ISOLASI Bacillus thuringiensis BERL. DARI TANAH DAN

advertisement
JURNAL AGROTEKNOS Maret 2012
Vol.2. No.1. hal. 21-27
ISSN: 2087-7706
ISOLASI Bacillus thuringiensis BERL. DARI TANAH DAN
PATOGENISITASNYA TERHADAP LARVA Crocidolomia binotalis ZELL.
PADA TANAMAN SAWI (Brassica juncea L.)
Isolation of Bacillus Thuringiensis Berl. from Soil Samples and Its
Pathogenecity Towards Crocidolomia Binotalis Zell Larvae on Mustard
Green (Brassica Juncea L.)
ANDI KHAERUNI*, RAHAYU, dan NENDEN TEJA PURNAMANINGRUM
Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari
ABSTRACT
The aim of this research was to know the pathogenicity of B. thuringiensis against larvae
of C. binotalis Zell on Caisin Plant. The B. thuringiensis isolates were isolated using serial
dilution technique, from soil samples that were taken from some locations in Southeast
Sulawesi. Pathogenicity test on larvae III of C. binotalis was done using bioassay method.
Mortality value was used to know the virulence level of B. thuringiensis at 7 days after
application. The result showed that there were 37 soil samples containing B. thuringiensis and
the number of B. thuringiensis isolates were 65. isolates KU-ST7, MN-ST4, KNW-ST8, KLKST5,KLK-ST4 and KU-ST4 had the highest pathogenicity and virulence levels, because they had
the highest efffect on C. binotalis larvae mortalities, i.e: 100%, with LT50 value of 2-4 days
after application.
Key word : Bacillus thuringiensis Berl., bioassay test. Crocidolomia binotalis Zell.,
1PENDAHULUAN
Tanaman sawi (Brassica juncea L.)
merupakan tanaman hortikultura yang penting
karena bernilai ekonomi tinggi dan banyak
diminati oleh masyarakat serta mempunyai
banyak manfaat bagi kesehatan (Sunarjono,
2005). Keberadaan tanaman sawi tidak lepas
dari kebutuhan masyarakat sehari-hari
sehingga sangat diharapkan konstitusinya.
Berdasarkan data statistik pertanian secara
nasional kemampuan produksi tanaman sawi
di Indonesia mencapai 8-10 ton ha-1tahun-1
(BPS, 2009), sedangkan untuk Sulawesi
Tenggara produksi tanaman sawi mencapai
3,74 ton tahun-1 ha-1 dengan luas panen 574 ha
(Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sulawesi
Tenggara, 2009). Data ini menunjukkan bahwa
hasil sawi di Sulawesi Tenggara masih rendah
jika dibandingkan dengan rata-rata produksi
nasional.
Alamat korespondensi, surel :
[email protected]
*)
Budidaya tanaman sawi mengalami
hambatan karena adanya serangan organisme
pengganggu tanaman, yang diperkirakan dapat
menimbulkan kehilangan hasil sekitar 45 %
dari total potensi
produksi, dan dalam
beberapa kasus dapat mengakibatkan
kegagalan panen (Kardinan, 2000). Salah satu
jenis hama yang menyerang tanaman sawi di
lapangan yaitu Crocidolomia binotalis Zell.
(Trizelia, 2001). Hama ini sangat berbahaya
karena larvanya tidak hanya memakan daundaun yang masih muda, tetapi juga dapat
menyerang daun yang agak tua sehingga
pertumbuhan tanaman akan terhambat atau
terhenti, selain itu kerusakan yang ditimbulkan
dapat menurunkan hasil sampai 100%
(Sudarwohadi, 1995).
