Perjanjian Jual Beli Karbon Kredit Pada Skema Clean Development

advertisement
Perjanjian Jual Beli Karbon Kredit Pada Skema Clean Development
Mechanism dalam Perspektif Hukum Perdata Indonesia
Aditya Ramandika, Muhammad Ramdan Andri Gunawan Wibisana dan Abdul Salam
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia
[email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas mengenai perjanjian jual beli karbon kredit pada skema Clean Development Mechanism
(CDM) yang tidak dikenal dalam hukum perdata Indonesia. Hukum perdata Indonesia tidak mengatur mengenai
perjanjian jual beli karbon kredit. Oleh karena latar belakang tersebut, maka pokok permasalahan dalam skripsi
ini adalah untuk melihat konsep perjanjian jual beli karbon kredit dalam tinjauan hukum perdata Indonesia, baik
aspek hukum perikatan dan juga aspek hukum kebendaan. Permasalahan tersebut dibahas menggunakan metode
penelitian kepustakaan, sehingga menghasilkan kesimpulan yaitu pada dasarnya perjanjian karbon kredit telah
sesuai dengan hukum perikatan yang berlaku di Indonesia. Karbon kredit sebagai sebuah komoditas yang
diperjualbelikan juga dianggap sebagai benda tanpa warkat yang penyerahannya dilakukan dengan cara
pemindahbukuan.
Kata Kunci: CDM; Karbon Kredit; Perjanjian.
Carbon Credit Purchase Agreement on Clean Development Mechanism Scheme in
Indonesia’s Private Law Perspective
Abstract
This thesis discusses about carbon credit purchase agreement on Clean Development Mechanism (CDM) scheme
which unknown in Indonesia’s private law. Indonesia’s private law do not regulate about carbon credit purchase
agreement. From that background situation, this thesis concern about legal aspects in carbon credit purchase
agreement, including contract law and property law aspects. These problems are discussed using library research
methods, and conclude that basically carbon credit purchase agreement has compatibility with Indonesia’s
contract law. Carbon credit as a tradeable commodity are known as a scripless rights and used book entry
settlement for the transfer of the rights.
Keywords: CDM; Carbon Credit; Agreement.
Pendahuluan
Adanya karakter global dalam isu lingkungan dewasa ini, menunjukan bahwa skala
lingkungan tidak lagi lokal tetapi telah bersifat regional bahkan global. Acid Rain, Ozone
Depletion, Rainforest Destruction, Climate Change, Loss of Biodiversity and Genetically
Modified Organism adalah beberapa contoh isu lingkungan generasi ketiga1 yang sejak tahun
1
Neil Carter membagi evolusi isu-isu (kerusakan) lingkungan kedalam tiga generasi. Generasi pertama
(pra 1960an) menyangkut isu-isu seperti proteksi terhadap wildlife dan habitat; generasi kedua (tahun 1960an)
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
1970-an muncul sebagai isu global. Implikasinya bahwa tidak satupun negara yang dapat
menyelesaikan masalah kerusakan lingkungan secara individual. Dengan kata lain, sebuah
kerjasama menjadi keharusan bagi pencarian solusi global atas berbagai kerusakan
lingkungan global ini. Perubahan iklim2 merupakan salah satu isu yang paling banyak
menyita perhatian dunia. R.A. Reinstein menyebut perubahan iklim sebagai “the most
complex public policy issue ever to face government.”3
Menyadari adanya ancaman perubahan iklim yang bersifat global tersebut, maka
terbentuklah kerjasama global menyangkut isu perubahan iklim dibawah kerangka United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang terbentuk sebagai salah
satu hasil dari pertemuan Earth Summit di Brazil pada tahun 1992.4 UNFCCC
mengkategorikan kelompok negara industri maju, bersama kelompok negara ekonomi transisi
dalam bentuk negara Annex I.5 Untuk mencapai tujuan konvensi, sebuah protokol telah
diadopsi pada pelaksanaan Conference of the Parties (CoP) ke-3 tahun 1997 di Kyoto.
Protokol ini kemudian dikenal dengan nama Protokol Kyoto.6
Diratifikasinya Kyoto Protocol to The United Nations Framework Convention On
Climate Change (Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
Tentang Perubahan Iklim) oleh pemerintah dengan mengesahkan Undang-Undang No. 17
Tahun 2004, telah menunjukkan adanya komitmen Indonesia dalam upaya penanggulangan
perubahan iklim. Dalam Protokol Kyoto ini, terdapat tiga mekanisme yang diatur untuk
menurunkan kadar emisi gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
Ketiga mekanisme tersebut adalah Joint Implementation, Clean Development Mechanism
berhubungan dengan persoalan-persoalan urban, seperti pertumbuhan penduduk, teknologi, polusi; generasi
ketiga (akhir 1970an dan selanjutnya) mencakup isu-isu seperti hujan asam, pengikisan ozon, kehancuran hutanhutan hujan tropis, perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati dan rekayasa genetika. Neil Carter, The
Politic of the Environmental: Ideas, Activism, Policy, (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), hal. 4.
2
Istilah Perubahan Iklim yang digunakan di dalam proposal ini mengacu kepada istilah yang diberikan
oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1
angka 19. Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa Perubahan Iklim adalah berubahnya iklim yang
diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi
atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun
waktu yang dapat dibandingkan. Indonesia, Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
UU No. 32 tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN. No. 5059, Ps. 1 butir 19.
3
Pernyataan ini terdapat dalam artikel “Climate Negotiations” oleh R.A. Reinstein, dikutip dalam
Lorraine Elliot, The Global Politics of the Environtment, (London: Mac Millian Press, 1998), hal. 169.
4
Sebastian Oberthur and Herman E. Ott, The Kyoto Protocol: International Climate Policy for the 21st
Century, (New York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg, 1999), hal. 7-8.
5
UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change, Pasal 4.
6
Ibid., hal. 65.
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
(CDM), dan Emissions Trading.7 Negara maju bisa melakukan program penanggulangan
perubahan iklim ini dengan cara Join Implementation8, atau Emission Trading9. Namun untuk
negara berkembang, proyek yang dapat dilaksanakan untuk menurunkan jumlah emisi negara
maju adalah dengan CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih. Negara-negara berkembang
termasuk Indonesia diharapkan dapat memperoleh keuntungan penurunan gas emisi global
dan keuntungan finansial melalui proyek CDM ini.10
CDM memiliki poin strategis dibandingkan dengan 2 mekanisme Kyoto lainnya.
