A. Pendahuluan Mual biasanya diartikan seperti keinginan untuk muntah atau merasa tidak nyaman di tenggorokan atau daerah epigastrium sehingga memberikan tanda pada seseorang untuk muntah. Sedangkan muntah diartikan sebagai pembersihan isi lambung melalui mulut, sering membutuhkan dorongan yang kuat (DiPiro, 2008). Mual dinyatakan sebagai sensasi subjektif sebagai hasil dari stimulasi lapisan gastrointestinal, yang kemoreseptor trigger zone di dasar ventrikel keempat, vestibular, atau korteks serebral. Muntah adalah refleks neuromuskuler yang merupakan jalur akhir yang umum setelah stimulasi. Muntah dapat terjadi tanpa rasa mual, dan mual tidak selalu menyebabkan muntah. Kedua gejala ini, bersama-sama atau sendiri, bisa sangat mengganggu dan tidak membyat rasa nyaman bagi pasien dan keluarga (Fraser Health, 2006). Mual dan muntah disebabkan oleh banyak gangguan. Sistem saraf pusat (SSP) menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, sakit kepala migrain, metastasis otak, disfungsi vestibular, keracunan alkohol, dan kecemasan. Penyebab penyakit infeksi termasuk virus gastroenteritis, keracunan makanan, peritonitis, meningitis, dan infeksi saluran kemih. Penyebab metabolik termasuk hiperkalsemia, uremia, hiperglikemia, dan hiponatremia. Penyebab gangguan pencernaan, seperti gastroparesis, obstruksi usus, distensi, dan iritasi mekanik, dapat menyebabkan mual dan muntah. Di antara banyak obat yang dapat menyebabkan mual dan muntah diantaranya kemoterapi kanker, antibiotik, antijamur, dan analgesik opiat. Muntah tak terkendali dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, malnutrisi, pneumonia aspirasi, dan air mata esofagus. Mual dan muntah sering mengurangi asupan makanan dan dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk merawat dirinya sendiri. Penurunan yang signifikan pada skor kualitas hidup telah dibuktikan pada pasien kanker dengan mual dan muntah akibat kemoterapi dibandingkan dengan pasien yang tidak memiliki gejala-gejala. Mual dan muntah juga dapat terjadi pasca operasi. Mual dan muntah pasca operasi, didefinisikan sebagai mual dan muntah yang terjadi dalam waktu 24 jam setelah operasi, mempengaruhi antara 20% dan 30% dari pasien. Sebanyak 70% sampai 80% dari pasien berisiko tinggi mungkin terpengaruh. Etiologi dari mual dan muntah pasca operasi, dianggap multifaktorial, melibatkan individu, anestesi, dan beberapa faktor terkait. Risiko hasil mual dan muntah pasca operasi bedah adalah peningkatan ketidaknyamanan pasien dan ketidakpuasan dan peningkatan biaya terkait serta lamanya tinggal di rumah sakit. Salah satu studi menunjukkan bahwa waktu untuk debit meningkat sebesar 25% pada pasien dengan mual dan muntah pasca operasi. Komplikasi medis serius seperti aspirasi paru, meskipun jarang, juga terkait dengan muntah. Mual dan muntah pasca operasi merupakan masalah yang signifikan bagi pasien: dalam satu studi, pasien lebih peduli tentang mual dan muntah pasca operasi dari pada nyeri pasca operasi. Pasien bersedia untuk menghabiskan banyak uang untuk pengobatan antiemetik yang efektif. B. Etiologi Mual dan muntah berkaitan dengan berbagai presentasi klinis. Selain penyakit gastrointestinal, salah satu mungkin karena penyakit kardiovaskular, infeksi, neurologis, atau proses penyakit metabolik. Mual dan muntah dapat terjadi pada kondisi seperti kehamilan, 2 atau karena pemberian obat tertentu, seperti yang digunakan dalam kemoterapi kanker. Etiologi psikogenik gejala ini mungkin terjadi, terutama pada wanita muda dengan gangguan emosional. Etiologi antisipatif mungkin dapat muncul, seperti pada pasien yang sebelumnya telah menerima kemoterapi sitotoksik. Selain mengidentifikasi kondisi yang berhubungan dengan mual dan muntah, penting untuk mengatasi penyebab pada bidang medis. Misalnya, mual dan muntah dapat terjadi pada 70% pasien dengan infark miokard inferior atau ketoasidosis diabetes. 