Upaya pengendalian C. binotalis Zell. yang
sering
dilakukan
adalah
penggunaan
insektisida kimia. Penggunaan insektisida
kimia dalam bidang pertanian secara terus
menerus tanpa melihat kondisi ekosistem
22
KHAERUNI ET AL.
terbukti menimbulkan dampak negatif yaitu
terjadinya resistensi hama, resurgensi hama,
pencemaran lingkungan dan terakumulasi
dalam tanaman sehingga berbahaya bagi
manusia dan berbagai spesies hewan yang
memakannya (Untung, 1996). Kekhawatiran
akan dampak negatif tersebut menghendaki
perlu adanya alternatif baru yang dapat dipakai
untuk mengendalikan populasi hama sampai
pada tingkat yang tidak merugikan secara
ekonomi.
Penggunaan
patogen
serangga
(entomopatogen) terutama bakteri dipandang
sangat baik dalam pengendalian hama
berwawasan lingkungan. Bacillus thuringiensis
adalah salah satu bakteri yang berpotensi
untuk digunakan sebagai pengendali hayati. B.
thuringiensis adalah bakteri gram positif yang
berbentuk batang, aerobik dan membentuk
spora. Banyak strain dari bakteri ini yang
menghasilkan protein yang beracun bagi
serangga. Bakteri tersebut mempunyai
serangga inang yang spesifik, tidak berbahaya
bagi musuh alami dan organisme bukan
sasaran,
serta
dapat
ditingkatkan
patogenisitasnya dengan teknik
rekayasa
genetik (Khetan, 2001). Mengingat keunggulan
B. thuringiensis sebagai agensia pengendali
hayati hama maka pencarian strain-strain baru
yang spesifik patogen pada hama tertentu
penting dilakukan untuk lebih mengungkap
kekayaan biotik Indonesia dan kemudian
dimanfaatkan
sebaik-baiknya
bagi
kepentingan manusia.
Penelitian bertujuan untuk mengisolasi B.
thuringiensis dari tanah dan mendapatkan
isolat yang memiliki tingkat patogenisitas yang
tinggi terhadap larva C. binotalis Zell.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Unit Ilmu Hama dan
Penyakit Tumbuhan Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo
Kendari yang berlangsung pada bulan Februari
– Juli 2011.
Bahan-bahan yang digunakan dalam
pelaksanaan penelitian ini yaitu Daun sawi,
larva Crocidolomia binotalis, sampel tanah,
media Nutrien Agar (NA), medium NaCl
Glycine Kim and Goepfert (NGKG), larutan
fisiologis 0,85%, tryptose, tryptone, yeast
extract, MnCl, sodium phosphate, madu 10%,
J. AGROTEKNOS
larutan tripton B-1956, aquades, spritus,
alkohol, larutan gliserol 15%, plastik tahan
panas, tissue, kain kasa dan kertas label.
Pengambilan Sampel Tanah. Pengambilan sampel tanah diperoleh dari berbagai
lokasi di Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara,
Konawe dan Muna. Sampel tanah diambil di
sekitar
perakaran
tanaman
dengan
menggunakan sendok semen (sudek) pada
kedalaman 10-20 cm sebanyak ±100 g, lalu
dimasukkan dalam kantong plastik dan diberi
label sesuai dengan lokasi pengambilan
sampel, waktu dan jenis habitat tanaman.
Sampel tanah tersebut dibawa ke laboratorium
dan disimpan pada suhu ruang sebelum
digunakan lebih lanjut.
Isolasi B.
thuringiensis.
Isolasi B.
thuringiensis Berl. dari sampel tanah dilakukan
sesuai prosedur yang dikemukakan oleh
Rusmana dan Hadioetomo, (1994) dengan
sedikit modifikasi, dengan cara sebanyak 1g
tanah dilarutkan ke dalam 9 ml larutan fisiologi
(NaCl 0,85%) steril, lalu dihomogenkan dan
diinkubasi pada suhu 65oC selama 30 menit.
Larutan selanjutnya di encerkan secara berseri
hingga pengenceran 10-8. Sebanyak 50 µl
disebar pada media NGKG (NaCl Glycine Kim
and Goepfert yang merupakan media spesifik
untuk Bacillus). Kultur diinkubasi pada suhu
ruang ( 28-30oC), selama 2-4 hari.
