BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Inisiasi Menyusu Dini (IMD) Tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan wajib melakukan IMD terhadap bayi yang baru lahir kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam. IMD dilakukan dengan carameletakkan atau membiarkan bayi di dada ibunya segera setelah lahir sehingga kulit bayi melekat pada kulit ibu. IMD dilakukan dalam keadaan ibu dan bayi stabil dan tidak membutuhkan tindakan medis selama paling singkat satu jam. Lama IMD selama satu jam dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada bayi agar dapat mencari puting susu ibu dan menyusu sendiri. Apabila selama satu jam bayi masih belum menyusu, maka kegiatan IMD harus tetap diupayakan oleh ibu., tenaga kesehatan dan penyelenggara pelayanan fasilitas kesehatan. Pada tahun 2007The World Alliance for Breastfeeding Action (WABA) dalam pekan ASI sedunia yang mengangkat tema tentang IMD telah berhasil mengunggah masyarakat Indonesia untuk mulai mempopulerkan ASI. Hal terpenting ketika bayi sehat diletakkan di atas perut dan dada ibu segera setelah lahir dan memulai kegiatan menyusui segera setelah proses kelahiran terjadi adalah penyelenggaraan kontak kulit-ke-kulit (skin to skin contact), antara bayi baru lahir dan ibunya. Pada tahun 2006, BFHI ( Baby Friendly Hospital Initiative) merevisi penjelasan langkah ke-4 dalam 10 langkah menyusui menjadi “Letakkan bayi dalam posisi tengkurap di dada ibunya, kontak kulit-ke-kulit dengan ibu segera setelah lahir paling sedikit selama satu jam dan dorong ibu mengenali tanda-tanda bayi siap menyusu, dan bila perlu tawarkan bantuan”. Dalam hal ini yang ditekankan adalah pentingnya kontak kulit-ke-kulit dan kesiapan bayi. Bayi akan bereaksi dan akan berperilaku, dengan diberi rangsangan sentuhan oleh ibu., dia akan bergerak di atas perut ibu dan menjangkau payudara. Bayi memulai dengan menyentuh dan memijat payudara. Sentuhan lembut tangan bayi pertama kali di atas payudara ibu, akan merangsang pengeluaran hormon oksitosin dan dimulainya pengeluaran air susu ibu serta menimbulkan perasaan kasih sayang pada bayi. Dilanjutkan dengan penciuman, emutan dan jilatan lidah bayi pada puting susu, akhirnya bayi akan meraih payudara dan meminumnya (Yohmi dalam Suradi, 2010). Menurut Gupta (2007), IMD disebut sebagai tahap keempat persalinan yaitu tepat setelah persalinan sampai satu jam setelah persalinan, meletakkan bayi baru lahir dengan menengkurapkan bayi yang sudah dikeringkann tubuhnya namun belum dibersihkan dan tidak dibungkus di dada ibunya segera setelah persalinan dan memastikan bayi mendapat kontak kulit dini dengan ibunya, menemukan puting susu dan mendapatkan asupan kolostrum sebelum ASI keluar. IMD sebenarnya telah dilaksanakan di Indonesia, tetapi pelaksanaannya belum tepat.Ada empat kesalahan dalam pelaksanaan selama ini, pertama, bayi baru lahir biasanya sudah dibungkus sebelum diletakkan di dada ibu akibatnya tidak terjadi kontak kulit.Kedua, bayi bukan menyusu melainkan disusui, berbeda antara menyusu sendiri dengan di susui.Ketiga, memaksakan bayi untuk menyusu sebelum dia siap untuk disusukan.Keempat bayi dipisahkan dari ibunya untuk dibawa ke ruang pemulihan untuk tindakan lanjutan (Roesli, 2008). Pada 1-2 jam pertama bayi lebih responsif dan sangat awas bahkan mudah melekat pada payudara (alert). Pada praktiknya, bayi baru lahir langsung dipisahkan dengan ibunya, sehingga setelah dia siap untuk menyusu, ibu tidak dapat meresponnya.Pelaksanaan yang kurang tepat ini menyebabkan keberhasilan menyusui tidak optimal. Berdasarkan penelitian, jika bayi yang baru lahir dipisahkan dengan ibunya maka hormon stress akan meningkat 50%. Hal tersebut akan menyebabkan kekebalan atau daya tahan tubuh bayi menurun. Demikian pula