PENINGKATKAN KUALITAS KINERJA PNS YANG BERORIENTASI PADA OUTPUT (Kajian Teknologi Informasi dan Teknik Pelaporan pada Diklat Kepala KUA di BDK Padang) Oleh :Drs. H. Eldison., M.Pd.I Widyaiswara Madya Bdk Padang Abstrak Setiap organisasi berkepentingan terhadap kinerja terbaik yang mampu dihasilkan oleh rangkaian sistem yang berlaku dalam organisasi tersebut. Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan salah satu faktor kunci untuk mendapatkan kinerja terbaik, karena selain menangani masalah ketrampilan dan keahlian, manajemen SDM juga berkewajiban membangun perilaku kondusif karyawan untuk mendapatkan kinerja terbaik. Untuk dapat bersaing di era globalisasi, setiap organisasi dituntut untuk memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan produktivitas tinggi. Kualitas kerja mengacu pada kualitas sumber daya manusia (Matutina,2001:205), kualitas Kerja sumber daya manusia mengacu pada :1. pengetahuan (Knowledge) yaitu kemampuan yang dimiliki karyawan yang lebih berorientasi pada intelejensi dan daya fikir serta penguasaan ilmu yang luas yang dimiliki karyawan. 2. keterampilan (Skill), kemampuan dan penguasaan teknis operasional di bidang tertentu yang dimiliki karyawan. 3. abilities yaitu kemampuan yang terbentuk dari sejumlah kompetensi yang dimiliki seorang karyawan yang mencakup loyalitas, kedisiplinan, kerjasama dan tanggung jawab. Kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja yang baik selalu diusahakan oleh setiap orang yang ada di dalam organisasi atau perusahaan guna mencapai output dari visi organnisasi serta merealisasikan visi organisasi. Kantor Urusan Agama (KUA) adalah merupakan garda dari Kementerian Agama baik dan jeleknya KUA akan mempengaruhi terhadap kinerja Kementerian Agama secara umum. Oleh karena itu pengukuran terhadap sebuah kinerja perlu dilakukan, dan untuk melakukan pengukuran terhadap kinerja diperlukan sebuah sistem manajemen kinerja untuk melihat kinerja PNS yang berorintasi pada output. Kata Kunci : Kualitas Kinerja PNS, Output A. PENDAHULUAN Dalam upaya memenangkan persaingan di pasar bebas setiap perusahaan dituntut untuk mampu menghasilkan barang/jasa yang berdaya saing tinggi, yaitu barang/jasa yang memiliki keunggulan-keunggulan tertentu. Untuk menghasilkan barang/jasa yang berdaya saing tinggi ditentukan oleh tingkat efisiensi yang tinggi. Tingkat efisien yang tinggi ditentukan oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu SDM yang professional yang dapat menciptakan nilai tambah baru dan mampu menjawab tantangan baru. Untuk dapat memiliki SDM yang professional organisasi dapat melakukan pendidikan dan pelatihan serta bimbingan bagi SDM-nya. Hanya saja untuk menghasilkan prestasi kerja yang tinggi seorang karyawan tidak saja perlu memiliki keterampilan, tetapi ia juga memiliki keinginan dan semangat untuk berprestasi tinggi. Dalam rangka untuk meningkatkan prestasi kerja karyawan, tulisan ini akan membahas tentang sebuah sistem dalam bidang manajemen SDM yang diyakini akan dapat mendorong tenaga kerja untuk meningkatkan prestasi kerjanya, yaitu yang disebut dengan Sistem Manajemen Kinerja, khususnya Sistem Manajemen Kinerja yang memfokuskan perhatiannya pada output. B. LANDASAN TEORI 1. ARTI DAN TUJUAN MANAJEMEN KINERJA Istilah Manajemen Kinerja adalah terjemahan dari Performance Management. Menurut Ruky (2004), ditinjau dari bunyi kalimatnya, Manajemen Kinerja berkaitan dengan usaha, kegiatan atau program yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pimpinan organisasi untuk