Pertama, faktor biaya yang lebih murah. Kedua, kredit yang dihasilkan oleh CDM mulai
diperhitungkan sejak tahun 2000 dan dapat digunakan sebagai pemenuhan kewajiban reduksi
emisi pada periode pertama atau disimpan (blanked) untuk memenuhi komitmen reduksi
emisi pada periode selanjutnya. Kedua poin strategis itu, CDM dinilai sebagai salah satu
nmekanisme yang memiliki bagian terbesar untuk digunakan dalam upaya reduksi emisi.11
CDM merupakan satu-satunya mekanisme dalam Protokol Kyoto yang memungkinkan
peran negara berkembang untuk membantu negara Annex I dalam upaya mitigasi GRK.
Seperti yang tertera dalam Artikel 12 dari Protokol Kyoto, tujuan CDM adalah:12
a. Membantu negara berkembang yang tidak termasuk dalam negara Annex I untuk
melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan serta menyumbang pencapaian
tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah
kaca dunia pada tingkat yang tidak akan mengganggu sistem iklim global.
7
Bernd Hansjurgens dan Ralf Antes, ed., Economics and Management of Climate Change,
(Liepzig/Oldenburg: Springer, 2008), hal. 3.
8
UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change, Pasal 12. Pasal ini membahas
mengenai suatu mekanisme untuk mengalihkan unit pengurangan emisi (Emission Reduction Unit, ERU) yang
diperoleh dari suatu kegiatan di negara maju ke negara maju lainnya. Lihat Daniel Murdiyarso (a), Protokol
Kyoto Implikasinya bagi Negara Berkembang, (Jakarta: Kompas, 2003), hal. 48.
9
UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change, Pasal 17. Pasal ini
menjelaskan bahwa jika sebuah negara maju mengemisikan Gas Rumah Kaca di bawah jatah yang diizinkan,
maka negara tersebut dapat menjual volume Gas Rumah Kaca yang tidak diemisikannya kepada negara maju
lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Komoditas dalam Emission Trading ini adalah unit jatah emisi
(Assigned Amount Unit, AAU). Namun demikian, jumlah GRK yang dapat diperdagangkan dibatasi sehingga
negara pembeli tetap harus memenuhi komitmennya sesuai dengan Protokol Kyoto. Lihat Ibid., hal. 57-58.
10
Scott Victor Valentine, “Refarming Global Warming: Toward A Strategic National Planning
Framework” dalam Crucial Issues in Climate Change and the Kyoto Protocol: Asia and the World, (Singapore:
World Scientific Publishing, 2010), hal. 38.
11
Frank Jotzo & Alex Michaelowa, Estimating The CDM Market Under The Bonn Agreement,
(Hamburg: Hamburg Institute of International Economic, 2002), hal 26.
12
Danang Kuncara Sakti, “Dampak Protokol Kyoto Melalui Clean Development Mechanism Pada
Sektor Kehutanan Terhadap Perekonomian Indonesia Pendekatan Sistim Neraca Sosial Ekonomi.” (Tesis
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Depok: 2005), hal.
21-22.
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
b. Membantu negara-negara Annex I atau negara maju dalam memenuhi target
penurunan jumlah emisi negaranya.
c. Dalam pelaksanaan CDM, komoditi yang diperjualbelikan adalah reduksi emisi
GRK tersertifikasi yang biasa dikenal sebagai CER (Certified Emission Reduction).
CER ini diperhitungkan sebagai upaya negara Annex I dalam memitigasi emisi
GRK dan nilai CER ini setara dengan nilai penurunan emisi yang dilakukan secara
domestik dan karenanya dapat diperhitungkan dalam pemenuhan target penurunan
emisi GRK negara Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B Protokol Kyoto.
Kesepakatan jual beli kredit karbon antara negara maju dan negara berkembang dapat
dilakukan antara pemerintah dengan pemerintah (G to G), pemerintah dengan swasta (G to P)
atau swasta dengan swasta (P to P). Kesepakatan tersebut dapat dilakukan melalui dua
pendekatan. Pertama, pihak negara maju (swasta atau pemerintah) sepakat dengan pihak
negara berkembang (swasta atau pemerintah) untuk membeli sejumlah karbon yang
dihasilkan dari proyek-proyek yang dilaksanakan oleh pihak negara berkembang. Jadi dalam
hal ini pihak negara maju hanya memberikan jaminan pasar bagi kredit karbon yang akan
dihasilkan oleh pihak negara berkembang. Kedua, pihak negara maju sepakat untuk membeli
kredit karbon dari pihak negara berkembang, tetapi pihak negara maju terlibat aktif dalam
proses persiapan seperti penyusunan kriteria untuk pemilihan proyek, penentuan harga,
ukuran proyek dan lain sebagainya, sampai pada tahap pelaksanaan dan pengeluaran sertifikat
kredit pengurangan emisi (CER). Kedua pendekatan ini akan memiliki perangkat legalitas
yang berbeda.13
Dalam perspektif negara berkembang, keberhasilan proyek CDM dalam sektor apapun
ditentukan oleh seberapa besar kontribusi proyek tersebut bagi pencapaian pembangunan
berkelanjutan. Kriteria inilah yang harus ditentukan sendiri oleh negara berkembang yang
menjadi negara host dari proyek CDM diimplementasikan.14 Di Indonesia, CDM telah
diimplementasikan oleh beberapa perusahaan, diantaranya adalah PT Perusahaan Listrik
Negara (PLN). Pada tahun 2009 PLN melakukan penjualan karbon kredit di Pembangkit
Listrik Tenaga Mikro Gas (PLTMG) berkapasitas 14 megawatt dengan Agrunergy Pte Ltd
melalui penandatanganan Emission Reduction Purchase Agreement (EPRA) yang
transaksinya mencapai Rp 3,75 miliar. PLN juga telah beberapa kali melakukan kontrak jual
beli kredi proyek CDM melalui perjanjian jual beli karbon kredit untuk Pembangkit Listrik
13
Center for International Forestry Research, “Perangkat Hukum Proyek Karbon Hutan di Indonesia,”
Carbon Brief 3 (Januari 2005), hal. 3.
14
Daniel Murdiyarso (b), CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, (Jakarta: Kompas, 2004), hal. 19-21.