sebaliknya, bila dilakukan kontak antara kulit ibu dan bayi maka hormon stress akan kembali turun. Sehingga bayi menjadi lebih tenang, tidak stress, pernafasan dan detak jantungnya lebih stabil (Yohmi dalam Suriadi, 2010). Prinsip dasar IMD adalah tanpa harus dibersihkan terlebih dahulu, bayi diletakkan di dada ibunya dengan posisi tengkurap dimana telinga dan lengan bayi berada dalam satu garis (Soetjiningsih, 2011) sehingga terjadi kontak kulit dan secara alami bayi akan mencari payudara ibu dan mulai menyusu. Hal ini merupakan peristiwa penting untuk kelangsungan hidup bayi.Meskipun banyak peneliti menyatakan hal ini merupakan perilaku bayi yang normal, namun sekarang baru diketahui bahwa pentingnya pemberian kesempatan menyusu dini memberikan pengalaman pada ibu dan bayi.Para peneliti menemukan pengaruh waktu pertama kali menyusu terhadap kematian bayi baru lahir dan kemampuan menyusu.Sose dkk dari CIBA Foundation (1978) dalam Roesli (2008), mendapatkan hasil penelitian yang menunjukkan hubungan antara saat kontak pertama ibu bayi terhadap lama menyusui. 2.2 Hubungan IMD terhadap ASI Eksklusif IMD sangat berperan dalam meningkatkan keberhasilan menyusui secara eksklusif.Dengan dilakukannya inisiasi menyusui dini kontak emosi ibu dan bayi lebih dini dan lebih rapat. Begitu produksi ASI sudah terjadi dengan baik, pengosongan sakus alveolaris mammae yang teratur akan mempertahankan produksi tersebut sehingga ASI menjadi lancar. Walaupun prolaktin bertanggung jawab dalam memulai produksi air susu, penyampaian air susu ke bayi dan pemeliharaan laktasi bergantung pada stimulasi mekanis pada puting susu oleh isapan bayi (Soetjiningsih,1997). Menyusui dini yang efesien berkorelasi dengan penurunan kadar bilirubin darah. Kadar protein yang tinggi di dalam kolostrum mempermudah ikatan bilirubin dan kerja laksatif kolostrum, sehingga kolostrum secara bertahap berubah menjadi susu ibu. Apabila ibu memilih untuk tidak menyusui, sekresi dan ekskresi kolostrum menetap selama beberapa hari pertama setelah wanita melahirkan. Apabila bayi belum juga melakukan stimulasi (menghisap), laktasi akan berhenti dalam beberapa hari sampai satu minggu (Suradi,2004). Hal ini sesuai dengan penelitian Fikawati dan Syafiq (2003), dalam penelitiannya mengatakan bahwa ibu yng memberikan ASI dalam satu jam setelah melahirkan (immediate breastfeeding) mempunyai peluang dua sampai delapan kali lebih besar untuk memberikan ASI eksklusif sampa 6 bulan dibandingkan ibu yang tidak memberikan ASI dalam satu jam setelah melahirkan. Efek dari kontak kulit ibu dan bayi sesegera mungkin setelah lahir akan meningkatkan lama menyusu dalam 2-6 bulan kedepan (Gupta, 2007 dalam Rusnita, 2008). Penelitian yang sama juga dilakukan Nakao (2008), yang melibatkan 318 ibu di Jepang dengan hasil yang menunjukkan bahwa bayi yang diberi kesempatan menyusu dini selama 120 menit memiliki pengaruh terhadap pemberian ASI selama 6 bulan. Penelitian lain juga dilakukan oleh Righard dan Alade (1990) dalam Roesli (2007), penelitian dilakukan terhadap 72 pasang ibu yang dilahirkan dengan proses normal dan tindakan. Ketika lahir memiliki kemampuan untuk merangkak mendekati payudara ibunya dan menghisap puting. Dalam satu jam pertama bayi langsung ditengkurapkan di atas perut dan dada ibu, umumnya berhasil menemukan payudara dan menghisapnya dalam waktu 50 menit setelah lahir tanpa bantuan dari siapapun sedangkan bayi yang langsung dipisahkan dari ibunya untuk ditimbang, diukur dan dibersihkan hasilnya 50% bayi tidak dapat menyusu sendiri. Berbeda dengan bayi yang dilahirkan dengan tindakan dan langsung dipisahkan dari ibunya maka tidak ada satupun yang dapat menyusu sendiri. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Edmond dkk (2006) terhadap 10.947 bayi di Ghana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1. Jika bayi diberi kesempatan menyusu dalam satu jam pertama dengan dibiarkan kontak kulit bayi ke kulit ibu, maka 22 % angka kematian bayi menurun pada umur kurang dari 28 hari. 2. Jika bayi mulai menyusu pertama kali pada umur dua sampai 24 jam, maka sebesar 16 % angka kematian bayi menurun pada umur kurang dari 28 hari. 2.3 Peran bidan dalam meningkatkan program IMD Petugas kesehatan sangat berperan dalam keberhasilan proses menyusui. Berhasil atau tidaknya IMD di tempat pelayanan ibu bersalin sangat tergantung pada petugas kesehatan yaitu bidan, karena bidan yang pertama akan membantu ibu bersalin melakukan IMD. Bidan di kamar bersalin harus memahami tatalaksana IMD dan laktasi yang baik dan benar, bidan diharapkan selalu mempunyai sikap yang positif terhadap IMD. Kesiapan bidan dalam program laktasi merupakan kunci keberhasilan program IMD. Peranan bidan dalam menyukseskan IMD tidak lepas dari wewenang bidan dalam memberikan pelayanan pada ibu dan anak sebagaimana tercantum dalam Kepmenkes No 900/Menkes/SK/VII/002.Bab V pasal 18 yaitu meningkatkan pemeliharaan dan penggunaan ASI. Penelitian yang dilakukan di Ghana tahun 2006 menyatakan ibu yang merasa kolostrum itu penting, akan lebih mudah menerima saran bidan untuk melakukan IMD. Apalagi kepercayaan yang besar terhadap petugas yang menolong persalinan akan membuat mereka tetap melakukan IMD dan memberikan ASI eksklusif (Fikawati, 2003). Banyak ibu yang tidak melakukan IMD padahal telah melakukan pemeriksaan Antenatal Care (ANC) secara lengkap dikarenakan oleh kurangnya informasi dan edukasi yang diberikan oleh petugas kesehatan setelah selesai melakukan pemeriksaan.Petugas kesehatan hanya memfokuskan pada pemeriksaan fisik dari ibu itu sendiri, padahal dalam situasi seperti ini petugas kesehatan mempunyai kesempatan untuk memberikan informasi tentang manfaat IMD dan pentingnya pelaksanaan IMD bagi ibu dan bayi sehingga ibu termotivasi untuk melakukan IMD pada saat persalinan (Hikmawati, 2008).Hasil dari penelitian tentang perilaku ibu post partum dalam pelaksanaan IMD Di Puskesmas Batua Kota Makassar menyatakan bahwa ibu post partum yang tidak mendapat informasi sama sekali mengenai IMD baik pada saat pemeriksaan kehamilan dan pada saat menunggu persalinan mengakibatkan ibu post partum tidak mampu menjelaskan tentang IMD sehingga ibu tidak termotivasi melakukan IMD saat persalinan (Sri Rati dkk, 2012). WHO merekomendasikan kepada seluruh tenaga kesehatan agar melakukan tujuh kontak ASI atau pertemuan ASI dalam upaya sosialisasi program dan setiap kali melakukan pelayanan kesehatan Ibu dan anak yaitu : 1. Pada saat Ante Natal Care (ANC) pertama/kunjungan pertama (K1)di Klinik Kesehatan Ibu dan Anak. 2. Pada saat Ante Natal Care (ANC) kedua/kunjungan kedua (K2)di Klinik Kesehatan Ibu dan Anak. 3. Melakukan IMD oleh bidan/dokter penolong persalinan di kamar bersalin atau kamar operasi. 4. Sosialisasi ASI di ruang perawatan pada hari ke 1-2. 5. Sosialisasi ASI pada saat control pertama hari ke 7. 6. Sosialisasi ASI pada saat kontrol kedua hari ke 36. 7. Sosialisasi ASI pada saat Imunisasi. 2.4 Kebijakan WABA tentang pelaksanaan program IMD Kebijakan The World Alliance for Breastfeeding Action (WABA) tentang IMD terutama dalam satu jam setelah kelahiran, merupakan tahap penting untuk mengurangi kematian bayi dan mengurangi banyak kematian neonatal. Menyelamatkan satu juta bayi dimulai dari satu tindakan, satu pesan dan satu dukungan yaitu dimulai inisiasi dini dalam satu jam pertama kelahiran (WHO, 2007). WHO/UNICEF merekomendasikan IMD dalam satu jam pertama kelahiran, menyusu secara eksklusif selama enam bulan, diteruskan dengan makanan pendamping ASI sampai usia dua tahun. Konferensi tentang