PARADIGMA PENDIDIKAN HADHARI BERBASIS INTEGRATIF-INTERKONEKTIF (TINJAUAN FILOSOFIS PEMIKIRAN ABD. RACHMAN ASSEGAF) SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam Oleh : NINING ERFIYANTI NIM. 111 08 016 JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2012 ii PARADIGMA PENDIDIKAN HADHARI BERBASIS INTEGRATIF-INTERKONEKTIF (TINJAUAN FILOSOFIS PEMIKIRAN ABD. RACHMAN ASSEGAF) SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam Oleh : NINING ERFIYANTI NIM. 111 08 016 JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2012 iii iv v vi MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO “Tidak akan rugi orang-orang yang berdoa, berusaha dan bertawakal” PERSEMBAHAN Dengan ketulusan hati dan segenap rasa syukur, skripsi ini saya persembahkan kepada: Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberi curahan kasih sayangnya serta do’a restunya demi tercapainya keberhasilan ini. Adikku tersayang yang telah memberiku semangat. Sahabat-sahabat yang senantiasa memberi bantuan dan dorongan selama penyusunan skripsi ini. Seseorang yang spesial, yang selalu memberikan senyuman, dukungan dan semangat. Almamaterku tercinta STAIN Salatiga tempat aku menuntut ilmu. vii KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rosulullah Saw, keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Penyusunan skripsi ini bertujuan guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Terselesainya skripsi ini ini tidak semata-mata hasil dari jerih payah penulis sendiri melainkan banyak pihak yang terkait yang telah membantu baik moril maupun spiritual, oleh karena itu penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag. selaku ketua STAIN Salatiga, beserta para stafnya yang telah menyediakan tempat serta fasilitas gedung kuliah yang nyaman dan kondusif. 2. Bapak Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag, yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan serta pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M.Si selaku Ketua Progam Studi Pendidikan Agama Islam. 4. Ibu dan bapak Dosen Progam Studi Pendidikan Agama Islam, yang telah mendidik penulis pada waktu kuliah, sehingga membantu tersusunnya skripsi ini. 5. Segenap civitas Akademik STAIN Salatiga. 6. Ayahanda terkasih dan ibunda terkasih yang selalu tulus dan ikhlas mencurahkan segalanya demi penulis serta adikku tercinta. 7. Teman-teman terdekat yang telah memberikan motivasi dan do’a sehingga dapat terselesainya skripsi ini. viii Penulis memohon kepada Allah SWT, agar orang-orang yang telah berjasa kepada penulis mendapat limpahan rahmat, taufiq, serta inayah-Nya. Semoga amal mereka diterima sebagai amal ibadah oleh Allah SWT serta mendapatkan balasan yang berlipat ganda. Amin. Penulis menyadari susunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya, dan para pembaca umumnya. Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk skripsi ini. Salatiga, 28 Juni 2012 Penulis NINING ERFIYANTI NIM. 11108016 ix ABSTRAK Erfiyanti, Nining.2012. Paradigma Pendidikan Hadhari Berbasis IntegratifInterkonektif (Tinjauan Filosofis Pemikiran Abd. Rachman Assegaf. Skripsi Jurusan Tarbiyah. Progam Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. Zakiyuddin Baidhawy, M.Ag. Kata kunci: paradigma, pendidikan hadhari, integratif-interkonektif, Abd. Rachman Assegaf. Tujuan penulisan skripsi ini adalah (1) untuk mendapatkan satu eksplorasi lebih lanjut mengenai pendidikan hadhari sebagai paradigma pendidikan Islam (dari segi filosofis), dan relevansinya terhadap dunia pendidikan Islam di Indonesia saat ini, (2) untuk memberikan evaluasi kritis mengenai pendidikan hadhari jika dijadikan sebagai paradigma pendidikan kontemporer di Indonesia. Skripsi ini merupakan jenis penelitian kepustakaan yang menggunakan pendekatan sosio historis dan factual historis. Analisis datanya menggunakan metode analisis isi dan analisis filosofis. Hasil penelitian ini secara ontologis, pendidikan hadhari adalah pendidikan yang berusaha membangun budaya intelektual umat Islam dengan mengembangkan agama, ilmu dan falsafah sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis dan dijabarkan sesuai dengan tuntutan kebutuhan manusia dan isu-isu kontemporer pendidikan Islam. secara epistemologi pemikiran Abd. Rachman Assegaf berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadis, teori pendidikan sebelumnya, pengembangan Islamisasi ilmu dan pengembangan konsep segitiga Hadharah. Kerangka metodologi berfikir Abd. Rachman Assegaf bertolak pada metode sintesa pemikiran dengan sumber pengetahuan antara wahyu, rasio, dan empirisme. Secara aksiologis pendidikan hadhari bertujuan mencapai pendidikan Islam yang visioner, pendidikan integratif-interkonektif, pendidikan non-dikotomi dan pendidikan yang mampu menjawab persoalan kontemporer pendidikan. Pendidikan hadhari secara konsep relevan untuk penyelesaian masalah pendidikan Islam, sudah ada yang secara nyata dilakukan secara konsep meskipun masih kurang maksimal, dalam arti perlu dikaji dan dikembangkan untuk pengaplikasiannya dalam realita pendidikan Islam. x DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ........................................................................ HALAMAN LOGO ............................................................................. HALAMAN JUDUL ............................................................................ PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... PENGESAHAN KELULUSAN .......................................................... PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................ MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...................................................... KATA PENGANTAR ......................................................................... ABSTRAK............................................................................................ DAFTAR ISI ........................................................................................ DAFTAR TABEL DAN BAGAN ........................................................ DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ BAB I PENDAHULUAN i ii iii iv v vi vii viii x xi xiv xv A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1 B. Penegasan Istilah ............................................................... 6 C. Rumusan Masalah ............................................................ 8 D. Signifikansi Penelitian........................................................ 8 E. Studi Pustaka..................................................................... 9 1. Prior Research ........................................................... 9 2. Kerangka Teori .......................................................... 11 F. Metodologi Penelitian Skripsi ........................................... 16 1. Jenis Penelitian ........................................................... 16 2. Pendekatan Penelitian.................................................. 16 3. Metode Pengumpulan Data ........................................ 17 4. Analisa Data ............................................................... 20 G. Sistematika Penulisan Skripsi............................................. 21 BAB II BIOGRAFI ABD. RACHMAN ASSEGAF A. Riwayat Singkat dan Latar Belakang Pendidikan .............. 23 B. Karya-Karya Abd. Rachman Assegaf ................................ xi 31 BAB III GAGASAN ABD. RACHMAN ASSEGAF MENGENAI PENDIDIKAN HADHARI A. Genealogi Pemikiran Abd. Rachman Assegaf .................... 34 B. Gagasan Abd. Rachman Assegaf tentang Pendidikan Hadhari ............................................................................ 43 1. Sekilas tentang Pendidikan Hadhari............................. 43 2. Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif Sebagai Paradigma Pendidikan Islam .......................... 48 3. Pilar-pilar Pendidikan Hadhari .................................... 53 4. Tiga Bilik Peradaban Hadhari ................................... 58 BAB VI ANALISIS FILOSOFIS TERHADAP PEMIKIRAN ABD. RACHMAN ASSEGAF TENTANG KONSEP PENDIDIKAN HADHARI A. Dimensi Ontologi ............................................................... 75 1. Pengertian Ontologi .................................................... 75 2. Dimensi Ontologis Pemikiran Abd. Rachman Assegaf.. 76 3. Orisinalitas Pemikiran ................................................. 80 B. Landasan Epistemologis ................................................... 82 1. Pengertian Epistemologi ............................................ 82 2. Mencari Landasan Epistemologi Gagasan Abd. Rachman Assegaf ...................................................... 83 3. Kerangka Berpikir dan Pendekatan .............................. 85 C. Kerangka Aksiologis ......................................................... 87 1. Pengertian Aksiologi ................................................... 87 xii 2. Landasan Aksiologi: Nilai dan Tujuan terhadap Pendidikan Islam ......................................................... 88 D. Relevansi Pendidikan Hadhari Terhadap Pendidikan Islam ……………………………………………………… BAB V 92 PENUTUP A. Kesimpulan..................................................................... 105 B. Saran .............................................................................. 108 C. Penutup ......................................................................... 108 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xiii DAFTAR TABEL DAN BAGAN Bagan I : Melacak Genealogi Pemikiran Abd. Rachman Assegaf ........ 42 Tabel I : Perbedaan Falsafah Barat dengan falsafah Al-Hadhariyah.... 64 Bagan II : Kerangka Analisis Filosofis pendidikan hadhari.................. 74 Bagan III : Domain Pengetahuan, Ketrampilan dan Sikap dalam Pendidikan Damai ................................................................ 100 xiv DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Pedoman Wawancara Lampiran 1 Wawancara Dengan Abd. Rachman Assegaf .......................... 102 Lampiran 2 Riwayat Hidup ....................................................................... 105 Lampiran 3 Keterangan SKK Lampiran 4 Lembar konsultasi.................................................................. xv 113 120 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tema urgen yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia, Karena pada prinsipnya seluruh proses kehidupan adalah pendidikan. Pandangan bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting sudah lama disadari manusia dan terbukti pendidikan telah melahirkan peradaban-peradaban yang telah tercatat dalam sejarah umat manusia. Pendidikan adalah upaya sadar dalam rangka mewujudkan dan membentuk pribadi manusia yang seutuhnya, pendidikan adalah sebuah proses menciptakan pribadi manusia yang berguna bagi masyarakat, agama dan bangsa serta bertakwa kepada Tuhan YME. Dalam undang-undang Nomor 12 tahun 1954 menerangkan bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air (Purwanto, 2002:27). Dari pengertian tersebut tersirat jelas bahwa pendidikan Islam seharusnya memiliki peranan yang dominan dalam proses pendidikan di Indonesia. Namun realitasnya, pendidikan Islam justru menempati posisi yang dilematis. Seiring kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta gencarnya arus modernisasi, pendidikan Islam justru dihadapkan pada tantangan-tantangan kompleks. 1 Persoalan-persoalan mulai dari masih banyaknya umat Muslim yang masih anti dengan penemuan-penemuan Barat sehingga menimbulkan pola berpikir fiqih oriented yang hanya mengedepankan implementasi hubungan vertikal dan terjebak dalam arus ritualisasi. Pola keberagaman seperti ini dikhawatirkan akan menciptakan masyarakat yang selalu dihiasi budaya ritualistik, kaya akan unsur kultur Islami tapi miskin nilai spiritual yang berdimensi kemanusiaan. Ketidakseimbangan antara konsep hablum minallah dan hablum minannas telah mengakibatkan diabaikannya rumusan khalifatullah dalam rumusan pendidikan (Mas’ud, 2002:15). Masalah dikotomi keilmuan pun menjadi persoalan yang tidak pernah habisnya diperdebatkan dalam pendidikan Islam. Menurut Ahmad Barizi, terdapat asumsi pemetakan lebih jauh antara apa yang disebut dengan revealed knowledge (pengetahuan yang bersumber dari wahyu Tuhan) dan scientific knowledge (pengetahuan yang bersumber dan berasal dari analisa pikir manusia) seperti filsafat, ilmu-ilmu sosial (social siencies), ilmu-ilmu humaniora (humanities siencies), ilmu-ilmu alam (natural siencies), dan ilmu-ilmu eksakta (mathematic siencies) (Barizi, 2011:21). Islam sendiri tidak mengenal adanya dikotomi karena Islam memiliki kaitan yang sangat erat dengan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an sebagai kitab suci Islam mengandung banyak keterangan-keterangan tentang ciptaan-ciptaan Allah. Islam sangat menganjurkan umatnya menyelidiki rahasia alam tersebut melalui 2 kegiatan ilmiah. Masih menurut pendapat Ahmad Barizi bahwa orientasi sains dan teknologi sesungguhnya merupakan instruksi utama al-Qur’an bagi terbentuknya ulu al-albab (Barizi, 2011:23). Penghargaan terhadap kebebasan untuk berkembang dan berpikir maju tentu saja sangat besar, mengingat manusia merupakan makhluk yang berpikir dan memiliki kesadaran. Namun realitasnya masih terjadi kesenjangan dalam pendidikan Islam. Masih banyak persoalan-persoalan yang dihadapi pendidikan Islam seperti masalah demokrasi, pemerataan pendidikan, multikulturalisme, pluralisme, globalisasi pendidikan dan lain sebagainya. Melihat banyaknya persoalan tersebut diperlukan pembaharuan strategi pendidikan yang membumi, dan untuk melakukan pembaharuan pendidikan Islam diperlukan paradigma pendidikan yang mampu mengarahkan pada tujuan dan sasaran pendidikan Islam. Kemajuan pendidikan ditentukan oleh landasan pijak dan paradigma yang mampu mengantarkan pada substansi apa yang akan dibawa dalam proses dan metode pendidikan. Ketika pendidikan Islam dijadikan sebagai paradigma maka keseluruhan pendidikan juga harus mengadaptasi dari ajaran-ajaran Islam. Dasar paradigma pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan Hadis yang digunakan sebagai rujukan utama dalam membuat dan mengembangkan konsep, prinsip, teori, dan teknik pendidikan. Dapat disimpulkan bahwa ideologi atau paradigma pendidikan 3 merupakan gambaran utuh antara ketauhidan, akhlak, alam semesta dan tentang manusia yang dikaitkan dengan teori pendidikan Islam. Dalam catatan sejarahnya, pendidikan ini benar-benar mampu membangun peradaban, sehingga adanya sebuah paradigma pendidikan Islam merupakan sebuah keharusan. Dunia Islam pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan dan teknologi dan mencapai puncaknya pada masa khalifah Abbasiyah. Pada masa itu seluruh aktivitas intelektual dilandasi dengan nilainilai agama, tujuan akhir dari seluruh aktivitas adalah menegakkan agama dan adanya perimbangan antara disiplin ilmu agama serta pengembangan intelektual dalam kurikulum pendidikan. Namun sayangnya kemajuan-kemajuan Islam saat itu tidak sempat dilanjutkan dengan sebaik-baiknya oleh generasi berikutnya sehingga tanpa sadar umat Islam telah melepaskan kepeloporannya. Sampai saat ini bangsa Barat dengan mudah mengambil dan mentransfer ilmu pengetahuan yang dimiliki umat Islam sehingga kendali dan penguasa IPTEK berada pada bangsa barat. Saat ini adalah waktunya umat Islam melakukan pembaharuan progesif dalam pendidikan Islam. Diperlukan paradigma pendidikan Islam yang mencakup persoalan-persoalan filosofis dalam arti luas. Persoalan filosofis tersebut menyangkut pertanyaan mendasar seperti apakah pendidikan Islam itu?, Apakah tujuan dari pendidikan Islam itu?, Apakah yang menjadi landasan pijak dari pendidikan Islam itu?. 4 Dari berbagai permasalahan pendidikan Islam di atas, para praktisi pendidikan mulai berfikir bagaimana merekonstruksi paradigma pendidikan Islam sehingga mampu mencapai tujuan akhir yang diharapkan. Seperti yang telah diketahui, pendidikan Islam diharapkan mampu mengembangkan potensi peserta didik secara maksimal dan proporsional dalam mengembangkan sumber daya manusia. Pendidikan Islam juga diharapkan mampu mengoptimalkan kemandirian dan tanggung jawab peserta didik. Salah satu gagasan tentang pengembangan pendidikan Islam yang sesuai dengan problem solving adalah gagasan paradigma pendidikan hadhari berbasis integratif-interkonektif yang dibukukan dengan judul Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Gagasan pendidikan hadhari berbasis integratif-interkonektif menyajikan konsep pembaharuan pendidikan Islam dalam perspektif keilmuan yang integratifinterkonektif. Dalam buku ini dipaparkan kajian tentang falsafah, sains, dan agama Islam sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Konsep pendidikan hadhari menawarkan jalan keluar dengan internalisasi nilai dan prinsip umum yang meliputi petunjuk waktu, nilai-nilai kenabian, kejayaan masa-masa keemasan dengan tetap merespon isu-isu kontemporer. Sebagai upaya reflektif, dan sebagai bentuk respon intelektual atas hadirnya sebuah ide dan gagasan besar, penulis mencoba untuk menelaah kembali secara filosofis atas apa yang menjadi gagasan Abd. Rachman Assegaf. 5 B. Penegasan Istilah Untuk memberikan pemahaman yang tepat serta untuk menghindari kesalahpahaman dan kekaburan dalam menginterpretasikan judul skripsi ini, maka perlu dikemukakan makna agar dapat dipahami secara konkret dan lebih operasional. Adapun penjelasan dari istilah tersebut: 1. Paradigma Dalam Kamus Filsafat, paradigma memungkinkan sang ilmuwan untuk memecahkan kesulitan yang muncul dalam rangka ilmunya, sampai muncul begitu banyak anomali yang tak dapat dimasukkan dalam kerangka ilmunya, dan menuntut revolusi paradigmatik terhadap ilmu tersebut. Pengertian dari paradigma adalah cara memandang sesuatu, dalam ilmu pengetahuan paradigma diartikan sebagai model, pola, ideal di mana dari model-model tersebut fenomena yang dipandang, dijelaskan. Pengertian lain dari paradigma adalah totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan suatu studi ilmiah konkret, dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu (Bagus, 1996:779). 