BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kanker Serviks 1. Definisi Kanker

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kanker Serviks
1. Definisi
Kanker serviks adalah penyakit ganas pada serviks uterus yang disebabkan oleh
infeksi Human Papiloma Virus (HPV) grup onkogenik resiko tinggi terutama HPV 16
dan HPV18 serta filogeniknya yang berasal dari metaplasia epitel di daerah
skuamokolumner junction yaitu daerah peralihan dari mukosa vagina dan mukosa kanalis
servikalis (Himpunan Onkologi dan Ginekologi Indonesia, 2013).
Lebih dari 90% kanker serviks adalah tipe epitelial yang terdiri atas jenis
karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma (Himpunan Onkologi dan Ginekologi
Indonesai, 2013). Penyebab utama kanker serviks adalah virus HPV (Human Papilloma
Virus). Lebih dari 90 % kanker serviks jenis skuamosa mengandung DNA virus HPV dan
50 % kanker serviks berhubungan dengan HPV tipe 16. Penyebaran virus ini terutama
melalui hubungan seksual (Prawirohardjo, 2010). Faktor lain yang berhubungan dengan
kanker serviks adalah aktivitas seksual terlalu muda (kurang dari 16 tahun), jumlah
pasangan seksual yang tinggi (lebih dari 4 orang), dan adanya riwayat infeksi berpapil
(Rasjidi, 2009). Karena hubungannya yang erat dengan infeksi Human Papiloma Virus,
wanita yang menderita penurunan sistem imun atau menggunakan obat untuk menekan
sistem imunnya sangat berisiko untuk terjadinya kanker serviks. Selain faktor itu, ada
faktor yang lain yaitu bahan karsinogenik spesifik dari tembakau yang dijumpai dalam
lendir serviks pada wanita perokok. Bahan ini dapat merusak DNA sel epitel skuamosa
dan bersama infeksi Human Papiloma Virus dapat mencetuskan transformasi keganasan
(Rasjidi, 2009).
2. Epidemiologi
Untuk wilayah ASEAN, insidensi kanker serviks di Singapore sebesar 25,0 pada
ras Cina; 17,8 pada ras Melayu; dan Thailand sebesar 23,7 per 100.000 penduduk.
Insiden dan angka kematian kanker serviks menurun selama beberapa dekade terakhir di
AS. Hal ini karena skrining Pap menjadi lebih populer dan lesi serviks pre-invasif lebih
sering dideteksi daripada kanker invasif. Diperkirakan terdapat 3.700 kematian akibat
kanker serviks pada 2006 (Rasjidi, 2009).
Di Indonesia diperkirakan ditemukan 40 ribu kasus baru kanker mulut rahim
setiap tahunnya. Menurut data kanker berbasis patologi di 13 pusat laboratorium patologi,
kanker serviks merupakan penyakit kanker yang memiliki jumlah penderita terbanyak di
Indonesia, yaitu lebih kurang 36%. Dari data 17 rumah sakit di Jakarta 1977, kanker
serviks menduduki urutan pertama, yaitu 432 kasus di antara 918 kanker pada
perempuan.
Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, frekuensi kanker serviks sebesar
76,2% di antara kanker ginekologi. Terbanyak pasien datang pada stadium lanjut, yaitu
stadium IIB-IVB, sebanyak 66,4%. Kasus dengan stadium IIIB, yaitu stadium dengan
gangguan fungsi ginjal, sebanyak 37,3% atau lebih dari sepertiga kasus (Rasjidi, 2009).
3. Faktor Risiko
Menurut Rasjidi, 2009 faktor yang mempengaruhi kanker serviks yaitu :
a. Usia lebih dari 35 tahun. Semakin tua usia seseorang maka semakin meningkat resiko
terjadinya kanker serviks. Meningkatnya risiko kanker serviks merupakan gabungan
dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen
serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh akibat usia.
b. Usia pertama kali menikah. Menikah pada usia kurang dari 20 tahun dianggap terlalu
muda untuk melakukan hubungan seksual dan beresiko terkena kanker serviks 10
sampai 12 kali lebih besar daripada yang menikah lebih dari 20 tahun. Hubungan seks
idealnya dilakukan oleh seorang wanita matang. Ukuran kematangan bukan hanya
dilihat dari sudah menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada sel-sel
mukosa yang terdapat selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel
mukosa baru matang pada wanita berusia 20 tahun ke atas. Pada usia muda sel sel
mukosa pada serviks belum matang artinya masih rentan terhadap rangsangan dan
sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker.
c. Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi dan sering berganti pasangan. Berganti
pasangan memungkinkan tertularnya penyakit kelamin salah satunya Human
Papiloma Virus. Virus ini akan mengubah sel-sel di permukaan mukosa sehingga
tidak terkendali dan menjadi kanker.
d. Penggunaan antiseptik. Kebiasaan pencucian vagina dengan menggunakan obatobatan antiseptik maupun deodoran akan mengakibatkan iritasi di serviks yang
merangsang terjadinya kanker.
e. Wanita yang merokok. Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena
kanker serviks dibandingkan wanita yang tidak merokok. Penelitian menunjukkan
lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan akan menurunkan daya
tahan serviks serta mempermudah semua selaput lendir sel tubuh bereaksi atau
menjadi terangsang.
f. Riwayat penyakit kelamin
g. Paritas atau jumlah kelahiran. Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak
dan jarak persalinan yang pendek akan berdampak pada seringnya terjadinya
perlukaan di organ reproduksinya dan memudahkan timbulnya Human Papiloma
Virus.
h. Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama. Penggunaan kontrasepsi oral
yang dipakai jangka lama lebih dari 4 tahun meningkatkan resiko 1,5-2,5 kali.
Kontrasepsi oral dapat meningkatkan risiko kanker serviks karena serviks merupakan
salah satu sasaran yang disukai oleh hormon steroid perempuan.
4. Gejala dan Tanda
Kecepatan pertumbuhan kanker serviks tidak sama dari satu kasus dengan kasus
lainnya. Walaupun telah terjadi invasi sel tumor ke dalam stroma, kanker serviks masih
mungkin tidak menimbulkan gejala (Prawiroharjo, 2010).
Pada stadium awal belum timbul gejala klinis yang spesifik. Sebagian mengeluh
keputihan berulang, berbau dan bercampur darah. Selain itu, perdarahan sesudah
bersenggama yang kemudian berlanjut dalam bentuk metroragi, menoragi, dan
menometroragi (Himpunan Onkologi dan Ginekologi Indonesia, 2013). Tanda yang lebih
klasik adalah perdarahan bercak yang berulang atau perdarahan bercak setelah bersetubuh
atau membersihkan vagina. Perdarahan menjadi semakin banyak lebih sering dan
berlangsung lebih lama juga dapat dijumpai sekret vagina yang berbau terutama dengan
masa nekrosis lanjut. Nekrosis terjadi karena pertumbuhan tumor yang cepat tidak
diimbangi pertumbuhan pembuluh darah (angiogenesis) agar mendapatkan aliran darah
yang cukup. Nekrosis ini menimbulkan bau yang tidak sedap dan reaksi peradangan yang
nonspesifik (Prawirohardjo, 2010).
