HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Leuwiliang dan Cibungbulang merupakan dua kecamatan yang termasuk daIam wilayah timur Kabupaten Bogor. Kecamatan Leuwiliang mempunyai luas lebih besar dibandingkan dengan Kecamatan Cibungbulang, namun jurnlah desa di masing-masing kecamatan tersebut harnpir sama, berturut-tumt yaitu 19 dan 15 desa. Sepertiga wilayah Kecamatan Leuwiliang dan lebih dari setengah wiIayah Kecarnatan Cibungbulang digunakan untuk sawah (Tabel 4). Tabel 4. Penggunaan Lahan di Kecamatan Leuwitiang dan Cibungbulang Pada akhir tahun 1999 penduduk Kecamatan Leuwiliang adalah sebanyak 144.623 jiwa (laki-laki 50,4% dan perempuan 49,6%), sedangkan penduduk Kecamatan Cibungbulang berjumlah 90.178 jiwa (laki-laki 49,3% dan perempuan 50,7%). Lebih dari 45% penduduk di dua kecamatan tersebut mempunyai pekerjaan sebagai petani (Tabel 5). Tabel 5. Sebaran Penduduk di Kecamatan Leuwiliang dan Cibungbulang Berdasarkan Jenis Pekejaan Lebih dari 40% penduduk di Kecamatan Leuwiliang dan Cibungbulang telah mencapai tingkat pendidikan SD. Bahkan di dua kecarnatan tersebut yang mencapai tingkat pendidikan SLTP, masing-masing adalah sebanyak 21,4% dan 42,0% (Tabel 6). Tabel 6. Sebaran Penduduk di Kecamatan Leuwiliang dan Cubungbulang Berdasarkan Tingkat Pendidikan Status Sen% Kadar seng serum contoh rata-rata addah 0,91-,35 mg/l (Tabel 7). Menurut Sm~steadand Evans (1988), orang yang menderita defisiensi seng dengan tingkat yang tidak terlalu parah, nifai seng serum kadang-kadang normal saja yaitu berkisar antara 0.9 hingga 1,3 mgl. Shils. Olson and Shike (1994) Effendi dkk. (2000) menjelaskan bahwa kisaran normal seng serum adalah 0,75-1,40 mgA. Jameso~t (1993) mengatakan bahwa kadar seng serum ibu hamil 0.65 mgn dipertimbangkan sebagai kadar seng serum yang rendah. Cut oflpojnt yang digunakan untuk menaksir resiko defisiensi seng adalah kadar seng serum <0,70 mg/l (Gibson, 1990). Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan pada beberapa populasi terlihat bahwa keberadaan kadar seng yang rendah dalam serum seringkali rnenunjukkan kekurangan zat gizi tersebut (WHO, 1996). Tabel 7. Kadar Seng Serumadan Sebaran Usia Keharnilan Ibu Berdasarkan Kelompok Status Seng Keterangan: "Effendi, dkk (1999) b~ejumlah19 ibu hamil tidak terolah karena data usia kehamilan tidak lengkap Berdasarkan hasil perhitungan dengan menyertakan seluruh contoh ibu hamil (n=252), diketahui bahwa contoh yang beresiko mengalami defisiensi seng cendenu~g berprevalensi tinggi" (21,8%). Prevalensi tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Effendi dkk (2000), yaitu 86,7%. Namun demikian, penelitian ini memperkuat kesimpulan Riyadi (1994) yaitu tinggi prevalensi defisiensi seng wanita pada semua kelompok umur berkisar antara 9,7-4 1.5%. Kadar seng serum ibu hamil defisiensi seng pada tiga bulan kedua kehamilan lebih tinggi dibanding tiga bulan pertama; ha1 sebaliknya tejadi pada ibu harnil tidak defisiensi seng. Kondisi ini berkaitan dengan pengontrolan kandungan seng total tubuh melalui pengaturan efisiensi absorpsi usus halus dan eksresi dari pools seng endogenous O(ing & Keen, 1999). King mlJ Keen (1999) serta Sauberlich (1999) menjelaskan bahwa konsentrasi sirkulasi seng dalam plasma ibu hamil lebih rendah sekitar 15-35% pada saat hamil dibandingkan dengan pada saat tidak hamil. Penurunan tejadi seawal mungkii pada tiga bulan pertama keharnilan, stabil pada tiga bulan kedua, dan menurun levih jauh pada tiga bulan ketiga. Penurunan seng plasma kemungkinan oleh sifat pertambahan volume plasma, otak janin, dan penyesuain hormonal dalam distribusi seng dari sirkulasi ke jaringan Iain, seperti hati. " Kcccndcrungan: predensi tinggi (>2Oa/o)), prevalensi sedang (10?& (Berg & Austin, 1987). 19%)- prevalensi rendall ( ~ 1 0 % ) Karakteristik Sosial dan Ekonomi Umur suami contoh rata-rata adalah 32,2 tahun sedangkan umur wntoh 26,5 tahun (Tabel 8). Adapun usia kehamilan contoh rata-rata adalah 4,7 bulan. Tabel 8. Karakteristik Sosial dan Ekonomi ibu Hamil Berdasarkan Kelompok Status Seng Defi+iensiSeog Karakteristik Sosial dm Ekonomi Umur suami contoh (th) Ulnw contoll (th) Usia kehamilan @In) Pendidikan suami contoh (th) Pendidikan contoh (th) Jumlab anggota nrmahtangga (org) Pengeluaran pangan (Rphlnflrapita) I Pengeluaran non pangan (Rp/bln/kapita) I Pengeluaran total (Rp/bln/kapita) L I Tidak Defisiensi Seng Rata-rata I (rata-rat-tandar deviasi) 32,2354 32.835,O 26Sf3.3 26,7f4,3 1 4,7m,7 4.733.8 6,933,l 7,333,O 6,0+2,4 6,3325 4,4f 1,4 4,4f 1,6 96.3 18,56+ 100.177,06-+ 56.345,SI 47.161,15 3 1.986.54f 19.500.63 128.031,31* 137.235,42* 68.653.45 64.093,64 1 1 1 I/ 1 2 Tingkat pendidikan suami dan wntoh relatif masih rendah. suami contoh menempuh pendidikan selama 1-6 tahun (62,3%). menempuh pendidikan sampai SD adalah sebanyak 77,O0/0; 32.7f5.1 26,7M,1 4,7+0,7 7,2+3>0 6.332.5 4,4+1,6 99.321,34f 49.250,27 33.296,73+ 19.603,30 135.206,76+ 65.094,20 Sebagian besar Contoh yang sejurnlah 80%-nya mengalami defisiensi seng. Adapun penduduk Kabupaten Bogor yang berpendidikan 1-6 tahun (SD) adalah sebanyak 48,9% ( D i i e q 2000). mempengaruhi pendapatan. Tingkat pendidkin Selain itu tingkat pendidikan sangat erat hubungannya dengan makanan yang dikonsumsi oleh rumahtangga. Ilal tersebut berkaitan dengan pengetahuan yang lebih tinggi, terutama tentang gizi d m kesehatan. Dengan meningkatnya taraf pendidikan, kemungkinan pantangan makanan ataupun praktek- praktek gizi yang salah akan berkurang atau bahkan fiilang sama sekali (Suhardjo, 