Seleksi bakteri B. thuringiensis Berl.
Bakteri yang tumbuh pada kultur selanjutnya
diseleksi untuk diidentifikasi sebagai bakteri B.
thuringiensis Berl. berdasarkan karakterisasi
morfologi dari B. thuringiensis Berl. Bakteri
disubkultur pada media NGKG dan selanjutnya
kultur diinkubasi pada suhu 30oC selama 48
jam.
Isolasi kristal protein. Isolasi kristal
protein dari B. thuringiensis dilakukan
berdasarkan metode yang dikemukakan oleh
Muharsini dan Wardhana (2005) sebagai
berikut : semua isolat lokal yang diuji
diinokulasikan ke media T3 (3g tryprton, 2
gram tryptose, 1.5 g yeast extract, 0,005M
sodium fosfat dan 0.005g MnCl) sebanyak 50
ml didalam Erlenmeyer 250 ml. Inokulum
dikocok dengan shaker
pada 250
rpm(revolitions per minute) selama 3 hari,
kemudian kristal dan spora dipanen dengan
cara disentrifuge selama 3 menit (7000 rpm).
Pelet produksi dikoleksi, kemudian dicuci
dengan 10 ml akuades steril sebanyak 3 kali
dan disentrifuge selama 3 menit pada putaran
Vol. 2 No.1, 2012
Isolasi Bacillus Thuringiensis Berl. Dari Tanah
3000 rpm, kemudian dicuci dengan 10 ml NaCl
dan disentrifuge kembali. Sebelum disimpan
untuk diproses lebih lanjut maka kristal dan
spora bakteri disuspensikan kedalam 1 ml
aquades steril.
Perbanyakan Serangga. Serangga yang
diperoleh dengan cara mengumpulkan larva
dari Perkebunan sayuran di Pujon, Malang dan
selanjutnya dibiakkan di laboratorium.
Perbanyakan larva uji dilakukan sesuai dengan
metode yang dikemukakan oleh Salaki et. al.,
(2010) dengan sedikit modifikasi yaitu
pembiakan menggunakan daun tanaman sawi
yang dicuci terlebih dahulu.
Menjelang
berkepompong,
larva
dipindahkan ke dalam wadah plastik
berdiameter/dengan ukuran 29cm x 20cm.
Dasar wadah diisi serbuk gergaji steril setebal
5cm sebagai tempat berkepompong dan bagian
atasnya ditutup dengan kain trico atau kasa.
Apabila ngengat keluar atau muncul dari
kepompong, maka segera dipindahkan dan
dipelihara pada stoples berdiameter 17 cm
dengan tinggi 20 cm khusus stadium ngengat.
Ngengat diberi pakan madu encer dengan
konsentrasi 10%, kemudian larutan madu yang
telah di serapkan pada kapas diikat dengan
benang atau tali rafia dan kemudian diikat atau
dijepitkan pada penutup stoples dan diganti
setiap hari. Di dalam stoples juga diberi daun
tanaman sawi segar
sebagai tempat
berlindung dan bertelur ngengat. Telur yang
dihasilkan oleh ngengat betina dipindahkan ke
dalam wadah plastik dengan menyertakan
daun tanaman sawi , kemudian bagian atasnya
ditutup dengan kain triko atau kasa. Telur hasil
pembiakan dipelihara sampai menjadi larva
dan dilanjutkan dengan fase-fase berikutnya.
Pada generasi kedua sudah diperoleh serangga
uji dalam jumlah cukup.