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
tenaga Panas Bumi (PLTP) yang antara lain di PLTP Kamojang IV dengan EcoSecurities,
PLTP Lahendong II dengan World Bank, dan PLTP lahendong III dengan Japan Carbon
Fund.15
Adanya perikatan atau kontrak kerjasama yang dilakukan PLN dengan pihak lain
terkait dengan jual beli karbon kredit (ERPA) proyek CDM ini tentu tidak terlepas dari
perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak. Perjanjian yang merupakan salah satu sumber
lahirnya perikatan selain undang-undang seperti yang tercantum dalam ketentuan Pasal 1233
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dengan membuat perjanjian,
salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut mengikatkan dirinya untuk memenuhi
kewajiban sebagaimana yang diinginkan, ini berarti di antara para pihak yang membuat
perjanjian lahirlah perikatan.16
ERPA yang merupakan perjanjian inti untuk jual beli karbon memiliki beberapa
masalah utama berkaitan dengan kontrak itu sendiri, antara lain:17
1. Menetapkan apa yang dijual dalam isi kontrak;
2. Menentukan siapa yang mempunyai hak milik CER dan memastikan CER tersebut
akan ditransfer kepada pihak pembeli;
3. Menentukan bagaimana CER dijual dan ditransfer;
4. Menyediakan jaminan dan ganti kerugian;
5. Mengatur pencegahan kekurangan dalam pengiriman CER;
6. Penyelesaian sengketa; dan
7. Mendiskusikan risiko utama mengenai proyek dan menentukan sistem hukum
internasional dan domestik mana yang digunakan dalam kontrak.
Pada dasarnya proyek CDM adalah proyek investasi dengan CER sebagai
komoditasnya. Secara global, monitoring, verifikasi dan sertifikasi akan dilakukan oleh badan
independen (operation entity) yang ditunjuk oleh Badan Pelaksana CDM. Secara nasional
pemerintah membentu otoritas nasional untuk menjembatani kepentingan investor dengan
pihak tuan rumah dan kelembagaan global. Namun kita perlu memperhatikan kerangka
15
Arinto
Wibowo,
“PLN
Jual
Karbon
Kredit
di
Pembangkit
Mikro”
http://news.viva.co.id/news/read/70412-pln_jual_karbon_kredit_di_pembangkit_mikro diakses pada tanggal 19
September 2012.
16
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (a), Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 42-43.
17
UNEP, Legal Issues Guidebook to the Clean Development Mechanism, (Roskilde: Baker and
McKenzie, 2004), hal. 110.
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
peraturan kerangka peraturan nasional dalam kaitannya dengan investasi itu sendiri.18
Indonesia sendiri tidak memiliki aturan khusus yang mengatur mengenai kontrak ERPA
dalam CDM ini. Maka dari itu, peraturan yang berlaku dalam ERPA hanya sebatas ketentuanketentuan mengenai perjanjian dan perikatan yang ada dalam KUHPerdata.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain
atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini,
timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yan dinamakan perikatan. Perjanjian itu
menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya,
perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.19
Seperti diketahui, subjek hukum dikenal 2 jenis yaitu, manusia (naturlijk persoon)
dan badan hukum (recht persoon). Manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia
dilahirkan dengan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 KUHPerdata,20
sedangkan badan hukum juga memiliki hak dan kewajiban seperti halnya manusia. Menurut
Prof. Meyers, syarat-syarat badan hukum adalah memiliki harta kekayaan sendiri, ada tujuan
tertentu, ada kepentingan sendiri, ada organisasi yang teratur.21 Badan hukum dapat juga
diartikan sebagai kumpulan manusia pribadi (naturlijk persoon) dan mungkin pula kumpulan
dari badan hukum yang pengaturannya sesuai menurut hukum yang berlaku.22 PLN yang
notabene merupakan Badan Usaha Milik Negara ini tergolong kedalam badan hukum atau
rechtpersoon, yang artinya dapat melakukan perbuatan hukum, seperti halnya melakukan
perjanjian juga memiliki hak dan kewajiban hukum manusia. Sehingga PLN tentu dapat
melakukan melakukan perjanjian kontrak kerjasama CDM dengan beberapa pihak lain karena
memang memiliki hak untuk itu.
Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat
untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum
dan kesusilaan. Masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa
saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya
18
Murdiyarso (a),Op.Cit., hal. 112.
19
Subekti (a), Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), hal. 1.
20
Seorang anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subyek hukum apabila ada kepentingan
yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.
21
Abdulkadir Muhammad (a), Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Ke-2, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1993), hal. 31.
22
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,
2004), hal. 89.
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
seperti suatu undang-undang. Dengan kata lain, dalam perjanjian kita diperbolehkan membuat
undang-undang bagi kita sendiri. Pasal-pasal dari hukum perjanjian, hanya berlaku apabila
kita tidak membuat aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.23
Di samping itu, kita diperkenankan untuk membuat kontrak, baik yang telah dikenal
dalam KUHPerdata maupun diluar KUHPerdata. Pada prinsipnya, kontrak dari aspek
namanya dapat digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kontrak nominaat dan kontrak
inominaat.
Kontrak nominaat merupakan kontrak-kontrak atau perjanjian yang dikenal dalam
KUHPerdata, seperti jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, persekutuan perdata, hibah,
penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang,
perjanjian untung-untungan, dan perdamaian. Kontrak Inominaat merupakan kontrak-kontrak
yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat.24
Kontrak jual beli karbon (ERPA) yang secara konseptual dilahirkan melalui
perjanjian, yang apabila di Indonesia, diatur dalam hukum perikatan ada dalam KUHPerdata.
KUHPerdata yang merupakan warisan Kolonial Belanda juga merupakan landasan hukum
bagi pelaksanaan perikatan secara umum belum mengenal adanya kontrak jual beli karbon ini
sehingga dalam praktiknya di Indonesia, hampir tidak ada yang menggunakan sistem hukum
Indonesia sebagai dasar dibentuknya kontrak ini. CDM dikatakan sebagai produk yang belum
selesai karena regulasi yang ada belum berkembang secepat perkembangan pasar. Peraturan
mengenai CDM ini terjadi berdsarkan “learning while doing” dan ditandai oleh “trial and
error”.25 Sehingga belum bisa digolongkan secara pasti apakah perjanjian dalam CDM ini
termasuk kedalam perjanjian jual beli yang dikenal dalam KUHPerdata, atau merupakan
bentuk perjanjian lain yang tidak dikenal KUHPerdata. Berdasarkan hal tersebut, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan menganalisis perjanjian jual beli karbon yang
telah dilakukan oleh Badan Hukum Indonesia melalui pendekatan hukum perjanjian yang
dikenal dalam perspektif Hukum Perdata di Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ada beberapa hal yang penulis angkat menjadi
pokok permasalahan. Pertama, bagaimanakah sudut pandang hukum perikatan Indonesia
23
Ibid, hal. 13-14.