2. Pendidikan hadhari Kata hadhari berasal dari bahasa Arab, hadharah yang berarti peradaban. hadharah berakar kata hadhara yang berarti hadir. Dalam kamus Al-Mawrid kata hadharah diartikan dalam bahasa inggris dengan kata civilization yang sama artinya dengan kata tamadun dan madaniyah artinya 6 peradaban, sebuah umat yang menjadi beradab, bangsa-bangsa yang berperadaban dan kemajuan dalam rasa atau pemikiran atau tingkah laku (Ba’albaki, 2003:181). Abd. Rachman Assegaf mengaitkan pendidikan dan hadhari menjadi pendidikan hadhari. pendidikan hadhari diartikan sebagai pendidikan berkemajuan dan berperadaban yang dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islam-an (Assegaf, 2011:24). Dengan pengertian lain bahwa pendidikan hadhari adalah konsep pendidikan yang menempatkan etika Islam yang bersumber dari nilai-nilai alQuran dan Hadis untuk menjiwai seluruh pembidangan ilmu alam, sosial, dan humaniora (Assegaf, 2011:27). 3. Integratif-Interkonektif Integratif atau integrasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2007:437). Interkonektif dapat diartikan sebagai suatu keterhubungan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan interkoneksi adalah hubungan satu sama lain (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2007:438). Melihat pengertian integratif dan interkonektif diatas, dapat disimpulkan integratif-interkonektif adalah adanya suatu kesatuan dan keterkaitan antar komponen yang didasarkan pada kesamaan prinsip dan tujuan. 7 Dari penegasan istilah tersebut, maka maksud judul di atas adalah suatu penelitian untuk membahas dan menganalisa secara filosofis konsep pendidikan hadhari berbasis integratif-interkonektif dalam karya Abd. Rachman Assegaf. C. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah dan kerangka pemikiran di atas, ada beberapa permasalahan yang merupakan agenda penelitian yang akan dikaji yaitu: 1. Apa gagasan pemikiran Abd. Rachman Assegaf tentang konsep pendidikan hadhari sebagai paradigma pendidikan Islam? 2. Apa landasan pemikiran Abd. Rachman Assegaf tentang konsep pendidikan hadhari sebagai paradigma pendidikan Islam? 3. Bagaimana relevansi pemikiran Abd. Rachman Assegaf tentang konsep pendidikan hadhari dalam pendidikan Islam saat ini? D. Siginifikansi Penelitian 1. Tujuan penelitian Setiap penelitian tentu memiliki tujuan dan kegunaan, maka tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mendapatkan satu eksplorasi lebih lanjut mengenai pendidikan hadhari sebagai paradigma pendidikan Islam (dari segi filosofis), dan relevansinya terhadap dunia pendidikan Islam di Indonesia saat ini. 8 b. Untuk memberikan evaluasi kritis mengenai pendidikan hadhari jika dijadikan sebagai paradigma pendidikan kontemporer di Indonesia. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretik Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal memberikan gambaran tentang gagasan pendidikan hadhari secara filosofis untuk bisa dijadikan bahan renungan bersama praktisi pendidikan dalam memberikan cara pandang dan landasan pijak yang sekiranya dapat memberikan kontribusi nyata dalam mengatasi persoalan pendidikan Islam. b. Manfaat Praktis Hasil penelitian diharapkan memberikan masukan bagi praktisi pendidikan dalam hal memberikan pemantapan dalam dataran implementasinya setelah tawaran Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf tentang pendidikan hadhari sebagai paradigma Pendidikan Islam dikaji dan ditelaah dalam aspek filosofisnya. E. Studi Pustaka 1. Prior Research Adapun penelitian skripsi yang membahas konsep pendidikan hadhari, sejauh pengamatan penulis belum ditemukan. Inti dari pendidikan hadhari adalah pemikiran mengenai konsep pendidikan Islam. Penulis menemukan 9 beberapa judul skripsi yang memiliki kesamaan dengan permasalahan yang akan penulis angkat dalam skripsi ini, antara lain: a. Zaenal Arifin (UMS, 2003) dalam skripsinya yang berjudul “Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi tentang Pendidikan Islam”. dalam skripsi ini, permasalahan yang diambil Zaenal Arifin adalah bagaimana pemikiran Ismail Raji tentang pendidikan Islam secara umum. Penelitian ini menggunakan metode content analysis. b. Imam Suprayogi (UMS, 2005) dalam skripsi yang berjudul “Pemikiran Rosyid Ridho tentang Pembaharuan Pendidikan Islam”. Permasalahan yang diteliti oleh Imam Suprayogi dalam skripsinya adalah pemikiran Rosyid Ridho tentang pembaharuan pendidikan Islam secara umum. Untuk menganalisa datanya, Imam Suprayogi menggunakan metode induktif komparatif. c. Budi Santosa (STAIN Salatiga, 2005) dalam skripsinya yang berjudul “Pokok-Pokok Pendidikan Muhammad Iqbal tentang Pendidikan Islam”. Permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini adalah bagaimana pokokpokok pemikiran Muhammad Iqbal tentang pendidikan Islam. skripsi ini merupakan penelitian bibliogriafi dengan menggunakan metode deskriptif analitis, metode deduktif dan metode induktif dalam analisis datanya. d. Khiyarotun Naslah (STAIN Salatiga, 2002) dalam skripsinya yang berjudul “Konsep Pendidikan Islam Menurut Prof. Dr. Hasan Langgulung dan Prof. 10 Dr. Muh. Athiyah Al.Abrosyi”. Skripsi ini merupakan skripsi studi kepustakaan yang membandingkan pemikiran dua tokoh yaitu Hasan Langgulung dan Muh. Athiyah Al Abroshy. e. Mahfur (STAIN Salatiga, 2010), dengan judul skripsi “Konsep Pendidikan Islam Menurut Mohammad Natsir. Skripsi ini juga merupakan studi kepustakaan yang menggunakan metode analisis isi, analisa historis, dan metode analisa deskriptif. Di Indonesia skripsi-skripsi yang membahas tentang pemikiran tokohtokoh yang berperan dalam pembaharuan pemikiran Islam sebenarnya sangat banyak. Berbeda dari skripsi-skripsi di atas, penelitian yang akan dilakukan penulis lebih terfokus pada analisa secara filosofis gagasan Abd. Rachman Assegaf tentang pendidikan hadhari. Analisa secara filosofis dimaksudkan untuk mengetahui secara mendalam dan kritis sampai pada persoalan akarnya sesuai dengan cara berfikir filsafat baik berkaitan dengan landasan epitemologis, landasan ontologis maupun kerangka aksiologis dari gagasan Abd. Rachman Assegaf tentang paradigma pendidikan hadhari. 2. Kerangka Teori Paradigma pendidikan merupakan pandangan menyeluruh yang mendasari rancang bangun suatu sistem pendidikan (Nasrudin, 2008:38). Pada saat berbicara mengenai paradigma pendidikan Islam maka yang tersirat adalah pendidikan yang bercirikan khas Islam sehingga mengindikasikan 11 konsep pendidikan yang secara akurat bersumber pada ajaran Islam. Ilmu pendidikan Islam didasarkan pada konsep dan teori yang dikembangkan dari nilai-nilai Islam: al-Qur’an, as-Sunnah dan ijtihad (Roqib, 2009:23). Pendidikan Islam pada hakekatnya adalah suatu proses untuk mencapai tujuan bahwa manusia di dunia ini adalah menjalankan amanah Allah SWT dalam arti beribadah kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman allah dalam surat Q.S. al-Dzariyat [51] ayat 56 (Departemen Agama Republik Indonesia Jkt, 1994:13) yaitu ; Ayat ini menjelaskan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah untuk ”mengabdi” kepada Allah SWT. Tujuan pendidikan Islam yang utama adalah terbentuk insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di dunia ini. Ibadah dalam pandangan ilmu fiqih ada dua yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghoiru mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar atau waktunya seperti shalat, puasa dan haji. Ghoiru mahdhah adalah segala bentuk aktivitas manusia yang diniatkan untuk memperoleh ridho dari Allah SWT. Dalam penciptaannya manusia diciptakan oleh Allah dengan dua fungsi yaitu sebagai khalifah dimuka bumi dan fungsi manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki kewajiban untuk menyembah-Nya. Kedua fungsi tersebut dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqoroh ayat 30 (Departemen Agama Republik Indonesia, 1994:862) : 12 Dalam Tafsir Al-Mishbah (2002) dijelaskan kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Atas dasar ini, ada yang memahami kata khalifah di sini dalam arti yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerangkan ketetapan-ketetapan-Nya sesuai dengan petunjuk Allah. Dari keterangan di atas jelas bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk membentuk manusia sebagai khalifah fi al-ardhi, hamba Allahyang taat beribadah, pembentukan insan kamil dan tujuan pembentukan manusia yang bertakwa, beriman dan berakhlak mulia. Untuk menuju tujuan pendidikan Islam tersebut sepertinya sulit, karena saat ini pendidikan Islam masih terjebak dalam simtom dikotomi, padahal al-Qur’an sebagai acuan utama tidak membenarkan adanya suatu dikotomi. Seperti yang dijelaskan oleh Abdurrahman Mas’ud bahwa simtom dikotomik dalam pendidikan Islam bukanlah monopoli lembaga pendidikan. Bagaikan sebuah wabah simtom, dikotomi menyerang ke seluruh kehidupan umat Islam, dari pribadi ke komunitas Islam, dari raja sampai ke rakyat jelata, dari luar lembaga ke dalam lembaga pendidikan, dan seterusnya (Mas’ud, 2002:99). Kalau ditarik ke alur sejarah terjadinya pemisahan agama dari ilmu pengetahuan sebagaimana tersebut di atas terjadi pada abad pertengahan, yakni pada saat umat Islam kurang memperdulikan IPTEK. Pada masa itu yang berpengaruh di masyarakat Islam adalah ulama tarikat dan ulama fiqih. 13 Keduanya menanamkan paham taklid dan membatasi kajian agama hanya dalam bidang yang sampai sekarang masih dikenal sebagai ilmu-ilmu agama seperti tafsir, fiqih, dan tauhid (Umiarso & Makmur, 2010:212). Keadaan tersebut diperparah dengan adanya pengaruh kolonialisme dan sekularisme yang meluas pada negara-negara Muslim. Sistem pendidikan modern yang diimpor dari Barat benar-benar dianut dan didukung oleh pemerintahan negara-negara Muslim. Sementara itu, sistem pendidikan tradisional lebih berkutat pada pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dan mengabaikan perkembangan yang datang dari Barat (Zainuddin, 2008:26). Problem dikotomi pendidikan melahirkan konsep dan ide-ide untuk dijadikan jalan keluar seperti pendidikan nondikotomi, pendidikan dualisme dan pendidikan disintegrasi. Salah satu ide yang paling diperdebatkan untuk mengatasi kemunduran umat Islam dan revitalisasi potensi umat Islam adalah ide Islamisasi pengetahuan yang dilancarkan oleh almarhum Profesor Raji alFaruqi (Temple University, USA) sejak tahun 1970-an. Konkretnya, krisis tersebut disebabkan oleh: a. Kemunduran umat (the backwardness of the ummah). b. Kelemahan umat (the weakness of the ummah). c. Stagnasi pemikiran umat (the intellectual stagnation of the ummah). d. Absennya ijtihad umat (the absence of ijtihad in the ummah). 14 e. Absennya kemajuan cultural umat (the absence of cultural progess in the ummah). f. Tercabutnya umat dari norma-norma dasar peradaban Islam (the ummah’s losing touch with the basic norms of Islamic civilization) (Mas’ud, 2002:4). Sementara Umiarso dan Haris Fathoni Makmur (2010:220) berpendapat bahwa Perubahan yang perlu dilakukan pendidikan Islam adalah: a. Membangun sistem pendidikan Islam yang mampu mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas agar mampu mengantisipasi kemajuan IPTEK untuk menghadapi tantangan dunia global menuju masyarakat Indonesia baru yang dilandasi dengan nilai-nilai illahiyah, kemanusiaan (insaniyyah), dan masyarakat, serta budaya. b. Menata manajemen pendidikan Islam dengan berorientasi pada manajemen berbasis sekolah agar mampu menyerap aspirasi masyarakat, dapat mendayagunakan potensi masyarakat, dan daerah (otonomi daerah) dalam rangka penyelenggaraan pendidikan Islam yang berkualitas c. Meningkatkan demokrasi penyelenggaraan pendidikan Islam secara berkelanjutan dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat agar dapat menggali serta mendayagunakan potensi masyarakat. Para praktisi pendidikan Islam dan intelek Muslim hingga saat ini berupaya mengembangkan konsep paradigma pendidikan Islam dan membangkitkan tradisi keilmuan Islam seperti yang telah terjadi pada zaman 15 keemasan peradaban Islam. Dalam upaya ini muncul penggunaan istilah hadhari. Di Indonesia istilah hadhari masih jarang dipakai, istilah ini dipakai oleh UIN Yogyakarta yang sedang mengembangkan konsep segitiga hadharah yang mengembangkan pendekatan studi keilmuan integratifinterkonektif. Pendekatan integratif-interkonektif ini memiliki perbedaan dengan Islamisasi ilmu. Islamisasi ilmu merupakan pemilahan dan peleburan antara ilmu agama dan ilmu umum. Berbeda dengan pendekatan integratifinterkonektif yang lebih bersifat menghargai keilmuan umum yang sudah ada, karena keilmuan telah memiliki basis epistemologi, ontologi, dan aksiologi sambil mencari letak persamaan baik metode pendekatan dan metode berpikiran antar keilmuan dan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya Dilihat dari segi bahasa hadhari berarti semakna dengan madani yang berarti urbanized, citified, dan civilized atau dengan kata lain pendidikan berkemajuan (Assegaf, 2011:24). Mengacu pada pengertian di atas ketika konsep Islam hadhari dijadikan paradigma pendidikan Islam maka akan melahirkan konsep paradigma pendidikan hadhari yang integratifinterkonektif. 16 F. Metode Penelitian Skripsi 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Apa yang disebut riset kepustakaan atau sering juga disebut studi pustaka, ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat serta mengolah bahan penelitian (Zed, 2004:3). Karena penelitian ini sifatnya adalah kajian pustaka atau literer, maka penulis dalam mengkaji konsep pemikiran Abd. Rachman Assegaf tentang pendidikan hadhari dengan bantuan buku-buku, yang diambil dari tulisan beliau dan juga tulisan orang lain yang bersinggungan dengan tema pendidikan hadhari. 2. Pendekatan Penelitian Adapun pendekatan yang digunakan adalah studi pemikiran tokoh dengan pendekatan sosio historis dan factual historis, a. Pendekatan sosio historis yaitu penelitian yang berupaya memeriksa secara kritis peristiwa perkembangan dan pengalaman masa lalu, kemudian mengadakan interpretasi terhadap sumber-sumber informasi (Komaruddin, 1984:120). Pendekatan ini bermaksud untuk menelusuri perkembangan kegiatan sosial Abd. Rachman Assegaf baik kegiatan organisasi maupun karier politik beliau. 17 b. Factual historis yaitu suatu pendekatan dengan mengemukakan historisitas faktual mengenai tokoh (Bekker & Zubair, 1990:61). Pendekatan ini penulis gunakan dalam mengungkapkan seluk beluk perkembangan pemikiran Abd. Rachman Assegaf dari masa kecil sampai pada ujung pemikiran bagaimana Beliau membuat gagasan mengenai pendidikan hadhari melalui data-data yang terkumpul. Kedua pendekatan ini penulis gunakan untuk mengungkapkan historitas Abd. Rachman Assegaf serta pemikirannya mengenai pendidikan hadhari. Dengan itu konsep pendidikan hadhari akan didekati dengan seksama, sehingga menghasilkan asumsi dan proposisi yang nantinya akan dilanjutkan dalam pembahasan lebih lanjut. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Metode dokumentasi Data yang dihimpun merupakan sumber tertulis yang yang secara garis besar ada dua macam sumber yaitu: 1) Sumber primer Sumber primer dalam hal ini adalah hasil-hasil penelitian atau tulisan karya peneliti atau teoritisi yang orisinil (Hadjar, 1996:83). Sumber primer ini berupa buku-buku dan karya ilmiah yang digunakan penulis sebagai referensi utama. Adapun sumber primer yang dimaksud 18 adalah buku karya Abd. Rachman Assegaf yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Buku ini menawarkan konsep pembaharuan pendidikan Islam yang berbasis integratif-interkonektif dengan menyajikan konsep falsafah, sains dan agama sebagai satu sistem kesatuan yang saling terkait. Masih dalam satu karya Abd. Rachman Assegaf yaitu buku yang berjudul Desain Riset Sosial-Keagamaan: Pendekatan IntegrasiInterkoneksi. Dalam buku ini menjabarkan secara rinci paradigma keilmuan integrasi-interkoneksi dalam bidang Pendidikan Islam dan penelitian sosial-keagamaan. 2) Sumber sekunder Sumber sekunder adalah bahan pustaka yang ditulis dan dipublikasikan oleh seorang penulis yang tidak secara langsung melakukan pengamatan atau berpartisipasi dalam kenyataan yang Ia deskripsikan. Dengan kata lain penulis tersebut bukan penemu teori (Hadjar, 1996:83). Sumber sekunder ini penulis gunakan sebagai bahan referensi tambahan untuk lebih memperkaya isi skripsi, dan sebagai bahan pelengkap dalam pembuatan skripsi ini. Sumber sekunder tersebut diantaranya: 19 a) Abd. Rachman Assegaf, 2003, Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam, Yogyakarta: Gama Media. b) Abd. Rachman Assegaf, 2004, Pendidikan Tanpa Kekerasan:Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep, Yogyakarta: Tiara Wacana. c) Abd. Rachman Assegaf, 2008, Pendidikan Islam Madzab Kritis, Yogyakarta: Gama Media. d) Umiarso dan Haris Fathoni Makmur, 2002, Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme Masyarakat Modern, Yogyakarta: IRCiSod. e) Abdurrahman Mas’ud, 2002, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, Yogyakarta: Gama Media. f) Zainuddin, 2008, Paradigma Pendidikan Terpadu:Menyiapkan Generasi Ulul Albab, Malang: UIN Malang Press. g) Ahmad Barizi, 2001, Pendidikan Integratif: Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam,Malang: UIN MalikiPress. h) Dan referensi lainnya yang bersangkutan dengan judul yang penulis angkat. b. Metode wawancara Selain metode dokumentasi, penulis juga menggunakan metode Wawancara, metode wawancara adalah percakapan dengan maksud 20 tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan perwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2008:186). Metode ini digunakan untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan, melalui wawancara dengan Abd. Rachman Assegaf untuk menambah maupun memperoleh data yang selengkap-lengkapnya dan lebih akurat mengenai historitas dan pemikiranpemikiran Abd. Rachman Assegaf tentang paradigma pendidikan hadhari, baik langsung maupun tidak langsung. 