alergi - WordPress.com

advertisement
Yogyakarta 2015
Disususun Oleh Linda Puspita Ramadani S.KM
“ALERGI”
A. Definisi:
Alergi adalah suatu perubahan daya reaksi tubuh terhadap kontak pada suatu zat (alergen) yang
memberi reaksi terbentuknya antigen dan antibodi. Namun, sebagian besar para pakar lebih suka
menggunakan istilah alergi dalam kaitannya dengan respon imun berlebihan yang menimbulkan
penyakit atau yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Hal ini bergantung pada berbagai keadaan, termasuk pemaparan antigen, predisposisi genetik,
kecenderungan untuk membentuk IgE dan faktor-faktor lain, misalnya adanya infeksi saluran nafas
bagian atas, infeksi virus, penurunan jumlah sel T-supresor dan defisensi IgA.
B. Jenis - Jenis Alergi:
Secara umum penyakit alergi digolongkan dalam beberapa golongan, yaitu:
1. Alergi atopik : reaksi hipersensitivitas I pada individu yang secara genetik menunjukkan kepekaan
terhadap alergen dengan memproduksi IgE secara berlebihan.
2. Alergi obat : reaksi imunologi yang berlebihan atau tidak tepat terhadap obat tertentu.
3. Dermatitiskontak : reaksi hipersensitivitas IV yang disebabkan oleh zat kimia, atau substansi lain
misalnya kosmetik, makanan, dan lain-lain.
C. Beberapa jenis penyakit dalam lingkup alergi: (Prof. DR. Dr. Heru Sundaru, Sp.PD, KAI _RS
MEDISTRA)
1. Asma Bronkial
Masalah utama asma adalah sering tak terdiagnosis atau pengobatan tak adekuat. Pasien
mengobati sendiri, pemahaman dan pengetahuan mengenai asma yang kurang serta beberapa
mitos atau salah persepsi mengenai asma.
Tak jarang dijumpai rasa sesak disangka penyakit jantung, atau batuk-batuk kronis yang
disebabkan penyakit bronkitis atau sukar tidur karena insomnia. Keluhan batuk mengi atau sesak
saja bukan monopoli penyakit asma. Beberapa penyakit atau keadaan dapat menyerupai asma,
seperti Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) bronkitis kronik dan emfisema; infeksi paru;
Yogyakarta 2015
Disususun Oleh Linda Puspita Ramadani S.KM
sinusitis paranasal; tuberkulosis; refluks gastroesofageal dan penyakit jantung seperti gagal
jantung. Diagnosis tepat mengarahkan pengobatan yang tepat.
Dalam praktiknya sering dijumpai pasien mengobati dirinya sendiri menggunakan obat
semprot pelega (inhaler) untuk mengatasi gejala asmanya. Dalam jangka panjang, kondisi ini
justru akan memperburuk gejala asma dan akan makin sering mendapat serangan asma.
Hal yang perlu dilakukan adalah dengan memberikan penderita obat anti inflamasi,
menghindari faktor pencetus serangan, dan mendapatkan edukasi. Edukasi bertujuan agar
pemahaman dan pengetahuan pasien mengenai asma dan penyebabnya menjadi lebih baik.
Pengetahuan inilah yang akan mempermudah komunikasi dengan dokter, dan memahami mitosmitos yang berkembang di masyarakat.
Beberapa mitos yang dijumpai di masyarakat, diantaranya, obat semprot berbahaya untuk
jantung, dan hanya dipakai untuk asma yang berat. Pemakaian obat asma secara teratur akan
menyebabkan kecanduan (adiksi). Mitos-mitos itu tidak benar.
Apakah asma bisa sembuh? Sejujurnya, tak ada obat yang dapat menyembuhkan asma.
Dengan diagnosis dan pengobatan yang tepat penderita asma dapat menjalani hidup dengan
normal (pasien harus mematuhi instruksi, dan kontrol dokter. Ia pun wajib memakai obat
pengontrol secara teratur. Jangan pergi ke dokter saat asma menyerang saja).
Mitos lainnya yang juga tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya adalah: mengobati
asma jika muncul gejala saja. Asma akan hilang dengan sendirinya menjelang dewasa. Penderita
asma masih boleh merokok. Stress penyebab asma. Penderita asma tak boleh berolah raga, dan
lain-lain.
Layaknya penyakit hipertensi, atau diabetes tak dapat disembuhkan, manajemen penyakit
asma saat ini berdasarkan Kontrol Asma. Panduan manajemen asma internasional berdasarkan
Global Initiative for Asthma (GINA) menekankan pentingnya kontrol asma. Sekali asma terkontrol,