Pada stadium lanjut sel kanker invasif ke parametrium dan jaringan di rongga
pelvis. Hal ini dapat menimbulkan gejala perdarahan spontan dan nyeri panggul bahkan
menjalar ke pinggul dan paha. Beberapa penderita mengeluh nyeri berkemih, kencing
berdarah dan perdarahan dari dubur. Metastasis ke kelenjar getah bening inguinal dapat
menimbulkan edema tungkai bawah. Invasi dan metastasis dapat menimbulkan
penyumbatan ureter distal yang mengakibatkan gejala uremia (HOGI, 2013).
5. Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan klinik dan histopatologi
spesimen biopsi serviks. Anamnesis berdasarkan gejala di atas. Pemeriksaan klinik
meliputi inspeksi, palpasi, biopsi, sistoskopi, rektoskopi, Intavenous Pyelografi, foto
thoraks, Ultrasonografi (USG), CT/PET scan dan MRI. Kecurigaan metastasis ke
kandung kernih dan rektum dilakukan pemeriksaan sistoskopi dan rectoskopi. Bila
didapatkan pembesaran kelenjar getah bening inguinal atau supraklavikula dapat
dilakukan FNAB. Histopatologi didapatkan dari biopsi atau temuan saat operasi yang
sekaligus merupakan surgical staging (HOGI, 2013).
\
6. Stadium
Penetapan stadium dilakukan dengan pemeriksaan klinik. Pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan radiologis dan endoskopi dilakukan untuk menetapkan stadium
klinik. Beberapa tindakan bedah termasuk pemeriksaan klinik meliputi konisasi, biopsi
dan aspirasi (HOGI, 2013).
Apabila dilakukan pembedahan, maka penemuan dari hasil pembedahan tersebut
tidak akan merubah stadium, artinya stadium yang digunakan adalah stadium klinik,
sedangkan penemuan saat pembedahan menjadi catatan khusus untuk menentukan
prognosis. Pada kasus residif, stadium yang ditetapkan adalah stadium pada saat
penemuan pertama (sebelum pengobatan).
Stadium Kanker Serviks berdasarkan kriteria FIGO 2009
a. Stadium 0: karsinoma insitu, karsinoma intraepithelial
b. Stadium I: karsinoma masih terbatas di serviks
c. Stadium I A: invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara mikroskopik,
kedalamam invasi kurang dari 5 mm dan penyebaran horizontal maksimal kurang dari
7 mm
d. Stadium I A1: invasi ke stroma dengan kedalaman invasi kurang dari 3 mm
e. Stadium I A2: invasi ke stroma dengan kedalaman invasi 3-5 mm
f. Stadium I B: lesi lokal lanjut namun terbatas pada serviks
g. Stadium I B1 : batas lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm
h. Stadium I B2 : batas lesi secara klinis lebih dari 4 cm
i. Stadium II: lesi keluar melewati uterus namun belum mencapai dinding pelvisatau
mencapai 2/3 proximal vagina
j. Stadium II A: telah melibatkan vagina tetapi belum melibatkan parametrium
k. Stadium II A1: lesi yang tampak kurang atau sama dengan 4 cm
l. Stadium II A2: lesi yang tampak lebih dari 4 cm
m. Stadium II B: infiltrasi ke parametrium tetapi belum mencapai dinding panggul
n. Stadium III: tumor menyebar sampai dinding panggul dan atau mencapai 1/3 bawah
vagina dan atau menyebabkan hidronefrosis/ kerusakan ginjal
o. Stadium III A: tumor mencapai 1/3 distal dinding vagina namun belum mencapai
dinding panggul
p. Stadium III B: penyebaran sampai dinding panggul dan atau terdapat hidronefrosis
dan kerusakan ginjal
q. Stadium IV A: penyebaran ke organ sekitar
r. Stadium IV B: penyebaran jauh
7. Terapi
a. Stadium 0 / Karsinoma insitu
Pada kanker serviks stadium 0 dilakukan konisasi (Cold and hot knife).
Apabila margin free, maka konisasi sudah adekuat pada yang masih memerlukan
fertilitas. Apabila tidak margin free maka dilakukan re-konisasi. Apabila fertilitas
tidak diperlukan, maka dilakukan histerektomi total dan jika hasil konisasi ternyata
invasif, terapi sesuai tatalaksana kanker invasif.
b. Stadium I A1 (Lymphovascular Space Invasion negatif)
Pada kanker serviks sadium I A1 dapat dilakukan konisasi (cold knife) apabila
free margin (terapi adekuat) dan apabila fertilitas dipertahankan (tingkat evidens B).
Bila tidak free margin maka dilakukan rekonisasi atau simple histerektomi.
Dilakukan Histerektomi total apabila fertilitas tidak dipertahankan.
c. Stadium IA-1 (Lymphovascular Space Invasion positif)
Pada kanker serviks stadiumini dilakukan tindakan operatif berupa
trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila fertilitas dipertahankan.
Apabila operasi tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi medik maka pada
stadium ini dapat dilakukan radiasi.
d. Stadium IA-2, Ib-1, IIA-1
1) Operatif
Pada
stadium ini
dapat
dilakukan
histerektomi
radikal
dengan
limfadenektomi pelvik (Tingkat evidens 1 / Rekomendasi A). Radioterapi (RT) /
kemoradiasi ajuvan diberikan jika terdapat faktor risiko yaitu metastasis kelenjar
getah bening, metastasis parametrium, batas sayatan tidak bebas tumor, deep
stromal invasion, Lymphovascular Space Invasion, dan faktor risiko lainnya.
Apabila hanya metastasis kelenjar getah bening saja, maka radiasi ajuvan hanya
EBRT. Bila tepi sayatan tidak bebas tumor/closed margin, pasca radiasi eksterna
dilanjutkan dengan brakiterapi ovoid 2x10 Gy.
2) Non operatif
Tindakan ini berupa radiasi (EBRT dan brakiterapi). Kemoradiasi (radiasi
: EBRT plus kemoterapi konkuren dan brakiterapi).
e. Stadium IB2 dan IIA2
1) Neoajuvan kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik
limfadenektomi. IB2 dan IIA2 yang direncanakan operasi tanpa kontraindikasi
dilakukan kemoterapi neoajuvan terlebih dahulu dan dilakukan nilai ulang pasca
kemoterapi neoajuvan untuk operabilitasnya.