24
Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Inominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika ,2008),
hal. 1.
25
Christina Voigt, “The Deadlock of the Clean Development Mechanism: Caught Between
Sustainability, Environmental Integrity and Economic Efficiency” dalam Climate Law and Developing
Countries: Legal and Policy Challanges for the World Economy, (Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing
Ltd, 2009), hal. 242.
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
terhadap perjanjian jual beli karbon kredit pada skema CDM. Kedua, bagaimanakah analisa
mengenai aspek hukum kebendaan Indonesia, khususnya dalam kaitan dengan perjanjian jual
beli karbon kredit pada skema CDM. Ketiga, bagaimanakah pandangan hukum perdata
Indonesia terhadap karbon kredit sebagai sebuah komoditi.
Tinjauan Teoritis
A. Perjanjian Pada Umumnya dan Perjanjian Jual Beli
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain, atau
di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.26 Menurut Pasal 1313
KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Pasal 1340 KUHPerdata menentukan bahwa perjanjian hanya berlaku antara pihakpihak yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak
ketiga, tidak dapat pula pihak ketiga mendapatkan manfaat karenanya.27 Pasal 1233
KUHPerdata menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan karena persetujuan atau
undang-undang. Dari perjanjian, timbul suatu hubungan antara pihak yang satu dengan pihak
yang lain, yang dinamakan perikatan. Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata, yang meliputi:28
1. Kata sepakat;
2. Kecakapan para pihak;
3. Hal tertentu;
4. Sebab yang halal.
Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang
satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang
lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai
imbalan dari perolehan hak milik tersebut.29 Dalam bukunya, Subekti memberi pengertian
jual beli sebagai suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk
menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak lain untuk membayar harga yang telah
26
Subekti (a), Loc.Cit
27
Wahyono Darmabrata, Hukum Perdata: Pembahasan mengenai Asas-asas Hukum Perdata, (Jakarta:
Gitama Jaya, 2004), hal. 35.
28
Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Sjarif, Mengenal Hukum Perdata, (Jakarta: CV Gitama
Jaya, 2008), hal. 128.
29
Subekti (c),Op.Cit., hal. 1.
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
dijanjikan. Yang dijanjikan oleh pihak yang satu (pihak penjual), menyerahkan atau
memindahkan hak miliknya atas barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh
pihak yang lain, membayar harga yang telah disetujui.30
Perjanjian jual beli bersifat “obligatoir” di mana dengan adanya jual beli tersebut
belum memindahkan hak dan milik dari benda yang menjadi objek jual beli, perjanjian itu
hanya meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, yakni meletakkan kewajiban
bagi penjual untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya kepada pembeli. Jadi,
hak milik atas barang yang dijualnya tersebut tidak berpindah dari penjual kepada pembeli
selama penyerahan belum dilakukan.31
B. Kebendaan Pada Umumnya
Hukum kebendaan yang berlaku di Indonesia, pada umumnya diatur dalam Buku ke-II
KUHPerdata tentang Kebendaan. Pengertian benda menurut Pasal 499 KUHPerdata adalah:
“menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan tiaptiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik”. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
pengertian benda ialah segala sesuatu yang dapat dihaki atau dijadikan objek hak milik.32
Definisi tersebut cakupannya sangat luas karena membedakan istilah benda (zaak), barang
(goed) dan hak (recht). Pengertian benda ini masih bersifat abstrak karena tidak saja meliputi
benda berwujud, tetapi juga benda tidak berwujud.33
Prof. H.R. Sardjono berpendapat bahwa benda ialah sesuatu yang dapat dinilai dengan
uang setidak-tidaknya mempunyai nilai affektif, berdiri sendiri dan merupakan satu
keseluruhan, bukan merupakan bagian-bagian yang terlepas satu sama lainnya. Atas
pendapat-pendapat tersebut, maka sesuatu dapat disebut benda jika dapat dikuasai manusia,
dapat diraba maupun tidak, dapat dinilai dengan uang atau setidak-tidaknya berharga
untuknya dan merupakan satu kesatuan yang bersifat mandiri.34
C. Clean Development Mechanism (CDM)
Secara umum, Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan
Bersih merupakan kerangka multilateral yang memungkinkan negara maju melakukan
investasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya. Sementara itu,
30
Subekti (a), hal.Op.Cit., 79.
31
Ibid.
32
Freida Husni Hasbullah, Hukum Kebendaan Perdata (Hak-hak yang Memberi Kenikmatan), (Jakarta:
Ind-Hill,Co., 2002), hal. 19.
33
Ibid.
34
Ibid., hal. 28.
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
negara berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) dan tujuan utama Konvensi. Berbeda dengan ET dan JI, CDM
melahirkan unit tambahan yang dapat menaikkan level emisi yang diperbolehkan untuk
negara Annex I.35 Mekanisme ini diatur dalam Pasal 12 Protokol Kyoto yang menyatakan
bahwa:
“ The purpose of the clean development mechanism shall to be assist parties not
included in Annex I in achieving sustainable development and in contributing to the
ultimate of the convention, and to assist parties included in Annex I in achieving
compliance with their quantified emission limitation and reduction under
commitments under Article 3.”36
Kerangka tersebut dirancang untuk memberikan aturan dasar bagi kegiatan proyek
yang dapat menghasilkan pengurangan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction,
CER).37 Negara berkembang termasuk Indonesia, memiliki kesempatan untuk menjual CER.
CER inilah yang digunakan oleh negara maju untuk memenuhi komitmen pada Protokol
Kyoto dengan biaya yang relatif lebih rendah dan efektif dibandingkan ET dan JI.38
Metode Penelitian
Bentuk penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif, yaitu penelitian yang
secara yuridis mengacu pada norma hukum yang terdapat di peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan perjanjian. Penelitian kepustakaan yang dipadukan dengan
penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan diarahkan pada perolehan data mengenai teori,
pengaturan, serta informasi terkait pokok permasalahan. Kemudian penelitian lapangan
diarahkan untuk menggali informasi secara mendalam mengenai pandangan para pihak terkait
(stakeholders) terhadap perjanjian CDM. Tipologi penelitian ini adalah penelitian deskriptif39
dan perskriptif, dimana peneliti mencoba menggambarkan pengaturan mengenai penerapan
hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia dalam perjanjian CDM yang didasarkan pada
35
Jean-Charles Bancal dan Julia Kalfon, “The Institutional and Contractual Instruments of Kyoto’s
Clean Development Mechanism,” International Business Law Journal (2009), hal. 3.
