BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Negosiasi Menurut Zakaria

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Negosiasi
Menurut Zakaria (2007), negosiasi merupakan proses yang sering dilakukan
oleh manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupan sehari-hari. Namun
manusia sering tidak menyadari bahwa ia sedang melakukan proses negosiasi
(Zakaria, 2007). Seseorang yang melakukan proses negosiasi disebut
negosiator. Menurut Margono dalam Zakaria (2007), negosiasi dikenal juga
sebagai salah satu bentuk alternatif dispute resolution (pemecahan
perselisihan). Negosiasi diperlukan dalam kehidupan manusia karena sifatnya
yang begitu erat dengan filosofi kehidupan manusia, dimana setiap manusia
memiliki sifat dasar untuk mempertahankan kepentingannya, namun
disamping itu manusia lain juga memiliki kepentingan yang akan tetap
dipertahankan (Zakaria, 2007). Sehingga negosiasi sangat diperlukan dalam
kehidupan manusia agar tidak terjadi benturan kepentingan dalam hidup
manusia.
A.1 Pengertian Negosiasi
Negosiasi berasal dari kata negotiation yang artinya perundingan (Echols,
2006). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, negosiasi didefinisikan
sebagai perundingan (Poerwadarminta, 1984). Menurut Zakaria (2007),
negosiasi merupakan sebuah proses dimana para pihak ingin menyelesaikan
permasalahan, melakukan suatu persetujuan untuk melakukan suatu
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
perbuatan, melakukan penawaran untuk mendapatkan suatu keuntungan
tertentu, dan atau berusaha menyelesaikan permasalahan untuk keuntungan
bersama (win-win solution). Menurut Jacqueline dalam Zakaria (2007),
negosiasi dapat diartikan sebagai konsensual dari proses penawaran antara
para pihak untuk mencapai suatu kesepakatan tetang suatu sengketa atau
sesuatu hal yang berpotensi menjadi sengketa. Sehingga bisa ditarik
kesimpulan bahwa negosiasi merupakan proses komunikasi antara dua orang
atau lebih guna mengembangkan solusi terbaik yang paling menguntungkan
bagi pihak-pihak yang terlibat.
A.2 Karakteristik Negosiasi
Menurut Baguley (2003), negosiasi memiliki sejumlah karakteristik sebagai
berikut:
a. Melibatkan lebih dari satu orang
Menurut Baguley (2003), negosiasi merupakan suatu cara untuk
menetapkan keputusan yang dapat disepakati dan diterima oleh dua belah
pihak atau lebih. Sehingga, dalam prakteknya negosiasi senantiasa
melibatkan orang-orang baik sebagai individual, perwakilan organisasi
atau perusahaan, dan kelompok.
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
b. Mengandung konflik
Menurut Jacqueline dalam Zakaria (2007), negosiasi merupakan suatu
proses penawaran antara para pihak untuk mencapai suatu kesepakatan
tetang suatu sengketa atau sesuatu hal yang berpotensi menjadi sengketa.
Maka, tidak jarang dalam proses negosiasi mengandung konflik yang
terjadi mulai dari awal hingga terjadinya suatu kesepakatan.
c. Menggunakan cara-cara pertukaran sesuatu
Negosiasi merupakan cara bertukar sesuatu baik berupa tawar menawar
atau tukar menukar baik itu barang maupun sebuah kesepakatan (Baguley,
2003).
d. Menyangkut hal-hal di masa depan
Menurut Baguley (2003), negosiasi biasanya menyangkut hal-hal di masa
depan atau sesuatu yang belum terjadi.
A.3 Faktor-faktor Penentu Keberhasilan dalam Negosiasi
Menurut Apriyatna (2009), ada beberapa faktor yang dapat menjadi penentu
keberhasilan dalam proses negosiasi. Faktor-faktor yang menjadi penentu
keberhasilan dalam proses negosiasi diantaranya:
a. Mengendalikan Emosi
Apriyatna (2009), menuturkan bahwa pada dasarnya negosiasi adalah cara
bagaimana seseorang mengenali, mengelola, dan mengendalikan emosi
dengan pihak lain. Sebab, negosiasi lebih banyak melibatkan apa yang ada
di dalam hati atau jiwa seseorang (Apriyatna, 2009). Oleh karena itu saat
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
melakukan proses negosiasi, hendaknya seorang negosiator mengenali
terlebih dahulu suasana hati pihak lain agar tercipta negosiasi yang sukses
dan efektif.