Uji
Patogenisitas
(Bioassay)
B.
thuringiensis terhadap C. binotalis Zell. Uji
patogenisitas pada larva uji dilakukan sesuai
dengan metode yang dikemukakan oleh
Rusmana dan Hadioetomo (1994) dengan
sedilit modifikasi, yaitu : daun pakan serangga
uji dipotong dengan ukuran 5cm x 5cm
sebanyak dua lembar. Sementara itu untuk
setiap isolat uji disiapkan suspensi kristal
protein bercampur spora (kerapatan 107-108
spora/ml, OD = 1,5). Potongan daun tadi
masing-masing dicelupkan dalam suspensi,
kemudian dikering anginkan. Sebagai kontrol
23
digunakan daun yang dicelupkan ke dalam
larutan akuades steril.
Larva-larva uji diletakkan dalam wadah
plastik persegi dengan ukuran 14 cm x 10 cm
yang berisi kertas isap dan daun yang telah
diberi perlakuan. Pengujian ini dilakukan
dengan dua ulangan, setiap ulangan terdiri dari
20 ekor serangga instar ketiga berumur satu
hari.
Pengamatan.
Pengamatan mortalitas
dilakukan terhadap mortalitas larva serangga
diamati setiap hari. Virulensi setiap isolat
ditentukan pada nilai mortalitas pada larva larva uji dengan rumus:
M = A/B x 100%
dengan: M = mortalitas (%), A = jumlah
serangga mati pada umur tertentu, dan B =
jumlah serangga yang diamati.
Letal Time (LT50) ditentukan berdasarkan
waktu pengamatan (hari setelah aplikasi) B.
thuringiensis Berl. dimana 50% dari serangga
uji mengalami kematian.
Analisis Data. Data hasil pengamatan akan
dianalisis dengan tabulasi data dan tingkat
virulensi B. thuringiensis Berl. ditetapkan
berdasarkan nilai mortalitas serangga uji
(Rusmana dan Hadioetomo, 1994) yaitu :
a. Virulensi tinggi, jika nilai mortalitas di atas
50%
b. Virulensi sedang, jika nilai mortalitas 30%
- < 50%
c. Virulensi rendah, jika nilai mortalitas <
30%
d. Tidak virulen, jika nilai mortalitas 0%
HASIL
Isolasi dan Seleksi Bacillus
thuringiensis dari Tanah
Isolasi B. thuringiensis dilakukan pada 140
sampel tanah yang diperoleh dari berbagai
lokasi di 16 kecamatan yang tersebar di 4
Kabupaten di Sulawesi Tenggara. Dari 140
sampel tanah tesebut terdapat 37 sampel yang
mengandung B. thuringiensis
dan secara
keseluruhan diperoleh
65 isolat yang
terseleksi pada media NGKG (lihat Tabel 1).
Penggunaan media NGKG dalam penelitian
ini mengakibatkan seleksi B. thuringiensis
menjadi lebih mudah karena sifat media
tersebut bersifat selektif, artinya isolat-isolat
yang tumbuh pada penelitian ini adalah bakteri
B. thuringiensis dan B. subtilis. Perbedaan
kedua spesies B. tersebut ditandai dengan
24
KHAERUNI ET AL.
J. AGROTEKNOS
produksi kristal protein pada B. thuringiensis
yang bersifat patogen terhadap beberapa larva
serangga termasuk serangga ordo Lepidoptera.
Dari 65 isolat tersebut dipilih 20 isolat
secara acak untuk digunakan dalam pengujian
bioassay pada larva Crocidolomia binotalis Zell.
Pemilihan isolat tersebut mempertimbangkan
penyebaran geografis dari asal isolat. Kode
isolat yang terpilih dalam pengujian bioassay
beserta asal geografis dan habitatnya
ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 1. Jumlah sampel tanah dan isolat keseluruhan yang telah diisolasi dari berbagai
lokasi di Sulawesi Tenggara
No
1
2
3.
4.
