RITUAL SIKLUS HIDUP DALAM DIALEKTIKA ISLAM DAN BUDAYA LOKAL Zayadi Email: [email protected] ABSTRACT This study is focused to how Islam interaction with local culture in cycle ritual of family life with many kind of social phenomenans as a result of that interaction. Both interactions, Islam and local culture, is predicted will be happened the acculturation, accommodation, conflict an integration. Acculturation and accommodation of Islam with its local culcure in cycle of ritual of life has causality relation. Acculturation is happened by giving symbol status to local culture by Islam or local culture gives symbol status to Islam. Acculturation causality tendences to conversive than adhesive, so cycle ritual of life practice likes birth, wedding and death are dominated to Islamic ritual form. This acculturation process shows that Islam has succeed to get the symbol which relevant with competency to accept the culture values from local culture and makes new realities likes Islam locality which sourced from Islam tradition. Keywords: Ritual, Siklus Hidup, Dialektika Islam, Budaya Lokal A. Pendahuluan Keluarga merupakan satuan terkecil dalam masyarakat, secara keseluruhan menjadi sumber tatanan dalam kehidupan sosial.1 Keluarga bukan hanya menunjukkan suatu unit interaksi, tetapi merupakan 1 Parsudi Suparlan, “ Keluarga dan Kekerabatan” dalam AW. Wiyaya, Manusia Indonesia : Individu, Keluarga dan Masyarakat, (Jakarta : Akademika Presindo, 1986), hal. 86 EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 249 sebuah sistem yang melandasi sistem kekerabatan2 yang memiliki fungsi sosial untuk meregulasi transmisi kepemilikan dan hak masyarakat dari generasi kegenerasi. Keluarga menjalankan fungsi sosialnya dalam beragam aspek kehidupan, dan memiliki peranan strategis dalam spektrum yang kuat baik dalam konteks ekonomi, edukatif, religius maupun kasih sayang bagi setiap anggota keluarga.3 ia menjadi landasan utama bagi kehidupan bermasyarakat dan 2 Sistem kekerabatan dibentuk berdasarkan sistem perkawinan. Sistem perkawinan itu sendiri antara lain dari segi bentuk terdapat monogamius, conjugal dan nuclear family; dari segi kekerabatan dan pewarisan terdapat patririnial dan matrilinial dan dari segi lokasi di mana suami isteri bertempat tinggal terdapat matrilokal dan patrilokal. Lihat Lowel D Holmes, Anthropolgy, An Introdoction , (New York: The Konil Press Company, 1965), hal. 991-993. 3 Parsudi Suparlan, “Keluarga dan Kekerabatan “ dalam A.W. Wijaya, Manusia Indonesia, hal. 96. bernegara, baik masa kini maupun mendatang. Keluarga diartikan sebagai kelompok orang karena ada hubungan darah atau perkawinan.4 Orang-orang yang termasuk keluarga adalah ayah, ibu dan anakanaknya. Ia merupakan suatu struktur bersifat khusus, satu sama lain dalam keluarga tersebut mempunyai ikatan baik melalui hubungan darah atau pernikahan.5 Keluarga yang dilandaskan pada ikatan pernikahan biasanya terdiri dari Ayah dan Ibu yang mengasuh anak-anaknya.6 Keberadaan keluarga yang terdiri dari Ayah, ibu dan anak adalah pranata sosial paling 4 Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta :Yayasan Kanisius,1987), hal. 644-645 5 Hammudah, Abd al “ati, The Family Structure In Islam, (Maryland : International Graphis Printing Service), hal. 9 6 Evereef K. Wison, Sociology, Rides, Releks and Relationships, (Memoroodlanis : The door Sey Press, 1996), hal. 155. EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 246 kecil dalam kesatuan kehidupan sosial, yang disebut dengan keluarga batih (inti).7 Keluarga sebagai insititusi merupakan wahana bagi penanaman nilai-nilai sosial dan nilai-nilai budaya bagi anggotanya sebagai mahluk sosial. Melalui institusi keluarga nilai-nilai kebudayaan, kebiasaan dan tradisi dipindahkan dari suaru generasi kegerasi berikutnya. Bourdieu menjelaskan arti penting keluarga dalam mempertahankan keteraturan (ruang dan hubunganhubungan) sosial melalui proses reproduksi sosial, biologis, sehingga keluarga merupakan tempat akomulasi berbagai bentuk modal (modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial),8 sekaligus merupakan tempat mengalihkan akomulasi modal itu dari suatu generasi kegenerasi berikutnya, yang difokuskan pada akomulasi modal budaya dalam bentuk sistem nilai budaya dan agama. Institusi keluarga juga merupakan tempat terpeliharanya nilai-nilai serta bagaimana sebuah tindakan sosial dirancang secara bersama dalam menghadapi tekanan-tekanan sosial baik antar keluarga maupun bersifat sosial yang berasal dari makrokosmos.9 Keluarga dapat menjadi ukuran kuat dan lemahnya suatu masyarakat. Jika struktur keluarga kuat dan sehat, maka struktur masyarakat menjadi kuat dan sehat.10 Oleh sebab 7 Lihat William Havilland, Anthropology, Edisi ke 4, (London : CBS College Publishing, 1985), hal. 82-83. 8 Bourdieu, On the Family as Realized, Theory of Culture an Society ,Volume 13 Agustus, 1989, hal. 23-24 9 Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), hal. 154 10 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Jilid I, (Jakarta, Pustaka al-Husna, 1984), hal. 394. EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 247 itu keluarga sebagai sebuah sistem, mempunyai tugas seperti umumnya sistem sosial yaitu; menjalankan tugastugas, pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga.11 Nilai-nilai yang diwarisi dari generasi kegenerasi dalam lingkungan keluarga adalah nilai-nilai agama dan nilai budaya. Institusi keluarga menjadi sumber utama bagi proses penanaman nilai-nilai serta kewajiban menjalankan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sosial. Keluarga memiliki peran penting dalam pembinaan nilai-nilai agama karena keluarga adalah sumber dasar ilmu pengetahuan tentang tugas dan kewajiban dalam mengamalkan ajaran Islam. Ia 11 J. McIntyre dalam Ratna Megawangi , Membiarkan Berbeda ? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi gender, (Bandung : Mizan, 1999), hal. 69. harus memberi contoh berupa sikap toleran dan pemaaf dalam menanamkan perilaku tersebut sejak dini dan mengurangi kemungkinan bersikap ateis atau gangguan lain karena mempengaruhi mereka di kemudian hari.12 Sikap (attitude) ayah dan ibu menjadi agen utama dalam sosialisasi nilai-nilai agama dan budaya.13 Inilah salah satu fungsi struktural keluarga sebagai sebuah sistem disebut Levy dengan alokasi integrasi dan ekspresi di mana distribusi teknik atau cara dalam sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntutan norma 12 Alian Sehleifer, The Family : The Microosm of Islamic Unity dalam Muslim Education Quaterly, Vol 6 nomor 2, (Cambridge : Ukpigott Printers, 1989), hal. 55. 13 Lihat Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, (Jakarta. Pustaka al-Husna, 1985), hal. 51. EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 248 yang berlaku bagi setiap anggota keluarga.14 Fungsi kontrol sosial keluarga pada intinya adalah mempertahankan nilai-nilai sosial melalui peran sosial keluarga.15 Keluarga merupakan bagian dari masyarakat yang diikat oleh budaya dan tradisi yang berkembang, karena budaya dan tradisi berpengaruh àterhadap perkembangan kepribadian individu sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan sosial. Dalam pranata keluarga anak atau individu menerima sentuhan nilai-nilai kebenaran, pembiasaan berupa tradisi dan pengamalannya. Kehidupan suatu keluarga dalam kelompok kekerabatan pada prinsipnya mengikuti suatu tata kelakuan yang 14 Lihat Megawangi, Membiarkan Berbeda ?, hal. 70 15 Munandar Soelaiman, Ilmu Sosial Dasar Teori dan konsep Ilmu Sosial,(Bandung, Eresco, 1987), hal 23-26. kompleks. Tata kelakuan tersebut dalam praktiknya dapat berupa cita-cita, norma, pendirian, sistem hubungan sosial, kepercayan, sikap, aturan, hukum dan lain sebagainya. Keseluruhan tata kelakuan tersebut mendorong anggota keluarga untuk 16 berperilaku. Keberadaan keluarga sebagai salah satu institusi dari beragam pranata dalam struktur sosial terikat dengan sistem nilai yang bersumber dari budaya dan agama yang dianut bersama oleh masyarakat yang disebut dengan sistem nilai budaya yang merupakan wujud ideal dari kebudayaan.17 16 Muslimin Mahmud, Mitos dan Adat Istiadat Masyarakat Tengger dalam Nurudin Dkk (Ed) Agama Tradisional: Potret Kehidupan Masyarakat Samin dan Tengger, (Yogyakarta: LKIS, 2003), hal. 135 17 Untuk memahami lebih jauh tentang nilai-nilai atau adat istiadat sebagai wujud ideal dari kebudayaan, Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu, hal. 186-189 EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 249 Keterikatan institusi keluarga terhadap sistem nilai budaya dan nilai agama dapat memaksa institusi keluarga tunduk dan patuh terhadap kedua sistem nilai tersebut dan mengejawantah dalam praktik ritual adat dan agama. B. Ritual Siklus hidup Keluarga Salah satu ritual yang ditemukan pada seluruh etnis dan kebudayaan di dunia adalah rite de passage. Menurut Gennep, Rites of passage adalah sebuah ritual atau upacara yang menandakan suatu peristiwa dalam kehidupan seseorang yang menunjukkan suatu transisi dari satu tahap ke tahap lainnya, seperti dari remaja ke dewasa, menikah dan meninggal.18 Menurut Bowie selain berhubungan dengan perubahan penting bagi kehidupan individu rite de passage dapat membentuk identitas diri dan kepribadian manusia. Ritual tersebut pada dasarnya untuk membolehkan seseorang berpindah dari satu posisi ke posisi berikutnya. Setiap tahap peralihan (kelahiran, perkawinan dan kematian) memiliki aspeknya masing-masing.19 Dalam literatur antropologi rite de passage disebut sebagai ritual. Ritual tersebut secara umum disebut pertunjukan atau upacara yang yang dilakukan secara terencana dan sengaja yang menandai sebuah transisi peralihan dari kehidupan hari ini ke kehidupan yang lain sebagai alternatif.20 19 Lihat Fiona Bowie, Antropologi of Religion, (USA: Blackwell Publishers, 2000), hal. 182. 18 Arnold Van Gennep, Rite of Passage, (London: Rotledge library edition, Antropology and Ethnography, 2004), hal. 9. 20 Lihat Fiona Bowie, Antropologi of Religion, (USA: Blackwell Publishers, 2000), hal. 182. EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 250 Sebagai sebuah konsep istilah tersebut diciptakan pertama kali oleh antropolog Arnold van Gennep (1873 1957) pada tahun 1908 dari latar belakang studinya dalam Preliterate dan dan studi sukusuku bangsa dengan menerbitkan sebuah buku tantang apa yang dia sebut dengan les rite de passage atau rite de passage21 dan rite of Passage.22 Upacara seremonial tersebut dapat dijumpai pada semua masyarakat dan kebudyaan dunia, ia menandai perjalanan seseorang dari satu status sosial ke status sosial yang lain. Semua masyarakat dunia menganggap rite de passage sebagai peristiwa besar dan paling penting dari 21 Dalam studi disertasi ini dipergunakan konsep rite de passage, yang memiliki makna yang sama dengan rite of passage, yang diterjemahkan dengan ritual siklus hidup. 22 Lihat Jean Holm, Rites of Passage, (London: United Kingdom, 1994). hal 2. berbagai ritual yang ada pada masyarakat dunia. Karena, dengan ritual tersebut masyarakat dapat mengakui keberadaan individu yang telah mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap yang lain dalam status sosial mereka.23 Dan menurut Holm ritual tersebut berhubungan dengan tahap-tahap kehidupan biologis individu yang meliputi, kelahiran, kedewasaan, reproduksi, perkawinan dan kematian.24 Alasan ini menggambarkan arti pentingnya perubahan status individu dalam kehidupan sosial, karena terkait dengan pengakuan masyarakat terhadap keberadaan individu dalam kehidupan sosial. Hal ini tergambar pada masyarakat Rejang dalam ritual nyunat 23 Lihat Gennep, Rite De Passage,hal. 9 24 Jean Holm, Rites of Passage, (London: United Kingdom, 1994). Hal 2. EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 251 misalnya, di mana persepsi sosial masyarakat Rejang terhadap status anak yang sudah disunat dianggap baru dewasa dan bahkan baru merupakan pertanda keislaman seseorang. Hal inilah yang disebut Holm di mana berbagai budaya sering menghubungkan dan menggunakan keyakinan agama untuk menjelaskan tentang masa perubahanperubahan status dan menjadikan praktik ritual tersebut sebagai ritual 25 keagamaan. Setiap indvidu akan mengalaminya rite de passage dan setiap masyarakat memperlakukan ritual bagi mereka dengan bermacam bentuk dan cara. Dimulai dari yang sangat sederhana sampai pada yang sangat rumit dan meriah, sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Ada kebudayaan yang lebih mengutamakan siklus kelahiran dan lain mengutamakan perkawinan dan kematian. Seperti digambarkan oleh Gennep dalam masalah kematian misalnya,26 pada masyarakat China dan Afrika ritual kematian menjadi peristiwa yang sangat penting dan dianggap sebagai subyek ceremonial dengan ritual yang sangat rumit. Sedangkan pada masyarakat lain ritual kematian diabaikan, tetapi lebih mengutamakan ritual perkawinan dan peralihan dari pubertas ke pase kedewasaan. Pada masyarakat Tanzania misalnya tahap paling penting dalam kehidupan laki-laki dan perempuan itu bukan pada kelahiran dan kematian, tetapi pada pase awal masa pubertas ke tahap dewasa. Karena 25 Lihat Jean Holm, Rites of Passage. hal 2. hal. 9. 26 Lihat Gennep Rite of Passage, EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 252 bersifat dramatis yang menandai perjalanan hidup yang penuh dengan prestasi, kekayaan, kesuburan pada masa depan. Pada keluarga Rejang ritus perkawinan dan kematian tampak lebih utama dan rumit dari ritus kelahiran. Karena pada ritual kelahiran hanya terdapat ritual penurunan bayi dengan ritual sangat sederhana dalam bentuk do’a selamat, aqiqah dan sunnah rasul (nyunat). Ritua tersebut sering digabung dengan ritual perkawinan. Ritual perkawinan memiliki tahapantahapan adat yang panjang dan rumit yang dimulai dari ritual pra perkawinan sampai pada ritual pasca perkawinan. Genep menggambarkan tahap tersebut sebagai sebuah proses perubahan status yang terjadi dalam tiga tahap perumpamaan, pertama; di mana kita tercermin dalam sebuah ruang (pre liminal), kedua; kita berada dalam sebuah ruang (liminal) dan ketiga; di mana kita masuk ke sebuah ruangan baru. (pos liminal). Oleh sebab itu menurutnya proses keseluruhan ritual tersebut terbentuk dalam tiga ritual yaitu pertama; ritual yang memisahkan manusia dari status asalnya. Kedua; ritual yang menunjukkan masa dari statusnya secara normal. Ketiga; sebuah ritual untuk memberi status baru terhadap setiap individu. Ketiga tahap Rite de passage tersebut itu hanya terjadi pada lingkungan sosial.27 Berbeda dengan Otto Rank, Carl Jung dan Joseph Campbell bahwa rite de passage menurutnya tidak hanya merupakan pengaruh transisi dalam lingkungan sosial saja, tetapi bersamaan 27 Lihat, Jean Holm, Rites of Passage, hal 3. EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 253 dengan itu juga terjadi pada lingkungan psikologi.28 Gennep memandang perubahan tahap dalam rite de passage dari perspektif sosial yang menganggap lingkungan sosial itulah (masyarakat) yang mengakui keberadaan perubahan peralihan tersebut. Oleh sebab itu ritus peralihan tersebut sering dianggap sebagai mekanisme yang dihadapi masyarakat dan dapat menjaga keseimbangan dalam tatanan sosial. Hal inilah menurut Turner selama priode liminal (masa yang dialami dalam satu tahap) individu-individu mengalami apa yang dia sebut dengan rasa (kebersamaan) atau kesadaran untuk selalu merasa bersama dalam masyarakat. Dengan kata lain adanya perasaan ingin diakui 28 Lihat Catherine Bell, Ritual Perspectives and Dimension, (New York, Oxspord University Press, 1997). Hal. 102 keberadaannya dalam masyarakat karena telah melewati satu tahap rite de passage.29 Sedangkan Rank, Jung dan Campbell berpandangan perubahan tahap tersebut bukan semata-mata pengaruh lingkungan sosial, tetapi terdapat unsur psikologis dari tahap-tahap peralihan tersebut. Karena tidak ada ritus peralihan yang tidak melibat aspek psikologis dari para pelaku ritual.Oleh sebab itu Geertz menggambar rite de passage orang jawa sebagai sebuah busur mulai dari gerak kecil yang tak teratur yang melingkari kelahiran, khitanan, perkawinan yang dimeriahkan dengan pesta yang besar dan hiburan yang meriah dan akhirnya upacaraupacara kematian yang hening dan mencekam perasaan. Ritual-ritual tersebut 29 Lihat Jean Holm, Rites of Passage. Hal. 3 EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 254 menandakan kesinambungan dan identitas yang melandasi semua segi kehidupan dan transisi serta pase-pase khusus yang harus dilalui. Secara keseluruhan dalam ritual tersebut terkandung perbedaan dalam intensitas, suasana hati dan kompleksitas simbolisme.30 Pernyataan Geertz tersebut menunjukkan adanya beragam unsur psikologis seperti perasaan dalam rite de passage seperti perasaan senang, sedih, mencekam dan bahkan menakutkan. Gennep mengklasfikasi rite de passage kepada dua kategori yaitu; simpathetic rite dan contagiuos rite. simpathetic rite disebut juga dengan ritus langsung atau ritus positip. Misalnya seorang pelaut supaya selamat harus meberikan sesajen kepada 30 Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java, (London: University of Chicago Press, 1976), hal. 38. ratu laut berupa perahu kecil. Ritual ini untuk menarik simpatik ratu laut agar tidak mengganggu pelaut. Sedangkan contagiuos rite yaitu ritus tidak langsung atau ritus negatip.31 Ritus kategori ini melibatkan peran individu untuk tidak melakukan sesuatu yang dilarang (tabu). Misalnya menurut adat Rejang perempuan hamil itu tidak boleh keluar menjelang maghrib, karena waktu itu dianngap sebagai waktu bergentangannya setan, terutama Semad Bodo, yang sering mengganggu perempuan Rejang yang sedang hamil. Berbagai bentuk dan kategori rite de passage tersebut dilakukan institusi keluarga dalam kehidupan sosial, tergantung kepada 31 Lihat Arnold Van Gennep Rite of Passage, (London: Rotledge library edition, Antropology and Ethnography, 2004), hal. 9. EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 255 etnis, agama dan keragaman budaya lokal dari masingmasing masyarakat. Geertz misalnya menyebutkan, dalam kehidupan keluarga Jawa terdapat beberapa ritual selingkar kehidupan sejak dari kelahiran, perkawinan dan kematian.32 Upacara tersebut dilakukan masyarakat Jawa sejak dahulu sampai sekarang seperti upacara tujuh bulanan kandungan yang dikenal dengan upacara Tingkeban (Mitoni), Babaran, Pasaran dan Pitonan33 Upacara-upacara sekitar kelahiran, perkawinan dan kematian dapat dijumpai pada seluruh etnis dan kebudayaan pada masyarakat Indonesia.34 32 Thomas Wijaya Bratawidjaja, Upacara Tradisional Masyarakat Jawa,(Jakarta,Pustaka Sinar Harapan, 1988), hal. 11-12. 33 Cifford Geertz, The Religion of Java,( New York : The Free Press of Glencoe, 1960), hal.38-50 34 Lihat Koentjaraningrat, Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1965). Hal 122 Suku Ma’anyan di Kalimanta Tengah melakukan upacara lingkaran mulai saat kelahiran sampai kematian.35 Bentuk upacara tersebut sangat beragam dalam berbagai etnis. Penelitian ini berupaya mendeskripsikan beragam ritual siklus hidup meliputi kelahiran, perkawinan dan kematian pada keluarga Rejang di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu. Praktik ritual-ritual tersebut dikaji dari sisi integrasi Islam dengan budaya lokal. C. Dialektika Islam dengan Budaya Lokal Diskursus tentang hubungan adat dengan Islam khususnya ritual siklus hidup keluarga dan dalam aktivitas keseharian maupun ibadat terkadang terlihat akomodatif 35 A.B. Hudgson, “Siklus Hidup” dalam T.O. Ihromi, (Ed) Pokok-Pokok Antropologi Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor, 1987), hal.140 EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 256 dan kontradiktif. Adat sering dianggap sebagai suatu percampuran yang saling bertentangan, karena melahirkan praktik berbeda bila dihadapkan dengan Islam yang terwujud dalam bentuk ibadat. Hubungan antara Islam dan adat pada masyarakat Islam Asia Tenggara menjadi tidak jelas. Adat kadangkadang digambarkan sebagai percampuran yang membingungkan dan tidak berstruktur.36Akan tetapi terhadap Islam di Asia Tenggara Hurgronje telah berhasil memicu silang pendapat mengenai pemisahan adat dan syari’at (Islam).37 realitas social. Azyumardi menulis secara teologis Islam adalah sistem nila dan ajaran yang bersifat ilahiah. Tetapi dari sudut sosiologis ia merupakan fenomena peradaban, cultural dan realitas osial dalam kehidupan manusia.Islam dalam realitas social tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat universal, melainkan juga mengejawantah dalam institusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta terkait dengan ruang dan waktu.38 Dalam melihat hubungan Islam dengan budaya lokal dapat dari sisi agama sebagai Azra menulis kenyataan adanya Islam sebagai pandangan dunia dan konsep realitas disatu pihak dengan Islam di pihak lain mencerminkan adanya “dua Islam”,39yaitu Islam sebagai 36 Lihat: Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal; Potret dari Cirebon, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 167. 37 Hooker, M.B, Islam in South East Asia,(Leiden : E.J. Brill,1980), hal. 59 38 Azyumardi Azra, Pergolakan politik Islam,(Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 1 39 Menurut Azra dua Islam yang berbeda itu tergambar dalam pandangan para ahli dengan berbagai EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 257 doktrin yang absolute bersumber dari wahyu dan Islam sebagai realitas yang mengejawantah dalam lingkungan masyarakat dan sosial budaya local tertentu. rumusan dan kerangka, misalnya Hamka, membuat kategori dan perbedaan antara sejarah Islam dan sejarah umat Islam. Sejarah Islam mengacu pada sejarah Islam normative dan doctrinal, sedangkan sejarah umat Islam merupakan dinamika panganut agama dalam suatu rentang waktu dinamika dan pergumulan. Gustave Von Grunebaum menyebut perbedaan itu dengan dengan mengambil kerangka Redfield dengan kategori Islam sebagai tradisi besar dan tradisi kecil. Islam sebagai tradisi besar adalah Islam doctrinal normatif, sedangkan tradisi kecil merupakan aktualisasi Islam dalam realitas sosial budaya dalam kehidupan social. Sedangkan Marchal G>S Hodgson membuat tiga kategori Islam yaitu ; pertama; Islam, yaitu doktrin normatif sebagai terdapat dalam teks al-Qur’an dan Hadits. Kedua; islamicate, yaitu Islam yang mengejawantah secara histories empiris yang mempengaruhi dan terwujud dalam berbagai bidang kehidupan sosial budaya masyarakat muslim dan ketiga; Islamdom, yaitu Islam yang terwujud sebagai kekuatan politik dan kekuasaan.LIhat Azyumardi Azra, Azyumardi Azra dan Irwan Abdullah ” Islam dan Akmodasi Kultural” dalam Azyumardi Azra (Ed) Insiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Buku V, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, tt), hal. 27- 28. Karena Islam bukan hanya merupakan kumpulan doktrin liahi dan kenabian yang transenden, tetapi juga terwujud dalam realitas sosial yang hidup dan menjadi kenyataan empiris dan historis dalam kehidupan sosial. Relasi adat (tradisi local) dan Islam telah melahirkan beragam bentuk ekspresi keagamaan Islam sebagai refleksi dari adat atau tradisi. Hal yang sama terjadi pada ekspresi ritual adat sebagai refleksi ajaran Islam. Islam dihadapkan pada sebuah konflik atau dialektika dengan budaya lokal di mana Islam berkembang. Dalam proses dialektik terjadi dialog secara mutual antara Islam universal dengan budaya lokal yang bersifat partikular, yang melahirkan apa yang disebut dengan lokalitas Islam (Islam lokal). Islam sebagai sistem totalitas dan realitas sosial, EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 258 ketika masuk ke dalam suatu komunitas tertentu akan terlibat dengan interaksi berupa penyesuaian, tarik menarik dengan budaya lokal, sehingga melahirkan adaptasi nilai-nilai universalitasnya dalam kondisi dan situasi tertentu. Karakteristik tersebut menjadikan Islam sebagai agama40yang mampu mengakomodasi tradisi pra Islam (adat istiadat) yang telah hidup sebelumnya. Hal ini menurut Azra, karena Islam sebagai subyek yang turut menentukan perjalanan sejarah. Kenisbian pranatapranata dunia, karena keharusan sejarah, juga telah memaksa perubahan dan akomodasi yang terus menerus terhadap pandangan duniayang bersumber dari 40 Gustave E. Von Grunebaum, Unity and Variety in Muslim Civilization, (Chicago: University of Chicago Press, 1955), hal. 8 Islam.41 Dalam perses perubahan dan akomodasi tersebut, antara pandangan dunia para penganut Islam dengan fenomena social selalu terkait. Azra menyebutnya dengan dialektika yang saling mempengaruhi satu sama lain. Islam dalam realitas social dapat berperan sebagai subyek yang mendinamisasi dan menentukan perkembangan sejarah. Tetapi pada saat yang sama, Islam juga menjadi objek, karena adanya tekanan dari kekuatan dari faktor social lainnya.42 Menurut Berger agama sebagai realitas sosial merupakan manipestasi dari konstruksi pemikiran pemeluk agama yang diyakininya. Agama menurutnya tidak bisa semata-mata dilihat dari segi ajaran dan norma yang 41 Lihat Azra, Pergolakan Politik, hal.2. 42 Lihat Azra, Pergolakan Politik,hal. 4 EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 259 abstrak, tetapi ia memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Realitas sosial seharihari memiliki dimensi 43 subyektif-objektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi.44 Azra menyebutkan agama dapat memberikan sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas yang didasarkan pada otoritas ke-Tuhanan, tetapi hal ini tidak sepenuhnya dipahami oleh manusia. Konsepsi tersebut tidak jarang diberikan melalui simbolisme 43 Bandingkan dengan Aztumardi yang menyebutkan realitas subyektif dan obyektif tersebut dalam kontek interaksi doktrin agama dengan nilai lokal (tradisi) dengan konsep agama sebagai konstruksi relaitas sosial yang terdiri dari relitas absolut dan nilai budaya sebagai produk manusia Lihat Azyumardi dalam Aswab Mahasin, Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa, hal. 184-185. 44 Peter L. Berger, The Sacred Canopy : Element of a Sociological Theory of Religion, Newyork, Devision of Random House, INC. 1967, hal. 40 dan ambiguitas.45 Karena agama dapat menjadi instrumen dalam membangun konstruksi sosial masyarakat. Lebih lanjut Berger menyebutkan Agama secara historis merupakan instrumen talitas legitimasi yang tersebar dan efektif. Agama melegitimasikan sedemikian efektifnya karena menghubungkan realitas empirik dengan realitas purna yang keramat dan 46 transendental. Dalam konteks interaksi Islam dengan tradisi lokal, Islam dapat melegitimasi budaya lokal dan budaya lokal melegitimasi Islam secara dialektis. Karena agama dalam kehidupan sosial dapat menjadi legitimasi melalui 45 Azyumardi Azra, Interaksi dan Akomudasi Islam dengan Budaya Melayu Kalimantan dalam Aswab Mahasin (Ed dkk) Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa : Aneka Budaya Nusantara, Jakarta, Yayasan Pestival Istiqlal, 1996, hal. 164. 46 Lihat Berger, The Sacret Canopy, hal. 40 EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 260 pemberian status yang absah dengan meletakkan institusiinstitusi tersebut sebagai suatu yang keramat dan kosmis. Berger menyebutkan suatu legitimasi dalam sejarah kehidupan manusia ialah tatanan instutusi yan mewujudkan struktur ilahi kosmos yaitu melibatkan hubungan antara yang mikrokosmos dan makrokosmos. Yang ada di di sini selalu terkait dengan yang ada di sana.47 Mengikuti Berger Islam secara faktual dapat dipahami sebagai reaitas kultural. Budaya Islam merupakan refleksi nilai-nilai Islam yang diaktulisasikan dalam berbagai aspek kehidupan kultural manusia. Islam sebagai realitas sosial merupakan produk dialektika antropologi 47 Berger, Konstruksi Sosial atas Realitas, hal. 41 Islam48. Dialek-tika tersebut terwujud dalam tiga konsep objektivasi, eksternalisasi dan internalisasi. Oleh sebab itu perkembangan Islam tidak terlepas dari proses interaksi dengan adat isitiadat yang dianut sebelumnya seperti Animisme, Hindu dan Budha. Aspek ‘urf (adat istiadat) dapat menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum.49 Terutama dalam muamalah seperti jual beli, hutang piutang, pembayaran mahar mitsil. Adat istiadat dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum yang berlaku di daerah tertentu, sehingga muncul kaedah Fiqh 48 Mujiono Abdillah, Dialektika Antropologis Hukum Islam ; Sebuah Model Ijtihad Fiqih Budaya, dalam Zakiyuddin Baidawi dan Mutoharun Jinan (Ed) Islam dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah, 2003, hal. 86. 49 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Beirut:Dar al-Fikr, 1973). hal 222 EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 261 al-‘adah Muhakkamah.50 Artinya adat istiadat dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum. Tidak semua tradisi (adat istiadat) dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum. Karena Islam secara normatif melakukan reformasi terhadap tradisi (adat istiadat) yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip teologi dan nilai-nilai sosial 51 kemanusiaan. Islam sebagai agama universal tetap bertahan sepanjang zaman dan akomodatif terhadap budaya lokal yang berkembang, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip 50 Jalaluddin as-Suyuthi, alAshbah wa an-Naza’ir, (Beirut: Dar alFikr,tt), hal. 122 51 M. Jandra,” Islam dalam Kontek Budaya dan Tradisi Plural “, dalam Baidhawi dan Mutaharun Jinan (ed) Agama dan Pluralitas Buday Budaya Lokal, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial, (Surakarta :Universitas Muhamadiyah Surakata, 2003), hal. 74. dasar ajaran Islam. Ajaran Islam tidak pernah dilaksanakan secara seragam di seluruh kawasan 52 Islam. Tradisi (adat istiadat) yang berkembang dalam masyarakat Islam harus mampu dikembangkan secara dinamis, sesuai dengan perubahan zaman. Dalam menghadapi perubahan Fazlur Rahman mengembangkan konsep living tradition (sunnah atau tradisi) yang hidup dalam komunitas muslim. Tradisi-tradisi nabi dan para sahabat harus dipahami secara dinamis dengan pendekatan sosiohistoris.53 Beragam tradisi yang diakomodasi dan direformasi sebelum turunnya al-Qur’an 52 G.E. Von Grunebaum (Ed) Islam Kesatuan dalam Keragaman, Diterjemahkan oleh Effendi N. Yahya, (Jakarta : LP3ES, 1985), hal. 327. 53 Lihat Muhammad Syahrur, alKitab wa-Alqur’an; Qira’ah Mu’asirrah, (Damascus : al-Ahali li Aththiba’ah wa anNasyr wa Tauzi, 1992), hal, 33-34. EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 262 seperti thawaf, sa’i, pernikahan, praktik aqiqah, qurban dan pelaksanaan dua hari raya. Kedatangan Islam tidak menghilangkan praktikpraktik tradisi tersebut, tetapi mengakomodasi dan mereformasinya sesuai dengan prinsip tauhid dan sosial kemanusiaan.54 Tradisi penyembelihan hewan ketika anak lahir dalam Islam disebut aqiaqh, telah ada sebelum Islam. Pada masa Jahiliyah dalam praktik aqiqah, darah hewan yang disembelih digunakan untuk melumuri kepala bayi yang baru lahir. Islam secara normatif tidak hanya melakukan purifikasi terhadap tradisi local yang berkembang di masyarakat Islam, tetapi mengakomodasi dan mereformasi, sehingga terjadilah Islamisasi budaya 54 M. Jandra, Islam dalam Kontek Budaya dan Tradisi Plural “ dalam Mahasin (Ed),Agama dan Pluralitas, hal. 75 dan pembudayaan Islam, demikian yang terjadi pada setiap ritual siklus dalam beragam kebudayaan di dunia. Sebagaimana Abu Zayd, Islam itu sesungguhnya merupakan muntaj thaqafi (produk budaya) sekaligus juga musntij li al-thaqafah (memproduksi budaya).55 Dalam proses akomodasi dan dialektika Islam dan budaya lokal sering terjadi Penciptaan manusia merupakan realisasi kekhalifahannya, dalam bentuk rupa dan potensi yang cukup beragam, baik dalam bahasa, warna kulit, suku bangsa, status sosial, dan sebagainya. Dalam tradisi sufistik fenomena keragaman ini disebut sebagai “Tajally”, pancaran keagungan 55 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas : Dirasah fi-‘Ulum Al-Qur’an, (Bierut :al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, 1994), 24 EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 263 ilahiyah56. Sehingga warna dan karakter kebudayaan umat Islam di masing-masing lokalitasnya cukup beragam. Sayyed Hossain Nasr57 menyebutkan paling tidak ada tiga akar persoalan yang bisa membentuk corak ragam peradaban umat Islam antara satu wilayah dengan wilayah lainnya berbeda. Ketiganya merupakan potensi dasar bagi pembentukan prilaku dan pola peradabannya, tiga hal tersebut adalah ; pertama, Faktor karakteristik etnik dan ras manusia (the ethnic and racial characteristic). kedua, Faktor pengalaman dan kesadaran sejarah (the common historical experience and the type awwareness a particular community posseses 56 Lebih detail penjelasan filosof mengenai konsep keragaman bentuk makhluk dalam konsepsi sufisme, lihat Saichi Murata, Tao of Islam, (Bandung :Mizan, 2005), hal. 47-50 57 Lihat karyanya, Islamic Life and Thought, (USA :Unwin Paperback, , 1984); hal. 37 of the past) dan ketiga, Faktor kondisi kependudukan dan lingkungan hidup (the demografic and geographical characteristic). Faktor pertama etnik dan ras manusia, biasanya berpengaruh besar pada pembentukan watak bahasa dan sastra, tulisan, corak seni, berbagai bentuk perhiasan, pakaian, arsitektur, musik, makanan dan sebagainya. Berbagai identitas luar, nampaknya lebih menonjol ditentukan oleh faktor satu ini. Dalam kaitan dengan Islam Al-Jabiri menyebutnya dengan ciri-ciri etnis dan rasial pemeluk Islam.58 Faktor kedua pengalaman sejarah, dipandang berpengaruh kuat dalam membedakan warna Islam di setiap kawasan, tidak hanya 58 Lihat Muhammad ‘Abid AlJabiri, At-Turrath wa al-Hadārah : Dirasah wa Munaqashah, (Beirut : al-Markaz athThaqafi al- ‘Arabi, tt), hal 222 EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 264 sebagai pencetak identitas kultural, tapi juga dalam menetapkan pola kebudayaan lokal. Kesamaan pengalaman sejarah dapat berupa kesamaan mengalami suatu kebudayaan pra Islam 59 tertentu. Menurut Lewis kesamaan pengalaman sejarah dapat juga berupa kesamaan mengalami proses Islamisasi.60 Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Timur Tengah, Afrika Utara dan India memiliki pengalaman sejarah Islamisasi yang relatif sama yaitu melalui ekspansi militer dan sebagian lainnya seperti Asia Tenggara melalui perdagangan dan tokoh sufi beserta 61 tarekatnya. 59 Seyyed Hussain Nasr, “Islam in The Word ; Cultur Diversity Within Spritual Unity “ dalam Cultur, 1977, Volume IV, Nomor 1. 60 Bernard Lewis, “Tentang Peradaban Islam “dalam Ulumul Qur’an, (Jakarta : Yayasan Paramadina), 1989). Nomor 1, April- Juni 61 M.A fatah Santoso, “Agama dan Keragaman Kebudayaan; Persfektif Sementara faktor ketiga kependudukan dan alam lingkungan, seringkali sangat menentukan dalam membentuk gelombang atau akumulator yang membawa arus perubahan berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lainnya. Dinamika politik, ekonomi dan situasi kekinian lainnya biasanya dimainkan oleh faktor ini. Dapat dibedakan bagaimana kondisi wilayah stepa, padang pasir, pegunungan, kepulauan, pesisir, pedalaman, kota, desa dan sebagainya, semuanya telah memberikan kontribusi besar dalam melakukan pembentukan mentalitas yang berbeda terhadap para penghuninya. Menurut Nasr segi-segi geografis telah menyebab sebagian masyarakat muslim terisolasi Peradaban Islam “ dalam Zakiyuddin Baidhawi dan Mutaharun Jinan (ed) Agama Dalam Pluralitas Budaya Lokal, hal.51 EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 265 dan menyerah pada kondisi alamiah tertentu, seperti yang tinggal di daerah pegunungan, sebaliknya segi-segi geografis yang menyebabkan sebagian lain sangat terbuka, karena mereka berada di persimpangan jalur perdagangan atau ekspansi militer yang menjadikan mereka bagian dari salah satu tipe kebudayaan Islam tertentu.62 Selain hal tersebut hubungan Islam dengan budaya lokal adanya kenyataan Islam idealitas dan Islam realitas. Islam idealitas adalah Islam permanen yang bersumber dari wahyu dan alSunnah, memiliki kebenaran bersifat mutlak dan secara teologis harus diyakini sepenuhnya. Konsep tentang realitas telah diatur dan diberi tuntunannya dari sumber 62 Nasr, Islam in The Word ; Cultur Diversity Within Spritual Unity “ dalam Cultur, 1977, Volume IV, Nomor 1. resmi ajaran Islam yaitu alQur’an dan penjelasan tentang petunjuk teknisnya dalam al-Sunnah.63 Bentuk ritual keagamaan dalam siklus hidup dan akomodasi terhadap unsur luar yang tidak terdapat di dalam kedua sumber resmi tersebut dianggap tidak resmi atau tidak dibenarkan. Sedangkan Islam sebagai relitas sosial tidak hanya dilihat sebagai fenomena teologis yang berisi muatanmuatan doktrin yang datang dari wahyu berupa ajaranajaran yang memiliki kebenaran mutlak. Tetapi Islam dapat dilihat sebagai fenomena sosial budaya yang membentuk kebudayaan. Agama (Islam) sebagai pranata sosial atau sebagai seperangkat simbol-simbol 63 Paryanto, Islam, Akomodasi Budaya dan Poskolonial, dalam Zakiyuddin dan Jinan (Ed) Islam Dalam Pluralitas Budaya, hal. 64. EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 266 yang digunakan dalam kehidupan sosial merupakan ajaran atau doktrin berada pada ranah sakral dikonfirmasikan oleh wahyu. 64 Islam sebagai realitas kebudayaan berada pada ranah profan memuat sistem nilai-nilai Islam yang terdapat dalam sejumlah nilai-nilai kebudayaan yang khas, dengan varian yang beragam, di mana Islam sebagai ajaran atau doktrin menjadi sumber terbentuknya tradisi dalam komunitas tertentu.65 Islam 64 Parsudi Suparlan “Kebudayaan masyarakat Agama; Agama sebagai sasaran penelitian Antropologi” dalam Pasudi Suparlan (Ed) pengetahuan Budaya, I;mu-ilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-masalah Agama, (Jakarta, Badan Litbang Departemen Agama, 1982), hal 3 65 Islam sebagai idealitas dan realitas dapat juga diungkapkan bahwa Islam adalah agama yang bersifat universal dalam ajaran atau keyakinan, ttapi bisa sangat bervariatif dalam pelaksanaan nilai-nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari yangdisebut dengan Islam ajaran dan Islam sejarah. Islam sebagai ajaran merujuk kepada keyakinan dan ajarang yang bersumber kepada kitab suci al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sedangkan Islam sejarah merujuk tidak hanya sebuah agama, melainkan juga sebuah komunitas (umat) yang memiliki pemahaman sendiri atas wahyu. Islam bukan hanya agama yang dianut secara individual, tetapi secara kolektif, yang memiliki kesadaran, struktur dan aksi kolektif. Pada dataran ini Islam berhadapan dengan kenyataan kebudayaan (adat) dari masyarakat muslim. Karena agama (Islam) merupakan tatanan yang unik yang mempunyai dua nilai dasar bersifat metafisik dan skularistk. Kedua asfek ini mengandung unsur-unsur keterbukaan dalam melakukan dialog bagi kepentingan masyarakat kepada pelaksanaan ajaran itu yang bergam dalam berbagai geografi Islam. Lihat misalnya Kuntowijoyo, Paradigma Islam Kerangka untuk Interpretasi, Bandung, Mizan, 1989. Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat : Lintasan Historis Islam di Indonesia, (Jakarta, Yayasan Obor, 1987). EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 267 dalam kehidupan sosial.66 Pendekatan realistik ini berupaya mempertemukan dimensi substansi agama dengan konteks sosio kultural masyarakat pemeluknya. Islam sebagai agama wahyu universal perlu hadir dan menampakkan diri secara realistik dalam keragaman yang diwarnai situasi sosial kultural umatnya.67 Artinya kehadiran Islam sebagai agama wahyu memiliki keterbukaan dan ruang untuk berinteraksi dengan budaya local di mana Islam dianut, sehingga Islam dan budaya lokal terintegrasi dalam praktek keberagamaan masyarakat. 66 Arief Mudatsir, 1998:15).“Agama dalam Realitas Sosial Masyarakat“ dalam Al-Fatah, (Palembang : IAIN Raden Fatah Palembang, 1995), Volume 2, nomor 1 67 M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia ; Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta : Paramadina, 1995), hal. 182. Kuntowijoyo menulis, agama atau pemahaman ketuhanan harus dilihat sebagai frame of reference dari kebudayaan. Menurutnya ada dua cara dalam memahami ketuhanan; pertama ; ketuhanan dalam arti teoritik; yaitu pengetahuan tentang yang tertinggi sehingga menimbulkan persembahan. Dalam pemahaman ini tidak dijumpai persuaian antara yang sakral dengan yang profan. Kedua; pemahaman ketuhanan secara 68 eksistensial. Di mana Tuhan dihayati sebagai tujuan akhir yang melahirkan aktualisasi. Dalam kehidupan sehari hari, umatIslam mengaktualisasikan kesadarannya terhadap Tuhan dalam perilakunya, sehingga tidak ada dualisme antara 68 Zakiyuddin Baidhawi Mutaharun Jinan (Ed) Agama Pluralitas (ed) 2003.hal 2 EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 dan Dan | 268 yang sakral dengan yang profan. Pemahaman eksistensi-al ini membawa agama terlibat dalam pergumulan kemanusiaan. Karena agama memiliki simbol suci yang mewejawantah dalam tradisi masyarakat yang dikenal sebagi tradisi keagamaan.69 Tradisi keagamaan adalah kumpulan atau hasil perkembangan sepanjang sejarah, ada unsur baru yang masuk dan ada yang 70 ditinggalkan. Salah satu pergumulan tersebut adalah bagaimana manusia mengapresiasikan ajaran agamanya ketika berhadapan dengan budaya lokal yang menjadi keperayaan mereka. Karena kehadiran agama dalam realitas sosial terkait 69 Lihat: Nur Syam, Islam Pesisr, hal. 17 70 Karel A. Steenbrink, „Indonesia Pasca Reformasi : Angin Segar Bagi Agama Rakyat“ dalam Bisnis, (Jakarta : Harian Bisnis Indonesia, Nomor 11-12, Tahun ke 48, Nopember-Desember 2000), hal. 42 dengan lokalitas kultur yang bersifat relatif dan partikuler, dan bahkan pada awal pertumbuhannya semua agama cenderung komunalistik.71 Ajaran kebenaran yang datang dari Tuhan bersifat perennial dan transhistoris ketika sampai pada manusia harus melalui rentang tempat dan waktu,72 sehingga keragaman apresiasi keagamaan tidak mungkin dinafikan. Sedangkan bila merujuk kata-kata yang digunakan al71 LihatTaufik Abdullah, „Islam dan Pembentukan tradisi di Asia Tenggara : Sebuah Persfektif Perbandingan“ dalam Taufik Abdullah dan Sharon Siddiqie (Ed) Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : LP3ES, 1989), hal. 5899. 72 Pernyataan ini diilihami dari teori Gestalt tentang universalitas dan partikuleritas, di mana Islam sebagai wahyu universal yang hadir dan diterima di bumi yang penyebaran dan penerimaannya oleh umat manusia diselubungi lapis-lapis budaya lokal, sehingga Islam universal hanya akan dapat ditangkap maknanya ketika berada di tangan manusia, aktualisasinya menjadi kebudayaan. Lihat Baidhowi dan Jinan, Agama dan Pluraliats Budaya, hal. 3-4. EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 269 Qur’an dalam menjelaskan manusia dengan lafadz bashar dan insan. dideduksi bahwa manusia dalam posisinya sebagai bashar (yang berdimensi lahiriah) memiliki bawaan kodroti yang dengannya menjalankan fungsi sebagai ‘abd (hamba Allah) yang tunduk, patuh, terikat tanggung jawab kepada sunnatullah. Posisinya sebabagi insan (yang berdimensi ruhaniah) memiliki akal yang dengannya menjalankan fungsi khalifahan memiliki kebebasan berbuat dan berkreasi.73 Realisasi fungsi ‘abd dalam beraqidah dan beribadah (beragama), sementara realisasi fungsi khalifah adalah menciptakan kebudayaan, karena itu Islam diturunkan untuk manusia, sementara manusia memikul 73 Musa Asy’arie, Manusia membentuk kebudayaan dalam al’Qur’an, (Yogyakarta : Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1992), hal. 113 amanat untuk menjalan fungsi ‘abd dan fungsi khalifah, sehingga ketika fungsi-fungsi itu direalisasikan, Islam merupakan agama sekaligus kebudayaan.74 Ajaran Islam yang normatif itu dapat merefleksi ajaran adat dalam konteks akulturasi Islam dengan budaya lokal atau bagaimana apresiasi Islam terhadap budaya lokal. Selagi agama itu dianut dan dijalankan umat manusia selama itu pula agama tidak bisa terlepas dari konteks sosiologis dan antropologis penganutnya yang tunduk dan patuh pada proses dinamisasi.75 Karena Islam sangat menghargai kedinamisan termasuk dalam 74 Santoso, “Agama dan Keragaman Kebudayaan; Persfektif Peradaban Islam “ dalam Zakiyuddin Baidhawi dan Mutaharun Jinan (ed) Agama Dalam Pluralitas Budaya Lokal, hal. 47. 75 Lihat Paryanto, Islam, Akomodasi Budaya dan Poskolonial, dalam Baidhowi dan Jinan, (Ed) Islam Dalam Pluralitas, hal. 66 EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 270 tradisi. Memahami Islam termasuk tradisi-tradisinya (baca hadits-hadits nabi dan warisan ulama’ salaf) harus dinamis. Tradisi jangan dijadikan berhala pemikiran, tetapi harus dikembangkan dan dimekarkan sesuai dengan ruang dan waktu.76 Persentuhan Islam dengan budaya lokal dapat dimaknai dan ditelusuri melalui proses akulturasi secara dialektik. Karena Islam sebagai relitas sosial tidak hanya dilihat sebagai fenomena teologis memuat doktrin berupa ajaran-ajaran yang memiliki kebenaran mutlak. Tetapi Islam dilihat sebagai fenomena sosial budaya yang membentuk kebudayaan adalah refleksi dan implementasi dari kesadaran 76 Muhammad Syahrur, al-Kitab wa-Alqur’an; Qira’ah Mu’asirrah, (Damascus : al-Ahali li Aththiba’ah wa anNasyr wa Tauzi, 1992), hal, 33-34. teologis.77 Sebagai realitas kultural Islam memuat sistem nilai-nilai Islam yang terdapat dalam sejumlah nilai-nilai kebudayaan yang khas dengan varian beragam. Karena Islam sebagai doktrin menjadi sumber terbentuknya tradisi dalam sebuah komunitas tertentu.78 77 Parsudi Suparlan “Kebudayaan masyarakat Agama; Agama sebagai sasaran penelitian Antropologi” dalam Pasudi Suparlan (Ed) pengetahuan Budaya,Ilmu-ilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-masalah Agama, (Jakarta : Badan Litbang Departemen Agama, 1982), hal 3 78 Islam sebagai idealitas dan realitas dapat juga diungkapkan bahwa Islam adalah agama yang bersifat universal dalam ajaran atau keyakinan, ttapi bisa sangat bervariatif dalam pelaksanaan nilai-nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari yangdisebut dengan Islam ajaran dan Islam sejarah. Islam sebagai ajaran merujuk kepada keyakinan dan ajarang yang bersumber kepada kitab suci al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sedangkan Islam sejarah merujuk kepada pelaksanaan ajaran itu yang bergam dalam berbagai geografi Islam. Lihat misalnya Kuntowijoyo, Paradigma Islam Kerangka untuk Interpretasi, (Bandung: Mizan, 1989). Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat : Lintasan Historis Islam di Indonesia, (Jakarta : Yayasan Obor, 1987). EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 271 Akomudasi dan Akulturasi dalam Dialektika Islam dan Budaya Lokal Diskursus tentang hubungan adat dengan Islam khususnya dalam aktivitas keseharian maupun ibadat terkadang terlihat akomodatif dan kontradiktif. Adat sering dianggap sebagai suatu percampuran yang saling bertentangan, karena melahirkan praktik berbeda bila dihadapkan dengan Islam yang terwujud dalam bentuk ibadat. Hubungan antara Islam dan adat pada masyarakat Islam Asia Tenggara menjadi tidak jelas. Adat kadangkadang digambarkan sebagai percampuran yang membingungkan dan tidak berstruktur.79Akan tetapi terhadap Islam di Asia Tenggara Hurgronje telah 79 Lihat: Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal; Potret dari Cirebon, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 167. berhasil memicu silang pendapat mengenai pemisahan adat dan syari’at (Islam).80 Dalam melihat hubungan Islam dengan budaya lokal dapat dari sisi agama sebagai realitas social. Azyumardi menulis secara teologis Islam adalah sistem nila dan ajaran yang bersifat ilahiah. Tetapi dari sudut sosiologis ia merupakan fenomena peradaban, cultural dan realitas osial dalam kehidupan manusia.Islam dalam realitas social tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat universal, melainkan juga mengejawantah dalam institusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta terkait dengan ruang dan waktu.81 80 Hooker, M.B, Islam in South East Asia,(Leiden : E.J. Brill,1980), hal. 59 81 Azyumardi Azra, Pergolakan politik Islam,(Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 1 EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 272 Azra menulis kenyataan adanya Islam sebagai pandangan dunia dan konsep realitas disatu pihak dengan Islam di pihak lain mencerminkan adanya “dua Islam”,82yaitu Islam sebagai 82 Menurut Azra dua Islam yang berbeda itu tergambar dalam pandangan para ahli dengan berbagai rumusan dan kerangka, misalnya Hamka, membuat kategori dan perbedaan antara sejarah Islam dan sejarah umat Islam. Sejarah Islam mengacu pada sejarah Islam normative dan doctrinal, sedangkan sejarah umat Islam merupakan dinamika panganut agama dalam suatu rentang waktu dinamika dan pergumulan. Gustave Von Grunebaum menyebut perbedaan itu dengan dengan mengambil kerangka Redfield dengan kategori Islam sebagai tradisi besar dan tradisi kecil. Islam sebagai tradisi besar adalah Islam doctrinal normatif, sedangkan tradisi kecil merupakan aktualisasi Islam dalam realitas sosial budaya dalam kehidupan social. Sedangkan Marchal G>S Hodgson membuat tiga kategori Islam yaitu ; pertama; Islam, yaitu doktrin normatif sebagai terdapat dalam teks al-Qur’an dan Hadits. Kedua; islamicate, yaitu Islam yang mengejawantah secara histories empiris yang mempengaruhi dan terwujud dalam berbagai bidang kehidupan sosial budaya masyarakat muslim dan ketiga; Islamdom, yaitu Islam yang terwujud sebagai kekuatan politik dan kekuasaan.LIhat Azyumardi Azra, Azyumardi Azra dan Irwan Abdullah ” Islam dan Akmodasi Kultural” dalam doktrin yang absolute bersumber dari wahyu dan Islam sebagai realitas yang mengejawantah dalam lingkungan masyarakat dan sosial budaya local tertentu. Karena Islam bukan hanya merupakan kumpulan doktrin liahi dan kenabian yang transenden, tetapi juga terwujud dalam realitas sosial yang hidup dan menjadi kenyataan empiris dan historis dalam kehidupan sosial. Relasi adat (tradisi local) dan Islam telah melahirkan beragam bentuk ekspresi keagamaan Islam sebagai refleksi dari adat atau tradisi. Hal yang sama terjadi pada ekspresi ritual adat sebagai refleksi ajaran Islam. Islam dihadapkan pada sebuah konflik atau dialektika dengan budaya lokal di mana Islam Azyumardi Azra (Ed) Insiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Buku V, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, tt), hal. 27- 28. EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 273 berkembang. Dalam proses dialektik terjadi dialog secara mutual antara Islam universal dengan budaya lokal yang bersifat partikular, yang melahirkan apa yang disebut dengan lokalitas Islam (Islam lokal). Islam sebagai sistem totalitas dan realitas sosial, ketika masuk ke dalam suatu komunitas tertentu akan terlibat dengan interaksi berupa penyesuaian, tarik menarik dengan budaya lokal, sehingga melahirkan adaptasi nilai-nilai universalitasnya dalam kondisi dan situasi tertentu. Karakteristik tersebut menjadikan Islam sebagai agama83yang mampu mengakomodasi tradisi pra Islam (adat istiadat) yang telah hidup sebelumnya. Hal ini menurut Azra, karena Islam 83 Gustave E. Von Grunebaum, Unity and Variety in Muslim Civilization, (Chicago: University of Chicago Press, 1955), hal. 8 sebagai subyek yang turut menentukan perjalanan sejarah. Kenisbian pranatapranata dunia, karena keharusan sejarah, juga telah memaksa perubahan dan akomodasi yang terus menerus terhadap pandangan duniayang bersumber dari Islam.84 Dalam perses perubahan dan akomodasi tersebut, antara pandangan dunia para penganut Islam dengan fenomena social selalu terkait. Azra menyebutnya dengan dialektika yang saling mempengaruhi satu sama lain. Islam dalam realitas social dapat berperan sebagai subyek yang mendinamisasi dan menentukan perkembangan sejarah. Tetapi pada saat yang sama, Islam juga menjadi objek, karena 84 Lihat Azra, Pergolakan Politik, hal.2. EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 274 adanya tekanan dari kekuatan dari faktor social lainnya.85 Berger menyebutkan suatu legitimasi dalam sejarah kehidupan manusia ialah tatanan instutusi yan mewujudkan struktur ilahi kosmos yaitu melibatkan hubungan antara yang mikrokosmos dan makrokosmos. Yang ada di di sini selalu terkait dengan yang ada di sana.86 Mengikuti Berger Islam secara faktual dapat dipahami sebagai reaitas kultural. Budaya Islam merupakan refleksi nilai-nilai Islam yang diaktulisasikan dalam berbagai aspek kehidupan kultural manusia. Islam sebagai realitas sosial merupakan produk dialektika antropologi Islam87. Dialektika 85 Lihat Azra, Pergolakan Politik,hal. 4 86 Berger, Konstruksi Sosial atas Realitas, hal. 41 87 Mujiono Abdillah, Dialektika Antropologis Hukum Islam ; Sebuah Model Ijtihad Fiqih Budaya, dalam tersebut terwujud dalam tiga konsep objektivasi, eksternalisasi dan internalisasi. Oleh sebab itu perkembangan Islam tidak terlepas dari proses interaksi dengan adat isitiadat yang dianut sebelumnya seperti Animisme, Hindu dan Budha. Aspek ‘urf (adat istiadat) dapat menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum.88 Terutama dalam muamalah seperti jual beli, hutang piutang, pembayaran mahar mitsil. Adat istiadat dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum yang berlaku di daerah tertentu, sehingga muncul kaedah Fiqh Zakiyuddin Baidawi dan Mutoharun Jinan (Ed) Islam dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah, 2003, hal. 86. 88 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Beirut:Dar al-Fikr, 1973). hal 222 EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 275 al-‘adah Muhakkamah.89 Artinya adat istiadat dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum. dasar ajaran Islam. Ajaran Islam tidak pernah dilaksanakan secara seragam di seluruh kawasan Islam.91 Tidak semua tradisi (adat istiadat) dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum. Karena Islam secara normatif melakukan reformasi terhadap tradisi (adat istiadat) yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip teologi dan nilai-nilai sosial 90 kemanusiaan. Islam sebagai agama universal tetap bertahan sepanjang zaman dan akomodatif terhadap budaya lokal yang berkembang, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip D. PENUTUP Interaksi Islam dengan budaya lokal dalam rite de passage yang terwujud dalam upacara kelahiran, perkawinan dan kematian telah terjadi akulturasi, dan akomodasi secara timbal balik antara Islam dan budaya lokal. Akulturasi dan akomodasi tersebut terjadi dengan cara pemberian status oleh Islam terhadap budaya lokal. Hal demikian menunjukkan bahwa Islam telah berhasil mendapatkan simbolsimbolnya yang selaras dengan kemampuan menangkap nilai-nlai kultural dari budaya lokal. 89 Jalaluddin as-Suyuthi, alAshbah wa an-Naza’ir, (Beirut: Dar alFikr,tt), hal. 122 90 M. Jandra,” Islam dalam Kontek Budaya dan Tradisi Plural “, dalam Baidhawi dan Mutaharun Jinan (ed) Agama dan Pluralitas Buday Budaya Lokal, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial, (Surakarta :Universitas Muhamadiyah Surakata, 2003), hal. 74. 91 G.E. Von Grunebaum (Ed) Islam Kesatuan dalam Keragaman, Diterjemahkan oleh Effendi N. Yahya, (Jakarta : LP3ES, 1985), hal. 327. EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 276 Dialektika Islam dalam mengakomulasi nilai-nilai kultural dari budaya lokal menunjukkan kemenangan Islam dalam proses akulturasi dan akomodasi terhadap budaya lokal. Dalam proses tersebut Islam mampu mendominasi budaya lokal khususnya dalam rite de passage keluarg. Keunggulan Islam dalam mewarnai nilainilai kultural budaya lokal memiliki konsekuensi berupa munculnya realitas-realitas baru berupa lokalitas Islam (Islam lokal) yang tumbuh dari tradisi Islam adalah Islam lokal yang integratif dengan budaya lokal sebgaia akibat terjadinya akulturasi dan akomodasi. ` EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 277 BIBLIOGRAPHY Abdillah, Mujiono, ”Dialektika Antropologi Islam : Sebuah Model Ijtihad Fikih Budaya“ dalam Baidhowi dan Jinan (Ed) Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, dalam Aswab Mahasin Dkk (Ed) Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa : Aneka Budaya Nusantara,(Jakarta: Yayasan Pestival Istiqlal, 1996). Abdullah, Amin, Studi Agama Normatis atau Ralativitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998). Abdullah, Irwan, Konstruksi dan Reproduksi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). Kebudayaan, Abu Zayd, Nasr Hamid, Mafhum al-Nas : Dirasah fi-‘Ulum Al-Qur’an, (Bierut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, 1994). AG, Muhaimin, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002). Asy’arie, Musa, Manusia Membentuk Kebudayaan dalam al’Qur’an, (Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1992). Aswab Mahasin, (Ed), Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa, Aneka Budaya Bangsa, (Jakarta: Yayasan Pestival Istiqlal, 1996). Azra, Azyumardi, Interaksi dan Akomudasi Islam dengan Budaya Melayu Kalimantan, dalam Aswab Mahasin Dkk (Ed) Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa : Aneka Budaya Nusantara, (Jakarta :Yayasan Pestival Istiqlal, 1996). al-Bāhīi, Muhammad, Al-Islam wa al-ittijāhāt al-Mar’ah, (Kairo: Dāar Ittishām, 1988). EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 246 Baidhawi, Zakiyuddin dan Jinan, Mutoharun,(Ed), Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosal Uniersitas Muhamadiyah Surakarta, 2003). Banton, Michael, Roles, Introduction to The Study of Social Relations, (London: Tavistock, Publication, 1969). Berger, Feter L, , The Sacred Canopy : Element of a Sociological Theory of Religion, (New York: Devision of Random House, INC. 1967). Blood, Robert and Donald M. Wolfe, Husband And Wives ; The Dynamiec of Maried Living, (New York, The Free Press,1960). Bourdieu, On the Family as Realized, Theory of Culture an Society ,Volume 13 Agustus, 1980. Bratawidjaja, Thomas Wijaya, , Upacara Tradisional Masyarakat Jawa,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988). Budiwanti, Erni, Islam Sasak: Islam Wetu Telu Vs Waktu Lima, (Yogyakarta: LKiS,2003). Buseri, Kamrani, Islam dan Keragaman Budaya Lokal di Kalimantan ; Meneguhkan Visi Keindonesiaan, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Ed) Menjadi Indonesia ; 13 Abad Eksistensi Islam di Nusantara, (Bandung: Mizan, 2006). Denny F.M. ‘Islamic Ritual : Persfektive and Theories “ dalam Martin R.C. (Ed) Aproaches to Islam in Religious Studies, (Tuscon: The University of Arizona Press. 1985). EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 247 E.R, Leach, Political System of Highland Burma : A Study of Kachim Social Sructure, (London: The Athlon Press, 1964). Etzoini (Ed), Social Change, (Cambridge: Polity Press, 1975). Fros, Everett L dan E. Adamson hoebel , Cultral and Social Anthropolgy, (New York: Mc Graw-Hill, 1976). Geertz Clifford, The Religion of Java, (New York: The Free Press of Glencoe, 1960). -----------, Kebudayan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1992). Grunebaum, Gustave E. Von, Unity and Variety in MuslimCivilization, (Chicago: University of Chicago Press, 1955). Ibn Asyur, Muhammad al-Thahir, al-Tahrir al-tanwir, Mujallad 8 (Tunis Dar Suhun tt). Ya’qub, Muhammad Al-Qumus al-Muhith, Mujallad 1,(Beirut: tp, tt). Hamidi, Badrul Munir, Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Bengkulu, Bengkulu, Panitia STQ Nasional, XVII, 2004. Hasyim, Muh. Fathoni, Islam Samin; Sinkritisme Tradisi Samin, Laporan Hasil Penelitian dalam Istiqro’, Volume 03, Nomor 01, 2004. Hefner, Robert Hindu Javanese ; Tengger Tradition and Islam, (New Jersey: Princeton University Press, 1985). EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 248 Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisasi, (Jakarta: Paramadina, 1998). Hodgson, M. The Venture of Islam, Concence and History in aWord Civilization, (Chicago: University of Chicago Press 1974). Koentjaraningrat, Kebudayaan mentalitas (Jakarta: Gramedia, 1985). dan pembangunan, Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, ( Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994). Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan, Jilid I, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1984). Lowie, Robert A. Primitive Society, (New York: Harper Torchbook ,1961). Sructure, (London: The Athlon Press, 1964). Levy, R. The Social Structure of Islam, (London; Combridge University Press, 1975). Levy, Marion J, The Family Revolution in Modern China, (New York: Devision ` of Parrah, Inc. 1971), Mahmud, Muslimin, Mitos dan Adat Istiadat Masyarakat Tengger dalam Nurudin Dkk (Ed) Agama Tradisional: Potret Kehidupan Masyarakat Samin dan Tengger, (Yogyakarta: LKiS, 2003). Malik, Zainuddin, Agama Priyayi; Makna Agama di Tangan Penguasa, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004). EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 249 ---------------, Agama Rakyat Agama Penguasa; Kontruksi tentang Realitas Agama dan Demokrasi. (Yogyakarta: Galang, 2000). Manners, Alber dan Da vid Kaplan, The Theory of Culture, diterjemahkan oleh Lindung Simatupang, Teori Budaya, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1999). Megawani, Ratna, Membiarkan Berbeda ? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, ( Bandung: Mizan, 1999). Mudzahar, Atho’ Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998). Mulkhan, Abdul Munir, Islam Murni Petani,(Yogyakarta: Bentang, 2000). dalam Masyarakat Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarain, 1998). Nasr, Sayyed Husien, Islamic Life and Thought, (USA: Unwin Paperback, 1984). Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005). Parleviet, L, De anbieding van Sirih als Adatgebruik Onder de Redjang, Mededeelingen Vereenic, Gezaghebbers BB, nomor 17, Pebruari, 1993, Pals, Daniel L, Seven Theoris of Relegion, (USA: Unwin Paperback, 1996). EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 250 Paryanto, “Islam, Akomudasi dan Poskolonial “ dalam Baidhawi dan jinan (Ed) dalam Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, (Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhamadiyah, 2003). al-Qasimi, Muhammad Jamal al-Din, Tafsir Al-Qasimi, Majallad 7 tt Redfield, dkk, Memorandum on the Study of Acculturation, American Anthropologist, Vol. XXXVIII, tt, ------------, Peasant Society and Culture: An Anthropological Approach to Civilization. (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1956). Renier, G.J. History its Purpose and Method, diterjemahkan oleh Muin Umar, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997). Robertson, Roland (Ed), Agama; Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, (Jakarta: Rajawali, 1995). Rohannah, Siti dkk, Pola Asimilasi Etnis Cina di Kota Bengkulu 19501998, (Padang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, 2004). Santoso, M.A Fatah, Agama dan Keragaman Kebudayaan; Persfektif Peradaban Islam, dalam Baidhawi dan Mutoharun Jinan, Islam dan Pluralitas Budaya Lokal, (Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubhan Sosial Universitas Muhamdiyah Surakarta, 2003). EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 251 Sehleifer, Alian, The Family : The Microosm of Islamic Unity dalam Muslim Education Quaterly, Vol 6 nomor 2, (Cambridge : Ukpigott Printers, 1989). al- Shabuni, Muhammad Ali, Al-Tibyan fi-Ulum al-Qur’an (Makkah: tp, 1981). Simuh, Interaksi Islam dengan budaya Jawa, dalam Muhamadiyah dalam Kritik, (Surakarta: Muhamadiyah Universitas Press, 2000). --------------, Islam Dalam Pergumulan Budaya Jawa, (Bandung: Teraju, 2003). Smith, R.J, dan B.P.Dohrenwend “ Toward a Theory of Aculturation” Soutwestern Journal of Anthropology, No. 18, 1968. Suparlan, Parsudi Kebudayaan masyarakat Agama; Agama sebagai sasaran penelitian Antropologi dalam Pasudi Suparlan (Ed) pengetahuan Budaya, I;mu-ilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-masalah Agama, (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama, 1982). ---------, Kebudayaan dan pembangunan dalam Sujangi (Ed) Kajian Agama dan masyarakat, (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama. 1992). EDUGAMA | Volume 01, Nomor 01, Desember 2015 | 252