihat, petuah. Agama adalah jalan yang benar! Sesuatu yang benar itu jelas batasnya dengan yang salah. Karena itu agama tak perlu dipaksakan. Sekarang ini banyak orang yang mencoba memaksakan agama. Ayat tersebut diberi footnote [catatan kaki]: tidak dipaksakan mengikuti agama, tetapi bila sudah menga-nutnya harus dipaksa melaksanakannya. Aha....., ini dia catatan yang melanggar makna kebebasan yang diberikan Tuhan. Padahal Nabi sendiri datang untuk menjadi abdi dan pesuruh-Nya. Sebagai abdi Nabi diperintah Tuhan untuk memberikan teladan yang luhur. Sebagai pesuruh Nabi diperintah untuk menebarkan rahmat, kasih-sayang. Biarkan orang meneladani beliau dengan sepenuh kesadarannya. Ayat 2:256 itu sebenarnya mengajak manusia untuk bersikap ridha. Agar kita bisa memahami secara utuh ayat tersebut, saya cuplikkan ayat tersebut di bawah ini. Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan kegelapan. Barangsiapa yang mengingkari ‘tagut’, dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang teguh pada tali yang kuat dan tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Mengapa agama tidak boleh dipaksakan? Agama adalah jalan! Jalan yang benar itu jelas bedanya dari yang salah, jalan kegelapan. Orang yang mengingkari tagut, hal-hal yang melampaui batas, dengan kata lain orang yang beramal saleh, dan beriman kepada Tuhan, maka dia sebenarnya telah berpegangan pada tali yang kuat, yang tak akan putus. ‘Tagut’ dari kata ‘thagha’, melampaui. Jadi, tagut adalah perbuatan atau tindakan yang melampaui batas. Juga biasa diterjemahkan ‘setan’. Jadi, kalau orang tidak memperturutkan hawa nafsunya, tidak berlebihan, tidak melampaui batas-batas kemanusiaan, tidak menyelewengkan amanat, tidak sewenang-wenang, tidak mau menang sendiri, tidak berbuat demi kepentingannya sendiri/kelompoknya; maka orang itu telah mengingkari tagut. Tak perlu lagi agama dipaksakan kepada-Nya. Lho, bagaimana kalau dia tidak menjalankan syariat? Bukankah dia harus dipaksa karena telah menerima Islam? Di sini kita harus hati-hati! Islam bukanlah sesuatu yang harus diterima atau tidak. Islam adalah jalan, penyerahan diri, submission. Ia diwujud-kan dengan cara mengingkari tagut dan beriman kepada Tuhan. Atau dengan kata lain, Islam diwujudkan melalaui iman dan amal saleh. Syariat adalah bentuk riyadhah atau training untuk mewujudkan imas tadi. Karena ia merupakan program pelatihan, maka syariat tak pernah lepas dari pendapat ulama. Syariat yang dijalankan oleh warga LDII ya mengikuti pendapat tokoh-tokohnya. Yang NU ya mengikuti ulamanya. Muhammadiyah, Persis, Syi’ah dll juga begitu. Di dalam masyarakat Islam yang plural, pemaksaan syariat akan menimbulkan gaduh. Bahkan mungkin malah terjadi pertikaian. Masing-masing pihak akan mengklaim syariatnya yang benar! Kalau sudah demikian, syariat bukan lagi sebagai program pelatihan untuk hidup beragama, tetapi menjadi berhala. Tuhan telah disingkirkan, dan diganti dengan paksaan manusia. Sekali lagi, mari kita jadikan agama sebagai jalan, din, landasan untuk hidup kita. Agama bukan Tuhan, dan bukan pula suku atau kerangkeng kehidupan. Bila kita sudah mampu menempatkan agama sebagai jalan, maka ikatan emosional dengan agama akan hilang. Sehingga suatu peristiwa atau kejadian tidak dikaitkan dengan agama. Misalnya, kejadian yang menimpa WTC dan Pentagon, jangan dikaitkan dengan Islam. Itu semua akibat perseteruan antar manusia, karena mereka yang berseteru itu belum ridha menjadi manusia, hamba Tuhan. Kata arif dari Jawa, ‘manungsa iku manunggaling rasa’, manusia itu bila dapat menyatukan rasa sama-sama sebagai manusia. Sama-sama ridha sebagai manusia! Manusia harus banyak berzikir agar hatinya damai, pikirannya tenang. Dengan hati yang damai manusia akan ridha memenuhi panggilan Tuhannya. Nah, sebagai tips hari ini mari kita tingkatkan mutu zikir kita. 1. Cari waktu yang sepi, misalnya bangun pagi sebelum masuk subuh. 2. Duduk di tempat yang nyaman, dan lakukan duduk yang relaks. 3. Lakukan istighfar [astaghfirullah] secukupnya, 3 atau 7 kali. 4. Baca tasbih, tahmid, dan takbir. 5. Pejamkan mata yang relaks. 6. Ucapkan ya ilahi anta maqshudi..... 7. Sekarang katupkan kedua bibir dengan ujung bawah lidah menempel ke langit-langit. 8. Pusatkan perhatian pada kedua ujung lubang hidung sambil menarik napas, disertai ucapan dalam hati “la ilaha illa l-lah”, dan tahan sejenak di dalam perut Anda. 9. Kemudian lepas pelan-pelan napas tersebut dibarengi ucapan tahlil dalam hati, dan kita awasi napas tersebut sampai ujung lubang hidung. Lakukan tarik dan hembus napas itu minimal 17 kali. Bagian ke-21 [akhir ridha] Pada awalnya, ridha berarti rela menerima “qadha”, ketentuan Tuhan. Kemudian ridha kita ini, kita tingkatkan menjadi rela sebagai “hamba, abdi Tuhan”. Nah, puncak dari ridha adalah bangkitnya kesadaran bahwa dunia ini hanyalah “perhiasan”, “sandi wara”, dan “permainan”. Jadi, ada 3 hal yang perlu kita kupas dan ulas, yaitu dunia sebagai perhiasan, permainan, dan sandiwara. Pertama, dunia sebagai perhiasan. Kita semua ini adalah perhiasan. Kepunyaan siapa? Ya, kepunyaan Tuhan! Lho, Tuhan koq perlu perhiasan? Katanya, Tuhan tidak memerlukan apa-apa. Dia Maha Kaya. Betul, betul sekali... bahwa Tuhan tidak perlu apa-apa. Dia tidak perlu perhiasan, karena Dia itu indah. Dia itu indah! Karena itu, Dia mencintai keindahan. Dia ciptakan perhiasan untuk memenuhi kecintaan-Nya terhadap keindahan. Dan, perhiasan itu berupa dunia, bumi-langit dengan segala isinya. Tetapi, ternyata yang paling indah....adalah “perempuan yang saleh”! Nah lho, ada diskriminasi. Lha, kalau saya laki-laki kan tidak bisa menjadi perhiasan yang terindah bagi Tuhan? Lha wong, cuma perempuan yang saleh yang menjadi perhiasan terindah. Apa nggak diskriminasi namanya? Dalam bahasa Arab, perempuan juga melambangkan kelembutan, atau bagian yang halus. Jiwa atau “nafs” juga merupakan kata benda perempuan. Bumi juga diberi status perempuan. Bulan yang cahayanya terasa teduh bila dipandang, disebut berwatak perempuan. Nah, perhiasan terindah adalah makhluk Tuhan yang bertabiat perempuan! Kita tak akan sanggup menerima “qadha” bila tidak tumbuh kelembutan di dalam diri kita ini. Kita belum bisa menjadi “Islam”, berserah diri, bila kita belum mampu me-nundukkan kepentingan-kepentingan pribadi kita. Ya, tapi kan langka, orang yang dapat mengesampingkan kepentingan dirinya. Justru pada kelangkaan itu letaknya sebuah nilai! Perhiasan dalam pengertian yang sesungguhnya, seperti emas, mutiara, permata, dan lain sebagainya itu mahal karena kelangkaannya. Dunia ini perhiasan! Kadangkala mempesona. Kadangkala memperdaya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Kalau kita menyadari bahwa nilai perhiasan itu bersifat ekstrinsik, cuma nilai yang dilekatkan dari luar, maka kita tak akan teperdaya. Jika kita melihat suatu perhiasan itu indah, sebenarnya karena kita ini dipengaruhi oleh orang lain yang mengatakan itu indah. Penilaian terjadi karena pikiran kita dipengaruhi oleh pikiran orang lain sejak kecil. Sehingga jika kita disuguhi makanan dengan tempurung kelapa [bathok], sedangkan yang lain dengan piring, maka kita merasa terhina dan tidak bisa makan. Tapi bagi orang yang minta-minta, dia tetap bisa makan dengan tempurung atau selembar daun sekalipun. Bagi si peminta, kelaparan tak ada hubungannya dengan sebuah nilai. Jadi, ridha menerima Allah berarti menyadari sepenuhnya bahwa dunia ini cuma sebuah perhiasan, bukan hakiki. Mari kita perhatikan beberapa ayat yang berkaitan dengan nilai dunia ini: 3:185 Setiap jiwa merasakan mati. Dan sesungguhnya imbalan untukmu disempurnakan pada saat kebangkitan. Barangsiapa yang dijauhkan dari api, dan dimasukkan taman, maka menanglah dia. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah perhiasan yang memperdayakan. 186 Sungguh kalian semuanya diberikan cobaan berupa harta dan nafs kalian. Dan, kamu akan mendengar banyak caci-maki dari ahli kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka ini adalah perkara yang perlu keteguhan hati. 57:20 Ketahuilah, sebenarnya kehidupan dunia itu permainan, sandiwara, perhiasan, saling menyombongkan diri di antara kamu, dan berlomba banyak harta dan anak. Itu ibarat hujan yang menyebabkan lebatnya tanaman sehingga menyenangkan para petaninya. Lalu, tanaman itu layu dan tampak kuning, dan akhirnya sirna. Dan, di akhirat ada azab yang keras dan ada juga perlindungan dari Allah, serta keridhaan-Nya. Dan, tiadalah kehidupan dunia itu kecuali perhiasan yang memperda-yakan. Ayat yang pertama, 3:185, adalah kaidah umum. Apa itu? Setiap diri merasakan mati. Jika makna mati diperluas, termasuk juga tidur, maka siapa yang masih memakai raga jasmani dunia ini pasti mengalami kematian. Dan, suatu imbalan pasti dirasakan bila kesadaran kita ini bangkit. Anak kecil [kurang dari 2 tahun] tidak terlalu mengerti makna suatu imbalan. Kesadarannya belum bangkit. Lain dengan manusia dewasa yang sehat lahir dan batin, kesempurnaan imbalan dari Tuhan itu akan dirasakan. Jika hidup-nya penuh dengan keridhaan, maka jauhlah dia dari neraka. Dekatlah dia dari surga. Imbalan surga itu dirasakan di dalam dirinya. Ia menang! Ia realistis menempuhnya hidupnya. Ia ridha, rela! Untuk menopang dan mengukuhkan sikap ridha itu, Tuhan memberi tahu bahwa kehidupan dunia itu hanyalah perhiasan, kesenangan, yang sifatnya memperdayakan mereka yang tertarik. Lho, apa tidak boleh orang bersenang-senang? Tentu saja boleh! Tetapi, jangan sampai lengah, lalai. Jika kita berekreasi mencari kesenangan, maka kita pun harus tahu batas. Kita harus “rela” meninggalkan tempat rekreasi itu bila waktunya habis. Kita kembali! Karena itu dunia ini pun dikenal sebagai kesenangan sementara. Tidak kekal! Segala sesuatu yang terus berubah memang tidak kekal. Konsekuensi hidup di dunia adalah senantiasa berhadapan dengan berbagai cobaan hidup. Cobaan itu berupa harta benda dan nafs. Harta benda adalah semua benda yang diberi nilai, diberi “aji”. Kita belum berebut udara untuk bernapas, karena kita belum memberikan nilai, harga pada udara. Tetapi jika udara sudah menjadi barang langka, maka kita akan berlomba untuk mendapatkannya, dan mengumpulkannya. Nah, apa yang disebut “cobaan berupa nafs”. Yang terkandung dalam cobaan nafs adalah rasa dan keinginan. Dalam menghadapi hidup ini manusia sering mengalami rasa takut, rasa cemas, rasa khawatir, rasa hampa, dan berbagai rasa yang sifatnya membuat hidup menderita. Sedangkan berbagai rasa senang mendorong manusia untuk memenuhi semua keinginannya. Seakanakan hidup ini hanya untuk memenuhi keinginan. Padahal keinginan yang dituruti terus-menerus akan menghasilkan dilusi! Dan, yang harus diingat, bila kita ingin hidup benar, maka datanglah cemoohan justru dari orangorang yang telah membaca kitab. Itulah sebabnya mengapa di negara yang mayoritas penduduknya beragama banyak sekali orang yang tidak berani menem-puh hidup benar. Tidak kuat menghadapi cobaan harta-benda dan nafs! Korupsi meraja lela, karena tidak tahan menghadapi cemoohan para pembaca kitab dan orang-orang yang mengalami disorientasi dalam hidup ini. Agar tidak tergoda dan tahan menghadapi caci maki, maka diperlukan kesabaran dan ketakwaan. Dan, hal ini perlu keteguhan! Pada ayat ketiga, ditegaskan bahwa hidup ini pun merupakan kondisi saling me-nyombongkan, lomba banyak harta dan banyak anak. Memang, setting ayat ini ketika manusia bangga bila banyak anak. Kalau sekarang justru orang merasa enggan untuk mempunyai banyak anak. Tetapi lomba banyak harta semakin meraja lela, khususnya di Indonesia. Karena yang dijadikan perlombaan itu tentang banyaknya harta, maka jangan heran bila korupsi yang berkecamuk. Berbangga, menyombongkan diri, dan berlomba banyaknya harta, itu diibaratkan “hujan”. Ketika hujan turun maka tumbuh suburlah tanaman milik petani itu. Tanaman yang tumbuh lebat ini menyenangkan petaninya. Petaninya merasa senang karena dalam angan-angannya, tanaman itu pun akan berbuah lebat, akan memberikan hasil besar. Tetapi, tak disangka-sangka datanglah hama yang menyerang tanaman itu. Tanaman yang tadinya segar bugar, meranalah seketika. Serangan hama yang hebat, hanya dalam semalam sudah membuat tanaman layu dan mati. “Lho, di tengah krisis ini kok orang-orang kaya tidak menjadi merana. Bahkan mereka tampak jaya saja. Malah yang melarat yang tambah menderita!” Tentu..., mereka tidak seperti tanaman. Tetapi, dalam keadaan krisis yang melanda negeri kita ini mereka tampak “layu”. Coba perhatikan wajah mereka di tv! Pandanglah wajahnya dengan tenang, tanpa terbuai kekayaan mereka. Sorot matanya, cahaya yang terpancar dari wajahnya, itu lho yang redup, layu! Dunia ini hanyalah kesenangan sementara. Kesadaran tentang hal ini harus kita tumbuhkan. Agar, jika kita menerima anugerah-Nya kita tidak lupa. Kita tidak terlalu berbangga. Kesenangan itu hanyalah gelombang pikiran. Ia datang, dan pergi! Karena itu jangan terperangkap. Kedua, dunia sebagai permainan. Tahukah Anda bahwa permainan itu dalam diri-nya sendiri tidak mempunyai tujuan. Sepak bola, misalnya. Permainannya sendiri tidak meminta pemainnya terdiri dari dua kesatuan yang bertanding, dan masing-masing 11 orang. Tetapi ada orang yang menciptakan aturan mainnya, dan diterima oleh mereka yang bertanding. Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari permainan? Yang bisa kita ambil sebagai pelajaran adalah “aturan main”. Aturan main itu lahir dari kesepakatan, konvensi. Aturan itu berubah sesuai dengan perubahan pengetahuan manusia-manusianya yang terlibat dalam permainan itu. Aturan permainan sepak bola sekarang ini sudah pasti sangat jauh berbeda dengan aturan ketika permainan ini baru diciptakan. Manusia juga begitu. Aturan manusia zaman berburu berbeda dengan manusia peramu [pengumpul buah]. Ketika masyarakat manusia berubah menjadi masyarakat pertanian, aturannya berubah. Tatkala masyarakat manusia berubah menjadi masyarakat pedagang, ada transaksi hutang-piutang. Pedagang membuat aturan laba-rugi! Lalu, muncullah masyarakat industri. Dan sekarang kita berada di tengah-tengah masyarakat informasi. Semua ini akan mengubah aturan permainan dalam kehidupan ini. Sistem pekerjaan, peribadatan, perkawinan, pergaulan, dan pembernegaraan, itu semua berubah sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat agraris, peribadatan ditujukan untuk memuja tuhan kesuburan, tuhan matahari, tuhan sungai, tuhan halilintar dan sebagainya. Ketika masyarakat pedagang berkembang, maka sistem ketuhanan juga berubah menjadi tuhan yang menjamin rezeki, keuntungan, kekayaan dan lain sebagainya. Ketika pertanian dan perdagangan bertemu dan menjadi satu sistem, maka tumbuhlah agama “tauhid”. Bagi masyarakat pertanian, munculnya masyarakat perdagangan mereka anggap sebagai datangnya malapetaka. Nasib petani biasa dipelintir pedagang. Masyarakat pedagang dipelintir masyarakat industri. Dan masyarakat industri dikuasai oleh mereka yang memegang supremasi informasi! Aturan main dalam agama tauhid yang muncul pada masyarakat petani+pedagang, harus ditafsirkan kembali, dilakukan re-thinking. Kita bukan hanya rela menjadi abdi, tetapi bersedia meningkatkan diri untuk mengikuti aturan main di dalam taman-Nya. Di mana lokasi taman Tuhan itu? Ada di dalam diri Anda yang terdalam. Ada di lubuk hati Anda yang mukmin. Di situlah Anda menjumpai taman, surga Tuhan itu seluas langit dan bumi. Bukankah bumi dan langit itu tak mampu menjangkau Tuhan? Tetapi, hati seorang mukmin, hati seorang yang beriman, hati orang yang aman jiwanya, dapat menjangkaunya. Bumi dan langit, atau alam semesta tidak mampu me-nampung Tuhan. Tetapi, hati seorang yang aman dapat menjadi Singgasana-Nya! Relakah kita mengikuti permainan di taman-Nya? Aha..., rupanya kita belum siap. Kita belum rela meninggalkan aturan lama yang sudah tidak fit, tidak cocok lagi. Permainan baru telah digelindingkan Tuhan, misalnya bioteknologi, kultur jaringan, rekayasa genetika, dan kloning. Kita tidak rela mengikutinya bahkan kita mengutuknya. Kita lupa bahwa semua itu tak akan terjadi tanpa kodrat dan iradat Tuhan. Kita cuma bisa menuduh bahwa itu ulah dari para orang kafir. Akhirnya, kita sendiri yang “kufr bi n-ni‘mah”, kafir terhadap kenikmatan dari Tuhan. Nah, marilah kita sadar bahwa kehidupan dunia ini ternyata hanyalah permainan. Pemilik permainan itu Tuhan Yang Mahaesa. Karena itu, mari kita ikuti permainan ini dengan sebaik-baiknya. Jangan dilanggar! Jika demokrasi yang menjadi permainan kita, maka jangan cari-cari dan curi-curi dalil agama untuk kepentingan golongan, atau kepentingan pribadi dengan stempel agama. Di bawah ini ada ayat-ayat yang menyebutkan bahwa dunia ini permainan, dan juga sandiwara. 6: 32 Dan tiadalah kehidupan dunia ini kecuali permainan dan sandi wara. Sungguh negeri akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Apakah kamu tidak menggunakan akalmu untuk memahami? 29: 64 Dan tiadalah kehidupan dunia ini kecuali sandiwara dan permainan. Dan sungguh negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka menggunakan akal untuk memahami. Ketiga, disamping sebagai permainan, kehidupan dunia ini ibarat sandiwara. “Lho, kok demikian? Lha, kalau cuma sandiwara, buat apa kita hadapi dengan serius?” Jangan gusar dulu. Tuhan memberitahukan yang sebenarnya. Kalau seseorang menjadi presiden sekarang ini, itu hanyalah peran. Yang sesungguhnya, dia ini cuma seorang hamba. Tapi, peran kepresidenannya itu harus disyukuri. Peran itu harus dijalani dengan sebaik-baiknya. Sehingga timbul apresiasi terhadap perannya. Bagaimana orang berperilaku jahat? Itu juga peran! Konsekuensi orang yang berperan kejahatan adalah menerima hukuman. Lihatlah sandiwara di atas panggung. Agar penonton tidak kecewa, yang salah, yang berbuat jahat, menerima hukuman atau dibuat kalah. Lho, kok mau menjadi pemeran kejahatan? Di sini memang ada “blue print” bagi orang yang terlahir di bumi. Pernahkah Anda mendengar bahwa racun itu harus ditangkal dengan racun? Begitulah, sebenarnya “blue print” kejahatan pada diri seseorang itu untuk menangkal kejahatan. Namun, tidak semua orang bisa menjalankan peran yang diterimanya. Akhirnya ia bukan menjadi penangkal kejahatan, tetapi betulbetul menjadi pelaku kejahatan. Peran positif mudah dipahami. Sedangkan peran negatif sulit sekali dipahami dengan cara berpikir normatif. Untuk memahami kejahatan sebagai peran, tidak cukup dikaji secara teoritis. Ia harus dikaji secara filosofis, bahkan dipahami dengan spiritual yang tinggi seperti yang digambarkan oleh Khidir di depan Musa. Pada tingkatan objektif rasionalnya Musa, Khidir telah bertindak salah karena telah membunuh seorang anak yang tidak bersalah. Secara lahiriah Khidir telah bertindak salah. Ia pembunuh. Tapi pada level yang lebih tinggi, Khidir telah menolak kejahatan yang akan datang. Tidak perlu bingung dan menjadi beban pikiran. Yang penting kita sekarang ini ambil peran yang positif, dan kita pentaskan yang sebaik-baiknya. Anda tak perlu memaksa pikiran Anda untuk mengerti hal-hal yang belum bisa Anda jangkau. Yang wajar-wajar saja! Laluilah semampu Anda. Jangan berandai-andai melampaui kemampuan Anda. Nanti malah terjatuh. Yang perlu kita sadari sekarang ini adalah kita ini sedang bermain sandiwara. Dan kita terpanggil untuk ambil peran yang positif. Maka kepositifan peran kita itu kita tingkatkan. Hingga timbul apresiasi. Bukan apresiasi dari pemain sandiwara lainnya, tetapi apresiasi dari sang keberadaan. Dalam bahasa spiritualnya, kita mendapat apresiasi dari Tuhan, Sang Sutradara Agung! Jika kita bukan penjahat, maka jangan coba-coba berperan sebagai penjahat. Dan bila kita merasa peran kita sebagai penjahat, maka peran itu kita optimalkan untuk bisa menolak kejahatan yang lebih besar. Kalau kita ambil contoh secara nalar, memata-matai orang itu sebuah kejahatan. Tetapi bila peran itu kita optimalkan sebagai intel negara, demi keselamatan orang banyak [seluruh negara], maka pujian yang datang dan bukan sumpah serapah. Mencuri adalah perbuatan jahat. Tetapi banyak pemerintah, dan kelompok agama mencuri rahasia negara atau golongan lain. Dan, masih banyak contoh lainnya yang Anda sendiri bisa mencarinya. Jika dunia merupakan permainan dan sandiwara. Maka akhirat adalah kehidupan yang sebenarbenarnya. Hanya saja orang telah mengecilkan dan menyempitkan makna akhirat. Jika dunia yang sangat terbatas ini punya fungsi perhiasan [kesenangan], sandi- wara dan permainan; maka akhirat juga harus kita pahami yang seluas-luasnya. Yang melampaui pemahaman kita tentang dunia. Selama ini akhirat hanya diartikan sebagai alam yang akan datang, yang adanya setelah dunia ini musnah! Ini sebenarnya hanya salah satu makna bagi akhirat. Padahal dunia dan akhirat itu satu adanya. Perhatikan kembali “surga” yang seluas langit dan bumi [QS 3: 133, 57:21]. Perhatikan keberadaan surga dan neraka selama ada semua langit dan bumi [QS 11:107, 108]. Akhirat juga sisi lain dari alam semesta. Bila dunia kita lihat sebagai kenyatan lahiriah, maka sisi yang tersembunyi, yang batiniah itu juga merupakan akhirat. Bila dunia itu adalah “kenyataan yang sekarang” maka akhirat adalah keberadaan yang akan