36
UNFCCC, Kyoto Protocol to the United Nation Framework Convention on Climate Change, Pasal 12
par. 2.
37
Murdiyarso (b), Op.Cit., hal. 52.
38
Steffen Kallbekken dan Hege Westkog, “Should Developing Countries Take on Binding
Commitments in a Climate Agreement? An Assessment of Gains and Uncertainty,” The Energy Journal, Vol. 26,
No. 3. (2005), hal. 45.
39
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat suatu
individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan suatu gejala, lihat Sri Mamudji, et al,
Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2005), hal. 28.
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
berbagai peraturan perundang-undangan, teori, dan pendapat para ahli untuk kemudian
menjabarkan perjanjian CDM dalam perspektif hukum perdata Indonesia.
Hasil Penelitian
Pembahasan
A. Tinjauan Karbon Kredit Sebagai Komoditas
Pada awalnya, dunia tidak mengenal karbon kredit sebagai sebuah komoditas. Namun
dengan adanya perkembangan zaman dan mencuatnya isu perubahan iklim yang pada
akhirnya memunculkan mekanisme fleksibel dalam Protokol Kyoto, karbon kredit kemudian
menjadi sesuatu yang diperjualbelikan sebagai sebuah komoditas. Perubahan “status” karbon
kredit yang tadinya bukan merupakan komoditas ini dinamakan dengan istilah komodifikasi.
Karbon kredit yang sebelumnya bukanlah merupakan sesuatu yang diperjualbelikan, kini
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
telah diperdagangkan dalam pasar karbon. Salah satu pasar karbon terbesar yang ada adalah
European Union Emission Trading Scheme (EU ETS).
Tidak adanya pengaturan yang jelas dari peraturan perundang-undangan di Indonesia
menyebabkan konsep CER sebagai komoditas ditentukan oleh praktek industri. CER ataupun
karbon kredit lainnya dipahami memiliki karakteristik yang sama dengan komoditas lainnya
seperti besi, makanan, dan sebagainya dengan pertimbangan sebagai berikut:40
1. Dalam pasar yang homogen, CER dapat diperdagangkan seperti makanan pada
umumnya;
2. Seperti komoditas pada umumnya, CER diproduksi dalam jumlah/volume yang
besar;
3. Harga CER sebagaimana harga komoditas pada umumnya berubah-ubah, namun
pada waktu tertentu harga suatu komoditas pada umumnya memiliki kesamaan
nilai di berbagai pasar yang ada;
4. Harga CER sebagaimana harga komoditas pada umumnya juga mengalami
perubahan naik/turun yang dipahami sebagai tren pasar.
Melihat kemiripan karakteristik CER dengan komoditas pada umumnya, kita dapat
menyimpulkan bahwa CER memang sebuah komoditas yang diperjualbelikan dalam satu
mekanisme pasar. CER dijadikan sebagai sebuah objek yang kepemilikannya dapat
diperjualbelikan melalui perjanjian yang berbentuk ERPA. Pasar karbon merupakan sebuah
pasar yang homogen, di mana yang diperjualbelikan dalam pasar itu hanyalah karbon kredit.
CER ini juga diproduksi dalam jumlah atau volume yang besar, karena adanya komitmen dari
negara-negara Annex I yang menjadikan karbon kredit menjadi kebutuhan sebagai cara agar
komitmen tersebut dapat terpenuhi. Harga CER juga dapat berubah sebagaimana harga
komoditas lainnya. Hal ini dikarenakan tren pasar di mana permintaan dan penawaran akan
sangat berpengaruh pada harga suatu komoditas. Menurunnya jumlah negara yang
berkomitmen dalam Protokol Kyoto tentu berpengaruh terhadap penurunan harga CER karena
permintaan untuk CER yang otomatis akan berkurang. Mengingat sifat hukum kebendaan
Indonesia yang bersifat tertutup, karbon kredit dalam hukum Indonesia belum bisa dianggap
sebagai suatu benda. Namun demikian, karakteristik yang dimiliki CER mirip dengan
karakteristik komoditas pada umumnya. CER dapat dijadikan sebagai sebuah objek pokok
dari perjanjian jual beli dan menjadi komoditas yang diperjualbelikan sehingga harganya bisa
dinilai dengan uang.
40
Jillian Button, “Carbon: Commodity or Currency? The Case for an International Carbon Market Based
on the Currency Model”, Harvard Environmental Law Review Vol 32, 2008, hal. 576-577.
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
B. Tinjauan Hukum Perikatan Indonesia
Berdasarkan KUHPerdata, perjanjian memiliki pengertian sebagai suatu perbuatan di
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Hal ini
merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan suatu hubungan hukum antara para pihak yang
membuatnya, yang disebut sebagai perikatan. Hukum perjanjian menganut sistem hukum
terbuka, yang artinya diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk mengadakan perjanjian
yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Sistem terbuka ini juga menyebabkan hukum perjanjian menganut asas kebebasan
berkontrak, yang dapat dilihat dari rumusan Pasal 1388 ayat (1) KUHPerdata yang
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya. Pasal tersebut menyatakan bahwa diperbolehkan membuat
perjanjian yang berbentuk dan berisi apa saja dan perjanjian itu mengikat seperti undangundang bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Meskipun memiliki kebabasan, KUHPerdata memberikan ketentuan mengenai syarat
sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320. Apabila dilihat dari keempat syarat sahnya
perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut, dapat dikatakan ERPA merupakan suatu
perjanjian yang sah. Meskipun memiliki beberapa perbedaan dengan ketentuaan dalam
hukum perikatan Indonesia, misalnya CER yang tidak dikenal sebagai objek perjanjian dalam
KUHPerdata, namun hal tersebut tidak menjadikan ERPA sebagai perjanjian yang tidak sah
karena jika dilihat dari sudut pandang hukum perikatan Indonesia pun, ERPA tetap
merupakan perjanjian yang telah memenuhi syarat sah perjanjian.