Asal Sampel
Kabupaten
-Kecamatan
Kolaka Utara
Ngapa
Lasusua
Katoi
Lambai
Jumlah
Kolaka
Tirawuta
Mowewe
Tanggetada
Watubangga
Jumlah
Konawe
Abuki
Unaaha
Besulutu
Wawotobi
Jumlah
Muna
Batalaiworu
Lasalepa
Kusambi
Watapute
Jumlah
Jumlah total
Jumlah
Sampel
Tanah
Sampel Tanah yang
mengandung B.
thuringiensis (NGKG)
Jumlah isolat B.
thuringiensis yang
diperoleh
9
9
9
9
36
4
5
4
3
16(44,44%)
8
5
8
4
25
9
9
9
9
36
1
2
1
0
4 (11,11%)
1
2
1
0
4
10
10
10
9
39
4
3
4
0
11(28,20)
8
5
8
0
21
6
6
12
6
30
141
1
1
4
0
6 (20%)
37 (26,24%)
1
1
13
0
15
65
Patogenisitas Bacillus thuringensis
terhadap Larva Crocidolomia binotalis Zell.
Hasil pengujian patogenisitas (bioassay)
menunjukkan, dari 20 isolat B. thuringiensis
yang diuji
semuanya
memiliki tingkat
patogenisitas dan virulensi yang tinggi ,
dimana semua isolat yang diuji memiliki nilai
mortalitas pada pengamatan tujuh hari setelah
aplikasi
antara
60-100%, enam isolat
diantaranya memiliki nilai mortalitas 100%
dengan nilai LT50 dicapai pada pengamatan
hari ke 2 – 4 setelah aplikasi, sebagaimana
ditampilkan pada Tabel 3, di bawah ini.
PEMBAHASAN
Hasil isolasi dari 140 sampel tanah yang
diambil dari empat kabupaten di Sulawesi
Tenggara terdapat 37 (26,24%) sampel tanah
yang mengandung B. thuringiensis di media
NGKG , dan diperoleh 65 isolat B. thuringiensis,
berdasarkan ciri-ciri morfologi koloni dan sel
yang diidentifikasi sebagai anggota spesies B.
thuringiensis. Pertumbuhan bakteri pada
media biakan NGKG menunjukkan morfologi
koloni berbentuk iregular, permukaan koloni
kasar dan licin mengkilat dan agak mengkilat,
warna koloni putih kekuningan dan putih.
Karakteristik
morfologi tersebut sejalan
Vol. 2 No.1, 2012
Isolasi Bacillus Thuringiensis Berl. Dari Tanah
dengan karakter morfologi B. thuringiensis
yang dikemukakan oleh Salaki et.al., (2010).
Hasil bioassay menunjukkan, dari 20 isolat
B. thuringiensis yang diuji semuanya memiliki
tingkat patogenisitas dan virulensi yang tinggi.
Kematian larva sudah mulai terjadi satu hari
setelah aplikasi B. thuringiensis dan persentase
kematian meningkat sampai tujuh hari setelah
aplikasi, dimana hampir seluruh larva yang
diuji mengalami kematian. Semua isolat yang
diuji memiliki nilai mortalitas antara 60-100%
pada pengamatan tujuh hari setelah aplikasi.
Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian
Salaki et.al., (2010) dimana mortalitas tertinggi
C. binotalis Zell. mencapai 100% setelah empat
hari aplikasi B. thuringiensis. Berdasarkan hasil
uji Bioassay pada larva C. binotalis Zell. dari 20
isolat yang diuji terdapat enam isolat yang
sangat efektif karena mampu mematikan larva
uji hingga mencapai 100%, isolat-isolat
25
tersebut yaitu KU-ST7 MN-ST4, KNW-ST8,
KLK-ST5,KLK-ST4 dan KU-ST4. Isolat KU-ST7
dan MN-ST4 mencapai LT50 pada hari ke dua
setelah aplikasi, sedangkan isolat KNW-ST8,
KLK- ST5 dan KU-ST4 mencapai LT50 pada hari
ke tiga serta isolat KLK-ST4 mencapai LT50
pada hari ke empat setelah aplikasi. Isolatisolat efektif lainnya yaitu KNW-ST7, KLK-ST3,
KNW-ST9, KU-ST8, KNW-ST5, dan MN-ST5,
KU-ST9,
KU-ST11,
KNW-ST6
mampu
mematikan larva uji 80%-95%. Isolat KU-ST10,
KNW-ST3, KU-ST12, KNW-ST4, MN-ST6
mampu mematikan larva uji 60%-72,5%.