merencanakan, mengarahkan dan mengendalikan prestasi kerja karyawan. Karena program ini mencantumkan kata manajemen, maka seluruh kegiatan yang dilakukan dalam “proses manajemen” harus terjadi dimulai dengan menetapkan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, kemudian tahap pembuatan rencana, pengorganisasian, penggerakan/pengarahan dan akhirnya evaluasi atas hasilnya. Bacal (2001) mendefinisikan Manajemen Kinerja sebagai proses komunikasi berkesinambungan yang dilaksanakan berdasarkan kemitraan antara karyawan dan atasan langsungnya. Terciptanya komunikasi dua arah ini menjadi cara untuk bekerjasama meningkatkan kinerja dan sekaligus mencegah munculnya kinerja buruk. Baik Ruky maupun Bacal berpendapat, bahwa bagian yang paling penting dalam Manajemen Kinerja adalah perencanaan. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakukan dalam Manajemen Kinerja ini adalah menetapkan tujuan atau sasaran. Atasan dan masing-masing bawahan harus mengidentifikasi tujuan atau sasaran yang hendak mereka capai, yaitu kinerja dalam bentuk apa dan yang seperti bagaimana yang ingin dicapai. Dan karena yang menjadi objek adalah kinerja manusia, maka bentuk yang paling umum tentunya adalah kinerja dalam bentuk “produktivitas” SDM. 2. Ruang Lingkup Program Manajemen Kinerja Program manajemen Kinerja ini ruang lingkupnya cukup besar. Ia bersifat menyeluruh atau menggarap semua bagian/fungsi dari sebuah organisasi. Program ini menjamah semua elemen, unsur atau input yang harus didayagunakan oleh organisasi untuk meningkatkan kinerja organisasi tersebut, bukan hanya manusia. Elemen-elemen tersebut adalah teknologi (peralatan, metode kerja) yang digunakan, kualitas dari input (termasuk material), kualitas lingkungan fisik (keselamatan, kesehatan kerja, lay-out tempat kerja dan kebersihan), iklim dan budaya organisasi serta kompensasi dan imbalan. Kegiatan dengan ruang lingkup seperti tersebut diatas merupakan sebuah proyek besar dan melibatkan hampir semua orang, dan harus ditangani langsung oleh pemimpin puncak organisasi. Dari uraian diatas dapat kita simpulkan, bahwa program manajemen kinerja pada dasarnya adalah sebuah proses dalam MSDM. Selain itu penggunaan istilah “manajemen” mempunyai implikasi, bahwa kegiatan tersebut harus dilaksanakan sebagai proses manajemen umum, yang dimulai dengan penetapan sasaran dan di akhiri dengan evaluasi. Proses tersebut pada garis besarnya terdiri dari lima kegiatan utama yaitu: a. Merumuskan tanggung jawab dan tugas yang harus dicapai oleh karyawan dan rumusan tersebut disepakati bersama. b. Menyepakati sasaran kerja dalam bentuk hasil yang harus dicapai oleh karyawan untuk kurun waktu tertentu. Termasuk dalam tahap ini adalah penetapan standar prestasi dan tolak ukurnya. c. Melakukan “monitoring”, melakukan koreksi, memberikan kesempatan dan bantuan yang diperlukan bawahan. d. Menilai prestasi karyawan tersebut dengan cara membandingkan prestasi yang dicapai dengan standar atau tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam tahap penilaian ini harus tercakup pula kegiatan mengidentifikasi bidang-bidang yang ada dan dirasakan terdapat kelemahan pada orang yang dinilai. e. Memberikan umpan balik pada karyawan yang dinilai dengan seluruh hasil penilaian yang dilakukan. Disini juga dibicarakan cara-cara untuk memperbaiki kelemahan yang telah diketahui dengan tujuan meningkatkan prestasi kerja pada priode berikutnya. 