4. Analisis Data Analisa data yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Metode content Analiysis atau analisis isi Analisis isi (Content Analysis) adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (Replicable), dan shahih data dengan memperhatikan konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi (Bungin, 2011: 231) Dengan metode analisis isi ini penulis akan mengkaji dan menafsirkan pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam buku, teks atau naskah dan hasil wawancara dengan Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf yang berkaitan dengan pendidikan hadhari sehingga terangkum lebih padat. Satuan makna dan kategori yang dianalisis dicari hubungan satu sama lainnya untuk menemukan makna, arti, dan tujuan isi komunikasi itu. 21 hasil analisis ini kemudian dideskripsikan dalam bentuk draft laporan penelitian sebagaimana penelitian pada umumnya (Bungin, 2011:234). b. Analisis filosofis Selanjutnya penulis juga menggunakan analisa filosofis untuk mengurai persoalan-persoalan mendasar berkaitan dengan landasan epistemologi, ontologi maupun aksiologi dari gagasan pemikiran Abd. Rachman Assegaf. Kerangka teoritik dalam studi pemikiran tokoh apabila diletakkan dalam pola pemikiran atau analisa filosofis, maka dijelaskan dengan tiga domain yakni ontologi, epistemologi dan aksiologi. Domain ontologis digunakan untuk menelusuri apa dan hakekat serta otensitas atau orisinalitas pemikiran Abd. Rachman Assegaf. Domain epistemologis Berkaitan dengan darimana sumber pengetahuan dan landasan epistemologis dari gagasan Abd. Rachman Assegaf. Domain aksiologis digunakan untuk mengkaji nilai, tujuan dan sumbangsih pendidikan hadhari sebagai paradigma pendidikan Islam. G. Sistematika Penulisan Skripsi Sistematika disini adalah gambaran umum tentang skripsi ini. Skripsi ini terbagi ke dalam tiga bagian yaitu bagian awal, bagian isi dan bagian akhir. Bagian awal berisikan sampul, lembar berlogo, judul, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan keaslian tulisan, motto dan persembahan, kata pengantar, abstrak, daftar isi, daftar tabel, daftar lampiran; adapun bagian inti 22 berisi pendahuluan sampai dengan penutup; dan bagian akhir terdiri dari daftar pustaka, lampiran-lampiran, riwayat hidup penulis. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan : Bab ini Berisi tentang Latar Belakang Masalah, Penegasan Istilah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian Skripsi, Serta dilengkapi dengan Sistematika Penulisan Skripsi untuk mempermudah membaca alur pemikiran yang ada. Bab II Biografi Abd. Rachman Assegaf: Bab ini membahas tentang riwayat singkat dan latar belakang pendidikan serta karya-karya yang ditulis oleh Abd. Rachman Assegaf. Bab III Gagasan Abd. Rachman Assegaf Mengenai Pendidikan Hadhari Sebagai Paradigma Pendidikan Islam: Pada bab ini penulis akan menyajikan mengenai gambaran umum pemikiran Abd. Rachman Assegaf tentang pendidikan hadhari namun sebelumnya diuraikan terlebih dulu pandangan umum mengenai genealogi pemikiran Abd. Rachman Assegaf mengenai pendidikan hadhari. Bab IV Analisis Filosofis Terhadap Pemikiran Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf tentang Konsep Pendidikan Hadhari: Dalam bab ini penulis akan memaparkan hasil analisis filosofis pemikiran Abd. Rachman Assegaf menggunakan pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. 23 Bab V Penutup: Penulis mengakhiri penulisan skripsi, pada bab ini dengan mengurutkan kesimpulan, saran-saran dan kata penutup. 24 BAB II BIOGRAFI ABD. RACHMAN ASSEGAF A. Riwayat Singkat dan Latar Belakang Pendidikan Abd. Rachman Assegaf lahir pada tanggal 12 Maret 1964 di kota Gresik. Abd. Rachman Assegaf merupakan putra dari pasangan Hasan Assegaf (Almarhum) dan Mariyam Assegaf. Istri Abd. Rachman Assegaf bernama Afiyah yang telah memberi tiga putra yaitu Mariam Jamilah, Jakfar Shodiq, dan Fairus Shofi (Assegaf, 2011:xviii). Jenjang pendidikannya ditempuh dari MI dan SMP Malik Ibrahim, kemudian melanjutkan pendidikannya di SMA YWSG dan STIT Raden Santri. Semua jenjang pendidikan tersebut berada di kota Gesik (Assegaf, 2011:369). Selama menempuh pendidikannya di STIT Raden Santri Abd. Rachman Assegaf mengawali karir akademiknya dengan menjadi guru MI Malik Ibrahim di Gresik, lalu mengajar di SMP yang sama. Setelah menamatkan pendidikan SI melanjutkan S2 dan S3 di IAIN/UIN Yogyakarta sambil mengajar di Almamater S1 yakni STIT Raden Santri Gresik dan STIT Pancawahana (Bangil). Tesis S2 nya berjudul Teori Pendidikan John Dewey dan Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi (Studi Analisis-Komparatif), kemudian meraih gelar doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sejak 2004 dengan 24 disertasi berjudul Pergeseran Kebijakan Pendidikan Nasional Bidang Agama Islam 1942-1994. Pendidikan non-formal di luar negeri ditempuh melalui progam, seperti studi pluralisme agama di University of California Santa Barbara (UCSB) pada tahun 2006, progam short course di Al-Azhar dan Cairo University, Mesir pada tahun 2009, Post-doctoral advanced research di beberapa perguruan tinggi Malaysia pada tahun 2007 dan 2008, dan sekarang visiting lecturer di Universiti Malaya, Kuala Lumpur (Wawancara email tanggal 16-05-2011). Kehidupan akademik Abd. Rachman setelah menjalani pendidikan non-formal di luar negeri khususnya di Malaysia semakin luas. Selama menempuh pendidikan non-formalnya, Abd. Rachman Assegaf banyak berinteraksi dengan para pakar pendidikan di negara-negara tempat Beliau belajar, seperti Bapak Dekan ISTAC, IIUM, yaitu Prof. Dr. Ibrahim M. Zein dan Dekan Institut Pengajian Siswazah di Malaysia yaitu Prof. Datin dan Dr. Nurhanom Abdul Wahab. Respon dan sambutan di Universitas-universitas di Malaysia membuat Abd. Rachman Assegaf dapat dengan mudah mengakses perpustakaan baik berupa referensi dan literatur (Assegaf, 2011:xvii). Kemudahan mengakses perpustakaan pasti membuat wawasan Abd. Rachman semakin terbuka dan luas sehingga banyak memunculkan ide-ide khususnya bagi kemajuan pendidikan Islam. 25 Abd. Rachman Assegaf pernah menjadi Ketua Bagian Pendidikan Yayasan Al-Khairiyah Surabaya. Yayasan AlKhairiyah merupakan salah satu cikal bakal lembaga pendidikan klasikal modern pertama di Indonesia yang awalnya didirikan para penduduk di wilayah Surabaya Utara, kampong arab, tepatnya di jalan Ketapang Besar. Yayasan Al-Khairiyah (alkhairiyahsby.org/, 14-05-2012). Saat ini Abd. Rachman Assegaf menjadi Dosen Tetap di Fakultas Tarbiyah dan keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dosen Pendidikan Agama Islam UPN Veteran (Yogyakarta), Sekolah Tinggi Teknologi Adisucipto (STTA) Progam Studi Teknik Penerbangan (Yogyakarta) dan Progam Pascasarjana Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo (assegaf, 2011:369). Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Abd. Rachman Assegaf termasuk dalam Panitia Kerja bidang akademik yang aktif menyusun konsep segitiga hadharah dan paradigma keilmuan integratif-interkonektif. Pada tanggal 27 Desember 2010, Abd. Rachman Assegaf bersama tiga dosen UIN Yogyakarta lainnya yaitu Prof. Dr. H. Syihabudin Qalyubi L.c. M. Ag, Prof. Dr. H. Khoirudin Nasution M. A, dan Prof. Dr. Alwan Khoiri M. A. Prof. Dr. Abd. Rachman Assegaf, M. Ag, Saat itu dari fakultas tarbiyah dan keguruan, dikukuhkan sebagai Guru besar Ilmu Pendidikan. Abd. Rachman Assegaf membacakan pidato pengukuhan berjudul “Spektrum Pendidikan Damai Dalam Bingkai Islam”. dalam pidato ilmiahnya Abd. Rachman Assegaf menyebutkan tiga kekerasan Pelajar yang berakibat fatal selama 26 tahun 2002. Kekerasan di dunia pendidikan tidak lepas dari lingkaran kekerasan yang tak jelas lagi ujung pangkalnya. Hal ini diawali dengan kekerasan yang berusaha dihentikan dengan kekerasan lainnya. Beliau menambahkan konsekuensi kekerasan di dunia pendidikan meningkat ketika pendidik menyepelekan nilai-nilai keadilan, kejujuran, demokrasi, dan emosi pasif. Hal ini juga meningkatkan peluang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di sekolah. Berbagai kasus kekerasan yang ditemukan menunjukkan, kekerasan dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh pendidik, peserta didik, maupun masyarakat. Untuk meminimalisasi lingkaran kekerasan ini, pendidikan damai perlu menjadi kebijakan pendidikan di setiap sekolah. Konsep pendidikan damai ini tidak mendidik anak untuk menghafal , tetapi mendidik murid untuk berpikir kritis terhadap lingkungannya (E;Artikel\313\.htm, 18 Mei 2012). Abd. Rachman juga aktif dalam berbagai organisasi yang kebanyakan bergerak dalam pengembangan mutu pendidikan. Diakui Abd. Rachman Assegaf keaktifannya dalam berbagai institusi mendukung ide-ide pemikirannya berupa dukungan waktu, progam, kegiatan dan dana (wawancara email tanggal 16-05-2012). Beberapa organisasi yang diikuti oleh Abd. Rachman Assegaf (E;papar_cv.htm, 13-05-2012) adalah: 1. Dewan pengurus Komunitas Peneliti Pendidikan Indonesia tahun 2011. 2. Wakil presiden Koordinator Pendidikan Tinggi Agama Islam swasta Kabupaten III Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2011. 27 3. Anggota Gerakan Peningkatan Pendidikan Islam tahun 2009. 4. Ketua Pusat Penelitian Institusi Pendidikan dan Kebijakannya tahun 2005-2011. 5. Dewan Pengurus Pusat Pendidikan Islam, 2004-2009. 6. Sekretaris Pusat Informasi Alumni dan Tenaga Kerja tahun 2001-2003. Beliau telah melakukan berbagai penelitian, di antaranya adalah yang diselenggarakan oleh The Toyota Foundation, Puslitbang Departemen Agama, maupun PusLit UIN Sunan Kalijaga, tentang berbagai permasalahan pendidikan Islam. Abd. Rachman Assegaf juga sangat aktif dalam berbagai forum seminar, lokakarya, diskusi ilmiah, penulisan jurnal, buku-buku dan sebagainya yang secara langsung maupun tidak langsung membuka peluang ide-ide akademiknya berkembang. Diantara berbagai aktivitasnya seperti menjadi pembicara dalam seminar baik sebagai undangan seminar, undangan pembicara maupun sebagai penyaji diantaranya sebagai berikut: 1. Penyelenggaraan Program Studi Umum di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan Pengaruhnya Terhadap Prospek Program Studi Agama, Seminar Nasional, 23 Feb 2009 - 25 Feb 2009, berlevel nasional sebagai Undangan seminar. 2. Meretas Hubungan Ideal Pendidik dan Anak Untuk Pengembangan Karakter Anak, Seminar Nasional Dies Natalis UNY ke-44, o8 Mei 2008, berlevel nasional sebagai undangan seminar. 28 3. Pengembangan Pondok Pesantren Modern, Seminar Nasional, 12 September 2008 – 14 September 2008, berlevel nasional sebagai tamu undangan seminar. 4. Perumusan dan Pola Hubungan Kerja Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Yogyakarta, Lokakarya Perumusan FKUB, 16 September 2006, berlevel Nasional sebagai tamu undangan seminar. 5. Pengembangan Standar Kompetensi Dosen Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Workshop Pengembangan Standar Kompetensi Dosen, 20 November 2006-21 November 2006, berlevel Nasional sebagai tamu undangan seminar. 6. Daurah al-Tadribiyah li Muallimi al-Lughah al-Arabiyah li Ghairi alNathiqin, International Workshop, 06 Jun 2005 - 15 Jun 2005, State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga in cooperation with Muassasah al-Waqf al-Islamiy, Riyadl, berlevel internasional sebagai tamu undangan seminar. 7. Konflik Sosial dan Resolusi Konflik di Indonesia. Diseminasi Hasil Penelitian Unggulan, 13 September – 15 September 2005, berlevel Nasional sebagai tamu undangan seminar. 8. Kode Etik Peneliti, Standarisasi Mutu dan Kemanfaatan Hasil Penelitian PTAI, Lokakarya Kode etik Peneliti, 04 Oktober 2005, berlevel Nasional sebagai tamu undangan seminar. 29 9. Model Pembelajaran Agama dalam Perspektif KBK di Daerah Konflik dan Pasca Bencana, Workshop Pengembangan Model Pembelajaran Agama, 19 Oktober 2005 - 22 Oktober 2005, berlevel nasional sebagai tamu undangan seminar. 10. Reading of the Religious Texts and the Roots of Fundamentalism, Moslem Scholars Congress, 13 Jun 2004, Siyasa Research Institute, (International) sebagai tamu undangan seminar. 11. Equality and Plurality, International Workshop and Public Forum, 17 Jun 2004, State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga in cooperation with Oslo Coalition on Freedom of Religion or Belief, Norway, (International) sebagai tamu undangan seminar. 12. Modern Islamic Thought: The Contribution of Bediuzzaman Said Nursi, International Conference, 11 Aug 2001 to 12 Aug 2001, State Institute of Islamic Studies (IAIN) Sunan Kalijaga in cooperation with the Nesil Foundation, Turkey, (International) sebagai undangan seminar. 13. Changing Rationales For Internasionalisazion Of Islamic Higher Education In Global Context, Internasional Conference on Global Education Based on Local Wisdom, 11 Mei 2011, Faculty of Education and Teacher training Sunan Kalijaga State Islamic University in Collaboration with the Faculty of Education, the University of Malaya, berlevel internasional sebagai undangan pembicara.ta Wilayah III Daerah Istimewa Yogyakarta 30 14. Desain Penelitian Kualitatif Dalam BIdang Sosial-Keagamaan, Workshop Penelitian Individual dan Kolektif, tanggal 28 Mei 2011, sebagai undangan pembicara dari Koordinator Perguruan Tinggi Islam Swasta Wilayah III Daerah Istimewa Yogyakarta. 15. Akar Kekerasan dan Pengembangan Culture Of Peace dalam Perspektif Pendidikan Islam. Seminar Nasional Pendidikan Islam tanggal 01 mei 2010, undangan pembicara dari Fakultas Ilmu Agama Islam Indonesia, seminar ini berlevel nasional. 16. Taksonomi Tujuan dan Aliran Teori Belajar dalam Perspektif Pendidikan Islam Integratif-Interkonektif, Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), 02 Nov 2009 to 05 Nov 2009, undangan Pembicara dari Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama Republik Indonesia, (International) 17. The Closer Bridge Towards Islamic Studies in Higher Education In Malaysia and Indonesia, International workshop on Quality of Education, 07 Maret 2012, Faculty of Education, University of Malaya, (International) (E;papar_cv.htm, 13-05-2012). Di atas merupakan sebagian kecil kegiatan Abd. Rachman Assegaf dalam forum seminar, workshop, lokakarya dan sebagainya. Masih banyak sekali kegiatan akademik serupa yang akan terlalu panjang bila disebutkan satu per satu di sini. Abd. Rachman Assegaf adalah salah satu intelektual Muslim dari banyak Intelek Muslim saat ini yang memiliki wawasan yang 31 luas. Karya-karyanya layak dikaji dan ditelaah ulang sebagai landasan dalam pemecahan problem pendidikan Islam saat ini. B. Karya-Karya Abd. Rachman Assegaf Prof. Abd. Rachman Assegaf adalah seorang guru besar yang telah menghasilkan banyak karya-karya ilmiah. Karya-karya tersebut tersebar dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk buku, artikel-artikel, jurnal penelitian, hasil penelitian maupun makalah. Dengan berbagai karya-karya ilmiahnya membuktikan bahwa Abd. Rachman Assegaf adalah pemikir yang pandai menuangkan idenya dengan baik sehingga dapat memperkaya khazanah keilmuan di dunia pendidikan. Karya ilmiah Abd. Rachman dalam bentuk buku diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Pola Hidup Orang Saleh (Kajian 141 Tokoh Muslim), diterbitkan oleh Pustaka Amani, Jakarta, 1996. 2. Konstruksi Hukum Islam (Telaah Takstual Bersumber dari Sabda Nabi Saw), diterbitkan oleh Pustaka Amani, Jakarta, 1996. 3. Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-Negara Islam, diterbitkan oleh Gama Media, Yogyakarta, Agustus 2003. 4. Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep, Tiara Wacana, Yogyakarta, Februari 2004. 5. Studi Islam Konstekstual: Elaborasi Paradigma Baru Muslim Kaffah, diterbitkan oleh Gama Media, Yogyakarta, Agustus 2005. 32 6. Politik Pendidikan Nasional, Kurnia Kalam, Yogyakarta, Mei 2005. 7. Pendidikan Islam Madzhab Kritis: Perbandingan Teori Pendidikan Timur dan Barat, Gama Media, Yogyakarta, 2008. 8. Desain Riset Sosial Keagamaan: Pendekatan Integrasi-interkoneksi, Gama Media, Yogyakarta, 2007. 9. Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, diterbitkan oleh PT RajaGrafindo Persada, Yogyakarta, 2011 (Assegaf, 2011:369). Sedangkan gagasan Abd. Rachman Assegaf yang dituangkan dalam bentuk Bab dalam buku adalah: 1. Kapita Selekta Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Ide Press, Yogyakarta hlm. i-x, 2008. 2. Transformasi Kebijakan Pendidikan: Transisi (dari Kolonial Belanda ke Jepang) dalam Pendidikan Islam di Indonesia, Suka Press, Yogyakarta, 2007, pp. 109-129. 3. Khitan: Antara Sunnah Nabi dan Tradisi, dalam buku Mochamad Sodiq, Telaah Ulang Wacana Seksualitas, Yogyakarta: Pusat Pelajar Perempuan, UIN Sunan Kalijogo dalam Badan Hukum dengan CIDA, Januari 2004, hlm.61-96. 33 Adapun tulisan-tulisan Abd. Rachman Assegaf dalam bentuk tulisan jurnal adalah sebagai berikut: 1. Eksistensi Martin Heldegger Telaah Aspek Onto-Teologis. Jurnal Pendidikan Ilmu Islam, Yogyakarta: Fakultas Pendidikan Islam, IAIN Sunan Kalijogo Vol 4. 2, Juli 2003. PP 253-264 2. Tarik menarik RUU Sisdiknas 1988-2003, vol 1 num 1 Februari – Juni 2003. PP.19.28 3. Menelusuri Jejak Kebijakan Kelembagaan PAI : Kajian Politik Historis , vol 3 Num. 2 Januari 2002 , PP 66-68 4. Beberapa respon Masyarakat Terhadap Produk Kebijakan PAI Pra Reformasi . vol 4 Num 3 Juli 2003, PP 241-254 5. Metode Penyelesain Masalah untuk Aplikasi Pelajar Bahasa Arab, Aplikasia, Yogyakarta.Vol.2, No. 1 Juni 2001, hlm. 55-68. 6. Konfigurasi Teori Pendidikan John Dewey dan Al-Abrasy. Journal of Religious Research. Yogyakarta: Center for Research, IAIN Sunan Kalijaga, Vol. 8 Num. 16 January-April 1998, pp. 84-95 (E;papar_cvhtm, 13-15-2012). 34 BAB III GAGASAN ABD. RACHMAN ASSEGAF MENGENAI PENDIDIKAN HADHARI SEBAGAI PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM A. Genealogi Pemikiran Abd. Rachman Assegaf Kondisi pendidikan Islam yang menghadapi banyak problem menggerakkan beberapa kalangan yang prihatin untuk bangkit dan menyuarakan semangat perbaikan kondisi pendidikan Islam. Seiring berjalannya masa, selalu ada kajian-kajian tentang bagaimana melakukan pembaharuan pendidikan Islam. Gerakan pembaharuan pemikiran Islam pada dasarnya mengusung nilai-nilai seperti: nilai pembaharuan, nilai perjuangan, nilai kemerdekaan pikiran dan agama, nilai persatuan, nilai solidaritas (Lestari & Ngatini, 2010:94). Paradigma pendidikan hadhari berbasis integratif-interkonektif adalah salah satu hasil pemikiran yang berusaha melakukan pembaharuan pendidikan Islam. Abd. Rachman Assegaf menjelaskan dan memaparkan konsep pendidikan hadhari berbasis Integratif-interkonektif dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif. Abd. Rachman Assegaf sendiri adalah praktisi pendidikan yang banyak berkecimpung dan gemar menekuni bidang 34 akademik, seperti seminar, lokakarya, workshop, konferensi, temu ilmiah dan lain-lain, baik skala nasional maupun internasional. kegiatannya menjalani progam post-doctoral advanced research di beberapa perguruan tinggi di Malaysia dan kini menjadi visiting lecturer di universitas Malaya, Kuala Lumpur memberi kesempatan luas untuk mengembangkan kehidupan akademik beliau. Diakui Abd. Rachman Assegaf, pertemuan-pertemuan ilmiah tesebut banyak melahirkan ide termasuk ide pendidikan hadhari. Dalam pembahasan ini, sebelum menguraikan konsep pendidikan hadhari menurut Abd. Rachman Assegaf, penulis bermaksud ingin melacak genealogi pemikiran dalam arti bagaimana melihat secara historis latar belakang kehidupan dalam beberapa domain penting yang terfokus pada perjalanan akademik intelektual kependidikan penggagas yang pada tahap selanjutnya domain-domain tersebut melahirkan sebuah pijakan awal yang dijadikan kerangka berpikir dalam menggagas ide pendidikan hadhari. Secara sederhana ada dua domain penting penggagas dalam perjalanan intelektualnya beserta apa yang Abd. Rachman Assegaf dapatkan dalam domain tersebut yakni domain kehidupan Di UIN dan domain kehidupan kegiatan bidang akademik khususnya di Malaysia. 