1989). Sebagian besar contoh tidak bekerja (89,3OA), sedangkan suami contoh sebagian besar bekerja sebagai buruh (48,4%) dan pedagang (20,Z0h) (Tabel 9). Sekitar setengah dari contoh yang mengalami defisiensi seng berasal dari rumahtangga dengan suami bekej a sebagai buruh (54,S0A) Tabel 9. Sebaran Jenis Pekerjaan Contoh dan Suami Contoh Berdasarkan Kelompok Status Seng Sebanyak 60,3% rumahtangga contoh termasuk rumahtangga kecil (54 orang) dan sebanyak 34,9% rumahtangga sedang (5-7 orang). Suhardjo (1989) menjelaskan bahwa jumlah anggota rumahtangga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap konsumsi pangan rumahtangga selain jumlah pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan. Pangan yang tersedia untuk keluarga besar kemungkinan tidak mencukupi dibandingkan dengan keluarga kecil, sehiigga sering timbul masalah gizi. Pendapatan rumahtangga 135.206,76+65.094,20. contoh per kapita per bulan adalah Rp Berdasarkan tingkat pendapatan tersebut terdapat 15,9% keluarga yang tergolong miskin (menurut standar BPS, 2000). Persentase rumahtangga contoh defisiensi seng yang tergolong miskin, lebih banyak (22,256) dibanding dengan rumahtangga contoh yang tidak defisiensi seng (14,1%). Selain itu, pendapatan rurnahtangga contoh juga jauh lebih rendah dibanding pendapatan per kapita Kabupaten Bogor tahun 1999, yakni Rp 241.666,67/blnfkapita (Dinkes, 2000). Persentase pengeluaran belanja pangan contoh adalah 73,5% total pendapatan, lebih tinggi dari persentase pengeluaran belanja pangan nasional pada tahun 1987 (Dinkes, 2000), yaitu 60,9'??. Tingginya persentase pengeluaran pangan menunjukkan tingkat sosial ekonomi rumahtangga contoh masih rendah (Soekirman, 1991). Rendahnya pendapatan, merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang cukup. Hasil uji beda (t test) menunjukkan bahwa status seng tidak membuat karakteristik sosial dan ekonomi contoh menjadi berbeda secara bermakna (Lampiran 5). Pengetahuan Gizi dan Kesehatan serta Penvakit Infeksi Skor pengetahuan gizi dan kesehatan wntoh 63,6I?r15,0%. Nilai tersebut tergolong relatif rendah sehingga memerlukan perhatian khusus. Husaini (1986) dan Suhardjo (1989) menyatakan bahwa pengetahuan gizi dan kesehatan mempengaruhi konsumsi pangan. Dengan semakin meningkatnya pengetahuan gizi dan kesehatan maka semakin tinggi pula kemampuan dalam memilih dan merencanakan makanan dengan ragam dan kombinasi yang tepat sesuai dengan syarat-syarat gizi. Berdasarkan riwayat penyakit contoh satu bulan yang lalu diketahui bahwa persentase contoh yang menderita sakit adalah 30,2%, dengan rata-rata hari sakit 4,5+15,7 hari (Tabel 10). Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kurang seng dan sakit infeksi (Soekirman, 2000). Baisel (1976) menyatakan bahwa sakit infeksi berpengaruh terhadap kadar seng serum. King and Keen (1999) menjelaskan bahwa infeksi bakteri akut dan endotoxemia pada tikus dengan nyata meningkatkan absorpsi seng. Tabel 10. Sebaran Jenis Sakita Ibu Hamil Berdasarkan Kelompok Status Seng Keterangan: 'menurut riwayat penyakit satu bulan yang M u b=flu& pilek, batuk, jmms, demam, diare, bisul, sakit gigi, infeksi saluran kemih, s a r i a m sesak naps, muntaber dan radang tenggorokan. "=pusing. maag, mual& muntah, kurang darah, pendarahan, mas& angin sakit kepala, sakit ulu hati dan nafsu makan berkurang. Contoh defisiensi seng lebih banyak dan lebih lama menderita sakit infeksi dibandingkan dengan contoh tidak defisiensi seng Dari beberapa penelitian terdahulu diketahui bahwa defisiensi seng pasti mengurangi jumJah sel darah putih (Ne\usRx corn & Ne\vsRu net). Hal tersebut dapat menyebabkan terganggunya pertahanan tubuh terhadap penyakit. Asupan seng yang cukup selama kehamilan akan membantu mencegah infeksi (htiv: bnbvcer?ter.com). Narnun demikian, hasil uji beda (t test) menunjukkan bahwa status seng tidak mernbuat pengetahun gizi dan kesehatan serta lama sakit contoh menjadi berbeda secara bermakna (Lampiran 6). Konsumsi dan Mutu Gizi Pancan Pola Konsumsi Panpan Pangan di dalarn penelitian ini dikelompokkan menjadi sembilan kelompok yaitu serealia, umbi-umbian, produk hewani, kacang-kacangan, sayur-sayuran, buahbuahan, bahan minuman, makanan jajanan dan bumbu-bumbuan. Pengelompokkan ini didasarkan pada pengeiompokkan bahan pangan di dalam Dafiar Komposisi Bahan Makanan (DKSM) dan prinsip penghitungan nilai zat gizi makanan. Kerapaman Panpan Sebanyak 60% contoh mengkonsumsi 10-20 jenis pangan per hari, dengan rata-rata 14,6 jenis pangan per hari (Lampiran 7). Keragaman pangan perlu diperhatikan karena penyebab utama masaIah gizi adalah perilaku yang keliru memilih dan mengkonsumsi pangan (Depkes, 1995; Effendi, 1999). Hal ini berkaitan dengan keadaan pangan secara alami, yaitu komposisi zat gizi setiap jenis pangan memiliki keunggulan dan kelemahan tertentu, misalnya beberapa pangan mengandung tinggi seng, sedangkan beberapa pangan lain kaya zat gizi lain. Jenis pangan nabati lebih banyak dikonsumsi contoh dibanding j e ~ spangan hewani. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Effendi (1999), yaitu daerah Jawa Barat lebih banyak mengkonsumsi pangan nabati. Contoh defisiensi seng mengkonsumsi pangan lebih beragam (15,8 jenis/hari) dibanding contoh tidak defisiensi seng (14,3 jenidhari). Kubota and A N a w q (1972) menegaskan bahwa faktor pemilihan jenis makanan, yaitu dari pangan hewani atau nabati, menentukan status seng pada manusia ketimbang lokasi asli bahan makanan tersebut. Dari hasil uji beda menunjukkan bahwa rata-rata keragaman konsumsi pangan contoh defisiensi seng atau contoh tidak defisiensi seng addah tidak berbeda secara bermakna (Lampiran 8). Konsumsi Panean Konsumsi pangan contoh masih sangat rendahb, yaitu 30,8% dari kecukupan pangan yang dianjurkan (Tabel 11). Hasil telaah pola konsumsi pangan daerah Jawa Barat oleh Depkes (1995) adalah bahwa konsumsi sumber karbohidrat kornpleks sangat tinggi, sedangkan konsumsi sayuran, buah dan lauk pauk sangat rendah. Pada penelitian ini selain konsumsi sayuran, buah dan lauk hewani sangat rendah, terlihat pula bahwa konsumsi sumber karbohidrat kompleks juga sangat rendah. k i t e r i a telaah pola konsunlsi pangan: 4 5 % stsndarcsangatrendah, 85-94% standat=ren3ah, 95-105% standa~=~ukup/sesuaistandar, 106-1 15% sh&r=tinggi dan >115% standar sangat tinggi (Lkpkes, 1995) Tabel 1 1. Tingkat Konsumsi Pangan Ibu Hamil Berdasarkan Kelompok Status Seng Kelornpok Pangan Konsumsi Pangan yang Dianjurkan' Tidak Defisiensi Seng Defisiensi Seng K O , - I TKP I KO~-- / TKP Rata-rata I b n s m - 1 TKP LesZje (1995) mengatakan bahwa tingkat konsumsi pangan ibu hamil masih jauh di bawah kecukupan yang dianjurkan, terutama teqadi di negera berkembang. Effendi (1990) menjelaskan bahwa rendahnya tingkat konsumsi pangan ibu hamil dapat disebabkan oleh nafsu makan ibu hamil yang umuxnnya berkurang pada empat bulan pertama kehamilan, yang antara lain dapat disebabkan oleh defisiensi seng yang moderat (Prasad, 1985); serta pendapatan rumahtangga yang rendah (Suhardjo, 1 992; Soekirman, 1991; Hardinsyah, 1996b) yaitu kekurangan pangan merupakan salah satu konsekuensi ekonomis yang bermula dari ketidakmampuan menghasilkan secara cukup atau karena kemiskinan, sehingga tidak mampu membeli. Selain itu, konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh pengetahuan gizi dan kesehatan (Husaini, 1986; Suhardjo, 1992) yaitu ketidaktahuan dapat menyebabkan kesalahan pemilihan dan pengolahan makanan. Contoh defisiensi seng (n=21,8%) lebih banyak yang mengkonsumsi ayam dibandiig contoh tidak defisiensi seng (n=13,2%) (Lampiran 9). Hal sebaliknya terjadi pa& konsumsi ikan teri asin goreng, yaitu contoh defisiensi seng yang mengkonsumsi ikan teri asin goreng adalah sebanyak 14,5% sedangkan contoh tidak defisiensi seng adalah sebanyak 27,4%. Ayam termasuk kelompok daging yang bewarna putih yang merupakan pangan sumber seng yang kurang baik (Kartono. 1983; King & Keen, 1999), sedangkan ikan teri merupakan pangan sumber seng yang cukup baik (Kartono, 1983). Dan hasil uji beda (t test) diketahui bahwa rata-rata konsumsi pangan contoh defisiensi seng atau wntoh tidak defisiensi seng adalah tidak berbeda secara bermakna (Lampiran 8). Frekuensi Makan Frekuensi makan lengkap' contoh rata-rata meningkat pada saat hamil dibandingkan dengan sebelum W. Frekuensi makan lengkap wntoh rata-rata sebelum hamil 2,6 kali, sedangkan pada saat hamiI menjadi 2,9 kali. Setelah dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji t untuk dua contoh yang berpasangan (paired sample t test) t e r l i i t bahwa kehamilan membuat frekuensi makan lengkap wntoh rata-rata berbeda sangat nyata antara sebelum hamil dengan saat hamil (Lampiran 10). Frekuensi makan lengkap contoh defisiensi dan tidak defisiensi seng sebelum hamil rata-rata hampir sama. Pada saat hamil, frekuensi makan lengkap contoh tidak defisiensi seng rata-rata terlihat lebih sering dibandingkan dengan contoh defisiensi seng, namun hasil uji beda (t test) menunjukkan bahwa frekuensi makan lengkap contoh defisiensi seng dengan contoh tidak defisiensi seng tidak berbeda nyata (Lampiran 11). " fokus pada makanan pokok, lauk d m s a p Kebiasaan Makan Contoh umumnya biasa mengkonsumsi makanan selingan (95,6%), namun tidak banyak yang dipnoritaskan makan (27,0%), dianjurkan mengkonsumsi makanan tertentu selama hamil (10,3%), mempunyai pantangan makan sebelum hamil ( 8 , j 0 h ) maupun yang menghindari m h a n tertentu selama hamil karena alasan kesehatan (7,9%) atau tradisiikepercayaan (5,6%) (Tabel 12). Tabel 12. Sebaran Kebiasaan Makan Ibu Hamil Berdasarkan Kelompok Status Seng Kebiasl~llnMakan Hampir seluruh (95,6%) contoh biasa mengkonsumsi makanan selingan. Jenis makanan sefngan yang banyak diionsumsi contoh adalah mie bakso (39,3%) dan goreng pisang (1 8,2%) (Tabel 13). Tabel 13. Sebaran Jenis Makanan Seiingan Ibu Hamil Berdasarkan Kelompok Status Seng Contoh yang diprioritaskan makan dibanding anggota rumahtangga lainnya adalah sebanyak 27,0%. Aiasan diprioritaskan makan antara lain adalah agar bayi dan ibu sehat dan karena nafsu makan berkurang; sedangkan alasan tidak diprioritaskan makan antara lain adalah karena makan bersama-sama, makan seadanya, untuk anak dan karena tidak suka diprioritaskan. Hasil uji binomial menunjukkan bahwa kemungkinan contoh defisiensi seng tidak diprioritaskan makan pada saat hamil add& lebih besar dibandingkan contoh yang diprioritaskan rnakan (Lampiran 13). Sedikit contoh yang mendapat anjuran mengkonsumsi makanan/minuman tertentu selama hamil (10,3%). Hasil uji binomid menunjukkan bahwa kemungkinan contoh tidak mendapat anjuran mengkonsumsi makanan/minuman tertentu selama hamii adalah lebih besar, baik contoh defisiensi seng maupun yang tidak defisiensi seng (Lampiran 12, I 3 & 14). Adapun jenis makanan yang dianjurkan kepada contoh antara fain adalah sayuran, susu dan buah-buahan (Tabel 14). Jenis makanan yang dianjurkan tersebut sesuai dengan saran hasil telaah pola pangan daerah Jawa Barat (Depkes, 1995). Tabel 14. Sebaran Jenis Makanan