kecil kemungkinan untuk mendapat serangan asma, apalagi sampai memerlukan perawatan
rumah sakit. Meskipun panduan GINA tersebut telah diedarkan secara luas, kenyataannya,
sebagian besar pasien asma belum atau bahkan tidak terkontrol. Oleh karenanya peran dokter
yang mengobati asma sangat penting dalam memberikan edukasi kepada pasien. Tak hanya itu.
Dokter pun memberikan pengobatan yang profesional sehingga pasien dapat secara optimal
menikmati hidupnya.
Yogyakarta 2015
Disususun Oleh Linda Puspita Ramadani S.KM
2. Rinitis Alergi
Rinitis alergi merupakan salah satu bentuk rinitis yang mekanismenya secara umum melalui
sistem imun, atau IgE secara khusus. Prevalensinya berkisar antara 10-15% dari masyarakat.
Penderitanya pun beragam, mulai dari usia anak hingga dewasa.
Gejalanya dapat berupa rinorea, hidung gatal, bersin dan hidung tersumbat. Terkadang
disertai rasa gatal di mata. Akibatnya, mengganggu kualitas hidup penderitanya. Seperti,
gangguan tidur, gangguan aktivitas, hingga absen dari sekolah atau pekerjaan.
Berdasarkan lama dan seringnya gejala rinitis dapat diklasifikasikan sebagai rinitis alergi
intermiten atau persisten. Dikatakan rinitis intermiten bila gejala berlangsung kurang dari empat
hari per minggu dan lamanya kurang dari empat minggu. Sedangkan rinitis persisten gejala
berlangsung lebih dari empat hari/ minggu dan lamanya lebih dari empat minggu.
Derajatnya dikatakan sedang atau berat bila gejalanya menggangu kualitas hidup
penderitanya. Yang perlu diwaspadai adalah komplikasi terjadinya sinusitis, polip hidung, dan
gangguan pendengaran.
Rinitis alergi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya asma. Sering pasien baru datang
ke dokter jika telah terjadi komplikasi. Dengan pengobatan yang baik, gejala rinitis dapat terkontrol.
Sehingga kualitas hidup penderitanya meningkat kembali dan menjalani hidup layaknya orang
normal.
3. Alergi Obat
Seiring pertumbuhan obat-obat baru untuk tujuan diagnosis, terapi, dan pencegahan penyakit
maka terjadinya reaksi simpang obat pun meningkat. Reaksi simpang obat didefinisikan sebagai
respons yang tidak diinginkan pada pemberian obat dalam dosis terapi, diagnosis, dan profilaksis.
Reaksi alergi obat adalah reaksi simpang obat yang mekanismenya melalui reaksi imunologis.
Kejadian reaksi alergi obat diperkirakan 6-10% dari reaksi simpang obat. Dalam praktek tidak
mudah menentukan sistem imun terlibat.
Banyak kejadian yang gejalanya mirip atau serupa dengan gejala alergi, tetapi mekanismenya
bukan alergi seperti sesak napas atau angioderma karena aspirin atau anti inflamasi non steroid
(AINS), maka diperkenalkan istilah hipersensitivitas obat.
Alergi obat perlu dipahami oleh tenaga kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan
pemberian obat. Hal ini terkait dengan masalah mediko-legal, terutama bila kejadiannya dianggap
Yogyakarta 2015
Disususun Oleh Linda Puspita Ramadani S.KM
merugikan pasien, sehingga pasien atau keluarganya dapat menuntut dokter, petugas kesehatan
lain atau rumah sakit.
Gejala alergi obat sangat bervariasi. Gejala paling sering adalah gejala kulit, mulai dari
eritema, urtikaria, pruritus, angioedema, vesikula, bula hingga kulit melepuh. Gejala lain yang lebih
jarang, misalnya sesak nafas, pusing hingga pingsan, seperti pada anafilaksis. Dapat juga terjadi
anemia, gangguan fungsi hati atau ginjal.
Komplikasi alergi obat yang paling berbahaya adalah anafilaksis, disusul dengan Steven
Johnson Syndrome, nekrosis epidermal toksik, dan Drug Rash Eosinophilia and Systemic
Symptoms (DRESS).
Sebaiknya setiap rumah sakit dalam pelayanannya perlu memberikan penyuluhan bagi
pasien untuk menghindari terjadinya reaksi alergi obat di masa mendatang, mengobati reaksi
alergi obat yang terjadi, dan uji diagnosis alergi obat.
Beberapa tes yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya alergi obat:

Tes Kulit. Sebenarnya hanya sedikit jenis obat yang dapat dipakai untuk tes kulit. Hal ini
dikarenakan obat setelah masuk ke dalam tubuh akan mengalami metabolisme.
Hasil metabolisme atau metabolit umumnya belum diketahui kecuali penisilin. Selanjutnya
metabolit akan berikatan dengan protein tubuh, untuk kemudian menimbulkan reaksi alergi
Tes kulit obat-obat lainnya belum pernah divalidasi, sehingga hasilnya kurang dapat
dipercaya. Sebagai contoh, hasil tes kulit terhadap cefalosporin negatif tetapi sewaktu
diberikan, pasien mengalami anafilaksis.
Ada dua jenis tes kulit untuk alergi obat, yaitu tes tusuk, dan intra kutan untuk reaksi alergi
obat fase cepat dan tes tempel untuk reaksi alergi obat fase lambat. Tetapi kembali lagi
kedua tes di atas tidak dapat dipercaya sepenuhnya.

Tes Provokasi Obat. Tes ini merupakan baku emas untuk menentukan adanya reaksi alergi
obat. Karena dapat menyebabkan reaksi yang serius, tes ini hanya boleh dilakukan oleh
dokter yang ahli dalam bidang ini dan dilakukan di rumah sakit.