Semua isolat yang digunakan pada pengujian
bioassay memiliki tingkat mortalitas dan
virulensi yang tinggi dimana semua isolatisolat tersebut mampu mencapai LT50 pada hari
ke dua sampai hari ke empat setelah aplikasi.
Tabel 2. Kode, asal geografis dan habitat isolat yang digunakan dalam uji bioassay pada larva C. binotalis
Zell.
Kode Isolat
KU-ST 4
KU-ST 7
KU-ST 8
KU-ST 9
KU-ST 10
KU-ST 11
KU-ST 12
KLK-ST 3
KLK-ST 4
KLK-ST 5
KNW-ST 3
KNW-ST 4
KNW-ST 5
KNW-ST 6
KNW-ST 7
KNW-ST 8
KNW-ST 9
MN-ST 4
MN-ST 5
MN-ST 6
Desa
Woise
Lawalatu
Ngapa
Rante limbong
Ponggiha
Ponggiha
Tabaku
Tawaina
Ordopi
Potudara
Alosika
Langgea
Wawonggole
Wawonggole
Puniowaru
Puniowaru
Labela
Wakorambu
Labunti
Bakeramba
Asal Isolat
Kecamatan
Lambai
Ngapa
Ngapa
Lasusua
Lasusua
Lasusua
Katoi
Trirawuta
Mowewe
Tanggetada
Abuki
Abuki
Unaaha
Unaaha
Besulutu
Besulutu
Besulutu
Batalaiworu
Lasalepa
Kusambi
Kabupaten
Kolaka Utara
Kolaka Utara
Kolaka Utara
Kolaka Utara
Kolaka Utara
Kolaka Utara
Kolaka Utara
Kolaka
Kolaka
Kolaka
Konawe
Konawe
Konawe
Konawe
Konawe
Konawe
Konawe
Muna
Muna
Muna
Habitat
Ternak Ayam
Kakao, Pete
Jambu mete
Rumput Gajah
Cengkeh
Kapuk
Nilam
Sagu
Sawah
Sawi
Rambutan
Padi
Jagung
Jati
Lada
Kandang ayam
Ubi Kayu
Gambas
Gamal
Rambutan
26
KHAERUNI ET AL.
J. AGROTEKNOS
Tabel 3. Mortalitas rata-rata larva C. binotalis Zell. pada uji patogenisitas B. thuringiensis
Kode
Isolat
KU-ST 11
MN-ST 5
KU-ST 7
MN-ST 4
KNW-ST 6
KNW-ST 8
MN-ST 6
KLK-ST 5
KNW-ST 9
KU-ST 9
KU-ST 12
KLK-ST 4
KNW-ST 3
KNW-ST 7
KU-ST 4
KLK-ST 3
KU-ST 10
KNW-ST 4
KNW-ST 5
KU-ST 8
KONTROL
Mortalitas (%)
Hari ke-4
50
50
100
82,5
77,5
70
52,5
87,5
60
55
50
55
50
55
57,5
52,5
50
55
60
55
0
Hari Ke-7
90
87,5
100
100
95
100
80
100
82,5
90
62,5
100
60
80
100
80
60
70
87,5
85
0
Patogenisitas B. thuringiensis Berl. terhadap
serangga dipengaruhi oleh strain bakteri dan
spesies serangga yang terinfeksi. Faktor pada
bakteri yang mempengaruhi patogenisitasnya
adalah struktur kristalnya yang memegang
peranan penting karena aktivitas toksinnya,
yang pada salah satu strain mungkin
mempunyai ikatan yang lebih mudah dipecah
oleh enzim yang dihasilkan serangga dan
ukuran molekul protein yang menyusun
kristal, serta susunan molekul asam amino dan
kandungan karbohidrat dalam kristal (Iren,
2009). Bentuk kristal protein dari B.