b. Rela/Ikhlas
Menurut Apriyatna (2009), negosiasi dapat berjalan dengan sukses,
apabila seseorang (negosiator) rela dan ikhlas untuk memberikan sesuatu
yang bernilai yang dapat ditukar dengan sesuatu yang ia inginkan.
c. Membangun Kesepakatan
Menurut Apriyatna (2009), akhir dari negosiasi adalah adanya
kesepakatan yang diambil oleh kedua belah pihak yang melakukan proses
negosiasi. Dalam negosiasi tidak akan pernah tercapai sebuah kesepakatan
jika sejak awal masing-masing atau salah satu pihak tidak memiliki niat
untuk mencapai kesepakatan (Apriyatna, 2009). Kesepakatan ini harus
dibangun dari keinginan atau niat dari kedua belah pihak. Sehingga,
sangat penting sekali sejak awal negosiasi kedua belah pihak memahami
dan mengetahui tujuan dari masing-masing pihak. Maka dari itu, sejak
awal kedua belah pihak harus memiliki niat untuk mencapai kesepakatan
tersebut.
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
d. Komunikasi Persuasif
Menurut Santoso (2009), jenis komunikasi yang digunakan oleh seorang
negosiator sangat berperan penting dalam proses negosiasi. Jenis
komunikasi yang sering digunakan oleh seorang negosiator adalah
komunikasi persuasif (Santoso, 2009). Komunikasi persuasif
komunikasi
adalah
yang bertujuan untuk mengubah atau memengaruhi
kepercayaan, sikap, dan perilaku seseorang sehingga bertindak sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh komunikator (Fatma, 2010).
e. Kejujuran
Azis (2008), menambahkan bahwa salah satu faktor yang juga ikut
menentukan dalam keberhasilan proses negosiasi adalah kejujuran.
Kejujuran memiliki peran yang sangat penting dalam keberlangsungan
kerjasama negosiasi (Azis, 2008). Menurut Azis (2008), dalam
menjalankan sebuah proses negosiasi hendaknya kedua belah pihak saling
terbuka dan memaparkan keinginan dan tujuan masing-masing.
B. Peran
B.1 Pengertian Peran
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, peran adalah perangkat tingkah laku
yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat
(Poerwadarminta, 1984). Hal senada juga dikatakan oleh Sarwono dalam
Suhardono (1994), bahwa berperan adalah bertingkah laku sesuai dengan
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
yang diharapkan darinya oleh masyarakat, oleh norma, oleh orang lain, oleh
keluarga, dan lain-lain. Dalam psikologi, khususnya psikologi sosial, peran
merupakan konsep sentral untuk menjelaskan perilaku manusia, khususnya
perilaku sosialnya (Sarwono dalam Suhardono, 1994). Dalam kehidupan
sosial nyata, membawakan peran berarti menduduki suatu posisi sosial dalam
masyarakat (Suhardono, 1994).
Menurut Ralph Linton dalam Sunarto (2000), peran adalah aspek dinamis dari
status “the dynamic aspect of status”, sedangkan status adalah kumpulan hak
dan kewajiban “a collection of rights and duties”. Jadi, menurut Linton
seseorang disebut menjalankan perannya jika ia menjalankan hak dan
kewajiban yang merupakan statusnya (Sunarto, 2000).
B.2 Peran dan Kedudukan Perempuan
Untuk menentukan apakah perempuan mampu dan berminat untuk menjadi
seorang pemimpin dan bekerja diluar rumah maka hal ini harus ditinjau dari
berbagai aspek, diantaranya faktor lingkungan tempat ia berasal, faktor
kecerdasan dan pendidikan yang menentukan kualitas intelektualnya, faktor
peluang dan kemudahan yang diperolehnya, faktor budaya masyarakat
sekitarnya, dan berbagai faktor lain yang dapat memengaruhi perempuan
tersebut untuk muncul sebagai figur pengambil keputusan dalam masyarakat
(Hanim, 2010). Menurut Hanim (2010), ada beberapa peran dan kedudukan
perempuan dalam masyarakat, diantaranya:
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
a. Peran perempuan dari sudut budaya
Ditinjau dari sudut budaya, kedudukan perempuan berbeda-beda tergantung
dari nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat daerah tersebut (Hanim, 2010). Di
negara Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, terdapat perbedaan nilai
budaya antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya (Hanim, 2010).
