BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1.Pola Asuh Orang Tua 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1.Pola Asuh Orang Tua
2.1.1. Definisi Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh menurut Baumrind (dikutip dalam Papalia, Olds, & Feldman,
2009) orang tua tidak boleh menghukum anak, tetapi sebagai gantinya orang tua
harus mengembangkan aturan-aturan bagi anak dan mencurahkan kasih sayang
kepada anak. Orang tua melakukan penyesuaian perilaku mereka terhadap anak,
yang didasarkan atas perkembangan anak karena setiap anak memiliki kebutuhan
dan mempunyai kemampuan yang berbeda-beda.
Menurut Baumrind (dikutip dalam Donita & Maria, 2015) menegaskan
bahwa pola asuh menyangkut dua dimensi yaitu parental responsive dan parental
demaningness. Parental responsive menyangkut hal hal orang tua secara sengaja
mengembangkan individualitas, membiarkannya mengatur diri dan menampilkan
dirinya sendiri, kemandirian dan asertivitas dan dimensi ini diwujudkan dengan
senantiasa mendengarkan, mendukung dan menyetujui kebutuhan dan keinginan
anak. Sedangkan parental demandingness mencangkup keinginan orang tua untuk
membuat anak menjadi bagian dari keluarga secara penuh dengan meminta
mereka untuk bertindak dewasa, menunjukan kematangan, mengawasi, usaha
menerapkan disiplin dan kesediaan untuk menghukum anak yang tidak patuh.
Pola asuh orang tua akan memberikan dampak yang besar dalam
perkembangan seorang anak. Ecdes, Wigfield, dan Schiefele (dikutip dalam
8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
Santrock, 2009) menyatakan bahwa pola asuh merupakan faktor yang lebih
penting untuk dapat mempengaruhi motivasi seseorang. Pola asuh positif orang
tua yang dapat meningkatkan motivasi serta prestasi seseorang adalah dengan
memberikan tantangan dan dukungan yang tepat, menjadi role model sebagai
pekerja keras dan gigih dalam menghadapi tantangan, dan menciptakan ikatan
emosional
yang
positif
sehingga
dapat
memotivasi
anak
untuk
menginternalisasikan nilai dan tujuan orang tua.
Pola asuh adalah konsep dasar tentang cara memperlakukan anak.
Perbedaan dalam konsep ini adalah ketika anak dilihat sebagai sosok yang sedang
berkembang, maka konsep pengasuhan yang diberikan adaah konsep psikologi
perkembangan. Ketika konsep pengasuhan mempertahankan cara-cara yang
tertanam di dalam masyarakat maka konsep yang digunakan adalah tradisional
(Handayani, 2008)
2.1.2. Gaya Pengasuhan
Diana Baumrind (dikutip dalam Santrock, 2009) berkeyakinan bahwa
orang tua seharusnya tidak menghukum atau bersikap dingin kepada anakanaknya. Orang tua seharusnya mengembangkan aturan aturan dan bersikap
hangat kepada anak-anaknya. Ia mendeskripsikan tiga tipe gaya pengasuhan:
A. Pengasuhan Otoriter (Authoritarian Parenting)
Adalah gaya yang bersifat membatasi dan menghukum, dimana orang tua
mendesak anaknya agar mematuhi orang tua serta menghormati usahan dan jerih
payah mereka. Orang tua otoritarian menempatkan batasan batasan dan kendali
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
yang tegas pada anak serta tidak banyak memberi peluang kepada anak-anak
untuk bermusyawarah. Sebagai contoh, orang tua otoritarian mungkin
mengatakan, “Lakukan sesuai perintahku atau tidak sama sekali”. Orang tua
otoritarian juga mungkin memukul anak, menetapkan aturan-aturan secara kaku
tanpa memberikan penjelasan, dan menunjukan kemarahan terhadap anak. Orang
tua yang otoritarian menetapkan tuntutan yang tinggi terhadap anak-anaknya.