thuringiensis Berl. dalam penelitian ini sulit
terlihat di bawah mikroskop binokuler karena
ukurannya yang sangat kecil dan berada di
dalam endospora bakteri sehingga hanya
terlihat bentuk spora dari B. thuringiensis Berl.
yang berbentuk bulat dan terlihat sangat kecil
seperti titik, oleh karena itu kristal protein ini
harus
diamati
dengan
menggunakan
mikroskop elektron agar lebih jelas terlihat.
Berdasarkan hasil penelitian Rusmana dan
Hadioetomo (1994) bentuk kristal protein ada
empat macam yakni bipiramida, oval, tidak
beraturan (amorf) dan bulat, namun sebagian
besar isolat B. thuringiensis Berl. yang memiliki
daya bunuh untuk ordo Lepidoptera yaitu
LT
(Hari Ke-)
(Hari Ke-4)
(Hari Ke-4)
(Hari Ke-2)
(Hari Ke-2)
(Hari Ke-3)
(Hari Ke-3)
(Hari Ke-4)
(Hari Ke-3)
(Hari Ke-4)
(Hari Ke-4)
(Hari Ke-4)
(Hari Ke-4)
(Hari Ke-4)
(Hari Ke-4)
(Hari Ke3)
(Hari Ke4)
(Hari Ke4)
(Hari Ke4)
(Hari Ke-3)
(Hari Ke-4)
-
50 Tingkat virulensi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tidak virulen
berbentuk bipiramida yang jumlahnya hanya
satu tiap sel, sedangkan yang berbentuk kubus,
oval dan amorf umumnya toksik terhadap
serangga ordo Diptera dan jumlahnya dapat
lebih dari satu tiap sel. Kristal yang mempunyai
daya bunuh terhadap serangga ordo
Coleoptera berbentuk empat persegi panjang
dan datar atau pipih.
Gejala yang ditimbulkan larva uji yang
terinfeksi B. thuringiensis Berl. dalam
penelitian ini yaitu larva uji berubah
perilakunya menjadi lamban dan akhirnya
berhenti bergerak dan kadang-kadang
mengeluarkan cairan berwarna hijau dari
mulutnya, kemudian kotorannya menjadi
berair (diare), dan akhirnya akan mati, dari
segi morfologi warna larva yang mati menjadi
gelap atau hitam kecoklatan dan tubuhnya
menjadi lembek. Bangkai larva uji yang mati
tersebut berbau busuk dan semakin hari
semakin mengecil khas sebagai bangkai larva
yang terserang bakteri (Gambar 8B). Sejalan
dengan penelitian ini, Parker & Feil (2005),
mengemukakan bahwa mekanisme kerja
toksin B. thuringiensis mulai aktif setelah B.
thuringiensis Berl. masuk ke dalam perut larva,
maka kristal protein B. thuringiensis Berl. akan
masuk ke dalam usus larva. Kemudian toksin
Vol. 2 No.1, 2012
Isolasi Bacillus Thuringiensis Berl. Dari Tanah
tersebut akan aktif pada kondisi pH tinggi
(basa) seperti yang ditemui di dalam usus
Lepidoptera, yaitu pH di atas 9.5, komponen
toksin B. thuringiensis Berl. disebut delta
endotoksin. Delta endotoksin berikatan dengan
sel yang menempel pada dinding membran
usus dan membentuk lubang pada membran
dan mengganggu keseimbangan ion dalam
usus, larva serangga akan berhenti makan dan
kelaparan kemudian mati (Bravo et. al., 2007),.