Tes Laboratorium. Sampai sejauh ini baru dalam tahap penelitian dan hanya terhadap obat
yang terbatas. Seperti halnya tes lain, tes invitro ini lebih spesifik tetapi tidak sensitif.
Sehingga banyak negatif palsu. Yang paling penting dalam reaksi alergi obat adalah
pencegahan. Jadi dalam memberikan obat indikasi pemberian harus tepat, kemudian
Yogyakarta 2015
Disususun Oleh Linda Puspita Ramadani S.KM
dipastikan tidak pernah mengalami reaksi alergi obat yang akan diberikan. Selanjutnya
selalu waspada dan siap bertindak bila terjadi alergi obat.
4. Urtikaria dan Angioderma
Urtikaria ditandai kelainan kulit berupa bentol, kemerahan, dan gatal. Dikatakan urtikaria akut
jika gejala berlangsung kurang dari enam minggu dan sebabnya jelas. Sedangkan urtikaria kronik
jika gejala berlangsung lebih dari enam minggu, bahkan bisa sampai 20 tahun. Umumnya pasien
yang datang ke poli alergi adalah urtikaria kronik.
Umumnya pasien telah lama berobat ke berbagai dokter baik umum maupun spesialis,
sehingga pasien merasa jengkel karena urtikarianya tidak sembuh-sembuh. Sebagian besar
urtikaria kronik penyebabnya tidak diketahui sehingga pengobatan bisa berlangsung lama. Bila
sebabnya diketahui, mungkin gejalanya dapat dihilangkan.
Angioderma menyerupai urtikaria, tetapi mengenai jaringan kulit yang lebih dalam. Gejala
sering tidak gatal tetapi terasa sakit. Umumnya mengenai mukosa mata, bibir atau kemaluan. Bila
mengenai daerah trakea atau bronkus, seperti pada reaksi anafilaksis dapat membahayakan
nyawa pasien.
5. Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
LES merupakan salah satu penyakit autoimun. Karena bersifat sistemik, auto-antibodi
menyerang beberapa organ, baik secara bersamaan atau berurutan. Radang sendi merupakan
gejala yang tersering, tetapi demam yang berkepanjangan juga merupakan salah satu gejala
lupus.
Gejala seperti kemerahan di wajah, sariawan, anemia, lekopeni atau trambositopeni
merupakan petunjuk ke arah LES. Proteinuria dan hematuria sampai kepada efusi pleura atau
perikard tidak jarang dijumpai. Kelainan neorologi atau psikitrik dapat disebabkan LES. Makin dini
diagnosis, dan makin cepat diobati, diharapkan komplikasi yang serius dapat dihindari.
6. Penyakit Imunodefisiensi
Penyakit imunodefisiensi bisa didapat sejak lahir, atau setelah dewasa. Berbagai penyakit
atau keadaan seperti pemakaian obat dapat menyebabkan imunodefisiensi. Infeksi Human
Yogyakarta 2015
Disususun Oleh Linda Puspita Ramadani S.KM
Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan salah satu penyebab imunodefisiensi yang dikenal
dengan AIDS.
Umumnya pasien datang dalam keadaan sudah lanjut karena infeksi oportunistik, padahal
semakin awal penyakit diketahui dan diobati semakin baik prognosisnya. Penyakit-penyakit kronis
lainnya seperti diabetes mellitus, gagal ginjal kronis, sirosis hati, dan PPOK dapat menurunkan
daya tahan tubuh. Oleh karena itu, meningkatkan daya tahan tubuh sangat diperlukan, agar
terhindar dari bahaya penyakit infeksi.
D. Mereka yang berisiko:
Alergi dapat terjadi baik sejak janin masih berada di dalam kandungan maupun di berbagai macam
rentang usia. Pada umumnya alergi timbul di usia kanak-kanak, namun kejadian paling sering
terjadi di usia dewasa. Penyebab sensitifnya seseorang terhadap alergen tertentu dan
berlebihannya produksi IgE akibat terkena alergen masih belum diketahui penyebabnya.
Diperkirakan hubungan yang paling sering adalah faktor keturunan. Alergi dapat diturunkan dari
orang tua ke anak. Apabila kedua orang tua tidak memiliki riwayat alergi, maka risiko anak memiliki
alergi sebesar 15%. Apabila salah satu dari kedua orang tua anak memiliki alergi, maka risiko
meningkat menjadi 30% dan 60% bila alergi dimiliki oleh kedua orang tua.
Manifestasi klinik alergi paling sering tampak melalui 3 organ sasaran, yaitu saluran nafas,
gastrointestinal dan kulit.
E. Etiologi
Faktor penyebab alergi yaitu :
1. Defisiensi limfosit T yang mengakibatkan kelebihan IgE.
2. Kelainan pada mekanisme umpan balik mediator.
3. Faktor genetik.
4. Faktor lingkungan : debu, tepung sari, tungau, bulu binatang, berbagai jenis makanan dan zat
lain.
Pada dasarnya sistem kekebalan tubuh merupakan benteng pertahanan terhadap benda asing yang
masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan penyakit. Bila ada benda yang membahayakan atau yang
disebut ‘antigen’ masuk, maka sistem kekebalan tubuh akan bereaksi dengan cara mendatangi antigen
tersebut dan menghasilkan antibodi yang terdiri dari imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD, IgE).
Yogyakarta 2015
Disususun Oleh Linda Puspita Ramadani S.KM
Antibodi ini akan datang ke tempat masuk antigen dan menghancurkannya. Antibodi ini bersifat
protektif dan membantu menghancurkan antigen dengan menempel di permukaannya sehingga lebih
mudah untuk dihancurkan. Imunoglobulin terdiri dari 5 tipe IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE. Imunoglobulin
yang dapat menimbulkan reaksi alergi adalah IgE. Pada orang alergi produksi IgE dapat sangat
berlebihan
Gambar : Sel Mast 
F. Patofisiologi
Gejala alergi timbul apabila reagin atau IgE yang melekat pada permukaan mastosit atau basophil
bereaksi dengan alergen yang sesuai. Interaksi antara alergen dengan IgE yang menyebabkan ikatsilang antara 2 reseptor-Fc mengakibatkan degranulasi sel dan penglepasan substansi-substansi
tertentu misalnya histamin, vasoactive amine, prostaglandin, tromboksan, bradikinin. Degranulasi
dapat terjadi kalau terbentuk ikat-silang akibat reaksi antara IgE pada permukaan sel dengan anti-IgE.
Histamin melebarkan dan meningkatkan permeabilitas vaskular serta merangsang kontraksi otot
polos dan kelenjar eksokrin. Di saluran nafas, histamin merangsang kontraksi otot polos sehingga
menyebabkan penyempitan saluran nafas dan menyebabkan membran saluran nafas membengkak
serta merangsang ekskresi lendir pekat secara berlebihan.
Hal ini mengakibatkan saluran nafas tersumbat, sehingga terjadi asma, sedangkan pada kulit,
histamin menimbulkan benjolan (urtikaria) yang berwarna merah (eritema) dan gatal karena
peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan pelebaran pembuluh darah. Pada gastrointestinal,
histamine menimbulkan reflek muntah dan diare.
Manifestasi Klinis