Emission Reduction Purchase Agreement (ERPA) dalam skema Clean Development
Mechanism (CDM) sendiri merupakan perjanjian yang spesifik, di mana objek perjanjiannya
adalah untuk memberikan sesuatu, sesuai dengan pengertian perjanjian jual beli. Objek yang
diperjualbelikan dalam ERPA sudah pasti merupakan satuan karbon kredit bernama Certified
Emission Reduction (CER). Dalam kontrak ERPA yang penulis analisis, Article 3 secara
khusus membahas mengenai Purchase and Sale of Certified Emission Reduction. Sehingga
sudah jelas dalam kontrak jual beli ini yang dijadikan sebagai barang atau objek dalam
prestasinya adalah CER itu sendiri.
Kekurangan dalam pengiriman CER, termasuk ke dalam risiko dari perjanjian jual
beli. Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian
(peristiwa) diluar kesalahan salah satu pihak.41 Peristiwa semacam itu dalam hukum
41
Subekti (b), Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1995), hal. 24.
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
perjanjian dinamakan dengan “keadaan memaksa” (overmacht/force majeur). Dalam ERPA
yang penulis analisis, mengenai risiko tidak hanya dibahas risiko kegagalan pengiriman CER,
tetapi juga risiko kegagalan dalam memproduksi CER.
Pada kontrak ERPA ini, Project Entity diwajibkan untuk melakukan pemberitahuan
kepada pembeli jika Project Entity telah gagal, atau akan gagal dalam menghasilkan CER dan
juga apabila CER yang dikirim ke pembeli tidak memenuhi apa yang telah disepakati dalam
perjanjian.42 Pemberitahuan juga harus mencantumkan beberapa informasi seperti rincian
kegagalan Project Entity untuk menghasilkan CER atau kegagalan dalam memenuhi jumlah
CER yang harus dikirimkan kepada pembeli, jumlah kekurangan CER, kemungkinan
penundaan sebelum kekurangan dapat ditutupi dan tingkat CER yang mana untuk tahun
berikutnya yang dapat diperbaharui dan rincian lainnya sesuai dengan permintaan pembeli.
CER sendiri termasuk ke dalam ketentuan yang ada dalam Pasal 1461 KUHPerdata
mengenai barang-barang yang tidak dijual menurut tumpukan, tetapi menurut berat, jumlah
atau ukuran. Barang-barang itu tetap atas tanggungan si penjual hingga barang-barang
ditimbang, dihitung atau diukur. CER jelas bukan merupakan barang yang dijual menurut
tumpukan. CER ini dijual menurut jumlah, di mana satu CER setara dengan satu ton karbon.
Apabila terjadi kekurangan dalam menghasilkan atau menyerahkan CER, misalnya dalam
perjanjian, volume CER yang disepakati untuk diserahkan adalah 5 CER namun hanya 4 saja
yang bisa diserahkan, hal tersebut merupakan tanggung jawab si penjual. Hal ini sejalan
dengan klausul yang ada dalam ERPA itu sendiri di mana Project Entity atau penjual harus
bertanggungjawab terhadap risiko kegagalan untuk menghasilkan atau menyerahkan CER.
Untuk menyelesaikan sengketa dalam suatu perjanjian, harus dilihat dari ketentuan
mengenai hal ini yang telah disepakati oleh para pihak di dalam kontrak. Dalam ERPA yang
penulis analisis, para pihak sepakat jika terjadi sengketa yang berkaitan dengan perjanjian ini,
maka sengketa akan diselesaikan melalui jalur arbitrasi. Arbitrasi yang disepakati ini juga
harus sesuai peraturan sengketa dalam arbitrasi yang berhubungan dengan peraturan
mengenai Sumber Daya Alam atau Lingkungan dari Permanent Court of Arbitration.
Arbitrator yang diperbolehkan berjumlah tiga (3) orang dan bertempat di London, dan bahasa
Inggris yang dipergunakan dalam proses arbitrasi.43
42
ERPA Article 13 Section 13.1 (a):” Should the Project Entity know, or reasonably anticipate, at any
point in time that the Project Entity has failed or will fail to generate CERs or to have the requisite number of
CERs forwarded to the Buyer in respect of any given Year as set out in this Agreement, then the Project Entity
shall immadiately give a notice to the Buyer advising the Buyer of this existing or anticipated failure...”.
43
ERPA Article 16 Section 16.13: The Parties agree that any difference dispute arising under, out of or
in connection with this Agreement that the Parties are unable to settle between themselves is to be resolved by
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
C. Tinjauan Hukum Kebendaan Indonesia
Pengertian benda menurut Pasal 499 KUHPerdata adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap
hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik. Sedangkan yang dimaksud dengan benda dalam arti
ilmu hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum dan barang-barang yang
dapat menjadi milik serta hak setiap orang yang dilindungi oleh hukum. Dengan kata lain,
dapat disimpulkan bahwa pengertian benda ialah segala sesuatu yang dapat dihaki atau
dijadikan objek hak milik.44
Apabila melihat CER itu sendiri, tentu dalam hukum kebendaan Indonesia yang
berdasarkan KUHPerdata tidak mengenal adanya hak kebendaan pada karbon (carbon
property rights). Hukum kebendaan di Indonesia juga sifatnya tertutup, yakni tidak dapat
mengadakan hak-hak kebendaan yang baru selain yang telah diatur dalam Buku II
KUHPerdata atau undang-undang. Namun ketika CER telah menjadi komoditas yang
diperjualbelikan, dapat dikatakan CER memiliki sifat kebendaan yang ada dalam rumusan
Pasal 499 KUHPerdata karena hak miliknya yang dapat dipindahkan melalui suatu perjanjian
jual beli.
Hak milik atas barang yang dijual baru berpindah ketika sudah dilakukan penyerahan.
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1459 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “hak milik
atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum
dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616.”
Melalui konsep sifat perjanjian jual beli yang obligatoir, maka hak milik dikatakan
baru berpindah dengan dilakukannya levering atau penyerahan yang akan menentukan legal
ownership atau legal entitlement dari hak yang diperjualbelikan. Berdasarkan karakteristik
jual beli karbon kredit dalam ERPA tersebut, tidak dimungkinkan untuk merujuk pada
ketentuan levering yang ada dalam Pasal 612, 613 dan 616 sebagai dasar hukumnya.