Anak anak dari orang tua otoritarian sering kali tidak bahagia, takut, dan cemas
ketika membandingkan dirinya dengan orang lain, tidak memiliki inisiatif, dan
memiliki keterampilan komunikasi yang buruk.
B. Pengasuhan Otoritatif (Authoritative Parenting)
Mendorong anak-anak untuk mandiri namun masih tetap memberi batasan
dan kendali atas tindakan-tindakan anak. Orang tua masih memberikan
kesempatan untuk berdialog secara verbal. Disamping itu orang tua juga bersifat
hangat dan mengasuh. Orang tua yang autoritatif akan merangkul anak dan
mengatakan, “Kamu tahu bahwa seharusnya kamu tidak melakukan hal itu.
Sekarang mari kita bicarakan bagaimana agar kelak kamu mampu menangani
situasi itu secara lebih baik”. Orang tua otoritatif memperlihatkan rasa senang dan
dukungan sebagai respons terhadap tingkah laku konstruktif anak-anak. Mereka
juga mengharapkan tingkahlaku yang matang, mandiri, dan sesuai usia anakanaknya. Mereka pun bersikap demokratis, memberikan tuntutan, yang disertai
dengan pengarahan dan penerimaan. Anak-anak yang orang tuanya otoritatif
sering kali terlihat riang-gembira, memiliki kendali-diri dan rasa percaya-diri,
serta berorientasi pada prestasi; mereka cenderung mempertahankan relasi yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
bersahabat dengan kawan-kawan sebaya, kooperatif dengan orang dewasa, dan
mampu mengatasi stres dengan baik.
C. Pengasuhan Permisif (Permissive Parenting)
Adalah orang tua yang menghargai ekspresi dan pengaturan diri. Mereka
hanya membuat sedikit permintaan dan membiarkan anak memonitor aktivitas
mereka sendiri sedapat mungkin. Ketika membuat aturan, mereka menjelaskan
alasannya kepada anak. Mereka berkonsultasi dengan anak mengenai keputuan
kebijakan dan jarang menghukum. Mereka hangat, tidak mengontrol, dan tidak
menuntut, kurang menerapkan kedisiplinan dan mereka menginginkan agar anak
merasa bebas serta tidak terikat aturan. Anak prasekolah mereka cenderung belum
matang, paling tidak memiliki control dan tidak terlalu suka bereksplorasi (dikutip
dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
D. Pengasuhan Melalaikan (Neglectful Parenting)
Eleanor Maccoby dan John Martin (dikutip dalam Papalia et al., 2009)
menambahkan pola asuh, yaitu mengabaikan, atau tidak terlibat atau neglectful
parenting. Dimana gaya pola pengasuhan ini menggambarkan orang tua yang
kadang hanya fokus pada kebutuhannya sendiri dan mengabaikan kebutuhan anak
karena stress atau depresi. Orang tua dengan pola pengasuhan ini dicirikan dengan
tuntutan yang rendah, kepekaan yang rendah serta intensitas komunikasi yang
sangat sedikit. Pola asuh ini sudah dikaitkan dengan berbagai gangguan perilaku
pada masa kanak-kanak dan remaja. Neglect adalah gaya pengasuhan dimana
orang tua tidak terlibat di dalam kehidupan anak. Anak-anak yang orang tuanya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
lalai mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain dari kehidupan orang tua
lebih penting daripada mereka. Anak-anak ini cenderung tidak kompeten secara
sosial. Banyak anak-anak yang kurang memiliki kendali diri dan tidak mampu
menangani independensi secara baik. Mereka sering kali memiliki harga diri yang
rendah, tidak matang dan mungkin terasing dari keluarga. Pada remaja, mereka
mungkin memperlihatkan pola-pola membolos dan pelanggaran (Santrock, 2011).
Kaitan antara konflik pernikahan dan penggunaan hukuman menekankan
pentingnya pengasuhan bersama (coparenting), yakni dukungan yang diberikan
oleh masing-masing orang tua terhadap satu sama lain dalam membesarkan anak.