80% sampai 90% dari pasien dengan Addisonian crisis, pankreatitis akut, atau apendisitis akut dapat hadir dengan mual dan muntah. Etiologi mual dan muntah memiliki perbedaan menurut usia pasien. Misalnya, muntah pada bayi baru lahir selama hari pertama kehidupan menunjukkan obstruksi saluran pencernaan bagian atas atau peningkatan tekanan intrakranial. Penyakit lain yang terkait dengan muntah pada anak-anak termasuk stenosis pilorus, ulkus duodenum, stres ulkus, insufisiensi adrenal, septicemia, dan penyakit pankreas, atau hati. Juga, kegagalan hepatoseluler terlihat pada sindrom Reye dapat menyebabkan edema serebral yang mendalam diikuti oleh emesis persisten. Sebuah etiologi umum dari muntah pada anak adalah gastroenteritis virus yang disebabkan oleh rotavirus. Muntah pada bayi dapat berhubungan dengan sesuatu yang sederhana seperti overfeeding, makan cepat, bersendawa tidak memadai, atau berbaring terlalu cepat setelah makan. Jenis muntah biasanya menunjukkan masalah yang biasa dan dapat segera dihilangkan dengan pengalihan perhatian untuk makan. Drug-induced mual dan muntah harus diperhatikan secara khusus, terutama dengan meningkatnya jumlah pasien yang menerima pengobatan sitotoksik. Sebuah sistem klasifikasi empat tingkat mendefinisikan risiko emesis dengan agen sitotoksik yang spesifik. Meskipun beberapa agen mungkin memiliki risiko muntah lebih besar daripada yang lain, kombinasi dari agen, dosis tinggi, pengaturan klinis, kondisi psikologis, pengalaman perawatan sebelumnya, dan stimulus yang tidak biasa dari penglihatan, penciuman, atau rasa dapat mengubah respon pasien terhadap terapi obat. Dalam pengaturan ini, mual dan muntah mungkin tidak dapat dihindari dan beberapa pasien mengalami masalah ini begitu intens kemoterapi yang ditunda atau dihentikan. Selain risiko muntah berbagai rejimen sitotoksik, etiologi mual dan muntah pada pasien kanker pun mulai dikembangkan. C. Patofisiologi Secara berturut – turut , tiga fase emesis adalah nausea , retching, dan vomiting. Nausea, adalah suatu keadaan ingin muntah, hal ini terkait dengan gerakan stasis lambung dan dapat dianggap sebagai gejala yang tunggal dan terpisah. Retching adalah gerakan otot perut dan dada sebelum terjadinya Vomitting (muntah). Vomiting merupakan tahapan akhir dari fase dalam emesis. Terjadi karena adanya gerakan pengosongan lambung yang sangat kuat yang disebabkan oleh retroperistalsis GI. Peristiwa muntah ini membutuhkan kontraksi terkoordinasi dari otot-otot perut, pilorus, dan antrum, timbul sebuah kardia dalam lambung, berkurangnya tekanan sfingter pada esofagus, dan terjadi fase dilatasi pada esophagus. Beberapa symptom autonom sering di rasakan bersamaan dengan peristiwa muntah misalnya muka tampak pucat,takikardi, dan diaphoresis. Vomiting (muntah) dipicu oleh impuls yang masuk (afferent impulses) ke pusat pengendali rasa ingin muntah yaitu nucleus dari sel yang terletak di dalam medulla. Impuls di 3 terima dari pusat sensory, seperti Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ), korteks serebral, saraf afferent yang berasal dari faring dan saluran gastrointestinal. saat muntah terjadi impuls afferent akan di gabungkan oleh pusat pengendali rasa muntah dan