2) Operatif. Pada tindakan operatif dapat dilakukan histerektomi radikal dan pelvik
limfadenektomi. Pemberian radioterapi (RT) / kemoradiasi ajuvan jika terdapat
faktor resiko yaitu metastasis kelenjar getah bening, metastasis parametrium,
batas sayatan, tidak bebas tumor, deep stromal invasion, Lymphovascular Space
Invasion dan faktor risiko lainnya. Pasien yang menolak operasi dpat dilakukan
radiasi / kemoradiasi definitif yaitu radiasi atau kemoradiasi dengan cisplatin
mingguan atau kemoradiasi cisplatin-ifosfamide 3 mingguan.
f. Stadium IIB
1) Neoajuvan kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik
limfadenektomi.
2) Radiasi atau kemoradiasi
g. Stadium IIIA-IIIB
Kemoradiasi, Kemoterapi dengan atau tanpa radiasi. Bila terdapat obstruksi
ureter dilakukan pemasangan DJ stent/nefrostomi dan hemodialisa.
h. Stadium IV A
Radiasi dan atau kemoradiasi mingguan / 3 mingguan dengan radiasi 4000
cGY. Bila didapatkan respon maka dilakukan radiasi eksterna dilanjutkan sampai 50
Gy ditambah BT 2x850cGy / 3x700 cGy. Bila tidak didapatkan respon maka terapi
dihentikan.Bila terdapat obstruksi ureter dilakukan pemasangan DJ stent / nefrostomi
dan hemodialisa.
i. Stadium IV B
Terapi paliatif (radiasi pelvik / kemoterapi dapat dipertimbangkan)
1) Tumorprimer dilakukan evaluasi keluhan dan gejala.
2) Metastasis jauh, terapi nyeri (analgetik step ladder, neural block), nutrisi,
spiritual, pendidikan keluarga. Apabila terdapat obstruksi ureter dapat dilakukan
pemasangan DJ stent / nefrostomi dan hemodialisa. Apabila terdapat efusi pleura
dapat dilakukan punksi atau pemasangan WSD. Bila terdapat ascites dilakukan
punksi ascites. Pasien dengan stadium lebih dari IV dan usia muda kurang dari 40
tahun sebaiknya dilakukan transposisi ovarium.
Stress dan Stressor
1. Stress
Stress merupakan istilah yang berkembang sesuai perkembangan psikologi. Eric
Linderman–Gerald Caplan memberi batasan, stress is state involving cognition and
emotion. Selanjutnya muncul konsep stress dari Dhabhar – McEwen bahwa stresor
(sumber stress) akan direspon oleh otak berupa stress–perceptiondan kemudian direspon
oleh sistem lain muncul stress response yaitu berupa modulasi imunitas. Istilah modulasi
ini dimaksudkan untuk menggambarkan perubahan respon imun meningkat atau menurun
(Suhartono, 2011).
Istilah stress dapat dipahami melalui 3 pendekatan yaitu secara pendekatan
engineering, psikologis, dan medikofisiologis. Diantara para peneliti muncul banyak
perbedaan pandangan yang masing-masing memberikan definisi stress menurut
orientasinya sendiri. Lindeman dan Kaplan menerangkan stress sebagai respon
psikologis. Lazarus menyatakan pemahaman istilah stress diartikan sebagai penilaian
kognitif seseorang terhadap ketidakmampuan dirinya menghadapi berbagai peristiwa atau
stressor. Hans Selye (1946), pionir penilaian stress yang bernuansa respon biologis
menyatakan bahwa stress merupakan reaksi tubuh terhadap stressor. Istilah stress dalam
pengertian biologis pertama kali digunakan oleh Hans Selye pada tahun 1946. Pada tahun
1914 Cannon menggunakan istilah tersebut dalam pengertian fisiologis dan psikologis
pada laporan penelitian tentang psikoendokrin (Marx, 2008).
Beberapa studi banyak membuktikan bahwa stressor berkaitan dengan disregulasi
sistem imun. Khususnya penurunan proliferasi limfosit dan pengurangan Natural Killer
(NK) cell. Natural Killer cell memiliki peranan yang penting pada fungsi imun, termasuk
mekanisme pertahanan pada infeksi virus dan sel tumor. Natural Killer cell berkurang
pada keadaan stress melalui mekanisme neuroendokrine. Sitokin termasuk interferon ɣ
dan interleukin 2 akan menghambat NK-cell dan Limfosit Activated Killer (LAK). Stress
memodulasi penambahan interferon ɣ dan interleukin 2 pade leukosit darah perifer.
Penambahan dari interferon ɣ dan inteleukin 2 menyebabkan NK-cell, makrofag, sitokin
menurun (IL 12, Tumor Necrosing Factor/ TNF, Interferon/ IFN ), IL 10, Tumor
Growth Factor /TGF  meningkat. Mekanisme ini menyebabkan supresi imun sehingga
menyebabkan kemungkinan metastasis berkembang dan resiko terjadi infeksi meningkat
(Suhartono, 2011).
Menurut Carr dan Umberson (2013), stress adalah kondisi di mana tuntutan yang
harus dipenuhi melebihi kemampuan yang ada pada seseorang. Orang yang mendapat
stressor kemungkinan akan mengakibatkan stress pada yang bersangkutan. Marx, 2008
melihat istilah stress dari 3 konsep yaitu :
a. Konsep engineering
Stress merupakan karakteristik suatu lingkungan yang merusak atau
mengancam sehingga individu yang hidup dalam lingkungan tersebut akan sakit.
Istilah stress respon dalam konsep engineering ini yang dimaksud adalah stress yang
timbul sebagai jawaban terhadap lingkungan yang merusak atau mengancam.
b. Konsep psikologis
Stress merupakan kondisi psikologis sebagai hasil interaksi antara individu
dan lingkungan hidupnya, dengan melibatkan proses kognitif dan emosional. Konsep
ini diilustrasikan sebagai kondisi psikologis seseorang mempunyai tautan yang
melebihi kemampuannya. Berdasarkan konsep ini stress merupakan reaksi seseorang
terhadap stressor.
c. Konsep medikofisiologis
Stress merupakan respon biologis individu terhadap stressor, yang dapat diukur
secara obyektif dan tepat. Konsep stress inilah yang dimaksud dalam paradigma
psikoneuroimunologi.
Kehidupan penuh dengan stress yaitu stress akut (short term) dan stress kronis
(long term) (Soetrisno, 2009). Stress akut adalah reaksi yang segera terhadap ancaman
yang diketahui sebagai fight or fight. Ancaman (stressor) terhadap dalam berbagai situasi
misalnya kegaduhan dan bising.