Jika kita melihat efek atau saham sebagai sebuah benda tanpa warkat, maka hal
tersebut sama halnya dengan CER. Seperti yang kita ketahui, CER merupakan penurunan
emisi karbon yang telah disertifikasi. Bentuk kebendaan dari CER ini adalah tanpa warkat
atau tidak menggunakan sertifikat fisik, ia hanyalah sebuah “electronic rights”45 yang harus
diperdagangkan dalam sebuah sistem register seperti halnya efek. Sehingga penyerahannya
arbitration in accordance with the rules for arbitration of disputes relating to natural resources and/or the
environment of the Permanent Court of Arbitration, the number of arbitrators shall be three (3) and the place of
arbitration shall be in London. The language of arbitration is English. The appointing authority is the SecretaryGeneral of the Permanent Court of Arbitration.
44
Freida Husni Hasbullah, Op.Cit., hal. 19.
45
UNEP, Loc.Cit.
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
dilakukan dengan cara pemindahbukuan (book entry settlement), mirip seperti perdagangan
efek dalam scripless trading.
Kesimpulan
1. Apabila dilihat berdasarkan hukum perikatan Indonesia, jual beli kabron kredit dalam
skema Clean Development Mechanism termasuk perjanjian jual beli yang diatur dalam
Pasal 1457 KUHPerdata, di mana pihak yang satu sepakat untuk menyerahkan suatu
kebendaan, dan pihak lainnya sepakat untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Hal tersebut kemudian menunjukkan bahwa karbon kredit juga erat kaitannya dengan
hukum kebendaan, karena yang menjadi objek dari perjanjian jual beli merupakanlah
suatu benda. Berdasarkan konsep bahwa perjanjian jual beli karbon kredit dalam
skema Clean Development Mechanism merupakan sebuah perjanjian yang dikenal
dalam hukum perdata Indonesia, perjanjian jual beli karbon kredit tersebut dapat
dianalisis melalui ketentuan-ketentuan hukum perikatan Indonesia yang umumnya
diatur dalam Buku III KUHPerdata. Keabsahan Emission Reduction Purchase
Agreement yang merupakan bentuk perjanjian jual beli karbon kredit, telah sesuai
dengan syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Hal tersebut juga menunjukkan bahwa perjanjian jual beli karbon kredit telah
memenuhi unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian.
2. Objek perjanjian Emission Reduction Purchase Agreement tersebut merupakan sebuah
satuan karbon kredit yang bernama Certified Emission Reduction (CER), yang
termasuk ke dalam benda tanpa warkat. Karena merupakan benda tanpa warkat, maka
jual beli dari CER tersebut termasuk ke dalam sistem scripless trading atau
perdagangan tanpa warkat seperti halnya efek dalam pasar modal. Sehingga untuk
memindahkan hak milik CER dengan melakukan penyerahan (levering), tidak dapat
merujuk kepada pada Pasal 1459 KUHPerdata. Penyerahannya dilakukan dengan cara
pemindahbukuan, di mana transaksi terjadi pada pasar karbon seperti halnya
perdagangan efek pada pasar modal. Hal tersebut kemudian menunjukkan bahwa
karbon kredit juga erat kaitannya dengan hukum kebendaan, karena yang menjadi
objek dari perjanjian jual beli merupakanlah suatu benda. Hukum kebendaan
Indonesia yang sifatnya tertutup, tidak mengenal karbon kredit sebagai suatu
kebendaan pada umumnya. Namun demikian, apabila mengingat ketentuan mengenai
Pasal 1457 KUHPerdata yang mengenai perjanjian jual beli, dapat dilihat bahwa
karbon kredit sudah termasuk dalam konteks kebendaan karena sudah dijadikan
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
sebagai objek perjanjian jual beli. Hal tersebut juga diperkuat dengan argumen dari
Prof. Sardjono yang mengatakan bahwa sesuatu dapat dikatakan sebagai suatu benda
ketika ia sekurang-kurangnya memiliki nilai affektif atau dapat dinilai dengan uang.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa jual beli karbon kredit, pada dasarnya termasuk ke
dalam perjanjian jual beli yang dikenal dan diatur dalam hukum perdata Indonesia.
Oleh karena termasuk ke dalam perjanjian jual beli tersebut, maka otomatis karbon
kredit juga dapat dipandang sebagai suatu kebendaan dalam hukum perdata Indonesia
karena telah menjadi objek pokok dari suatu perjanjian jual beli.
3. Adanya proses komodifikasi, yang merubah sesuatu yang sebelumnya tidak memiliki
nilai jual menjadi sesuatu yang memiliki nilai jual dan dapat diperjualbelikan
menjadikan karbon kredit sebagai sebuah komoditas baru yang dikenal oleh dunia.
Karbon kredit dijual dalam pasar karbon, memungkinkan negara-negara Annex I
untuk membeli karbon kredit tersebut sebagai bentuk komitmennya terhadap mitigasi
perubahan iklim yang telah disepakati dalam kerangka hukum internasional.
Pemenuhan komitmen dari negara-negara maju itulah yang kemudian melahirkan
sebuah penawaran dan permintaan terhadap karbon kredit, sehingga harga dari karbon
kredit tersebut mengalami perubahan sesuai dengan tren pasar seperti komoditas pada
umumnya.. Adanya kemiripan karakteristik antara karbon kredit dengan komoditas
pada umumnya tersebut semakin mempertegas bahwa saat ini, karbon kredit telah
menjadi sebuah komoditas melalui sebuah proses komodifikasi. Praktik jual beli
karbon kredit yang pada umumnya menggunakan perjanjian jual beli berbentuk
Emission Reduction Purchase Agreement, menjadikan komoditas karbon kredit
tersebut berkaitan erat dengan hukum perdata. Indonesia selaku pihak yang turut
berpartisipasi dalam perjanjian jual beli karbon kredit, tentu memandang karbon kredit
tersebut sebagai sebuah kebendaan yang menjadi komoditas dan merupakan objek
pokok dari perjanjian jual beli yang dikenal dalam hukum perdata Indonesia.
Saran
1. Mengingat besarnya potensi Indonesia dalam menghasilkan karbon kredit dari hasil
proyek CDM, seharusnya karbon kredit tersebut diatur dalam peraturan perundangundangan Indonesia. Hak milik atas karbon dapat ditentukan secara jelas siapa
pemiliknya, apakah secara utuh dikuasai negara atau merupakan hak privat dari orang
atau badan hukum yang mengusahakannya. Dengan demikian, dapat terlihat
bagaimana pemindahan hak milik dari karbon. Pengaturan tentang karbon kredit juga
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
akan berguna untuk pembuatan kontrak dalam praktik jual beli yang selama ini hanya
menggunakan hukum asing.