Namun nilai budaya ini dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada umumnya, selama ini perempuan hanya dianggap sebagai pendamping
hidup laki-laki yang harus diatur dan dilindungi (Hanim, 2010). Hal serupa
juga dikatakan oleh Sardjono (2002), bahwa perempuan harus menjaga
kesalehan serta kemurnian, bersikap pasip dan menyerah, rajin mengurus
keluarga dan rumah tangga, serta harus rela berada dalam kekuasaan laki-laki,
sehingga perempuan harus menerima perannya berdasarkan keadaan
biologisnya baik sebagai istri dan ibu rumah tangga yang bekerja dalam ruang
domestik. Menurut Hanim (2010), kurangnya jumlah perempuan yang terjun
dalam bidang pekerjaan yang membutuhkan kemampuan dalam pengambilan
keputusan tidak terlepas dari nilai budaya yang dianut oleh masyarakat
Indonesia sejak masa lalu. Walaupun pada saat ini sudah banyak kemajuan
yang dicapai oleh kaum perempuan, namun cara berfikir dan pandangan
masyarakat pada umumnya masih banyak dipengaruhi oleh budaya masa lalu
(Hanim, 2010). Sehingga tatanan nilai sosial budaya yang masih bias gender
masih sangat berpengaruh dalam memahami peran perempuan Indonesia
(Hanim, 2010).
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Dalam memahami peran perempuan Indonesia diperlukan penelusuran
keadaan perempuan Indonesia pada masa lalu. Hal ini dilakukan untuk
menilai perubahan ataupun kemajuan yang dicapai oleh perempuan dari posisi
yang dianggap lebih rendah pada masa lalu sampai mencapai kemajuan pada
masa sekarang ini. Meskipun hampir semua suku menganut sistem petrilineal,
peranan perempuan dalam berbagai suku di Indonesia pada masa lalu juga
berbeda satu sama lain (Hanim, 2010). Dimasa lalu, dalam masyarakat suku
Batak peranan perempuan memang tidak sama dengan peranan kaum laki-laki
(Hanim, 2010). Laki-laki dianggap penting karena mereka yang akan
meneruskan marga dari keturunannya, sedangkan perempuan akan mengikuti
marga dari suaminya. Hal ini sangat berbeda dengan suku Minangkabau. Pada
suku Minangkabau di Sumatera Barat berlaku sistem matrilineal, dimana
perempuan mendapatkan bagian yang lebih besar dari laki-laki (Hanim,
2010). Perempuan berkuasa penuh dalam rumah adat, dan harta pusaka tidak
dapat digadaikan tanpa bantuan pihak perempuan (Hanim, 2010). Perempuan
Minahasa pada masa lalu mempunyai kedudukan yang berarti. Pada zaman
Animisme, perempuan disana dapat memangku jabatan sebagai imam, suatu
kedudukan yang tinggi dalam bidang keagamaan. Sesudah masuknya agama
Kristen, perempuan dan laki-laki memperoleh pendidikan yang sama,
sehingga perempuan memiliki kemajuan yang sama dengan laki-laki (Hanim,
2010).
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Pada masyarakat suku Jawa di desa-desa, walaupun laki-laki adalah kepala
keluarga, namun kedudukan kaum perempuan tidak lebih rendah daripada
kedudukan laki-laki (Hanim, 2010). Hal ini terjadi karena tindakan perempuan
di desa yang cekatan dalam usaha pertanian yang berdampak pada bidang lain
(Hanim, 2010). Sedangkan pada kelompok kelas atas, walaupun menempati
kedudukan terhormat, perempuan bangsawan Jawa harus membagi hak-hak
serta kewajibannya yang suci itu dengan selir-selir suaminya (Hanim, 2010).
Menurut Hanim (2010), banyak diantara para bangsawan dan selir tersebut
yang tidak merasa bahwa itu merendahkan martabat mereka. Sedangkan di
Bali pada masa lalu, kaum perempuan juga mengalami nasib yang kurang
beruntung, terutama yang berasal dari kasta rendah (Hanim, 2010).
Perempuan bekerja sangat keras, sedangkan kaum laki-laki hanya berpangku
tangan (Hanim, 2010).
Dari sini kita bisa lihat, bahwa ditinjau dari segi lingkungan dan budaya
umumnya kaum perempuan di Indonesia pada masa lalu kurang beruntung
dalam hal peran dan kedudukan. Peran dan kedudukan perempuan yang
kurang beruntung tersebut disebabkan adanya budaya patrilineal atau
patriarki, yaitu suatu sistem yang bercirikan laki-laki atau ayah (Hanim,
2010). Dalam sistem ini, laki-laki yang berkuasa dan berhak untuk
menentukan apapun (Hanim, 2010). Menurut Hanim, budaya patriarki tidak
mengakomodasikan kesetaraan dan keseimbangan, sehingga perempuan
menjadi tidak penting untuk diperhitungkan (Hanim, 2010).