Stressor psikologis meliputi masalah hubungan
keluarga, kesepian dan sebagainya dan biasanya disebut stress kronik.
Menurut HansSelye (1946) ada 3 tahap reaksi biologis tubuh terhadap stress.
Ketiganya disebut General Adaptation Syndrome. Tahapan tersebut meliputi:
1) Alarm reaction (reaksi peringatan), merupakan reaksi awal tubuh saat ada stressor.
Pada tahap ini terjadi berbagai manifestasi biologis untuk melawan atau menghindar.
Tahap ini ditandai oleh adanya penurunan daya tahan tubuh terhadap stressor,
dimana sistem saraf otonom menstimulasi medula adrenal untuk mensekresi
norepinefrin dan epinefrin. Kelenjar pituitari mensekresi Adreno Corticotropin
Hormon / ACTH, yang menstimulasi korteks adrenal untuk melepaskan
glukokortikoid.
2) Resistence stage (resistensi), pada tahap ini terjadi keseimbangan kembali saat
menghadapi stressor yang terus menerus, tubuh mengalami adaptasi atau
homeostatic state. Pada tahap ini kelenjar pituitari masih terus mensekresi ACTH,
yang menstimulasi korteks adrenal untuk mensekresi glukokortikoid yang penting
untuk resistensi terhadap stress. Kelenjar adrenal yang membesar menunjukkan
aktivasi yang meningkat. Pada tahap ini, resistensi terhadap stressor spesifik
meningkat sehingga respon imun kembali seimbang. Setelah beberapa hari, kelenjar
adrenal kembali mengecil dan mulai memperbaharui cadangan steroid. Jika stressor
spesifik terus berlanjut, kemampuan tubuh untuk menghadapi stress lain menjadi
lemah dan kemudian memasuki tahap ketiga, yaitu exhaustion state.
3) Exhaustion state (kelelahan), merupakan kerusakan sebagian tubuh. Tubuh yang
terpapar stressor berkepanjangan akan terjadi penurunan daya tahan tubuh terhadap
penyakit. Respon yang terjadi bisa berupa perdarahan ulkus lambung dan sebagainya.
2. Ancaman (stressor)
Paparan stressor yang menyebabkan stress menyebabkan otak akan memberikan
dua macam bentuk respons, yaitu respon cepat dan lambat. Respon cepat dari otak berupa
pelepasan corticotropin-releasing hormone (CRH) yang merupakan motor sistem
simpatis melalui CRH -1 reseptor (CRHR-1) yang akan mengakibatkan respon fightflight. CRHR -1 akan merangsang HPA aksis yang nantinya akan menghasilkan
mineralokortikoid. Sedangkan pada respon lambat ini dapat terjadi mekanisme coping
dan adaptasi melalui perangsangan CRHR-2 yang nantinya akan merangsang pelepasan
glucocorticoid (Suhartono, 2011).
Faktor-faktor yang menyebabkan stress berasal dari rangsangan fisik, psikologis,
atau dapat keduanya. Stress fisik disebabkan oleh exposure stressor yang berbahaya bagi
jaringantubuh misalnya terpapar pada keadaan dingin atau panas, penurunan konsentrasi
oksigen, infeksi, luka / injuries, latihan fisik yang berat dan lama, dan lain-lain.
Sedangkan pada stress psikologis misalnya pada perubahan kehidupan, hubungan sosial,
perasaan marah, takut, depresi dll (Marx, 2008).
Respon umum / General Adaptation Syndrome dikendalikan oleh hipotalamus,
hipotalamus menerima masukan mengenai stressor fisik dan psikologis dari hampir
semua daerah di otak dan dari banyak reseptor di seluruh tubuh. Sebagai respon
hipotalamus secara langsung mengaktifkan sistem saraf simpatis
yang akan
mengeluarkan Corticotropin Releasing Hormon (CRH) untuk merangsang sekresi
Adrenocorticotropin Releasing Hormon (ACTH) dan kortisol, dan memicu pengeluaran
vasopresin. Stimulasi simpatis pada gilirannya menyebabkan sekresi epinephrine dimana
keduanya memiliki efek sekresi terhadap insulin dan glucagon oleh pancreas. Selain itu
vasokonstriksi arteriole di ginjal oleh katekolamin secara tidak langsung memicu sekresi
renin dengan menurunkan aliran darah (konsumsi oksigen menurun) ke ginjal. Renin
kemudian mengaktifkan mekanisme renin-angiotensin-aldosteron. Dengan cara ini
selama stress, hipotalamus mengintegrasikan berbagai respon baik dari sistem saraf
simpatis maupun sistem endokrin (Jarcho, 2013).
C. Depresi
1. Gambaran Umum Depresi
Gangguan Depresi Mayor (GDM) secara mendasar merupakan gangguan suasana
perasaan (mood) atau afek yang depresi dengan atau tanpa disertai anxietas. Perubahan
suasana perasaan ini biasanya disertai dengan suatu perubahan pada keseluruhan tingkat
aktivitas. Sebagian besar dari gangguan ini cenderung berulang dan timbulnya episode
tersendiri sering berkaitan dengan peristiwa atau stressor pendidikan yang bermakna
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, 2013).
Episode depresi yang khas terdiri dari tiga variasi yaitu ringan, sedang, dan
berat.Individu biasanya menderita suasana perasaan (mood) depresi, kehilangan minat
dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah dan berkurangnya aktivitas. Gejala lazim lainnya adalah konsentrasi dan perhatian
menurun, harga diri, dan kepercayaan diri berkurang, gagasan tentang perasaan bersalah
dan tidak berguna, pandangan masa depan suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang.
Gangguan Depresi Mayor merupakan kondisi klasik ditandai oleh episode jelas
selama sedikitnya dua minggu (umumnya berlangsung lebih lama) termasuk perubahan
afek, kognisi, fungsi neurovegetatif, dan ada remisi interepisode yang jelas (PDSKJI
2013).
Depresi merupakan suatu penyakit yang mempengaruhi tubuh, pikiran, dan
perasaan serta mempengaruhi pola makan, tidur, dan mood individu (Gregor, 2009).
Kejadian depresi pada penyakit terminal dan kronik mencapai 20% hingga 50% dan dari
angka tersebut dialami oleh pasien kanker (50%), HIV (41%), diabetes (9%-27%), dan
penyakit stroke (20%-30%) (Valcarolis dan Halter, 2010).
2. Beck Deprresion Inventory (BDI)
Beck Depression Inventory dibuat pada tahun 1961 oleh Dr. Aaron T. Beck dan
dikembangkan untuk menilai manifestasi depresi pada tingkah laku remaja dan orang
dewasa.