3. Manfaat Program Manajemen Kinerja Ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh organisasi dengan menerapkan Sistem Manajemen Kinerja yaitu: a. dapat meningkatkan prestasi kerja karyawan, baik secara individu maupun kelompok, karena disini atasan dan bawahan diberi kesempatan untuk memenuhi aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan perusahaan dengan menetapkan sendiri sasaran kerja dan standar prestasi yang harus dicapai dalam kurun waktu tertentu. b. peningkatan yang terjadi pada prestasi karyawan secara perorangan pada akhirnya akan mendorong kinerja sumber daya manusia secara keseluruhan yang direfleksikan dalam kenaikan produktivitas. c. merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan tujuan meningkatkan hasil karya dan prestasi pribadi serta potensi karyawan dengan cara memberikan umpan balik pada mereka tentang prestasi kerjanya. d. membantu perusahaan untuk dapat menyusun program pengembangan dan pelatihan karyawan yang lebih tepat guna. Dan nantinya diharapkan usaha ini akan membantu perusahaan untuk mempunyai pasokan tenaga yang cakap dan terampil yang cukup untuk pengembangan perusahaan di masa depan. e. menyediakan alat/sarana untuk membandingkan prestasi kerja karyawan dengan tingkat imbalan/gajinya sebagai bagian dari kebijakan dan system imbalan yang baik. f. memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengeluarkan perasaannya tentang pekerjaan atau hal-hal yang berkaitan dengannya. Dengan demikian jalur komunikasi dan dialog akan terbuka sehingga dapat diharapkan bahwa proses penilaian prestasi kerja akan mengeratkan hubungan antara atasan dan bawahan. 4. Sistem Manajemen Kinerja Karyawan Yang Berorientasi Pada Output Sistem Manajemen Kinerja yang berorientasi pada output sering juga disebut sebagai Sistem Manajemen Kinerja yang berbasiskan pencapaian Sasaran Kinerja Individu (SKI). System ini memfokuskan pada hasil yang diperoleh atau yang dicapai oleh karyawan. Ruky (2004) menyebutnya sebagai Result Oriented Performance Management By Objective (MBO) atau di Indonesia popular dengan istilah MBS (Manajemen Berdasarkan Sasaran). Bagaimana menggunakan MBS sebagai dasar Manajemen Kinerja? Untuk menjawab pertanyaan diatas marilah kita melihat gambar berikut ini: Bawahan Atasan 1. Setuju Ruang Lingkup Tanggung Jawab dan Wewenang Anak Buah 2. Tetapkan Sasaran Kerja (Termasuk Satuan Pengukuran Hasil atau 3.Rencana Tindakan Yang Akan Dilakukan A. Putuskan kegiatan-kegiatan dan tugas yang harus dilakukan tujuan dan caranya B. Tetapkan urutan kerja, dana dan daya yang diperlukan, waktu yang diperlukan untuk tiaptiap tugas dan siapa yang harus melakukannya C. Perhitungan hambatan yang mungkin dihadapi dan apa yang dilakukan untuk mengatasinya 4. Lakukan penilaian periodic dan tahunan A. Lihat sasaran yang menjadikan tanggung jawab anak buah B. Nilai hasil-hasil yang sebenarnya dicapai C. Bandingkan hasil yang dicapai dengan standar i di k d Dari gambar diatas dapat dilihat, bahwa program Manajemen Kinerja ini benarbenar memerlukan komunikasi dua arah dan keterbukaan antara atasan dan bawahan. Mereka secara bersama-sama harus meneliti kembali ruang lingkup tugas, tanggung jawab dan weweng bawahan. Kemudian atasan menyampaikan sasaran-sasaran perusahaan dan sasaran yang menjadi tanggung jawabnya kepada bawahan. Selanjutnya bawahan juga harus menetapkan sasaran kerja sendiri yang akan mendukung sasaran organisasi dan sasaran atasan dilengkapi dengan standar prestasi dan tolak ukur keberhasilan dalam angka (satuan), waktu penyelesaian dan spesifikasi lainya. Bila sasaran telah disetujui oleh atasan, kemudian dibuat action plan (rencana tindakan) yang mencantumkan secara rinci langkah-langkah apa yang akan diambil, siapa yang akan melakukan, kapan dimulai, kapan selesai dan berapa biayanya. Agar sasaran yang telah ditetapkan tercapai, pemantauan terhadap setiap hasil kegiatan sebaiknya dilakukan secara periodik atau bisa juga per proyek. Tujuan pemantauan ini agar bila karyawan mengalami kesulitan/ hambatan dapat segera dibantu. Selain itu atasan dan bawahan secara formal akan bertemu untuk melakukan pembicaraan (konseling) Baru pada akhir kurun waktu, dilaksanakan penilaian prestasi kerja tahunan secara formal. Semua hasil yang dicapai dicatat, hambatan-hambatan dan kegagalan diidentifikasi dan dicari sebabnya. 5. Kendala dalam penerapan Manajemen Kinerja berbasis MBS Dalam menerapkan manajemen kinerja ada beberapa kendala yang perlu kita ketahui, yaitu: a. perlu perubahan mendasar dalam budaya organisasi. Manajemn kinerja berbasis MBS hanya bisa sukses bilamana diterima sebagai “budaya’ organisasi dalam arti yang seluas-luasnya. Manajemen kinerja harus sudah dianggap sebagai suatu kebutuhan dan cara kerja yang dianggap sangat membantu mereka untuk sukses. Semua anggota organisasi harus punya perasaan memiliki system kerja tersebut. b. penolakan diam-diam dari manajer dan karyawan. Masalah ini masih terkait erat dengan aspek budaya, baik budaya nasional maupun organisasi. Menurut hasil penelitian dan pengamatan pakar dan praktisi menejemen, salah satu aspek budaya Indonesia yang menghambat kemajuan bangsa ini dan pengembangan karir individu yang berkiprah dalam organisasi adalah masih rendahnya penghargaan terhadap prestasi individu. c. fokus Manajemen kinerja yang berjangka pendek. Apabila MBS hanya diterapkan sebagai dasar bagi manajemen kinerja seringkali tidak dikaitkan dengan tujuan jangka panjang dan sasaran jangka pendek bagi perusahaan secara keseluruhan, yang menjadi keinginan dan tanggung jawab” pemimpin puncak”. Dalam kenyataannya, ini adalah salah satu kelemahan terbesar dari pengguanaan MBS sebagai dasar untuk manajemen kinerja. d. keberhasilan beberapa pekerjaan/jabatan hanya dapat diukur setelah dua sampai lima tahun. Penetapan sasaran kerja/target jangka pendek seperti ditunjuk oleh Manjemen Kinerja berdasarkan MBS belum tentu tepat untuk jabatan-jabatan tertentu. Untuk beberapa jabatan mungkin tidak tepat menetapkan sasaran jangka pendek, karena orientasinya adalah pada hasil jangka panjang. e. tidak semua sasaran kerja dapat dirumuskan secara kuantitatif. Untuk beberapa bidang tertentu ada kesulitan menetapkan sasaran kerja yang mempunyai standarstandar prestasi dalam ukuran kuantitatif atau angka. f. dapat terjadi “kolusi” antara atasan dan bawahan dalam menetapkan sasaran. Pernah dan sering diketahui bahwa untuk menolong bawahannya sendiri agar tidak mendapat nilai jelek, atasan membiarkannya menetapkan sasaran-sasaran yang ringan atau tidak berbobot. g. diperlukan latihan dan bimbingan yang sangat intensif bagi semua yang akan terlibat dari mulai cara menetapkan sasaran kerja dan membuat perencanaan kerja sampai dengan cara konseling. Banyak contoh dan kejadian bahwa perusahaan menciptakan manajemen kinerja berbasis sasaran kerja individu (SKI) lengkap dengan panduan tertulis dan formulir penilaiannya, tetapi kemudian setelah beberapa tahun ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan, dan kata-kata mencemooh program ini sudah mulai terdengar dari para manajer lini. Semua masalah tersebut sebenarnya dapat dihindari bila penerapannya dimulai dengan pelatihan-pelatihan yang intensif yang disusul dengan program sosialisasi dan bimbingan. 