Koordinasi yang buruk diantara orang tua, rongrongan salah satu orang tua,
kurangnya kooperasi dan kehangatan, terputusnya hubungan dengan salah satu
orang tua adalah kondisi yang dapat membuat anak beresiko (Mchale & Sullivan,
2008).
Penelitian
terbaru
mengungkapkan
bahwa
pengasuhan
bersama
mengindikasikan usaha pengendalian anak-anak melebihi pengasuhan ibu atau
ayah saja (Karreman, 2008). Orang tua yang tidak memiliki banyak waktu
bersama anak-anaknya atau yang memiliki masalah dalam pengasuhan anak dapat
memanfaatkan konseling dan terapi.
2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi dalam Pola Pengasuhan
Berbagai faktor turut mempengaruhi oran tua dalam menerapkan tipe pola
asuh di rumah. Hurlock (dikutip dalam Handayani dan Nurwidawati, 2013)
mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi orang tua dalam mengasuh
anak, yaitu:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
Tipe pola asuh yang diterima oleh orang tua sewaktu masih anak-anak,
orang tua memiliki kecenderungan untuk mengasuh anak-anaknya sebagaimana
dulu diasuh oleh orang tuanya.
Pendidikan orang tua, pendidikan orang tua mempengaruhi pemilihan tipe
pola asuh yang diterapkan pada anak. Orang tua dengan latar belakang pendidikan
yang baik cenderung menerapkan tipe pola asuh yang lebih demokratis atau
permisif dibandingkan dengan orrang tua yang pendidikannya terbatas.
Pendidikan orang tua membantu orang tua untuk lebih memahami kebutuhan
anak.
Kelas sosial, perbedaan dari kelas sosial orang tua turut mempengaruhi
pemilihan tipe pola asuh. Orang tua dari kelas sosial menengah cenderung lebih
permisif dibandingkan dengan orang tua dari kelas sosial bawah.
Konsep tentang peran orang tua, tiap orang tua memiliki konsep tentang
bagaimana seharusnya berperan sebagai orang tua. orang tua dengan konsep
tradisional cenderung untuk memilih tipe pola asuh yang ketat dibandingkan
orang tua yang memiliki konsep non-tradisional.
Kepribadian orang tua, pemilihan tipe pola asuh juga dipengaruhi oleh
kepribadian orang tua, kepribadian orang tua mempengaruhi bagaimana mereka
menginterpretasikan tipe pola asuh yang diterapkan. Orang tua yang
berkepribadian tertutup dan konservatif cenderung akan memperlakukan anaknya
dengan ketat dan otoriter.
Kepribadian anak, tidak hanya kepribadian orang tua yang mempengaruhi
pemilihan tipe pola asuh, kepribadian anak juga turut berpengaruh. Anak yang
ekstrovert akan bersikap lebih terbuka terhadap rangsangan-rangsangan yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
datang padanya dibandingkan dengan anak yang introvert. Hal ini akan
mempengaruhi pemilihan tipe pola asuh yang diberikan orang tua kepada
anaknya.
Faktor nilai yang dianut orang tua, di negara barat orang tua menganut
paham equalitarian, diantaranya kedudukan anak dipahami sebagai sejajar dengan
orang tua, namun di negara timur orang tua (dengan kedudukannya yang lebih
tinggi dari anak) cenderung lebih menghargai akan kepatuhan anak.
Usia anak, tingkah laku dan sikap orang tua dapat dipengaruhi oleh usia
anak. Orang tua lebih bersedia untuk memberikan dukungan dan dapat menerima
sikap ketergantungan dari anak usia prasekolah dibandingkan bila anak sudah
remaja.
2.2.Prostitusi dan Pekerja Seks Komersial
2.2.1. Definisi Prostitusi dan Pekerja Seks Komersial
Kartini Kartono (2009) menyatakan bahwa prostitusi merupakan profesi
yang sangat tua usianya, setua usia kehidupan manusia itu sendiri. Mudji Sutrisno
(dikutip dalam Kristiyana, 2013) mengatakan bahwa prostitusi berasal dari bahasa
latin pro-stituere, yang artinya membiarkan diri berbuat zina, melakukan
persundalan, pencabulan, dan pengendakan.