Dirancang
untuk
menstandarisasi
penilaian
keparahan
depresi
serta
menggambarkan secara sederhana gejala dibuat selama perjalanan psikoanalisis atau
psikoterapi. Sikap dan gejala depresi tampak spesifik pada kelompok pasien ini,
kemudian BDI digambarkan oleh pernyataan-pernyataan, dan penilaian numerik pada
masing-masing pernyataan. BDI merupakan instrumen terbanyak untuk menilai
keparahan depresi. BDI yang asli terdiri dari 21 pernyataan dalam bentuk multiple choice,
21 pernyataan merupan manifestasi 21 tingkah laku masing-masing area diwakili oleh
empat atau lima pernyataan yang menggambarkan keparahan gejala depresi dari yang
ringan sampai yang berat. Subyek diminta untuk mengidentifikasi pernyataan yang paling
baik yang menggambarkan perasaannya saat ini. Item-item kemudian ditentukan skornya
dan dijumlahkan untuk memperoleh total skor. Total skor ini akan menggambarkan
tingkat keparahan depresi. Penelitian Hopko, dkk, (2009) meneliti terapi tingkah laku
pada 60 orang pasien kanker, ditemukan penurunan skor BDI rata-rata dari 38 (praterapi)
menjadi 16 (pascaterapi) dengan skor BDI rata-rata selama 3 bulan follow up yaitu 11 (p
< 0,01). BDI versi Yunani yang dipakai pada pasien-pasien kanker stadium lanjut yang
dirawat diunit perawatan paliatif dapat dipercaya dan cocok untuk penggunaan klinis dan
penelitian dengan koefisien korelasi Pearson = 0,863 (p < 0,005).
3. Etiologi Gangguan Depresi Mayor
Tidak ada penyebab utama tunggal pada gangguan depresi. Paling tidak ada tiga
model penjelasan etiologi depresi (PDSKJI, 2013).
a. Model biopsikososial (the biopsichosocial model)
Penyebab depresi terjadi interkoneksi dan interdependent dari faktor biologis,
psikologis, dan sosial. Model ini dapat efektif memprediksi terjadinya keparahan dan
kronisitas depresi dan memberi informasi subtipe berdasar biopsikososial.
b. Teori dari sistem (teori of system)
Terjadi karena kerentanan atau predisposisi untuk terjadi ketidakseimbangan antara
aktivasi dan inhibisi kepada beberapa fungsi kognitif dan emosi dan antara beberapa
kelompok neuron tertentu.
c. Model diathesis stress (the diathesis stress model)
Menjelaskan tentang penyebab potensial depresi dan derajat kerentanan individu
untuk bereaksi terhadap penyebaran tersebut. Model ini menjelaskan bahwa individu
mempunyai kerentanan atau predisposisi untuk menjadi depresi. Untuk menjadi
gangguan depresi seseorang perlu mempunyai kecenderungan bawaan untuk menjadi
depresi dan harus bertindak dengan kejadian kehidupan yang stress baik yang bersifat
sosial, psikologis, atau biologis.
D. Psikoneuroimunologi Depresi dan Kanker
Belum ada data yang konsisten menjelaskan hubungan antara gangguan mood, NK-cell,
sitokin, perkembangan kanker dan kelangsungan hidup. Peningkatan kadar interleukin-6
berhubungan dengan diagnosis depresi pada pasien kanker. Hal ini memungkinkan
pengukuran kadar interleukin 6 dalam plasma sebagai biomarker depresi pada pasien kanker.
Bukti menunjukkan bahwa interleukin 6 dan sitokin proinflamasi lain berperan dalam
patofisiologi gangguan mood, perilaku, serta gangguan neuroendokrin (Massimo, 2007).
Beberapa penelitian sudah banyak membuktikan bahwa stressor berkaitan dengan
disregulasi dari sistem imun. Khususnya penurunan proliferasi limfosit dan pengurangan
toksisitas Natural Killer cell(NK-cell). NK cell mempunyai peranan yang penting pada fungsi
imun, termasuk mekanisme pertahanan pada infeksi virus dan sel tumor. Toksisitas NK cell
berkurang pada keadaan stress melalui mekanisme neuroendokrin. Stress memodulasi
pembentukan interferonɣ (IFN-ɣ) dan interleukin-2 (IL-2) pada leukosit darah perifer. IFN-ɣ
dan IL-2 akan menghambat NK cell dan Limphocyte Activated Killer (LAK). Jika pasien
kanker dalam keadaan stress, maka akan mempercepat perkembangan sel kankernya. Hal ini
mendukung pendapat bahwa pemberian terapi untuk mengatasi stress akan menghambat
perkembangan sel kanker dan memperbaiki regulasi sistem imun (Massimo, 2007).
Bahan-bahan karsinogen menginduksi tumor dengan merusak DNA seluler dan
memproduksi sel yang abnormal. Sistem imun melawan proses ini yaitu melalui enzim yang
merusak karsinogen kimia, memperbaiki DNA seluler yang rusak dan menghancurkan
selyang abnormal. Distress emosional akan menurunkan kemampuan dalam memperbaiki
DNA seluler yang rusak. Pada pasien depresi, kemampuan tersebut akan semakin menurun.
Distress emosional mempengaruhi apoptosis yaitu proses perubahan program secara genetik
di dalam struktur sel yang akan menyebabkan kegagalan proliferasi dan diferensiasi yang
pada akhirnya terjadi kematian sel. Inhibisi apoptosis akan menyebabkan supresi pada sistem
imun (Massimo, 2007).
E. Kortisol
Molekul CRH berperan dalam perilaku, gangguan otonom dan endokrin. Pada hewan
percobaan dan demikian juga pada manusia, akibat pemberian CRH dengan kadar tinggi
melalui suntikan ataupun yang diakibatkan oleh stress menyebabkan penurunan fungsi imun
seluler (Suhartono, 2011).
Efek kortikosteroid diperantarai melalui reseptor sitosolik yaitu reseptor kortikosteroid
yang terdapat di sitoplasma. Setelah reseptor mengikat kortikosteroid maka kompleks
tersebut akan masuk ke nukleus. Limfosit yang teraktivasi dan sel limfoid immatur
mengekspresikan reseptor kortikosteroid lebih banyak daripada sel limfosit inaktif atau yang
lebih mature. Interaksi reseptor kortikosteroid membentuk kompleks yang menghambat
transkripsi dan aktivasi gen spesifik seperti yang mengkode IL-1. Peningkatan kortikosteroid
sistemik dapat menjelaskan tahap akhir efektor pada aksis Hypotalamic Pituitary Adrenal
Axis (HPA) dan level fisiologis kortikosteroid berperan penting pada pencegahan inflamasi
(Bakheet, 2013). Selama stress akibat stressor psikologis dan juga stressor fisik korteks
adrenal diaktifkan oleh hormon kortikotropin adrenal. Pengaktifan tersebut meningkatkan
kerja korteks adrenal mensekresi hormon glukokortikoid (steroid) terutama kortisol (Jarcho,
2013).