6. Beberapa variasi dalam penerapan Manajemen Kinerja berbasis MBS Mengingat banyaknya kendala dan kemungkinan penyalahgunaan dalam penerapannya, dalam praktek penerapan sistem MBS ini dapat ditemukan secara berbeda-beda. Perbedaan tersebut berkisar mulai dari formalisasi atau strukturisasi caranya dalam suatu organisasi tertentu sampai taraf mana bawahan diizinkan untuk menentukan sasaran mereka sendiri. Beberapa jenis variasinya dapat disebutkan dibawah ini: a. MBS diterapkan dengan cara sangat informal. Seperti kita ketahui, bahwa MBS seringkali diterapkan sebagai suatu sistem manajemen yang sangat formal dengan penjadwalan yang tepat dan formulir-formulir khusus yang digunakan untuk menyajikan tujuan dan standar untuk dinilai/dievaluasi. Tetapi kemudian lebih banyak perusahaan yang meninggalkan cara yang sangat formal dan kaku tersebut. Mungkin juga bahwa MBS masih tetap dilaksanakan secara formal sampai pada tahapan menetapkan sasaran dan rencana kerja, tetapi pertemuan untuk melakukan penilaian secara reguler apakah tiap kwartal, semester atau setiap akhir tahun sering kali dilaksanakan secara informal saja. b. Ada kebebasan anak buah dalam menetapkan sasarannya sendiri. Dalam hal ini ada beberapa fackor yang mempengaruhi. Pertama, dalam kasus dimana jenis pekerjaan yang dilaksanakan oleh sebuah organisasi harus persis mengikuti apa yang digariskan (misalnya industri khusus – reaktor nuklir), maka hampir semua karyawan hanya mengikuti apa yang digariskan oleh pimpinannya. Di pihak lain, dalam organisasi yang justru tergantung pada kreativitas orang-orangnya, kebebasan yang sangat besar diberikan pada semua orang untuk menetapkan tujuan masing-masing selama semua mengarahkan pada dan mendukung tercapainya tujuan organisasi yang utama (misalnya industri teknologi informasi). c. Hasil kerja siapa yang diukur. Hal ini berkaitan dengan hambatan dari penerapan sistem MBS di Negara-negara seperti Indonesia, yaitu bahwa orang Indonesia masih cenderung kuat rasa kolektivismenya dan lebih suka menetapkan sasaran kerja untuk kelompok, bukan untuk sendiri-sendiri. Untuk menerobos hambatan tersebut, manajemen dapat mengambil “keuntungan” dari budaya kolektif dengan meminta kelompok untuk menetapkan sasaran kerja yang ingin mereka capai. d. Pemberian skorsing. Mengingat kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dalam sstem MBS yang berbentuk penggunaan segala cara yang mungkin tidak halal banyak perusahaan beranggapan bahwa bila penilaian semata mata didasarkan pada hasil (result) dapat menimbulkan dua bahaya: 1). karyawan yang sangat ambisius dan mempunyai keinginan yang sangat kuat untuk menonjol dan maju sendiri akan dijangkiti obsesi yang berlebihan terhadap pencapaian hasil, sehingga kalau perlu mengorbankan teman atau anak buah. 2). focus/ perhatian/ minat karyawan sangat terikat dengan pencapaian hasil dalam jangka pendek (maksimum 1 tahun) sehingga mereka akan mengabaikan program-program jangka panjang yang mungkin sangat penting. 