datang. Bila dunia mewakili pengalaman hidup di bumi ini maka akhirat adalah sebuah kehidupan di tempat lain. Dengan memahaminya dalam pengertian yang luas, maka kita akan bisa mengerti arti bahwa dunia itu hanyalah perhiasan, permainan, dan sandiwara. Dunia sebagai perhiasan karena nilainya bukanlah nilai intrinsik. Bukan nilai asli yang terkandung di dalamnya. Emas itu menyenangkan kita karena ada nilai yang diatributkan kepadanya. Tetapi, bagi salah satu suku di Irian Jaya [Papua], yang bernilai itu bukan emas, intan dan berlian melainkan tulang dan gigi babi. Bagi kanak-kanak, mainan lebih berharga daripada satu ton emas! Sebagai permainan, kehidupan dunia terus berubah. Aturannya pun terus berubah sesuai dengan perubahan dunia itu sendiri. Dulu dengan alasan pasutri tidak punya anak maka suami harus diizinkan kawin lagi. Tetapi, sekarang ada bayi tabung, ada kloning. Sehingga alasan itu menjadi usang nantinya jika bayi tabung dan kloning sudah murah harganya. Sehingga terjangkau oleh mereka yang biasa-biasa saja kekayaannya. Nah, rela tidak, ridha tidak, kita menyambut perubahan aturan main itu? Kehidupan juga sandiwara. Sehingga kita ini adalah pemain di dalamnya. Tentu harus kita optimalkan pentas kita di panggung sandiwara ini. Pentas kita harus mampu melahirkan prestasi dan apresiasi. Bukan apreasi dari sesama pemain sandiwara. Tetapi apreasiasi dari Sang Sutradara. Sepi ing pamrih rame ing gawe, sunyi dari pamrih terhadap sesama, tetapi menonjol dalam karya. Sudahkah kita ridha? Bagian Ke-22 [Tawakal] Pada akhir pelajaran tentang ridha, disebutkan bahwa dunia ini adalah perhiasan, permainan, dan sandiwara. Pada tahap ini pelaku sufi sebenarnya sudah tumbuh suatu penghayatan. Dan, bukan masih berada pada tahap awal, yaitu pada tataran objektif dan normatif. Jika kita masih pada tingkat normatif, maka kita akan terjebak pada paham jabariah. Suatu paham yang mendefinisikan bahwa hidup ini “jabbar”, terpaksa. Dalam paham ini manusia tidak mempunyai kuasa apa-apa, ia hanya berbuat sebagaimana yang ditetapkan di “lauhu l mahfuzh”, kitab induk semesta. Pemahaman dan penghayatan di maqam ridha, sudah melampaui dualisme. Hidup itu bukan jabariah dan bukan pula ‘qadariyah’ [paham yang meyakini bahwa Tuhan tidak menentukan apa-apa, dan manusia berkehendak dan bertindak bebas]. Ridha adalah sikap yang seimbang antara keyakinan predestinasi [jabbar, takdir] dan kehendak bebas, free will. Praktik birokrasi dan sentralisasi di negara-negara berkembang dise-babkan oleh masih suburnya keyakinan jabariyah, meskipun mereka tidak mengerti ‘apa itu jabariyah’. Pemahaman adanya ‘blue print’, cetak biru pada diri manusia sebenarnya hanya untuk mengingatkan kembali bahwa manusia telah berjanji untuk memenuhi ‘qadha’nya. Bukankah kita ini telah melakukan kontrak dengan Tuhan, seperti yang dinyatakan dalam QS 7:172? Dan, mengoptimalkan penggunaan cetak biru secara positif adalah untuk menunjukkan hadirnya kehendak bebas yang diberikan pada manusia. Pemahaman yang benar tentang kodrat dan iradat, ketetapan dan kehendak, akan mengantarkan manusia hidup seimbang di dunia ini. Bukan materialis dan bukan pula immaterialis. Menjadi manusia yang harmonis di tengah taman-Nya. Itulah sebabnya, saya selalu mewanti-wanti, mengingatkan bahwa setiap tahap dalam pelajaran tasawuf ini merupakan lanjutan dari pemahaman tasawuf sebelumnya. Jadi, pemahaman yang ada dalam setiap pelajaran tidak berdiri sendiri-sendiri. Semula manusia tasawuf diangkat dari kehidupan subjektifnya menuju ke kehi-dupan yang objektif dan rasional. Dari ilmu l-yaqin menuju ke kehidupan ainu l-yaqin. Dari takwa pada tangga dasar hingga menjadi manusia wara’ adalah manusia yang hidup mengikuti keyakinan berdasarkan ilmu, berdasarkan pengetahuan yang benar. Lalu manusia sufi meningkatkan dirinya ke tahap penghayatan dan pengalaman hidup, tahap ainu l-yaqin. Tahap sabar dan zuhud. Tahap tahalli. Tahap kondisioning. Nah, ridha dan tawakal adalah tahap haqqu l-yaqin. Tahap tajalli. Tahap manusia yang mewujudkan citra Ilahi. Manusia yang mengasihi tetapi bukan karena meminta dikasihi. Manusia terhormat bukan karena dihormati. Manusia kaya bukan karena melimpahnya materi. Manusia cinta, sebagai manifestasi cinta Ilahi. Tajalli! Karena itu, teori tasawuf hendaknya tidak dipahami sebagai teori semata-mata. Penghayatan dan pengalaman ditingkatkan menjadi pemahaman. Pada tahap awal orang beramal karena diberi tahu. Ada orang lain yang melang-kah dengan benar, lalu diteorikan. Teori itu disebarluaskan, untuk dipraktikkan bareng-bareng. Lahirlah manusia kolektif. Ada aturan buat hidup bersama. Ada sentralisasi dan birokrasi untuk kehidupan bersama. Penampilan individu amat lemah karena kuatnya hidup kolektif. Sebaliknya, individu yang kuat, akan merajai banyak manusia. Inilah ciri manusia di tahap takhalli, syariat. Individu tidak kuasa mengatur dirinya, tetapi diatur oleh kekuatan dari luar dirinya. Kemudian mereka berusaha meningkatkan diri mereka ke tahap tahalli. Tidak ingin lagi dibelenggu oleh kekuatan kolektif. Mereka ingin membuat improvisasi. Bukan dikuasai tetapi merasa andil, share, berperan serta dalam kehidupan ini. Aturan main bukan demi yang kuat, tetapi demi kehidupan bersama. Orang menyebutnya hidup dalam alam demokrasi. Hidup bukan hanya dituntut memenuhi kewajiban, tetapi juga mendapatkan haknya. Faktor inilah yang ditempakan dalam maqam sabar dan zuhud. Jika individu yang bertahalli semakin banyak, maka muncullah kehidupan demokrasi yang dicita-citakan bersama. Di sinilah peranan tasawuf! Bukan hanya untuk meraih kebahagiaan pribadi, diri sendiri, tetapi kebahagiaan bersama. Nah, ridha dan tawakal adalah tahapan puncak kemanusiaan. Masyarakat bukan lagi merupakan kumpulan individu yang dikuasai oleh kekuatan di luar dirinya. Tetapi masyarakat yang individuindividunya mampu beraktualisasi. Individu-individu yang mampu berbuat dan bertindak dengan kekuatan yang tumbuh dari dalam dirinya. Mereka adalah individu-individu yang sudah memahami peran dirinya dalam kehidupan ini. Kalau individu-individu itu diibaratkan “sel dan jaringan sel tubuh”, ia tidak akan mengganggu yang lain. Mereka semua tumbuh dalam keharmonisan. Mereka mengerti akan nilai dan estetika perannya masing-masing. Bagi sel yang hidup di jaringan organ otak dan sel yang hidup di jaringan organ dubur, sama-sama menerima perannya dengan rela, ridha. Sudahkah kita mengenal peran kita masing-masing? Pada tahap tawakal, yang sedang kita bahas ini, manusia tidak memandang dirinya dan Tuhannya sebagai ‘dualisme’. Manusia tidak lagi memandang dirinya dikuasai oleh faktor luar. Tuhan pun tidak lagi dipandang ada “di luar sana”. Anda masih ingatkan dengan dalil “Dia bersama kamu di mana saja kamu berada”. Dalam Hadis dinyatakan, “langit dan bumi tak dapat menjangkau-Ku, tetapi hati seorang mukmin dapat menjangkau-Ku.” Dia ada di dalam diri sekaligus di luar diri. Bagi yang belum mukmin, Tuhan tidak ada di dalam diri sekaligus tidak ada di luar diri. Nah, untuk bisa memahami aspek kesatuan hamba