RITUAL SIKLUS HIDUP DALAM DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA

advertisement
RITUAL SIKLUS HIDUP DALAM DIALEKTIKA
ISLAM DAN BUDAYA LOKAL
Zayadi
Email: [email protected]
ABSTRACT
This study is focused to how Islam interaction with local culture in
cycle ritual of family life with many kind of social phenomenans as a
result of that interaction. Both interactions, Islam and local culture, is
predicted will be happened the acculturation, accommodation,
conflict an integration. Acculturation and accommodation of Islam
with its local culcure in cycle of ritual of life has causality relation.
Acculturation is happened by giving symbol status to local culture by
Islam or local culture gives symbol status to Islam. Acculturation
causality tendences to conversive than adhesive, so cycle ritual of life
practice likes birth, wedding and death are dominated to Islamic
ritual form. This acculturation process shows that Islam has succeed
to get the symbol which relevant with competency to accept the
culture values from local culture and makes new realities likes Islam
locality which sourced from Islam tradition.
Keywords: Ritual, Siklus Hidup, Dialektika Islam, Budaya Lokal
A. Pendahuluan
Keluarga
merupakan
satuan
terkecil
dalam
masyarakat,
secara
keseluruhan menjadi sumber
tatanan dalam kehidupan
sosial.1 Keluarga bukan hanya
menunjukkan
suatu
unit
interaksi, tetapi merupakan
1 Parsudi Suparlan, “ Keluarga
dan Kekerabatan” dalam AW. Wiyaya,
Manusia Indonesia : Individu, Keluarga
dan Masyarakat, (Jakarta : Akademika
Presindo, 1986), hal. 86
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 249
sebuah sistem yang melandasi
sistem kekerabatan2 yang
memiliki fungsi sosial untuk
meregulasi
transmisi
kepemilikan
dan
hak
masyarakat dari generasi
kegenerasi.
Keluarga
menjalankan fungsi sosialnya
dalam
beragam
aspek
kehidupan, dan memiliki
peranan
strategis
dalam
spektrum yang
kuat baik
dalam
konteks ekonomi,
edukatif, religius maupun
kasih sayang bagi setiap
anggota keluarga.3 ia menjadi
landasan
utama
bagi
kehidupan bermasyarakat dan
2 Sistem kekerabatan dibentuk
berdasarkan sistem perkawinan. Sistem
perkawinan itu sendiri antara lain dari
segi bentuk terdapat monogamius,
conjugal dan nuclear family; dari segi
kekerabatan dan pewarisan terdapat
patririnial dan matrilinial dan dari segi
lokasi di mana suami isteri bertempat
tinggal terdapat matrilokal dan patrilokal.
Lihat Lowel D Holmes, Anthropolgy, An
Introdoction , (New York: The Konil Press
Company, 1965), hal. 991-993.
3 Parsudi Suparlan, “Keluarga dan
Kekerabatan “ dalam A.W. Wijaya,
Manusia Indonesia, hal. 96.
bernegara, baik masa kini
maupun mendatang.
Keluarga diartikan sebagai
kelompok orang karena ada
hubungan
darah
atau
perkawinan.4
Orang-orang
yang
termasuk
keluarga
adalah ayah, ibu dan anakanaknya. Ia merupakan suatu
struktur bersifat khusus, satu
sama lain dalam keluarga
tersebut mempunyai ikatan
baik melalui hubungan darah
atau pernikahan.5 Keluarga
yang dilandaskan pada ikatan
pernikahan biasanya terdiri
dari Ayah dan Ibu yang
mengasuh
anak-anaknya.6
Keberadaan keluarga yang
terdiri dari Ayah, ibu dan anak
adalah pranata sosial paling
4 Ensiklopedi Umum,
(Yogyakarta :Yayasan Kanisius,1987), hal.
644-645
5 Hammudah, Abd al “ati, The
Family Structure In Islam, (Maryland :
International Graphis Printing Service),
hal. 9
6 Evereef K. Wison, Sociology,
Rides,
Releks
and
Relationships,
(Memoroodlanis : The door Sey Press,
1996), hal. 155.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 246
kecil
dalam
kesatuan
kehidupan sosial, yang disebut
dengan keluarga batih (inti).7
Keluarga sebagai insititusi
merupakan wahana bagi
penanaman nilai-nilai sosial
dan nilai-nilai budaya bagi
anggotanya sebagai mahluk
sosial.
Melalui
institusi
keluarga
nilai-nilai
kebudayaan, kebiasaan dan
tradisi dipindahkan dari suaru
generasi kegerasi berikutnya.
Bourdieu menjelaskan arti
penting
keluarga
dalam
mempertahankan keteraturan
(ruang
dan
hubunganhubungan) sosial melalui
proses reproduksi sosial,
biologis, sehingga keluarga
merupakan tempat akomulasi
berbagai bentuk modal (modal
ekonomi, modal budaya dan
modal
sosial),8
sekaligus
merupakan
tempat
mengalihkan akomulasi modal
itu dari suatu generasi
kegenerasi berikutnya, yang
difokuskan pada akomulasi
modal budaya dalam bentuk
sistem nilai budaya dan
agama.
Institusi keluarga juga
merupakan
tempat
terpeliharanya nilai-nilai serta
bagaimana sebuah tindakan
sosial
dirancang
secara
bersama dalam menghadapi
tekanan-tekanan sosial baik
antar
keluarga
maupun
bersifat sosial yang berasal
dari makrokosmos.9 Keluarga
dapat menjadi ukuran kuat
dan
lemahnya
suatu
masyarakat. Jika struktur
keluarga kuat dan sehat, maka
struktur masyarakat menjadi
kuat dan sehat.10 Oleh sebab
7
Lihat William Havilland,
Anthropology, Edisi ke 4, (London : CBS
College Publishing, 1985), hal. 82-83.
8 Bourdieu, On the Family as
Realized, Theory of Culture an Society
,Volume 13 Agustus, 1989, hal. 23-24
9
Irwan Abdullah, Konstruksi dan
Reproduksi Kebudayaan, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2006), hal. 154
10 Hasan Langgulung, Manusia
dan Pendidikan, Jilid I, (Jakarta, Pustaka
al-Husna, 1984), hal. 394.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 247
itu keluarga sebagai sebuah
sistem, mempunyai tugas
seperti umumnya sistem sosial
yaitu; menjalankan tugastugas, pencapaian tujuan,
integrasi dan solidaritas serta
pola kesinambungan atau
pemeliharaan keluarga.11
Nilai-nilai yang diwarisi dari
generasi kegenerasi dalam
lingkungan keluarga adalah
nilai-nilai agama dan nilai
budaya. Institusi keluarga
menjadi sumber utama bagi
proses penanaman nilai-nilai
serta kewajiban menjalankan
nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sosial. Keluarga
memiliki peran penting dalam
pembinaan nilai-nilai agama
karena
keluarga
adalah
sumber
dasar
ilmu
pengetahuan tentang tugas
dan
kewajiban
dalam
mengamalkan ajaran Islam. Ia
11 J. McIntyre dalam Ratna
Megawangi , Membiarkan Berbeda ?
Sudut Pandang Baru Tentang Relasi
gender, (Bandung : Mizan, 1999), hal. 69.
harus memberi contoh berupa
sikap toleran dan pemaaf
dalam menanamkan perilaku
tersebut sejak dini dan
mengurangi
kemungkinan
bersikap ateis atau gangguan
lain karena mempengaruhi
mereka di kemudian hari.12
Sikap (attitude) ayah dan
ibu menjadi agen utama
dalam sosialisasi nilai-nilai
agama dan budaya.13 Inilah
salah satu fungsi struktural
keluarga
sebagai
sebuah
sistem disebut Levy dengan
alokasi integrasi dan ekspresi
di mana distribusi teknik atau
cara
dalam
sosialisasi,
internalisasi, dan pelestarian
nilai-nilai dan perilaku yang
memenuhi tuntutan norma
12 Alian Sehleifer, The Family :
The Microosm of Islamic Unity dalam
Muslim Education Quaterly, Vol 6 nomor
2, (Cambridge : Ukpigott Printers, 1989),
hal. 55.
13
Lihat Hasan Langgulung,
Pendidikan dan Peradaban Islam,
(Jakarta. Pustaka al-Husna, 1985), hal. 51.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 248
yang berlaku bagi setiap
anggota keluarga.14
Fungsi
kontrol
sosial
keluarga pada intinya adalah
mempertahankan
nilai-nilai
sosial melalui peran sosial
keluarga.15
Keluarga
merupakan
bagian
dari
masyarakat yang diikat oleh
budaya dan tradisi yang
berkembang, karena budaya
dan
tradisi
berpengaruh
àterhadap
perkembangan
kepribadian individu sebagai
anggota masyarakat dalam
kehidupan
sosial.
Dalam
pranata keluarga anak atau
individu menerima sentuhan
nilai-nilai
kebenaran,
pembiasaan berupa tradisi
dan pengamalannya.
Kehidupan suatu keluarga
dalam kelompok kekerabatan
pada prinsipnya mengikuti
suatu tata kelakuan yang
14 Lihat Megawangi,
Membiarkan Berbeda ?, hal. 70
15 Munandar Soelaiman, Ilmu
Sosial Dasar Teori dan konsep Ilmu
Sosial,(Bandung, Eresco, 1987), hal 23-26.
kompleks. Tata kelakuan
tersebut dalam praktiknya
dapat berupa cita-cita, norma,
pendirian, sistem hubungan
sosial, kepercayan, sikap,
aturan, hukum dan lain
sebagainya. Keseluruhan tata
kelakuan tersebut mendorong
anggota
keluarga
untuk
16
berperilaku.