pada akhirnya menghasilkan impuls efferent yang di kirimkan ke saraf pengendal salivasi , saraf pengendali pernapasan, faring, otot perut sehingga menyebabkan terjadinya vomiting (muntah). CTZ terletak pada postrema dari keempat bagian otak, CTZ merupakan chemosensory yang paling utama yang menginduksi terjadinya muntah. Hal ini terjadi karena posisi dari CTZ ini sangat mudah untuk di jangkau oleh bloodborne dan juga toxin cairan serebrospinal, oleh karena itu agen sitotoksi sangatlah mudah untuk menstimulasi zona ini dibandingkan cortex serebral dan afferent visceral. Hal yang sama terjadi pada rasa mual dan muntah saat kehamilan, yaitu karena terstimulasinya zona (CTZ) ini. Kebanyakan reseptor neurotransmitter terletak pada pusat pengendali muntah (vomiting center) , CTZ, dan jalur gastrointestinal. Seperti kolinergik reseptor, histaminic, dopaminergik, opiate, serotonergic, neurokinin dan benzodiazepine reseptor. Jadi agen kemoterapi , metabolitnya, atau senyawa penyebab emesis secara teoritis mempengaruhi proses emesis jika mereka menstimulasi satu atau beberapa dari reseptor tersebut. Dan biasanya, Antiemetik efektif bekerja secara antagonis atau memblok emetogenik reseptor. D. Manifestasi klinis Tanda dan gejala klinis untuk mual dan muntah seringkali terjadi bersamaan dan semuanya berhubungan atau berkesinambungan, dan sering mucul sebagai manifestasi yang simple dan complex(Dipiro, 2008). 1 Secara umum Manifestasi klinisnya tergantung pada kehebatan dan seberapa parah penderita. 2 Dilihat dari symptomnya, secara simple seperti self-limiting,terjadi secara spontan dan hanya membutuhkan terapi symptomatic dan atau secara kompleksnya ditunjukan dengan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, juga berhubungan dengan adanya induksi zat toksik keadaan psikogenik. 3 Dilihat dari tanda klinis secara simple misalnya pasien merasa tidak nyaman dan atau secara kompleks misalnya kehilangan berat badan, demam, sakit perut. 4 Test laboratorium untuk nilai konsentrasi serum elektrolit, dan evaluasi aktivitas jalur gastrointestinal atas dan bawah. 5 Informasi lain seperti riwayat keluarga terutama psikogenik vomiting, jumlah cairan yang masuk dan keluar, perubahan kondisi fisiologis yang sedang terjadi seperti pengelihatan,sakit kepala,stress (Dipiro,2008). E. Diagnosis Evaluasi diagnosis awal untuk pasien yang mengalami mual dan muntah adalah onset dari symptom, tingkat keparahan symptom yang ditunjukan, durasi symptom, level air dan elektrolit tubuh , kondisi medis serta obat – obat yang sedang digunakan, dan juga pengaruh makanan serta jika adanya infeksi. Hal ini menunjukan perlunya pemahaman yang benar tentang nausea dan vomiting sehingga kondisi khusus dapat ditangani secara spesifik artinya treatment yang di berikan dapat dispesifikan tergantung pada hasil diagnosis. 4 F. Terapi 1. Tujuan terapi Tujuan keseluruhan dari terapi antiemetika adalah untuk mencegah atau menghilangkan mual dan muntah tanpa menimbulkan efek samping atau efek yang tidak dikehendaki secara klinis. 2. General approach Pendekatan umum terkait mual dan muntah bervariasi tergantung pada kondisi medis terkait. Untuk kasus mual dan muntah yang sederhana, pasien dapat melakukan tindakan non farmakologi atau memilih obat non resep. Jika gejala memburuk atau pada kondisi medis yang cukup berat, pasien lebih diuntungkan dengan obat resep karena diresepkan berdasarkan informasi klinis yang terpercaya. 