dan Tuhan, manunggalnya kawula dan Gusti, “tauhidu l-wujud”, marilah kita simak beberapa ayat di bawah ini. “Tuhanmu adalah Dia yang melayarkan kapal di laut untukmu agar kamu dapat mencari karuniaNya. Sesungguhnya Dia Maha Penyayang terhadapmu.”1) “Dan peliharalah dirimu dari bencana yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Sesungguhnya Allah sangat keras dalam memberikan balasan.”2) “Padahal Allah menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu kerjakan.”3) Mari kita simak! Pertama adalah ayat pertama tentang berlayarnya kapal di lautan. Kapal yang dikemudikan oleh manusia disebut dilayarkan oleh Tuhan. Kapal terbang yang terbang di angkasa dengan menggunakan mesin, juga disebut dijalankan oleh Tuhan. Jadi, memang tak ada dualisme itu. Meskipun manusia membuat mesin sehingga pesawat bisa terbang, tetapi bekerjanya mesin itu mengikuti hukum Tuhan. Jadi, apa yang kita buat akan terwujud, maujud, bila kita membuatnya berdasar-kan hukum Tuhan. Cangkok ginjal, cangkok jantung, dan berbagai macam cangkok organ manusia terjadi mengikuti hukum Tuhan. Nah, pelajaran apa yang bisa kita petik dari ayat pertama tersebut? Ayat tersebut sebenarnya memberi tahu kita tentang proses tawakal dalam hidup ini. Kata tawakal atau dalam bahasa Arabnya “tawakkul”, artinya percaya sepenuhnya kepada Tuhan, mewakilkan kepada Tuhan. Jadi, orang yang bertawakal sebenarnya adalah orang yang menggantungkan diri 100 % kepada Tuhan. Bukan hanya rela, tetapi pasrah total kepada-Nya. Persoalannya, apakah pasrah total itu = pasif? Pasif itu sama dengan benda tak hidup, seperti batu, tanah, dan lain sebagainya. Lha, tawakal itu di dalam Hadis digambarkan seperti “burung yang pagi-pagi meninggalkan sarangnya, dan sore hari kembali ke sarangnya dengan tembolok penuh dengan makanan”. Itulah tawakal! Kalau kita melihat dunia safari di Afrika [melihat di tv], kita mengetahui bagaimana hewan-hewan itu mempertahankan hidupnya. Singa, misalnya, mencoba menggiring kawanan kijang, atau banteng hutan. Melihat ada singa yang menggiringnya, kawanan binatang mangsa itu berlari kesana-kemari. Akhirnya, ada satu ekor yang kepayahan. Nah, yang loyo itulah yang ditangkap! Jadi, dalam tawakal, perlu juga keseimbangan alam ini dijaga. Coba bayangkan kalau seekor singa membunuhi banyak hewan mangsa. Maka keseimbangan alam akan terganggu. Nah, tawakal tidak mengganggu alam, bahkan menjaga keseimbangan alam. Dan, ternyata singa tersebut tidak pasif, tetapi sangat aktif dan betul-betul mengikuti hukum alam. Menggantungkan diri kepada Tuhan ternyata sangat aktif, dengan tepat sasaran. Dinamis dan keseimbangan terjaga. Itulah tawakal! Dulu orang bertawakal kepada Tuhan dengan dilandasi doa yang khusyuk. Doa dan mantra sebenarnya sisa-sisa alam mitos yang dipertahankan dalam agama. Orang yang berdoa, bukan orang yang pasif, bila doanya sungguh-sungguh. Dengan doa yang sungguh-sungguh itu kekuatan doa [mantra] terbentuk. Karena itu, pada waktu itu doa bisa digunakan untuk pengobatan, perlindungan dari berbagai macam kejahatan dan gangguan orang lain, pencegahan penyakit, tolak bala [mencegah bencana], dan banyak keperluan lainnya. Dulu doa bisa digunakan seperti yang disebut di atas, karena waktu itu konsentrasi pikiran manusia dialirkan ke kalimat-kalimat doa. Bahkan sihir, tenung, santet, dan bebagai macam kekuatan gelap, kekuatan negatif adalah wujud dari doa. Tentu saja doa yang negatif. Doa untuk kejahatan. Ada perbedaan antara doa sebagai wahana tawakal dan doa untuk kejahatan. Doa dalam tawakal berarti mengembalikan semua kekuatan yang ada pada diri ini kepada yang empunya kekuatan, yaitu Allah. ambil contoh, doa akan bepergian: “Bismillahi tawakaltu ‘ala llahi, la haula wa la quwwata illa billah.” [Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, yang tiada daya dan kekuatan kecuali pada-Nya]. Di sini ada kesadaran bahwa pemilik daya dan kekuatan itu hanya Allah. sedangkan kita manusia ini hanya mendapatkan rahmat-Nya. Dalam wujudnya, tentu saja doa tersebut diiringi dengan aktivitas yang optimal dan benar. Waktu terus berjalan! Dalam perjalanan alam ini perubahan-perubahan terus ter-jadi. Jika semula kekusyukan itu mengalir melalui ucapan yang indah dan lembut yang disebut doa. Maka manusia memindahkan manfaat konsentrasi itu dari mulut ke otak. Sehingga terjadi perubahan dari manusia mitos menjadi manusia yang berpikir. Manusia yang memberdayakan akalnya semaksimal mungkin. Bentuk doa pun berubah dari “ucapan” ke “perenungan”, dari usaha magis ke usaha rasional. Jika dalam usaha magis kekuatan itu hanya dimiliki oleh sedikit orang, maka dalam usaha rasional kekuatan magisnya bisa didistribusikan ke banyak orang. Kekuatan rasio bisa diajarkan secara terbuka dan berkelas. Jika satu orang bertahun-tahun berpuasa dan berdoa mantra untuk bisa terbang, maka dengan rasio seseorang bisa membuat kapal terbang dan bisa mengangkut ratusan ribu orang dalam usia ekonomisnya. Jika seseorang berpuasa dan berdoa mantra selama bertahun-tahun untuk tidak mempan ditembus peluru, maka dengan rasio manusia dapat belajar secara massal untuk membuat baju anti peluru. Nah, di sini kekuatan doa mantra akhirnya dapat di-kalahkan oleh kekuatan doa pikiran. Umat secara umum salah mengerti. Dikiranya doa itu hanya tersusun dari kalimat. Apa akibatnya? Perintah dalam Al Quran “ud-‘uni astajib lakum” [berdoalah kepada-Ku niscaya Aku memperkenankanmu,” QS 40:60], akhirnya hanya menjadi retorika belaka. Padahal, orang yang sungguh-sungguh berpikir untuk membuat atau menjadikan sesuatu itu juga doa. Di tataran konkret sama! Bila ada doa mantra untuk kebaikan atau untuk kejahatan, maka doa pikiran juga begitu. Seperti yang telah saya terangkan pada pelajaran ‘ridha’ yang lalu, perubahan yang terjadi di alam mengakibatkan terjadinya perubahan aturan main. Jika di masyara-rakat yang mengalami perdagangan barter tidak terjadi hutang-piutang, maka pada sistem perdagangan terbuka timbullah hutang-piutang. Bila di dalam zaman datangnya agama Islam ada hukum “bayi sepersusuan”, lalu sekarang bagaimana dengan sistem donor susu ibu? Sekarang ada donor darah, cangkok organ, bayi tabung, kloning, dan lain sebagainya. Ini semua membawa perubahan pola berpikir manusia. Ahli hukum Islam pun akhirnya pontang-panting dibuatnya. Dan, makin lama makin pontang-panting dibuatnya, jika para pemikir Islam tidak mau memberdayakan pikirannya untuk mengantisipasi dan melakukan peramalan [ilmiah] kemungkinan yang terjadi di masa depan. Hal ini berbeda dengan Nabi saw. Wahyu yang diturunkan kepada beliau ber-sifat ke depan [futuristik]. Misalnya, pembagian waris bagi wanita, wanita bisa menjadi saksi, wanita boleh berkiprah dalam kehidupan sosial, penghapusan perbudakan, pene-gakan keadilan sosial, dan lain sebagainya. Hanya ulama Islam saja yang tertinggal dalam memahami wahyu Allah. Sehingga terjadi kebekuan berpikir dalam umat Islam. Bila di zaman dulu kita terampil berdoa, maka sekarang ini kita harus terampil berpikir. Nah, konsep tawakal pun harus di-rethingking, dilakukan