Keberadaan
keluarga
sebagai salah satu institusi
dari beragam pranata dalam
struktur sosial terikat dengan
sistem nilai yang bersumber
dari budaya dan agama yang
dianut
bersama
oleh
masyarakat yang disebut
dengan sistem nilai budaya
yang merupakan wujud ideal
dari
kebudayaan.17
16 Muslimin Mahmud, Mitos dan
Adat Istiadat Masyarakat Tengger dalam
Nurudin Dkk (Ed) Agama Tradisional:
Potret Kehidupan Masyarakat Samin dan
Tengger, (Yogyakarta: LKIS, 2003), hal.
135
17 Untuk memahami lebih jauh
tentang nilai-nilai atau adat istiadat
sebagai wujud ideal dari kebudayaan,
Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu,
hal. 186-189
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 249
Keterikatan institusi keluarga
terhadap sistem nilai budaya
dan nilai agama dapat
memaksa institusi keluarga
tunduk dan patuh terhadap
kedua sistem nilai tersebut
dan mengejawantah dalam
praktik ritual adat dan agama.
B. Ritual
Siklus
hidup
Keluarga
Salah satu ritual yang
ditemukan pada seluruh etnis
dan kebudayaan di dunia
adalah rite de passage.
Menurut Gennep, Rites of
passage adalah sebuah ritual
atau
upacara
yang
menandakan suatu peristiwa
dalam kehidupan seseorang
yang menunjukkan suatu
transisi dari satu tahap ke
tahap lainnya, seperti dari
remaja ke dewasa, menikah
dan meninggal.18 Menurut
Bowie selain berhubungan
dengan perubahan penting
bagi kehidupan individu rite de
passage dapat membentuk
identitas diri dan kepribadian
manusia. Ritual tersebut pada
dasarnya untuk membolehkan
seseorang berpindah dari satu
posisi ke posisi berikutnya.
Setiap
tahap
peralihan
(kelahiran, perkawinan dan
kematian) memiliki aspeknya
masing-masing.19
Dalam literatur antropologi
rite de passage disebut
sebagai ritual. Ritual tersebut
secara
umum
disebut
pertunjukan atau upacara
yang yang dilakukan secara
terencana dan sengaja yang
menandai sebuah transisi
peralihan dari kehidupan hari
ini ke kehidupan yang lain
sebagai alternatif.20
19 Lihat Fiona Bowie, Antropologi
of Religion, (USA: Blackwell Publishers,
2000), hal. 182.
18 Arnold Van Gennep, Rite of
Passage, (London: Rotledge library
edition, Antropology and Ethnography,
2004), hal. 9.
20 Lihat Fiona Bowie, Antropologi
of Religion, (USA: Blackwell Publishers,
2000), hal. 182.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 250
Sebagai sebuah konsep
istilah tersebut diciptakan
pertama kali oleh antropolog
Arnold van Gennep (1873 1957) pada tahun 1908 dari
latar belakang studinya dalam
Preliterate dan dan studi sukusuku
bangsa
dengan
menerbitkan sebuah buku
tantang apa yang dia sebut
dengan les rite de passage
atau rite de passage21 dan rite
of Passage.22
Upacara
seremonial
tersebut dapat dijumpai pada
semua
masyarakat
dan
kebudyaan dunia, ia menandai
perjalanan seseorang dari satu
status sosial ke status sosial
yang lain. Semua masyarakat
dunia menganggap rite de
passage sebagai peristiwa
besar dan paling penting dari
21
Dalam studi disertasi ini
dipergunakan konsep rite de passage,
yang memiliki makna yang sama dengan
rite of passage, yang diterjemahkan
dengan ritual siklus hidup.
22 Lihat Jean Holm, Rites of
Passage, (London: United Kingdom,
1994). hal 2.
berbagai ritual yang ada pada
masyarakat dunia. Karena,
dengan
ritual
tersebut
masyarakat dapat mengakui
keberadaan individu yang
telah mengalami peralihan
dari satu tahap ke tahap yang
lain dalam status sosial
mereka.23 Dan menurut Holm
ritual tersebut berhubungan
dengan
tahap-tahap
kehidupan biologis individu
yang meliputi, kelahiran,
kedewasaan,
reproduksi,
perkawinan dan kematian.24
Alasan ini menggambarkan
arti pentingnya perubahan
status
individu
dalam
kehidupan sosial, karena
terkait dengan pengakuan
masyarakat
terhadap
keberadaan individu dalam
kehidupan sosial. Hal ini
tergambar pada masyarakat
Rejang dalam ritual nyunat
23
Lihat Gennep, Rite De
Passage,hal. 9
24 Jean Holm, Rites of Passage,
(London: United Kingdom, 1994). Hal 2.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 251
misalnya, di mana persepsi
sosial masyarakat Rejang
terhadap status anak yang
sudah disunat dianggap baru
dewasa dan bahkan baru
merupakan
pertanda
keislaman seseorang. Hal
inilah yang disebut Holm di
mana berbagai budaya sering
menghubungkan
dan
menggunakan
keyakinan
agama untuk menjelaskan
tentang masa perubahanperubahan
status
dan
menjadikan praktik ritual
tersebut
sebagai
ritual
25
keagamaan.
Setiap
indvidu
akan
mengalaminya rite de passage
dan
setiap
masyarakat
memperlakukan ritual bagi
mereka dengan bermacam
bentuk dan cara. Dimulai dari
yang sangat sederhana sampai
pada yang sangat rumit dan
meriah,
sesuai
dengan
kebudayaan masing-masing.
Ada kebudayaan yang lebih
mengutamakan
siklus
kelahiran
dan
lain
mengutamakan perkawinan
dan
kematian.
Seperti
digambarkan oleh Gennep
dalam masalah kematian
misalnya,26 pada masyarakat
China dan Afrika ritual
kematian menjadi peristiwa
yang sangat penting dan
dianggap sebagai subyek
ceremonial dengan ritual yang
sangat rumit.
Sedangkan
pada
masyarakat
lain
ritual
kematian diabaikan, tetapi
lebih mengutamakan ritual
perkawinan dan peralihan dari
pubertas ke pase kedewasaan.
Pada masyarakat Tanzania
misalnya tahap paling penting
dalam kehidupan laki-laki dan
perempuan itu bukan pada
kelahiran dan kematian, tetapi
pada pase awal masa pubertas
ke tahap dewasa. Karena
25 Lihat Jean Holm, Rites of
Passage. hal 2.
hal. 9.
26
Lihat Gennep Rite of Passage,
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 252
bersifat
dramatis
yang
menandai perjalanan hidup
yang penuh dengan prestasi,
kekayaan, kesuburan pada
masa depan.
Pada keluarga Rejang ritus
perkawinan dan kematian
tampak lebih utama dan rumit
dari ritus kelahiran. Karena
pada ritual kelahiran hanya
terdapat ritual penurunan bayi
dengan
ritual
sangat
sederhana dalam bentuk do’a
selamat, aqiqah dan sunnah
rasul (nyunat). Ritua tersebut
sering digabung dengan ritual
perkawinan.
Ritual
perkawinan memiliki tahapantahapan adat yang panjang
dan rumit yang dimulai dari
ritual pra perkawinan sampai
pada ritual pasca perkawinan.
Genep menggambarkan
tahap tersebut sebagai sebuah
proses perubahan status yang
terjadi dalam tiga tahap
perumpamaan, pertama; di
mana kita tercermin dalam
sebuah ruang (pre liminal),
kedua; kita berada dalam
sebuah ruang (liminal) dan
ketiga; di mana kita masuk ke
sebuah ruangan baru. (pos
liminal). Oleh sebab itu
menurutnya
proses
keseluruhan ritual tersebut
terbentuk dalam tiga ritual
yaitu pertama; ritual yang
memisahkan manusia dari
status asalnya. Kedua; ritual
yang menunjukkan masa dari
statusnya secara normal.
Ketiga; sebuah ritual untuk
memberi status baru terhadap
setiap individu. Ketiga tahap
Rite de passage tersebut itu
hanya terjadi pada lingkungan
sosial.27 Berbeda dengan Otto
Rank, Carl Jung dan Joseph
Campbell bahwa rite de
passage menurutnya tidak
hanya merupakan pengaruh
transisi dalam lingkungan
sosial saja, tetapi bersamaan
27 Lihat, Jean Holm, Rites of
Passage, hal 3.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 253
dengan itu juga terjadi pada
lingkungan psikologi.28
Gennep
memandang
perubahan tahap dalam rite
de passage dari perspektif
sosial
yang
menganggap
lingkungan
sosial
itulah
(masyarakat) yang mengakui
keberadaan
perubahan
peralihan
tersebut.
Oleh
sebab itu ritus peralihan
tersebut sering dianggap
sebagai mekanisme yang
dihadapi masyarakat dan
dapat menjaga keseimbangan
dalam tatanan sosial. Hal
inilah menurut Turner selama
priode liminal (masa yang
dialami dalam satu tahap)
individu-individu mengalami
apa yang dia sebut dengan
rasa (kebersamaan) atau
kesadaran
untuk
selalu
merasa
bersama
dalam
masyarakat. Dengan kata lain
adanya perasaan ingin diakui
28 Lihat Catherine Bell, Ritual
Perspectives and Dimension, (New York,
Oxspord University Press, 1997). Hal. 102
keberadaannya
dalam
masyarakat karena telah
melewati satu tahap rite de
passage.29
Sedangkan Rank, Jung dan
Campbell
berpandangan
perubahan tahap tersebut
bukan semata-mata pengaruh
lingkungan
sosial,
tetapi
terdapat unsur psikologis dari
tahap-tahap
peralihan
tersebut. Karena tidak ada
ritus peralihan yang tidak
melibat aspek psikologis dari
para pelaku ritual.Oleh sebab
itu Geertz menggambar rite de
passage orang jawa sebagai
sebuah busur mulai dari gerak
kecil yang tak teratur yang
melingkari
kelahiran,
khitanan, perkawinan yang
dimeriahkan dengan pesta
yang besar dan hiburan yang
meriah dan akhirnya upacaraupacara kematian yang hening
dan mencekam perasaan.
