BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah satunya karena Indonesia berdasar pada Pancasila, dan butir sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu agama menjadi salah satu hal yang penting dalam berbagai urusan kelembagaan dan urusan administrasi di Indonesia ini. Contoh W dalam urusan sekolah, pengurusan kartu tanda penduduk dll. Remaja sebagai warga negara Republik Indonesia tidak luput dari hal ini. Walau permasalahan agama dalam KD urusan administrasi kenegaraan masih bisa dikritisi, namun untuk saat ini kenyataan perlunya pencantuman agama dalam urusan administrasi negara dan dalam bidang kelembagaan lainnya masih dianggap penting. U Kenyataan itu sepertinya sederhana bagi remaja yang berasal dari keluarga yang semuanya menganut agama yang sama. Mereka tidak mempunyai masalah dengan © pemilihan agama sebagai bagian dari identitas mereka. Namun akan menjadi pergumulan tersendiri bagi keluarga yang tidak seagama. Ketika masih kanak-kanak, dia tergantung pada orang tua dan diatur oleh orang tua sehingga masalah agama mungkin tidak begitu menjadi pemikiran utama mereka. Namun ketika menginjak remaja, remaja diperhadapkan pembentukan identitas dan diperhadapkan pada banyak pilihan yang mengharuskan mereka untuk memilih atau mengolah beberapa pilihan tersebut. Pemilihan agama sebagai pilihan bagi remaja dari keluarga yang berbeda agama tidaklah sederhana. Mereka harus memilih di antara agama yang dianut oleh orang tua mereka. Pemilihan agama itu bukan tanpa masalah, karena di dalamnya ada 1 nilai-nilai agama yang mempengaruhi pengambilan sikap orang terhadap sesama dan lingkungannya. Dalam sebuah wawancara dengan remaja Kristen sebagai anak dari orang tua yang berbeda agama di Gereja Kristen Jawa Prambanan didapat gambaran mengenai pemahaman iman remaja. Remaja tersebut mempunyai bapak yang beragama bukan Kristen. Ia menjadi orang yang beragama Kristen karena dorongan ibu dan kakakkakaknya. Ibunya selalu memberi penekanan akan pentingnya mengikuti Tuhan Yesus dengan alasan bahwa hanya dalam Yesus Kristus sajalah orang diselamatkan. Ketika ditanyakan bagaimana pandangan dia mengenai bapak yang beragama bukan Kristen, W remaja tersebut mengharapkan bahwa bapak yang beragama bukan Kristen bisa menjadi orang kristen supaya diselamatkan oleh Tuhan Yesus. Ketika ditanyakan lebih KD dalam lagi mengenai bagaimana jika bapak tetap bersikukuh dengan imannya, remaja dengan bimbang mengatakan bahwa bapaknya tidak akan selamat –dalam pengertian tidak diselamatkan dan tidak akan masuk surga-. Ketika ditanyakan mengenai perasaan U remaja tentang pandangannya, remaja merasa sedih tetapi bagaimana lagi orang hanya © selamat dalam Yesus Kristus. Ketika ditawarkan mengenai kasih Tuhan yang besar yang mungkin saja bisa menyelamatkan bapak dan masuk dalam surga walau tidak melalui Yesus Kristus, remaja dengan tegas menolak, dan tidak rela apabila keselamatan tidak dalam Yesus Kristus. Ketika ditanya alasan ketidakrelaannya remaja mengatakan bahwa pandangan keselamatan dalam Yesus Kristus sudah diajarkan ibu sejak kecil dan tidak rela apabila keselamatan ada juga dalam agama lain. Lebih lanjut ditanyakan mengenai apa yang harapan terhadap realita perbedaan kepercayaan di dalam keluarganya, remaja mengharapkan Tuhan segera menjadikan keluarganya seagama dengan dia dan dengan harapan diselamatkan oleh Yesus Kristus. Fenomena ini menarik karena dalam pergumulan yang dialami remaja ini terjadi ketegangan antara 2 rasa sayang terhadap bapak yang beragama bukan kristen dan keyakinan iman yang ditanamkan oleh ibu di pihak lain, yang tentu saja dirasakan tidak nyaman dalam diri remaja. Fenomena di atas memberi informasi mengenai satu kenyataan bahwa pemilihan agama, dalam hal ini agama Kristen, telah mempengaruhi bentuk relasi dalam keluarga. Dari wawancara singkat tersebut dinyatakan bahwa ada ketimpangan pemahaman kepercayaan Kristen yang dirasakan mengasingkan orang yang remaja kasihi yaitu bapak, atau secara umum orang-orang yang dikasihi. Apakah benar iman Kristen yang berdasar kasih Tuhan tersebut ternyata berdampak pada kondisi tidak W selamat bagi orang yang sangat remaja kasihi? Bagaimana teologi dikembangkan dalam permasalahan ini hal ini? Bagaimana model pendidikan yang tepat dalam menghadapi KD situasi seperti diuraikan di atas? Untuk menjawab pertanyaan di atas tentu dibutuhkan pengetahuan mengenai bagaimana pandangan remaja tentang keselamatan, bagaimana bentuk teologi yang mampu menjawab permasalahan tersebut dengan U mempertimbangkan tradisi iman yang telah diyakini remaja dan bagaimana model © pendidikan kristiani yang mampu menghubungkan antara pengalaman yang dialami, pandangan iman –tradisi iman yang diyakini-, pemikiran teologis dan sekaligus pendidikan kristiani yang operatif yang mampu dikerjakan dalam kenyataan hidup kongkrit. Remaja dalam pandangan Fowler dimasuk dalam tahap perkembangan sintesis konvensional. Di mana remaja harus merombak beberapa pandangannya yang disebabkan karena perkembangan kemampuan kognitifnya yang semakin kuat. Kemampuan kognitif yang semakin kuat ini akan merombak cara dia berinteraksi dengan orang lain dan lingkungannya. Remaja membangun citra diri baru bergantung pada orang-orang yang berarti bagi dirinya. Namun kenyataan yang dihadapi remaja 3 adalah bahwa dia mempunyai wawasan baru tentang adanya banyak bayangan diri di seputar dirinya yang kadang kadang saling kontradiktif, sehingga menjadikan remaja bingung. Dia harus melakukan penggabungan dari beberapa pribadi yang ada di sekitarnya dengan apa yang ada dalam dirinya yang disebut tahap sintesis. Selain itu remaja juga membangun identitasnya berdasarkan pada kesetiakawanan. Kesetiaan kepada orang-orang yang berarti baginya dan ini yang disebut konvensional, sebab secara kognitif, afektif, dan sosial seorang remaja menyesuaikan diri dengan orang yang berarti baginya dan dengan mayoritas orang di sekitarnya. Cara remaja percaya pada orang yang berarti baginya tidak dilakukan dengan kritis. Jadi jika dia mengalami W konflik ketegangan dengan nilai lain maka dia akan cenderung mendukung yang mayoritas dan pribadi yang berarti baginya1. KD Pemilihan agama bagi remaja menyangkut melakukan pemilihan figur dari salah satu orang tua yang dianggap remaja lebih berarti dalam hidup mereka. Sehingga mereka ikut menganut agama dari orang tua yang lebih dia figurkan. Sementara itu U mereka tidak bisa memungkiri kenyataan keberadaan orang tua yang tidak diikuti © agamanya yang pada kenyataannya juga hidup bersama dengan mereka. Begitu remaja memilih agama salah satu orang tuanya dia diperhadapkan dengan masalah dilematis yang menyangkut kehidupan beragama itu. Bagaimana mereka berelasi dengan orang tua yang berbeda agama dengan mereka dan keluarga besar yang tidak seagama dengan dia. Bagaimana mengikuti ritus agama yang mungkin tidak cocok dengan agama salah satu orang tua mereka. Pergumulan remaja yang sedang membentuk keyakinan hidupnya, terutama remaja dari orang tua yang beda agama seperti di atas tidak mendapat perhatian khusus dalam pelayanan kerohanian di lingkup Gereja Kristen Jawa di lingkup Klasis Klaten 1 Bandingkan dengan Supratiknya [red.], Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler: Sebuah Gagasan Baru dalam Psikologi Agama , (Yogyakarta, 1995) p.134-136 4 Barat Gereja Kristen Jawa (KKB). Hal ini didasarkan pada survei kepada pendetapendeta dalam lingkup KKB yang ternyata memang tidak ada perhatian khusus kepada remaja yang berasal dari keluarga yang berbeda agama. Dalam survei tersebut pembinaan remaja sebagai anak dari orang tua yang berbeda agama diperlakukan sama dengan remaja dari orang tua yang seagama. Remaja yang memutuskan menjadi Kristen dari orang tua yang berbeda agama, dibiarkan saja dalam pergumulannya dalam menghadapi ketegangan antara pandangan teologi keselamatan gereja dengan pergumulan kasih dalam keluarga tanpa pendampingan khusus dari gereja. Mungkin jumlah kasus seperti ini sedikit dalam W gereja –dari hasil survei sementara ada sekitar sembilan keluarga beda agama yang memiliki anak remaja dalam lingkup KKB-, namun bukan berarti tidak perlu dilakukan KD pendampingan terhadap mereka. Karena itu permasalahan pembinaan bagi remaja dalam kasus semacam ini perlu dipikirkan. Pendidikan Kristiani dalam Gereja Kristen Jawa biasanya dilakukan dalam U bentuk katekisasi pra sidi atau pra baptis. Materi yang dipakai dalam pendidikan itu © antara lain adalah Pokok –Pokok Ajaran GKJ (PPA GKJ), yang di dalamnya justru sering menimbulkan ketegangan antar agama karena bangunan dasar dari PPA GKJ adalah soteriologis. Di dalamnya ajaran resmi gereja ditekankan keselamatan yang ada dalam Yesus Kristus2. Ajaran resmi Gereja Kristen Jawa menekankan karya penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus. Lebih rinci PPA GKJ tanya jawab nomor 50- 533 dan dalam Tata Gereja GKJ pasal 344 mengenai hakikat pemberitaan keselamatan, yang intinya keselamatan itu ada dan berpusat dalam diri Yesus Kristus. Pernyataan ini 2 Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, (Salatiga, Sinode GKJ, 2005), p. 11. 22 Ibid. p. xiii 4 Sinode GKJ, Tata Gereja dan Tata Laksana Gereja Kristen Jawa, (Salatiga, Sinode GKJ, 2005) p. 19 3 5 menegaskan kalau tidak menerima keselamatan Allah dan merelakan diselamatkan Allah orang tidak akan diselamatkan. Konsep keselamatan dalam PPA GKJ selalu dalam hubungan dengan konsep pemilihan umat Allah. Pendahuluan PPA GKJ dikatakan bahwa ada ‘benang merah’ pemikiran soteriologis. Dimulai dari Allah yang menciptakan langit dan bumi serta manusia dalam keadaan baik. Namun kemudian manusia jatuh dalam dosa dan dalam kondisi tidak selamat, dan karena kasih anugerah Allah, Allah berkenan menyelamatkan umat-Nya. Karya penyelamatan itu teranyam dalam sejarah kehidupan manusia. Sejarah penyelamatan Allah tersebut berpusat pada tiga peristiwa yaitu W peristiwa Israel, peristiwa manusiawi Yesus dan peristiwa Roh Kudus5. Konsep GKJ. KD pemilihan umat Allah inilah yang rupanya begitu mengakar dalam pembuatan PPA Pada sisi lain dalam PPA GKJ ada penjelasan tentang agama-agama. Dijelaskan bahwa agama-agama muncul dari kesadaran religius. Manusia U mengungkapkan dan menghayati hubungannya dengan Allah dalam bentuk Agama © melalui kesadaran religiusnya. Jadi dalam terbentuknya agama terdapat peran Allah dan peran manusia (PPA GKJ tanya jawab nomor 204). Karena ada peran manusia maka agama itu tidak sempurna (PPA GKJ tanya jawab nomor 205). Dengan demikian agama tidak menyelamatkan dan yang menyelamatkan itu adalah Allah melalui Yesus Kristus (PPA GKJ tanya jawab nomor 215)6. Penjelasan dari PPA GKJ tersebut menunjukkan adanya upaya penghargaan terhadap agama lain. Namun dikunci dengan pengajaran keselamatan hanya dalam Yesus Kristus, sehingga tidak ada ruang bagi orang yang beragama lain untuk selamat. 5 6 Ibid. p. xiii-iv Ibid. p. 75-80 6 Dasar pendidikan kristiani yang berangkat dari soteriologi seperti dalam PPA GKJ ini menjadikan dialog itu hanya sebatas relasi sebagai konsekuensi manusia yang adalah makhluk sosial. Sehingga permasalahan pendidikan bagi remaja yang berasal dari orang tua yang beda agama jika memakai dasar PPAG diselesaikan sebatas relasi sosial. Kalau hanya sebatas hal seperti di atas maka pendidikan Kristiani tidak beda dengan pendidikan budi pekerti. Pendekatan PPA GKJ yang berangkat dari pendekatan keselamatan menjadi sangat sulit direlasikan dengan keberadaan agama-agama lain. Apalagi diajarkan dengan pendekatan dogmatik. Namun kenyataannya PPA GKJ dengan pendekatan W soteriologinya telah mendarah daging dalam kehidupan orang Kristen Gereja Kristen Jawa. Konsep soteriologi yang eksklusif secara sadar atau tidak sadar telah KD menghasilkan banyak luka dalam diri remaja atau orang tua. Ajaran resmi gereja tidak mewadahi bagi pergumulan keluarga yang berbeda agama bahkan bisa menimbulkan perpecahan dalam keluarga. hal U Mempertimbangkan tersebut maka perlu dikembangkan bentuk © soteriologis yang mampu menjawab kebutuhan keluarga yang berbeda agama yang nantinya digunakan dalam pengembangan pendidikan kristiani bagi remaja sebagai anak dari orang tua agama supaya menjadi model pendidikan yang mampu membimbing remaja merumuskan kepercayaan dengan tidak meninggalkan luka batin dalam diri mereka namun sebaliknya menjadikan mereka merasa merdeka dan penuh suka cita menyambut kasih Tuhan. Membangun dasar soteriologi bagi pergumulan pendidikan kristiani bagi remaja sebagai anak dari keluarga yang beda agama dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa perlu dikembangkan soteriologi yang mampu menerima keberadaan agama lain tanpa kehilangan kepercayaan kristianinya. Oleh karena itu 7 soteriologi yang dibangun harus berdasar penjelasan Alkitab tentang keselamatan bagi ‘orang lain’ dengan mempertimbangkan tradisi iman yang telah diyakini. Oleh karena itu perlu memikirkan ulang konsep keselamatan, dengan mencoba mencari penjelasan mengenai gambaran tentang Tuhan dan dasar keselamatan dari Tuhan serta bagaimana tindakan Tuhan di dalamnya dari kesaksian Alkitab. Berangkat dari kesaksian Alkitab sangat penting karena jemaat masih sangat menghargai kesaksian Alkitab sebagi sumber pemahaman iman. Dengan demikian akan terjadi dialog pemahaman soteriologis yang berangkat dari titik yang sama. Dalam tulisan ini akan diangkat pemikiran dari Gerald O’Collins dengan W pertimbangan bahwa pemahaman mengenai Yesus sebagai penebus dan pandangannya mengenai keselamatan bagi semua termasuk dalam pemikiran-pemikiran yang terbaru, KD selain itu pandangannya berangkat dari kesaksian Alkitab mengenai persoalan yang dibahas. Walau disadari O’Collins mempunyai tradisi yang tidak sama dengan GKJ, namun diskusi dalam tulisan ini justru akan memberi warna baru dalam pemikiran U soterioligi bagi masa depan. © Menurut O’Collins kesaksian Alkitab tentang tokoh sebelum Yesus Kristus, seperti Abraham dan Sara, dihormati oleh orang-orang Kristen sebagai orang yang beriman7. Iman menurut O’Collins dipahami sebagai tindakan yang melibatkan seluruh pribadi, komitmen untuk taat namun tidak terbatas pada kemampuan intelektual saja melainkan ada peran pewahyuan dari yang illahi8. Mereka mematuhi panggilan illahi, mereka mempercayakan hidup sepenuhnya kepada Allah, dan mereka dipimpin dan dikuatkan oleh Roh Kudus. Pada kasus ini pemahaman iman kristiani tentang Yesus sebagai satu-satunya penyelamat ganjalan menuju Tuhan tidak bisa berlaku. 7 8 Hal itu jelas diakui dalam Ibrani 11 O’ Collins, Gerald, Salvation for All, God’s Other People, (New York, 2008), p.248-249 8 O’Collins menjelaskan hal ini dengan memaparkan bagian dari kitab Ibrani 11. Di sana dijelaskan bahwa Iman menjadi hal yang pokok dalam mengerti tentang Tuhan9. Ketaatan menjadi kunci dalam beriman. Hal itu pula yang telah dilakukan oleh Abraham dan Sara dan semua tokoh orang percaya 10. Yesus juga taat pada Bapa untuk mati sebagai sarana penebusan dosa manusia. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan iman orang-orang yang belum mengenal Yesus apakah mereka juga diselamatkan? Kepada mereka yang hidup sebelum Yesus, O’Collins mengatakan bahwa jika mereka mengetahui Yesus mereka pasti akan mempercayai Yesus11. Hal yang serupa berlaku bagi setiap orang yang di luar iman kepada Yesus yang mempunyai iman dalam rangka W untuk menyenangkan dan mengasihi Tuhan. Orang yang tidak mengenal Yesus tentu tidak bisa menaati Yesus seperti orang yang telah mengenal Yesus, dapat berperilaku KD dan bersikap yang membuat Tuhan berkenan. Menurut O’Collins mereka secara misterius mempunyai pengalaman di dalam Yesus dan dalam Roh Kudus yang menyebabkan keselamatan bagi mereka. Kesaksian Alkitab lain mengatakan bahwa U untuk datang kepada Tuhan tidak melalui Yesus12. Ada banyak orang yang telah © tertarik mengikuti Tuhan melalui Yesus (ketaatan, kasih, pengampunan), meskipun mereka mungkin tetap tidak menyadari peran Yesus. Kehadiran dan peran Kristus dan Roh Kudus tidak harus disadari tetapi kehadiran pribadi dan kuasa Yesus dan Roh telah membentuk kehidupan jutaan orang-orang yang mungkin tidak pernah akan mereka sadari13. Dengan demikian ada kemungkinan orang lain diselamatkan Tuhan dengan cara Tuhan yang tidak pernah kita mengetahuinya secara tepat. O’Collins secara umum hendak mengatakan bahwa menurut kesaksian Alkitab keselamatan adalah dari Allah dan berlaku bagi siapa saja, umat tidak bisa membatasi 9 Ibid. 252 Ibrani 11: 4-22 11 Bandingkan Knitter Paul F. Pengantar Teologi Agama-Agama, (Yogyakarta,2008), p.53, 12 Yohanes 14: 6 13 Ibid p. 258-259, Lihat pula penjelasan tentang Yesus dan Kerajaan Allah 10 9 karya Allah dalam mengasihi dan menyelamatkan manusia. Pandangan O’Collins ini memberi warna baru yang perlu menjadi pertimbangan dalam orang kristen memahami tentang kepercayaan orang yang beragama lain. Secara khusus bagi PPA GKJ pandangan ini menjadi masukan baru untuk berani merumuskan pandangan teologis terhadap orang yang beragama lain, sehingga relasi dengan orang yang beragama lain bukan hanya sekedar alasan konsekuensi sosial dan hak asasi, tetapi juga memiliki landasan teologis. Hasil dari diskusi pemahaman tentang keselamatan tersebut selanjutnya akan W dikembangkan dalam pendidikan kristiani bagi remaja sebagai anak dari orang tua yang berbeda agama. Pendidikan yang dikembangkan harus membawa unsur pembentukan KD kepercayaan kristiani yang berdasar pada kesadaran akan Tuhan yang berkarya dalam kehidupan yang beragam. Dengan demikian pendidikan itu harus membawa remaja pada kebijaksanaan kehidupan. Sehingga memampukan remaja untuk berbagi U pengertian dengan kedua orang tuanya dan komunitasnya dalam hal kehidupan yang © berkenan kepada Tuhan. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan hal di atas, penulis merumuskan masalah dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: a. Bagaimana pandangan keselamatan menurut remaja sebagai anak dari orang tua yang berbeda agama? b. Bagaimana konsep keselamatan dalam perbedaan agama dikembangkan? c. Bagaimana bentuk pendidikan kristiani bagi remaja sebagai anak dari orang tua yang beda agama dikembangkan? 10 3. Batasan Masalah Tesis ini akan membatasi diri di seputar pendidikan kristiani bagi remaja sebagai anak dari orang tua yang beda agama di lingkup Klasis Klaten Barat Gereja Kristen Jawa. Pembatasan juga akan dilakukan dalam hal pendidikan religius kristiani bagi warga gereja dalam hubungannya dengan pendidikan bagi remaja yang kedua orang tuanya beda agama. Remaja yang dimaksud dalam tulisan ini adalah orang yang berada dalam kisaran umur 12-20 tahun14 4. Tujuan Tesis W Tesis ini bertujuan memberikan masukan bagi usaha pendidikan bagi jemaat khususnya remaja yang berasal dari orang tua yang beda agama, lebih luas lagi tesis ini KD bertujuan membangun pendidikan kristiani yang mempunyai kemampuan penerimaan terhadap orang lain yang berbeda agama sebagai konsekuensi iman Kristen. U 5. Metode Penelitian © Tesis ini akan memakai metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenaologis dan studi pustaka. Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang diharapkan mengasilkan data deskriptif dari obyek yang diteliti, penelitian kualitatif bersifat penemuan15. Fenomenalogi merupakan jenis penelitian yang mempunyai konsep dasar bahwa masalah yang disebabkan oleh pandangan atau perspektif subyek yang diteliti. Penelitian fenaomenologis berupaya menggambarkan makna pengalaman dari subyek akan fenomena yang diteliti16. Subyek yang berbeda akan mempunyai pengalaman yang berbeda pula. 14 Lihat, dengan Supratiknya [red.], Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler: Sebuah Gagasan Baru dalam Psikologi Agama , (Yogyakarta, 1995) p. 134, 160 15 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (bandung, 2004), p 3 16 Ibid. p 35 11 6. Judul Tesis Pendidikan Kristiani bagi Remaja sebagai Anak dari Orang Tua Beda Agama dalam Lingkup Pelayanan Klasis Klaten Barat Gereja Kristen Jawa 7. Sistematika Penulisan Bab I. Pendahuluan Bab ini memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan tesis, metode penelitian, judul tesis dan sistematika penulisan. Bab II. Remaja Sebagai Anak dari Orang Tua Beda Agama W Bab ini akan berisi mengenai pandangan remaja sebagai anak dari orang tua yang berbeda agama sebagai hasil penelitian studi kasus dari pandangan KD remaja sebagai anak dari orang tua yang berbeda agama tentang keselamatan bagi orang tua yang tidak seagama. Bab III. Konsep Keselamatan Menurut Pandangan Resmi Gereja Kristen Jawa U dalam Dialog dengan Gerald O’Collins Bab ini berisi tentang konsep soteriologi yang perlu dikembangkan bagi © pendidikan Kristiani dalam konteks keberagaman agama. Bab IV. Pendidikan Kristiani dalam Konteks Keberagaman Agama Bab ini membicarakan tentang pendidikan kristiani dalam komunitas iman bagi remaja sebagai anak dari orang tua yang berbeda agama. Bab V. Penutup Berisi kesimpulan dan saran pendidikan kristiani di lingkup Klasis Klaten Barat GKJ 12