1. Domain Kehidupan di UIN 35 Abd. Rachman Assegaf menempuh jenjang pendidikan S2 dan S3 di pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan saat ini sebagai Guru Besar Ilmu Pendidikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.Bagi Abd. Rachman PTAI seperti UIN merupakan center for excellence bagi keilmuan, seperti halnya kemajuan IPTEK di Barat juga selalu diawali dan diinspirasi dari perguruan tinggi. Abd. Rachman Assegaf berharap PTAI dapat berfungsi sebagai laboratorium bagi pengembangan pendidikan Islam. Seluruh civitas pendidikan diharapkan mampu memberi kontribusi bagi keilmuan pendidikan Islam, sebab kemajuan Islam tidak bisa dikerjakan seorang diri (wawancara email, 16-05-2012). Abd. Rachman Assegaf merupakan dosen matakuliah filsafat pendidikan Islam di Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. Di UIN, Abd. Rachman Assegaf juga termasuk dalam Panitia Kerja bidang akademik yang aktif dalam menyusun konsep segitiga hadharah dan paradigma keilmuan integratif-interkonektif yang pada awalnya dikembangkan rektor UIN Yogyakarta waktu itu Prof. Amin Abdullah. Ilmu-ilmu ke-Islam-an dan umum menjadi wilayah kajian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berangkat dari paradigma keilmuan integratifinterkonektif. Dialog keilmuan ini membagi wilayah studi ke-Islam-an dalam tiga bagian, yaitu hadharah al-nash, hadharah al-falsafah dan hadharah al-‘ilm. Ketiga bagian tersebut saling terkait dan tidak bisa 36 berdiri sendiri. Secara konsep, ketiga bagian tersebut sama dengan tiga entitas yang dikembangkan dalam paradigma pendidikan hadhari, hanya saja dalam pendidikan hadhari lebih dikaji secara mendalam. Bagi Abd. Rachman Assegaf progam konversi STAIN dan IAIN menjadi UIN penting dilakukan untuk menjadi sarana pengembangan paradigma keilmuan integratif-interkonektif. Banyak hal yang perlu dibenahi dari PTAI di Indonesia yang secara ringkas dijabarkan sebagai berikut oleh Abd. Rachman Assegaf dalam wawancara melalui email tanggal 16-05-2012): a. Pengembangan visioner (falsafah, ideologi, visi, misi, sasaran, tujuan, tradisi, progam kerja, rencana strategis, dan kegiatan). b. Pengembangan substansial (kurikulum, bahan kuliah, referensi kepustakaan, struktur keilmuan, pembidangan ilmu dan lain-lain. c. Pengembangan manajemen administrasi (tata kelola, organisasi, dan lain-lain). d. Pengembangan SDM (kualitas dosen, pendidikan, sertifikasi, dan lainlain). e. Pengembangan kelembagaan (institusi, kebijakan, fasilitas, dan lainlain). Abd. Rachman Assegaf mendambakan UIN menjadi pusat pembaharuan Islam dengan meneladani spirit ilmuwan Muslim pada era 37 klasik dan abad pertengahan yang mampu menunjukkan peradaban Isam yang tinggi. Dengan kata lain ini isyarat bahwa Abd. Rachman Assegaf mencita-citakan UIN sebagai tempat mekar suburnya tradisi pengembangan Islamic studies dengan melakukan agenda-agenda pembaharuan yang telah diprogamkan oleh Panitia Kerja. UIN sunan Kalijaga saat ini masih mengembangkan konsep segitiga hadharah dan pendekatan keilmuan integratif-interkonektif yang digagas oleh Prof. Dr. M. Amin Abdullah. Konsep tersebut dikembangkan oleh Abd. Rachman Assegaf dengan menggagas konsep paradigma pendidikan hadhari berbasis integratif-interkonektif. Dari uraian di atas, dalam domain lingkungan Ini Abd. Rachman Assegaf melihat konsep segitiga hadharah dan pendekatan keilmuan integratif-interkonektif perlu dikembangkan. Hal ini diperlukan untuk mewujudkan cita-cita yang ideal dari sebuah gerakan pembaharuan diUIN sebagai tempat pengembangan studi Islam yang tidak timpang serta tidak mengenal dikotomi ilmu. Logika sederhananya, seseorang yang mencita-citakan pada sebuah institusi, maka secara pribadi Ia akan berusaha untuk mewujudkannya. Terbukti, banyak hal yang Abd. Rachman Assegaf lakukan berkaitan dengan bagaimana upaya dalam menggagas ide yang berorientasi pada keseimbangan dan pengintegrasian ilmu seperti paradigma pendidikan hadhari. Lingkungan akademik ini 38 pula yang membentuk sikap, nalar dan paradigma berfikir Abd. Rahman Assegaf yang open minded, moderat, progresif, inklusif dan terbuka serta mengedepankan prinsip dialog dan belajar bersama, Namun tetap berpegang teguh pada prinsip dan ajaran syariat Islam. 2. Domain Kehidupan Kegiatan Bidang Akademik Kegiatan bidang akademik yang dimaksudkan adalah kegiatankegiatan akademik seperti seminar, lokakarya, workshop, konferensi, temu ilmiah, pendidikan non-formal dan lain sebagainya. Abd. Rachman Assegaf sangat aktif dalam forum seminar, lokakarya, diskusi ilmiah, penulisan jurnal, penulisan buku dan lain-lain. Abd. Rachman Assegaf mampu mengaplikasikan ilmu-ilmu yang diperolehnya dalam kegiatan akademik tersebut dalam bentuk ide pemikiran. Pendidikan hadhari sendiri pada hakekatnya seperti yang dijelaskan Abd. Rachman Assegaf melalui wawancara email tanggal 1605-2012 adalah menghimpun semua unsur positif dari semua aliran pendidikan yang ada di dunia saat ini dan dan yang akan datang, sambil menyesuaikannya dengan nilai-nilai ke-Islam-an. Pernyataan Abd. Rachman Assegaf tersebut menyiratkan bahwa wawasan tentang unsur positif semua aliran pendidikan sedikit banyak didapat dari kegiatan akademik disamping didapatnya melalui referensi dan literatur. 39 Selain itu Beliau juga sempat menempuh berbagai progam pendidikan non-formal di luar negeri seperti progam Summer Institue 2006 diUniversity Of California Santa Barbara (UCSB) tentang Religious Pluralisme and Public Presence, post-doctoral advanced research dibeberapa Perguruan Tinggi di Malaysia pada tahun 2007 dan 2008, serta progam short course di Al-Azhar dan Cairo University, Mesir, pada 2009. Diakui oleh Abd. Rachman Assegaf bahwa kegiatan akademik ini sangat banyak memunculkan ide-ide termasuk ide pendidikan hadhari terutama pada saat di Malaysia. Selama di Malaysia, Beliau berinteraksi dengan para pakar pendidikan yang secara langsung atau tidak langsung membuka wawasannya mengenai pendidikan Islam. Referensi dan literatur yang ada di perpustakaan di beberapa universitas di Malaysia sangat membantu Abd. Rachman Assegaf dalam pengumpulan data dan sumber tertulis yang dibutuhkan dalam proses menapak tilas ide-ide baru pendidikan Islam (Assegaf, 2011:vvii). Paradigma pendidikan hadhari sendiri merupakan hasil analisis dari penelitian yang dilaksanakan selama empat bulan mulai dari November 2007 sampai dengan Maret 2008 yang dilaksanakan dengan melakukan resitasi ke beberapa perpustakaan universitas di Malaysia maupun Singapura. Di Malaysia, beberapa universitas sangat membantu dalam 40 penelusuran data tertulis ini adalah Universitas Islam antarbangsa, sementara di Singapura Beliau beserta dosen UIN Yogyakarta lainnya sempat berkunjung ke Central Library of National University of Singapura (Assegaf, 2011:33). Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kegiatan-kegiatan akademik seperti seminar, lokakarya, temu ilmiah, workshop dan lainlainnya baik dalam skala nasional maupun internasional terlebih setelah di Malaysia kesempatan untuk kehidupan akademik Abd. Rachman Assegaf semakin terbuka sehingga banyak ide-ide yang muncul terutama ide paradigma pendidikan hadhari. Lingkungan akademik yang semakin terbuka menumbuhkan sikap diri yang kritis dan rasional. Sikap kritis dan rasional ini akan menumbuhkan semangat memajukan ilmu pengetahuan yang berkomitmen tinggi. Secara langsung dengan iklim lingkungan yang intelek ini Abd. Rachman Assegaf memiliki kesempatan yang terbuka untuk menggagas dan mengembangkan paradigma pendidikan hadhari berbasis integratif-interkonektif. 41 Untuk dapat memberikan pemahaman, berikut bagan skematis melacak genealogi pemikiran Abd. Rachman Assegaf mengenai paradigma pendidikan hadhari berbasis integratif-interkonektif: BAGAN I SKEMATIS Melacak Genealogi Pemikiran Abd. Rachman Assegaf KEHIDUPAN KEGIATAN AKADEMIK AKADEMIK UIN lembaga pendidikan pengembangan keilmuan (Islamic studies) dengan pendekatan keilmuan integratifinterkonektif. Pengembangan konsep segitiga hadharah dan pendekatan keilmuan integratifinterkonektif. lembaga dakwah Islam yang Humanis. Jembatan keilmuan antara Timur dan Barat. Sebagai center of excellent keilmuan Iklim kegiatan akademik yang semakin terbuka. Komitmen kemajuan pendidikan Islam yang tinggi. Pengembangan paradigma pendidikan yang kritis dan rasional. Referensi dan literatur yang semakin luas. Kemajuan ilmu dan pengetahuan. Kemandirian dan kebebasan. Paradigma Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif 42 B. Gagasan Abd. Rachman Assegaf Tentang Pendidikan Hadhari 1. Sekilas tentang Pendidikan Hadhari Paradigma pendidikan akan selalu berkembang mengikuti zaman sehingga pemikiran yang berusaha membawa perubahan lebih baik bagi pendidikan Islam akan selalu muncul. Salah satu pemikiran paradigma pendidikan Islam yang merupakan hasil riset adalah pendidikan hadhari yang digagas oleh Prof. Abd Rachman Assegaf. Pendidikan bagi Abd. Rachman Assegaf adalah proses internalisasi nilai, investasi human resources dan sebagai sarana memajukan umat (Assegaf, 2011: xvi). Pendidikan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia karena pada dasarnya manusia tanpa pendidikan juga akan melahirkan bangsa yang tidak berbudaya. Pendidikan sebagai proses internalisasi nilai jika dikaitkan dalam pendidikan Islam maka nilai-nilai yang termuat dalam al-Qur’an dan Hadis perlu ditanamkan sebagai ciri khas pendidikan Islam. Pendidikan sebagai investasi human resources berkaitan dengan humanisme sebagai paradigma pendidikan Islam di mana implementasinya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sadar akan eksistensinya sebagai khalifah fi al-‘ardh. Pernyataan ini sependapat dengan Abdurrahman Mas’ud (2002:193) yang menyatakan bahwa secara sederhana humanisme religius juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang 43 memperhatikan aspek potensi manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk religius (Abdullah dan khalifatullah) serta sebagai individu yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengembangkan potensinyapotensinya. Pendidikan sebagai sarana memajukan peradaban (hadharah) memiliki implikasi bahwa untuk memajukan peradaban diperlukan juga pendidikan yang maju pula. Pendidikan menumbuhkan peradaban sudah terbukti melalui catatan-catatan sejarah yang menceritakan tentang peradaban-peradaban bangsa yang dihasilkan oleh pendidikan. Bagi Abd. Rachman Assegaf pendidikan yang menimbulkan peradaban dan kemajuan inilah yang disebut sebagai pendidikan hadhari (Assegaf, 2011:xvi). Dalam wawancara melalui email pada tanggal 16-05-2012, Assegaf menjelaskan bahwa istilah hadhari berasal dari bahasa Arab yang artinya ”berperadaban atau berkemajuan”, atau dalam bahasa Inggris: civilized atau citivied. Secara istilah pendidikan hadhari adalah pendidikan Islam yang memuat nilai-nilai peradaban yang tinggi dan luhur atau berkemajuan. Dengan istilah ini Abd. Rachman Assegaf bermaksud untuk mengembangkan konsep pendidikan yang mengikuti zaman, tuntutan masa kini dan tantangan masa depan. Hal ini penting dilakukan mengingat pendidikan Islam saat ini termasuk yang tertinggal bila 44 dibandingkan dengan pendidikan di negara-negara maju. Abd. Rachman Assegaf dalam wawancaranya juga mengungkapkan berusaha memperkenalkan kepada masyarakat Indonesia mengenai pendidikan hadhari agar dapat dikenal dan tidak asing lagi. Penamaan konsep pendidikan hadhari sendiri memiliki kemiripan nama dengan konsep Islam hadhari di Malaysia yang diperkenalkan oleh mantan Perdana Menteri Malaysia Ahmad Badawi, yang bermaksud membangun peradaban Malaysia melalui sembilan prinsip. Walaupun memiliki kesamaan nama konsep Islam hadhari dan pendidikan hadhari jauh berbeda sebagaimana dijelaskan oleh Abd. Rachman Assegaf dalam wawancara melalui email sebagai berikut: Konsep Islam Hadhari di Malaysia tersebut jauh berbeda dengan konsep pendidikan Hadhari Saya, karena yang saya maksud itu spesifik pada pendidikan dan Hadhari di sini meliputi 3 entitas, yaitu hadharah (peradaban) nash (teks) yaitu berbasis al-Quran dan Hadits, hadharah (peradaban) falsafah berbasis pada filsafat dan etika, serta hadharah (peradaban) al-ilm (keilmuan) yang berbasis pada seluruh cabang dan struktur keilmuan yang berkembang sampai saat ini, mulai dari social sciences, natural sciences sampai ke humaniora, atau kalau dalam skema keilmuan Islam meliputi ilmuilmu yang diwahyukan (revealed knowledge) yakni ilmu-ilmu agama, dan ilmu-ilmu yang dipelajari secara rasional (rational knowledge). Jadi, namanya saja sama, yakni hadhari, tapi konsepnya beda. Di Malaysia tidak mengenal pendekatan integratif-interkonektif. Pendekatan ini sebenaranya popular di UIN Jogja yang dikembangkan oleh Prof Amin Abdullah. Jadi, yang saya maksud dengan integratif-interkonektif di sini adalah memadukan atau menghubungkan tiga ranah entitas di atas sehingga lengkap, tidak terpisah atau terputus. 45 Memahami penjelasan Abd. Rachman di atas maka disimpulkan bahwa pendidikan hadhari justru erat kaitannya dengan pendekatan integratif-interkonektif yang dikembangkan oleh UIN Yogyakarta. Amin Abdullah sebagai rektor UIN Yogyakarta yang menggagas pendekatan integratif-interkonektif tersebut yang selanjutnya dikembangkan oleh Panitia kerja (PokJa) bidang akademik UIN Yogyakarta yang aktif dalam menyusun konsep segitiga hadharah dan paradigma keilmuan integratifinterkonektif. Konsep segitiga hadharah yang diperkenalkan oleh Amin Abdullah sebenarnya sama dengan konsep-konsep atau pohon ilmu yg dibuat oleh prof. Imam Suprayogo di UIN Malang, atau bunga ilmu di IAIN Surakarta, atau lainnya. Intinya adalah menuju pada pendidikan Islam yang non-dikotomik. Dapat disimpulkan bahwa pemikiran-pemikiran ini erat kaitannya dengan progam konversi STAIN dan IAIN menjadi UIN. Abd. Rachman Assegaf merumuskan pengertian integratif dalam struktur keilmuan berarti keterpaduan kebenaran wahyu (Burhan Qauli) dengan bukti-bukti yang ditemukan di alam semesta (burhan kauni). Dikatakan struktur keilmuan integratif di sini bukan berarti antara berbagai ilmu tersebut dilebur menjadi satu bentuk ilmu yang identik, melainkan karakter, corak, dan hakekat antara ilmu tersebut terpadu dalam kesatuan dimensi material-spiritual, akal-wahyu, ilmu umum-ilmu 46 agama, jasmani-rohani, dan dunia-akhirat. Sedangkan interkoneksitas adalah keterkaitan satu pengetahuan dengan pengetahuan yang lain akibat adanya hubungan yang saling mempengaruhi (Muliawan, 2005:xii). Pendidikan Islam integratif dan interkonektif berupaya memadukan dua hal yang sampai saat ini masih diperlakukan secara dikotomik, yakni mengharmonisasikan kembali relasi-relasi antara Tuhan-alam dan wahyuakal, di mana perlakuan secara dikotomik terhadap keduanya telah mengakibatkan keterpisahan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum (Muliawan, 2005:xii). Secara sederhana Abd. Rachman Assegaf mengartikan integratif itu terpadu, interkoneksi itu terkait, sehingga jika dihubungkan dengan paradigma pendidikan hadhari maksudnya tiga entitas peradaban (hadarah al-nash, hadharah al-falsafah, dan hadharah al-‘ilm) harus dilaksanakan secara terpadu dan terkait. Hal ini dilakukan supaya pendidikan Islam mengalami kemajuan, khususnya dimulai dari lembaga pendidikan Islam seperti madrasah, pesantren, sekolah, dan lain-lain. Pada intinya paradigma pendidikan hadhari adalah paradigma pendidikan yang menghubungkan pendidikan yang memiliki konsep sebagai berikut: a. Konsep pendidikan Islam yang menempatkan dan menerapkan etika Islam yang bersumber dari nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadis sebagai 47 seluruh jiwa bagi bagi seluruh pembidangan ilmu baik ilmu alam, sosial, dan humaniora. b. Pendidikan hadhari berkarakteristik universal dan non-dikotomis. c. Pendidikan hadhari bersumber pada nilai-nilai dan etika Islam sehingga terjadi proses objektivikasi dari etika Islam menjadi ilmu ke-Islam-an yang rahmatan lil alamin tanpa membedakan golongan, ras, suku, bangsa maupun agama. d. Pendidikan hadhari bermaksud menumbuhkan kembali spirit tradisi keilmuan yang integral (Assegaf, 2011:27). Melihat uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan hadhari adalah pendidikan yang berusaha menawarkan jalan keluar persoalan pendidikan agama Islam dengan melakukan kajian secara integralinterkonektif terhadap falsafah, ilmu, dan agama. 2. Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif Sebagai Paradigma Pendidikan Islam Pendidikan hadhari menurut Abd. Rachman Assegaf adalah pendidikan berkemajuan yang berusaha membangun kembali peradaban Islam agar tidak ketinggalan dengan kemajuan zaman dengan mensinergikan ketiga entitas hadharah yaitu hadharah al-nash, hadharah al-falsafah, dan hadharah al’ilm. Hadharah al-nash menjelaskan bagaimana semestinya pendidikan Islam dilaksanakan secara visioner; 48 hadharah al-falsafah diharapkan mampu memberikan pencerahan bagi manusia akan eksistensi sebenarnya hidup di muka bumi; dan hadharah al-‘ilm memberikan pencerahan pada umat Muslim agar unggul dan terkemuka dibidang ilmu pengetahuan. Abd. Rachman Assegaf mensinergikan ketiga entitas tesebut dengan menghimpun semua unsur positif dari semua aliran pendidikan yang ada di dunia saat ini dan yang akan datang sambil menyesuaikan dengan nilai-nilai ke-Islam-an. Paradigma pendidikan hadhari perlu ditelaah dan dikembangkan dalam dunia pendidikan yang masih jauh dari harapan, hal ini kemudian menjadi alasan mendasar mengapa paradigma pendidikan hadhari berbasis integratif-interkonektif perlu dibangun dan dikembangkan, alasan tersebut diantaranya (Assegaf, 2011:20-23): a. Lack of Vision Hingga sampai saat ini, diakui atau tidak masih banyak lembagalembaga pendidikan yang tidak jelas visinya. Banyak gedung, ruang kelas, auditorium, bahkan ruang perkantoran, perpustakaan dan pusat kajian telah dibangun secara megah dengan berbagai fasilitas modern seperti telepon, internet, AC, dan lain-lain, namun belum mengalami perubahan visioner yang jelas. Visi seharusnya dibangun berdasarkan spirit yang dinyatakan dalam sebuah visi diri, dunia, dan realitas, yang secara ringkas, dimotivasi oleh agama. Sayangnya materi dan 49 metodologi yang banyak diajarkan di dunia Islam saat ini adalah kopian dari Barat, sehingga secara tak sadar menimbulkan proses deIslamisasi yang mempengaruhi para pelajar dengan anggapan bahwa hal tersebut merupakan pendidikan Islam alternatif, atau sebagai agen perubahan dan modernisasi. b. Kesalehan individual dan ketertinggalan teknologi Ibadah memiliki cakupan luas tidak hanya ibadah mahdah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, tetapi juga diartikan sebagai ghoiru mahdah. Ghoiru mahdah berarti ibadah juga mencakup solidaritas sosial. etika politik, kewajiban menuntut ilmu, masalah pergaulan, kerja sama antarbangsa, pengembangan sumber daya manusia, dan lain-lain. Keberagamaan di Indonesia sendiri lebih menekankan pada kesalehan ritual daripada kesalehan sosial. Implikasi dari keberagamaan pola ini menurut Abdurrahman Mas’ud (2005:144-145) adalah realitas sosial yang dihiasi dengan budaya, kaya kultur yang bernuansa agama, tetapi miskin dalam nilai-nilai spiritual yang berpihak pada kemanusiaan. Akibat pola keberagamaan ini umat Islam tak terkecuali Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara-negara lain dalam hal ilmu dan teknologi modern. 50 Dalam permasalahan ini perlu adanya upaya sainisasi wahyu yang sesuai dengan konteks kehidupan sains yang berkembang, dengan begitu keberadaan wahyu bagi kehidupan manusia memiliki multi fungsi yaitu fungsi doktrin (petunjuk, pembeda haq dan batil, obat, penjelas, nasihat, pedoman dan lain-lain). Tanpa adanya sainisasi wahyu proses integrasi sains dan agama hanya akan menjadi omong kosong (Roibin, 2009:19). c. Problem Epistemologi: Dikotomi Ilmu Dilihat dari sejarahnya, dikotomi ilmu telah terjadi cukup lama dalam dunia pendidikan Islam yaitu semenjak madrasah Nizhamiyah mempopulerkan ilmu-ilmu agama dan mengesampingkan logika dan falsafah. Terlebih lagi dengan pemahaman bahwa ilmu agama tergolong fardhu ‘ain dan ilmu umum termasuk fardhu kifayah. Abd. Rachman Assegaf juga menambahkan bahwa dikotomi ilmu juga disebabkan faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaharuan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan negara Islam (Muliawan, 2005:viii). Realita ini mengakibatkan disharmoni relasi antara pemahaman ayatayat illahi dengan ayat-yat kauniyah, antara iman dengan ilmu, dan 51 relasi antara dimensi duniawi dengan ukhrawi, dan relasi antara dimensi ketuhanan (teosentris) dengan kemanusiaan (antroposentris). d. Tradisi Berpikir Normatif-Deduktif Dikatakan normatif-deduktif karena pada praktik pendidikan Islam saat ini yang lebih mengarah pada pola mengajar daripada mendidik. Mengajar dibatasi oleh ruang kelas dan mengandalkan dominasi guru yang besar, sementara mendidik tidak harus dilaksanakan dalam ruang kelas dan terdapat interaksi edukasi antara guru-murid, murid-murid, bahkan guru-guru, sehingga murid dipandang sebagai peserta didik yang aktif mengembangkan potensinya. Proses pembelajaran pendidikan Islam saat ini masih didominasi budaya hafalan dan penguasaan materi sehingga terjadi ketidakseimbangan antara aspek pengetahuan (kognitif), dimensi sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik). Pendidikan hadhari dikembangkan untuk pendidikan Islam memberi setidaknya sumbangan memberikan ide pembaharuan landasan dasar pemecahan problem-problem pendidikan Islam seperti yang telah dipaparkan di atas. 52 3. Pilar-pilar Pendidikan Hadhari Pendidikan hadhari dibangun dengan kerangka dasar keilmuan yang kokoh dan pilar-pilar yang mampu menopang struktur keilmuannya. Pilar-pilar tersebut menjadi ciri khas dan identitas dari pendidikan hadhari. Pilar-pilar utama bagi pendidikan hadhari adalah sebagai berikut: a. Berpusat pada Tauhid Menurut Abd. Rachman Assegaf, faktor pendidikan bagi terbentuknya tauhid dan iman kepada Allah SWT merupakan inti dari pendidikan Islam. Pilar pendidikan berintikan tauhid dan keimanan ini diharapkan akan mampu memberi pemahaman yang utuh bagi Muslim untuk memadukan antara akal dengan wahyu. Artinya, dalam aplikasinya bagi seorang yang beriman, kehidupan modern bukanlah sebuah musuh atau kendala yang harus dilawan melainkan justru menjadi peluang untuk menjalankan fungsi kehidupannya sebagai khalifah. lebih lanjut Abd. Rachman Assegaf menegaskan ada dua tantangan yang dihadapi umat Muslim berkaitan dengan menjaga iman dan takwa di masa modern ini yaitu: 1) Tantangan internal berupa penyakit hati seperti timbulnya nafsu serakah, amarah, dengki, dendam dan sejenisnya. 53 2) Tantangan eksternal berupa gaya hidup masyarakat yang permisif, kompetetif, bebas, perilaku kekerasan dan sebagainya. Karena itulah selain pilar iman dan tauhid diperlukan juga pilar akhlak yang mulia. b. Berbasis Akhlak Abd. Rachman Assegaf mengartikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga ia akan muncul secara langsung (spontanitas) bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar (Assegaf, 2011:42). Dengan menelusuri makna dalam al-Qur’an Abd. Rachman Assegaf merumuskan konsep-konsep penanaman akhlak mulia yaitu sebagai berikut: 1) Ber-akhlak mulia dengan mencontoh perilaku Nabi Muhammad SAW, karena dalam diri beliau terdapat suri teladan yang baik (QS. Al-Qalam {68}:4 (Departemen Agama Republik Indonesia Jkt, 1994: 960) dan QS. Al-Ahzab [33]:21) (Departemen Agama Republik Indonesia Jkt, 1994: 670). 54 Q.S. Al-Qalam {68}:4 Artinya: Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. QS. Al-Ahzab [33]:21). Artinya: Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. 2) Dalam konflik, Islam menempuh tindakan preventif dengan cara menghadapi perbuatan buruk dengan perbuatan baik, dengan demikian pemusuhan dapat berubah menjadi persahabatan (QS. Fushshilat [41]:34 Departemen Agama Republik Indonesia Jkt, 1994: 778); dan QS. Al-Mu’minun [23]:96) (Departemen Agama Republik Indonesia, 1994: 567). 55 Q.S. Fushshilat [41]:34 Artinya: Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah Telah menjadi teman yang sangat setia. QS. Al-Mu’minun [23]:96). Artinya: Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. 3) Islam mengajak manusia segera memohon ampun kepada Allah seraya menafkahkan hartanya, menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain (QS. Ali ‘Imron [3]: 133-134) (Departemen Agama Republik Indonesia, 1994: 98). Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. 56 Akhlak menyangkut interaksi antar sesama manusia. Akhlak memiliki peranan yang besar dalam jangkauan yang luas. Abd. Rachman Assegaf mengungkapkan dengan kalimat yang bermakna “bagi sebuah bangsa yang beradab, akhlak mulia itu penting untuk menyelamatkan bangsa tersebut dari kerusakan” (Assegaf, 2011:46). c. Menganut Teori Fitrah Abd. Rachman Assegaf berpendapat bahwa konsep fitrah tidak identik dengan teori tabula rasa, aliran dualisme dan konvergensi. Fitrah memandang manusia membawa tidak hanya kertas kosong dan bersih tetapi membawa potensi dari lahir yang bersifat dinamis yang artinya lingkungan dan pendidikan merupakan faktor penyebab berkurang atau bertambahnya potensi fitrah manusia. Abd. Rachman Assegaf menyimpulkan bahwa secara umum fitrah merupakan al-Din (agama Allah SWT), Islam, Iman, dan tauhid. Pilar fitrah ini diharapkan menjadi penyangga praktek pendidikan Islam agar dalam pelaksanaannya selalu mengarahkan pada kesucian, Islam, Iman, dan tauhid. d. Memberdayakan Fungsi Masjid bagi Pengembangan Umat. Abd. Rachman Assegaf menggagas bahwa antara pusat pendidikan di keluarga, sekolah dan masyarakat, dalam komunitas umat Islam. masih 57 perlu ditambah satu pusat pendidikan lagi yaitu masjid. Dapat dikatakan fungsi masjid dalam perspektif al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, adalah sebagai berikut: 1) Sebagai sarana ibadah shalat dan berdzikir. 2) Berfungsi sebagai sarana pendidikan dan pengajaran. 3) Berfungsi sebagai sarana pengadilan, hukum, musyawarah dam tempat pertemuan membahas urusan ke-Islam-an. 4) Berfungsi sebagai sarana sosial. Antara umat dan masjid diharapkan terjalin ikatan yang kuat, sehingga masjid dapat benar-benar menjadi pusat peradaban Islam tidak hanya dalam dimensi ritual keagamaan tetapi juga berfungsi secara pendidikan dan sosial. 4. Tiga Bilik Peradaban Hadhari Keempat pilar saling berkaitan satu sama lain membentuk “bilik-bilik” peradaban yaitu peradaban teks (hadharah al-nash), peradaban falsafah (hadharah al-falsafah), dan peradaban ilmu (hadharah al-‘ilm). Sinergi antara ketiga entitas inilah inti dan hakekat dari ide pendidikan hadhari berbasis integratif-interkonektif sebagai paradigma pendidikan Islam. a. Peradaban Teks (hadharah al-nash) Peradaban teks (hadharah al-nash) menjelaskan bagaimana semestinya pendidikan Islam dilaksanakan secara visioner. Pendidikan 58 yang visioner memiliki kejelasan konsep bagaimana visi, konsep belajar, Orientasi, sistem dan metodologi pendidikan yang dilakukan menurut tuntunan wahyu dan nilai-nilai kenabian (Assegaf, 2011:352). Jika dirumuskan ide Abd. Rachman Assegaf didapat kesimpulan halhal yang perlu dilakukan lembaga pendidikan Islam agar dapat melaksanakan pendidikan Islam yang visioner adalah: 1) Mengembangkan kembali spirit pendidikan Islam yang visioner. Tujuan pembentukan manusia adalah sebagai khalifah fi al-ardi, hamba Allah SWT yang taat beribadah, pembentukan insan kamil, dan tujuan pembentukan manusia yang bertakwa, beriman, dan berakhlak mulia. Dua elemen tujuan pendidikan Islam ini masih harus dijabarkan dalam aspek-aspek yang operasional. Tujuantujuan pendidikan Islam tersebut menyederhanakan variasi tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh para tokoh pendidikan Islam dan juga mencerminkan keterkaitan dan keterpaduan antara dunia dan akhirat. Jika prinsip-prinsip umum tentang tujuan pendidikan tersebut dapat dioperasionalkan dalam pelaksanaan pendidikan Islam, dan selalu dievaluasi seberapa jauh tujuan tersebut telah dicapai, maka praktik pendidikan Islam dapat dikatakan visioner, memiliki visi yang jelas (Assegaf, 2011:75). 59 2) Menciptakan konsep belajar sesuai dengan visi atau tujuan pendidikan Islam. Seperti diketahui, taksonomi Bloom sebagai konsep belajar yaitu kognitif (perilaku yang berkaitan tentang penguasaan ilmu), afektif (perilaku yang terkait dengan sikap), dan psikomotorik (ketrampilan) belum menjelaskan makna batiniyah dan pentingnya agama dalam kehidupan manusia. Bloom tidak memperhitungkan dimensi spiritual dan keagamaan dalam pendidikan. Lain halnya dengan pendidikan Islam yang memiliki karakter yang khas dibandingkan tujuan belajar yang dikemukakan Bloom karena pendidikan Islam memuat taksonomi yang meliputi domain ilmu (kognitif), akhlak (afektif), amal (psikomotorik), dan iman (dimensi emosional dan spiritual) yang jika dijabarkan bahwa konsep belajar Islam adalah pendidikan yang bertujuan: a) Ilmu tidak hanya digunakan untuk mengembangkan aspek intelek-rasional, melainkan orang yang menuntut ilmu itu bagian dari ibadah dan akan dimuliakan Allah SWT. b) Tidak hanya sekadar memiliki ketrampilan berbuat melainkan terkandung di dalamnya bertanggung jawab kepada Allah. c) Membentuk menerima, peserta merespon, 60 didik dan yang memiliki menanamkan kemampuan nilai serta pembentukan insan kamil, Muslim kaffah, dan manifestasi misi kenabian. d) Membentuk peserta didik yang beriman tidak hanya dalam batiniah dan rohaniah manusia yang dalam proses pencarian makna, melainkan juga memiliki nilai-nilai keilmuan integratfinterkonektif dan ilahiah manusia. 3) Mengembangkan orientasi pendidikan yang sesuai dengan nilainilai ajaran Islam. Pendidikan Islam memiliki beberapa wawasan atau orientasi pendidikan yaitu: 1) Book-oriented, artinya al-Qur’an sebagai pusat acuan pendidikan dan pengajaran tanpa membekukan upaya berpikir karena Allh menerangkan ayat-ayat-Nya agar manusia berpikir dan merenungka al-Qur’an tersebut. 2) Child-oriented, yang berarti bahwa setiap anak bebas memilih secara aktif dan kreatif berpartisipasi menentukan arah pendidikannya dengan konsekuensi yang akan dipertanggungjawabkan. 3) Life-oriented, artinya Islam mengarahkan pada pentingnya keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. 61 4) Social-oriented, artinya pendidikan Islam memiliki komitmen untuk memperbaiki kehidupan individu maupun sosial, antara lain dengan cara mengaplikasikan melakukan ilmu bagi aktivitas dirinya dan positif untuk masyarakat, mempersiapkan pendidikan untuk tuntutan tersebut, dan mengaitkan dan memadukan keduanya (link and mach) (Assegaf, 2011:107) 5) Memperbaiki sistem pendidikan sesuai dengan ajaran Islam Sistem pendidikan memiliki komponen atau unsur utama yang saling terkait, yang meliputi unsur kurikulum, unsur pendidik, unsur peserta didik, unsur sekolah, dan unsur masyarakat. Konponen-komponen tersebut saling terkait, sehingga untuk membentuk sisitem pendidikan yang baik maka perlu dilakukan pembenahan dan pembaharuan dari kelima unsur sistem pendidikan tersebut. 6) Perlunya penggunaan metode pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam Penggunaan satu metode tidak berarti tepat untuk seluruh aktivitas pendidikan. Satu metode masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan, sehingga disarankan dengan 62 menggunakan dua atau beberapa metode untuk saling menutupi kelemahan satu metode. b. Peradaban Falsafah (hadharah al-falsafah) Falsafah al-hadhariyah bersumber dari al-Qur’an dan Hadis serta berbasis pada falsafah dan etika sehingga terdapat adanya keterpaduan antara dimensi ketuhanan dengan kemanusiaan berbeda dengan falsafah umum yang hanya mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Modernitas dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini memang tidak terlepas dari andil falsafah Barat dan Eropa, namun falsafah Barat dan Eropa tersebut disisi lain juga menimbulkan ketimpangan salah satunya adalah munculnya sekularisme. Dibawah ini tabel tentang perbedaan antara falsafah umum dengan falsafah alhadhariyah yang dirumuskan oleh Abd. Rachman Assegaf (2011:220). Dari tabel ini akan terlihat jelas perbedaan antara kedua falsafah tersebut yang nantinya akan menjadi renungan bahwa falsafah alhadhariyah lebih memiliki konsep yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam berlandaskan etika dan sumber Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis. 63 Tabel I Perbedaan Falsafah Umum Dengan Falsafah al-Hadhariyah No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. FALSAFAH UMUM (Barat) Antroposentris (dalam konsep dan teorinya tidak menghubungkan dengan wahyu atau agama). Positivistic-empiris (hanya mengakui adanya dan berdasarkan pada gejala yang tampak) Sekularistik (menegasikan dimensi ketuhanan dan keakhiratan dan bahwa pendidikan didasarkan pada rasio, budaya, dan nilai-nilai sosial) Bersumber pada rasio dan budaya. Etika pragmatik-hedonistik (science for science) Pertimbangan interaksi sosial semata. Ganjaran dan hukuman hanya di dunia. Modal psikis berpikir berangkat dari rasio dan skeptic. Dasar ilmu adalah value-free. FALSAFAH AL-HADHARIYAH (Perspektif Islam) Teo-Antroposentris (konsep dan teorinya integral antara akal manusia dengan wahyu Tuhan) Real-Transedental (mengakui adanya yang alam nyata dan ghaib). Non-Sekularistik (mengakui adanya dimensi ketuhanan dan keakhiratan, serta pentingnya peran moral dan agama dalam pendidikan). Bersumber pada wahyu, rasio, dan budaya. Etika demi kerudhoan Allah SWT (science for mardhatillah). Interaksi vertikal dan horizontal (hablun minallah wa hablun miannas). Pahala dan dosa (di dunia dan di akhirat) Modal psikis berpikir berangkat dari keyakinan (iman), kalbu (conscience), dan rasio. Value free dan humanisasi. Dalam peradaban falsafah Abd. Rachman Assegaf menegaskan perlunya penanaman nilai-nilai pada peserta didik mengenai eksistensinya sebagai manusia.. Pendidikan Islam diharapkan mampu mengoptimalkanakan fungsi manusia di muka bumi yaitu sebagai pendidik dan si terdidik, ‘abd Allah SWT, khalifah fi al-ard secara seimbang. Pendidikan Islam yang seperti itu akan membentuk khalifah 64 yang sanggup menguasai ilmu dan menguak rahasia alam untuk dikelola demi kemakmuran serta pribadi yang sanggup mengabdi, beribadah dan berakhlakul kharimah. Dalam peradaban falsafah juga menegaskan adanya humanisasi pendidikan Islam, dengan kata lain perlu adanya internalisasi nilai Hak Asasi Manusia melalui keseluruhan materi, metode, tujuan, kebijakan, dan proses pendidikan Islam. Dalam penjabarannya hadharah al-falsafah juga mengenal adanya falsafah a-akhlaqiyah. Etika Islami berpedoman pada tuntunan wahyu berupa al-Qur’an dan sabda Nabi Muhammad SAW. Salah satu etika yang bisa dikatakan penting adalah etika profesional seorang pendidik Muslim. c. Peradaban Ilmu (hadharah al-‘ilm) Peradaban ilmu (hadharah al-‘ilm) merupakan bagian penting untuk menjadi dasar pemecahan problem dikotomi ilmu, pola pikir teologisnormatif dan deduksi-legalistik, lemahnya budaya meneliti dalam pendidikan Islam, serta perhelatan terhadap isu-isu kontemporer. Untuk menyelesaikan masalah-masalah pendidikan Islam tersebut perlu dilakukan beberapa usaha yang berkomitmen yaitu: 65 1) Mengembangkan tradisi keilmuan Muslim yang integralistik dan interkonektif. Sejauh ini, masih dikatakan tradisi keilmuan Muslim masih berat sebelah, terlalu menekankan pada pola pikir deduktif, teks-book oriented atau ulama-oriented (Assegaf, 2011:265). Intelektual Muslim perlu mengembangkan budaya atau tradisi ijtihad yang nantinya akan menuntun seorang Muslim bersikap akademik dan terbuka serta menerima perbedaan pendapat. Berpikir akademik seperti ini akan membawa pada sikap fleksibel dan toleransi terhadap hasil pemikiran orang lain. Pola berpikir akademik akan membawa pada pencerahan dan kesadaran diri bahwa Islam mengajak umatnya untuk meraih kebahagiaan dunia-akhirat, material-spiritual, dan jasmani-rohani. Wawasan berpikir seperti ini akan membentuk tradisi keilmuan Muslim yang integralistikinterkonektif. 