Jika serangga tidak terpengaruh secara
langsung oleh kerja delta endotoksin, kematian
pada larva serangga
terjadi setelah
pertumbuhan vegetatif B. thuringiensis Berl. di
dalam usus serangga. Spora tumbuh setelah
dinding usus hancur, dan kemudian
memproduksi semakin banyak spora. Infeksi
yang semakin meluas pada tubuh serangga
menyebabkan kematian pada serangga
tersebut (Chak et. al. 2004).
SIMPULAN
Sampel tanah yang mengandung Bacillus
thuringiensis
dari
Sulawesi
Tenggara
berjumlah 37 sampel tanah dan diperoleh 65
isolat B. thuringiensis. Isolat KU-ST7, MN-ST4,
KNW-ST8, KLK-ST5,KLK-ST4 dan KU-ST4
merupakan isolat yang memiliki patogenisitas
dan virulensi tertinggi
karena dapat
mematikan serangga uji hingga 100%, dengan
nilai LT50 antara 2-4 hari setelah aplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Bravo A, Gill SS, Soberon M. 2007. Mode of action of
Bacillus thuringiensis Cry and Cyt toxins and their
potential for insect control. Toxicon. 49(4): 423435.
Chak K.F, D.C Chao, M.Y Tseng, S.S Kao, S.J Tuan, T.Y
Feng. 2004. Determination and distribution of
Cry-type genes of Bacillus thuringiensis isolates
from Taiwan. Appl Environ Microbiol. 60(7):
2415-2420.
27
Dinas Perkebunan dan Hortikultura Sulawesi
Tenggara. 2009. Statistik Perkebunan Provinsi
Sulawesi Tenggara 2009.
Iren, E. 2009. Ciri-ciri Bacillus thuringiensis,
http://env-iren
.blogspot.
com/2009/03/bacillus-thuringiensis-ciriciri.html ( 10 Juli 2011).
Kardinan, A. 2000. Pestisida Nabati Ramuan Dan
Aplikasi . Penebar Swadaya. Jakarta.
Khetan, S.K. 2001. Microbial Pest Control. Maecell
Dekker, Inc. USA. p.3-141.
Muharsini S, Wardhana AH. 2005. Uji efikasi isolat
lokal Bacillus thuringiensis yang mempunyai gen
Cry terhadap lalat Chrysomya bassiana secara invitro. Makalah Pada Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor.
Parker MW, Feil SC. 2005. Pore-forming protein
toxins: from structure to function. Prog Biophys
& Mol Biol. 88: 91–142.
Rusmana I,, dan Hadioetomo RS. 1994. Isolasi
Bacillus thuringiensis Berl. dari peternakan ulat
sutera dan toksisitasnya terhadap larve
Crocodolomia binotalis Zell. dan Spodoptera
litura F. Hayati. 1(1): 21-23.
Salaki, CL., L. Sembiring, J. Situmorang dan N.S.N
Handayani 2010. Isolasi dan Karakterisasi
Bakteri
Indigenous
indonesia
(Bacillus
thuringiensis) yang berpotensi sebagai agensia
pengendali Hayati terhadap serangga Hama
kubis (Crocidolomia binotalis). Jurnal Agrivita
32(2):5-8
Sudarwohadi. 1995. Hubungan Antara Waktu
dengan Dinamika Populasi Xylostella Curt
dengan Crocidolomia binotalis Zell. Penelitian
Hortikultura. Universitas Hasanuddin. Ujung
Pandang.
Sunarjono, H. 2005. Bertanam 30 Jenis Sayur.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Trizelia, 2001. Makalah Pemanfaatan Bacillus
thuringiensis Untuk Pengendalian
Hama Crocidolomia binotalis. IPB: Bogor.
(http://www.rudyct.com/PPS702ipb/03112/trizelia.html, diakses pada tanggal 1
Maret 2011).
Untung, K. 1996. Dasar-dasar Pengelolaan Hama
Terpadu. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah
Mada.Yogyakarta.
Download