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
b. Peran perempuan ditinjau dari kualitas intelektual
Menurut Hanim (2010), salah satu indikator tentang kualitas manusia adalah
tingkat pendidikan yang diperolehnya. Faktor pendidikan dapat berbentuk
pendidikan non formal yang diperoleh dari lingkungan sekitar, dan pendidikan
formal yang diperoleh di bangku sekolah. Pada umumnya sejak kecil laki-laki
telah dipersiapkan untuk terjun ke masyarakat untuk membuktikan
kemampuannya (Hanim, 2010). Keberhasilan ataupun kegagalan laki-laki
dinilai dari kiprahnya di kancah masyarakat (Hanim, 2010). Oleh sebab itu,
sejak kecil laki-laki dipersiapkan untuk mendapatkan pendidikan formal
setinggi mungkin. Berbeda dengan laki-laki, perempuan dipersiapkan untuk
merawat rumah tangga, mendampingi suami, serta memelihara dan mendidik
anak-anaknya (Hanim, 2010). Perempuan dianggap berhasil jika ia dapat
merawat rumah tangga dan anak-anaknya dengan baik (Hanim, 2010). Jadi
perempuan diukur dari kualitas reproduksinya, sedangkan laki-laki diukur dari
tindakan dan produktifitasnya. Bagi laki-laki, imperatif moral adalah
mempertahankan integritas, sedangkan bagi perempuan adalah keterlibatan
dan pengorbanan (Hanim, 2010). Citra perempuan ideal yang dikembangkan
adalah sosok yang sesuai dengan kodratnya, yaitu sebagai istri dan ibu rumah
tangga yang bertanggung jawab penuh terhadap keberadaan sosial suami dan
anak-anak mereka.
Sebagai istri pejabat, citra ideal perempuan adalah sebagai pendamping suami
(Hanim, 2010). Menurut Hanim (2010), hampir tidak ada pengakuan terhadap
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
perempuan sebagai individu. Aktualisasi diri di kalangan perempuan elit
dicapai melalui jaringan kerja dengan rekan-rekan sejenis, dengan turut serta
dalam berbagai organisasi perempuan yang menekankan kerja sosial (Hanim,
2010). Kaum perempuan sering dilukiskan sebagai pekerja keras dan rela
mengorbankan diri (Hanim, 2010). Menurut Hanim (2010), banyak dari
perempuan yang tidak menyadari ketimpangan gender, dan beberapa diantara
perempuan malah cenderung memperkuat ketimpangan itu dalam keluarga
mereka sendiri (Hanim, 2010). Hal ini sejalan dengan pendapat John Stuart
Mill, yang menyatakan bahwa pada umumnya perempuan baik dari kalangan
biasa maupun kalangan bangsawan pada akhirnya lebih memilih rumah
tangga, sedangkan laki-laki lebih memilih profesinya (Hanim, 2010).
c. Peran perempuan ditinjau dari kemampuan bekerja
Dalam hal pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, mulai muncul
dikotomi peran publik dan peran domestik (Hanim, 2010). Menurut Hanim
(2010), pembagian kerja secara seksual menimbulkan kerugian pada
perempuan dan sangat menguntungkan untuk laki-laki. Dalam masyarakat
tradisional dikenal pembagian kerja secara seksual, laki-laki sebagai pemburu
(hunter) dan perempuan sebagai pengasuh (nurturer), hal ini juga masih
ditemui dalam masyarakat modern (Hanim, 2010). Menurut Hanim (2010),
dalam pembagian kerja perempuan disudutkan dalam ruang domestik dengan
tanggung jawab mengelola urusan rumah tangga, mengasuh dan mendidik
anak. Sedangkan laki-laki bebas menikmati ruang publik tanpa harus dibebani
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
oleh urusan domestik. Hanim (2010) juga menuturkan, jika perempuan ingin
masuk ke wilayah publik, maka perempuan harus bersedia menanggung
berbagai cost dan resiko, salah satunya adalah menanggung beban ganda
(double burden).
Salah satu ukuran penting yang sering digunakan untuk mengukur apakah
perempuan mempunyai kesetaraan dengan laki-laki adalah sejauh mana
keduanya diberi kesempatan yang sama dalam jenjang karir (Hanim, 2010).
Karena pada umumnya hanya ada beberapa jenis pekerjaan yang cocok untuk
perempuan, sedangkan laki-laki bebas untuk memilih semua jenis pekerjaan.