Stress yang akut akan menaikkan kadar kortisol secara akut dan menghambat sistem
imun sedangkan stressor psikologis akan menaikkan kadar kortisol secara bertahap dan
memacu sistem imun (Soetrisno, 2009). Kortisol bersifat bifasik artinya efek kadar kortisol
pada stress akut akan menurunkan fungsi reseptor glukokortikoid yang berlainan dan efek
kadar kortisol pada stressor psikologis akan meningkatkan fungsi reseptor glukokortikoid
pada stress akut mempunyai kadar kortisol yang lebih tinggi daripada kadar kortisol pada
stress psikologis yang kronis (Jarcho, 2013).
F. Nyeri pada Kanker
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan
sebagai sensor yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan, yang menyertai kerusakan jaringan. Survei dari Memorial Sloan-Kettering
Cancer Center menunjukkan bahwa nyeri pada penderita kanker biasanya merupakan akibat
langsung dari tumor (75-80% kasus) dan sisanya disebabkan baik oleh karena pengobatan
antikanker (15-19)%) maupun nyeri yang tidak berhubungan dengan kankernya atau dengan
pengobatannya (3-5%). Penderita dengan nyeri kanker bisa mengalami nyeri akut,
intermiten, atau kronik pada berbagai stadium penyakitnya. Terbanyak adalah nyeri yang
berhubungan dengan kanker bersifat kronik.
Tiga faktor utama yang berperan pada patogenesis nyeri pada penderita kanker ialah
mekanisme nosiseptif, mekanisme neuropati, dan proses psikologis. Istilah nyeri idiopatik
pada umumnya digunakan bila keluhan nyeri tidak dapat diterangkan secara adekuat dengan
proses patologis, diperkirakan disebabkan oleh proses organik tersembunyi atau yang lebih
jarang lagi oleh proses psikologis. Nyeri nosiseptif didefinisikan sebagai hasil dari aktivasi
nosiseptif pada struktur somatik atau visceral. Biasanya berhubungan erat dengan luasnya
kerusakan jaringan dan lokasi. Nyeri somatik nosiseptif sering dilukiskan sebagai nyeri yang
tajam, sakit berdenyut atau seperti ditekan, sedang nyeri visceral nosiseptif sulit dilokalisir
dan bisa terasa perih atau kram (Schiff,2003).
Nyeri neuropati adalah akibat dari fungsi yang abnormal dari sistem somatosensor
sentral atau perifer. Diagnosa berdasarkan penemuan lesi neurologi dan kelainan sensoris
seperti disestesia atau hiperalgesia. Persepsi subyektif seringkali digambarkan sebagai nyeri
terbakar atau menusuk. Lesi nervus perifer oleh karena tumor, pembedahan atau kemoterapi
merupakan tipe yang paling sering dari nyeri neuropati pada penderita kanker (Schiff, 2003).
G. Intervensi Psikoterapi pada Pasien Kanker
American Cancer Society
telah mengidentifikasi empat faktor yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien dengan kanker dan keluarganya, yaitu faktor sosial,
psikologis, fisik, dan spiritual. Diagnosis dan pengobatan kanker dapat mengakibatkan
gangguan kualitas hidup termasuk fisik, psikologi dan kelangsungan sosial. Aspek
psikososial meliputi perubahan pola hidup, ketakutan,serta ketidaknyamanan psikososial.
Ketidaknyamanan psikososial termasuk kecemasan, kemarahan, perasaan bersalah, dan
depresi. Hal-hal tersebut dapat menetap dan berubah seiring waktu tergantung dari tingkat
keparahan penyakit (Akechi, 2013).
Hanya sedikit penelitian mengenai kualitas hidup pada pasien kanker. Hal ini
mengakibatkan depresi pada pasien-pasien kanker masih sering tidak terdiagnosis dan tidak
mendapat penanganan yang serius, karena adanya anggapan bahwa depresi merupakan suatu
keadaan yang normal, yang merupakan suatu reaksi universal terhadap penyakit-penyakit
serius dan sebagian reaksi tersebut timbul dalam bentuk tanda-tanda neurovegetatif
(kehilangan berat badan atau gangguan tidur) .
Pasien dengan kanker lebih sering mengalami gejala psikologis termasuk depresi dan
kecemasan dibandingkan dengan populasi umum. Pasien dengan stadium lanjut, penyakit
yang tidak kunjung sembuh, riwayat gangguan mood, atau dengan regimen pengobatan yang
menyebabkan gejala depresi mempunyai resiko yang sangat tinggi untuk terjadinya depresi
(Akechi, 2013).
Psikoterapi merupakan bentuk pengobatan yang direkomendasikan pertama kali untuk
depresi. Selama psikoterapi, seseorang yang menderita depresi berbicara pada ahli
psikoterapi agar membantu penderita untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu
depresi. Beberapa faktor ini bekerja secara kombinasi dengan faktor herediter dan
ketidakseimbangan kimia di dalam otak yang dapat memicu depresi. Psikoterapi membantu
pasien depresi dengan memahami tingkah laku, emosi, dan ide yang berperan pada keadaan
depresinya. Dengan memahami dan mengidentifikasi masalah-masalah atau peristiwa dalam
hidup yang berperan di dalam depresi penderita dan membantu penderita memahami aspekaspek dari masalah ini sehingga mereka dapat menyelesaikan dan memperbaikinya (Holland
dan Aichi, 2010).
H. Psikoterapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Cognitif Behavioral Therapy (CBT) adalah suatu psikoterapi yang didasarkan atas
kognisi, asumsi, kepercayaan dan perilaku dengan tujuan mempengaruhi emosi yang
terganggu. Dimana terapi ini menggunakan tehnik pengkondisian untuk mempelajari
perilaku baru, dimana stimulus yang menyebabkan kecemasan digantikan dengan yang
menyenangkan (Young, 2005). Harapannya dengan penerapan metode psikososial ini, stress
yang ada bisa berkurang sehingga diharapkan five year survival rate meningkat
Selama lebih dari 50 tahun, Cognitif Behavioral Terapi (CBT) telah menjadi pola
utama terapi
psikososial
yang efektif untuk beragam masalah emosional
dan
perilaku.Pendekatan terapi behavioral dikembangkan pertama kali pada tahun 1950 saat
prinsip berdasarkan penelitian dari perilaku diterapkan untuk memodifikasi perilaku
maladaptif manusia, seperti Wolpe, tahun 1958 dan Eysenck tahun 1966. Namun dapat
dikatakan bahwa psikoterapi kognitif telah dimulai oleh Alfred Adler yang tidak setuju
dengan ide Freud bahwa penyebab emosi manusia adalah konflik yang tidak disadari,
berargumen bahwa pikiran adalah faktor yang lebih bermakna (Froggat, 2006).