hak anak mengakui bahwa setiap anak berhak untuk hidup dan bertahan untuk melangsungkan hidup dan berkembang setelah persalinan. Wanita mempunyai hak untuk mengetahui dan menerima dukungan yang diperlukan untuk melakukan IMD yang sesuai. WABA mengeluarkan beberapa kebijakan tentang IMD dalam pekan ASI sedunia antara lain: menggerakkan dunia untuk menyelamatkan satu juta bayi dimulai dengan satu tindakan sederhana yaitu dengan memberi kesempatan pada bayi untuk melakukan IMD dalam satu jam pertama kehidupannya, menganjurkan segera terjadi kontak kulit antara ibu dan bayi dan berlanjut dengan menyusui selama enam bulan secara eksklusif, mendorong menteri kesehatan atau orang yang mempunyai kebijakan untuk menyatukan pendapat bahwa IMD dalam satu jam pertama adalah indikator penting untuk kesehatan, memastikan keluarga mengetahui pentingnya satu jam pertama untuk bayi dan memastikan mereka untuk melakukan kesempatan yang baik ini pada bayi mereka, memberikan dukungan perubahan baru dan peningkatan kembali Rumah Sakit Sayang Bayi (RSSB) dengan memberi perhatian dalam penggabungan dan perluasan tentang IMD (WABA, 2011). 2.5 Teori Prilaku Terdapat tiga teori yang berhubungan dengan pembentukan perilaku tersebut adalah : 2.5.1 Teori Lawrence Green Teori ini berangkat dari adanya dua determinan masalah yaitu faktor perilaku, dan faktor non-perilaku.Faktor perilaku ditentukan menjadi tiga faktor utama yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong (Notoatmodjo, 2010). 2.5.2 Teori Snehandu B.Karr Menurut Notoadmodjo (2010) Karr mengidentifikasi adanya lima determinan perilaku yaitu niat, dukungan keluarga, informasi yang didapat dan kebebasan mengambil keputusan. 2.5.3 Teori WHO WHO merumuskan bahwa penyebab munculnya perilaku ini sangat sederhana, yaitu adanya pikiran, diberikan referensi, adanya dukungan sumber daya dan sosial budaya. Hal ini sama dimana seseorang berprilaku karena adanya alasan pokok. Perilaku seseorang disebabkan oleh empat alasan pokok yaitu pengetahuan, persepsi, kepercayaan dan sikap. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengetahuan sendiri atau pengalaman orang lain. Kepercayaan sering didapat dari keluarga yaitu orang tua, pasangan, kakek, nenek dan biasanya kepercayaan itu diterima tanpa adanya pembuktian.Sikap menggambarkan suka atau tidaknya seseorang terhadap suatu obyek, dan biasanya didapatkan dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang terdekatnya (Notoatmodjo, 2007). 2.6 Faktor-Faktor pada Bidan yang Berhubungan dengan Pelaksanaan IMD dalam Menolong Persalinan 2.6.1 Pengetahuan Pengetahuan sangat mempengaruhi dari pelaksanaan IMD, perilaku dari seseorang akan baik jika didasari dari pengetahuan, jika seseorang sudah memiliki pengetahuan tentang pelaksanaan IMD, maka seseorang tersebut akan memiliki perilaku yang baik. Sebelum perilaku seseorang itu diadopsi oleh seseorang bidan, bidan tersebut juga seharusnya mengetahui terlebih dahulu mengetahui manfaat perilaku tersebut bagi dirinya dan bagi organisasinya.Pengetahuan yang baik mempunyai perilaku yang baik, dan pengetahuan yang kurang akan mempunyai perilaku yang kurang baik (Notoatmodjo, 2003). Studi kualitatif tentang penerapan IMD di garut yang dilakukan oleh Lala Jamilah (2008), menyatakan bahwa pengetahuan tenaga kesehatan yang masih kurang dapat menyebabkan rendahnya penerapan IMD.Pengetahuan sangat penting dan berperan dalam membentuk perilaku seseorang termasuk dalam melaksanakan IMD dengan baik (Dayati, 2011).Penelitian Dayati (2011) dan Daryati (2008) menyebutkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan bidan dengan pelaksanaan IMD. 2.6.2 Sikap Menurut Robbin (2003) mengemukakan bahwa sikap berhubungan dengan pekerjaan, bagaimana sikapnya mengenai pekerjaan yang dilakukan, sikap akan mencerminkan seseorang nyaman dan menikmati pekerjaan mereka. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap Deviyanti (2009) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan praktek IMD, yang mengatakan bahwa sikap bidan yang positif akan mampu mempraktekkan IMD dengan baik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rusnita (2008) menunjukkan adanya hubungan bermakna antara sikap dengan praktek IMD. 2.6.3 Umur Elizabeth dalamWawan (2010), mengungkapkan umur individu terhitung mulai saat dilahirkan sampai ulang tahun yang terakhir. Huclock dalam Wawan (2010), mengungkapkan semakin cukup umur seseorang, akan semakin matang dalam berpikir. Menurut Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa salah satu faktor yang dilakukannya IMD oleh tenaga kesehatan adalah umur tenaga kesehatan tersebut. Peneltian Mardiah (2011) menunjukkan bahwa karakteristik pribadi termasuk umur bidan akan mempengaruhi seseorang dalam lingkungan kerja. Semakin tua umur seseorang, maka dapat meningkatkan kinerja bidan tersebut, hal ini berkaitan dengan penelitiannya, bahwa bidan yang memiliki kinerja baik yaitu lebih dari separuh berusia tua atau sebanyak 54,7%. Hal ini dipengaruhi umur yang lebih tua memiliki pengalaman yang telah matang dalam bidangnya.Penelitian Daryati (2008) yang menyatakan adanya hubungan antara umur bidan dengan pelaksanaan IMD. Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Putri dkk (2013) di Puskesmas Rawat Inap Kabupaten Pasuruan dengan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara umur dengan kinerja bidan, bidan yang berumur 35 tahun memiliki peluang 21 kali memiliki kinerja yang baik dibandingkan dengan bidan yang berumur kurang dari 35 tahun. Usia tua mempunyai tanggung jawab dan ketelitian dalam bekerja dibandingkan dengan usia muda, hal ini dikarenakan usia tua lebih berpengalaman dibandingkan dengan bidan yang berusia muda, usia muda belum memiliki pengalaman. Usiaberpengaruh terhadap pengalaman seseorang dalam bekerja melaksanakan IMD di BPM, kemungkinan karena bidan tua lebih berpengalaman, maka dalam melaksanakan IMD biasanya usia tua lebih berhati-hati dan teliti sehingga langkah-langkah IMD dilaksanakan dengan baik (Robbins, 2003). 2.6.4 Lama Bekerja Sebagai BPM Lama kerja dapat diartikan lamanya seseorang bekerja dihitung dari awal mendirikan praktek mandiri sampai sekarang. Lama bekerja adalah rentang waktu yang telah ditempuh oleh seorang bidan dalam melaksanakan tugasnya di tempatnya bekerja khususnya di praktek mandiri, pada saat itulah banyak pengalaman yang didapat oleh seorang bidan, sehingga bidan mengerti apa keinginan dan harapan ibu bersalin pada seorang bidan, pada saat itu juga bidan sudah mengetahui apa sebaiknya yang harus bidan lakukan untuk kesehatan ibu bersalin dan bayi yang akan dilahirkannya, termasuk dalam pemberian IMD (Sitinjak, 2011). Pengalaman adalah guru yang terbaik yang mengajaran tentang apa yang telah dilakukan, baik itu pengalaman baik atau pengalaman buruk, sehingga dengan pengalaman itulah maka dapat memetik hasilnya. Semakin lama bekerja, maka akan semakin banyak pengalaman yang didapat dan semakin banyak kasus yang ditangani, sehingga membuat seorang bidan semakin terampil dan teliti dalam menyelesaikan pekerjaan (Notoatmodjo, 2010). Penelitian Yanuar (1999) dalam penelitian Rosalina (2008) menyatakan semakin lama masa kerja seseorang, maka akan semakin terampil dan makin bertambah pengetahuannya dalam melaksanakan tugasnya. Sesuai dengan teori Henderson (2006) juga mengatakan bahwa bidan yang mempunyai masa kerja lebih lama mengetahui pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan bidan yang mempunyai masa kerja yang baru terutama di tempat prakteknya masingmasing.Penelitian dari