yang Dianjurkan Dikonsumsi Selarna Ibu Harnil Berdasarkan Kelompok Status Seng Contoh yang mempunyai pantangan makanan sebelum hamil adalah sebanyak 10,7%, semuanya dari kelompok tidak defisiensi seng (Tabel 15). Hasil uji binomial rnenunjukkan bahwa kemungkinan wntoh defisiensi seng tidak pantangan makanan sebelum hamil adalah lebih besar (Lampiran 14). mempunyai Tabel 15. Sebaran Jenis Makanan yang Dipantang Sebelum Ibu Harnil Tidak Defisiensi Seng Hamil 1 1 I. I I Jenis Pantangan lDaging kambing I Alrlsan j Panas Contoh Tidak Defisiensi Seng ( O h ) I ! (n=197) 0,s Jenis makanan yang dipantang contoh sebelum contoh hamil antara lain adalah daging kambing, ikan basah dan susu. Penganjur pantangan makanan yang diungkapkan contoh adalah orang ma dan dokter (Tabel 15). Contoh yang mempunyai kebiasaan menghindari makanan tertentu selama harnil karena alasan kesehatan adalah sebanyak 7,9%. Hasil uji binomial menunjukkan bahwa kemungkinan contoh tidak menghindari makanan tertentu selama h a d karena alasan kesehatan adalah lebih besar, baik contoh defisiensi seng maupun contoh tidak defisiensi seng. Adapun jenis makanan yang dihindari selama hamil karena alasan kesehatan antara lain adalah daging kambing, mie bakso, dan pisang goreng. Alasan kesehatan yang dikernukakan contoh antara lain karena menimbulkan penyakit maag, bau dan panas (Tabel 16). Tabel 16. Sebaran Jenis Makanan yang Difiindari oleh Ibu Hamil Karena Alasan Kesehatan dan Alasan Kesehatan yang Dikemukakan Ibu Hamil Berdasarkan Kelompok Status Seng Contoh defisiensi maupun yang tidak defisiensi seng yang rnempunyai pantangan makanan/minurnan tertentu selarna tradisi/kepercayaan jumlahnya tidak banyak (5.6%). hamil karena alasan Jenis pangan yang dipantang contoh antara lain adalah pisang dempet, salak (khawatir anak susah lahir) dan terung (tali pusar menjadi rapub) (Tabel 17) Tabel 17. Sebaran Jenis Pangan yang Dihindari Selama Ibu Harnil Karena Alasan Tradisfiepercayaan Berdasarkan Kelompok Status Seng Jenis Pangan 9 10 11 12 ~Salak Bayuran bape berong 13 0,O 0,O 13 5,5 Total 0,5 0,s ! 0,s 0,O 5,6 1 0.8 0,4 0,4 0,4 5,6 Konsumsi dan Mutu Gii Makanan Mutu gizi makanan (MGM) contoh 61,0f15,3, yang jauh lebih rendah dari seharusnya (100) (Tabel 18). N i tersebut l e b i rendah &bandin&an mutu gizi makanan ibu h a d di Bogor Timur, yaitu 73,8t10,9 (Hardinyah dkk, 20003. Dari penelitian Hardiisyah, Kusno dan Khomsan (2000b) tentang keragaan konsumsi pangan di berbagai DT II (kabupaten dan kotamadya) tahun 1997, diketahui bahwa penyebab rendahnya mutu gizi makanan antara lain adalah rendahnya konsumsi sayur dan buah. SeIain ha1 tersebut, Hardinsyah (19967 mengungkapkan bahwa sernakin tinygi pendapatan semakin baik mutu gizi makanan. Peubah sosial yang lainnya seperti besar mmahtangga, pendidikan ibu dan suitmi juga berhubungan positif dengan mutu gizi makanan, sedangkan besar rumahtangga berhubungan negatif dengan mutu gizi makanan. Tabef 18. Tingkat Konsumsi dan Mutu Gizi Makanan (MGM) Ibu Harnil Berdasarkm Kelompok Status Seng Vitamin C 67,7 nlp 44,5 65.6 43.2 62.8 43.5 63.4 %W hlGM 193 rng 6-3 33.3 62 82,7 6.3 323 62.2 60.7 61.0 Keterangan: AKG=Angka Kecukupan Gi (Widya K m y n Nasional Pangan dan Gizi, 1998 setelah dikorebi dengan bemt badan ibu hamil) TKG =Tingkat Kccuklpan Gxzi Tingkat konsumsi vitamin C contoh defisiensi seng lebii tinggi dibanding contoh tidak defisiensi seng yaitu 65.6% dan 62,8% (Tabel 18). Hal ini diduga berkaitan dengan konsumsi sayur dan buah contoh, yaitu contoh defisiensi seng lebih tinggi konsumsi sayur dan buahnya dibandiig contoh tidak defisiensi seng, yaitu bertumt-turut adalah 20,396 dan 19,4% serta 16,6% dan 15,6% (Tabel 11). Vitamin C adalah salah satu senyawa yang paling dikenal sebagai enhancers, yang mempengaruhi ketersediaan seng di usus. Pengaruh ini terjadi karena sifatnya yang dapat menurunkan pH, kompleksasi, dan reduction pofemzal (Clydesdale, 1988). Namun demikian, hasil uji beda (t test) menunjukkan bahwa status seng tidak membuat konsumsi gizi dan mutu gizi makanan contoh defisiensi seng dan contoh tidak defisiensi menjadi berbeda secara bemakna (Lampiran 15). Kandungan Sene Panpan Kandungan seng pangan bervariasi, mulai dari 0,2 mg (tempe goreng) sampai 22,9 mg (siput) per 100 gram pangan (kadar air 0%). Kandungan seng pangan hasil penelitian cenderung lebih rendah dibanding kandungan seng pangan studi pustaka (Tabel 19). Perbedaan tersebut antara lain disebakan ofeh kondisi tanahlalam yang berbeda (Haeflein & Rasmussen, 1977; Kubota & Allaway, 1972, WHO, 1996), yaitu pada penelitian ini data kandungan seng dari studi pustaka sebagian besar berasal dari negara lain, terutama Australia. Selain itu, perbedaan jenislvarietas pangan, perbedaan bagian atau potongan dari pangan yang dianalisis (Utami, 1995) serta proses pengolahan dari bahan baku menjadi hasil akhir juga dapat menyebabkan perbedaan nilai (Rimbawan dkk, 2000; Elnovriza, Rimbawan, Wirakusumah & Sukandar, 2001). D&ar kandungan seng pangan yang dikonsumsi contoh dapat dilihat pada Larnpiran 16. Tabel 19. Kandungan Seng dan Kadar Air Pangan Berdasarkan Pustaka dan Hasil Analisis Jcnir Pangan Gad-gad0 Nasi uduk Bubur ayam Reinpeyek kacang t a d Keterangan: a=Utami (1995) teri nasi k e ~ i n gdari ikan teri asin b=Englisir and Iawis (1 991) 0.7 0.7 79.4 3,4 62.3 0.6 1.8 89.4 3.8 1.9 6.3 1.9 Utami (1995) mengungkapkan bahwa kandungan seng tanah di Kecamatan Ciampea dan Cibungbulang Kabupaten Bogor masih dalam batas normal, cenderung rendah (0,9-2,32 mg/100g