Cognitif Behavioral Therapy (CBT) adalah bentuk psikoterapi yang menekankan
pentingnya peran pikiran dalam bagaimana kita merasa dan apa yang kita lakukan. Ada
beberapa pendekatan
terhadap CBT, meliputi Rational Emotive Behavioral Therapy,
Rational Behavioral Therapy, Rational living Therapy, Cognitif Therapy dan Dialectic
Behavior Therapy (NACBT, 2008).
Cognitif Behavioral Therapy adalah psikoterapi berdasarkan atas kognisi, asumsi,
kepercayaan dan perilaku, dengan tujuan mempengaruhi emosi yang terganggu (Wikipedia,
2009). Cognitif Behavioral Therapy adalah bentuk terapi psikologis yang mengarah pada
fokus mengubah proses kognitif dan perilaku untuk mengurangi atau menghilangkan
masalah perilaku menggunakan tehnik pengkondisian untuk mempelajari perilaku baru
(Contoh : penggunaan desensitisasi sistematis) dimana stimulus yang menyebabkan
kecemasan digantikan dengan yang menyenangkan (Young, 2008).
1.
Psikopatologi Cognitif Behavioral Therapy (CBT)
Cognitif Behavioral Therapy bukan hanya terdiri dari suatu set tehnik saja. Cognitif
Behavioral Therapy juga mengandung teori komprehensif perilaku manusia.Cognitif
Behavioral Therapy mengandung ‘biopsikososial’ untuk menjelaskan bagaimana manusia
menjadi merasa dan bertindak sebagaimana yang mereka lakukan, merupakan kombinasi
biologis, psikologis dan faktor sosial yang terlibat (Frogatt, 2006). Untuk menggambarkan
peran kognisi adalah dengan model ‘A-B-C-D’ atau model rasional emosi (awalnya
dikembangkan oleh Albert Ellis. Model ABC ini telah diadaptasi secara umum untuk
penggunaan Cognitif Behavioral Therapy. Pada model ini, ’A’adalah activating event (
kejadian yang mencetuskan terbentuknya keyakinan atau kepercayaan yang salah ).
’B’adalah beliefs (keyakinan atau kepercayaan seseorang berdasarkan kejadian yang
mencetuskan). Ellis menjelaskan bahwa bukan kejadian itu sendiri yang menghasilkan
gangguan perasaan, tetapi interpretasi dan keyakinan atau kepercayaan orang tersebut
tentang kejadian itu. ’C’ adalah consequence (konsekuensi emosional dari kejadian
tersebut), dengan kata lain, ini adalah pengalaman perasaan orang tersebut sebagai hasil
interpretasi dan kepercayaan mereka berkenaan dengan kejadian. ’D’ adalah dispute
(penggoyahan terhadap keyakinan yang tidak rasional, tidak realistik, tidak tepat dan tidak
benar kemudian menggantinya dengan keyakinan yang rasional, realistik, tepat dan benar).
2. Indikasi Cognitif Behavioral Therapy (CBT)
Indikasi Cognitif Behavioral Therapy meliputi:
1. Skizofrenia
Cognitif Behavioral Therapy untuk skizofrenia dikembangkan secara luas di inggris. Saat ini
secara total sudah 21 penelitian acak terkontrol tentang Cognitif Behavioral Therapy untuk
pasien skizofrenia atau gangguan dalam lingkup skizofrenia (sebagai contoh : gangguan
waham, gangguan skizoafektif) (CARMHA, 2007).
2. Depresi
Saat ini, Cognitif Behavioral Therapy telah diterapkan secara umum diseluruh dunia, dalam
pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta, terutama di Amerika Serikat, Kanada,
Inggris, Australia dan Eropa Utara. Untuk Cognitif Behavioral Therapy, depresi bisa
dilakukan tanpa kombinasi dengan obat ataupun dengan kombinasi (CARMHA, 2007).
3. Gangguan Bipolar
Cognitif Behavioral Therapy untuk gangguan bipolar dilaporkan pertama kali tahun 1990,
dimana didapatkan bukti bahwa Cognitif Behavioral Therapy dapat mengurangi kejadian
kekambuhan. Kemudian diikuti dengan banyak penelitian lain yang telah membuktikan
keefektifan Cognitif Behavioral Therapy sehingga penggunaannya untuk gangguan bipolar
semakin meluas (CARMHA, 2007).
4. Gangguan Kecemasan
Meliputi gangguan obsesif kompulsif, agorafobia, fobia spesifik, gangguan cemas
menyeluruh, gangguan stres pasca trauma,dll. Cognitif Behavioral Therapy menjadi terapi
psikologis pilihan untuk jenis gangguan ini. Berkurangnya keparahan gejala dan
berkurangnya jumlah obat yang dibutuhkan pada waktu selanjutnya telah dibuktikan melalui
program individual dari Cognitif Behavioral Therapy dan penerapan relaksasi (CARMHA,
2007).
5. Cognitif Behavioral Therapy juga telah terbukti efektif dalam penelitian-penelitian untuk
gangguan makan, kecanduan, hipokondriasis, disfungsi seksual, pengendalian kemarahan,
gangguan pengendalian impuls, perilaku antisosial, kecemburuan, pemulihan pelecehan
seksual, gangguan kepribadian, tambahan pada masalah kesehatan kronis, kecacatan fisik,
atau gangguan mental, penatalaksanaan stres umum, gangguan kepribadian pada anak dan
remaja, masalah hubungan pribadi dan keluarga (Frogatt, 2006).
Model Cognitif Behavioral Therapy untuk kasus-kasus tertentu telah distandarisasi sehingga
menjadi prosedur tetap yang dapat digunakan dan telah dibuktikan sebagai alat terapi
berdasarkan Evidence Based Medicine (CARMHA, 2007).
Hubungan Kanker Cervix dengan Cognitif Behavioral Therapy (CBT)
Pada beberapa penelitian didapatkan hubungan antara stres dan imunitas tubuh pada
pasien kanker. Tekanan psikologis yang dapat mengganggu kemampuan memperbaiki DNA
seluler yang rusak pada sel kanker dan hambatan pada proses apoptosis. Diagnosis serta
penatalaksanaan kanker serviks stadium lanjut dalam jangka waktu yang panjang merupakan
stressor akut dan kronis tersendiri yang bisa berakibat pada penurunan kualitas hidup penderita.