pemikiran ulang. Konsepnya yang harus diubah, walaupun maknanya tetap tak berubah! Tawakal, ya tetap digambarkan seperti burung yang pergi meninggalkan sarangnya di pagi hari dengan tembolok kosong, balik sore hari dengan tembolok penuh makanan. Dulu, orang bertawakal dilandasi kerja keras disertai doa mantra dan dipasrahkan kepada Allah. Maka, sekarang orang bertawakal harus dilandasi ketrampilan kerja, disiplin, dan disertai dengan berpikir jenius. Jika dulu, orang berjamaah dalam salat, puasa, dan haji; maka, sekarang orang bertawakal dengan pemberdayaan “teamwork”. Dan, teamwork itu pun seperti kapal yang dilayarkan oleh Tuhan! Pada ayat kedua, umat Islam diperingatkan. Umat agar menjaga diri dari bencana yang tidak hanya menimpa kepada orang-orang zalim. Jika dulu orang yang mengikuti Nuh, Luth, Ibrahim, Musa, Isa, dan Nabi Muhammad langsung bisa lolos dari bencana, jika bencana datang. Tetapi, umat Islam diperingatkan bahwa terjadinya perubahan di alam, mengakibatkan bencana itu tidak pilih kasih. Karena itu umat harus pandai-pandai bertawakal. Segala macam jenis kejeniusan harus diberdayakan untuk mengantisipasi masa depan. Nah, hasilnya, apa yang kita peroleh, itu yang harus kita terima dengan ridha. Tetapi, tawakal sendiri harus merupakan jihad dan ijtihad yang maksimal. Jihad bukan perang fisik! Walaupun in a certain extent, sampai pada tingkat tertentu, fisik digunakan dalam pertempuran. Ayat kedua itu sebenarnya memberikan antisipasi bagi kenyataan di masa depan. Manusia tidak lagi hidup dalam sekat-sekat geografi seperti zaman dulu. Orang zalim maupun yang alim hidup dalam daerah, bahkan kotak yang sama. Sehingga bila terjadi bencana akan terhempas semua. Nah, kemungkinan bencana ini harus diantisipasi. Baru saja kita menyaksikan berbagai bencana yang menimpa negeri ini, bahkan berbagai macam gempa yang melanda tempat tinggal, baik di dalam dan di luar negeri. Lalu, kita saksikan secara langsung bagaimana gedung WTC dihantam hingga hancur. Siapa yang terkena bencana itu? Manusia dalam segenap kemanusiaannya. Itulah sebabnya, dari awal kita telah diperintah untuk bertakwa, beramal saleh, dan saling “taarruf”, saling bekerja sama antar bangsa, budaya dan agama. Jadi, dalam re-thinking konsep tawakal, ta-arruf tidak cukup diartikan saling mengenal [dalam arti sempit, konservatif]. Saling kenal, tidak lagi dalam pengertian statis, dan tertutup. Tapi, sudah menjadi dinamik dan terbuka. Manusia harus pandai melakukan kerja sama dan “teamwork” yang handal. Inilah jihad! Kemudian harus ditunjang dengan ijtihad, jihad pemikiran sehingga kita mampu memberikan solusi bagi masyarakat di masa depan. Maka lahirhal umat Islam yang ‘rahmatan lil alamin’, rahmat bagi semua. Pada ayat ketiga disebutkan bahwa Allah dan manusia adalah keberadaan yang tunggal. Karena itu jangan cari Allah di luar dirimu, tetapi carilah di dalam dirimu. Memang ada simbol-simbol bagi rumah Tuhan, seperti tempat ibadah dan Ka’bah. Tapi, itu hanya simbol. Awas, jangan keliru persepsi dalam melihat simbol. Bendera ‘Merah Putih’, adalah simbol bagi kehadiran negara Indonesia. Tetapi, bukan negara Indonesia itu sendiri. Dengan demikian bendera bisa diperlakukan secara rasional, dan bukan mitos lagi. Bila kotor, ya dicuci, kemudian diseterika, dan di simpan di almari. Jika diperlukan, ya diambil dan dikibarkan. Ka’bah pun hanya merupakan simbol bagi kehadiran Allah. Ia dikunjungi, dan dihormati. Bila kotor, ya dicuci. Bila sudah aus ya diperbaiki! Karena itu Ka’bah dalam sepanjang sejarahnya telah direnovasi beberapa kali. Hikmah dari kunjungan yang digali dan dipetik. Kemudian dengan jihad dan ijtihad haji diwujudkan untuk membangun masyarakat yang berkeadilan sosial. Jadi, haji tidak lagi merupakan kewajiban tanpa isi. Tapi, ia memberikan inspirasi untuk pembangunan umat. Kebaikan apapun yang kita lakukan datangnya dari Allah. Dan, apa saja yang kita lakukan tak akan terjadi, kecuali dengan izin-Nya. Allah memang pencipta diri dan apa yang kita kerjakan. Namun, inisiatif tetap harus lahir dari kita. Kata orang sufi, “aku dan Dia sebenarnya satu, walaupun aku bukan Dia dan Dia bukanlah aku.” Ingat, Hadis di atas, langit, bumi dan seisinya tak mampu menjangkau-Ku, tapi hati orang beriman [yang sudah aman] yang dapat menampung-Ku. Bagian ke-23 [Tawakal] Orang yang bertawakal adalah orang yang berpijak pada kebenaran yang nyata. Tawakal bukanlah teori. Tetapi praktik kehidupan seperti yang dijalani oleh burung yang pagi-pagi meninggalkan sarangnya untuk mencari makan. Sehingga tawakal juga terkait erat dengan tekad dan keteguhan hati. Orang yang bertawakal bukanlah orang yang bekerja setengah hati. Ada satu ayat dalam Al Quran yang bahasa Indonesianya: “Maafkan mereka, mohonkan perlindungan bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan [hidupmu]. Apabila engkau telah teguh pendirian, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.”1) Ayat diatas adalah bagian dari ayat 3:159. Pada ayat tersebut dinyatakan bahwa budi pekerti Nabi sangat mulia. Dengan kasih-sayang-Nya, Nabi senantiasa berlaku lemah lembut kepada semua orang yang ada di sekelilingnya. Sikap yang lemah lembut terhadap sesamanya itu wujud dari ketawakalan Nabi. Sikap yang lemah lembut itu ditunjukkan dengan sifatnya yang pemaaf. Ingat, seorang pemaaf bukanlah orang yang tak berdaya. Seorang pemaaf adalah orang yang mampu untuk membalas dendam terhadap orang yang menimpakan penderitaan, tetapi karena kebesaran jiwanya, dendam itu tidak ia lakukan. Bahkan memaafkannya. Hal ini telah dibuktikan oleh Nabi ketika beliau menaklukkan kota Mekah. Ketika rombongan Nabi memasuki kota itu, betapa takutnya penduduk Mekah. Wajah-wajah mereka pucat pasi, mereka takut terhadap pembalasan yang dilakukan oleh Muhammad beserta rombongan yang dibawanya. Tetapi, mereka kecelik, salah duga. Ternyata Muhammad memberikan permaafan dan pembebasan. Ayat di atas sebenarnya menerangkan sifat pribadi Nabi yang tampak sehabis perang Uhud. Dari sejarah kita mengetahui bahwa pada perang Uhud tentara Islam mengalami kekalahan yang berat. Disebabkan sebagian regu penempur itu tidak mema-tuhi Nabi sebagai panglima perangnya. Mereka [para tentara itu] berbuat kesalahan fatal dalam peperangan. Sehingga pasukan Islam bisa dikalahkan dan diporak-porandakan. Namun, Nabi selaku panglima perang tidak menghukum mereka yang desersi itu. Justru Nabi menghadapi mereka yang membangkang itu dengan penuh kelembutan. Sehingga mereka merasa malu dan menyesal. Mereka bertambah setia dan tidak kabur dari Nabi. Bahkan kesalahan itu harus segera dimaafkan. Cara-cara demikian ini adalah cara-cara orang yang bertawakal kepada Tuhan. Dalam kehidupan berorganisasi, bermasyarakat, bernegara, ataupun bersahabat, dibutuhkan seorang pemimpin yang lemah lembut. Bukan pemimpin yang lemah! Pemimpin yang dipatuhi, dan bukan yang ditakuti. Hal ini bisa dipenuhi bila orang itu menerapkan asas kasih sayang terhadap sesamanya. Bisa membetulkan yang salah. Tetapi bukan mencari-cari kesalahan. Kemudian memberikan