dengan rata-rata 1,46 mg/100 g), sedangkan kandungan seng air minurn masih di bawah standar kualitas air di Indonesia (berkisar dari 0,200,40 mg/l dengan rata-rata 0,30 mgll). WHO (1996) menjelaskan bahwa air minurn adalah khas rendah seng, menyediakan hanya 2% dari konsumsi seng setiap hari. Lebii jauh Utami (1995) menjelaskan pula bahwa kandungan seng tanah produktif berkorelasi positif dengan kandungan seng bahan makanan produksi lokal walaupun pengamhnya tidak nyata (selang kepercayaan 90%) terhadap kandungan seng bahan makanan. Pangan hewani rata-rata mengandung seng tertinggi dibanding kelompok pangan lainnya, yaitu 2,l mg/100 g bdd (Tabel 20). Pangan hewani yang tinggi kandungan seng-nya adalah daging kerbau, keong (siput sawah), cumi-cumi (segar), daging karnbing dan pindang selar kecil (Lampiran 17). King Keen (1999) menjelaskan bahwa kerang-kerangan (kepiting), sapi (daging sapi bakar dan hati sapi turnis) dan daging bewarna merah lainnya (domba) merupakan sumber seng yang baik. Seiain itu WJ30 (1996) juga rnenyatakan bahwa telur dan makanan yang berasal dari laut dipertimbangkan sebagai surnber seng yang baik karena ketiadaan senyawa yang menghalangi absorpsi seng. Susandi~iani~id.mweb. com juga menambahkan bahwa sereal, dan bebijian kering (roti panggang) juga merupakan sumber seng yang baik. Tabel 20. Kandungan Seng Pangan yang Dikonsumsi Ibu Hamil Berdasarkan Kelompok Status Seng Dari hasil uji beda (t test) diketahui bahwa konsumsi seng pangan contoh yang dihitung menggunakan Dafiar Komposisi Bahan Makanan (DKBhQ dari studi pustaka dan DKBM yang meliputi hasil andisis seng pangan di laboratorium secara nyata berbeda. Narnun dernikian, konsumsi seng contoh antar kelompok status seng dengan menggunakan masing-masing DKSM tersebut tidak berbeda (Lampiran 18). Pangan Sumber sen^ dan Konsumsi sen^ Panpan Panean Sumber Seng Kartono (1983) rnengelompokan pangan sumber seng menjadi 4 kelompok berdasarkan kandungan seng-nya. Pengelompokan tersebut yaitu kaya seng (5 mg/lOO g bdd), sumber seng yang baik (3,s mg/100 g bdd), cukup baik (1-3 mg per 100 g bdd) dan kurang baik ((1 mg/100 g bdd). Di ddam penelitian ini, jenis pangan responden yang tergolong kaya seng adalah daging kerbau. Adapun yang tergolong sumber seng yang baik yaitu keong, cumi-cumi segar, daging kambing dan pindang selar kecil. Sebagian besar bahan makanan responden tergolong sebagai sumber seng yang cukup dan kurang baik (Lampiran 19). Kelompok pangan serealia memberikan sumbangan seng terbesar, yaitu 45,4Oh total konsumsi seng (Tabel 21). kurang baik (<1 mengkonsumsinya mgllOO g (98,4%) bdd), (Lampiran Nasi termasuk pangan surnber seng yang namun dernikian hampir 19). seluruh contoh Jenis pangan lain yang banyak dikonsutnsi w n t o h adalah tempe goreng (30,4%) dan tahu goreng (22,5%). Tabel 2 1 . Konsumsi Seng Pangan fbu Hamil Menurut Kelompok Pangan Berdasarkan Kelompok Status Seng Contoh defisiensi seng lebih banyak mengkonsumsi tahu dan tempe (47,0°/0 TKP) dibandiig contoh tidak defisiensi seng (32,5% TKP). Kacang-kacangan dan tumbuhan polong adalah tanaman sumber seng yang relatif baik (King & Keen, 1999). Dari penelitian Riyadi (1992) terungkap bahwa tahu dan tempe merupakan sumber protein nabati yang sering rnerupakan penyumbang yang nyata terhadap konsumsi protein total bag, masyarakat berpenghasiian rendah pada umumnya. komposisi menu dengan pangan pokok pedesaan dan masyarakat yang Khumaidi (1994) menjelaskan bahwa beras, bahan tempe/tahu sebaiknya berkuantitas hanya 60 gram per hari. Tempe adalah hasil fermentasi kapang Rhizopl~soIigaspom.~pada kedelai yang telah duebus. Kedelai mengandung asam fitat yang mengikat mineral, mengakibatkan tidak tersedianya mineral dalam bentuk bebas {Sandstead & Evans, 1988; WHO, 1996). Namun demikian, Sibarani (1991) menyatakan bahwa selama fermentasi, kapang menghasilkan enzim fitase yang menghidrolisa ikatan asam fitat dengan mineral, oleh karena itu mengkonsumsi tempe akan meninggikan ketersediaan mineral bagi tubuh, termasuk mineral seng. Konsumsi Sene Pangan Konsumsi seng pangan contoh rata-rata adalah 6,3 mg per hari (32,8% RDA). Dari konsumsi seng contoh tersebut, hanya 27,3% yang berasal dari pangan hewani, yang merupakan sumber seng yang baik karena relatif tidak mempunyai senyawa yang menghalangi absorpsi seng (WH0,1996); pangan nabati. sedangkan sisanya berasal dari WHO (1996) menjelaskan bahwa pangan hewani menyediakan sekitar 70% seng yang dikonsumsi penduduk Amerika, dengan lebih kurang separuhnya berasal dari daging (sapi, lembu, dan domba). Selain itu, Jclparies (1988) menjelaskan bahwa proses pengolahan pangan nabati dapat membuat kandungan seng turun hingga sekitar SO%, disamping seng dari pangan nabati lebih sukar diserap tubuh. Sebanyak 99,2% contoh mernpunyai konsumsi seng h a n g dari RDA WKNPG VI tahun 1998 (19.3 mg/hari) (Tabel 22). Namun demikian, berdasarkan R D A konsumsi seng terkini yang diungkapkan oleh National Academy Press tahun 2000 yaitu sebanyak 11 mg/hari (htto://books.nap.edu), jumlah mengkonsumsi seng Icurang dari RDA adalah sebanyak 79,0°/0. contoh yang Tabel 22. Sebaran Konsumsi Seng Pangan Ibu Hamil Menurut yang Dianjurkan Berdasarkan Kelompok Status Seng Konsumsi Seng Keterangan: WKNPG= Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI (1998), RDA = 20 mglhari ( d e n e n asumsi bioavai1abiIita.s seng pangan rendah) NA = National Academy (2000) RDA = 11 mglhari (dengan asumsi bioavailabilitas seng pangan tinggi) . WJ3O (1996) menjelaskan bahwa rata-rata