2. Adanya proyek-proyek CDM yang dikembangkan, sudah sepatutnya memberikan
keuntungan bagi Indonesia, baik itu pemerintah, swasta maupun masyarakat. Pihak
pengembang proyek atau project entity CDM, jelas mendapatkan keuntungan dari
adanya jual beli karbon kredit melalui investasi dan transfer teknologi. Namun
demikian, keuntungan bagi negara dan masyarakat belum bisa dirasakan dengan jelas.
Maka dari itu, diperlukan adanya perbaikan peraturan mengenai benefit sharing antara
peserta proyek (pembeli dan penjual) dengan negara dan juga masyarakat sekitar
proyek dikembangkan.
3. Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi penghasil karbon kredit cukup besar,
baik dari pengembangan proyek ataupun penyerapan karbon, sudah seharusnya
memanfaatkan hal tersebut menjadi peluang yang menguntungkan.Selain dengan cara
mengundang para investor dari negara Annex I untuk melakukan CDM, keuntungan
yang besar akan didapat jika peraturan mengenai perdagangan karbon kredit ini sudah
jelas. Sehingga besarnya potensi karbon kredit yang dimiliki tidak semata-mata
dirasakan keuntungannya oleh pihak pengembang proyek, melainkan oleh seluruh
masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Dengan banyaknya investor yang ingin
melangsungkan proyek CDM di Indonesia, selain aspek ekonomi, Indonesia juga turut
berpartisipasi dalam upaya mitigasi perubahan iklim global serta menerapkan prinsip
pembangunan berkelanjutan.
4. Diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai aspek-aspek hukum dari perdagangan
karbon kredit. Misalnya berkaitan dengan aspek hukum internasional dari
perdagangan karbon kredit. Kebijakan yang berbeda-beda di tiap negara mengenai
karbon kredit mengharuskan para pihak dalam proyek CDM melihat berbagai
ketentuan hukum yang berlaku, baik di negara para peserta proyek maupun di negara
yang sistem hukumnya digunakan sebagai applicable law dari perjanjian jual beli
karbon kredit tersebut. Sehingga CER yang diperjualbelikan memang terbukti
kepemilikan haknya secara hukum. Selain itu dapat dikaji juga mengenai tanggung
jawab negara dalam pengelolaan karbon sebagai sumber daya alam yang telah menjadi
komoditas agar dapat memberikan keuntungan bagi negara ataupun masyarakat.
Secara filosofis, perlu dikaji apakah adanya mekanisme CDM memang benar-benar
sebuah upaya mitigasi dampak perubahan iklim global atau hanya merupakan bentuk
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
“izin” agar negara-negara maju tidak mengurangi jumlah emisi yang dilepaskan ke
atmosfir.
Daftar Pustaka
Buku
Carter, Neil. The Police of the Environmental: Ideas, Activism, Policy. Cambridge: University
Press, 2011.
Darmabrata, Wahyono. Hukum Perdata: Pembahasan mengenai Asas-asas Hukum Perdata.
Jakarta: Gitama Jaya, 2004.
Elliot, Lorraine. The Global Politics of the Environment. London: Mac Millian Press, 1998.
Hansjurgens, Bernd dan Ralf Antes Ed. Economics and Management of Climate Change.
Leipzig/Oldenburg: Springer, 2008.
Hasbullah, Freida Husni. Hukum Kebendaan Perdata (Hak-hak yang Memberi Kenikmatan).
Jakarta: Ind-Hill.Co., 2002.
Jotzo, Frank dan Alex Michaelowa. Estimating the CDM Market Under the Bonn Agreement.
Hamburg: Hamburg Institute of International Economic, 2002.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Modul Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya
Paramita, 2004.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan Pada umumnya. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993.
Murdiyarso, Daniel. Protokol Kyoto: Implikasinya bagi Negara Berkembang. Jakarta:
Kompas, 2003.
_________________. CDM: Mekaisme Pembangunan Bersih. Jakarta: Kompas, 2004.
Oberthur, Sebastian dan Herman E. Ott. The Kyoto Protocol: International Climate Policy for
the 21st Century. New York: Springer, 1999.
S, Halim H. Perkembangan Hukum Kontrak Inominaat di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
Subekti, Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa, 2001.
______. Aneka Perjanjian. Bandung: Alumni, 1995.
UNEP, Legal Issues Guidebook to the Clean Development Mechanism. Rosklide: Baker and
McKenzie, 2004.
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
Valentine, Scott Victor. “Refarming Global Warming: Toward A Strategic National Planning
Framework.” Dalam Crucial Issues in Climate Change and the Kyoto Protocol: Asia
and the World. Singapore: World Scientific Publishing, 2010.
Voigt, Christina. “The Deadlock of the Clean Development Mechanism: Caught Between
Sustainability, Environmental Integrity and Economic Efficiency.” Dalam Climate
Law and Developing Countries: Legal and Policy Challanges for the World Economy.
Cheltenham: Edward Elgar Publishing Ltd, 2009.
Jurnal
Button, Jillian. “Carbon: Commodity or Currency? The Case for an International Carbon
Market Based on the Currency Model.” Harvard Environmental Law Review Vol. 32
(2008).
Center for International Forestry Research. “Perangkat Hukum Proyek Karbon Hutan di
Indonesia.” Carbon Brief 3 (Januari 2005).
Kallbekken, Steffen dan Hege Westkog. “Should Developing Countries Take on Binding
Commitments in a Climate Agreement? An Assessment of Gains and Uncertainty.”
The energy journal, Vol. 26, No. 3. (2005).
Tesis
Sakti, Danang Kuncara. “Dampak Protokol Kyoto Melalui Clean Development Mechanism
Pada Sektor Kehutanan Terhadap Perekonomian Indonesia pendekatan Sisttim Neraca
Sosial Ekonomi.” Tesis Magister Perencanaan dan kebijakan Publik Program Pasc
Sarjana Universitas Indonesia. Depok, 2005.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 32
tahun 2009. LN No. 140 Tahun 2009. TLN No. 5059.
UNFCCC. United Nations Framework Convention on Climate Change. 1992.
_______. Kyoto Protocol to the United Nation Framework Convention on Climate Change.
1998.
Internet
Wibowo,
Arinto.
“PLN
Jual
Karbon
Kredit
di
Pembangkit
Mikro.”
http://news.viva.co.id/news/read/70412pln_jual_karbon_kredit_di_pembangkit_mikro diakses pada 19 September 2012.
Perjanjian Jual ..., Aditya Ramandika, FH UI, 2013
Download