3. Non farmakologi Manajemen non-farmakologi untuk mual dan muntah melibatkan pengaturan makanan, strategi fisik dan psikologis yang sesuai dengan gejalanya. Untuk pasien dengan keluhan sederhana, kemungkinan karena konsumsi makanan atau minuman berlebih atau yang tidak dapat diterima, dapat menghindari atau mengurangi makanan/minuman tersebut. untuk gejala yang disebabkan oleh gerakan dapat pulih dengan cepat dengan cara menstabilkan posisinya. Sedangkan untuk intervensi perilaku dapat dilakukan dengan cara relaksasi, self-hypnosis, cognitive distraction dan akupuntur. 4. Farmakologi a. Umum 5 Antasida Antasid OTC tunggal atau kombinasi, terutama yang mengandung magnesium hidroksida, aluminium hidroksida, dan atau kalsium karbonat, mungkin memberikan perbaikan yang cukup pada mual / muntah, terutama lewat penetralan asam lambung. Potensi adverse effect yang harus diwaspadai adalah diare osmotik karena magnesium atau konstipasi akibat garam alumunium atau kalsium pada pasien yang melakukan swamedikasi dengan dosis antasida yang terlalu sering. Antihistamin-antikolinergik Bekerja dengan memotong jalur visceral aferen yang menstimulasi mual dan muntah. Beberapa adverse effect dari penggunaan golongan ini adalah mengantuk, bingung, pandangan, kabur, mulutkering, retensi urin, pada orang tua kemungkinan terjadi takikardia. Benzodiazepine Benzodiazepine merupakan antiemetik yang relatif lemah yang biasanya digunakan untuk mencegah kecemasan atau digunakan pada pasien yang menerima kemoterapi yang sangat emetogenik. Alprazolam dan lorazepam digunakan sebagai tambahan antiemetik lain pada pasien yang menerima pengobatan berisi regimen cisplatin. Buterophenones Senyawa buterophenones yang memiliki aktivitas antiemetic adalah haloperidol dan droperidol. Bekerja dengan menghambat stimulasi dopaminergic pada Chemooreceptor TriggerZone (CTZ). Cannabinoids Memiliki efek yang kompleks terhadap sistem saraf pusat. Oral dronabidol dan nabilone merupakan agen yang biasa digunakan pada CINV dan tidak dianjurkan sebagai first line therapy. Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan golongan ini adalah euphoria, sedasi, depresi, halusinasi dan paranoia. Kortikosteroid Deksametason adalah kortikosteroid yang paling umum digunakan dalam manajemen CINV dan mual dan muntah pasca operasi (PONV), baik sebagai agen tunggal atau dalam kombinasi dengan 5-hydroxytryptamine-3 antagonis reseptor. Kortikosteroid mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Insomnia, gangguan gastrointestinal, agitasi, dan stimulasi nafsu makan adalah beberapa efek samping yang umum terjadi. Histamine (H2) antagonis Bekerja dengan menurunkan produksi asam lambung dan digunakan sebagai manejemen mual muntah yang disebabkan oleh heartburn atau gastrointestinal reflux. 5-Hydroxytryptamine-3 Receptor Antagonists memblokir reseptor serotonin presinaptik pada serat vagal sensorik di dinding usus, efektif menghalangi fase akut CINV. Efek samping yang paling umum terkait dengan agen ini adalah sembelit, sakit kepala, dan asthenia. 6 Metoclopramide Bekerja dengan memblokir reseptor dopaminergic yang terpusat di Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ). Meningkatkan tonus sfingter esophagus, membantu pengosongan lambung dan mempercepat transit di usus halus melalui pelepasan asetilkolin. Olanzapine Merupakan antipsikotik yang bekerja dengan memblokir beberapa neurotransmitter termasuk dopamine D2 and 5-HT3–RA. Penggunaan olanzapine dalam kombinasi dengan palonosetron dan deksametason, efektif untuk pencegahan CINV akut Phenothiazine Phenothiazine merupakan agen antiemetik yang paling sering diresepkan. Bekerja dengan memblokir reseptor dopamine di CTZ. Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan obat ini adalah reaksi hipersensitivitas dengan kemungkinan disfungsi hati, sumsum tulang aplasia, dan sedasi berlebihan b. Chemotherapy-induced nausea and vomiting (CINV) Mual dan muntah yang terjadi dalam waaktu 24 jam dari kemoterapi dikatakan akut, sedangkan ketika mual leibih dari 24 jam setelah pemberian kemoterapi, dikatakan kemoterapi terlambat. Tujuan utama CINV adalah untuk mencegah mual dan atau muntah. Pengawasan optimal mual dan muntah akan berdampak positif terhadap tertundanya dan antisipatif mual dan muntah. Faktor yang perlu dipertimbangkan ketika memilih antiemetik untuk CINV adalah sebagai berikut: - Risiko emetik dari agen kemoterapi atau rejimen - Faktor pasien-rejimen - Pola emesis setelah pemberian tertentu agen atau rejimen kemoterapi c.Postoperative nausea and vomiting (PONV) Postoperative nausea and vomiting(PONV) mempersulit prosedur bedah sekitar 2530 % dari pasien yang menjalani anesthesia. Faktor yang harus dipertimbangkan untuk PONV profilaksis dan pengobatan termasuk faktor risiko, potensi morbiditas, efek samping potensial yang terkair dengan antiemetik, khasiat antiemetik, dan biaya. Kebanyakan pasien yang menjalani prosedur operasi tidak memerlukan pra operasi terapi antiemetik profilaksis dan profilaksis PONV universal. Profilaksis dan pengobatan PONV harus mematuhi guidlines, selain itu strategi lain untuk mengurangi dasar faktor resiko PONV antara pasien yang beresiko tinggi termasuk penggunaan anestesi regional profolol, oksigen, dan hidrasi, serta menghindari nitrous oxide. d. Motion sickness Gejala-gejala penyakit motion sickness terjadi dalam menanggapi persepsi yang tidak biasa gerak nyata atau jelas. Dalam situasi ini, ada perbedaan sensorik posisi tubuh atau gerakan melalui pandangan, vestibular, atau body proprioceptors. 7 Asetilkolin diduga adalah neurotransmitter utama yang terlibat dalam menandakan VC, seperti histamin tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Stimulasi adrenergik dapat memblokir transmisi ini. gejala dimulai dengan perut yang tidak nyaman, meningkatnya produksi air liur, keluar keringat, pusing, lesu, muntah-muntah, serta emesis. Resiko terjadinya motion sicness terjadi pada anak berusia 2 tahun sampai remaja lebih besar dibandingkan dewasa. Kepekaan terhadap motion sicness berkurang siring bertambahnya usia. Penyebab lain terjadinya motion sicness adalah udara, perjalanan menggunakan perahu, perjalanan menggunakan mobil dan kereta. Tingkat keparahan motion sicness bergantung pada individu dan juga variasi cuaca dan posisi di kendaraan seperti perahu, mobil, kereta. Tindakan non farmakologi atau pengobatan alami mungkin berguna untuk mengurangi motion sickness. Hal-hal yang dilakukan seperti berbaring dalam posisi setengah berbaring, menghindari membaca, menutup mata jika di bawah kabin. Selain itu agen antikolinergik dan antihistamin yang melintasi darah ke otak secara efektif mencegah dan mengobati motion sicness. Secara umum, obat-obat ini lebih efektif dalam mencegah dari pada mengobati gejala. Antihistamin nonsedasi tidak seefektif antihistamin lain karena tidak cukup untuk melewati barier darah ke otak. Skopolamin telah dipelajari dengan baik untuk pencegahan penyakit gerakan dan sangat efektif. Medication Dosage Recomended Use Adverse Effects Scopolamine 1.5 mg disamping paparan jangka mulut kering, telinga setiap 3 hari. panjang ( > 6 jam ) mengantuk, Gunakan paling untuk sedang. penglihatan kabur, sedikit 3 jam pengobatan