Hal tersebut akan mempengaruhi regulasi neuroimun yang mempromosikan proses inflamasi
yang berperan pada gejala dan proses metastase (Antoni et al.,2006). Stres yang berkepanjangan
yang disertai dengan afek negatif dan gangguan kehidupan sosial akan berpengaruh pada
perubahan behavioral (peningkatan signalisasi sistem saraf simpatis, disregulasi aksis HPA,
inflamasi dan penurunan imunitas seluler).
Terdapat beberapa penelitian yang mempelajari pengaruh psikoterapi pada penderita
kanker, khususnya kanker payudara. Mc.Gregor et al (2004) meneliti pengaruh intervensi
Cognitif Behavioral Stres Management (CBSM) selama 10 minggu terhadap fungsi psikososial
dan imunitas pada wanita dengan kanker payudara tahap awal. Dari penelitian tersebut
didapatkan bahwa perempuan yang menerima intervensi CBSM menunjukkan peningkatan
proliferasi limfosit yang signifikan dibandingkan dengan perempuan sebagai kontrol dalam
penelitian tersebut.
Cruess et al (2000) juga meneliti efek dari intervensi CBSM selama 10 minggu pada
perempuan dengan kanker payudara tahap awal. Dari laporan tersebut didapatkan bahwa
perempuan yang mendapat intervensi menunjukkan penurunan kortisol serum dibandingkan
dengan perempuan sebagai kontrol dalam penelitian tersebut. Disamping itu, intervensi
psikososial pada perempuan dengan kanker payudara terbukti dapat menormalkan responsifitas
kortisol terhadap stres akut.
I. Kualitas Hidup
Kualitas hidup menurut World Health Organization Quality Of Life (WHOQOL)
Group didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai posisi individu dalam hidup dalam
konteks budaya dan sistem nilai dimana individu hidup dan hubungannya dengan tujuan,
harapan, standar yang ditetapkan dan perhatian seseorang (Fitriana, 2012). Menurut
WHOQOL – BREF terdapat empat dimensi mengenai kualitas hidup yang meliputi :
1. Dimensi kesehatan fisik, mencakup aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada obat-obatan,
energi dan kelelahan, mobilitas, sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, kapasitas
kerja.
2. Dimensi kesejahteraan psikologis, mencakup bodily image dan appearance , perasaan
negatif, perasaan positif, self esteem ,spiritual, agama, keyakinan pribadi, berpikir, belajar,
memori, dan konsentrasi.
3. Dimensi hubungan sosial, mencakup relasi personal, dukungan sosial, aktivitas seksual.
4. Dimensi hubungan dengan lingkungan, mencakup sumber finansial, kebebasan, keamanan
dan keselamatan fisik, perawatan kesehatan dan sosial, termasuk aksesbilitas dan kualitas,
lingkungan rumah, kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi baru maupun
ketrampilan, partisipasi dan mendapat kesempatan untuk melakukan rekreasi dan kegiatan
yang menyenangkan di waktu luang, lingkungan fisik termasuk polusi/kebisingan/lalu
lintas/iklim serta transportasi.
Sebagian besar wanita yang menderita kanker serviks merasa berada pada periode
krisis sehingga membutuhkan penyesuaian. Dan pada setiap penderita akan membutuhkan
penyesuaian yang berbeda-beda bergantung pada persepsi, sikap dan pengalaman pribadinya
terkait penerimaan diri terhadap perubahan yang terjadi. Maka kondisi inilah yang akan
berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita kanker serviks.
Kerangka Konsep
Stressor Kanker
Serviks
Stress Fisik
Stress Psikologis
Depresi
Nyeri
Stress Sosial
Skor Beck Depression Inventory
Cognitif Behavioral
Therapy
Hipotalamus
CRH
Hipofisis Anterior
ACTH
Korteks Adrenal
Kortisol
Proliferasi Limfosit dari sel NK
IFN-ɣ dan IL-2
NK, Makrofag, Sitokin
Skor Beck Depression Inventory
Nyeri
Kualitas Hidup
Gambar 1. Kerangka konsep
Keterangan Kerangka Konsep
Kanker serviks stadium lanjut menimbulkan stressor tersendiri bagi penderita.
Stress bagi penderita antara lain stress fisik, stress psikologis, dan stress sosial. Penderita
yang didiagnosis kanker serviks stadium lanjut sering menimbulkan stress emosional
yang luar biasa yang berdampak menurunnya kualitas hidup yang berlanjut ke depresi.
Pemberian psikoterapi pada umumnya dapat berdampak positif memperbaiki kualitas
hidup termasuk meningkatkan five years survival rate penderita kanker serviks.
Psikoterapi realitas memiliki kelebihan dibandingkan dengan psikoterapi yang lain antara
lain lebih mudah dipahami, dapat diterima, murah dan jangka waktu terapi relatif lebih
pendek.
Stress yang terjadi pada penderita kanker serviks akan menyebabkan terjadinya
rangsangan pada Hipotalamus Hipofisis Adrenal Axis (HPA axis) sehingga memicu
hipotalamus untuk mensekresi CRH. CRH akan merangsang peningkatan sekresi ACTH
oleh hipofisis anterior. Selanjutnya peningkatan ACTH tersebut akan merangsang
korteks adrenal untuk mensekresi kortisol. Peningkatan kadar interleukin 6 berhubungan
dengan diagnosis depresi pada pasien kanker. Toksisitas NK cell berkurang pada keadaan
stress melalui mekanisme neuroendokrin. Stress memodulasi pembentukan interferon ɣ
(IFN-ɣ) dan interleukin-2 (IL-2) pada leukosit darah perifer. IFN-ɣ dan IL-2 akan
menghambat NK cell dan Limphocyte Activated Killer (LAK). Jika pasien kanker dalam
keadaan stress, maka akan mempercepat perkembangan sel kankernya. Hal ini
mendukung pendapat bahwapemberian terapi untuk mengatasi stress akan menghambat
perkembangan sel kanker dan memperbaiki regulasi sistem imun sehingga menurunkan
tingkat depresi yang diukur dengan Beck Depression Inventory dan terjadi perbaikan
kualitas hidup.
J. Hipotesis
1.
Ada pengaruh psikoterapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) terhadap kadar kortisol
pasien kanker serviks stadium lanjut.
2.
Ada pengaruh psikoterapi Cognitive Behavioral Therapy (CBT) terhadap tingkat depresi
pasien kanker serviks stadium lanjut.
Download