Menurut paham Marxis dan Sosialis, pekerja produktif merupakan kelompok
penting dalam perjuangan melawan kapitalis (Hanim, 2010). Dalam wilayah
kerja, tidak jarang perempuan masuk dalam kelompok yang teraliensi, hal ini
dikarenakan perempuan hanya diberikan tugas-tugas dengan teknologi rendah
(Hanim, 2010). Dari sudut pandang Marxian, masyarakat dengan sistem
seperti itu digambarkan sebagai sebuah kelas (stage) yang di dalamnya
terdapat beberapa tingkatan (Hanim, 2010). Mereka yang memiliki dan
menguasai sumber-sumber produksi dan distribusi yang memiliki peluang
untuk memainkan peran dalam masyarakat (Hanim, 2010). Menurut
Nasarudin Umar dalam Hanim (2010), perbedaan dan ketimpangan gender
antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh perbedaan biologis,
tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa dalam relasi
produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga (family). Dengan kata lain,
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
ketimpangan peran gender dalam masyarakat bukan karena faktor biologis
atau pemberian Tuhan, tetapi konstruksi budaya masyarakat sekitar.
Di Indonesia, pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan,
mendorong semua faktor produksi untuk dikerjakan secara efisien (Hanim,
2010). Perempuan di Indonesia yang jumlahnya lebih besar daripada laki-laki,
telah menjadi sasaran untuk dimanfaatkan potensi personalnya untuk
dilibatkan sebagai tenaga kerja di sektor publik (Hanim, 2010). Menurut
Nunuk dalam Hanim (2010), masuknya perempuan dalam kelompok kaum
buruh meningkatkan gagasan untuk meningkatkan daya saing perempuan
yang dinilai masih sangat rendah. Perempuan juga masih dianggap kurang
berambisi dalam mengejar karir, serta kemampuan perempuan untuk
berkompetisi dipandang jauh dari kemampuan laki-laki (Hanim, 2010).
Seiring dengan perkembangan zaman dan laju pembangunan, perempuan
Indonesia yang bekerja di sektor publik kian bertambah. Walaupun demikian
masih saja ada kendala yang memengaruhi kemajuan perempuan yang bekerja
di sektor publik (Hanim, 2010). Menurut Hanim (2010), fenomena perempuan
yang bekerja di luar rumah oleh banyak pihak masih dianggap sebagai sesuatu
yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Perempuan yang bekerja diluar
rumah hanya dianggap menjalankan pekerjaan (do a job) dan bukan berkarir
(make a career) seperti laki-laki yang merupakan kepala rumah tangga
(Hanim, 2010).
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Menurut Hanim (2010), perempuan yang telah berkeluarga dan bekerja
memiliki peran ganda, hal ini dikarenakan segala urusan rumah tangga serta
pernak-perniknya adalah tugas perempuan. Oleh sebab itu, perempuan yang
bekerja diluar rumah terutama para buruh perempuan, mendapat porsi yang
tidak menguntungkan akibat pelabelan yang berlaku (Hanim, 2010). Akibat
dari pembagian kerja secara seksual adalah peran ganda perempuan menjadi
lebih berat. Jika di desa peran ganda dilakukan oleh laki-laki dan perempuan,
sedangkan di lingkungan pabrik yang berperan ganda hanya perempuan
(Hanim, 2010). Akibatnya upah buruh perempuan menjadi lebih rendah dari
buruh laki-laki. Dalam menghitung UMR (Upah Minimum Regional), buruh
perempuan dianggap lajang walaupun telah berkeluarga (Hanim, 2010). Hal
ini dikarenakan permainan hukum oleh pihak yang kuat (negara dan
pengusaha), sehingga posisi buruh perempuan menjadi lemah (Hanim, 2010).
Di Indonesia, prosentase jumlah pegawai negeri perempuan telah melonjak
selama dua puluh tahun terakhir (Hanim, 2010). Dalam Undang-Undang
Kepegawaian No. 8/1974, menyebutkan bahwa tidak ada pembedaan antara
pegawai negeri laki-laki dan perempuan, kecuali dalam masalah poligami dan
kehamilan (Hanim, 2010). Pegawai laki-laki tidak memperoleh hak cuti
hamil. Menurut Hanim (2010), Undang-Undang tersebut pada dasarnya adil
dan tidak membedakan jenis kelamin. Namun tidak berarti bahwa makna
kesamaan
derajat
dalam
undang-undang
itu
selalu
cocok
dengan
pelaksanaannya dalam praktek (Hanim, 2010). Misalnya saja beberapa pejabat
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
pimpinan laki-laki mengemukakan bahwa pegawai negeri perempuan
sebaiknya tidak dikirimkan untuk tugas belajar di luar negeri karena mereka
sering berhenti dari pekerjaan, dan akhirnya pendidikannya sia-sia (Hanim,
2010). Alasan yang sama kadang juga dikemukakan untuk memilih peserta
kursus kepemimpinan. Padahal mengikuti program training baik di dalam
maupun di luar negeri sangat penting artinya bagi kenaikan pangkat dan
kedudukan pegawai negeri atau promosi (Hanim, 2010). Jadi, meskipun
undang-undang tidak membatasi kesampatan bagi pegawai perempuan,
namun dalam prakteknya pimpinan mereka membatasi kesempatan tersebut.