7. Langkah-Langkah Penerapan Manajemen Kinerja Berbasis MBS Untuk menerapkan manajemen Kinerja yang berbasis pada MBS ada beberapa langkah (tindakan) yang harus dilakukan seperti terebut di bawah ini: a. Perencanaan dan perancangan Apabila dirasakan bahwa “budaya perusahaan” telah mendukung dilaksanakannya program Manajemen Kinerja yang didasarkan pada konsep Manajemen Berdasarkan Sasaran (MBS),dan telah ada “permintaan “ yang nyata untuk menerapkannya termasuk dari pimpinan puncak, maka yang pertama harus dilakukan adalah merancang program tersebut. Yang harus dilakukan dalam kegiatan ini adalah membuat konsep berbentuk proposal yang diajukan kepada pimpinan puncak. b. Seminar atau Kick off Meeting Setelah mendapat dukungan dari manajemen puncak, maka dapat dilakukan seminar intern yang harus dihadiri oleh semua manajer madya. Tujuan seminar ini untuk menjelaskan apa itu Menejemen Kinerja, tujuannya dan bagaimana menerapkannya. c. Pelatihan menggunakan sistem manajemen kinerja yang berdasarkan MBS. d. e. f. g. Salah satu tantangan terbesar dalam penerapan sistem ini adalah bahwa karyawan pada hampir semua tingkatan mempunyai kesulitan dalam menetapkan dan merumuskan tujuan maupun sasaran kerja mereka. Mereka lebih terbiasa merumuskan “ kegiatan” yang mereka lakukan dari pada dalam bentuk hasil dari kegiatan itu. Pelatihan teknik konseling. Pelatihan pertama harus dikombinasikan dengan pelatihan khusus tentang teknik komunikasi untuk tujuan konseling dengan bawahan sejak dari tahap pembicaraan tentang target-target sasaran yang harus diakui adalah bahwa sedikit manajer atau supervisor yang sudah mempunyai kemampuan tersebut secara alami, sehingga mereka harus mendapatkan pelatihan. Panduan tertulis. Bersamaan dengan langkah pertama departemen SDM menyiapkan sebuah panduan tertulis untuk menjadi pegangan bagi semua atasan yang menilai disertai formulir-formulir penilaian yang diperlukan. Panduan tertulis dan formulir yang akan digunakan harus tersedia pada waktu pelatihan dilaksanakan. Sosialisasi sistem manajemen kinerja Setelah semua persiapan selesai, harus dilakukan sebuah program sosialisasi tentang sistem manajemen kinerja kepada semua karyawan bawahan yang prestasinya harus dinilai. Sosialisasi ini bisa dilakukan melalui semacam seminar 2-3 jam melalui pertemuan singkat dalam tiap unit kerja dan penjelasan tertulis. Periode percobaan (trial period) Menyusul program sosialisasi harus diberlakukan sebuah periode percobaan untuk men-test semua persiapan dan mengevaluasi pelaksanaan, sehingga perbaikan yang perlu dapat diambil. Karena itu, sebaiknya persiapan untuk menerapkan sistem manajemen kinerja berbasis MBS/SKI sudah selesai 1 atau 2 bulan sebelum tahun masa kerja perusahaan/ organisasi dimulai. C. PENUTUP Dari apa yang telah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan sistem manajemen kinerja yang berorientasi pada output/ MBS dapat membantu organisasi/ perusahaan untuk merencanakan dan melaksanakan program-program dengan lebih tepat dan lebih baik. Disamping itu sistem tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan prestasi kerja karyawan, baik secara individu maupun kelompok dengan memberikan kesempatan kepada mereka dengan memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam rangka pencapaian tujuan organisasi dengan menetapkan bersama sasaran kerja dan standar prestasi yang harus dicapai. Kantor Urusan Agama (KUA) harus melakukan manajemen berbasis kinerja ini agar hasil yang dicapai akan terlihat bagi semua orang. D. DAFTAR PUSTAKA 1. Bacal,Robert,2004,Performance Manajement, terjemahan Suryadharma dan Yanuar Irawan, Gramedia, Jakarta. 2. Dharma, Agus. 1991. Manajemen Prestasi Kerja. Rajawali Pers. Jakarta. 3. Haris, Abdul.2005. Pilar Perusahaan Unggul. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 4. Ruky, Achmad, 2004, Sistem Manajement Kinerja, Gramedia, Jakarta. 5. Siagian, Sondang P.2002. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Rineka Cipta. Jakarta