alternatif kebingungan untuk stimulus lebih kelelahan, ataxia pendek atau lebih ringan . Dimenhydrinate 50-100 mg PO setiap 4-6 jam (max 400mg/day). Digunakan bila perlu seseuai kebutuhan. paparan jangka Mengantuk, mulut panjang atau pendek. kering, penebalan Paparan ringan sekresi , pusing sampai stimulus sedang. alternatif untuk stimulus yang intens . Promethazine 25 mg PO setiap 4-6 jam. Digunakan bila perlu seseuai kebutuhan 25-50 mg IM setiap 4-6 jam untuk gejala yang parah. Dalam kombinasi dengan dextroamphetamine untuk paparan singkat sampai stimulus yang intens . Mengantuk ortostatik hipotensi , kering , mulut 8 Alternatif rangsangan lama atau ringan. untuk lebih lebih Medizine 12,5- 50 mg PO setiap 6-24 jam, digunakan jika perlu sesuai kebutuhan. Alternatif untuk stimulus ringan atau di kombinasi untuk rangsangan sedang sampai parah. Mengantuk , mulut kering , penebalan sekresi , pusing Dextroamphetamine 5-10 mg PO setiap 46 jam. Digunakan jika perlu sesuai kebutuhan. Dalam kombinasi dengan prometazin untuk paparan singkat dari stimulus yang intens . Gelisah , potensi penyalahgunaan , insomnia, overstimulasi , tachycardia , palpitasi , hipertensi Cyclizine 50 mg setiap 4-6 jam Alternatif ( max 200 mg/ hari). situasi Digunakan bila perlu ringan sesuai kebutuhan. untuk Mengantuk , mulut stimulus kering e.Antiemetic during pregnancy Sebanyak 75% wanita hamil mengalami mual dan muntah selama trimester pertama kehamilan. Tingkat gejala keparahannya bervariasi, dari mual ringan sampai muntah. Etiologi mual dan muntah kehamilan (NVP) belum dipahami dengan baik. Untuk Mayoritas wanita, gejala-gejala ini adalah self-limited, meskipun sekitar 1% sampai 3% mengembangkan hiperemesis gravidarum, kondisi serius yang ditandai dengan gejala fisik yang parah dan komplikasi medis yang memerlukan rawat inap. Dalam keadaan paling parah, hiperemesis gravidarum dapat mengakibatkan volume kontraksi, kelaparan, dan kelainan elektrolit. manajemen awal NVP sering melibatkan perubahan diet dan modifikasi gaya hidup. intervensi nonfarmakologis untuk NVP termasuk jahe dan akupresur, meskipun uji coba khasiat untuk akupresur kurang. Mual persisten dan muntah mengarah ke pertimbangan terapi obat pada saat potensi teratogenik dari setiap agen harus dipertimbangkan. Terapi pengobatan NVP dianjurkan menurut American College of Obstetricians dan Gynecologists ( ACOG ). Pyridoxine ( 10 sampai 25 mg 1-4 kali sehari ) , dengan atau tanpa doxylamine (12,5 sampai 20 mg 1-4 kali sehari ), 9 disarankan sebagai terapi lini pertama. Jika gejalanya menetap, penambahan histamine1-reseptor antagonis seperti dimenhydrinate ( 50 sampai 100 mg oral atau rektal setiap 4 sampai 6 jam sesuai kebutuhan ), diphenhydramine ( 25 sampai 50 mg secara oral atau 10 sampai 50 mg intravena [ IV ] setiap 4 sampai 6 jam sesuai kebutuhan ), atau meclizine ( 25 mg per oral setiap 4 sampai 6 jam sebagai diperlukan ) dianjurkan . antagonis dopamin juga dapat ditambahkan jika gejala terus ( metoclopramide 5 sampai 10 mg IV setiap 8 jam sebagai diperlukan; promethazine 12,5-25 mg IV setiap 4 jam sesuai kebutuhan; proklorperazin 5 sampai 10 mg oral setiap 6 jam sesuai kebutuhan ). Pasien dengan NVP persisten atau yang menunjukkan tanda-tanda dehidrasi harus menerima penggantian cairan intravena dengan tiamin. Ondansetron 2 sampai 8 mg secara oral / IV setiap 8 jam yang diperlukan mungkin meringankan NVP, tetapi hanya secara acak, percobaan terkontrol intravena ondansetron menunjukkan itu menjadi tidak lebih efektif daripada prometazin untuk