d. Peran perempuan dalam organisasi politik dan non politik
Gabriel A. Almond dalam Hanim (2010), menyatakan bahwa ada korelasi
antara pengalaman dalam keluarga dan pengalaman di sekolah dengan sikap
politik individu di kemudian hari. Menurut Gabriel, pembentukan sikap
politik berlanjut setelah individu menjadi dewasa dan memasuki peran
politiknya.
Jika membahas mengenai data akurat jumlah perempuan Indonesia yang
terlibat dalam organisasi baik politik maupun non politik belum diketahui
dengan jelas. Namun untuk menelaah peran perempuan Indonesia dalam
organisasi politik maupun non politik, perlu ditinaju dari sejarah masa lalu
(Hanim, 2010). Walaupun perempuan Indonesia pada masa lalu berada pada
posisi yang kurang menguntungkan, akan tetapi ada sebagian dari perempuan
tersebut yang muncul sebagai pemimpin yang menonjol (Hanim, 2010).
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Perempuan-perempuan yang berpikiran maju itu diantaranya, R.A. Kartini, R.
Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, Tjut Nyak Dien, Tjut Meutia, Rasuna Said,
Laksamana Malahayati, Ny. Ahmad Dahlan dan masih banyak lagi.
Tjut Nyak Dien adalah pejuang dan pahlawan perempuan dalam perang Aceh
(1873-1904). Ayahnya berasal dari Minangkabau, tetapi ia mulai terjun
kedalam kancah pertempuran setelah menikah dengan suaminya Teuku Umar.
Setelah suaminya gugur, Tjut Nyak Dien membuktikan diri sebagai pahlawan
sejati dengan terus memimpin perjuangan melawan Belanada selama
bertahun-tahun sampai akhirnya ia ditangkap dan dibuang ke tanah Priangan
(Ensiklopedi Indonesia 6).
R.A. Kartini (21 April 1978 – 17 September 1904), walaupun berada dalam
situasi yang tidak menguntungkan, yaitu hidup dalam lingkungan feodal yang
mengharuskan untuk
menerima keadaan dipoligami, namun Kartini
memanfaatkan situasi itu untuk mendirikan sekolah bagi kaum perempuan
pada tahun 1904. Namun Kartini tidak sempat berkarya cukup lama, karena
pada tahun itu juga ia meninggal dunia (Toer, 2003).
Orang yang pertama kali mendirikan sekolah untuk kaum perempuan adalah
Dewi Sartika. Ia lahir sebagai putri seorang patih di Bandung yang maju, dan
menyekolahkan Sartika seperti halnya anak laki-laki. Sejak usia 10 tahun,
Sartika telah memberikan pelajaran kepada anak para pelayan. Pada masa
gadis, Sartika menemui Bupati Bandung yang masih kerabatnya untuk
meminta izin mendirikan sekolah. Pada mulanya permintaan tersebut belum
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
dapat dipenuhi karena suasana serta pendapat umum pada saat itu. Namun
berkat keuletan dan keteguhan hati Sartika, akhirnya izin untuk mendirikan
sekolahpun diperoleh. Maka pada tanggal 16 Januari 1904 berdirilah sekolah
perempuan yang pertama di Indonesia. Selama pendudukan Jepang, sekolah
itu ditutup, Sartika pun terus menunaikan tugas pada masa perjuangan
kemerdekaan hingga wafat (Ensiklopedi Indonesia 2).
Selain tokoh-tokoh yang telah disebutkan diatas, masih banyak lagi tokohtokoh perempuan baik di Indonesia maupun di negara-negara lain yang
terbukti dapat muncul dan menjadi pimpinan dalam bidang yang
membutuhkan tekad yang kuat serta kemampuan mengambil keputusan secara
tepat. Saat ini tidak sedikit perempuan yang berhasil menduduki jabatanjabatan yang dahulu hanya ditempati oleh kaum laki-laki (Hanim, 2010).