2) Melakukan upaya reintegrasi ilmu Paradigma pendidikan hadhari sejalan dengan konsep universitas Islam yaitu mengintegralisasikan pendidikan yang dikotomik. Hasil rekomendasi Konferensi se-Dunia tentang pendidikan Islam kedua di Islamabad pada tahun 1980 membagi pengetahuan menjadi dua kelompok yaitu ilmu-ilmu yang diwahyukan 66 (revealed or perennial knowledge, religious science) dan ilmuilmu yang diperoleh (acquired knowlwdge, modern science). Abd. Rachman Assegaf dalam konsep pendidikan hadhari menambahkan satu level ilmu dalam klasifikasi tersebut dengan ilmu-ilmu kontemporer yang senantiasa berkembang seperti hubungan internasional, agama dan lintas budaya, resolusi konflik, teknologi informasi, isu-isu gobal (seperti demokrasi, HAM, Pluralisme, kebebasan, wacana gender, dan lain sebagainya). Semua cabang ilmu pengetahuan tersebut harus diajarkan dari sudut pandang Islam dengan tetap mempertahankan prinsip nilainilai ketauhidan dalam proses pembelajarannya karena inti pendidikan Islam adalah tauhid. Abd. Rachman Assegaf (2011:274) menambahkan baik ilmu agama maupun ilmu modern harus disampaikan kepada peserta didik pada semua jenjangnya dengan mencontoh perilaku dan tata cara para Nabi, khususnya Nabi Muhammad SAW ketika mendidik umatnya. Dalam pendidikan hadhari juga menerangkan kosep integrasi antara relasi Allah-alam, Allah-manusia, aman-ilmu, jasmani-rohani, materialspiritual, duniawi-ukhrawi, dan wahyu-akal yang sampai saat ini masih diperlakukan secara dikotomi. 67 3) Menumbuhkan budaya meneliti di kalangan civitas akademik (research-based knowledge). Pendidikan Islam dihadapkan pada tanggung jawab research knowledge, karena tugas pendidik Muslim tidak hanya mengajar tetapi juga meneliti. Pendidik Muslim perlu memiliki bekal dan kemampuan mengevaluasi dan meneliti kinerja dan efektivitas pendidikan. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka praktik pendidikan akan berjalan stagnan tanpa pembaharuan dan semakin tertinggal dengan perkembangan di dalam dan di luar pagar pendidikan Islam. pendidikan Islam yang berbasis pada penelitian akan memiliki perspektif yang luas karena penemuan serta pemikiran baru didapat dari hasil penelitian. Penelitian pendidikan akan menghasilkan pemikiran yang mengarah pada solusi problem pendidikan dan kemajuan pendidikan Islam misalnya dengan mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan praktik pendidikan Islam mulai dari faktor, kondisi, dan sebab-musababnya, lalu ditemukan cara-cara menanganinya, sehingga mampu berkembang ke arah yang baik. Research Based Knowledge perlu dikembangkan karena menurut Abd. Rachman Assegaf saat ini di Indonesia ada fenomena di mana banyak biaya yang dikeluarkan untuk keperluan operasional 68 pendidikan, namun tidak seimbang dengan minimnya biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (Assegaf, 2011:284). 4) Menumbuhkan jiwa peka dan responsif terhadap isu-isu kontemporer. Dengan peka terhadap isu-isu kontemporer tersebut pendidikan Islam diharapkan lentur menghadapi zaman. Isu-isu kontemporer yang memerlukan jawaban bagi pendidikan Islam sangat banyak seperti masalah demokrasi , kekerasan, pemerataan pendidikan, multikulturalisme, pluralisme, globalisasi pendidikan, isu pendidikan antikorupsi dan lain sebagainya (Assegaf, 2011: 284285). Abd. Rachman Assegaf merumuskan beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk menghadapi isu-isu kontemporer tersebut: 1) Demokratisasi pendidikan Islam 2) Menciptakan pendidikan damai 3) Education for all atau pemerataan kesempatan pendidikan. 4) Pendidikan multikultural dan masyarakat plural 5) Globalisasi pendidikan Islam 6) Teologi antikorupsi Dari uraian panjang di atas, secara prinsip dan fundamental, pendidikan hadhari adalah pendidikan yang berupaya membangkitkan 69 kembali spirit keilmuan Islam yang integratif tanpa dikotomi dengan menginternalisasikan prinsip-prinsip wahyu dan etika Islam tentang pendidikan. Ketiga entitas yaitu hadharah al-nash, hadharah al-falsafah dan hadharah al-‘ilm adalah entitas yang tidak dapat berdiri sendiri. Hadharah al-nash tidak bisa berdiri sendiri tanpa hadharah al-‘ilm dan hadharah al-falsafah dan sebaliknya. Uraian Abd. Rachman Assegaf mengingatkan bahwa begitu banyak problem yang dihadapi pendidikan Islam dan problem-problem tersebut tidak bisa diselesaikan sendiri atau oleh segelintir institusi tetapi memerlukan kerjasama dari semua kalangan untuk memecahkan problem pendidikan Islam saat ini. Produk-produk pemikiran seperti paradigma pendidikan hadhari penting untuk ditelaah dan dikaji ulang dengan harapan paling tidak mampu menjadi landasan dalam menyelesaikan problem pendidikan Islam. pendidikan hadhari berusaha untuk melakukan pembaharuan dan inovasi paradigma pendidikan Islam. Fuad Ihsan (2010), menjelaskan inovasi pendidikan adalah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi hasil seseorang atau sekelompok orang (masyarakat), baik berupa inversi (penemuan orang) atau discovery (baru ditemukan orang), yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan atau untuk memecahkan masalah pendidikan. Mencermati pengertian tersebut bukan tidak 70 mungkin konsep pendidikan hadhari mampu memberikan ide dan gagasan untuk inovasi pendidikan Islam. 71 BAB IV ANALISIS FILOSOFIS TERHADAP PEMIKIRAN ABD. RACHMAN ASSEGAF TENTANG KONSEP PENDIDIKAN HADHARI Bab ini berusaha untuk menganalisis secara filosofis pemikiran Abd. Rachman Assegaf tentang konsep pendidikan hadhari berbasis integratif- interkonektif sesuai dengan prinsip-prinsip dan cara berpikir filsafat. Secara bahasa, filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia, merupakan kata majemuk yang berasal dari kata philos dan Sophia. Kata philos berarti kekasih, bisa juga berarti sahabat. Adapun kata Sophia berarti kebijaksanaan atau kearifan, bisa juga berarti pengetahuan (Esha, 2010:26) Secara definisi, Zidi Galzaba (1992:24) menjelaskan berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran, tentang segala sesuatu yang dimasalahkan, dengan berpikir secara radikal, sistematis dan universal. Sudarsono (1993:12) menyimpulkan pengertian filsafat dari berbagai ahli filsafat bahwa pada prinsipnya filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan sungguh-sungguh, radikal sehingga mencapai hakekat segala sesuatu tersebut. Mengacu pada pengertian yang dijelaskan oleh Gizi Gazalba dan Sudarsono, maka ciri dari berpikir filsafat adalah radikal, sistematis dan universal. Radikal berarti berpikir itu tidak separuh-paruh, tidak berhenti di jalan, tapi terus sampai ke 72 ujungnya. Berpikir sistematis berarti sesuai dengan prinsip dan cara kerja ilmiah, logis dan mempunyai keterkaitan. Berpikir universal berarti berpikir secara umum, berpikir universal, terbatas pada bagian-bagian tertentu tapi mencakup keseluruhan dengan kata lain berpikir secara menyeluruh (Gazalba, 1992:27). Ketakjuban, kekaguman, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan adalah hal-hal yang merangsang manusia untuk berfilsafat. Hal-hal tersebut memunculkan banyak pertanyaan-pertanyaan mendasar yang pada tahap selanjutnya menjadi kerangka acuan untuk melihat dan menganalisa sesuatu dalam rangka memperoleh sebuah ilmu pengetahuan (Nasrudin, 2008:72). Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada akhirnya menjadi landasan terbentuknya cabang-cabang filsafat yang berkaitan dengan pencarian kebenaran. Secara umum cabang filsafat ada tiga yaitu metafisika atau ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Esha, 2010:76). Berkaitan dengan analisa pemikiran Abd. Rachman Assegaf mengenai konsep pendidikan hadhari pada penulisan ini menggunakan cabang-cabang filsafat tersebut yakni metafisika atau ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Hal ini dimaksudkan agar dalam pembahasan ini ditemukan jawaban mendasar mengenai Apa hakekat Paradigma pendidikan hadhari?, Bagaimana orisinalitas pemikiran Abd. Rachman assegaf dalam menggagas pendidikan hadhari?, Bagaimana cara memperoleh atau sumber pengetahuannya?, Apa hakekat nilai, fungsi dan tujuan pendidikan hadhari?, dan Bagaimana relevansi gagasan dalam konstekstualisasinya maupun nilai, fungsi dan tujuan penerapan atau implementasinya?. 73 Untuk lebih memudahkan akan digambarkan bagan skematis kerangka analisis filosofis Paradigma pendidikan hadhari menurut Abd. Rachman Assegaf. Bagan II Skematis Kerangka Analisis Filosofis Pendidikan Hadhari Abd. Rachman Assegaf Landasan Pengembangan ontologi Apa? Hakikat, Otentisitas atau orisinalitas pemikiran. Realitas/ide Epistemologi Bagaimana? Cara memperoleh Pengetahuan. Sumber dan landasan berpikir. Metodologi 74 Aksiologi Mengapa?, Untuk apa? Fungsi. Relevansi dan strategi Penerapan Tujuan atau nilai 1. Dimensi Ontologis; Analisa Otentisitas/Orisinalitas Pemikiran Abd. Rachman Assegaf 1. Pengertian Ontologi Dimensi ontologis dalam teori kefilsafatan berkaitan dengan jawaban pertanyaan apa? Atau hakekat sesuatu, atau berkaitan dengan being (keberadaan) dan eksistensi. Istilah yang lebih mendalam yakni berkaitan dengan metafisika, (meta; dibalik/dibelakang dan physika; benda-benda fisik = sesuatu yang ada dibalik benda-benda fisik atau yang nampak ) metafisika berkaitan dengan studi atau pemikiran tentang sifat yang terdalam dari kenyataan atau keberadaan (Musytansir & Munir, 2002:12). Sedangkan Dimensi ontologis dalam filsafat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada (Sudarsono, 1993:118). Sementara Muhammad Sulthon (2003) memaparkan bahwa ontologi menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan menguraikan cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori-kategori logis yang berlainan (seperti objekobjek fisis, hal universal, abstraksi, bilangan dan lain-lain). Berkaitan dengan gagasan pendidikan hadhari menurut Abd. Rachman Assegaf, analisis akan diarahkan pada nilai otentisitas atau orisinalitas sebuah gagasan yang didasarkan pada sejauh mana tingkat kraetifitas yang diperankan oleh subjek (dalam hal ini Abd. Rachman Assegaf) dalam mencari 75 sebuah ide, hal ini didasarkan pada landasan epistemologis pada analisis selanjutnya. 2. Dimensi Ontologis Pemikiran Abd. Rachman Assegaf Memahami landasan ontologis di atas dan pemaparan gagasan Abd. Rachman Assegaf dalam bab III, maka akan diuraikan dimensi ontologis mengenai apa hakekat dari gagasan Abd. Rachman Assegaf dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-interkonektif, Abd. Rachman Assegaf menjelaskan: a. Pendidikan hadhari adalah pendidikan yang berkemajuan dan berperadaban yang berusaha untuk memasukkan tuntunan wahyu, nilainilai kenabian, menjiwai spirit masa keemasan peradaban Islam dan usaha merespon isu-isu kontemporer. b. Pendidikan hadhari dibangun berdasarkan kerangka dasar keilmuan yang kokoh dan pilar-pilar yang mampu menopang struktur keilmuannya, sekaligus menjadi ciri khas dan identitasnya, sehingga satu bangunan rumah keilmuan dapat dibedakan dari bangunan lainnya. Pilar utama bagi pendidikan hadhari yang dimaksud adalah: pertama, berpusat pada tauhid; kedua, berbasis akhlak; ketiga, menganut teori fitrah; dan keempat, memberdayakan fungsi masjid bagi pengembangan umat. Pilar-pilar ini saling bertautan satu sama lain lalu merangkai dalam bentuk ”bilik-bilik” peradaban, yakni peradaban teks (hadharah al-nash), peradaban falsafah 76 (hadharah al-falsafah), dan peradaban ilmu (hadharah al-’ilm) (Assegaf. 2011:352). c. Hakekat pendidikan hadhari adalah menghimpun semua unsur positif dari semua aliran pendidikan yang ada di dunia saat ini dan yang akan datang, sambil menyesuaikannya dengan nilai-nilai ke-Islam-an (wawancara email 16-05-2012). Dari pemaparan yang disampaikan di atas maka Inti dari gagasan pendidikan hadhari beserta landasan pijaknya sebagai berikut ; a. Paradigma pendidikan yang menjelaskan bagaimana semestinya pendidikan Islam dilaksanakan secara visioner. Pendidikan yang visioner memiliki kejelasan konsep bagaimana visi, konsep belajar, Orientasi, sistem dan metodologi pendidikan yang dilakukan menurut tuntunan wahyu dan nilai-nilai kenabian (Assegaf, 2011:352). b. Cara pandang dan paradigma berfikir dalam pendidikan yang menyeimbangkan dua sisi potensi manusia sesuai fitrahnya yakni sebagai abdullah dan khalifatullah, yang tetap menyeimbangkan dua komunikasi hablum minallah dan hablumminnass. Gagasan ini didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat problem manivestasi keberagamaan umat yang timpang, yang cenderung melupakan mengedepankan aspek-aspek diantaranya : 77 aspek humanisme, lebih 1) Lebih mengedepankan pada aspek kesemarakan ritual, dan keberagamaan yang vertikal (sisi sebagai abdullah), ketimpangan yang terjadi, masih maraknya kejahatan, rendahnya etika dan akhlaq serta korupsi 2) Dilupakannya kesalehan sosial, dan penempatan agama secara fungsional. 3) Dengan realita-realita tersebut umat Islam terkesan tertutup dengan ilmu pengetahuan sehingga mengalami ketertinggalan teknologi. c. Paradigma pendidikan yang berorientasi pada pendidikan nondikotomik. Gagasan ini didasarkan pada alasan-alasan: 1) Dikotomi ilmu dalam pendidikan Islam telah berjalan cukup lama. Terlebih lagi dengan pemahaman bahwa menuntut ilmu agama itu tergolong fardhu ’ain dan imu- ilmu non agama adalah fardhu kifayah, maka menimbulkan banyaknya umat yang mempelajari agama sebagai suatu kewajiban seraya mengabaikan pentingnya mempelajari ilmu-ilmu non agama (Assegaf, 2004:18). 2) Paradigma pendidikan yang berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik dalam bingkai fitrah kemanusiaa yang diberikan Allh Sw. Konsep ini diharapkan terbentuk peserta didik yang tidak berfikir normatif-deduktif. Hal ini didasarkan pada persoalan tradisi keilmuan muslim saat ini yang cenderung pada pola pikir normatif–deduktif (Assegaf, 2011:23). Hal ini terlihat 78 pada praktek pendidikan Islam yang lebih mengedepankan pada aspek kognitif semata. Roibin (2009:16) sependapat bahwa praktek integrasi pendidikan Islam masih dominan pada ranah ontologis, itupun dengan cara legal formalistik berupa labelisasi. d. Paradigma pendidikan yang responsif terhadap isu-isu kontemporer. Konsep ini diharapkan menciptakan pendidikan Islam yang lentur menghadapi zaman, dan bukan menoleh ke belakang terus (Assegaf, 2011:284). Hal ini didasarkan pada banyaknya isu-isu kontemporer yang memerlukan jalan keluar dari pendidikan Islam seperti masalah demokrasi, kekerasan, pemerataan pendidikan, multikulturalisme, pluralisme, globalisasi pendidikan dan sebagainya. Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa pendidikan hadhari adalah pendidikan yang berusaha membangun kembali atau melakukan pembaharuan pendidikan Islam dalam masa keemasan Islam yang memberikan bimbingan peserta didik untuk benar-benar memahami dan menjalankan semangat khalifah dalam arti sesungguhnya. Nilai-nilai, pilarpilar, serta landasan falsafah dibangun berdasarkan analisis ide-ide dan konsep dalam al-Qur’an dan Hadis yang dijabarkan sesuai dengan tuntunan kebutuhan manusia dan isu-isu kontemporer yang terjadi. 79 3. Orisinalitas Pemikiran Gagasan pendidikan hadhari yang secara eksplisit berusaha menghapus nondikotomik diinspirasi oleh gerakan Islamisasi ilmu oleh Syed Naquib Alatas dan kemudian didukung oleh banyak tokoh seperti Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Ali Asyraf, dan umumnya mereka yang ikut dalam konferensi internasional pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977. Pendidikan hadhari jika dianalisis adalah pengembangan dari konsep segitiga hadharah yang dikembangkan oleh UIN Kalijaga Yogyakarta. Pendekatan keilmuan integratif–interkonektif lebih relevan dilakukan daripada Islamisasi ilmu. Menurut Amin Abdullah, kajian Islam dengan menggunakan pendekatan integratif-interkonektif antar bidang ilmu dan disiplin adalah jawaban bagi tantangan dunia Islam saat ini (Choir & Fanami, 2009:viii). Dalam kajiannya Abd. Rachman Assegaf tetap mengembangkan teori-teori Islamisasi ilmu dan pendekatan integratif-interkonektif meski keduanya secara konsep ada sedikit perbedaan. Untuk mengetahui orisinalitas ide Abd. Rachman Assegaf ada baiknya mencermati kutipan dalam buku Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif sebagai berikut: Penggunaan istilah pendidikan hadhari dalam buku ini diinspirasi oleh perkembangan mutakir tersebut, baik dalam skala lokal di UIN Yogyakarta yang sedang mengembangkan konsep segitiga hadharah, secara nasional di Malaysia dengan Islam hadhari-nya, maupun trend referensi ke-Islam-an belakangan ini yang mulai banyak menyebut istilah tersebut. Dalam konteks yang berbeda, untuk tidak menyamakan dengan pendidikan hadhari secara total, progesivisme (al-taqaddamiyah) 80 merupakan aliran falsafah pendidikan yang dikembangkan oleh John Dewey di Amerika serikat, yang menghendaki perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan seiring dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat....(Assegaf, 2011:26). Perhatikan kembali penjelasan Abd. Rachman Assegaf dalam wawancara email 16-05-2012 bahwa ” Hakekat pendidikan hadhari itu adalah menghimpun semua unsur positif dari semua aliran pendidikan yang ada di dunia saat ini dan dan yang akan datang, sambil menyesuaikannya dengan nilai-nilai ke-Islam-an”. Dari paparan yang disampaikan tersebut jelas bahwa gagasan pendidikan hadhari adalah ide Abd. Rachman Assegaf yang menawarkan pada suatu upaya pencarian solusi atas persoalan pendidikan Islam dewasa ini. Dapat disimpulkan bahwa gagasan tersebut bisa dikatakan tidak orisinil atau otentik karena memang berkaitan dengan kesinambungan, atau sesuatu yang sudah ada sebelumnya, namun disisi lain, gagasan tersebut jika dilihat dari prosesnya dalam arti proses dalam rangka menelorkan sebuah solusi atas keadaan pendidikan dewasa ini, gagasan tersebut dapat dikatakan orisinil, dalam hal ini patokan sederhana yang digunakan adalah orisinil sama halnya dengan modifikasi ide-ide lama menjadi lebih kreatif dan segar untuk dicerna, dan orisinil sama halnya dengan penyatuan dua ide yang berbeda menjadi satu kesatuan, (karena hal ini terdapat potensi substansi yang sama dalam dua hal tersebut). 