konsumsi seng harian ibu hamil adalah 10 sampai 15 mg dan jika peningkatan konsumsi seng kecil, pengiriman seng yang cukup bagi perkembangan janin mesti dikirirnkan dengan pengaturan di dalam penggunaan seng. Bioavailabilitas seng pangan contoh rendah, dengan rasio konsumsi pangan hewani:nabati 0.1 1. WHO (1996) menjelaskan bahwa potensi bioavailabilitas seng rendah mempunyai karakteristik antara lain apaSila sumber protein tinggi fitat kedelai merupakan sumber protein utama. Japaries (1988) menjelaskan pula, bahwa dari diet yang tinggi biji-bijian, seng makanan yang diserap hanya sekitar 15%; adapun absorpsi dari diet Barat yang didominasi bahan pangan hewani mencapai 20-40% total konsumsi. King arid Keen (1999) mengungkapkan bahwa kuantitas penyerapan seng sekitar 80% lebih tinggi ketika suatu diet tin& daging (280 g daginglhari) dibanding dengan suatu diet yang rendah daging (42 g daging/hari). Dari penelitian Yuniarti (1995) disimpuIkan bahwa rata-rata ketersediaan biologis (bioavailabilitas) seng pada ikan di Kecamatan Ciampea dan Cibungbulang Kabupaten Bogor adalah sebesar 8.25%. Determinan Status Seng Determinan utama status seng ibu hamil pada penelitian ini adalah pendapatan rumahtangga (Lampiran 20). Status seng ibu hamil memiliki hubungan positif dengan pendapatan rumahtangga, berarti semakin tin& pendapatan rumahtangga, semakin tinggi probabilitas ibu hamil untuk tidak defisiensi seng. Sen (1982) menjelaskan hubungan konsumsi, pendapatan, dan kemiskinan yaitu 'kaum miskin' addah orang-orang yang konsurnsinya kurang pendapatan berada di bawah garis kemiskinan. dari ketentuan atau memiliki Selain itu, Hardinsyah (1988) menyatakan bahwa tinggi rendahnya pendapatan pada akhirnya akan mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran belanja pangan dan tingkat konsumsi pangan. Suhardjo (1989) menjelaskan pula bahwa rendahnya pendapatan, rnerupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu rnembeli pangan ddarn jumlah yang cukup. Effendi dkk (1999) mengemukakan bahwa kemiskinan rnerupakan salah satu faktor risiko tinggi pada kehamilan. Persamaan yang diperoleh parameter status seng adalah: dari analisis regresi logistik menggunakan (overall hit ratio=77,73%) Keterangan: >--Statusseng (O=tidak defisiensi seng. l=defisiensi seng) s l = Konsumsi pangan hewani (g) s2= Konsumsi serealia (g) x3= Mutu gizi makanan (sko685= I , lainnya=O) s4= Judall tmri sakit (<4 hari=O. Iainnya=l) x5= Pendapatan nunahtangga 72.780,OOkaphln =I,lainnya=O) x6= Jumlah anggota rumahtangga (14 orang=O, Jainnya= 1) s7= Lama tempdl pendidikan (th) (w Tingkat konsumsi pangan hewani contoh masih sangat rendah, yaitu 53,6% konsumsi pangan yang dianjurkan, sedangkan pangan hewani merupakan pangan surnber seng yang paling baik dibanding kelompok pangan lainnya. WHO (1996) menjelaskan bahwa seringkali konsumsi seng berkorelasi dengan konsumsi protein, tetapi hubungan yang pasti dipengaruhi oleh sumber protein. Lebii jauh dijelaskan bahwa diet yang terutama terdii dari telur, susu, unggas dan ikan memiliki ratio seng:protein yang lebih rendah dibanding komposisi kerang-kerangan, sap& dan daging yang berwarna merah lainnya. Diet dengan suatu rasio kaya seng:protein, bebas dari tanaman berpolong, butir padi utuh dan kacang-kacangan. Kzng and Keen (1999) menjelaskan pula bahwa produk hewani menyediakan sekitar 70% dari seng yang dikonsumsi oleh penduduk Amerika, dengan lebih kurang setengahnya berasal dari daging (sapi, lembu, babi dan domba). Tingkat konsumsi pangan serealia contoh sangat rendah (53,6% konsumsi pangan yang dianjurkan). Di sisi lain, kelompok pangan serealia memberikan sumbangan seng terbesar, yaitu 45,4% total konsumsi seng contoh. Wdaupun nasi termasuk pangan sumber seng yang kurang baik ((1 memeberikan sumbangan seng terbesar, juga mg/100 g bdd), namun selain hampir seluruh contoh mengkonsumsinya (98,4%). Mutu gizi rnakanan (MGM) contoh adalah 61,0, jauh Iebih rendah dari seharusnya (100). Rendahnya mutu gizi makanan contoh seiring dengan rendahnya tingkat konsumsi pangan contoh, yaitu 30,8% konsumsi pangan yang dianjurkan. Konsumsi pangan contoh tersebut, hanya menyumbangkan seng 32,S0/0 AKG. Berdasarkan riwayat penyakit contoh satu bulan yang lalu diketahui bahwa persentase contoh yang menderita sakit adalah 30,2%, dengan rata-rata hari sakit 4,533 5,7 hari. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kurang seng dan sakit infeksi (Soekirman, 2000). Beisel (1976) menyatakan bahwa sakit infeksi berpengaruh terhadap kadar seng serum. King &Keen (1999) menjelaskan bahwa infeksi bakteri akut dan endotoxemia pada tikus dengan nyata meningkatkan absorpsi seng. Disamping itu, telah diketahui bahwa defisiensi seng dapat disebabkan oleh keadaan kesehatan (Prasad, 1991; Sanstead & Evans, 1988) dan ekskresi yang b e r l e b i i (Gibson, 1990). Dari hasil penelitian diketahui bahwa defisiensi seng pasti mengurangi jumlah sel darah putih (NewsRx com & NewsRxnet). Hal tersebut menyebabkan terganggunya pertahanan tubuh terhadap penyakit. h u p a n seng yang cukup selama kehamilan akan membantu untuk mencegah infeksi (http:.<ibabvcenferr corn). Hasil Uji Korelasi Pearson menunjukkan bahwa pendapatan rumahtangga m e d i k i hubungan positif yang signifikan dengan pengetahuan gizi d m kesehatan ibu hamil (r=0,160; P=0,012), lama pendidikan ibu hamil (r=0,211; P=0,001), serta lama pendidikan suami ibu harnil ( ~ 0 , 1 3 5 P=0,030) , (Lampiran 2 1). Gunanti (1999) menjelaskan bahwa pendidikan sangat erat hubungannya dengan makanan yang dikonsumsi. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan yang lebih tinggi, terutama tentang gizi dan kesehatan. Semakin meningkat pengetahuan gizi dan kesehatan maka semakin tinggi pula kemampuan dalam memilih dan merencanakan makanan dengan ragam dan kombinasi yang tepat sesuai dengan syarat-syarat gizi. Pendapatan rumahtangga memiliki hubungan positif yang signifikan dengan rasio konsumsi pangan hewani:nabati ( ~ 0 , 1 3 5 ; P=0,035), mutu gizi makanan ( ~ 0 , 1 6 2 ;P=0,0 11), dan berhubungan negatif yang signifikan dengan konsumsi serealia (r= -0,144; P=0,025). PeneIitian ini memperkuat kesimpulan Suhardjo (1992), yaitu semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi konsurnsi pangan hewani, kacang-kacangan, buah-buahan dan golongan pangan lainnya, tetapi semakin menurun konsumsi padi-padian dan umbi-umbian. Pendapatan rumahtangga memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan jumlah anggota rumahtangga (F -0,503; P=0,000). Menurut Suhardjo (1989), jumlah anggota rumahtangga mempakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap konsumsi pangan rumahtangga. Pangan yang tersedia untuk keluarga besar kemungkinan tidak mencukupi dibandingkan dengan keluarga kecil, sehingga &pat menimbulkan masalah defisiensi seng. H d & d and Kenne4 (1994) mengemukakan tentang indikator insecure makanan dan nutrisi antara lain yaitu besar rumahtangga. Faktor ekonomi mempunyai pengaruh yang berarti terhadap status seng. Hal ini berarti bahwa perbaikan ekonorni mempunyai dampak terhadap status seng. Rumusan P e n a n n ~ u l a n e a nDefisiensi Seng Berdasarkan hasil FGD dengan pemimpin formal dan informal di lapangan dan analisis SWOT terhadap hasil diskusi tersebut (Lampiran 22), program yang tepat untuk penanggulangan masalah defisiensi seng ibu hamil adalah pemberdayaan perempuan dalam upaya peningkatan pendapatan rumahtangga serta memperbaiki konsumsi pangan dan kebersihan lingkungan melahi penyuluhan gizi dan kesehatan, mempromosikan konsumsi siput dan membudidayakannya serta meningkatkan konsumsi daging, ikan d m telur (Tabel 23). Menurut Hardinsyah (19967, kebijakan dan program-program peningkatan partisipasi ibu di bidang ekonorni yang disertai dengan program-program lain terkait seperti keluarga berencana, pengentasan kerniskinan, promosi gizi dan wajib belajar sembilan tahun merupakan ha1 yang penting dalam rangka perbaikan mutu gizi makanan. Rumahtangga contoh tidak memiliki aset yang cukup untuk dikembangkan dalam upaya peningkatan pendapatan, sementara kedua wilayah kecamatan merupakan daerah yang diplot untuk menjadi wilayah penyangga pertanian di Kabupaten Bogor. Sebanyak 83,3% wntoh tidak memiliki kebudtegal, 90% contoh tidak memiliki sawah, dan separuh responden tidak merniliki pekarangan milik sendiri, 40% sisanya memiliki pekarangan h a n g dari 50 m2. Harnpir separuh contoh (46,8%) mempunyai luas bangunan rumah seluas 37-70 m2. Sebanyak 28,2% contoh memiliki ayam 1-5 ekor dan 4,S0/o contoh memiliki bebek/itik sebanyak 1-10 Sebanyak 54,0% contoh memiliki televisi dan 64,3% contoh memiliki ekor. radioltape/compo. Namun demikian, dari data monografi Kecamatan Leuwiliang dan Cibungbulang diketahui bahwa 6,1% (622 ha) wilayah Leuwiliang dan 1,8% (59 ha) wilayah Cibungbulang merupakan tambak/empang (BPS Kabupaten Bogor, 2000). WJ3O (1996) mengemukakan bahwa penduduk rural yang konsumsi makanan clan minumannya sangat tergantung pada pangan yang tumbuh di daerah sekitarnya saja, besar kemungkinannya untuk terkena resiko defrsiensi seng. Sebagian besar contoh tidak bekeja (89,3%), sedangkan suarni wntoh sebagian besar bekerja sebagai buruh tani (48,4%) dan pedagang (20,296). Dari data BPS Kabupaten Bogor (2000) diketahui bahwa sebirnyak 45% penduduk di dua kecarnatan tersebut mempunyai pekerjaan sebagai petani. tersebut, potensi perernpuan diharapkan dapat Memperhatikan hal dikembangkan dalam upaya meningkatkan pendapatan rumahtangga mereka yang masih rendah, terutarna sektor pertanian. Pangan lokal yang berpotensi di dalam penanggulangan defisiensi seng ibu hamil adalah padi, ikan dan siput (Tabel 23). Padi merupakan produk pertanian unggulan di lokasi penelitian. Padi telah diolah masyarakat menjadi nasi, nasi uduk, buras, nasi goreng, tepung beras. Memperhatikan sedikitnya hasil olahan padi yang telah dilakukan masyarakat, di dalam FGD dikemukanan oleh pemimpin formal dan non formal di lokasi penelitian tentang perlunya pengembangan sektor industri, di samping tetap memperhatikan himbuan pemerintah daerah agar wilayah penelitian tetap menjadi penyangga jalur hijau dan sentra pertanian di Kabupaten Bogor. Pengolahan padi menjadi produk pangan lain dijadikan prioritas di dalarn program institusi di wilayah peneIitian ini. Pendirian pabrik bihun merupakan salah satu alternatif yang diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga. Dengan adanya industri tersebut diharapkan nilai ekonomi padi dapat lebih ditingkatkan dan banyak perempuan dapat diberdayakan s e h g g a dapat berpartisipasi di dalam upaya peningkatan pendapatan rumahtangga. Ikan air tawar buraya yang dikeringkan, berpotensi dihasilkan di daerah penelitian dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga. Harga jual ikan tersebut dalam keadaan hidup jauh l e b i tinggi dibanding jika dijual dalam keadaan tidak hidup. Dalam upaya untuk mengurangi kerugian dan menjaga harga penawaran &an agar tetap stabid, maka pengawetan ikan dirasa perlu untuk dilakukan. Pengawetan yang pernah dilatihkan