B.3 Peran Politik Perempuan
Jika membahas mengenai peran politik perempuan, maka secara khusus hak
politik perempuan tertuang dalam Konvensi PBB tentang penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan (The Unconvention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women-CEDAW) yang
disahkan dan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979 (Rozana,
2011). Dalam pasal 7 disebutkan bahwa negara-negara pihak harus
mengambil semua langkah guna untuk menghapus diskriminasi terhadap
perempuan dalam kehidupan politik, kehidupan kemasyarakatan negaranya,
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
dan khususnya menjamin perempuan mendapatkan hak yang sama dengan
laki-laki. Hak itu diantaranya:
1. Untuk memberikan suara dalam semua pemilihan dan referendum publik, dan
untuk dipilih pada semua badan-badan yang secara umum dipilih;
2. Untuk
berpartisipasi
dalam
perumusan
kebijakan
pemerintah
dan
pelaksanaannya, serta memegang jabatan publik dan melaksanakan segala
fungsi publik di semua tingkat pemerintahan;
3. Untuk
berpartisipasi
perkumpulan
dalam
non-pemerintah
organisasi-organisasi
dan
yang
dengan
berhubungan
perkumpulankehidupan
masyarakat dan politik negara.
Pasal ini menjelaskan bahwa persamaan dalam kehidupan politik dan
kemasyarakatan pada tingkat Nasional menghendaki negara-negara pihak
untuk melakukan dua tahapan kegiatan, guna menciptakan persamaan dalam
kehidupan politik dan kemasyarakatan bagi perempuan (Boangmanalu, 2009).
Pertama, negara-negara harus menyebarluaskan hak yang telah dijamin
berdasarkan pasal 25 Konvenan Internasional tentang hak sipil dan politik,
dan memberi jaminan terhadap perempuan untuk memberikan suara pada
setiap pemilihan umum dan referendum (Boangmanalu, 2009). Menurut
Boangmanalu (2009), masalah penting bagi perempuan adalah hak untuk
memberikan suara secara rahasia. Perempuan yang tidak diijinkan
memberikan suara secara rahasia sering dipaksa untuk memberikan suara
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
yang sama dengan suami mereka (Boangmanalu, 2009). Hal ini dapat
menghalangi perempuan untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri.
Kedua, pasal ini menghendaki negara untuk memastikan bahwa perempuan
mempunyai hak untuk dipilih dalam badan-badan politik dan untuk
memegang jabatan publik lainnya dan kedudukan dalam organisasi nonpemerintah
(Boangmanalu,
2009).
Kewajiban-kewajiban
ini
dapat
dilaksanakan dengan memasukkan perempuan dalam daftar calon pemerintah,
affirmative action dan kuota, dengan menghapus pembatasan berdasarkan
gender pada posisi tertentu, meningkatkan tingkat kenaikan jabatan bagi
perempuan, dan mengembangkan program pemerintah untuk menarik lebih
banyak perempuan kedalam peran kepemimpinan politik yang memiliki arti
penting (Boangmanalu, 2009).
Lebih dari 170 negara telah meratifikasi Konvensi PBB tentang penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (The Unconvention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women-CEDAW)
(Boangmanalu, 2009). Negara Indonesia meratifikasi Konvensi ini pada masa
pemerintahan presiden Soeharto pada tahun 1984 (Rozana, 2011). Menurut
Boangmanalu (2009), konvensi ini dapat dijadikan dasar untuk mewujudkan
kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan membuka akses dan peluang yang
sama di area politik dan kehidupan publik, termasuk hak memberi suara dan
mencalonkan diri. Bahkan saat ini, pemerintah Indonesia telah mengambil
beberapa langkah untuk melakukan berbagai tindakan yang ditujukan untuk
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
menyempurnakan kebijakan yang menyangkut gender, terutama masalah
gender mainstreaming (Boangmanalu, 2009).
B.4 Partisipasi Politik
Partisipasi adalah keikutsertaan atau turut berperan serta dalam suatu kegiatan
(Boangmanalu, 2009). Menurut Hamid (2001), politik adalah cara dan upaya
menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk
mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi
kepentingan manusia. Menurut Budiardjo (2000), partisipasi politik
merupakan kegiatan seseorang ataupun sekelompok orang untuk ikut serta
secara aktif dalam kegiatan politik yaitu dengan jalan memilih pemimpin
negara secara langsung ataupun tidak langsung, serta memengaruhi kebijakan
pemerintah atau public policy. Menurut Althoff (1993), penyajian berbagai
bentuk partisipasi politik terlihat dari kegiatan-kegiatan atau peranan dari
politisi profesional, para pemberi suara, aktivis-aktivis partai, para demonstran
dan lain-lain. Boangmanalu (2009), juga menuturkan bahwa partisipasi politik
terkait erat dengan aktivitas-aktivitas politik mulai dari peranan para politikus,
pemberian suara, aktivitas partai, demonstrasi, dan lain-lain.