Ritual-ritual
tersebut
29 Lihat Jean Holm, Rites of
Passage. Hal. 3
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 254
menandakan kesinambungan
dan identitas yang melandasi
semua segi kehidupan dan
transisi
serta
pase-pase
khusus yang harus dilalui.
Secara keseluruhan dalam
ritual tersebut terkandung
perbedaan dalam intensitas,
suasana hati dan kompleksitas
simbolisme.30
Pernyataan
Geertz tersebut menunjukkan
adanya
beragam
unsur
psikologis seperti perasaan
dalam rite de passage seperti
perasaan
senang,
sedih,
mencekam
dan
bahkan
menakutkan.
Gennep mengklasfikasi rite
de passage kepada dua
kategori yaitu; simpathetic rite
dan
contagiuos
rite.
simpathetic rite disebut juga
dengan ritus langsung atau
ritus positip. Misalnya seorang
pelaut supaya selamat harus
meberikan sesajen kepada
30
Lihat Clifford Geertz, The
Religion of Java, (London: University of
Chicago Press, 1976), hal. 38.
ratu laut berupa perahu kecil.
Ritual ini untuk menarik
simpatik ratu laut agar tidak
mengganggu
pelaut.
Sedangkan contagiuos rite
yaitu ritus tidak langsung atau
ritus negatip.31 Ritus kategori
ini melibatkan peran individu
untuk
tidak
melakukan
sesuatu yang dilarang (tabu).
Misalnya menurut adat Rejang
perempuan hamil itu tidak
boleh
keluar
menjelang
maghrib, karena waktu itu
dianngap
sebagai
waktu
bergentangannya
setan,
terutama Semad Bodo, yang
sering
mengganggu
perempuan
Rejang
yang
sedang hamil.
Berbagai
bentuk
dan
kategori
rite de passage
tersebut dilakukan institusi
keluarga dalam kehidupan
sosial, tergantung kepada
31 Lihat Arnold Van Gennep Rite
of Passage, (London: Rotledge library
edition, Antropology and Ethnography,
2004), hal. 9.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 255
etnis, agama dan keragaman
budaya lokal dari masingmasing masyarakat. Geertz
misalnya menyebutkan, dalam
kehidupan keluarga Jawa
terdapat beberapa ritual
selingkar kehidupan sejak dari
kelahiran, perkawinan dan
kematian.32 Upacara tersebut
dilakukan masyarakat Jawa
sejak dahulu sampai sekarang
seperti upacara tujuh bulanan
kandungan
yang
dikenal
dengan upacara Tingkeban
(Mitoni), Babaran, Pasaran
dan Pitonan33
Upacara-upacara
sekitar
kelahiran, perkawinan dan
kematian dapat dijumpai pada
seluruh etnis dan kebudayaan
pada masyarakat Indonesia.34
32 Thomas Wijaya Bratawidjaja,
Upacara
Tradisional
Masyarakat
Jawa,(Jakarta,Pustaka Sinar Harapan,
1988), hal. 11-12.
33 Cifford Geertz, The Religion of
Java,( New York : The Free Press of
Glencoe, 1960), hal.38-50
34
Lihat
Koentjaraningrat,
Masyarakat
dan
Kebudayaan
di
Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1965).
Hal 122
Suku Ma’anyan di Kalimanta
Tengah melakukan upacara
lingkaran mulai saat kelahiran
sampai kematian.35 Bentuk
upacara
tersebut
sangat
beragam dalam berbagai
etnis. Penelitian ini berupaya
mendeskripsikan
beragam
ritual siklus hidup meliputi
kelahiran, perkawinan dan
kematian
pada
keluarga
Rejang di Kabupaten Rejang
Lebong Provinsi Bengkulu.
Praktik ritual-ritual tersebut
dikaji dari sisi integrasi Islam
dengan budaya lokal.
C. Dialektika Islam dengan
Budaya Lokal
Diskursus
tentang
hubungan adat dengan Islam
khususnya ritual siklus hidup
keluarga dan dalam aktivitas
keseharian maupun ibadat
terkadang terlihat akomodatif
35 A.B. Hudgson, “Siklus Hidup”
dalam T.O. Ihromi, (Ed) Pokok-Pokok
Antropologi Budaya, (Jakarta: Yayasan
Obor, 1987), hal.140
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 256
dan kontradiktif. Adat sering
dianggap
sebagai
suatu
percampuran yang saling
bertentangan,
karena
melahirkan praktik berbeda
bila dihadapkan dengan Islam
yang terwujud dalam bentuk
ibadat. Hubungan antara Islam
dan adat pada masyarakat
Islam Asia Tenggara menjadi
tidak jelas. Adat kadangkadang digambarkan sebagai
percampuran
yang
membingungkan dan tidak
berstruktur.36Akan
tetapi
terhadap Islam di Asia
Tenggara Hurgronje telah
berhasil
memicu
silang
pendapat
mengenai
pemisahan adat dan syari’at
(Islam).37
realitas social. Azyumardi
menulis secara teologis Islam
adalah sistem nila dan ajaran
yang bersifat ilahiah. Tetapi
dari sudut sosiologis ia
merupakan
fenomena
peradaban,
cultural
dan
realitas osial dalam kehidupan
manusia.Islam dalam realitas
social tidak sekedar sejumlah
doktrin
yang
bersifat
universal, melainkan juga
mengejawantah
dalam
institusi
sosial
yang
dipengaruhi oleh situasi dan
kondisi serta terkait dengan
ruang dan waktu.38
Dalam melihat hubungan
Islam dengan budaya lokal
dapat dari sisi agama sebagai
Azra menulis kenyataan
adanya
Islam
sebagai
pandangan dunia dan konsep
realitas disatu pihak dengan
Islam
di
pihak
lain
mencerminkan adanya “dua
Islam”,39yaitu Islam sebagai
36
Lihat: Muhaimin, Islam dalam
Bingkai Budaya Lokal; Potret dari Cirebon,
(Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2002), hal.
167.
37 Hooker, M.B, Islam in South
East Asia,(Leiden : E.J. Brill,1980), hal. 59
38
Azyumardi Azra, Pergolakan
politik Islam,(Jakarta: Paramadina, 1996),
hal. 1
39 Menurut Azra dua Islam
yang berbeda itu tergambar dalam
pandangan para ahli dengan berbagai
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 257
doktrin
yang
absolute
bersumber dari wahyu dan
Islam sebagai realitas yang
mengejawantah
dalam
lingkungan masyarakat dan
sosial budaya local tertentu.
rumusan dan kerangka, misalnya Hamka,
membuat kategori dan perbedaan antara
sejarah Islam dan sejarah umat Islam.
Sejarah Islam mengacu pada sejarah Islam
normative dan doctrinal, sedangkan
sejarah umat Islam merupakan dinamika
panganut agama dalam suatu rentang
waktu dinamika dan pergumulan. Gustave
Von Grunebaum menyebut perbedaan itu
dengan dengan mengambil kerangka
Redfield dengan kategori Islam sebagai
tradisi besar dan tradisi kecil. Islam
sebagai tradisi besar adalah Islam
doctrinal normatif, sedangkan tradisi kecil
merupakan aktualisasi Islam dalam
realitas sosial budaya dalam kehidupan
social. Sedangkan Marchal G>S Hodgson
membuat tiga kategori Islam yaitu ;
pertama; Islam, yaitu doktrin normatif
sebagai terdapat dalam teks al-Qur’an
dan Hadits. Kedua; islamicate, yaitu Islam
yang mengejawantah secara histories
empiris yang mempengaruhi dan
terwujud
dalam
berbagai
bidang
kehidupan sosial budaya masyarakat
muslim dan ketiga; Islamdom, yaitu Islam
yang terwujud sebagai kekuatan politik
dan kekuasaan.LIhat Azyumardi Azra,
Azyumardi Azra dan Irwan Abdullah ”
Islam dan Akmodasi Kultural” dalam
Azyumardi Azra (Ed) Insiklopedi Tematis
Dunia Islam Asia Tenggara, Buku V,
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, tt), hal.
27- 28.
Karena Islam bukan hanya
merupakan kumpulan doktrin
liahi dan kenabian yang
transenden,
tetapi
juga
terwujud dalam realitas sosial
yang hidup dan menjadi
kenyataan empiris dan historis
dalam kehidupan sosial.
Relasi adat (tradisi local)
dan Islam telah melahirkan
beragam bentuk ekspresi
keagamaan Islam sebagai
refleksi dari adat atau tradisi.
Hal yang sama terjadi pada
ekspresi ritual adat sebagai
refleksi ajaran Islam. Islam
dihadapkan pada sebuah
konflik atau dialektika dengan
budaya lokal di mana Islam
berkembang. Dalam proses
dialektik terjadi dialog secara
mutual antara Islam universal
dengan budaya lokal yang
bersifat
partikular,
yang
melahirkan apa yang disebut
dengan lokalitas Islam (Islam
lokal). Islam sebagai sistem
totalitas dan realitas sosial,
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 258
ketika masuk ke dalam suatu
komunitas tertentu akan
terlibat
dengan
interaksi
berupa penyesuaian, tarik
menarik dengan budaya lokal,
sehingga melahirkan adaptasi
nilai-nilai
universalitasnya
dalam kondisi dan situasi
tertentu.
Karakteristik
tersebut
menjadikan Islam sebagai
agama40yang
mampu
mengakomodasi tradisi pra
Islam (adat istiadat) yang telah
hidup sebelumnya. Hal ini
menurut Azra, karena Islam
sebagai subyek yang turut
menentukan
perjalanan
sejarah. Kenisbian pranatapranata
dunia,
karena
keharusan sejarah, juga telah
memaksa perubahan dan
akomodasi
yang
terus
menerus terhadap pandangan
duniayang bersumber dari
40 Gustave E. Von Grunebaum,
Unity and Variety in Muslim Civilization,
(Chicago: University of Chicago Press,
1955), hal. 8
Islam.41
Dalam
perses
perubahan dan akomodasi
tersebut, antara pandangan
dunia para penganut Islam
dengan fenomena social selalu
terkait. Azra menyebutnya
dengan dialektika yang saling
mempengaruhi satu sama lain.
Islam dalam realitas social
dapat
berperan
sebagai
subyek yang mendinamisasi
dan
menentukan
perkembangan sejarah. Tetapi
pada saat yang sama, Islam
juga menjadi objek, karena
adanya tekanan dari kekuatan
dari faktor social lainnya.42
Menurut Berger agama
sebagai
realitas
sosial
merupakan manipestasi dari
konstruksi pemikiran pemeluk
agama
yang
diyakininya.
Agama menurutnya tidak bisa
semata-mata dilihat dari segi
ajaran dan norma yang
41
Lihat Azra, Pergolakan Politik,
hal.2.
42 Lihat Azra, Pergolakan
Politik,hal. 4
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 259
abstrak, tetapi ia memiliki
keterkaitan dengan realitas
sosial. Realitas sosial seharihari
memiliki
dimensi
43
subyektif-objektif.
Manusia
merupakan instrumen dalam
menciptakan realitas sosial
yang objektif melalui proses
eksternalisasi.44
Azra
menyebutkan agama dapat
memberikan
sejumlah
konsepsi mengenai konstruksi
realitas yang didasarkan pada
otoritas ke-Tuhanan, tetapi
hal ini tidak sepenuhnya
dipahami
oleh
manusia.
Konsepsi tersebut tidak jarang
diberikan melalui simbolisme
43 Bandingkan dengan Aztumardi
yang menyebutkan realitas subyektif dan
obyektif tersebut dalam kontek interaksi
doktrin agama dengan nilai lokal (tradisi)
dengan konsep agama sebagai konstruksi
relaitas sosial yang terdiri dari relitas
absolut dan nilai budaya sebagai produk
manusia Lihat Azyumardi dalam Aswab
Mahasin, Ruh Islam Dalam Budaya
Bangsa, hal. 184-185.
44 Peter L. Berger,
The Sacred Canopy : Element of a
Sociological Theory of Religion, Newyork,
Devision of Random House, INC. 1967,
hal. 40
dan ambiguitas.45 Karena
agama
dapat
menjadi
instrumen dalam membangun
konstruksi sosial masyarakat.
Lebih
lanjut
Berger
menyebutkan Agama secara
historis merupakan instrumen
talitas legitimasi yang tersebar
dan
efektif.
Agama
melegitimasikan sedemikian
efektifnya
karena
menghubungkan
realitas
empirik dengan realitas purna
yang
keramat
dan
46
transendental.
Dalam
konteks
interaksi
Islam
dengan tradisi lokal, Islam
dapat melegitimasi budaya
lokal dan budaya lokal
melegitimasi Islam secara
dialektis. Karena agama dalam
kehidupan
sosial
dapat
menjadi legitimasi
melalui
45 Azyumardi Azra, Interaksi dan
Akomudasi Islam dengan Budaya Melayu
Kalimantan dalam Aswab Mahasin (Ed
dkk) Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa :
Aneka Budaya Nusantara, Jakarta,
Yayasan Pestival Istiqlal, 1996, hal. 164.
46 Lihat Berger, The Sacret
Canopy, hal. 40
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 260
pemberian status yang absah
dengan meletakkan institusiinstitusi tersebut sebagai
suatu yang keramat dan
kosmis.
Berger menyebutkan suatu
legitimasi
dalam
sejarah
kehidupan manusia ialah
tatanan
instutusi
yan
mewujudkan struktur ilahi
kosmos yaitu melibatkan
hubungan
antara
yang
mikrokosmos dan makrokosmos. Yang ada di di sini selalu
terkait dengan yang ada di
sana.47 Mengikuti Berger Islam
secara faktual dapat dipahami
sebagai
reaitas
kultural.
Budaya Islam merupakan
refleksi nilai-nilai Islam yang
diaktulisasikan dalam berbagai
aspek kehidupan kultural
manusia.
Islam
sebagai
realitas sosial merupakan
produk dialektika antropologi
47 Berger, Konstruksi Sosial atas
Realitas, hal. 41
Islam48. Dialek-tika tersebut
terwujud dalam tiga konsep
objektivasi, eksternalisasi dan
internalisasi.
Oleh
sebab
itu
perkembangan Islam tidak
terlepas dari proses interaksi
dengan adat isitiadat yang
dianut sebelumnya seperti
Animisme, Hindu dan Budha.
Aspek ‘urf (adat istiadat)
dapat menjadi pertimbangan
dalam menetapkan hukum.49
Terutama dalam muamalah
seperti jual beli, hutang
piutang, pembayaran mahar
mitsil. Adat istiadat dapat
dijadikan
dasar
dalam
menetapkan hukum yang
berlaku di daerah tertentu,
sehingga muncul kaedah Fiqh
48 Mujiono Abdillah, Dialektika
Antropologis Hukum Islam ; Sebuah
Model Ijtihad Fiqih Budaya, dalam
Zakiyuddin Baidawi dan Mutoharun Jinan
(Ed) Islam dan Pluralitas Budaya Lokal,
Surakarta, Pusat Studi Budaya dan
Perubahan
Sosial
Universitas
Muhammadiyah, 2003, hal. 86.
49 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu
Ushul Fiqh, (Beirut:Dar al-Fikr, 1973). hal
222
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 261
al-‘adah
Muhakkamah.50
Artinya adat istiadat dapat
dijadikan pertimbangan dalam
penetapan hukum.
Tidak semua tradisi (adat
istiadat)
dapat
dijadikan
pertimbangan
dalam
penetapan hukum. Karena
Islam
secara
normatif
melakukan
reformasi
terhadap tradisi (adat istiadat)
yang tidak sejalan dengan
prinsip-prinsip teologi dan
nilai-nilai
sosial
51
kemanusiaan. Islam sebagai
agama
universal
tetap
bertahan sepanjang zaman
dan akomodatif terhadap
budaya
lokal
yang
berkembang, sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip
50
Jalaluddin as-Suyuthi, alAshbah wa an-Naza’ir, (Beirut: Dar alFikr,tt), hal. 122
51
M. Jandra,” Islam dalam
Kontek Budaya dan Tradisi Plural “, dalam
Baidhawi dan Mutaharun Jinan (ed)
Agama dan Pluralitas Buday Budaya
Lokal, Pusat Studi Budaya dan Perubahan
Sosial,
(Surakarta
:Universitas
Muhamadiyah Surakata, 2003), hal. 74.
dasar ajaran Islam. Ajaran
Islam
tidak
pernah
dilaksanakan secara seragam
di
seluruh
kawasan
52
Islam. Tradisi (adat istiadat)
yang berkembang dalam
masyarakat
Islam
harus
mampu dikembangkan secara
dinamis,
sesuai
dengan
perubahan zaman. Dalam
menghadapi perubahan Fazlur
Rahman
mengembangkan
konsep
living
tradition
(sunnah atau tradisi) yang
hidup
dalam
komunitas
muslim. Tradisi-tradisi nabi
dan para sahabat harus
dipahami secara dinamis
dengan pendekatan sosiohistoris.53
Beragam
tradisi
yang
diakomodasi dan direformasi
sebelum turunnya al-Qur’an
52 G.E. Von Grunebaum (Ed) Islam
Kesatuan
dalam
Keragaman,
Diterjemahkan oleh Effendi N. Yahya,
(Jakarta : LP3ES, 1985), hal. 327.
53 Lihat Muhammad Syahrur, alKitab wa-Alqur’an; Qira’ah Mu’asirrah,
(Damascus : al-Ahali li Aththiba’ah wa anNasyr wa Tauzi, 1992), hal, 33-34.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 262
seperti
thawaf,
sa’i,
pernikahan, praktik aqiqah,
qurban dan pelaksanaan dua
hari raya. Kedatangan Islam
tidak menghilangkan praktikpraktik tradisi tersebut, tetapi
mengakomodasi
dan
mereformasinya
sesuai
dengan prinsip tauhid dan
sosial kemanusiaan.54 Tradisi
penyembelihan hewan ketika
anak lahir dalam Islam disebut
aqiaqh, telah ada sebelum
Islam. Pada masa Jahiliyah
dalam praktik aqiqah, darah
hewan
yang
disembelih
digunakan untuk melumuri
kepala bayi yang baru lahir.
Islam secara normatif tidak
hanya melakukan purifikasi
terhadap tradisi local yang
berkembang di masyarakat
Islam, tetapi mengakomodasi
dan mereformasi, sehingga
terjadilah Islamisasi budaya
54 M. Jandra, Islam dalam Kontek
Budaya dan Tradisi Plural “ dalam
Mahasin (Ed),Agama dan Pluralitas, hal.
75
dan pembudayaan Islam,
demikian yang terjadi pada
setiap ritual siklus dalam
beragam kebudayaan di dunia.
Sebagaimana Abu Zayd, Islam
itu sesungguhnya merupakan
muntaj
thaqafi
(produk
budaya) sekaligus juga musntij
li al-thaqafah (memproduksi
budaya).55
Dalam
proses
akomodasi dan dialektika
Islam dan budaya lokal sering
terjadi
Penciptaan
manusia
merupakan
realisasi
kekhalifahannya,
dalam
bentuk rupa dan potensi yang
cukup beragam, baik dalam
bahasa, warna kulit, suku
bangsa, status sosial, dan
sebagainya. Dalam tradisi
sufistik fenomena keragaman
ini disebut sebagai “Tajally”,
pancaran
keagungan
55 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum
al-Nas : Dirasah fi-‘Ulum Al-Qur’an,
(Bierut :al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi,
1994), 24
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 263
ilahiyah56. Sehingga warna dan
karakter kebudayaan umat
Islam
di
masing-masing
lokalitasnya cukup beragam.
Sayyed
Hossain
Nasr57
menyebutkan paling tidak ada
tiga akar persoalan yang bisa
membentuk corak ragam
peradaban umat Islam antara
satu wilayah dengan wilayah
lainnya berbeda. Ketiganya
merupakan potensi dasar bagi
pembentukan prilaku dan pola
peradabannya,
tiga
hal
tersebut adalah ; pertama,
Faktor karakteristik etnik dan
ras manusia (the ethnic and
racial characteristic). kedua,
Faktor
pengalaman
dan
kesadaran
sejarah
(the
common historical experience
and the type awwareness a
particular community posseses
56 Lebih detail penjelasan filosof
mengenai konsep keragaman bentuk
makhluk dalam konsepsi sufisme, lihat
Saichi Murata, Tao of Islam, (Bandung
:Mizan, 2005), hal. 47-50
57 Lihat karyanya, Islamic Life and
Thought, (USA :Unwin Paperback, ,
1984); hal. 37
of the past) dan ketiga, Faktor
kondisi kependudukan dan
lingkungan
hidup
(the
demografic and geographical
characteristic).
Faktor pertama etnik dan
ras
manusia,
biasanya
berpengaruh besar pada
pembentukan watak bahasa
dan sastra, tulisan, corak seni,
berbagai bentuk perhiasan,
pakaian, arsitektur, musik,
makanan dan sebagainya.
Berbagai
identitas
luar,
nampaknya lebih menonjol
ditentukan oleh faktor satu
ini. Dalam kaitan dengan Islam
Al-Jabiri menyebutnya dengan
ciri-ciri etnis dan rasial
pemeluk Islam.58
Faktor kedua pengalaman
sejarah,
dipandang
berpengaruh kuat dalam
membedakan warna Islam di
setiap kawasan, tidak hanya
58 Lihat Muhammad ‘Abid AlJabiri, At-Turrath wa al-Hadārah : Dirasah
wa Munaqashah, (Beirut : al-Markaz athThaqafi al- ‘Arabi, tt), hal 222
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 264
sebagai pencetak identitas
kultural, tapi juga dalam
menetapkan pola kebudayaan
lokal. Kesamaan pengalaman
sejarah
dapat
berupa
kesamaan mengalami suatu
kebudayaan
pra
Islam
59
tertentu.
Menurut Lewis
kesamaan
pengalaman
sejarah dapat juga berupa
kesamaan mengalami proses
Islamisasi.60 Sebagian besar
masyarakat yang tinggal di
Timur Tengah, Afrika Utara
dan
India
memiliki
pengalaman sejarah Islamisasi
yang relatif sama yaitu melalui
ekspansi militer dan sebagian
lainnya seperti Asia Tenggara
melalui perdagangan dan
tokoh
sufi
beserta
61
tarekatnya.
59 Seyyed Hussain Nasr, “Islam in
The Word ; Cultur Diversity Within
Spritual Unity “ dalam Cultur, 1977,
Volume IV, Nomor 1.
60
Bernard Lewis, “Tentang
Peradaban Islam “dalam Ulumul Qur’an,
(Jakarta : Yayasan Paramadina), 1989).
Nomor 1, April- Juni
61 M.A fatah Santoso, “Agama
dan Keragaman Kebudayaan; Persfektif
Sementara faktor ketiga
kependudukan dan alam
lingkungan, seringkali sangat
menentukan
dalam
membentuk gelombang atau
akumulator yang membawa
arus perubahan berbeda
antara satu kawasan dengan
kawasan lainnya. Dinamika
politik, ekonomi dan situasi
kekinian lainnya biasanya
dimainkan oleh faktor ini.
Dapat dibedakan bagaimana
kondisi wilayah stepa, padang
pasir, pegunungan, kepulauan,
pesisir, pedalaman, kota, desa
dan sebagainya, semuanya
telah memberikan kontribusi
besar
dalam
melakukan
pembentukan mentalitas yang
berbeda
terhadap
para
penghuninya. Menurut Nasr
segi-segi
geografis
telah
menyebab
sebagian
masyarakat muslim terisolasi
Peradaban Islam “ dalam Zakiyuddin
Baidhawi dan Mutaharun Jinan (ed)
Agama Dalam Pluralitas Budaya Lokal,
hal.51
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 265
dan menyerah pada kondisi
alamiah tertentu, seperti yang
tinggal di daerah pegunungan,
sebaliknya segi-segi geografis
yang menyebabkan sebagian
lain sangat terbuka, karena
mereka
berada
di
persimpangan
jalur
perdagangan atau ekspansi
militer
yang
menjadikan
mereka bagian dari salah satu
tipe
kebudayaan
Islam
tertentu.62
Selain
hal
tersebut
hubungan
Islam
dengan
budaya
lokal
adanya
kenyataan Islam idealitas dan
Islam realitas. Islam idealitas
adalah Islam permanen yang
bersumber dari wahyu dan alSunnah, memiliki kebenaran
bersifat mutlak dan secara
teologis
harus
diyakini
sepenuhnya. Konsep tentang
realitas telah diatur dan diberi
tuntunannya dari sumber
62
Nasr, Islam in The Word ;
Cultur Diversity Within Spritual Unity “
dalam Cultur, 1977, Volume IV, Nomor 1.
resmi ajaran Islam yaitu alQur’an
dan
penjelasan
tentang petunjuk teknisnya
dalam al-Sunnah.63 Bentuk
ritual keagamaan dalam siklus
hidup
dan
akomodasi
terhadap unsur luar yang tidak
terdapat di dalam kedua
sumber
resmi
tersebut
dianggap tidak resmi atau
tidak dibenarkan.
Sedangkan Islam sebagai
relitas sosial tidak hanya
dilihat sebagai fenomena
teologis yang berisi muatanmuatan doktrin yang datang
dari wahyu berupa ajaranajaran
yang
memiliki
kebenaran mutlak. Tetapi
Islam dapat dilihat sebagai
fenomena sosial budaya yang
membentuk
kebudayaan.
Agama (Islam) sebagai pranata
sosial
atau
sebagai
seperangkat
simbol-simbol
63 Paryanto, Islam, Akomodasi
Budaya
dan
Poskolonial,
dalam
Zakiyuddin dan Jinan (Ed) Islam Dalam
Pluralitas Budaya, hal. 64.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 266
yang
digunakan
dalam
kehidupan sosial merupakan
ajaran atau doktrin berada
pada
ranah
sakral
dikonfirmasikan oleh wahyu. 64
Islam
sebagai
realitas
kebudayaan berada pada
ranah profan memuat sistem
nilai-nilai Islam yang terdapat
dalam sejumlah nilai-nilai
kebudayaan
yang
khas,
dengan varian yang beragam,
di mana Islam sebagai ajaran
atau doktrin menjadi sumber
terbentuknya tradisi dalam
komunitas tertentu.65 Islam
64 Parsudi Suparlan “Kebudayaan
masyarakat Agama; Agama sebagai
sasaran penelitian Antropologi” dalam
Pasudi Suparlan (Ed)
pengetahuan
Budaya, I;mu-ilmu Sosial dan Pengkajian
Masalah-masalah Agama, (Jakarta, Badan
Litbang Departemen Agama, 1982), hal 3
65 Islam sebagai idealitas dan
realitas dapat juga diungkapkan bahwa
Islam adalah agama yang bersifat
universal dalam ajaran atau keyakinan,
ttapi bisa sangat bervariatif dalam
pelaksanaan nilai-nilai-nilainya dalam
kehidupan
sehari-hari
yangdisebut
dengan Islam ajaran dan Islam sejarah.
Islam sebagai ajaran merujuk kepada
keyakinan dan ajarang yang bersumber
kepada kitab suci al-Qur’an dan Sunnah
Rasul, sedangkan Islam sejarah merujuk
tidak hanya sebuah agama,
melainkan
juga
sebuah
komunitas
(umat)
yang
memiliki pemahaman sendiri
atas wahyu.
Islam bukan hanya agama
yang dianut secara individual,
tetapi secara kolektif, yang
memiliki kesadaran, struktur
dan aksi kolektif. Pada dataran
ini Islam berhadapan dengan
kenyataan kebudayaan (adat)
dari
masyarakat
muslim.
Karena
agama
(Islam)
merupakan tatanan yang unik
yang mempunyai dua nilai
dasar bersifat metafisik dan
skularistk. Kedua asfek ini
mengandung
unsur-unsur
keterbukaan
dalam
melakukan
dialog
bagi
kepentingan
masyarakat
kepada pelaksanaan ajaran itu yang
bergam dalam berbagai geografi Islam.
Lihat misalnya Kuntowijoyo, Paradigma
Islam Kerangka untuk
Interpretasi,
Bandung, Mizan, 1989. Taufik Abdullah,
Sejarah dan Masyarakat : Lintasan Historis
Islam di Indonesia, (Jakarta, Yayasan
Obor, 1987).
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 267
dalam kehidupan sosial.66
Pendekatan
realistik
ini
berupaya
mempertemukan
dimensi substansi agama
dengan konteks sosio kultural
masyarakat
pemeluknya.
Islam sebagai agama wahyu
universal perlu hadir dan
menampakkan diri secara
realistik dalam keragaman
yang diwarnai situasi sosial
kultural umatnya.67 Artinya
kehadiran
Islam
sebagai
agama
wahyu
memiliki
keterbukaan dan ruang untuk
berinteraksi dengan budaya
local di mana Islam dianut,
sehingga Islam dan budaya
lokal
terintegrasi
dalam
praktek
keberagamaan
masyarakat.
66
Arief
Mudatsir,
1998:15).“Agama dalam Realitas Sosial
Masyarakat“ dalam Al-Fatah, (Palembang
: IAIN Raden Fatah Palembang, 1995),
Volume 2, nomor 1
67 M. Syafi’I Anwar, Pemikiran
dan Aksi Islam Indonesia ; Sebuah Kajian
Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde
Baru, (Jakarta : Paramadina, 1995), hal.
182.
Kuntowijoyo
menulis,
agama atau pemahaman
ketuhanan
harus
dilihat
sebagai frame of reference
dari kebudayaan. Menurutnya
ada
dua
cara
dalam
memahami
ketuhanan;
pertama ; ketuhanan dalam
arti
teoritik;
yaitu
pengetahuan tentang yang
tertinggi
sehingga
menimbulkan persembahan.
Dalam pemahaman ini tidak
dijumpai persuaian antara
yang sakral dengan yang
profan. Kedua; pemahaman
ketuhanan
secara
68
eksistensial. Di mana Tuhan
dihayati sebagai tujuan akhir
yang melahirkan aktualisasi.
Dalam kehidupan sehari hari,
umatIslam mengaktualisasikan
kesadarannya terhadap Tuhan
dalam perilakunya, sehingga
tidak ada dualisme antara
68
Zakiyuddin Baidhawi
Mutaharun Jinan (Ed) Agama
Pluralitas (ed) 2003.hal 2
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
dan
Dan
| 268
yang sakral dengan yang
profan.
Pemahaman eksistensi-al
ini membawa agama terlibat
dalam
pergumulan
kemanusiaan. Karena agama
memiliki simbol suci yang
mewejawantah dalam tradisi
masyarakat yang dikenal
sebagi tradisi keagamaan.69
Tradisi keagamaan
adalah
kumpulan
atau
hasil
perkembangan
sepanjang
sejarah, ada unsur baru yang
masuk
dan
ada
yang
70
ditinggalkan.
Salah satu
pergumulan tersebut adalah
bagaimana
manusia
mengapresiasikan
ajaran
agamanya ketika berhadapan
dengan budaya lokal yang
menjadi keperayaan mereka.
Karena kehadiran agama
dalam realitas sosial terkait
69
Lihat: Nur Syam, Islam Pesisr,
hal. 17
70 Karel A. Steenbrink, „Indonesia
Pasca Reformasi : Angin Segar Bagi Agama
Rakyat“ dalam Bisnis, (Jakarta : Harian
Bisnis Indonesia, Nomor 11-12, Tahun ke
48, Nopember-Desember 2000), hal. 42
dengan lokalitas kultur yang
bersifat relatif dan partikuler,
dan bahkan pada awal
pertumbuhannya
semua
agama
cenderung
komunalistik.71
Ajaran
kebenaran yang datang dari
Tuhan bersifat perennial dan
transhistoris ketika sampai
pada manusia harus melalui
rentang tempat dan waktu,72
sehingga keragaman apresiasi
keagamaan tidak mungkin
dinafikan.
Sedangkan bila merujuk
kata-kata yang digunakan al71 LihatTaufik Abdullah,
„Islam
dan Pembentukan tradisi di Asia Tenggara
: Sebuah Persfektif Perbandingan“ dalam
Taufik Abdullah dan Sharon Siddiqie (Ed)
Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara, (Jakarta : LP3ES, 1989), hal. 5899.
72 Pernyataan ini diilihami dari
teori Gestalt tentang universalitas dan
partikuleritas, di mana Islam sebagai
wahyu universal yang hadir dan diterima
di bumi
yang
penyebaran
dan
penerimaannya oleh umat manusia
diselubungi lapis-lapis budaya lokal,
sehingga Islam universal hanya akan
dapat ditangkap maknanya ketika berada
di tangan manusia, aktualisasinya menjadi
kebudayaan. Lihat Baidhowi dan Jinan,
Agama dan Pluraliats Budaya, hal. 3-4.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 269
Qur’an dalam menjelaskan
manusia dengan lafadz bashar
dan insan. dideduksi bahwa
manusia dalam posisinya
sebagai
bashar
(yang
berdimensi lahiriah) memiliki
bawaan kodroti
yang
dengannya
menjalankan
fungsi sebagai ‘abd (hamba
Allah) yang tunduk, patuh,
terikat
tanggung
jawab
kepada sunnatullah. Posisinya
sebabagi
insan
(yang
berdimensi ruhaniah) memiliki
akal
yang
dengannya
menjalankan fungsi khalifahan
memiliki kebebasan berbuat
dan berkreasi.73 Realisasi
fungsi ‘abd dalam beraqidah
dan beribadah (beragama),
sementara realisasi fungsi
khalifah adalah menciptakan
kebudayaan, karena itu Islam
diturunkan untuk manusia,
sementara manusia memikul
73
Musa Asy’arie, Manusia
membentuk kebudayaan dalam al’Qur’an,
(Yogyakarta : Lembaga Studi Agama dan
Filsafat, 1992), hal. 113
amanat untuk menjalan fungsi
‘abd dan fungsi khalifah,
sehingga ketika fungsi-fungsi
itu
direalisasikan,
Islam
merupakan agama sekaligus
kebudayaan.74
Ajaran Islam yang normatif
itu dapat merefleksi ajaran
adat dalam konteks akulturasi
Islam dengan budaya lokal
atau bagaimana apresiasi
Islam terhadap budaya lokal.
Selagi agama itu dianut dan
dijalankan
umat manusia
selama itu pula agama tidak
bisa terlepas dari konteks
sosiologis dan antropologis
penganutnya yang
tunduk
dan patuh pada proses
dinamisasi.75 Karena Islam
sangat
menghargai
kedinamisan termasuk dalam
74
Santoso,
“Agama
dan
Keragaman
Kebudayaan;
Persfektif
Peradaban Islam “ dalam Zakiyuddin
Baidhawi dan Mutaharun Jinan (ed)
Agama Dalam Pluralitas Budaya Lokal,
hal. 47.
75
Lihat
Paryanto,
Islam,
Akomodasi Budaya dan Poskolonial,
dalam Baidhowi dan Jinan, (Ed) Islam
Dalam Pluralitas, hal. 66
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 270
tradisi. Memahami Islam
termasuk
tradisi-tradisinya
(baca hadits-hadits nabi dan
warisan ulama’ salaf) harus
dinamis.
Tradisi
jangan
dijadikan berhala pemikiran,
tetapi harus dikembangkan
dan
dimekarkan
sesuai
dengan ruang dan waktu.76
Persentuhan Islam dengan
budaya lokal dapat dimaknai
dan ditelusuri melalui proses
akulturasi secara dialektik.
Karena Islam sebagai relitas
sosial tidak hanya
dilihat
sebagai fenomena teologis
memuat
doktrin
berupa
ajaran-ajaran yang memiliki
kebenaran mutlak. Tetapi
Islam
dilihat
sebagai
fenomena sosial budaya yang
membentuk
kebudayaan
adalah
refleksi
dan
implementasi dari kesadaran
76 Muhammad Syahrur, al-Kitab
wa-Alqur’an;
Qira’ah
Mu’asirrah,
(Damascus : al-Ahali li Aththiba’ah wa anNasyr wa Tauzi, 1992), hal, 33-34.
teologis.77 Sebagai realitas
kultural Islam memuat sistem
nilai-nilai Islam yang terdapat
dalam sejumlah nilai-nilai
kebudayaan yang khas dengan
varian beragam. Karena Islam
sebagai
doktrin
menjadi
sumber terbentuknya tradisi
dalam sebuah komunitas
tertentu.78
77 Parsudi Suparlan “Kebudayaan
masyarakat Agama; Agama sebagai
sasaran penelitian Antropologi” dalam
Pasudi Suparlan (Ed)
pengetahuan
Budaya,Ilmu-ilmu Sosial dan Pengkajian
Masalah-masalah Agama, (Jakarta :
Badan
Litbang Departemen Agama,
1982), hal 3
78 Islam sebagai idealitas dan
realitas dapat juga diungkapkan bahwa
Islam adalah agama yang bersifat
universal dalam ajaran atau keyakinan,
ttapi bisa sangat bervariatif dalam
pelaksanaan nilai-nilai-nilainya dalam
kehidupan
sehari-hari
yangdisebut
dengan Islam ajaran dan Islam sejarah.
Islam sebagai ajaran merujuk kepada
keyakinan dan ajarang yang bersumber
kepada kitab suci al-Qur’an dan Sunnah
Rasul, sedangkan Islam sejarah merujuk
kepada pelaksanaan ajaran itu yang
bergam dalam berbagai geografi Islam.
Lihat misalnya Kuntowijoyo, Paradigma
Islam Kerangka untuk
Interpretasi,
(Bandung: Mizan, 1989). Taufik Abdullah,
Sejarah dan Masyarakat : Lintasan Historis
Islam di Indonesia, (Jakarta : Yayasan
Obor, 1987).
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 271
Akomudasi dan Akulturasi
dalam Dialektika Islam dan
Budaya Lokal
Diskursus
tentang
hubungan adat dengan Islam
khususnya dalam aktivitas
keseharian maupun ibadat
terkadang terlihat akomodatif
dan kontradiktif. Adat sering
dianggap
sebagai
suatu
percampuran yang saling
bertentangan,
karena
melahirkan praktik berbeda
bila dihadapkan dengan Islam
yang terwujud dalam bentuk
ibadat. Hubungan antara Islam
dan adat pada masyarakat
Islam Asia Tenggara menjadi
tidak jelas. Adat kadangkadang digambarkan sebagai
percampuran
yang
membingungkan dan tidak
berstruktur.79Akan
tetapi
terhadap Islam di Asia
Tenggara Hurgronje telah
79
Lihat: Muhaimin, Islam dalam
Bingkai Budaya Lokal; Potret dari Cirebon,
(Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2002), hal.
167.
berhasil
memicu
silang
pendapat
mengenai
pemisahan adat dan syari’at
(Islam).80
Dalam melihat hubungan
Islam dengan budaya lokal
dapat dari sisi agama sebagai
realitas social. Azyumardi
menulis secara teologis Islam
adalah sistem nila dan ajaran
yang bersifat ilahiah. Tetapi
dari sudut sosiologis ia
merupakan
fenomena
peradaban,
cultural
dan
realitas osial dalam kehidupan
manusia.Islam dalam realitas
social tidak sekedar sejumlah
doktrin
yang
bersifat
universal, melainkan juga
mengejawantah
dalam
institusi
sosial
yang
dipengaruhi oleh situasi dan
kondisi serta terkait dengan
ruang dan waktu.81
80 Hooker, M.B, Islam in South
East Asia,(Leiden : E.J. Brill,1980), hal. 59
81 Azyumardi Azra, Pergolakan
politik Islam,(Jakarta: Paramadina, 1996),
hal. 1
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 272
Azra menulis kenyataan
adanya
Islam
sebagai
pandangan dunia dan konsep
realitas disatu pihak dengan
Islam
di
pihak
lain
mencerminkan adanya “dua
Islam”,82yaitu Islam sebagai
82
Menurut Azra dua Islam
yang berbeda itu tergambar dalam
pandangan para ahli dengan berbagai
rumusan dan kerangka, misalnya Hamka,
membuat kategori dan perbedaan antara
sejarah Islam dan sejarah umat Islam.
Sejarah Islam mengacu pada sejarah Islam
normative dan doctrinal, sedangkan
sejarah umat Islam merupakan dinamika
panganut agama dalam suatu rentang
waktu dinamika dan pergumulan. Gustave
Von Grunebaum menyebut perbedaan itu
dengan dengan mengambil kerangka
Redfield dengan kategori Islam sebagai
tradisi besar dan tradisi kecil. Islam
sebagai tradisi besar adalah Islam
doctrinal normatif, sedangkan tradisi kecil
merupakan aktualisasi Islam dalam
realitas sosial budaya dalam kehidupan
social. Sedangkan Marchal G>S Hodgson
membuat tiga kategori Islam yaitu ;
pertama; Islam, yaitu doktrin normatif
sebagai terdapat dalam teks al-Qur’an
dan Hadits. Kedua; islamicate, yaitu Islam
yang mengejawantah secara histories
empiris yang mempengaruhi dan
terwujud
dalam
berbagai
bidang
kehidupan sosial budaya masyarakat
muslim dan ketiga; Islamdom, yaitu Islam
yang terwujud sebagai kekuatan politik
dan kekuasaan.LIhat Azyumardi Azra,
Azyumardi Azra dan Irwan Abdullah ”
Islam dan Akmodasi Kultural” dalam
doktrin
yang
absolute
bersumber dari wahyu dan
Islam sebagai realitas yang
mengejawantah
dalam
lingkungan masyarakat dan
sosial budaya local tertentu.
Karena Islam bukan hanya
merupakan kumpulan doktrin
liahi dan kenabian yang
transenden,
tetapi
juga
terwujud dalam realitas sosial
yang hidup dan menjadi
kenyataan empiris dan historis
dalam kehidupan sosial.
Relasi adat (tradisi local)
dan Islam telah melahirkan
beragam bentuk ekspresi
keagamaan Islam sebagai
refleksi dari adat atau tradisi.
Hal yang sama terjadi pada
ekspresi ritual adat sebagai
refleksi ajaran Islam. Islam
dihadapkan pada sebuah
konflik atau dialektika dengan
budaya lokal di mana Islam
Azyumardi Azra (Ed) Insiklopedi Tematis
Dunia Islam Asia Tenggara, Buku V,
(Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, tt), hal.
27- 28.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 273
berkembang. Dalam proses
dialektik terjadi dialog secara
mutual antara Islam universal
dengan budaya lokal yang
bersifat
partikular,
yang
melahirkan apa yang disebut
dengan lokalitas Islam (Islam
lokal). Islam sebagai sistem
totalitas dan realitas sosial,
ketika masuk ke dalam suatu
komunitas tertentu akan
terlibat
dengan
interaksi
berupa penyesuaian, tarik
menarik dengan budaya lokal,
sehingga melahirkan adaptasi
nilai-nilai
universalitasnya
dalam kondisi dan situasi
tertentu.
Karakteristik
tersebut
menjadikan Islam sebagai
agama83yang
mampu
mengakomodasi tradisi pra
Islam (adat istiadat) yang telah
hidup sebelumnya. Hal ini
menurut Azra, karena Islam
83 Gustave E. Von Grunebaum,
Unity and Variety in Muslim Civilization,
(Chicago: University of Chicago Press,
1955), hal. 8
sebagai subyek yang turut
menentukan
perjalanan
sejarah. Kenisbian pranatapranata
dunia,
karena
keharusan sejarah, juga telah
memaksa perubahan dan
akomodasi
yang
terus
menerus terhadap pandangan
duniayang bersumber dari
Islam.84
Dalam
perses
perubahan dan akomodasi
tersebut, antara pandangan
dunia para penganut Islam
dengan fenomena social selalu
terkait. Azra menyebutnya
dengan dialektika yang saling
mempengaruhi satu sama lain.
Islam dalam realitas social
dapat
berperan
sebagai
subyek yang mendinamisasi
dan
menentukan
perkembangan sejarah. Tetapi
pada saat yang sama, Islam
juga menjadi objek, karena
84
Lihat Azra, Pergolakan Politik,
hal.2.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 274
adanya tekanan dari kekuatan
dari faktor social lainnya.85
Berger menyebutkan suatu
legitimasi
dalam
sejarah
kehidupan manusia ialah
tatanan
instutusi
yan
mewujudkan struktur ilahi
kosmos yaitu melibatkan
hubungan
antara
yang
mikrokosmos
dan
makrokosmos. Yang ada di di
sini selalu terkait dengan yang
ada di sana.86 Mengikuti
Berger Islam secara faktual
dapat
dipahami
sebagai
reaitas kultural. Budaya Islam
merupakan refleksi nilai-nilai
Islam yang diaktulisasikan
dalam
berbagai
aspek
kehidupan kultural manusia.
Islam sebagai realitas sosial
merupakan produk dialektika
antropologi Islam87. Dialektika
85
Lihat
Azra,
Pergolakan
Politik,hal. 4
86 Berger, Konstruksi Sosial atas
Realitas, hal. 41
87 Mujiono Abdillah, Dialektika
Antropologis Hukum Islam ; Sebuah
Model Ijtihad Fiqih Budaya, dalam
tersebut terwujud dalam tiga
konsep
objektivasi,
eksternalisasi
dan
internalisasi.
Oleh
sebab
itu
perkembangan Islam tidak
terlepas dari proses interaksi
dengan adat isitiadat yang
dianut sebelumnya seperti
Animisme, Hindu dan Budha.
Aspek ‘urf (adat istiadat)
dapat menjadi pertimbangan
dalam menetapkan hukum.88
Terutama dalam muamalah
seperti jual beli, hutang
piutang, pembayaran mahar
mitsil. Adat istiadat dapat
dijadikan
dasar
dalam
menetapkan hukum yang
berlaku di daerah tertentu,
sehingga muncul kaedah Fiqh
Zakiyuddin Baidawi dan Mutoharun Jinan
(Ed) Islam dan Pluralitas Budaya Lokal,
Surakarta, Pusat Studi Budaya dan
Perubahan
Sosial
Universitas
Muhammadiyah, 2003, hal. 86.
88 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu
Ushul Fiqh, (Beirut:Dar al-Fikr, 1973). hal
222
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 275
al-‘adah
Muhakkamah.89
Artinya adat istiadat dapat
dijadikan pertimbangan dalam
penetapan hukum.
dasar ajaran Islam. Ajaran
Islam
tidak
pernah
dilaksanakan secara seragam
di seluruh kawasan Islam.91
Tidak semua tradisi (adat
istiadat)
dapat
dijadikan
pertimbangan
dalam
penetapan hukum. Karena
Islam
secara
normatif
melakukan
reformasi
terhadap tradisi (adat istiadat)
yang tidak sejalan dengan
prinsip-prinsip teologi dan
nilai-nilai
sosial
90
kemanusiaan. Islam sebagai
agama
universal
tetap
bertahan sepanjang zaman
dan akomodatif terhadap
budaya
lokal
yang
berkembang, sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip
D. PENUTUP
Interaksi Islam dengan
budaya lokal dalam rite de
passage yang terwujud dalam
upacara kelahiran, perkawinan
dan kematian telah terjadi
akulturasi, dan akomodasi
secara timbal balik antara
Islam dan budaya lokal.
Akulturasi dan akomodasi
tersebut terjadi dengan cara
pemberian status oleh Islam
terhadap budaya lokal. Hal
demikian menunjukkan bahwa
Islam
telah
berhasil
mendapatkan
simbolsimbolnya
yang
selaras
dengan
kemampuan
menangkap nilai-nlai kultural
dari budaya lokal.
89
Jalaluddin as-Suyuthi, alAshbah wa an-Naza’ir, (Beirut: Dar alFikr,tt), hal. 122
90
M. Jandra,” Islam dalam
Kontek Budaya dan Tradisi Plural “, dalam
Baidhawi dan Mutaharun Jinan (ed)
Agama dan Pluralitas Buday Budaya
Lokal, Pusat Studi Budaya dan Perubahan
Sosial,
(Surakarta
:Universitas
Muhamadiyah Surakata, 2003), hal. 74.
91 G.E. Von Grunebaum (Ed) Islam
Kesatuan
dalam
Keragaman,
Diterjemahkan oleh Effendi N. Yahya,
(Jakarta : LP3ES, 1985), hal. 327.
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 276
Dialektika Islam dalam
mengakomulasi
nilai-nilai
kultural dari budaya lokal
menunjukkan
kemenangan
Islam dalam proses akulturasi
dan akomodasi terhadap
budaya lokal. Dalam proses
tersebut
Islam
mampu
mendominasi budaya lokal
khususnya dalam rite de
passage keluarg. Keunggulan
Islam dalam mewarnai nilainilai kultural budaya lokal
memiliki konsekuensi berupa
munculnya
realitas-realitas
baru berupa lokalitas Islam
(Islam lokal) yang tumbuh dari
tradisi Islam adalah Islam lokal
yang integratif dengan budaya
lokal sebgaia akibat terjadinya
akulturasi dan akomodasi.
`
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 277
BIBLIOGRAPHY
Abdillah, Mujiono, ”Dialektika Antropologi Islam : Sebuah Model
Ijtihad Fikih Budaya“ dalam Baidhowi dan Jinan (Ed) Agama
dan Pluralitas Budaya Lokal, dalam Aswab Mahasin Dkk
(Ed) Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa : Aneka Budaya
Nusantara,(Jakarta: Yayasan Pestival Istiqlal, 1996).
Abdullah, Amin, Studi Agama Normatis atau Ralativitas, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,1998).
Abdullah,
Irwan, Konstruksi dan Reproduksi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
Kebudayaan,
Abu Zayd, Nasr Hamid, Mafhum al-Nas : Dirasah fi-‘Ulum Al-Qur’an,
(Bierut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, 1994).
AG, Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002).
Asy’arie, Musa, Manusia Membentuk Kebudayaan dalam al’Qur’an,
(Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1992).
Aswab Mahasin, (Ed), Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa, Aneka
Budaya Bangsa, (Jakarta: Yayasan Pestival Istiqlal, 1996).
Azra, Azyumardi, Interaksi dan Akomudasi Islam dengan Budaya
Melayu Kalimantan, dalam Aswab Mahasin Dkk (Ed) Ruh
Islam Dalam Budaya Bangsa : Aneka Budaya Nusantara,
(Jakarta :Yayasan Pestival Istiqlal, 1996).
al-Bāhīi, Muhammad, Al-Islam wa al-ittijāhāt al-Mar’ah, (Kairo: Dāar
Ittishām, 1988).
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 246
Baidhawi, Zakiyuddin dan Jinan, Mutoharun,(Ed), Agama dan
Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Pusat Studi Budaya dan
Perubahan Sosal Uniersitas Muhamadiyah Surakarta,
2003).
Banton, Michael, Roles, Introduction to The Study of Social Relations,
(London: Tavistock, Publication, 1969).
Berger, Feter L, , The Sacred Canopy : Element of a Sociological
Theory of Religion, (New York: Devision of Random House,
INC. 1967).
Blood, Robert and Donald M. Wolfe, Husband And Wives ; The
Dynamiec of Maried Living, (New York, The Free
Press,1960).
Bourdieu, On the Family as Realized, Theory of Culture an Society
,Volume 13 Agustus, 1980.
Bratawidjaja, Thomas Wijaya, , Upacara Tradisional Masyarakat
Jawa,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988).
Budiwanti, Erni, Islam Sasak: Islam Wetu Telu Vs Waktu Lima,
(Yogyakarta: LKiS,2003).
Buseri, Kamrani, Islam dan Keragaman Budaya Lokal di Kalimantan ;
Meneguhkan Visi Keindonesiaan, dalam Komaruddin
Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Ed) Menjadi Indonesia ; 13
Abad Eksistensi Islam di Nusantara, (Bandung: Mizan,
2006).
Denny F.M. ‘Islamic Ritual : Persfektive and Theories “ dalam Martin
R.C. (Ed) Aproaches to Islam in Religious Studies, (Tuscon:
The University of Arizona Press. 1985).
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 247
E.R, Leach, Political System of Highland Burma : A Study of Kachim
Social Sructure, (London: The Athlon Press, 1964).
Etzoini (Ed), Social Change, (Cambridge: Polity Press, 1975).
Fros, Everett L dan E. Adamson hoebel , Cultral and Social
Anthropolgy, (New York: Mc Graw-Hill, 1976).
Geertz Clifford, The Religion of Java, (New York: The Free Press of
Glencoe, 1960).
-----------, Kebudayan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).
Grunebaum, Gustave E. Von, Unity and Variety in MuslimCivilization,
(Chicago: University of Chicago Press, 1955).
Ibn Asyur, Muhammad al-Thahir, al-Tahrir al-tanwir, Mujallad 8
(Tunis Dar Suhun tt).
Ya’qub, Muhammad Al-Qumus al-Muhith, Mujallad 1,(Beirut: tp, tt).
Hamidi, Badrul Munir, Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah
Bengkulu, Bengkulu, Panitia STQ Nasional, XVII, 2004.
Hasyim, Muh. Fathoni, Islam Samin; Sinkritisme Tradisi Samin,
Laporan Hasil Penelitian dalam Istiqro’, Volume 03, Nomor
01, 2004.
Hefner, Robert Hindu Javanese ; Tengger Tradition and Islam, (New
Jersey: Princeton University Press, 1985).
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 248
Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan
Krisis Modernisasi, (Jakarta: Paramadina, 1998).
Hodgson, M. The Venture of Islam, Concence and History in aWord
Civilization, (Chicago: University of Chicago Press 1974).
Koentjaraningrat, Kebudayaan mentalitas
(Jakarta: Gramedia, 1985).
dan
pembangunan,
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994).
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan, Jilid I, (Jakarta: Pustaka
al-Husna,
1984).
Lowie, Robert A. Primitive Society, (New York: Harper Torchbook
,1961).
Sructure,
(London: The Athlon Press, 1964).
Levy, R. The Social Structure of Islam, (London; Combridge University
Press, 1975).
Levy, Marion J, The Family Revolution in Modern China, (New York:
Devision `
of Parrah, Inc. 1971),
Mahmud, Muslimin, Mitos dan Adat Istiadat Masyarakat Tengger
dalam Nurudin Dkk (Ed) Agama Tradisional: Potret
Kehidupan Masyarakat Samin dan Tengger, (Yogyakarta:
LKiS, 2003).
Malik, Zainuddin, Agama Priyayi; Makna Agama di Tangan Penguasa,
(Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004).
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 249
---------------, Agama Rakyat Agama Penguasa; Kontruksi tentang
Realitas Agama dan Demokrasi. (Yogyakarta: Galang,
2000).
Manners, Alber dan Da vid Kaplan, The Theory of Culture,
diterjemahkan oleh Lindung Simatupang, Teori Budaya,
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
Megawani, Ratna, Membiarkan Berbeda ? Sudut Pandang Baru
Tentang Relasi Gender, ( Bandung: Mizan, 1999).
Mudzahar, Atho’ Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998).
Mulkhan, Abdul Munir, Islam Murni
Petani,(Yogyakarta:
Bentang, 2000).
dalam
Masyarakat
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake
Sarain, 1998).
Nasr, Sayyed Husien, Islamic Life and Thought, (USA: Unwin
Paperback, 1984).
Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005).
Parleviet, L, De anbieding van Sirih als Adatgebruik Onder de Redjang,
Mededeelingen Vereenic, Gezaghebbers BB, nomor 17,
Pebruari, 1993,
Pals, Daniel L, Seven Theoris of Relegion, (USA: Unwin Paperback,
1996).
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 250
Paryanto, “Islam, Akomudasi dan Poskolonial “ dalam Baidhawi dan
jinan (Ed)
dalam Agama dan Pluralitas Budaya Lokal,
(Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas
Muhamadiyah, 2003).
al-Qasimi, Muhammad Jamal al-Din, Tafsir Al-Qasimi, Majallad 7 tt
Redfield, dkk, Memorandum on the Study of Acculturation, American
Anthropologist, Vol. XXXVIII, tt,
------------, Peasant Society and Culture: An Anthropological Approach
to Civilization. (Chicago and London: The University of
Chicago Press, 1956).
Renier, G.J. History its Purpose and Method, diterjemahkan oleh
Muin Umar, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, ,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).
Robertson, Roland (Ed), Agama; Dalam Analisa dan Interpretasi
Sosiologis, (Jakarta: Rajawali, 1995).
Rohannah, Siti dkk, Pola Asimilasi Etnis Cina di Kota Bengkulu 19501998, (Padang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Padang, 2004).
Santoso, M.A Fatah, Agama dan Keragaman Kebudayaan; Persfektif
Peradaban Islam, dalam Baidhawi dan Mutoharun Jinan,
Islam dan Pluralitas Budaya Lokal, (Surakarta: Pusat Studi
Budaya dan Perubhan Sosial Universitas Muhamdiyah
Surakarta, 2003).
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 251
Sehleifer, Alian, The Family : The Microosm of Islamic Unity dalam
Muslim Education Quaterly, Vol 6 nomor 2, (Cambridge :
Ukpigott Printers, 1989).
al- Shabuni, Muhammad Ali, Al-Tibyan fi-Ulum al-Qur’an (Makkah:
tp, 1981).
Simuh, Interaksi Islam dengan budaya Jawa, dalam Muhamadiyah
dalam Kritik, (Surakarta: Muhamadiyah Universitas Press,
2000).
--------------, Islam Dalam Pergumulan Budaya Jawa, (Bandung: Teraju,
2003).
Smith, R.J, dan B.P.Dohrenwend “ Toward a Theory of Aculturation”
Soutwestern Journal of Anthropology, No. 18, 1968.
Suparlan, Parsudi Kebudayaan masyarakat Agama; Agama sebagai
sasaran penelitian Antropologi dalam Pasudi Suparlan (Ed)
pengetahuan Budaya, I;mu-ilmu Sosial dan Pengkajian
Masalah-masalah Agama, (Jakarta: Badan
Litbang
Departemen Agama, 1982).
---------, Kebudayaan dan pembangunan dalam Sujangi (Ed) Kajian
Agama dan masyarakat, (Jakarta: Badan Litbang
Departemen Agama. 1992).
EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015
| 252
Download