Kartini Kartono (2009) menyebutkan bahwa prostitusi merupakan bentuk
penyimpangan seksual, dengan pola organisasi impuls-impuls/dorongan seks yang
tidak wajar, dan dorongan seks yang tidak terorganisir dalam kepribadian,
sehingga relasi seks itu sifatnya impersonal, tanpa afeksi dan emosi (kasih
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
sayang), berlangsung cepat, tanpa orgasme di pihak wanita. Maka seks dijadikan
“bahan dagangan”. Sehingga terjadi komersialisasi seks, berupa penukaran
kenikmatan seksual dengan benda-benda/materi atau uang. Ada pelampiasan
nafsu seks secara bebas liar dalam relasi seks dengan banyak orang. Dengan
adanya komersialisasi itu, prostitusi merupakan suatu “profesi” paling tua dan
sepanjang sejarah manusia.
Selanjutnya Koentjoro (dikutip dalam Kristiyana, 2013) mengatakan
pelacuran atau prostitusi merupakan suatu bentuk transaksi bisnis yang disepakati
oleh pihak yang terlibat sebagai suatu yang bersifat jangka pendek yang
memungkinkan satu orang atau lebih mendapatkan kepuasan seks dengan metode
yang beraneka ragam.
Definisi mengenai prostitusi yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial
dalam lembaran kerjanya adalah suatu tindakan di luar perkawinan dengan motif
upah atau jasa dan pelayanan bagi pihak laki laki sedemikian rupa sehingga
merupakan suatu kebiasaan tanpa pertimbangan moral lagi.
Dalam praktik prostitusi kita mengenal adanya istilah WTS, perek atau
pekerja seks Komersial (PSK) untuk menyebut pelaku dari praktik prostitusi.
Untuk pembahasan selanjutnya digunakan istilah PSK.
Kartini Kartono (2009) mendefinisikan pekerja seks komersial merupakan
penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan
kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan
imbalan pembayaran. Definisi tersebut sejalan dengan Koentjoro ( dikutip dalam
Kristiyana, 2013) yang menjelaskan bahwa pekerja seks komersial merupakan
bagian dari kegiatan seks di luar nikah yang ditandai oleh kepuasan seks dari
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
bermacam-macam orang yang melibatkan beberapa pria, dilakukan demi uang dan
dijadikan sebagai sumber.
Berdasarkan teori diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
PSK dalam pembahasan selanjutnya adalah orang yang melakukan hubungan seks
dengan sejumlah pria dan menerima imbalan berupa uang.
2.2.2. Jenis jenis Prostitusi
Dalam melihat fenomena di Indonesia, Kadir (2007) membagi jenis
pekerjaan seks ke dalam beberapa kategori besar berdasarkan kriteria struktur dan
sistem operasional, diantaranya :
1) Pekerja seks jalanan
Pekerja seks ini sering kita temui di berbagai jalanan besar di indonesia.
Sang pekerja lebih bersifat independen. Ketika terjadi interaksi tak ada perantara
ketiga seperti germo maupun penjaga keamanan. Harga tubuh yang ditawarkan
pun lebih miring. Hal ini karena selain tak ada tips kepada pihak ketiga secara
tetap. PSK jenis ini tidak terlalu cantik serta seusia mereka terkadang lebih tua
dibanding mereka yang berada di dalam lokalisasi.
2) Pekerja seks salon kecantikan
Istilah ini semacam penghalusan makna secara tersembunyi terhadap
bisnis seksual yang sebenarnya mereka lakukan. Orang biasa menyebutnya
dengan salon plus. Sistem operasional pekerja seks ini pertama kali merawat serta
membersihkan sang pelanggan atau pasien. Di luar itu mereka juga bersedia
melayani secara ekstra seperti pijat, dan hubungan seks. Untuk mengenali salon
plus dapat dilihat dari bangunannya. Salon plus biasanya berkaca gelap, ada
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
beberapa ruang di dalamnya yang ditutup tirai. Pencahayaan di dalamnya kurang
terang (remang-remang). Hal itu sesuai dengan penelitian Hutabarat (dikutip
dalam Kadir, 2007) bahwa adanya keinginan untuk tidak diasingkan dari
lingkungan menyebabkan wanita pekerja seks komersial menutupi statusnya
dengan berpura-pura menjadi anggota masyarakat biasa sehingga interaksi dengan
lingkungannya tetap terjaga.