81 B. Landasan Epistemologis; Nalar dan Landasan Berfikir Abd. Rachman Assegaf Mengenai Pendidikan Hadhari Sebagai Paradigma Pendidikan Islam 1. Pengertian epistemologi Istilah ”epistemologi” di dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah ”theory of knowledge”. Epistemologi berasal dari asal kata ”episteme” dan ”logos”. Episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Dalam rumusan yang lebih rinci epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan (Sudarsono, 1993:137). Muhammad In’am Esha (2010:98) menjelaskan epistemologi menyangkut beberapa hal penting yaitu epistemologi berkenaan dengan sifat pengetahuan, kemungkinan, cakupan, dan dasar-dasar pengetahuan, epistemologi membahas tentang reliabilitas pengetahuan dan epistemologi melakukan investigasi tentang sumber, struktur, metode, dan validitas pengetahuan. Berbicara mengenai epistemologi yang berkaitan dengan sumber pengetahuan terdapat lima paham atau teori yaitu: a. Empirisme, mengatakan pengetahuan manusia berasal dari pengalamannya dari dunia luar yang ditangkap dari panca inderanya. b. Idealisme, mengatakan pengetahuan adalah kejadian dalam jiwa manusia, sedangkan kenyataan yang diketahui manusia terletak diluar. c. Kritisisme, mengatakan bahwa pegetahuan berasal dari luar maupun dari jiwa manusia itu sendiri. 82 d. Rasionalisme, berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia ialah pikiran, rasio, dan jiwa manusia. e. Realisme, menegaskan bahwa pengetahuan manusia merupakan gambar yang baik dan tepat daripada kebenaran, dan dalam pengetahuan yang baik tergambar kebenaran sebagaimana sesungguhnya ada (Sudarsono, 1993:157). Dari uraian di atas dapat disimpulkan manusia memiliki banyak perantara untuk mendapatkan pengetahuan. Dari sumber-sumber pengetahuan tersebut manusia memiliki kesempatan untuk mengembangkan ilmu yang didapatnya menjadi ilmu yang lebih bermanfaat baik secara empirisme, idealisme, kritisme, rasionalisme, maupun realisme. 2. Mencari Landasan Epistemologi Gagasan Abd. Rachman Assegaf Dalam bukunya ini Abd. Rachman memaparkan bahwa tulisan ini merupakan produk dari penelitian kualitatif. Dalam pembahasannya menggunakan perpaduan antara jenis penelitian falsafah dengan penelitian pendidikan. Penelitian falsafah dimaksudkan untuk mengkaji pemikiran tokoh beserta konsep pendidikannya. Objek formalnya adalah buah pikiran filsuf yang diketahui melalui karya tulisnya, bukan dalam arti sosiologis, budaya atau politik, melainkan mengungkap visi pendidikannya. Sedangkan penelitian pendidikan disini termasuk dalam penelitian pengembangan (development research) karena berupaya untuk mengembangkan teori dan 83 metodologi pendidikan Islam melalui analisis konsep pendidikan yang ada sebelumnya. Paradigma pendidikan hadhari ini merupakan hasil dari penelitian yang dilaksanakan selama empat bulan, mulai dari November 2007 sampai dengan Maret 2008 yang dilaksanakan dengan melakukan visitasi ke beberapa perpustakaan di Malaysia maupun Singapura (Assegaf, 2011:33). Menelaah geneologi pemikiran Abd. Rachman Assegaf yang diuraikan pada bab III penulisan skripsi ini, abd. Rachman Assegaf adalah profesor yang memiliki segudang ilmu baik dari literatur-literatur yang dibacanya maupun kegiatan-kegiatan akademik yang dilakukannya. Dari progam pendidikan nonformal di beberapa negara Abd. Rachman Assegaf memiliki kesempatan untuk memperkaya khasanahnya dari penelusuran perpustakaan perguruan tinggi yang dikunjungi. Abd. Rachman Assegaf berusaha menguraikan konsep pendidikan hadhari berdasarkan pendekatan paradigma keilmuan integratif-interkonektif, hal ini tampak pada pembagian sistematika tiga entitas hadharah sebagai suatu entitas yang saling berhubungan. Dengan kata lain buku ini juga menggunakan metode berpikir analisis dan sintesis. Model berfikir filsafat ini dikembangkan oleh filsafat Hegel, menurutnya sintesis merupakan sebuah upaya untuk mencakup segenap kenyataan dalam suatu sistem yang meliputi segala-galanya dan juga meliputi 84 susunan pengetahuan manusia (Soemargono, 1992:22). Metode ini terlihat jelas dalam buku ”Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif”, Abd. Rachman Assegaf selalu menganalisa banyak pendapat dan aliran pendidikan hingga mensintesa pendapat tersebut menjadi suatu konsep baru. Sumber landasan Abd. Rachman Assegaf dalam menggagas pendidikan hadhari adalah tetap berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadis, rasio dan konsep pendidikan yang terdahulu atau empirisme. 3. Kerangka Berfikir dan Pendekatan Pada dasarnya landasan pemikiran Abd. Rachman Assegaf berangkat dari beberapa substansi dan ajaran ideal yang terdapat dalam Islam itu sendiri, dalam artian, yang menjadi landasan pijak (kerangka berfikir dalam mensintesakan dua hal tersebut) yakni pada ajaran-ajaran Islam itu sendiri yang diterjemahkan secara kontekstual, adapun substansi ajaran Islam yang dimaksud adalah : a. Ajaran Islam tidak mengenal konsep dikotomi dalam ilmu, ini sejalan dengan pendapat Abdurrahman Mas’ud (2005:44) ilmu non agama (dalam hal ini ilmu alam) pada dasarnya merupakan bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak tertulis. b. Dalam Islam sangat menganjurkan bahkan mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu sampai pada titik tak terhingga, walaupun sampai ke negeri 85 orang (Mas’ud, 2002:21). Islam memerintahkan belajar (mencari ilmu) dan sangat mendorong dikembangkan ilmu pengetahuan (Nata, (2009:167). Abd. Rachman Assegaf sejalan dengan ini dengan mengutamakan adanya research Based Knowledge atau selalu belajar melakukan penelitian demi perkembangan pendidikan yang lebih baik. c. Berangkat dari uswah khasanah yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad sebagai figur pendidik yang kaya akan ilmu dan metodologi, pemimpin yang adil dan bijak serta rasul yang amanah. d. Tradisi keilmuan muslim yang jauh dari pola pikir normatif-deduktif. e. Semangat menghidupkan kembali ajaran-ajaran al-Quran dan Hadis yang berkaitan tentang pendidikan kemudian dijabarkan dalam bentuk konsep yang sesuai dengan zaman dan sebagai pemecahan dari isu-isu pemecahan kontemporer. f. Pendidikan hadhari berangkat dari semangat untuk melakukan pembaharuan yang tersirat dalam makna surat-surat dalam al-Qur’an seperti Q.S. Ar-Ra’d ayat 11 (departemen Pendidikan Agama Islam, 1994: 370): 86 Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan [768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. yang menjelaskan bahwa perubahan itu diupayakan oleh kaum dan bukan datang dengan sendirinya. Kalau suatu kaum mau berubah ke arah yang baik dan positif, tentunya Allah SWT akan memberikan karunia nikmatNya kepada mereka. Perubahan positif akan berdampak pada kemakmuran suatu kaum. Inilah yang dikehendaki oleh pendidikan hadhari (Assegaf, 2011:27). C. Kerangka Aksiologis; Relevansi Pemikiran Abd. Rachman Assegaf Mengenai Pendidikan Hadhari Sebagai Paradigma Pendidikan Islam 1. Pengertian Aksiologi Aksiologi berasal dari bahasa Yunani Axios dan logos. Axios artinya nilai dan logos artinya ilmu, penalaran, atau teori. Aksiologi secara bahasa dipahami sebagai teori tentang nilai atau rasionalitas nilai. Secara istilah, aksiologi dipahami sebagai cabang filsafat yang membahas persoalan nilai (Esha, 2010:119-120). Dengan kata lain nilai pada hakekatnya adalah kualitas. Berkaitan dengan landasan aksiologis gagasan pendidikan hadhari, maka analisa ini akan diarahkan pada apa yang menjadi nilai gagasan 87 pendidikan hadhari dalam upaya memberikan kontribusi bagi pembaharuan pendidikan Islam? dan Apa yang menjadi kegunaan maupun tujuannya. 2. Landasan Aksiologis; Nilai, Tujuan dan Sumbangsihnya Terhadap Pendidikan Islam Abd. Rachman Assegaf (wawancara email 16-05-2012) menjelaskan bahwa nilai pendidikan hadhari terletak pada pengembangan pendidikan Islam yang berkemajuan atau berperadaban sehingga tidak tertinggal dengan Bangsa, umat, dan negara lain. Berdasarkan landasan epistemologi, seta persoalan-persoalan yang mendasar dalam pendidikan Islam yang telah dipaparkan di awal, maka implikasi dan implementasi dalam pendidikan Islam pendidikan hadhari bertujuan: a. Menciptakan pendidikan Islam yang visioner. b. pendidikan Islam yang integratif-interkonektif. c. pendidikan Islam non-dikotomis. d. pendidikan Islam yang mampu menjawab isu-isu kontemporer. Pola pembelajaran yang perlu dikembangkan (sesuai dengan pembahasan bab sebelumnya) adalah pola pembelajaran yang menanamkan pada spirit pilar-pilar hadhariyah, spirit zaman keemasan, spirit nilai-nilai kenabian dan spirit menjawab isu-isu kontemporer. 88 Landasan aksiologis gagasan Abd. Rachman Assegaf akan terlihat, dalam konteks nilai guna, manfaat, maupun sumbangsih apa yang dapat diberikan dalam pembaharuan pendidikan Islam, jika kita memperhatikan beberapa tawaran paradigmatis, metodologis dalam hal implementasi praktisnya di pembelajaran sesuai dengan paradigma pendidikan hadhari yang Ia gagas. Tawaran-tawaran dimaksud adalah terdapat pada aspek-aspek : a. Aspek kurikulum Kurikulum dalam pandangan Islam dikembangkan kearah tauhid atau iman kepada Allah Swt. Kurikulum pendidikan Islam diusahakan mencakup dimensi duniawi-ukhrawi, jasmani-rohani, dan spiritualmaterial secara integral. b. Aspek pendidik Pendidik bukan sekedar pembimbing melainkan juga sebagai suri teladan yang baik. Sehingga terdapat dua arah yaitu pendidik sebagai pembimbing dan pendidik sebagai jalan teladan akhlak yang mulia. Pendidik juga harus mampu mengarahkan peserta didik untuk aktif belajar sehingga kemandirian dan tanggung jawab peserta didik akan tumbuh dan teraplikasi dalam kehidupan sehari-harinya. Pendidik masa kini memiliki tanggung jawab yang besar, pendidik dihadapkan pada keharusan masuk dalam struktur lembaga, perubahan masyarakat, perkembangan teknologi dan lain sebagainya. Guru yang 89 mampu dan mau melakukan refleksi diri terhadap kinerjanya melalui penelitian akan lebih percaya diri. Dengan penelitian-penelitian yang dilakukan akan menghasilkan konsep paradigma yang mampu membawa perkembangan pendidikan Islam. c. Aspek peserta didik Peserta didik dalam konsep Islami haruslah aktif dan dinamis dalam berfikir, belajar, merenungkan, meneliti, mencoba, menemukan, mengamalkan, dan menyebarluaskan aktivitasnya (Assegaf, 2011:114). d. Aspek sekolah Untuk mewujudkan konsep pendidik dan peserta didik yang benar menurut Islam perlu dukungan dari unsur sekolah yang kondusif. Peranan sekolah tidak hanya sebagai tempat pembelajaran, tapi menyiapkan peserta didik yang peka menyoal permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat. Sehingga sekolah dan lembaga pendidikan lainnya harus bersifat fleksibel artinya sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman. e. Aspek lingkungan masyarakat Lingkungan masyarakat juga akan mempengaruhi pendidikan peserta didik. Karena pendidik tidak hanya berinteraksi sebatas dalam lingkungan rumah dan lingkungan sekolah tetapi juga akan berinteraksi dengan masyarakat semakin luas semakin Ia dewasa. 90 f. Aspek metode pembelajaran Ciri khas pendidikan hadhari adalah penggunaan metode yang mendekatkan diri kepada-Nya dan bersungguh-sungguh pada jalan-Nya (QS. AL-Maidah [5]:35) (Departemen Pendidikan Agama Islam, 1994: 165). Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. Kesimpulannya penggunaan satu metode lebih banyak mengalami kegagalan. Dari berbagai metode satu dengan metode yang lain pasti memiliki kelemahan dan kelebihan sendiri-sendiri. Sehingga disarankan menggunakan lebih dari satu metode yang mampu menutupi kelemahan metode pembelajaran yang berdiri sendiri. g. Pendayagunaan masjid Masjid diharapkan tidak hanya digunakan tempat ibadah shalat tetapi juga mampu menjadi pusat peradaban Islam yang mampu menjadi solusi problematika umatnya. 91 D. Relevansi Pendidikan Hadhari Terhadap Pendidikan Islam Pondasi paradigma pendidikan Islam merupakan hal yang sangat fundamental dalam satu sistem pendidikan sebagai basis sumber ideologi. Sebagai dasar pendidikan Islam, al-Qur’an dan Hadis adalah rujukan untuk mencari, membuat dan mengembangkan paradigma, konsep, prinsip, teori dan teknik pendidikan Islam. Dari kedua sumber inilah, kemudian muncul sejumlah pemikiran mengenai masalah umat Islam yang meliputi berbagai aspek, termasuk di antaranya masalah paradigma pendidikan Islam. Oleh karena itu, secara garis besar sumber penelaahan pendidikan Islam dapat diidentifikasikan ke dalam dua corpus, yaitu; al-Qur’an dan Hadist yang kemudian keduanya menghasilkan berbagai pendapat para ahli pendidikan (Nasrudin, 2008:44). Berangkat dari gambaran pemaparan diatas, maka jika dikaji lebih jauh, terdapatnya pintu lebar untuk berupaya melakukan pengembanganpengembangan dalam rangka peningkatan mutu dan kualitas pendidikan Islam dengan berbagai tawaran strategi, metode, maupun paradigma yang tentunya lebih kontekstual dan aplicable, pendidikan hadhari sebagai sebuah paradigma pendidikan Islam dihasilkan dari upaya penelaahan secara mendalam atas permasalahan pendidikan Islam dalam konteks kekinian serta sebagai bagian dari upaya refleksi dan rekonstruksi sejarah Islam yang ada. 92 Dengan semangat nilai-nilai yang terkandung dalam Q.S. Ar-Ra’d ayat 11, Abd. Rachman Assegaf berkeyakinan bahwa ketika umat Islam berikhtiar untuk melakukan perubahan yang positif, maka Allah akan memberikan karunia perubahan positif yang berdampak pada kemakmuran umat. Abd. Rachman Assegaf dalam wawancara melalui email 16-05-2012 mengungkapkan harapannya tentang pendidikan hadhari, di mana diharapkan pendidikan hadhari dapat memberikan sumbangsih setidaknya menjadi landasan dalam memecahkan persoalan pendidikan Islam. Beberapa relevansi pendidikan hadhari berbasis integratif-interkonektif jika dikaitkan dengan isu-isu kontemporer pendidikan Islam saat ini jika diuraikan sebagai berikut: a. Pengembangan PTAI yang memiliki struktur keilmuan integratifinterkonektif. Perguruan Tinggi Islam sebagai bagian integral dari pendidikan nasional diharapkan tidak saja survive tetapi dituntut untuk memiliki daya saing yang handal di zaman globalisasi, sains dan teknologi. Dalam hal reintegrasi ilmu, Abd. Rachman Assegaf senada dengan paradigma keilmuan yang dikembangkan oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dialog keilmuan membagi wilayah studi ke-Islam-an dalam tiga bagian yaitu hadharah al-nash (bersumber pada agama), hadharah al-’ilm (bersumber pada ilmu kealaman dan kemasyarakatan), hadharah alfalsafah (bersumber pada etika dan falsafah) (Assegaf, 2011:28-29). 93 Inti dari struktur keilmuan tersebut adalah mempertemukan kembali ilmu agama dengan ilmu umum sehingga tercapai kesatuan ilmu yang integratif-interkonektif. Dalam perkuliahan semua cabang harus diajarkan dalam sudut pandang Islam dengan tauhid sebagai inti pengajarannya. Abd. Rachman Assegaf menggagas perlunya penambahan ilmu-ilmu kontemporer yang senantiasa berkembang seperti hubungan internasional, agama dan lintas budaya, resolusi konflik. Teknologi informasi, isu-isu global (seperti demokrasi, HAM, pluralisme, kebebasan, wacamna gender, dan lain sebagainya (Assegaf, 2011:274). Pada teorinya pelaksanaan pendidikan Islam dengan berbasis integratifinterkonektif adalah gagasan yang tepat namun dalam implementasi kenyataannya akan sangat sulit diterapkan. Saat ini pengembangan struktur keilmuan integratif-interkonektif masih dalam taraf pengembangan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan UIN di Indonesia. Dalam perjalanan penerapannya masih mengalami kendala apalagi jika konsep keilmuan tersebut tidak dikembangkan secara serius maka hanya akan menjadi hal yang sia-sia. Dalam pelaksanaannya konsep ini perlu ditelaah dan dikaji ulang, harus hati-hati karena dikhawatirkan pengembangan konsep ini yang tidak tepat sasaran justru akan menimbulkan problem baru misalnya hilangnya eksistensi pendidikan agama Islam sendiri dikarenakan lebih terfokusnya pengembangan keilmuan modern. 94 b. Perubahan lembaga pendidikan IAIN/STAIN menjadi UIN Dengan konsep keilmuan yang integratif-interkonektif dalam konsep pendidikan hadhari mengisyaratkan perubahan paradigma, konsep, visi, dan orientasi baru pengembangan pendidikan Islam (IAIN/STAIN menjadi UIN) mesti segera dilakukan. Namun yang menjadi pertanyaan pelik seperti yang dijelaskan Ahmad Barizi (2011:34-35) adalah ”adakah perbedaan mendasar dari perubahan itu dibandingkan dengan universitasuniversitas Islam lain yang berkembang di Indonesia, seperti Universitas Muhammadiyah, Universitas NU, dan lain-lain. Perubahan IAIN dan STAIN menjadi UIN realitanya juga akan mengundang persoalan. Pertama, pada kerangka manajemen, dikhawatirkan perubahan tersebut hanya bersifat formal, artifisial dan pada hakikatnya tidak mengalami perubahan yang fundamental. Kedua, pada epistemologi institusi, akan mengalami kesulitan dalam penataan kurikulum yang akan dibangun karena adanya beban Islamisasi pengetahuan. Namun, pesimisme tersebut tidak harus dipersoalkan dalam melakukan perubahan tersebut. Perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN, sebagai model reintegrasi keilmuan merupakan satu bentuk pengembangan, peningkatan dan pemantapan status. UIN diharapkan dapat menjadi model sistem 95 pendidikan Islam yang memiliki kualitas tinggi, sehingga perlu melakukan pembenahan dari setiap komponen secara sistematis, terarah dan sungguh-sungguh baik pengembangan visioner, pengembangan substansial, pengembangan SDM, pengembangan manajemen administrasi, dan pengembangan kelembagaan. c. Demokratisasi pendidikan Demokratisasi merupakan isu sentral yang mempengarui masa depan pendidikan Islam di Indonesia. Pendidikan yang demokratik adalah pendidikan yang memberi kesempatan yang sama pada setiap anak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah sesuai dengan kemampuannya, sehingga demokrasi pendidikan terkait dengan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama dalam proses pendidikan. Menurut Abd. Rachman Assegaf (2011:286-292) tedapat enam kaidah demokrasi yaitu kaidah ta’aruf, kaidah musyawarah, kaidah kerjasama, menguntungkan masyarakat, kaidah keadilan dan kaidah perubahan. Kombinasi antara hak manusia dan Allah SWT dalam menentukan nilainilai tadi, menjadikan model demokrasi Islam lebih bermakna. Di Indonesia, demokrasi pendidikan telah mendapatkan pengakuan yang legal seperti yang tercantum dalam UUD 1945: 1) UUD 1945 pasal 31 (1) yang berbunyi ”setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan ”. 