pengobatan NVP. Kortikosteroid berat harus dicadangkan untuk pasien dengan NVP refraktori atau hiperemesis gravidarum ; methylprednisolone 16 mg oral / IV setiap 8 jam selama 3 hari diikuti oleh lancip 2 minggu dianjurkan. rejimen ini mungkin f. Antiemetic use in children Pedoman praktek merekomendasikan bahwa kortikosteroid ditambah SSRI harus diberikan kepada anak-anak yang menerima kemoterapi tinggi atau resiko muntah sedang. dosis terbaik atau dosis tepat untuk anak-anak (usia, berat badan, atau luas permukaan tubuh) belum jelas ditetapkan. Dosis dewasa standar SSRI mungkin tidak memberikan konsisten perlindungan antiemetik pada anak-anak karena variasi metabolisme lebih luas dan clearance. Untuk mual dan muntah yang berhubungan dengan gastroenteritis anak, penekanan harus ditempatkan pada tindakan rehidrasi bukan pada intervensi farmakologis. supositoria prometazin adalah yang paling sering diresepkan antiemetik untuk gastroenteritis pediatrik di survei dokter, meskipun kurangnya percobaan prospektif. Pada tahun 2004, Administrasi Makanan dan Obat Ulasan semua kasus kejadian serius yang merugikan yang melibatkan anak-anak (usia: lahir 16 tahun) yang telah menerima formulasi promethazine. hasil yang serius, termasuk kematian, terjadi dengan semua rute administrasi (Oral, rektal, dan parenteral) pada dosis mulai dari 0,45 sampai 6,4 mg / kg. Selanjutnya, kotak peringatan hitam ditambahkan ke pelabelan promethazine yang termasuk kontraindikasi untuk penggunaan setiap produk yang mengandung prometazin pada anak-anak muda dari usia 2 tahun dan peringatan diperkuat berkenaan dengan menggunakan pada anak-anak 2 tahun atau lebih. G. Evaluasi Sesuai dengan informasi yang disajikan mengenai usia dan kondisi klinis, terapi individual dimungkinkan melalui pemilihan obat dan penyesuaian dosis. Kriteria monitoring terapi obat harus mencakup penilaian subjektif tingkat keparahan pasien nausea dan juga parameter objektif, seperti: perubahan berat badan, frekuensi muntah setiap hari, volume muntahan yang hilang, dan evaluasi cairan, keseimbangan asam-basa, dan elektrolitnya 10 (natrium, kalium, dan konsentrasi klorida). Selain itu, pemeriksaan fungsi ginjal mungkin dapat dilakukan, terutama pada pasien dengan volume kontraksi dan gangguan elektrolit progresif. Parameter tertentu, termasuk volume harian urine, berat jenis urine, dan konsentrasi elektrolit urin. Pemeriksaan fisik pasien harus mencakup pemeriksaan membran mukosa dan turgor kulit karena pengeringan jaringan dapat menjadi indikasi hilangnya volume secara signifikan. H. Kasus Kim Johnson adalah seorang wanita berusia 65 tahun yang datang ke pusat klinik kanker untuk menjalani tahap pertama kemoterapi. Pasien tersebut didiagnosis menderita kanker ovarium stadium II sekitar 1 bulan yang lalu. Sebelum menjalani kemoterapi, pasien tersebut mengalami kejang dan gangguan pencernaan. Setelah ditanya tentang riwayat penyakit yang diderita anggota keluarga yang lain, pasien tersebut mengaku nenek dari pihak ibu juga menderita kanker ovarium. Pasien tersebut sudah menikah dan memiliki dua anak dengan usia 35 dan 32 tahun dan diketahui tidak pernah mengkonsumsi alkohol dan merokok. Keluhan yang disampaikan pasien tersebut adalah nausea, vomiting, demam, sakit perut, diare, perubahan warna tinja, mudah lelah, mati rasa atau kesemutan di kaki. Berikut adalah hasil pemeriksaan fisik pasien tersebut: Tekanan darah pasien tersebut sebesar 119/80 Suhu badan sekitar 37 °C Berat badan sekitar 70 kg Tinggi badan sekitar 5.7 inci Kulit pasien tersebut terlihat normal dan tidak terdapat ruam Selaput lendir diketahui mongering Tidak ada adenopati pada kelenjar getah bening Paru-paru pasien tersebut diketahui normal Pasien juga menjalani berbagai macam tes darah. Hasil yang didapatkan adalah: Natrium: 137 mEq/L Hemoglobin: 14.2 g/dL Kalium: 4.2 mEq/L Hematocrit: 44% 11 Chloride: 101 mEq/L Platelet: 270 × 103/mm3 Karbondioksida: 29 mEq/L Sel darah putih: 4.8 × 103/mm3 Blood Urea Nitrogen: 25 mg/dL Netrofil: 48% Kreatinin: 0.7 mg/dL Netrofil Muda: 0% Glukosa: 85 mg/dL Limfosit: 43% Total Bilirubin; 1.1 mg/dL Monosit: 6% Albumin: 4.2 g/dL Eusinofil: 2% Aspartate Aminotransferase: 42 IU/L Basofil: 1% Alanine Aminotransferase: 64 IU/L Terapi Rencananya, ia menerima enam tahap terapi carboplatin dan paclitaxel. Obat-obat yang diberikan, antara lain: Paclitaxel 175 mg/m2 IV durasi 3 jam selama 21 hari Carboplatin AUC 6 IV durasi 30 menit selama 21 hari Ondansetron 24 mg PO 30 menit sebelum kemoterapi Diphenhydramine 25 mg IV 30 menit sebelum kemoterapi 12 Famotidine 20 mg IV 30 menit sebelum kemoterapi Dokter juga memberikan resep untuk ondansetron 8 mg PO setiap 6 jam untuk terapi nausea dan vomiting dan diberikan metoclopramide dan deksametason selama 4 hari untuk mencegah timbulnya nausea dan vomiting Ibu Johnson menerima kemoterapi tahap pertama. Hasilnya, kondisi pasien tersebut cukup baik tanpa mengalami nausea atau vomiting. Setelah menjalani kemoterapi tahap kedua, kondisi pasien tersebut masih dapat dikatakan stabil dan baik. Namun setelah masuk ke siklus ketiga, ia mengeluhkan mual dan muntah. Pasien tersebut mengaku meminum metoclopramide dan deksametason sesuai anjuran. Konsentrasi fenitoin diperiksa dan diketahui sebesar 15 mcg/mL. Hasil laboratorium menyatakan: Natrium: 131 mEq/L Hemoglobin: 12.4 g/dL Kalium: 3.1 mEq/L Hematocrit: 40% Chloride: 90 mEq/L Platelet: 220 × 103/mm3 Karbondioksida: 29 mEq/L Sel darah putih: 3.4 × 103/mm3 Blood Urea Nitrogen: 32 mg/dL AST: 45 IU/L Kreatinin: 1.2 mg/dL ALT: 70 IU/L Glukosa: 85 mg/dL Total Bilirubin; 1.1 mg/dL Albumin: 4.2 g/dL Setelah pengobatan sesuai dengan rekomendasi farmasis, pasien tersebut tidak lagi muntah selama beberapa jam dan juga tidak lagi merasa mual. Untuk tahap kemoterapi yang selanjutnya, dokter mengikuti saran farmasis tentang antiemetik sebelum dan sesudah 13 kemoterapi. Hasilnya, pasien tersebut tidak mengalami mual atau muntah dan tidak ada efek samping dari antiemetik yang diberikan. Kesimpulan Penggunaan antiemetik yang tepat sangat penting dilakukan, terutama dengan antiemetik alternatif yang harganya lebih mahal. Memutuskan terapi antiemetik apa yang diberikan pada pasien harus berdasarkan pada tingkat keberhasilan, faktor pasien secara spesifik, dan biaya. DAFTAR PUSTAKA Alldredge, B.K., Corelli, R.L., dan Ernst, M.E., 201, Koda-Kimble and Young’s Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs, 10th edition, Lippincott Williams & Wilkins, pp. 100-101. Dipiro, J., Talbert, R.L., Yee, G.C., et al, 2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 7th edition, The McGraw-Hill Companies, Inc, USA, pp. 607-615. 14 Fraser Health, 2006, Nausea and Vomitting: Medical Care of the Dying, 4th edition, Hospice Palliative Care, Clinical Practice Committee, p. 1. McCracken, G., Houston, P., Lefebvre, G., 2008, Guideline for the Management of Postoperative Nausea and Vomiting, SOGC Clinical Practice Guideline, Canada. Schwinghammer, T.L., Koehler, J.M., 2008, Pharmacotherapy Casebook: A Patient Focused Approach, 7th edition, The McGraw-Hill Companies, Inc, USA, pp. 126-128. 15