Menurut Boangmanalu (2009), anggota masyarakat suatu negara mempunyai
hak-hak tertentu yang juga harus diperhatikan oleh negara melalui aktivitas
pemerintahannya. Dalam hubungannya dengan hak ini Jellienk dalam
Boangmanalu (2009), membagi hak-hak ini berdasarkan dua tolok ukur, yaitu
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
perbedaan antara hak aktif dan hak pasif. Dengan hak aktif seorang warga
masyarakat memperoleh kesempatan untuk ikut secara aktif baik langsung
maupun tidak langsung dalam mengatur dan menyelenggarakan negara,
sedangkan dengan hak pasif seorang warga negara bisa dipilih, ditunjuk,
diangkat untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Sedangkan menurut
Surbakti (1992), bentuk partisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara
mengajukan usul tentang kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan
umum yang berbeda kepada pemerintah, mengajukan kritik dan saran
perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut dalam
kegiatan pemilihan pimpinan pemerintah, sedangkan partisipasi pasif adalah
kegiatan mentaati peraturan pemerintah, menerima, dan melaksanakan begitu
saja setiap keputusan pemerintah.
Menurut Boangmanalu (2009), partisipasi politik perempuan dapat dilihat
dalam tiga aspek yaitu akses, kontrol, dan suara perempuan dalam proses
pembuatan kebijakan (policy making process). Realitas menunjukkan bahwa
dalam tiga aspek diatas keterlibatan perempuan Indonesia masih sangat
kurang (Boangmanalu, 2009). Hal ini dapat terlihat dari keterwakilan
perempuan dalam arena politik hingga saat ini masih sangat minim. Pusat
Pemberdayaan Perempuan dalam Politik bekerjasama dengan Pusat Penelitian
Politik LIPI tahun 2006 menyimpulkan bahwa rendahnya keterwakilan
perempuan dalam ruang publik terutama disebabkan oleh ketimpangan
struktural
dan
sosiokultural
masyarakat
dalam
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
bentuk
pembatasan,
pembedaan, dan pengucilan yang dilakukan terhadap perempuan secara terus
menerus, baik formal maupun non formal, baik dalam lingkup publik maupun
lingkup privat atau keluarga (Boangmanalu, 2009). Di samping itu, secara
internal rendahnya keterwakilan perempuan dalam jabatan politik juga
disebabkan tidak banyak perempuan yang tertarik pada dunia politik
disebabkan masyarakat masih menganut pemilihan yang tegas antara ruang
publik dan ruang domestik (Hanim, 2010).
C. Ruang Publik dan Domestik
Menurut Supartiningsih (2003), latar belakang munculnya wilayah publik dan
domestik ditengarai bersumber dari pembagian kerja yang didasarkan pada
pembagian peran gender. Pembagian kerja ini menempatkan perempuan di
sektor domestik (mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengurus anak dan
suami), sedangkan laki-laki ditempatkan di
sektor publik (luar rumah).
Pembagian kerja yang demikian ini dianggap baku oleh sebagian masyarakat
dan diperkuat oleh Undang-Undang Perkawinan (Supartiningsih, 2003).
Menurut kaum feminis pembagian kerja seperti diatas sering disebut dengan
istilah pembagian kerja seksual, yaitu suatu proses kerja yang diatur secara
hirarkis, yang menciptakan kategori-kategori pekerjaan subordinat yang
dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan stereotipe jenis kelamin
tertentu (Supartiningsih, 2003). Pembagian kerja secara seksual ini menurut
Hanim (2010), dapat menimbulkan kerugian pada perempuan dan sangat
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
menguntungkan untuk laki-laki. Menurut Rustiani dalam Supartiningsih
(2003), kerja khas untuk tiap jenis kelamin umumnya dikaitkan dengan peran
gender, sehingga dikenal istilah kerja produktif untuk laki-laki dan kerja
reproduktif untuk perempuan.
Sehingga perempuan yang ingin masuk ke wilayah publik harus bersedia
menanggung beban ganda (double burden). Karena selain bekerja diluar
rumah, perempuan juga harus bertanggung jawab mengelola urusan rumah
tangga, mengasuh dan mendidik anak, serta melayani suami. Sedangkan lakilaki bebas menikmati ruang publik tanpa harus dibebani oleh urusan
domestik.
Anggi Anggraeni, 2012
Negosiasi Peran Perempuan Dalam Ruang Publik Dan Domestik
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Download