maaf bila bawahan atau rekannya itu ada kemauan untuk tidak mengulangi kesalahan. Dalam kehidupan tawakal tidak dibenarkan seseorang mau menang sendiri. Justru ia harus bisa menjadi kampiun demokrasi. Mampu berunding, sehingga tercapai win-win solution, solusi yang menguntungkan semua pihak. Ingat, manusia tawakal adalah orang yang menang, orang yang tidak bergantung kepada orang lain. Tetapi ia bersedia menjadi gantungan bagi bawahan atau orang-orang lainnya. Ia adalah manusia yang kaya, karena itu ia mampu berbagi. Jadi, sangatlah wajar bila dipenghujung ayat itu dinyatakan bahwa Allah mencintai [sekali lagi, mencintai] orang-orang yang bertawakal atau bertawakul. Karena sandaran orang tawakal itu hanyalah Tuhan. Orang yang bertawakal adalah orang yang condong pada perdamaian. Mengapa? Karena dalam kehidupan yang damai akan lahir keharmonisan dan keindahan hidup. Betapa sulitnya menegakkan keteraturan dan keamanan dalam kehidupan yang penuh pergolakan. Betapa sukarnya menegakkan dan memberdayakan hukum dalam nuansa yang centang-perenang. Karena itu dibutuhkan orang yang bertawakal. Orang yang cinta damai. Bukan orang yang terpaksa mau diajak damai! Orang yang cinta damai adalah orang yang bersedia memberikan perdamaian, meskipun ia dapat menolak damai bila ia mau. Karena posisinya menang. Tetapi orang yang bertawakal sepenuhnya sadar bahwa yang memiliki kekuatan hanyalah Tuhan. Ia tidak mau bersaing dengan Tuhan. Bahkan ia sepenuhnya bersandar kepada-Nya. “Jika mereka [yang memusuhimu] condong kepada perdamaian, maka condoglah kepadanya. Dan, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”2) Dalam kehidupan ini banyak orang yang dangkal pemikirannya. Sehingga siapa saja yang di luar grup atau kelompoknya dianggapnya sebagai musuhnya. Entah itu karena sentimen golongan, bangsa, ras, etnis, agama, partai, ataupun lainnya. Sehingga kerja sama yang dibangun bagaikan sarang laba-laba. Kelihatan rapi, tetapi rapuh. Hal itu disebabkan karena semua yang diluar golongannya, outgroup, dipandangnya sebagai musuh. Jadi, jalinan kerjasamanya semu. Itulah sebabnya persahabatan antar partai atau negara tidak langgeng. Karena pertimbangannya bukan ketawakalan, tetapi kepentingan. Tentu saja bukan “WWS” [win-win solution] yang dihasilkan. Jika bukan karena ketawakalan, rundingan yang terjadi bukan untuk WWS, tetapi untuk adu kuat. Mereka tawarkan apa yang paling maksimum bagi kelompoknya. Lalu, karena tarik-ulur waktu, akhirnya mereka bersedia menurunkan targetnya, sampai pihak yang dianggap lemah itu dapat menerimanya. Inilah tipe musyawarat, rundingan, atau negosiasi yang tidak berasas pada ketawakalan. Tak ada keinginan untuk hidup damai. Yang diinginkan adalah kemenangan semu. Disebut semu karena itu sebenarnya wujud dari sebuah penindasan. Golongan yang kuat ingin menunjukkan bahwa damai itu ada bila kemauannya dituruti. Dalam suatu organisasi perusahaan pun terjadi kerja sama dalam permusuhan. Dan bukan kerja sama dalam perdamaian. Bukan asas ketawakalan, partnership, tetapi asas adu kekuatan dan kekuasaan. Ada kelompok yang merasa kuat [karena etnis, atau agama] yang bekerja sama dengan kelompok yang lemah. Kerja sama yang dibangun karena adanya kepentingan, bukan ketawakalan. Sehingga mereka yang memiliki posisi tawar yang kuat mempermainkan yang posisi tawarnya lemah. Ketika kita dalam posisi yang lemah, kita tak akan bisa melihat kelemahan orang lain. Pijakan kita sangat lemah, yaitu ketergantungan dan bukan ketawakalan. Karena itu tasawuf mengajarkan fondasi yang kuat pada kesabaran dan ridha. Selama masih dalam posisi yang lemah, kita harus memiliki emosi yang tegar dan tahan terhadap tekanan-tekanan yang mereka lakukan. Kita tetap ulet untuk mencari jalan keluar. Kita harus yakin bahwa keuletan itu adalah sumber untuk mendapatkan kejayaan. Dan bila telah jaya, jangan balas dendam [ganti menindas]. Justru kita harus menciptakan nuansa kehidupan yang penuh damai. Inilah asas ketawakalan! Kemampuan sabar, zuhud, dan ridha akan mendorong seseorang benar-benar meyakini bahwa Tuhanlah yang menjadi pelindungnya. Bahkan hidupnya pun dirasakan sebagai jatah yang ia terima dari Tuhannya. Ia pekerja keras, ulet, dan cermat [smart]. Tak ada keluh kesah! Tetapi, dia tetap peduli terhadap rekan-rekannya yang merasa menderita dalam hidup ini. Semboyannya, “lebih baik aku yang berpuasa daripada dia yang merasa lapar”. Lho, koq mau? Ya, inilah prinsip deposit. Jadi, ketawakalan adalah wujud dari kasihnya manusia. Di bawah ini ada dua ayat yang bersambungan, yaitu yang tertera dalam Surat Ath Thalaq/65: 2-3.3) Sebenarnya jika ayat ini dibaca dari awal kalimatnya, maka kita mengetahui bahwa dalam kehidupan bersama, bila terjadi perselisihan, mereka yang posisi tawarnya lebih kuat harus memberikan jalan keluar yang lebih baik. Inilah watak orang yang bertakwa, yang maqamnya pada tingkat tawakal. Jelas bahwa orang yang bertawakal itu orang yang tidak mau menang sendiri. Meskipun dia berada di atas angin, dia dalam kedudukan yang lebih kuat, dia tidak mau mengambil keuntungan dari kelemahan orang lain. Justru dia menawarkan jalan keluar yang lebih baik bagi sekutunya atau pihak-pihak yang berkaitan dengannya tetapi posisinya lebih lemah. Dia yakin bahwa kebaikan yang diberikan itu tak akan merugikan dirinya. Bahkan dia akan mendapatkan anugerah dengan cara memberi. Bukan menda-patkan keuntungan dengan cara meminta, melainkan dengan cara membari! Orang-orang yang bertawakal yakin, haqqul yakin, bahwa alam ini bekerja dengan jujur. Yang dalam bahasa tauhid dinyatakan “Allah melaksanakan urusan-Nya”. Kalau dia menanam benih yang baik dan merawatnya, niscaya akan memanen hasilnya yang berlimpah. Karena itu dia tak pernah ragu dengan kebaikan yang diberikannya. Tuhan pasti memenuhinya. Mungkin saja tidak dalam bentuk materi, tetapi dalam bentuk ke-kayaan batin. Atau, dalam bentuk kekayaan lahir dan batin. Orang bertawakal tak pernah berdagang dengan Tuhan. Dia tak pernah hitung-hitungan untung rugi dengan Tuhan. Apa yang diamalkan tak terkait dengan angan-angan surga. Ia berjalan bukan untuk menemui sosok Tuhan. Justru ia yakin bahwa dalam perjalanan hidupnya ia senantiasa disertai Tuhan. Bukankah insan kamil adalah manusia yang mampu meneladani budi pekerti Tuhan, seperti yang diungkapkan dalam Hadis? Bukankah hati orang yang bertawakal itu bait Allah, rumah Tuhan? Karena itu, barangsiapa yang bertawakal kepada Tuhan, niscaya Dia mencukupinya! Tawakal adalah landasan pokok dalam kehidupan para nabi. Karena itu seorang nabi siap menempuh hidupnya, meskipun seorang diri. Seorang nabi membangun umat dengan dimulai dari dirinya sendiri. Ia tidak menampilkan diri dengan mengikuti status quo, sistem yang ada. Ia justru bangkit dan membangkitkan sistem yang baru. Tentu saja tidak baru sama sekali. Tetapi memperbarui, merenovasi sistem yang ada. Nabi, yang berasal dari kata “naba”, berita, adalah orang yang menerima berita. Ia menerima berita dari dunia ketuhanan. Pada saat dia mengemban amanat yang diterimanya itu dan