Asma.

Urtikaria.

Diare dan kram abdomen

Muntah-muntah.
Yogyakarta 2015

Disususun Oleh Linda Puspita Ramadani S.KM
Dermatitis atopic.
Reaksi Hipersensitivitas

Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan
sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs
dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang
terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan
Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.

Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi timbul
segera setelah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk ke
dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis
alergi, asma, dan dermatitis atopi.

Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik atau sitotoksik terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian dari sel pejamu.

Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun, terjadi bila kompleks antigen-antibodi
ditemukan dalam sirkulasi/pembuluh darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen.

Reaksi hipersensitivitas tipe IV dibagi dalam DTH (Delayed Type Hypersensitivity) yang terjadi
melalui sel CD4+ dan T cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+ (Baratawidjaja,
2006
Jenis Hipersensitivitas
Tipe I
Hipersensitivitas cepat
Tipe II
Reaksi melalui antibody
Tipe III
Kompleks imun
Tipe IV (melalui sel T)
Tipe IVa
Tipe IVb
(Baratawidjaja, 2006).
Mekanisme Imun Patologik Mekanisme Kerusakan Jaringan dan Penyakit
IgE
Sel mast dan mediatornya (amin vasoaktif,
mediator lipid, dan sitokin)
IgM, IgG terhadap
Opsonisasi & fagositosis sel
permukaan sel atau matriks Pengerahan leukosit (neutrofil, makrofag) atas
antigen ekstraseluler
pengaruh komplemen dan FcR
Kelainan fungsi seluler (misal dalam sinyal
reseptor hormone)
Kompleks imun (antigen
Pengerahan dan aktivasi leukosit atas
dalam sirkulasi dan IgM atau pengaruh komplemen dan Fc-R
IgG)
CD4+ : DTH
Aktivasi makrofag, inflamasi atas pengaruh
CD8+ : CTL
sitokin
Membunuh sel sasaran direk, inflamasi atas
pengaruh sitokin
Yogyakarta 2015
Disususun Oleh Linda Puspita Ramadani S.KM
Mekanisme Alergi ─ Hipersensitivitas Tipe I
Hipersensitivitas tipe I terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah antigen
bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah
pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti demam hay)
(Brooks et.al, 2005). Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut:

Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.

Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan
sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediatormediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 2006).

Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara
imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk
mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan
secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukan toleransi
oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada
alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga
berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit.

Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi tersebut, akan
memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai
mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi, sekresi
mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian dari hipersensitivitas
cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi
reaksi tipe lambat (Rengganis dan Yunihastuti, 2007).
Gejala yang timbul pada hipersensitivitas tipe I disebabkan adanya substansi aktif (mediator) yang
dihasilkan oleh sel mediator, yaitu sel basofil dan mastosit.
 Mediator jenis pertama
Meliputi histamin dan faktor kemotaktik. Histamin menyebabkan bentol dan warna
kemerahan pada kulit, perangsangan saraf sensorik, peningkatan permeabilitas kapiler,
dan kontraksi otot polos.
Yogyakarta 2015
Disususun Oleh Linda Puspita Ramadani S.KM
Faktor kemotaktik. Dibedakan menjadi ECF-A (eosinophil chemotactic factor of
anophylaxis) untuk sel-sel eosinofil dan NCF-A (neutrophil chemotactic factor of
anophylaxis) untuk sel-sel neutrofil.
 Mediator jenis kedua
Dihasilkan melalui pelepasan asam arakidonik dari molekul-molekul fosfolipid
membrannya. Asam arakidonik ialah substrat 2 macam enzim, yaitu sikloksigenase dan
lipoksigenase.
Aktivasi enzim sikloksigenase akan menghasilkan bahan-bahan prostaglandin dan
tromboxan yang sebagian dapat menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus
pembuluh darah.
Aktivasi lipoksigenase diantaranya akan menghasilkan kelompok lekotrien. Lekotrien C, D,
E sebelum dikenal ciri-cirinya dinamakan SRS-A (Slow reactive substance of anaphylaxis)
karena lambatnya pengaruh terhadap kontraksi otot polos dibandingkan dengan histamin.
 Mediator jenis ketiga
Dilepaskan melalui degranulasi seperti jenis pertama, yang mencakup (1) heparin, (2)
kemotripsin/tripsin (3) IF-A (Kresno, 2001; Wahab, et.al, 2002).
G. Pencegahan:
1. Hindari pemicu penyebab alergi seperti makanan atau obat-obatan yang dapat menimbulkan
reaksi alergi walaupun obat atau makanan tersebut hanya menyebabkan reaksi ringan.
2. Bila Anda memiliki anak dengan alergi terhadap makanan tertentu, perkenalkan makanan yang
baru satu persatu agar bisa diketahui mana yang menyebabkan alergi.
3. Bila anda pernah memiliki riwayat reaksi alergi yang serius, bawa obat-obatan darurat (seperti
difenhidramin (antialergi) dan suntikan epinefrin atau obat sengatan lebah) sesuai dengan anjuran
dari dokter
4. Imunisasi Dewasa
Imunisasi merupakan salah satu cara pencegahan penyakit yang paling efektif, contohnya penyakit
cacar (variola) telah lama hilang dari muka bumi, sedangkan kasus-kasus polio dalam beberapa
tahun terakhir tidak pernah dijumpai lagi. Program imunisasi selama ini diwajibkan untuk anak, dan
hasilnya sangat memuaskan.
Yogyakarta 2015
Disususun Oleh Linda Puspita Ramadani S.KM
Pertanyaan mengapa orang dewasa memerlukan vak¬sinasi, jawabannya adalah imunisasi dapat
menurunkan kejadian sakit, perawatan rumah sakit atau meninggal dunia karena penyakit-penyakit
infeksi. Pemberian vaksin influenza pada orang dewasa usia < 65 tahun menurunkan insidensi
influenza se¬besar 70-90%, pada orang usia lanjut menyebabkan penurunan insidensi kasus
influenza 30-40%, perawatan rumah sakit 50-60% dan penurunan angka kematian sebesar 70100%.
Vaksin pneumokok efektivitasnya sekitar 60-64%, hepatitis B 80-95%, dan MMR 90-95%.
Keberhasilan imunisasi menyebabkan biaya pengobatan dan perawatan rumah sakit menjadi lebih
hemat. Peranan imunisasi
sama pentingnya dengan olahraga dan diet dalam menjaga
ke¬sehatan tetapi sering dilupakan. Jenis vaksin yang di rekomendasikan orang dewasa antara
lain influenza, pneumokok (infeksi paru), varicella, human papiloma virus (untuk mencegah kanker
leher rahim), hepatitis A & B, dan Measles, Mumps and Rubella (MMR), serta tetanus, difteri &
pertusis (TDaP).
Siapa saja yang perlu mendapat imunisasi? Tentu saja imunisasi direkomendasikan kepada
semua orang dewasa, tetapi khususnya kepada orang-orang yang berisiko seperti orang-orang
lanjut usia, pasien imunodefisiensi, penyakit paru kronis, penyakit jantung, diabetes dan penyakit
ginjal kronis. Meskipun telah banyak manfaat imunisasi disampaikan, ternyata hanya sedikit orang
yang menyadarinya, apalagi melakukannya.
H. Pengobatan :
Pengobatan alergi pada dasarnya adalah simtomatik atau sesuai dengan gejala. Prinsip yang
paling utama adalah proses penghindaran benda-benda yang diperkirakan merupakan suatu alergen
dengan tujuan agar pasien tidak berkontak dengannya. Apabila reaksi alergi yang terjadi mengancam
nyawa pasien, seperti terjadi pembengkakan di saluran nafas, maka pasien harus segera dibawa ke
rumah sakit untuk penatalaksanaan yang lebih baik.
I.
Penanganan
Untuk reaksi alergi ringan-sedang:

Tenangkan dan yakinkan pasien bahwa ia akan baik-baik saja karena kecemasan dapat
memperparah keadaan.
Yogyakarta 2015

Disususun Oleh Linda Puspita Ramadani S.KM
Kenali dan identifikasi penyebab alergi. Bila telah diketahui maka segera hindari penderita dari
penyebab.

Penyebab alergi seperti sengatan lebah ditangani dengan cara mengeluarkan sengat
menggunakan pencungkil baik kuku ataupun kartu kredit. Jangan menggunakan pinset atau
penjepit lainnya karena dapat menghancurkan sengat dan menyebarkan racun lebih banyak

Bila penderita mengalami gatal-gatal segera berikan losio kalamin (pelembab yang mengandung
kalamin) atau sesuatu yang dingin.

Awasi penderita untuk gejala-gejala peningkatan distress

Panggil bantuan medis.
Untuk gejala ringan mungkin hanya membutuhkan pengobatan dokter yang ringan seperti
antialergi
Untuk reaksi parah:

Periksa ABC. Tanda-tanda bahaya untuk pembengkakan jalan nafas adalah suara serak dan
berbunyi saat penderita mengambil nafas. Bila penderita mengalami kesulitan bernafas dan sangat
lemah atau mengalami penurunan kesadaran, segera panggil bantuan. Bila perlu berikan bantuan
nafas

Tenangkan penderita

Bila reaksi alergi adalah akibat sengatan lebah, hilangkan sengat dengan mencungkil. Jangan
menggunakan penjepit

Bila penderita memiliki obat alergi segera berikan. Hindari pemberian melalui oral bila penderita
mengalami kesulitan bernafas

Ambil tindakan untuk menghindari terjadinya syok. Baringkan penderita di tempat yang datar,
tinggikan kaki penderita sekitar 12 inchi dan selimuti penderita dengan jaket atau kain. Jangan
tempatkan penderita dengan posisi seperti ini bila penderita mengalami cedera di bagian kepala,
leher, punggung, atau kaki

Bila penderita mengalami penurunan kesadaran, segera lakukan tindakan penanganan penurunan
kesadaran dan hubungi 118
Yogyakarta 2015
Disususun Oleh Linda Puspita Ramadani S.KM
Sumber Bacaan :
Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 21. Jakarta:
Salemba Medika
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3. Jakarta: EGC.
Kresno, Siti Boedina. 1996. IMUNOLOGI : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium.Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Subowo. 2010. Imunologi Klinik, Ed. 2. Jakarta : Sagung Seto.
http://klikdokter.com/healthtools/tipsp3k/alergi (Update tanggal 12 Febuari 2015)
http://www.medistra.com/index.php?option=com_content&view=article&id=169 (Update tgal 12 Feb 2015)
Download