Faizin mengatakan (2008), bahwa ada hubungan lama kerja bidan terhadap kinerja bidan di tempatnya bekerja. Hal ini sesuai juga dengan penelitain dari Sugiarti dan Vera Talumepa tahun 2008 bahwa masa kerja dari bidan praktek mandiri mempengaruhi pelaksanaan IMD, responden yang mempunyai pengetahuan > 9 tahun mempunyai tingkat pengetahuan yang baik yaitu sebanyak 77,3%. Menurut Permenkes No.1464/Menkes/Per/IX/2010 menyebutkan bahwa masa berlakunya surat ijin praktek bidan tergantung dari surat tanda registrasi bidan. Surat Tanda Registrasi (STR) pertama kali diperoleh dari uji kompetensi, dan merupakan bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah. Selanjutnya setelah lima tahun maka STR harus diperbaharui dengan cara registrasi ulang yakni mendapat 20 Satuan Kredit Profesi (SKP) yang diperoleh dengan mengikuti seminar. 2.6.5 Pekerjaan Pekerjaan menjadi faktor penyebab seseorang untuk berperilaku terhadap kinerjanya. Pekerjaan juga dikaitkan dengan pengalaman dan beban kerja, bekerja atau tidaknya seseorang akan menentukan keterampilannya dalam melaksanakan sesuatu. Pada penelitian (Yuliandrin, 2009) menyebutkan jenis pekerjaan bidan juga mempengaruhi pelaksanaan program IMD bahwa ibu yang mendapatkan keterampilan selain hanya dari praktek mandiri tetapi dari bekerja sebagai pegawai baik sebagai pegawai di pemerintahan maupun di swasta mempunyai peluang dalam melaksanakan IMD 16,4 kali dibandingkan dengan bidan yang hanya membuka praktek mandiri saja.Hal ini tidak sejalan dengan teori Yuliani (2001) yang menyatakan bahwa pekerjaan akan sangat mempengaruhi perilaku dan kinerja seseorang. Bidan yang sudah lama bekerja akan mempunyai wawasan yang lebih luas dan lebih banyak sehingga dapat dengan mudah memberikan pelayanan kebidanan menurut ilmu yang didapatkan selama ini sehingga untuk merubah kebiasaan terebut memerlukan proses dan waktu. 2.6.6 Tenaga Kerja Bidan Tenaga kerja bidan yang dimaksud di sini adalah jumlah bidan yang bekerja di tempat praktek membantu bidan pemilik BPM.Pada penelitian yang dilakukan oleh Nuryanti yang menyatakan bahwa pelaksanaan IMD itu sendiri tergantung pada bidan yang membantu pada saat proses persalinan (Nuryanti, 2011). Semakin banyak bidan yang membantu, maka pelaksanaan IMD akan berjalan dengan baik. 2.6.7 Jumlah Persalinan Persalinan (paritas) merupakan wanita yang pernah melahirkan bayi yang dapat hidup (viable) (Sarwono, 2006).Jumlah persalinan adalah banyaknya persalinan yang ditolong bidan dalam 1 bulan terakhir di BPM. Semakin banyak atau sering menolong persalinan maka pengetahuan dan pengalaman bidan akan bertambah. Penelitian yang dilakukan oleh Adiyasa tahun 2014 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara jumlah persalinan dengan pengetahuan IMD. 2.6.8 Supervisi Mantja (2005) mengatakan bahwa supervisi mulai dikenalkan di Indonesia pada saat berlakunya Kurikulum 1975. Supervisi sama dengan pengawasan dalam tujuan-tujuan memperbaiki dan meningkatkan kinerja guru, berfungsi sebagai monitoring, kegiatannya memiliki fungsi manajemen serta berorientasi pada tujuan pendidikan. Perbedaannya adalah kepengawasan lebih berkaitan dengan sejauh mana rencana yang telah ditetapkan tercapai. Hal ini juga didukung penelitian oleh Kurniawati (2011), bahwa kinerja bidan dipengaruhi oleh faktor organisasi yaitu supervisi oleh bidan koordinator di Kabupaten Banyumas. Penelitian Erawati (2013), juga mendukung bahwa kinerja pegawai berhubungan dengan supervisi, lingkungan kerja dan insentif sebagai faktor pendorong motivasi. Supervisi yaitu pelaksanaan monitoring mencakup mengamati, mengawasi dan membimbing kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh bidan dan meningkatkan kinerja dari bidan praktek mandiri sehingga tujuan program KIA dapat tercapai.