3) Pekerja phone sex
Sistematika pekerjaan seks ini didasarkan pada jasa telepon sebagai
mediator. Terdapat dua jenis kinerja dalam hal ini, pertama mereka yang biasa
disebut wanita panggilan atau call girls. Transaksi awal dibuat berdasarkan janji
pertemuan (kencan) yang berlanjut ke tempat tidur. Sedangkan kinerja kedua
adalah seksualitas yang didasarkan pada orgasme melalui hubungan telepon
(phone sex). Promosi ini sering kita temui padaberbagai majalah-majalah semi
porno atau koran.
Menurut Kartini Kartono (2009) yang dimasukan ke dalam kategori PSK
ini ialah : pergundikan, loose merried woman atau “tente girang”, penggali emas
(gold digger), taxi girl atau gadis-taksi, call-girl ( gadis panggilan), B-girl atau
bar-gir ( gadis-bar), pramuria/hostess, gadis-gadis juvenile delinguent, free girl
atau gadis binal (di Bandung mereka menamakan diri sebagai “bagong lieur” atau
Gongli)
2.2.3. Faktor Faktor Penyebab Seseorang menjadi PSK
Ada sejumlah faktor yang di duga merupakan alasan bagi para perempuan
untuk memilih pekerjaan sebagai PSK. Sedyaningsih (2010) mengatakan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
keberadaan pelacuran terjadi karena berbagai faktor yang saling berkaitan, seperti
kemiskinan yang sistematik dan struktural, perdagangan perempuan dan anak oleh
orang tua atau kerabat sendiri, akses pendidikan yang rendah bagi anak
perempuan sehingga sulit memasuki lapangan pekerjaan dengan penghasilan yang
memadai untuk biaya hidup, budaya patriarki yang didominasi oleh dan untuk
kesenangan pria, adanya anggapan bahwa memiliki anak perempuan merupakan
aset bagi perbaikan ekonomi keluarga, tingginya keinginan orang tua untuk bisa
memiliki harta benda dengan menjual anak gadisnya sendiri, adanya hasutan stau
iming-iming untuk menjadi pelacur karena menjanjikan pendapatan lebih tinggi
dibandingkan pekerjaan lain, rendahnya penghargaan terhadap anak perempuan
dibanding anak laki-laki, eksploitasi tubuh perempuan dalam pornografi secara
terorganisir, modeling dari pelacur yang sukses secara materi untuk diikuti oleh
generasi yang lebih muda, serta minimnya sikap bertanggung jawab terhadap diri
sendiri maupun orang lain.
Kartini Kartono (2009) menyebutkan bahwa faktor faktor yang
menyebabkan seseorang menajdi PSK, antara lain : (a) ada nafsu seks yang
abnormal; (b) aspirasi materiil tinggi dibarengi dengan usaha mencarai kakayaan
lawat jalan yang mudah dan “bermalas-malasan”; (c) kompensansi terhadap rasarasa diri interior sebagai pola adjust-ment yang negative; (d) memberontak
terhadap otoritas orang tua, religious dan norma sosial; (e) ada disorganisasi
kehidupan keluarga atau “broken home”; (f) penundaan perkawinan jauh sesudah
kematangan biologis; (g) bermotifkan standar hidup/ekonomi yang tinggi, yang
mendorong makin pesatnya tumbuhnya pelacur; (h) banyak juga gadis gadis
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
pecandu ganja, obat bius, dan minuman keras yang terpaks menjual diri dan
mejalankan “profesi” pelacuran secara intensif
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download