96 2) UUD 1945 pasal 31 (3) yang berbunyi ”pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undangundang”. Secara konseptual, demokrasi pendidikan dalam pandangan pendidikan Islam yang dikemukakan dalam pendidikan hadhari dan kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan sudah menuju pada upaya pencerdasan kehidupan bangsa, namun pada realitanya masih cukup banyak usia kelompok sekolah yang tidak dapat atau belum dapat menikmati pendidikan karena alasan tertentu baik karena masalah biaya, tempat maupun kesempatan sehingga mereka seolah terampas haknya untuk menikmati pendidikan sekolah. Partisipasi peran masyarakat juga dinilai masih rendah. Kebijakan pemerintah juga hanya mempertimbangkan potensi pendidikan secara nasional, padahal setiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda. Abd. Rachman Assegaf menjelaskan perlunya dibangun metode kepemimpinan yang demokrasi dalam pendidikan yang memungkinkan guru-guru membina kelas secara demokrasi dengan menerapkan kaidahkaidah demokrasi yang tersirat dalam ajaran Islam. Ajaran Islam mengandung prinsip dan kaidah yang merupakan kata kunci dari isu demokrasi (Assegaf, 2011: 287). 97 Senada dengan pendapat Abd. Rachman Assegaf, maka untuk mengatasi persoalan pendidikan yang demokrasi ini tidak hanya dilakukan penanaman demokrasi pendidikan pada setiap praktisi pendidikan tapi harus adanya peningkatan mutu pendidikan, peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan agar tepat sasaran, dan penyesuaian antara hasil pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja serta peningkatan kualitas SDM. d. Pendidikan damai Kasus tindak kekerasan dalam pendidikan beberapa tahun terakhir ini meningkat. Dalam bukunya yang berjudul ”Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus, dan Konsep” Abd. Rachman Assegaf menjelaskan pentingnya peran aspek afektif dalam pendidikan,salah satunya mengintodusir budaya damai dalam pendidikan dan ini bisa dilakukan dengan menerapkan konsep pendidikan tanpa kekerasan. Pendidikan damai adalah proses pendidikan yang memberdayakan masyarakat agar mampu memecahkan konflik dengan cara kreatif, dan bukan dengan cara kekerasan. Keberhasilan pendidikan damai tidak ditunjukkan oleh angka-angka, elainkan mengacu pada kualitas kompetensi untuk merespon kesulitan hidup yang dihadapi bersama (Assegaf, 2004:92-94). 98 Pendidikan hadhari menawarkan solusi dari kasus kekerasan dalam pendidikan adalah dengan memahami penyebab kekerasan dalam masyarakat. Setelah diketahui akar permasalahanya, pendidikan dituntut untuk mempromosikan saling pengertian, toleransi, persahabatan antarberbagai bangsa, dan hendaknya ikut dalam memelihara perdamaian. (Assegaf, 2011:299). Implikasi pendidikan damai di ruang kelas adalah pengarahan peserta didik untuk mengembangkan ketrampilan, sikap dan pengetahuan anak melalui metode belajar partisipatoris dan kooperatif, serta suasana salin toleransi, peduli dan menghargai (Assegaf, 2004:94). Jika dikaitkan dengan pendidikan maka pendidikan hadhari membeikan arahan bahwa dalam mencapai pendidikan damai perlu ditanamkan melalui materimateri yang mampu menumbuhkan arti dari perdamaian dan tanggap terhadap persoalan kekerasan yang ada di sekitar peserta didik. Pendidikan damai ini di arahkanuntuk menumbuhkan tiga aspek yang utama yaiu domain pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Di bawah ini merupakan skema penjabaran tentang materi dan metode dalam pendidikan damai yang dirumuskan oleh Abd. Rachman Assegaf (2004:95) adalah sebagai berikut: 99 Bagan Skema 1II Domain Pengetahuan, sikap dan ketrampilan dalam Pendidikan Damai KETRAMPILAN 1. Komunikasi, aktif mendengar dan refleksi 2. Kerjasama 3. Empati dan perasaan terlibat 4. Berpikir kritis dan problemsolving 5. Artistic dan aestetik 6. Perantara negoisasi dan resolusi konflik 7. Sabar dan pengendalian diri 8. Warga yang bertanggungjawab 9. Imajinasi 10. Kepemimpinan dan visi PENGETAHUAN 1. Mawas diri dan mengetahui isu-isu yang terkait dengan : a. Konflik dan perang b. Damai dan kekerasan c. Lingkungan/ekologi d. Nuklir dan senjata lainnya e. Keadilan dan kekuasaan f. Teori-teori analisa konflik, pencegahan dan resolusi konflik. g. Kultur, ras, gender, agama, HAM, dan tanggung jawab sosial. h. Globalisasi i. Ketenagakerjaan j. Kemiskinan dan ekonomi internasional k. Hukum internasional dan pengadilan criminal l. PBB, sistem internasional, standar aturan beserta instrumennya. m. Perawatan kesehatan, AIDS dan bisnis obat terlarang. SIKAP 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 100 Kesadaran terhadap lingkungan Harga diri Menghormati martabat manusia dan perbedaan antar budaya Memahami sensitivitas jender Rasa peduli dan empati Sikap tanpa kekerasan dan rekonsiliasi Tanggung jawab sosial Solodaritas dan berwawasan luas Resolusi konflik Penanaman melalui keteladanan Rosul dan penggunaan metode mengajar, metode hukuman dan sanksi yang tidak mengarah pada kekerasan juga sangat dibutuhkan untuk mewujudkan pendidikan damai. Akan sangat sulit menerapkan pendidikan damai di dalam pendidikan di Indonesia mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, yang memiliki keaneragaman agama dan budaya. Perlu adanya upaya yang relevan yang dari semua pihak dan institusi pendidikan untuk menciptakan pendidikan damai di Indonesia. e. Pendidikan multikulturalisme dalam masyarakat plural. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Masyarakat yang plural ini rentan akan terjadinya korupsi, kolusi, konflik politik, separatisme, kerusuhan antar etnis dan agama, dan sebagainya. Pendidikan multikulturalisme penting dilakukan karena di dalam masyarakat yang plural perlu ditanamkan akan pentingnya nilai-nilai kerukunan dan proses intenalisasi tersebut salah satunya melalui pendidikan. Ada empat bentuk dialog antar umat beragama yang gagas Abd. Rachman Assegaf yaitu: 1) Dialog kehidupan, di mana rakyat dari berbagai macam agama saling berinteraksi dalam memenuhi kenutuhannya masing-masing. Dialog semacam ini terjadi secara alami di tengah-tengah masyarakat. 101 2) Dialog kerja sama dalam kegiatan sosial, di mana rakyat dalam berbagai agama melakukan kerja sama dalam rangka pembangunan nasional. 3) Dialog intermonastik, di mana para pemimpin agama selama masa tertentu tinggal di lingkungan penganut agama lain. 4) Dialog kologium-teologis, di mana ahli-ahli agama tukar menukar informasi tentang ajarannya masing-masing. Melihat dari bentuk-bentuk yang dipaparkan oleh Abd. Rachman Assegaf di atas adalah adanya bentuk upaya pembauran agama yang dimaksudkan tercapainya kerukunan dan keharmonisan hubungan antar umat beragama dengan tetap menghormati perbedaan yang ada. Hal ini penting dilakukan mengingat hal paling sensitif yang menimbulkan konflik adalah terkait dengan kepercayaan. Realitanya masih banyak terjadi konflik dan kekerasan, namun menegakkan perdamaian merupakan hal yang tidak sia-sia sebab keyakinan pada agama yang mengajak umatnya untuk damai selalu mendorong teciptanya kerukunan tergantung pada bagaimana individu atau kelompok memaknainya f. Globalisasi pendidikan Islam Arus globalisasi yang semakin pesat tidak hanya mempermudah keidupan manusia dengan berbagai penemuan-penemuan yang canggih tetapi juga menimbulkan gejala kontra moralitas. Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam dituntut untuk mampu memainkan perannya secara 102 dinamis dan proaktif. Pendidikan Islam tidak hanya penanaman nilai untuk membentengi diri dari dampak negatif gobalisasi, tetapi juga merespon globalisasi dengan sikap arip dan bijaksana sesuai ajaran Islam. Menurut Abd. Rachman Assegaf berpendapat posisi pendidikan Islam yang perlu dipertahankan adalah sikap selektif, kritis dan terbuka terhadap munculnya arus globalisasi. Pendidikan Islam perlu kembali pada sumber ajarannya yaitu al-Qur’an dan Hadis, sambil memperluas wawasan terhadap kemajuan zaman, modernitas, temuan sains dan teknologi sehingga pembaharuan Islam tidak mulai dari nol lagi (Assegaf, 2011:331). Umat Islam tidak perlu bersikap menutup diri dengan perkembangan zaman tetapi juga tetap selektif sesuai ajaran Islam. Realitanya pendidikan Islam masih belum bisa dikatakan berhasil dalam membentuk peserta didik yang seimbang dalam memaknai jati dirinya sebagai khalifah. Masih banyak terjadi ketidakseimbangan kesalehan sosial dan kesalehan individu serta masih banyak terjadinya degradasi moral di kalangan masyarakat. Fenomena ini adalah PR bagi pendidikan Islam bagaimana mengatasi turbulensi arus globalisasi. Pendidikan hadhari adalah pendidikan yang membuka mata bagaimana melihat persoalan pendidikan Islam yang begitu banyak. Abd. Rachman Assegaf mengajarkan bahwa dalam memandang dan mencari jalan keluar 103 penyelesaian problem pendidikan Islam adalah dengan selalu kembali pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Hadis serta hasil ijtihad dari para ulama terdahulu tanpa menutup diri dari perkembangan zaman. Salah satu inti dari pendidikan hadhari adalah bagaimana menanamkan sikap kritis peserta didik dalam melihat persoalan-persoalan yang ada disekitar lingkungan, dengan begitu akan terbentuk peserta didik yang respon dan tanggap terhadap permasalahan kontemporer yang terjadi saat ini. Sebagai bentuk kelemahan dan ketidaksempurnaannya, diakui atau tidak gagasan ini masih dalam dataran wacana yang perlu dilakukan penelaahan secara mendalam mengenai apa yang menjadi kelemahan, kelebihan dan kekurangan dalam dataran konsep maupun implementasinya yang secara publik belum begitu dikenal dan diterima oleh masyarakat, sehingga butuh rasionalisasi dan reasoning yang benar-benar tepat dan sesuai dengan ajaran Islam jika gagasan tersebut ingin dapat diterima di masyarakat secara umum terlebih dapat termanifestasikan dalam pendidikan Islam. 104 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan dari uraian dan analisis tentang “Paradigma Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif:Tinjauan Filosofis Pemikiran Abd. Rachman Assegaf”, maka dapat menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dimensi ontologis gagasan pendidikan hadhari Abd. Rachman Assegaf adalah ; a. Paradigma pendidikan yang menjelaskan bagaimana semestinya pendidikan Islam dilaksanakan secara visioner. Pendidikan yang visioner memiliki kejelasan konsep bagaimana visi, konsep belajar, Orientasi, sistem dan metodologi pendidikan yang dilakukan menurut tuntunan wahyu dan nilai-nilai kenabian. b. Cara pandang dan paradigma berfikir dalam pendidikan yang menyeimbangkan dua sisi potensi manusia sesuai fitrahnya yakni sebagai abdullah dan khalifatullah, yang tetap menyeimbangkan dua komunikasi hablum minallah dan hablumminnass c. Paradigma pendidikan yang nondikotomik. 105 berorientasi pada pendidikan d. Paradigma pendidikan yang responsif terhadap isu-isu kontemporer. Konsep ini diharapkan menciptakan pendidikan Islam yang lentur menghadapi zaman, dan bukan menoleh ke belakang terus. Dilihat dari segi orisinalitas atau otentisitas, gagasan Abd. Rachman Assegaf satu sisi dipandang sebagai sebuah gagasan yang merupakan kesinambungan dari gagasan yang sebelumnya. Namun disisi lain, masih terkandung orisinalitas gagasan Abd. Rachman Assegaf jika dilihat dari segi proses bagaimana Abd. Rachman Assegaf mengupayakan sebuah gagasan sebagai bagian dari tawaran solusi atas permasalahan pendidikan Islam kontemporer. 2. Dimensi epistemologis berkaitan dengan landasan berfikir gagasan Abd. Rachman Assegaf mengenai pendidikan hadhari berdasarkan pada substansi dan ajaran ideal yang terdapat dalam Islam itu sendiri, dalam artian, yang menjadi landasan pijak yakni pada ajaran-ajaran Islam itu sendiri yang diterjemahkan secara kontekstual. Substansi ajaran Islam yang dimaksud adalah: a. Islam tidak mengenal pendidikan dikotomik. b. Islam menganjurkan untuk selalu menuntut ilmu. c. Uswah khasanah terutama dari Nabi Muhammad. d. Tradisi keilmuan Muslim yang jauh dari pola pikir normatif-deduktif. e. Semangat menghidupkan kembali ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadis. 106 f. Semangat melakukan pembaharuan yang tersirat dalam Q.S Ar-Ra’du ayat 11. Kerangka metodologi berfikir Abd. Rachman Assegaf berkaitan dengan penggagasan pendidikan hadhari bertolak pada metode sintesa pemikiran dengan sumber pengetahuan antara wahyu, rasio, dan empirisme. 3. Berkaitan dengan landasan aksiologisnya, Sumbangsih pemikiran yang diberikan Abd. Rachman Assegaf berkaitan dengan pendidikan hadhari yakni berkaitan dengan aspek paradigmatik, metodologis sampai pada persoalan praktis yang relevan terhadap persoalan-persoalan kontemporer pendidikan Islam dewasa ini. Disinilah ide pendidikan hadhari bisa dijadikan langkah awal dalam pembaharuan pendidikan Islam disamping tetap berpegang teguh pada ajaran tertinggi dalam Islam yakni al-Qur’an dan Hadist. Berkaitan dengan digagasnya ide pendidikan hadhari oleh Abd. Rachman Assegaf, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai sebagai konsekuensi landasan aksiologis (apa guna dan manfaat ilmu bagi umat manusia) antara lain : a. pendidikan Islam yang visioner b. pendidikan Islam yang integratif-interkonektif. c. Pendidikan Islam non-dikotomis. d. Pendidikan Islam yang mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer. 107 4. Relevansi pendidikan hadhari dengan permasalahan pendidikan Islam saat ini adalah bahwa pendidikan Islam selalu bersumber pada ajaran dan nilainilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis. Dalam melihat permasalahan-permasalahan kontemporer dan mencari landasan penyelesaian pendidikan harus selalu berdasarkan pada kedua sumber ajaran Islam tadi dengan tetap memperhatikan substansi permasalahan. Pendidikan hadhari selaras dengan tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk Muslim yang memiliki kepribadian yang sadar akan eksistensi sebagai khalifah Allah dan tanggap terhadap persoalan-persoalan yang ada di sekitarnya. B. Saran-saran 1. Hendaknya dengan hadirnya gagasan pendidikan hadhari mampu membuka cakrawala berfikir dan cara pandang semua kalangan pendidikan untuk tergugah gairahnya dalam rangka memperbaiki dan mencari solusi bersama dalam memecahkan persoalan pendidikan Islam dewasa ini. 2. Hendaknya semua elemen masyarakat termasuk pemerintah ikut serta berperan aktif dalam meningkatkan mutu pendidikan di indonesia. Dengan didukung oleh aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya yang mendukung, maka terwujudnya tatanan pendidikan yang bermutu dan berkualitas menjadi sebuah keniscayaan untuk diwujudkan bersama. 108 C. Penutup Puji syukur kehadirat Illahi Rabbi, berkat rahmat, ridha dan karunia Allah Swt, dan dengan didasari ketulusan hati dan kesungguhan, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penulis sadar bahwa dalam penyusunannya masih jauh dari kesempurnaan, Untuk itu demi kesempurnaan dan perbaikan dalam penelitian ini, kritik konstruktif dan saran yang membangun, sangatlah penulis harapkan. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan yang berupa moril maupun materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Teriring do’a semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pribadi, dan kepada pembaca pada umumnya. Hanya kepada Allah SWT lah penulis memohon limpahan Rahmat, Taufiq, Hidayah serta Inayah-Nya. Amien yaa Robbal Alamiin. Wallahu a’lam bi ash-shawab. 109 110 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Amin, 2006, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan IntegratifInterkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Assegaf, Abd. Rachman, 2011, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: PT. RajaGrafindo Press. _____________________, 2004, Pendidikan Tanpa Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep,Yogyakarta: Tiara Wacana. _____________________, 2007, Desain Riset Sosial-Keagamaan: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Gama Media. Barizi, Ahmad, 2001, Pendidikan Integratif: Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam,Malang: UIN MalikiPress. Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia. Bakker, Anton dan Achmad Charis Zubair, 1990, Metodologi penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius. Bakker, Anton. 1990, Metodologi Penelitian Filsafat,Yogyakarta: Kanisius. Bungin, Burhan. 2011, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Varian Kontemporer ,Jakarta: RajaGrafindo Press. Choir, Tholhatul & Ahwan Fanani (Eds), 2009, Islam Dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Esha, Muhammad In’am, 2010, Menuju Pemikiran Filsafat, Malang: UIN Malang Press. Gazalba, Sidi, 1992, Sistematika Penulisan, Jakarta: PT Bulan Bintang. Hadjar, Ibnu, 1996, Dasar-Dasar Metode Penelitian Kualitatif Dalam Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo. Ihsan, Fuad, 2010, Dasar-Dasar Kependidikan: Komponen MKDK”, Jakarta: PT Rineka Cipta. J. Moleong, Lexi, 2008, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya. Komaruddin, 1984, Kamus Research, Bandung: Angkasa. Lestari. S & Ngatini, 2010, Pendidikan Islam Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mas’ud, Abdurrahman, 2002, Menggagas Format non Dikotomik, Yogyakarta: Gama Media. Muliawan, Jasa Ungguh, 2005, Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nasrudin, Hamam, 2008, Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam (Tinjauan Filosofis atas Pemikiran Abdurrahman Mas’ud), skripsi ini tidak diterbitkan, Semarang: Jurusan Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Nata, Abuddin, 2009, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2007, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Balai Pustaka. Purwanto, Ngalim, 2002, Ilmu Pendidikan: Teoritis dan Praktis, Bandung: PT. Remaja RosdaKarya. Roibin, 2009, Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer, Malang: UIN Malang Press. Roqib, Moh, 2009, Ilmu Pendidikan Islam: Pengembangan Paradigma Pendidikan Integratif, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta. Shihab, M Quraish, 2000, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian AlQur’an, Ciputat: Penerbit Lentera Hati. Sudarsono, 1993, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: PT Rineka Cipta. Sulthon, Muhammad, 2003, Desain Ilmu Dakwah: Kajian Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Umiarso & Haris Fathoni Makmur, 2010, Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme Masyarakat Modern, Yogyakarta: IRCiSod. Zainuddin, 2011, Paradigma Pendidikan Terpadu: Menyiapkan Generasi Ulul Albab, Malang: UIN Malang Press. Zed, mestika. 2004, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. http: ///E :/artikel/313/htm: Empat Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Dikukuhkan. http: ///E :/artikel/400/htm: Kembangkan Pendidikan Berwawasan Global Berbasis Kearifan Lokal, UIN Sunan Kalijaga Lakukan MOU Dengan Universitas Malaya. http: alkhairiyahsby.org/... http: E : Papar. CV.htm