kepada masyarakat adalah dengan pengeringan rnenggunakan sinar matahari dan dengan penggaraman pengawetan ikan tersebut belum memasyarakat. cara Namun, Oleh karena itu pemasyarakatan pengawetan ikan perlu dilakukan agar peternak ikan dapat merencanakan produksi dan pengolafian pasca panen dengan lebih baik sehingga pendapatan rumahtangga dapat ditingkatkan d m ketersediaan ikan di rumahtanggapun lebih mungkin dilakukan meskipun tidak memiliki lemari pendingin ( k u h s ) . Dengan adanya peningkatan produksi dan kegiatan pengawetan ikan diharapkan perempuan dapat berpartisipasi sehingga dapat menambah pendapatan rumahtangga. Tabel 23. Masalah Gizi dan Kesehatan Ibu Hamil, Penyebab dan Alternatif Penanggulangannya No. Masalah Ibu hatnil makanannya kurang (73,470)). r Penyebab Ketersediaan pangan di rumahtangga terbatas. Daya beli run~alttanggarendah. Kebiasaan rnakan kumng baik. Pengetalluan gid rendah. Pendidikan rendah. Penyakit penyerta selama kehamilan. Pola konsumstif non pangan ibu hamil relatif ti@. r r r - Ibu hamil InZikaM~ya tidak seimbang [Oc-g 2 daging (61.4%), serealia r r (52,1%). myuran Kebiasaan rnengkonsumsi makanan selingan. Pengolahan pangan ibu hamil umumnya menoton. Persepsl negatif terhadap konsumsi daging (rnenyebabkan mual atau cacingan) (89.3Yo) &an * r buah Konsumsi daging ibu hamil rendah. Prmralensi penyakit infeksi pa& ibu hamil cukup tinggi (13,5%). r Kebersihan pribadi ibu hamil rendah. r Jumlah hari sakit ibu hand banyak Gravida (melahirkan lebih dari 5 kali). r Perhatian suami terhadap ibu hamil -g. r Sebagian kecil ibu h a d mengalami hipremesis (mual-mual lebih dari kebiasaan). r K-g memperhatikan kehamilannya. r r r Alternatif Penanggulangan Intensifikasi &n ekstensifikasi pertanian, temtarna padi dan ikan. Pemberdayaan perempuan. Penyululmn gizi clan kesehatan. terntanla tentang jumlah pangan gang dikonsumsi serta kebersihan pribadi, makanan clan lingkungan. Menyediakan makanan selingan yang menggunakan bahan lauk padc, misalnya rernpeyek ikan tedudang; risoles isi abon ikan: saIa &an asin: mpek-mpek. Mengkonsumsi beranekaragam makanan; tidak hanya nasi dan ikantdaging. tetapi sayur dan buah juga menjadi prioritas. Meningkatkan keterarnpilan diversifhsi pengolahan pangan, misalnya ikan air t a m dikeringkan danlatau dibuat menjadi abon, bakso atau mpekmpek. Substitusijenis makanan selingan siang hari dengan lnakanan padat gizi; yang semula didominasi bakso agar diselingi dengan siomay, gadogado atau lontong s a w yang diperkaya dengan telur ayam. Meningkatkan konsumsi daging dengan melnajukan usaha pertenakan dan perikanan, antara lain dengan rnempromosikan konsumsi siput (tututkeong) dan membudidayakannya. Meningkatkan kebersihan perorangan, sanitasi lingkungan dan higiene rnakanan, antara lain melalui Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)yang sedang digalakkan Depkes. Merencanakan kefiamilan melalui Program KB. Siput merupakan potensi alam yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan, di samping dapat pula meningkatkan ketersediaan pangan kaya seng di rumahtangga. Meskipun dengan lahan pekarangan/kebun/sawah yang terbatas, siput masih dapat diperoleh dari alam secara gratis dengan cara mengumpulkannya dari sawah, selokan air sawah dan di sepanjang sungai dan diduga akan mendatangkan keuntungan yang lebih baik jika dibudidayakan. Dari hasil FGD diketahui pula bahwa siput dapat diolah menjadi nugget siput dalam skala industri. Selain itu, siput dapat pula diolah menjadi makanan cemilan yang diolah dalam skala rumahtangga. Penanganan pasca panen sayur-sayuran dan buah-buahan dapat mernberikan peluang partisipasi perempuan dalam meningkatkan pendapatan rumahtangga. Cabe, kacang panjang, tornat, dan masih banyak jenis tanaman palawija lainnya yang dihasilkan di wilayah penelitian yang dapat dikembangkan untuk ditingkatkan nilai ekonominya. hlisalnya dengan melakukan penanganan pasca panen yang lebh baik. Penanganan pasca panen memerlukan banyak tenaga keja, terutama kaum perempuan (misalnya untuk melakukan penyeleksian sesuai grade yang telah ditentukan, atau di dalam pengemasan) sebelum hasil pertanian dipasarkan. Begitu juga dengan buah-buahan, di samping dijual dalam bentuk segar, dapat pula diolah menjadi manisan maupun asinan. Pepaya, rambutan, markisa, pala, nangka, semangka dan masih banyak buah-buahan yang lain yang dihasilkan belum dikelola secara optimal sehingga dapat mendatmgkan keuntungan yang lebih baik dan dapat memberikan peluang partisipasi ibu-ibu &lam rumaht angga. upaya peningkatan pendapatan Alternatif kegiatan dalam upaya peningkatan pendapatan rumahtangga ibu hamil yang lain adalah dengan mengembangkan industri rumahtangga keripik singkong di lokasi penelitian. Usaha rumahtangga keripik singkong sudah dirintis rnenjadi usaha industri rumahtangga oleh satu rumahtangga di lokasi penelitian. Keripik singkong yang dihasilkan sekitar 5-10 kg/hari. Keripik tersebut dipasarkan di Pasar Leuwiliang dan Pasar Anyer Bogor. Usaha pemberdayaan perempuan di dalam meningkatkan pendapatan rumahtangga di luar sektor pertanian antara lain adalah membina keterampilan menjahit pakaian. Pemimpin d m tokoh masyarakat di lokasi penelitian mengemukakan bahwa potensi tersebut prospektif dikembangkan di lokasi penelitian. Dari pengamatan mereka, ibu-ibu yang mempunyai keterampilan menjahit pakaian sangat jarang. kembali dan Sehingga pemimpin dan tokoh masyarakat merasa perlu digali mengembangkan pendapatan rumahtangga. potensi tersebut dalam upaya meningkatkan