menyampaikannya kepada masyarakat sekelilingnya, dia disebut rasul. Setiap umat ada rasulnya.4) Dan, setiap rasul hadir di tengah-tengah umat untuk menyeru kehidupan yang hanya berorientasi kepada Tuhan Yang Maha Esa.5) Hidup yang menjauhi “thaghut”, segala jenis tindakan yang melampaui batas. Masih ingatkan, bahwa semua yang tercipta di dunia ini, termasuk diri kita, ada batas-batasnya, ada mizannya, ada ketetapan-ketetapannya, ada kadarnya. Untuk mempertahankan hidup didunia ini, manusia perlu makan. Ternyata pada sejumlah tertentu makanan yang masuk perut, akan terasa kenyang. Timbulnya rasa kenyang menandakan apa yang dimakan itu telah menyentuh batasnya. Kalau perut terus diisi, padahal rasa kenyang sudah timbul, maka perut akan terasa sakit. Jika diteruskan, rusaklah perut itu. Dalam kehidupan sosial pun ada batas-batasnya. Jika dilanggar akan rusaklah tatanan sosialnya. Nah, rasul diutus sebenarnya untuk mengingatkan kembali batas-batas itu. Agar tatanan sosial tidak rusak! Keberanian yang ditempuh oleh seorang rasul dalam memperingatkan masyarakat, adalah keberanian yang timbul dari maqam tawakal. Karena dengan tawakal itu sese-orang telah percaya penuh dan pasrah secara total kepada-Nya. Ya, kata tawakal, atau tawakkul, berasal dari kata “wa-ka-la”, yang artinya mewakilkan. Orang bertawakal sebenarnya adalah orang yang mewakilkan dirinya kepada Tuhan. Ingat kita sudah ada di maqam tawakal! Mewakilkan diri kepada Tuhan tidak berarti kita pasif total. Kita bukan jabbariyah [lihat bag. ke-22]. Tawakal itu bagaikan burung yang pagi-pagi meninggalkan sarangnya dengan tembolok kosong, dan kembali pada sore hari ke sarangnya dengan tembolok penuh. Nah, yang perlu dicermati adalah keberanian untuk meninggalkan sarang dan keyakinan bahwa dengan cara itu kita akan dapat mempertahankan hidup. Dalam bahasa Siti Jenar, kita makan dan minum ini bukan untuk mempertahankan hidup. Tak ada gunanya kerja keras untuk mempertahan-kan hidup, karena hidup manusia di bumi ini tak bisa dipertahankan. Dengan makanan kita seperti sekarang ini manusia tak akan dapat mempertahankan hidup. Manusia pasti mengalami kematian. Menurut Siti Jenar, berbuat bajik di dunia, bertawakal, adalah untuk melakukan deposit sehingga kita bisa menemukan jalan hidup yang sejati. Karena itu, orang yang beratawakal adalah orang yang sudah naik tangga puncak dan akhirnya menyerahkan diri secara total kepada Tuhannya. Ia yang hidup dan terperangkap raga yang dapat mati ini, ternyata tidak mampu menemukan kunci kekekalan hidup. Ia harus pasrah total seperti seorang bayi. Seorang bayi yang memiliki kharisma, sehingga orang yang melahirkan dan yang ada di sekelilingnya jatuh cinta untuk merawatnya. Wah, ternyata tawakal itu gampang diucapkan tetapi sulit dikerjakan. Memang, karena tasawuf itu bukan teori. Tasawuf adalah cara hidup. Ada tangga-tangga kehi-dupan yang harus dipraktikkan. Begitu kita berada di tahap ridha, rasanya goyah jiwa kita. Kita mulai mempertanyakan diri ini, bagaimana kita bisa rela dalam menjalani hidup ini. Bagaimana kita bisa ikhlas dalam berkehidupan ini? Lha wong orang lain saja sering pamrih dalam berhubungan dengan kita, apa ya bisa kita hidup tanpa pamrih kepada orang lain? Begitulah pertanyaan yang mencuat di dalam hati. Lebih-lebih pada tahap tawakal. Bukan saja ikhlas menjalani hidup, tetapi harus pasrah, harus percaya bahwa Tuhan mengurus diri kita. Secara teoritis memang sulit kita membayangkan kehidupan tawakal. Tetapi, dalam praktik kita telah menyaksikan. Kita menyaksikan binatang di sekitar kita yang mencari karunia Tuhan. Kita mendengar para nabi dan rasul berjuang dari dirinya sendiri. Bukan membangun jaringan lebih dulu seperti orang-orang yang membangun partai untuk merebut kekuasaan. Tetapi, diemban lebih dulu amanatnya. Diingatkannya masyarakat agar menempuh hidup yang benar. Diajaknya keluarga, saudara, dan teman-temannya untuk komit menegakkan kebenaran dalam hidup ini. Bukan untuk keuntungan dirinya, tetapi untuk kesejahteraan bersama. Dengan cara demikian umat terbentuk. Seperti telah diterangkan di depan. Kebenaran tidak ada artinya, jika hanya di-tegakkan seorang diri. Tak ada implikasi sosialnya. Karena itu kebenaran harus dipikul bersama-sama agar terwujud kehidupan sosial yang harmonis. Agar masyarakat tidak bodoh, maka harus didirikan sekolahansekolahan. Biayanya harus dipikul bersama. Nah, negara sebenarnya adalah alat untuk mengorganisasikan kehidupan bersama. Pajak atau zakat dipungut untuk kesejahteraan bersama. Bukan untuk menjalankan kekuasaan. Karena kekuasaan yang sebenarnya adalah kepunyaan Tuhan. Setiap manusia adalah khalifah-Nya, wakil-Nya untuk mengurus bumi ini. Lalu, orang-orang yang merasa mengemban perwakilan-Nya ini harus bertawakal kepada-Nya, pasrah total kepada-Nya. Tak ada manipulasi di antara sesamanya. Yang kuat bersedia memberikan atau berbagi keuntungan kepada yang lemah. Bagaikan musik, yang bunyinya keras tidak mendominasi semua bunyi. Sehingga akhirnya timbul alunan bunyi yang selaras dan seimbang. Dunia pun terwujud karena keseimbangan, bukan karena dominasi oleh sesuatu pihak. Negara maju pun menyadari hal ini. Karena itu, mereka membangun perusahaan dengan sistem kerjasama karyawan, majikan, dan manajemen dengan baik. Yang di tingkat manajemen sejahtera, yang di tingkat buruh dan staf sejahtera, pemilik pun hidup sejahtera. Tak ada pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan [stakeholders] dirugikan. Semua mendapatkan keuntungan dari perusahaan yang dibangunnya. Itulah sebenarnya konsep tawakal! Jadi, intinya dalam kehidupan tawakal, semua pihak saling percaya, dan secara total mempercayakan eksistensinya. Manusia yang bertawakal percaya dan pasrah secara total kepada Tuhan. Dia pun percaya sepenuhnya kepada manusia yang menjadi khalifah-Nya. Karena itu, Dia menjamin bahwa manusia yang benar-benar tawakal akan mendapat rezeki dari arah yang tak terduga. Demikianlah akhir dari pelajaran tawakal. Yang sekaligus mengakhiri pelajaran tasawuf kita. Tetapi tidak untuk mengakhiri upaya menaiki tangga-tangga tasawuf. Manusia harus terus mencari jalanNya selama hayat di kandung badan. Hingga akhirnya bisa ditemukan ‘subul’, jalan-jalan Tuhan yang digelar di alam raya ini. Bukan hanya untuk pencerahan dirinya, tetapi turut serta mencerahkan orang lain. Seorang sufi bukanlah orang yang mencari teman untuk membangun golongan atau mendirikan sistem kepercayaan bersama. Seorang sufi sejati adalah orang yang sungguh-sungguh mencari air minum sejati, ma-ul hayyat, air kehidupan, tirta prawitasari.6) Setelah menemukannya dan meminum-nya, maka ia pun memberikan air minum itu kepada orang lain. Sehingga orang lain pun bisa hidup, turut tercerahkan. Itulah sebabnya, dalam beribadah dan memohon pertolongan kepada Tuhan, dinyatakan dalam bentuk kebersamaam: “Iyya ka na ‘budu wa iyya ka nasta-‘in”, hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan dalam hidup ini. Sekian, wa billahit taufiq wal hidayah. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh.